Anda di halaman 1dari 85

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN HAMIL

DAN AKIBATNYA TERHADAP PERWALIAN


(Studi Kasus Di KUA Kecamatan Koja)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi


Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SITI RACHMAH
NIM: 110044100023

KONSENTRASI PERADILANAGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayahNya, Shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkankepada insan

pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan

namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dan tidak sedikit

hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui. Banyak hal yang tidak dapat di

hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu.

Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan studi di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga

kepada semua pihak, Bapak:

1. Dr. Asep Saepudin jahar MA.Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan Sekretaris Prodi

Hukum Keluarga.

3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Sebagai dosen pembimbing yang begitu perduli

dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran,

nasehat, semangat dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

iv
4. Seluruh staf pengajar bapak dan ibu dosen lingkungan Fakultas Syariah dan

Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis

sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini.

5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan

fasilitas dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

6. KH. Tajudin HM, dan Kepada Penghulu KUA Kecamatan Koja Jakarta Utara

bapak H. Halimi,S.Ag dan bapak Acep Budairi, S.Ag sebagai nara sumber yang

telah meluangkan waktu dan memberikan informasi kepada penulis seputar

permasalahan yang diangkat.

7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda H.

MA Sufiyan Tsauri dan Ibunda Hj. Rosmiyati yang telah memberikan banyak

bantuan terutama dari segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a

dan pengorbanan kalian yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat

tanpa jemu hngga ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, teritama motivasi untuk meyelesaikan

skripsi ini Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara

dan tak akan pernah terbalaskan.

8. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta yang juga ikut andil memberikan motivasi

kepada penulis, terima kasih juga kepada Calon Imamku Hamdan Abdillah Nur

v
yang tidak pernah lelah memberikan semangat dan selalu meluangkan waktunya

untuk menemani hingga terselesai nya skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa peradilan agama

angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu khususnya

Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Nurjannah, terima kasih banyak atas

bantuan dan semangat serta inspirasinya, kalian banyak membantu penulis selama

penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam

penyelesaian skripsi ini

Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catatoleh Allah

SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal Alamin

Jakarta, Januari 2015

Siti Rachmah

vi
ABSTRAK

Penulis Skripsi Siti Rachmah, NIM 1110044100023, dengan judul


PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN HAMIL DAN
AKIBATNYA TERHADAP PERWALIAN ( Studi kasus di KUA Kecamatan
Koja), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi Peradilan Agama, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana status perkawinan yang di
lakukan wanita hamil menurut pandangan hukum Islam dan status anak yang terlahir
di luar nikah terkait perwalian dalam perkawinan.
Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode pengumpulan data
melalui riset pustaka dan riset lapangan, metode interview, metode observasi dan
metode penulisan yang di susun secara sistematis, di kaji, kemudian di tarik sebuah
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang di teliti.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa status hukum perkawinan wanita
hamil akibat zina di kalangan ulama terdapat perbedaaan karena ada sebagian ulama
yang mengatakan sah dan ada ulama yang mengatakan tidak sah. Menurut Kompilasi
Hukum Islam perkawinan wanita hamil karena zina adalah sah apabila yang
menikahinya adalah yang menghamilinya. Sedangkan untuk mengetahui anak yang
dilahirkan itu adalah anak sah atau bukan tertera dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal
42 dan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 huruf a menyebutkan bahwa anak
yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
Kompilasi Hukum Islam Dalam pasal 100 disebutkan bahwa anak yang lahir di luar
nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh
sebab itu mengenai perwalian anak yang terlahir di luar nikah adalah wali hakim
bukan ayah/bapak ( genetiknya). pasal 20 ayat (1) “ yang bertindak sebagai wali
nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil
dan baligh (2) wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.

Kata Kunci: kawin hamil, status anak, perwalian


Pembimbing: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.
Daftar Pustaka: Tahun 1986 s.d 2011

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

A. Latar belakang ........................................................................ 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 8

D. Review Studi Terdahulu ......................................................... 9

E. Metodelogi Penelitian ............................................................. 10

F. Sistematika Penulisan ............................................................. 14

BAB II PERKAWINAN DALAM AJARAN ISLAM........................... 15

A. Pengertian Perkawinan Secara Umum ...................................... 15

B. Dasar Hukum Perkawinan ......................................................... 19

C. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan ...................................... 21

D. Tujuan Perkawinan .................................................................... 23

E. Hikmah Perkawinan .................................................................. 26

vii
BAB III STATUS HUKUM KAWIN HAMIL DAN PERWALIAN.... 28

A. Pengertian Kawin Hamil Menurut Fiqh dan KHI .................. 28

B. Pengertian Wali Dalam Perkawinan ...................................... 31

C. Status Anak Diluar Nikah ...................................................... 32

D. Kedudukan dan Macam-Macam Wali ................................... 34

BAB IV PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP KAWIN

HAMIL......................................................................................... 41

A. Kondisi umum KUA Kecamatan Koja Jakarta Utara .............. 41

B. Problematika Seks di Luar Nikah dan Cara Mengatasinya ...... 50

C. Faktor-Faktor Kawin Hamil di Luar Nikah ............................. 51

D. Pandangan Masyarakat dan Ulama Terhadap Kawin Hamil, Status

Perwalian Anak Diluar Nikah .................................................. 52

E. Analisi Penulis.......................................................................... 55

BAB V PENUTUP.................................................................................... 59

A. Kesimpulan................................................................................ 59

B. Saran .......................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 61

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1. Lampiran Hasil Wawancara.............................................................. 64

2. Lampiran Surat Permohonan Pembimbing....................................... 73

3. Lampiran Surat Izin Penelitian.......................................................... 74

4. Lampiran Surat Keterangan Penelitian............................................... 75

viii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sunnatullah yang harus dijalani oleh setiap manusia.

Pada prinsipnya manusia di ciptakan berpasang-pasangan dan perkawinan di

ciptakan oleh Allah bukan tanpa tujuan, tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang

amat dalam, supaya hidup hamba-hambanya di dunia ini menjadi tentram1.

Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (Mitsaqan

ghalizan), ikatan yang suci (transenden), artinya perjanjian yang mengandung makna

magis, suatu ikatan bukan saja hubungan atau kontak keperdataan biasa, tetapi juga

hubungan yang menghalalkan terjadinya hubungan badan antara suami istri sebagai

penyalur libido seksual manusia yang terhormat, oleh karena itu hubungan tersebut

dipandang sebagai ibadah. 2 Di dalam perkawinan ada akad nikah sebagai suatu

perjanjian yang kokoh dan suci. Karena itu, setiap pihak yang terlibat didalamnya di

haruskan menjaganya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Islam sebagai agama telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci

terhadap persoalan perkawinan. Karena dengan perkawinan akan lahir sebuah

keluarga kehidupan masyarakat yang teratur yang diliputi suasana damai. Karena

1
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta:Siraja,2003),cet.
Ke-1,h. 225-226.
2
Yayan Sopyan,Islam-Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional), (Tanggerang selatan:UIN Syarif Hidayatullah,2011),cet-1,h. 127.

1
2

telah diadakannya jalan yang mulia untuk meyalurkan keinginan seksual , maka

dilaranglah segala cara yang tidak sah dan dilarang menggerakan nafsu birahi dengan

cara apa saja , agar nantinya tidak menyimpang dari jalan yang sah. Oleh sebab itu ,

dilarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pada

ikatan perkawinan. Sehingga dapat dicegah segala faktor yang dapat melemahkan

kehidupan keluarga dan merusakkan rumah tangga.3

Islam mengharamkan zina dan menganggapnya sebagai perbuatan keji dan di

benci Allah karena dalam zina terkandung maksud mencari kelezatan semata, dan

membebaskan diri dari segala resiko yang timbul daripadanya. Ini tentu saja

bertentangan dengan rasa cinta dan kewajiban. Selama laki-laki dan wanita

membutuhkan cinta dan kewajiban untuk saling menolong dalam kehidupan dan

mencerdaskan anak-anak serta meyiapkan mereka untuk mengarungi kehidupan,

maka perkawinan merupakan satu-satunya jalan yang bisa mengantar manusia ke

tujuan itu.

Masyarakat yang masih menyalah gunakan sebuah perkawinan dengan

menodai makna dan tujuan dari perkawinan itu sendiri dengan melakukan zina atau

berhubungan seks di luar nikah yang berakibat pada rusaknya sebuah perkawinan

karena hamilnya seorang wanita sebelum melakukan perkawinan sehingga

menimbulkan permasalahan yang mana di sebut dengan perkawinan wanita hamil di

luar nikah yang terjadi di KUA Kecamatan Koja dari jumlah 100 perkawinan tersebut

30 % merupakan pernikahan hamil di luar nikah kemudian dapat menimbulkan


3
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah (Yogyakarta:PD Hidayat), jilid 4, h. 9-10.
3

permasalahan baru yaitu dengan status anak mereka yang dapat menimbulkan

perselisihan dalam lingkungan masyarakat pada umumnya ataupun para ahli hukum

mengenai status anak tersebut sah atau tidak sahnya perkawinan tersebut

dilaksanakan.

Fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran masyarakat muslim terhadap

kaidah-kaidah moral, agama, dan etika sehingga tanpa ketelitian terhadap perkawinan

wanita hamil memungkinkan terjadinya seorang pria yang bukan menghamilinya

tetapi ia menikahinya. Kompilasi Hukum Islam mengatur perkawinan wanita hamil

dalam pasal 53 ayat (1) “Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan

dengan pria yang menghamilinya”. Ayat (2) “Perkawinan dengan wanita hamil yang

di sebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran

anaknya”. Ayat (3) “ Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil

tidak di perlukan perkawinan ulang setelah anak yang di kandung lahir”. Selain itu

untuk mengetahui status hukum anak yang lahir sebagai akibat perzinaan, yaitu hanya

diakui oleh hukum Islam mempunyai kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya

dan keluarga ibunya, sedangkan ayahnya sebagai biologis (yang menyebabkan

perempuan hamil) tidak diakui mempuyai hubungan kekerabatan.4

Perbedaan pendapat ulama mengenai pria yang kawin dengan wanita yang

dihamili oleh orang lain yakni, menurut Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya

tidak boleh dikawinkan sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid),

menurut Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani mengatakan bahwa


4
Zainuddin Ali, Hukum Perata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h., 45
4

perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur selama bayi yang

dikandungnya belum lahir, sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i

berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah , karena tidak terikat dengan

perkawinan orang lain ( tidak ada masa i‟ddah) wanita itu boleh juga di campuri,

karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh

sperma suaminya, sedangkan bayi tersebut bukan keturuan orang yang mengawini

ibunya itu (anak diluar nikah)5

Kebolehan wanita hamil melakukan perkawinan seperti pasal 53 ayat 1,2 dan

3 dalam kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan wanita hamil maka muncul

masalah penting yakni pada penentuan nasab anak yang dilahirkan. Istilah Nasab

berasal dari Bahasa Arab yang berarti kerabat, sebagian ahli bahasa

mengkhususkannya kepada (kerabat) ayah. 6 Nasab di definisikan pertalian atau

hubungan yang ada dalam keluarga. Namun Ibnu abidin menegaskan bahwasannya

pangkal atau sumber nasab adalah ayah. 7

Dilarangnya zina untuk memelihara keputusan umat manusia di dunia ini,

sebab anak yang dilahirkan di luar nikah perlu di akui oleh ayah dan ibunya supaya

ada hubungan hukum, karna kalau tidak ada pengakuan maka tidak dapat hubungan

hukum, jadi meskipun seorang anak itu jelas dilakukan oleh seorang ibu ,ibu

5
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor; Kencana, 2003), h. 125-127.
6
Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arobi, (Beirut : Dar-Shadir,1994), jilid 1, h., 755
7
Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘ala Al-Daar Al-Mukhtar ; Hasyiyah Ibn ‘Abidin, (Beirut;
Daar Ihya Al-Turats Al_Arabi, 19870, juz II, cet II, h., 623
5

ituharusdengan tegas mengakui anak itu , kalau tidak maka tidak ada hubungan

hukum antara ibu dan anak.8

Keturunan merupakan salah satu bagian terpenting dalam sebuah ikatan

perkawinan, karena dengan adanya kehadiran seorang anak dalam kehidupan rumah

tangga merupakan puncak kebahagiaan dan dapat melipur lara dalam

kesunyian. 9 Dalam Islam sendiri nasab menjadi masalah yang sangat penting dan

dikaji dalam kaitannya terhadap masalah pernikahan, kewajiban memberi nafkah,

kewarisan, perwalian hubungan kemahraman, dan lain-lain. Nasab atau hubungan

kekerabatan antara seseorang anak dengan ayahnya hanya terbentuk dengan tiga cara,

yakni melalui pernikahan yang fasid, dan melalui hubungan badan secara syubhat.

