Anda di halaman 1dari 156

PENYELESAIAN UTANG MELALUI SUBROGASI

(Studi Komparatif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Fatwa


Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 104/DSN-
MUI/X/2016)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:
Ahmad Fauzan Nasrulloh
NIM 11140460000036

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ABSTRAK

Ahmad Fauzan Nasrulloh. NIM 11140460000036. PENYELESAIAN UTANG


MELALUI SUBROGASI (Studi Komparatif Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor:
104/DSN-MUI/X/2016). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1439 H/2018 M.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui persamaan, perbedaan, kelebihan dan


kekurangan dari teori serta praktik subrogasi berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif
dengan pendekatan komparatif, yaitu dengan membandingkan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Pasal 1400 sampai dengan 1403 dan Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016
tentang subrogasi berdasarkan prinsip syariah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan


dari berbagai segi pada teori subrogasi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia
(MUI), antara lain: definisi, dasar hukum, subjek hukum, objek hukum. Unsur-
unsur, akibat hukum, pembagian subrogasi, jalur penyelesaian sengketa dan
pengaturan akta otentik. Kemudian terdapat perbedaan praktik subrogasi yang
terletak pada hubungan hukum, subjek hukum, akibat hukum, kompensasi, proses
subrogasi dan upaya penyelesaian sengketa. Serta kelebihan dan kekurangan
masing-masing konsep antara lain: merupakan transaksi yang berasaskan tolong
menolong, kebolehan menurut syariah, mekanisme pelaksanaan dan diperlukannya
upaya positifisasi untuk lebih bisa menjamin dalam pelaksanannya pada LKS.

Kata Kunci: Subrogasi, Subrogasi Syariah, Komparatif, Kelebihan, Kekurangan.

Pembimbing : Ah. Azharuddin Latif, M.A., M.H.


Daftar Pustaka : 1982 s.d. 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Penyelesaian Utang Melalui Subrogasi (Studi Komparatif Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016)”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, tabi’in dan berharap sampai
kepada kami selaku ummatnya di akhir zaman ini.

Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S.H.) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kelancaran dan kemudahan
disetiap prosesnya. Kemudian penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak A.M. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah (Muamalah) dan Bapak Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah).
3. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H. selaku dosen pembimbing
skripsi yang senantiasa meluangkan waktu memberikan arahan dan
masukan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Syahrul ‘Adam, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik
penulis selama 4 (empat) tahun terakhir.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta atas bimbingan dan pengajaran yang telah diberikan
selama masa perkuliahan penulis.
6. Pimpinan dan Staf Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
dan Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

v
vi

Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk melakukan studi


kepustakaan.
7. Bapak Andi Mappeasse dan Mamah Ai Nurbayati yang senantiasa selalu
memberikan kasih sayang dan dukungan serta doa kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Kakak penulis Muhammad Mu’min Nurulloh serta adik-adik penulis Abdul
Muqtadir Fisabilillah, Mutmainnatul Istiqomah dan Muhsin Dzuljalali Wal
Iqram yang selalu memberikan memberikan dukungan dan doa kepada
penulis.

Jakarta, 6 Agustus 2018

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI…………………………………… i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………. iii
ABSTRAK………………………………………………………………… iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………. v
DAFTAR ISI……………………………………………………………… vii
DAFTAR TABEL………………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………… 5
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu…………………………………. 6
E. Kerangka Teori dan Konseptual…………………………………….. 8
1. Kerangka Konseptual……………………………………………. 8
2. Kerangka Teori…………………………………………………… 10
F. Metode Penelitian…………………………………………………... 15
1. Pendekatan Penelitian…………………………………………... 15
2. Jenis Penelitian…………………………………………….......... 15
3. Data Penelitian………………………………………………….. 15
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data……………………….... 16
5. Metode Analisis………………………………………………… 17
G. Sistematika Penulisan………………………………………………. 17
BAB II SUBROGASI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA……………………………………………………… 19
A. Subrogasi………………...…………………………………………. 19
B. Dasar Hukum……………………………………………………….. 20
C. Unsur-Unsur Subrogasi…………………………………………….. 22
D. Akibat Hukum ……………………………………………………… 22
E. Pembagian Subrogasi………………………………………………. 24

vii
viii

1. Subrogasi berdasarkan Perjanjian……………………………….. 24


2. Subrogasi berdarakan Undang-Undang…………………………. 26
F. Perbandingan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata…………………………………… 27
BAB III SUBROGASI BERDASARKAN FATWA DEWAN SYARIAH
NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA…………………………. 38
A. Hawalah, Hawalah al-Haq dan Subrogasi…………………………... 38
1. Hawalah………………………………………………………….. 38
2. Hawalah al-Haq………………………………………………………… 44
3. Subrogasi Syariah……………………………………………….. 48
B. Dasar Hukum……………………………………………………….. 50
C. Pembagian Subrogasi Syariah……………………………………… 50
1. Subrogasi Syariah Tanpa Kompensasi…………………………. 50
2. Subrogasi Syariah dengan Kompensasi……………………….. 50
D. Akibat Hukum ……………………………………………………… 52
E. Bai al-Dain…………………………………………………………………. 53
F. Perbandingan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia……..…………... 56
BAB IV PERBANDINGAN SUBROGASI DALAM KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PERDATA DAN FATWA DEWAN SYARIAH
NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA…………………………. 62
A. Persamaan dan Perbedaan Teori Subrogasi Berdasarkan KUH
Perdata dan fatwa DSN MUI…………………..……………………. 62
B. Persamaan dan Perbedaan Praktik Subrogasi Berdasarkan KUH
Perdata dan Fatwa DSN MUI……………………………………….. 82
C. Kekurangan dan Kelebihan Subrogasi dalam KUH Perdata dan
Fatwa DSN MUI……………………………………………………. 90
BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 93
A. Kesimpulan…………………………………………………………. 93
B. Saran………………………………………………………………... 95
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 96
ix

LAMPIRAN……………………………………………………………… 100
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Subrogasi Kontraktual dengan Cessie……………...... 28


Tabel 2.2 Perbedaan Subrogasi dengan Novasi Subjektif Aktif…………..... 29
Tabel 2.3 Perbedaan Subrogasi dengan Cessie dan Novasi………………… 29
Tabel 2.4 Perbedaan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata……………………………...... 34
Tabel 3.1 Perbedaan Hawalah al-Dain Muqayyadah dan Hawalah al-Haq. 47
Tabel 3.2 Perbedaan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Prinsip
Syariah………………………………………………………...... 57
Tabel 4.1 Perbedaan Subrogasi Kontraktual dengan Cessie……………… 73
Tabel 4.2 Perbedaan Subrogasi tanpa Kompensasi (‘iwadh) dan Subrogasi
dengan Kompensasi (‘iwadh)…………………………………… 74
Tabel 4.3 Perbedaan Teori Subrogasi Berdasarkan KUH Perdata dan
Fatwa DSN MUI………………………………………………... 79
Tabel 4.4 Perbedaan Praktik Subrogasi Berdasarkan KUH Perdata dan
Fatwa DSN MUI ……………………………………………… 88

x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Praktik ekonomi syariah telah memasuki tahun ke-28 sejak berdirinya


bank syariah pertama di Indonesia. Perkembangannya pun terus mengalami
kemajuan setiap tahunnya. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan aset
perbankan syariah year on year (yoy) sebesar 20,65% per akhir Februari
2018.1 Begitupun pertumbuhan kuantitas perbankan syariah yang terdiri dari
13 Bank Umum Syariah, 21 Unit Usaha Syariah dan 167 BPR Syariah.2

Pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa ketertarikan masyarakat


terhadap perbankan syariah meningkat. Terlebih sejak krisis moneter tahun
1998, ekonomi syariah mulai banyak digunakan sebagai pilihan alternatif
kegiatan ekonomi. Karena terbukti konsep pemberdayaan ekonominya telah
berhasil melewati masa krisis dengan baik. Namun, pertumbuhan aset
perbankan syariah tersebut pasti berbanding lurus dengan resiko yang melekat
padanya. Sebagai lembaga intermediasi, bank syariah memiliki resiko yang
besar pula terhadap kegiatan pembiayaan yang dilakukannya.

Otoritas Jasa Keuangan mengungkapkan bahwa rasio pembiayaan


bermasalah atau Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah pada
tahun 2017 mencapai 4,12%.3 NPF tersebut masih dinilai tinggi jika
dibandingkan Non Performance Loan (NPL) pada perbankan konvensional
yang berada pada angka 2,96%.4 Keadaan ini harus disikapi dengan bijak oleh
bank syariah. Salah satunya dengan menyusun strategi penyelesaian

1
Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang “OJK: Aset Bank Syariah tumbuh 20,65% per
Februari 2018”, Kontan, 11 April 2018 diakses dari http://kontan.co.id/news/ojk-aset-bank-
syariah-tumbuh-2065-per-februari-2018/
2
Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah Februari 2018, (Jakarta:OJK, 2018)
h.9
3
Lit Septityaningsih, “NPF Tinggi, Bank Syariah Diimbau Cermat Salurkan Pembiayaan”,
Republika, 11 September 2017 diakses dari http://republika.co.id/amp_version/ow3j5a/
4
Yohana Arta Uli. “Data OJK Ungkap Kredit Bermasalah Bank Syariah 4,12%, Lebihi
Konvensional 2,96%”, Okezone, 15 Desember 2017 diakses dari
http://economy.okezone.com/amp/2017/12/15320/1831077/data-ojk-ungkap-kredit-
bermasalah-bank-syariah-4-12-lebihi-konvensional-2-96/

1
2

pembiayaan bermasalah dengan baik. Terlebih karena angka NPF bank


syariah setiap tahunnya tidak pernah mengalami penurunan.

Perbankan konvensional dalam mengatasinya cenderung menggunakan


pendekatan yuridis. Pendekatan tersebut berupa upaya paksa melalui
pengadilan, yang pada akhirnya adalah eksekusi jaminan. Namun, di sisi lain
terdapat beberapa langkah pendekatan sosiologis yaitu dengan melakukan
penyelamatan rescheduling, reconditioning, restructuring.5 Pendekatan
terakhir inilah yang seharusnya dilakukan oleh bank syariah.

Langkah penyelamatan sosiologis yang bersifat komplementer salah


satunya adalah melalui subrogasi.6 Subrogasi atau pengalihan piutang ini
cocok digunakan sebagai solusi dari pembiayaan bermasalah. Karena dasar
dari konsep subrogasi itu sendiri adalah tolong menolong, yaitu pihak ketiga
dengan sukarela menolong debitur dalam membayar utangnya dan mengambil
alih posisi kreditur. Sejauh ini peraturan perundang-undangan yang mengatur
subrogasi hanya ada pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1400
sampai dengan pasal 1403. Sehingga praktiknya lebih banyak dilakukan oleh
perbankan konvensional.

Konsep penyelesaian utang seperti subrogasi sebenarnya telah ada


pada lembaga keuangan syariah. Setidaknya ada tiga Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengaturnya sampai
pada akhir tahun 2015. Fatwa tersebut diantaranya: Fatwa Nomor: 12/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Hawalah, Fatwa Nomor: 58/DSN-MUI/V/2007 tentang
Hawalah bil ujrah dan Fatwa Nomor: 90/DSN-MUI/XII/2013 tentang
pengalihan pembiayaan murabahah antar lembaga keuangan syariah. Dari
ketiganya belum ada yang dapat mengakomodir secara konkrit permasalahan
Subrogasi. Terlebih, Ismail dalam penelitiannya mengemukakan terdapat

5
Misahardi Wilamarta, Eksistensi Kredit Sindikasi dalam Perjanjian Kredit Perbankan,
(Depok: CELS, 2006) h. 46
6
Misahardi Wilamarta dan Zulfadli Barus, “Manfaat Analisis Yuridis dan Sosiologis yang
Bersifat Komplementer dalam Perjanjian Kredit Untuk Meminimalisir Resiko Bank Sebagai
Kreditor”, Yustisia Vol. 1 No. 2 (Mei-Agustus 2012), h. 164
3

perbedaan yang mendasar (pada sebab) antara Hawalah dalam hukum islam
dengan konsep Subrogasi pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata).7

Namun, pada akhir tahun 2016 Dewan Syariah Nasional (DSN)


Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali mengeluarkan fatwa yang berkaitan
dengan penyelesaian utang, yaitu fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016
tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah. Meskipun sampai sekarang
belum ada upaya regulasi terhadap fatwa tersebut, tetapi tidak dapat dipungkiri
bahwa kehadiran fatwa memberi pengaruh besar terhadap industri keuangan
syariah di Indonesia.8 Karena kedudukan fatwa sebagai doktrin hukum
diperkuat oleh pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.

Kehadiran subrogasi dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)


Majelis Ulama Indonesia (MUI) menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah
terdapat disharmonisasi antara fatwa dengan yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Lalu sejauh mana kesesuaian konsep subrogasi
ketika dituangkan ke dalam kontrak perjanjian, baik berdasarkan KUH Perdata
maupun Fatwa. Serta bagaimana perbandingan antara praktik hukum
keduanya di dalam kontrak perjanjian. Permasalahan di atas perlu diketahui
sebagai landasan penyusunan strategi dalam mengatasi pembiayaan
bermasalah. Sehingga angka Non Performing Financing (NPF) pada
perbankan syariah dapat diminimalisir.

Keadaan di atas menimbulkan ketertarikan penulis untuk menganalisis


permasalahan tersebut. Oleh karena itu penulis mengangkat judul penelitian
“PENYELESAIAN UTANG MELALUI SUBROGASI (Studi Komparatif
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016)”

7
Ismail, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Subrogasi Dalam Hukum Perdata (Skripsi S-1
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1990) h.60
8
Ma’ruf Amin, Solusi Hukum Islam (Makharij Fiqhiyyah) Sebagai Pendorong Arus Baru
Ekonomi Syariah di Indonesia (Malang: Orasi Ilmiah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2017) h.6
4

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang
diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Persamaan dan perbedaan konsep teori subrogasi pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan Subrogasi berdasarkan
prinsip Syariah pada Fatwa DSN MUI.
b. Persamaan dan perbedaan praktik subrogasi pada Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dengan Subrogasi berdasarkan prinsip
Syariah pada Fatwa DSN MUI.
c. Kelebihan dan kekurangan dari konsep subrogasi berdasarkan
KUH Perdata dan Fatwa DSN MUI.
d. Ketentuan yang diatur dalam konsep subrogasi pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan tidak diatur dalam Subrogasi
berdasakan prinsip Syariah pada Fatwa DSN MUI.
e. Ketentuan yang diatur dalam konsep Subrogasi berdasarkan prinsip
Syariah pada Fatwa DSN MUI dan tidak diatur dalam subrogasi
pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
f. Hasil penelitian yang menyimpulkan adanya perbedaan antara
konsep hawalah dengan subrogasi berdasarkan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, padahal hawalah ini digunakan sebagai
instrumen akad dalam subrogasi berdasarkan prinsip syariah pada
Fatwa DSN MUI No: 104/DSN-MUI/X/2016.
g. Kemiripan pola antara Fatwa Nomor: 67/DSN-MUI/III/2008
tentang Anjak Piutang Syariah dengan Fatwa Nomor: 104/DSN-
MUI/X/2016 tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
h. Industri Asuransi dalam operasionalnya tidak dapat terhindar dari
konsep subrogasi, begitupun dengan lembaga asuransi syariah;
kenyataanya subrogasi sudah digunakan oleh asuransi syariah jauh
sebelum subrogasi ini diatur dalam Fatwa DSN MUI, dan
meskipun sekarang sudah ada pengaturannya, Fatwa hanyalah
5

bersifat doktrin hukum; sehingga dalam pelaksanaanya subrogasi


tetap harus mengikuti ketentuan KUH Perdata.
i. Penerapan konsep subrogasi pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Subrogasi berdasarkan prinsip Syariah pada Fatwa
DSN MUI dalam transaksi lembaga keuangan syariah.
j. Penerapan konsep subrogasi pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Subrogasi berdasarkan prinsip Syariah pada Fatwa
DSN MUI dalam praktik putusan PA terkait sengketa ekonomi
syariah.
2. Pembatasan Masalah

Memperhatikan sangat luasnya masalah yang berhasil


diidentifikasi, penulis akan melakukan pembatasan masalah penelitian.
Pembatasan masalah ini dimaksudkan agar pembahasan lebih terfokus
dan spesifik. Serta untuk menghindari kemungkinan tumpang-tindih
dengan masalah lain di luar wilayah tema penelitian. Oleh karena itu,
penulis membatasi variabel penelitian yang berkaitan dengan
“Persamaan, Perbedaan, Kelebihan dan Kekurangan dari teori dan
praktik subrogasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Subrogasi Syariah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI)”. Variabel ini dipilih, karena
merupakan dasar dari semua masalah yang telah teridentifikasi di atas.

3. Perumusan Masalah
a. Bagaimana persamaan dan pebedaan teori subrogasi dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan Subrogasi Berdasarkan
Prinsip Syariah dalam Fatwa DSN MUI?
b. Bagaimana persamaan dan perbedaan praktik subrogasi dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Fatwa DSN MUI?
6

c. Apa kelebihan dan kekurangan dari konsep Subrogasi dalam Kitab


Undang-undang Hukum Perdata dan Subrogasi Berdasarkan
Prinsip Syariah dalam Fatwa DSN MUI?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui persamaan dan perbedaan teori subrogasi dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan Subrogasi Berdasarkan
Prinsip Syariah dalam Fatwa DSN MUI.
b. Mengetahui persamaan dan perbedaan praktik subrogasi dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Fatwa DSN MUI.
c. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari konsep Subrogasi
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah dalam Fatwa DSN MUI.
b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis, penelitian ini bermanfaat sebagai kontribusi
terhadap perkembangan hukum islam di Indonesia, khususnya
dalam bidang muamalah. Penelitian ini pun akan berguna sebagai
bahan rujukan oleh akademisi atau peneliti lain terkait Subrogasi
berdasarkan prinsip syariah.
b. Manfaat Praktis, penelitian ini dapat dijadikan sumber dan solusi
baik bagi aparatur pembuat hukum, maupun praktisi Lembaga
Keuangan Syariah dalam mengaplikasikan konsep Subrogasi
berdasarkan prinsip syariah dengan benar.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebagai upaya pencegahan untuk menghindari kesamaan tema dengan
penelitian terdahulu. Maka penulis telah melakukan tinjauan (review)
terhadap penelitian terdahulu yang memiliki persamaan pembahasan tentang
perbandingan hukum positif dengan Fatwa, konsep subrogasi dan atau
7

pengalihan utang piutang. Pencarian penulis mengenai tema penelitian


terbilang sulit, karena hal tersebut dipengaruhi oleh fatwa yang dikaji
merupakan fatwa baru. Sehingga belum banyak yang melakukan penelitian
mengenai tema ini. Namun penulis menemukan beberapa penelitian yang
memiliki kesamaan dalam hal perbandingan hukum, studi fatwa dan
pengalihan utang sebagai berikut:
1. Kamaliah dalam penelitiannya memiliki fokus untuk mengkaji
pebandingan konsep subrogasi menurut hukum positif dan pandangan
hukum islam yang digali langsung melalui berbagai riwayat fikih. 9
Berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan yakni dengan
mengkaji perbandingan konsep subrogasi dengan menggunakan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Fatwa DSN MUI yang baru
muncul jauh setelah penelitian yang dilakukan oleh Kamaliah.
2. Ah. Azharudin Latif dalam penelitiannya menjelaskan bahwa
terdapat 27 disharmonisasi ketentuan KHES dengan Fatwa DSN MUI.
Penelitian ini memiliki fokus pada Harmonisasi KHES dan Fatwa
sebagai sumber hukum material sengketa ekonomi syariah. 10 Selain
tidak terbahasnya Subrogasi, indikator pembeda lainnya juga adalah
objek penelitian yang digunakan. Penulis menggunakan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Fatwa DSN MUI untuk melakukan
analisis komparatif terhadap konsep subrogasi.
3. Baerin Oktaviani dalam penelitiannya memiliki fokus terhadap
perbandingan konsep anjak piutang berdasarkan fatwa DSN MUI
dengan konsep hawalah pada Surat Edaran Bank Indonesia. Kemudian
dalam kesimpulannya menegaskan bahwa terdapat persamaan
mekanisme dan definisi antara konsep anjak piutang yang diatur oleh
Fatwa DSN MUI dengan konsep hawalah yang diatur oleh Surat

9
Kamaliah, Subrogasi Menurut Pandangan Hukum Postif dan Hukum Islam (Skripsi S-1
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013)
10
Ah. Azharuddin Latif, “Harmonisasi KHES, Fatwa DSN MUI dan Kodifikasi Produk
Perbankan Syariah Sebagai Sumber Hukum Material Sengketa Keuangan Syariah”, Seminar
Bulanan MES : Ekonomi dan Keuangan Syariah (Jakarta, 11 Oktober 2017)
8

Edaran Bank Indonesia. Sedangkan perbedaan di antara keduanya


berkaitan dengan pengurusan piutang, pihak yang mengalihkan utang,
lembaga pelaksana, objek transaksi, pemberian dana talang dan fee
serta lembaga penyelesaian sengketanya. 11 Berbeda dengan penelitian
yang hendak dilakukan penulis, yakni berkenaan dengan analisis
perbandingan antara konsep pengalihan utang subrogasi menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan subrogasi berdasarkan prinsip
syariah menurut Fatwa DSN MUI.
4. Muhammad Riza memiliki fokus penelitian terhadap faktor-faktor
dan akibat hukum dari proses take over yang dilakukan oleh Bank
Syariah Mandiri Cabang Medan. Dalam kesimpulannya memaparkan
bahwa akibat hukum dari proses take over ini, Bank Syariah Mandiri
Cabang Medan mengambil alih posisi kreditur lama dalam menerima
angsuran dari nasabah dan juga terjadi pengalihan hak jaminan atas
barang jaminan yang diagunkan melalui proses roya. 12 Tentu hal
tersebut berbeda dengan penelitian penulis yang memiliki fokus
penelitian sebagai langkah reaktif terhadap kehadiran fatwa baru DSN
MUI mengenai subrogasi berdasarkan prinsip syariah.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Konseptual
a. Subrogasi

Subrogasi diatur dalam pasal 1400 sampai pasal 1403 Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata. Subrogasi adalah penggantian
hak-hak oleh pihak ketiga yang membayar kepada kreditur dengan
tujuan untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan
membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang kepada

11
Baerin Oktaviani, Perbandingan Konsep Anjak Piutang Syariah DSN MUI dan Konsep
Akad Hawalah dalam Surat Edaran Bank Indonesia (Malang: Jurnal Hukum dan Syariah UIN
Maulana Malik Ibrahim Volume 6, 2015)
12
Muhammad Rizaldy, Pelaksanaan Take Over Pembiayaan di PT Bank Syariah Mandiri
Cabang Medan, (Medan: Premise Law Jurnal Universitas Sumatera Utara Volume 12, 2016)
9

kreditur.13 Subrogasi dapat terjadi baik melalui perjanjian maupun


karena ditentukan oleh Undang-Undang.

b. Subrogasi Syariah

Subrogasi Syariah adalah pergantian hak da'in lama oleh


da'in baru karena piutang da'in lama dilunasi oleh da'in baru
berdasarkan prinsip syariah. Sehingga madin diharuskan membayar
utangnya kepada da’in baru. Da’in adalah pihak yang memiliki hak
tagih (piutang) sedangkan Madin adalah pihak yang memiliki
kewajiban membayar utang. 14

c. Perjanjian
C. Asser’s sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap dalam
bukunya Segi-segi Hukum Perjanjian menjelaskan Perjanjian atau
Verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda
antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.15
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah Kitab
Hukum yang masih digunakan sebagai sumber hukum perdata di
Indonesia sebagi hasil terjemahan dari hukum perdata Belanda
sejak masa kolonial, yakni Bugerlijk Wetboek (BW).16 Kitab
tersebut terdiri dari empat bagian yaitu:
1) Buku I tentang Orang
2) Buku II tentang Kebendaan

13
M Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982) h.129
14
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/XI/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, (Jakarta: 2016), h. 7
15
Ibid., h. 6
16
Edukasi PPKN, Pengertian/Definisi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
dan hukum perdata di Indonesia. Artikel diakses pada 20 Februari 2018 dari
http://www.edukasippkn.com/2015/10/pengertian-definisi-kitab-undang-undang.html?m=1//
10

3) Buku III tentang Perikatan


4) Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian
e. Fatwa DSN MUI
Fatwa DSN MUI merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia melalui perangkat organisasinya yaitu
Dewan Syariah Nasional. Fatwa tersebut menjadi doktrin hukum
bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
2. Kerangka Teori
Studi perbandingan adalah suatu bentuk penelitian yang
membandingkan antara variabel-variabel yang saling berhubungan
dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan ataupun persamaan-
persamaan dalam sebuah kebijakan.17 Dalam kajian ilmu hukum,
masih terdapat perbedaan dalam menyikapi perihal perbandingan
hukum. Pendapat pertama mengemukakan perbandingan hukum
sebagai suatu disiplin ilmu hukum. Pendapat lainnya mengatakan
bahwa perbandingan hukum merupakan suatu metode saja.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada usaha para pakar
hukum untuk mendefinisikan dan menyusun berbagai metode dalam
perbandingan hukum. Berikut pengertian perbandingan hukum
menurut beberapa ahli:
Sunarjati Hartono menjelaskan perbandingan hukum adalah
suatu metode penyelidikan, bukan suatu cabang ilmu hukum,
sebagaimana seringkali menjadi anggapan orang. Metode yang dipakai
adalah membanding-bandingkan salah satu lembaga hukum (legal
institution) dari system hukum yang satu dengan lembaga hukum yang
kurang lebih sama dari system hukum lain. Dengan membandingkan
itu maka kita akan menemukan unsur-unsur persamaan, juga
perbedaan dari kedua system hukum itu.18

17
Fellin Kinanti, Studi Perbandingan, Les Journals. Artikel diakses pada 20 Februari 2018
dari http://www.fellinkinanti-fisip10.web.unair.ac.id//
18
Sunarjati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1991) h.1
11

Prof Guteridge sebagaimana dikutip oleh R Soeroso


mengemukakan bahwa pebandingan hukum tidak lain dari pada suatu
metode, yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam
semua cabang ilmu hukum, seperti Hukum Tata Negara, Hukum
Pidana, Hukum Perdata dan lain sebagainya. 19
Henry C. Black sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto
menjelaskan perbandingan hukum adalah “the study of the priciples of
legal science by the comparison of various system of law”. Di dalam
perumusan tersebut ternyata ada suatu kecenderungan untuk
mengkulifikasikan perbandingan hukum sebagai suatu metode, oleh
karena yang dimaksudkan sebagai perbandingan adalah “proceeding
by the method of comparison; founded on comparison; estimated by
comparison.”20
Lando menyatakan, bahwa perbandingan hukum adalah “The
national legal system and their comparison”, yang kemudian
ditambahkannya dengan kalimat “an analysis and a comparison of the
laws”. Di sini tampaknya, Lando cenderung untuk menyatakan bahwa
perbandingan hukum merupakan suatu ilmu (atau cabang ilmu). Di
dalam penjelasan mengenai perbandingan hukum sebagai salah satu
jenis penelitian hukum normatif, perbandingan akan ditinjau sebagai
suatu metode (dari ilmu perbandingan hukum).21
Dari berbagai pendapat di atas, khususnya dalam hal penelitian
hukum normatif sebagaimana penelitian yang sedang dilakukan oleh
penulis, bahwa perbadingan hukum merupakan suatu metode. Orucu
sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto telah mencatat beberapa
model perbandingan hukum dari beberapa ahli, sebagai berikut:22

19
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Ed.1 Cet.7 (Jakarta: Sinar Gafika, 2007) h. 6
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pers, 1984) h. 258
21
Ibid.,
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1986) h. 99
12

a. Constantinesco
Ia mempelajari proses perbandingan hukum dalam tiga Fase:
Fase pertama, mempelajari konsep-konsep yang diperbandingkan
dan menerangkannya menurut sumber aslinya. Mempelajari
konsep-konsep itu di dalam kompleksitas, teoritas dan sumber-
sumber hukum dengan pertimbangan yang sungguh-sungguh, yaitu
dengan melihat hirarki sumber hukum itu dan menafsirkannya
dengan menggunakan metode yang tepat atau sesuai dengan tata
hukum yang bersangkutan. Fase kedua, memahami konsep-konsep
yang diperbandingkan, yang berarti mengintegrasikan konsep-
konsep itu kedalam tata hukum mereka sendiri. Dengan memahami
pengaruh-pengaruh yang dilakukan terhadap konsep-konsep itu
dengan menentukan unsur-unsur dari system dan faktor diluar
hukum, serta mempelajari sumber-sumber social dari hukum
positif. Fase ketiga, melakukan penjabaran konsep-konsep itu
untuk diperbandingkan; fase ketiga ini, merupakan fase yang agak
rumit dimana metode-metode hukum yang sesungguhnya
digunakan. Melakukan deskripsi, analisis dan eksplanasi yang
membuat generalisasi dan harus cukup luas meliputi
pengidentifikasian hubungan-hubungan dan sebab-sebab dari
hubungan-hubungan itu.
b. Kamba
Dengan menekankan, bahwa penjelasan mengenai
perbedaan dan persamaan merupakan suatu yang seharusnya ada
pada perbandingan hukum, ia juga membicarakan tiga fase:
deskripsi, analisis dan eksplanasi. Ia juga menekankan pendekatan
fungsional dan pendekatan pemecahan masalah sebagai sesuatu
yang sangat diperlukan bagi perbandingan lintas budaya ialah
membandingkan budaya-budaya yang berbeda.
13

c. Schmidlin
Ia mengemukakan tiga pendekatan: analisis menurut hukum
(legal analysis); Analisis menurut morfologi structural; dan
Analisis yang bersifat evolusi historis dan fungsional.

