Anda di halaman 1dari 116

PERBEDAAN PENGGUNAAN LAFADZ IJAB DAN QABUL

DALAM PERKAWINAN
(Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa)

OLEH
NURHAINI
NIM 160202086

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM
2021
PERBEDAAN PENGGUNAAN LAFADZ IJAB DAN QABUL
DALAM PERKAWINAN
(Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa)

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram


Untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai Gelar
Sarjana Hukum Keluarga Islam

Oleh
NURHAINI
NIM 160202086

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM
2021

ii
iii
iv
vi
MOTTO

   


  

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah”.1

1
QS. Adz Zariyaat (51):49.

vii
PERSEMBAHAN

“Peneliti persembahkan skripsi ini untuk

kedua orang tua tercinta, (Ayahanda

Nasrin), (Ibunda Jena) dan (Kakak Srijaya

Ependi) atas segala doa dan dorongan

serta motivasi, sehingga peneliti mampu

menyelesaikan skripsi ini”.

viii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam dan

shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, juga

kepada keluarga, sahabat, dan semua pengikutnya, khususnya kepada penulis

sehingga skripsi yang berjudul “ Perbedaan Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam

Perkawinan (Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa) “, ini bisa

terselesaikan dengan baik, dan juga merupakan syarat untuk mendapatkan Gelar

Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.

Peneliti menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak akan sukses

tanpa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karenanya, melalui kesempatan

ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Drs. Moh. Asyiq Amrulloh, M. Ag. Sebagai Pembimbing I dan Ibu

Nisfawati Laili Jalilah, M.H. sebagai Pembimbing II yang dengan sabar dan

ikhlas serta memberikan bimbingan, motivasi, dan koreksi mendetail terus

menerus, dan tanpa bosan di tengah kesibukannya sehingga skripsi ini bisa

selesai.

2. Bapak Prof. Dr. H. Mutawali, M.Ag., selaku Rektor UIN Mataram.

3. Dr. H. Musawar, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah, atas kesempatan

yang diberikan untuk menempuh studi pada Program Studi Sarjana Strata Satu

(S1) Hukum Keluarga Islam.

ix
4. Ibu Hj. Ani Wafiroh, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga

Islam.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah UIN Mataram yang telah banyak

memberikan bimbingan selama peneliti melaksanakan studi di UIN Mataram

dan Almamater.

6. Bapak Suyitno, S. Ag selaku Kepala KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan

penelitian serta staf KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan informasi yang

dibutuhkan dalam penelitian

7. Sahabat-sahabatku (Kesa, Sukri, Purnama, Dian) dan orang tercinta (Roni,

S.Pd.) yang telah banyak membantu peneliti selama penyusunan skripsi.

8. Teman-teman seperjuangan peneliti di program studi Hukum Keluarga Islam

kelas C angkatan 2016, teman-teman KKP Masbagik Utara, dan teman-teman

kos di Gomong Sakura 3.

Akhir kata, semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua,

terutama yang membacanya. Aamiin.

Mataram, 28 Desember 2020

Penulis,

Nurhaini

x
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii

NOTA DINAS PEMBIMBING ........................................................................ iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................................... v

PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ............................................................... vi

HALAMAN MOTTO ....................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ viii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix

DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv

ABSTRAK......................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 5

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ............................................... 6

E. Telaah Pustaka................................................................................... 6

F. Kerangka Konseptual ........................................................................ 17

G. Metode Penelitian .............................................................................. 37

H. Sistematika Pembahasan .................................................................... 44

xi
BAB II Perbedaan Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam

Perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa............................................................................................. 47

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 47

B. Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam Perkawinan di

KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa ........................... 61

1. Pasangan Pengantin yang menggunakan Lafadz dengan

Kata “Kuserah” ........................................................................... 62

2. Pasangan Pengantin yang menggunakan Lafadz dengan

Kata “Kubeang” ........................................................................... 65

3. Pasangan Pengantin yang menggunakan Lafadz dengan

Kata “Kusenikah” ........................................................................ 66

C. Alasan Terjadinya Perbedaan Penggunaan Lafadz Ijab dan

Qabul dalam Perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa ......................................................................... 69

1. Alasan Wali menggunakan Lafadz “Kuserah” .............................. 69

2. Alasan Wali menggunakan Lafadz “Kubeang” ............................. 71

3. Alasan Wali menggunakan Lafadz “Kusenikah” .......................... 71

BAB III Analisis Perbedaan Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul

dalam Perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa ......................................................................... 75

A. Analisis Terhadap Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam

Perkawinan........................................................................................... 75

xii
B. Analisis Terhadap Alasan Terjadinya Perbedaan Penggunaan

Lafadz Ijab dan Qabul dalam Perkawinan ............................................. 82

BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 87

A. Kesimpulan .......................................................................................... 87

B. Saran .................................................................................................... 88

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 89

LAMPIRAN ...................................................................................................... 91

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kartu Konsultasi Proposal Skripsi

Lampiran 2 Kartu Seminar Proposal Skripsi

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dari UIN Mataram

Lampiran 4 Surat Rekomendasi dari Kantor KUA Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa

Lampiran 5 Kartu Konsultasi Skripsi

Lampiran 6 Surat Keterangan Turnitin dari UIN Mataram

Lampiran 7 Poto Dokumentasi Penelitian

Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup

xiv
PERBEDAAN PENGGUNAAN LAFADZ IJAB DAN QABUL DALAM
PERKAWINAN
(Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa)

Oleh:
NURHAINI
NIM 160202086

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai perbedaan penggunaan lafadz ijab dan


qabul di Kec. Moyo Hilir. Kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat yang ada di
Kec. Moyo Hilir ini, ada beberapa masyarakat yang berbeda dalam pengucapan
lafadz ijab dan qabul ketika akad, yang dimana ada yang menggunakan lafadz ijab
dan qabul menggunakan kata nikah dan ada juga sebagian masyarakat mengunakan
lafadz menyerahkan/memberikan. Dalam permasalahan tersebut, jika dilihat dari
perspektif beberapa mazhab mereka berbeda pendapat terkait pengucapan lafadz
tersebut, dimana ada yang membatasi pada dua lafadz saja yaitu lafadz nikah dan
zawaj, dan ada juga yang memperbolehkan menggunakan lafadz apa saja selama niat
dan tujuannya itu sama. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana
penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan di Kec. Moyo Hilir, apa alasan
terjadinya perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan di Kec.
Moyo Hilir.
Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif dengan menggunakan teori
perspektif empat mazhab, penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan dan data
yang dikumpulkan berdasarkan hasil di lapangan, melalui hasil observasi, wawancara
dan dokumentasi. Analisis data melalui tahapan reduksi data, penyajian data dan
menarik kesimpulan. Peneliti menyatakan bahwa apapun lafadz yang digunakan oleh
wali nikah, dan selama lafadz tersebut hakikat dan tujuannya adalah sama untuk
menyatukan atau mengesahkan hubungan mempelai perempuan dan mempelai laki-
laki tanpa menambah atau mengurangi rukun dan syarat sahnya nikah tidak masalah,
karena sesuai dengan syariat Islam berdasarkan Al-qur’an dan Hadist.
Kata Kunci: Lafadz Ijab Qabul, Perkawinan.

xv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terlaksananya suatu perkawinan bukan hanya tertuju pada ridhonya

laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, suatu perkawinan dapat dilangsungkan

dan sah apabila terpenuhinya rukun dan syarat di dalam perkawinan itu

sendiri. Salah satu rukun nikah tersebut, yang paling penting ialah ijab dan

qabul. Adapun syarat untuk diucapkannya ijab dan qabul ialah memahami

bahasa yang digunakan. 2

Beberapa mazshab memberikan pengertian ijab dan qabul berbeda-

beda dintaranya dikutip oleh Muhammad Jawad Mughniyah diantaranya

adalah sebagai berikut:3

Menurut mazhab Syafi’i ijab merupakan suatu ucapan kerelaan untuk

menyerahkan sesuatu kepada pihak lain, dalam hal ini dilakukan oleh pihak

wali calon istri, sedangkan qabul adalah suatu ucapan yang menunjukkan atas

kerelaan dan kesiapan untuk menerima sesuatu dari pihak lain, dalam hal ini

dilakukan oleh pihak calon suami atau yang mewakilinya. Mengenai lafadz-

lafadz ijab yang dibenarkan penggunaannya dalam pelaksanaan akad

perkawinan, mazhab Syafi’i mengatakan bahwa tidak sah akad kecuali

dengan menggunakan lafadz inkah atau zawaj, atau akar kata dari keduanya

saja. Adapun pendapat mazhab Syafi’i mengatakan bahwa sesungguhnya

2
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), hlm. 73.
3
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008), hlm.
308-311.
2

kalimat Allah yang menghalalkan Faraj dalam Al Qur’an adalah kata inkah

dan tazwij

1. Menurut pendapat mazhab Hanafi

Ijab merupakan suatu penetapan atas dasar kerelaan yang

diucapkan pertama kali dari ucapan salah satu diantara dua orang yang

berakad atau orang yang mewakilinya, sedangkan qabul merupakan

suatu ungkapan kedua yang diucapkan dari salah satu diantara dua orang

yang berakad, yang mana ucapan tersebut menunjukkan adanya suatu

kesepakatan dan kerelaan terhadap apa yang telah diwajibkan atau

dibebankan kepadanya pada saat ijab. Mengenai lafadz-lafadz ijab

mazhab Hanafi mengatakan bahwa memperbolehkan menggunakan

kata-kata inkah dan tazwij, sebab dalam ijab yang terpenting niatnya dan

tidak disyaratkan menggunakan kata-kata khusus, bahkan semua lafadz

dianggap cocok apabila maknanya dapat dimengerti, yaitu kata-kata tadi

dengan maksud agamanya maknanya sama, hukumnya tetap sah. Kata-

kata “memberikan” pernah pula digunakan dalam ijab qabul perkawinan

Nabi sendiri, maka beberapa pendapat mengatakan bahwa umatnya

boleh juga menggunakannya.4

2. Menurut pendapat mazhab Maliki

Ijab merupakan suatu ungkapan yang menunjukkan atas suatu

kerelaan yang berasal dari mumallik (orang yang memiliki), sedangkan

qabul adalah suatu ungkapan yang menunjukkan atas suatu kerelaan

4
Ibid, hlm. 309.
3

yang berasal dari mutamallik (orang yang mencari kepemilikan). Mereka

membagi lafadz ijab menjadi dua yaitu lafadz sharih dan lafadz ghairu

sharih atau tidak jelas.