Sedangkan hubungan kekerabatan atau nasab seorang anak dengan ibunya dapat

terbentuk melalui proses persalinan atau kelahiran. Baik kelahiran tersebut bersifat

syar‟i maupun tidak. Maksudnya sekalipun anak itu lahir akibat zina, tetap

dinasabkan kepada ibunya.10

Anak luar nikah menerima warisan yang tidak baik dari perbuatan dua insan

yang bersalah itu. Ia menjadi korban karena sesuatu yang ganjil dan tidak biasa, ia

terima secara ganjil dan tidak biasa pula dan masyarakat pun menerimanya secara

8.Ali Afandi, Hukum Waris,Hukum Kekeluargaan,Hukum Pembuktian, Jakarta; PT Bina


Aksara 1986, cet ke-2.
9
Said Agil Husin Al-munawar, Hukum islam dan Pluralitas Sosial. (Jakarta;PENAMADANI,
2004).
10
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam,( Jakarta:Amanah,2012), Ed.1,
h.150.
6

ganjil dan tidak biasa juga. Masyarakat mempunyai pandangan tersendiri di dalam

segala hal, baik yang baik apalagi yang buruk. Anak ini sebenarnya tidak bersalah,

tidak berdosa dan tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari

dua insan yang berlainan jenis yang melakukan kesalahan itu. Dua insan inilah yang

berdosa, ternoda dan bersalah. Merekalah yang bertanggung jawab dan mereka

pulalah yang menerima ganjaran atas perbuatan mereka. Akan tetapi dengan adanya

anak yang lahir diluar perkawinan yang sah sering mendapat tempat yang tidak layak

dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana anak yang terlahir dari perkawinan

yang sah, dimana anak tersebut di anggap sebagai anak yang terbuang sehingga hak

–hak yang seharusnya mereka dapatkan jadi terabaikan.

Memang status anak ini tidak dapat dikatakan secara hukum Islam mempunyai

ibu, bapak, sebab tidak mempunyai dasar yang sah semenjak mulanya bahkan di

dasarkan kepada sesuatu yang tidak dapat dibenarkan bahkan melanggar peraturan

yang ada sanksi hukumnya. sesuatu yang berdasarkan kepada yang bathil maka

bathil pulalah hukumnya. Anak ini ialah manusia biasa dan normal serta ia memiliki

hak hidupnya yang sama dengan manusia lainnya, hanya saja ia kehilangan hak

lainnya seperti hak perwalian dalam perkawinan , sebab ia tidak mempunyai bapak

yang sah.11 Sedangkan dalam hukum Islam sahnya suatu perkawinan adalah dengan

terpenuhinya rukun dan syarat-syaratnya. Dalam kaitannya dengan rukun nikah wali

termasuk faktor yang menentukan dalam sebuah perkawinan.12

11
Fuad Mohd.Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta pusat; CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1991).
12
Hasanudin Af, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran (Jakarta; Nusantara Damai Press,
2011). h.20
7

Apabila dalam satu kasus yang lahir akibat dari perbuatan zina (diluar

perkawinan) tersebut adalah wanita dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah,

maka ayah/bapak alaminya (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali

nikahnya. Sebagaimana ketentuan wali nikah dalam pasal 19 Kompilasi Hukum

Islam ; „‟ Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” Dan pasal 20 ; “(1)

Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat

hukum Islam yakni, muslim, aqil dan baligh. (2) Wali nikah terdiri dari wali nasab

dan wali hakim”.

Dengan demikian dari pembahasan di atas penulis merasa termotivasi untuk

lebih mengetahui Hukum menikahi wanita hamil dan status anak yang terlahir di luar

perkawinan yang sah karna anak yang diluar perkawinan ini sering mendapat tempat

yang tidak layak di dalam masyarakat sebagaimana anak sah dan masih banyaknya

masyarakat yang beranggapan sebagai anak yang terbuang sehingga hak-hak yang

seharusnya mereka dapatkan terabaikan. Karena latar belakang diatas penulis

mengambil judul skripsi:

’‘PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN HAMIL DAN

AKIBATNYA TERHADAP PERWALIAN (Studi di KUA kecamatan Koja,

Jakarta Utara)”

B. Batasan Dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah
8

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis hanya

membatasi pada masalah hukum menikahi wanita hamil dan dampaknya bagi

perwalian anak hasil dari wanita hamil diluar pernikahan yang sah.

2. Perumusan Masalah

Menurut Kompilasi Hukum Islam “Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat

dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”, namun pada kenyataannya masih ada

wanita hamil di luar nikah yang di nikahi oleh seorang laki-laki yang bukan

menghamilinya.

Dari rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan sering terjadinya wanita hamil

diluar nikah di daerah Kecamatan Koja?

2. Bagaimana hukumnya jika yang menikahi wanita itu bukan laki-laki yang

menghamilinya di daerah Kecamatan Koja?

3. Bagaimana perwalian anak yang lahir di luar perkawinan yang sah di

daerah Kecamatan Koja?

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah;

1. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya

perkawinan hamil diluar nikah di daerah Kecamatan Koja

2. Untuk mengetahui hukumnya apabila terjadi yang menikahi wanita hamil itu

bukan laki-laki yang menghamilinya di daerah Kecamatan Koja


9

3. Untuk mengetahui tentang perwalian dan status hukum anak yang dilahirkan

dari perkawinan hamil di luar nikah di daerah Kecamatan Koja

Sedangkan manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan atau

pedoman bagi para ahli hukum Islam dan masyarakat luas dalam rangka

penyelesaian dari masalah pernikahan wanita hamil dan status anak yang lahir dari

wanita yang hamil di luar perkawinan, yang mana untuk meletakkan status anak

ataupun kedudukan anak-anak itu pada tempat yang sebenarnya yang tentunya

memerlukan penelitian hukum yang berlaku di Indonesia.

D. Studi Kajian Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan

judul proposal , diantaranya sebagai berikut;

Siti Sunnatil mahmudah dengan judul skripsi mengenai Nasab Anak Wanita Hamil

Diluar Nikah Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam, yang mana

skripsi ini membahas tentang status kedudukan anak di lihat dari Hukum positif dan

Hukum Islam. Sedangkan penulis membahas tentang Pandangan Hukum Islam

terhadap kawin hamil dan akibatnya terhadap perwalian anak yang lahir di luar nikah.

Lisa Mariyani dengan judul skrispi mengenai Status Hukum Kawin Hamil Dalam

Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Serta Pengaruhnya Terhadap

Keutuhan Rumah Tangga (Studi Di Kelurahan Kebon Jeruk), skripsi ini

membahas mengenai kawin hamil dari perspektif Hukum Islam dan Hukum positif

serta pengaruhnya terhadap keutuhan rumah tangga yang mana banyak mengalami
10

perselisihan yang di sebabkan hamil pra nikah. Sedangkan penulis membahas tentang

Pandangan Hukum Islam terhaap kawin hamil dan akibatnya terhadap perwalian anak

yang lahir di luar nikah.

E. Metodelogi penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1.Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis empiris, Pendekatan

empiris adalah suatu pendekatan yang di gunakan apabila ada perbedaan antara

hukum positif yang tertulis dengan hukum yang hidup di masyarakat, ini merupakan

fakta sosial. 13 Empiris artinya bersifat nyata. Jadi, yang dimaksudkan dengan

pendekatan empiris adalah usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum

yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Jadi,

penelitian dengan pendekatan empiris harus dilakukan di lapangan, dengan

menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan. Peneliti mengadakan

kunjungan kepada masyarakat dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat. 14

2. Jenis Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian :

13
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010). h. 47-48.
14
Mudjia rahardjo, Penelitian Sosiologis Hukum Islam, artikel ini di akses dari
http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/134-penelitian-sosiologis-hukum-islam.html, pada 22
Oktober 2014.
11

a) Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang kajiannya

dilaksanakan dengan menelaah dan menusuri berbagai literatur, karena

memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali terfokus kepada studi

pustaka.15

b) Penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan

mendatangi langsung objek yang akan diteliti guna mendapatkan data-data

yang valid. Langkah yang digunakan dalam penelitian lapangan melalui

teknik wawancara, observasi, dan alat lainnya.16 Dengan demikian penelitian

ini merupakan penelitian Kualitatif bersifat Deskriptif, dan data yang

terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan angka.17

3. Sumber Data

Karena penelitian ini merupakan gabungan antara studi pustaka dan lapangan,

maka sumber yang diambil oleh penulis meliputi:

a) Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari beberapa

narasumber yaitu masyarakat di Kecamatan Koja Jakarta Utara yang

melakukan kawin hamil, instrumen yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah melalui wawancara, observasi, dan alat lainnya.

15
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010). h. 17-18.
16
Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). h.
52.
17
Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001). h. 18.
12

b) Data sekunder adalah data yang berasal dari bahan pustaka yang berkaitan

dengan pokok bahasan karya tulis ini yaitu mengenai pandangan hukum Islam

mengenai kawin hamil dan akibatnya terhadap perwalian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan maka penulis

menggunakan alat pengumpulan data atau instrument penelitian yakni alat atau

fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data, agar pekerjaannya

lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis

sehingga mudah diolah.

Adapun instrument atau alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti

berupa:

a. Penentuan Informan, menentukan informan yang akan diwawancara dan

merupakan objek utama dalam penelitian di sekitar wilayah Kecamatan

Koja, Jakarta Utara.18

b. Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis

mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian

dilakukan pencatatan, yakni peneliti melakukan penelusuran kelapangan

tentang objek penelitian yang diteliti, terutama judul yang akan dibahas

oleh penulis mengenai pandangan hukum Islam mengenai kawin hamil

dan akibatnya terhadap perwalian di Kecamatan Koja Jakarta Utara.19

18
Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta, 2008). h.
86.
19
Ibid. h. 94.
13

c. Wawancara (interview), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti

untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan menggunakan

pertanyaan-pertanyaan pada informan, yang nantinya akan penulis olah

sebagai bahan skripsi.20

5. Teknik Analisis Data

1. Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif

kualitatif. Deskriptif, yaitu penelitian yang bersifat untuk menggambarkan

kejadian yang berlangsung berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan.