Dari ketiga model di atas penulis memilih model


perbandingan hukum yang dikemukakan Kamba. Yaitu dengan
mendeskripsikan Subrogasi pada KUH Perdata dan Fatwa DSN MUI,
untuk kemudian dianalisis dan dijelaskan letak persamaan, perbedaan,
kelebihan dan kekurangan dari keduanya. Sebagaimana dipaparkan
sebelumnya, bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan
hukum yang berlaku sejak zaman kolonial, yang termasuk kedalam
sistem hukum Civil Law. Sedangkan Fatwa DSN MUI sebagai suatu
doktrin hukum yang bersumber dari sistem hukum Islam (Islamic
Law). Maka menurut penulis sudah layak untuk melakukan
perbandingan hukum terhadap keduanya, meskipun keduanya berada
dan berlaku di Indonesia. Dengan mengacu pada kebutuhan teoritis,
yakni mengetahui titik-titik persamaan dan perbedaan terhadap
surogasi serta kelebihan dan kekurangan masing-masing juga
kebutuhan praktis, yakni sebagai acuan dalam pelaksanaan subrogasi
pada lembaga keuangan syariah.
14

Kerangka Pemikiran Konseptual

SUBROGASI

Kitab Undang-Undang Fatwa DSN MUI


Hukum Perdata Pasal Nomor: 104/DSN-
1400-1403 MUI/X/2016

PERSAMAAN, PERBEDAAN,
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
TEORI DAN PRAKTIK SUBROGASI
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA DAN FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
15

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum normatif memiliki beberapa pendekatan. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan komparatif
(Comparative Approach), yaitu dengan membandingkan peraturan
hukum dengan peraturan hukum yang lain dalam tema hukum yang
sama23. Peraturan yang dibandingkan di dalam penelitian ini adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu
doktrin hukum ekonomi syariah di Indonesia. Pendekatan selanjutnya
penulis menganalisis sejauh mana kesesuaian konsep subrogasi ketika
dituangkan ke dalam perjanjian, baik berdasarkan KUH Pedata
maupun Ftawa. Serta bagaimana perbandingan antara praktik hukum
keduanya di dalam kontrak perjanjian.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif. Dalam penelitian hukum normatif, peneliti melakukan
pengumpulan bahan-bahan, baik yang terpublikasi maupun yang tidak,
yang berkenaan dengan bahan hukum positif yang dikaji. 24
3. Data Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer,
data sekunder dan data tersier, yaitu:
a. Data Primer, ialah data yang didapatkan seorang peneliti langsung
dari objeknya25. Dalam penelitian normatif, yang menjadi sumber
data primer dalam penelitian yang adalah peraturan perundang-

23
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Cet. I (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004) h.118
24
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h.38
25
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, diakses pada tanggal 31 Juli 2018 dari
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Data%20primer/
16

undangan.26 Dalam hal ini penulis menggunakan Buku III Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1400 sampai dengan 1403
dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 104/DSN-MUI/X/2016
tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh seorang penelitisecara
tidak langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain baik lisan
maupun tulisan.27 Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan
antara lain: dokumen perjanjian utang piutang subrogasi, akta
notaris berupa akad pengalihan utang, buku-buku, hasil penelitian,
jurnal ilmiah, berita dan artikel di internet yang berkaitan dengan
tema penelitian.
c. Data Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya:
kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif dan
sebagainya 28
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk mempermudah penelitian ini peneliti menggunakan
beberapa metode pengumpulan data, diantaranya adalah :
a. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan salah satu cara pengumpulan data
yang digunakan peneliti untuk menginventarisir catatan, transkrip
buku, atau lain-lain yang berhubungan dengan penelitian.29
Dokumen dapat digunakan karena merupakan sumber yang stabil,
kaya dan mendorong. Dengan menggunakan teknik pengumpulan
data yang menggunakan dokumentasi, maka diharapkan agar
penelitian ini lebih terperinci karena sumber yang akan dicari

26
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 141
27
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, diakses pada tanggal 31 Juli 2018 dari
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Data%20sekunder/
28
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cet. VI (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003) h.114
29
Saifullah, Tipologi Penelitian Hukum (Malang: Intelegensia Media, 2015), h. 265.
17

dalam suatu dokumentasi merupakan sumber penting yang


berkaitan.
b. Kepustakaan
Dalam metode ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap
bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non
hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan
dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang
banyak dilakukan penelurusan bahan hukum tersebut dengan
melalui media internet.30
5. Metode Analisis
Metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah metode komparatif, yaitu menganalisis dengan membandingkan
suatu masalah dengan masalah lainnya. 31 Dari keseluruhan bahan dan
data-data yang terkumpul, selanjutnya dilakukan pengelompokan
berdasarkan isu yang akan penulis bahas. Kemudian bahan diuraikan
dan diteliti sehingga memperoleh informasi dan pembahasan yang
sistematis. Data-data tersebut kemudian diolah dan diuraikan untuk
kemudian penulis simpulkan. Sehingga isu hukum yang telah
dirumuskan dalam perumusan masalah dapat terjawab.
G. Sistematika Penulisan
Penulis akan menyajikan penelitian ini kedalam lima bab,
sebagaimana yang telah diatur dalam pedoman penulisan skripsi. 32
Masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

30
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.145
31
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cet. VI, h.97
32
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: FSH UIN
Jakarta, 2015) h.39
18

tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, serta


sistematika penulisan.
2. Bab II Subrogasi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
Dalam bab ini, penulis menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan
subrogasi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
hubungannya dengan konsep lainnya seperti Cessie dan Novasi.
Kemudian penulis menyajikan perbandingan antara teori subrogasi
dengan praktiknya di masyarakat.
3. Bab III Subrogasi Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia
Dalam bab ini, penulis menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan
subrogasi menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia. Kemudian penulis juga memaparkan hal-hal yang berkaitan
dengan hawalah secara umum serta perbedaannya dengan Ba’i ad-
Dain. Terakhir penulis menutup bab ini dengan perbandingan teori
subrogasi syariah dengan praktiknya pada lembaga keuangan syariah.
4. Bab IV Perbandingan Subrogasi dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Fatwa DSN MUI
Bab ini berisi pemaparan hasil analisis penulis mengenai
persamaan dan perbedaan yang teridentifikasi dari teori dan praktik
subrogasi dalam KUH Perdata dan subrogasi berdasarkan prinsip
syariah dalam Fatwa DSN MUI. Serta kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing konsep tersebut.
5. Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan,
yang berisi penjelasan secara singkat dari hasil pembahasan dan
analisa sebagai jawaban terhadap rumusan masalah penelitian ini.
Serta penulis memberikan beberapa saran yang dianggap perlu sebagai
bahan masukan bagi para pembaca.
BAB II

SUBROGASI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM


PERDATA

A. Subrogasi
Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga
dalam perjanjian, sebagai akibat pembayaran yang dilakukan oleh pihak
ketiga atas utang debitur kepada pihak kreditur.1 Pembayaran sendiri
merupakan setiap pemenuhan prestasi secara sukarela dan mengakibatkan
hapusnya perikatan antara kreditur dan debitur.2 Dari pengertian tersebut
maka tidak heran pembayaran tidak dapat dipisahkan dari subrogasi. Karena
subrogasi sendiri terjadi sebagai akibat pihak ketiga melakukan pembayaran
atas piutang kreditur. Atau pihak ketiga telah meminjami debitur sejumlah
apa yang menjadi utang, guna dibayarkan kepada kreditur. Pembayaran
tersebut menjadikan pihak ketiga tadi mengambil alih kedudukan kreditur
lama untuk nantinya mendapatkan pembayaran dari debitur.
Pokok subrogasinya adalah terjadi penggantian kreditur. Sedangkan
perjanjian dan isinya tidak berubah.3 Mengenai skema atau proses terjadinya
subrogasi terdapat beberapa pendapat. Misalnya pendapat bahwa dengan
terjadi pembayaran maka perikatan antara kreditur yang lama menjadi hapus
dan kemudian dihidupkan lagi untuk kepentingan pihak ketiga sebagai
kreditur baru. Pendapat ini sama seperti yang diungkapkan oleh R Subekti
sebagai mana dikutip oleh Suharnoko dan Endah Hartati yang menerangkan
bahwa dalam subrogasi, utang piutang yang lama hapus biarpun hanya satu
detik, untuk kemudian dihidupkan lagi bagi kepentingan kreditur baru.4
Pendapat lain, C. Asser mengatakan bahwa hanya perikatan antara
kreditur lama dengan debitur yang hapus, maka kreditur lama tidak dapat lagi

1
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni, 1982) h. 129
2
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie (Jakarta: Kencana,
2008), h. 1
3
M. Yahya harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h. 129
4
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, h. 101

19
20

menuntut kepada debitur. Tetapi debitur tetap mempunyai kewajiban untuk


membayar utang kepada pihak ketiga sebagai kreditur baru.5
Umumnya, pembayaran dalam arti yuridis menghasilkan suatu
keadaan absolut atau relatif. Keadaan absolut ini dapat tercapai jika kedua
belah pihak telah membayar (memenuhi) kewajiban masing-masing. Seperti
halnya dalam jual beli ketika seorang pembeli telah membayar senilai barang
yang dibeli, kemudian penjual juga telah menyerahkan barangnya, maka
perjanjian jual belinya telah selesai. Sedangkan pembayaran dalam subrogasi
merupakan pembayaran yang menghasilkan keadaan relatif, artinya pihak
ketiga membayar kreditur dan pihak ketiga ini menggantikan hak kreditur itu,
sehingga ia menjadi kreditur baru. Dengan demikian perjanjian utang piutang
tetap ada, debitur tetap harus membayar utang sesuai dengan yang
dipinjamnya, hanya saja subjek krediturnya berubah.6
Keadaan di atas menunjukkan bahwa tujuan subrogasi adalah untuk
memberikan kedudukan yang lebih kuat dan jaminan terhadap pihak yang
telah bersedia membayar utangnya. Seolah-olah subrogasi merupakan
pinjaman debitur kepada pihak ketiga untuk dibayarkan kepada kreditur. Oleh
karena itu debitur masih memiliki kewajiban untuk melakukan pengembalian
atas pinjaman tersebut kepada pihak ketiga. Sehingga pihak ketiga akan
merasa aman dengan kondisi tersebut.
B. Dasar Hukum
Subrogasi diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1400 sampai dengan pasal 1403 yang berbunyi:7

Pasal 1400
Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga
yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau
karena Undang-Undang.

5
Ibid., h. 2
6
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 2007) h. 683
7
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1400-1403
21

Pasal 1401
Perpindahan itu terjadi karena persetujuan:
1. bila kreditur, dengan menerima pembayaran dan pihak ketiga,
menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam
menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hakhak istimewa
dan hipotek-hipoteknya terhadap debitur; Subrogasi ini harus
dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan waktu
pembayaran.
2. bila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan
menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan
mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah, baik
perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat
dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus
diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang
tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan harus diterangkan
bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh
kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.
Pasal 1402
Subrogasi terjadi karena Undang-Undang:
1. untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang debitur kepada
seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau
hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi dan pada
kreditur tersebut pertama;
2. untuk seorang pembeli suatu barang tak bergerak, yang memakai
uang harga barang tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada
siapa barang itu diperikatkan dalam hipotek;
3. untuk seorang yang terikat untuk melunasi suatu utang bersama-
sama dengan orang lain, atau untuk orang lain dan berkepentingan
untuk membayar utang itu;
4. untuk seorang ahli waris yang telah membayar utang-utang warisan
dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan
hak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta
peninggalan itu.

Pasal 1403
Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang lalu terjadi, baik
terhadap orang-orang penanggung utang maupun terhadap para
debitur, subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur
jika ia hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini ia dapat
melaksanakan hak-haknya mengenai apa yang masih harus dibayar
kepadanya, lebih dahulu daripada orang yang memberinya suatu
pembayaran sebagian.
22

C. Unsur-Unsur Subrogasi
Setidaknya ada tiga unsur-unsur subrogasi sebagaimana terkandung
dalam pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:8
1. Perpindahan Hak Kreditur kepada Pihak Ketiga
Penggantian atau perpindahan hak kreditur kepada pihak ketiga
merupakan akibat dari subrogasi. Hak kreditur disini adalah hak-hak
yang dimiliki oleh kreditur terhadap debiturnya. Sedangkan pihak ketiga
adalah pihak yang bukan kreditur maupun debitur. Pihak ketiga
memperoleh subrogasi tersebut karena ia membayar utang debitur.
kondisi demikian, bukan berarti setiap pembayaran yang dilakukan pihak
ketiga atas utang debitur dapat dikategorikan peristiwa subrogasi. Karena
pada prinsipnya, pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga tidak
menimbulkan subrogasi atau bahkan tagihan baru. Hanya saja dalam
kondisi-kondisi tertentu Undang-Undang menentukan lain.
2. Pembayaran oleh Pihak Ketiga
Pihak ketiga baru mendapatkan hak-hak subrogasi jika
pembayaran yang dilakukan kepada kreditur atas piutang yang sah dan
dapat dilakukan subrogasi. Kalau debitur ternyata tidak punya utang
kepada kreditur, dalam hal sudah dilakukan pembayaran. Maka tidak
terjadi subrogasi, dan pihak ketiga tidak dapat menagih debitur untuk
uang yang telah dibayarkan kepada kreditur.
3. Terjadinya Melalui Perjanjian dan Undang-Undang
Unsur terakhir ini sebagaimana tertuang dalam pasal 1402 dan
1403 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Unsur ini akan dijelaskan
kemudian pada sub bab mengenai pembagian subrogasi.
D. Akibat Hukum
Akibat hukum subrogasi yang paling nyata adalah beralihnya hak
tuntutan dan kedudukan kepada pihak ketiga. Sehingga setelah dilakukan
subrogasi, debitur harus membayar utangnya kepada pihak ketiga. Peralihan

8
J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Pencampuran Utang (Bandung:
Alumni, 1999) h. 50
23

kedudukan itu, meliputi segala hak dan tuntutan.9 Pinjam meminjam uang
merupakan suatu perjanjian pokok yang biasanya diikuti oleh berbagai
perikatan lainnya, seperti gadai, fidusia, hipotek dan hak tanggungan sebagai
perjanjian accesoir. Sifat suatu perjanjian accesoir adalah mengikuti
perjanjian pokoknya. Sehingga dengan subrogasi, maka hak kreditur sebagai
pemegang gadai, fidusia, hipotek dan hak tanggungan juga beralih kepada
pihak ketiga sebagai kreditur baru.10
Namun demikian perlu juga diperhatikan keabsahan perjanjian
pokoknya, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang ataupun perjanjian kredit.
Sebab pembebanan jaminan seperti gadai, fidusia, hipotek dan hak
tanggungan adalah perjanjian yang bersifat accesoir, artinya sah atau
tidaknya perjanjian accesoir tergantung pada keabsahan perjanjian pokoknya.
Selain itu perlu diperhatikan, hak dan tuntutan hanya sebatas apa yang
dimiliki oleh kreditur lama. Tidak boleh pihak ketiga menambah hal-hal
diluar yang telah ada. Sebagai mana ditegaskan oleh M. Yahya Harahap
sebagai berikut:11
1. Sesuai prinsip peralihan, pihak ketiga dapat menuntut pembatalan
perjanjian, sebab tuntutan pembatalan bukan “hak tambahan”
(nevenrechten), tetapi semata-mata masih tetap merupakan
“tuntutan pokok” yang melekat pada perjanjian. Sepanjang
tuntutan masih merupakan tuntutan pokok yang melekat pada
setiap perjanjian, harus dianggap sebagai “akibat peralihan” (akibat
hukum) yang melekat pada subrogasi.
2. Demikian juga keadaanya “meng-anulir perjanjian” karena alasan
tidak cakap (onbekwaam), salah sangka (dwaling), pemaksaan
(dwang) dan penipuan (bedrog). Masih merupakan tuntutan pokok
yang beralih kepada pihak ketiga sebagai akibat subrogasi.
3. Tuntutan “ganti rugi” (schadevergoeding) adalah tuntutan pokok
yang melekat pada setiap perjanjian, bukan hak tambahan.
Karenanya tuntutan pihak yang menerima subrogasi atas ganti rugi
wajib dipenuhi oleh debitur. Malah hakikat ganti rugi, bukan saja
tuntutan pokok yang beralih kepada pihak ketiga sebagai akibat
subrogasi. Tapi ganti rugi adalah tuntutan yang berdiri sendiri
berdasar kekuatan Undang-Undang yang diberikan oleh Undang-

9
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h. 130
10
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, h. 16
11
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h. 131
24

Undang itu sendiri kepada setiap kreditur terhadap debitur yang


melakukan kelalaian.
4. Serupa juga halnya “rente” atau bunga yang telah dibayarkan oleh
pihak ketiga, dengan sendirinya beralih pada pihak ketiga, dan
dapat dituntut kepada debitur. Akan tetapi jika hal itu tidak ada
dibayarkan pada waktu subrogasi terjadi, pihak ketiga tidak berhak
menuntut rente dari debitur.
5. Subrogasi hanya mengalihkan hak dan tuntutan sepanjang apa
yang dibayarkan pihak ketiga kepada lreditur. Kalau yang
dibayarkan pihak ketiga hanya sebagian saja dari utang, berarti hak
dan tuntutan yang beralih kepada pihak ketiga hanya sebagian saja.
Sebesar apa yang telah dibayarkannya.

Sebaliknya, debiturpun mempunyai hak melawan tagihan yang


dilakukan oleh pihak ketiga dalam subrogasi. Sepanjang perlawanan itu
merupakan hak perlawanan yang melekat pada setiap perjanjian pokok
yang dapat dilawankannya kepada kreditur semula. Dengan demikian
segala perlawanan yang dapat dilakukan oleh debitur terhadap kreditur
semula beralih kepada pihak ketiga sebagai akibat hukum dari subrogasi.

E. Pembagian Subrogasi
1) Subrogasi berdasarkan Perjanjian
Subrogasi berdasarkan perjanjian disebut juga dengan
subrogasi kontraktual, sebagaimana tertuang dalam pasal 1401 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Maksudnya adalah seluruh proses
subrogasi merupakan persetujuan antara kreditur dan pihak ketiga. 12
Sehingga tidak bisa dilakukan secara sepihak.
Subrogasi berdasarkan perjanjian, sebagaimana pasal 1401
menentukan bagaimana subrogasi terjadi hanya ada dua kemungkinan
yang limitatif, Artinya tidak ada subrogasi lain berdasarkan perjanjian
selain yang telah diatur pada pasal tersebut.13 Dua kemungkinan
tersebut sebagaimana dijelaskan pada pasal 1401 ayat (1) dan (2)
adalah sebagai berikut.14

12
M. Yahya harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h. 132
13
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 2007) h. 683
14
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1401
25

a. Subrogasi atas inisiatif Kreditur


Pada jenis ini krediturlah yang mengajukan subrogasi
kepada pihak ketiga. Selanjutnya kreditur mendapatkan
pembayaran dari pihak ketiga dan dengan tegas menyatakan
bahwa pihak ketiga menggantikan hak-hak kreditur terhadap
debitur. Termasuk di dalamnya adalah gugatan, hak istimewa
maupun hipotek yang menjamin pelunasan debitur. Sehingga,
debitur hanya diberitahukan bahwa piutang telah beralih, dan
harus melakukan pembayaran kepada pihak ketiga. Menurut
Undang-Undang, subrogasi ini harus dilakukan secara tegas
dan pada saat yang sama, serta ketentuan tersebut bersifat
mutlak harus dipenuhi. Ketentuan tersebut menghindarkan
dari:15
1) Subrogasi yang tidak jelas tertulis dalam suatu akta,
sehingga adanya subrogasi harus disimpulkan dari kata-
kata.
2) Kreditur lama yang bertindak curang, sehingga terjadi
situasi yang merugikan debitur.
b. Subrogasi atas inisiatif Debitur
Pada subrogasi ini, debiturlah yang bersifat aktif, bahkan
kreditur tidak dilibatkan. Sehingga yang melakukan perjanjian
subrogasi adalah pihak ketiga dengan debitur.
kemungkinannya, debitur meminjam uang dari pihak ketiga
untuk melunasi utangnya kepada kreditur. Kemudian
menetapkan bahwa pihak ketiga menggantikan hak-hak
kreditur terhadap debitur. Agar subrogasi ini sah maka pinjam
meminjam yang dilakukan oleh debitur dan kreditur harus
dinyatakan dalam akta otentik. Pelunasan tersebut harus
ditegaskan merupakan penyebab terjadinya subrogasi. Agar

15
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, h. 684
26

perjanjian subrogasi sah, setidaknya harus memperhatikan hal-


hal sebagai berikut:16
1) Dalam akta pinjam meminjam antara debitur dengan pihak
ketiga harus disebut bahwa pinjaman itu dilakukan untuk
membayar utang debitur kepada kreditur;
2) Dalam kwitansi pembayaran kepada kreditur, disebutkan
dengan jelas bahwa pembayaran tersebut berasal dari
pinjaman pihak ketiga;
3) Dan perjanjian pinjam meminjam serta kwitansi di atas
harus dituangkan ke dalam akta notaris.
2) Subrogasi berdasarkan Undang-Undang
Pada pasal 1400 terdapat peristiwa-peristiwa dimana ada
pembayaran oleh pihak ketiga atas utang-utang debitur terhadap
kreditur yang secara otomatis Undang-Undang menghendaki
terjadinya subrogasi. J. Satrio menjelaskan yang dimaksud subrogasi
berdasarkan Undang-Undang adalah pembayaran oleh pihak ketiga
dan pembayaran tersebut memenuhi unsur-unsur daripada salah satu
peristiwa-peristiwa yang disebut dalam pasal 1402.17
Menurut Vollmar sebagaimana dikutip oleh Tan Thong Kie
menyebutkan bahwa keadaan subrogasi yang digambarkan pada pasal
1402 tidaklah besifat limitatif.18 Setidaknya terdapat empat keadaan
yang menghendaki terjadinya subrogasi berdasarkan Undang-Undang.
Sebagaimana tercantum pada pasal 1402 ayat (1) sampai ayat (4),
diantaranya sebagai berikut:19
1) Seorang kreditur melunasi utang debitur kepada kreditur lain atas
kepentingannya sendiri, yang sifat utangnya memiliki hak
mendahului (voorecht).

16
Ibid.
17
J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Pencampuran Utang, h. 72
18
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, h. 685
19
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1402
27

2) Pembeli suatu benda tidak bergerak, melunasi utang hipotik


penjual yang melekat pada benda yang dibelinya. Tujuannya agar
benda tersebut terlepas dari beban utang hipotik.
3) Beberapa orang debitur yang berkewajiban melunasi utang kepada
seseorang kreditur, jika salah seorang debitur melakukan
pembayaran melunasi utang, debitur yang membayar tadi dengan
sendirinya mengambil alih kedudukan kreditur terhadap debitur-
debitur lainnya.
4) Seoarang ahli waris dengan uangnya sendiri melunasi semua utang
yang tersangkut pada harta warisan. Maka hak dan tuntutan yang
melekat pada harta warisan beralih kepada ahli waris yang telah
membayar utang harta warisan tersebut.
F. Perbedaan Subrogasi dengan Cessie dan Novasi
Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat
beberapa konsep penyelesaian utang piutang selain subrogasi, yaitu cessie
dan novasi. Perbedaan ketiga konsep ini menurut penulis perlu di
paparkan, karena dalam bab selanjutnya wawasan ini diperlukan untuk
mendukung proses analisis penulis. Tan Thong Kie dalam bukunya
menjelaskan bahwa cessie adalah penyerahan suatu piutang atas nama
yang dilakukan oleh kreditur kepada orang lain, dengan penyerahan itu
orang yang disebutkan terakhir ini menjadi kreditur bagi seorang debitur
yang dibebani dengan piutang tersebut.20 Sedangkan Novasi adalah
Pembaharuan utang atas dasar kesepakatan para pihak (debitur dan
kreditur) dengan menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang sama
perjanjian tersebut diganti dengan perjanjian baru.21
Definisi di atas menunjukkan adanya perbedaan antara subrogasi
dengan cessie dan novasi. Namun pada pembagiannya, subrogasi memiliki
letak kesamaan baik dengan cessie maupun novasi. Seperti halnya,
subrogasi kontraktual dengan cessie memiliki kesamaan yaitu sama-sama

20
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, h. 688
21
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h. 142
28

terjadinya perpindahan hak piutang dari kreditur kepada pihak ketiga


dengan cara pembayaran. Untuk membedakan letak perbedaannya, penulis
telah sajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Subrogasi Kontraktual dengan Cessie

Subrogasi Kontraktual Cessie


1. Subrogasi terjadi karena 1. Cessie terjadi karena pembelian
persetujuan piutang
2. Peralihan hak dan tuntutan kepada 2. Pemindahan dan peralihan hak dan
pihak ketiga merupakan akibat yang tuntutan kreditur kepada pihak ketiga
timbul oleh karena pembayaran utang oleh karena cessionaris membayar
debitur oleh pihak ketiga dalam arti membeli utang debitur
3. Pembayaran didasarkan untuk dari kreditur dengan harga yang lebih
menolong kepentingan debitur murah dari dari utang debitur yang
sehingga antara jumlah yang sebenarnya
dibayarkan oleh pihak ketiga dan 3. Cessie didasarkan pada suatu
yang diterima nantinya harus sama keuntungan dari pembayaran yang
dilakukan

Selanjutnya, subrogasi juga memiliki kemiripan dengan Novasi


subjektif aktif, yaitu pada skema penggantian kreditur oleh kreditur baru
dan perpindahannya pun tidak memiliki unsur spekulatif seperti cessie.
Namun, keduanya tetap memiliki perbedaan yang mendasar sebagai
berikut:

Tebel 2.2 Perbedaan Subrogasi dengan Novasi Subjektif Aktif

Subrogasi Novasi
1. Perjanjiannya merupakan perjanjian 1. Perjanjian sebelumnya hapus dan
yang sama, Namun kedudukan lahir perjanjian baru dengan para
kreditur diganti oleh pihak ketiga pihak baru juga
2. Terjadi melalui pembayaran 2. Terjadi bukan melalui
29

pembayaran

Perbedaan di atas merupakan sebagian kecil saja. Secara lengkap


perbedaan antara subrogasi dengan cessie dan novasi dapat dilihat dari
tabel sebagai berikut:

Tabel 2.3 Perbedaan Subrogasi dengan Cessie dan Novasi

Kategori Subrogasi Cessie Novasi


Definisi Penggantian Penyerahan suatu Pembaharuan
kedudukan kreditur piutang atas nama utang atas dasar
oleh pihak ketiga yang dilakukan oleh kesepakatan para
sebagai akibat kreditur kepada pihak (debitur dan
pembayaran yang pihak ketiga. kreditur) dengan
dilakukan oleh pihak menghapuskan
ketiga. perjanjian lama
dan pada saat yang
sama perjanjian
tersebut diganti
dengan perjanjian
baru
Dasar Buku III Kitab Buku III Kitab Buku III Kitab
Hukum Undang-Undang Undang-Undang Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal Hukum Perdata Hukum Perdata
1400 sampai dengan Pasal 613 sampai Pasal 1413 sampai
pasal 1403 dengan pasal 624 dengan pasal 1424
Unsur- 1) Ada kreditur dan 1) Terjadi 1) Kesepakatan
Unsur debitur pelimpahan hak-hak antara kedua belah
2) Adanya atas piutang tersebut pihak
pembayaran yang kepada pihak ketiga. 2) Perikatan lama
dilakukan pihak 2) Pemberitahuan dihapus, diganti
ketiga kepada telah terjadi cessie dengan perikatan
30

kreditur kepada Debitur baru


3) Terjadi karena
perjanjian dan
Undang-Undang
Sifat 1) Subrogasi 1) Perjanjian 1) Perjanjian
merupakan perjanjian accesoir tidak accesoir turut
bersifat accesoir hapus, hanya beralih dihapus jika
dimana perjanjian kepada pihak ketiga perjanjian
tersebut ikut beralih sebagai kreditur pokoknya dihapus,
kepada pihak kreditur baru kecuali para pihak
baru sesuai perjanjian 2) Debitur sangat secara tegas
pokok pasif, dia hanya menyatakan
2) Debitur bisa aktif diberitahukan telah sebaliknya
dan bisa pasif (sesuai terjadinya peralihan 2) pada hakikatnya
jenis subrogasi) kepada kreditur novasi merupakan
3) Tidak mutlak harus baru, agar dia dapat hasil perundingan
menggunakan akta, melakukan antara kreditur,
kecuali subrogasi pembayaran kepada debitur dan pihak
yang lahir dari kreditur baru ketiga
perjanjian dimana 3) Membutuhkan 3) Novasi tidak
debitur menerima akta baik akta mutlak harus
uang dari pihak ketiga otentik maupun menggunakan akta
untuk kemudian dibawah tangan 4) Pemberitahuan
dibayarkan kepada 4) Cessie hanya tidak diperlukan,
kreditur. berlaku kepada karena novasi
4) Pemberitahuan debitur setelah dilakukan
diperlukan, tetapi adanya berdasarkan
bukan merupakan pemberitahuan kesepakatan para
syarat bagi 5) perjanjian lama pihak
berlakunya subrogasi tidak hapus, hanya 5) perjanjian lama
31

5) Perjanjian lama beralih kepada pihak dihapus dan


tetap ada dan ketiga sebagai digantikan dengan
kedudukan kreditur kreditur baru perjanjian baru
digantikan oleh pihak 6) Terjadi karena 6) tidak ada
ketiga terdapat perhitungan perhitungan untung
6) Terjadinya adalah untung rugi pihak rugi
untuk menolong ketiga (spekulatif)
debitur maupun
kreditur (bersifat
social)
7) Subrogasi harus
dinyatakan dengan
tegas, karena tujuan
pembayaran pihak
ketiga adalah untuk
menggantikan posisi
kreditur lama
8) Subrogasi
dilakukan tepat pada
saat pembayaran
Subjek 1) Setiap orang yang 1) Subjek Cessie Pembaharuan
dinyatakan cakap adalah orang utang hanya dapat
hukum sesuai dengan perorangan atau dilakukan oleh
ketentuan pasal 1329 korporasi orang-orang yang
KUH Perdata 2) Para pihak yang cakap untuk
2) Para pihak yang menjadi subjek mengadakan
menjadi subjek cessie terdiri dari: perikatan sesuai
subrogasi terdiri dari: a) Cedent yaitu pasal 1414 KUH
a) Pihak berutang kreditur atau pihak Perdata
atau Debitur yang mengalihkan
32

b) Pihak berpiutang hak tagihnya


atau Kreditur b) Cessus atau
c) Pihak ketiga yaitu debitur
pihak yang c) Cessionaris yaitu
memberikan pihak ketiga yang
pinjaman kepada menerima
debitur untuk penyerahan hak
membayar utangnya tagih dari kerditur
kapada kreditur lama
sekaligus
menggantikan
kedudukan kreditur
tersebut
Objek 1) Benda bergerak 1) Piutang-piutang 1) Benda bergerak
baik berwujud atas nama baik berwujud
maupun tidak 2) Barang-barang maupun tidak
berwujud lain yang tidak berwujud
2) Benda tidak berwujud 2) Benda tidak
bergerak baik bergerak baik
berwujud maupun berwujud
tidak berwujud
Hapusnya Perikatan dengan Perikatan beralih Hapusnya
Perikatan kreditur lama hapus kepada kepada perikatan antara
karena pembayaran, pihak ketiga sebagai kreditur dan
selanjutnya pihak kreditur baru debitur didasarkan
ketiga menggantikan atas kesepakatan
posisinya kedua belah pihak
Terjadinya 1) Terjadinya 1) Cessie terjadi Novasi terjadi
Perikatan perikatan karena ada karena perjanjian karena adanya
pembayaran yang para pihak kesepakatan antara
33

dilakukan oleh pihak 2) Cessie juga dapat kedua belah pihak


ketiga kepada terjadi akibat untuk melakukan
kreditur baik secara berbagai peristiwa pembaharuan
langsung maupun perdata berupa utang
tidak langsung perjanjian jual beli
2) Subrogasi dapat
terjadi karena
Undang-Undang dan
perjanjian
3) Subrogasi terjadi
selama belum
diadakan perbuatan
hukum pemindahan
hak milik dari penjual
kepada pembeli
Pembagian 1) Subrogasi - 1) Novasi Objektif
berdasarkan 2) Novasi
perjanjian terdiri dari: Subjektif, terdiri
a) Subrogasi atas dari:
inisiatif kreditur a) Aktif
b) Subrogasi atas b) Pasif
inisiatif debitur
2) Subrogasi
berdasarkan Undang-
Undang

G. Perbandingan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata
Suatu teori hukum memiliki kemungkinan berbeda dengan
praktiknya di lapangan. Tergantung sejauh mana para subjek hukum
memahami dan mematuhi aturan KUH Perdata tersebut. Perbedaan praktik
34

dengan teori tersebut menjadi hal yang penting, karena dapat memberikan
celah terjadinya sengketa dikemudian hari, bahkan pembatalan perjanjian
demi hukum. Oleh karena itu penulis membandingkan sebuah Draft
Perjanjian Utang Piutang Subrogasi dengan teorinya yang telah penulis
paparkan di atas. Draft perjanjian tersebut akan penulis lampirkan pada
akhir skripsi ini. Setelah penulis menganalisis keduanya, terdapat beberapa
perbedaan antara pelaksanaan perjanjian subrogasi dengan teori atau
aturan hukum subrogasi, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.4 Perbedaan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata

Teori Praktik
1. Pihak ketiga merupakan pihak luar 1. Pihak ketiga memiliki hubungan
yang tidak memiliki hubungan perikatan dengan pihak pertama
perikatan, baik dengan kreditur (kreditur).
maupun debitur Pihak ke-2 berutang kepada pihak ke-1
Pihak ke-1 berutang kepada pihak ke-3
Sehingga terjadi pengalihan utang
menjadi Pihak ke-2 berutang kepada
pihak ke-3
Kondisi ini serupa dengan Novasi
subjektif aktif dan pasif (Double
Novasi)
2. Pembayaran Pihak ketiga ditujukan 2. Pembayaran pihak ketiga ditujukan
untuk melunasi/membayar utang untuk memberi utang kepada pihak
debitur pertama (kreditur)
3. Subrogasi dilakukan dengan tegas 3. Subrogasi tidak dilakukan dengan
bersamaan pada saat pembayaran tegas bersamaan pada saat pembayaran
berlangsung pihak ketiga berlangsung
4. Sejak tanggal perjanjian subrogasi, 4. Kreditur lama (pihak Pertama) masih
Kreditur lama (pihak pertama) sudah berhak untuk meminta pelaksanaan dan
35

tidak berhak ikut campur dengan pelunasan kewajiban debitur (pihak


perjanjian tersebut kedua) kepada pihak ketiga
5. Kreditur lama sudah tidak dapat 5. Kreditur lama masih bisa memiliki
menerima pembayaran dari debitur kemungkinan menerima pembayaran
dari debitur, dengan syarat maksimal 2
hari pembayaran tersebut sudah
diserahkan kepada pihak ketiga. Bahkan
terdapat pengenaan bunga jika kreditur
lama telat menyampaikan
pembayarannya kepada pihak ketiga
sebesar 2% perbulan

Jenis subrogasi pada draft perjanjian tersebut adalah subrogasi


kontraktual atas inisiatif kreditur. Hal tersebut terlihat dari kedudukan
kreditur sebagai pihak pertama yang mengalihkan piutangnya kepada
pihak ketiga. Sehingga dalam praktiknya harus mematuhi aturan yang
tertera dalam Pasal 1401 ayat (1) yaitu:
bila kreditur, dengan menerima pembayaran dari pihak ketiga,
menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan
hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa dan hipotek-
hipoteknya terhadap debitur; Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas
dan dilakukan bersamaan dengan waktu pembayaran.22

Jika perjanjian subrogasi tidak sesuai dengan ketentuan pasal di


atas maka perjanjian tersebut beresiko batal demi hukum. Sama halnya
dengan draft perjanjian subrogasi ini. Terdapat perbedaan sebagaimana
telah dipaparkan pada tabel di atas yang sangat bertentangan dengan
kaidah pasal tersebut. Perbedaan tersebut terletak pada subrogasi yang
tidak dinyatakan secara tegas bersamaan dengan waktu pembayaran.
Bahkan pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga kepada kreditur
terjadi dalam perjanjian yang berbeda dan murni merupakan perjanjian

22
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1401
36

utang piutang antara keduanya, bukan sebagai penyebab terjadinya


subrogasi atau pembayaran atas utang debitur.

Padahal Tan Thong Kie telah menegaskan bahwa menurut


Undang-Undang, ketentuan subrogasi tersebut mutlak harus dipenuhi.
Terlebih melihat posisi subrogasi kontraktual sebagai ketentuan yang
limitatif. Sehingga menunjukkan tidak ada subrogasi selain keadaan yang
digambarkan dalam ketentuan tersebut.23 Keadaan di atas cenderung akan
merugikan para pihak, karena kedudukan perjanjiannya lemah di hadapan
Undang-Undang. Sehingga sangat memiliki kemungkinan terjadi
wanprestasi dan sengketa para pihak.

Selanjutnya, menurut penulis hubungan hukum para pihak


sebagaimana yang tertuang dalam draft perjanjian subrogasi lebih cocok
untuk dilakukan perikatan Novasi Subjektif aktif pasif (double novasi) dari
pada subrogasi. Karena telah memenuhi unsur Double Novasi, yaitu
sebagai berikut:

Pihak ke-2 berutang kepada pihak ke-1

Pihak ke-1 berutang kepada pihak ke-3

Karena utang antara kedua perjanjian utang piutang itu sama


nilainya, maka tinggal dilakukan pembaharuan utang (novasi) berupa
penggantian kreditur dan debitur secara sekaligus, namun isi dan nilai
perjanjiannya tetap sama. Kreditur dan debitur baru tersebut berturu-turut
adalah pihak ke-3 dan pihak ke-2.

Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh M. Yahya Harahap


bahwa notaris subjektif aktif pasif bisa terjadi ketika A berutang kepada B,
atas jumlah utang yang sama pula B berutang kepada C. Secara novasi
dapat terjadi yang aktif dan pasif, dengan jalan A oleh B dihubungkan

23
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, h. 684
37

langsung kepada C. Berarti A menjadi debitur baru kepada C, dan C


sendiri merupakan kreditur baru pula kepada A. 24 Sehingga A harus
membayar utangnya langsung kepada C.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian praktik


subrogasi masih memiliki perbedaan, bahkan tidak sesuai dengan
ketentuan yang mengaturnya. Padahal ketentuan Undang-Undang sangat
jelas mengatur hal tersebut. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh kapasitas
seorang legal dalam memahami seluruh konsep perikatan yang terdapat
pada KUH Perdata. Karena jika mereka mengetahui terdapat konsep
novasi subjektif aktif dan pasif, pasti mereka akan memilih untuk
menuangkan penyelesaian utang piutang tersebut melalui novasi (dalam
kasus draft perjanjian subrogasi ini).

