Anda di halaman 1dari 125

HUKUM WARIS ADAT AMPIKALE

PADA MASYARAKAT BUGIS


(Studi Kasus Di Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

RAHMAT ABDULLAH
NIM: 1112044200012

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437H/2016M
ABSTRAK

RAHMAT ABDULLAH, NIM : 1112044200012, HUKUM WARIS


ADAT AMPIKALE PADA MASYARAKAT BUGIS ( Studi Kasus di
Kecamatan Kabupaten Soppeng). Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Al-
Syakhiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016 M/ 1347 H. x + 67 Halaman.
Penerapan hukum waris Islam di Indonesia sering mengalami berbagai
hambatan dan benturan. Karena sistem hukum kewarisan Islam harus beradaptasi
dalam konteks lingkungan Indonesia karena struktur dan sistem kemasyarakatan
di Indonesia berbeda dengan latar sosial masyarakat arab. Hukum kewarisan Islam
diterapkan sistem keluarga atau kekerabatan dalam kewarisan arab bersifat
patriarkal, sedangkan sistem kekerabatan di Indonesia bersifat bilateral.
masyarakat bugis secara kultural memiliki sifat religius yang tinggi. Akan tetapi
di satu sisi dalam penerapan pembagian waris mengikuti hukum adat atau tradisi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman dan
implementasi dalam sistem pembagian waris adat Ampikale di Kecamatan
Lilirilau Kabupaten Soppeng, selain itu, untuk mengetahui pendapat para ulama
dan para tokoh masyarakat tentang status hukum ampikale dalam hukum
kewarisan Islam, serta untuk menjalaskan pandangan hukum Islam terhadap
ampikale dalam kewarisan adat bugis di Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: metode penelitian kualitatif,
berdasarkan obyeknya menggunakan pendekatan Normatif. Teknik pengumpulan
yang digunakan adalah: data primer yang diperoleh hasil dari wawancara, dan
data sekunder di peroleh dari buku-buku, jurnal, karya tulis ilmiah.
Hasil penelitian tersebut di peroleh hasil bahwa, ampikale merupakan
kebiasaan orang tua yang dilakukan secara turun temurun menyisihkan sebagian
hartanya untuk keperluan sehari-hari dimasa tuanya. Ampikale sendiri tidak
bertentangan dengan hukum waris Islam (faraid) karena didasari dengan sikap
saling ridho diantara ahli waris. Yang berhak mendapatkan ampikale adalah anak
yang mempunyai tanggung jawab lebih dalam mengurus kedua orangtuanya
diakhir hayat mareka. Jika salah satu ahli waris tidak menerima ahli waris lain
yang mendapatkan ampikale maka perkara tersebut diserahkan kepada tokoh adat
setempat, namun, apabila tidak mendapatkan titik temu, maka perkara itu
dilimpahkan ke pengadilan agama.

Kata kunci : Hukum waris, adat Ampikale, Hukum waris Islam.


Pembimbing : Prof.Dr.H.A Salman Maggalatung SH,MH
DaftarPustaka : Tahun 1981 s.d Tahun 2015

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang

senantiasa melimpahkan nikmat, rahmat, taufik, hidayah dan inayahnya kepada penulis. Sehingga pe
Rasulnya.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH). Dalam p
dari berbagai pihak, dan Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat

menyelesaikan. Oleh karena itu penulis secara khusus penulis ingin mengucapkan

banyak terimakasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah,

dan Bapak Arif Furqon, M.A. sekretaris Program Studi Ahwal

Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Prof.Dr.H.A Salman Maggalatung SH,MH sebagai dosen pembimbing,

yang telah begitu bijaksana memberikan ilmunya kepada penulis ditengah

kesibukan yang padat, serta membimbing penulis dengan sabar agar

penulis ini selesai dengan baik dan juga bermanfaat.

4. Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu

dan ahlak yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Segenap staff akademik dan staff perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum dan staff Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Orang tua tercinta dan tersayang H. Abdullah Mide dan Hj. Sahniar Nur

terimakasih atas semuanya yang telah diberikan selama ini. Terimakasih

atas doa tulusmu, cinta serta kasih sayang yang selalu dicurahkan,

terimakasih atas dukungan, semangat dan motivasi semoga suatu saat aku

bisa menjadi seperti yang ayah dan ibu harapkan.

7. Saudara dan saudari penulis, Muhammad Soleh Abdullah, Muhammad

Yasin Abdullah, Muhammad Mufid, Haura Assahila yang turut

memberikan motivasi.

vii
8. Para rekan-rekan keluarga besar Forum Silaturahmi Alumni Baitul Arqom

(FORSABA) yang turut memberikan motivasi dan ilmu yang bermanfaat

dalam membantu menyelesaikan skripsi.

9. Para senior; Takdir Spd.i, Muhammad Akbar S.sy dan Eko Saputra yang

sangat memberikan dorongan moril dan materil, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat terdekat penulis; Ahmad Nur Kholis, Hardian Sidiq, Khairul

Haris, Reynaldi Z, Ahmad Fauji, Hafiz Naufal, Muhammad Munawir,

Sahrul Ramadhani, Fatih Toyibun, Wawan Kurniawan, Ahmad Hersyah,

Brilliant Aldery selalu memberikan bantuan dan motivasi,

11. Teman-teman Islamic Family Law, Administrasi Keperdataan Islam

(IFL) angkatan 2012 yang memberikan saran dan motivasi dalam

menyelesaikan penulisan skripsi.

12. Dan semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap

penyelesain skripsi ini dan tiak dapat disebutkan satu persatu namun

tidak mengurangi rasa hormat penulis. Terimakasih dan semoga

masukkan dan

Dan semoga bermanfaat bagi semuanya, Amiin.

Jakarta, 16 September 2016

RAHMAT ABDULLAH

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.........................................ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN..............................................iii

LEMBAR PERNYATAAN.........................................................................iv

ABSTRAKv
KATA PENGANTARvi
DAFTAR ISIx

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah1
Identifikasi Masalah6
Pembatasan Masalah7
Rumusan Masalah7
Tujuan dan Manfaat8
Kerangka Teori dan Konseptual9

G. Metode Penelitian14

H. Review Studi Terdahulu...................................................17

I. Sistematika Penulisan.......................................................19

BAB II GAMBARAN UMUM DAN ADAT AMPIKALE WARISAN

DALAM MASYARAKAT KECAMATAN LILIRILAU

KABUPATEN SOPPENG

A. Keadaan Geografis...........................................................21

x
B. Kondisi Sosial, Pendidikan dan Keagamaan....................25

C. Hukum adat Ampikale.....................................................28

1. Pengertian Ampikale...................................................29

2. Rukun dan syarat kewarisan adat Ampikale...............30

3. Sistem pembagian waris adat Ampikale......................31

BAB III LANDASAN TEORITIS SISTEM KEWARISAN ADAT DAN

KEWARISAN ISLAM

A. Kewarisan Menurut Hukum Adat....................................34

1. Pengertian Hukum Adat..............................................34

2. Sistem Kewarisan Hukum Adat..................................35

3. Hukum Waris Adat......................................................36

4. Asas-Asas Kewarisan Adat.........................................37

5. Sistem Pembagian Waris adat.....................................38

B. Kewarisan Menurut Hukum Islam...................................39

1. Pengertian Hukum Islam.............................................39

2. Sumber Hukum............................................................41

3. Rukun Dan Syarat Kewarisan.....................................46


4. Asas-asas Kewarisan...................................................47

5. Macam-maacam ahli waris dalam Islam.....................49

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN

WARISAN ADAT AMPIKALE DI KECAMATAN

LILIRILAU KABUPATEN SOPPENG

xi
A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Waris Adat

Ampikale di Kecamatan Liliriau Kabupaten Soppeng .. 53

B. Status Hukum Waris Adat Ampikale...............................64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................66

B. Saran.................................................................................67

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................68

LAMPIRAN-LAMPIRAN...........................................................................71

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Hukum Waris merupakan ketentuan hukum yang mengatur pengalihan

hartadisepakati
telah benda dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup.
bersama.

Sesuai Bagi
aturan undang-undang
umat hukum
Islam Indonesia, perdata
aturan Allahyaitu pembagian
tentang warisan
kewarisan kepada
telah menjadi

orang positif
hukum yang mempunyai hubungan
yang di pergunakan darah
dalam denganagama
peradilan pewaris.
dalamSebagaiamana
memutuskan

tertuang
kasus dalam KHP
pembagian (KUHPer)
maupun pasal 832
persengketaan yang berbunyi:
berkenaan “Menurut
dengan harta undang-
waris tersebut.

undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik

sah, maupun
1 luar kawin
Titik Triwulan Tutik,dan suami Hukum
Pengantar atau istri yangdihidup
Perdata terlama.”
Indonesia, ( Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2006), h. 278.
Pada dasarnya aturan dan norma hukum yang mengatur mengenai hal-
1 Kaidah hukum dalam waris meliputi;
hal yang berkaitan dengan hukum waris.

pertama, hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam perundang-

undangan (Qanun) dan Yurisprudensi. Kedua, kaidah hukum tidak tertulis

(hukum adat), yaitu hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam mayarakat

adat.1 Sifat
2

Hukum waris yang berlaku tengah masyarakat Indonesia sampai sekarang

masih bersifat pluralis, yang tunduk pada hukum waris dalam kitab undang-

undang perdata barat. Sehingga saat ini Hukum waris belum unifikasi hukum.

Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian pluralistisnya, akibatnya

sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum

terdapat keseragaman.2

Kewarisan Indonesia pada umumnya mengadopsi pada aturan yang ada

dalam buku-buku Fikh, yang merujuk pada nash Al-Quran, teks Hadis Nabi, dan

ijma Fukaha. Namun, dalam KHI mengakomodir tradisi lokal dan tuntunan

berapa pihak,terutama wanita.3

Hukum waris bagi umat Islam mempunyai kedudukan yang utama

dibandingkan dengan hukum waris lainnya, karena sudah jelas disyariatkan

dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Selain dasar hukumnya adalah

perundangan- perundangan dan kompilasi hukum Islam.

Hukum kewarisan Islam dalam kitab fiqih biasa disebut faraid yaitu

hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mareka

menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia.4

Di Indonesia terdapat perbedaan dalam pembagian harta benda warisan.

Ada tiga macam sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia. Tiga sistem

hukum yang mengatur tentang hukum waris Itu, sesuai penggolongan warga

2
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Persepektif Islam, Adat, dan BW, (
Bandung: PT Reftika Aditama, 2007 ), h. 5.
3
Jamhari Makruf Tim Lindsey, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, ( Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013 ), h. 73.
4
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2004 ), h. 35.
3

Indonesia sebagaimana diatur oleh pasal 163 Indische Staats Regeling(I.S) ketiga

sistem hukum di maksud adalah Hukum waris Perdata Barat (BW), Hukum waris

Islam, Hukum waris adat.5

Sistem hukum kewarisan di Indonesia telah diatur dalam kompilasi hukum

Islam bagi umat muslim. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya mengikuti apa

yang ditentukan oleh undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah.

Masyarakat Indonesia mempunyai banyak aneka ragam kebudayaan

sehingga masih banyak yang belum mengikuti undang-undang akibatnya

masyarakat tetap menggunakan hukum adat setiap daerah masing-masing.

Dalam hukum adat yang beragam antara satu dengan yang lain berbeda dan

mempunyai karakteristik tersendiri inilah yang menjadikan hukum adat dalam

hukum waris menjadi pluralistis. Sebagaiamana yang tertuang di UUD NRI

Tahun 1945 pasal 18b (2) berbunyi:

“Negara mengakui dan meghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisioanal sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang

Hukum adat waris yang berlaku di Indonesia sangat beraneka ragam

tergantung pada daerahnya. Dalam kewarisan adat ini ada yang bersifat

Patrilineal, Matrilineal ataupun patrilineal dan matrilineal beralih-alih atau

5
Titik Triwulan Tutik, Pengatar Hukum Perdata Di Indonsia, ( Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2006 ), h. 281.
6
Undang-undang Dasar Nagara Republik Indonesia 1945, Amademen lengkap UUD
1945beserta susunan Kabinet Keja(Masa bakti 2014-2019), ( Jakarta: Bintang Indonesia, 2015 ),
h. 11.
4

Bilateral. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan daerah hukum adat

yang satu dengan lainnya, berkaitan dengan sistem kekeluargaan dengan jenis

serta status harta yang diwariskan.

Waris adat diwarnai oleh sistem kekeluargaan dalam masyarakat, sistem

tersebut dibedakan sebagai berikut: 7


Pertama, sistem Patrilineal adalah sistem

kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Kedua,

sistem Matrilineal adalah sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan

pihak nenek moyang perempuan. Ketiga, sistem Parental atau Bilateral adalah

sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun

dari pihak ibu.

Dari ketiga sistem di atas, mungkin masih ada variasi lain yang

perpaduan dari ketiga sistem tersebut. Misanya sistem Parental atau Bilateral

merupakan kedudukan harta dalam hukum waris sejajar baik dari pihak laki-laki

dan pihak perempuan. Prinsip-prinsip garis keturunan berpangaruh terhadap

penetapan ahli waris maupaun bagian harta peninggalan yang diwariskan (baik

yang material maupun immaterial).8 Namun, dari tiga sistem tersebut masing-

masing memiliki

Harta benda peninggalan pewaris yang dapat diwariskan oleh para ahli

waris dalam keadaan bersih. Para ahli waris hanya berhak terhadap peninggalan

pewaris setelah dikurangi dengan pembayaran-pembayaran hutang serta segala

kewajiban pewaris yang belum sempat dilakukan sesama pewaris hidup.

