Anda di halaman 1dari 91

PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI

ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI


(Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01
Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga)

SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:
ANITA YOHANNA
NIM : 21211004

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016

i
ii
iii
iv
MOTTO

“Hanya laki-laki mulia yang akan memuliakan perempuan,

dan hanya laki-laki hina yang akan menghinakan perempuan”.

(Ali bin Abi Tholib)

v
PERSEMBAHAN

Skripsi ini

aku persembahkan untuk :

1. Bapak - Ibu tercinta

yang doa-doanya selalu menyertai langkahku.

2. Suamiku dan anak-anakku tercinta, atas doa dan dukungannya.

3. Kakak dan adikku tercinta, doaku semoga kalian bahagia

4. Rekan-rekan mahasiswa non reguler angkatan 2011,

terima kasih atas motivasi dan

kebersamaannya.

vi
ABSTRAK

Anita Yohanna. 2016. Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara Doktrin dan
Tradisi (Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan
Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah.
Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing :Dra. Siti Zumrotun, M. Ag.

Kata Kunci : Penghambaan Istri, Doktrin dan Tradisi.

Pola hubungan suami-istri selalu menjadi bagian penting ketika kita


berdiskusi persoalan gender dalam prespektif Islam. Salah satu pemicunya adalah
adanya teks-teks, baik bersumber dari doktrin maupun tradisi yang berdampak pada
ketidaksetaraan hubungan suami-istri, bahkan menjurus pada penghambaan.
Kejadian ini sudah menjadi fenomena umum, baik pada masyarakat berpendidikan
rendah maupun masyarakat berpendidikan tinggi, termasuk di wilayah Cabean.
Untuk itu peneliti mengkajinya dalam sebuah skripsi dengan tujuan: Untuk
mengetahui bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW
01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga; Untuk mengetahui
apakah penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan
Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga atas dasar doktrin atau tradisi.
Beberapa tahapan yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah :
penetapan pokok masalah dan tujuan penelitian dilanjutkan dengan mengumpulkan
data penghambaan istri terhadap suami di wilayah Cabean serta studi kepustakaan
sebagai pendukung. Metode yang peneliti gunakan adalah dokumentasi, wawancara,
dan studi kepustakaan. Sedang pendekatan yang digunakan adalah diskriptif
kualitatif. Teori utama yang digunakan adalah “bahwa penghambaan istri terhadap
suami bertentangan dengan pola relasi suami-istri yang dibangun Islam, yaitu
mu`asyarah bi al-ma`ruf dan sakinah mawaddah wa rahmah dalam dibingkai
rahmatan lil `alamin”.
Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa pola penghambaan istri
terhadap suami meliputi: melakukan pekerjaan rumah tangga; mengasuh dan
mendidik anak; melayani kebutuhan seksual suami; dan berpartisipasi mencari
nafkah. Dalam tradisi Jawa diungkapkan bahwa istri adalah konco wingking yang
wilayahnya kasur, sumur, dan dapur. Ungkapan lainnya adalah swargo nunut
neroko katut. Tradisi tersebut akan membawa perempuan sebagai istri dalam situasi
penghambaan. Berdasarkan wawancara terhadap para istri yang berjumlah empat (4)
orang ditemukan bahwa satu (1) orang istri melakukan penghambaan terhadap suami
berdasarkan doktrin, dan tiga (3) orang istri berdasarkan tradisi.
Mengingat keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, tidak akan lahir dari
suami-istri yang melanggengkan kekerasan dan penghambaan, maka membangun
pola hubungan suami-istri atas dasar toleransi dan kesetaraan adalah sebuah
kewajiban.

vii
KATA PENGANTAR

Bagi peneliti, skripsi merupakan salah satu tugas yang berat dan melelahkan.
Tapi, berkat kesabaran, keikhlasan dan ketulusan hati, akhirnya peneliti dapat
menyelesaikan skripsi sebagai kewajiban setiap mahasiswa dalam rangka
memperoleh gelar kesarjanaan dengan judul: PENGHAMBAAN ISTRI
TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI (Studi Kasus Pada
Perempuan di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti
Kota Salatiga).
Dengan selesainya skripsi ini, peneliti sangat bersyukur kepada Allah yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Disamping itu, dari hati yang paling dalam,
peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga.


2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag. yang dengan sabar membimbing peneliti hingga
selesainya penelitian skripsi ini.
3. Bapak/Ibu dosen Jurusan Syari’ah yang dengan ikhlas dan tidak pernah bosan
berbagi ilmu dengan para mahasiswa.
4. Para karyawan IAIN Salatiga yang memberikan kemudahan dalam pelayanan.
5. Teman-teman Jurusan Ahwal al Syakhshiyyah non reguler angkatan 2011 yang
telah menjadi inspirasi, motivasi, dan penyemangat.

Peneliti selalu berharap dan berdoa, semoga bantuan dari semua pihak yang
telah diberikan kepada peneliti akan menjadi catatan amal baik dan mendapat balasan
yang lebih besar dan berlipat ganda dari Allah SWT. Amin …

Salatiga, 12 Februari 2016

Peneliti

viii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. ii

NOTA PEMBIMBING .................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iv

MOTTO ......................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi

ABSTRAK ..................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 4

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 5

D. Kegunaan Penelitian ............................................................... 5

E. Penegasan Istilah ..................................................................... 6

F. Kajian Pustaka ......................................................................... 7

G. Metode Penelitian ................................................................... 11

H. Sistematika Penelitian ............................................................. 15

ix
BAB II. PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN

DAN TRADISI ................................................................................ 16

A. Pola Relasi Suami Istri Prespektif Islam ..................................... 16

1. Pernikahan Dalam Islam ......................................................... 16

2. Hak dan Kewajiban Suami Istri Prespektif Islam ................... 19

3. Pola Relasi Suami Istri Prespektif Islam ................................. 24

B. Pola Relasi Suami Istri Dalam Tradisi Jawa ............................... 29

1. Pernikahan Dalam Tradisi Jawa .............................................. 29

2. Hak dan Kewajiban Suami Dalam Tradisi Jawa ..................... 31

3. Hak dan Kewajiban Istri Dalam Tradisi Jawa ......................... 33

4. Pola Relasi Suami Istri Dalam Tradisi Jawa ........................... 36

C. Pengaruh Tradisi Pada Perilaku Suami Istri

Masyarakat Muslim Jawa .......................................................... 42

BAB III. LAPORAN HASIL PENELITIAN ................................................ 47

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 47

1. Letak Geografis Dusun Cabean ............................................... 47

2. Kondisi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Cabean ................ 48

B. Profil Penghambaan Istri Terhadap Suami

Antara Doktrin dan Tradisi .......................................................... 51

BAB IV. ANALISIS PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI

ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI ............................................. 58

A. Bentuk-bentuk Penghambaan Istri Terhadap Suami ................ 58

B. Perbedaan Persepsi Penghambaan Istri Terhadap Suami ......... 64

x
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penghambaan Istri

Terhadap Suami ...................................................................... 66

D. Mendayung Antara Doktrin, Tradisi dan Modernitas ............ 73

BAB V. PENUTUP .................................................................................... 75

A. Kesimpulan ............................................................................ 75

B. Saran ......................................................................................... 75

C. Penutup .................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 78

LAMPIRAN – LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Komposisi Jumlah Penduduk Islam Cabean RT 05 RW 01.


2. Tabel 2. Jumlah Sarana Tempat Peribadatan Cabean RT 05 RW 01.
3. Tabel 3. Komposisi Saran Pendidikan Cabean RT 05 RW 01.
4. Tabel 4. Data Responden Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara Doktrin dan
Tradisi
5. Tabel 5. Daftar Pertanyaan dan Jawaban Responden tentang Penghambaan Suami
Terhadap Istri antara Doktrin dan Tradisi.

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama memberikan perhatian sangat besar terhadap

pentingnya institusi keluarga. Oleh karena itu berbagai persoalan keluarga, mulai

dari memilih pasangan hidup, tata cara pernikahan, tata krama hubungan suami

istri, pendidikan anak, hak waris dan lain-lain, secara komprehensif diatur

didalamnya. Berbagai aturan tersebut pada umumnya merujuk pada Al Qur`an,

Hadis dan Sunah Nabi meskipun hanya garis besarnya saja yang kemudian

diikuti dan diperkuat oleh berbagai pendapat para ulama.

Prinsip fundamental al Qur`an sebagai sumber utama hukum Islam adalah

kesetaraan, kebebasan, dan keseimbangan. Prinsip ini sesuai dengan esensi

kekuatan Islam yang karakternya liberatif, progresif dan humanis (Ali, 1990:30).

Tiga prinsip tersebut berlaku pada semua ranah sosial kehidupan, tak terkecuali

dalam pola hubungan laki-laki-perempuan. baik di rumah maupun di luar rumah.

Will Durant, ketika menulis jasa Rasulallah s.a.w. dalam meningkatkan dan

memperbaiki hak-hak perempuan memberi catatan sebagai berikut.

Dia mengizinkan perempuan mendatangi Masjid, dan bila mereka menghadiri


khotbah-khotbahnya, dia memperlakukan mereka dengan baik, meskipun
membawa bayi-bayi mereka, jika dia mendengarkan tangisan seorang anak, ia
akan memperpendek khotbahnya, agar sang ibu tidak risau. Dia mengakhiri
praktek pembunuhan bayi oleh bangsa Arab. Dia menempatkan perempuan
sejajar dengan kaum pria dalam hukum, dan kebebasan finansial, mereka
boleh melakukan profesi absah apapun, memiliki perolehannya, mewarisi
kekayaan, dan menggunakan kepemilikannya sesuai keinginannya (Rahmat,
1994:125).
Ketika seorang istri mengadu bahwa ia tidak lagi tahan hidup dengan

suaminya dan takut tidak dapat melayani suaminya sebagaimana sepatutnya,

Rasulullah s.a.w. menyuruh perempuan itu untuk mengembalikan maskawinnya

1
dan menceraikannya. Peristiwa ini memberikan hak bagi perempuan untuk

menceraikan suaminya dengan ketentuan hukum yang disebut khulu`. (Rahmat,

1994:127-128). Dalam kasus lain al Qur`an juga menyatakan: “…dan bagi orang

laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan

(pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan…” (Q.S. An Nisa`:32). Hal ini

mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama

dan berhak menerima kompensasi dari apa yang telah diihtiarkan.

Namun demikian, dibalik prinsip keadilan yang ditawarkan al Qur`an serta

contoh indah yang dipraktekkan Rasulullah s.a.w., ada beberapa konsep yang

diantaranya mengajarkan “adanya keharusan istri tunduk atau bahkan

menghamba pada suami”. Dalam beberapa sumber, ajaran ini merujuk pada

beberapa riwayat hadits Rasulullah diantaranya menyatakan :

Andaikan kuperintahkan seseorang untuk bersujud pada yang lain, niscaya


kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. Dan seandainya
seorang laki-laki memerintahkan istrinya agar memindahkan dari Jabal
Ahmar ke Jabal Aswad lalu dari Jabal Aswad ke Jabal Ahmar maka istri
harus melakukannya (Ibnu Majah I, tt: 569-570).

Masih banyak riwayat hadits yang isinya mirip dengan hadits di atas. Hadis-

hadis tersebut dalam analisis hadis dinilai da`if. Badriyah Fayumi & Alai Nadjib

(2002:91) memberi penjelasan sebagai berikut :

Telah terbukti bahwa hadis tentang sujud sebagaimana tersebut di atas adalah
hadis da`if. Hadis yang da`if tidak sah menjadi landasan hukum, terlebih
menjadi dasar normatif bagi segala tindakan yang subordinatif terhadap
perempuan. Namun demikian, hadis ini relatif popular di kalangan
masyarakat dan sering menjadi rujukan bagi legalitas teologis kewajiban
ketaatan istri terhadap suami, bahkan dalam buku-buku terbaru akhir-akhir
ini. Hadis ini sering menimbulkan dan menjadi sumber kesalahpahaman
dalam memahami kedudukan perempuan dalam keluarga.

Pola hubungan suami-istri sebagaimana hadis di atas secara prinsipal

bertentangan dengan ajaran al Qur`an. Hal ini bisa dilihat, misalnya pernyataan

2
Q.S. al Isro` : 17 “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam”.

Bani Adam menyangkut laki-laki dan perempuan, karena itu menurut ayat ini,

kedua-duanya sama-sama dimuliakan tanpa ada pembedaan jenis kelamin. Q.S.

al Baqarah 187 juga menyatakan : “Mereka adalah pakaian (libas) bagimu dan

kamu adalah pakaian bagi mereka”. Hal ini mengisyaratkan bahwa keduanya

saling membutuhkan dan yang satu tidak dapat sempurna tanpa kehadiran yang

lain. (Asghar Ali, 2000 : 66).

Kalangan ulama merumuskan bahwa hadits dikatakan sahih apabila: tidak

bertentangan dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan al Qur`an, hadis

mutawatir dan ijma`; tidak bertentangan dengan amalan kebiasaan ulama salaf;

tidak bertentang dengan dalil yang sudah pasti; tidak bertentangan dengan hadis

ahad yang kualitas ke-sahih-annya lebih kuat (Syuhudi Ismail, 1995:126). Hadis

tentang keharusan istri untuk sujud menghamba pada suami tidak memenuhi

kreteria diatas, dengan demikian hadis tersebut benar-benar da`if dan tidak dapat

dijadikan sebagai landasan hukum.

Pola relasi suami-istri sebagaimana di atas sampai saat ini masih terjadi.

Misalnya, seorang istri masih tetap rela hati taat dan setia mengabdi pada suami,

tetap tinggal satu rumah meskipun suami melalaikan tanggung jawabnya

(memberi nafkah), melakukan kekerasan fisik dan psikhis, melakukan

pelanggaran syariat (mabuk, judi zina). Kenyataan demikian, apakah berawal dari

pemahaman terhadap hadits-hadits diatas, atau bersumber dari tradisi yang

mengakar kuat di masyarakat, atau bersumber dari ketidakpahaman akan hak dan

kewajiban suami istri yang mengakibatkan ketidakberdayaan perempuan sebagai

istri untuk bersikap

3
Untuk membahas berbagai persoalan di atas penulis akan membedahnya

dalam sebuah skripsi dengan judul “Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara

Doktrin dan Tradisi (Studi Kasus Pada Perempuan di Cabean RT 05 RW 01

Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga)”.

B. Rumusan Masalah

Dengan merujuk pada pembahasan latar belakang di atas, maka yang

menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT

05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga ?

2. Apakah penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01

Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga dilakukan atas

dasar doktrin atau tradisi ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami di

Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota

Salatiga.

2. Untuk mengetahui apakah penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT

05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga atas

dasar doktrin atau tradisi.

D. Kegunaan Penelitian

4
Pelaksanaan penelitian diharapkan akan memberi manfaat, baik secara

teoritik maupun secara praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritik.

Manfaat teoritik dari penulisan skripsi ini adalah menambah wawasan dan

pengetahuan peneliti tentang berbagai persoalan yang berhubungan dengan

pernikahan.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktisnya adalah memberikan tambahan wacana bagi dunia

akademis, masyarakat serta dapat memberikan pencerahan suami-istri dalam

memaknai pernikahan sehingga dapat menjalankan kehidupan berumah

tangga sesuai ajaran Islam.

E. Penegasan Istilah

Untuk lebih mudah memahami judul skripsi di atas, maka ada beberapa

istilah yang perlu penulis jelaskan, yaitu:

1. Penghambaan.

Penghambaan adalah kata kerja dari hamba yang diantaranya

bermakna memperlakukan diri sebagai hamba (Suharso dan Ana

Retnoningsih, 2009: 163). Adapun maksud penghambaan dalam skripsi ini

adalah penghambaan istri terhadap suami, atau istri yang menghambakan

dirinya terhadap suami sebagai upaya mewujudkan tujuan pernikahan

(berumah tangga).

2. Doktrin

5
Doktrin adalah ajaran atau kepercayaan yang bersumber pada nilai

keagamaan atau paham tertentu yang kebenarannya diakui dan dipraktekkan

masyarakat yang meyakininya (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 125).

Adapun maksud doktrin dalam skripsi ini adalah ajaran agama tentang

penghambaan istri terhadap suami yang dipraktekkan dalam berumah tangga.

3. Tradisi

Tradisi adalah norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun

menurun (Suharso dan Ana Retnoningsih, 2009: 583). Maksud tradisi dalam

skripsi adalah norma dan adat kebisaan atau budaya Jawa yang masih

dilakukan masyarakat dalam kaitanya dengan pernikahan dan berumah

tangga, secara lebih khusus penghambaan terhadap suami di wilayah Cabean

RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.