3. Menurut pendapat mazhab Hambali dan Hanabillah

Ijab merupakan lafadz kerelaan memberikan sesuatu yang berasal

dari wali nikah atau orang yang menempati posisi wali dalam arti orang

yang mewakili wali kepada calon suami atau wakilnya, sedangkan qabul

merupakan ucapan penerimaan yang berasal dari calon suami atau orang

yang mewakili calon suami. Adapun lafadz nikah yang sah digunakan

dalam akad perkawinan hanya ada dua yaitu lafadz yang berasal dari

kata inkah dan zawwaja. Dengan syarat harus disertai penyebutan

maskawin, selain kata-kata tersebut tidak sah perkawinannya. 5

Dari penjelasan di atas, jika dikaitkan dengan realita yang terjadi

pada masyarakat yakni di Sumbawa khususnya Kecamatan Moyo Hilir,

yang di dalamnya melingkupi KUA Kecamatan Moyo Hilir yang pada

dasarnya menggunakan mayoritas mazhab Syafi’i. Namun, di dalam

pelaksanaannya juga ada yang berbeda-beda. Salah satunya dalam

pengucapan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan, ada yang tidak

menggunakan seperti apa yang ditetapkan oleh mazhab Syafi’i, yakni

dengan menggunakan lafadz inkah atau zawwaja. Salah satunya adalah

kasus di KUA Kecamatan Moyo Hilir, tepatnya di Desa Kakiang, Desa

Batu Bangka, Dusun Karangjati dan Desa Ngeru.

5
Ibid, hlm. 311.
4

Hasil wawancara awal dengan Bapak H. Nasrullah, S. Sos. selaku

penghulu di KUA Kecamatan Moyo Hilir, beliau mengatakan bahwa

meskipun pada hakikatnya masyarakat menganut mazhab Syafi’i, akan

tetapi dalam pelaksanaannya masih ada juga masyarakat yang

menggunakan lafadz ijab qabul yang tidak sesuai dengan ketentuan

mazhab Syafi’i, akan tetapi menggunakan cara daerahnya masing-

masing. Hal tersebut dibuktikan karena di daerah Kecamatan Moyo

Hilir, banyak sekali masyarakat yang dari pelosok yang kurang paham

terhadap lafadz inkah yang seharusnya digunakan. 6

Dari uraian tersebut di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk

melakukan penelitian di Sumbawa khususnya di Kecamatan Moyo Hilir

terkait perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam akad nikah

serta penerapannya di masyarakat selama ini khususnya penulis ingin

mengetahui bagaimana pengucapan lafadz ijab dan qabul yang

sebenarnya, serta lafadz ijab dan qabul yang seperti apa yang seharusnya

diucapkan ketika berakad di dalam perkawinan.

6
H. Nasrullah (Penghulu), Wawancara, KUA Moyo Hilir, 20 April 2020.
5

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka dapat diambil permasalahan

dari penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan di

KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa?

2. Apa alasan terjadinya perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul

dalam perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa?

3. Bagaimana analisis perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa?

C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan:

1. Penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan di KUA

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa

2. Alasan terjadinya perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa

3. Mengalisis perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa

Manfaat penelitian ini adalah:


6

1. Secara Teoritis: Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan dan pengetahuan tentang lafadz inkah dalam perkawinan

2. Secara Praktis: Dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan acuan

dalam mengembangkan keilmuan yang berkaitan dengan pernikahan

khususnya masalah pengucapan lafadz inkah ketika ijab qabul

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini terbatas hanya pada perbedaan

penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan (Studi di KUA

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa), dengan fokus penelitian di

KUA Kecamatan Moyo Hilir.

Setting penelitian ini dilakukan di Sumbawa, dengan fokus lokasi di

KUA Kecamatan Moyo Hilir, yang di dalamnya melingkupi Desa Kakiang,

Desa Batu Bangka, Dusun Karangjati dan Desa Ngeru, dengan alasan bahwa

di Kecamatan Moyo Hilir tersebut banyak sekali masyarakat yang dalam

pengucapan lafadz inkah pada saat ijab qabul berbeda-beda, ada yang

menggunakan perspektif mazhab Syafi’i, mazhab lain, bahkan ada yang

menyesuaikan diri dengan daerahnya masing-masing.

E. Telaah Pustaka

Merupakan kajian terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan yang

dilakukan oleh peneliti. 7 Telaah pustakan ini dilakukan agar dapat mengetahui

apakah penelitian tersebut sudah pernah dilakukan atau belum. Adapun telaah

pustaka peneliti adalah sebagai berikut:

7
Hardani, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Yogyakarta: CV Pustaka Ilmu,
2020), hlm.96.
7

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Ria Rhisthiani, dengan judul

skripsi “Perbedaan Lafadz Nikah dalam Ijab Qabul Perspektif Majelis Ulama

Indonesia Provinsi Lampung”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

lafadz nikah dalam perspektif tokoh agama majelis Mazhab Indonesia

Provinsi Lampung. Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan kualitatif dan jenis penelitian lapangan (field research).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ijab dan qabul haruslah diucapkan

dengan lafal-lafal tertentu yaitu lafal yang mengandung kata tazwij dan na-ka-

ha (nikah dan kawin). Dalam pandangan hukum islam selama lafadz nikah

tidak dimaknai berbeda dari makna serah terima antara mujib dan qobil maka

pernikahannya sah, karena dalam melafadzkan ijab qabul sisi terpentingnya

adalah adanya kesepemahaman antara yang melakukan akad nikah tersebut

yaitu antara wali atau wakilnya dan pengantin laki-laki atau wakilnya. 8

Persamaan penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama

menggunakan penelitian lapangan, dengan jenis kualitatif, dan sama-sama

mengangkat topik utama tentang lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan,

sedangkan letak perbedaannya itu, terletak pada fokus penelitiannya, dimana

penelitian ini meneliti tentang perbedaan lafadz nikah dalam ijab qabul dilihat

dari perspektif Majelis Ulama Indonesia. Lokasi penelitian tersebut yakni di

Provinsi Lampung, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah

8
Ria Rhisthiani, “Perbedaan Lafadz Nikah dalam Ijab Qabul Perspektif Majelis Ulama
Indonesia Provinsi Lampung”, (Skripsi, Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung: Lampung, 2019).
8

perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan (Studi di

KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa).

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin Asofi, dengan judul

skripsi “Studi Analisis Pendapat Ibnu Qudamah tentang Keharusan Ijab Qabul

Menggunakan Lafadz “Inkah” dan “ Tazwij” bagi yang Mampu”. Penelitian

ini bertujuan untuk mengungkapkan alasan Ibnu Qudamah yang berpendapat

bahwa ijab qabul harus menggunakan lafadz “inkah” dan “tazwij” bagi yang

mampu serta hukum apa yang mendasari pendapat Ibnu Qudamah tersebut.

Metode atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sifatnya

adalah library research, datanya menggunakan data primer dan data sekunder,

jenis pendekatan yakni pendekatan normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa menurut Ibnu Qudamah ijab qabul hanya sah ketika menggunakan

lafadz “inkah” dan “tazwij” bagi yang mampu berbahasa Arab. Akan tetapi,

ketika ditemukan kedua calon pengantin tidak menggunakannya padahal ia

mampu, maka tidak sah nikahnya, karena menurut beliau mengucapkan

pernyataan merupakan salah satu syarat pernikahan. Metode istinbath hukum

Ibnu Qudamah tentang keharusan ijab qabul menggunakan lafadz “inkah” dan

“tazwij” bagi yang mampu adalah metode Qiyas. Dalam perspektif Ibnu

Qudamah untuk sahnya ijab qabul adalah harus mengucapkan lafadz dengan

bahasa arab, dan tidak sah menggunakan bahasa lain. Alasannya yaitu,
9

diqiyaskan atau dipersamakan dengan orang bisu yang hanya diharuskan

untuk menggunakan bahasa mereka, yakni bahasa isyarat. 9

Persamaan penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama

membahas tentang lafadz ijab dan qabul, sedangkan letak perbedaannya itu

terletak pada fokus penelitiannya, dimana penelitian ini meneliti tentang

keharusan ijab qabul menggunakan lafadz “inkah” dan “ tazwij” bagi yang

mampu (Pendapat Ibnu Qudamah). Penelitian ini sifatnya adalah library

research, datanya menggunakan data primer dan data sekunder, jenis

pendekatan yakni pendekatan normatif, tempat penelitiannya yakni di

Semarang, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah studi lapangan

yakni mengenai perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan (Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa).