24
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h. 147
BAB III

SUBROGASI BERDASARKAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL


MAJELIS ULAMA INDONESIA

A. Hawalah, Hawalah al-Haq dan Subrogasi Syariah


1. Hawalah
Hawalah secara bahasa artinya adalah al-Intiqal (pindah), diucapkan “hăla
‘anil ‘ahdi” (berpindah, berpaling, berbalik dari janji).1 Hal itu selaras dengan yang
diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jaziri bahwa hawalah adalah Pemindahan dari
satu tempat ke tempat yang lain2
Sehingga dapat kita ketahui bahwa hawalah menurut bahasa bermakna
memindahkan, mengoperkan dan atau mengalihkan. Sedangkan definisi hawalah
menurut istilah antara lain sebagai berikut:
a. Menurut ulama Hanafiyyah hawalah adalah memindahkan penuntutan atau
penagihan dari tanggungan pihak yang berutang kepada tanggungan pihak al-
Multazim (yang harus membayar utang, dalam hal ini adalah al-Muhăl alaih).
b. Selain ulama Hanafiyyah (ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah)
mendefinisikan Hawalah sebagai sebuah akad yang menghendaki pemindahan
suatu utang dari tanggungan ke tanggungan lain.3
c. Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hawalah adalah peralihan
utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain. 4

1
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-6 (Edisi Indonesia) (Depok: Gema
Insani, 2007) h. 84
2
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo,2002), h. 99
3
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-6 (Edisi Indonesia), h.85
4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h.100

38
39

d. Idris Ahmad berpendapat bahwa Hawalah adalah semacam akad pemindahan


utang dari tanggungan seseorang kepada orang lain, dimana orang lain itu
mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya. 5

Dari berbagai pendapat di atas dapat kita lihat persamaan, bahwa hawalah adalah
sebuah akad mengalihkan utang dari pihak debitur (muhĭl) kepada pihak ketiga
(muhăl ‘alaihi) yang bersedia menggantikan posisinya untuk membayar utang
tersebut kepada kreditur (muhăl).

Adapun landasan hukum dari hawalah adalah Firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an (QS. Al-Maidah [5]: 2)

‫ب‬ َ َ‫ والتَّقُواْ اللَّهَ اِنَّ اللَّه‬,‫اَلثْ ِم وا ْلعُ ْد و'ن‬


ِ ‫ش ِد ْيدُا ْل ِعقَا‬ َ َ‫ َو ََل تَع‬،‫علَى أْ ْل ِب ِر والت َّ ْق َوى‬
ِ ْ ‫اونُواْ َعلَى‬ َ ‫اونُ ْوأ‬
َ َ‫َوتَع‬

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan


dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya”

Ayat ini merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapa
pun selama tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan.6 Allah menganjurkan untuk
melakukan kerjasama dalam hal kebaikan dan meninggalkan hal-hal yang munkar.
Maka ayat ini bisa menjadi dasar hukum umum bagi hawalah, karena asas yang
terkandung dalam konsep hawalah pun merupakan tolong menolong dalam
kebaikan. Selanjutnya, secara khusus Hawalah diatur dalam hadis yang
diriwiyatkan oleh al-Bukhari:

ُ ‫ع ْنهُ أَنَّ َر‬


‫س ْو َل‬ َ ‫ج ع َْن أ َ ِبي هٌ َري َْرةَ َر ِض‬
َ ُ‫ي اللَّه‬ ِ ‫الزنَا ِد ع َْن األَع َْر‬ ِّ ِ ‫ف أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلكُ ع َْن أ َ ِبي‬ َ ‫س‬ َ ‫َح َّدثَنَا‬
ُ ‫ع ْبدُاللَّ ِه ْب ُن يُ ْو‬
‫ي ٍّ َف ْل َيتْ َب ْع‬
ِّ ‫علَى َم ِل‬َ ‫ظ ْل ٌم َف ِإ َذا اُتْبِ َع ا َ َح ُد ٌك ْم‬ ِّ ‫سلَّ َم قَا َل َم ْط ُل ا ْلغَ ِن‬
ُ ِ‫ي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى اللَّه‬ َ ‫اللَّ ِه‬

5
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) h.
560
6
M. Qurais Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol.3 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.17
40

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah


mengabarkan kepada kami malik dari Abu al-Zanad dari al-A’raj dari Abu
Hurairah Ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda menunda-nunda
pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezhaliman. Dan
apabila salah seorang diantara kamu sekalian dialihkan kepada orang yang
mampu, maka hendaklah ia menerimanya.” 7
Hadits ini diriwayatkan oleh Ashhabul Kutubis Sittah, yaitu: Bukhari,
Muslim, Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits tersebut
merujuk pada keabsahan akad hawalah. Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW.
memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang
meng-hawalahkan kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia menerima
hawalah tersebut dan menagih kepada orang yang pihak ketiga (muhăl ‘alaihi).
Sehingga haknya dapat terpenuhi. Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah
untuk menerima hawalah dalam hadits tersebut menunjukan sunnah, bukan wajib.
Berbeda dengan Imam Daud dan Ahmad berpendapat bahwa perintah dalam hadits
itu menunjukan wajib. Namun, intinya hadits ini menunjukan bahwa akad hawalah
adalah sah dan diperbolehkan oleh syariah.8
Hawalah sudah lebih dulu dikenal dalam industri keuangan syariah di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena fatwa tentang hawalah telah ada sejak tahun
2000. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa akad hawalah merupakan akad
pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung (membayarnya). Sebagaimana penulis telah jelaskan pada bab
sebelumnya, bahwa dalam industri keuangan, konsep penyelesaian utang tidak
akan dapat dihindari. Sehingga tidak heran fatwa tentang hawalah inipun segera di
positifisasi menjadi Surat Edaran Bank Indonesia dan masuk ke dalam Undang-

7
Sahih Bukhari, Hadits Nomor 2125
8
Rachmadi Usman, Produk Dan Akad Perbankan Syariah Di Indonesia, Implementasi Dan
Aspek Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h. 280
41

Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.. Sehingga perbankan


syariah dapat melakukan transaksi pengalihan utang nasabahnya.
Dikeluarkannya produk jasa Hawalah, didasarkan pada pertimbangan
bahwa terkadang seseorang tidak mampu untuk membayar utang kepada orang lain
secara tunai. Oleh karena itu, agar pihak yang memberi utang tidak merasa
dirugikan, maka pihak yang berutang mengalihkan utangnya kepada pihak lain
dalam hal ini lembaga keuangan syariah.
Pengaturan lainnya mengenai hawalah terdapat pada Konfilasi Hukum
Ekonomi Syariah, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah memberikan
langkah prefentif untuk menanggulangi sengketa dalam pelaksanaan hawalah di
lembaga keuangan syariah. Agar para pihak terjamin dan terlindungi oleh hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa KHES ini telah dijadikan rujukan oleh Peradilan
Agama dalam memutus perkara sengketa ekonomi syariah di Indonesia.
Menurut pasal 318 Konfilasi Hukum Ekonomi Syariah menjelaskan Rukun
Hawalah antara lain:9
a. Muhĭl (Peminjam);
b. Muhăl (Pemberi Pinjaman);
c. Muhăl ‘Alaihi (Penerima Hawalah);
d. Muhăl Bih (Utang), dan
e. Akad.

Rukun-rukun tersebut juga sama dengan pendapat jumhur ulama. Selanjutnya


mengenai syarat hawalah, M. Ali Hasan dalam bukunya menerangkan:10

9
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008
tentang Konfilasi Hukum Ekonomi Syariah, h.84
10
M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (fiqh muamalat) (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004), h.222
42

a. Syarat bagi pihak pertama (debitur/muhĭl):


1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum, dalam bentuk akad yaitu balig
dan berakal. Hawalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia
sudah mengerti (mumayyiz) ataupun dilakukan oleh orang gila;
2) Ada persetujuan (Ridha). Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan
hawalah maka akad tersebut tidak sah. Persyaratan yang dibuat berdasarkan
pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga
dirinya, jika kewajibannya untuk membayar dialihkan kepada pihak lain.
Meskipun pihak lain itu memang berutang kepadanya.
b. Syarat bagi pihak kedua (kreditur/muhăl):
1) Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu balig dan berakal;
2) Disyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang
melakukan hawalah (Madzhab Hanafi dan sebagian besar Madzhab
Malikiyyah dan Syafi’iyah). Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan
pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-
beda, ada yang mudah da ada pula yang sulit. Sedangkan menerima
pelunasan itu merupakan hak pihak kedua. Jika hawalah dilakukan secara
sepihak saja, pihak kedua dapat saja merasa dirugikan.
c. Syarat bagi pihak ketiga (muhăl ‘alaihi):
1) Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat
pihak pertama dan kedua;
2) Disyaratkan ada pernyataan persetujuan dari pihak ketiga (Madzhab
Hanafiyyah). Sedangkan madzhab lainnya tidak mensyaratkan hal ini.
Sebab dalam akad hawalah pihak ketiga dipandang sebagai objek akad.
Dengan demikian persetujuannya tidak termasuk syarat sah hawalah;
3) Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
menambahkan, bahwa Kabul tersebut dilakukan dengan sempurna oleh
pihak ketiga dalam suatu majelis akad.
43

Syarat-syarat hawalah di atas senada dengan syarat hawalah yang


terkandung dalam kitab Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaili,
meskipun secara tektstual tidak sama. Lebih lengkapnya Wahbah az-Zuhaili
menerangkan bahwa syarat-syarat Muhăl Bih ada dua, yaitu:11

a. Muhăl bih harus berupa al-dain (harta yang berupa utang), maksudnya pihak
muhĭl memang memiliki tanggungan utang kepada pihak muhăl. Apabila
tidak, maka akad tersebut adalah akad wakalah (perwakilan) sehingga
selanjutnya secara otomatis hukum dan peraturan yang berlaku adalah hukum
dan peraturan akad wakalah. Berdasarkan syarat ini maka tidak sah
mengadakan akad hawalah dengan muhăl bih berupa harta al-ain (barang,
harta yang barangnya berwujud secara konkrit, kebalikan dari al-dain) yang
barangnya masih ada, belum rusak atau binasa. Karena al-Ain tersebut bukan
merupakan sesuatu yang berada dalam tanggungan.
b. Tanggungan utang yang ada sudah positif dan bersifat mengikat (lăzim) seperti
utang dalam akad pinjaman uang (qardh). Oleh karena itu tidak sah pada masa
lalu akad hawalah dengan muhăl bih adalah harga al-Mukatabah (sejumlah
uang yang dibayarkan oleh si budak kepada majikannya sebagai syarat
kemerdekaannya), sedangkan si budak adalah sebagai muhăl ‘alaihi. Karena
apa yang harus dibayar oleh budak mukatab agar dirinya bisa merdeka itu tidak
bersifat mengikat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa setiap tanggungan
utang yang tidak sah dijadikan makful bih, juga tidak sah dijadikan sebagai
muhăl bih. Harus berupa utang yang hakiki, sudah nyata dan positif, tidak
bersifat spekulatif dan masih mengandung kemungkinan ada dan tidak. Yaitu
utang yang biasanya para fuqaha menyebutnya dengan utang yang shahih.

Mengenai syarat muhăl bih ini terdapat perbedaan pandangan dari ulama
Hanabilah yang memperbolehkan hawalah terhadap utang berupa mukatabah

11
Wahbah az-Zuhaili, Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-6 (Edisi Indonesia),
h. 90
44

dan utang berupa harga pembelian selama masa khiyar. Sedangkan ulama
Syafi’iyah memperbolehkan utang tersebut belum positif dan mengikat, akan
tetapi akan berujung positif dan mengikat dengan sendirinya. Seperti utang
berupa harga pembelian yang dibarengi dengan khiyar di dalam akad, mahar
sebelum si suami menggauli istri, dan biaya sewa atau upah sebelum
terpenuhinya kemanfaatam barang yang disewa atau kemanfaatan tenaga orang
yang dipekerjakan.

Selanjutnya mengenai pembagian hawalah dalam berbagai literatur


banyak yang mengutip pendapat Ulama Hanafiyyah, mereka membagi dari sisi
lain hawalah dan dari segi objek akad. dari sisi lain hawalah terbagi menjadi: 12

a. Hawalah muqayyadah adalah pemindahan sebagai ganti dari pembayaran


utang muhăl ‘alaihi kepada muhĭl.
b. Hawalah mutlaqah merupakan pemindahan utang yang tidak ditegaskan
sebagai ganti rugi dari pembayaran utang muhăl ‘alaihi kepada muhĭl.

Kemudian, ditinjau dari segi objek akad, maka hawalah dapat dibagi menjadi:

a. Hawalah al-Dain, yaitu pemindahan yang dilakukan merupakan kewajiban


untuk membayar utang. Sedangkan
b. Hawalah al-Haq, yaitu apabila yang dipindahkan itu merupakan hak untuk
menuntut utang.
2. Hawalah al-Haq
Meskipun hawalah sudah ada sejak awal, sebagaimana tertera di dalam
Fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, namun konsep hawalah yang
lebih dikenal adalah hawalah Muqayyadah berupa hawalah al-Dain. Hal itu dapat
dilihat dari rukun yang diatur dalam fatwa tersebut, yaitu :
Rukun hawalah adalah muhĭl, yaitu orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang, muhăl atau muhtal, yaitu orang berpiutang kepada muhĭl, muhăl

12
Ibid.
45

‘alaih, yaitu orang yang berutang kepada muhĭl dan wajib membayar utang
kepada muhtal, muhăl bih, yaitu utang muhĭl kepada muhtal, dan sighat (ijab-
qabul).13
Tentu dengan pengaturan rukun tersebut menjadikan makna hawalah
menjadi sempit. Bahkan Ismail dalam skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum
Islam terhadap Subrogasi dalam Hukum Perdata”14 menyimpulkan bahwa letak
perbedaan subrogasi dengan hawalah adalah pada sebab terlaksananya transaksi
masing-masing. Meskipun terlihat mirip, namun memiliki perbedaan yang
mendasar, yaitu sebab terlaksananya hawalah memang karena pihak ketiga
memiliki utang kepada debitur, maka sudah menjadi kepentingannya pihak ketiga
untuk melakukan pembayaran kepada kreditur atas utang debitur tersebut.
Otomatis beliau menyimpulkan bahwa transaksi hawalah memang merupakan
kepentingan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sedangkan subrogasi
merupakan pemindahan hak tagih dari kreditur lama kepada kreditur baru, dalam
hal ini pihak ketiga (kreditur baru) tidak memiliki kepentingan awalnya. Hanya
saja dengan terlaksananya subrogasi pihak ketiga ini berubah kedudukannya
menjadi kreditur.
Sekilas kesimpulan di atas memang seperti memiliki perbedaan. Tapi
jika di telaah kembali maka akan terlihat kemiripan antara dua hal yang
dibandingkan dengan pembagian hawalah dari segi objeknya sebagaimana telah
penulis paparkan di atas, yaitu hawalah al-Dain dan Hawalah al-Haq.
Kesimpulan tersebut pantas terjadi, berhubung fatwa yang lahir sepuluh
tahun kemudian setelah penulisan skripsi itupun masih menjadikan pemilikan
utang muhăl ‘alaihi kepada muhĭl sebagai rukun terjadinya hawalah. Dengan
keadaan tersebut, maka kebutuhan keuangan berupa transaksi pengalihan utang
menjadi belum terakomodir. Sehingga tidak heran keadaan ini mendorong
keluarnya Fatwa No: 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah Bil Ujrah. Hal ini

13
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah, h. 2
14
Ismail, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Subrogasi Dalam Hukum Perdata (Skripsi S-1
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1990) h.60
46

terlihat jelas dalam poin yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya fatwa


tersebut “bahwa fatwa DSN No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah belum
mengatur hawalah muthlaqah dan ketentuan ujrah/fee dalam hawalah”. Namun
sayang, sampai fatwa yang kedua inipun mengenai hawalah belum bisa
mengakomodir konsep pengalihan utang subrogasi, atau dalam hal ini hawalah
al-Haq.
Hawalah al-Haq memiliki pengertian yaitu memindahkan hak dari
da’in (pihak yang berpiutang/kreditur) kepada da’in yang lain. Atau dengan kata
lain adanya da’in (kreditur) baru yang menempati posisi da’in asli bagi madĭn
(pihak yang berutang/debitur).15 Hawalah al-Haq merupakan kebalikan dari
Hawalah al-dain Muqayyadah. Karena yang terjadi pada hawalah al-dain adalah
perpindahan status madĭn lama kepada madĭn baru. Sebaliknya, dalam Hawalah
al-Haq yang berpindahnya adalah kedudukan da’in lama kepada da’in baru.
Maka pada Hawalah al-dain orang yang mengalihkan/bertindak sebagai muhĭl
adalah madĭn (debitur), sedangkan pada hawalah al-Haq orang yang
mengalihkannya/muhĭl adalah da’in (kreditur). Perbedaan keduanya dapat dilihat
dalam tebel berikut:
Tabel 3.1 Perbedaan Hawalah al-Dain Muqayyadah dan Hawalah al-Haq
Hawalah al-dain
Kategori Hawalah al-Haq
muqayyadah
Debitur (Madĭn lama) da’in (orang yang
Muhĭl (pihak yang
memiliki piutang kepada
mengalihkan)
Debitur/ madĭn)
Da’in/ kreditur madĭn/Debitur
Muhăl (pihak yang
menerima pengalihan)

15
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-6 (Edisi Indonesia), h.95
47

Madĭn baru (pihak Al-dain baru (pihak


Muhăl ‘alaihi
ketiga yang bertanggung ketiga yang mempunyai
jawab atas utang hak atas pembayaran
debitur) dari pihak debitur)
Mensyaratkan debitur Tidak perlu adanya
Kepemilikan piutang
(Madĭn lama) memiliki piutang debitur terhadap
oleh debitur
piutang atas pihak pihak ketiga
ketiga, sebagaimana
ketentuan Fatwa DSN
Nomor: 12/DSN-
MUI/IV/2000 tentang
Hawalah
Terjadinya pengalihan Terjadinya pengalihan
Akibat hukum
penagihan dari Hak Tagih dari
madĭn/debitur kepada da’in/kreditur kepada
pihak ketiga/madĭn lain pihak ketiga sebagai
da’in baru.

Hawalah al-Haq hukumnya juga boleh berdasarkan kesepakatan


keempat madzhab, tidak hanya oleh ulama Hanafiyyah saja sebagaimana yang
dipahami oleh sebagian pakar syariat dan hukum. Alasannya adalah dalam
hawalah al-dain pun sebenarnya terjadi perpindahan al-Haq, yaitu ketika madĭn
memindahkan utangnya kepada madĭn yang lain (muhăl ‘alaihi), sama halnya
dengan madĭn/debitur memindahkan piutangnya terhadap muhăl ‘alaihi, kepada
muhăl/kreditur. Jadi mayoritas ulama menganggapnya kedua konsep tersebut
memiliki irisan yang sama dalam pelaksanaannya. 16

16
Ibid., h. 96
48

Diantara bentuk hawalah al-Haq yang tercakup di dalam hawalah yang


berbentuk muqayyad seperti, seorang penjual (yaitu muhĭl) mengadakan akad
hawalah dengan orang yang berpiutang (yaitu muhăl) dengan pihak pembeli
sebagai muhăl ‘alaihi, sedangkan muhăl bih (sesuatu yang dialihkan) adalah
harga pemberlian barang yang dijual. Maka dari kejadian contoh di atas terjadi
pengalihan da’in (penjual yang sudah menyerahkan barangnya kepada pembeli)
kepada da’in baru yang merupakan orang yang memiliki piutang kepada penjual
tersebut. Sehingga pembeli yang asalnya harus melunasi harga pembelian
barangnya terhadap penjual, berpindah pembayaran tersebut kepada da’in baru
tadi (orang yang berpiutang kepada penjual).
3. Subrogasi Syariah
Fatwa Dewan Syariah Nasional mendefinisikan “subrogasi berdasarkan
prinsip syariah adalah pergantian hak da'in lama oleh da'in baru karena piutang
da'in lama dilunasi oleh da'in baru berdasarkan prinsip syariah.”17 Kemudian
penulis dalam penelitian ini mengistilahkan dengan istilah Subrogasi Syariah.
Akad yang digunakan di dalam subrogasi syariah ini adalah akad hawalah al-
Haq. Keberadaan fatwa tentang subrogasi ini merupakan jawaban dari kebutuhan
praktis mengenai penyelesaian utang pada lembaga keuangan syariah. Hal ini
menunjukkan fatwa sebelumnya tentang Pengalihan Pembiayaan Murabahah
antar LKS belum efektif, karena memang bersifat khusus. Sedangkan dengan
hadirnya fatwa subrogasi ini memberikan keleluasaan penyelesaian utang pada
lembaga keuangan syariah (bukan hanya akad murabahah).
Pada sisi yang lain, hadirnya fatwa inipun merupakan permintaan dari
Bank Permata Syariah atas konsep subrogasi. Hal tersebut sesuai dengan surat
yang diterima Dewan Syariah Nasional dengan Nomor
38/SYAPRODUCTISWV112016 tanggal 7 Juni 2016.18 Dari segi bahan

17
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarka Prinsip Syariah, h. 7
18
Ibid.
49

pertimbangan dikeluarkannya fatwa subrogasi ini juga tidak berbeda dengan


pendapat ulama-ulama madzhab yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya.

Beberapa ketentuan khusus yang perlu diperhatikan dalam subrogasi


syariah antara lain:19

a. Biaya subrogasi yang timbul menjadi beban da'in lama dan da'in baru sesuai
kesepakatan;
b. Bentuk subrogasi yang disertai dengan kompensasi dalam hukum perdata
Indonesia dikenal dengan Cessie;
c. Pengalilian piutang (melalui jual beli) harus memenuhi ketentuan-ketentuan
khusus berikut:
1) Piutang uang (al-dain al-naqdi) hanya boleh dialihkan dengan barang
(sil'ah) sebagai alat bayar (tsaman);
2) Piutang yang akan dialihkan harus jelas jumlah dan spesifikasinya;
3) Piutang yang dialihkan tidak sedang dijadikan jaminan (al-rahn). Piutang
yang sedang dijadikan jaminan boleh dijual setelah mendapat izin dari
penerima jaminan;
4) Barang (sil'ah) yang dijadikan sebagai alat pembayaran (tsaman) harus
barang yang halal, jelas jenis serta nilainya sesuai kesepakatan;
5) Ketika transaksi pengalihan piutang dilakukan, da'in baru harus sudah
memiliki sil'ah yang akan dijadikan tsaman, baik dibeli di Bursa maupun
di luar Bursa, baik dibeli sendiri maupun melalui wakil;
6) Pembayaran harga atas pengalihan piutang harus dilakukan secara tunai;
dan
7) Subrogasi hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah berdasarkan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

19
Ibid., h. 9
50

B. Dasar Hukum
Dasar hukum Subrogasi syariah ini adalah Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 tentang
Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
C. Pembagian Subrogasi Syariah
Surbrogasi syariah terdiri dari dua jenis, yaitu:20
1. Subrogasi Tanpa Kompensasi (‘iwadh)
Subrogasi tanpa kompensasi (‘iwadh) adalah pergantian hak da'in lama
oleh da'in baru karena piutang da'in lama dilunasi oleh da'in baru berdasarkan
prinsip syariah tanpa adanya kompensasi (iwadh) yang di dapatkan oleh para
pihak (da’in). Kompensasi (‘Iwadh) disini memiliki pengertian imbalan
(prestasi) yang diterima para pihak (da’in lama dan da’in baru) pada subrogasi
yang disertai pertukaran prestasi, baik bersifat menguntungan atau tidak.
Subrogasi jenis ini memiliki mekanisme sebagai berikut:
a. Da 'in memiliki piutang kepada madĭn;
b. Da'in mengajukan penawaran kepada pihak ketiga (calon da'in baru) untuk
mengalihkan piutangnya; dan pihak ketiga rnenyetujuinya;
c. Da'in (lama) dan pihak ketiga (da'in baru) melakukan akad subrogasi
pengalihan piutang; dan
d. Da'in baru menerima pembayaran dari nasabah secara bertahap sesuai
kesepakatan
2. Subrogasi Dengan Kompensasi (‘iwadh)
Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadh) merupakan proses pergantian
hak da’in lama oleh da’in baru karena piutang da’in lama dilunasi oleh da’in
baru berdasarkan prinsip syariah dengan menyertakan imbalan (prestasi) yang
di terima oleh para pihak (da’in lama dan da’in baru) baik bersifat

20
Ibid., h. 8
51

menguntungkan maupun merugikan. Subrogasi dengan kompensasi (iwadh) ini


terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Subrogasi Dengan Kompensasi (‘Iwadh) dan Tanpa Wakalah Pembelian
Barang
Subrogasi jenis ini adalah proses subrogasi dengan imbalan
prestasi para pihak da’in (lama) dan da’in (baru) tanpa menggunakan akad
wakalah pembelian barang di dalamnya. Wakalah di sini merupakan akad
pemberian kuasa dari pihak ketiga (da'in) baru kepada da'in (lama) untuk
membeli sil'ah (barang); dan pemberian kuasa dari da'in baru kepada da'in
(lama) untuk menerima pembayaran utang dari madĭn. Mekanisme
subrogasi ini adalah sebagai berikut:
1) Da’in mengajukan pengalihan piutangnya kepada pihak ketiga;
2) Pihak ketiga rnenyetujui penawaran tersebut setelah dilakukan analisis
dari berbagai sisi;
3) Pihak ketiga membeli barang di Bursa atau di luar Bursa yang disetujui
DSN-MUI untuk mengalihkan piutang (melalui jual beli) milik da'in;
4) Da'in dan pihak ketiga melakukan akad pengalihan piutang dan
dilakukan:
a) Da'in menyerahkan dokumen piutang kepada pihak ketiga;
b) Pihak ketiga (Da'in baru) menyerahkan barang untuk membayar
harga piutang Da'in (lama); dan
5) Da'in baru dapat memberikan kuasa (akad wakalah) kepada da'in lama
untuk menerima pembayaran dan atau pelunasan utang dari madĭn
untuk disampaikan kepada da'in baru.
b. Subrogasi Dengan Kompensasi (‘Iwadh) Dan Wakalah Pembelian Barang
Subrogasi ini merupakan kebalikan dari jenis sebelumnya, yang
dalam pelaksanaannya terdapat proses pemberian kuasa dari pihak ketiga
(da'in baru) kepada da'in (lama) untuk membeli sil'ah (barang); dan
kemungkinan pemberian kuasa dari da'in baru kepada da'in (lama) untuk
52

menerima pembayaran utang dari madĭn. Subrogasi ini memiliki


mekanisme sebagai berikut:
1) Da 'in rnengajukan pengalihan piutangnya kepada pihak ketiga;
2) Pihak ketiga menyetujui penawaran tersebut setelah dilakukan analisis
dari berbagai sisi;
3) Pihak ketiga memberi kuasa (akad wakalah) kepada Da'in untuk
membeli barang yang akan dijadikan harga (tsaman);
4) Da'in dan pihak ketiga melakukan akad pengalihan piutang dan
dilakukan:
a) Da'in menyerahkan dokumen piutang kepada pihak ketiga;
b) Pihak ketiga (da'in baru) nrenyerahkan barang untuk membayar
harga piutang da'in lama; dan
5) Da'in baru dapat memberikan kuasa (akad wakalah) kepada da'in lama
untuk menerima pembayaran dan atau pelunasan utang dari madĭn
untuk disampaikan kepada da'in baru.
D. Akibat Hukum
Akibat hukum dari pelaksanaan subrogasi syariah antara lain sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan subrogasi syariah ini mengakibatkan perubahan kedudukan da’in
lama da’in baru sehingga debitur harus membayar utangnya kepada da’in baru
tersebut
2. Pada kondisi lain, jika da'in baru memberikan kuasa (akad wakalah) kepada
da'in lama untuk menerima pembayaran dan atau pelunasan utang dari madĭn
maka pembayaran debitur tetap dilakukan kepada da’in lama meskipun
subrogasi telah dilaksanakan.
3. Dalam hal subrogasi dengan kompensasi maka dengan dilakukan subrogasi
tersebut sudah otomatis terjadi perpindahan kepemilikan barang yang dijadikan
tsaman oleh da’in baru kepada da’in lama.
53

E. Bai al-Dain
Bai al-dain adalah akad jual beli yang objeknya berupa piutang/tagihan.
Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-5 membagi
jual beli piutang sebagai berikut:21
1. Menjual Piutang Dengan Utang
Dalam fiqih, transaksi ini dikenal dengan bai al-dain bi al-dain atau
dalam hadits dikenal dengan bai al kali bi al-kali. Hukum jual beli seperti ini tidak
boleh. Alasan pelarangan tersebut adalah hadits Nabi SAW..
‫سلَّ َم نَ َهى ع َْن بَ ْي ِع ا ْلكَا ِل ِئ ِبا ْلكَا ِل ِئ‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع ْنهُ أَنَّ النَّ ِب َّى‬
َ ُ‫ص َّلى الله‬ َ ُ‫ع َم َر َر ِض َي الله‬
ُ ‫ع َِن ا ْب ِن‬
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW.
melarang jual beli utang dengan utang.”22
Menjual piutang dengan utang ini memiliki dua bentuk, yaitu:
a. Bai al-dain lil Madĭn merupakan transaksi jual beli piutang oleh seseorang
kepada orang yang berutang tersebut. Contohnya adalah jika seseorang
membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu, lalu pada saat
jatuh tempo, penjual tersebut tidak mendapatkan barang untuk menutupi
utangnya. Lantas berkata kepada pembeli “juallah barang ini kepadaku
dengan tambahan waktu lagi, dengan imbalan tambahan barang, kemudian
pembeli tersebut menyetujuinya tanpa terjadi serah terima barang. Cara
seperti ini merupakan riba karena terjadi penambahan waktu dan jumlah
barang.
b. Bai al-dain li Ghairi madĭn adalah menjual piutang kepada orang lain yang
bukan berutang. Seperti halnya seseorang berkata kepada orang lain “saya
jual 50 Kg beras milikku yang dipinjam oleh A dengan harga sekian dan
kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu bulan.” Maka transaksi juga
termasuk jual beli yang tidak diperbolehkan.

21
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-5 (Edisi Indonesia) (Depok: Gema
Insani, 2007) h. 97
22
Daruquthni, Kitab al-Buyu’, Hadits Nomor 3105
54

2. Menjual Piutang dengan Tunai pada Saat Transaksi


Terjadi perbedaan pendapat menyikapi hukum jenis jual beli seperti ini,
dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Bai al-dain lil Madĭn, kebanyakan ahli fiqih dari empat madzhab
memperbolehkan menjual piutang atau menghibahkan piutang kepada
orang yang berutang. Karena penghalang dari sahnya menjual piutang
dengan utang adalah karena ketidak mampuan menyerahkan objek akad.
Sementara dalam jual beli piutang kepada orang yang berutang di sini, tidak
diperlukan lagi penyerahan objek akad. karena piutang sudah berada pada
orang yang meminjamnya.
b. Bai al-dain li Ghairi madĭn, Hanafiyyah dan Zahiriyah mengatakan bahwa
pada dasarnya tidak boleh menjual barang yang tidak bisa diserahkan. Maka
menjual piutang kepada bukan debiturnya tidak boleh. Sebagian ulama
Syafi’iyyah memperbolehkan menjual piutang yang tetap kepada debitur
atau pihak lain, sebelum piutang itu diterima oleh kreditor. Karena secara
dzahir, kreditur mampu menyerahkan barang tanpa ada halangan atau
penolakan. Contoh piutang yang tetap adalah nilai barang yang dirusak dan
barang yang ada pada debitur. berbeda dengan barang yang tidak tetap,
seperti halnya dalam transaksi salam, karena adanya larangan umum
terhadap jual beli barang yang belum diterima barangnya. Ulama Hanabilah
pun mengatakan tidak sah menjual piutang kepada orang selain debitur.
sedangkan Malikiyyah berpendapat jual beli ini boleh dilaksanakan, akan
tetapi harus memnuhi syarat di antaranya: 23
1) Jual beli tidak mengakibatkan kepada pelanggaran syariah;
2) Piutang harus dijual dengan harga tunai;

23
Rizka Maulan, Hukum Bai Ad-Dayn (Jual Beli Piutang), diakses pada tanggal 3 Juli 2018 dari
http://www.rizkamaulan.blogspot.com/2013/04/hukum-bai-ad-dayn-jual-beli-piutang.html?m=0/
55

3) Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang tetapi harus ada
persamaan jumlahnya;
4) Harga tidak boleh emas jika yang jadi piutangnya adalah perak;
5) Adanya kemungkinan kuat dilunasinya utang oleh debiitur;
6) Debitur harus mengakui kepemilikan utangnya;
7) Debitur merupakan orang yang mampu membayar utangnya;
8) Tidak ada konfllik antara debitur dengan pembeli piutang.