F. Kajian Pustaka

Pembahasan tentang hubungan suami-istri dalam rumah tangga dengan

berbagai variasinya bukan hal yang baru, sebab sudah banyak yang

membahasnya, baik dalam bentuk skripsi maupun buku, diantaranya dapat dilihat

sebagai berikut : Skripsi Ketidakadilan Jender Dalam Rumah Tangga (Studi

Analisis Surat An Nisa` Ayat 34) ditulis oleh Mukhlis Fajar Taufiq STAIN

Salatiga 2005 memberikan kesimpulan diantarnya : Pertama; Gender (kenis

kelamin sosial) peran yang diberikan masyarakat (sitem sosial) kepada laki-laki

dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, peran

tersebut dapat dipertukarkan pada waktu, tempat, serta situasi yang

melingkupinya. Kedua; Konsep keadilan atau kesetaraan jender dalam Islam

adalah : 1) Dimulai dari pernyataan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan

6
dari unsur atau jenis yang sama, sehingga hal ini harus berimplikasi pada

pandangan bahwa laki-laki dan perempuan dari asalnya adalah setara, dan yang

membedakannya (dihadapan Tuhan) kualitas ketaqwaannya dan (antar manusia)

adalah realitas kemanusiaannya, 2) Bahwa manusia laki-laki dan perempuan di

dunia ini adalah sebagai wakil Allah di bumi, sehingga diberi kepercayaan untuk

mengelolanya dengan amalan yang sholeh, maka keduanya harus menjalin kerja

sama, saling melengkapi dan menyempurnakan kekurangan yang lain. 3) Semua

tindakan yang dilakukan, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat

balasan yang setimpal, tanpa membedakan jenis kelamin pelakunya. Ketiga;

Konsep Qowwam dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam rumah

tangga yang terkandung dalam Q.S. An Nisa` : 34. harus dipahami dalam konteks

sosial ayat tersebut diturunkan. Dengan kata lain kepemimpinan dalam rumah

tangga tidak bersifat mutlak atau permanen dengan laki-laki. Siapapun (laki-laki

atau perempuan yang telah dewasa) dapat menjadi pemimpin asalkan mampu

menunjukkan kelebihannya (tentu saja dalam tataran kemanusiaan dan juga

keagamaan – ketaqwaan), seperti mampu memberikan nafkah kepada

keluarganya, mampu memberikan ”pencerahan” baik dalam hal pengetahuan

maupun keagamaan..

Jumiyati dalam sripsi Hak dan Kewajiban Suami Istri (Studi Komperasi

Antara Fiqh dengan Fenomena Kesetaraan Gender) STAIN Salatiga 2005

memberikan kesimpulan diantaranya : pertama, hak suami istri adalah

kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang.

Suami-istri punya kekuasan sendiri-sendiri untuk berbuat sesuatu yang telah

ditentukan undang-undang dan keduanya harus memenuhinya. Kedua,

7
kewajiban suami-istri menurut Islam adalah sesuatu yang dituntut syari’at untuk

dikerjakan oleh suami-istri dalam berkeluarga dengan tujuan mempertahankan

dan mencapai tujuan pernikahan. Ketiga; komparasi antara fiqh dan fenomena

kesetaraan gender dalam hak dan kewajiban suami istri, ada kesamaan dan

perbedaannya. Fiqh menetapkan suami adalah kepala atau pimpinan rumah

tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang harus mengatur rumah tangga

serta mendidik anak-anak yang dilahirkannya. Sedang fenomena sekarang,

perempuan keluar rumah untuk berkarir dan bekerja sebagian adalah untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangga. Namun demikian apabila laki-laki dan

perempuan disamakan dalam mencari nafkah adalah mustahil, sebab nafkah

keluarga adalah kewajiban suami, bila suami tidak ada maka kepemimpinan

dapat diambil alih perempuan sebagai istri.

Fitria Awwalin dalam skripsi Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah

Tangga (Studi Komparatif Terhadap Hukum Islam Dengan UU No. 23 Tahun

2004) STAIN Salatiga 2005, memberikan kesimpulan diantaranya sebagai

berikut : Pertama; Kekerasan terhadap perempuan secara umum dapat diartikan

sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang melanggar, menghambat,

meniadakan kenikmatan dan mengabaikan hak asasi perempuan serta perbuatan

tersebut dapat mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara

fisik, seksual atau psikologis. Termasuk didalamnya ancaman, paksaan atau

perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik dalam kehidupan

individu, berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara. Kedua; bentuk-bentuk

kekerasan terhadap istri dalam lingkup rumah tangga dapat dikatagorikan

menjadi empat macam: kekerasan fisik, kekerasan psikhis, kekerasan seksual dan

8
kekerasan ekonomi. Ketiga; Islam mengecam segala bentuk penindasan,

diskriminasi dan kekerasan baik di lingkup publik (masyarakat) maupun lingkup

domestik (keluarga). Pemahaman yang bias terhadap teks al Qur`an dan Hadis

mengenai masalah di atas dapat dimaklumi mengingat faktor kondisi sosio

kultural yang melatar belakangi pemikiran masyarakat. Oleh karena itu sebuah

rumah tangga harus dibangun dengan prinsip-prinsip antara lain : 1) Prinsip

musyawarah dan demokrasi; 2) Prinsip penciptaan rasa aman, nyaman, dan

tenteram dalam kehidupan keluarga; 3) Prinsip menghindari kekerasan; 4) Prinsip

bahwa hubungan suami istri adalah sebagai patner; 5) Prinsip keadilan. Jika salah

satu dari prinsip di atas tidak dijalankan, maka akan terjadi ketimpangan yang

mengakibatkan kaburnya nilai-nilai manusiwi yang mestinya termanifestasi

dalam keluarga. Keempat; Sepatutnya kita menyambut gembira dengan hadirnya

UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

sebab dengan adanya undang-undang tersebut para korban kekerasan dalam

rumah tangga memiliki payung hukum untuk mendapatkan keadilan ditengah

kentalnya nuansa ideologi patriarkhi. Kelima; Dalam hubungan dengan KDRT,

hukum Islam dan UU KDRT memiliki semangat yang sama. Asas yang

melandasi keduanya adalah penghormatan terhadap martabat manusia,

penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia merdeka kaitanya dengan

hak dan kewajiban suami istri, serta anti kekerasan dan diskriminasi. Sedang

semangat al Qur`an dalam masalah KDRT merupakan paduan dari semangat:

pembebasan (dari kekerasan riil yang dialami perempuan); perlindungan (dari

berbagai bentuk dan pelaku kekerasan); pemberdayaan (dari lingkaran kekerasan

yang selama ini membuat perempuan tidak berdaya); pemulihan (dari perempuan

9
yang dinistakan menjadi individu yang merdeka, terhormat, bermartabat di mata

Tuhan dan Manusia). Sebuah semangat mengarah pada tujuan yang sama, yaitu

penolakan terhadap segala bentuk kekerasan terutama yang mengarah pada

perempuan. Hal ini secara tidak langsung merubah citra Islam, dari agama yang

sangat dekat dengan kekerasan menjadi agama yang peduli pada perempuan

sebagai manusia yang sering mendapat kekerasan karena kondisi yang ”terlanjur”

melemahkan posisi perempuan.

Tiga skripsi di atas umumnya membahas ketidakadilan gender yang

berimplikasi kekerasan terhadap perempuan, baik dari sisi hukum maupun

teologis, namun masih dalam sebatas kerangka teoritis. Sedang dalam skripsi

peneliti yang kajian utamanya penghambaan istri terhadap suami, tidak hanya

membahas kerangka teoritis saja, namun juga mengujinya dalam penelitian

lapangan, yaitu di wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari

Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field

research) dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif,

yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati

(Moleong, 2001:3). Pendekatan ini di digunakan untuk menganalisis

pendapat beberapa perempuan mengenai penghambaan istri terhadap suami.

2. Kehadiran Peneliti

10
Untuk memperoleh berbagai informasi serta menjaga akurasi data

yang diperlukan dalam penelitian ini, maka peneliti hadir langsung

menjumpai dan mewawancarai beberapa orang perempuan di lokasi

penelitian yang telah dipilih sebagai sampel yang ada kompetensinya dengan

penelitian yang kriterianya sudah ditentukan.

3. Lokasi dan Obyek Penelitian

Yang menjadi lokasi penelitian skripsi ini adalah wilayah Cabean RT

05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.

Sedang obyeknya adalah para istri yang kualifikasinya PNS, karyawan,

buruh, dan ibu rumah tangga.

4. Sumber Data

a. Sumber data primer.

Sumber data primer merupakan fakta atau keterangan yang langsung

diperoleh melalui penelitian lapangan yang dalam hal ini diperoleh dari

hasil wawancara dengan perempuan yang memenuhi kualifikasi

penelitian, yaitu PNS, karyawan, buruh, dan ibu rumah tangga di lokasi

penelitian.

b. Sumber data sekunder.

Sumber data sekunder merupakan keterangan-keterangan yang

mendukung data primer yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang

disesuaikan dengan pokok permasalahan dalam penelitian.

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian ini menggunakan

metode sebagai berikut:

11
a. Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah metode penelitian data bersandar pada

dokumen tertulis; buku, agenda, arsip-arip, dan lain-lain (Arikunto, 1998 :

131). Metode ini digunakan untuk mengetahui data otentik tentang latar

belakang pendidikan, pekerjaan perempuan yang menjadi obyek penelitian,

jumlah penduduk, dan kondisi sosial keagamaan.

b. Metode wawancara

Wawancara atau interview adalah proses tanya jawab secara lisan

antara dua orang atau lebih dengan berhadapan secara fisik yang satu dapat

melihat dan yang satu dapat mendengar sendiri (Sutrisno Hadi, 1986 :

136). Wawancara penulis lakukan terhadap perempuan di wilayah Cabean

RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga

yang sesuai dengan kualifikasi penelitaian.

c. Studi Pustaka.

Studi pustaka yaitu mempelajari dan menganalisa berbagai literatur

kepustakaan yang berhubungan dengan pokok persoalan yang dibahas.

Studi kepustakaan ini amat penting karena untuk mempertajam kerangka

teoritik serta analisis terhadap pokok permasalahan.

6. Analisis Data

Dalam menganalisis hasil data yang diperoleh pada penelitian ini

digunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yakni berupa penjelasan kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dari

hasil penelitian (Moleong, 2001 : 3). Pendekatan ini penulis gunakan untuk

12
menganalisis berbagai pendapat perempuan dilokasi penelitian mengenai

penghambaan istri terhadap suami.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Untuk menghindari ketidakakuratan data yang telah diperoleh, peneliti

akan mengkonfirmasikannya terhadap berbagai pihak yang berkaitan. Misal;

mengecek kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Bila ternyata belum

mendapat penjelasan yang tepat bisa dilakukan wawancara ulang terhadap

obyek penelitian.

8. Tahap-tahap Penelitian

Beberapa tahapan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sebagai

berikut:

a. Pemilihan pokok masalah yang menurut penulis menarik, problematis, dan

terjangkau oleh penulis, yakni Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara

Doktrin dan Tradisi (Studi Terhadap Perempuan di Cabean RT 05 RW 01

Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga).

b. Penyususunan proposal penelitian dilanjutkan permohonan ijin penelitian.

c. Studi kepustakaan dan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan pokok

permasalahan dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian.

d. Mengumpulkan data dan pendapat mengenai penghambaan istri terhadap

suami dari perempuan di wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan

Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.

e. Tahap akhir penelitian ini adalah penyusunan laporan hasil penelitian dengan

beberapa analisisnya untuk kemudian diujikan.

13
H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian: bagian awal, bagian

isi, dan bagian akhir. Pada bagian awal skripsi berisi: cover luar, cover dalam,

Lembar pengesahan, Persetujuan pembimbing, Pernyataan keaslian, Lembar

motto, Kata pengantar, Daftar isi, Daftar table.

Pada bagian isi skripsi didalamnya terdiri dari lima bab. Keseluruhannya

dapat dilihat sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan, menguraikan; Latar belakang

masalah; Pokok masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat penelitian; Penjelasan

istilah; Telaah pustaka; Metode penelitian; dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II : Kajian pustaka penghambaan istri terhadap suami antara doktrin

dan tradisi, membahas: Pola relasi suami istri prespektif Islam, dengan sub

bahasan: Pernikahan dalam Islam; Hak dan kewajiban suami istri prespektif

Islam; Pola relasi suami istri prespektif Islam. Pola relasi suami istri dalam

budaya Jawa dengan sub bahasan: Pernikahan dalam tradisi Jawa; Hak dan

kewajiban suami istri dalam tradisi Jawa; Pola relasi suami istri dalam tradisi

Jawa. Pengaruh tradisi pada perilaku suami istri masyarakat Muslim Jawa.

Bab III : Laporan Hasil Penelitian, berisi tentang : Gambaran umum

Lokasi penelitian, Profil penghambaan istri terhadap suami antara doktrin dan

tradisi.

Bab IV : Analisis, yang membahas: Bentuk-bentuk penghambaan istri

terhadap suami; Perbedaan persepsi penghambaan istri terhadap suami;

Mendayung antara doktrin tradisi dan modernitas.

Bab V : Penutup, yang berisi tentang ; Kesimpulan, saran dan penutup.

14
BAB II

PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI

ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

A. Pola Relasi Suami Istri Perspektif Islam

1. Pernikahan Dalam Islam.

Dalam Islam, nikah merupakan salah satu syariat Tuhan yang

dianjurkan untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu

perkumpulan kekeluargaan penuh cinta, kasih sayang dan berkah, yang dalam

Al Qur’an diungkapkan dengan kalimat mawaddah wa ar-rahmah (Q.S. ar

Rum : 31). Dengan nikah, laki-laki maupun perempuan, bisa melaksanakan

apa saja yang sebelumnya dilarang, misalnya hubungan seksual.

Secara literal kata nikah itu berarti ``hubungan seksual``. Sebagai

istilah hukum, kata ini menunjukkan situasi yang diakibatkan dari perjanjian

(aqad) khusus antara pria dan wanita, yang dengan perjanjian ini hubungan

seksual diantara mereka menjadi sah di mata Tuhan dan masyarakat (Murata,

2001: 1). Dengan pernikahan itu pula, laki-laki dan perempuan bisa tinggal

dan hidup bersama sebagai suami istri serta bebas melakukan berbagai

aktifitas untuk mencapai tujuan-tujuan pernikahan.

Tujuan pernikahan tidak hanya sekedar melegalkan hubungan seksual

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, namun memiliki

tujuan-tujuan kemanusiaan yang lebih agung diantaranya sebagai berikut:

a. Membina kehidupan keluarga bahagia sejahtera.


b. Hidup cinta mencinta dan kasih mengasihi.
c. Melanjutkan dan memelihara keturunan umat manusia.
d. Membentengi diri dari perbuatan maksiat atau dengan kata lain
menyalurkan naluri seksual secara halal.

15
e. Membina hubungan kekeluargaan dan mempererat silaturrahmi antar
keluarga (Depag RI, 2004: 1).

Dalam beberapa hadis Rasulullah s.a.w, nikah hanya sebatas anjuran

dan bukan kewajiban, namun anjuran ini bobotnya bisa berubah-ubah. Bisa

anjuran (sunnah) ini menjadi wajib, bisa menjadi makruh, bisa menjadi hukum

asalnya (sunnah), dan bisa pula menjadi wenang (jaiz), tergantung pada situasi

dan kondisi yang melingkupinya. Dalam Bukhori Juz I (1950: 304) Rasulullah

s.a.w. bersabda:

Nikah adalah sunahku (peraturanku), barang siapa tidak suka dengan


sunnahku, maka ia tidak termasuk umatku (H.R. Bukhori).

Asbab al Wurud hadis tersebut adalah adanya keinginan beberapa

sahabat Rasulullah s.a.w. diantaranya Usman ibn Mahdun dan Abdullah ibn

Umar yang mengutarakan keinginannya hidup membujang untuk kemudian

berkhidmat dan beribadah kepada Allah. Mendengar kabar itu, maka

Rasulullah s.a.w. memberikan reaksi diantaranya dengan memberikan

pernyataan sebagaimana termaktub dalam hadis di atas.

Pernikahan pada hakekatnya sangat berhubungan erat dengan

keberlangsungan dan kehormatan kehidupan seseorang, maka sudah

sewajarnya bila banyak mendapat perhatian dari Rasulullah s.a.w. Pernikahan

juga merupakan penyempurna kehidupan dan nilai ibadah seseorang. Oleh

karena itu Nabi memerintah segera menikah terhadap anak-anak muda yang

sudah mampu untuk menikah sebagaiman dapat dilihat dalam sebuah hadis

berikut:

16
Wahai kaum muda, jika diantara kamu sudah ada kesiapan untuk menikah,
maka menikahlah. Karena menikah dapat menundukakan pandanganmu
dan menjaga kehormatanmu (Al Bukhari V, 1950: 4778)

Dari hadis tersebut sudah jelas bahwa menikah bagi mereka yang

memiliki kemampuan dan kesiapan adalah sangat penting serta sangat

dianjurkan sebagai perisai menjaga kehormatan dari berbagai kemungkinan

terseret ke lembah dosa. Bahkan pada hadits sebelumnya secara jelas

ditegaskan “tidak akan dianggap sebagai umat Rasulullah Muhammad s.a.w.”

jika seseorang mengaku Muslim tapi tidak melaksanakan pernikahan, karena

pernikahan salah satu jalan hidup atau way of life yang dilakukan Rasulullah.

Oleh karena itu Syekh Yusuf Qordlowi (1990: 233) ketika membahas

pernikahan dalam Islam lebih khusus terhadap keinginan untuk membujang

memberikan penjelasan diantaranya sebagai berikut:

Seorang Muslim tidak diperkenankan menentang perkawinan dengan


anggapan bahwa hidup membujang itu lebih baik demi mengabdi kepada
Allah, sementara dia mampu melakukan perkawinan itu; atau dengan
alasan untuk total mencurahkan hidupnya semata untuk beribadah dan
memutuskan hubungan dengan urusan duniawinya. Menentang
perkawinan adalah pengaruh `kerahiban` (tradisi kependitaan yang tidak
diperbolehkan menikah).,... Sikap semacam ini adalah menentang ajaran
Islam dan menyimpang dari Sunnah Nabi.
Seorang Muslim tidak diperkenankan menghalang-halangi dengan

mengkondisikan diri agar tidak melakukan pernikahan karena alasan

ekonomi. Kehawatiran ini hanya bisa dijawab dengan senantiasa berikhtiar

mengejar anugerah Allah yang telah dijanjikan terhadap orang-orang yang

melakukan pernikahan. Janji itu sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. An Nur

: 32:

Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-


orang yang layak (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
17
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya, dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Ayat tersebut juga mengandung maksud agar kita membantu laki-laki

yang belum nikah atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar

mereka dapat menikah. Ini juga bermakna bahwa pernikahan bukan hanya

tanggung jawab pribadi pelaku atau orang tua saja, namun juga menjadi

tanggung jawab sosial masyarakat. Berbagai kekhawatiran akan kesulitan

setelah melaksanakan pernikahan tidak seharusnya terjadi, sebab janji dan

pertolongan Allah itu adalah pasti.