7
Habiburrahman, Rrekonstruksi Rukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Jakarta:
Kementrian Agama, 2011 ), h. 97.
8
Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, ( Jakarta: Rajawali, 2002 ), h. 259.
5

Hukum waris adat memiliki ciri khas masing-masing dalam sistem

pembagian waris berbagi daerah di indonesia. Jadi Patut di pertahankan sebagai

sistem nasional. Karna sistem hukum nasional mengadopsi hukum adat terutama

di bidang kewarisan. Masyarakat Bugis di daerah Kecamatan Lilirilau masih

banyak yang mengunakan sistem waris adat dalam menyelesaikan pembagian

warisan. Jika terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan, para ahli waris

tidak dapat memilih hukum waris mana yang akan di gunakan dalam membagi

warisan tersebut.9

Pada umumnya masyarakat Bugis khususnya di Kecamatan Lilirilau

Kabupaten Sulawesi Selatan dalam menyelesaikan perkara kewarisan mereka

masih banyak mengunakan sistem kewarisan adat yang di sebut“Ampikale ”.

Ampikale adalah sebagian harta warisan yang belum dibagi kepada ahli

waris di karenakan salah satu pewaris masih hidup (ayah atau ibu) harta tersebut

baru dapat diserahkan ke ahli waris setelah ia meninggal, akan di berikan kepada

salah satu ahli waris yang memeliharanya selama hidupnya.10

Aturan kewarisan adat yang dipercaya dan dilakukan oleh masyarakat

Bugis di Kecamatan Lilirilau, sesuai dengan hukum Islam. Urf Shahih yaitu adat

yang berulang-ulang dilakukan dan diterima oleh orang banyak, yang tidak

bertentangan dengan agama, sopan satun, dan budaya yang luhur.11

9
Soerojo Wignjodipoeros, Pengatar dan asas-asas hukum adat, (Jakarta: Gunung
Agung, 1995), h. 173.
10
Wawancara Pribadi Drs. H. Muhtar selaku Hakim Pengadilan Agama. WatanSoppeng.
Pada tanggal 21 Desember 2015.
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, ( Jakarta: Kencena, 2009 ), h. 392.
6

Menarik untuk dikaji atau di telitinya. Bagaimana menyelaraskan hukum

waris Islam dan hukum adat Ampikale yang masih dianut oleh masyarakat di

Kecamatan Liliilau Kabupaten Soppeng. Dan bagaimana adat itu dalam

persepektif hukum Islam. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk

mengkajinya, sehingga skripsi ini diberi judul “Hukum Waris Adat Ampikale

Pada Masyarakat Bugis ( Studi Kasus di Kecamatan Kabupaten Soppeng).”

B. Indentifikasi Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka penulis identifikasi sebagai berikut:

1. Masih kurang pengetahuan masyarakat dalam memahami hukum

Islam di bidang kewarisan.

2. Masyarakat Bugis di Kecamatan Lilirilau Kapubaten

Soppeng sebagian besar masih mengunakan sistem hukum adat

Ampikale .

3. Sering terjadi permasalahan di kalangan masyarakat Bugis yang

berkaitan dengan hukum kewarisan.

4. Masih ada hambatan dalam menyelesaikan permasalahan hukum waris

5. Minimnya tingkat kesadaran masyarakat Bugis dalam menerapkan

hukum Islam dalam menyelesaikan permasalahan di bidang kewarisan.

6. Hukum adat Ampikale lebih dominan diterapkan di masyarakat Bugis

khusus kecamatan Lilirilau dari pada Hukum Islam.


7

7. Dalam pembagian harta warisan sebagian masyarakat merujuk sistem

pembagian waris Islam dan sebagian lainnya masih menganut hukum

adat Ampikale .

C. Batasan Masalah.

Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis kemukakan di atas, agar

pemasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis membatasinya

hanya sekitar pemahaman hukum adat Ampikale dan pendapat ulama, para

tokoh masyarakat serta tinjauan hukum Islam terhadap sistem waris adat.

D. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman sistem pembagian waris adat Ampikale

di Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng?

2. Bagaimana pendapat ulama dan para tokoh masyarakat tentang

sistem pembagian waris adat Ampikale di Kecamatan

Lilirilau Kabupaten

3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sistem waris adat Ampikale

di Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng?


8

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

1. Tujuan Penelitian:

a. Untuk mengetahui pemahaman dan implementasi dalam sistem

pembagian waris adat Ampikale di Kecamatan Lilirilau Kabupaten

Soppeng.

b. Untuk mengetahui pendapat para ulama dan para tokoh masyarakat

tentang status hukum Ampikale dalam hukum kewarisan Islam di

Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng.

c. Untuk menjalaskan tinjaun hukum Islam terhadap Ampikale

dalam kewarisan adat Bugis di Kecamatan Lilirilau Kabupaten

Soppeng.

2. Manfaat Penelitian:

a. Bagi penulis, untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang

hukum perdata serta mengembangkan ilmu dibidang Hukum

kewarisan Islam dan Hukum waris adat Bugis.

b. Bagi Akademik, untuk memperluas informasi dalam rangka

menambah dan meningkatkan khazanah pengetahuan, khususnya

dalam bidang hukum kewarisan.

c. Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi mengenai hukum

Islam terhadap kewarisan adat yang dilakukan oleh masyarakat

Bugis.
9

F. Kerangka Teori dan Konsepsi.

1. Kerangka Teori.

Islam mengatur ketentuan pembagian harta warisan secara rinci, hal

tersebut untuk menghindari agar tidak terjadi perselihan antara sesama ahli waris

sepeninggal orang yang hartanya diwaris. Agama Islam menghendaki prinsip adil

dan keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.

Ketentuan tersebut tidak dapat berjalan baik dan efektif tanpa ditunjang oleh

tenaga-tenaga ahli yang memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan

tersebut dengan baik. Dalam masalah pewarisan, terdapat unsur-unsur dan

syarat- syarat kewarisan. Unsur kewarisan ada tiga yaitu matinya pewaris, ahli

waris dan harta waris (tirkah). Syarat-syarat kewarisan juga ada tiga, yang

pertama wafatnya pemberi waris secara hakekat atau menurut hukum. Kedua,

ahli walis nyata-nyata hidup ketika pewaris meninggal. Ketiga, memilki

hubungan kekerabatan dan sebab-mewaris yang merupakan syarat untuk

mewarisi.12

Unsur-unsur pewarisan di antaranya terdapat tirkah (harta peninggalan),

Ash shabuni berpendapat bahwa tirkah ialah sesuatu yang ditinggalkan oleh

pewaris (orang yang meninggal dunia) baik berupa uang, atau hak-hak materi

lainnya yang disebut juga maurus. Pendapat jumhur ulama, bahwa tirkah

mempunyai arti yang lebih luas dari pada maurus, tirkah yaitu apa yang mencakup

harta benda maupun hak-hak keuangan, termasuk hutang pewaris, biaya yang
12
Muhammad Ali Ahs Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Quran dan Hadis terj. Zaini
Dahlan, ( Bandung: Trigenda, 1995), h. 56.
1

digunakan untuk perawatan mayit dan juga pelaksanaan wasiat yang ditinggalkan

orang yang meninggal dunia.13

Salah satu masalah pokok yang banyak diungkapkan dalam Al-Qur‟an

adalah kewarisan. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat

terpisah dari hukum. Sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam

yang pokok. Masalah-masalah kewarisan tersebut sudah dijelaskan dalam al-

quran atau As-Sunnah dengan jelas dan konkret, bahkan mencapai ijma‟

dikalangan ulama dan umat Islam.

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta peninggalan (harta

pewaris) beralih kepada ahli waris berlaku setelah pewaris meninggal. Asas ini

menunjukkan bahwa sebelum pewaris meninggal maka harta peninggalan tidak

dapat dibagikan (diwariskan) kepada ahli warisnya. Dengan demikian dalam

Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian

semata, dalam hukum perdata disebut dengan kewarisan abintestato dan tidak

mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat ketika pewaris masih hidup.14

Ahli waris disebabkan karena beberapa sebab. Pertama, ahli waris

sabibiyah (karena hubungan perkawinan) yaitu suami dan istri. Kedua, ahli waris

nasabiyah (karena hubungan darah). Secara umum, ahli waris digolongkan

menjadi dua golongan yaitu ahli waris zawi al-furud dan ahli waris asabah. Ahli

waris zawi al-furud ialah ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya dalam al-

quran, as-sunnah, atau ijma ulama, maka marekalah yang lebih dahulu

13
Kementrian Agama RI, Problematika Hukum Kewarisan Islam Komtemporer Di
Indonesia,( Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 114.
14
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, h. 28.
1

mendapatkan bagian warisan. Dalam hal ini yang termasuk dalam Ahli Waris

Zawi al-Furud yaitu suami, istri, anak laki-laki kandung, anak perempuan

kandung, cucu perempuan dari anak-anak laki-laki, saudara kandung perempuan,

saudara perempuan seayah, saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan),

ayah, ibu, kakek, (bapak dari ayah) dan nenek dari jalur ayah maupun ibu.

Sedangkan ahli waris yang termasuk asabah ialah ahli waris yang diberikan

setelah ahli waris zawi al-furud diberi bagiannya sesuai dengan ketentuan, yang

termasuk dalam asabah ialah arah anak dari anak mencakup dari keturunan anak

laki-laki seterusnya, ayah seterusnya dari jalur laki-laki, saudara kandung laki-

laki seterusnya, saudara laki-laki seayah dan seterusnya, paman (saudara laki-

laki ayah) baik paman kandung maupun seayah, anak perempuan, cucu

perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara

perempuan seayah.15

Ahli waris pengganti (mawaly), ahli waris yang menggantikan seseorang

untuk memperoleh bagian yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan

tersebut, sebelum harta warisan dibagikan, orang yang digantikan tersebut

meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewarisnya.16

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 185 ayat (1) Menjelaskan

“ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya

dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mareka yang tersebut dalam pasal 173‟,

Muhammad Ali As-Sabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, ( Jakarta: Gema


15

Insani,1995) h. 53.
16
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
h. 80.
1

dan ayat (2) ”bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli

waris yang sederajatnya dengan yang diganti.”

Implementasi pembagian harta warisan yang dilaksanakan oleh

masyarakat Bugis yang dalam ushul fiqih disebut „urf yaitu adat kebiasaan.‟urf

(adat) ialah sesuatu yang dikenal oleh banyak orang dan telah menjadi tradisi

mareka, baik berupa perkataan, perbuatan, atau keadaan yang meninggalkan.17

2. Kerangka Konseptual

a. Kewarisan adat adalah hukum waris yang memuat tentang harta

warisan, pewaris dan ahli waris, serta pembagian harta warisan

(hak maupun kewajiban) di ahlikan dari pewaris kepada ahli waris.

Kewarisan Islam (fiqh mawaris) adalah ilmu pokok yang

berdasarkan ilmu fiqh dan ilmu hitung yang berkaitan dengan

perhitungan warisan bagi orang-orang yang berhak menerimanya.

b. Ampikale adalah sebagian harta warisan yang belum dibagi kepada

ahli waris di karenakan salah satu pewaris masih hidup (ayah atau

ibu) harta tersebut baru dapat diserahkan ke ahli waris setelah ia

meninggal, akan

hidupnya.

c. Ahli waris adalah mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal

dunia.

d. Ahli waris penggati adalah ahli waris yang menggantikan seseorang

untuk memperoleh bagian yang tadinya akan diperoleh orang yang


17
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), ( Jakarta : Sinar Grafika,1994), h.123.
1

digantikan tersebut, sebelum harta warisan dibagikan, orang yang

digantikan tersebut meninggal dunia terlebih dahulu sebelum

pewarisnya.

e. Ahli waris zawi al-furud adalah ahli waris yang dapat bagian tertentu

sebagaimana yang ditentukan dalam Al-Quran maupun sunnah.

f. Tirkah adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris (orang yang

meninggal dunia) baik berupa uang, atau hak-hak materi lainnya yang disebut juga maurus.
Pangaderang adalah konsep ade‟tentang hukum adat yang isinya bicara, rapang, wari dan sar
Urf adalah bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi adat kebias
Hukum Islam adalah hukum syara yang berdasarkan Al-Quran dan

Hadis.

G. Metode Penelitian.

1. Jenis penelitian dan pendekatan penelitian.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan yang bertujuan untuk

memperoleh data dengan cara mengamati dan melihat langsung pada obyek

dilapangan. Data diporeleh dari wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat dan

masyarakat yang terlibat dalam menyelesaikan sengketa waris dalam waris adat
1

Bugis. Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti ini penulis menggunakan

metode kualitatif.

Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat

diamati.18 Penelitian ini bersifat preskiptif, yang berusaha memaparkan tentang

Ampikale dalam waris adat Bugis, analisis untuk dinilai dari sudut pandangan

hukum Islam.

Pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan normatif. Pada penelitian

ini, dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangan-

perundang atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan

patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.19

2. Sumber Data Penelitian

1. Data Primer

Data emperis yang diperoleh secara langsung dari respoden di lokasi

penelitian, baik berupa wawancara langsung terhadap masyarakat adat

setempat, tokoh masyarakat, ulama setempat dan pejabat daerah

Kabupaten Soppeng.

2. Data Sekunder

Data yang dijadikan landasan teori dalam memecahkan dan menjawab

masalah. Data sekunder ini sumbernya diperoleh melalui studi pustaka

18
Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Tindakan, ( Bandung:
PT Refika Aditama, 2012), h. 181.
19
Amiruddin dan H. Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT
Raja Orafindo Persada, 2004, Cetakan Pertama ), h. 118.
1

berupa buku, dokumen, peraturan perundanga-perundangan, majalah, karya

ilmiah, surat kabar dan lain-lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

3. Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian.

a. Lokasi Penelitian

Dalam hal ini, yang dipilih oleh penulis adalah beberapa desa antara lain

desa Parenring, desa Tatewatu, desa Baringen, di Kecamatan Lilirilau


Teknik Wawancara yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui
Kabupaten Soppeng penulis mengambil lokasi ini karena masih banyak
Tanya jawab berdasarkan pertanyaan untuk memperoleh data dan informasi
masyarakat yang menggunakan sistem warisan adat yang belum memahami
yang diperlukan.
eksistensi hukum adat itu dikaitkan dengan hukum Islam.
b. Dokumentasi
b. Waktu Penelitian

Adapun waktu penulisan yang dilakukan di mulai pada bulan Maret


20
Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, h. 108.
sampai Mei 2016.