Kualitatif, yaitu suatu metode yang berfungsi sebagai prosedur penelusuran

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek dan

objek penelitian (seseorang, lembaga, dan masyarakat), berdasarkan fakta-

fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 21 Jadi, penggunaan teknik

analisis deskriptif kualitatif disini merupakan penelitian yang lebih banyak

menggunakan kualitas objek, artinya bahwa objek yang akan menjadi sumber

penelitian merupakan tokoh kunci dalam pokok permasalahan penelitian,dan

tokoh kunci dalam penelitian ini adalah para pelaku kawin hamil.

6. Tehnik penulisan

Adapun penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi

Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA.

20
Wachid Setya, Metode wawancara dalam penelitian,artikel di akses dari
http://wachidsetya.blogspot.com/, pada 22 Oktober 2014.

24
Macam-Macam Metode Penelitian, artikel ini di akses dari
http://koffieenco.blogspot.com/2013/08/macam-macam-metode-penelitian.html, pada 22 oktober 2014
14

F. Sistematika penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas terperinci tentang isi skripsi ini,

maka penulisan ini di susun dengan membagi uraian dalam 5 bab dengan sistematika

sebagai berikut;

BAB PERTAMA berisi pendahuluan yang meliputi tentang latar belakang masalah,

perumusan dan pembatasannya, tujuan dan manfaat penelitian, review studi

terdahulu, metodelogi penelitian, sistematika penulisan

BAB KEDUA berisi mengenai perkawinan secara umum meliputi pengertian dan

dasar hukum, rukun dan syarat, tujuan dan hikmah perkawinan

BAB KETIGA berisi tentang status hukum kawin hamil dan perwalian yang meliputi

pengertian kawin hami, pengertian wali dalam perkawinan, status anak di luar nikah ,

kedudukan dan macam-macam wali.

BAB KEEMPAT berisi pemaparan hasil penelitian penulis. Bab ini merupakan bab

yang paling utama dalam penulisan skripsi, membahas dan melakukan analisa

terhadap objek penelitian.

BAB KELIMA berisi penutup, kesimpulan atau ringkasan dari hasil penelitian.

Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran yang sesuai dengan tujuan pembahasan

skripsi ini, juga di lengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran.


15

BAB II

PERKAWINAN DALAM AJARAN ISLAM

A. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, yang terdapat dari beberapa kamus diantaranya

Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1) perjodohan laki-laki dan

perempuan menjadi suami istri: nikah (2) (sudah) beristri atau berbini (3) dalam

bahasa pergaulan artinya bersetubuh. 22 Selain itu dalam Kamus Lengkap Bahasa

Indonesia, kawin diartikan dengan “menjalin kehidupan baru dengan bersuami atau

istri, menikah, melakukan hubungan seksual, bersetubuh.23 Perkawinan disebut juga

“pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,

saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wath’i). 24 kata “nikah”

sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad

nikah.25

Al-Qur‟an dan Hadits, perkawinan disebut dengan an-nikh dan az-ziwaj atau

az-zawj dan az-zijah. Secara harfiyah an-nikh berarti al-wath’u, adh-dhammu, dan al-

jam’u. Al-wath’u berasal dari kata wathi’a-yatha’u-wath’an artinya berjalan diatas,

22
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985 (Jakarta;Balai Pustaka),
h.435.
23
Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (t.t), ( Jakaarta: Citra Media Press), h.
344
24
Abd.Rahman.Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana,2003), h.7
25
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid VII (Beirut: Dar al-Fikr 1989),
Cet. Ke-3, h.29.

15
16

melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau

bersenggama. 26 Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma-yadhummu-

dhamman, secara harfiyah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam,

menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk, dan

menjumlahkan. Juga bersikap lunak dan ramah.27 Sedangkan al-jam‟u yang berasal

dari kata jama’a-yajma’u-jam’an, berarti mengumpulkan, menghimpun menyatukan,


28
menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. itulah sebabnya mengapa

bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqh disebut al-jima’ mengingat

persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung

dalam makna-makna harfiyah dari kata al-jam’u.

Sebutan lain buat perkawinan (pernikahan) ialah az-zawaj atau az-ziwaj dan

az-zijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan yang secara harfiyah berarti

menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. 29 Namun yang

dimaksud dengan az-zawaj atau az-ziwaj disini ialah at-tazwij yang terambil dari kata

zawwaja-yuzawwiju-tazwijan dalam bentuk timbangan fa’ala-yufa’ilu-taf’ilan yang

secara harfiyah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli,

menyertai dan memperistri.

26
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawwir,1984), h.1671-1672.
27
Ahmad Warson Munawwir, h.887.
28
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia, h.225
29
Ahmad Warson Al-Munawwir, h. 630.
17

1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1ayat 2 tentang

perkawinan, di definisikan sebagai:

“ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara

Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan

Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas di nyatakan bahwa perkawinan mempunyai

hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan

saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani.30

2. Pengertian Perkawinan Dalam Hukum Islam

Nikah menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna

nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa

diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri definisi yang hampir sama

dengan di atas juga di kemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata nikah berasal dari

bahasa arab “nikahun” yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi‟il

madhi) “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia sebagai perkawinan. Kata nikah sering juga di pergunakan sebab telah

masuk dalam bahasa Indonesia.31

30
Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
(Jakarta:Kencana ,2004) h.42
31
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, ( Bandung; Al-Bayan, 1994), cet. Ke-
1, h.118
18

Adapun menurut syara‟, nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan

perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk

membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang

sejahtera. Para ahli fiqh berkata, zawwaj atau nikah adalah akad yang secara

keseluruhan di dalamnya mengandung kata; inkah atau tazwij. Hal ini sesuai dengan

ungkapan yang ditulis oleh Zakiyah Darajat dan kawan-kawan memberikan definisi

perkawinan sebagai berikut: “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan

hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna keduanya”

Menurut hukum Islam perkawinan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya yang merupakan ibadah. 32 Menurut Subekti,

perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan

untuk waktu yang lama.33

Akad nikah yang dilakukan akan memberikan status kepemilikan bagi kedua

belah pihak (suami istri), dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi si

lelaki (suami) berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkaitdengan

itu secara sendirian tanpa dicampuri atau diikutioleh lainnya yang dalam fiqh disebut

“Milku al-intifa’’, yaitu hak memiliki penggunaan atau pemakaian terhadap suatu

benda (istri), yang digunakan untuk dirinya sendiri.34

32
Ibid h.118
33
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa, 1987), cet.ke-21, h.23
34
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: Pt. Prima heza Lestari, 2005),
Cet-1, h.1
19

Sedangkan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1947 Pasal 1 tentang


perkawinan disebutkan bahwa; “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya
dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial sakral.
Kompilasi Hukum Islam, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau “mitsaqan ghalidhan” untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.35

B. Dasar Hukum Perkawinan


Hukum melakukan perkawinan menurut Ibnu Rusyd, menjelaskan bahwa
segolongan fuqaha, yakni jumhur ulama berpendapat nikah itu adalah hukumnya
sunnah. Golongan Dzhahariyah berpendapat nikah itu hukumnya wajib. Ulama
Malikiyah Mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang,
sunnah untuk sebagian lainnya dan makruh untuk segolongan orang yang lain.36
Selain itu menurut al-Jaziry bahwa sesuai dengan keadaan orang yang
melakukan perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara‟ yang lima,
adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan mubah.37Ulama Syafi‟iyyah
mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunnah,
wajib, haram dan makruh.38

35
Abdurrahman,Kompilasi Hukum Islam, h. 114
36
Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-fiqr, t.th) jilid
II., h. 2
37
Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh ‘ala al-madzahib al-arba’ah, (mesir;Dar al-irsyad, t.th)
jilid VII, h. 4
38
Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh ‘ala al-madzahib, h. 6
20

Terlepas dari pendapat Para Imam mazhab, berdasarkan nash-nash baik Al-

Qur‟an maupun Sunnah (Al-Hadits) Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang

mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun kalau di lihat dari segi kondisi

orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya maka melakukan

perkawinan itu dapat di kenakan hukum wajib, sunnah, haram, makru ataupun

mubah.

1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib

Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa.

Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan

menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan dapat terlaksana

kecuali dengan nikah.

2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah

Nikah disunahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih

sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal seperti ini maka

nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.

3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai

kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam

rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya

dan istrinya.

4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga

cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan

dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.


21

5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila

tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga

tidak akan menelantarkan istri.39

C. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan

1. Rukun dari pernikahan

Rukun, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya

pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau

adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Syarat, yaitu

sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan

(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti

membasuh muka untuk wudu dan takbiratul ihram untuk sholat. Atau adanya

calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.40

Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain

yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan

akad. Adapun rukun nikah adalah:

1) Mempelai laki-laki

2) Mempelai perempuan

39
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2003) h. 16
40
Tihami, Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h.12
22

3) Wali

4) Dua orang saksi

5) Shigat ijab kabul41

2. Syarat Sah Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.

Apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan

adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.42

a) Syarat calon mempelai laki-laki

1) Bukan mahram dari calon istri

2) Tidak ada paksaan atau kemauan sendiri

3) Orangnya tertentu, jelas orangnya

4) Tidak sedang melaksanakan ihram

b) Syarat calon mempelai perempuan

1) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak

sedang dalam iddah

2) Merdeka, atas kemauan sendiri

3) Jelas orangnya

4) Tidak sedang berihram43

41
Ibid h.12
42
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana 2003) h.47

43
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana 2003) h..47
23

c) Syarat sah menjadi Wali

1) Laki-laki

2) Baligh

3) Waras akalnya

4) Tidak dipaksa

5) Adil, dan

6) Tidak sedang ihram

d) Syarat Sah Saksi

1) Laki-laki

2) Baligh

3) Waras akalnya

4) Adil

5) Dapat mendengar dan melihat

6) Merdeka, tidak dipaksa

7) Tidak sedang mengerjakan ihram

8) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul44

D. Tujuan Dalam Perkawinan

Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa Rasulullah Saw,

yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrowi. Dengan

pengamatan sepintas lalu pada batang tubuh ajaran fiqh, dapat dilihat dari empat garis

44
Ibid h.47
24

penataan itu yakni ; a) Rub’ al-ibadat, yang menata hubungan manusia selaku

makhluk dan khaliknya, b) Rub’ al-Muamalat, yang menata hubungan manusia

dengan lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidupnya

sehari-hari, c) Rub’ al-Munakahat, yaitu yang menata hubungan manusia dengan

lingkungan keluarga dan d) Rub’ al-jinayat, yang menata pengamanannya dalam

suatu tertib pergaulan yang menjamin ketentramannya. Zakiyah dkk mengemukakan

lima tujuan dalam perkawinan yaitu45;

1) Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan

Bahwa naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempuyai keturunan

yang sah, keabsahan anak keturunan yang di akui oleh dirinya sendiri,

masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberikan jalan

untuk itu. Anak merupakan buah hati dabn belahan jiwa. Banyak orang yang

hidup berumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak

sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Furqan ayat 47 berbunyi:


       
     
Artinya: Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan
tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.

2) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih

sayangnya

Manusia di ciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk

berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah SWT pada

surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan;

45
Tihami, Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h.15
25

                   

 
    
         
   

            
        

                  

        


Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi
ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang
telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Disamping perkawinan itu untuk pengaturan naluri seksual juga untuk

menyalurkan cinta dan kasih sayang di kalangan pria dan wanita secara

harmonis dan tanggung jawab. Namun, penyaluran cinta dan kasih sayang

yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung

awab yang layak, karena di dasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh

satu norma.46

3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan

Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan

mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, baik

kerusakan diri sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia

46
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,h. 15
26

mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu cenderung untuk mengajak kepada

perbuatan yang tidak baik. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur‟an surat

Yusuf ayat 53;


                    

Artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena


Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyanyang.
4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang

halal

5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas

dasar cinta dan kasih sayang.perkawinan juga bertujuan untuk menata

keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalamanajaran

agama. 47
E. Hikmah Dalam Perkawinan

Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karna akan berpengaruh baik

bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah

pernikahan adalah;

a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan

dan memuaskan naluri seks, dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi

tenang , mata terpelihara dari yang melihat yang haram dan perasaan

tenang menikmati barang yang berharga.

47
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap,h.15
27

b. Nikah, jalan yang terbaik membuat anak-anak yang mulia, memperbanyak


keturunan, melestarikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh
Islam sangat diperhatikan sekali.
c. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapidalam
suasana hidup dengan anak-anak, dan tumbuh pula perasaan-perasaan
yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat yang baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat
dan pembawaan seseorang. Ia akan vekatan bekerja karna dorongan
tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia akan banyak
bekerja dan mencari penghasilan yang dapat memperbesar jumlaj
kekayaan dan memperbanyak produksi, juga dapat mendorong usaha
mengeksploitasi kekayaan
e. Alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia.
Pembagian tugas, dimana yang satu menurusi rumah tangga, sedangkan
yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara
suami istri dalam menangani tugas-tugasnya
f. Perkawinan dapat membuahkan, diantaranya : tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat
hubungan masyarakat yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan
ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling
menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia. 48

48
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Lengkap, h.19-20
28

BAB III

STATUS HUKUM KAWIN HAMIL DAN PERWALIAN

A. Pengertian Kawin Hamil Menurut fiqh dan KHI

Kawin hamil ialah kawin dengan seseorang wanita yang hamil di luar nikah,

baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang

menghamilinya 49 . Oleh karena itu, masalah kawin dengan perempuan yang hamil

diperlukan ketelitian dan perhatian yang bijaksana terutama oleh pegawai pencatat

nikah. Hal itu, dimaksudkan adanya fenomena sosial mengenai kurangnya kesadaran

masyarakat muslim terhadap kaidah-kaidah moral, agama dan etika terjadinya

seorang pria yang bukan menghamilinya tetapi ia menikahinya50.pasal 53 Kompilasi

Hukum Islam mengatur perkawinan, sebagaimana diungkapkan di bawah ini:

(1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan

perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Selain itu, hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama

berbeda pendapat sebagai berikut:

49
Abdur Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, ( Bogor; Kencana, 2003) h.124
50
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika,2007), h.45

28
29

1. Ulama Madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali )

berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai

suami istri, dengan ketentuan bila si pria itu yang menghamilinya dan

kemudian baru ia mengawininya.

2. Ibnu Hazm (Zahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan

dan boleh pula bercampur dengan ketentuan bila telah bertaubat dan

menjalani hukuman dera (cambuk) karena keduanya telah berzina.51

Terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut disebabkan oleh

perbuatan mereka yang memahami “larangan menikahi pezina” yang terdapat dalam

surat An-Nur ayat 3 yaitu:

                   

  


Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan
yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.

Maksud ayat ini ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang

berzina, demikian pula sebaliknya. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila di

lihat dari KHI, penyelesainnya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga

ayat. yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk

penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas

51
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995),
cet, ke-1, h.96-99
30

pembolehan pernikahan wanita hamil ini di maksud kan untuk memberi perlindungan

kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk

mengakhiri status anak zina.

Selanjutnya , mengenai pria yang kawin dengan wanita yang di hamili oleh

orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama, yakni :

1. Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila

dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid)

2. Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani mengatakan bahwa perkawinan

itu sah, tetapi haram baginya bercampur selama bayi yang dikandungnya

belum lahir.

3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i berpendapat bahwa perkawinan itu

dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain ( tidak ada

masa i‟ddah). Wanita itu boleh juga di campuri, karena tidak ada nasab

(keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya.

Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu

(anak diluar nikah).52

Dengan demikian status anak itu adalah sebagai anak zina, bila pria yang

mengawini ibunya itu bukan pria yang menghamilinya. Namun, bila pria yang

mengawini ibunya itu pria yang menghamilinya, maka teradi perbedaan pendapat,

yakni:

52
Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana,2003), h. 125-127
31

1. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya di kawini setelah usia kandungannya

berumur 4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah

anak suaminya yang sah

2. Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak diluar nikah,

walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena

hasil dari sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.53

B. Pengertian Wali Dalam Pernikahan

Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang

untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Karena orang lain itu memiliki

kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan bertindak sendiri secara hukum.

Wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan

adalah wali yang bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak

sebagai wali. Namun adakalanya wali tidak bisa hadir atau karena sesuatu sebab ia

tidak dapat bertindak sebagai wali, maka hak kewaliannya berpindah kepada orang

lain. 54

Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang yang

paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya.

Jumhur ulama, seperti Imam Maliki, Imam Syafi‟I, mengatakan bahwa wali itu

53
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amanah, 2012),Ed.1
Cet.1,h.152
54
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT
RAJAGRINDO PERSADA, 2009), h.90
32

adalah ahli waris dan di ambil dari garis ayah bukan garis ibu.55 Jumhur ulama fikih

sependapat bahwa urutan-urutan wali adalah sebagai berikut:

1. Ayah

2. Ayah dari Ayah Perempuan

3. Saudara laki-laki seayah seibu

4. Saudara laki-laki seayah

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah

6. Saudara laki-laki dari pihak ayah (paman)

7. Anak laki-laki dari paman pihak ayah

8. Hakim56

C. Status Hukum Anak Diluar Nikah

Anak di luar nikah adalah Anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa

pernikahan, biasa di sebut dengan anak tidak sah karna dilahirkan diluar perkawainan

yang sah atau di sebut dengan anak haram, karena perbuatan Zina yang di lakukan

oleh orang yang menyebabkan kelahirannya adalah perbuatan keji yang di haramkan

oleh syara.57

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan tentang

status anak diluar nikah, bahwa anak diluar nikah adalah anak yang dilahirkan dari
55
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, h.90
56
Ibid h.90
57
Humaizah Tahido Yanggo. Masail fiqhiyah kajian Hukum Islam Kontemporer. (Bandung;
Angkasa, 2005) h.178
33

perkawinan yang tidak sah dan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu

yang melahirkannya atau keluarga ibunya. Kompilasi Hukum Islam juga

menjelaskan tentang status anak diluar nikah Senada dengan yang tersebut dalam

undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ditegaskan dalam beberapa

pasal tentang kedudukan anak diluar nikah. Dalam pasal 100 disebutkan bahwa

anak yang lahir di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya.

Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya

hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh di hubungkan

dengan nasab ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang

menzinai ibunya.58Implikasi dari tidak adanya hubungan nasab antara anak dengan

ayah akan sangat kelihatan dalam beberapa aspek yuridis, dimana lelaki yang secara

biologis adalah ayah kandungnya itu berkedudukan sebagai orang lain, sehingga tidak

wajib menafkahi, tidak ada hubungan waris-mewarisi bahkan seandainya anak zina

itu perempuan, “ayah” kandungnya tidak di perbolehkan berduaan dengannya, serta

laki-laki pezina itu tidak menjadi wali dalam pernikahan anak perempuan zinanya,

sebab antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syariat Islam.59

Karena ayah biologisnya tidak bisa bertindak sebagai wali yang akan

menikahkannya, maka wali dalam akad nikahnya adalah wali hakim. Dalam hal

58
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), Ed. 1,
Cet. 1, h. 114
59
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), Ed. 1,
Cet. 1, h.115
34

waris, Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi‟i, dan Ahmad berpendapat bahwa anak

zina itu tidak mewarisi, dan tidak pula mewariskan dari/kepada “ayah” atau kerabat

ayahnya itu. Ia hanya mewarisi dan mewariskam diri atau kepada pihak ibu dan

kerabat ibunya, hal senada juga di sampaikan oleh Ibnu Al-Qayyim, menurutnya anak

zina tidak mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ayahnya, dan tidak bisa

menuntut nafkah, namun antara keduanya masih terdapat hubungan keharaman.60

Berkaitan dengan status anak zina sebagaimana uraian di atas Ibnu Hazm

berpendapat bahwa anak zina tidak bisa di nasabkan dengan ayahnya melainkan ia

mempunyai garis nasab dengan ibuya, alasannya adalah tindakan Rasulullah yang

menghubungkan nasab anak dengan ibunya yang telah di li‟an oleh suaminya, bukan

kepada ayahnya, sebab kelahiran yang di alami oleh wanita baik halal maupun haram

tetap sebagai sebab timbulnya nasab.61

D. Kedudukan dan Macam-Macam Wali Dalam Pernikahan

1. Kedudukan Wali

Para ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah wali, apakah ia menjadi

syarat sahnya pernikahan atau tidak. Menurut Imam Malik bahwa tidak sah

pernikahan tanpa wali, pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi‟i. Menurut

Imam Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya‟bi, dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila

60
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), Ed. 1,
Cet. 1, h.116
61
Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta; Amanah, 2012), h.116
35

seorang perempuan melakukan akad nikah tanpa wali , sedang calon suaminya

sebanding (kufu’), maka pernikahannya boleh. Abu Dawud memisahkan antara gadis

dan janda dengan syarat adanya wali pada gadis dan tidak mensyaratkan kepada

janda.62

2. Macam-Macam Wali

1) Wali Nasab

Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita

yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat

perbedaan pendapat diantara para ulama fikih. Imam Malik mengatakan bahwa

perwalian itu didasarkan atas ashabah, kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat

lebih berhak untuk menjadi wali.63 Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai

ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai keatas, kemudian saudara-saudara laki-

laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki

dari saudara- saudara laki-laki seayah saja. Kemudian anak laki-laki dari saudara laki-

laki seayah saja lalu kakek dari pihak ayah sampai atas.

Dalam Al-mugni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama dari saudara

laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-

paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara laki-laki sampai kebawah,

kemudian bekas tuan (Almaula). Imam Syafi‟I berpegangan pada ashabah, yakni

62
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Nikah Lengkap, h. 91
63
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:PT
RAJAGRAFINDO PERSADA.2009), h.95
36

bahwa anak laki-laki termasuk ashabah seorang wanita. Sedangkan Imam Malik

tidak menganggap ashabah pada anak.64

Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad

(jauh). Dalam urutan diatas yang termasuk wali aqrab adalah wali nomor urut 1,

sedangkan nomor urut 2 menjadi wali ab‟ad. Jika nomor 1 tidak ada, maka nomor 2

menjadi wali aqrab dan nomor 3 menjadi wali ab‟ad, dan seterusnya.

Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad adalah sebagai berikut:

a. Apabila wali aqrabnya non muslim

b. Apabila wali aqrabnya fasik

c. Apabila wali aqrabnya gila

d. Apabila wali aqrabnya bisu/tuli65

2) Wali Hakim

Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah, pemerintah, khilafah

(pemimpin), penguasa , atau qadi nikah yang di beri wewenang dari kepala Negara

untuk menikahkan wanita yang berwali hakim., maka wali hakim dapat diangkat oleh

orang-orang, Apabila tidak ada orang-orang diatas yang terkemuka dari daerah

tersebut atau orang-orang yang alim. Wali hakim di benarkan menjadi wali dari

sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut:66

64
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, h.95
65
Ibid h.95
66
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: kajian fikih lengkap, (Jakarta:PT
RAJAGRAFINDO PERSADA,2009), h 97
37

a. Tidak ada wali nasab

b. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab‟ad

c. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalan sejauh kurang lebih 92,5 km

atau dua hari perjalanan

d. Wali aqrab dipenjara dan tidak bias ditemui

e. Wali aqrabnya adlal

f. Wali aqrabnya berbelt-belit (mempersulit)

g. Wali aqrabnya sedang ihram

h. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah

i. Wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak

ada

Wali hakim tidak berhak menikahkan :

1. Wanita yang belum baligh

2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekutu

3. Tanpa seizin wanita yang akan menikah

4. Wanita yang berada diluar daerah kekuasaannya67

3) Wali Tahkim

Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.

Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah : calon suami Mengucapkan

tahkim kepada seseorang dengan kalimat “ saya angkat bapak/ saudara untuk

menikahkan saya dengan si … (calon istri) dengan mahar… dan putusan bapak/

saudara saya terima dengan senang”. Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal

yang sama, kemudian calon hakim itu menjawab “saya terima tahkim ini”

67
Ibid h.97
38

Wali tahkim terjadi apabila:

a. Wali nasab tidak ada

b. Wali nasab gaib, atau bepergian sejauh dua hari dalam perjalanan, serta

tidak ada walinya

c. Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk (NTR)68

4) Wali Maula

Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya , artinya majikannya

sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya

bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan disini terutama

adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya.69

Imam Malik berpendapat, Andaikan seorang janda berkata kepada walinya

“nikahkanlah aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan dengan dirinya,

atau lelaki lain di pilih oleh perempuan yang bersangkutan , maka sah lah nikahnya

walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya” pendapat senada juga

disebutkan oleh Hanafi, Laits, At-tsauri dan Auza‟i.70

Imam Syafi‟I berpendapat “orang yang menikahkannya haruslah hakim atau

walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab , wali termasuk

syarat pernikahan. Jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri

sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri.71

68
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 98
69
Ibid h.98
70
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Lengkap, h .99
71
Ibid h.99
39

Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi‟I dan Abu Dawud, ia

mengatakan bahwa kalau masalah ini diqiaskan dengan seorang penjual yang tidak

boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab,

jika seseorang dikuasakan untuk menjual suatu barang lalu membelinya sendiri, asal

ia tidak melalaikan, maka hukumnya boleh. Ia berhujjah dengan sebuah hadis yang

diriwayatkan dari anas r.a “Sesungguhnya Rasulullah Saw. Telah memerdekakan

Sofiyah lalu dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya

serta mengadakan walimahnya dengan seekor kambing” (HR Bukhari)72

5) .Wali Mujbir

Wali Mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang

diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih

dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridho atau tidaknya

pihak yang berada di bawah perwaliannya. Agama mengakui wali mujbir itu karena

memerhatikan kepentingan orang yang diwalikan.sebab, orang tersebut kehilangan

kemampuan sehingga ia tidak dapat memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk

dirinya sendiri. Di samping itu, ia belum dapat menggunakan akalnya untuk

mengetahui kemaslahatan akad yang di hadapinya. 73

Adapun yang dimaksud denhgan Ijbar (mujbir) adalah hak seseorang (Ayah

keatas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan,

dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

72
Tihami,Sohari Sahrani,FIkih Munakahat: kajian fikih lengkap h.99
73
Tihami,Sohari Sahrani,FIkih Munakahat: kajian fikih lengkap (jakarta PT
RAJAGRAFINDO PERSADA,2009), h. 101
40

1. Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan yang ia sendiri

menjadi walinya ( calon pengantin wanita)

2. Calon suaminya sekufu dengan calon istrinya

3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.

Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi hak ijbar gugur.sebenarnya,

ijbar bukan harus di artikan paksaan, tetapi lebih cocok bila di artikan

pengarahan.74

Wali yang tidak mujbir adalah:

1. Wali selain ayah , kakek dan terus ke atas.

2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang suah baligh dan mendapat

persetujuan dari yang bersangkutan.

3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan

atau tulisan.

4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis cukup dengan diam.

Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan

menikah dengan seorang pria yang kufu’, maka dinamakan wali Adlal. Apabila

terjadi seperti itu, maka perwaliannya langsung pindah kepada wali hakim.75

74
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Lengkap,h. 101
75
Tihami, Sohari Sahrani, Kajian Fikih Lengkap, h. 102
41

BAB IV

PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP KAWIN HAMIL

A. Tepografi KUA Kecamatan Koja

Kantor Urusan Agama Kecamatan Koja berdiri pada tahun 1970 sampai tahun

1978 berlokasi di jalan Anggrek Kelurahan Koja Selatan, kemudian pindah ke jalan

Mundu No.1 Kelurahan Lagoa, pertama kali nya menempati gedung permanent yang

di sediakan oleh Pemda satu komplek dengan Camat Koja, tahun 1984 direlokasi

menempati gedung yang baru pada lingkungan yang sama sampai saat ini,

menghadap ke jalan Mangga Kelurahan Lagoa di dalam lingkungan kompleks Kantor

Kecamatan Koja.76

Adapun Visi dan Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Koja antara lain,

yakni Visi KUA Kecamatan Koja adalah profesional dalam pelaksaan tugas dalam

pelayanan prima dan bimbingan masyarakat di bidang Urusan Agama Islam di

wilayah Kecamatn Koja. 77 Misi Kantor Urusan Agama Kecamatan Koja adalah

Meningkatkan kualitas dan nilai-nilai perkawinan dan pengamalan Agama Islam

dalam kehidupan Rumah Tangga, Masyarakat dan Negara serta meningkatkan

kualitas Administrasi, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelayanan masyarakat yang

berorentasi kepada konsep pelayanan prima, peraturan dan kepuasan masyarakat

76
Data dari KUA Kecamatan Koja
77
Data dari KUA Kecamatan Koja

41
42

Kecamatan Koja di bidang pernikahan, pembinaan, kemasjidan, zakat, wakaf, haji

dan keluarga sakinah.78

Luas Wilayah Kecamatan Koja

Tabel 4.1

No Kelurahan Luas (Ha)

1. Koja 327.50

2. Lagoa 157.99

3. Rawa Badak Utara 133.38

4. Rawa Badak Selatan 101.10

5. Tugu Utara 236.65

6. Tugu Selatan 268.00

Jumlah 1.224.62

Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja

Dari data di atas luas wilayah Kecamatan Koja 1.313 Ha yang terdiri dari 6

Kelurahan

Batas Wilayah Kecamatan Koja

Tabel 4.2

No Sebelah Nama Batasan


1. Utara Laut Jawa/Kecamatan Cilincing dan
Kabupaten Administrasi Pulau Seribu

78
Data dari KUA Kecamatan Koja
43

2. Selatan Jl. Raya Pegangsaan Dua/Kecamatan


Kelapa Gading

3. Barat Jl. Sulawesi/Yos Sudarso/Kecamatan


Tanjung Priok
4. Timur Jl. Kramat Jaya/Kali Cakung
Kec.Cilincing
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja

Dari data di atas Wilayah kecamatan koja yang semula merupakan daerah

pesisir pantai laut jawa, yang dahulu dikenal dengan pantai sampur, pelabuhan

nelayan kali baru sampai dengan pantai rekreasi cilincing dengan sebagian besar

daratan berupa rawa-rawa dan empang kini berkembang menjadi pantai pelabuhan

container. Melalui penataan wilayah yang telah berjalan cukup lama, maka saat ini

situasi tata kota cukup rapih dan teratur sedemikian rupa.

Aliran sungai yang melintasi Kecamatan Koja

Tabel 4.3

No Kelurahan Batas Sungai


1. Koja Kali Lagoa Kanal
2. Lagoa Kali Pinang
3. Rawa Badak Utara Kali Sunter
4. Rawa Badak Selatan Kali Bendungan Melayu
5. Tugu Utara Kali Cakung Lama
6. Tugu Selatan Kali Bendungan Batik
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja
44

Dari data di atas saluran yang ada di Kecamatan Koja panjangnya lebih dari 2

kali lipat panjang jalan, saluran air di Kecamatan Koja hampir seluruhnya bermuara

ke Waduk Rawabadak yang berada di Kelurahan Rawabadak Utara dan Kelurahan

Rawabadak Selatan. Waduk ini sekaligus berfungsi sebagai pengendali banjir di

wilayah Kecamatan Koja

Tabel 4.4

Jumlah Penduduk Kecamatan Koja

No. Penduduk Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. WNI 162.991 154.378 317.689

2. WNA 4 4 8

Jumlah 162.995 154.382 317.377

Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja

Jumlah Kepala Keluarga, Rt, Rw adalah sebagai berikut

KK : 104.315 KK

Rt : 905 KK

Rw ; 82 KK

Mobilitas Penduduk Antara Lain

Kelahiran : 447 jiwa

Kematian : 167 jiwa

Datang : 639 jiwa

Pindah : 605 jiwa


45

Dari data diatas Jumlah Penduduk Kecamata Koja Sampai Akhir Desember

2013 adalah 317.377 dengan Kepadatan Penduduk pada tahun 2013 adalah 192.200

jiwa/Km2.

Tabel 4.5

Jumlah Penduduk Menurut agama Kecamatan Koja

No Kelurahan Jumlah Islam Kristen Kristen Hindu Budha


Penduduk Katolik Protestan
1. Koja 32.244 29.192 2193 872 141 98
2. Lagoa 57.600 56.736 365 365 33 55
3. Rawa Badak Utara 37.518 32.884 3364 1341 256 162
4. RawaBadakSelatan 33.469 30005 2.721 1058 196 121
5. Tugu Utara 45.799 42.789 2294 940 156 102
6. Tugu Selatan 16.823 14915 1431 580 79 77
Jumlah 223453 206530 12368 5156 861 615
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja

Dari data di atas penduduk Kecamatan Koja sebagian besar ( 91 % )beragama

Islam, dan sisanya ( 9% ) terbagi dalam empat agama lainnya. Namun demikian

perbedaan agama selama ini tidak menjadi masalah di Kecamatan Koja. Terbukti

selama ini tidak ada kasus yang bersifat SARA, khususnya konflik antar umat

beragama. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya Forum Komunikasi Umat

Beragama (FKUB) di Kota Administrasi Jakarta Utara.