2. Hak dan Kewajiban Suami Istri Perspektif Islam.

Sebagai konsekuensi hukum dari pernikahan adalah adanya hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami istri. Kewajiban suami terhadap

istri adalah hak bagi istri, begitu juga sebaliknya, kewajiban istri terhadap

suami adalah hak bagi suami. Syarifuddin (2001: 160) mendiskripsikan hak

dan kewajiban sumai istri sebagai berikut: Kewajiban suami terhadap istri,

yang merupakan hak istri dari suami; Kewajiban istri terhadap suami, yang

merupakan hak suami dari istri; Hak bersama bagi suami istri; Kewajiban

bersama suami istri. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut:

a. Kewajiban suami terhadap istri.

Kewajiban suami yang merupakan hak bagi istri dapat dibagi

menjadi dua bagian, yaitu:

1) Kewajiban kebendaan. berupa mahar (mas kawin) dan nafkah.

Kewajiban kebendaan yang wajib diberikan suami adalah

mahar dan nafkah. Mahar atau mas kawin adalah ”pemberian

18
mempelai laki-laki kepada pengantin perempuan berupa barang atau

barang ketika dilangsungkan akad nikah” (Suharso dan Ana

Retnoningsih, 2009:303). Jumlah mahar tidak ditentukan, tetapi sesuai

kesepakatan atau kemampuan mempelai laki-laki, dan hukumnya

wajib. Sedang nafkah menurut Husein Muhammad( 2002:110) adalah

”pengeluaran seseorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung

jawabnya”, atau belanja untuk keperluan makan yang mencakup

sembilan bahan pokok, pakaian, dan papan atau yang dalam bahasa

sehari-hari disebut sandang, pangan, dan papan.

Kewajiban memberi nafkah diantaranya ditegaskan dalam al

Qur`an sebagai berikut :

Hendaklah orang (suami) yang mampu memberikan nafkah


menurut kemampuannya. Dan orang-orang yang disempitkan
rizkinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya (Q.S. at Thalaq: 7).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam at-Turmudzi, Rasulullah

juga bersabda:

Bersabda Rasulullah s.a.w.: Ketahuilah (hai para suami), hak-hak


mereka (para istri) atas kamu adalah memberikan kepada mereka
makanan dan pakaian secara ma`ruf. (at Turmudzi III, 1960:467).

2) Hak bukan kebendaan.

Hak bukan kebendaan yang wajib diberikan suami terhadap

istri adalah ”menggauli istri secara baik dan patut; menjaga dari

segala sesuatu yang memungkinkan melibatkan istri pada suatu


19
perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa suatu kesulitan dan mara

bahaya” (Syarifuddin, 2001:160-161).

Berhubungan dengan beberapa kewajiban tersebut al Qur`an

menegaskan:

Pergaulilah mereka (istri-istrimu) secara baik, kemudian jika kamu


tidak menyukai mereka,( bersabarlah) karena kamu mungkin tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak (Q.S. An Nisa` : 19).
b. Kewajiban istri terhadap suami.

Kewajiban istri terhadap suami yang merupakan hak bagi suami

secara rinci dijelaskan oleh Syarifuddin (2001:162-163) sebagai berikut:

1) Menggauli suami secara layak sesuai dengan kodratnya.


2) Memberi rasa tenang dalam rumah tangga suami, dan memberi cinta
kasih sayang kepada suami dalam batas-batas kemampuannya.
3) Taat dan patuh kepada suami selama suami tidak menyuruh untuk
melakukan maksiat.
4) Menjaga diri dan menjaga harta suami bila suami sedang tidak berada
di rumah.
5) Menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak disenangi suami.
6) Tidak memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara
yang tidak enak didengar.

Dalam hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah, menjawab

pertanyaan sahabat Nabi menegaskan:

Nabi ditanya: Ya Rasulullah, perempuan mana yang lebih baik?. Nabi


berkata: “Bila suami memandangnya, ia menyenangkan suaminya, bila
suami menyuruhnya, ia memenuhinya, ia tidak menyalahi suaminya
tentang diri dan hartanya tentang sesuatu yang tidak disenanginya”.

c. Hak bersama bagi suami istri.

20
Hak bersama suami istri adalah hak bersama secara timbal balik

dari pasangan suami istri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu

adalah:

1) Halal bergaul antara suami istri dan masing-masing dapat bersenang –


senang satu sama lain.
2) Terjadinya hubungan mahrom, istri menjadi mahrom ayah suami,
kakek dan seterusnya ke atas. Demikian pula suami menjadi mahrom
ibu istri, nenek dan seterusnya ke atas. Bisa pula disebut mushaharah.
3) Terjadinya hubungan waris mewarisi. Pihak istri berhak mewarisi
suami bila terjadi kematian, begitu pula sebaliknya. (Basyir, 1995:
49).
4) Berlakunya nasab anak yang dibuahkan dari pernikahan tersebut.
5) Saling bergaul secara baik, maka suami-istri wajib memperlakukan
pasangannya dengan ma`ruf sehingga tercipta kebersamaan dalam
naungan kedamaian (Hamid Kisyik, tt: 123).

d. Kewajiban bersama suami istri.

Sedang kewajiban keduanya secara bersama dengan telah

terjadinya pernikahan itu adalah:

1) Memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan.

2) Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

warahmah

Dalam konteks Indonesia, Hak dan Kewajiban suami istri diatur secara

tuntas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang materinya secara esensial sejalan dengan apa yang

digariskan dalam Fiqh Munakahat. Beberapa pasal dalam undang-undang

tersebut diantaranya menegaskan sebagai berikut: Pasal 31: (1) Hak dan

kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam

rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.; (2) Masing-

masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum; (3) Suami adalah kepala

keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.

21
Pada pasal 33 menegaskan: “Suami istri wajib saling cinta mencintai,

hormat menghormati, setia, dan memberikan bantuan lahir batin yang satu pada

yang lain”. Pada pasal 34 juga ditesaskan: (1) Suami wajib melindungi istri

dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan

kemampuannya; (2) Istri wajib mengatur rumah tangga yang sebaik-baiknya;

(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat

melakukan gugatan hukum kepada pengadilan.

Berbagai aturan idealistik, baik yang bersumber pada kitab suci, sabda

Nabi, serta perundang-undangan sebagaimana telah dijabarkan di atas, pada

hakekatnya adalah ikhtiar untuk menjembatani agar berbagai tujuan pernikahan

dapat terwujud. Namun demikian, membangun kesadaran akan pemahaman

hakekat pernikahan bagi suami istri secara substansial adalah lebih penting.

3. Pola Relasi Suami Istri Perspektif Islam

Nilai-nilai fundamental yang dikedepankan Islam adalah keadilan,

keseimbangan dan persamaan, yakni persamaan dalam semua wilayah,

termasuk wilayah seksual (Asghar Ali, 1999:17). Nilai-nilai tersebut juga

merupakan bagian dari doktrin Islam dalam pola relasi antara laki-laki dan

perempuan yang banyak disebutkan dalam al Qur`an. Oleh karena itu maka

Islam menjunjung tinggi dan memuliakan kedudukan laki-laki dan perempuan

dalam posisi seimbang (equal), baik dalam urusan rumah tangga maupun dalam

wilayah sosial kemasyarakatan.

Bila diperinci, pola relasi suami-istri ideal menurut Al Qur`an adalah

pola relasi yang didasarkan pada; Mu`asyarah bi al-ma`ruf (pergaulan suami

istri yang baik) (Q.S. an-Nisa` : 19), Sakinah, Mawaddah wa Rahmah

22
(ketenteraman, cinta dan kasih sayang) (Q.S. ar-Rum: 21), keseimbangan hak

dan kewajiban (Q.S. al-Baqarah: 228).

Ayat-ayat di atas memberi pengertian bahwa Tuhan menghendaki

perkawinan dan relasi suami-istri berjalan dalam pola interaksi yang harmonis,

suasana hati yang damai, serta keseimbangan hak dan kewajiban. Dengan kata

lain, dapatlah dikatakan bahwa Mu`asyarah bi al-ma`ruf, Sakinah Mawaddah

wa Rahmah, keseimbangan hak dan kewajiban merupakan landasan moral

yang harus dijadikan acuan dalam semua hal yang menyangkut hubungan

suami istri.

Pada Q.S. al Baqarah : 187, al Qur`an juga memberi penjelasan ”mereka

adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka” . Terhadap

ayat tersebut Asghar Ali (2000:66) memberikan komentar:

Pada ayat tersebut al Qur`an menggunakan metafor pakaian (libas),


sebagaimana pakaian maka saling membutuhkan dan yang satu tidak dapat
sempurna tanpa kehadiran yang lain atau keduanya saling melengkapi. Ini
bermakna pula bahwa eksistensi kemanusiaan dari dua jenis kelamin itu -
laki-laki dan perempuan – tidak ada yang saling mendominasi.

Dalam konteks ibadah, kesetaraan laki-laki dan perempuan juga

mendapat jaminan dalam al Qur`an diantaranya bisa dilihat dalam Q.S. al

Ahzab : 35 yang artinya:

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan


perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

23
Mengomentari ayat di atas, Abdullah Yusuf Ali seorang mufassir modern

sebagaimana dikutip Dzuhayati, dkk, (2002:56-57) meberikan penjelasan

sebagai berikut:

Sejumlah kewajiban seorang muslim dalam ayat ini diuraikan, tetapi


tekanan utamanya terletak pada kenyataan bahwa semua kebajikan sangat
diperlukan bagi laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban keduanya
dalam arti rohani dan kemanusiaan, tingkatannya sama, dan pahalnya di
akhirat, yakni kebahagiaan rohani diberikan kepada mereka masing-masing
sama. Nilai-nilai yang disebutkan ialah: (1) keimanan, harapan dan tawakal
kepada Allah serta pengaturan`Nya yang baik atas dunia ini; (2) berbakti
dan beribadah dalam kehidupan sehari-hari; (3) cinta dan berlaku jujur
dalam pikiran dan dalam hati, dalam kata-kata dan perbuatan; (4) sabar dan
tabah dalam penderitaan dan dalam berusaha yang benar; (5) rendah hati,
menjauhi sikap sombong dan merasa diri lebih tinggi; (6) bersedekah, yaitu
membantu orang miskin yang mengalami kemalangan; (7) mengorbankan
kepentingan sendiri; (8) kehidupan seks yang bersih, bersih dalam hati,
pikiran, kata dan perbuatan; (9) selalu memperhatikan ajaran agama serta
menanmkan rasa rindu ingin lebih dekat dengan Allah.

Dalam sebuah riwayat hadis diceritakan pada suatu saat Rasulullah

bersabda: ”janganlah kamu pukul istri-istrimu”. Kemudian Umar datang pada

Rasulullah dan berkata: ”Istri-istri kami merasa di atas kami kalau mendengar

hal ini”. Dia juga mengklaim bahwa suku Quraisy (suku Rasulullah) selalu

menguasai perempuan, dan orang Anshar (orang-orang Madinah) selalu

dikuasai oleh perempuan. Oleh karena itu Rasulullah setuju untuk

mempertahankan adat sosial Arab agar tidak berubah. Namun demikian,

sejumlah perempuan berkumpul di sekitar keluarga nabi dan mereka mengadu

tentang para suami mereka. Kemudian Nabi berkata: ”Sungguh banyak

perempuan berkumpul disini, di rumahku, mengadu tentang suami mereka, dan

laki-laki yang memukul istri mereka adalah tidak baik. Tidaklah dijalanku

orang yang mengajarkan seorang perempuan untuk berada di jalan yang sesat”

(Asghar Ali, 1999:48).

24
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa

Nabi s.a.w. juga bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap

lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu

menggaulinya pada hari yang sama” (Ibn ‘Arabi, Juz I: 420). Imam Ali bin Abi

Thalib ra. juga menyatakan: “Hanya laki-laki mulia yang akan memuliakan

perempuan, dan hanya laki-laki hina yang akan menghinakan perempuan”

(Depag RI, 2004: 137).

Pada tataran implementasi, perintah Al Qur`an ini telah dipraktekkan

tanpa basa-basi oleh Rasulullah s.aw. Dalam sebuah hadis, Aswad meminta

Aisyah r.a. untuk menjelaskan perilaku Rasulullah ketika sedang bersama

istrinya, maka Aisyah menjawab: “Ia berada dalam tugas keluarganya

(istrinya), yakni membantu pekerjaan istrinya, sampai ketika tiba waktu shalat

beliau keluar untuk shalat” (Bukhari, juz V, 1987: 143).

Aisyah r.a. memerinci pekerjaan Rasulullah ketika di rumah. Beliau

menjahit baju dan sandal, memerah susu kambing, melayani dirinya sendiri,

serta melakukan pekerjaan rumah yang umumnya dilakukan pria. Riwayat ini

menjadi bukti bahwa sebagai pemimpin besar, Rasulullah tidak ragu

mengerjakan tugas-tugas domestik yang sering distereotipkan sebagai

pekerjaan perempuan. Ibnu Hajar al Asqolani menggaris bawahi hadis ini

mengandung motivasi kepada para suami untuk bersikap rendah hati

(tawadhu`), tidak arogan, dan mau membantu pekerjaan-pekerjaan istri dalam

rumah tangga.

25
Rasulullah juga memberi kriteria bahwa suami ideal adalah yang

bersikap paling baik kepada istri dan keluarganya, seperti tertera dalam hadis

berikut ini:

Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku
(nabi) adalah orang yang paling baik terhadap istri (H.R. Turmudzi).

Beberapa kutipan ayat al Quran serta hadis di atas merupakan contoh

dan ilustrasi tentang pola hubungan suami istri yang telah dipraktekkan

Rasulullah. Dengan setting budaya Arab yang sangat patriarkhis, apa yang

dilakukan dan disarankan Rasulullah adalah suatu yang revolosioner dan cukup

aneh saat itu, sehingga banyak mendapat perlawanan dan penolakan. Dengan

prinsip Mu`asyarah bi al-ma`ruf, Sakinah Mawaddah wa Rahmah, Rasulullah

telah membuktikan bahwa hanya dengan hubungan yang baik dan cara pandang

yang positiflah sebuah keluarga akan mendapatkan kehidupan yang dicita-

citakan. Ini berarti bahwa semua bentuk kekerasan, baik fisik, psikhis, seksual

maupun ekonomi sama sekali tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan

prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian pola hubungan suami istri yang

dibangun atas dasar penghambaan adalah merusak sendi-sendi kemanusiaan,

maka tidak dibenarkan oleh Islam.

B. Pola Relasi Suami Istri Prepektif Budaya Jawa

1. Pernikahan Dalam Tradisi Jawa

Masyarakat Jawa dalam melakukan penilaian terhadap segala sesuatu,

tidak hanya terbatas pada yang nampak saja, tetapi ia akan masuk lebih

mendalam pada dataran essensi atau hakekat sehingga terkesan rumit, tak

26
terkecuali dalam hal pernikahan. Bagi masyarakat Jawa, sebagaimana

dijelaskan oleh Herman A. Ardiansyah:

Pernikahan adalah wujud pelaksanaan sabda dan kodrat Tuhan kepada


manusia untuk berkembang biak, bermakna sakral dan berhubungan dengan
penciptaan manusia baru oleh Tuhan. Pernikahan bukan sekedar urusan
legitimasi sosial yang pijakannya memberi payung hukum masalah
kebirahian (hubungan seks), tetapi lebih mendalam kepada tingkat
pemahaman keber-Tuhan-an, yaitu kesadaran tentang bagaimana manusia
diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan
bagaimana manusia yang menyatakan beradab menyikapi penciptaan itu
(http:/budayaluhur.blogspot.com./2009/09/hakekatperkawinanmenurutjawa
).

Penjelasan di atas sesungguhnya berkait erat dengan falsafah kodrat

iradat Tuhan menyangkut tiga tahapan kehidupan manusia yaitu metu, manten,

dan mati. Metu berarti lahir di mana dalam kelahiran ini dipandang sebagai

takdir. Manten berarti menikah yang menandakan bahwa seorang laki-laki dan

seorang perempuan setuju untuk menggabungkan, memadu, serta menyerasikan

tanggung jawab dan kewajiban masing-masing menjadi sebuah kesatuan yang

harmonis, yaitu dalam kehidupan berkeluarga dan berumahtangga. Menikah

merupakan upaya untuk memulai tahapan memayu wahyuning bumi atau

hamemayu hayuning bawana. Mati berarti akhir kehidupan manusia dan

kembali kepada Sang Pencipta.

Dalam memilih jodoh masyarakat Jawa juga memiliki rambu-rambu

budaya yang harus diperhatikan terutama laki-laki ketika hendak memilih istri

populer dengan istilah bobot, bibit, bebet, penjelasan singkatnya adalah :

Bobot artinya bahwa wanita harus diketahui asal-usul orang tuanya. Bebet,
maksudnya apakah orang tua calon pengantin perempuan berharta dan
masih banyak memiliki keberuntungan. Sedang Bibit, dilihat dari
perempuan itu sendiri, yang bersangkutan adalah perempuan cantik,
memiliki kepandaian, dan berketurunan Bobot, bibit, bebet, juga menjadi
rujukan ketika seorang perempuan hendak menerima laki-laki sebagai
suaminya (Sukri dan Ridin Sofyan, 2001:51-52)

27
Untuk menghindari kekecewaan, kebudayaan Jawa juga memberikan

rambu-rambu pernikahan yang jauh dari nilai meterilisme, nilainya sangat

mendalam dan bermakna spiritulal, sebagaimana dijelaskan Afendy Widayat,

(2014:6) sebagai berikut:

Gegarane wong akrami dudu bandha dudu rupo, amung ati pawitane, luput
pisan kena pisan, yen angel, angel kelangkung tan kena tinumbas arta:
Rambu rambu pernikahan bukan soal harta dan wajah, hanyalah hati yang
menjadi modal pertimbangannya, benar-salah hanya sekali, jika telanjur
sulit, maka sulitnya luar biasa, tak bisa dibeli dengan harta.
Hati dalam rambu-rambu di atas bukanlah hati fisik, tetapi mengarah
pada penggalih atau manah, yaitu pemikiran dan perenungan mendalam
atas dasar eneng (tenang dalam berpikir tanpa adanya campur tangan
perasaan dan nafsu); ening (bening dan jernih tanpa prasangka buruk dan
dugaan), awas (teliti dan waspada dan melihat, mengetahui dan
menimbang); dan eling (bahwa semua akan terwujud atau terjadi atas
kehendak Illahi).