4. Teknik Pengumpulan Data.

a. Wawancara

Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi, dalam

hal proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang

berinteraksi
1

Metode ini dilakukan dengan cara mengkaji sumber-sumber tertulis yang

berkaitan dengan pokok bahasan permasalahan. Dokumentasi dari

mengumpulkan data,berkas, dokumen. Sedangkan dokumen yang di butuhkan

dalam penelitian ini adalah dokumen yang berasal dari lokasi penelitian.

c. Observasi

Metode ini dilakukan dengan cara pengamatan dan pencatatan secara

sistematika mengenai gejala gejala yang diteliti. Penulis akan mengamati secara langsung di tempat
5. Teknik Penulisan.
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam Skripsi ini mengacu kepada “Pedoman Penulisan Sk

H. Review Studi Terdahulu.


Untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang lainnya, maka penulis me-riview

hampir sama dengan pembahasan yang penulis menemukan beberapa skripsi,

yaitu

No Nama
Keterangan Perbedaan
penulis/judul/tahun

1. Frans Cory Melando Hukum waris adat Batok Ahli waris anak

Ginting, Perkembangan khususnya terhadap anak laki-laki, karena


1

Hukum Waris Adat perempuan sebagai ahli anak-anak berhak

Pada Masyarakat Adat waris. Ini dapat dibuktikan juga mendapatkan

Batak Karo(Studi Kasus dengan adanya harta waris dari

Kecamatan Merdeka pembahagian khusus dan pewaris. Dan anak

Kabupaten Karo), 2009 kewajiban untuk perempuan yang

Sekolah Pasca Sarjana, pemberian kepada anak menjaga/merawat

Universitas Sumatra perempuan. hingga meninggal

Utara Medan.

2. Absyar Surwansyah, Hukum waris adat Tidak membahas

SH, Suatu Kajian masyarakat Bangko Jambi tentang menganut

Tentang Hukum Waris menganut antara sistem sistem kewarisan

Adat Masyarakat kewarisan individual dan individual dan

Bangko Jambi, 2005 sistem kewarisan kolektif sistem kewarisan

Program Studi Magister dan pembagian warisan kolektif pada hukum

Kenotariatan Program dilakukan oleh ninik waris adat Ampikale

Pasca Sarjana mamak yaitu ninik mamak . dan pembagian

Universitas Penogoro. dari para ahli waris. waris adat Ampikale

tidak diatur dan

berhak yang

mengatur adalah

orang tua.

3. Kumang Widya Putri, Masyaarakat Bali secara Terdapat di ahli

Permasalahan Hak prinsip menganut sistem waris utama adalah


1

Waris Akibat kekeluargaan yang anak perempuan

Perkawinan Adat Bali kebapaan (Patrilineal). hanya di salah satu

Yang Berbeda Kasta, Jadi ahli waris utama desa. Karena anak

2013, Program Studi adalah anak laki-laki yang perempuan

Ilmu Hukum Fakultas mempunyai hak sebagai mempuyai tanggung

Hukum Univeersitas ahli waris keluarga. jawab lebih dalam

Pembangunan Nasional Perbedaan kasta merawat orang di

”Veteran” Jawa Timur. ditentukan oleh tingkatan masa tuanya.

warna di dalam

masyarakat Bali

4. Wasis Ayib Rosidi, Praktek pembagian harta Terdapat dalam

Praktek Pembagian waris yang ditempuh oleh pembagian warisan

Harta Warisan masyarakat desa ke para ahli waris

Masyarakat Desa Wonokromo adalah masing-masing.

Wonokromo Kecamatan dengan sistem kewarisan Pembagian waris

Pleret Kabupaten Bantul bilateral individual adat Ampikale

Yogyakarta, 2010, Al- melalui jalan musyawarah ditentukan sendiri

Ahwal Asy-Syakhsiyyah dan perdamaian. Adapun oleh orang tua .

Fakultas Syariah ahli waris menerima

Universitas Islam Negri bagian dari hasil

Sunan Kalijaga musyawarah.

Yogyakarta.

5. Reny Handayani Pembagian secara Siapa yang


1

Asyhari, Praktik individual kepada ahli bertanggung jawab

Pembagiaan Warisan warisnya. Tetapi untuk dalam pengurusan

Adat Mandar Di pengelolaan sementara, harta waisan. Dalam

Kabupaten Polewali mareka menempatkan hukum waris adat

Sulawesi Barat, 2015 anak laki-laki tertua Ampikale yang

Fakultas Ilmu Hukum sebagai penguasa hingga bertanggung jawab

Universitas Hasanudin saudra-saudara lepas adalah anak yang

Makassar. tanggung jawab. merawat

orangtuanya.

I.Sistematika Penulisan.
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan dengan mem

Bab I Bab ini memuat Pendahuluan Latar belakang, Identikasi masalah,

Pembatasan masalah, Rumusan masalah, Tujuan dan manfaat,

Kerangka Teori dan Konsepsi, Metode penelitian, Review studi

terdahulu, Sistematika penulisan.

Bab II Bab ini membahas tentang profil desa secara gambaran umum dan

tradisi Ampikale dalam waris adat Bugis di kecamatan Lilirilau

Kabupaten Soppeng, Keadaaan geografis, kondisi sosial,

pendidikan dan keagamaan, hukum adat Ampikale sebagai

berikut: pengertian, asas warisan di kecamatan Liirilau, rukun dan


2

syarat kewarisan adat Ampikale dan sistem pembagian waris adat

Ampikale .

Bab III Bab ini membahas landasan teoritis sistem kewarisan menurut adat

sebagai berikut: pengertian hukum adat, sistem kewarisan adat,

hukum waris adat, asas- asas kewarisan, sistem pembagian waris

adat. Kewarisan menurut hukum Islam sebagai berikut: pengertian

hukum Islam, sumber hukum, sistem kewarisan, rukun dan syarat,

asas-asas kewarisan, ahli waris dalam Islam dan pembagiannya.

Bab IV Bab ini membahas analisis hukum Islam terhadap pembagian warisan adat Ampikal
adat Ampikale dalam hukum Islam

Bab V Bab ini berisi penutup, kesimpulan dan saran.


BAB II

GAMBARAN UMUM DAN HUKUM ADAT AMPIKALE DALAM

MASYARAKAT KECAMATAN LILIRILAU KABUPATEN SOPPENG

A. Keadaan Geografis.

Letak geografis antara 4’06’0” dan 4’32’0” lintang selatan 119’4,2’18”

dan 120’06’13” bujur timur. Adapun Luas wilayah 187 km2.1 Kecamatan

Lilirilau salah satu pusat perdagangan di Kabupaten Soppeng. Adapun Ibukota

Kecamatan Lilirilau adalah Kelurahan Pajalesang. Sedangkan batas

wilayah/administrasi yaitu:

1. Sebelah Utara Kabupaten Wajo,

2. Sebelah Timur Kabupaten Bone,

3. Sebelah Selatan Kecamatan Liliriaja,

4. Sebelah Barat Kecamatan Ganra.

Table 1.1 Jarak Desa/Kelurahan Ke Ibukota Kecamatan dan Ke Ibukota

Jarak k (km)

Desa/kelurahan
Ibukota Ibukota

kecamatan Kabupaten

1 Pajalesang 1 12

2 Cabengen 1 13

1
Badan Pusat Statistik Kabupaten Soppeng

21
2

3 Paroto 9 22

4 Palangiseng 22 34

5 Tatewatu 15 12

6 Abbanuange 21 33

7 Parenring 11 19

8 Ujung 6 18

9 Masing 16 20

10 Baringen 8 21

11 Kebo 8 21

12 Macanre 2 14

Sumber : Kantor Camatan Lilirilau 2014

Berdasarkan tabel di atas bahwa Jarak terdekat dari kelurahan ini yaitu Kelurahan Cabenge sejauh
Jumlah kelurahan/desa 4 kelurahan yaitu Pajalesang, Cabengen, Ujung dan

Macanre dan 8 desa yaitu Paroto, Palangiseng, Tetewatu, Abbanuangnge,

Parenring, Masing, Baringeng dan Kebo.2

Keadaan Penduduk

Berdasarkan laporan penduduk dari desa/kelurahan, pada tahun 2011

khususnya bulan april terdapat 41.375 orang yang tercatat sebagai penduduk

2
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Soppeng
2

kecamatan lilirilau. Setiap kilometer persegi wilayah di kecamatan ini diami oleh

221 orang. Kelurahan cabangen merupakan salah satu desa/keluruhan yang

memiliki penduduk terpadat, sebanyak 884 orang mendiami setiap kilometer

persegi wilayahnya.

Table 1.2 Penduduk Menurut Desa/Kelurahan Dan Jenis Kelamin Di Kecamatan

Lilirilau, 2014

Desa/kelurahan Jenis kelamin Rasio

Lakilaki Perempuan Jumlah jenis

kelamin

1 Pajalesang 2.526 2.792 5.318 90

2 Cabengen 2.120 2.387 4.507 89

3 Paroto 1.170 1.330 2.500 88

4 Palangiseng 851 981 1.832 87

5 Tatewatu 717 825 1.542 87

6 Abbanuange 1.537 1.825 3.362 84

7 Parenring 936 1.023 1.959 91

8 Ujung 1.663 1.824 3.487 91

9 Masing 1.016 1.175 2.191 86

10 Baringen 2.749 3.182 5.931 86

11 Kebo 1.306 1.640 2.946 80

12 Macanre 1.413 1.614 3.027 88

Lilirilau 18.004 20.598 38.602 87

Sumber: Bps-Proyeksi Penduduk Pertengahan Tahun 2010-2020


2

Berdasarkan tabel di atas bahwa jenis laki-laki terbanyak adalah di desa

baringen dengan jumlah 2.749 laki-laki sedangankan jenis perempuan terbanyak

adalah di desa baringen 3.182 jumlah dari keseluruhannya adalah 5.931.

Table 1.3 Luas Wilayah, Penduduk Dan Kepadatan Penduduk Menurut

Desa/Kelurahan Di Kecamatan Lilirilau, 2014

Desa/kelurahan Luas Jumlah Kepadatan

wilayah penduduk penduduk

(km2) km2

1 Pajalesang 12 5.318 443

2 Cabengen 6 4.507 751

3 Paroto 17 2.500 147

4 Palangiseng 14 1.832 131

5 Tatewatu 8 1.542 193

6 Abbanuange 29 3.362 116

7 Parenring 25 1.959 78

8 Ujung 19 2.191 184

9 Masing 19 2.191 115

10 Baringen 21 5.931 282

11 Kebo 13 2.946 227

12 Macanre 4 3.027 757

Lilirilau 187 38.602 206

Sumber: Bps-Proyeksi Penduduk Pertengahan Tahun 2010-202


2

Berdasarkan tabel di atas, maka dikemukan bahwa desa/kelurahan terluas

adalah Pajalesang dan terpadat adalah capengen dikarenakan luas wilayah 6 km 2

dengan jumlah peduduk 4.507. Sedangkan jumlah penduduk terbanyak adalah di

desa Baringen 5.931 penduduk dengan luas wilayah 21 km2.

B. Kondisi Sosial, Keagamaan, dan Pendidikan

Kecamatan Lilirilau merupakan salah satu masyarakat asli yang

mendiami di bagian timur wilayah Kabupaten Soppeng. Kecamatan Liliriau

adalah penduduk suku Bugis yang secara turun temurun berdiam dan tinggal di

daratan tinggi. Pola kehidupan mareka adalah bercocok tanam, terutama jagung,

padi, palawijaya dan tembakau.3 Disamping itu, mareka juga bergantung kepada

hasil tanaman keras, seperti kelapa dan kakao.

Struktur sosial dapat diartikan sebagai suatu realisasi yang relatif

berlangsung lama yang mempersatukan kelompok-kelompok yang ada dalam

suatu sistem sosial yang menyeluh, dan merupakan identitas khususnya bagi

suatu daerah. Adapun kondisi sosial Kecamatan Lilirilau dapat digambarkan

melalui

Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu daerah adalah

tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang bekualitas. Salah satu indikator

yang dapat dilihat dari keberhasilan bidang pendidikan adalah tingkat buta huruf.

Makin rendah presentase penduduk yang buta huruf menunjukkan keberhasilan

3
Wawancara Pribadi Idrus, Sekretaris Kecamatan Lilirilau. Pajalesang. Pada tanggal 12
april 2016.
2

program pendidikan, sebaliknya semakin tinggi presentase penduduk yang buta

huruf mengindikasikan kurang berhasilanya tingkat pendidikan.