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Noor Muklisin, dengan judul

skripsi “Hukum Fasl antara Ijab dan Qabul Nikah (Studi Komparatif Pendapat

Al-Juwaini dan Al-Syairazi)”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

pendapat Imam Al-Jumari yang mengatakan bahwa apabila ada Fasl antara

ijab dan qabul nikah maka akad tetap dianggap sah selagi masih fokus dalam

prosesi akad dan tidak dalam jangka waktu yang lama, sedangkan Imam Al-

Syairazi dalam kitabnya berpendapat bahwa apabila ada Fasl antara ijab dan

qabul nikah maka akad dianggap tidak sah secara mutlaq. Setelah mengetahui

perbedaan pendapat diantara para mazhab, maka penelitian menyimpulkan

9
Wahyudin Asofi, “Studi Analisis Pendapat Ibnu Qudamah tentang Keharusan Ijab Qabul
Menggunakan Lafadz “Inkah” dan “ Tazwij” bagi yang Mampu”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan
Hukum Uin Walisongo: Semarang, 2015).
10

bahwa pendapat siapapun diantara mazhab tidak ada yang salah, karena dari

pendapat mazhab mempunyai dasar hukumnya masing-masing. 10

Persamaan penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama

membahas tentang lafadz ijab dan qabul. Akan tetapi, penelitian tersebut

hanya fokus pada hukum Faslnya, sedangkan letak perbedaannya itu terletak

pada fokus penelitiannya, dimana penelitian ini meneliti tentang hukum Fasl

antara ijab dan qabul dalam nikah perspektif Al-Juwaini dan Al-Syairazi.

Penelitian tersebut menggunakan metode komparatif untuk analisis datanya,

metode pengumpulan data menggunakan dokumentasi, lokasi penelitian yakni

di Semarang, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah studi

lapangan yakni mengenai perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan (Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa).

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Muchamad Ali Said, dengan

judul skripsi “Ijab dalam Akad Nikah (Studi Komparatif tentang Keabsahan

Redaksi Ijab Perspektif Fikih Empat Mazhab)”. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan tentang Ijab dalam Akad Nikah Perspektif Fikih Empat

Mazhab. Oleh karena itu, masing-masing mazhab menjelaskan hal-hal yang

berkaitan dengan ijab qabul dengan disertai dalil-dalil dan argumentasi, tidak

terkecuali permasalahan tentang lafadz yang sah dan tidak sah digunakan

dalam ijab qabul pernikahan. Madzhab Hanafi dan Maliki dikatakan kurang

humanis karena menggunakan lafadz yang maknanya kurang menghargai

calon istri, sedangkan Syafi’i dan Hanabilah merupakan dua mazhab yang

10
Noor Muklisin, “Hukum Fasl antara Ijab dan Gabul Nikah (Studi Komparatif Pendapat Al-
Juwaini dan Al-Syairazi)”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Walisongo: Semarang, 2016).
11

humanis, sebab mereka menggunakan lafadz ijab yang maknanya tidak

merendahkan calon istri. Persamaan dalil terjadi pada surat al-Ahzab ayat 37

yaitu dalil tentang sahnya lafadz zawwaja. Perbedaan dalil lebih banyak

terdapat pada dalil lafadz yang bersifat tidak mutlak. Masing-masing mazhab

sepakat bahwa lafadz yang mutlak berakibat hukum bahwa ijab qabul sah,

sedangkan akibat hukum dari lafadz yang tidak mutlak masih terjadi

perbedaan diantara Ulama empat mazhab. 11 Persamaan penelitian ini dengan

penelitian peneliti yaitu sama-sama membahas tentang lafadz ijab dan qabul.

Akan tetapi, penelitian tersebut hanya fokus pada Ijab dalam Akad Nikah

(Studi Komparatif Tentang Keabsahan Redaksi Ijab Perspektif Fikih Empat

Mazhab, sedangkan letak perbedaannya itu terletak pada metodenya yang

menggunakan deskriptif komparatif, lokasi penelitian yakni di Malang,

sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah studi lapangan yakni

mengenai perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan

(Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa).

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Khusein Ali,

dengan judul skripsi “Pelaksanaan Ijab Qabul Pernikahan dengan Sistem

Perhitungan Waktu (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten

Semarang)”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang

Pelaksanaan Ijab Qabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu yang

mengatakan bahwa banyak sekali kebudayaan atau tradisi yang masuk di

tanah Jawa itu disebabkan karena Islam masuk di tanah Jawa setelah agama

11
Ali Said, “Ijab dalam Akad Nikah (Studi Komparatif Tentang Keabsahan Redaksi Ijab
Perspektif Fikih Empat Mazhab)”, (Skripsi, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang:
Malang, 2011).
12

Hindu dan Budha. Ajaran Hindu Budha banyak sekali mengajarkan tentang

kebudayaan atau tradisi, maka kebanyakan orang pada zaman sekarang ada

sebagian orang yang menganggap ada Islam kejawen, karena adanya ajaran-

ajaran agama Islam yang tidak ada dalam syari’at Islam tetapi ajaran itu

masuk kedalam tradisi atau kebudayaan. Seperti tradisi yang ada di Desa Jetak

yaitu pelaksanaan ijab qabul pernikahan yang terikat oleh waktu. 1. Alasan-

alasan para pelaku pelaksanaan ijab qabul terikat oleh waktu, yaitu: a.

Masyarakat menggunakan waktu dalam menentukan pelaksanaan ijab qabul

pernikahan karena sudah menjadi tradisi turun temurun yang diwariskan oleh

nenek moyang dahulu. b. Dengan menggunakan penentuan waktu dalam

pelaksanaan ijab qabul penikahan, keluarga yang menikah akan terhindar dari

semua ancaman marabahaya. c. Jika seseorang sudah tahu dan mempercayai

dengan waktu pelaksanaan ijab qabul pernikahan, mereka harus

menggunakannya. Selain dalam hajat pernikahan pun mereka juga harus

menggunakan waktu-waktu yang dipercayainya waktu baik, jika dilanggar

dipercaya akan mendapatkan marabahaya. 2. Persepsi para tokoh agama dan

tokoh masyarakat tentang pelaksanaan ijab qabul pernikahan dengan sistem

perhitungan waktu sangatlah beragam, dari yang setuju dengan alasan supaya

mendapat kemantaban sampai beralasan untuk melestarikan warisan nenek

moyang zaman dahulu. Begitu juga dengan tanggapan yang tidak setuju

dengan pelaksanaan ijab qabul dengan sistem perhitungan waktu karena

mereka beralasan dalam syari’at Islam tidak ada. 3. Ilmu fikih menganggap

tradisi itu adalah sebagai kebudayaan masyarakat, tidak ada yang disalahkan
13

karena ilmu fikih adalah ilmu yang bersumber dari nash Al Qur’an dan

Hadist, sedangkan tradisi atau kebudayaan bersumber dari para leluhur yang

lebih dahulu masuk ke tanah Jawa khususnya. 12

Persamaan penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama

membahas tentang lafadz ijab dan qabul, sedangkan letak perbedaannya itu

terletak pada fokus penelitiannya, dimana penelitian ini meneliti tentang Ijab

qabul Pernikahan dengan Sistem Perhitungan Waktu. Penelitian ini sifatnya

adalah library research, datanya menggunakan data primer dan data sekunder,

jenis pendekatan yakni pendekatan normatif, tempat penelitiannya yakni di

Semarang, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah studi lapangan

yakni mengenai perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan (Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa).

Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Marsel dengan judul tesis

“Ijab Qabul dalam Satu Nafas Perspektif Hukum Islam (Analisis Tradisi Akad

Nikah Di Kecamatan Batang Peranap)”. Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan tentang Ijab Qabul dalam Satu Nafas Perspektif Hukum

Islam. Peraturan tentang pelafalan ijab dan qabul yang berlaku di tengah-

tengah masyarakat Kecamatan Batang Peranap adalah bahwa pelafalan ijab

dan qabul harus dilaksanakan dalam satu tarikan nafas. Bila hal itu terpenuhi,

akad nikahnya dihukumi sah dan sebaliknya. Hal ini kerap kali membawa

dampak negatif pada prosesi akad seperti banyak pengulangan pelafalan ijab

dan qabul dan ketakutan dan rasa gerogi dari calom mempelai pria. Di

12
Muhammad Khusein Ali,“Pelaksanaan Ijab Kabul Pernikahan Dengan Sistem Perhitungan
Waktu (Studi Kasus Desa Jetak Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”, (Skripsi, Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam Stain Salatiga: Salatiga, 2014).
14

samping itu, terdapat perbedaan redaksi pelafalan disana walaupun hal itu

tidak berdampak negatif dengan catatan lafadz tersebut mengandung kata

nikah dan dapat saling dipahami maknanya. Prosesi akad nikah di Batang

Peranap sudah sesuai dengan ketentuan yang disyariatkan Islam. Akan tetapi,

perspektif mereka tentang lafadz nikah dengan satu tarikan nafas masih

menjadi polemik. Hal ini terjadi karena ada pergeseran penafsiran dalil dan

pendapat Mazhab oleh tokoh agama dan masyarakat terdahulu. Ijab qabul satu

nafas tidak ditemukan di dalam kitab fiqh. Oleh karenanya, praktek ijab qabul

dalam satu nafas semestinya tidak dilakukan karena memilik dampak negatif

pada prosesi akad nikah di kecamatan Batang Peranap. 13

Persamaan penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama

membahas tentang lafadz ijab dan qabul, sedangkan letak perbedaannya itu

terletak pada fokus penelitiannya, dimana penelitian ini meneliti tentang Ijab

Qabul dalam Satu Nafas Perspektif Hukum Islam. Metode penelitian kualitatif

yaitu metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Penelitian ini

sifatnya adalah library research, datanya menggunakan data primer dan data

sekunder, tempat penelitiannya yakni di Peranap, sedangkan penelitian yang

peneliti lakukan adalah studi lapangan yakni mengenai perbedaan penggunaan

lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan (Studi di KUA Kecamatan Moyo

Hilir Kabupaten Sumbawa).

13
Marsel,“Ijab Qabul Dalam Satu Nafas Perspektif Hukum Islam (Analisis Tradisi Akad
Nikah Di Kecamatan Batang Peranap)”. (Tesis, Uin Sultan Syarif Kasim Ria: Perarap, 2020).
15

Ketujuh, penelitian yang dilakukan oleh Nurul Munjin Zaenal, dengan

judul skripsi “Keabsahan Akad Nikah Menggunakan Bahasa Jawa Perspektif

Hukum Islam”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang

Keabsahan Akad Nikah Menggunakan Bahasa Jawa Perspektif Hukum Islam.