Dari penjelasan pembagian jual beli piutang di atas, maka dapat


diketahui jenis jual beli piutang yang tidak boleh (tidak ada ikhtilaf di kalangan
ulama) adalah jual beli piutang secara tidak tunai (bai al-Dain bi al-Dain), baik
kepada madĭn (orang yang berutang) maupun kepada orang lain. Sebagaimana Ijma
ulama yang menjadi pertimbangan dalam fatwa Subrogasi, yaitu:

‫علَى ا َنَّ بَ ْي َع ال َّد ْي ِن بِال َّد ْي ِن ََليَ ُج ْو ُز‬


َ ‫َواَجْ َمعُ ْوا‬
Artinya: “Para Ulama telah konsensus bahwa bai al-dain bi al-dain itu
tidak dibolehkan.”24

Sedangkan jual beli piutang secara tunai diperbolehkan oleh


Malikiyyah dan Syafi’iyyah dengan syarat dan ketentuan yang telah dibahas di atas.
Hal itu didasarkan pada Hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda:

ُ‫احبُه‬
ِ ‫ص‬َ ‫ب ال َّد ْي ِن أ َ ْو َلى إِذَا أَدَّى ِمثْ َل الَّذِي أَدَّى‬
ُ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ َ‫علَى َر ُج ٍل ف‬
َ ‫ع َد ْينًا‬
َ ‫َم ِن ا ْبتَا‬
Artinya: "Siapa saja yang membeli piutang dari pihak lain, maka pihak
yang berutang lebih berhak untuk membelinya apabila harganya sama
dengan jumlah yang harus dibayar oleh pihak yang berutang.” 25

24
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah h. 3
25
Ibid, h. 4
56

Hadis di atas memperlihatkan kebolehan dala jual beli piutang, namun


harus secara tunai. Jual beli piutang secara tunai inilah yang dijadikan sebagai dasar
diperbolehkannya subrogasi dengan kompensasi (‘iwadh). Sebagaimana keputusan
Lembaga Fikih Islam OKI:

‫س ْل َع ٍة ُم َع َّينَ ٍة‬
ِ ‫ َب ْي ُع ال َّد ْي ِن ِب‬: ‫ص ْو ِر َب ْي ِع ال َّد ْي ِن ا ْل َجا ِئ َز ِة‬
ُ ‫ِم ْن‬
Artinya: “Di antara bentuk-bentuk bai al-dain2 yang dibolehkan adalah
menjual piutang dengan komoditas tertentu.” (Keputusan Lembaga
Fikih Islam OKI no. 158 [17/7] tentang bai al-dain)26

F. Perbandingan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Fatwa Dewan


Syariah Nasional MUI
Subrogasi berdasarkan prinsip syariah menekankan pada penghilangan
semua aspek yang dapat mengharamkan pada sebuah transaksi. Ketika sebuah
pengalihan piutang dilakukan dengan alat tukar berupa uang, maka yang berlaku
disana adalah hukum Sharf, karena terjadi pertukaran uang dengan uang. Salah
satu ketentuan Sharf pada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 28 tahun
2002 adalah “apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka
nilainya harus sama dan secara tunai (at-Taqabudh).”27 Jika dalam pertukarannya
terdapat perbedaan, maka hal tersebut tergolong riba.
Namun, terkadang terdapat perbedaan antara teori dan prktiknya di
lapangan. Oleh karena itu penulis melakukan perbandingan antara teori yang telah
dijelaskan di atas dengan praktiknya pada lembaga keuangan syariah. Perjanjian
yang dijadikan pembanding berupa Akta Akad Pembiayaan Pengalihan Utang.
Perbedaaan yang ditemukan pada akta tersebut antara lain sebagai berikut:

26
Ibid, h. 6
27
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata
Uang (al-Shaf), h. 3
57

Tabel 3.2 Perbedaan Teori dan Praktik Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah
Kategori Teori Praktik
Mekanisme Da’in lama mengajukan Nasabah (madin) mengajukan
subrogasi kepada da’in baru pinjaman kepada bank (da’in
baru) untuk melunasi utangnya
kepada da’in lama
Subjek Nasabah (madin) bukan Nasabah (madin) menjadi pihak,
Hukum merupakan para pihak dalam bahkan yang mempunyai inisiatif
akad subrogasi, bersifat pasif melakukan subrogasi
bahkan bisa saja tidak
mengetahui bahwa telah terjadi
penggantian da’in
Transaksi 1. Piutang uang harus dialihkan 1. Piutang uang dialihkan dengan
dengan barang (sil’ah) sebagai uang
alat tukarnya (tsaman) 2. Ujrah merupakan sejumlah
2. Kompensasi (iwadh) uang yang dibayarkan oleh
merupakan imbalan para pihak nasabah (madin) sebagai imbalan
atas pertukaran prestasi baik jasa bank (pihak ketiga) sehingga
untung maupun rugi terdapat selisih antara yang
dibayarkan bank (da’in baru)
kepada da’in lama dengan yang
harus dibayarkan oleh nasbah
(madin) sebesar Rp
22.077.474.095,24.
Instrumen 4.Pengalihan Piutang (Hawalah 4. Pengalihan utang berupa
Akad al-Haq) Hawalah al-Dain Mutlaqah
58

Beban Biaya Biaya subrogasi yang timbul Biaya subrogasi yang timbul
menjadi beban da’in lama dan menjadi beban nasabah (madin)
da’in baru
Objek Subrogasi hanya dilakukan atas Merupakan utang yang hanya sah
piutang yang sah berdasarkan berdasarkan peraturan perundang-
syariah dan peraturan undangan saja
perundang-undangan
Hapusnya Perjanjian lama tidak hapus Terjadi hapus perjanjian
Perjanjian hanya penggantian hak piutang sebelumnya antara nasabah dan
oleh da’in baru Bank Nusantara, sebagai akibat
pembayaran oleh da’in baru
Denda Jikalau dikenakan denda, harus Pengenaan biaya administrasi
berupa denda yang telah untuk keterlambatan sebesar 0,069
diperjanjiakan dengan da’in persen dari besar angsuran perhari
sebelumnya, dengan penentuan keterlambatan.
besaran denda sejak awal dan
denda tersebut masuk menjadi
dana social (Fatwa No: 17/DSN-
MUI/IX/2000)

Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat


mendasar antara teori subrogasi dan praktiknya di lembaga keuangan syariah.
Perbedaan yang mendasar tersebut terletak pada segi transaksi, bahwa telah
terjadi pertukaran uang dengan uang yang berbeda jumlah. Selisih jumlah utang
tersebut menggunakan istilah sebagai upah atau ujrah untuk bank yang telah
membayar utang nasabah. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan
sebelumnya bahwa pertukaran pada subrogasi dengan kompensasi (iwadh)
59

mengharuskan menggunakan sil’ah (barang) sebagai alat tukarnya (tsaman).28


Akibatnya, debitur memiliki kewajiban membayar utangnya hampir dua kali
lipat, terlebih segala beban biaya yang timbul dari akad subrogasi menjadi
tanggungan debitur. Berbeda dengan teori subrogasi pada fatwa yang
menghendaki debitur tetap memiliki jumlah utang yang sama. Kemudian
keuntungan (kompensasi) para pihak (da’in lama dan da’in baru) di dapatkan
dari pertukaran prestasi (barang dengan piutang) bukan dibebankan kepada
debitur (madin).29 Begitupun jika terdapat biaya yang timbul dalam
pelaksanaan subrogasi menjadi tanggungan keduanya.

Mekanisme yang terjadi pada praktik subrogasi pun hampir sama


dengan subrogasi atas inisiatif debitur pada KUH Perdata. Keadaan ini
menunjukkan secara jelas bahwa background notaris adalah Hukum Perdata,
sedangkan wawasan mengenai hukum ekonomi syariahnya kurang. Dengan
duplikasi dari subrogasi berdasarkan inisiatif debitur ini mempengaruhi subjek
hukum yang melakukan akad subrogasi. Pada subrogasi menurut fatwa
seharusnya madin tidak dilibatkan sama sekali. Sedangkan praktiknya, madin
malah bertindak sebagai inisiator terjadinya subrogasi. Keadaan tersebut
menunjukkan perbedaan instrument akad yang digunakan. Pada praktiknya,
subrogasi menggunakan akad pengalihan utang Hawalah al-Dain Mutlaqah,
sedangkan ketentuan fatwa menggunakan Hawalah al-Haq.

Selanjutnya, objek piutang yang dialihkan pun tidak sah berdasarkan


syariah, karena transaksi ini merupakan perikatan nasabah dengan sebuah bank
konvensional. Hal ini bertentangan dengan ketentuan fatwa bahwa “Subrogasi
hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan

28
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah h. 9
29
Ibid.
60

perundang-undangan yang berlaku”30 Ketentuan tersebut bersifat limitatif


sehingga tidak terjadi subrogasi jika objek piutangnya tidak sah menurut
syariah. Jika dilihat pada baris berikutnya pada tabel di atas, menunjukkan
bahwa dengan adanya akta tersebut menjadikan perjanjian utang piutang
sebelumnya hapus. Hal tersebut menjadi masuk akal, karena dengan hapus dan
dibuatnya perjanjian baru akan menghilangkan unsur ketidaksesuaiannya
dengan syariah. Namun, bukannya sesuai dengan syariah, malah pada
perjanjian baru (akta) tersebut masih menetapkan denda yang terindikasi riba.

Denda tersebut didasarkan pada persentase dari jumlah tagihan. Padahal


perihal denda telah secara jelas diatur pada fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) Nomor: Fatwa No: 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang sanksi atas nasabah
mampu yang menunda-nunda pembayaran. Salah satu ketentuannya
menyebutkan bahwa “Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya
ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani” dan
“dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial” 31 Sehingga
jelas terdapat ketidaksesuaian sebagian isi akta tersebut dengan ketentuan
syariah. Hal ini menunjukkan ketidakkompetenan para pihak yang melakukan
pembuatan akta tersebut.

Seharusnya, sebagai seorang legal atau praktisi keuangan syariah harus


bisa memahami dengan benar kedudukan yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Sehingga ketika seorang notaris melakukan kesalahan membuat kontrak (tidak
sesuai dengan prinsip syariah), seorang legal dapat meluruskannya. Terlepas
dari background seorang legal ini sarjana hukum umum atau syariah, karena
hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi yang harus dijalaninya. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian dari praktik subrogasi yang

30
Ibid., h. 9
31
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas
Nasabah Yang Menunda-nunda Pembayaran, h. 3
61

dilakukan oleh praktisi, terdapat ketidakselarasan dengan ketentuan yang


terkandung di dalam fatwa tentang subrogasi berdasarkan prinsip syariah dan
kekurangan-kekurangan di atas sejatinya dapat menjadi bumerang bagi yang
menjalaninya. Bumerang di sini bermaksud bahwa kekurangan tersebut dapat
menjadi celah bagi terjadinya sengketa dikemudian hari.
BAB IV

PERBANDINGAN SUBROGASI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG


HUKUM PERDATA DAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

A. Persamaan dan Perbedaan Teori Subrogasi Berdasarkan KUH Perdata


dan Fatwa DSN MUI
Pada hakikatnya semua transaksi dalam bisnis adalah boleh, kecuali
ada dalil yang melarangnya. Hal tersebut memperlihatkan keluwesan syariah
dalam mengatur hubungan antar manusia. Terlebih, perkembangan transaksi
terkini yang begitu pesat dan semakin variatif. Hal itu senada dengan kaidah
ushul fiqih,

َ ‫اإلبَاحَةُ إِالَّ أ َ ْن يَّ ُد َّل َد ِل ْي ٌل‬


‫علَى ت َ ْح ِري ِْمهَا‬ ِ ‫ص ُل فِي ا ْل ُمعَا َمالَت‬
ْ ‫األ‬
Artinya: "Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 1

Sehingga, sebenarnya hukum asal subrogasi menurut KUH Perdata adalah


boleh, selama tidak ada dalil Al- Qur’an maupun Hadis yang melarang konsep
subrogasi tersebut. Larangan di sini bukan berarti larangan secara langsung
terhadap kata subrogasi. Melainkan konsep sebelumnya yang telah dilarang
syariat.

Kondisi ini menunjukkan pada dasarnya tidak ada perbedaan konsep


subrogasi, baik berdasarkan KUH Perdata maupun Fatwa DSN MUI. Hanya
saja karena tuntunan syariat, menyebabkan adanya persamaan dan perbedaan.
Adapun persamaan dan perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Definisi
Pada penjelasan (definisi) mengenai subrogasi pada KUH Perdata
dan Fatwa DSN MUI memiliki persamaan dan perbedaan. Pasal 1400
KUH Perdata menerangkan bahwa “Subrogasi atau perpindahan hak

1
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Praktis Cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2006) h. 130

62
63

kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur,


dapat terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang.”2 Sedangkan
dalam Fatwa “Subrogasi berdasarkan prinsip syariah adalah pergantian
hak da'in lama oleh da'in baru karena piutang da'in lama dilunasi oleh
da'in baru berdasarkan prinsip syariah.”3
Persamaannya terletak pada perubahan kedudukan pihak ketiga
menjadi kreditur (da’in) baru. Hanya saja, dalam KUH Perdata pihak
yang mengalihkan dan menerima pengalihan menggunakan istilah
“kreditur” dan “pihak ketiga”. Sedangkan dalam Fatwa menggunakan kata
“da’in lama” dan “da’in baru”. Kata kreditur atau kreditor memiliki arti
yang berpiutang; yang memberikan kredit; atau penagih.4 Dalam Kamus
Hukum Online Indonesia, kreditur merupakan individu maupun badan
hukum yang memiliki tagihan atau piutang terhadap debitur.5 Piutang ini
merupakan hak untuk menerima pembayaran (prestasi).
Adapun da’in merupakan istilah kreditur dalam bahasa arab.
Memiliki arti pihak yang mempunyai piutang terhadap madin (debitur).6
Sehingga persamaan yang dimiliki pada bagian ini terletak pada
perpindahan atau penggantian hak yang menyebabkan pihak ketiga
menjadi kreditur (da’in) baru. Sebab terjadinya juga sama, yaitu karena
pembayaran atau pelunasan terhadap piutang kreditur (da’in) lama.
Namun, penggunaan kata yang berbeda (“pembayaran” dan “dilunasi”)
memberikan maksud yang berbeda pula. Pada KUH Perdata, pembayaran
sebagian piutang pun menyebabkan terjadinya subrogasi. Meskipun hak
yang beralihnya juga sebesar yang dibayarkan. Berbeda dengan fatwa,
subrogasi baru terjadi jika piutang dibayar lunas.

2
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1400
3
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-?MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 7
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, diakses pada tanggal 3 Juli 2018 dari
https://kbbi.web.id/kreditor
5
Kamus Hukum Online Indonesia, diakses pada tanggal 3 Juli 2018 dari
http://kamushukum.web.id/arti-kata/kreditur/
6
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-?MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 7
64

Perbedaan lainnya, pada akhir penjelasan KUH Perdata subrogasi


didasarkan pada perjanjian dan Undang-Undang. Berbeda dengan Fatwa,
di akhir penjelasannya (definisi) mengharuskan subrogasi sesuai dengan
syariah. Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum kekayaan/harta
benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada
pihak lain untuk menunaikan prestasi.7 Perjanjian ini memiliki maksud
bahwa terjadinya subrogasi, merupakan upaya secara sengaja untuk
melakukan subrogasi. Sedangkan “karena Undang-Undang”, meskipun
tidak dikehendaki para pihak, secara otomatis mereka terikat dalam
perikatan subrogasi. Karena Undang-Undang menghendaki demikian.

Kemudian, “berdasarkan prinsip syariah” di dalam fatwa bermakna


sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Perbedaan ini bersifat
fundamental, karena menunjukkan boleh tidaknya suatu transaksi menurut
syariah. Persamaan selanjutnya, Subrogasi syariah juga terjadi berdasarkan
akad (perjanjian). Sebagaimana tercantum pada bagian mekanisme
subrogasi syariah, yaitu “Da'in (lama) dan pihak ketiga (da'in baru)
melakukan akad subrogasi pengalihan piutang”8 Akad dan perjanjian ini
memiliki makna yang sama. sebagaimana tertuang dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES), bahwa “akad adalah kesepakatan
dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan
atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu”9

2. Dasar Hukum
Dasar Hukum Subrogasi dalam hukum perdata adalah Buku Ketiga
tentang Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1400
sampai dengan pasal 1403. Berbeda dengan subrogasi syariah yang
memiliki dasar hukum berupa doktrin hukum yaitu Fatwa Dewan Syariah
7
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni, 1982), h. 6
8
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-?MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 8
9
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, h. 10
65

Nasional (DSN) Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi


Berdasarkan Prinsip Syariah. Meskipun belum ada regulasi hukum dari
fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) tersebut, fatwa tetap bisa dijadikan
rujukan produk pada Lembaga Keuangan Syariah. Alasannya setiap tahun
fatwa bisa keluar, namun untuk regulasi belum tentu setiap tahun keluar.
Sehingga untuk menghindari kekosongan hukum pada Lembaga Keuangan
Syariah, maka ketentuan fatwa bisa dijadikan rujukan langsung oleh
Lembaga Keuangan Syariah.
3. Subjek Hukum
Meskipun tidak disebut secara tegas di dalam KUH Perdata.
Namun secara tersirat menjelaskan bahwa Para pihak yang menjadi subjek
subrogasi terdiri dari:10
a. Pihak berutang atau Debitur;
b. Pihak berpiutang atau Kreditur;
c. Pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan pinjaman kepada debitur
untuk membayar utangnya kapada kreditur sekaligus menggantikan
kedudukan kreditur tersebut.

Terdapat persamaan dan perbedaan dengan subjek hukum pada


subrogasi syariah. Persamaannya terletak pada subjek hukum pihak
kreditur (da’in lama) dan Pihak ketiga (da’in baru). Meskipun pada
subrogasi atas inisiatif debitur, kreditur tidak dilibatkan sama sekali.
Sedangkan perbedaanya, fatwa subrogasi syariah tidak menjadikan debitur
sebagai para pihak yang melakukan akad, bahkan bisa jadi debitur tidak
mengetahui sama sekali telah terjadi perpindahan piutang. Jika dalam
KUH Perdata para pihak tidak disebutkan secara tegas, berbeda dengan
fatwa yang menyebutnya secara tegas pada ketentuan tentang Para Pihak
yang berbunyi:11

10
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1401
11
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 8
66

Pihak-pihak yang Melakukan Akad

a. Da'in lama sebagai pihak yang mengalihkan piutang; dan


b. Da'in baru sebagai pihak yang menerima pengalihan piutang.

Tentu ini menunjukkan bahwa dalam subrogasi syariah,


keterlibatan madin (debitur) tidak ada sama sekali. Penulis memahami
ketentuan fatwa yang menggambarkan debitur (madin) sebagai pihak yang
pasif adalah berdasarkan hadis Rasulullah SAW sebagai berikut:

َّ‫ع ْنهُ أَن‬ َ ‫ج ع َْن أَبِي هٌ َري َْرةَ َر ِض‬


َ ُ‫ي اللَّه‬ ِ ‫الزنَا ِد ع َْن األَع َْر‬
ِّ ِ ‫ف أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلكُ ع َْن أَبِي‬ َ ‫َح َّدثَنَا‬
ُ ‫ع ْبدُاللَّ ِه ْب ُن يُ ْو‬
َ ‫س‬
‫ي ٍّ فَ ْليَتْبَ ْع‬ َ ‫ظ ْل ٌم فَ ِإذَا اُتْبِ َع ا َ َح ُد ٌك ْم‬
ِّ ‫علَى َم ِل‬ ِّ ِ‫سلَّ َم قَا َل َم ْط ُل ا ْلغَن‬
ُ ِ‫ي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى اللَّه‬
َ ‫س ْو َل اللَّ ِه‬
ُ ‫َر‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah


mengabarkan kepada kami malik dari Abu al-Zanad dari al-A’raj dari
Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda menunda-nunda
pembayaran utang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezhaliman.
Dan apabila salah seorang diantara kamu sekalian dialihkan kepada
orang yang mampu, maka hendaklah ia menerimanya.” 12

Hadis tersebut merupakan anjuran Rasulullah SAW. kepada


debitur untuk menerima pengalihan utang (hawalah) kepada pihak ketiga
sebagai pihak yang mampu. Sikap menerima ini menunjukkan bahwa yang
melakukan akad hanyalah pihak Kreditur (da’in) lama dan pihak ketiga
(da’in) baru. Sedangkan madin (debitur) hanya menerimanya.

4. Objek Hukum
Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek
hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum, contoh:
benda/barang (segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai
ekonomis).13 Objek hukum di dalam subrogasi adalah piutang itu sendiri.

12
Sahih Bukhari, Hadits Nomor 2125
13
Kamus Hukum Online Indonesia, diakses pada tanggal 3 Juli 2018 dari
https://kamushukum.web.id/arti-kata/objek+hukum/
67

Namun pada pengaturan masing-masing terdapat perbedaan terkait kriteria


piutang tersebut.
Pada subrogasi berdasarkan KUH Perdata kriteria piutang yang
menjadi objek hukumnya adalah:14
a. Benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud
b. Benda tidak bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud

Sedangkan kriteria piutang yang disebutkan dalam fatwa adalah


“Subrogasi hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah berdasarkan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.15 Piutang yang
sah menurut Undang-Undang adalah suatu utang piutang yang dituangkan
di dalam perjanjian. Yaitu perjanjian yang berdasarkan hukum, sesuai
pasal 1320 KUH Perdata:

Pasal 1320
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.16
Tentu sejauh kriteria piutang harus sesuai dengan Undang-Undang,
keduanya memiliki persamaan. Tetapi ada syarat lain pada piutang
subrogasi syariah, yaitu piutang yang sah berdasarkan syariah. Kondisi ini
seakan berlaku asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu asas
penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum.17

Sehingga, tidak semua piutang yang sah berdasarkan Undang-


Undang dapat dijadikan objek hukum. Melainkan harus sah juga
berdasarkan syariah. Kesesuaian syariah (berdasarkan Al-Qur’an dan

14
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, h. 8
15
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 9
16
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1320
17
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Pers, 2004), h. 56
68

Hadis) ini yang menjadi pembeda dari objek hukum subrogasi


berdasarkan KUH Perdata. Kesesuaian syariah ini sangat perlu, karena
sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pelaksanaan
subrogasi pada Lembaga Keuangan Syariah itu melanjutkan perikatan
sebelumnya. Sehingga jika piutangnya tidak sesuai dengan syariah maka
dapat diartikan bahwa Lembaga Keuangan Syariah yang menerima
piutang tersebut melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.

Kemudian, Jika kita perhatikan pada pembahasan sebelumnya,


bahwa syarat piutang yang bisa dialihkan (hawalah) adalah piutang dalam
bentuk al-Dain (uang). Bukan dalam bentuk al-Ain (barang).18 Sedangkan
dalam KUH Perdata, objek hukum subrogasi bisa berupa piutang uang
maupun barang dengan syarat bisa dibayarkan oleh pihak ketiga.

Selain itu, Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) juga


mensyaratkan pembayarannya harus menggunakan sil’ah (barang)
sebagai alat tukar tsaman pada subrogasi dengan kompensasi (‘iwadh).
Hal ini tercantum pada bagian keempat tentang ketentuan khusus angka 3
huruf (a), yaitu “Piutang uang (al-dain al-naqdi) hanya boleh dialihkan
dengan barang (sil'ah) sebagai alat bayar (tsaman);” Sedangkan dalam
KUH Perdata tidak mengatur demikian. Yang terpenting adalah
terlaksananya pembayaran. Pembayaran ini bukan semata-mata dengan
uang, melainkan sebuah upaya pemenuhan perikatan yang akhirnya
menyebabkan hapusnya perikatan.

Upaya pemenuhan perikatan ini berupa melakukan atau


menunaikan prestasi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Ini menyebabkan tidak semua objek piutang bisa dilakukan subrogasi.
Karena pada beberapa kondisi, ada prestasi yang tidak dapat dilakukan
oleh orang lain selain debitur itu sendiri.19 Seperti objek prestasinya harus

18
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid Ke-6 (Edisi Indonesia) (Depok: Gema
Insani, 2007) h. 90
19
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h.130
69

membuat suatu lukisan tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh debitur.
Sehingga pembayaran pada subrogasi berdasarkan KUH Perdata bisa
dilakukan menggunakan uang atau barang dengan syarat hal tersebut bisa
dilakukan oleh pihak ketiga.

5. Unsur-Unsur
Unsur-unsur yang melekat pada subrogasi berdasarkan KUH
Perdata sebagaimana telah penulis uraikan pada bab sebelumnya, yaitu
terdiri dari:20
a. kreditur dan debitur
b. Pembayaran yang dilakukan pihak ketiga kepada kreditur
c. Terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang

Ketiga unsur itulah yang harus ada dalam subrogasi. Jika salah satunya
tidak ada, maka bisa disimpulkan perjanjian subrogasi tidak dapat
dilaksanakan. Kenapa demikian, karena unsur adalah bagian terkecil yang
harus ada bagi sesuatu, dalam hal ini subrogasi.

Sedangkan unsur-unsur subrogasi syariah dalam fatwa Dewan


Syariah Nasional (DSN) terdiri dari:21

a. Para pihak (da’in lama dan da’in baru)


b. Pelunasan
c. Terjadi melalui akad (perjanjian).
Pada bagian unsur-unsur cenderung sama, namun tetap terdapat
perbedaan pada pihak yang terlibat dalam perjanjian subrogasi. Pada
subrogasi syariah tidak ada keterlibatan madin (debitur) dalam akadnya.
Sedangkan dalam KUH Perdata debitur menjadi salah satu unsur yang
harus ada. Selanjutnya, baik KUH Perdata maupun Fatwa menjadikan
pembayaran sebagai syarat mutlak terjadinya pengalihan piutang
(subrogasi). Selain itu, pembayaran harus dilakukan pada seluruh piutang

20
J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Percampuran Utang,
(Bandung: Alumni, 1999) h. 50
70

yang dimiliki kreditur. Agar pihak ketiga mendapatkan hak seutuhnya


sebagai kreditur. Sesuai dengan pasal 1403 KUH Perdata:

Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang lalu terjadi, baik


terhadap orang-orang penanggung utang maupun terhadap para debitur,
subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika ia hanya
menerima pembayaran sebagian; dalam hal ini ia dapat melaksanakan hak-
haknya mengenai apa yang masih harus dibayar kepadanya, lebih dahulu
daripada orang yang memberinya suatu pembayaran sebagian. 22

Dari pasal tersebut dapat diketahui, bahwa subrogasi tetap terjadi


meskipun pembayaran hanya sebagian piutang. Tetapi hak yang berpindah
juga hanya sebesar piutang yang dibayar. Berbeda dengan subrogasi
syariah yang mengharuskan pelunasan. Sebagaimana tercermin dalam
pengertian subrogasi syariah yaitu: “Subrogasi berdasarkan prinsip syariah
adalah pergantian hak da'in lama oleh da'in baru karena piutang da'in lama
dilunasi oleh da'in baru berdasarkan prinsip syariah.”23 Selanjutnya pada
unsur terakhir, subrogasi syariah hanya terjadi melalui akad (perjanjian).
Sedangkan subrogasi pada KUH Perdata bisa melalui perjanjian dan
Undang-Undang.
6. Akibat Hukum
Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu
peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum.24 Akibat hukum dari
perjanjian subrogasi berdasarkan KUH Perdata adalah beralihnya piutang
kreditur kepada pihak ketiga yang melakukan pembayaran. 25 Dalam hal
piutangnya berbentuk uang, biasanya diikuti oleh pengikatan jaminan
seperti fidusia, gadai, hipotik dan hak tanggungan sebagai perjanjian
accesoir. Sifat perjanjian accesoir mengikuti perjanjian pokok, yaitu
perjanjian utang piutang. Dengan demikian, terlaksananya perjanjian

22
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1403
23
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 7
24
Kamus Hukum Online Indonesia, diakses pada tanggal 2 Juli 2018 dari
https://kamushukum.web.id/arti-kata/akibat+hukum/
25
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, h. 15
71

subrogasi mengakibatkan beralihnya pula hak atas jaminan tersebut dari


kreditur kepada pihak ketiga. Sebagaimana tercantum pada pasal 1401
ayat (1) yaitu:
bila kreditur, dengan menerima pembayaran dari pihak ketiga,
menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan
hak-haknya, gugatan-gugatannya, hakhak istimewa dan hipotek-
hipoteknya terhadap debitur; Subrogasi ini harus dinyatakan dengan tegas
dan dilakukan bersamaan dengan waktu pembayaran26

Namun, perlu diperhatikan keabsahan perjanjian pokoknya. Sebab,


pembebanan jaminan seperti gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan
adalah perjanjian yang bersifat accessoir. Sehingga sah atau tidaknya
perjanjian accessoir, tergantung pada keabsahan perjanjian pokok. Hal ini
menjadi penting, karena berhubungan dengan hak eksekusi yang dimiliki
pihak ketiga (kreditur baru). Sehingga pihak ketiga terlindungi dari
kemungkinan debitur tidak dapat memenuhi prestasinya.
Jika perjanjian accessoir tidak sah sedangkan perjanjian pokoknya
sah, maka kreditur sebagai kreditur preference tidak dapat melakukan
eksekusi atas benda yang dibebani gadai, fidusia, hipotek dan hak
tanggungan. Tetapi dalam kedudukannya sebagai kreditur konkuren,
sesuai pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa
semua harta benda debitur, demi hukum menjadi jaminan bagi utang-
utangnya kepada para kreditur dan hasil penjualan benda tersebut dibagi
secara prorata, menurut besar kecilnya.27
Akibat hukum dari subrogasi syariah juga sama dengan subrogasi
berdasarkan KUH Perdata, yaitu pergantian hak atas piutang dari da’in
lama kepada da’in baru. Perbedaanya hanya terletak pada penggunaan
istilah “perpindahan” dan “pergantian”. Sehingga, meski fatwa tidak
menyebutkan tentang sejauh mana peralihan itu terjadi sebagaimana KUH
Perdata. Maka penulis menyimpulkan baik akad pokok maupun akad
penyertanya (jaminan) diteruskan juga kepada da’in baru.

26
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1401
27
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, h. 16
72

Akibat hukum selanjutnya adalah dengan adanya subrogasi, maka


baik dalam Fatwa maupun KUH Perdata debitur memiliki kewajiban untuk
membayar utangnya kepada pihak ketiga. Namun, terdapat pengecualian
pada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang membolehkan debitur
tetap membayar utangnya kepada kreditur (da’in) lama, dengan syarat
pihak ketiga (da’in baru) telah mewakalahkan kepada kreditur (da’in)
lama.28
Terakhir, dengan dilakukannya subrogasi berakibat pada
keuntungan dan kerugian yang di dapat para pihak (da’in lama dan da’in
baru) pada subrogasi dengan kompensasi (‘iwadh). Sedangkan pada
subrogasi berdasarkan KUH Perdata dan subrogasi tanpa kompensasi,
tidak demikian. Karena jumlah yang diterima pihak ketiga harus sesuai
dengan jumlah yang dibayarkannya kepada kreditur.
7. Jenis dan Pembagian Subrogasi
Subrogasi menurut KUH Perdata terdiri atas:29
a. Berdasarkan Perjanjian (kontraktual), subrogasi yang lahir dari
perjanjian ini terbagi lagi menjadi subrogasi atas inisiatif kreditur dan
subrogasi atas inisiatif debitur.
b. Berdasarkan Undang-Undang

Sedangkan pembagian subrogasi syariah dalam fatwa Dewan


Syariah Nasional (DSN) terdiri dari:30

a. Subrogasi tanpa Kompensasi (‘iwadh)


b. Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadh) tanpa akad wakalah
c. Subrogasi dengan kompensasi (‘iwadh) dengan akad wakalah

Pembagian di atas menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini


disebabkan karena pada KUH Perdata pembagian yang dilakukan

28
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 8
29
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1401
30
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 8
73

merupakan pembagian yang didasarkan pada sebab terjadinya subrogasi.


Sedangkan pembagian pada Fatwa merupakan pembagian yang didasarkan
pada mekanisme atau pelaksanaannya. Dari segi keaktifan debitur pun,
selamanya debitur (madin) dalam subrogasi syariah bersifat pasif.
Berbeda dengan subrogasi berdasarkan KUH Perdata, terdapat
kemungkinan debitur memiliki peran yang aktif, terutama pada subrogasi
berdasarkan perjanjian dengan debitur sebagai inisiator.

Jenis subrogasi kontraktural (perjanjian) memiliki kemiripan


dengan cessie. Namun terdapat beberapa perbedaan yang mendasar, yaitu:

Tabel 4.1 Perbedaan Subrogasi Kontraktual dengan Cessie

Subrogasi Kontraktual Cessie


1. Subrogasi terjadi karena 1. Cessie terjadi karena pembelian
persetujuan piutang
2. Peralihan hak dan tuntutan 2. Pemindahan dan peralihan hak
kepada pihak ketiga merupakan dan tuntutan kreditur kepada pihak
akibat yang timbul oleh karena ketiga oleh karena cessionaris
pembayaran utang debitur oleh membayar dalam arti membeli
pihak ketiga utang debitur dari kreditur dengan
3. Pembayaran didasarkan untuk harga yang lebih murah dari dari
menolong kepentingan debitur utang debitur yang sebenarnya
sehingga antara jumlah yang 3. Cessie didasarkan pada suatu
dibayarkan oleh pihak ketiga dan keuntungan dari pembayaran yang
yang diterima nantinya harus sama dilakukan
Perbedaan di atas menunjukkan kemiripan dengan pembagian
subrogasi dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Pada salah satu
ketentuannya menyebutkan bahwa “Bentuk subrogasi yang disertai dengan
kompensasi dalam hukum perdata Indonesia dikenal dengan Cessie”31
Sehingga dapat diklasifikasikan bahwa subrogasi tanpa kompensasi

31
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 9
74

memiliki kemiripan dengan subrogasi kontraktual. Sedangkan subrogasi


dengan kompensasi mirip dengan cessie. Sebagai pembanding, penulis
sajikan perbedaan keduanya sebagai berikut:

Tabel 4.2 Perbedaan Subrogasi tanpa Kompensasi (‘iwadh) dan


Subrogasi dengan Kompensasi (‘iwadh)

Subrogasi tanpa Kompensasi Subrogasi dengan Kompensasi


(‘iwadh) (‘iwadh)
1. Subrogasi terjadi karena akad 1. Subrogasi terjadi karena akad
subrogasi pengalihan piutang subrogasi pengalihan utang dengan
2. Penggantian hak da’in lama cara jual beli piutang
kepada da’in baru merupakan 2. Penggantian hak da’in lama
akibat yang timbul oleh karena kepada da’in baru timbul sebagai
pelunasan piutang da’in lama oleh akibat pelunasan piutang da’in lama
da’in baru. dengan cara Jual beli piutang
3. Akad yang digunakan merupakan 3. Akad yang digunakan merupakan
akad tabarru akad tijari
Realitasnya, perjanjian cessie lebih sering digunakan dari pada
perjanjian subrogasi. Karena yang melakukan pengalihan piutang tersebut
adalah lembaga-lembaga bisnis yang berbasis laba. Sehingga akan
mengedepankan keuntungan pada setiap transaksinya. Sama halnya
dengan subrogasi tanpa kompensasi yang saat ini belum pernah terjadi
pada Lembaga Keuangan Syariah. Kecuali pada transaksi person to
person, memiliki kemungkinan besar untuk terjadi. Namun, bukan berarti
penulis menutup kemungkinan untuk terjadi pada Lembaga Keuangan
Syariah pada masa yang akan datang.