Dengan didasari nilai bobot, bibit, bebet, disertai laku batin yang eneng,

ening, awas dan, eling, diikuti serangkaian panjang ritual pernikahan, mulai

dari melamar, nontoni, peningsetan, asok tukon, midodareni, siraman, nyantri,

ijab kobul, temu penganten dan serangkaian ritual lainnya, bagi masyarakat

Jawa adalah bagian dari ikhtiar agar pernikahan diberkahi dan abadi.

2. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Tradisi Jawa.

a. Hak dan Kewajiban Suami Dalam Tradisi Jawa.

Dalam budaya Jawa, kewajiban suami terhadap istri serta anggota

keluarganya sesungguhnya sangat berat, karena berbagai persoalan yang

berhubungan dengan wilayah publik (luar rumah) harus dimengerti dan

dipahami. Laki-laki Jawa sebagai suami seakan digiring untuk menjadi

superior, hal ini dapat dilihat dari kewajiban suami sebagaimana

28
didiskripsikan Endraswati (2003:69) adalah angayani, angomahi, angayomi,

angayemi, dan angatmajani. Penjelasan singkatnya sebagai berikut :

1) Angayani (memberi nafkah lahir dan batin).

Angayani berasal dari kata kaya berarti harta (kekayaan). Suami

wajib memberikan nafkah kepada istri berupa sandang-pangan, serta

kebutuhan lain yang dianggap perlu. Pemenuhan kebutuhan rumah tangga

ini menjadi tanggung jawab suami karena suami dalam tradisi Jawa

dikategorikan sebagai seorang yang aktif (manah-memanah) memburu

dan mencari segala sesuatu yang dibutuhkan dalam berumah tangga.

2) Angomahi (membangun rumah tempat tinggal keluarga).

Kewajiban lain bagi seorang suami dalam adalah menyediakan

rumah atau bale wismo untuk tempat tinggal keluarga. Karena dalam

tradisi Jawa suami adalah pengambil keputusan, maka lokasi, biaya,

tempat dan wilayah dimana rumah itu dibangun, semuanya menjadi hak

dan kewajiban suami, dan suamilah yang menentukan.

3) Angayomi dan angayemi.

Angayomi adalah kewajiban suami untuk menjadi pengayom dan

membimbing keluarga. Sedang angayemi adalah kewajiban suami untuk

menjaga kondisi keluarga menjadi aman tentram dan bebas dari ganguan.

Suami sebagaimana layaknya pemimpin, ia bertugas memimpin rumah

tangganya dalam berbagai aspek kehidupan, ia wajib mengawasi,

melindungi, mengajari dan memberi wawasan toto kromo baik-buruk.

Angayomi dan angayemi tidak diamanahkan kepada istri karena dianggap

kurang memiliki kecakapan dan wawasan sebagaiamana dimiliki suami.

29
4) Angatmajani (mampu menurunkan bibit unggul)

Tugas dan kewajiban angatmajani diantaranya diwujudkn ketika

hendak memilih istri dengan mempertimbangkan bibit (keturunan), bobot

(kekayaan), bebet (kedudukan). Ketiga hal tersebut harus benar-benar

diperhitungkan dan merupakan hak serta kewajiban yang harus dipenuhi

suami, karena keturunan menjadi hal istimewa bagi keluarga sebab akan

melanjutkan sejarah orang tua.

Kesanggupan untuk angayani, angomahi, angayomi dan angayemi,

serta angatmajani, adalah karakteristik suami baik, dan menjadi idaman bagi

perempuan Jawa. Namun demikian banyak laki-laki yang tidak sanggup

melakukan tugas dan kewajiban tersebut secara sempurna. Untuk menuju

kesempurnaan suami, adalah tugas istri, sebab istri dalam tradisi Jawa

bermakna pendorong, yakni pendorong ketika suami dalam keadaan lemah.

b. Hak dan Kewajiban Istri Dalam Tradisi Jawa.

Membahas hak dan kewajiban istri dalam tradisi Jawa tidak dapat

dipisahkan dari pengertian perempuan dalam tradisi Jawa diantaranya

menyebut perempuan dengan istilah; wadon, wanito, estri, putri, retno,

kusumo, juwito, dayito, memanis (Basuki, 2005:5). Sebagian istilah tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Wadon. Kata wadon berasal dari bahasa Kawi yakni wadu yang secara

harfiah bermakna kawula atau abdi. Istilah ini sering diartikan bahwa

perempuan ditakdirkan menjadi “abdi” (pelayan) sang guru laki (suami).

2) Wanito. Kata wanito tersusun dari dua kata, yaitu wani (berani) dan ditata

(diatur), artinya adalah sosok yang berani ditata dan diatur. Dalam
30
kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu

mengusahakan keadaan tertata, untuk itu pula dia harus menjadi sosok

yang berani ditata.

3) Estri. Kata estri berasal dari bahasa Kawi yakni estren yang berarti

penjurung, pendorong atau pendukung. Dari kata estren terbentuklah kata

hangestreni yang berarti mendorong. Dari sini dapat kita ketahui bahwa

seorang istri harus mampu memberi dorongan kepada suami, lebih-lebih

suami dalam keadaan sangat melemah.

4) Putri, berarti anak perempuan. Dalam tradisi Jawa, kata ini sering

dikatakan sebagai singkatan putus tri (gugurnya tiga perkara), yakni

perempuan dalam kedudukannya sebagai putri dituntut untuk

menjalankan kewajibannya, baik sebagai wadon, wanito maupun istri.

(Cristina S. Handayani, Andrian Novianto, 2004 : 24).

Konsep perempuan Jawa lainnya tertuang dalam Serat Candrarini yang

dirinci A.P Murniati dalam Budi Santoso (2000:24) sebagai berikut: Setia pada

suami; Rela dimadu; Mencintai sesama; Trampil pada pekerjaan perempuan;

Pandai berdandan dan merawat diri; Sederhana; Pandai melayani kehendak

suami; Menaruh perhatian pada mertua; Gemar membaca buku-buku nasihat.

Dalam Serat Centini, sebagaimana dikutip Bina Swadaya (No.7 th. iv,

Februari 1996: 6) dijelaskan sebagai berikut:

Dalam budaya Jawa perempuan ideal digambarkan dengan lima jari tangan.
Ibarat jempol, mereka harus pol, sepenuhnya mengabdi pada suami. Ibarat
telunjuk, mereka harus patuh pada petunjuk dan perintah suami. Ibarat
panunggul (jari tengah), mereka harus mengunggulkan suami, menghargai
hasil kerjanya, betapapun sedikit dan tak berarti. Ibarat jari manis, mereka
harus selalu bersikap manis terhadap suami, apapun rasa dihati. Ibarat
jentik (kelingking), mereka harus othak-athik, hati-hati dan teliti, serta rajin
dan terampil dalam melayani dan menjalankan tugas dari suami

31
Sedangkan sikap perempuan setelah menjadi istri dalam hubungan

dengan suami dan keluarga tercermin dalam sikap diantaranya sebagai berikut:

a. Gemi (hemat), maksudnya seorang istri harus menjaga harta suami dengan

baik dan tidak digunakan dengan berlebih-lebihan. Harta suami benar-benar

digunakan untuk hal-hal penting dan bermanfaat.

b. Gemati (kasih), maksudnya seorang istri harus menjaga terhadap apa yang

disenangi suami, baik yang ada pada diri istri maupun aksesoris dalam

rumah tangga. Penuh kasih sayang sepanjang waktu, baik terhadap suami

maupun anak keturunan yang dilahirkan. Pandai mengolah rasa dalam

berbagai situasi sebagai upaya menjaga harmoni keluarga.

c. Wedi (takut), yakni seorang istri harus pasrah menyerah dan jangan suka

mencela suaminya, serta menuruti perintah suami dengan sepenuh hati

(Suhanjati Sukri dan Ridin Sofwan, 2001: 49).

Dalam masyarakat Jawa ada istilah lain untuk istri, yaitu konco

wingking (teman belakang) yang batas wilayah aktifitasnya terangkai dalam

Tiga M, yaitu: Macak (berhias untuk menyenangkan suami); Manak

(melahirkan anak); Masak (menyiapkan makanan untuk keluarga). Selain Tiga

M, idiom lain dari aktifitas perempuan sebagai istri populer dengan Lima ah,

yaitu Omah-omah (kawin, berkeluarga), Momong bocah (mengasuh anak),

Umbah-umbah (mencuci pakaian), Olah-olah (memasak), Isah-isah (mencuci

piring). Karena konco wingking, maka wilayahnya ada di dapur (memasak), di

sumur (mencuci), dan di kasur (melayani kebutuhan biologis suami).

Hak dan kewajiban istri di atas, adalah sebagian kecil dari gambaran

peran perempuan Jawa sebagaimana ditulis para pujangga keraton dalam karya-

32
karya sastra mereka, misal Serat Centhini dan Serat Condrorini. Hal ini

menunjukkan bahwa perempuan telah ditempatkan sedemikian rupa sehingga

berbeda dengan peran dan kedudukan kaum laki-laki. Kesanggupan perempuan

untuk menjadi pendorong dan pendukung suami adalah bukti bahwa

perempuan Jawa adalah perempuan penguasa dan perkasa, sebab pada

hakekatnya hanya yang kuasa dan perkasalah yang sanggup memberi dorongan

dan dukungan.

3. Pola Relasi Suami Istri Dalam Budaya Jawa

Pola pembagian kerja dalam rumah tangga tradisional pada umumnya

didasarkan atas jenis kelamin, yaitu laki-laki bertugas sebagai pencari nafkah

dan berorientasi keluar rumah, sedangkan perempuan mengasuh anak,

menyiapkan segala kepentingan keluarga, dan berorientasi ke dalam rumah

(Siti Partini, 2001: 33). Pola pembagian kerja demikian terjadi pada masyarakat

Jawa sehingga menggiring pola hubungan keluarga pada masyarakat Jawa

bersifat patriarkhis.

Dalam penjelasan Zuhayatin (2002: 9) patriarkhis adalah budaya yang

berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-

anak. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga, harta dan

sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan. Dalam relasi sosial,

superioritas laki-laki juga mengendalikan norma dan hukum kepantasan secara

sepihak. Dalam sejarah patriarkhi, perempuan dipandang sebagai makhluk

inferior, emosional dan kurang akalnya

Muhajir Darwin dalam paparanya tentang Makulinitas: Posisi Laki-laki

dalam Masyarakat Patriarkhis (2001: 23) juga memberi penjelasan:

33
Dalam imajinasi orang Jawa, lelaki ideal adalah yang memiliki benggol
(uang) dan bonggol (kejantanan seksual). Lalu, dimana posisi perempuan ?
Ia adalah milik laki-laki, sejajar dengan bondo (harta), griyo (istana,
rumah), turonggo (kendaraan), kukilo (burung, binatang piaraan, bunyi-
bunyian), dan pusoko (senjata, kesaktian)...., Presiden I RI , Soekarno,
adalah sosok lelaki ideal dalam imajinasi orang jawa: lelananging jagad
yang sakti, tampan, dan banyak istri, seperti Arjuna, tokoh Pandawa dalam
cerita pewayangan, yang selalu menang dalam medan perang, dan selalu
memenangkan hati setiap dewi.
Beberapa nilai yang menggiring perempuan pada situasi inferior, dalam

analisis Sri Suhanjati Sukri dan Ridin Sofyan dalam Perempuan dan

Seksualitas Dalam Tradisi Jawa (2001: 89-94) bertitik tolak dari anggapan dan

gambaran perempuan Jawa sebagai berikut: Pertama, secara kodrati perempuan

adalah makhluk lemah jika dibandingkan laki-laki. Kelemahan perempuan bisa

dilihat dari dua sisi, fisik dan psikis. Perbedaan itu membias pada relasi gender.

Perbedaan anatomi biologis dianggap berpengaruh pada perkembangan

emosional dan kapasitas intelektual antara keduanya. Misalnya perempuan

lebih emosional, sulit mengembangkan emosi, mudah terpengaruh, mudah

goyah menghadapi krisis, kurang kompetitif, kurang logis, berorientasi ke

rumah, kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia, berperasaan,

mudah tersinggung, sulit mengatasi persoalan, lebih sering menangis, tidak

umum tampil sebagai pemimpin, kurang ambisius. Sedang laki-laki memiliki

sifat agresif, tidak emosional, dapat menyembunyikan emosi, lebih obyektif,

tidak mudah terpengaruh, lebih aktif, kompetitif, suka berpetualang, tidak

mudah tersinggung, pada umumnya tampil sebagai pemimpin, lebih ambisius,

dan pemikiran lebih unggul.

Kedua, karena perempuan dipandang sebagai makhluk lemah maka

perlu mendapat perlindungan laki-laki, nasib perempuan sebagai istri

tergantung pula pada suami. Ungkapan Jawa mengatakan swargo nunut neroko

34
katut. Swarga adalah lambang dari kehidupan dunia maupun akhirat yang

menunjukkan kebahagiaan, ketenangan, ketentraman, dan kesejahteraan.

Sebaliknya, neraka adalah lambang dari kehidupan dunia maupun akhirat yang

menunjukkan penderitaan, ketidaktenteraman, dan penuh kesengsaraan. Dalam

hal ini, kebahagian dan kesengsaraan kehidupan perempuan sebagai istri

tergantung pada kebahagiaan dan kesengsaraan suami sehingga perempuan

seakan-akan tidak mempunyai daya untuk menentukan nasibnya berdasarkan

pilihan hasil usaha sendiri. Karena itu, perempuan harus menunjukkan sikap

bekti dan hormat; dalam arti menaati, menghargai, serta melayani segala

kebutuhan suami.

Ketiga, perempuan diciptakan dari bagian tubuh laki-laki. Pandangan

tersebut berasal dari kisah penciptaan perempuan yang pertama yakni Hawa

yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Terlepas dari

kebenarannya, kisah tersebut telah menanamkan sikap superioritas laki-laki

terhadap perempuan. Karena laki-laki harus menjadi pembimbing, pemimpin

atas segala tindakan istrinya. Laki-laki menjadi tolok ukur segala sesuatu,

perempuan dinilai memiliki kekuasaan yang rendah dibanding dengan laki-laki.

Kisah penciptaan itu cenderung mengesankan bahwa perempuan merupakan

makhluk nomor dua. Kisah itu akhirnya diterima begitu saja oleh perempuan

yang rela menerima kenyataan bahwa dirinya merupakan subordinat laki-laki

dan tidak layak sejajar dengan laki-laki.

Keempat, perempuan diciptakan untuk berbakti kepada laki-laki

(suami). Tugas perempuan adalah melayani kebutuhan laki-laki, khususnya

kebutuhan seks. Oleh karena itu, perempuan ditempatkan sebagai obyek

35
seksual sehingga tidak mengherankan kalau raja Jawa masa lalu memiliki

banyak selir. Namun anehnya bagi perempuan itu sendiri, seolah-olah menjadi

merupakan kebanggaan jika diperistri dan dimadu oleh pangeran atau raja.

Dengan demikian, perempuan Jawa sendirilah yang mendukung budaya represi

dengan merasa tidak aman jika tidak didampingi laki-laki. Mereka seakan-akan

menikmati, bukan karena ketidakberdayaan, melainkan karena merasa

diuntungkan. Dengan modal kecantikan, perempuan akan dapat dengan mudah

menggaet dan memperoleh keuntungan dari laki-laki berpangkat dan berduit

sehingga posisi sebagai obyek seksualitas tidak harus dilawan.

Sebagai obyek seksual, perempuan ideal digambarkan sebagai

perempuan yang cantik, bertubuh molek, lemah gemulai, sumeh, dan prasojo.

Dalam Serat Condrorini, perempuan ideal digambarkan, jika rela dimadu,

pandai memasak, pintar berhias dan mahir melayani suami. Bagian tubuh

perempuan yang dapat menarik rangsangan sek dilukiskan sedemikian rupa

sebagai sesuatu yang ideal. Dalam Serat Panitisastra misalnya, bahwa untuk

menjadi ideal, perempuan harus tan kyan gemuhing kang payudara kalih /

ingema neng papreman: perempuan hanya berarti jika memiliki payudara sintal

yang bisa ditimang-timang ditempat tidur.

Kelima, kedudukan perempuan semata-mata dipandang sebagai alat

reproduksi. Artinya, perempuan hanya berfungsi sebagai obyek laki-laki untuk

mengandung dan melahirkan anak keturunan. Anak yang dilahirkan bisa

sampai 10 orang. Dalam budaya Jawa, ada semacam kebanggaan jika

mempunyai banyak keturunan. Ini tercermin dalam banyak anak banyak rejeki.

36
Akibatnya, perempuan selalu disibukkan dengan kegiatan mengasuh,

menyusui, mendidik, serta mengurusi makan dan minum anak.