46

Tabel 4.6

Sarana Peribadatan di Kecamatan Koja

No Kelurahan Masjid Majelis Mushola Gereja Kuil/Vihara Jumlah


Taklim
1. Koja 12 45 34 1 1 93
2. Lagoa 15 110 92 6 1 224
3 RawaBadakUtara 18 29 29 7 1 115
4. RawaBadakSelatan 11 19 16 1 - 56
5. Tugu Utara 21 75 18 2 - 84
6. Tugu Selatan 11 16 19 1 - 47
Jumlah 89 270 241 16 3 619
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja

Seiring dengan heterogeritas/ kemajemukan pemeluk agama di Kecamatan

Koja, maka ketersediaan sarana peribadatan pun sesuai dengan kemajemukan itu

sarana peribadatan umat Islam tampak lebih dominan jumlahnya di bandingkan

dengan srana peribadatan agama lainnya. Demikian pula organisasi keagamaannya

pun masih banyak dari umat Islam, sementara yang lainnya belum terdaftar.

Tabel 4.7

Sarana pendidikan di Kecamatan Koja

No Kelurahan TK SD SLTP SMU PT Jumlah


1. Koja 1 3 3 0 0 7
2 Lagoa 18 18 13 17 0 66
3. RawaBadakUtara 8 30 7 3 0 61
4. RawaBadakSelatan 3 11 4 0 0 15
47

5. Tugu Utara 15 29 10 6 1 47
6. Tugu Selatan 3 5 5 2 0 18
Jumlah 48 96 42 27 1 214
Sumber : Arsip dari KUA Kecamatan Koja
Penduduk Kecamatan Koja yang cukup padat perlu di imbangi oleh

ketersediaan sarana pendidikan yang memadai. Hingga akhir tahun 2013 tidak kurang

dari 214 sekolah mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi.

Tabel 4.8

Nama-Nama Kepala yang pernah menjabat di KUA Kecamatan Koja

No Nama Tahun
1. H. Syari‟I Toha 1970 s/d 1973
2. M. Baharuddin 1973 s/d 1975
3. A. Rahim Mansyur 1975 s/d 1978
4. Awab Bajeri 1978 s/d 1981
5. Ahmad Mubakir. BcHK 1981 s/d 1983
6. H. Jahdie Ar Rujdie. BA 1983 s/d 1989
7. Drs.H. Soeyoethi 1989 s/d 1993
8. Drs.H.M Syafei 1993 s/d 1996
9. Drs.H.M. Hatta Alimi 1996 s/d 2000
10. Drs.H.Ahmad Fakaubun 2000 s/d 2004
11. H. Warisman 2004 s/d 2007
12. Drs. Busnawi Ahmad 2007 s/d 2009
13. Drs.H. Abdullah, MM 2009 s/d 2010
14. Drs. Sahabuddin, S.Ag 2010 s/d 2012
15. H.Ah Sobari, S.Ag.MH 2012 s/d sekarang
Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja
48

Kepala KUA Kecamatan Koja dari tahun 2012 s/d sekarang adalah H.Ah.

Sobari, S.Ag,MH, Pangkat/Gol ruang: Penata Tk.I (III/d)

Nama-nama karyawan-karyawati KUA Kecamatan Koja

Tabel 4.9

No Nama NIP JABATAN PANGKAT/GOL.RUANG


1. H.Ah.Sobari,S.Ag.MH 196709182001121002 Kepala KUA Penata (III/c)
2. H.AhmadMusholli,S.Ag 195806261982031005 Penghulu Pembina (IV/a)
3. Slamet Haryanto,S.Ag 196911182003121001 Penghulu Penata (III/c)
4. H. Halimi,S.Ag 197408072009011006 Penghulu Penata Muda (III/a)
5. Sahabuddin,S.Ag 197501042009011004 Penghulu Penata Muda (III/a)
6. Sukardi, S.PdI 196312311989031043 Tata Usaha Penata (III/c)
7. Heru Suryono, S.Pd 197811162002121001 Bendahara Penata Muda Tk.I (III/b)
8. Ikah Atikah, SE 198207032009012010 Pengadm NR Penata Muda (III/a)
9. Dewi Ulya 197906192007012012 Pengadm NR/ Pengatur Muda (II/b)
Resepsionis
10. Titik Kartika 198403042009012011 Pengadm Pengatur Muda Tk.I (II/b)
Umum
11. Sri Mudalipa 197408262007012017 Pengadm NR Pengatur Muda (II/a)
12. Darwanto 198511132009011002 Pengadm Pengatur Muda (II/a)
Umum
13 Muripah 150431794 Pengadm NR Juru I/c
Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja
49

Tabel 4.10

Data Nikah dan Rujuk Kua Kecamatan Koja

Tahun Nikah Rujuk


2011 2586 0
2012 2132 0
2013 2025 0
Sumber: Arsip dari KUA Kecamatan Koja

Dari data diatas data Nikah di Kecamatan Koja lebih banyak di tahun 2011

dengan jumlah 2586 dan data Rujuk 0

Tabel 4.11

Data Pelaksanaan Pernikahan KUA Kecamatan Koja

Tahun Nikah di dalam Nikah di luar kantor


kantor
2011 207 2379
2012 274 1858
2013 104 1921
Sumber; Arsip dari KUA Kecamatan Koja

Dari data di atas jumlah perkawinan yang di lakukan di dalam kantor KUA

Kecamatan Koja lebih sedikit dibanding dengan jumlah perkawinan di luar kantor

KUA Kecamatan Koja


50

B. Problematika Seks dan Cara Mengatasinya

Kawin hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhir-

akhir ini bahkan seolah-olah kawin hamil telah menjadi bagian dari budaya yang

berkembang dalam masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, pegawai

pencatat nikah mencatat pasangan yang kawin hamil, pasti akan di peroleh data yang

dapat membuat kita tercengang. Prosentase perkawinan yang di catat mungkin di

dominasi oleh kawin hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di

sekitar kita yang belum tahu tentang hukum kawin hamil itu sendiri sehingga hal

tersebut dianggap hal yang menurut mereka sah-sah saja di lakukan.79

Kondisi ini merupakan resultan dari faktor-faktor biologis, psikologi dan

sosial. Upaya pencegahannya perlu di lakukan secara multi dan interdisiplin dengan

mempertimbangkan ketiga faktor tersebut. Media masa juga memegang peranan

tidak kecil dalam hal khayalan remaja . adanya kecenderungan pada daya tarik fisik

dan seksual dalam berbagai media periklanan, membuat remaja makin sulit untuk

mengontrol dorongan seksualnya.80

Adanya perhatian dari keluarga untuk meningkatkan ketahanan fisik

menghadapi arus globalisasi dengan cara memperkuat ajaran agama, nilai dan norma

di dalam keluarga merupakan alternatif utama, dalam hal ini target sasaran pertama

adalah peran orang tua, dengan di berikannya informasi dan pengertian akan

pentingnya dan sekaligus bahaya yang mengancam kehidupan pada pasangan yang

79
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
80
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
51

belum menikah, sehingga mereka turut berpartisipasi sebagai agen perubahan. Dan

target sasaran kedua adalah pasangan muda yang belum menikah dalam peranannya

sebagai anggota keluarga. Selain itu, pihak pemerintah diharapkan ikut berpartisipasi

untuk mengurangi volume kasus kawin hamil dengan cara mengadakan kegiatan yang

berwawasan nasional, misalnya memperketat sensor arus informasi dan budaya asing,

menunjang pembentukan sarana bagi pengembangan remaja dan lain-lain.81

C. Faktor-Faktor kawin hamil di luar nikah

Dari pengamatan penulis pada masyarakat, khususnya masyarakat kelurahan

Lagoa, problematika seks di luar nikah pada kalangan remaja dapat terjadi karena

beberapa faktor, yakni:82

1. Gaya pacaran yang tidak terkontrol oleh orang tua : ada semacam budaya di

kalangan pemuda dan pemudi yang mengkhususkan malam istimewa seperti

malam minggu, mereka jadikan ajang jalan berdua ( apel atau ngelancong)

2. Adanya rasa sayang yang sangat terhadap pacar, sehingga seorang wanita rela

memberikan segalanya kepada pacarnya bahkan yang menjadi kehormatannya

sebagai wanita ia berikan.

3. Pengaruh teman atau lingkungan yang mana dalam lingkungan pergaulan

remaja, adanya istilah yang kesannya lebih mengarah kepada hal negatif atau

salah gaul.

81
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
82
Wawancara dengan pelaku kawin hamil
52

4. Pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja saat ini sudah sangat lumrah

sehingga mereka menganggap pergaulan tersebut sudah menjadi kebiasaan di

lakukan sehingga masalah seks dan hamil di luar nikah bukanlah hal yang

tabu lagi di kalangan pemuda dan masyarakat.

5. Kurangnya perhatian khusus dari orang tua untuk dapat memberikan

penjelasan tentang akibat pergaulan masa kini sehingga terjadi kegagalan

pendidikan di lingkungan keluarga.

6. lemahnya pendidikan keagamaan terhadap anak yang di pupuk sejak dini di

lingkungan keluarga.

Adapun faktor-faktor yang di jelaskan di atas, dapat di simpulkan bahwa

faktor utama ( dominan ) dari penyebab perkawinan wanita hamil di luar nikah

adalah bebasnya pergaulan yang di lakukan oleh para pemuda dan pemudi sehingga

menimbulkan masalah terjadi nya hamil di luar nikah dan kurang nya pengontrolan

serta perhatian khusus orang tua terhadap anak-anak nya dalam memberikan

pendidikan keagamaan di lingkungan keluarga.83

D. Pandangan Masyarakat dan Ulama Terhadap Kawin Hamil, Status

Perwalian Anak Diluar Nikah

1. Pandangan Masyarakat

Dalam penulisan skripsi ini , penulis telah mewawancarai beberapa informan.

Adapun informan yang penulis wawancarai , diantaranya adalah:

83
Wawancara dengan Anna (Nama samaran) pelaku kawin hamil di luar nikah pada hari rabu,
tanggal 10 desember 2014 di rumahnya kelurahan Lagoa
53

1. Bpk. H. Halimi,S.Ag sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja

2. Bpk Acep Budairi,S.Ag sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja

3. Bpk KH. Tajudin HM sebagai tokoh masyarakat

4. Dua orang pelaku wanita hamil di luar nikah yang telah di wawancarai

Dari data yang penulis dapat bahwa jumlah penduduk laki-laki dan

perempuan Kecamatan Koja sebanyak 317.377 jiwa yang terdiri dari 162.995 jiwa

penduduk laki-laki dan 154.382 jiwa penduduk perempuan. Selain itu, jumlah

perkawinan yang ada di KUA Koja wanita yang mengalami kawin hamil diluar nikah

menurut para informan dari sekitar 100 pernikahan bisa 1/3 yang menikah karna

hamil di luar nikah.84

Selain itu penulis berkesempatan mewawancarai sejumlah tokoh masyarakat

yang terkait dan memiliki pemahaman yang baik tentang kawin hamil yang terjadi di

lingkungan masyarakat. Salah satu hasil wawancara penulis dengan Bpk. H.