Jika ditelaah dari segi pelaksanaan di lapangan, keduanya


(subrogasi pada KUH Perdata dan Fatwa) memiliki persamaan pada sebab
terjadinya akad (perjanjian) subrogasi. Meskipun beberapa jenis subrogasi
merupakan transaksi berbasis laba. Namun, pada dasarnya semunya
memiliki nilai tabarrunya. Nilai tabarru ini terletak pada tidak adanya
75

pengambilan keuntungan pada transaksi subrogasi (KUH Perdata) dan


Subrogasi tanpa kompensasi (‘iwadh).

Sedangkan nilai tabarru yang ada pada subrogasi dengan


kompensasi (‘iwadh) adalah pengambil alihan piutang dari seseorang yang
sedang tidak mampu (da’in lama). Pembelian piutang ini tidak semata-
mata terjadi, jika da’in lama masih memiliki kemampuan. Sehingga pada
transaksi subrogasi, pasti ada orang yang merasa tertolong. Jika pada
subrogasi menurut KUH Perdata, pihak yang tertolong bisa debitur atau
kreditur. Sedangkan pada subrogasi berdasarkan Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN), da’in lama lah yang merasa ditolong. Selanjutnya,
samanya subrogasi dengan kompensasi dan cessie pada KUH Perdata.
Menunjukkan bahwa kedepannya Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis
Ulama Indonesia (MUI) tidak perlu lagi mengeluarkan fatwa tentang
cessie, karena sudah terakomodir pada Fatwa tentang Subrogasi
berdasarkan prinsip syariah ini.

8. Penyelesaian Hukum
Sengketa adalah kondisi adanya perbedaan pendapat yang saling
dipertahankan antara para pihak. Dalam konteks hukum, sengketa
merupakan perbedaan pendapat antar para pihak yang perbedaan tersebut
memiliki akibat hukum. Penyebab sengketa adalah terjadinya perbedaan
pendapat dalam memahami suatu perjanjian, baik isi, pelaksanaan maupun
penafsirannya.32 Upaya penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui dua
cara, yakni melalui litigasi (pengadilan) dan non litigasi. Upaya hukum
melalui jalur pengadilan lebih dikenal rumit dan berbiaya mahal, terlebih
masa sidang yang sangat panjang. Maka banyak lembaga yang
direkomendasikan oleh pemerintah sebagai lembaga alternatif
penyelesaian sengketa.33

32
Kamus Hukum Online Indonesia, diakses pada tanggal 2 Juli 2018 dari
https://kamushukum.web.id/arti-kata/sengketa/
33
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), (Jakarta:
PT Fikahati Aneska dan BANI, 2002), h. 32
76

Subrogasi berdasarkan KUH Perdata memiliki alur penyelesaian


sengketa yang sama dengan perikatan yang lain. Pengadilan bukanlah
satu-satunya lembaga untuk menyelesaikan sengketa. Terdapat jalur-jalur
alternatif yang dapat ditempuh, sesuai dengan Pasal 1 ayat (10) Undang-
Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa bahwa “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli” 34

Salah satu lembaga penyelesaian sengket tersebut adalah Badan


Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Biasanya klausula penyelesaian
sengketa terletak pada akhir perjanjian sesuai kesepakatan. Kesepakatan
para pihak biasanya mendahulukan musyawarah, alternatif penyelesaian
sengketa berupa penyelesaian di BANI dan terakhir adalah upaya hukum
di pengadilan negeri. Dengan menentukan domisili hukum, jika para pihak
berbeda kota.

Hal tersebut berbeda dengan jalur penyelesaian sengketa subrogasi


syariah. Sebagaimana tercantum dalam ketentuan penutup fatwa yang
menyatakan: “Jika salah satu pihak tidak rnenunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan rnelalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.”35

Alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah sesuai dengan pasal 52


ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
terdiri atas:36

34
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif
Penyelesaian Sengket, Pasal 1
35
Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi
Berdasarkan Prinsip Syariah, h. 9
36
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Pasal 52
77

a. Musyawarah
b. Mediasi Perbankan
c. Arbitrase, umumnya diselesaikan oleh BASYARNAS (Badan
Arbitrase Syariah Nasional)

Sedangkan jalur litigasi yang bisa ditempuh adalah melalui Peradilan


Agama, sebagaimana terdapat pada ketentuan pasal 49 Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Jo Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) RI Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.37 Kemudian, sama dengan
perikatan yang lain, pada bagian penutup akad disertakan klausula opsi
penyelesaian sengketa syariah sesuai dengan kesepakatan para pihak.

9. Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai
umum yang berwenang membuat akta (Notaris, PPAT, Panitera
Pengadilan, KUA dan Catatan Sipil) dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Akta ini memiliki kekuatan pembuktian paling kuat
dibandingkan alat bukti lainnya di hadapan pengadilan.38
Pada subrogasi berdasarkan KUH Perdata, jenis yang
mengharuskan dibuatkan akta otentiknya adalah subrogasi atas inisiatif
debitur. Sesuai dengan pasal 1401 ayat (2):
bila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi utangnya,
dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan
mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah, baik perjanjian
pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik,
dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu
dipinjam guna melunasi utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda
pelunasan harus diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang
yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa
bantuan kreditur.39

37
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung No. 14 tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.
38
Kamus Hukum Online Indonesia, diakses pada tanggal 2 Juli 2018 dari
Http://kamushukum.web.id/arti-kata/akta+otentik/
39
Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1401
78

Sedangkan jenis lainnya tidak diharuskan menggunakan akta otentik,


terlebih jenis subrogasi berdasarkan Undang-Undang yang secara otomatis
kepentingan para pihaknya dilindungi langsung oleh hukum. Berbeda
dengan subrogasi syariah, tidak ada ketentuan yang mengharuskan
penggunaan akta otentik dalam akad subrogasi.
Demikian analisis penulis mengenai persamaan dan perbedaan antara
subrogasi berdasarkan KUH Perdata dan Fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dapat disimpulkan bahwa persamaan
yang dimiliki keduanya antara lain:
1. Penggantian hak atas piutang kreditur (da’in lama) oleh pihak ketiga
(da’in baru);
2. Pembayaran atau pelunasan oleh pihak ketiga (da’in baru) terhadap
piutang yang dimiliki oleh kreditur (da’in lama);
3. Sebagian subrogasi pada KUH Perdata dan Semua subrogasi pada
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) didasarkan atas akad
(perjanjian);
4. Keduanya sama-sama mensyaratkan piutang yang sah menurut
ketentuan Undang-Undang;
5. Keduanya sama-sama merupakan transaksi yang secara esensi
memiliki nilai tabarrunya.
6. Baik subrogasi pada KUH Perdata maupun subrogasi pada Fatwa,
sama-sama memiliki jalur penyelesaian sengketa Litigasi dan Non
litigasinya masing-masing.
Sedangkan terkait perbedaan, penulis menyajikannya dalam tabel sebagai
berikut:
79

Tabel 4.3 Perbedaan Teori Subrogasi Berdasarkan KUH Perdata dan Fatwa
DSN MUI

Perbedaan
Kategori
KUH Perdata Fatwa DSN MUI
Definisi 1. Tidak mengatur hal tersebut 1. Mengharuskan seluruh akad
2. Sebagian Subrogasi dalam subrogasi sesuai dengan
KUH Perdata ada tanpa tuntunan Syariah (Al-Qur’an
melalui perjanjian, bahkan da Hadis)
otomatis terjadi dan dilindungi 2. Subrogasi dalam Fatwa
Undang-Undang DSN MUI hanya bisa
3. Pembayaran sebagian dilaksanakan melalui
piutang kreditur tetap perjanjian (akad)
menyebabkan subrogasi, 3. Subrogasi terjadi jika
dengan peralihan hak sebesar piutang dibayar lunas
yang dibayarkan.
Dasar Hukum Buku III Kitab Undang- Fatwa Dewan Syariah
Undang Hukum Perdata Pasal Nasional (DSN) Majelis
1400 sampai dengan Pasal Ulama Indonesia (MUI)
1403 Nomor: 104/DSN-
MUI/X/2016 tentang
Subrogasi berdasarkan Prinsip
Syariah
Subjek 1. Kreditur atau da’in lama 1. Kreditur atau da’in lama
Hukum tidak terlibat menjadi para selalu menjadi bagian dari para
pihak pada subrogasi atas pihak di dalam akad subrogasi
inisiatif debitur 2. Pada akad subrogasi debitur
2. Pada perjanjian Subrogasi (madin) bukan termasuk para
debitur menjadi bagian dari pihak
para pihak (terlebih dalam
subrogasi atas inisiatif
80

debitur)
Objek Hukum 1. Tidak mensyaratkan 1. Piutang yang sah sesuai
demikian syariah (Al-Qur’an dan Hadis)
2. Piutang berbentuk benda 2. Piutang Uang (al-Dain) saja.
bergerak atau benda tidak 3. Pada subrogasi dengan
bergerak dan benda berwujud kompensasi wajib menjadikan
atau benda tidak berwujud. barang (sil’ah) sebagai alat
3. Pembayaran piutang bisa bayar (tsaman)
menggunakan uang dan
barang, dengan syarat bisa
diserahkan oleh pihak ketiga
Unsur-Unsur 1. kreditur dan debitur 1. Para pihak (da’in lama dan
2. Pembayaran piutang da’in baru)
(subrogasi tetap terjadi 2. Pelunasan piutang
meskipun pembayarannya (subrogasi terjadi jika piutang
hanya sebagian piutang saja) dibayar lunas)
3. Terjadi karena perjanjian 3. Terjadi melalui akad
dan Undang-Undang (perjanjian).

Akibat 1. Debitur melanjutkan 1. Debitur (madin) melakukan


Hukum pembayaran kepada pihak pembayaran atas utangnya
ketiga atau kreditur baru kepada da’in baru, serta bisa
2. Tidak ada keuntungan dan juga kepada da’in lama dalam
kerugian para pihak secara hal da’in baru memberikan
materil pada subrogasi ini kewenangan (akad wakalah)
kepada da’in lama untuk
menerima pembayaran dari
debitur (madin)
2. Pada Subrogasi dengan
kompensasi terdapat selisih
81

(keuntungan dan kerugian)


yang ditanggung oleh para
pihak (da’in lama dan da’in
baru) atas jual beli piutang
tersebut
Jenis-Jenis 1. Subrogasi berdasarkan 1. Subrogasi tanpa
perjanjian, terdiri dari: Kompensasi (‘iwadh)
Subrogasi atas inisiatif 2. Subrogasi dengan
kreditur dan Subrogasi atas Kompensasi (‘iwadh) dan
inisiatif debitur tanpa Wakalah Pembelian
2. Subrogasi berdasarkan barang
Undang Undang 3. Subrogasi dengan
Kompensasi (‘iwadh) dan
Wakalah Pembelian barang
Penyelesaian 1. Non Litigas berupa 1. Non Litigasi berupa
Hukum alternatif penyelesaian alternatif penyelesaian
sengketa melalui: konsultasi, sengketa berupa: Musyawarah,
negoisasi, mediasi, konsiliasi Mediasi Perbankan dan
dan penilaian ahli serta Arbitrase dalam hal ini
Arbitrase dalam hal ini BANI BASYARNAS (Badan
(Badan Arbitrase Nasional Arbitrase Syariah Nasional)
Indonesia) 2. Jalur Litigasi melalui
2. Jalur Litigasi melalui Peradilan Agama
Pengadilan Negeri
Akta Otentik Pada Subrogasi atas inisiatif Tidak ada ketentuan yang
debitur harus dibuatkan akta mengharuskan akad subrogasi
otentik dibuatkan akta otentik
82

B. Persamaan dan Perbedaan Praktik Subrogasi Berdasarkan KUH Perdata


dan Fatwa DSN MUI

Setelah membandingkan teori subrogasi pada KUH Perdata dan


Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) di
atas. Menurut penulis perlu juga menganalisis perbandingan antara keduanya
pada ranah praktik pelaksanaanya. Oleh karena itu penulis membandingkan
antara Draft Perjanjian Utang Piutang Subrogasi dengan Akta Akad
Pembiayaan Pengalihan Utang yang keduanya penulis lampirkan pada bagian
akhir skripsi.

Secara umum, praktik subrogasi pada KUH Perdata memiliki


persamaan dengan praktik subrogasi berdasarkan Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, penulis
menemukan beberapa perbedaan sebagai berikut:

1. Hubungan Hukum
Hubungan hukum para pihak pada perjanjian utang piutang
subrogasi dan akad pengalihan utang memiliki perbedaan. Jika pada
praktik subrogasi syariah, menunjukkan bahwa pihak ketiga sebelumnya
tidak mempunyai hubungan atau kepentingan hukum. Sedangkan
kedudukan pihak ketiga pada perjanjian utang piutang subrogasi, memiliki
perikatan utang piutang dengan kreditur.
Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang tertuang dalam draft
perjanjian utang piutang subrogasi, yaitu “berdasarkan dokumen transaksi
1, pihak kedua telah benar-benar dan sah serta dengan ini pihak kedua
mempunyai utang kepada pihak pertama” 40
dan “berdasarkan dokumen
transaksi 2 pihak pertama telah benar-benar dan sah serta dengan ini pihak
pertama mengakui bahwa pihak pertama mempunyai utang kepada pihak
ketiga”41 kedua ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa pihak
kedua berutang kepada pihak pertama dan dalam jumlah yang sama pihak

40
Draft Perjanjian Utang Piutang Subrogasi, h. 2
41
Ibid.
83

pertama berutang kepada pihak ketiga. Sehingga di dalam perjanjian itu


para pihak mempunyai kedudukan baru berupa pihak kedua yang tadinya
harus membayar kepada pihak pertama, akan tetapi langsung
membayarnya kepada pihak ketiga. Pada akhirnya pihak pertama tidak
lagi mempunyai kewajiban membayar utang kepada pihak ketiga,
begitupun tidak berhak menerima pembayaran dari pihak kedua.
Perbedaan keduanya terletak pada sebab terjadinya subrogasi. Jika
penyebab terjadinya praktik subrogasi syariah adalah pihak ketiga dengan
dimintai pertolongan memberikan pinjaman kepada debitur untuk
digunakan pembayaran utang debitur tersebut kepada kreditur . Sedangkan
perjanjian utang piutang subrogasi terjadi karena memang setiap pihak
yang berada dalam perjanjian memiliki kepentingan hukum satu sama lain.
Uniknya, subrogasi syariah secara mekanisme mirip subrogasi atas inisiatif
debitur dalam KUH Perdata. Sedangkan perjanjian utang piutang
subrogasi malah lebih mirip dengan Hawalah muqayyadah.
Kondisi di atas menyebabkan subjek hukum yang terlibat pun
berbeda, dalam praktik subrogasi syariah terdiri dari debitur dan pihak
ketiga. Berbeda dengan perjanjian utang piutang subrogasi subjek
hukumnya terdiri dari pihak pertama, pihak kedua dan pihak ketiga.
Pengalihan pada praktik subrogasi syariah pun tidak melibakan kreditur
(da’in lama). Sedangkan pengalihan pada Perjanjian Utang Piutang
Subrogasi menghendaki dilakukan oleh pihak debitur dan kreditur atas
persetujuan pihak ketiga. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada
pada perjanjian tersebut, bahwa “Pihak Pertama dan Pihak Kedua dilarang
mengalihkan atau memindahtangankan hak dan kewajibannya baik untuk
seluruhnya ataupun sebagian berdasarkan perjanjian ini tanpa persetujuan
tertulis sebelumnya dari kreditur.”42
2. Akibat Hukum
Perbedaan selanjutnya merupakan perbedaan yang sangat
mendasar, yaitu berkaitan dengan akibat hukum masing-masing perjanjian

42
Ibid., h. 6
84

subrogasi. Pada praktik subrogasi syariah, perjanjian lama antara debitur


(nasabah) dengan kreditur hapus karena pembayaran (pelunasan).
Kemudian kedua pihak (pihak ketiga dan debitur) mengikatkan diri pada
perjanjian baru.
Perjanjian baru tersebut menyebabkan upaya pengaturan kembali
Akta Pembiayaan Pengalihan Utang. Hal-hal yang diatur lagi tersebut
antara lain: upaya pengawasan terhadap nasabah (madin), pembatasan
tindakan nasabah (madin), asuransi pembiayaan, jaminan, cara
pembayaran dan jangka waktunya, cidera janji dan akibatnya, serta denda
keterlambatan. Sedangkan dalam praktik subrogasi pada KUH Perdata
tidak diatur demikian. Karena memang sifat dari perjanjian subrogasi
tersebut adalah melanjutkan perjanjian sebelumnya. Sehingga tidak
diaturnya masalah asuransi, jaminan, jangka waktu pembayaran dan lain-
lain pada perjanjian subrogasi adalah karena memang hal tersebut sudah
diatur pada perjanjian sebelumnya, kemudian para pihak (debitur dan
pihak ketiga) melanjutkan perjanjian tersebut, seolah-olah pihak ketiga
adalah pihak yang melakukan perikatan subrogasi sejak awal.
Hal tersebut dapat dilihat di dalam ketentuan pasal 2 pada Draft
Perjanjian Utang Piutang Subrogasi, yaitu “pihak kedua mengakui dan
sepakat bahwa sejak tanggal perjanjian ini, setiap pelaksanaan
kewajibannya berdasarkan Dokumen Transaksi wajib dilaksanakan kepada
pihak ketiga seolah-olah pihak ketiga merupakan pihak asli dari Dokumen
Transaksi.”43 Ketentuan tersebut sudah sangat jelas menunjukkan bahwa
yang dimaksud Dokumen Transaksi tersebut adalah merujuk kepada
perjanjian utang piutang pihak pertama dan kedua. Sehingga semua
ketentuan yang tertuang dalam perjanjiannya, baik perjanjian pokok
maupun accessoir-nya berpindah kepada pihak ketiga.
Akibat selanjutnya memiliki persamaan perihal pembayaran, yaitu
debitur melakukan pembayaran kepada pihak ketiga. Namun pada kasus
perjanjian utang piutang subrogasi, terdapat kemungkinan dibolehkannya

43
Ibid., h. 4
85

kreditur lama menerima pembayaran dari debitur, untuk kemudian


diserahkan kepada pihak ketiga sebagai kreditur yang sah. Hal tersebut
sesuai dengan ketentuan pada Draft Perjanjian Utang Piutang Subrogasi,
Jika setelah tanggal perjanjian ini, Pihak Pertama menerima suatu
pembayaran dari Pihak Kedua, maka Pihak Pertama wajib menyimpan dan
menerima pembayaran tersebut untuk dan atas nama Pihak Ketiga. Paling
lambat dalam waktu 2 (dua) hari setelah diterimanya pembayaran tersebut
oleh Pihak Pertama, Pihak Pertama wajib membayarkan secara penuh
jumlah yang diterimanya dari Pihak Kedua kepada Pihak Ketiga tanpa
biaya dan potongan apapun.44
Berbeda dengan pembayaran pada praktik subrogasi syariah hanya
kepada pihak ketiga (bank), karena memang perjanjian sebelumnya telah
hapus disebabkan pembayaran yang dilakukan oleh nasabah (debitur)
kepada Bank Nusantara Parahyangan menggunakan uang yang dipinjam
dari Bank (Pihak ketiga). Sebenarnya jika ditelaah dari segi teori,
kedudukan seperti ini merupakan kebalikannya. Seharusnya kreditur lama
bisa menerima pembayaran dari debitur dengan syarat pihak ketiga ini
sudah menghawalahkannya kepada kreditur lama dan begitupun
sebaliknya pada teori subrogasi pada KUH Perdata pembayaran debitur
malah harus kepada pihak ketiga, tidak boleh lagi kepada kreditur lama.

Selanjutnya, beban biaya yang timbul dari proses subrogasi


merupakan bagian dari akibat terjadinya subrogasi. Pada praktik subrogasi
syariah, biaya yang timbul ini dibebankan kepada debitur (nasabah). Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan berkenaan dengan pelaksanaan
akad ini, termasuk tidak terbatas pada biaya notaris, asuransu dan total
biaya administrasi dari seluruh fasilitas pembayaran Line Facility yang
diterima oleh NASABAH dari BANK sebesar 1% dari Plafond
Pembiayaan Line facility, sepanjang hal itu diberitahukan BANK kepada
NASABAH sebelum ditandatanganinya Akad ini dan Nasabah
menyatakan persetujuannya. 45

44
Ibid.
45
Akta Akad Pembiayaan Pengalihan Utang.
86

Sedangkan pada praktik subrogasi berdasarkan hukum perdata,


biaya yang timbul dibebankan kepada kreditur lama dan debitur. Hal ini
ditegaskan keduanya dalam ketentuan “Pihak Pertama dan Pihak Kedua
dengan ini melepaskan dan membebaskan Pihak Ketiga dari biaya-biaya,
gugatan, ongkos, kewajiban serta kerugian yang mungkin timbul atau
dialami oleh pihak ketiga”46

Selain itu, pada praktik subrogasi syariah terjadi pembebanan


keuntungan bank kepada debitur. Nilainya saja tidak kecil, yaitu sebesar
Rp 224.077.474.095,24. Hal ini dapat dilihat pada bagian ketentuan
sebagai berikut:
Fee atau Ujrah dan atau Margin kepada BANK tekait dengan Akad
ini yang telah dan atau akan dibuat antara NASABAH dan BANK yang
menjadi satu kesatuan dengan Akad ini adalah sebesar Rp
22.077.474.095,24 (dua puluh milyar tujuh puluh tujuh juta empat ratus
tujuh puluh empat ribubsembilan puluh lima koma dua puluh empat
rupiah).”47

Dengan begitu, total utang Nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank
sebesar Rp 57.937.474.095,24 padahal pokok utang yang dialihkannya
hanya sebesar Rp 35.860.000.000,00. Ini menunjukan bahwa dengan
adanya akad pengalihan utang ini, mengakibatkan kewajiban (utang)
Nasabah menjadi hampir dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.

Berbeda sekali dengan Perjanjian Utang Piutang Subrogasi yang


mengharuskan pembayaram yang diterima oleh pihak ketiga sama dengan
jumlah yang dibayarkannya sejak awal. Sebagaimana tersirat dalam
ketentuan “Pihak Ketiga berhak dan berwenang untuk melaksanakan dan
memperoleh seluruh hak, manfaat dan keuntungan berdasarkan Dokumen
Transaksi seolah-olah Pihak Ketiga merupakan pihak asli dari Dokumen
Transaksi.”48 Sehingga, ketentuan tersebut menunjukkan bahwa seluruh
hak, manfaat dan keuntungan yang berhak diterima oleh pihak ketiga sama

46
Draft Perjanjian Utang Piutang Subrogasi, h. 6
47
Akta Akad Pembiayaan Pengalihan Utang
48
Draft Perjanjian Utang Piutang Subrogasi, h. 3
87

jumlahnya dengan yang telah ada pada perjanjian sebelumnya (Dokumen


Transaksi).
3. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa keduanya mempunyai jalur masing-masing
dan selaras dengan tuntunan teori. Jalur yang dipilih pada praktik
subrogasi syariah adalah musyawarah mufakat dan BASYARNAS (Badan
Arbitrase Syariah Nasional). Sebagaimana yang tertuang dalam pasal
Penyelesaian Perselisihan sebagai berikut:
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau
menafsirkan bagian-bagian dari isi akad ini atau terjadi perselisihan dalam
melaksanakan Akad ini, maka NASABAH dan BANK akan berusaha
menyelesaikannya secara musyawarah mufakat.
Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan
melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang
disepakati oleh kedua belah pihak, maka dengan ini NASABAh dan
BANK sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta memberi kuasa
kepada BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS)
untuk memberikan putusannya, menurut tata cara dan prosedur
berarbitrase oleh dan berlaku di Badan tersebut yang bersifat final dan
mengikat.49
Sedangkan praktik subrogasi berdasarkan KUH Perdata
menggunakan penyelesaian sengketa berupa musyawarah mufakat yang
mempunyai jangka waktu dan langsung menempuh jalur hukum melalui
Pengadilan Negeri jika tidak tercapai mufakat. Hal ini tertuang dalam
klausula penyelesaian sengketa yaitu:

Setiap perselisihan atau perbedaan yang timbul antara Para Pihak


sehubungan dengan Perjanjian ini (“Sengketa”) wajib diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat dalam jangka waktu 30 hari. Apabila Sengketa
tidak daoat diselesaikan dalam jangka waktu tersebut setelah dimulainya
musyawarah, maka Sengketa wajib diselesaikan di Kantor Pengadilan
Negeri Jakarta.50
Selain perbandingan di atas, perbedaan lainnya yang terdapat pada praktik
subrogasi adalah penuangan perjanjian dalam akta otentik dan kehadiran saksi.
Pada praktik subrogasi syariah, perjanjian dibuatkan akta notaris serta dihadiri

49
Akta Akad Pengalihan Utang
50
Perjanjian Utang Piutang Subrogasi, h. 7
88

oleh 3 (tiga) orang saksi. Sedangkan pada Perjanjian Utang Piutang Subrogasi,
tidak dibuat di hadapan notaris dan tidak dihadiri oleh saksi. Dari analisis
perbandingan di atas, penulis menuangkannya ke dalam sebuah tabel sederhana
agar mudah dipahami oleh pembaca, yaitu sebagai berikut:

Tabel 4.4 Perbedaan Praktik Subrogasi Berdasarkan KUH Perdata dan


Fatwa DSN MUI

Kategori Fatwa KUH Perdata


Hubungan Da’in baru (pihak ketiga) Para Pihak memiliki hubungan
Hukum tidak memiliki hubungan perikatan utang piutang
perikatan baik dengan Pihak ke-2 berutang kepada
madin maupun da’in lama pihak ke-1
Pihak ke-1 berutang kepada
pihak ke-3
Sehingga terjadi pengalihan
utang menjadi Pihak ke-2
berutang kepada pihak ke-3
Subjek Subjek hukum terdiri dari Subjek hukum terdiri dari
Hukum debitur (madin) dan Pihak kreditur, debitur dan pihak ketiga
ketiga (da’in baru)
Akibat 1. Perjanjian lama hapus 1. Perjanjian tidak hapus, hanya
Hukum karena pembayaran, saja terjadi peralihan kedudukan
sehingga muncul perjanjian pihak ketiga menjadi kreditur
baru yang sangat berbeda baru. Sehingga semua komponen
dengan perjanjian yang diatur kembali pada akta
sebelumnya (antara madin subrogasi sesuai fatwa bukan
dan da’in lama). Sehingga berarti tidak ada pada perjanjian
beberapa komponen ini, melainkan telah ada dan
perjanjian diatur kembali melanjutkan perjanjian
pada akta subrogasi tersebut sebelumnya (antara pihak debitur
89

antara lain: upaya dan kreditur lama)


pengawasan terhadap 2. Kreditur lama memiliki
madin, pembatasan tindakan kemungkinan menerima
madin, asuransi pembayaran dari debitur untuk
pembiayaan, jaminan, cara selanjutnya maksimal 2 hari
pembayaran dan jangka harus disampaikan kepada pihak
waktunya, cidera janji dan ketiga, dan akan dikenakan
akibatnya, serta denda denda 2% perbulan jika terlambat
keterlambatan diserahkan
2. Madin harus membayar 3. Biaya yang timbul dari
langsung kepada da’in baru subrogasi menjadi beban debitur
3. Semua biaya yang timbul dan kreditur lama
sebagai akibat subrogasi
menjadi beban nasabah
(madin)
Kompensasi Terdapat Ujrah (jasa Jumlah yang diterima oleh pihak
Bank/pihak ketiga) untuk ketiga dari debitur sama dengan
da’in baru, sehingga debitur jumlah yang dibayarkannya
(madin) harus membayar kepada kreditur.
lebih dari utang yang
sebenarnya dengan selisih
sebesar Rp
22.077.474.095,24
Proses 1. Pengalihan dilakukan 1. pengalihan dilakukan oleh
Subrogasi tanpa melibatkan kreditur kreditur dan debitur atas
(da’in lama) persetujuan pihak ketiga
2. Perjanjian dihadiri oleh 3 2. Tidak terdapat saksi dan tidak
orang saksi dan dimuat dimuat dalam akta otentik
dalam akta otentik
Penyelesaian Langkah penyelesaian Langkah penyelesaian sengketa
90

Sengketa sengketa yaitu musyawarah berupa musyawarah mufakat dan


mufakat dan BASYARNAS Pengadilan Negeri Jakarta.
(Badan Arbitrase Syariah
Nasional)

C. Kelebihan dan Kekurangan Konsep Subrogasi dalam KUH Perdata dan


Fatwa DSN MUI

Pengaturan Subrogasi pada KUH Perdata dan Fatwa Dewan Syariah


Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidaklah sempurna, terlebih
ketika dituangkan ke dalam kontrak perjanjian. Sehingga terdapat kelebihan
dan kekurangan antara lain sebagai berikut:

1. Pada dasarnya baik subrogasi pada KUH Perdata maupun Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) memiliki kelebihan pada sisi tabarru-nya
(berasaskan tolong menolong). Meskipun pada beberapa jenis subrogasi
teermasuk transaksi berbasis laba. Nilai tabarru ini terletak pada tidak
adanya pengambilan keuntungan pada transaksi subrogasi (KUH Perdata)
dan Subrogasi tanpa kompensasi (‘iwadh). Sedangkan nilai tabarru yang
ada pada subrogasi dengan kompensasi (‘iwadh) adalah pengambil alihan
piutang dari seseorang yang sedang tidak mampu (da’in lama). Pembelian
piutang ini tidak semata-mata terjadi, jika da’in lama masih memiliki
kemampuan. Sehingga pada transaksi subrogasi, pasti ada orang yang
merasa tertolong. Jika pada subrogasi menurut KUH Perdata, pihak yang
tertolong bisa debitur atau kreditur. Sedangkan pada subrogasi berdasarkan
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), da’in lama lah yang merasa
tertolong.
2. Indonesia sebagai Negara mayoritas muslim, memberi perhatian besar
terhadap perkembangan industri keuangan syariah. Hadirnya fatwa
tentang subrogasi syariah menyebabkan bertambahnya alternatif bagi
muslim Indonesia untuk tetap melaksanakan bisnis sesuai tuntunan agama.
Sehingga jelas, subrogasi syariah memiliki kelebihan dari segi spiritual
dibandingkan dengan subrogasi pada KUH Perdata. Terlebih pelaku bisnis
91

pada industri syariah tidak hanya muslim, melainkan nonmuslim pun ikut
berpartisipasi di dalamnya.
3. Dari segi mekanisme pelaksanaan, subrogasi syariah memiliki keunggulan
dari subrogasi berdasarkan KUH Perdata. Mekanisme dalam Fatwa
dijelaskan secara detail, sehingga akan meminimalisir kesalahan dalam
akad pelaksanaan, terlebih mencegah terjadinya sengketa dikemudian hari.
Berbeda dengan subrogasi pada KUH Perdata, meskipun dalam pasalnya
seperti diberikan contoh langsung dari jenis-jenis subrogasi. Namun, hal
tersebut menurut penulis masih membuka peluang penafsiran yang
berbeda oleh setiap orang. Sehingga para pihak akan berimprovisasi di
lapangan mengenai teknis perjanjian subrogasi. Akhirnya berdampak pada
besarnya kemungkinan perselisihan para pihak dikemudian hari.
4. KUH Perdata merupakan salah satu dari peraturan hukum yang masuk
dalam Hirarki peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Sebagaimana
tercantum dalam pasal 7 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kedudukan tersebut
menjadikan subrogasi berdasarkan KUH Perdata memiliki kelebihan bisa
dijadikan sumber hukum secara langsung. Berbeda dengan fatwa yang
hanya merupakan salah satu doktrin hukum di Indonesia. Sehingga dalam
pelaksanaanya, ketentuan fatwa ini masih harus dilakukan positifisasi
menjadi Peraturan Perundang-undangan (dalam industri keuangan biasa di
positifisasi menjadi SEOJK atau POJK). Sebagaimana tercantum pada
pasal 26 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, yaitu:
Pasal 26
(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal
20, dan pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib
tunduk kepada prinsip syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
92

(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam


Peraturan Bank Indonesia.51
Penuangan Fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia itu karena pada
tahun 2008 belum ada pemindahan kewenangan Bank Indonesia kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan adanya Undang-Undang Nomor
21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka kewenangan Bank
Indonesia terhadap aktifitas perbankan di Indonesia beralih kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sehingga fatwa saat ini harus dituangkan
ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terlebih dahulu
sebelum digunakan.

5. Pada praktik subrogasi baik berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum


Perdata maupun Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memiliki kelemahan yang sama, yaitu terdapat perbedaan
yang sangat mendasar dengan teori yang ada pada ketentuan subrogasi.
Perbedaan atau ketidaksesuaian tersebut dapat menjadi celah terjadinya
sengketa dikemudian hari. Terlebih pada subrogasi berdasarkan Fatwa
harus seluruhnya sesuai syariah. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh
background pendidikan dan tingkat wawasan para pelaku bisnis (para
pihak) yang melakukan perjanjian subrogasi.