Pada tahun 2014 sarana pendidikan yang ada di kecamatan lilirilau terdiri

dari 12 pendidikan taman kanak-kanak (TK), 54 sekolah dasar (SD) yang terdiri

dari 52 SD Negri dan 2 Madarasah Ibtidaiyah (MI), 10 sekolah menengah pertama

(SMP), terdiri dari 5 SMP Negeri, 2 SMP Swasta, dan 3 Mts, 4 sekolah menengah

Atas (SMA) terdiri dari 1 SMA dan 3 SMA Swasta. 4 Jika SD sudah merata di

setiap kelurahan/desa, tidak demikian halnya dengan SMP dan SMA. Hingga

tahun ini, desa paroto, palangiseng, parenring, dan kebo yang belum terdapat

bangunan SMP dan SMA

Tabel 1.4 Rasio Murid Terhadap Guru Menurut Jenjang Pendidikan

Di Kecamatan Lilirila Tahun 2014

No Desa/Kelurahan Rasio murid terhadap guru

SD SMP SMA

1 Pajalesang 9 15 -

2 Cabengen 6 3 1

3 Paroto 5 - -

4 Palangiseng 4 - -

5 Tatewatu 6 9 -

6 Abbanuange 7 1 -

7 Parenring 4 - -

4
Kantor Kecamatan Lilirilau 2014
2

8 Ujung 6 10 -

9 Masing 5 3 -

10 Baringen 6 11 -

11 Kebo 4 - -

12 Macanre 5 - 4

Sumber : Kecamatan
sahaya) Lilirilau dalam angka 2015 hubungan darah dengan Raja,
(hamba Bahkan masih mempunyai
Berdasarkan
tetapi tabel
hubungan diatas maka
kekerabatan kesimpulan
yang adalah
sudah jauh dan rasio murid terhadap
kemungkinan mareka
guru masih
dari jenjang
tercatatSD yang
dalam tertinggi
silsilah adalah raja.
keturunan desa Pajalesang dan terendah desa

Parenring. Jenjangyaitu
3. Tau Samak SMPgolongan
yang tertinggi adalahtidak
yang sudah desa menjadi
Pajalesang
Ata sedangkan
bisa juga
terendah desa ata
seseorang Abbanuange
yang telah dan Jenjang SMA
dimerdekakan yang tertinggi adalah desa
oleh seseorang.
Macenre terendah desa Cebengen.
5
Wawancara Pribadi Drs. H. Kasniady. Mpd, Ketua Muhamdiyah Kapubaten Soppeng
periode 2015-2020. Watansoppeng. pada tanggal 16 April 206
Dalam masyarakat dikenal pula adanya strata sosial, atau pelapisan

masyarakat yang dasarnya dibagi atas empat tingkatan yaitu arung (bangsawan),

tau deceng, tau samak dan ata. Berikut ini akan diuraikan secara singka

mengenai ke empat strata tersebut:5

1. Arung adalah golongan bangsawan yang berhak memegang pemerintahan.

2. Tau Deceng (orang baik) kaum daeng yang tidak pernah menjadi Ata
2

4. Ata yaitu golongan hamba sahaya (sekarang sudah tidak ada lagi).

Dalam pemerintahan tradisional dahulu tingkatan masyarakat seperti ini

sangat menentukan kehidupan bermasyarakat. Namun saat ini sudah tidak ada lagi

dikalangan masyarakat, tetapi dalam hal-hal yang masih sering dijumpai adat

istiadat dalam kehidupan masyarakat, misalnya pada upacara-upacara perkawinan

dan hukum waris adat (Ampikale) masih banyak menerapkan di pendalaman desa.

Dari segi keagamaan masyarakat Bugis bisa dibilang tergolong seragam, dilihat dari agama yang d
tenang dan damai.

C. Hukum Adat Ampikale.


Hukum adat yang berlaku di tengah masyarakat merupakan hukum yang turun temurun sampai sek

salah satu kepercayaan masyarakat Bugis terhadap adat istiadat dari orang tua

terdahulu.

Masyarakat Bugis memahami tentang Konsep ade’ secara umum terdapat di

dalam konsep pangaderang, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma

keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari’( norma yang mengatur


6
Wawancara pribadi H. Andi Muhammad Darwis, S.Ag, Ketua KUA Kecamatan
Lilirilau. Pajelesang. Pada tanggal 18 april 2016.
2

strafikasi masyarakat), dan sara’(syariat Islam). 7


Sejalan dengan diterimanya

syari’at Islam (sara’) sebagai bagian integral dari adat-istiadat Bugis, dibentuk

pula perangkat pejabat sara’(parawa sara’) yang menangani tugas-tugas

keagamaan secara resmi. Jadi hukum sara’ ruang lingkupnya soal pernikahan,

perceraian, dan kewarisan yang harus disesuaikan dengan syariat Islam. Karena

konsep ade di dalam bermasyarakat mendapatkan kedudukan penting dalam

kebudayaan Bugis.

Adat tidaklah berarti hanya sekedar kebiasaan, kutipan Matthes dalam

memahami adat kebudayaan Bugis sebagai gewoonten (kebiasaan-kebiasaan) di

dasarkan pada arti konatsi yang diberikan sendiri oleh lontara, “iyya

nanigesara‟ ada‟ „biyasana buttaya tammattikamo balloka,

tanaikatonganngamo jukuka, annyalatongi aseya” artinya jika dirusak adat

kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi

pun tidak menjadi.8

1. Pengertian Ampikale.

Kata Ampikale berasal dari bahasa Bugis yaitu a. mpi. ka. le artinya harta

yang di simpan untuk dirinya sebagai jaminan selama masih hidup.9 Ampikale

menjadi tuntutan
merupakan suatubagi
adatsetiap orang
istiadat tua berlaku
yang dalam perihal waris hal
di kalangan ini. UntukBugis.
masyarakat

menyimpan sebagian hartanya sebagai jaminan pada masa tua, Karena ada rasa

7
Christian Pelras, Manusia Bugis, ( Jakarta: Nalar, 2006 ), h. 212.
8
Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis, ( Ujung Pandang: Hasanudin
University Pres Kampus, 1992 ), h. 124.
9
Muhammad Rafiuddin Nur, Aku Bangga Berbahasa Bugis, ( Makassar: Rumah Ide,
2008), h. 602.
3

ketakutan di dalam benak mereka dengan tidak diperhatikannya oleh anak-

anaknya pada masa tuannya.

Ampikale biasa disebut sebagai harta waris untuk ahli waris yang di tinggal

bersama dan merawat orang tuanya hingga meninggal. Bisa disebut pula harta

yang diberikan kepada orang yang merawat sepemilik harta tersebut.

Harta yang dimiliki orang tua tersebut diberikan kepada anaknya atau orang

yang merawatya setelah ia meninggal. Kemudian diserahkan kepada anak yang

memelihara/merawatnya.10 Harta tersebut bisa berupa tanah, sawah, dan rumah

yang boleh diperjualbelikan.11 Namun, ada pula yang berpendapat bahwa harta

yang diperoleh dari Ampikale tidak boleh diperjual belikan, dengan alasan harta

tersebut merupakan amanah yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk

kepentingan pewaris dan ahli waris.12

Jadi harta Ampikale tidak sembarang orang yang menerimanya, dan

diperioritaskan kepada anak kandung yang sudah ditentukan dari orang tua.

Oleh karena itu, harta Ampikale khusus seorang yang memilikinya sehingga dia

berhak menerima dengan syarat merawat orang tua sampai meninggal.

2. Syarat Kewarisan Adat Ampikale.

Beradasarkan data yang diperoleh maka penulis menyimpulkan tentang

syarat kewarisan adat Ampikale sebagai berikut:

10
Wawancara Pribadi Idrus, Sekteraris Kecamatan Lilirilau. Pajalesang. Pada tanggal 12
April 2016.
11
Wawancara Pribadi Drs. Andi Sarimin Msi, Tokoh Masyarakat. Pajalesang. Pada
tanggal 14 April 2016.
12
Wawancara Pribadi Drs. H. Kasniady Mpd, Ketua Muhammadiyah Kabupaten
Soppeng. Watansoppeng. Pada tanggal 16 April 2016.
3

a. Ahli waris yang menjaga/merawat orang tua hingga meninggal dunia,

b. Anak perempuan diperiotaskan merawat orang tua,

c. Harta peninggalan.

3. Sistem Pembagian.

Pembagian waris adat Bugis secara garis besar mempunyai pemahaman

yang berbeda dalam pelaksanaan hukum waris. Masyarakat Bugis di

Kecamatan Lilirilau mengikuti sistem pembagian waris berdasarkan syariat Islam yaitu 2:1. Ses
ana‟buranewe nabalancai alena. Parellutoi nabalancai bainena. Naiya ana

makkunraiye alenami nabalancai, narekko purani mallakkai

ribalancaisirilakkainna. Artinya “Anak laki-laki berhak mendapatkan bagian warisan dua kali lip
Bahwasanya sudah tidak bisa diubah berdasarkan kondisi, misalnya 2:1.

Karena ketentuan ini sudah diatur dalam kompilasi hukum Islam. Sesuai

dengan syariat Islam, sedangkan dalam hukum adat Bugis ada dua metode

pembagian waris. Pertama, kesepakatan awal keluarga dalam menangani

13
Muhammad Yusuf, ed., Revansi Nilai-Nilai Budaya Bugis Dan Pemikiran Ulama
Bugis Studi Atas Pemikiran Dalam Tafsir Bahasa Bugis Karya MUI Sulsel, ( MUI Sulsel, 1988:
217) Makassar: UIN Alauddin Makassar Dpk Pada Stai Alfurqon, 2013 ), h. 211.
3

pembagian harta. Kedua, dibagi rata oleh pewaris.14 Adapun contoh pembagian

Ampikale sebagai berikut: Orang tua mempunyai sawah 5 hektar dan memiliki

4 anak kemudian orang tua menyisihkan 1 hektar tersebut untuk biaya

kehidupannya menjelang akhir hayatnya, apabila terdapat sisa maka harta

tersebut menjadi hak anak yang mengasuh orang tuanya hingga meninggal, dan

sisanya yang 4 hektar dibagi rata kepada 4 anak tersebut. Karena Ampikale

merupakan hak orang tua memberi harta lebih kepada anaknya yang merawat

hingga akhir hayat. Kemudian harta dari ampikele menjadi hak ahli warisnya.

Pembagian Ampikale ada dua kasus fenomenal yang terjadi di kalangan

masyarakat Bugis. Pertama, anak yang mendapatkan Ampikale dari orang

tua sangat setuju karena ini merupakan upah bagi sauda ra yang telah

merawat orang tuanya di masa tua.15 Kedua, anak yang tidak mendapatkan

Ampikale sangat tidak setuju karena merasa ketidakadilan dan rasa iri

terhadap saudaranya yang diberi harta lebih dari orang tua dengan alasan

telah merawat.

Proses penyelesain pada kasus yang kedua ini adalah musyawarah

internal keluarga dalam mencari solusi, jika tida berhasil maka

dipercayai
masalah lebih memahami permasalahan yang berkaitan dengan Ampikale,

namun jika tidak menemukan solusi juga perkara tersebut di proses melalui

pengadilan. Saudara yang tidak menemukan solusinya melanjutkan ke tahap

gugatan di pengadilan agama. Adapun perkara tersebut tentang waris adat

14
Wawancara Pribadi Drs.H. Kasnidy Mpd, Ketua Muhammadiyah Kabupaten Soppeng.
Watansoppeng. Pada tanggal 18 April 2016.
15
Wawancara Pribadi H. Musriadi, S.ag MH, Tokoh Muhammadiyah. Pajalesang. Pada
tanggal 20 April 2016.
3

terakhir di tahun 2014 dikarenakan permasalahan sesama saudara mengenai

harta Ampikale, tokoh adatlah yang sangat berperan dalam menyelesaikannya.

Sesuai Putusan Pengadilan Agama Watansoppeng nomor:

532/Pdt.G/2013/PA Wsp, tanggal 23 April 2014 dalam perkara waris antara

Baba Bin Mannessa sebagai pengugat Melawan Abu Bin Mannessa Dkk

sebagai tergugat. Di dalam perkara almarhum lelaki Mannessa bin latoho

meninggal dunia pada tahun 1976 dan almarhumah perempuan Manni binti

Waddahe meninggal pada tagun 2013. Dikaruniai 6 orang anak masing-

masing yaitu: Abu Bin Mannessa, Baba Bin Mannessa, Saleha Binti

Mannessa, Hajerah Binti Mannessa, Guse Binti Mannessa, Rosmini Binti

Mannessa. Adapun yang mendapatkan Ampikale dari orang tua adalah

Rosmini Binti Mannessa.16

Namun kebiasaan yang terjadi, jika anak yang telah mendapatkan hak

Ampikale tidak bisa diperkarakan. Karena Ampikale merupakan hak

perogratif orang tua dalam menetapkan hak-hak yang didapatkan oleh anak.

16
Putusan Pengadilan Agama Watansoppeng nomor: 532/Pdt.G/2013/PA Wsp.
BAB III

LANDASAN TEORITIS SISTEM KEWARISAN ADAT DAN

KEWARISAN ISLAM

A. Kewarisan Menurut Hukum Adat.

Hukum
maupun waris tidak
immaterial, sajamana
yang terdapat
daridalam hukumtertentu
seseorang adat, tetapi
dapatjuga
di terdapat
serahkan

dalam hukum
kepada Islam danserta
keturunannya hukumyangbarat. Hal ini
sekaligus bukan saat,
mengatur saja cara
akibatdanadanya
proses

pembagian dalamdari
peralihannya pasal
harta63yang
dandimaksud.
pasal 1321
I.S, tetapi kenyataannya sekarang

masih terasa
Jadi, dan terdapat
hukum adat pembagian itu. Untuk
mengatur tentang membedakan
hukum perkawinanhukum waris
adat, hukum

dalam satu sistem


kewarisan adat, hukum dengan
dan hukum hukumadat.
perjanjian waris dalam
Istilah sistem
hukum hukum
waris adat lainnya,
hal ini di

maka dalam hal ini digunakan istilah hukum waris adat.


1
Tolib Setiyadi, Intisati Hukum Adat Indonesia, ( Bandung : Alfabeta, 2008 ), h. 281.
1. Pengertian Hukum Waris Adat
34 hukum waris yang memuat tentang
Hukum waris adat merupakan

harta warisan, siapa pewari dan ahli waris, serta cara bagaimana harta

warisan (hak maupun kewajiban) di ahlikan dari pewaris kepada ahli waris.

Hukum waris adat adalah salah satu aspek hukum dalam lingkup

permasalahan hukum adat


3

maksudkan untuk membedakan pengertian istilah antara hukum waris barat,

hukum waris Islam dan hukum waris adat.