Keenam, perempuan hanya mengurusi soal-soal domestik, urusan-

urusan kerumahtanggaan, atau urusan dapur. Oleh karena itu tidak perlu

berpendidikan tinggi. Didepan umum istri tidak boleh lebih menonjol dari

suami. Sampai sekarang masih tetap terdengar ungkapan perempuan harus bisa

macak, manak, masak, yang merupakan tugas domestik perempuan yang sudah

berkeluarga, yakni tugas-tugas internal kebutuhan keluarga. Oleh karena itu,

bagi orang Jawa, perempuan dikatakan sebagai konco wingking. Dalam

perananya sebagai pengatur ekonomi keluarga, ia tidak boleh sembrono, tetapi

harus gemi (hemat), titi (teliti), dan ngati-ati (berhati-hati) dalam

membelanjakan nafkah yang diberikan suami. Karena perempuan

tersubordinasi dalam kekuasaan laki-laki, maka ia harus serba hati-hati,

sementara laki-laki dengan superioritas dan otoritas yang dimilikinya

menampilkan diri sebagai pengawas.

Dalam Mistik dan Kosmologi Serat Centhini (Purwadi dan Rahmat Fajri,

2005: 166-167) juga menjelaskan:

Apabila orang menurutkan pikiran wanita, tak urang papa akan didapat, ..,.
Meski sering juga wanita itu layak mempunyai pikiran arif, tetapi jika
tercetus dari pikiran wanita, jangan lekas-lekas dikerjakan, pikirkan
dahulu, ubahlah penurutannya,.. Bila ada gagak berwarna putih dan bunga
tanjung tumbuh di batu cadas, disitulah baru ada wanita lurus hati, dengan
hati budiman....Wanita hanyalah seperdelapan dibanding pria, dalam hal
kepandaian dan kekuatan, dalam hal kebijaksanaan....
Kontruksi budaya Jawa, disengaja ataupun tidak, memang menerbangkan

kaum laki-laki sebagai hero dan superior, dan disengaja ataupun tidak, telah

menenggelamkan perempuan pada situasi inferior dan terpinggirkan. Kontruksi

budaya Jawa terhadap perempuan semakin memperkokoh kedudukan lelaki

37
Jawa sebagai suami yang pada pembahasan sebelumnya sudah memposisikan

diri angayani, angomahi, angayomi, angayemi, dan angatmajani.

Sedang istri yang baik diidentikkan dengan: penurut, menundukkan

kepala dihadapan suami, tidak suka protes, perempuan yang nrimo, tanpa

peduli apakah yang dilakukan suaminya benar atau tidak, rela membiarkan

penderitaan ditanggung sendiri didalam hatinya. Mereka bersikap demikian

karena berkeyakinan bahwa sikap yang demikian kelak akan mendapat balasan

yang lebih baik. Sebaliknya, istri yang suka protes dianggap sebagai perempuan

lancang dan tidak baik.

Konstruksi budaya masayarakat Jawa akhirnya membawa perempuan

pada situasi menerima lebel konco wingking yang wedi (takut, menyerah,

pasrah pada suami) dan membatasi diri pada wilayah dapur (memasak), sumur

(mencuci), dan kasur (melayani kebutuhan biologis suami). Laki-laki adalah

raja yang perintahnya harus diikuti; laki-laki adalah guru yang nasehatnya

harus dipatuhi; laki-laki adalah Arjuna yang kemesraannya harus dilayani; dan

kesetaraan antara suami istri adalah wilayah yang tak jelas dan remang-remang.

Diperlukan kesabaran, ketegasan dan keikhlasan semua pihak untuk

merekontruksinya.

C. Pengaruh Tradisi Pada Perilaku Suami Istri Masyarakat Muslim Jawa.

Berbagai paparan dan contoh di atas, tak dapat digunakan untuk

membantah simpulan bahwa konstruksi badaya masyarakat Jawa adalah

patriarkis. Namun demikian hegemoni laki-laki dalam masyarakat yang

terbingkai dalam budaya patriarkhi, sebenarnya tidak hanya menjadi bagian dari

tradisi Jawa. Budaya ini telah menjadi fenomena universal sejarah peradaban

38
manusia. Hal ini sebagaimana penjelasan Zuhayatin (2002: 11) bahwa “kontruk

budaya patriarkhi yang mapan secara universal dan berlangsung berabad-abad

tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, ia telah menjadi `fakta ilmiah`. Telah

berabad-abad pula perempuan dan para budak harus menerima nasib bahwa

mereka lahir untuk melayani laki-laki dewasa yang berkuasa”.

Meskipun sudah ratusan tahun disentuh Islam, mulai dari Walisongo,

Kesultanan Demak, Cirebon, Banten, Mataram, dilanjutkan ribuan pesantren dan

pendidikan Islam, budaya patriarkhis tetap masih kuat mengakar pada

masyarakat Jawa. Karena Islam menjadi agama mayoritas masyarakat, maka

sering dituduh sebagai salah satu biang keladinya.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam Islam ada teks-teks yang

kurang mendukung upaya kesetaraan gender, misalnya kitab Uqud al Lujain

(baca: Uqudullijain) yang ditulis Muhammad Nawawi bin Umar, ulama kelahiran

Tanara Banten Indonesia 1230 H/1813 M, dikenal dengan Sayyid al Ulama al

Hijaz, dia dikenal dengan Nawawi al Jawi, di Indonesia populer dengan Imam

Nawawi.

Dalam bab dua (2) tentang hak suami, misalnya, Imam Nawawi surat An

Nisa` : 34. Beliau menafsirkan qawwamun dengan “orang-orang yang berkuasa

mendidiknya”. An Nawawi juga menjelaskan:

Kekuasan tersebut dimiliki kaum laki-laki karena dia memilki kelebihan


dalam banyak segi, baik secara kodrati dalam bahasa beliau disebut hakiki
atau secara hukum agama (syar`i). Secara hakiki (kodrati), laki-laki memiliki
akal pikiran yang lebih tinggi atau lebih banyak dibanding kaum perempuan.
Secara fisik laki-laki lebih kuat. Dia lebih tabah dalam mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan berat. Laki-laki umumnya pandai menulis dan berburu.
Disebabkan oleh hal-hal tersebut, sejarah membuktikan bahwa mayoritas para
ulama muncul dari kalangan laki-laki. Kepemimpinan negara (al-imamah a-l
udhma), kepemimpinan dalam shalat (al-imamah-as-shughro), berperang
(jihad), adzan, khotbah, shalat Jumat, i`tikaf, kesaksian dalam perkara pidana

39
dan qisos, wali dalm pernikahan, dan lain-lain, semuanya hanya
diperkenankan bagi dan dari kaum laki-laki. Bahkan dia menambahkan
bahwa hubungan darah juga dinisbatkan kepada kaum laki-laki (An Nawawi,
Afif Bustomi, pent., 2000: 46-47).

Pandangan demikian saat ini banyak mendapat kritik dari sejumlah

pembela hak-hak perempuan. Mereka mengatakan bahwa terdapat kekeliruan

yang mendasar terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan. Menurut mereka,

harus dibedakan faktor-faktor yang disebut kodrat dan yang disebut gender.

Faktor yang disebut pertama menunjuk pada perbedaan jenis kelamin yang

ditentukan berdasarkan unsur-unsur biologisnya. Hal-hal yang bersifat biologis

ini melekat pada jenis kelamin tertentu. Pada laki-laki misalnya, terdapat penis

dan memproduksi sperma. Sementara pada perempuan ada alat reproduksi,

seperti rahim, vagina, dan ada payudara (alat menyusui). Oleh karena itu

perempuan bisa mengandung, melahirkan dan menyusui. Ketentuan yang bersifat

biologis inilah yang disebut kodrat, ketentuan, dan ciptaan Tuhan yang tak bisa

berubah. Pada faktor kedua, gender, perbedaan laki-laki dan perempuan

ditentukan berdasarkan ciptaan manusia atau masyarakat, disebut juga dengan

konstruksi sosial dan kultural. Misalnya, laki-laki dianggap lebih kuat, memiliki

akal lebih rasional, dan perkasa. Sementara perempuan lembut dan emosional.

Hal-hal sperti itu sebenarnya bukan pembawaan atau ciptaan Tuhan, tetapi

dibentuk dan diciptakan oleh suatu budaya masyarakat. Dalam kenyataannya,

tidak semua laki-laki cerdas, atau lebih pintar ketimbang perempuan. Sebaliknya

ada pula laki-laki yang emosional dan lemah lembut. Melalui cara pandang

seperti ini, superioritas laki-laki atas perempuan sebagaimana pendapat Imam

Nawawi, bukanlah bersifat kodrat, melainkan konstruksi budaya. Oleh karena itu

dapat dipertukarkan dan bisa diubah.

40
Pada kenyataannya banyak ahli ilmu, sebutan lain untuk ulama dari

kalangan perempuan, istri-istri Rasulullah adalah ahli ilmu, ribuan riwayat hadits

meluncut dari Aisyah binti Abu Bakar, ia pernah memimpin perang. Rabi'ah al

Adawiyah, ahli hikmah dan sufi besar, ia juga seorang perempuan. Al Qur`an

juga mengisahkan Bilqis, perempuan yang bijaksana dan berhasil memimpin

negeri Saba`. Cleopatra dan Sajarat al Dur dari Mesir. Di zaman modern ini, juga

banyak perempuan yang pernah menduduki posisi penting, Benazir Bhuto

(presiden Pakistan), Begum Khalida Zia (Banglades), Megawati Sukarno Putri

(Indonesia). Mereka adalah perempuan-perempuan cerdas yang berhasil

memimpin masyarakat dan bangsanya. Di Indonesia, banyak perempuan muslim

yang menduduki jabatan menteri dan jabatan lainnya. Sebelumnya kita juga

memiliki banyak pejuang perempuan, yang memimpin pasukan melawan

penjajahan, Cut Nya` Dien, Cut Mutia, di Aceh, Nyi Ageng Serang, memimpin

pasukan melawan penjajah di wilayah Solo dan sekitarnya, R.A. Kartini

memperjuangkan emansipasi wanita. Dengan demikian pernyataannya Imam

Nawawi ”hanya laki-laki yang bisa jadi ulama dan pemimpin” tidak selamanya

bisa dibenarkan.

Dalam Uqud al Lijain Imam Nawawi mengutip hampir 100 hadits salah

satu diantara dapat dilihat sebagai berikut :

Diantara haknya adalah andaikan hidung suami mengalir darah atau nanah
lalu istrinya menjilatinya dengan lidahnya, ia belum memenuhi hak
suaminya. Kalau manusaia boleh bersujud pada manusia, niscaya akan
juperinyahkan wanita itu untuk bersujud kepada suaminya (An Nawawi,
2000; 82-83).

41
Para pemerhati perempuan muslim Indonesia meneliti terhadap 100 hadis

yang dinukil Imam Nawawi. Terhadap hadis di atas, ditemukan bahwa hadis

tentang sujud sebagaimana tersebut di atas adalah hadis da`if yang tidak sah

menjadi landasan hukum. Namun demikian, hadits ini relatif populer di kalangan

masyarakat dan sering menjadi rujukan bagi legalitas secara teologis kewajiban

ketaatan istri terhadap suami, bahkan dalam buku-buku terbaru akhir-akhir ini.

Hadis ini sering menimbulkan dan menjadi sumber kesalahpahaman dalam

memahami kedudukan perempuan dalam keluarga. (Badriyah Fayumi & Alai

Nadjib (2002 : 91)

Kalangan ulama merumuskan bahwa hadis dikatan sahih apabila: tidak

bertentangan dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan al Qur`an, hadis

mutawatir dan ijma`; tidak bertentangan dengan amalan kebiasaan ulama salaf;

tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; tidak bertentangan dengan

hadis ahad yang kualitasa ke-sahih-annya lebih kuat (Syuhudi Ismail, 1995: 126).

Hadis tentang keharusan istri untuk sujud menghamba pada suami tidak

memenuhi kreteria diatas, dengan demikian hadis tersebut benar-benar da`if dan

tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

Misi dan kehadiran agama pada hakekatnya untuk membebaskan manusia

dari segala bentuk penindasan, baik atas dasar etnik, ras, agama, maupun gender.

Namun pada tingkat empiris kehadirannya belum mampu mengeliminasi secara

tuntas kentalnya budaya patriarkhi. Sebab, setelah para Nabi wafat, berangsur-

angsur penafsiran kitab suci kembali dikendalikan nilai-nilai patriarkhis.

42
Ketika budaya patriarkhis masih kuat menguasai relasi suami istri pada

masyarakat Jawa, ketika istri masih dibatasi aktifitasnya di wilayah domestik,

maka sesungguhnya tidak berangkat dari Islam, sebab pola relasi yang

ditawarkan Islam adalah kesetaraan, kebebasan, dan keseimbangan. Prinsip ini

sesuai dengan esensi dan kekuatan Islam yang terletak pada wataknya yang

”liberatif, progresif dan humanis” yakni persamaan dalam semua wilayah,

termasuk wilayah seksual. Oleh karena itu maka relasi suami istri yang dibangun

Islam adalah mu`asyarah bi al-ma`ruf dan sakinah mawaddah wa rahmah dalam

dibingkai rahmatan lil `alamin.

43
BAB III

LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI

ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.

1. Letak Geografis Dusun Cabean

Secara administratif, Dusun Cabean masuk dalam wilayah Kelurahan

Mangunsari. Lebih tepatnya, menempati wilayah paling utara dari kelurahan

Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga. Letak dusun Cabean,

sebelah utara berbatasan dengan dusun Banyuputih kelurahan Bancaan,

sebelah selatan berbatasan dengan dusun Dukuh kelurahan Dukuh, sebelah

timur berbatasan dengan dusun Klaseman kelurahan Mangunsari, dan sebelah

barat berbatasan dengan dusun Winong kelurahan Kecandran.

Luas wilayah Cabean kurang lebih 17 (tujuh belas) Ha, terdiri dari:

Tanah perkampungan / pekarangan: 8 (delapan) Ha; Tanah persawahan: 9

(sembilan) Ha. Secara administratif, dusun Cabean terbagi menjadi dua (2)

Rukun Warga (RW), yaitu RW 1 terdiri dari lima (5) RT dan RW 14 terdiri

dari enam (6) RT. Adapun yang menjadi konsentrasi penelitian hanya pada

wilayah Cabean RT 05 RW 1. Pembangunan perumahan dan Rusunawa serta

perusahaan mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Cabean

dan sekitarnya semakin pesat.

2. Kondisi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Cabean.

Pada tahun 2015, penduduk Cabean RT 05 RW 1 berjumlah 198

(seratus sembilan puluh delapan) orang, terdiri dari 81 (delapan puluh satu)

44
laki-laki dan 117 (seratus tujuh belas) perempuan. Penduduk beragama Islam

berjumlah 171 (seratus tujuh puluh satu) orang dan non Islam 27 (dua puluh

tujuh) orang. Jumlah KK adalah 64 terdiri dari 55 KK Islam dan 9 KK non

Islam. Khusus KK Islam terdiri dari 3 (tiga) KK duda, 5 (lima) KK janda,

dan 47 (empat puluh tujuh) KK lengkap (suami istri). Adapun kompisi

penduduk Islam dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1
KOMPOSISI JUMLAH PENDUDUK ISLAM
WILAYAH CABEAN RT 05 RW 01

No. I tem Jumlah Total Individu

1 Jumlah KK (suami istri) 47 94


2 Jumlah KK Duda 3 3
3 Jumlah KK Janda 5 5
4 Jumlah Anak 69 69

171

Dari urain di atas menunjukkan bahwa hanya ada 47 (empat puluh

tujuh) keluarga Islam atau 47 (empat puluh tujuh) istri yang bisa dijadikan

populasi penelitian. Dari jumlah tersebut peneliti mengambil 4 (empat) orang

istri untuk dijadikan sampel dalam penelitian.

Untuk mempermudah pelaksanaan kegiatan keagamaan, terutama

Muslim, masyarakat Cabean memiliki beberapa sarana peribadatan. Semua

sarana peribadatan di wilayah tersebut adalah swadaya masyarakat. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL II

JUMLAH SARANA PERIBADATAN


45
WILAYAH CABEAN RT 05 RW 01

No. Jenis Sarana Peribadatan Jumlah

1 Masjid 1
2 Mushola 1
3 Gereja -
4 Kuil -
5 Wihara -

Jumlah 2

Untuk lebih memberi manfaat terhadap sarana peribadatan yang ada,

masyarakat menghadirkan berbagai kegiatan sebagai berikut:

a. Pengajian anak-anak sehabis sholat magrib di Masjid, Mushola, dan

dirumah para ustazd.

b. Pengajian dan pertemuan remaja masjid dua (2) minggu sekali.

c. Pembacaan Al Barjanji khusus para ibu yang tempat bergantian, baik di

Masjid maupun mushola dua (2) minggu sekali.

d. Pengajian Yasin Tahlil di Masjid dan Musholla setiap malam Jumat.

e. Kegiatan TPQ sore hari yang diikuti oleh anak-anak setiap Senin, Rabu,

dan Sabtu.

f. Pengajian insidentil dalam rangka peringatan hari besar Islam, misalnya:

Tahun baru Islam (Asura), Maulud Nabi, Isro` Mi`roj, Nuzulul Qur`an.

g. Pawai ta`aruf dalam rangka Tahun Baru Islam, Takbir Keliling dalam

rangka Idul Fitri dan Idul Adha.