51
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, Pasal 26
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis pada bab iv, maka penulis dapat
mengemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Persamaan konsep subrogasi pada KUH Perdata dan Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI), antara lain:
perubahan kedudukan pihak ketiga (da’in baru) menjadi kreditur,
pembayaran atau pelunasan oleh pihak ketiga (da’in baru) atas piutang
kreditur (da’in lama), sebagian subrogasi (KUH Perdata) dan semua
subrogasi (Fatwa) terjadi melalui akad (perjanjian), keduanya sama-
sama mensyaratkan piutang yang sesuai dengan Undang-undang dan
memiliki jalur penyelesaian sengketa Litigasi dan Non Litigasinya
masing-masing. Sedangkan Perbedaan konsep subrogasi pada KUH
Perdata dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI), antara lain: hukum halal dan haram dalam pandangan
islam, pembayaran sebagian tetap menyebabkan subrogasi pada KUH
Perdata sedangkan menurut fatwa harus lunas, Keterlibatan debitur yang
tidak ada dalam subrogasi syariah, piutang harus sah sesuai syariah pada
subrogasi syariah, subrogasi dapat terjadi berdasarkan Undang-Undang
pada subrogasi menurut KUH Perdata, jenis jenis subrogasi dari
keduanya, kebijakan tentang akta otentik dan lembaga penyelesaian
sengketa.
2. Persamaan praktik subrogasi pada KUH Perdata dan fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) berupa
pengalihan hak kreditur kepada pihak ketiga. Sedangkan perbedaan
praktik subrogasi pada KUH Perdata dan Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) antara lain: dari segi
hubungan hukum para pihak pada saat sebelum pejanjian, subjek hukum
yang terlibat yaitu ketiganya terlibat pada subrogasi berdasarkan Hukum

93
94

Perdata, berbeda dengan subrogasi syariah yang hanya melibatkan


debitur dan pihak ketiga, perbedaan selanjutnya adalah akibat hukum,
ketersediaan kompensasi dan proses subrogasi serta jalur dan lembaga
penyelesaian sengketa yang dipilih para pihak..
3. Kelebihan Subrogasi pada KUH Perdata merupakan transaksi yang
mengedepankan asas tolong menolong karena jumlah yang dibayarkan
pihak ketiga harus sama dengan jumlah yang diterima nantinya dan
memiliki kekuatan hukum yang bisa secara langsung dijadikan sumber
hukum (karena termasuk pada hirarki peraturan perundang-undangan).
Dan kelebihan subrogasi pada Fatwa Dewan Syariah (DSN) Majelis
Ulama Indonesia (MUI) antara lain: meskipun subrogasi dengan
kompensasi, pada dasarnya sama-sama memiliki sisi tabarrunya
(peralihan piutang dari pihak yang tidak mampu kepada pihak yang
lebih mampu), kesesuaian syariah (halal) sehingga berpeluang menjadi
alternatif ekonomi yang banyak dipilih oleh masyarakat Indonesia
(muslim maupun non muslim), terlebih perkembangan industri syariah
yang terbilang menjanjikan dan ketentuan mekanisme yang detail
sehingga dapat meminimalisir terjadinya sengketa dikemudian hari.
Sedangkan Kekurangan subrogasi pada KUH Perdata adalah hukumnya
yang tidak boleh dalam pandangan islam dan ketentuan mekanisme
pelaksanaan yang memerlukan penafsiran lagi (karena tidak
dicantumkan secara jelas), sehingga dapat menyebabkan potensi
sengketa dikemudian hari karena penafsiran yang berbeda. Dan
kekurangan subrogasi pada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah kedudukan fatwa sebagai
doktrin hukum yang memerlukan positifisasi kedalam peraturan
perundang-undangan (SE OJK atau POJK) untuk dapat dilaksanakan
pada lembaga keuangan syariah Serta kekurangan praktik keduanya
(baik berdasarkan KUH Perdata maupun Fatwa) yaitu terdapat beberapa
bagian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukumnya (teori).
95

B. Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keungan diharapkan segera
melakukan upaya regulasi terhadap seluruh ketentuan yang ada pada
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip
Syariah guna mengisi kekosongan hukum mengenai subrogasi pada
Lembaga Keuangan Syariah.
2. Para pelaku bisnis syariah hendaklah menjadikan konsep subrogasi ini
sebagai salah satu instrument untuk mengatasi angka Non Performing
Finance (NPF). Dan sebelum melakukan subrogasi, pelaku bisnis harus
mencari dan meningkatkan wawasan mengenai teori subrogasi, baik
pada Kitab Undang Undang Hukum Perdata maupun Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Terlebih
pelaku bisnis syariah yang harus menguasai dengan benar dan
menyeluruh mengenai prinsip-prinsip syariah, khususnya terkait
subrogasi syariah. Hal tersebut agar kontrak perjanjian yang dibuat
sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya, tanpa sedikitpun celah bagi
terjadinya sengketa para pihak dikemudian hari.
3. Bagi pembaca, diharapkan adanya penelitian lanjutan yang lebih
terperinci berkenaan dengan konsep subrogasi pada Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016
tentang Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah yang belum sempat
dilaksanakan dikarenakan keterbatasan penulis dalam penelitian ini.
Permasalah tersebut salah satunya berupa perbandingan Subrogasi
dengan Kompensasi dengan Cessie berdasarkan KUH Perdata dan
bagaimana fatwa dalam menyikapi empat peristiwa hukum subrogasi
berdasarkan Undang-Undang (pasal 1402).
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS),


Jakarta: PT Fikahati Aneska dan BANI, 2002.

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Akta Notaris, Akad Pembiayaan Pengalihan Utang.

Amin, Ma’ruf, Solusi Hukum Islam (Makharij Fiqhiyyah) Sebagai Pendorong Arus
Baru Ekonomi Syariah di Indonesia. Malang: Orasi Ilmiah UIN Maulana
Malik Ibrahim, 2017.

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, Cet. I,


Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-5 (Edisi Indonesia),


Depok: Gema Insani, 2007.

______________ Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid ke-6 (Edisi Indonesia), Depok:


Gema Insani, 2007.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997.

Daruquthni, Kitab al-Buyu’.

Dewan Syariah Nasional, Fatwa Nomor: 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi


Atas Nasabah Yang Menunda-nunda Pembayaran

______________ Fatwa Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata


Uang (al-Shaf)

______________ Fatwa Nomor: 104/DSN-MUI/X/2016 tentang Subrogasi


Berdasarkan Prinsip Syariah

Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan


Masalah-Masalah Praktis Cet. 3, Jakarta: Kencana, 2006.

Draft Perjanjian Utang Piutang Subrogasi.

Edukasi PPKN, Pengertian/Definisi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


(KUHPer) dan hukum perdata di Indonesia. Artikel diakses pada 20
Februari 2018 dari http://www.edukasippkn.com/2015/10/pengertian-
definisi-kitab-undang-undang.html?m=1//

96
97

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta:
FSH UIN Jakarta, 2015.

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1982.

Hartono, Sunarjati, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Bandung: Citra Aditya


Bakti, 1991.

Hasan, M Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (fiqh Muamalat), Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2004.

Ismail, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Subrogasi Dalam Hukum Perdata. Skripsi
S-1 Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1990.

Kamaliah, Subrogasi Menurut Pandangan Hukum Postif dan Hukum Islam, Skripsi
S-1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, Diakses pada Tanggal 3 Juli 2018 dari
https://kbbi.web.id/

Kamus Hukum Online Indonesia, Diakses pada tanggal 2 Juli 2018 dari
https://kamushukum.web.id/

Kie, Tan Thong, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 2007.

Kinanti, Fellin, Studi Perbandingan, Les Journals, Artikel diakses pada 20 Februari
2018 dari http://www.fellinkinanti-fisip10.web.unair.ac.id//

Latif, Ah. Azharuddin, Harmonisasi KHES, Fatwa DSN MUI dan Kodifikasi
Produk Perbankan Syariah Sebagai Sumber Hukum Material Sengketa
Keuangan Syariah, Seminar Bulanan MES : Ekonomi dan Keuangan
Syariah. Jakarta, 11 Oktober 2017.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2


Tahun 2008 tentang Konfilasi Hukum Ekonomi Syariah.

______________, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang


Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.

Manan, Bagir. Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Pers, 2004.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.

Maulan, Rizka, Hukum Bai Ad-Dayn (Jual Beli Piutang), diakses pada tanggal 3
Juli 2018 dari http://www.rizkamaulan.blogspot.com/2013/04/hukum-
bai-ad-dayn-jual-beli-piutang.html?m=0/
98

Oktaviani, Baerin, Perbandingan Konsep Anjak Piutang Syariah DSN MUI dan
Konsep Akad Hawalah dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Malang:
Jurnal Hukum dan Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Volume 6, 2015.

Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah Februari 2018, Jakarta: OJK,
2018.

Republik Indonesia, Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

______________ Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan


Syariah.
______________ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

Rizaldy, Muhammad, Pelaksanaan Take Over Pembiayaan di PT Bank Syariah


Mandiri Cabang Medan, Medan: Premise Law Jurnal Universitas
Sumatera Utara Volume 12, 2016.

Sahih Bukhari.

Saifullah, Tipologi Penelitian Hukum, Malang: Intelegensia Media, 2015.

Satrio, J., Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Pencampuran Utang,


Bandung: Alumni, 1999.

Septityaningsih, Lit., “NPF Tinggi, Bank Syariah Diimbau Cermat Salurkan


Pembiayaan”, Republika, 11 September 2017 diakses dari
http://republika.co.id/amp_version/ow3j5a/

Shihab, M. Qurais, Tafsir Al-Misbah Vol.3, Jakarta: Lentera Hati, 2002

Sitanggang, Laurensius Marshall Sautlan, “OJK: Aset Bank Syariah tumbuh


20,65% per Februari 2018”, Kontan, 11 April 2018 diakses dari
http://kontan.co.id/news/ojk-aset-bank-syariah-tumbuh-2065-per-
februari-2018/

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pers, 1984.

______________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1986.

Soeroso, R., Perbandingan Hukum Perdata, Ed.1 Cet.7, Jakarta: Sinar Gafika,
2007.

Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, Jakarta:
Kencana, 2008.
99

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo,2002.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Cet. VI., Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2003.

Uli, Yohana Arta, “Data OJK Ungkap Kredit Bermasalah Bank Syariah 4,12%,
Lebihi Konvensional 2,96%”, Okezone, 15 Desember 2017 diakses dari
http://economy.okezone.com/amp/2017/12/15320/1831077/data-ojk-
ungkap-kredit-bermasalah-bank-syariah-4-12-lebihi-konvensional-2-96/

Usman, Rachmadi, Produk Dan Akad Perbankan Syariah Di Indonesia,


Implementasi Dan Aspek Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.

Wilamarta, Misahardi, Eksistensi Kredit Sindikasi dalam Perjanjian Kredit


Perbankan, Depok: CELS, 2006.

_____________ dan Zulfadli Barus, “Manfaat Analisis Yuridis dan Sosiologis yang
Bersifat Komplementer dalam Perjanjian Kredit Untuk Meminimalisir
Resiko Bank Sebagai Kreditor”, Yustisia Vol. 1 No. 2 Mei-Agustus 2012.
PERJANJIAN UTANG PIUTANG SUBROGASI

PERJANJAN UTANG PIUTANG SUBROGASI ini (the “Perjanjian”) dibuat pada


tanggal oleh dan antara:

1. [ masukkan nama kreditur 2 atau debitur 2], perseroan terbatas yang


didirikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia, beralamat
di_______________ (yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak
Pertama);
2. [masukkan nama debitur 1], perseroan terbatas yang didirikan bedasarkan
hukum Negara Republik Indonesia, beralamat di _________________
(untuk selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua)
3. [masukkan nama kreditur I], perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum
Negara Republik Indonesia, beralamat di ____________________ (untuk
selanjutnya disebut sebagai Pihak Ketiga)

Pihak Pertama, Pihak Kedua dan Pihak Ketiga selanjutnya secara bersama-sama
disebut sebagai “Para Pihak” dan masing-masing dari mereka disebut “Pihak”.

Para Pihak dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas, dengan ini


menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut:

(A). BAHWA, Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah menandatagani Perjanjian
Pinjaman Hutang Piutang _____ Nomor ______ tertanggal ___________
(“Perjanjian I”)
(B). BAHWA, sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian I, Pihak Kedua juga
telah menandatangani dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. [masukkan dokumen tambahan yang ditandatangani oleh Pihak
Kedua dalam rangka pelaksanaan perjanjian]
2. [masukkan dokumen tambahan yang ditandatangani oleh Pihak
Kedua dalam rangka pelaksanaan perjanjian]

(Dokumen-dokumen tersebut di atas, bersama dengan Perjanjian,


disebut sebagai “Dokumen Transaksi I”)
(C). BAHWA, Pihak Pertama dari Pihak Ketiga telah menandatangani
Perjanjian Pinjaman Hutang Piutang _______ Nomor ________
tertanggal___________ (“Perjanjian 2”)
(D). BAHWA, sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian I, Pihak Pertama juga
telah menandatangani dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. [masukkan dokumen tambahan yang ditandatangani oleh Pihak
Pertama dalam rangka pelaksanaan perjanjian]
2. [masukkan dokumen tambahan yang ditandatangani oleh Pihak
Pertama dalam rangka pelaksanaan perjanjian]

(Dokumen-dokumen tersebut di atas, bersama dengan Perjanjian,


disebut sebagai “Dokumen Transaksi 2”)

(E). BAHWA, berdasarkan Dokumen Transaksi 1, Pihak Kedua telah benar-


benar dan sah serta dengan ini Pihak Kedua mengakui bahwa Pihak Kedua
mempunyai utang kepada Pihak Pertama sebesar Rp ____________
(________ Rupiah) (“Utang”) dan Pihak Pertama dengan ini menyatakan
telah menerima Pengakuan berutang dari Pihak Kedua;
(F). BAHWA, Berdasarkan Dokumen Transaksi 2, Pihak Pertama telah benar-
benar dan sah serta dengan ini Pihak Pertama mengakui bahwa Pihak
Pertama mempunyai utang kepada Pihak Ketiga sebesar Rp
_____________ (____________ Rupiah) (“Utang”) dan Pihak Ketiga
dengan ini menyatakan telah menerima pengakkuan utang dari Pihak
Pertama.
(G). BAHWA, Pihak Pertama telah menerima pembayaran untuk [isi apakah
subrogasi menyebabkan lunas atau berkurangnya hutang] atas Utang Pihak
Kedua dari Pihak Ketiga, dan oleh karenanya Pihak Pertama mengalihkan
hak dan tuntutan yang dimilikinya terhadap Pihak Kedua berdasarkan
Dokumen Transaksi secara subrogasi kepada Pihak Ketiga dan Pihak
Ketiga menerima pengalihan tersebut dan menggantikan kedudukan Pihak
Pertama sebagai kreditur dari Pihak Kedua berdasarkan Dokumen
Transaksi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pihak telah sepakat untuk
menandatangani Perjanjian ini dengan ketentuan dan persyaratan sebegaimana
diuraikan di bawah ini:

Pasal 1

SUBROGASI

1. Pihak Pertama sepakat dan mengakui bahwa Pihak Ketiga telag


membayarkan seluruh utang Pihak Kedua kepada Pihak Pertama dan
Pembayaran Utang telah dilakukan oleh Pihak Ketiga kepada Pihak Pertama
secara [isi apakah perjumpaan utang menyebabkan lunasnya utang atau
terjadi pengurangan jumlah utang]
2. Dengan pembayaran seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) di atas, maka
Pihak Pertama menerangkan bahwa utang Pihak Kedua kepada Pihak
Pertama tersebut adalah _______________ [isi apakah perjumpaan utang
menyebabkan lunasnya utang atau terjadi pengurangan jumlah utang].
3. Para Pihak sepakat dan mengakui bahwa sejak tanggal perjanjian ini:
a. Pihak Ketiga menggantikan kedudukan Pihak Kedua berdasarkan
Dokumen Transaksi dan oleh karenanya Pihak Ketiga berhak dan
berwenang untuk melaksanakan dan memperoleh seluruh hak,
manfaat dan keuntungan berdasarkan Dokumen Transaksi seolah-
olah Pihak Ketiga merupakan Pihak asli dari Dokumen Transaksi;
b. Pihak Pertama tidak lagi berhak untuk melaksanakan dan menerima
seluruh hak, manfaat dan keuntungan yang timbul berdasarkan
Dokumen Transaksi.
4. Pihak Kedua dengan ini sepakat dan mengakui Pengalihan secara subrogasi
atas hak dan kedudukan Pihak Pertama kepada Pihak Ketiga dan oleh
karenanya Pihak Kedua mengakui dan menyetujui bahwa Pihak Ketiga
merupakan pihak yang berhak dan berwenang untuk melaksanakan hak-
haknya kepada Pihak Kedua berdasarkan Dokumen Transaksi.
Pihak Kedua sepakat dan mengakui bahwa pengakuan dan persetujuan
Pihak Kedua dalam Perjanjian ini atas subrogasi hak Pihak Pertama
berdasarkan Dokumen Transaksi kepada Pihak Ketiga merupakan
pengakuan dan persetujuan yang sah, tanpa syarat dan tidak dapat ditarik
kembali dan oleh karenanya tidak lagi diperlukan suatu pengakuan dan
persetujuan terpisah yang perlu ditandatangani oleh Pihak Kedua.
5. Sejak tanggal perjanjian ini:
a. Pihak Pertama berhak meminta Pelaksanaan dan Pelunasan
kewajiban Pihak Kedua berdasarkan Dokumen Transaksi; dan
b. Pihak Kedua wajib melaksanakan kewajibannya berdasarkan
Dokumen Transaksi kepada Pihak Ketiga.

Pasal 2

PELAKSANAAN KEWAJIBAN BERDASARKAN DOKUMEN TRANSAKSI

1. Pihak Kedua mengakui dan sepakat bahwa sejak tanggal perjanjian ini,
setiap pelaksanaam kewajiban berdasarkan Dokumen Transaksi wajib
dilaksankan kepada Pihak Ketiga seolah-olah Pihak Ketiga merupakan
pihak asli dari Dokumen Transaksi.
2. Jika, setelah tanggal perjanjian ini, terdapat pelaksanaan kewajiban
berdasarkan Dokumen Transaksi yang dilakukan oleh Pihak Kedua kepada
Pihak Pertama, maka pelaksanaan tersebut tidak akan dianggap sah dan
berlaku dan tidak melepaskan kewajiban pihak kedua berdasarkan
Dokumen Transaksi sampai dengan Pihak Ketiga menerima pelaksanaan
kewajiban tersebut dari Pihak Kedua sesuai dengan Dokumen Transaksi dan
dengan sebagaimana mestinya.
3. Jika, setelah tanggal Perjanjian ini, Pihak Pertama menerima suatu
pembayaran dari Pihak kedua, maka Pihak Pertama wajib menyimpan dan
menerima pembayaran tersebut untuk dan atas nama Pihak Ketiga. Paling
lambat dalam waktu 2 (dua) hari setelah diterimanya pembayaran tersebut
oleh pihak pertama, Pihak Pertama wajib membayarkan secara penuh
jumlah yang diterimanya dari pihak kedua kepada pihak ketiga tanpa biaya
dan potongan apapun. Dalam hal Pihak Pertama terlambat melaksanakan
pembayaran tersebut kepada Pihak Ketiga, maka Pihak Pertama wajib
membayar bunga sebesar 2% per bulan dari jumlah yang harus dibayarkan
kepada Pihak Pertama.

Pasal 3

PERNYATAAN DAN JAMINAN

1. Masing-masing Pihak dengan ini tanpa syarat dan tanpa dapat ditarik
kembali menyatakan dan menjamin kepada Pihak lainnya sebagai berikut:
a. Untuk Pihak Pertama dan Pihak Ketiga, adalah __________ dengan
sebagaimana mestinya dan dikelola sah berdasarkan hukum
Republik Indonesia.
b. Untuk Pihak Kedua, dirinya adalah ________________, cakap dan
mampu melaksanakan perbuatan hukum serta tidak berada di bawah
pengampuan atau perwalian serta telah memperoleh seluruh
persetujuan yang diperlukan untuk penandatanganan dan
pelaksanaan perjanjian ini.
c. Pihak mewakili hak dan kewenangan yang penuh yang
dipersyaratkan berdasarkan anggaran dasarnta (bagi Pihak Pertama
dan Pihak Ketiga) dan peraturan yang berlaku untuk membuat,
menandatangani dan menyerahkan Perjanjian ini dan untuk
melaksanakan secara pernuh kewajibannya berdasarkan perjanjian
ini.
d. Bahwa perjanjian ini telah ditandatangani dan diserahkan secara sah
dan dengaan sebagaimana msetinya olehnya dan merupakan
kewajibannya yang sah, berlaku dan mengikat.
e. Bahwa dirinya tidak diwajibkan untuk memperoleh persetujuan dari
pihak lain untuk penandatanganan, penyerahan atau pelaksanaan
perjanjian ini tidak akan melanggar ketentuan dari perjanjian
manapun dimana dirinya menjadi pihak atau terikat; atau perjanjian
ini tidak akan bertentangan dengan ketentuan anggaran dasarnya
(bagi Pihak Pertama dan Pihak Ketiga), atau melanggar atau
berlawanan dengan atau menyebabkan pelanggaran hukum,
penetapan atau keputusan pengadilan, keputusan atau peraturan
yang mengikatnya atau yang mengikat usaha, property dan asetnya.
f. Bahwa dirinya tidak telah melakukan suatu tindakan apapun, serta
tidak terdapat adanya tindakan atau proses hukum yang dilakukan
pihak ketiga terdahadap dirinya yang dapat mengakibatkan
kepailitan, kebangkrutan atau pembubaran terhadapnya.
2. Pihak Pertama dan Pihak Kedua dengan ini tanpa syarat dan tanpa ditarik
kembali menyatakan dan menjamin kepada pihak ketiga hal-hal sebagai
berikut:
a. Dokumen transaksi telah ditandatangani secara sah oleh Pihak
Pertama dan Pihak Kedua, tidak pernah dibatalkan, diubah atau
dicabut kembali dan tetap berlaku penuh secara sah serta merupakan
kewajibannya yang sah berlaku dan mengikat serta dapat
dilaksanakan oleh masing-masing pihak di dalamnya.
b. Pihak apertama dan Pihak Kedua tidak telah atau pernah
melaksanakan perjumaan utang atas kewajiban masing-masing
pihak pertama dan Pihak Kedua yang mengakibatkan kewajiban
pihak kedua kepada pihak pertama berdasarkan Dokumen Transaksi
menjadi lunas atau menjadi lebih kecil daripada utang.
c. Pihak Pertama dan Pihak Kedua tidak telah atau pernah mengajukan
gugatan hukum ke lembaga peradilan yang berwenang sehubungan
dengan Dokumen Transaksi dan tidak ada proses peradilan yang
sedang berjalan sehubungan dengan Dokumen Transaksi di
Pengadilan maupun tingkat pemeriksaan apapun.
d. Dokumen transaksi tidak pernah dan atau sedang menjadi objek
sengketa pada Pengadilan maupun dan pada tingkat pemeriksaan
apapun.
3. Pihak Petama dan Pihak kedua dengan ini melepaskan dan membebaskan
Pihak Ketiga dari biaya-biaya, gugatan, ongkos, kewajiban serta kerugian
yang mungkin timbul atau dialami oleh Pihak Ketiga akibat ketidakbenaran,
kesalahan, atau pelanggaran atas pernyataan dan jaminan yang diberikan
oleh Pihak Pertama dan Pihak Kedua sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat
(2) di atas.

Pasal 4

KEPASTIAN LEBIH LANJUT

Pihak Pertama dan Pihak Kedua dari waktu ke waktu, sebagaimana diminta oleh
Pihak Ketiga, sekarang atau pada setiap saat dikemudian hari, wajib melakukan
atau menyebabkan dilakukannya tindakan-tindakan dan atau menandatangani
atau menyebabkan ditandatanganinya dokumen-dokumen yang dianggap perlu
oleh pihak ketiga untuk memberikan keberlakuan penuh terhadap Perjanjian ini
sesuai dengan ketentuan dan persyaratannya atau untuk memenuhi manfaat
penuh atas hak dan kewenangan berdasarkan Perjanjian ini dan Dokumen
Transaksi.

Pasal 5

PENGALIHAN

Pihak Pertama dan Pihak Kedua dilarang mengalihkan atau


memindahtangankan hak dan kewajibannya baik untuk seluruhnya ataupun
sebagian berdasarkan perjanjian ini tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari
Pihak Ketiga.

Pihak Ketiga berhak untuk mengalihkan atau memindahtangankan lebih lanjut


hak-haknya berdasarkan perjanjian ini dan Dokumen Transaksi tanpa harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Pihak Pertama dan Pihak Kedua.

Pasal 6

KETERPISAHAN

Dalam hal pengadilan atau majelis tribunal dari juridiksi yang berwenang
menentukan bahwa suatu ketentuan atau sebagian dari ketentuan tersebut adalah
illegal dan tidak dapat dilaksanakan, maka ketentuan tersebut atau bagian
daripadanya harus dianggap dihapus dari Perjanjian ini seolah-olah ketentuan
tersebut bukan merupakan bagian dari perjanjian ini sejak awal dan ketentuan
lainnya dari perjanjian ini atau bagian lainnya dari ketentuan tersebut, mana
yang dapat diterapkan, tidak akan terpengaruh dengan cara apapun dan tetap
berlaku penuh dan mengikat.’

Pasal 7

HUKUM YANG BERLAKU DAN PENYELESAIAN SENGKETA

1. Perjanjian ini diatur dengan dan ditafsirkan sesuai dengan hukum Indonesia.
2. Setiap peselisihan atau perbedaan yang timbul antara para pihak
sehubungan dengan perjanjian ini (“Sengketa”) wajib diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat dalam jangka waktu 30 hari. Apabila sengketa
tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu tersebuut setelah dimulainya
musyawarah, maka sengketa wajib diselesaikan di Kantor Pengadilan
Negeri Jakarta ___________ [masukka pengadilan negeri yang menjadi
Pilihan].

Demikianlah perjanjian ini dibuat dan ditandatangani oleh Para Pihak pada hari dan
tanggal sebagaimana tersebut di atas.

PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA PIHAK KETIGA

Nama: Nama: Nama:


Jabatan: Jabatan: Jabatan:
P2rU*
DEWAN SYARIAH NASIONAT MUI
%M National Sharia Board - lndonesian Council of Ulama
Sekretariat:Jl. Dempo No.19 Pegangsaan-JakartaPusat 10320 Telp.:(021)3904146Fax.:(021)31903288

FATWA
DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA INDONESIA
NO: I 04/DSN-MUllxl2}l 6
Tentang

SUBROGASI BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH

91 ra
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUl) setelah,

Menimbang : a. bahwa masyarakat dan Lembaga Keuangan Syariah (LKS)


memerlukan penjelasan tentang subrogasi dari segi prinsip syariah;
b. bahwa ketentuan hukum mengenai subrogasi berdasarkan prinsip
syariah belum diatur dalam fatwa DSN-MUI;
c. bahwa atas dasar pertimbangan huruf a dan b, DSN-MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang subrogasi berdasarkan
prinsip syariah untuk dijadikan pedoman;

Mengingat : l. Firman Allah s.w.t.:


a. Q.S.al-Ma'idah (5): l:

.. )4L,ir$t;t Gi'4ju
"Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu... "

b. Q.S. al-Baqarah (2): 282:

*-<, t#v ;*J fi ll ln, *tt; 5;;tr $.i ri1 rii u.

d-:<ii 'iJ\ '^it vE .KJ ';ti ::rs aU y O:ig qs ig


\i:1 + j4"\i X;lil\ +4i:*t * tSit ,Ft
"Hai orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengaiarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia

D ew an Sy ar i ah N as io nal - Maj eI i,s U I am a I nd o n e s i a


104 Subrogasi Berdasarkan Prin,sip Syo,,o!:

bertaloua kepada Allah Tuhannya, dan.ianganlah ia mengurangi


sed ikitpun daripada hutangnya.... "

2. Hadis Nabi s.a.w.:


a. Hadis Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan
Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

"Menunda'nuncla pembayaran utang yang dilakukan oleh orang


mampu adalah ,suatu kezalintan. Maka, iika .seseorang di antara
kamtt dialihkan hak penTgihan piutangnya (dihawalahkan)
kepada pihak yang mampu, terimalah " (HR. Bukhari)'

b. Hadis Nabi riwayat Al-Tirmidzi:


' i..
i,\ l.^a ll, jy.: ,, - ),
iii? .:r JL.; J\ ,=fr"'!-/t rf i t*,f

;i {r; (? \A-> if *+ircf,'iv= 4;lt : js ,L-: *

.'a^xey t1Yll\ is1.: .vV


"Dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Sulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah
untuk mufakat) clapat dilakttkan di antara kaum mu,ylimin kecuali
strlh yang mengharantkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan katrm nttrslintin terikat dengan syarat-'\yarat mereka
kecttali syaral yang mengharamkan yang halal atalt
menghalalkan yang haram." (H.R. Al-Tirmidzi dan beliau
menilainya shahih)

c. Hadis Nabi riwayat Muslim:


), , ), \ '
:{'s* c.$ GL, 9\
-
ay-_s

*t! y;L, '.*!taJ )"':iu) r'lri


u*/ ' J

osi' J.AL: t;v t tk


. *L,'-.
\r-
o\91

"Dari 'Ubadah bin al-shamit ra. Dia berkata, Rasulullah SAW


bersabda: (Juallah) enta,s dengan emas' perak dengan perak,
gantlttm rlengan gandam, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan
kurma, clan garam dengan Saram (dengan syarat harus) 'sama
dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, iuallah
sekehendakmtt i ika dilakttkan secara tunai. " (H.R. Muslim)

D ew an Sy ar i ah N as io n al - M aj e I i.s LI I am a I ndo n e s i a
.si Berdasarkan Prin.siP SYariah

d. Hadis Nabi riwayat Abu Dawud:


':i\i ,*(t! dU 39y' &i 33 ,j'3 ' '# i, Y
&u
* ,e'i5 y-F u: e+ -rtl ,;vilr t!\i ,ati"n\ At f\"nt
'z:;t
* J- *i,l;:1-:I;'i\ t, ^!t ir: *G
e,s dU 3,), &i 3y u*i !sr;s3 ,4t
j*: u
r. gA -l.ii , ;ul,ot l-li g5lU'e,ii. r+lrir
je\', ,ung
tt.,

i, '6j;; +b' \ J* Nt 3t:": i* .e$ ,y )s ulstj 9;;


'-o.' a',
,\ ,,rr1 n'r? U<a1 Uf i V Wy- b, L6J}U ;I ;E
2

U)Ot'
""Dari lbn (Jmar ra, dulu aku menjttal tmta di Baqi
menjualnya dengan dinar dan menerima pembayarannya dengan
dirham. lku (iuga) menjualnya dengan dirham dan menerinta
(pembayarannya) clengan dinar. Aku mengambil ini untuk itu, dan
nremberi itu unttrk ini (maksttdnya; dinar dan dirham)- Lalu aku
mendatangi Ra.sulullah SAW. Saat ittt beliau sedang di rumah
Hafshah.
Aku ber1anya, "l4/ahai Rasulullah. Sebentar, aku ingin bertanya
kepadamu, aku menjual unta di Baqi'. Aku meniualnya dengan
dinar clan menerimrt (pembayarannya) dengan dirham. Aku
|ugo) meniualnya dengan dinar dan menerima (pembayarannya)
dengan dinar. Aku mengantbil ini untuk itu, dan memberi itu
untuk ini."
*Tidak ada masalah
Rasulullah SAW menjawab, .jika kamu
ntenerimanya dengan harga di hari itu dan kalian berdua tidak
berpisah .sementara nta,sih ada sesuatu (yang belum dibayar)'"
(H.R. Abu Dawud)

-') . Ijma' ulama tentang larangan bai' al-dain bi al-dain:

)* \ #lt, in\ '& "ri ;b r#5


"Para ulama telah konsensus bahwa bai' ad-dain bi ad-dain itu
tidak dibolehkan. "
4. Kaidah fikih :

V/ -* Y,t i:: :l !1 .:ul' -rY..ai' + J"i'


"Pacla clasarnya, segala bentttk muamalat itu boleh dilakukan
kecuali ada dalil yctng mengharamkannya. "

Dewan Syariah Nasional-Majeli,s UIama Indonesia


101 Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah

Memperhatikan : l. Pendapat Jumhur ulama dari kalangan Hanafiah, Hanabilah,


Zhahiriah. Ishaq dan Tsauri, dan sebagian Syaf iah yang melarang
(mengharamkan) pengalihan piutang (rnelaluijual beli) secara tunai
kepada selain Madin. Di antara alasannya adalah:
a. Da'in tidak mempunyai kesanggupan untuk menyerahkan obyek
yang diperjuatbelikan (mabi ') kepada pembeli (Musytari).
Piutang yang merupakan milik Da'in berada dalam penguasaan
Madin; dilarangnya penjualan piutang oleh Da'in kepada selain
Madin karena tidak rnungkinnya diserahterimakan obyeknya
secara tunai dari penjual kepada pembeli sebagaimana dilarang
jual-beli hewan yang melarikan diri, dan jual-beli burung yang
kabur di udara; karenanya penjualan piutang oleh Da'in kepada
selain Madin dilarang karena tidak mungkin piutang
d iserahterimakan,' dan
b. Piutang termasuk benda yang tidak diketahui (ntajhul al-'ain)
pada saat akad dilakukan; jual-beli benda yang tidak diketahui
termasuk gharar yang dilarang agar pihak-pihak terhindar dari
permusuhan (al -khushuntah) dan sengketa (al-munaza'ah).

2. Ulama Malikiah dan sebagian Syaf iah rnembolehkan pengalihan


piutang (melalui jual beli) secara tunai kepada selain Madin. Di
antara alasannya adalah:
a. Hadits yang menielaskan bahwa Rasulullah saw, bersabda:
, t:at
r'9
.ae.>u2

"Siapa saja yang membeli piutang dari pihak [ain, maka pihak
yang berutang lebih berhak untuk membelinya apabila harganya
sama dengarr .jumlah yang harus dibayar oleh pihak yang
berutang."
b. Atsar shaliabat, Jabir Ibn Abdillah ra, yaitu:

;\,i -*i. lji I iG :- "*v


t '- ti I t - a - t , ,:i
,F:,
'
J- !9, ur +\ |; ,a
, ? ., i...1 ...'.r .5 ,
.-.[ ) : -\U-i 6)* y,.S'Fb
"Jabir Ibn Abdillah ra ditanya tentang status hukum terkait
seseorang yang punya piutang yang dijadikan harga (tsantan)
dalarn mernbeli budak; Jabir Ibn Abdillah rnenjawab: tidaklah
mengapa (boleh)."