Pada dasarnya akad nikah merupakan salah satu shigat untuk mengahalalkan

hubungan laki–laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Shigat akad

nikah merupakan salah satu dan substansi dalam pelaksanakaan perkawainan.

Adapun lafadz dalam akad nikah maka Bahasa yang diutamakan adalah

Bahasa Arab dengan merujuk kata Zawaja dan Nakaha yang kemudian

merupakan akad mutlak sekalipun empat Imam mazhab setuju dan sepakat

jika pernikahan tidak memakai Bahasa Arab sesuai dengan kemampuan

Bahasa dan pengetahuan Bahasa yang dipahamai oleh kedua mempelai atau

calon pengantin, berikut saksinya di perbolehkan dan dianggap sah. Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) tidak mengatur mengenai bahasa yang sebaiknya digunakan

dalam akad nikah. Idealnya, Ijab qabul dilakukan menggunakan bahasa Arab

karena bahasa asal Syariat. Tetapi dalam realitanya, lebih banyak masyarakat

yang tidak menggunakan bahasa Arab. Alasannya beragam mulai dari tidak

bisa, tidak mengerti, tidak biasa, atau tidak pede karena takut salah.

Karenanya, Ijab qabul dilakukan memakai bahasanya sendiri. 14

14
Nurul Munjin Zaenal,“Keabsahan Akad Nikah Menggunakan Bahasa Jawa Perspektif
Hukum Islam”, (Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Purwokerto: Purwokerto 2018).
16

Persamaan penelitian ini dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama

membahas tentang lafadz ijab dan qabul, sedangkan letak perbedaannya itu

terletak pada fokus penelitiannya, dimana penelitian ini meneliti tentang

“Keabsahan Akad Nikah Menggunakan Bahasa Jawa Perspektif Hukum

Islam”. Kemudian jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library

Researc), sumber data yang digunakan sumber data primer dan sekunder.

Untuk tehnik pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi. Tehnik

analisis data menggunakan metode Countent Analasyst, tempat penelitiannya

yakni di Purwokerto, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah studi

lapangan yakni mengenai perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan (Studi di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa).

Beberapa telaah pustaka pembanding di atas dengan penelitian yang

dilakukan oleh peneliti terdapat persamaan dan perbedaannya. Dari segi

persamaannya yaitu sama-sama melakukan penelitian tentang konsep lafadz

ijab dan qabul dalam perkawinan, sedangkan perbedaannya yaitu perbedaan

tempat dan fokus penelitian yang dilakukannya penelitian, peneliti melakukan

fokus penelitian pada perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam

perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa.


17

F. Kerangka Konseptual

1. Konsepsi Umum Tentang Ijab dan Qabul Dalam Perkawinan

Memurut Hukum Islam:

a. Pengertian Perkawinan

Perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan

membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang bukan mahram.15

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam

Pasal 1 yang berbunyi, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 berbunyi,

Perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan

untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah

ibadah. 16

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

pernikahan adalah ikatan suci antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang bukan hanya sekedar menghalalkan hubungan

suami istri semata namun pernikahan merupakan ikatan yang

mengandung arti yang lebih luas yang dimana dalam sebuah ikatan

suci ini akan menimbulkan beberapa akibat hukum dari ikatan

15
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 9.
16
Mustafa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Jakarta: Kencna, 2015), hlm. 13-14.
18

tersebut. Akibat hukum inilah yang akan menimbulkan tanggung

jawab suami istri dalam memenuhi atau menjalankan hak serta

kewajiban mereka. Adapun yang dimaksud dengan hak dan

kewajiban di sini adalah apa yang diterima oleh seseorang dari

orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah

apa yang mestinya dilakukan seseorang terhadap orang lain.

b. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah

dan tidaknya suatu pekerjaan (Ibadah), dan sesuatu itu termasuk

adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan,17

sedangkan syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya

perkawinan. Apabila syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah

dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami

istri.18

Rukun dalam Perkawinan adalah sebagai berikut:

1) Calon suami;

2) Calon istri;

3) Wali nikah;

4) Dua orang saksi;

5) Ijab dan kabul;19

17
H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 45.
18
Ibid, hlm. 49.
19
Mustafa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 60.
19

Syarat Sahnya Perkawinan yaitu:

1) Islam.

2) Baligh.

3) Berakal.

4) Merdeka.

5) Laki-laki.

6) Adil.20

Adapun syarat ijab dan qabul menurut Ahmad Rafiq (1998:

71) yaitu :

1) Ada pernyataan mengawinkan dari pihak wali;

2) Ada pernyataan menerima dari calon mempelai laki-laki;

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata

tersebut;

4) Antara ijab dan qabul bersambungan;

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

6) Orang yang berkaitan ijab qabul tidak sedang dalam keadaan

ihram haji atau umrah;

7) Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimal 4 orang yaitu :

calon mempelai laki-laki, wali dan dua orang saksi.21

20
Ibid, hlm. 62-63.
21
Ibid, hlm. 81-82.
20

Sedangkan syarat calon suami ataupun istri menurut Ahmad

Rafiq (1998: 71) yaitu :

1) Beragama islam;

2) Harus laki-laki dan perempuan;

3) Jelas orangnya;

4) Adanya kedua persetujuan mempelai;

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.22

Ijab qabul merupakan suatu ikatan suci diantara dua insan yaitu

antara seorang pria dan seorang perempuan dengan syarat dan rukun

tertentu tidak hanya membutuhkan suatu persetujuan dalam hati tetapi

juga membutuhkan adanya suatu ikrar yang menunjukkan adanya suatu

persetujuan yang berasal dalam hati. Pernyataan pertama menunjukkan

kemauan untuk membentuk hubungan suami istri dari pihak perempuan

disebut ijab, sedangkan pernyataan kedua yang diucapkan oleh pihak

yang mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa Ridha dan

setuju disebut qabul. 23

Pengertian ijab dan qabul serta lafadz yang digunakan dalam

perkawinan menurut mazhab yakni sebagai berikut:

a) Menurut Mazhab Syafi’i

Ijab merupakan suatu ucapan kerelaan untuk menyerahkan

sesuatu kepada pihak lain, dalam hal ini dilakukan oleh pihak wali

calon istri.

22
Ibid.hlm.81.
23
Tihami, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
hlm.79.
21

Qabul adalah suatu ucapan yang menunjukkan atas kerelaan

dan kesiapan untuk menerima sesuatu dari pihak yang lain, dalam

hal ini dilakukan oleh pihak calon suami atau yang mewakilinya.

Pengucapan lafadz ijab yang dibenarkan penggunaannya di

dalam pelaksanaan akad perkawinan, mazhab Syafi’i hanya

membatasi pada dua lafadz saja, yaitu lafadz yang berasal dari kata

inkah dan zawwaja. Pembatasan yang sangat ketat terhadap lafadz

akad nikah dalam mazhab Syafi’i ini disebabkan karena menurut

mereka hanya kedua lafadz inilah secara pasti menunjukkan makna

sebuah pernikahan, sedangkan selain kedua lafadz tersebut tidak

menunjukkan suatu maksud pernikahan, dalam kaitannya dengan

persaksian ijab qabul kalau menggunakan selain lafadz yang

berasal dari kata inkah dan zawwaja, menyebabkan ketidaksahan

persaksian akad nikah karena terjadi ketidakjelasan maksud dari

kedua belah pihak yang melakukan akad. 24

Dalil-dalil yang dipegang dan digunakan oleh mazhab Syafi’i

dalam membatasi penggunaan lafadz ijab qabul hanya pada lafadz

yang berasal dari kata inkah dan zawwaja yaitu berpegang pada

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008), hlm.
308-311.
22

‫َ سْت ْحل ْلت ْم ف ج َن‬ َ ‫َ فى لنساء فإنَك ْم أخ ْت وه َن بأما‬ َ ‫تَقو‬


ْ ‫ فإ‬.‫َ لك ْم عل ْي َن أ ْ ا يوط ْن ف شك ْم أح ً ت ْك هونه‬ َ ‫بكل ة‬
‫وهن ض ْ بًا غ ْي مب ح ل َن عليْك ْم ْ ق َن‬ َ ‫ض ب‬ ْ ‫فع ْلن لك فا‬
‫كسْوت َن ب ْال ْع ف‬
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-
hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil
mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah
tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang
kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, Pukullah
mereka dengan Pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian
bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).25

Hadits tersebut menjelaskan bahwa lafadz ijab yang

digunakan dalam pernikahan adalah hanya terbatas pada lafadz

yang berasal dari kata inkah dan zawwaja. Maka tidak sah jika

menggunakan lafadz yang lain, hal ini berkaitan dengan keabsahan

persaksian dalam akad, karena persaksian dalam ijab qabul adalah

menyaksikah secara kongkrit pelafalan nikah dari calon suami atau

yang mewakili.