Penduduk Cabean adalah masyarakat sadar pendidikan. Hal ini

ditandai dengan tersedianya beberapa lembaga pendidikan yang semuanya

46
adalah hasil swadaya masyarakat. Adapun lembaga pendidikan yang ada di

wilayah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL III

KOMPOSISI SARANA PENDIDIKAN


WILAYAH CABEAN RT 05 RW 01

No. Sarana Pendidikan Jumlah

1 PAUD 1
2 Taman Kanak – Kanak 1
3 SD / Madrasah Ibtidaiyah -
4 SMP / MTs 2
5 Pesantren 1
6 TPQ 1

Jumlah 6

B. Profil Penghambaan Istri Terhadap Suami Antara Doktrin dan Tradisi.

Untuk mempermudah mendapat gambaran tentang penghambaan istri

pada suami antara doktrin dan tradisi, penulis mengadakan wawancara langsung

dengan 4 (empat) orang yang telah dipilih menjadi sampel, yaitu: Inayati (Ina),

Sutinah (Sth), Hikmi Yusnita (Hik), Siti Juwariyah (Stj). Profil selengkapnya

dapat dilihat pada tabel berikut:

47
Tabel IV
DATA RESPONDEN
PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI
ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

No. N a m a Pendidikan Pekerjaan

1 Inayati SD Buruh / PRT


2 Sutinah SLTP Pekerja Pabrik
3 Hikmi Yusnita SLTA PNS
4 Siti Juwariyah S.1. Pengasuh Ponpes

Sebagai pedoman dalam pelaksanaan wawancara terhadap sampel yang

telah dipilih, penulis menyusun pertanyaan-pertanyaan yang ada relevansinya

dengan pokok masalah yang selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:

1. Apakah ibu biasa melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti: menyiapkan

makanan, mencuci pakaian, bersih-bersih rumah, mengasuh anak ?

Bagaimana kalau mengabaikannya ?

2. Mengapa ibu melakukan semua pekerjaan itu ?

3. Dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, apakah suami juga sering

membantu ?

4. Bagaimana dengan tanggungjawab mengasuh anak ?

5. Nafkah adalah tanggungjawab suami. Bagaimana pendapat ibu ketika seorang

istri juga berpartisipasi mencari nafkah ?

6. Ketika seorang istri berpartisipasi dalam mencari nafkah, apakah hasilnya

sebaiknya untuk kepentingan pribadi istri atau untuk kepentingan bersama

dalam keluarga ?

48
7. Dalam kondisi capek dan kelelahan, sedang suami berkeinginan untuk

berhubungan badan, bagaiamana sebaiknya istri bersikap? Dalam masalah ini

bagaiamana pendapat ibu?

8. Dalam tradisi Jawa, ada ungkapan bahwa istri adalah konco wingking yang

batas wilayahnya: masak, macak dan manak. Bila ibu setuju, apa alasannya ?,

bila menolak apa alasannya ?

9. Dalam tradisi Jawa, ada juga ungkapan swargo nunut neroko katut,

bagaimana komentar ibu tentang ungkapan tersebut ?

10. Ketika suami melanggar syari`at, misal: mabuk, judi, tidak setia pada istri,
ada kewajiban bagi istri untuk tetap taat dan patuh pada suami ?
11. Menurut pendapat ibu, bagaimana idealnya pola hubungan suami-istri itu
dibangun ?
12. Dalam masyarakat, ajaran kataatan terhadap suami ada yang bersumber pada

doktrin (agama) ada pula yang dari tradisi. Nilai atau ajaran manakah yang

mau digunakan ?

13. Dalam ajaran Islam ada dan dikenal istilah penghambaan istri kepada suami.

Setujukah anda ?

Adapun hasil wawancara dengan beberapa responden di atas didapatkan

jawaban yang garis besarnya dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel V
DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN RESPONDEN
TENTANG PENGHAMBAAN ISTRI PADA SUAMI
ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

No. Pertanyaan Jawaban

1 Apakah ibu biasa Ina: Ya. Hal itu saya kerjakan hampir
mengerjakan pekerjaan setiap hari. Mengabaikannya adalah

49
rumah tangga, seperti: dosa.
menyiapkan makanan, Sth: Biasa mengerjakan pekerjaan tersebut
mencuci pakaian, bersih- setiap hari. Dosa bila
bersih rumah, mengasuh mengabaikannya.
anak ? Bagaimana kalau Hik: Kadang-kadang, karena saya bekerja
seorang istri mengabaikan dan lokasi kerjanya jauh. Jadi pagi
pekerjaan tersebut ? sudah berangkat, sehingga sebagian
pekerjaan rumah dikerjakan orang
tua, karena saya masih tinggal
bersama. Tidak boleh diabaikan
Stj: Kalau kondisi sehat, semua dilakukan
sendiri. Kalau kurang sehat dibantu
suami dan orang lain. Dosa besar bila
istri mengabaikannya.

2 Mengapa ibu melakukan Ina: Karena itu kodrat perempuan.


semua pekerjaan itu ? Sth: Kewajiban seorang istri
Hik: Makan, minum, tempat tinggal yang
layak, pakain bersih, adalah
kebutuhan kita, dan yang menikmati
juga kita dan keluarga, maka sudah
sewajarnya kalau kita
mengerjakannya.
Stj: Sudah sewajarnya istri mengerjakan.
3 Dalam mengerjakan Ina: Sering membantu walaupun tidak
pekerjaan rumah tangga, diminta, terutama ketika istri kurang
apakah suami juga sering enak badan.
membantu ? Sth: Sering membantu atas inisiatif
sendiri. Kadang juga atas permintaan
(diminta membantu).
Hik: Kalau kebetulan di rumah membantu
mengasuh anak, tapi kurang punya
inisiatif membantu pekerjaan lain
dalam rumah tangga. Tidak mau
kalau wanita yang mengerjakan
sendiri. Secara manusia tidak
sanggup, karena saya juga bekerja,
harus ada yang membantu.
Stj : Membantu atas inisiatif sendiri,
bahkan banyak pekerjaan rumah
tangga yang diselesaikan suami.

4 Bagaimana dengan Ina : Mulai kecil diasuh bersama-sama,


tanggungjawab mengasuh tapi lebih dekat ibu.
anak ? Sth : Dirawat bersama, tapi karena saya
dan suami bekerja, maka dibantu oleh
sudara dekat.
Hik: Karena saya bekerja maka anak

50
banyak diasuh oleh bapak dan ibu
saya. Ketika sudah pulang kerja saya
juga mengasuhnya. Karena suami di
luar kota, maka kurang banyak
mengasuh. Tapi ketika suami pulang,
ikut sedikit membantu.
Stj : Diasuh bersama-sama.

5 Nafkah adalah Ina: Setuju. Saya bekerja membantu


tanggungjawab suami. suami mencari nafkah, karena
Bagaimana pendapat ibu penghasilan suami tidak cukup untuk
ketika seorang istri juga kebutuhan rumah tangga.
berpartisipasi mencari Sth: Sangat setuju. Adalah kewajiban istri
nafkah ? membantu suami untuk cari nafkah,
dan saya merasa tidak dibebani ketika
harus bekerja.
Hik: Bekerja itu kewajiban, baik suami
maupun istri. Apapun bentuk
pekerjaan itu selama tidak
bertentangan dengan hukum.
Stj: Setuju Saya juga bekerja atas ijin dan
dorongan suami.
6 Ketika seorang istri Ina: Untuk kepentingan bersama.
berpartisipasi mencari Sth: Untuk kepentingan bersama.
nafkah, apakah hasilnya Hik: Untuk kepentingan bersama kalau
sebaiknya untuk diperlukan.
kepentingan pribadi atau Njh: Untuk kepentingan bersama.
untuk kepentingan Stj: Untuk kepentingan bersama. Bila
bersama keluarga ? tidak terlalu dibutuhkan, penghasilan
pribadi saya tabung.

7 Dalam kondisi capek dan Ina: biasanya saya menolak, dan suami
kelelahan, sedang suami memaklumi dan bisa
berkeinginan untuk menerima.hukumnya dosa, maka
berhubungan badan, perlu minta maaf.
bagaiamana sebaiknya istri Sth: Menolak dengan mengatakan
bersikap? Bagaimana bila keadaan yang sesungguhnya, misal,
istri menolak ? capek. Tapi kalau pas enak badan
tidak menolak. Merasa bersalah dan
minta maaf.
Hik: Menolak dengan mengatakan mau
tidur dulu. Kalau rasa capek sudah
hilang, kegiatan itu bisa dilaksanakan.
Hakekatnya berdosa.
Stj: Menolak langsung tidak pernah,
biasanya saya bilang capek. Tetapi
suami biasanya sudah bisa membaca
gerak tubuh saya antara capek dan

51
tidak, dan suami bisa memaklumi itu.
Pada pagi harinya saya mohon maaf,
karena tidak bisa melayani. Berdosa,
dan dilaknat Tuhan.

8 Dalam tradisi Jawa, ada Ina: Setuju, karena terkadang wanita harus
ungkapan bahwa istri seperti itu. Tidak setuju, sebab tidak
adalah konco wingking semua wanita harus seperti ituJadi
yang batas wilayahnya: bisa dedepan juga bisa di belakang.
masak, macak dan manak. Sth: Tidak setuju, buktinya saya punya
Bila ibu setuju, apa anak dua (2), dandan juga kalau pas
alasannya ?, bila menolak pergi, kalau masak setiap hari.
apa alasannya ? Hik: Setuju, karena itu kodrat wanita.
Menolak, karena istripun ingin
mengembangkan ilmu dan kreatifitas
serta bekerja agar mendapat wawasan
baru dan mendapat teman baru.
Stj: Kodrat perempuan memang begitu.
Tetapi tidak mesti seperti itu.

9 Dalam tradisi Jawa, ada Ina: Ungkapan tersebut ada benarnya,


juga ungkapan swargo maka semua yang dilakukan suami
nunut neroko katut, harus baik dan menarik sehingga bisa
bagaimana komentar ibu? diikuti istri dan anggota keluarganya.
Sth: Itu salah, karena yang bisa
menentukan adalah Yang Maha
Kuasa.
Hik: Tidak sepakat dengan ungkapan itu,
karena nilai amal ibadah itu sendiri-
sendiri. Apa yang dikerjakan tak akan
mempengaruhi istri, begitu pula
sebaliknya.
Stj: Menurut saya tidak seperti itu, karena
amal ibadah tergantung diri sendiri.

10 Ketika suami melanggar Ina: Tetap taat, tapi istri harus


syari`at, misal: mabuk, mengingatkan.
judi, tidak setia pada istri, Sth: Ketika suami melakukan itu, saya
ada kewajiban bagi istri tidak akan taat dan tidak akan patuh.
untuk tetap taat dan patuh Hik: Ketika istri masih bisa bertahan,
pada suami ? maka masih bisa taat dan patuh. Bila
sudah tidak bisa bertahan, maka tidak
ada alasan untuk taat dan patuh.
Stj: Bila suami kita baik dalam ukuran
syari’at, kita wajib taat dan patuh.
Tapi bila perilakunya sudah tak
sesuai dengan syariat, istri tidak wajib
taat dan patuh. Bahkan punya hak

52
untuk gugat cerai di pengadilan.

11 Menurut pendapat ibu, Ina: Mengusahakan selalu ada


bagaimana idealnya pola komunikasi, saling percaya, dan
hubungan suami-istri itu terbuka.
dibangun ? Sth: Saling komunikasi, kalau ada
masalah harus diselesaikan dalam
keluarga itu sendiri, jangan sampai
orang lain tahu.
Hik: Komunikasi yang intensif, kalau
beda pendapat kita harus berfikir
sehat, tidak boleh egois, harus ada
salah satu yang mengalah demi
kelangsungan dan kebaikan keluarga,
serta harus tetap taat pada agama.
Stj: Suami istri harus saling menyanyangi
dan mengerti agar sama-sama enak.

12 Dalam masyarakat, ajaran Ina : Kalau saya, semuanya saya pakai.


ketaatan terhadap suami Sth : Antara agama dan tradisi saya kira
ada yang bersumber pada bisa berjalan bersama ketika
doktrin (agama) ada pula tujuannya adalah kebahagiaan
yang dari tradisi. Nilai atau bersama dalam keluarga.
ajaran manakah yang mau Hik: Saya condong ke agama, tetapi
digunakan ? agama juga bisa sesuaikan dengan
kondisi. Dalam agama kan ada
fleksibilitas.
Stj : Kalau saya cenderung pada agama,
karena semuanya sudah jelas, dan
bahwa surga istri ada pada suami.

13 Dalam ajaran Islam ada Ina : tidak setuju


dan dikenal istilah Sth : setuju, kewajiban istri adalah
penghambaan istri kepada menghamba pada suami
suami. Setujukah anda ? Hik: Istilah itu kurang manusia, yang pas
adalah ketaatan.
Njh: tidak setuju, penghambaan hanya
pantas dilakukan terhadap Tuhan.
Stj : Setuju, karena istri harus mengikuti
apa yang menjadi perintah suami
selama tidak menimbulkan maksiat
dan tidak melenceng dari agama.

53
BAB IV

ANALISIS PENGHAMBAAN ISTRI

TERHADAP SUAMI ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI

A. Bentuk-bentuk Penghambaan Istri Terhadap Suami.

Berdasarkan wawancara terhadap para istri tentang penghambaan istri

terhadap suami antara doktrin dan tradisi, peneliti mendapatkan gambaran

pemahaman bahwa bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami meliputi:

1. Melakukan pekerjaan rumah tangga

Semua istri dalam penelitian memiliki pemahaman bahwa melakukan

pekerja rumah tangga (bersih-bersih rumah, mencuci dan merapikan pakaian

keluarga, menyiapkan konsumsi keluarga) adalah kodrat, kewajiban, dan

tanggung jawab perempuan sebagai istri, oleh karena itu mereka berusaha

melakukannya dengan senang hati. Mereka sudah terbiasa melakukannya.

Semua pekerjaan rumah tangga menjadi ringan karena dibantu suami, anak

yang sudah besar dan keluarga dekat. Semua istri juga berpendapat bahwa

meninggalkan atau menelentarkan pekerjaan rumah tangga tanpa alasan yang

jelas adalah perbuatan dosa. Menyiapkan kunsumsi keluarga, mencuci

pakaian, membersihkan rumah disamping bagian dari ibadah, juga

merupakan bagian dari upaya menyenangkan suami.

Ibu Hikmi, karena keterbatasan waktu beradasrkan kesepakatan suka

rela, pekerjaan rumah tangga diambil alih kedua orang tuanya karena ia

bekerja di luar daerah (Magelang) yang jaraknya cukup jauh. Sedang suami

juga di luar daerah (Jakarta). Ia sungguh-sungguh bisa mengerjakan

pekerjaan rumah tangga hanya pada hari libur, begitu pula suaminya. Namun

54
pada prinsipnya ia tetap setuju bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kodrat

dan kewajiban istri. Meskipun dalam keterbatasan waktu, dalam pekerjaan

tertentu ia tetap berusaha membantu kedua orang tuanya melakukannya

pekerjaan rumah tangga.

2. Mengasuh dan mendidik anak

Anak adalah amanah Allah untuk kedua orang tuanya maka mengasuh

dan mendidiknya juga menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.

Beberapa pertanyaan berhubungan dengan mengasuh dan mendidik anak

dalam penelitian ini mendapat jawaban diasuh bersama. Namun bila diteliti

lebih mendalam ditemukan praktek sebagai berikut: Ibu Sutinah, misalnya,

ketika kedua anaknya masih balita, antara jam enam (6) pagi sampai jam tiga

(3) sore ia titipkan pada saudara dekatnya karena ia dan suaminya bekerja di

perusahaan. Pada sore hari baru ada kebersamaan antara suami, istri dan

anak. Mulai sore hari itulah ada kebersamaan untuk mengasuh anak hingga

esok hari. Demikian pula dengan ibu Hikmi, PNS bekerja di luar daerah,

karena masih tinggal bersama orang tua, maka anaknya yang masih balita

diasuh oleh kedua orang tunya. Pada sore hari, sepulang kerja baru bisa

mengasuh anaknya. Perjumpaan dan kebersamaan dengan suami terjadi setiap

dua minggu sekali, terkadang juga satu bulan sekali, karena suami bekerja di

Jakarta. Kebersamaan mereka hanya beberapa hari saja, maka dimanfaatkan

semaksimal mungkin untuk bersama mengasuh anaknya.

Ibu Inayati memiliki dua (2) anak bekerja sebagai pembantu rumah

tangga yang jaraknya kurang lebih seratus meter dari rumahnya. Ketika

anaknya masih kecil diperkenankan membawa anaknya ke lokasi kerja,

55
sedang suaminya bertani di wilayah setempat, waktunya kerjanya bisa diatur

sedemikian rupa dan tidak kaku, maka keduanya memiliki waktu cukup untuk

bersama-sama mengasuh dan mendidik kedua anaknya. Adapun yang benar-

benar memiliki waktu cukup untuk bersama-sama mengasuh anaknya adalah

ibu Siti Juwariyah, karena ia dan suaminya bekerja mengajar dan mengasuh

santri di lokasi yang sama. Mengenai kedekatan anak dengan orang tua,

semua para istri menjawab lebih dekat dengan ibu.

3. Melayani kebutuhan seksual suami.

Pada hakekatnya semua istri berkeinginan melayani kebutuhan

seksual suami dengan baik, karena secara syar`i merupakan kewajiban bagi

seorang istri, dan penolakan terhadap keinginan suami adalah perbuatan dosa.

Namun demikian, beradasarkan hasil wawancara dengan para istri, peneliti

menemukan bahwa dalam kondisi tertentu, misalnya: capek, tidak enak

badan, kelelahan karena kerja, sakit; para istri menolak melayani kebutuhan

seksual suami. Mereka menolak dengan mengatakan keadaan yang

sesungguhnya, misal, capek, sakit, tidak enak badan, atau dengan bahasa

tubuh, tidur membelakangi suami.

Realitas ini bisa dilihat, misalnya pada ibu Siti Juwariyah, ia menolak

keinginan suami dengan bahasa tubuh, tidur membelakangi suami. Namun

pada pagi harinya minta maaf karena tidak bisa melayani keinginan suami,

dan suami bisa menerimanya. Sedang ibu Hikmi, bila dalam kondisi capek

menolak keinginan suami dengan mengatakan “ingin tidur dulu” dan bila

memungkinkan melayani kebutuhan seksual suami pada pagi harinya. Dalam

56
penelitian ini, para istri yang melakukan penolakan, selalu mengikutinya

dengan permintaan maaf, dan para suami bisa menerima dan memakluminya.