3. Ulanra Malikiah dan sebagian ulama Syaf iah yang membolehkan


pengalihan piutang (rnelalui jual beli) kepada selain Madin
menentukan syarat-syarat berikut:

i ,,-

Dewan Syariah Nasional-Majel i.s Ulama Indone.sia


101 Subroga,si Berda.sarkan Prinsip Syariah

a. Piutang harus piutang yang sah berdasarkan syariah dan peraturan


perundang-undangan yang berlaku;
b. Piutang yang dijual harus piutang yang memungkinkan
d i serahterirn akan (im kinat al - t asl im);
c. Piutang yang dijual harus dibayar secara tunai ('aqd al-bai'
naqdan);
d. Tsaman (alat bayar) tidak boleh berupa benda yang sejenis
dengan piutang yang dijual;
e. Da'in harus rnernilik bukti yang sah atas hak penagihan
piutangnya;
f. Madin harus hadir atau memberikan idzin (menyetujui) atas
dilakukannya penjualan utang; dan
g. Antara Madin dengan pihak pernbeli utang (Kreditur baru) tidak
ada permusuhan (a/-'adaatuah) supaya terhindar dari dharar.

4. Fatwa kontemporer tentang kebolehan pengalihan pembiayaan


dengan akad hawalah:

-.. ..r
,1,-
J!' *)r- - )?
.?
/yq+}i)' s4t rL:'-i;l'l * 4t -;iL'
. : :t t-.-i. i.. i..-r1, r: j ir l, ; 2
y. 5+ Jl 4-i-,sl g'D c|#t
,"
6):,ri f :. ' i)ry i :*\A\
s;nt ji *lztpt ,\ .tp)J: ;z: \i J.JJ\ ^)v. ,yr
errirp S"Gy ,+kirl^ ;<"ii,-4)t5 J'3\t 1;r;:r3
-i,.i, ,r. ,h-\.-
.9,-f,)jrr.J). ^lnj]t -s,;6t
9.
ooDewan pengawa:; syariah telah menelaah pertanyaan yang
diajttkan oleh perusahaan asuransi syariah tentang hukunt
ntengalihkan akad nturabahah dari satu nasabah ke pihak lain
dengan sisa cicilannya. Menurut Dewan pengawas syariah'
pengalihan tersebut termasttk hawalah dan bukan termasuk
pengalihan murabahah, karena akad murabahah antara perusahaan
dengan nasabah yang pertama ,sudah berakhir, dan akadnya tidak
bisa dialihkan, tetapi yang mungkin adalah ntengalihkan kewaiiban
(iltizam) yang ditimbulkan akad mttrabahah dengan akad hawalah."

5. Fatwa-fatwa kontelnporer:
a. Keputusan Lernbaga Fikih Islam OKI
i 5 ,3 a., , 1, tr,
lJ Ci )* >
1. ,i..tol, lrti..i
j\ y:4 b tr -, *, " -i,
i'lJJ\ te ? Jri*-'
o'1

Jt r,6\ * t' u
t,l\r i, ", ..ii, .':
, ,i.-j
u J*y )--. ry
,'. trt,
t
lctl:ir.?
:*- v{ LvX\ | o

D ey, an Sy ar i ah N a s i o nal - M aj eI i,s LI I am a In do n e s ia


asi Berda:iarkan Prinsip Syariah

A*,-'ir,Jr.(Ju .JKr tj.3 t.- il) 4--; J tu \\ *


,yt i q? * qu *nt ef ;il qt 4. aP ts ,Gp
*
"Tidak boleh meniual piutang yang belunt jatuh tempo kepada
selain debitur dengan uang yang dibayar tunai, baik mata uang
sejenis alau berbeda ieni.s, karena menyebabkan terjadinya riha.
Begittt pula tidak boleh meniual piutang dengan uang yang
dibayar tidak ttmai, baik dengan mata uang sejeni.s atau berbeda
jenis, kctrena termasuk bai' al-kali' bi al-kali' yang diharantkan
nTenurLtt syariah. Larangan tersebut berlaku pada piutang yang
timbul dari akad qardh atau jual beli tangguh (tidak tunai)."
fl(eputusan Lernbaga Fikih Islam OKI no. l0l Il 114]tentang bai
al-dain)
b. Keputusan Nadwah al-Baraka :

,j!' g '4*1,'&i r$;st ),qr + *",*L;jt ,',$t :ei


J:,4t 3,!;!r Q,:i.tyt"iilt'*;q F, i4t p
,yuJ.llt ;G\'; qL )z\: ,"-. i. ufr\ ,i-r. l''qJ\ 9r'l
u:;t

4";A,;r< 3i 3{ *'y:it;i#t ey J- S; ii l6tt


i . ,. /
- :i
^: i\ -b'J
I e.J.))u A*v
"Di ctntara bentuk-bentuk (tran,sak,si, pen.) yang dilarang adalah
menjual piutang kepada ,selain debitur dengan harga
(pembayaran) berupa uang yang dibayar tunai dan lebih kecil
dari pokok utang. Transak,si ini merupakan salah satu bentuk riba
karena terjadi perlrtkaran dua mata uang seienis (transak'si sharfl
yang tidak memenuhi unsur tamatsul (saling sama) dan taqabudh
(saling tunai). Bentuk transak,si yang dilarang ini berlaku pada
piutang yang ditimbulkan dari akad qardh ataupun.iual beli tidak
ttrnai." (Qararal wa Taushiyat Nadawat al-Barakah', Al-Amanah
al-'Amntah li al-Hai'at al-Syar'iyah, Majmu'ah Dallah al-
Barakah, jeddah, cet. VII, Tahun 2006)

6. Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI:


'# /*,i.iJ' & : ;;r|t ir' d tt- u:
"Diantara bentuk-bentnk bai' al-dain2 yang clibolehkan adalah
menjttal piutang dengan komoditas tertentu. " (Keputusan Lembaga
Fikih Islam OKI no. 158 [ 717] tentang bai' al-dain)

7. Fatwa DSN-MUI yang terkait Subrogasi

Dew an Sy ari ah N as io n al - Maj e Iis


101 Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah 7

Fatwa DSN-MUI Nomor: 90/DSN-MUllxlll2}l3 tentang


Pengalihan Pembiayaan Murabahah Antar Lembaga Keuangan
Syariah (LKS).

8. Rekomendasi l.itima' Sanawi (Annual Meeting) Dewan Pengawas


Syariah pada tanggal I 6- I 8 Desember 201 5 di Bandung;
9. Keputusan Rapat Kerja DSN-MUI tanggal I l-13 Februari 2016 di
Bogor:

10. Surat Bank Permata Syariah Tbk (UUS) Nomor 38/SYA-


PRODUCTISWV112016 tanggal 07 Juni 2016;

I l. Pembahasan Working Group Perbankan Syariah (WGPS) tentang


Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 24 September 2016
di Yogyakarta:
12. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Sabtu, tanggal
0l Oktober 2016 di Bogor;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : FATWA TENTANG SUBROGASI BERDASARKAN PRINSIP


SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum


Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
L Subrogasi adalah pergantian hak da'in lama oleh da'in baru karena
piutang da'in lama dilunasi oleh da'in baru.
2. Subrogasi berdasarkan prinsip syariah adalah pergantian hak da'in
lama oleh da'in baru karena piutang da'in lama dilunasi oleh da'in
baru berdasarkan prinsip syariah.
3. Kompensasi ('hvadh) adalah imbalan (prestasi) yang diterima para
pihak (dain lama dan dain baru) pada subrogasi yang disertai
pefiukaran prestasi, baik bersifat menguntungan atau tidak.
4. Akad pengalihan piutang (hiv,alah al-haq) adalah perjanjian (akad)
antara da'in dengan pihak ketiga (da'in baru) dalam rangka
mengal ihkan piutangnya.
5. Akad wakalah adalah akad pemberian kuasa dari pihak ketiga (da'in
baru) kepada da'in (lama) untuk membeli sil'ah (barang); dan
pemberian kuasa dari da'in baru kepada da'in (lama) untuk
menerima pembayaran utang dari madin.
6. Da'in adalah pihak yang memiliki hak tagih (piutang).
7. Madin adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk membayar
utang.

Dewan Syariah Nasional-Majeli,s Ul ama Indonesia


/"
101 Subrogasi Berda.sarkan Prin,sip Syariah

Kedua Ketentuan Hukum


Pelaksanaan subrogasi berdasarkan prinsip syariah boleh dilakukan dan
wajib rnengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.

Ketiga Ketentuan terkait Para Pihak dan Mekanisme


l. Pihak-pihak yang Melakukan Akad
a. Da'in lana sebagai pihak yang mengalihkan piutang; dan
b. Da'inbaru sebagai pihak yang menerima pengalihan piutang.
2. Mekanisme Subrogasi Tanpa Kompensasi ('Iwadh)
a. Da 'in memiliki piutang kepada madin;
b. Da'irz mengajukan penawaran kepada pihak ketiga (calon da'in
baru) untuk mengalihkan piutangnya; dan pihak ketiga
rnenyetujuinya;
Da'in (lama) dan pihak ketiga (da'in baru) melakukan akad
subrogasi pengalihan piutang; dan
d. Da'in baru menerima pembayaran dari nasabah secara bertahap
sesuai kesepakatan.

3. Mekanisme Subrogasi dengan Kompensasi ('Iwudh) dan Tanpa


Wakalah Pembelian Barang
a. Da 'ir menga.iukan pengalihan piutangnya kepada pihak ketiga;
b. Pihak ketiga rnenyetujui penawaran tersebut setelah dilakukan
analisis dari berbagai sisi;
c. Pihak ketiga membeli barang di Bursa atau di luar Bursa yang
disetujui DSN-MUI untuk mengalihkan piutang (melalui jual
beli) milik da'in;
d. Da'in dan pihak ketiga melakukan akad pengalihan piutang dan
dilakukan:
1)
Da'in menyerahkan dokumen piutang kepada pihak ketiga;
2)
Pihak ketiga (Da'in baru) menyerahkan barang untuk
membayar harga piutang Da'in (lama); dan
e. Da'in baru dapat memberikan kuasa (akad wakalah) kepada
da'in lama untuk menerima pembayaran danlatau pelunasan
utang dari ntadin untuk disampaikan kepada da'in baru.

4. Mekanisme Sutrrogasi dengan Kompensasi ('Iwadh) dan


Wakalah Pembelian Barang
a. Da 'in rnengajukan pengalihan piutangnya kepada pihak ketiga;
b. Pihak ketiga menyetujui penawaran tersebut setelah dilakukan
analisis dari berbagai sisi;
c. Pihak ketiga memberi kuasa (akad wakalah) kepada Da'in
untuk membeli barang yang akan dijadikan harga (tsaman);

D ew an Sy ari ah N as io n al - Maj eIi s Ul am ct In done.v i a


101 Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah

d. Da'in dan pihak ketiga melakukan akad pengalihan piutang dan


dilakukan:
Da'in tnenyerahkan dokumen piutang kepada pihak ketiga;
1)
2) Pihak ketiga (da'in baru) nrenyerahkan barang untuk
membayar harga piutang da'in lama; dan
e. Da'in baru dapat memberikan kuasa (akad wakalah) kepada
da'in lama untuk menerirna pernbayaran danlatau pelunasan
utang dari madin untuk disampaikan kepada da'in baru.

Keempat Ketentuan Khusus


l. Biaya subrogasi yang timbul menjadi beban da'in lama dan da'in
baru sesuai kesepakatan;
2. Bentuk subrogasi yang disertai dengan kompensasi dalam hukum
perdata Indonesia dikenal dengan Cessie;
3. Pengalilian piutang (melalui jual beli) harus memenuhi ketentuan-
ketentuan khusus berikut:
a. Piutang uang (al-dain al-naqdi) hanya boleh dialihkan dengan
barang (sil'ah) sebagai alat bayar (tsantan);
b. Piutang yang akan dialihkan harus jelas jumlah dan
spesifikasinya;
c. Piutang yang dialihkan tidak sedang dijadikan jaminan
(al-rahn). Piutang yang sedang dijadikan jaminan boleh dijual
setelah mendapat izin dari penerima jaminan;
d. Barang (.sil'ah) yang dijadikan sebagai alat pembayaran
(t.saman) harus barang yang halal, jelas jenis serla nilainya
sesuai kesepakatan;
e. Ketika transaksi pengalihan piutang dilakukan, da'in baru
harus sudah rnemiliki sil'ah yang akan dijadikan tsaman, baik
dibeli di Bursa maupun di luar Bursa, baik dibeli sendiri
maupurl melaluiwakil;
f. Pembayaran harga atas pengalihan piutang harus dilakukan
secara tunai; dan

g. Subrogasi hanya boleh dilakukan atas piutang yang sah


berdasarkan syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Kelima Ketentuan Penutup


I. Jika salah satu pihak tidak rnenunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan rnelalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan
syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

D ew an Sy ar i ah l{ ct,s i o n ctl - M aj e I i s tJ I am a I n d o n e.s i a


101 Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syqllah

2. jika di
Fatwa ini berlaku se.iak tanggalditetapkan dengan ketentuan
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 29 Dzulhi-ijah 1436 H
01 Oktober2016 M

DEWAN SYARIAH NASION


MAJELIS ULAMA INDO
kretaris,

MA'RU AMI M.AG

D ew an Sy ari ah N as i o nrtl - M ai e I i s U I ama In d o ne s i a


BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM
AKAD PEMBIAYAAN HAWALAH
(PEMBIAYAAN PENGALIHAN UTANG)
Nomor : 6.-
-Pada hari ini, senin, tanggal 04-06-2007 (empat Juni duaribu tujuh); -
-Pukul 11.10 (sebelas lewat sepuluh menit) Waktu Indonesia Barat;-
-Berhadapan dengan saya, - - - - - - - - - - - - - - - - Sarjana Hukum,
Magister Kenotariatan, - - - - - - - - - - - - - - - - dengan dihadiri oleh
saksi-saksi yang saya, Notaris kenal dan identitas disebutkan pada
bagian akhir akta ini : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
I. -Tuan - - - - - - - - - - - -lahir di Bandung pada tanggal 27-11-1979
(duapuluh tujuh November seribu sembilanratus tujuhpuluh- - - - - - -
sembilan),Warga Negara Indonesia, Direktur Utama dari peseroan- -
terbatas yang akan disebut, bertempat tinggal di Propinsi Jawa Barat,
Jalan Pungkur Nomor 26A, Rukun Tetangga 008, Rukun Warga 001,
Kelurahan Pungkur, Kecamatan Regol, Kota. Bandung, pemegang
kartu Tanda Penduduk nomor : 1050122711790002;- - - - - - - - - - - -
-Untuk sementara berada di Jakarta; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Dalam hal ini bertindak dan lahir jabatannya tersebut diatas dan oleh-
karenanya sah mewakili Direksi Perseroan, sehingga berhak bertindak
untuk dan atas nama perseroan terbatas - - - - - - - - berkedudukan di
Bandung yang pendirian dan anggaran dasarnya sebagaimana ternyata
dalam Akta tertanggal 14-10-2003 (empatbelas Oktober duaribu tiga),
Nomor : 27 yang dibuat dihadapan ----------------------------- Sarjana
Hukum, Notaris di Bandung dan telah mendapat pengesahan dari
Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
sebagainana ternyata dalam Surat Keputusannya tertanggal 21-04-
2004 (duapuluh satu April duaribu empat) Nomor 09717. 4. 01 01 TH
2004 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Akta dan surat keputusan mana yang salinan resminya telah- - - -
diperlihatkan kepada saya, Notaris; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Menurut keterangan penghadap, sudah tidak ada lagi akta-akta,- - - -
dan/atau surat keputusan-surat keputusan lainnya selain tersebut- - - -
diatas; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-- untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini, telah mendapat- -
persetujuan dari : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
a. -Komisaris Perseroan, yaitu : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
1. - - - - - - - - - - - - - - - - - lahir di Bandung pada tanggal 29-10-
1951 (duapuluh seinbilan Oktober seribu serabilanratus- - - - -
limapuluh satu), Warga Negara Indonesia, Komisaris Utama-
Perseroan, bertempat tinggal di Propinsi Jawa Karat, Jalan- - -
Pungkur Nomor 26A, Rukun Tetangga 008, Rukun Warga- - -
001, Kelurahan pungkur, Kecamatan Regol, Kota Bandung,- -
pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor: 105012910510001;-
2. -Nyonya - - - - - - - - - - - - - - lahir di Bandung pada tanggal-
24-03-1952 (duapuluh empat Agustus seribu sembilanratus-
limapuluh dua), Warga Negara Indonesia, Komisaris- - - - - - -
Perseroan, bertempat tinggal di Propinsi Jawa Barat, Jalan- - - -
Pungkur Nomor 26A, Rukun Tetangga, Rukun Warga 001,- -
Kelurahan Pungkur, Kecamatan Regol, ,- - - - - pemegang
kartu tanda Penduduk nomor : 1050126408520001;
3. -Nona --------------------------, lahir di Bandung pada tanggal
24-05-1978 (duapuluh empat Mei seribu sembilanratus
tujuhpuluh delapan), Warga Negara Indonesia Komisaris
Perseroan,- - - - - bertempat tinggal di Propinsi Jawa.Barat,
Jalan Pungkur- - - - - Nomor 26A, Rukun Tetangga 008,
Rukun Warga 001,- - - - - - Kelurahan Pungkur, Kecamatan
Regol, Kota Bandung,- - - - - - pemegang Kartu Tanda
Penduduk nomor :- - - - - - - - - - - - - 1050126405-; - - - - - - -
---------------------
-Untuk sementara kesemuanya berada di Jakarta yang turut hadir-
dalam jabatannya masing-masing tersebut diatas dan- - - - - - - - - -
menandatangani Akad ini dihadapan saya, Notaris dengan dihadiri-
saksi-saksi yang sama, sebagai tanda persetujuannya; - - - - - - - - -
b. -Para Pemegang Sahara Perseroan sebagaimana ternyata dari- - - -
Notulen Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Para- - - - - - -
Pemegang Saham perseroan terbatas Berkadudukan di Bandung- -
tertanggal 07-06-2007 (tujuh Juni duaribu tujuh) yang dibuat- - - -
dibawah tangan dan bermaterai cukup yang aslinya dilekatkan- - -
pada miuta akta saya Notariss tertanggal hari Akad ini, Nomor : 2-
dan fotocopy sesuai aslinya dilekatkan pada minuta Akad ini; - - - -
-Untuk selanjutnya perseroan terbatas - - - - - - - - - - tersebut akan
disebut “NASABAH". - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
I. -Tuan - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - lahir di Jakarta, pada tanggal 01-
12-1965 (satu Desember seribu sembilanratus enampuluh lima)- - -
Warga Negara Indonesia perseroan terbatas PT. BANK -------------
yang akan disebut, bertempat tinggal di Daerah Khusus- - Ibukota
Jakarta, Jalan Talaud Nomor 3, Rukun Tetangga 001, Rukun Warga
04, Kelurahan Cideng, , Kotamadya- - - - Jakarta Pusat, pemegang
Kartu Tanda Penduduk Nomor:- - - - - - - 09.5001.011265.00123,- -
-----------------------------
-Menurut keterangan dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat- - - -
Kuasa yang dibuat dibawah tangan dan bermeterai cukup, tertanggal
04-06-2007 (empat Juni duaribu tujuh) yang aslinya di lekatkan pada
minuta akta saya, Notaris tertanggal hari Akad ini, Nomor : 2 dan- -
fotocopy sesuai aslinya dilekatkan pada minuta Akad ini selaku- - -
kuasa dari Tuan Joko Wahyuhono dalam kedudukannya sebagai- -
Direktur Utama perseroan terbatas PT. BANK ----------------yang
akan disebut, oleh karenanya sah bertindak untuk- dan atas nama
perseroan terbatas PT. BANK -----------------------, berkedudukan di
Jakarta yang pendirian dan anggaran dasar berikut perubahan-
perubahannya telah. diumumkan dan/atau sebagaimana- ternyata
dalam : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 13-07-1976 (tigabelas-
Juli seribu sembilanratus tujuhpuluh enam),- Nomor : 56, Tambahan
Nomor : 534; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 26-02-1982 (duapuluh-
enam Februari seribu sembilanratus delapanpuluh dua), Nomor : 17,-
Tambahan Nomor : 244 ; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Berita Negara Republik Indoneisa tanggal 11-11-1986 (sebelas- - -
November seribu sembilanratus delapanpuluh enam), Nomor : 90, - -
Tambahan Nomor : 1364; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 11-01-1994 (sebelas
Januari seribu sembilanratus sembilanpuluh empat), Nomor : 3,- - - -
Tambahan Nomor : 181; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 27-02-1998 (duapuluh
tujuh Februari seribu sembilanratus sembilanpuluh delapan), Nomor:
17 Tambahan Nomor : 1293; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 31-10-2000 (tigapuluh
satu Oktober duaribu), Nomor : 87, Tambahan Nomor : 6586 ; - - - -
--Berita Negara Republik Indoneisa tanggal 31-10-2000 (tigapuluh
satu Oktober duaribu), Nomor : 87, Tambahan Nomor : 6587; - - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 31-10-2000 (tigapuluh
satu Oktober duaribu), Nomor : 87, Tambahan Nomor : 6588; - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 31-10-2000 (tigapuluh
satu Oktober duaribu), Nomor: 87 Tambahan Nomor : 6589; - - - - - -
--Akta risalah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa perseroan
terbatas PT. SYARIAH xxxxxxxxxx, tertanggal 17-05-2006- - - - - -
- (tujuhbelas Mei duaribu enam), nomor 56, yang dibuat oleh
xxxxxxxxx, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta; - - - - - - - - - - - - - -
--Berita Negara Republik Indonesia tanggal 15-09-2006 (limabelas
september duaribu enam), Nomor: 74 Tambahan Nomor : 960; - - - -
--sedangkan susunan Direksi perseroan yang terakhir sebagaimana
ternyata dalam akta pernyataan keputusan pemegang saham perseroan
terbatas PT. BANK -------------------------------, tertanggal 21-12-2005
(duapuluh satu Desember duaribu lima), nomor 11 yang dibuat
dihadapan ------------------, Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta; - -
--berita Negara-berita Negara serta salinan akta resmi mana telah
diperlihatkan kepada saya, Notaris; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--menurut keterangan pengadap sudah tidak ada lagi berita Negara-
berita Negara, akta-akta atau surat keputusan selain yang tersebut
diatas. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Untuk selanjutnya perseroan terbatas PT.BANK --------------------------
------, tersebut akan disebut "BANK". ------------------
Para penghadap telah dikenal oleh saya, Notaris dari identitasnya- -
masing-masing. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Para penghadap masing-masing bertindak dalam kedudukannya-
tesebut diatas menerangkan terlebih dahulu : - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Bahwa NASABAH telah mengajukan permohonan pembiayaan
kepada BANK sebagaimana ternyata dari surat yang dikeluarkan
NASABAH tertanggal 26-03-2007 (duapuluh enam Maret duaribu
tujuh), Nomor : 9/1/2007 dan Selanjutnya BANK telah menyetujui
memberikan fasilitas Pembiayaan Line Facility kepada - - - - - - -
NASABAH dalam jenis pembiayaan Hawalah, Qardh, wal - - - - -
Murabahah sebagaimana ternyata dalam Surat Penegasan- - - - - - -
Persetujunn Pembiayaan tertanggal 31-05-2007 (tigapuluh satu - -
Mei duaribu tujuh), Nomor : 9/021-3//DPB1 yang aslinya- - - - -
diperlihatkan kepada saya, Notaris dan fotocopy sesuai aslinya
dilekatkan pada minuta Akad ini; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Bahwa selanjutnya antara BANK dan NASABAH telah- - - - - - -
menandatangani Akad Komitmen Limit Fasilitas Pembiayaan- - - -
(Line Facility), tertanggal hari Akad ini, Nomor : 2 yang dibuat- -
dihadapan saya, Notaris (selanjutnya Akad Komitmen Limit- - - -
Fasilitas Pembiayaan (Line Facility) tersebut berikut dengan segala
perubahan, penambahan dan/atau penggantiannya yang mungkin
ada cukup disebut “Line Facility”. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Bahwa sebagai satu kesatuam dengan Line Facility tersebut- - -
diatas, maka NASABAH mengajukan permohonan pencairan - -
pembiayaan kepada BANK sebagaimana ternyata dalam surat- - - -
yang diterbitan NASABAH tertanggal 04-06-2007 (delapan Juni- -
duaribu tujuh) Nomor : 08/VI/SK/2007 dan terkait dengan hal- - -
tersebut maka BANK telah setuju memberikan fasilitas- - - - - - -
Pembiayaan Hawalah, Qardh wal Murabahah kepada NASABAH-
sebagaimana ternyata dalam Surat Persetujuan Pencairan- - - - - - -
Pembiayaan tertanggal 04-06-2007 (empat Juni duaribu tujuh)- - -
Nomor : 9/030-3/SP/DPBI yang dibuat dibawah tangan dan- - - - -
bermaterai cukup yang aslinya diperlihatkan kepada saya, Notaris
dan fotocopy sesuai aslinya dilekatkan pada minuta Akad ini; - - -
-Bahwa selanjutnya terkait persetujuan pencairan pembiayaan- - -
tersebut, BANK dan NASABAH telah menandatangani Akad- - -
Qardh, tertanggal hari Akad ini, Nomor : 5 yang dibuat dihadapan
saya, Notaris (selanjutnya cukup disebut "Qardh"). - - - - - - - - - -
-Selanjutnya terkait dengan Line Facility dan pemberian fasilitas
pembiayaan Hawalah, Qardh wal Murabahah sebagaimana dimaksud,
maka sebagai satu kesatuan dengan Qardh, BANK dan NASABAH
telah sepakat untuk manandatangani akad Pembiayaan Hawalah
(Pembiayaan Pengalihan Utang) sebagaimana yang hendak dinyatkan
dalam Akad ini dengan syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan
sebagai berikut : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

---------------Pasal 1---------------
------------------------------DEFINISI-------------------------------
-Hawalah : Akad pemindahan utang NASABAH kepada-
BANK atas pemindahan utang tersebut, - - - -
BANK memperoleh imbalan/atau Fee /atau - -
Ujrah yang besarnya ditentukan sesuai - - - - -
kesepakatan antara BANK dan NASABAH .- -
-Fee /atau Ujrah : sejumlah uang sebagai imbalan jasa BANK.- -
-Syariah : Hukum Islam yang bersumber dari al Qu'ran- -
dan al Hadist (sunnah) yang mengatur segala-
hal yang mencakup bidang ibadah mahdhah- -
dan ibadah muamalah. - - - - - - - - - - - - - - - -
-Utang : Kewajiban NASABAH kepada perseroan - - -
terbatas PT. Bank Nusantara xxxxxx,- - -
Terbuka, berkedudukan di Bandung. - - - - - - -
-Pembiayaan : Pagu atan plafond dana yang disediakan- - - - -
BANK. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Surat Pengakuan : Surat NASABAH mengenal pengakuan - - - -
NABABAH mempunyai utang kepada BANK
yang dibuat dan ditandatangani NASABAH- -
dan diterima serta diakui oleh BANK sehingga
karenanya berlaku dan bernilai sebagal bukti- -
sah tentang adanya kewajiban pembayaran- - -
dari NASABAH kepada BANK sebasar yang-
terutang. Surat Pengakuan utang tidak terbatas
pada wesel, promes dan/atau instrument- - - - -
lainnya. -----------------------
-Hari kerja BANK : Hari kerja Bank Indonesia. - - - - - - - - - - - - -

-------------Pasal 2------------
-----------------PEMBIAYAAN DAN PENGGUNAAN ---------------
1. NASABAH mengikatkan diri untuk mengalihkan utang-nya kepada
BANK berupa utang kepada perseroan terbatas PT. Bank- - - - - -
Nusantara Parahyangan, Terbuka, berkedudukan di Bandung.- - - -
2. BANK dengan hal ini telah setuju untuk mengambil alih Utang- - -
tersebut dengan cara melunasinya dengan limit atau plafond- - - - -
Pembiayaan sebesar Rp. 35.860.000.000,- .(tigapuluh lima milyar-
delapanratus enampuluh juta rupiah). Atas pengalihan tersebut- - - -
BANK akan menggantikan kedudukan NASABAH sebagai tertagih
dengan segala hal-hal yang melekat pada Utang tersebut. - - - - - - -
3. Oleh karena itu, NASABAH dengan ini mengaku telah berutang-
kepada BANK sejumlah uang dengan Ketentuan sebagai berikut: -
--Limit Pembiayaan sebesar Rp. 35.860.000.000.,- - - - - - - - - - - -
(tigapuluh lima milyar delapanratus enampuluh juta rupiah) sesuai-
dengan nilai outstanding NASABAH di perseroan terbatas PT. - - -
Bank Nusantara Parahyangan, Terbuka, tersebut yang juga sesuai-
dengan nilai bangunan Mall Indonesia International Trade Center.-
--Fee/atau Ujrah dan/atau Margin kepada BANK terkait dengan
Akad ini dan/atau Qardh dan/atau akad Pembiayaan Al Murabahah
yang telah dan/atau akan dibuat antara NASABAH dan BANK
yang menjadi satu kesatuan dengan Akad ini adalah sebesar Rp
22.077.474.095,24 (duapuluh dua milyar tujuhpuluh tujuh juta
empatratus tujuhpuluh emapat ribu sembilanpuluh lima korna dua
empat rupiah).- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Sehingga total Pembiayaan yang diangsur oleh NASABAH- - - - -
kepada BANK adalah sebesar Rp. 57.937.474.095,24 (limapuluh-
tujuh milyar sembilanratus tigapuluh tujuh juta empatratus - - - -
tujuhpuluh empat ribu sembilanpuluh lima Koma dua empat- - - - -
rupiah). - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

-------------Pasal 3-------------
-------------------------JANGKA WAKTU----------------------
-Fasilitas Hawalah ini berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun- - -
terhitung sejak pencairan Pembiayaan pertama kali termasuk grace- - -
period untuk angsurari pokok pembiayaan selama 1 (satu) tahun- - -
dengan ketentuan bahwa setiap penerimaan NASABAH dari hasi1- -
penjualan atau sewa atas Mall Indonesia International Trade Center
(IITC) di Jalan K.H Wahid Hasyim (Kopo), Kelurahan Cirangrang,
Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung harus disalurkan melalui
rekening NASABAH di BANK yang harus digunakan untuk- - - - - -
membayar seluruh kewajiban NASABAH kepada BANK, sehingga- -
jangka waktu pembiayaan dapat lebih cepat dari 5 (lima) tahun atau- -
dapat dilakukan percepatan pelunasan. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

-----------------Pasal 4----------------
-----------------------SYARAT-SYARAT PEMBIAYAAN---------------
-Dengan tetap memperhatikan dan mentaati ketentuan-ketentuan - - -
tentang pembatasan penyediaan dana yang ditetapkan oleh yang- - - -
berwenang, BANK berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk
mengizinkan NASABAH menarik Pembiayaan secara sekaligus atau
bertahap sesuai besarnya Utang atau outstanding NASABAH di- - - -
perseroan terbatas PT. Bank Nusantara Parahyangan, Terbuka - - - -
tersebut dan jumlahnya berdasarkan surat keterangan atau dokumen
resmi lainnya dari perseroan terbatasi PT. Bank Nusantara - - - - - - -
Parahyangan, Terbuka, tersebut yang dapat diterima dan telah - - -
diverifikasi oleh BANK dengan jumlah maksimum pembiayaan- - -
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Akad ini dan apabila ada- - - -
kekurangan, maka hal tersebut harus dipenuhi dan/atau dibayar oleh
NASABAH sendiri, kesemuanya setelah NASABAH memenuhi- - - -
persyaratan sebagai berikut : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
a) NASABAH telah menyerahkan Surat Penegasan Persetujuan-
Pembiayaan (SP3) yang telah ditandatangani oleh pengurus-
NASABAH dan bermeterai cukup; - - - - - - - - - - - - - - - - - -
b) NASABAH telah membuka rekening di BANK; - - - - - - - - -
c) NASABAH telah menyetor dana pada rekening NASABAH di
BANK untuk pencadangan pembayaran segala biaya yang
timbul dari persetujuan pembiayaan, termasuk namun tidak
terbatas pada biaya administrasi, biaya jasa notaris, biaya- - -
materai, dan premi asuransi terkait fasilitas pembiayaan yang-
diterima NASABAH dari BANK;- - - - - - - - - - - - - - - - - - -
d) NASABAH atau pihak ketiga pemilik jaminan telah- - - - - - - -
menyerahkan kepada BANK berupa seluruh Dokumer- - - - -
Jaminan untuk selanjutnya dilakukan pengecekan pada- - - - -
instansi berwenang dan hasilnya harus positif agar dapat- - - -
dijadikan jaminan atas pembiayaan; - - - - - - - - - - - - - - - - - -
e) NASABAH telah menyerahkan surat kuasa kepada BANK- - -
untuk melakukan pendebetan dana di rekening NASABAH di
BANK untuk pembayaran angsuran pembiayaan tiap - - - - - -
bulannya, biaya keterlambatan, biaya administrasi, biaya jasa
notaris, premi asuransi, dan biaya lainnya yang timbul dan- - -
menjadi Kewajiban NASABAH dalam kaitannya dengan- - - -
fasilitas pembiayaan dari BANK kepada NASABAH; - - - - -
f) NASABAH telah menyediakan dana sinking fund sebesar 1- -
(satu) kali angsuran yang harus sudah ada pada rekening- - - -
NASABAH di BANK sebagai saldo minimum; - - - - - - - - -
g) NASABAH telah menyerahkan kepada BANK berupa- - - - -
rekening koran yang menjelaskan tentang mutasi (penerimaan
utang dan pembayarannya) pinjaman NASABAH kepada- - -
pihak Ketiga, kesemusnya agar dapat dilakukan verifikasi- - -
oleh BANK atas utang yang akan dilunasi (take over) dengan
dana pembiayaan dari BANK; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
h) NASABAH telah menyerahkan kepada BANK berupa semua
legalitas NASABAH sebagai badan hukum dan legalitas- - - -
usaha serta copy atas bukti identitas pengurus NASABAH
serta melakukan perpanjangannya apabila sudah jatuh tempo;
i) NASABAH telah melunasi seluruh biaya yang timbul dan
menjadi kewajiban NASABAH sehubungan dengan - - - - - - -
pembiayaan ini; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
j) NASABAH telah menyerahkan kepada BANK berupa Surat
Permohonan Realisasi Pembiayaan (SPR) disertai dengan- - -
surat pengakuan utang (promes) dan/atau Tanda Terima Uang
Nasabah (TTUN), kesemuanya diatas materai Rp.6.000,-
(enamribu rupiah); - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
k) NASABAH telah menandatangani akad pembiayaan yang- - - -
menjadi satu kesatuan dengan Akad ini dan akta pengikatan- -
jaminan secara sempurna; - - - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - -
l) Untuk perraohonan pencairan pembiayaan yang kedua dan- - -
selanjutnya, maka NASABAH harus telah menyerahkan- - - -
kepada BANK berupa bukti penggunaan dana pembiayaan
yang telah ditarik sebelumnya; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
m) NASABAH telah menyerahkan kepada BANK berupa- - - - -
Feasibility Study dari konsultan independen yang menjadi- - -
rekanan BANK dan apabila ternyata hasilnya negatif maka- -
pembiayaan yang dimaksud dalam Akad ini dapat dibatalkan;
-Selain syarat-syarat tersebut diatas, maka selama masa pembiayaan,
NASABAH juga harus memenuhi seluruh ketentuan-ketentuan- - - - -
lainnya, yaitu : ---------------------------------
a) Mempergunakan pembiayaan yang diberikan sesuai dengan- -
ketentuan yang telah ditetapkan; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
b) Kelurahan Cirangrang, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota- - -
Bandung, Propinsi Jawa Barat, yang terdaftar atas nama Tuan
CENG CENG NAMARA L dan Nyonya MILAN SARI- - - -
NAMARA M tersebut; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
c) Setiap penerimaan NASABAH dari hasil penjualan atau- - - - -
penyewaan Mall Indonesia International Trade Center (IITC)-
tersebut harus disalurkan melalui rekening NASABAH di- - - -
BANK dan harus digunakan untuk pembayaran seluruh- - - - -
kewajiban NASABAH kepada BANK; - - - - - - - - - - - - - - - -
d) Mengumumkan pendirian dan anggaran dasarnya dalam Berita
Negara Republik Indonesia; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
e) Melakukan konversi atas utang NASABAH kepada para- - - - -
pemegang sahamnya menjadi tambahan modal disetor oleh- - -
para penegang saham tersebut ke dalam perseroan; - - - - - - - -
Memperkenankan BANK untuk sewaktu-waktu menugaskan- -
konsultan dan atau akuntun publik dan atau pihak-pihak lain- -
untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu oleh BANK- - -
antara lain melakukan pengawasan dan membuat laporan- - - -
penggunaan pembiayaan. Apabila dianggap perlu disebabkan-
atas suatu pertimbangan resiko yang dipikul, BANK juga- - - -
berhak untuk : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Menjual barang jaminan dan menerima hasilnya guna - - - - -
pelunasan seluruh kewajiban NASABAH kepada BANK; - - -
-Mengoperasikan dan mengambil alih pengalolaan- - - - - - - - -
NASABAH baik oleh BANK sendiri ataupun pihak lain yang
ditunjuk oleh BANK; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
f) Pembayaran angsuran kepada BANK adalah prioritas pertama
NASABAH sebelum pembayaran kewajiban kepada pihak- - -
lain; --------------------------------------
g) Mempertahankan status atau legalitas NASABAH sebagai- - -
suatu perseroan terbatas serta perijiinan usaha, termasuk untuk
memperbaharuinya jika akan berakhir masa berlakunya; - - - -
h) Merawat dan memelihara jaminan dengan sebaik-baiknya; - - -
i) Selalu terbuka dan kooparatif dengan BANK, memberikan-
ijin dan kemudahan bagi petugas BANK atau pihak yang- - - -
ditunjuk untuk melakukan peninjauan jam manataupun- - - - - -
melakukan pemeriksaan terhadap segala hal yang berkaitan- - -
dengan fasilitas pembiayaan; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

----------------Pasal 5---------------
-------------------- UTANG YANG DIALIHKAN ----------------------
-NASABAH menjamin dan dongan ini mengi katkan diri bahwa
Utang yang dialihkan adalah Utang yang timbul dan memenuhi
persyaratan dari suatu transaksi yang sah, tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan serta tidak tersangkut dalam suatu perkara.