Dalil yang digunakan oleh mazhab Syafi’i yang sangat

terkenal yaitu Imam Nawawi dalam kitab Majmu menjelaskan

bahwa pernikahan tidak sah kecuali dalam ijab qabul

menggunakan lafadz An-Nikah dan Al-Tazwij. Dalam kitabnya

menggunakan surat An-Nisa ayat 22, yaitu;

   


 
   
25
Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Bassam, Hadits Hukum Bukhari Muslim, (Jakarta:
Pustaka As-Sunnah Jakarta, 2010), hlm. 907.
23

   


 
  
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah
dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.26

Surat Al-Baqarah ayat 232:

 
 
 
 
 
 

  
   
  
  
  
  
  
 
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf.
itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui”.27

b) Menurut Mazhab Hanafi

Ijab menurut bahasa sebagai suatu penetapan atau itsbat,

sedangkan ijab menurut istilah adalah suatu lafadz pertama yang

26
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 114.
27
Ibid, hlm. 8.
24

berasal dari salah satu diantara dua orang yang berakad. Dalam

artian ijab merupakan suatu penetapan atas suatu pekerjaan tertentu

atas dasar kerelaan yang diucapkan pertama kali dari ucapan salah

satu diantara dua orang yang berakad, atau orang yang

mewakilinya, sedangkan qabul merupakan suatu ungkapan kedua

yang diucapkan dari salah satu diantara dua orang yang berakad,

yang mana ucapan tersebut menunjukkan adanya suatu

kesepakatan dan kerelaan terhadap apa yang telah diwajibkan atau

dibebankan kepadanya pada saat ijab. 28

Mengenai lafadz ijab qabul mazhab Hanafi membagi dua

macam yaitu:

1. Lafadz Sharih (jelas)

Yaitu suatu lafadz yang sudah jelas bahwa lafadz

tersebut menunjukkan adanya keinginan terjadinya

pernikahan. Lafadz ini juga tidak menginginkan adanya

qarimah (petunjuk).

Dalil yang digunakan mazhab Hanafi yaitu surat Al-

Ahzab ayat 37:

  


  
 
 
 
  
28
Jawad, Fiqh…, hlm. 309.
25

  


 
 
   
  
 
  
 
 
 
 
 
   
  
Artinya: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami
kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-
isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat
itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi”.29

2. Lafadz Kinayah (samar tau sindiran).

Merupakan suatu lafadz yang masih belum

menunjukkan adanya kejelasan keinginan suatu pernikahan.

Mazhab Hanafi membagi lafadz kinayah menjadi empat

macam yaitu:

a. Lafadz ijab yang disepakati keabsahannya

Seperti ucapan seorang wali “tashaddaqtu

ibnatiy’alaika shadaqan” kemudian calon suami

mengatakan “qabiltu”. Maka akad ini dianggap sah

karena sudah ada qarimah. Adapun mazhab Hanafi

29
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 666.
26

dalam mengesahkan lafadz ini menggunakan dalil

keabsahan lafadz wahaba yaitu surat al-ahzab ayat

50.30

b. Lafadz ijab yang masih ada ikhtilaf (perbedaan)

tentang keabsahan

Lafadz ini sah digunakan dalam ijab qabul menurut

Jumhur Hanafi. Adapun lafadz tersebut yaitu, ba’a

(menjual), syara’a (membeli), shalama

(menyerahkan). Adapun contoh lafadz ba’a seperti

seorang perempuan kepada lelaki “bi’tu nafsin minka

bi kadza nawiyatan bihi al-zawaja” kemudian lelaki

itu menerima hal itu maka akad tersebut sah. Lafadz

aslama seperti ucapan wali “aslamtu ilaika shadaqan”

kemudian calon suami mengatakan “qabiltu”. Maka

akad ini dinggap sah. Lafadz shalaha seperti ucapan

wali “shalahtuka’ala al-alfi allatiy’ala ibnatiy yuridi

bihi al-zawwaja”.

c. Lafadz ijab yang masih ada ikhtiaf, namun menurut

pendapat yang shahih lafadz ini tidak sah digunakan

dalam akad nikah. Lafadz ini yaitu lafadz ajara

(menghadiahkan atau memengupakan atau

menyewakan) dan ausha (mewasiatkan).

30
Ibid, hlm. 666.
27

d. Lafadz ijab yang disepakati ketidaksahan

penggunaannya dalam akad nikah. Adapun lafadz

tersebut yaitu abaha (memperbolehkan), akhala

(menghalalkan), a’ara (meminjamkan) adapun

contohnya yaitu: “ ucapan seorang perempuan kepada

calon suami “ ahlaltu laka nafsiy atau a’artuka atau

matta’tuka nafsiy shadaqan”. Kemudian calon sumai

menerimanya, maka akad ini disepakati

ketidaksahnya.31

c) Menurut Mazhab Maliki

Ijab merupakan suatu ungkapan yang menunjukkan atas

sautu kerelaan yang berasal dari mumallik (orang yang memiliki),

sedangkan qabul adalah suatu ungkapan yang menunjukkan atas

suatu kerelaan yang berasal dari mutallik (orang yang mencari

kepemilikan).32 Mereka membagi lafadz ijab menjadi dua bagian

yaitu:

1. Lafadz ijab yang sharih (jelas)

Artinya tidak mengandung arti lain selain pernikahan

atau perkawinan. Mazhab Maliki juga membatasi pada dua

lafadz saja yakni kata inkah dan zawwaja. Dalil Al-Qur’an

yaitu surat Al-Qashas ayat 27:

31
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh…, hlm. 309.
32
Ibid, hlm. 311.
28

  


  
 
  
  
  
   
  
  
   
 

Artinya: “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya


aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang
dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka
aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah
akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".33

2. Lafadz ijab yang ghairu sharih (tidak jelas)

Adalah lafadz yang masih membutuhkan suatu

qarinah yang menunjukkan adanya keinginan untuk

melaksanakan akad nikah. Qarinah artinya berupa

disebutkannya shadaqa (mahar). Lafadz ijab yang ghairu

sharih yang disepakati hanya satu lafadz yaitu wahaba.

Dalil yakni surat Al-Ahzab ayat 50 yaitu:

 
  
 

33
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 609.
29

 
  
  
 
 
 
 
 
 
 
  
  
 

   
  
  
 
 
 
  
   
  
Artinya: Hai Nabi, sesungguhnya kami telah
menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu
berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki
yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan
yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula)
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu,
anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu,
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang
turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk
semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui
apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri
mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak
menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.34

34
Ibid, hlm. 666.
30

d) Menurut Mazhab Hambali

Ijab merupakan lafadz kerelaan memberikan sesuatu yang

berasal dari wali nikah atau orang yang menempati posisi wali

dalam arti orang yang mewakili walinya, sedangkan qabul

merupakan ucapan penerimaan yang berasal dari calon suami atau

orang yang mewakili calon suami.

Lafadz ijab yang sah digunakan dalam akad pernikahan

hanya ada dua yaitu berasal dari lafadz kata inkah dan zawwaja.

Mereka menyatakan bahwa satu ijab qabul pernikahan yang tidak

menggunakan lafadz ini hukumnya tidak sah.35Adapun dalil-dalil

yang digunakan untuk memperkuat pendapat tersebut adalah

berasal dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221 dan Al-Ahzab

ayat 37:

Bunyi surat Al-Baqarah ayat 221:

 
 
   
  
   

 
  
  
  
  
   
 

35
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh…, hlm. 311.
31


  
 
 

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.36

Bunyi surat Al-Ahzab ayat 37:

  


  
 
  
  
   
 
  
   
  
 
   
  

 
   
  
 

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang


yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan
36
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 8.
32

bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di


dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk
kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan
terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan
dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-
anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”.37

2. Konsepsi Umum tentang Ur’f /Kebiasaan dalam Hukum Islam

a. Pengertian Ur’f

Adalah suatu kebiasaan masyarakat yang dapat dipatuhi

dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tentram.

Kebiasaan tersebut dapat berupa upacara dan perbuatan baik yang

bersifat khusus maupun yang bersifat umum.

Arti ur’f secara Harfiah adalah suatu keadaan, ucapan,

perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah

menjadi tradisi untuk melaksanakannya. Dikalangan masyarakat

ur’f sering disebut dengan istilah adat,38sedangkan pengertian ur’f

menurut terminologi Ushul Fiqh dapat dilihat dari beberapa

pendapat:

1) Abdul Wahab Khallaf mengartikan ur’f adalah apa yang

dikenal manusia dan berlaku pada mereka baik berupa

perkataan maupun perbuatan atau tindak meninggalkan

sesuatu dan disebut dengan adat.

37
Ibid, hlm. 666.
38
Sapiudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 98.
33

2) Wahbah Al-Zuhaily menyatakan bahwa ur’f adalah

kebiasaan manusia yang dilakukan secara terus menerus

sehingga perbuatan tersebut menjadi popular dikalangan

mereka.

3) Menurut Shifaul Qolbi ur’f adalah sesuatu yang dipandang

baik dan diterima oleh akal sehat.

Jadi, yang dimaksud dengan ur’f adalah suatu hal yang telah

dibiasakan dan dipelihara terus menerus oleh manusia dan

keberadaannya diterima oleh akal serta tidak bertentangan dengan

syari’at.

b. Dasar Hukum Ur’f

Ur’f diterima sebagai landasan hukum dengan beberapa

alasan diantaranya:

Surat Al-Ar’raf ayat 199:

  


  
 
Artinya:“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-
orang yang bodoh”.

Kata al-ur’f dalam ayat tersebut, dimana umat manusia

disuruh mengerjakannya oleh ulama Ushul Fiqh dipahami oleh

sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan.

Hadist Nabi:

Artinya:”Sesuatu yang dinilai muslimin baik, maka baik pula


menurut Allah”.
34

Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan yang

sudah lama berjalan dikalangan masyarakat dan bernilai baik

(mengandung manfaat) dibolehkan untuk mengerjakannya,

sebaliknya yang bernilai buruk (mengandung kerusakan) tidak

boleh dikerjakan sebab Islam turun untuk memberikan maslahat

kepada seluruh alam bukan untuk menabur kerusakan.

c. Syarat-Syarat Ur’f

Para ulama Ushul mengatakan bahwa suatu ur’f baru dapat

dijadikan oleh salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’

apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Ur’f tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan

masyarakat. Artinya kebiasaan sejumlah orang tertentu dalam

masyarakat tidak dapat dikatakan.

2) Ur’f tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum

yang didasarkan pada ur’f tersebut ditetapkan.