Penolakan adalah bentuk ketidaktaatan istri, sedang mohon maaf

adalah bentuk penebusan dosa pada suami. Dengan demikian penolakan yang

kemudian diikuti permintaan maaf istri adalah bentuk kesadaran mendalam

bahwa menolak melayani suami hakekatnya adalah pelanggaran syariat atau

perbuatan dosa. Dengan kata lain, melayani kebutuhan seksual adalah bagian

penting dari ketaatan istri pada suami.

4. Membantu mencari nafkah

Dalam Islam salah satu tanggung jawab suami adalah memberi nafkah

kepada istri. Tanggung jawab itu timbul sebagai konsekuensi dari adanya

pernikahan. Memberi nafkah terhadap isteri serta anggota keluarga yang

menjadi tanggung jawab suami hukumnya wajib. Dalam tradisi Jawa

tanggung jawab suami dikenal dengan Angayani (memberi nafkah lahir dan

batin); Angomahi (membangun rumah tempat tinggal keluarga); Angayomi

dan angayemi; Angatmajani (mampu menurunkan bibit unggul).

Tanggungjawab mulia di atas tidak sepenuhnya dapat diwujudkan

para suami, sehingga para istri berpartisipasi mencari nafkah sebagaimana

terjadi pada sebagian masayarakat RT 05 RW 01 Cabean Mangunsari

Sidomukti Salatiga. Hasil penelitian menunjukkan, para istri yang bekerja

hasilnya tidak untuk kepentingan pribadi, tapi digunakan bersama-sama

dalam keluarga. Ibu Inayati misalnya; ia bekerja sebagai pembantu rumah

tangga, serta ibu Sutinah, bekerja menjadi karyawan di perusahaan, keduanya

57
bekerja karena penghasilan suaminya tidak cukup untuk menopang

kebutuhan keluarga.

Ibu Siti Juwariyah, berlatar pendidikan S.1. mendarmabaktikan ilmu

yang dimilikinya sebagai tenaga pengajar dan tentu saja mendapat

kompensasi finansial. Hal ini juga berlaku pada ibu Hikmi yang bekerja

sebagai pegawai negeri sipil di instansi pemerintah. Berdasarkan hasil

penelitian, semua penghasilan para istri di atas adalah untuk kepentingan

bersama dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Perilaku para istri dalam penelitian ini menafikan ungkapan tradisi

Jawa bahwa istri adalah konco wingking yang batas wilayahnya: masak,

macak dan manak, sebab realitasnya para istri bisa tampil ke depan bekerja di

berbagai sektor dalam rangka menyelamatkan ekonomi keluarga.

Ungkapan tradisi Jawa yang menggiring penghambaan istri terhadap

suami adalah swargo nunut neroko katut. Terhadap tradisi tersebut sebagian istri

tidak setuju, sebab nilai ibadah tanggungjawab pribadi. Apa yang dilakukan istri

dalam ibadah adalah tanggungjawab istri, begitu pula sebaliknya. Sedang

menurut ibu Inayati, ungkapan tersebut ada benarnya, maka suami harus

berperilaku baik dan menarik sehingga bisa diikuti istri dan anggota keluarga.

Begitu pula ketika suami melanggar syari`at, misal: mabuk, judi, tidak

setia pada istri, maka istri wajib mengingatkannya. Bila tidak ada perubahan,

maka ibu Hikmi, dan Juwariyah sepakat untuk tidak mentaatinya. Sedang ibu

Inayati, ibu Sutinah, akan tetap taat dan patuh sambil terus berikhtiar

mengingatkan. Sedang pola hubungan suami-istri yang baik menurut para istri

dalam penelitian adalah ada rasa kasih sayang dan saling mengingatkan;

58
mengusahakan selalu ada komunikasi, saling percaya, dan terbuka. Bila berbeda

pendapat harus berfikir sehat, tidak boleh egois, harus ada yang mengalah demi

kelangsungan dan kebaikan keluarga, sedang masalah yang muncul hendaknya

diselesaikan dalam keluarga itu sendiri.

Terhadap doktrin dan tradisi penghambaan istri terhadap suami, sebagian

para istri, tidak setuju. Ketaatan adalah istilah yang lebih pas dan manusiawi

dalam praktek relasi suami istri. Penghambaan hanya pantas dilakukan oleh

manusia terhadap Tuhan Sang Maha Pencipta. Adapun tata nilai dalam ketaatan

terhadap suami, ibu Hikmi, dan ibu Juwariah memilih agama sebagai sumber

rujukan, sebab menurut mereka dalam ajaran agama, semuanya sudah jelas,

disamping itu dalam agama juga ada fleksibilitas. Sedang ibu Inayati dan ibu

Sutinah memilih memilih memadukan antara doktrin dan tradisi sebagai sumber

rujukan, sebab dalam agama dan tradisi sama-sama mengajarkan nilai kebajikan.

B. Perbedaan Persepsi Penghambaan Istri Terhadap Suami

Paparan di atas menunjukkan bahwa masalah penghambaan istri terhadap

suami mendapat tanggapan berbeda-beda. Perbedaan tersebut kemungkinan

diakibatkan oleh latar belakang pendidikan para istri atau mungkin latar belakang

keluarga dan budaya masyarakat. Meskipun dalam beberapa segi ada

kesamaannya, namun dalam aspek tertentu ada perbedaannya.

Beberapa masalah yang mendapat tanggapan sama dari para istri adalah

sebagai berikut :

1. Melakukan pekerjaan rumah tangga; Mengasuh dan mendidik anak, adalah

kodrat, kewajiban dan tanggungjawab istri. Realitas ini bisa diterima oleh

semua istri meskipun dalam prakteknya dikerjakan bersama atau dibantu

59
suami, anak serta orang tua yang tinggal dalam satu rumah. Karena bagian

dari kewajiban, maka mengabaikannya adalah perbuatan dosa.

2. Dalam kondisi capek, lelah karena kerja, tidak enak badan, semua istri

dengan caranya masing-masing menolak melayani kebutuhan seksual suami.

Mereka menyadari bahwa perbuatan ini adalah dosa dan tidak terpuji, oleh

karena itu penolakan yang dilakukan istri selalu diikuti permintaan maaf

terhadap suami.

3. Para istri juga berpendapat sama dalam hal istri berpartisipasi mencari

nafkah. Mereka bekerja untuk membantu suami, hasilnya untuk kepentingan

bersama menutupi kebutuhan rumah tangga. Sebagian istri menambahkan

bahwa ia bekerja sebagai bentuk darma bakti dan ekplorasi atas kemampuan

yang dimiliki agar lebih bermanfaat pada masyarakat luas.

4. Tradisi Jawa yang menggiring istri menjadi konco wingking juga mendapat

respon yang sama, yakni ditolak, sebab pada kenyataan para istri juga bisa

tampil di depan menyelamatkan ekonomi keluarga, bahkan pada keluarga

tertentu menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.

Beberapa hal yang mendapat tanggapan berbeda dari para istri dapat

dijelaskan sebagai berikut :

1. Penghambaan istri pada suami.

Istilah penghambaan istri terhadap suami ditolak oleh ibu Hikmi.

Penghambaan dinilai tidak manusiawi, mereka marasa lebih pas dengan

istilah ketaatan. Sedang ibu Inayati, ibu Sutinah, dan ibu Juwariyah, bisa

menerima istilah penghambaan istri terhadap suami, karena tugas istri adalah

60
menghamba terhadap suami. Istri juga harus mengikuti yang menjadi

keinginan suami selama tidak menimbulkan maksiat.

2. Norma rujukan dalam ketaatan pada suami.

Mengenai nilai rujukan ketaatan pada suami ibu Hikmi dan ibu Juwariyah,

memilih norma agama sebagai rujukan ketaatan terhadap suami. Sedang ibu

Inayati dan ibu Sutinah memilih norma agama dan tradisi sebagai rujukan

ketaatan terhadap suami.

3. Monolak taat ketika suami melakukan pelanggaran syariat.

Menanggapi masalah suami melanggar syariat, para istri yang terdiri dari ibu

Hikmi, dan ibu Juwariyah, menolak taat pada suami. Sedang ibu Sutinah, ibu

Inayati, disamping merasa punya kewajiban mengingatkan suami, ia akan

tetap taat meskipun suami melakukan pelanggaran syariat. Sikap tetap taat

kemungkinan diakibatkan adanya rasa takut bila diceraikan suami.

4. Swargo nunut neroko katut.

Menanggapi ungkapan tradisi Jawa tersebut para istri yang terdiri ibu Hikmi

menolak ungkapan tersebut. Menurut mereka urusan surga dan neraka dan

nilai ibadah seseorang adalah urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan.

Sedang ibu Inayati, ibu Sutinah,menganggap benar ungkapan itu, maka

seluruh tindakan suami harus menarik agar menyenangkan dan ditiru

keluarga. Adapun ibu Juwariyah setuju, menerima, dan membenarkan

ungkapan tersebut, karena surga istri ada pada suami.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penghambaan Istri Terhadap Suami.

Setelah peneliti mengetahui bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap

suami dan beberapa nilai yang melingkupinya baik yang diterima maupun ditolak

61
serta mengemukakan beberapa persamaan dan perbedaannya, dalam analisis

lebih lanjut, akan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk-bentuk

penghambaan istri terhadap suami di wilayah Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan

Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga, yaitu :

1. Faktor pendidikan.

Pada hakikatnya pendidikan merupakan bagian tak terpisahkan dalam

sejarah kehidupan manusia. Dengan pendidikan manusia akan mendapat

berbagai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan manusia

diharapkan mampu mengenal dirinya, lingkungan sosialnya serta alam

sekitarnya. Dengan pendidikan pula, manusia diharapkan mampu

menentukan sejarah hidupnya secara baik dan bijaksana.

Adapun latar belakang pendidikan para istri yang peneliti wawancarai

terdiri dari lulusan SD, SLTP, SLTA, dan S.1. Perbedaan latar belakang

pendidikan ini sudah semestinya mempengaruhi para istri dalam menanggapi

dan mensikapi masalah penghambaan istri terhadap suami. Namun demikian

dalam realitasnya perbedaan latar belakang pendidikan para istri dalam

penelitian ini kurang ada pengaruhnya, meskipun dalam beberapa persoalan

nampak ada pengaruhnya. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan

formal saja, tetapi juga pendidikan informal, misalnya pesantren.

Hal ini dapat disimak ketika menanggapi masalah melakukan

pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak, serta melayani

kebutuhan seksual suami. Ibu Inayati yang berpendidikan SD, ibu Sutinah

berpendidikan SLTP serta ibu Hikmi berpendidikan SLTA, tanggapanya

sama dengan ibu Juwariyah yang berpendidikan S.1. Argumentasi mereka

62
berbeda-beda, tetapi substansinya sama, yaitu bahwa melakukan pekerjaan

rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak, melayani kebutuhan seksual

suami, adalah merupakan kodrat, kewajiban dan tanggungjawab istri, maka

mengabaikannya adalah dosa.

Perlu dijelaskan bahwa kodrat sesungguhnya menunjuk pada

perbedaan jenis kelamin pemberian Tuhan yang tak bisa diubah, dan

ditentukan berdasarkan unsur-unsur biologis. Misalnya, pada laki-laki

terdapat penis dan memproduksi sperma. Pada perempuan ada rahim, vagina,

dan payudara. Oleh karena itu perempuan bisa mengandung, melahirkan dan

menyusui. Sedang faktor gender, perbedaan laki-laki dan perempuan

ditentukan berdasarkan ciptaan manusia atau masyarakat, disebut juga dengan

konstruksi sosial dan kultural. Misalnya, laki-laki dianggap lebih kuat,

memiliki akal lebih rasional, dan perkasa. Sementara perempuan lembut dan

emosional. Hal-hal seperti itu sebenarnya bukan pembawaan atau ciptaan

Tuhan, tetapi dibentuk dan diciptakan oleh suatu budaya masyarakat. Dalam

kenyataannya, tidak semua laki-laki cerdas, atau lebih pintar ketimbang

perempuan. Sebaliknya ada pula laki-laki yang emosional dan lemah lembut.

Dalam perbincangan lebih mendalam dengan para istri, ternyata

mereka kurang memahami makna dan pengertian kodrat dan gender

sebagaimana dijelaskan di atas, meskipun mereka lulusan SLTA, S.1., dan

berstatus sebagai tenaga pengajar dan pegawai negeri sipil. Realitas ini

membenarkan beberapa referensi dan penelitian yang menyimpulkan bahwa

ketidakpahaman membedakan makna kodrat dan gender telah menggiring

63
pola pergaulan dan pembagian kerja diskriminatif antara laki-laki dengan

perempuan, antara suami dengan istri.

Begitu pula dalam berpartisipasi mencari nafkah, para istri dalam

penelitian ini juga berpendapat sama. Mereka bekerja motivasi utamanya

adalah membantu suami, hasilnya untuk kepentingan bersama menutupi

kebutuhan rumah tangga. Untuk yang berpendidikan SLTA dan S.1.,

disamping motivasi di atas, motivasi lainnya adalah mengekplorasi dan

mendarmabaktikan ilmu yang dimiliki agar bermanfaat pada masyarakat yang

lebih luas. Dalam konteks ini, untuk yang berpendidikan S.1. semestinya,

memiliki argumentasi yang bernuansa lebih teologis karena berlatar

pendidikan belakang keagamaan, atau beralasan kesetaraan gender

sebagaimana sedang ramai diperbincangkan yang salah satu diantara

perjuangannya adalah kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan termasuk

didalamnya kesempatan yang sama bagi perempuan untuk bekerja.

Latar belakang pendidikan nampak berpengaruh kuat pada ibu Inayati

yang berpendidikan SD dan bekerja sampingan sebagai pembantu rumah

tangga. Karena berpendidikan rendah, maka ia bersikap inferior (rendah diri).

Fenomena ini bisa dilihat dari tanggapannya terhadap beberapa masalah

dalam penelitian ini, diantaranya: ia akan taat pada suami meskipun suami

melakukan pelanggaran syari’at; ia setuju dengan istilah penghambaan istri

terhadap suami; ia juga menerima ungkapan tradisi Jawa swargo nunut

neroko katut. Fenomena ini juga nampak pada ibu Juwariyah yang pernah

mengenyam pendidikan di pesantren.. Ia setuju dengan istilah penghambaan

istri terhadap suami, serta menerima ungkapan tradisi Jawa swargo nunut

64
neroko katut. Ia menerima dua tradisi tersebut, karena keduanya diajarkan

dan mengakar kuat dalam pesantren.

2. Faktor Lingkungan.

Yang dimaksud faktor lingkungan dalam pembahasan ini adalah

lingkungan keluarga dan masyarakat. Lingkungan keluarga menjadi penting

karena dalam keluarga itulah tempat pertama kali seseorang berinteraksi dan

bersosialisasi serta proses pendidikan dimulai. Dengan demikian lingkungan

keluarga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang.

Membenarkan pernyataan di atas, bisa kita lihat pada ibu Hikmi. Ia

hidup di lingkungan keluarga berpendidikan cukup dan taat beragama.

Bapaknya mengenyam pendidikan tinggi, ibunya berlatar belakang

pendidikan keguruan, sedang kakaknya alumni UGM dan adiknya alumni

UII. Disamping menjadi PNS, ia juga sedang menempuh pendidikan S.1.

Peneliti meyakini bahwa lingkungan keluarga dan pendidikan tersebut

memiliki pengaruh besar. Hal ini tercermin dalam ia menanggapi masalah

penghambaan istri terhadap suami diantaranya sebagai berikut: menolak

penghambaan istri terhadap suami, menolak ungkapan tradisi Jawa swargo

nunut neroko katut, menolak taat pada suami yang melanggar syariat, serta

memilih agama sebagai dasar rujukan ketaatan terhadap suami.

Realitas di atas berbanding terbalik dengan ibu Inayati dan ibu

Sutinah. Keduanya menerima penghambaan istri terhadap suami, menerima

ungkapan tradisi Jawa swargo nunut neroko katut, tetap taat pada suami yang

melanggar syariat, dan mengambil nilai tradisi dan agama sebagai dasar

penghambaan pada suami. Penerimaan terhadap nilai-nilai tersebut adalah

65
cermin kelemahan dan minimya pemahaman sebagai akibat dari pendidikan

yang rendah dan pengaruh lingkungan keluarga yang kurang pendidikan.

Pengaruh lingkungan keluarga juga nampak kuat pada ibu Juwariyah.

Karena ia tinggal di lingkungan keluarga pesantren, mengajar di pesantren,

bersuami pengasuh pesantren, maka peneliti berkeyakinan bahwa lingkungan

tersebut berpengaruh besar dalam kehidupannya. Realitas ini tercermin dalam

ia menanggapi masalah penghambaan istri terhadap suami, diantaranya:

menerima penghambaan istri terhadap suami selama tidak menimbulkan

maksiat, menerima ungkapan tradisi Jawa swargo nunut neroko katut. Ia juga

cenderung terhadap nilai doktrin sebagai dasar penghambaan terhadap suami.

Meskipun ia berpendidikan S.1. IAIN yang banyak menyebarkan pemikiran

keagamaan modern, pada kenyataannya tidak mampu menggeser pemikiran

keagamaannya yang tradisionalis.

Di dalam lingkungan keluarga juga seseorang pertama kali

mendapatkan berbagai pengalaman hidup yang keseluruhannya dapat

bermakna sebagai pendidikan. Dalam konteks demikian maka secara

sosiologis dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi keluarga adalah fungsi

edukatif, yakni memberikan pendidikan terutama pada anak-anak serta

seluruh anggota keluarga yang tinggal di dalamnya.