--------------Pasal 6-------------
------------------ENDORSEMENT ATAS UTANG------------------
-NASABAH mengikatkan diri untuk melaksanakan endorsement:- - -
(pengesahan) atas asli setiap dokimen-dokumen yang berkenaan- - - -
dengan pengalihah Utang sebagaimana dimaksud dalam Akad ini. - - -

---------------Pasal 7---------------
-----------------------CARA PEMBAYARAN-----------------------
1. NASABAH dengan ini berjanji untuk membayar angsuran atas
Pokok Pembiayaan dan Fee /atau Ujrah dan/atau Margin terkait- -
dengan Akad ini dan/atau Qardh dan/atau akad Pembiayaan Al- -
Murabahah yang telah dan/atau akan dibuat antara NASABAH- -
dan BANK yang menjadi satu kesatuan dengan Akad ini pada- -
saat jatuh tempo perbulannya dengan ketentuan sebagai berikut: -
a. -Angsuran bilan ke-1 (pertama) sampai dengan bulan ke-12
(keduabelas) adalah sebesar Rp.463.191.667,67,-- - - - - - - - - -
(empatratus.jenampuluh tiga juta seratus sembilanpuluh satu- -
ribu enamratus enampuluh tujuh koma enam tujuh rupiah); - -
b. -Angsuran bulan ke-12 (keduabelas) sampai dengan bulan- - - -
ke-60 (keena/npuluh) adalah sebesar Rp.1.091.232.794,65- - -
(satu milyar sembilanpuluh satu juta duaratus tigapuluh dua
ribu tujuhratus sembilanpuluh empat koma enam lima rupiah)
2. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran oleh NASABAH
kepada BANK, maka NASABAH berjanji dan dengan ini- - - - - -
mengikatkan diri untuk membayar biaya administrasi kepada
BANK sebesar 0,00069 (enampuluh sembilan perseratus ribu)
dari angsuran perhari untuk tiap-tiap hari keterlambatan terhitung
sejak saat kewajiban pembayaran tersebut jatuh tempo sampai
dengan tanggaldilaksanakannya pembayaran kembali,- - - - - - - -
kesemuanya berdasarkan catatan pembukuan BANK. - - - - - - - -
3. Setiap pembayaran kembali atau pelunasan Utang yang timbul- -
berdasarkan akad ini, oleh NASABAH kepada BANK dilakukan-
di kantor BANK atau tempat lain yang ditunjuk BANK atau- - - -
dilakukan melalui rekening yang dibuka oleh dan atas nama- - - -
NASABAH di BANK. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4. Dalam hal pembayaran dilakukan melalui rekening NASABAH di
BANK, maka dengan ini NASABAH memberikan kuasa penuh
kepada BANK untuk mendebet rekening NASABAH yang ada
pada BANK Kuasa mana tidak dapat dicabut dan tidak berakhir
karena sebab-sebab yang tercantum dalam Pasal 1813, 1814, 1816
Kitab Undang Undang Hukum Perdata Republik Indonesia serta
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akad ini. - - - - - - -
5. Dalam hal pembayaran kembali/atau pelunasan Utang bertepatan
dengan hari libur, NASABAH berjanji dan dengan ini- - - - - - - -
mengikatkan diri untuk melakukan pembayaran pada hari kerja- -
berikutnya. ---------------------------------

---------------Pasal 8---------------
---------------------BIAYA, POTONGAN DAN PAJAK------------------
-NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk - - - - - -
menanggung segala biaya yang diperlukan berkenaan dengan - - - - -
pelaksanaan Akad ini, termasuk tidak terbatas pada biaya jasa notaris,
asuransi dan total biaya administrasi dari seluruh fasilitas pembayaran
Line Facility yang diterima oleh NASABAH dari BANK sebesar 1%
dari Plafond pembiayaan Line facility, sepnnjang hal itu diberitahukan
BANK kepada NASABAH sebelum ditandatanganinya Akad ini dan
NASABAH menyatakan persetujuannya. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Setiap pembayaran kembali/atau pelunasan utang sehubungan- - - - -
dengan Akad ini dan/atau akad-akad pembiayaan lainnya yang- - - - -
menjadi satu kesatuan dengan Akad ini, dilakukan oleh NASABAH -
kepada BANK tanpa potongan, pungutan, bea, pajak dan/atau biaya-
biaya lainnya, kecuali jika potongan tersebut diharuskan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. - - - - - - - - - - - - - - - - -
-NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri bahwa terhadap
setiap potongan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku akan dilakukan pembayarannya oleh NASABAH- - - - -
melalui BANK. ---------------------------------

----------------Pasal 9---------------
---------------------------------JAMINAN-------------------------------
-Untuk menjamin tertibnya pembayaran kembali/atau pelunasan atas.
utang pokok pembiayaan, Fee/atau Ujrah serta biaya-biaya lainnya- - -
yang timbul dari pembiayaan tepat pada waktu yang telah disepakati-
kedua belah pihak berdasarkan Akad ini dan/atau akad turunannya
dan/atau catatan pembukuan BANK, berikut dengan segala- - - - - - -
perubahan, penambahan dan penggantian yang kiranya akan dibuat- -
dikemudian hari antara NASABAH dan BANK yang merupakan satu
kesatuan dengan Akad ini, maka NASABAH berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk menyerahkan jaminan dan membuat- - - - - -
pengikatan jaminan kepada BANK sesuai dengan peraturan- - - - - - -
perundang-undangan yang berlaku, yaitu berupa: -------------
a. -30 (tigapuluh) bidang tanah berikut segalasesuatu yang menjadi- - -
turutannya termasuk bangunan Mall Indonesia International bidang-
tanah berikut segala sesuatu mutannya termasuk bangunan Mall- - -
Indonesia Trade Center yang berada diatasnya maupun segala- - -
sesuatu yang akan ada dikemudian hari yang menurut sifat dan- - - -
peruntukannya (merupakan satu kesatuan dengan bidang-bidang- -
tanah tersebut yang terletak di Propinsi Jawa Barat, Kota Bandung,-
Kecamatan Babakan Ciparay, Desa Cirangrang, dengan bukti- - - - -
kepemilikan berupa 30 (tigapuluh) Sertipikat Hak Milik, berturut-
turut Nomor : - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
1510/Cirangrang, 452/Cirangrang, 1511/Cirangrang, - - - - - - - - - -
1512/Cirangrang. 1513/Cirangrang, 1514/Cirangrang, - - - - - - - - - -
1528/Cirangrang. 1529/Cirangrang, 475/Cirangrang, - - - - - - - - - -
00582/Cirangrang, 00583/Cirangrang, 00584/Cirangrang, - - - - - -
00585/Cirangrang, 00586/Cirangrang, 00587/Cirangrang, - - - - - -
00588/Cirangrang, 00589/Cirangrang, 00590/Cirangrang, - - - - - -
00591/Cirangrang, 481/Cirangrang, 01537/Cirangrang, - - - - - - - -
230/Cirangrang, 231/Cirangrang, 232/Cirangranng,- - - - - - - - - -
233/Cirangrang, 234/Cirangrang, 1663/Margahayu,- - - - - - - - - - -
1717/Cirangrang, 1591/Cirangrang, dan Nomor 01536/Cirangrang;
-Bidang-bidang tanah mana yang akan dibebani dengan Hak - - - - -
Tanggungan peringkat I (pertama) untuk kepentingan BANK- - - -
dengan total nilai penjaminan sebesar Rp.120.000.000.000,- - - - - -
(seratus duapuluh milyar rupiah). - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
b. -Pemberian jaminan secara kepercayaan (fidusia) atas semua dan-
cetiap hak, wewenang, tagihan atau piutang dagang serta klaim- - -
yang sekarang telah dan/atau yang dikemudian hari akan dimiliki,-
diperoleh serta dapat dijalankan oleh NASABAH kepada para- - - -
pihak ketiga terkait dengan penjuaian dan penyewaan Gedung- - -
Indonesia International Trade Ceneter tersebut dengan nilai- - - - -
penjaminan untuk kspentingan BANK sebesar Rp.6.000.000.090,-
(enam milyar rupiah). Sebagaimana ternyata dari Daftar Tagihan
yang diterbttkan NASABAH tertanggal 04-06-2007 (empat Juni
duaribu tujuh) yang dibuat dibawah tangan dan bermaterai cukup
yang aslinya dilekatkan pada minuta Akad ini, berikut dengan
segala dan setiap perubahan, penambahan dari atau penggantiannya
yang mungkin ada dikemudian hari; ------------------
c. -Jaminan Pribadi (Personal-Guarantee) dari Tuan ---------------- L
tersebut; ----------------------------
-Bahwa atas seluruh obyek jaminan tersebut dalam pasal ini akan
diIakukan pengikatan jaminan tersendiri antara BANK dan- - - - - -
NASABAH atau pihak ketiga pemilik jaminan; - - - - - - - - - - - - - -
-Bahwa atas seluruh objek jaminan dimaksud dalam pasal ini juga-
akan menjadi jaminan bagi seluruh fasilitas pembiayaan yang- - - -
merupakan turunan dari Line Facility, Kesemuanya berikut dengan-
segala akad perubahan, penarnbahan dan atau penggantiannya yang
mungkin ada dikemudian hari (Cross Collateral). - - - - - - - - - - - -

-------------------Pasal 10------------------
-------------------------CEDERA JANJI----------------------
-Menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 3 dan 7 Akad ini, BANK
berhak untuk menuntut /atau menagih pembayaran dari NASABAH
atau siapa pun juga yang memperoleh hak darinya, atas sebagian /atau
seluruh jumlah utang NASABAH kepada BANK berdasarkan Akad
ini beserta akad-akad pembiayaan dan/atau perjanjian lainnya yang
menjadi satu kesatuan dengan dengar. Akad ini (berikut dengan segala
perubahan, penambahan dan/atau penggantian yang kiranya akan
dibuat dikemudian hari antara NASABAH dan BANK), untuk dibayar
dengan seketika dan sekaligus tanpa diperlukan adanya surat
pemberitahuan, surat teguran /atau surat lainnya, kesemauanya apabila
terjadi salah satu hal /atau peristiwa tersebut dibawah ini ("Event Of
Default") : --------------------------------------
1. -NASABAH tidak melaksanakan kewajiban pembayaran /atau- - -
pelunasan tepat tiada waktu yang diperjanjikan sesuai dengan- - -
tanggal jatuh tempo dan/atau NASABAH tidak memenuhi
kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana ditetapkan dalam akad
ini atau akad lainnya yang menjadi satu turunan dan satu kesatuan
dengan Akad ini, termasuk namun tidak terbatas pada kewajiban
pembayaran angsuran atas utang pokok pembiayaan dan Margin
dan/atau Fee atau Ujrah; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
2. – dokumen, pernyataan, pengakuan, laporan atau keterangan yang
diserahkan /atau diberikan NASABAH kepada BANK adalah- - -
palsu, tidak sah /atau tidak benar; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3. -NASABAH dinyatakan dalam keadaan pailit, ditaruh dibawah
pengampuan, dibubarkan, insolvensi dan/atau dilikuidasi; - - - - - -
4. -NASABAH atau pihak ketiga telah memohon pailit NASABAH
kepada instansi yang berwenang; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
5. -NASABAH terlibat dalam suatu perkara didepan pengadilan atau
lembaga atau instansi lainnya; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
6. -NASABAH tidak dapat memenuhi dan/atau melanggar sebagian
atau seluruh syarat atau katentuan yang tersebut dalarn Akad ini
dan/atau Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan dan/atau Surat
Persetujuan Pencairan yakni akan disebut yang dibuat atau- - - -
mungkin dibuat antara pihak yang menjadi satu kesatuan (dengan
Akad ini dan/atau rnelanggar ketentuan dalam : - - - - - - - - - - - -
-- Akad Komitmen Limit Fasilitas Pembiayaan (Line Facility),- -
Nomor : 2; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Akad Qardh, Nomor : 5 keduanya tertangga 1 hari Akad ini; - -
--Akad Pembiayaan Al Murabahah yang akan dibuat oleh para - -
pihak setelah Akad ini; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-kesemuanya berikut dengan segala dan setiap perubahan,- - - -
penambahan dan/atau penggantian yang mungkin dibuat- - - - - - -
dikemudian hari. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
7. -Apabila berdasarkan peraturan perundang-undangan yang- - - - -
berlaku atau keraudian berlaku, HASABAH tidak dapat /atau- - -
tidak berhak menjadi NASABAH;- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
8. -Apabila karena sesuatu sebab Akad ini dan/atau akad- - - - - - -
turunannya dan/atau sebagian atau seluruh Akta Jaminan- - - - - -
ternyata dinyatakan batal berdsarkan Putusan Pengadilan atau- -
Badah Arbitrase; ----------------------------
9. -Apabila pihak yang mewakili NASABAH dalam Akad ini- - - - -
menjadi pemboros, pemabuk, atau dihukum berdasar Putusan- -
Pengadilan yang telah berkelakuatan tetap dan pasti (in kracht- - -
vani gewijsde) karena perbuatan kejahatan yang dilakukannya- - -
yang diancam dengan hukuman penjara atau kurungan 1 (satu)- -
tahun atau lebih; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
10. -NASABAH tercantum dalam daftar kredit macet Bank- - - - - -
Indonesia; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

---------------Pasal 11----------------
----------------------AKIBAT CEDERA JANJI----------------------
1. -Apabila NASABAH tidak melaksanakan pembayaran seketika- -
dan sekaligus dan/atau karena terjadi suatu hal atau peristiwa- - -
tersebut dalam Pasal 10 Akad ini, maka BANK berhak menarik- -
seluruh pembiayaan yang telah diberikan kepada NASABAH dan
NASABAH wajib melunasi secara sekaligus dan seketika atas- - -
utang pokok pembiayaan berikut Fee atau Ujrah dan/atau- - - - - -
kewajiban finansia lainnya kepada BANK, kesemuanya sesuai- - -
dengan catatan pembukuan BANK; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Apabila dalam jangka waktu tertentu atas suatu pertimbangan
resiko BANK terkait dengan keadaan diatas, maka BANK berhak
menjual barang jaminan dan uang hasil penjualan barang jaminan
tersebut digunakan BANK untuk membayar /atau melunasi utang
atau sisa utang NASABAH kepada BANK. - - - - - - - - - - - - - - -
2. -Apabila penjualan barang jaminan dilakukan BANK melalui- - -
pelelangan dimuka umum, maka NASABAH dan BANK berjanji
dan dengan ini mengikatkan diri untuk menerima harga yang- -
terjadi setelah dikurangi biaya-biaya sebagai harga jual barang- -
jaminan. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3. -Apabila penjualajji barang jaminan dilakukan dibawah tangan- -
maka NASABAH dan BANK sepakat, harga penjualan barang
jaminan ditetapkan oleh BANK dengan harga yang wajar menurut
harga pasar ketika barang jaminan dijual. - - - - - - - - - - - - - - - -
4. -Jika, hasil penjualan-barang jaminan tak mencukupi untuk- - - - -
membayar utang NABABAH kepada BANK, maka NASABAH
berjanji dan dengan ini mengikatkan dibentuk tetap- - - - - - - - -
bertanggung jawab melunasi sisa utangnya yang belum dibayar
sesuai dengan pembukuan BANK sanpai dengan lunas dan- - - -
sebaliknya apabila hasil penjualan barang jaminan melebihi- - -
jumlah uang atau sisa utang NASABAH kepada BANK, maka-
BANK berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk- - - - - - - -
menyerahkan kelebihan tersebut kapada NASABAH. - - - - - - -

--------------Pasal 12---------------
------------------PENGAKUAN DAN JAMINAN-----------------
-NASABAH dengan ini menyatakan mengaknai kepada BANK,
sebagaimana BANK menerima pernyataan pengakuan NASABAH
tersebut bahwa : ---------------------------------
a. NASABAH berhak dan berwenang sepenuhnya- - - - - - - - -
menandatangani Akad ini dan selurnh Dokumen yang- - - - - -
menyertainya serta telah memperoleh izin-izi yang diperlukan
untuk menjalankan usahanya. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
b. NASABAH menjamin, bahwa segala dokumen dan akta yang
telah ditandatangani oleh NASABAH berkaitan dengan Akad
ini, keberadaannya tidak melanggar atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau anggaran dasar- - - - - - - -
NASABAH yang berlaku, sehingga sah, berkekuatan hokum- -
serta mengikat NASABAH dalam menjalankan Akad ini dan
demikian pula tidak dapat menghalang-halangi- - - - - - - - - - -
pelaksanaannya. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
c. NASABAH menjamin bahwa pada saat penandatangan Akad
ini, para pemegang saham, direksi serta komisaris perseroan- -
NASABAH telah mengetahui dan memberikan persetujuannya
terhadap akad ini, dan demikian pula NASABAH menjamin
dan karenanya membebaskan BANK dari segala tuntutan atau
gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga terhadap NASABAH;
d. NASABAH tidak sedang terlibat sengketa atau perkara yang
sedang dihadapi atau persoalan hokum yang masih harus
diselesaikan dan dapat menimbulkan akibat kurang baik
terhadap keadaan keuangan NASABAH - - - - - - - - - - - - - - -
e. NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri apabila
diminta oeh bank dari waktu ke waktu menyerahkan kepada
BANK jaminan tambahan dan dinilai cukup oleh BANK
selama kewajiban membayar utang atau sisa utang kepada
BANK belum lunas - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
f. Nasabah berjanji sekarang dan dikemudian hari untuk- - - - - -
menanggung segala sebab dan biaya apabila terjadi cost over-
run atas fasilitas pembiayaan ini. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
g. Nasabah berjanji untuk menanggung segala biaya yang timbul
dari seluruh transaksi yang timbul berdasarkan akad- - - - - - - -
pembiayaan ini. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
h. NASABAH menjamin bahwa semua dan setiap informasi,
keterangan, laporan, data da/atau dokumen yang diserahkan
NASABAH kepada BANK adalah sebenernya; - - - - - - - - - -
------------------------------------

------------------Pasal 13-----------------
------PEMBATASAN TERHADAP TINDAKAN NASABAH------
-Nasabah berjanji dan dengan ini mengikatkan diri, bahwa selama- - -
masa berjalannya akad ini, berikut dengan segala dan setiap akad- - - -
turunannya, kecuali setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari- - - -
BANK, NASABAH tidak akan melalukan sebagian atau seluruhnya- -
dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut ("Negative Convenant”): - - -
1. Mengadakan Rapat Umum pemegang Saham atau mekanisme lain
yang rnempunyai kekuatan yang sama dengan Rapat Umum- - - -
Pemegang Saham dengan agenda dan keputusannya antara lain- -
adalah untuk mengubah status, anggaran dasar, susunan modal
dan pengurus dan/atau untuk membubarkan NASABAH; - - - - -
2. Membagikan deviden kepada para pemegang saham NASABAH;
3. Melakukan pembayaran utang jangka panjang kepada para- - - -
pemegang saham NASABAH; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4. Mengeluarkan pernyataan berutang dalam bentuk pinjaman,- - - -
penyewaan atau garansi kepada pihiak lain; - - - - - - - - - - - - - - -
5. Meminta pembiayaan baru atau tambahan dari bank atau
lemabaga pembiayaan lainnya untuk proyek yang sama yang telah
dibiayai BANK; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
6. Melakukan merger atau penggabungan dengan perusahaan lain
atau mengakuisiai /atau pengambilalihan perusahan lain/atau- - - -
memohon pailit kepada instnsi yang berwenang; - - - - - - - - - - -
7. Melakukan penjualan dan/atau mentransfer dan/atau- - - - - - - -
menjaminkan dan/atau membebani dengan kewajiban atas- - - - - -
sebagian atau seluruh kekayaan (asset) NASABAH yang telah- - -
ada atau yang akan ada dikemudian hari atau asset pihak ketiga-
yang telah dijaminkan kepada BANK; - - - - - - - - - - - - - - - - - -

---------------Pasal 14--------------
-----------------------------ASURANSI--------------------------
-NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk menutup
asuransi berdasarkan ketentuari Syari'ah atas beban NASABAH
terhadap saluruh jaminan bagi pembiayaan berdasar akad ini dan/atau
akad lainnya yang menjadi turunan dan/atau satu kesatuan dengan
Akad ini, kesemuanya pada perusahaan asuransi yang ditunjuk oleh
BANK dengan klasula all risk dan bersifat roll over dan dengan
menunjuk dan menetapkan BANK sebagai pihak yang berhak
menerima pembayaran klaim asuransi tersebut: (banker's clause
BANK).
-------------------Pasal 15------------------
------------------------PENGAWASAN------------------------
-NASABAH berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk- - - - - - -
memberikan izin kepada BANK atau pihak /atau petugas yang- - - - - -
ditunjuknya untuk melakukan hal-hal sebagai berikut : - - - - - - - - - - -
1. Melaksanakan pengawasan /atau pemeriksaan terhadap barang- - -
maupun barang jaminan, serta perabukuan dan catatan pada setiap
saat selama berlangsungnya Akad ini, dan kepada wakil BANK- -
tersebut diberi hak untuk membuat fotocopy dari pembukuanan
catatan yang bersangkutan; -----------------------
2. Menugaskan konsultan dan/atau akuntan publik dan/atau pihak-
pihak lain untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu oleh
BANK, antara lain melakukan pengawasan dan membuat laporan
penggunaan pembiayaan; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3. Apabila dianggap perlu disebabkan suatu pertimbangan resiko
yang dipikul, BANK berhak untuk melakukan tindakan lain yang
dianggap perlu dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada
NASABAH; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Untuk hal-hal tersebut diatas, maka NASABAH dengan ini- - - - - - -
memberikan kuasa dan wewenang khusus kepada BANK untuk- - - - -
melakukan negosiasi /atau perundingan dengan pihak-pihak yang
dianggap perlu, termasuk menetapkan biayanya yang menjadi beban
NASABAH. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

------------------Pasal 16-----------------
-------------------------------KUASA------------------------------
-Dengan di tandatanganinya Akad ini oleh para pihak sajak saat ini
dan untuk waktu-waktu selanjutnya bilamana saja diperlukan Akad
ini berlaku sebagai pemberian kuasa khusus dari NASABAH kepada
BANK untuk tidak dapat ditarik kembali dan/atau berakhir karena
sebab-sebab yang di tentukan dalam pasal 1813, 1814, 1816 Kitab- - -
Undang-Undang Hukum Perdata, Republik Indonesia, untuk - - - - - - -
melakukan segala tindakan hukum apapun tanpa ada- - - - - - - - - - - -
yangdikecualikan, guna menjalankan hak-hak yang terbit karena- - - -
fasilitas pembiayaan ini dan pemberian jaminan. -------------

------------------Pasal 17-----------------
-----------------PENYELESAIAN PERSELISIHAN ---------------
-Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau- - - - - -
menafsirkan bagian-bagian dari isi Akad ini atau terjadi perselisihan-
dalam melaksanakan Akad ini, maka NASABAH dan BANK akan
berusaha untuk manyelesaikan secara musyawarah dan mufakat.- - -
-Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan
melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan
yang disepakati oleh kedua belah pihak, maka dengan ini NASABAH
dan BANK sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta member
kuasa kapada BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
(BASYARNAS) untuk memberikan putusannya, menurut tata cara
dan prosedur berarbitrase yang ditetapkan oleh dan berlaku di Badan
tersebut yang bersifat final dan mengikat.

---------------Pasal I8---------------
---------------------------LAIN-LAIN-------------------------
1. -Selama syarat-syarat yang disebutkan dalnm pasal dan/atau
ketentuan-ketentuan lain, dalam Akad ini. akad /atau perjanjian
lainnya yang menjadi satu-kesatatu dengan Akad ini (berikut
dengan segala perubahan, penambahan dan/atau penggantianya
yang mungkin dibuat dikemudian hari) belum dilaksanakan,
terjadi suatu perubahan kebijakan pembiayaan di BANK yang
disebabkan adanya perubahan regulasi pemerintah ataupun
perubahan peraturan pembiayaan internal BANK yang tidak
terbatas pada pengaturan pendanaan atau likuiditas sehingga
menyebabkan pemberian fasilitas pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Akad ini harus ditinjau ulang, maka BANK
berhak menunda atau membatalkan fasilitas pembiayaan dan
NASABAH bersedia dengan ini membebaskan BANK dari
tuntutan ganti rugi apapun atas perabatalan tersebut. - - - - - - - - -
2. -Perubahan Akad ini hanya dapat dilakukan secara tertulis dan
ditandatangani oleh BANK dan NASABAH. - - - - - - - - - - - - - -
3. -Akad ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari : - - - - - -
--Surat Penagasan Persetujuan Pembiayaan, tertanggal 31-05-
2007 (tigapuluh satu Mei duaribu tujuh) Nomor : 9/021-3/DPBI -
--Surat persetujuan Pencairan tertanggal 04-06-2007 (empat Juni
duaribu tujuh) Nomor : 9/030-3/GP/DPB4; - - - - - - - - - - - - - - - -
-yang kedua asliniya diperlihatkan kepada saya, Notaris dan
fotocopy sesuai aslinya dilekatkan pada minuta Akte ini; - - - - - -
--Akad Komitmen Limit Fasilitas Pembiayaan (Line Faciiity),
tertanggal hari Akad ini, Nomor : 2; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Akad Qardh, tertanggal hari Akad ini, Nomor : 5; - - - - - - - - - -
-yang keduanya dibuat dihadapan saya, Notaris; - - - - - - - - - -
--Akad Pembiayaan Al Murabahah yang akan dibuat oleh pihak -
setelah Akad ini; ----------------------------
--Kesemuanya berikut dengan segala dan setiap perubahan- - - - - -
penambahan dan/atau penggantiannya yang mungkin dibuat- - - - -
dikemudian hari ; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
4. -Kelalaian atau keterlambatan BANK dalam menggunakan hak
kekuasaannya sesuai dengan isi Akad ini tidak berarti sebagi
pelepasan hak. ---------------------------------
5. -Lain-lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada BANK dan
atau akan ditetapkan kemudian oleh BANK ; - - - - - - - - - - - - - -
----------------Pasal 19---------------
-------------------------------KOMUMIKASI------------------------------
-Setiap pemberitahuan dan komunikasi sehubungan dengan Akad ini
dianggap telah disanipaikan secara baik dan sah, apabila dikirim
dengan surat tercatat atau disampaikan secara pribadi dengan tanda
terima ke alamat dibawah ini :
----------------------NASABAH------------------
Nama : PT. ---------------------- - - - - - - - - - -
Alamat : Jalan Pungur Nomor xxx, ----------------, Jawa Barat;
-------------------------------BANK------------------------------
Nama : PT. -------------------------- - - - - - - - - -
Alamat : Gedung Bank - - - - - - - - - - - - -
-

-----------------Pasal 20---------------
--------------------------------PENUTUP---------------------------------
-Apabila ada hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam
Akad ini, maka NASABAH dan BANK akan mengaturnya bersama -
Secara musyawarah untuk mufakat melalui surat menyurat atau dalam
suatu Addendum tersendiri yang merupakan satu kesatuan dan tidak
dapat dipisahkn dari akad ini. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Para pihak menyatakan dengan ini menjamin akan kebenaran
identitas masing-masing sesuai tanda pengenal yang disampaikan
kepada saya, Notaris dan menyatakan bertanggung jawab sepenuhnya
atas hal tersebut dan selanjutnya para pihak juga menyatakan telah
mengerti serta memahami isi Akad ini.

-----------------------DEMIKIAN AKTA INI----------------------


-Dibuat dan dilangsungkan di Jakarta, pada hari dan tanggal- - - - - - -
sebagaimana tersebut dalam kepala akta ini, dengan dihadiri oleh: - - -
1. –Tuan - - - - - - - - - - - - Karyawan BANK, lahir di Jakarta pada
tanggal 14-4-1978 (empatbelas April seribu sembilanrstus- - - - - - -
tujuhpuluh delapan), Warga Negara Indonesia, bertempat tinggal di
Jakarta, Tanjung Has Raya Blok xxx, Rukun Tetangga xxx,- - - -
Rukun Warga xxx, Kelurahan Tanjung Barat Kecamatan Jagakarsa,
Kotamadya Jakarta Selatan, pemegang Kartu Tanda Penduduk:
xxxxxxxxxxxxxxxx yang telah dikenal oleh saya, Notaris dari
identitasnya; ---------------------------------
2. –Tuan - - - - - - - - - - - - - Sarjana Hukum, Notaris, lahir di Madiun,
pada tanggal duapuluh lima Mei seribu sembilanratus enampuluh
dua (25-5-1962), bertempat tinggal di Jakarta, Lubang Buaya,
Rukun Tetangga xxx, Rukun Warga xxx, Kelurahan Lubang- - - - -
Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, pemegang Kartu- - - -
Tanda Penduduk nomor : xxxxxxx , Warga Negara- -
Indonesia; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
3. –Nyonya - - - - - - - - - - - - - Sarjana Hukum, Magister
Kenotariatan, Karyawan Kantor Notaris lahir di Pangkalan
Brancang pada tanggal empat belas Juli seribu sernbalan ratus
enampuluh- - delapan (l4-07-1968), Warga Negara Indonesia
bertempat tinggal di Jakarta, Jalan Arun XIII, Kelurahan Ujung
Menteng, Kecamatan Cakung,- - - - - Jakarta Timur, pemegang
Kartu Tanda Penduduk nomor : - - - - - - xxxxxxxxxxxxxx,
Warga Negara Indonesia; - - - - - - - - - - - - -
-keduanya pegawai kantor Notaris; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
--Kesemuanya sebagai saksi-saksi; - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Segera setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada para- - - - -
penghadap dan saksi-saksi, maka akta ini ditandatangani oleh para- - -
penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris. - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Dilangsungkan dengan 3 (tiga) perubahan, yaitu karena 1 (satu)- - - -
- coretan penggantian dan 2 (dua) coretan. - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-Asli akta ini telah ditandatangani dengan sempurna. - - - - - - - - - - - -
-DIKELUARKAN SEBAGAI SALIHAN YANG SAMA
BUNYINYA.

NOTARIS

(--------------------------, SH, MKn)

Anda mungkin juga menyukai