3) Ur’f itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas

kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh

mayoritas masyarakat tersebut baik itu ur’f dalam bentuk

praktik, perkataan, umum dan khusus.

4) Ur’f tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara

jelas.

5) Ur’f tidak bertentangan dengan nash sehingga menyebabkan

hukum yang dikandung nash tersebut tidak diterapkan. Ur’f


35

seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena

kehujjahan ur’f baru bisa direima apabila tidak ada nash yang

mengandung hukum permasalahan yang dihadapi. 39

d. Kedudukan Ur’f dalam Menetapkan Hukum

Pengertian ur’f yang telah dikemukakan bahwa ur’f yang

dapat diterima sebagai dalil syara’ adalah ur’f yang tidak

bertentangan dengan nash. Para ulama banyak yang sepakat dan

menerima ur’f sebagai dalil menetapkan hukum selama ur’f itu

tidak bertentangan dengan syariat. Penerimaan para ulama

tersebut, bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan

memenuhi kebutuhan manusia dalam arti orang tersebut. bahkan

ulama menempatkannnya sebagai syarat yang disyaratkan.

Apabila hukum telah ditetapkan berdasarkan ur’f maka

kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.

Para ulama yang mengamalkan ur’f itu dalam memahami dan

mengistinbatkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk

menerima ur’f tersebut yaitu:

1) Ur’f itu mengandung kemaslahatan dan dapat diterima akal

sehat.

Syarat ini merupakan sesuatu yang mutlak ada pada ur’f

yang shahih sehingga dapat diterima oleh masyarakat umum.

Sebaliknya, apabila ur’f itu mendatangkan kemudharatan dan

39
Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 148.
36

tidak dapat diterima oleh akal sehat maka ur’f yang demikian

tidak dapat dibenarkan. 40

2) Ur’f tersebut berlaku umum pada masyarakat yang terkait

dengan lingkungan ur’f atau dikalangan sebagian besar

masyarakat.

Syarat ini semakin jelas dengan melihat contoh yang

ada di masyarakat. Misalnya secara umum masyarakat di

Indonesia dalam melakukan transaksi senantiasa melakukan

alat tukar resmi yaitu mata uang rupiah. Karenanya dalam

suatu transaksi tidak mengapa jika tidak menyebutkan

dengan jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua telah

mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan

mata uang rupiah yang berlaku kecuali dalam kasus tertentu.

3) Ur’f yang dijadikan dasar bagi penetapan suatu hukum telah

berlaku pada saat itu, bukan ur’f yang muncul kemudian.

Menurut syarat ini, ur’f harus ada sebelum penetapan

suatu hukum dilakukan, dengan sendirinya ur’f yang datang

kemudian tidak dapat diterima dan diperhitungkan

keberadaannya. Misalnya, tentang pemberian mahar kepada

istri oleh suami. Orang yang melaksanakan akad nikah dan

pada saat akad tidak menjelaskan teknis pembayaran

maharnya dibayar lunas atau dicicil. Sementara ur’f yang

40
Ibid, hlm. 106.
37

berlaku ditempat itu mengalami perubahan dan orang-orang

telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul kasus yang

menyebabkan terjadi perselisihan antara suami istri tentang

pembayaran mahar tersebut. suami berpegang kepada ur’f

yang berlaku pada saat akad nikah berlangsung. Berdasarkan

syarat ur’f yang ketika ini, maka suami harus membayar

mahar kepada istrinya dengan lunas, sesuai dengan ur’f yang

berlaku pada saat akad nikah berlangsung dan tidak dengan

ur’f yang muncul kemudian.

4) Ur’f tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip yang pasti.

Syarat ini memperkuat terwujudnya ur’f yang shahih

karena bila ur’f bertentangan dengan nash atau bertentangan

dengan prinsip syara’ maka yang jelas dan pasti ia termasuk

ur’f yang fasid dan tidak dapat diterima sebagai dalil

menetapkan hukum. 41

41
Ibid, hlm. 107.
38

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode atau jenis

penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif adalah proses

penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif yaitu kata-kata tertulis

atau lisan dari orang-orang yang perilaku yang dapat diamati. 42 Dalam

penelitian ini peneliti mendeskripsikan tentang praktik adanya perbedaan

penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan yang ada di KUA

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa.

2. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti yang dimaksudkan disini adalah agar

mendapatkan data yang valid maka peneliti melakukan secara langsung

ke lokasi penelitian di KUA yang ada di Kecamatan Moyo Hilir.

Kehadiran peneliti sifatnya wajib di lapangan karena dalam penelitian

kualitatif peneliti adalah faktor utama dalam mengumpulkan data serta

data yang diperoleh semakin akurat dan valid bahwa keberadaan yang

diteliti benar-benar ada, dengan peneliti terjun langsung ke lokasi

penelitian maka bisa mengetahui gambaran tentang perbedaan

penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan yang ada di KUA

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa.43

42
Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999),
hlm.3.
43
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), hlm. 12.
39

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini berdasarkan pada paparan data sebelumnya

yakni sebuah research yang dilakukan dan diamati peneliti adalah di

KUA yang ada di Kecamatan Moyo Hilir. Adapun alasan memilih lokasi

ini antara lain: Karena di Kecamatan Moyo Hilir tersebut meskipun pada

hakikatnya masyarakat menganut mazhab Syafi’i, akan tetapi dalam

pelaksanaannya masih ada juga masyarakat yang menggunakan lafadz

ijab qabul yang tidak sesuai dengan ketentuan mazhab Syafi’i.

4. Sumber dan Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari

dua macam yaitu data primer dan data sekunder. Adapun sumber data

dari penelitian ini meliputi: 44

a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek

yang diteliti. 45 Data primer ini diperoleh dari wawancara penghulu,

dan beberapa pihak-pihak yang berada di masing-masing KUA,

serta masyarakat yang ada di Kecamatan Moyo Hilir.

b. Data sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari hasil dokumentasi yang

berkaitan dengan perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul

44
Surhasimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2014), hlm.172.
45
Bagong Suyanto Sutinah, Metode Penelitiana Sosial Berbagai Alternatif
Pendekatan,(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55.
40

dalam perkawinan yang ada di KUA Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mempermudah penulis dalam memperoleh dan menganalisa

data, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

a. Metode Observasi

Merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan

dengan cara pengamatan dan pencatatan secara sistematik. Dalam

penelitian ini, metode observasi yang digunakan adalah observasi

non partisipatif dengan hanya mengamati bagaimana penggunaaan

lafadz ijab qabul dalam proses perkawinan.46

b. Metode Wawancara (interview)

Metode ini merupakan suatu proses tanya jawab secara lisan.

Dimana, dua orang atau lebih berhadapan langsung dengan orang

yang diwawancarai serta saling melihat, dan mendengar secara

langsung pertanyaan dan jawaban. Jenis wawancara yang peneliti

terapkan adalah wawancara tidak terstruktur atau bebas, karena

peneliti ketika melakukan wawancara tidak menggunakan

pedoman wawancara. Adapun orang-orang yang diwawancarai

oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu, penghulu yang ada di KUA

Kecamatan Moyo Hilir, serta masyarakat atau wali yang

46
Surhasimi Arikunto,Prosedur Penelitian…, hlm. 199-200.
41

menggunakan lafadz ijab qabul yang tidak sesuai dengan ketentuan

mazhab Syafi’i. Pedoman wawancara yang dilakukan oleh peneliti

adalah sebagai berikut:

1) Apakah pernah terjadi perbedaan pengucapan lafadz ijab dan

qabul di Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa?

2) Seperti apa bentuk pengucapan lafadz ijab dan qabul yang

berbeda di Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa?

3) Apa yang melatar belakangi sehingga terjadinya perbedaan

pengucapan lafadz ijab dan qabul di Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa?

Orang-orang yang diwawancarai oleh peneliti dalam

penelitian ini yaitu Kepala KUA, penghulu, wali dan pasangan

yang menikah menggunakan lafadz ijab dan qabul yang berbeda.

c. Metode Dokumentasi

Merupakan cara pengumpulan data dengan menyelidiki

benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, arsip dan

sebagainya. Metode ini juga merupakan metode pengumpulan data

dan informasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mencari data

berupa catatan, transkrip, atau dokumen-dokumen maupun data-

data penting lainnya yang dapat dijadikan data dalam penelitian. 47

Data yang diperoleh dari metode dokumentasi ini berupa data

perkawinan tahun 2020 di Kecamatan Moyo Hilir.

47
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi, (Jakarta:Pt Bumi
Aksara,2006), hlm.191.
42

6. Teknik Analisis Data

Berdasarkan hasil pengumpulan data, selanjutnya diikuti dengan

analisis data yang sangat beraneka ragam dan berjumlah banyak

didapatkan menjadi keterangan empiris yang ringkas dan mudah


48
dimengerti. Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun

data secara sistematis, dengan cara data-data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan, poto, dokumentasi dan material lainnya

untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang data yang telah

dikumpulkan. Analisis data merupakan proses penyusunan data agar

dapat interprestasi. 49

Analisis data secara sistematis dapat dilakukan dengan tiga

langkah secara bersamaan, yaitu :

a. Reduksi Data

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisahkan dari

analisis, dia merupakan bagian analisis. Reduksi data adalah

peneliti memilih dan memilah data menjadi beberapa bagian dan

diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrak, dan transformasi data kasar yang

muncul dari catatan-catatan tertentu di lapangan.

b. Penyajian Data

Merupakan alur kedua yang sangat penting dalam kegiatan

analisis terutama dalam penelitian kualitatif, karena kita sudah

48
Ibid, hlm.7.
49
Ibid, hlm. 217.
43

melihat dan dapat memahami apa yang terjadi dan apa yang harus

dilakukan, lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan-

tindakan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian

tersebut.

c. Menarik Kesimpulan

Kegiatan analisis yang ketiga adalah menarik kesimpulan.