Soepomo, ahli hukum pidana pada generasi pertama ketika Indonesia

sudah merdeka (1903-1958 M), mengatakan, hukum adat waris memuat

peraturan-peraturan yang mengantur proses meneruskan serta mengoperkan

barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda

dari suatu angkatan manusia kepada keturunan.2

Hukum waris itu memuat ketentuan ketentuan yang mengatur cara

penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud)

dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta

kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris

meninggal dunia.

2. Sistem Kewarisan Hukum Adat.

Prinsip-prinsip garis keturunan yang terdapat pada masyarakat

Indonesia berpengaruh terhadap penetapan ahli waris maupun bagian harta

peninggalan yang di wariskan. Soerjono Soekanto dan Soeleman B.Taneko

menjelaskan; Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan,

yaitu :3

a. Sistem kewarisan individual

Sistem ini merupakan sitem kewarisan dengan ahli waris-mewarisi

secara perorangan. Hilman Hadikusama dalam hal ini mengatakan;

2
M. Rasyid Airman, Hukum Waris Adat Dalam Yusriprudensi, ( Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), h. 9.
3
Elfrida R. Gultom, Hukum Waris Adat Di Indonsia, ( Jakarta: Literata, 2010 ), h. 46.
3

pewarisan di mana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat

mengusai dan atau memeliki harta warisan menurut bagiannya masing-

masing.

b. Sistem kewarisan kolektif

Pada sistem ini para ahli waris secara kolektif (bersamasama)

mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat di bagi-bagi kepada masing-

masing ahli waris.

c. Sistem kewarisan mayorat

Sistem ini merupakan sistem kewarisan kolektif, hanya penurusan

dan pengalihan hak penguasa atas harta tidak terbagi-bagi itu

dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemipin rumah

tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu

sebagai kepala keluarga.

3. Hukum Waris Adat.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara

keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum

kekeluargaan.Hukum waris sangat eratnya kaitannya dengan ruang

sebab setiap
lingkup manusiamanusia,
kehidupan pasti mengalami peristiwa hukum yang dinamakan

kematian. Akibatnya hukum selanjutnya, dengan terjadinya peristiwa hukum

kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal


3

dunia tersebut.Penyelesaian hakhak dan kewajibankewajiban sebagai akibat

meninggal seseorang, di atur dalam hukum waris.4

Jadi, Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur

cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta

kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi

berikut.

Bahwa hukum waris adat tidak sematanya hanya akan menguraikan

tentang waris dalam hubungan dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas hukum waris adat adalah hukum

adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azaz-azaz

hukum waris, tentang harta waris, pewaris, dan waris serta cara

bagaimana harta waris di ahlikan penguasana dan pemilikanya dari pewaris

ke pada waris.

4. Asas-Asas Kewarisan Adat.

Pada dasarnya hukum waris adat sebagaimana hukum adat itu sendiri

dapat dihayati dan diamalkan sesuai dengan falsafah hidup pancasila.

Pancasila dalam hukum waris adat merupakan pangkal tolak berfikir dan

pembagian
memikirkanharta
sertawarisan itu dapat
penggarisan berjalan
dalam dengan
proses rukun dan
pewarisan, agar damai tidak
penerusan

menimbulkan silang sengketa atas harta kekayaan yang ditinggalkan oleh

pewaris yang wafat.5

4
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, ( Bandung : Refika Aditama, 2011), h. 1.
5
Hakim, S.A, Hukum Adat (Perorangan, Perkawinan, dan Pewarisan), ( Djakarta:
Stensil, 1967), h. 28.
3

bahwa di dalam hukum waris adat bangsa Indonesia bukan semata-mata

terdapat asas kerukunan dan asas kesamaan hak dalam pewarisan, tetapi

terdapat juga asas-asas hukum yang terdiri dari :

a. Asas Ketuhanan dan Pengendalian Diri

b. Asas Kesamaan Hak dan Kebersamaan Hak

c. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan

d. Asas Musyawarah dan Mufakat

e. Asas Keadilan dan Parimirma

Karena menunjukkan sifat-sifat dan corak yang khas itu, maka hukum

waris adat mempunyai tempat tersendiri dari hukum waris lainnya. Tepatlah

apa yang dikatakan oleh Soepomo, ahli hukum pidana pada generasi

pertama ketika Indonesia sudah merdeka (1903-1958 M), “Hukum adat

waris menunjukkan corak-corak yang memang “typerend” bagi aliran

pikiran tradisional Indonesia”. Selanjutnya dikatakan “Hukum adat waris

bersendi atas prinsif-prinsif yang timbul dari aliran-aliran pikiran

kommunal dan konkrit dari bangsa Indonesia”.

5. Sistem Pembagian Waris Adat.

Sifat hukum adat, pada umumnya berlandasarkan pola pikir yang

konkret/tidak abstrak, maka soal pembagian harta warisan biasanya

merupakan penyerahan barang warisan tertentu terhadap seorang ahli waris

tertentu, umpamanya sebidang sawah tertentu diserahkan terhadap ahli waris

si a, sebidang pekarangan atau suatu rumah tertentu diberikan terhadap ahli

waris si b, sesuatu keris tertentu diberikan terhadap ahli waris si c (biasanya


3

seorang lelaki). Suatu kalung tertentu diberikan terhadap ahli waris si d

(biasanya orang wanita).6

Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan

matematika. Tetapi selalu didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud

benda dan kebutuhan bersangkutan. Jadi walaupun hukum wris adat

mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat

bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau

menurut banyaknya bagian yang sudah tertentu.

B. Kewarisan Menurut Hukum Islam.

1. Pengertian Kewarisan Islam

Ilmu mawaris adalah ilmu pokok yang berdasarkan ilmu fiqh dan ilmu hitung yang berkaitan d
Dalam bahasa arab hukum waris biasanya disebut kata faraid. Secara

etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir “ketentuan”.

Dalam istilah syara’ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan

bagi ahli waris.8 Sebab dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak

ahli waris telah ditentukan dalam Al Qur’an.Hukum kewarisan dalam Islam

6
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, ( Jakarta: PT.Renika Cipta,
2006), h. 50.
7
Abu Malik Kamal, Tutunan Praktis Hukum Waris Lengkap Dan Padat Menurut
Alquran dan Assunnah Yang Shahih, ( Jakarta: Pustaka Ibnurumar, 2009), h. 3.
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h. 479.
4

mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan

akibat-akibat yang tidak menguntungkan.9

Ilmu faraid adalah ilmu yang membahas tentang peralihan hak milik

terhadap harta kekayaan. Dalam hal ini penentuan siapa-siapa saja yang

berhak menjadi ahli waris, berapa bagian masing-masing ahli waris, kapan

harta peninggalan(tirkah) itu bisa dibagi dan bagaimana cara

pembagian/membagikan.10 Sedangkan menurut fiqih mawaris-warisan

adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan,

tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima

harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.11

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf a disebutkan bahwa

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak

menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks

yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak

kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang

masih

Dari definisi-definisi di atas, dapatlah dipahami bahwa ilmu faraidh

atau fikih mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan

9
Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995 ),
h. 355.
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam, ( Jakarta: PT Rajagrafindo
10

Persada, 2013), h. 11.

Moh. Muhibbin dkk, Islam Sebagai Pembahuruan Hukum Positf Di Indonesia, (


11

Jakarta: Sinar Grafika,2009), h. 7.


12
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, ( Jakarta: PT Grafindo Persada, 2004), h. 4.
4

harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih

hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak

menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris,

maupun cara penyelesain pembagian harta peninggalan.

2. Sumber Hukum Kewarisan Islam.

Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil

atau dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Di antara sumber-

sumber hukum kewarisan dalam Islam adalah, sebagai berikut:

Pertama, dalil- dalil yang bersumber dari Al-Qur’an. Kedua, dalil-

dalil yang bersumber dari as-sunnah. Ketiga, dalil-dalil yang bersumber dari

ijma dan ijtihad para ulama. 13


Dengan demikian, sumber hukum Islam

tentang waris ialah

a. Alquran

Dasar hukum bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada dalam

Al Qur’an dan Sunnah. Ayat-ayat Qur’an yang mengatur secara langsung

tentang kewarisan diantaranya adalah:

- QS An Nisa’ ( 4 ) : 7

‫ُن ِمَّما‬ ِ ‫ن اٌٌَُِْا َذا‬


َ ‫ن ٌَْاَأ لْ َشُت‬ َ ‫ِمَّما َذ َش‬
ٌ ‫ص‬
‫ة‬ ٍِ ‫َِّىَساِء َو‬
ٌٍَ ‫ُن‬ ِ ‫ن اٌٌَُِْا َذا‬
َ ‫ن ٌَْاَأ لْ َشُت‬ َ ‫ِمَّما َذَش‬ ٌ ‫ص‬
‫ة‬ ٍِ ‫اي َو‬
ِ ‫ٌِّشَج‬
ٍِ

‫ظا‬
ً ‫ثا َمْفَُش‬mً‫ص‬
ٍِ ‫ص َش َو‬mُ‫َل ًَّ ِمًُْى َأ َْ َو‬

13
H.R. Otje Salman, Hukum Waris Islam, ( Bandung : Aditama, 2006 ), h. 3.
4

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

Garis hukum kewarisan pada ayat di atas ( QS. An Nisa ( 4 ) : 7 )


adalah sebagai berikut :
- Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu
bapaknya.
- bagi aqrobuun ( keluarga dekat ) laki-laki ada bagian warisan dari harta
peninggalan aqrobuun ( keluarga dekat yang laki-laki atau
perempuannya)-nya.
- bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu
bapaknya.
- bagi aqrobuun ( keluarga dekat ) perempuan ada bagian warisan dari harta
peninggalan aqrobuun (keluarga dekat yang laki-laki atau perempuannya)-
nya.
- ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada pula yang
banyak. Pembagian-pembagian itu ditentukan oleh tuhan.14

Masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang dasar-dasar

hukum kewarisan dalam Islam, namun pemakalah hanya merumuskan satu ayat

yang lebih universal, yang sering dipakai untuk rujukan atau dalil kewarisan

dalam Islam.

QS An Nisa ( 4 ) : 9
ُُ
‫ٌٍَََْ ٌُُما َل ًٌُْا َس ٌِذ ًذا‬ ًَ ‫ِظَعاًفا َخاُفا ٍَْفَّرُمُا ٌٍَّا‬ ٌَِّّ ُ ٍِ‫َش ٌَ ُْ َذ َشُوا ٍَْخف‬
‫رس ًح‬ ‫َ ْخ‬
ٌٍَْ
‫ْم‬ ‫ِم ْه‬

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.

QS An Nisa ( 4 ) : 11

14
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: PT. Bina Aksara, 1981
), h. 7.
4

َ ‫ه شُ ٍَُصا َما َذَش‬


‫ن‬ َ ‫ٍْرهِ ٍَُف‬mَ‫شى‬mْ‫اء َف ُْقَ ا‬
ً ‫ه ِوَس‬
َ ‫ن ُو‬
ْ ‫ٍْهِ َفِإ‬m‫ًُص َحّظِ ٌْاُأ ْو َص‬mْ‫ص ٍُىُم ًٌٍَُا ًِف َأ ٌَْ ِادُوْم ٌٍِ َز َوِش ِم‬
ِ ٌ
ُ

ٌَ ‫ن‬
ْ ‫َذٌ َفِإ‬
ٌَ ‫ن‬
ْ ‫ن ِإ‬َ ‫ِمَما َذ َش‬ ُ ‫ٍُىَما اٌسُُذ‬mْ‫َاِحذٍ ِم‬
‫س‬ َ ‫ََأ ًٌَُِْت ٌِ ًُِى‬
ٌَِ ْ ‫َاِحَذجً ٍَفا اٌِى‬
َ ْ ‫ن َواَو‬
‫د‬ ْ ‫َِإ‬
َ
‫ْم‬ ًٌَُ ‫ن‬
َ ‫َوا‬ ‫ص‬
ُ‫ف‬

‫ص ٍَِتا‬
ًِ ٌُ ‫صٍح‬
ٍَِ َ ‫ه َتْعِذ‬ ُ ُ‫ن ًٌَُ ِإَُْخٌج ٍَِفُأًِم اٌسُذ‬
ْ ‫س ِم‬ َ ‫ن َوا‬ ُ ‫ٍُص‬mٌُ‫ه ًٌَُ ٌَذٌ َ َِسًَُش َأَت َُاُي ٍَِفُأًِم ا‬
ْ ‫س َفِإ‬ ْ ‫َُى‬
ٌ

‫ن َعٍِ َحٍِىًما‬
َ ‫ن ٌٍَا ًَ َوا‬
َ ‫ه ًٌٍَِا ِإ‬
َ ‫ع ًح ِم‬
َ ‫ب ٌَُى ْم َو ْفًعا َفٌِش‬
ُ ‫َن ٌٍَُأمْ َأ لْ َش‬
َ ‫ََأْتَىاؤُُوْم ٌَا َذ ْذُس‬
َ ‫ه آَتاؤُُو ْم‬
ٍ ٌَْ‫َأ َْ د‬
‫ًما‬

Artinya : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anak yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, maka bagi mareka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya sepernam dari harta yang ditinggalkan jika yang
meninggal itu mempunyai anak, jika orang itu meninggal itu tidak ada
meninggalkan anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya, maka ibunya
mendapat sepertiga jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam.(pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau sudah
dibayar utangnya. Tentang orang-orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mareka yang lebih
dekat(banyak-manfaatnya bagimu) ini adalah ketetapan dari allah.
Sesungguhnya allah maha mengetehui dan maha bijaksana”.