Faktor lingkungan masyarakat juga mempengaruhi sikap hidup

seseorang. Namun dalam penelitian ini, dalam pengamatan peneliti

lingkungan masyarakat kurang berpengaruh terhadap para istri dalam

mensikapi masalah penghambaan istri terhadap suami, sebab berbagai

kegiatan keagamaan dalam lingkungan masyarakat hanya berkutat pada

66
pembahasan fiqih ibadah, pahala dan dosa, syurga dan neraka, serta kurang

memberi ruang intelektual keagamaan untuk berkembang lebih maju.

Kegiatan keagamaan terutama pada kaum ibu berkisar pada

pembacaan Al Barjanji berjamah, Yasin dan tahlil berjamaah serta beberapa

pengajian yang materinya tidak menyentuh akar persoalan masyarakat.

Sesekali juga ada pengajian umum dalam rangka memperingati hari besar

Islam, namun materi yang disampaikan tidak pernah membahas fiqih

perempuan dengan segala dinamikanya atau pola relasi suami istri dalam

rumah tangga. Mereka sesekali mendengar siraman rohani yang membahas

masalah keluarga dalam acara walimah penganten, karena waktunya terbatas,

maka pembahasanya tidak tuntas, oleh karena itu kurang dirasa ada

pengaruhnya

Adalah tugas bersama warga masyarakat untuk menjadikan sebuah

kawasan menjadi sebuah lingkungan yang kondusif untuk berkembangnya

nilai-nilai kebaikan, baik yang bersumber dari agama maupun tradisi, sebab

lingkungan yang didalamnya berkembang nilai-nilai kebaikan akan

memberikan ruang bagi warga yang tinggal di dalamnya untuk tumbuh

berkembang menjadi manusia taat hukum dan berperadaban.

D. Mendayung Antara Doktrin, Tradisi dan Modernitas.

Bila dianalisis lebih mendalam, paparan di atas menunjukkan bahwa

sesungguhnya para istri mempraktekkan nilai-nilai doktrin, tradisi dan

modernitas dalam berumah tangga, serta jauh dari nilai penghambaan. Nilai

doktrin ditunjukkan dengan kerelaannya melakukan pekerjaan rumah, mengasuh

anak, melayani suami. Nilai doktrin menjadi nampak lebih kuat sebagian istri

67
menolak taat ketika suami melanggar syariat, atau mengingatkan suami agar

tidak melanggar syariat. Nilai tradisi ditunjukkan para istri dengan menerima

masak, macak, manak sebagai kodrat bagi perempuan. Sedang nilai kemoderenan

ditunjukkan dengan kesanggupan bekerja untuk memperkuat ekonomi keluarga,

serta menolak keinginan suami berhubungan badan karena capek yang dalam

fiqh tidak diperkenankan. Nilai kemoderenan juga ditunjukkan dengan penolakan

sebagian istri terhadap tradisi swargo nunut neroko katut serta penolakan peran

perempuan sebagai konco wingking.

Pola perilaku di atas kemungkinan dipengaruhi derasnya arus globalisasi

serta wacana gender yang selalu dipompakan oleh berbagai media (misalnya:

televisi, radio, koran, tabloit, majalah) yang berhasil masuk ke ruang-ruang

pribadi, keluarga dan masyarakat yang berdampak pada adanya tuntutan

kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Perilaku demikian telah

ditunjukkan para istri disamping berperan sebagai ibu rumah tangga juga

berperan sebagai pekerja produkti.

Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa pekerjaan rumah tangga,

mengasuh anak, tidak hanya dikerjakan oleh istri, tapi dikerjakan bersama suami-

istri. Begitu pula dengan kesanggupan istri bekerja, baik di rumah maupun di luar

rumah untuk menopang ekonomi keluarga. Perilaku demikian sesungguhnya

merupakan karakteristik masyarakat modern yang merindukan kesetaraan baik

dalam pergaulan, pekerjaan, dan rumah tangga, serta menafikan tradisi bahwa

wilayah perempuan adalah di dalam rumah dan wilayah laki-laki di luar rumah.

Doktrin fundamental Islam sesungguhnya adalah ”kesetaraan, kebebasan,

dan keseimbangan”. Prinsip ini sesuai dengan esensi dan kekuatan Islam yang

68
terletak pada wataknya yang ”liberatif, progresif dan humanis” yakni persamaan

dalam semua wilayah, termasuk wilayah seksual. Oleh karena itu maka dasar

relasi suami istri yang dibangun Islam adalah mu`asyarah bi al-ma`ruf dan

sakinah mawaddah wa rahmah dalam dibingkai rahmatan lil `alamin.

Kajian lebih mendalam tentang kodrat dan gender, sikap terbuka dan

rasional, diikuti pemahaman terhadap firman dan nilai teologi kontekstual, akan

sangat membantu mengikis pola relasi penghambaan istri pada suami.

Penghambaan hanya layak dilakukan manusia terhadap Tuhan, bukan manusia

terhadap manusia, meskipun itu adalah istri terhadap suami. Meskipun demikian,

dipahami maupun tidak, apa yang telah dilakukan para perempuan dalam

penelitian ini, pola relasi suami istri yang dibangun, sudah sedikit menyentuh

spirit Islam, yakni kesetaraan, kebebasan, dan keseimbangan; liberatif, progresif

dan humanis, jauh dari nilai-nilai dan perilaku penghambaan dan sangat pantas

mendapat apresiasi.

69
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis dari Bab I sampai Bab IV maka

dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01

Kelurahan Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga diantaranya

adalah: Melakukan pekerjaan rumah tangga (bersih-bersih rumah, mencuci

dan merapikan pakaian keluarga, menyiapkan konsumsi keluarga);

Mengasuh dan mendidik anak; Melayani kebutuhan seksual suami; dan

Berpartisipasi mencari nafkah.

2. Penghambaan istri terhadap suami di Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan

Mangunsari Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga dilakukan atas dasar

doktrin, dan tradisi. Para istri yang melakukan penghambaan terhadap suami

atas dasar doktrin berjumlah 1 (satu) orang (ibu Hikmi Yusnita). Sedang para

istri yang melakukan penghambaan terhadap suami dengan tradisi

berjumlah 3 (tiga) orang (ibu Inayati, ibu Sutinah, ibu Siti Juwariyah).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti merumuskan beberapa saran yang

kemungkinan dapat dijadikan bahan masukan dalam upaya membangun nilai-

nilai positif pola hubungan suami-istri di wilayah Cabean Kelurahan Mangunsari

Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga, yaitu:

70
1. Kaum perempuan disamping menjadi warga masyarakat, ia adalah seorang

istri dan seorang ibu. Sebagai seorang istri, perempuan hendaknya

mengetahui secara benar hak dan kewajiban suami-istri baik yang

bersumber dari negara, agama, dan tradisi setempat. Dengan pengetahuan

yang benar memungkinkan seorang istri merencanakan kehidupan pribadi

dan keluarganya jauh dari nilai dan tindakan yang menjurus pada

penghambaan. Sebagai seorang ibu, perempuan harus menyadari, bahwa ia

adalah guru utama dan pertama bagi anak-anaknya, maka ia tidak boleh

lelah mencari tambahan wawasan kependidikan sehingga mempunyai bekal

yang cukup dalam mendampingi anak-anaknya menuju dewasa.

2. Pengetahuan masyarakat terhadap kehidupan berumah tangga baik dari

perspektif hukum agama maupun hukum negara sangat rendah. Hal ini

dapat dilihat dari rapuhnya nilai-nilai pernikahan; maraknya kekerasan

dalam rumah tangga baik fisik maupun psikhis. Oleh karena itu, maka para

tokoh agama dan masyarakat harus ikut menjaga keabadian pernikahan

dengan berfungsi sebagai relawan konsultan pernikahan. Hal ini menjadi

penting karena tatanan masyarakat yang baik hanya akan terwujud dari

tatanan keluarga yang baik.

3. Ada kasalahan pemahaman sebagian masyarakat terhadap makna kodrat

dan gender. Kesalahan mengakibatkan carut marut dan silang sengketa yang

berdampak kurang baik terhadap suami istri ketika hendak berperan dalam

keluarga. Untuk itu para aktifis perempuan hendaknya memberikan

wawasan yang mencerahkan pada masalah tersebut dengan mengacu pada

71
nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, dan keseimbangan, dalam bingkai nilai

sosial keagamaan yang benar melalui forum Dasa Wisma, PKK, Pengajian,

maupun forum lain yang dapat diketahui oleh masyarakat.

C. Penutup

Karena keterbatasan wawasan dan buku rujukan, maka penelitian tentang

Penghambaan Istri Terhadap Suami materi pembahasannya kurang mendalam.

Untuk menambah lebih baik dan bobot tulisan ini, maka peneliti berharap saran,

masukan, dari para pembaca. Peneliti berbangga hati, karena tema tersebut sangat

memberi manfaat serta menambah wawasan sebagai bekal hidup berkeluarga

pada masa-masa yang akan datang.

Peneliti juga berbagga hati dan berterima kasih apabila pembahasan ini

dibaca orang banyak, karena peneliti yakin pembaca juga akan mendapat

tambahasan wawasan berumah tangga. Akhirnya, peneliti mohon maaf akan

keterlambatan tugas akhir ini, dan semoga bermanfaat bagi peneliti, teman-

teman, pemerhati agama dan keluarga.

72
DAFTAR PUSTAKA Studi dan Pengembangan
Perempuan dan Anak (LSPPA),

An-Nawawi, Syekh Muhammad Bin Farid Wajidi dan Cici Farkha

Umar Afif Bustomi, dkk, pent., Assegaf, pent.,Yogyakarta.


2000, Terjemah Syarah
Engineer, Asghar Ali, 2003, Pembebasan
Uqudullijain Etika Berumah
Perempuan, Agus Nuryanto,
Tangga, Pustaka Amani, Jakarta.
pent., LkiS, Yogyakarta.
Al-qur’an dan Terjemahannya,
Departemen Agama Reepublik Fayumi, Badriyah dan Alai Najib, 2002,
Indonesia, Jakarta. Mahluk Yang Paling Mendapat
Arikunto, Suharsini, 1998. Prosedur Perhatian Nabi: Perempuan
Penelitian Suatu Pendekatan Dalam Hadis, Gramedia, Jakarta.
Praktis, Rineka Cipta, Jakarta. Ghozali, Abdul Muqsit, dkk., 2002,
Tubuh, Seksualitas, dan
Bashyir, Ahmad Azhar, 1995, Hukum
Kedaulatan Perempuan, LkiS,
Perkawinan Islam, FH UII,
Yogyakarta.
Yogyakarta.
Hidayat, Afendy, M.Phil, 2014,
Darwin, Muhajir dan Tukiran, 2001,
Sangkan Paraning Dumadi:
Menggugat Budaya Patriarkhi,
Sebagai Proses antara Lahir dan
Pusat Penelitian Kependudukan
batin, Gramedia, Jakarta.
UGM, Yogyakarta.
Hadi, Sutrisno. 1986, Metodologi
Depag RI, 2004, Pedoman Konseling
Research II, Fakultas Psikologi
Perkawinan, Jakarta.
UGM, Yogyakarta.
Dzuhayatin, Siti Ruhaini, dkk., 2002,
Rekonstruksi Metodologis Wacana Ismail, Syuhudi. 1992, Metodologi
Kesetaraan Gender Dalam Islam, Penelitian Hadis Nabi. Bulan
PSW Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Bintang. Jakarta.
Endraswara, Suwardi, 2003, Falsafah Kisyik, Abdul Hamid, tt, Bimbingan
Hidup Jawa, Cakrawala, Tanggerang. Islam Untuk Mencapai Keluarga
Engineer, Asghar Ali, 2000. Hak-Hak Sakinah, Kelompok Penerbit
Perempuan Dalam Islam, Lembaga Mizan, Al Bayan, Bandung.
Moleong, Lexy J, 2001, Metodologi Rumah Tangga, Jendela,
Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Yogyakarta.
Rosdakarya, Bandung. Umar, Nasaruddin, 2001, Argumen
Kesetaraan Jender Prespektif Al
Munhanif, Ali. 2002, Perempuan Dalam
Qur`an, Paramadina, Jakarta.
Literatur Islam Klasik, Gramedia,
Syarifuddin, Amir, 2001, Hukum
Jakarta,
Perkawinan Islam Indonesia,
Muhammad, Husein, 2002, Fiqh
Prenada Media, Jakarta.
Perempuan: Refleksi Kyai atas
Wacana Agama dan Gender, LkiS, Qardhawi, Syekh Muhammad Yusuf,
Yogyakarta. Muammal Hamidy, pent., 1980,
Murata, Sachiko, 2004, The Tao Of Halal dan Haram dalam Islam,
Islam : Kitab Rujukan tentang Bina Ilmu, Surabaya.
Relasi Gender dalam Kosmologi Undang-Undang Perkawinan Indonesia,
dan Teologi Islam, Mizan, Arkola, Surabaya.
Bandung. Majalah Bina Swadaya, No. 7 th. IV,
Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005, Mistik Februari 1996.
dan Kosmologi Serat Centhini, http:/budayaluhur.blogspot.com./2009/0
Media Abadi, Yogyakarta. 9/hakekatperkawinanmenurutjawa.
Rahmat , Jalaluddin, 1995. Islam http://www.dikbangkes-
Alternatif, Mizan, Bandung. jatim.com/?p=45

Suharso dan Ana Retnoningsih. 2009.


Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Semarang: Widya Karya.
Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofyan,
2001, Perempuan dan Seksualitas
dalam Tradisi Jawa, Gema Media,
Yogyakarta.
Suardiman, Siti Partini, 2001,
Perempuan Sebagai Kepala
Lampiran 1 ketika seorang istri juga
berpartisipasi mencari nafkah ?
Pedoman Wawancara
18. Ketika seorang istri berpartisipasi
PENGHAMBAAN ISTRI
dalam mencari nafkah, apakah
TERHADAP SUAMI
ANTARA DOKTRIN DAN TRADISI hasilnya sebaiknya untuk
(Studi Kasus Pada Perempuan di
kepentingan pribadi istri atau untuk
Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan
Mangunsari kepentingan bersama dalam keluarga
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga)
?
19. Menurut pendapat ibu, sampai batas
Data Interview
mana kewajiban seorang istri untuk
Nama : taat dan patuh pada suami ?
Pendidikan Terakhir : 20. Dalam kondisi cepai dan kelelahan,
suami berkeinginan untuk
Pekerjaan : berhubungan badan, bagaiamana
Jumlah Anak : sebaiknya istri bersikap ? Dalam
Pekerjaan Suami : masalah ini bagaiamana pendapat ibu
?
Pertanyaan
21. Dalam tradisi Jawa, ada ungkapan
bahwa istri adalah konco wingking
14. Apakah ibu biasa mengerjakan
yang batas wilayahnya: masak,
pekerjaan rumah tangga, seperti:
macak dan manak. Bila ibu setuju,
menyiapkan makanan, mencuci
apa alasannya ?, bila menolak apa
pakaian, bersih-bersih rumah,
alasannya ?
mengasuh anak ?
22. Dalam tradisi Jawa, ada juga
15. Mengapa ibu melakukan semua
ungkapan swargo nunut neroko
pekerjaan itu ?
manut, bagaimana komentar ibu
16. Dalam mengerjakan pekerjaan
tentang ungkapan tersebut ?
rumah tangga, apakah suami sering
23. Ketika suami melanggar syari`at,
membantu ?
misal: mabuk, judi, tidak setia pada
17. Nafkah adalah tanggungjawab
istri, ada kewajiban bagi istri untuk
suami. Bagaimana pendapat ibu
tetap taat dan patuh pada suami ?
24. Menurut pendapat ibu, bagaimana
idealnya pola hubungan suami-istri
itu dibangun ?
12 Dalam masyarakat, ajaran kataatan
terhadap suami ada yang bersumber
pada doktrin (agama) ada pula yang
dari tradisi. Nilai atau ajaran
manakah yang mau digunakan ?
13. Dalam ajaran Islam ada dan dikenal
istilah penghambaan istri kepada
suami. Setujukah anda ?
Lampiran 2.
Beberapa Foto Wawancara Penulis
Dengan Responden

Wawancara dengan Ibu Inayati Wawancara dengan warga Ibu Sutinah


warga RT 05 RW 01 Cabean warga RT 05 RW 01 Cabean

Wawancara dengan Ibu Hikmi Wawancara dengan Ibu Siti Juariyah, S.Ag.
warga RT 05 RW 01 Cabean Pengasuh Pondok Pesantren Yasinta
Lampiran 3.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anita Yohanna

Tempat / tgl. Lahir : Salatiga, 13 September 1983.

Alamat : RT 05 RW 01 Cabean Mangunsari Sidomukti Salatiga.

Riwayat Pendidikan : 1. MI Mangunsari Sidomukti Salatiga Lulus Tahun 1995.

2. M Ts Negeri Salatiga Lulus Tahun 1998.

3. SMU Kartika IV-1 Lulus Tahun 2001

4. IAIN Salatiga Lulus Tahun 2016.

Salatiga, 12 Februari 2016

Anita Yohanna
Lampiran 4

KEMENTRIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI`AH
Jl. Nakula Sadewa V No. 9 Telp. (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50712
Website : www.iainsalatiga.ac.id Email : administrasi@iainsalatiga ac.id

Lembar
Konsultasi Skripsi

Nama Mahasiswa : Anita Yohanna


NIM : 21211004
Pembimbing : Dra. Siti Zumrotun, M. Ag.
Judul : PENGHAMBAAN ISTRI TERHADAP SUAMI ANTARA
DOKTRIN DAN TRADISI (Studi Kasus Pada Perempuan di
Cabean RT 05 RW 01 Kelurahan Mangunsari Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga)

No. Tanggal Isi Konsultasi Catatan Pembimbing Paraf

Anda mungkin juga menyukai