Ketika kegiatan pengumpulan data dilakukan, seseorang

menganalisis kualitatif mulai dari mencari arti benda-benda,

mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-

konfigurasi yang memungkinkan, alur sebab akibat dan proposisi.

Dari penjelasan di atas, di dalam menganalisis data yang

telah dikumpulkan, peneliti melengkapi dan mengklasifikasikan

serta menyederhanakan data-data yang diperoleh di lapangan baik

data yang diperoleh melalui observasi, wawancara maupun

dokumentasi, kemudian peneliti memberikan suatu kesimpulan

sesuai dengan data yang telah di analisis.

7. Keabsahan Data

Setelah data dikumpulkan dan dianalisis, langkah selanjutnya

adalah pemeriksaan keabsahan. Ada beberapa teknik yang digunakan

oleh peneliti dalam memeriksa keabsahannya:


44

a. Meningkatkan Ketekunan

Artinya melakukan pengamatan secara lebih cermat dan

berkesinambungan, dengan cara tersebut maka kepastian data dan

urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.

b. Triangulasi

Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain di luar dari data itu untuk keperluan pengecekan

atau sebagai perbandingan terhadap data yang diperoleh. Teknik

triangulasi terbagi atas dua macam yaitu sebagai berikut:

1) Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara

membandingkan data yang didapat dari hasil wawancara

dengan hasil observasi, data hasil observasi yang satu dengan

hasil observasi yang lain, dan membandingkan hasil

wawancara dengan hasil wawancara yang lain. 50

2) Triangulasi Metode

Triangulasi metode dilakukan dengan berbagai teknik

pengumpulan data yang diajukan untuk memperoleh

informasi yang serupa. Triangulasi metode dilakukan secara

bersama dalam suatu kegiatan wawancara dengan responden

yang ada di lokasi penelitian.

50
Sutrisno Hadi, Metode Research, (Jakarta: Andi Offsel, 1986), hlm. 43.
45

c. Pembahasan dengan Teman Sejawat

Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil

penelitian dengan cara diskusi dengan teman sejawat atau dengan

seseorang yang ahil. Dengan cara demikian, peneliti berusaha

mencari kelemahan taksiran yang kurang jelas, keraguan terhadap

data yang ditemukan.

d. Kecukupan Referensi

Sebagai pengumpulan data peneliti berusaha mengumpulkan

data yang peneliti peroleh dari hasil observasi, wawancara, dan

dokumentasi. Referensi yang digunakan adalah bahan

dokumentasi, hasil catatan lapangan yang tersimpan dan rekaman

wawancara, dengan referensi ini penelitian dapat dicek kembali

data-data dan informasi yang ada di lapangan oleh peneliti.

H. Sistematika Pembahasan

Penulisan laporan hasil penelitian yang digunakan oleh peneliti ini

mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN Mataram Tahun 2019.

Guna mendapatkan gambaran yang jelas mengenai sistematika penulisan

skripsi ini, penulis membaginya dalam tiga bagian yang terdiri dari:

1. Bagian awal

Bagian awal ini terdiri dari halaman sampul, halaman judul,

persetujuan pembimbing, pernyataan keaslian skripsi, halaman

pengesahan, motto, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, dan

abstrak.
46

2. Bagian isi

Bagian isi ini terdiri dari empat bab, yakni:

Bab I Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang meliputi latar

belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, telaah

pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika pembahasan, serta

rencana jadwal penelitian.

Bab II Paparan Data dan Temuan, pada bagian ini diungkapkan

seluruh data dan temuan penelitian mengenai perbedaan penggunaan

lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan yang ada di Kecamatan Moyo

Hilir, alasan terjadinya perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul

dalam perkawinan yang ada di Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa.

Bab III Pembahasan, pada bagian ini, diungkapkan proses analisis

terhadap temuan yang berkaitan dengan perbedaan penggunaan lafadz

ijab dan qabul dalam perkawinan yang ada di Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa.

Bab IV Penutup, merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan

dan saran. Kesimpulan ini merupakan ringkasan dari semua materi, dan

saran yang merupakan hasil pemikiran peneliti terkait dengan

permasalahan yang diteliti.

3. Bagian Akhir

Pada bagian akhir ini penulis mencantumkan daftar pustaka dan

lampiran-lampiran berupa surat keterangan turnitin UIN Mataram, kartu


47

konsultasi proposal skripsi dari pembimbing, kartu konsultasi skripsi dari

pembimbing, kartu seminar proposal, surat izin penelitian dari kampus,

surat izin penelitian dari Kantor KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa, daftar riwayat hidup, dan photo-photo hasil dokumentasi terkait

penelitian.
48

BAB II

Perbedaan Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam Perkawinan di

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Profil dan Sejarah KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa51

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan bagian dari struktur

Kementerian Agama, bertugas menyelenggarakan sebagian tugas umum

pemerintahan dan pembangunan di bidang Agama. KUA merupakan

bagian paling bawah dari struktur Kementerian Agama yang

berhubungan langsung dengan masyarakat dalam satu wilayah

Kecamatan, sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan Menteri Agama

Nomor 517 Tahun 2001 bahwa Kantor Urusan Agama bertugas

melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama di bidang

Urusan Agama Islam di wilayah Kecamatan.

Kantor Urusan Agama Kecamatan Moyo Hilir merupakan institusi

Pemerintah di bawah Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa Besar

yang mempunyai tugas dan fungsi untuk melaksanakan sebagian tugas

dan fungsi pemerintah di bidang pembangunan Agama di Kecamatan,

khususnya di bidang urusan Agama Islam. Dalam melaksanakan

tugasnya tersebut, maka KUA Kecamatan Moyo Hilir merencanakan

berbagai program kegiatan yang dituangkan dalam rencana program

51
Suyitno (Kepala KUA), Profil dan Sejarah KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten
Sumbawa Tahun 2020, hlm. 1-6. Dikutip pada Tanggal 8 Juli 2020.
49

strategis. Hal itu dimaksudkan agar tugas dan fungsi yang embannya

dapat dicapai dengan hasil yang baik.

Dari hal tersebut maka KUA Kecamatan Moyo Hilir menyusun

profil tahun ini sebagai bahan acuan untuk mendapatkan data yang valid

sekaligus sebagai bahan evaluasi, referensi data dan laporan hasil

pencapaian kerja dan kinerja KUA Kecamatan Moyo Hilir, sebagai

wujud pertanggung jawaban dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa merupakan

KUA yang sudah lama di Kementerian Agama Kabupaten Sumbawa

yang berdiri pada Tahun 1982, yang pada saat itu Kepala KUA Moyo

Hilir dipimpin oleh Bapak Gufron dari Tahun 2003-2008, selanjutnya

dipimpin oleh Bapak Sabram dari Tahun 2008-2012, setelah itu

dilanjutkan oleh Bapak Akup dari Tahun 2012, dan yang terakhir

dipimpin oleh Bapak Suyitno, sampai dengan sekarang. KUA

Kecamatan Moyo Hilir beralamat di Jln Lembang No. 6 Moyo Hilir.

Selanjutnya, untuk memaksimalkan tugas pokok dan fungsi KUA

Kecamatan Moyo Hilir, maka masing-masing pegawai KUA Kecamatan

Moyo Hilir memiliki bidang dan tugas masing-masing yang

terintegrasikan dalam suatu prinsip memberikan pelayanan dan

pembinaan kepada masyarakat secara maksimal, sehingga dengan

demikian diharapkan KUA Kecamatan Moyo Hilir sebagai salah satu


50

ujung tombak Kantor Kementerian Agama Kecamatan Moyo Hilir dapat

menjalankan tupoksinya dengan baik dan memuaskan. 52

2. Motto,Visi, Misi dan Tujuan KUA Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa

a. Motto

“ SALING SAKIKI, SALING PARIRI “ Makna motto tersebut

adalah bahwa orang Moyo Hilir mempunyai pemikiran yang baik,

berbudi baik, saling mengayomi, saling membantu dan mengasihi

terhadap orang lain, serta kerja sama yang baik dengan tanpa

pandang bulu baik terhadap warga asli setempat maupun warga

pendatang. Cerdas, ramah, sopan, dan santun bertutur kata serta

teguh pendirian tidak mudah terprovokasi oleh orang lain.

b. Visi

“Mewujudkan masyarakat Kec. Moyo Hilir yang beriman dan

bertaqwa, memiliki nilai moral dan etika yang terpuji“.

c. Misi

1) Memperkokoh kerukunan umat beragama di Kec. Moyo Hilir

2) Meningkatkan pelayanan kehidupan umat beragama

3) Meningkatkan pemahaman dan pengamatan ajaran beragama

4) Meningkatkan peran lembaga keagamaan53

52
Ibid, hlm. 1.
53
Ibid, hlm. 4.
51

d. Tujuan

1) Terwujudnya hubungan koordinatif secara harmonis antara

pegawai KUA Kec. Moyo Hilir

2) Peningkatan skill individu dalam pelayanan NR, Zawa Ibsos,

dan administrasi perkantoran.