Garis hukum kewarisan pada ayat diatas ( QS. An Nisa ( 4 ) : 11 ) adalah


sebagai berikut :
- Bagian Anak Laki-Laki: 'Ashabah; Jika sendirian ia mengambil semua
bagian dan jika ada ahli waris lain, ia mengambil sisa bagian. Dan Bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian 2 orang anak perempuan.
- Bagian anak perempuan: 2/3 jika semua ahli waris adalah perempuan, 2
orang atau lebih. Dan ½ jika ia sendirian dan si mati tidak meninggalkan
anak laki-laki.
- Bagian Bapak: 1/6 jika (anaknya) yang meninggal ada mempunyai anak.
Dan Ashabah (sisa) setelah diambil untuk bagian ibu, jika ahli waris hanya
bapak dan ibu saja.
- Bagian Ibu :1/3 Jika ahli waris hanya bapak dan ibu, dan yang meninggal
tidak mempunyai saudara. Dan 1/6 Jika (anaknya) yang meninggal ada
mempunyai anak atau cucu. 2. Ahli waris hanya bapak dan ibu, dan yang
meninggal mempunyai lebih dari satu saudara.

QS An Nisa ( 4 ) : 12
4

َ‫َذٌ ٍَفُىُم ٌاشُتُع ِمَما َذ َشْوه‬


ٌَ َ‫ن ٌٍَُه‬
َ ‫ن َوا‬
ْ ‫ٌَذ َفِإ‬
ٌَ َ‫ه ٌٍَُه‬
ْ ‫ن ٌَمْ ٌَُى‬
ْ ‫ن َأْص َاُجُىمْ ِإ‬ ُ ‫ٌَََ ىُ ْم ِو ْص‬
َ ‫ف َما َذ َش‬
‫ه‬
ْ ‫ِم‬

‫َ ٌذ ٍََُف َه‬
ٌَ ‫ن‬
َ ‫َ ٌذ ْن َوا‬ ٌَ ْ‫ن ٌَ ْم ٌَُىه‬
ْ ‫َهَ ٌاُشُت ُع ِمَما َذ َشْورُْم ِإ‬
ٌٍَُ ‫ص َه ٍَِتا َأ َْ دٌَْ ٍه‬
ٍِ ٌُ ‫صٍح‬
ٍَِ َ ‫َتْع ِذ‬
‫ٌَُىْم‬ ‫َفِإ‬ ‫ٌَُى ْم‬

ًٌَُ ٌ‫ٍََواًٌَح َِأ اْم َشَأج‬ ُ ‫ج ٌَُُس‬


‫ز‬ ًٌ ُ ‫ن َس‬
َ ‫ن َوا‬
ْ ‫ه َِإ‬
ٍ ٌَْ‫ن ٍَِتا َْأ د‬
َ ‫ص‬
ُ ‫صٍح ُذ‬
ٍَِ َ ‫ه َتْعِذ‬
ْ ‫ِمَما َذَشْوُرمْ ِم‬ ُ ‫اٌُصُم‬
‫ه‬

ِ‫ه َتْعذ‬
ْ ‫س ِم‬
ِ ‫ٍُص‬mُ‫ه ٌَِر َفٍُ ُش َشَواءُ ًِف ٌا‬
ْ ‫صَش ِم‬mَ‫ن َواُوُا َأْو‬ ُ ‫َاِحٍذ ِمٍُْىَما اٌسُُذ‬
ْ ‫س َفِإ‬ َ ‫ٍَِف ُِ ًى‬ ٌ ‫خ َْأ ُأْخ‬
‫د‬ ٌ ‫َأ‬
‫ه ْم‬ َ

‫َ ٍَِحٌٍم‬ ًُ ‫ه ٌٍَا ًِ ٌٍََا‬


َ ‫ص ًح ِم‬
ٍَِ َ ‫عا ٍس‬
َ ‫ٍ َش ُم‬mْ‫غ‬
َ ‫صى ٍَِتا َأ َْ ٌَْد ٍه‬
َ ٌُ ‫ص ٍح‬
ٍَِ َ
َ
ٍِ ‫ع‬
‫ٌم‬

Artinya : dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harata yang


ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mareka tidak mempunyai anak.
Jika istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mareka buat atau sesudah dibayar hutangnya para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak punya anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
saudara laki-laki(seibu saja) atau seorang saudara perempuan(seibu
saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang maka mareka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat(kepada ahli waris).(allah
menetapkan yang demikiam itu sebagai) syariat yang benar-benar
dari allah, dan allah maha mengetahui lagi maha penyatun.

Garis hukum kewarisan pada ayat diatas ( QS. An Nisa ( 4 ) : 12 ) adalah


sebagai berikut :
- Bagian Suami: 1/2; Jika isteri tidak meninggalkan anak atau cucu.
1/4; Jika isteri meninggalkan anak atau cucu.
- Bagian Isteri: 1/4; Jika suami tidak meninggalkan anak atau cucu. 1/8; Jika
suami meningglkan anak atau cucu.
- Bagian Saudara se-ibu (Jika si mati tidak memiliki ayah dan anak) adalah
1/6 ;Jika jumlah saudara se-ibu hanya satu orang. 1/3; Jika jumlah saudara
se-ibu itu dua orang atau lebih, laki-laki atau perempuan, maka mereka
dapat 1/3 dibagi rata.

b. Hadits
4

Dasar hukum kewarisan yang kedua, yaitu dasar hukum yang

terdapat dalam hadits nabi Muhammad SAW. Dari sekian banyak hadits

nabi yang menjadi landasan hukum kewarisan Islam.

‫ ٌأح ُما اٌفشائط ت ٌٍأا فما تمٍا‬:‫عً َ ٍسم‬


ٍ ‫عه إته عثاس سض اهلل عًى عه اٌىثً صٍى اهلل‬

)‫ٍُف ألٌَى س ًج روش ( َساي اٌثخاسي‬

Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A dari Nabi SAW berkata :“Berikanlah faraid ( bagian-bagian yang dite
‫ أن اته اتىى ماخ‬: ‫ع َ سٍم فماي‬ ٍ ‫عه عمشان ته حصٍه أن سجال أذى اٌىثى‬
ًٍ ‫صى اهلل‬

ُ ‫فماٌى مه ٍمشاشً فماي ٌه اٌسذس ( َساي أ‬


)‫ت داَد‬

Artinya: “Dari „Imran bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi sambil berkata : “bah
‫سم ذ ٍعمُا اٌفشائط َ ٍعُّمي‬
ّ ٍ َ ‫صى اهلل‬
ٍ ‫سي اهلل‬
ُ ‫الي س‬:‫ى لاي‬ ً ‫ت ٌشٌشج س‬
ً ‫ظ ااهلل ع‬ ً ‫عه أ‬

)71‫فا ًو وصف اٌ ٍعم (سَاي اته ما ًج‬

Artinya: “Dari Abi Hurairah r.a. berkata,Rasullah saw bersabda : Pelajarilah ilmu Faraid,
Ibnu Majah)
ً ‫عه اته عّثاس س‬
‫الي سسُي اهلل‬:‫ظ ااهلل عًى لاي‬
‫ص‬
ٍ
ٌ‫ع ٍَّسم اٌحُمااٌفشائط تاٍا‬
ًٍٍ ‫ً اهلل‬

)18‫فما تمى الٌَى س ًج روش (مرفك ًٍٍع‬

15
Amir Syarifuddin, Hukum Waris Islam, ( Jakarta: Kencana, 2004 ), h. 12.

16
Amir Syarifuddin, Hukum Waris Islam, h. 13.

17
Sunan ibn Majah, ( Riyadh : Saudi Arabia t.t.), h. 297.
4

Artinya: dari Abbas r.a. berkata,Rasullah saw bersabda: Berikanlah


bagian-bagian kepada ahli-ahlinya, maka apa yang lebih, adalah
bagi laki-laki yang lebih hampir. (HR. Bukhory dan Muslim)

c. Ijtihad

Di dalam Al-Quran telah diatur hukum kewarisan Islam secara

terperinci, apabila terdapat ketentuan yang bersifat umum maka akan

dijelaskan dengan Sunnah Rasul. Kemudian terhadap masalah-masalah yang tidak terpinci dalam Al-Quran
Ijtihad hanya dapat dilakukan terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan ayatnya sama sekali maup
Yang dimaksud ijtihad disini adalah dalam penerapan hukum, dan bukan dimaksudkan untuk mengubah pe
Apabila dalam pelaksanaan pembagian warisan terdapat kekurangan maka

akan diatasi dengan cara aul (naikkan angka masalahnya) dan terdapat

kelebihan maka dengan jalan radd (dikurangin asal masalahnya).

3. Rukun dan Syarat Kewarisan.

18
Shahih Muslim, h. 361.
19
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta: Pustaka
Jaya, 1995), h. 24.
4

Rukun menurut bahasa, sesuatu yang di anggap rukun apabila posisinya

kuat dan dijadikan sandaran. Sedangkan menurut istilah rukun adalah

keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain.

Dengan demikian, rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk

mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan

ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun tersebut adalah:

 Almuwarrits, yakni mayit atau yang dihukumi meninggal, seperti

orang hilang.

 Alwarits, yakni orang yang hidup sepinggal muwarrits.

 Almauruuts (tirkah), yakni peninggalan mayit, berupa harta atau

selainnya. 20

Sedangkan Syarat-syarat waris yang harus dipenuhi sehingga warisan

dianggap sah, ada tiga macam yaitu Pertama, matinya orang yang

mewariskan. Kematian orang yang mewariskan, Kedua, ahli waris masih

hidup ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal. Ketiga,

mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si mayit,

seperti garis

mengetahui bahwa dirinya adalah termasuk ahli waris dari garis kekerabatan

nasab.21

4. Asas-asas Kewarisan Islam.

20
Abu Malik Kamal, Tutunan Praktis Hukum Waris Lengkap dan Padat Menurut
Alquran Dan Assunnah Yang Shahih, ( Jakarta: Pustaka Ibnurumar, 2009 ), h. 10.
21
Komite Fakultas Syariah Universitas Alazhar, Mesir Hukum Waris h. 30.
4

Secara sederhana pengertian asas hukum adalah sesuatu yang menjadi

dasar, prinsip, patokan, acuan atau tumpuam umum untuk berfikir atau

berpendapat dalam menyusun, merumuskan, menemukan dan membentuk

ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan hukum atau penarikan nilai-n

ilai ide, konsepsi atau pengertian-pengertian umum hukum.22

Sebagai hukum yang terutama bersumber pada wahyu Allah menurut

yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam

mengandung asas-asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum

kewarisan yang semata-mata bersumber kepada akal manusia. Disamping

itu, hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak sendiri,

berbeda dengan hukum kewarisan yang lain, yang di gali dari keseluruhan

ayat-ayat hukum yang terdapat dalam al-quran dan penjelasan tambahan

yang diberikan oleh nabi muhammad saw. Dengan sunnahnya. Hukum

kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang memperlihatkan bentuk

karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu sendiri.

Asas-asas kewarisan Islam tersebut antara lain:23

a. Asas ijabari yang terdapat hukum kewarisan Islam mengandung arti

bahwa peralihan harta seseorang yang meninggal dunia kepada ahli

warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketatapan Allah tanpa

digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris.

b. Asas bilateral dalam kewarisan Islam mengandung arti bahwa harta

warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah ( dua belah
22
Rachmadi Usman , Hukum Kewarisan Islam, ( Bandung: Mandar Maju, 2009 ), h. 31.
23
Moh. Muhibbin dkk, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ), h. 22.
4

pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan

dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis

keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.

c. Asas individual, dalam arti harta warisan dapat dibagi-bagi pada

masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam

pelaksanaannya masing-masing ahli waris menerima bagiannya

tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris lain.

d. Asas keadilan berimbang, Asas ini mengandung arti harus

senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban,

antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus

ditunaikan.

e. Asas semata akibat kematian, hukum Islam menetapkan bahwa

peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan

istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta

meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak

dapat beralih kepada orang lain ( keluarga) dengan nama waris

selama yang mempunyai harta masih hidup.

Ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang berhak

mendapatkan bagian dari harta peninggalan. Secara garis besar golongan ahli

waris didalam Islam dapat dibedakan ke dalam 3 golongan, yaitu :


5

a. Ahli waris menurut Al-Quran atau yang sudah ditentukan di dalam

Al-Quran disebut dzul faraa’idh.24

b. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah.

c. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arham.

Adapun macam-macam ahli waris dalam Islam yaitu

pertama, Kekerabatan adalah ahli waris berdasarkan kekerabatan

meliputi ushul(leluhur), furu’(keterunan), dan hawasyi (saudara). Sebagai

berikut :Anak laki-laki dan anak perempuan Cucu,baik lakilaki maupun

perempuan , Ayah, Ibu Kakek Nenek Saudara Anak saudara Paman Anak

paman.

Kedua, perkawinan adalah ahli waris berdasarkan adalah janda atau

duda. Sebagai beriku:

a. Ahli golongan laki-laki; Anak Cucu Ayah Kakek Saudara kandung

Saudara seayah Saudara seibuh Anak laki-laki saudara kandung

Anak laki-laki saudara seayah Paman kandung Paman seayah

Anak paman seayah Suami Orang yang memerdekakan dengan

hak wala .

dari ayah Saudara kandung Saudara seibu Istri Orang yang

memerdekakan dengan hak wala

Bagian-bagian yang telah ditentukan dalam al-quran hanya ada enam

yaitu: ½,1/4,1/8,1/3,2/3, dan 1/6, orang-orang yang berhak menerima bagian-

24
Abu Malik Kamal, Tutunan Praktis Hukum Waris Lengkap Dan Padat Menurut
Alquran Dan Assunnah Yang Shahih, ( Jakarta :Pustaka Ibnurumar, 2009 ), h. 22.
5

bagian tersebut adalah suami, bapak, kakek dan seterusnya keatas, saudara

laki-laki seibu , istri, anak perempuan, cucu perempuan, cucu perempuan

pancar laki-laki dan seterusnya kebawah, ibu, nenek dari pihak bapak, nenek

dari pihak ibu, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak,

saudara perempuan seibu dan pembagian warisan sebagai berikut:25

Penerima Bagian Setengah (1/2)

Para ahli waris ashhabul- furudh yang berhak mendapatkan bagian setengah adalah suami (tidak
saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak.