Halimi,S.Ag selaku penghulu KUA Kecamatan Koja dan Bpk KH. Tajudin HM

selaku tokoh masyarakat, antara lain mengenai perkawinan wanita hamil di luar nikah

pernikahan nya sah akan tetapi yang menjadi permasalahannya dalam perwalian dan

pewarisan. Dan didalam kitab Bugiyah halaman 201 bolehnya pernikahan yang hamil

di sebabkan zina baik yang di zinahi oleh yang menghamilinya atau bukan yang

menghamilinya. Dalam usia kandungan wanita hamil tersebut juga harus di

perhatikan apabila usia kandungan wanita tersebut kurang dari 4 bulan maka anak

yang di dalam kandungan adalah anak dari ayah yang menikahi ibunya, akan tetapi
84
Data yang di peroleh dari KUA Kecamatan Koja
54

apabila usia kandungannya 4 bulan keatas bukan anak dari ayah yang menikahi

ibunya.85

Penerapan hukum yang terjadi mengenai masalah wanita hamil diluar nikah.

Maka penerapan hukum tersebut terhadap masyarakat atau penghulu bervariasi,

yakni adanya masukan untuk melakukan pernikahan ulang yang terjadi pada

pernikahan wanita hamil. Dalam hal tersebut di serahkan kepada pihak yang

bersangkutan, apakah tetap pada pernikahan awal atau melakukan pernikahan ulang

setelah anak yang dikandung lahir.86

2. Pandangan Ulama

Mengenai hukum perkawinan wanita hamil ini telah di bicarakan pada bab

sebelumnya yang mana hukum dari nikah hamil adalah sah, para ulama telah sepakat

tentang kebolehan menikahi wanita hamil di luar nikah bagi orang yang

menghamilinya. 87 Seperti menurut madzhab Syafi‟i yang menyebutkan perkawinan

wanita hamil itu di anggap sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain,

tidak ada kewajiban iddah bagi wanita pezina ( artinya wanita yang telah berzina

boleh langsung di nikahi tanpa iddah).

Menurut jumhur Ulama perwalian yang di jelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-

baqarah ayat 221 merupakan larangan Allah SWT yang di tujukan kepada para wali,

agar mereka tidak mengawinkan wanita-wanita muslimah degan orang-orang

85
Wawancara dengan tokoh masyarakat
86
Wawancara dengan penghulu KUA Kecamatan Koja
87
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Addilatuhu, hal 148, Cet.2, Jilid VII
55

musyrik. Karena itu, bagi jumhur Ulama ayat tersebut juga merupakan salah satu dalil

tentang tidak sahnya nikah tanpa wali.88 Di tegaskan pula dalam Kompilasi Hukum

Islam pasal 19 bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di

penuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya dan dalam

pasal 20 ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang

memenuhi syarat hukum Islam yakni, Muslim, Aqil dan Baligh (2) wali nikah terdiri

dari wali nasab dan wali hakim.

Dari Uraian di atas dapat di simpulkan bahwa perkawinan wanita hamil

hukumnya adalah sah, sedangkan mengenai perwalian dalam pernikahan merupakan

rukun yang harus di penuhi dalam pernikahan dan perwalian anak di luar nikah hanya

dapat dilakukan oleh wali hakim di karenakan anak yang terlahir akibat hamil diluar

nikah ia tidak mempunyai hubungan nasab kepada ayahnya.

E. Analisis Penulis

Mengenai perkawinan wanita hamil diluar nikah terdapat perbedaan para

ulama, ada yang membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan perkawinan

itu terjadi oleh laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki yang bukan

menghamilinya, yang menjadi masalah dari perkawinan wanita hamil tersebut adalah

status anak yang dilahirkan diluar nikah tersebut menurut usia kandungan yang

berdampak dalam perwaliannya, Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 42

mengenai Anak sah adalah Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

88
Hasanudin Af,MA, Perkawinan dalam Perspektif Al-Qur’an ( Jakarta: Nusantara Damai
Press) cet. 2011 h. 20
56

perkawinan yang sah. Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99 yang

menyatakan: “anak sah adalah: (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah. (b) Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan di

lahirkan oleh istri tersebut.

Adapun yang di maksud dengan anak diluar nikah adalah anak yang di buahi

dan di lahirkan diluar pernikahan yang sah sebagaimana yang di sebutkan dalam

peraturan perundang-undangan nasional antara lain:

1. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang

dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya

2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir

diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya.

Dengan demikian, maka anak yang lahir diluar pernikahan tidak di nyatakan

sebagai anak yang sah menurut hukum, bila di cermati dari peraturan perundang-

undangan yang berlaku tentang hukum perkawinan, menyatakan bahwa status nasab

anak diluar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan

keluarga ibunya. Sedangkan dalam hal perwalian anak tersebut hanya mempunyai

hubungan nasab dengan ayah biologisnya.

Oleh sebab itu penulis cenderung mengikuti pendapat Imam Malik dan Syafi‟i

yang mana dalam hukum Islam anak diluar nikah tetap tidak di anggap sebagai anak

yang sah, dan karena itu berakibat hukum sebagai berikut;


57

1. Tidak adanya hubungan nasab

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan

bahwa “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab

dengan ibunya dan keluarga ibunya saja”.

Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat di

nisbahkan kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak

alami ( genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili perempuan

yang melahirkannya itu.

2. Tidak adanya saling mewarisi.

Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang di kemukakan,

maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris mewarisi dengan

ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang di tegaskan pada pasal

186 Kompilasi Hukum Islam; “ anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya‟‟.

Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai

hubungan saling mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya).

3. Ayah tidak dapat menjadi wali.

Ketentuan wali nikah dalam pasal 19 Kompilasi Hukum Islam: “ wali

nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus di penuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.” Dan pasal 20 ayat (1) “

yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
58

syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh (2) wali nikah terdiri dari

wali nasab dan wali hakim.

Banyaknya kasus perkawinan wanita hamil di Lagoa Kecamatan Koja,

jumlahnya sekitar 30% dari perkawinan yang di catat di KUA Perkawinan ini

sudah hamil di luar nikah. Dan kasus ini pihak KUA menganjurkan untuk

melakukan nikah ulang apabila sudah melahirkan. Data tersebut penulis dapat

dari hasil wawancara dengan salah satu penghulu di KUA Kecamatan Koja,

Alasan beliau menggunakan Maslahah Mursalah.


59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis memberikan

jawaban yang berhubungan dengan rumusan masalah dan tujuan peneliti skrispi.

Adapun jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Bahwa terjadinya perkawinan wanita hamil diluar nikah itu di dukung dari

beberapa faktor, yakni faktor pendidikan, pergaulan, dan kurangnya perhatian

orang tua dapat menunjang terjadinya hal tersebut. Dari hasil penelitian yang

penulis lakukan bahwa faktor dominan penyebab terjadinya hamil di luar nikah

di kalangan remaja adalah faktor pergaulan yang kurang terkontrol, yang mana

usia wanita hamil diluar nikah itu terjadinya pada masa sekolah Lanjutan

Tingkat Atas ( SLTA) atau berkisar antara 16-18 Tahun.

2. Mengenai pernikahan wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang bukan

menghamilinya, pernah terjadi kasus demikian di daerah Lagoa Kecamatan

Koja, Alasannya karena mereka sama-sama suka dan adanya rasa kasihan

dengan aib yang ada pada wanita tersebut sehingga lelaki tersebut bersedia

menutupi aib wanita tersebut. Hukum dari menikahi wanita hamil tersebut tidak

di larang oleh agama asalkan memenuhi syarat dan rukun nikah.

3. kedudukan anak yang lahir diluar perkawinan yang sah yang berkaitan dengan
perwalian, apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat dari
perbuatan zina ( diluar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah

59
60

dewasa anak tersebut menikah maka ayah/bapak alami ( genetiknya) tidak


berhak atau tidak sah menjadi wali nikahnya, melainkan yang berhak menjadi
wali adalah wali hakim dan dalam kasus ini belum pernah terjadi pernikahan
anak yang lahir diluar nikah yang di nikahkan oleh ayah biologisnya karna
proses administrasi di KUA sebelum akad nikah terjadi ada koreksi ulang
mengenai asal usul anak tersebut untuk menghindari terjadinya pernikahan
yang tidak sah menurut agam dan pemerintah, karna pada dasarnya KUA
Kecamatan Koja menggunakan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.

B. Saran-Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis berikan untuk mengurangi masalah hamil
diluar nikah diantaranya:
1. Untuk lembaga-lembaga pemerintah atau aparatur pemerintahan yanag
berkaitan dengan masalah ini, diharapkan untuk membincangkan hal ini
dengan serius, melalui penyuluhan atatu sosialisasi tentang pernikahan, seks,
dan pergaulan bebas
2. Bagi masyarakat, khususnya bagi para tokoh agama hendaknya lebih
meningkatkan volume sensitifitas dalam menyikapi kasus kawin hamil di luar
nikah, sehingga kasus ini tidak di pandang seolah-olah legal di mata
masyarakat awam, baik dengan cara pendekatan sosial, khususnya bagi para
kalangan remaja.
3. Untuk para pembaca semampu mungkin hindari dan jauhi kesempatan-
kesempatan yang dapat mendorong terjadinya seks bebas dengan cara
mengikuti kegiatan keagamaan
61

DAFTAR PUSTAKA

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, ( Bandung; Al-Bayan, 1994), cet.


Ke-1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Jakarta: Kencana 2003)

Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh ‘ala al-madzahib al-arba’ah, (mesir;Dar al-


irsyad, t.th) jilid VII

Abdurahman al-jaziry, kitab al-fiqh „ala al-madzahib

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam

Ahmad Warson Al-Munawwir

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus Arab-Indonesia

Ali Afandi,hukum waris, hukum kekeluargaan,hukum pembuktian, Jakarta; PT Bina


Aksara 1986, cet ke-2

Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta,


2008).

Dedi Supriadi dan mustofa.perbandingan hukum perkawinan islam di dunia Islam.

Departemen Agama RI, Alqur‟an dan Terjemahannya

Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: Pt. Prima heza
Lestari,2005), Cet-1

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010)

Fuad Moch Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam ( Jakarta Pusat, CV
Pedoman Ilmu Jaya, 1991)

H.M.A Tihami, Fiqih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap

Hasanudin Af,MA, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran ( Jakarta: Nusantara


Damai Press)cet. 2011.
62

http://jumaidi-eljumeid.blogspot.com/2009/11/perkawinan-wanita-hamil-dan-status-
anak.html

Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar „ala Al-Daar Al-Mukhtar ; Hasyiyah Ibn „Abidin,
(Beirut; Daar Ihya Al-Turats Al_Arabi, 19870, juz II, cet II

Ibnu Mandzur, Lisan Al-„Arobi, (Beirut : Dar-Shadir,1994), jilid 1

Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-fiqr,


t.th) jilid II.,

Kamal Muchtar,Asas-Asas hukum Islam tentang perkawinan (Jakarta: PT Bulan


Bintang,1987)

Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2001).

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995), cet, ke-1

M.ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: siraja, 2003)
cet ke-1

M.idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa pasal undang-undang no 1 tahun 1974 dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, Ind-Hill-Co;jakarta, 1990

Macam-Macam Metode Penelitian, artikel ini di akses dari


http://koffieenco.blogspot.com/2013/08/macam-macam-metode-
penelitian.html, pada 22 oktober 2014.

Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, (Yogyakarta: Darussalam,2004)


cet ke-1

Mudjia rahardjo, Penelitian Sosiologis Hukum Islam, artikel ini di akses dari
http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/134-penelitian-sosiologis-
hukum islam.html, pada 22 Oktober 2014.

Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum


Islam,(Jakarta:Amanah,2012),Ed.1

Said Agil Husin Al-munawar, Hukum islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta;
PENAMADANI, 2004
63

Sayyid sabiq, Fiqih Assunah (Yogyakarta; Pd Hidayat, 1986)

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.Intermasa, 1987), cet.ke-21

Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat:kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:PT


RAJAGRAFINDO PERSADA.2009)

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam. Bandung : Nuansa Aulia,
2011.

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 1974,


Arkola, Surabaya

Wahbah al-Zuhaili, al-fiqh al-Islami wa Addilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr 1989) cet.
Ke-3, jilid VII

Yayan Sopyan, Islam-Negara ( Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam


Hukum Nasional), ( Tanggerang Selatan; Uin Syarif Hidayatullah,2011) cet
ke-1

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika,2007)


64

PEDOMAN WAWANCARA

A. Pedoman wawancara dengan penghulu di KUA Kecamatan Koja

1. Bagaimana menurut bapak tentang perkawinan yang terjadi di KUA Kecamatan

Koja. Apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat?

2. Dengan beragamnya pendapat ulama fuqaha dan hukum positif (Kompilasi

Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil menurut bapak madzhab mana

yang di pergunakan oleh KUA, khususnya KUA Kecamatan Koja?

3. Apakah bapak sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja menikahkan wanita yang

hamil diluar nikah dalam keadaan hamil atau tidak?

4. Bagaimana pandangan bapak mengenai perkawinan wanita hamil?

5. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya

perkawinan wanita hamil?

6. Dilihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban wanita hamil yang bapak

ketahui?

7. Sepengetahuan bapak pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi?

8. Bagaimana bapak menyikapi perkawinan wanita hamil tersebut?

9. Mengenai perwalian anak yang lahir dari pernikahan tersebut, menurut pandangan

bapak bagaimana perwaliannya?

10. Bagaimana peranan orang tua atau tokoh masyarakat dalam men gantisipasi

terjadinya perkawinan wanita hamil ( Cara-cara mengatasinya)?


65

PEDOMAN WAWANCARA

A. Pedoman wawancara dengan penghulu di KUA Kecamatan Koja

1. Bagaimana menurut bapak tentang perkawinan yang terjadi di KUA Kecamatan

Koja. Apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat?

Jawab: bukan hanya di lihat dari segi hukum Islam tetapi harus memenuhi

perundang-undangan karna ada hubungan antara keduanya

2. Dengan beragamnya pendapat ulama fuqaha dan hukum positif (Kompilasi

Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil menurut bapak madzhab mana

yang di pergunakan oleh KUA, khususnya KUA Kecamatan Koja?

Jawab: KUA melepas atribut madzhab dalam arti tunduk dan patuh dengan

Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3. Apakah bapak sebagai penghulu KUA Kecamatan Koja menikahkan wanita yang

hamil diluar nikah dalam keadaan hamil atau tidak?

Jawab: Penghulu kapasitasnya hanya mencatat perkawinan, Ya menikahkan dan

mengacu pada Kompilasi hukum Islam

4. Bagaimana pandangan bapak mengenai perkawinan wanita hamil?

Jawab: Pernikahannya sah akan tetapi yang menjadi permasalahannya dalam hal

perwalian dan kewarisan

5. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya

perkawinan wanita hamil?


66

Jawab: 1. karna faktor lingkungan yang terlalu bebas

2. kurangnya pengawasan orang tua

3. keluarga yang tidak harmonis

4. ketidak perdulian orang tua dalam memberikan pendidikan agama

6. Dilihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban wanita hamil yang bapak

ketahui?

Jawab: dari sekitar 100 pernikahan bisa 1/3 yang hamil di luar nikah

7. Sepengetahuan bapak pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi?
Jawab: usia antara laki-laki 17-20 tahun dan perempuan 15-19 tahun

8. Bagaimana bapak menyikapi perkawinan wanita hamil tersebut?

Jawab: sangat prihatin melihat kondisi seperti ini karna bagaimanapun ini peran

orang tua yang sangat mendorong terutama untuk meminimalisir anak yang

menikah dalam keadaan hamil dan apabila sudah terjadi pernikahan akibat hamil

di luar nikah di beri nasehat untuk bertaubat.

9. Mengenai perwalian anak yang lahir dari pernikahan tersebut, menurut pandangan

bapak bagaimana perwaliannya?

Jawab: mengenai perwalian anak di luar nikah yaitu wali hakim karna tidak

adanya nasab anak tersebut kepada ayah biologisnya.

10. Bagaimana peranan orang tua atau tokoh masyarakat dalam mengantisipasi

terjadinya perkawinan wanita hamil ( Cara-cara mengatasinya)?

Jawab: 1. Membekali anak dengan pendidikan agama

2. Mengawasi atau mengontrol anak dari pergaulan yang bebas

3.Orang tua harus mengajarkan hal-hal yang positif kepada anak

4. Memberikan contoh kehidupan yang agamis


67

PEDOMAN WAWANCARA

A. Pedoman wawancara dengan pelaku kawin hamil

1. Bagaimana menurut anda tentang perkawinan yang terjadi di masyarakat Lagoa

apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat?

2. Apakah tradisi atau adat masyarakat Lagoa lebih dominan daripada hukum Islam,

khususnya mengenai hal perdata Islam (nikah,talaq,rujuk)?

3. Dengan beragamnya pendapat Ulama Fuqaha dan hukum positif (Kompilasi

Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil. Bagaimanakah hukumnya

menurut anda?

4. Bagaimana penerapan hukum tersebut pada masyarakat Kelurahan Lagoa?

5. Bagaimana pendapat anda terhadap perkawinan wanita hamil?

6. Sepengetahuan anda, pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi?

7. Maaf, lalu kapan hal itu terjadi terhadap anda?

8. Dengan siapa anda melakukan hal itu?

9. Lalu, setelah tahu bahwa anda hamil, apakah pacar anda segera menikahi anda?

10. Kalau saja pacar anda tidak mau menikahi anda, langkah apa yang anda lakukan?

11. Selanjutnya, bagaimana dengan keluarga anda?

12. Dengan kebebasan anda, apakah anda pernah mengikuti kegiatan keagamaan di

lingkungan tempat tinggal?

13. Baik, kalau di lihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban kawin hamil yang

anda ketahui?
68

14. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya

perkawinan wanita hamil?

15. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi terjadinya perkawinan wanita

hamil (Cara-cara mengatasinya)?


69

PEDOMAN WAWANCARA

A. Pedoman wawancara dengan pelaku kawin hamil

1. Bagaimana menurut anda tentang perkawinan yang terjadi di masyarakat Lagoa

apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat?

Jawab; Sesuai dengan hukum Islam

2. Apakah tradisi atau adat masyarakat Lagoa lebih dominan daripada hukum Islam,

khususnya mengenai hal perdata Islam (nikah,talaq,rujuk)?

Jawab; Menurut saya lebih dominan hukum Islam

3. Dengan beragamnya pendapat Ulama Fuqaha dan hukum positif (Kompilasi

Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil. Bagaimanakah hukumnya

menurut anda?

Jawab; Hukumnya dibolehkan dengan alasan adanya pertanggung jawaban

pasangan

4. Bagaimana penerapan hukum tersebut pada masyarakat Kelurahan Lagoa?

Jawab; harus ada sosialisasi

5. Bagaimana pendapat anda terhadap perkawinan wanita hamil?

Jawab; sah saja

6. Sepengetahuan anda, pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi?

Jawab; 18 tahun

7. Maaf, lalu kapan hal itu terjadi terhadap anda?

Jawab; Pada usia 18 tahun


70

8. Dengan siapa anda melakukan hal itu?

Jawab; Melakukannya dengan pacar

9. Lalu, setelah tahu bahwa anda hamil, apakah pacar anda segera menikahi anda?

Jawab; Ya menikahi

10. Kalau saja pacar anda tidak mau menikahi anda, langkah apa yang anda lakukan?

Jawab; Lapor kepada pihak berwajib

11. Selanjutnya, bagaimana dengan keluarga anda?

Jawab; Pihak keluarga kecewa dan marah

12. Dengan kebebasan anda, apakah anda pernah mengikuti kegiatan keagamaan di

lingkungan tempat tinggal?

Jawab; Pernah

13. Baik, kalau di lihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban kawin hamil yang

anda ketahui?

Jawab; Ada 2 orang

14. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya

perkawinan wanita hamil?

Jawab; Faktor lingkungan dan pergaulan yang bebas

15. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi terjadinya perkawinan wanita

hamil (Cara-cara mengatasinya)?

Jawab; menjaga diri dari pergaulan bebas, membekali anak dengan agama,

mengawasi atau mngontrol pergaulan anak

10 Desember 2014

Nama Anna Umur 25 tahun


71

PEDOMAN WAWANCARA

B. Pedoman wawancara dengan pelaku kawin hamil

1. Bagaimana menurut anda tentang perkawinan yang terjadi di masyarakat Lagoa

apakah sesuai dengan hukum Islam atau adat?

Jawab; Ya sesuai dengan hukum Islam

2. Apakah tradisi atau adat masyarakat Lagoa lebih dominan daripada hukum Islam,

khususnya mengenai hal perdata Islam (nikah,talaq,rujuk)?

Jawab; Tidak dominan

3. Dengan beragamnya pendapat Ulama Fuqaha dan hukum positif (Kompilasi

Hukum Islam) tentang perkawinan wanita hamil. Bagaimanakah hukumnya

menurut anda?

Jawab; kalau menurut pendapat saya hukum tersebut sah-sah saja

4. Bagaimana penerapan hukum tersebut pada masyarakat Kelurahan Lagoa?

Jawab; harus lebih seringnya diadakan sosialisasi tentang keagamaan

5. Bagaimana pendapat anda terhadap perkawinan wanita hamil?

Jawab; Sah-sah saja

6. Sepengetahuan anda, pada usia berapa biasanya kawin hamil itu sering terjadi?

Jawab; Tidak dapat di tentukan (Usia belasan)

7. Maaf, lalu kapan hal itu terjadi terhadap anda?

Jawab; kurang lebih 5 tahun yang lalu

8. Dengan siapa anda melakukan hal itu?

Jawab; Dengan pacar (Ayah dari anak saya)


72

9. Lalu, setelah tahu bahwa anda hamil, apakah pacar anda segera menikahi anda?

Jawab; Ya menikahi

10. Kalau saja pacar anda tidak mau menikahi anda, langkah apa yang anda lakukan?

Jawab; Menemui pihak keluarganya

11. Selanjutnya, bagaimana dengan keluarga anda?

Jawab; Menerima keadaan walau amat sangat terpaksa

12. Dengan kebebasan anda, apakah anda pernah mengikuti kegiatan keagamaan di

lingkungan tempat tinggal?

Jawab; Tidak pernah

13. Baik, kalau di lihat dari jumlahnya, berapakah jumlah korban kawin hamil yang

anda ketahui?

Jawab; Yang saya ketahui hanya 3 orang

14. Apa saja faktor-faktor yang melatar belakangi atau penyebab terjadinya

perkawinan wanita hamil?

Jawab; Pergaulan yang bebas

15. Bagaimana peranan anda dalam mengantisipasi terjadinya perkawinan wanita

hamil (Cara-cara mengatasinya)

a. Pengawasan orang tua

b. Mengawasi pergaulan anak

c. Memberikan penjelasan tentang akibat pergaulan masa kini

14 des 2014

Nama Neneng Umur 28 tahun

Anda mungkin juga menyukai