Penerima Bagian Seperempat (1/4)

Para ahli waris ashhabul-furudh yang berhak mendapatkan bagian sepermpat adalah suami (pu
cucu)

Penerima Bagian Seperdelapan (1/8)

Para ahli waris ashhabul-furudh yang berhak mendapatkan bagian

seperdelapan adalah istri dengan ketentuan bahwa ia atau mareka mewarisi

bersama anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan

cucu perempuan pancar laki-laki.

 Penerima Bagian Sepertiga (1/3)

25
Suparman Usma, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam, ( Jakarta: Gaya Media
Pratama Jakarta, 2002 ), h. 63.
5

Para ahli waris ashhabul-furudh yang berhak mendapatkan bagian

sepertiga adalah ibu dan dua orang saudara baik laki-laki maupun perempuan

seibu atau lebih.

 Penerima Bagian Duapertiga (2/3)

Para ahli waris ashhabul-furudh yang berhak mendapatkan bagian

duapertiga adalah dua orang anak perempuan atau lebih, dua orang cucu perempuan panca
sekandung atau lebih, dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih.

Penerima Bagian Sepernam (1/6)

Para ahli waris ashhabul-furudh yang berhak mendapatkan bagian sepernam adalah bapak, ibu, k
seibu, dan cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih.
BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARISAN ADAT

AMPIKALE DI KECAMATAN LILIRILAU KABATEN SOPPENG

A. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hukum Adat Ampikale.

Saatorang
merawat ini masih berlakuAnak
tua adalah Ampikale dalam masyarakat
perempuan Bugis diutama
menjadi prioritas Kecamatan
dalam

Lilirilau.atau
menjaga Yaitu kebiasaan
merawat orangorangtua menyisihkan
tuanya di sedikit
masa tuanya. Jadi hartanya sampaiyang
anak laki-laki ia

meninggal
berada dunia.
di desa Hartatidak
tersebut tersebut jatuh dan
diutamakan merupakan
dalam bagian ahliorang
menjaga/merawat waristuanya
yang

merawatnya hingga meninggal. Sedangkan ahli waris yang lain yang dekat

dengan si pewaris tidak mendapatkannya.1 Adapun pembagian Ampikale tidak

diatur 1dalam hukum


Wawancara adat.
Pribadi YangBaharuddin.H.D,
Drs.H.M. Berhak menentukan bagian-bagian
Ulama NU. Cabengen. padadari ahli
tanggal 22
April 2016.
waris adalah pewaris (orang tua), ketika orang tua selaku pewaris telah

meninggal keduanya secara persamaan53


maka yang menentukan bagian dari ahli

waris adalah tokoh adat setempat.

Implementasi yang berlaku di kalangan masyarakat dalam menerapkan

Ampikale, mempunyai pemahaman yang berbeda. Pemahaman yang

berbeda
5

terkecuali tidak mempunyai saudara perempuan. Saudara laki-laki dari ahli waris

tidak di permasalakan tentang harta dari Ampikale adalah rumah.2

Pelaksanaan Ampikale yang belaku di Desa Paranring Kecamatan Lilirilau

sangat berbeda dengan desa lain. Pak Jamaluddun Selaku Kepala Desa Paranring

mengatakan bahwa Ampikale terbagi dua yaitu Ampikale pada umumnya dan

Ampikale secara khusus. Pertama, Ampikale umum merupakan adat dari turun-

temurun yang dilakukan oleh orang tua untuk menyisihkan harta sedikit untuk

anaknya yang menjaga dan membiayai kematiannya. Sedangkan kedua,

Ampikale khusus adalah tanah, aset (harta dari Ampikale), penghasilanya masuk

ke pemerintah desa untuk dikelola oleh pejabat desa untuk kemaslahatan umat.

Pak Sapiruddin selaku Kepala Desa Baringen Kecamatan Lilirilau

mengatakan masyarakat masih menganggap bahwa hukum adat merupakan

keyakinan orang Bugis dalam kehidupannya. Ampikale merupakan bagian dari

adat Bugis oleh karena itu penerapan di masyarakat masih sering digunakan oleh

orang tua untuk menyisihkan hartanya untuk keperluan diri sendiri sebagai

pengurusan jenazah dari pada disediakan untuk anaknya. Dan harta

Ampikale

kematian sang pewaris.3 Anak tesebut dipilih oleh tokoh adat setempat sesuai

dengan ketentuan hukum adat Ampikale tersebut.

2
Wawancara Pribadi Drs.H. Syarifudin H,MH., MUI Soppeng. Watansoppeng. pada
tanggal 21 April 2016.
3
Wawancara Pribadi Sapiruddin, Tokoh adat. Baringen. Pada tanggal 23 april 2016.
5

Bahwa, jika orang tua tidak menyidiakan harta bentuk materil (uang) maka

harta Ampikale yang didapatkan oleh anak yang paling banyak membiayai prosesi

pasca kematian pewaris. Berbentuk tanah atau rumah.

Jadi Ampikale itu berlaku di dalam masyarakat Bugis. Hanya saja dalam

proses pembagian terdapat beberapa perbedaan, disinilah tokoh pemuka adat

setempat sangat berpengaruh dalam menyelesaikan perkara Ampikale tersebut.

Masyarakat adat desa Abbanuange Kecamatan Lilirilau bahwa harta

Ampikale orang tua adalah segala harta benda yang ditinggalkan karena matinya

seseorang akan beralih kepada salah satunya yang dalam hal ini disebut sebagai

ahli warisnya. Setelah itu disisihkan segala menyakut keperluan orang tua

persiapan kematiannya seperti segala biaya pemakaman (pelaksanaan fardu

kifayah), hutang piutang sebagainya. 4


Dalam hukum kewarisan Islam ikhwal

seperti ini dikenal dengan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan.

Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan ini diuraikan oleh

Ahmad Azhar Basyir, secara berurut sebagai berikut, hak yang berhubungan

dengan harta peninggalan itu secara tertib adalah sebagai berikut:

a. Hak yang menykut kepentingan si mayit (pewaris) sendiri, yaitu biaya

penyelenggaraan jenazahnya, sejak di mandikan sampai dimakamkan.

b. Hak yang menyakut kepentingan para kreditur.

c. Hak yang menyakut kepentingan orang yang menerima wasiat

d. Hak ahli waris.5

4
Wawancara Pribadi Sapiruddin, Tokoh adat. Baringen . Pada tanggal 23 april 2016.
5
A.A Basyir, Hukum Waris cet. Ke-14, ( Yogyakarta: UII Pres, 2001 ), h. 12.
5

Hukum kewarisan merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan

hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang

berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing.6 Ketentuannya

sudah ditentukan tentang batasan pembagian baik dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Para ulama sepakat bahwa tirkah (harta peninggalan mayit) beralih pemilikinnya

kepada ahli waris sejak kematian, sepanjang tidak ada hutang atau wasiat.7

Berdasarkan hal tersebut, apabila harta peninggalan tertelan hutang, maka

para ahli waris tidak menerima apa-apa. Menurut Imam AL-Syafi’i dan

mayoritas ulama mazhab Hambali mengatakan: pemilikan ahli waris masih tetap

ada dalam tirkah, apakah hutang itu mencakup semua tirkah atau sebagian saja.

Sedangkan di kalangan imamiyah terdapat perbedaan pendapat. Sebagian besar

mareka berpendapat bahwa tirkah beralih kepada ahli waris, baik dalam hal

yang habis oleh utang maupun tidak.

Terdapat berbagai macam hak yang terkait dengan harta peninggalan

mayit, antara lain yang dikeluarkan dari sepertiga harta. Kalau harta peninggalan

tersebut mencukupi, maka hal-hal tersebut harus ditunaikan selengkapnya.

Pendapat para ulama, selain Imam Abu Hanifah. Hal ini sebagaimana

dikemukakan syaid: dan ia (tirkah), menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan

Hanabilah, mencakup segala apa yang ditinggalkan oleh si mayit dari seluruh

harta dan hak, baik hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan. Pengertian

tirkah menurut Imam Abu Hanifah, juga Ibnu Hazm adalah segala apa yang

ditinggalkan oleh orang yang meningal dunia yang berupa harta benda saja. Hal
6
Kompilasi Hukum Islam, buku II, pasal 171, huruf a.
7
Muhammad jawad Mughiniyah, Fiqih Limah Mazha, ( Jakarta: Lentera, 2011 ), h. 539.
5

ini sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hazm: Sesengguhnya Allah mewajibkan

pewarisan dari apa yang di tinggalkan oleh manusia setelah ia meninggal dunia

yang berupa harta benda: sedangkan hak-hak tidaklah diwariskan, kecuali hak-hak

tersebut mengikuti kepada bendany a atau ia diartikan sebagai harta benda.

Menurut Azhar Basyir, dalam bukunya Hukum Waris Islam, yang dimaksud

dengan harta warisan adalah: “Benda berwujud atau hak kebendaan yang

ditinggalkan pewaris. Namun, pada harta peninggalan itu terlekat hak yang

harus ditunaikan, yaitu hak si pewaris sendiri yang berupa biaya

penyelenggaraan jenazah, sejak dimandikan sampai dimakamkan kemudian hak

para kreditur, kemudian orang atau badan yang menerima wasiat pewaris.

Setelah tiga macam hal itu ditunaikan, barulah para ahli waris berhak atas harta

peninggalan itu.”8

Idris Ramulyo dalam bukunya Perbandingan Hukum Kewarisan Islam

menegaskan bahwa yang dimaksud dengan harta warisan atau harta peninggalan

ialah harta kekayaan dari seseorang yang meninggal dunia dapat berupa:

a. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang termasuk

didalamnya piutang yang hendak ditagih (activa).

meninggal dunia atau pasif.

c. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-

masing suami istri.9

8
A.A Basyir, Hukum waris, cet ke-14, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 135.
9
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Di Pengadilan Agama Dan
Kewarisan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Di Pengadilan Negri ( Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992 ), h. 106.
5

Dalam hukum Islam tidak membahas secara khusus tentang Ampikale,

karena Ampikale hanya ada dalam masyarakat Bugis terutama di Kabupaten

Soppeng.10 Islam mengenalnya dengan sebutan Urf. Ampikale bisa diqiyaskan

dengan Urf, ditinjau dari kaidah Ushul Fiqih yang menyatakan bahwa:

‫انعادة محكمت‬

ataupun“adat kebiasaan
ucapan, dan Urfdapat
Fi’li dijadikan norma yang
yaitu kebiasaan hukum yang berlaku”.
berlaku dalam perbuatan.

Ini karena Ampikale muncul bersamaan dengan lahirnya suku Bugis di

soppeng
10 dan menjadi adat kebiasaan sampai saat ini.
Wawancara Pribadi H. Musriadi, S.ag MH, Tokoh Muhammdiyah. Pajalesang. Pada
tanggal 20 April 2016.
Urh (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan kepentingan)
11
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih ,(jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2012), h. 416.
yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeng (konstan) di
12
M. Zein satria efendi, Ushul Fiqh, ( jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1994), h. 45.
tengah13 Amir
masyarakat.
Syarifuddin,Sedangkan
11
menurut
Ushul Fiqh Jilid Abdul-karim
2, ( Jakarta: Kharisma PutraZaidah, istilahh. 389.
Utama, 2011), urf

berarti: sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah

menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mareka baik berupa

perbuatan atau perkataan.”12 Menurut ulama ushul fiqih adalah kebiasaan

mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.

Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, urf terbagi menjadi dua

macam:13 Urf Qauli yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata
5

Segi ruang lingkup pengunaannya urf terbagi kepada adat atau urf umum

yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana, hampir di seluruh

penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contohnya:

menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda

menolak atau menidakkan. Adat atau urf khusus yaitu kebiasaan yang dilakukan

sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu tidak berlaku di

semua tempat dan di sembarang waktu. Contohnya: adat menarik garis

keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal) di minangkabau dan

melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku batak.14

Para ulama ushul fikih menyatakan bahwa urf dapat dijadikan sebagai

salah satu dalil dalam menerapkan hukum syara, jika memenuhi syarat berikut.15

Urf itu (baik yang bersifat khusus dan umum ataupun yang bersifat

perbuatan dan ucapan) berlaku umum, artinya urf itu berlaku dalam mayoritas

kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh

mayoritas masyarakat.

Pertama, Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan

hukumnya itu muncul. Artinya urf yang akan dijadikan sandaran hukumitu lebih

dahulu ad sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Terdapat kaidah

ushuliyyah berbunyi :”urf yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran

hukum terhadap kasus yang telah lama”.

Kedua, Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas

dalam suatu transaksi


14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 391.
15
Totok Jumantoro dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih,( Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 335.
6

Ketiga, Urf itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan

hukum yang dikandung nash itu tidak bisa ditetapkan.

Keempat, Urf dilihat dari segi kacamata islam, ia terbagi menjadi dua yaitu:

urf shahih dan urf fasid. Pembagian ini sebenarnya merujuk kepada pengert ian

bahwa urf dan adat sinomin. Dari segi ini urf terbagi menjadi dua :16

Pertama, Adat yang sesuai hukum Islam adalah adat yang berulang-ulang

dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertantangan dengan agama, sopan

satun, dan budaya yang luhur.

Kedua, Adat tidak sesuai hukum Islam adalah adat yang berlaku di suatu

tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama,

undang-undang negara dan sopan satun.

Namun demikian ada syarat-syarat yang menyebabkan adat dapat diterima yaitu :

1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relavan dengan akal sehat. Syarat

ini menunjukkan bahwa adat tidak mungkin berkenaan dengan

perbuatan maksiat.

2. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata

sudah mendarah daging pada perilaku manusia

3. Tidak bertantangan dengan kekuatan nash, baik Al-Qur’an maupun as-

sunnah

4. Tidak mendatagkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang

sejahtera.17

16
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, ( Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2011 ), h. 392.
17
Mushlih Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, ( Jakarta: PT Raja grafindo
Persada,1997), h. 142.
6

Dalam praktek pembagian harta waris masyarakat Kecamatan Lilirilau

selalu mengutamakan rasa saling menerima dan saling rela setiap kali ada harta

yang akan dibagi dan para ahli waris selalu mengadakan musyawarah. Semua itu

bertujuan agar tercepai kata mufakat, sehingga terhindar dari persengketaan

dengan harapan terciptanya keutahan serta kerukunan keluarga tetap terpelihara

dan dirasakan nilai keadilannya.

Di bawah ini adalah salah satu kasus yang terjadi dalam pembagian waris

adat Ampikale di Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng.

Orang tua mempunyai 3 anak dan meninggalkan harta 20 juta 1 rumah, 3

kebun cengkeh dan 4 hekter sawah. Dalam pembagian waris adat Bugis yaitu

dibagi rata harta peninggalan warisan kesemua anaknya. Kemudian orang tua

menyisihkan sebagian hartanya untuk biaya kehidupan masa tuanya dan biaya

pemakaman sebasar 5 juta dan 1 hektar sawah. Ahli waris yang berhak

mendapatkan Ampikale yaitu anak Laki-laki anak yang kedua dari 3 bersaudara.

Dalam pembagian hukum adat Ampikale sebagai berikut:

Anak yang berhak mendapatkan Ampikale dari orang tua adalah anak kedua di

karenakan anak kedua yang merawatnya dan tinggal di rumah orang tuanya.

pertama
Anak tinggal di kota Makassar, anak ketiga tinggal di Kota Watansoppeng.

Anak pertama dan ketiga anak tidak mempermasalahkan Ampikale dari orang tua

karena mareka menyadari tidak merawat orangtua dimasa tuanya. Adapun

Ampikalenya adalah sisa dari 5 juta, rumah yang di tempati orang tua d an uang

untuk membaiyai ongkos kematianya . 18 harta yang lainnya seperti 3 kebun

18
Wawancara Pribadi H.Tahira. Cabengen. Pada tanggal 25 april 2016
6

cengke dan 4 hekter sawah dibagi rata oleh ketiganya, jadi masing-masing anak

mendapatkan 1 kebun cengke dan 1,3 hekter sawah. 15 juta dibagi rata masing-

masing mendapatkan 5 juta.

Hukum Islam telah mengatur pembagian waris agar tidak terjadinya konflik

dalam pembagian harta waris. Pembagian (2:1). Anak laki mendapatkan ½ dan 2

anak perempuan mendapatkan ¼ masing-masing. Sebagaimana dijelaskan surat

an-nisa ayat 11

َ َ‫ه ُثُهَثا َما َتر‬


‫ك‬ َ ُ‫ه َفهه‬
ِ ‫اء َف ىْ قَ اْثىَتْي‬
ً ‫ه ِوَس‬
َ ‫ن ُك‬
ْ ‫ه َفِإ‬
ِ ‫م َحّظِ انُْأْوث َْي‬
ُ ‫ث‬mْ‫صيُكُم انَهُه ِفي َأ ْونَادُِكْم ِنه ّذَ َكرِ ِم‬
ِ ‫ُيى‬

‫ة َفه َها‬mً‫ح َد‬


ِ ‫َوِإ ْن َكاَو ْت َوا‬
ُ‫انىِ ْصف‬

Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anak yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mareka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta.

Adapun dengan harta yang disediakan untuk ahli yang merawat orang tua

dimasa tuanya(Ampikale). Didalam Al-Qur’an maupun hadis tidak menjelaskan

ahli waris (Ampikale) yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris. Islam

memberikan hak waris kepada anak kecil, orang dewasa, laki-laki, dan
perempuan. Dalam hal ini allah swt. Berfirman:

َ‫ن وَاْنَأ قْ رَُبىن‬


ِ ‫ك انىْ َاِن َدا‬
َ ‫ِمَّما َت َر‬ ِ‫َوِنهِّىَساء‬ َ‫ن َواْنأ‬
ِ ‫ك ىْان َاِن َدا‬
َ ‫ِمَّما َت َر‬ ٌ ‫صي‬
‫ب‬ ِ ‫ال َو‬
ِ ‫ِنهِّرَج‬
‫ِمَّما‬ ٌ‫صيب‬ ِ ‫َو‬ َ‫قْ رَُبىن‬

‫ضا‬
ً ‫با َمْفرُو‬mً‫صي‬
ِ ‫ث َر َو‬mُ‫م ِمْىُه َأ ْو َك‬
َ ّ ‫َق‬

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
6

Jika mengunakan hukum Islam dalam pembagian waris yang telah

ditentukan bagian-bagian ahli waris dan melihat keluarga H. Tahira yang

mempunyai anak laki-laki dan 2 anak perempuan.

Anak laki-laki 2 dan anak perempuan 1 ( 2:1 )

Pembagiannya :

 Anak laki-laki mendapatkan 10 juta, 2 kebun cengke dan 2 hektar tanah

sawah.

 anak perempuan mendapatkan 5 juta masing-masing, ½ dari satu kebun

cengkeh dan 1 hektar tanah sawah masing-masing. Sedangkan Ampikale

dari orang tua tidak dibahas dalam hukum Islam.

Jadi masyarakat Bugis Kecamatan Lilirilau Kabupaten Soppeng sering

mengunakan hukum adat Ampikale dari pada hukum Islam. Dalam menerapkan

hukum adat Ampikale tersebut terbagi menjadi dua perihal kewarisan adat

dalam penerapannya sebagai berikut:

1. Masyarakat yang memakai adat Ampikale berada di daerah

pendalaman khususnya Wilayah Kecamatan Lilirilau.

2. Masyarakat yang tidak memakai Ampikale berada di perkotaan dan

Wilayah Kecamatan yang lain di Kabupaten Soppeng, kembali ke

hukum waris yang telah ditetapkan oleh hukum agama.

B. Status Hukum Waris Ampikale.

Hukum waris telah ditetapklan syariat Islam yang dijelaskan dalam Al-

Qur’an dan Hadis. Masing-masing anak mempunyai hak waris dari orang tuanya,
6

baik laki-laki maupun perempuan. Hak waris tersebut akan didapatkan ketika

orang tuanya telah meninggal dunia. Berbeda halnya dengan Ampikale yang hak

waris itu telah disisihkan oleh orang tuanya terhadap si ahli waris, semasa orang

tua masih hidup.

Di dalam hukum Islam ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk

mendapatkan hak waris adalah adanya pewaris, harta, selain ahli waris. Ampikale

secara umum termasuk hibah, wasiat, waris.

Ahli waris yang merawat orang tua akan mendapatkan hak waris lebih banyak dibandingkan denga
Menurut ulama setempat, ahli waris Ampikale itu dibolehkan dengan syarat-

syarat adanya tanggung jawab yang lebih dibanding anak-anak yang lain. Telah

disetujui oleh keluarga.19 Harta yang didapat tidak melebihi 1 harta yang ada dan
3

tidak ada nash yang menyebutkan tentang keharaman Ampikale.20

Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih

‫نعاَدُة‬
َ ‫ت ا‬
ٌ َ‫ُم َحَكم‬

Artinya: “Adat itu dapat menjadi dasar hukum”.21

Dan lain juga kaidah berbunyi

ُ ‫ف انَثاِب‬
‫ت‬ ِ ‫ن ُع ْر‬m‫ت ِب ْا‬
ٌ ‫م َثاِب‬
ٍ ‫ي‬mْ‫ي ِب َدِن‬
ٍ ‫ع‬
ِ ْ‫َشر‬
19
Wawancara Pribadi Drs.H. Kasnidy Mpd, Ketua Muhammadiyah Kabupaten Soppeng.
Watansoppeng. Pada tanggal 18 April 2016.

20
Wawancara Pribadi Drs.H.M. Baharuddin.H.D, Ulama NU. Cabengen. pada tanggal 22
April 2016.
21
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, ( Jakarta : Kencana, 2008 ), h. 394.
6

Artinya:“Yang berlaku berdasarkan „urf, (seperti) berlaku berdasarkan


dalil syara.”

Kedua kaidah ushul fiqih di atas menjelaskan bahwa Ampikale dibolehkan,

karena segala sesuatu boleh dan tidak ada nash yang mengharamkan Ampikale.

Kemudian Ampikale tersebut juga merupakan adat kebiasaan yang telah

berlansung lama, diterima oleh orang banyak dan tidak ada unsur fasad di

dalamnya. Maka adat kebiasaan Ampikale itu dapat dijadikan norma hukum

dalam masyarakat tertentu. Dengan demikian adat Ampikale tidak bertantangan

dengan hukum Islam, dengan alasan saling ridho karena mempunyai tanggung

jawab yang lebih terhadap perawatan orang tua mereka selama masih hidup.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Pemahaman masyarakat terhadap pembagian waris adat ampikale

merupakan kebiasaan orang tua yang dilakukan secara turun temurun menyisihkan sebagian h
2. Secara umum, ulama setempat berpendapat bahwa Drs. H. Arifuddin jailani (Mui Sopppen
Sesuai dalam istilah ushul fiqih

‫األصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التحريم‬


Artinya: “Dasar segala sesuatu itu boleh kecuali ada dalilyang mengharamkan”.

3. Ampikale dalam hukum Islam tidak bisa diqiyaskan dengan urf. Adat

masyarakat dengan bertujuan untuk ke maslahatan bersama. maka

dalam hal ini Islam memandang Ampikale sebagai urf shahih yang

terjadi pada suatu masyarakat tertentu sehingga ampikale tidak

bertentangan dengan hukum Islam.

66
67

B. Saran.

1. Hukum waris adat di Kecamatan Lilirilau di Kabupaten Soppeng

sampai saat ini masih berlaku dan ditaati oleh masyarakat setempat

maka oleh karena itu kepada pemerintah dianjurkan agar dapat

membantu untuk melestarikannya sepanjang tidak bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi.

2. Kepada ulama dan tokoh masyarakat kiranya ampikale dijadikan

salah satu materi dakwah agar masyarakat dapat memahami dengan

baik.

3. Sebaiknya dilakukan pencatatan kepada Pemerintah setempat.

Sehingga dapat menjadi bukti secara hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Amin Suma,Muhammad. Keadilan Hukum Waris Islam. Jakarta : PT Rajagrafindo


Persada, 2013.
Airman, M. Rasyid. Hukum Waris Adat Dalam Yusriprudensi. Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1988.
Amiruddin, Zainal Askin dkk. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT
Raja Orafindo Persada, 2004 cetakan pertama.
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Fiqh. Yogyakarta : AK Group, 1995.

Efendi, M. Zein satria ushul fiqh. Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1994.

Kamal, Abdul Malik. Tutunan Praktis Hukum Waris Lengkap Dan Padat Menurut
Alquran Dan Assunnah Yang Shahih. Jakarta : Pustaka Ibnu Umar, 2009.
Komite fakultas syariah universitas alazhar, mesir hukum waris

Kompilasi Hukum Islam, buku II, pasal 171, huruf a.

Gultom, Elfrida R. Hukum Waris Adat Di Indonsia. Jakarta : Literata, 2010.

Hakim, S.A, Hukum Adat (Perorangan, Perkawinan, Dan Pewarisan). Djakarta :


stensil ,1967.
Habiburrahman. Rrekonstruksi Rukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kementrian Agama, 2011.
Jamhari Makruf Tim Lindsey, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013.
Lamulyo, M. Idris.Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : 1984.

Muhibbin dkk,Moh. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif


Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Pelras, Christian. Manusia Bugis. Jakarta : Nalar, 2006.

Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004

68
6

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja GrafindoPersada,


1995.
Rafiuddin nur, Muhammad. Aku Bangga Berbahasa Bugis. Makassar: Rumah Ide,
2008.
Rahim, Rahman Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang:
Hasanudin University Pres Kampus, 1992.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2011.

Sabiq,Thalib,
Sajuti Sayyid.Hukum
Fiqih Sunnah. Jakarta
Kewarisan :Pena
Islam Di Pundi Aksara,
Indonesia. 2006.PT. Bina Aksara,
Jakarta:
1981.Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali,
Soekamto,

Salman, H.R Otje. Amir.


2002. Syarifudin, HukumHukum
Waris Kewarisan
Islam. Bandung
Islam.: Aditama,
Jakarta : 2006.

Thalib, Sajuti.
Kencena, 2004.Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Jakarta : PT. Bina Aksara,
1981.
Syarifuddin,
Tutik, Amir. Hukum
Titik Triwulan. Kewarisan
Pengantar Hukum Islam Edisi
Perdata Kedua. Jakarta:
di Indonesia. Jakarta PT
: Prestasi
Adhitya Andrebina Agung,
Pustaka Publisher, 2006. 2015.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta : Kencena, 2009.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam Edisi Kedua. Jakarta : PT


Adhitya Andrebina Agung, 2015.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia Dalam Persepektif Islam, Adat,
dan BW. Bandung : PT Reftika Aditama, 2007.
Suharsaputra, Uhar.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Tindakan.
Bandung: PT Refika Aditama, 2012.
Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian.
7

Usman, Mushlil kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah. Jakarta : PT Raja grafindo


Persada,1997.
Undang-undang Dasar Nagara Republik Indonesia 1945.Amademen lengkap UUD
1945beserta susunan Kabinet Keja (Masa bakti 2014-2019). Jakarta :
bintang Indonesia ,2015.

Usman , Rachmadi Hukum Kewarisan Islam. Bandung :Mandar Maju,2009.

Otje salman dan haffas Mustafa, Hukum Waris Islam (bandung :

Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta : PT Renika


Cipta,2006.
Wignjodipoeros, Soerojo.Pengatar dan asas-asas hukum adat. Jakarta:
Gunung Agung, 1995.
Zahra, Muhammad abu Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2012.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

71

Anda mungkin juga menyukai