3) Terciptanya hubungan yang harmonis secara dinamis dengan

intansi terkait ormas-ormas dan lembaga-lembaga keagamaan

yang ada di Kec. Moyo Hilir

4) Peningkatan perbaikan dan pengadaan sarana-prasarana

menuju pelayanan prima54

54
Ibid, hlm. 5.
52

3. Struktur KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa55

KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa memiliki struktur

sebagai berikut:

KEPALA

SUYITNO, S.Ag

JFT. PENGHULU DAN JFU. JFU. PENGEMBANGAN PRAMUBAKTI


PENYULUH PENGELOLAAN SARANA DAN
FUNGSIONAL LEMBAGA PRASARANA ADE MOLAN & HR. PENYULUH AGAMA
AKBAR, ISLAM NON PNS
H. NASRULLAH, S.Sos, i SRI ROHAYU, S.Pd HJ. SITI SALMA

M. APRI RAMDANI AMRULLAH SIRAJUDDIN IMAN INDRA LUTFI RODDIN

KAMALUDDIN LAWIYAH ROSMIATI HIDAYATULLAH H. HUSAIN

Sumber: Kepala KUA Kec. Moyo Hilir

55
Ibid, hlm. 6.s
53

4. Data Perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa

Hasil penelitian yang peneliti lakukan dengan cara studi

dokumentasi berupa Buku Register Pendaftaran Perkawinan Tahun

2020, peneliti menemukan beberapa orang atau beberapa masyarakat

yang melangsungkan perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa pada Tahun 2020 sebagaimana berikut ini:

1) Muhammad Saleh Bin Muhammad Ndar dengan pasangan yang

bernama Sunarti Bt Tajuddin menikah dengan wali bernama

Tajuddin Sidik pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 07.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.

2) Opan Asri Bin Ahmad Jailani dengan pasangan yang bernama

Suhartati Bt Saparuddin menikah dengan wali bernama Saparuddin

pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 08.30 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

3) Tri Raswantoro Bin Jahmad Bago dengan pasangan yang bernama

Ismawati Bt Mustaram menikah dengan wali bernama Mustaram

pada tanggal 23 Januari 2020 pukul 07.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

4) Mustakim Bin Amiruddin dengan pasangan yang bernama Rina Bt

Kulu menikah dengan wali bernama Husni Mubarak pada tanggal

20 Januari 2020 pukul 07.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.
54

5) Arif Budiman Bin Kaharuddin dengan pasangan yang bernama Eli

Septiani Bt Ali menikah dengan wali bernama Muhammad Ali

pada tanggal 6 Februari 2020 pukul 07.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

6) Afriansyah Bin Zainuddin dengan pasangan yang bernama Listi

Meilani Bt Ahmad Jemy menikah dengan wali bernama Ahmad

Jemi pada tanggal 6 Februari 2020 pukul 09.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

7) Indra Ariya Kamandono Bin Abdul Hadi dengan pasangan yang

bernama Rosmiatun Bt Samsini menikah dengan wali bernama

Sahrul Hasan Wadi pada tanggal 13 Februari 2020 pukul 09.00

dengan penghulu bernama H. Nasrullah.

8) Fahmi Sanafiah Bin Fatahollah Hadi dengan pasangan yang

bernama Hartati Bt Syamsuddin menikah dengan wali bernama

pada tanggal 17 Februari 2020 pukul 09.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

9) Muhammad Isro Bin Saparuddin dengan pasangan yang bernama

Lina Apriani Bt Agus Wijaya menikah dengan wali bernama Agus

Wijaya pada tanggal 17 Februari 2020 pukul 09.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.

10) Adam Malik Bin Damhuji Hasan dengan pasangan yang bernama

Lina Maryana Bt Saparuddin menikah dengan wali bernama


55

Saparuddin pada tanggal 9 Februari 2020 pukul 07.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.

11) Muhammad Abdul Mansur Bin Hasanuddin Basri dengan

pasangan yang bernama Suhada Bt Samiu (Alm) menikah dengan

wali bernama Kamaluddin pada tanggal 18 Februari 2020 pukul

09.00 dengan penghulu bernama H. Nasrullah.

12) Arbi Tansya Bin Mastar dengan pasangan yang bernama Gumala

Bt Jufri menikah dengan wali bernama Jufri pada tanggal 20

Februari 2020 pukul 07.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

13) Bagus Kurniawan Saputra Bin Abdul Halid dengan pasangan yang

bernama Gita Dwi Ristari Bt M. Haris Syarafuddin menikah

dengan wali bernama M. Haris Syarafuddin pada tanggal 23

Februari 2020 pukul 07.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

14) Dedi Rivanto Bin Abdul Razak (Alm) dengan pasangan yang

bernama Sukmawati Bt Arahman menikah dengan wali bernama

Arahman pada tanggal 27 Februari 2020 pukul 08.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.

15) Abeng Bin Muhammad Amin dengan pasangan yang bernama

Asma Bt Mustafa menikah dengan wali bernama Mustafa

Kamaluddin pada tanggal 11 Maret 2020 pukul 09.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.


56

16) Sadam Husen Bin Saparuddin dengan pasangan yang bernama Evi

Bt Muhammad Saleh menikah dengan wali bernama M. Saleh pada

tanggal 13 Maret 2020 pukul 07.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

17) Prasetyo Bin Mulyadi dengan pasangan yang bernama Sifatullah

Bt Ismail (Alm) menikah dengan wali bernama Syarafuddin pada

tanggal 5 Maret 2020 pukul 08.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

18) Saparuddin Bin Tebarani dengan pasangan yang bernama Sahariah

Bt Husain menikah dengan wali bernama Hamzah pada tanggal 5

Maret 2020 pukul 09.00 dengan penghulu bernama H. Nasrullah.

19) Mansur Bin Labo dengan pasangan yang bernama Nadijah Bt

Alimudin menikah dengan wali bernama Abdul Hasum pada

tanggal 16 Maret 2020 pukul 09.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

20) Hamdan Bin Muhammad dengan pasangan yang bernama Juli

Isma Damayanti Bt Ismail menikah dengan wali bernama Ismail

pada tanggal 16 Maret 2020 pukul 10.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

21) Muhammad Ardiansyah Bin Kusman dengan pasangan yang

bernama Elitha Ramdhani Bt Alimuddin menikah dengan wali

bernama Amy Qudratul Ilham pada tanggal 14 Maret 2020 pukul

08.00 dengan penghulu bernama H. Nasrullah.


57

22) M. Yusup Bin M. Saad dengan pasangan yang bernama Eni

Julianti Bt A. Karim menikah dengan wali bernama Dedi

Ardiansyah pada tanggal 23 Maret 2020 pukul 09.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.

23) Syamsul Hidayat Bin Abdul Fatah dengan pasangan yang bernama

Rosion Bt Zainal Abiding menikah dengan wali bernama Zainal

Abiding pada tanggal 18 Maret 2020 pukul 08.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

24) Ade Zahputra Bin M. Tayub dengan pasangan yang bernama

Indasari Bt Sulaiman menikah dengan wali bernama Sulaiman

pada tanggal 29 Maret 2020 pukul 09.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

25) Darmawansyah Bin A. Resat (Alm) dengan pasangan yang

bernama Jumiati Bt M. Saleh menikah dengan wali bernama M.

Saleh pada tanggal 30 Maret 2020 pukul 09.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

26) Sopyan Bin Rebo (Alm) dengan pasangan yang bernama Samsiar

Bt Karimuddin menikah dengan wali bernama Karimuddin pada

tanggal 1 April 2020 pukul 09.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

27) Budiman Bin Helmi dengan pasangan yang bernama Yuliana Bt

Hadji Saban menikah dengan wali bernama Hadji Saban pada


58

tanggal 2 April 2020 pukul 10.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

28) Bahari Bin Branum dengan pasangan yang bernama Ria Supiana

Bt Muzahar (Alm) menikah dengan wali bernama Dedi Sofyan

pada tanggal 9 April 2020 pukul 08.00 dengan penghulu bernama

H. Nasrullah.

29) Mustami Bin Zainal Abidin dengan pasangan yang bernama Cindi

Permatasari Bt M. Saleh menikah dengan wali bernama M. Saleh

pada tanggal 12 Mei 2020 pukul 08.00 dengan penghulu bernama

H. Nasrullah.

30) Utami Ashar Bin Basaruddin dengan pasangan yang bernama

Farida Triyani Bt Aga Nugraha menikah dengan wali bernama Aga

Nugraha pada tanggal 14 Mei 2020 pukul 09.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

31) Slamet Suwandi Bin H. Jabin dengan pasangan yang bernama Julia

Zikriana Bt Zaidin menikah dengan wali bernama Zaidin pada

tanggal 15 Juni 2020 pukul 09.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

32) Ahmad Jufriady Bin M. Tahir Akip dengan pasangan yang

bernama Yeyen Karliana Bt Muhammad Kadir menikah dengan

wali bernama Muhammad Kadir pada tanggal 16 Juni 2020 pukul

09.00 dengan penghulu bernama H. Nasrullah.


59

33) Nur Cholis Bin Darimun dengan pasangan yang bernama Novita

Indayani Bt Lalu Sager Novita Indayani Bt Lalu Sager menikah

dengan wali bernama Fathurrahman pada tanggal 12 Juni 2020

pukul 09.00 dengan penghulu bernama H. Nasrullah.

34) Juanda Irawan Bin Zainuddin dengan pasangan yang bernama

Sulastri Bt Iwayan Sumindra menikah dengan wali bernama

Suyitno pada tanggal 13 Juni 2020 pukul 08.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah.

35) Syahrullah Bin M.Amin dengan pasangan yang bernama Vety

Fitriani Bt Ibrahim menikah dengan wali bernama Ibrahim pada

tanggal 15 Juni 2020 pukul 09.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

36) Dani Safrianto Bin Sapiolah dengan pasangan yang bernama Yulia

Dwi Yanti Bt Saturnus menikah dengan wali bernama Saturnus

pada tanggal 16 Juni 2020 pukul 08.00 dengan penghulu bernama

H. Nasrullah.

37) Wahyu Basuki Bin Sumanto dengan pasangan yang bernama

Yulianah Bt Suwadji Yulianah Bt Suwadji menikah dengan wali

bernama Suwadji pada tanggal 8 Juni 2020 pukul 09.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.

38) Irwansyah Bin A. Rasio dengan pasangan yang bernama Wiwik

Sartika Bt Ibrahim menikah dengan wali bernama Ibrahim pada


60

tanggal 14 Juni 2020 pukul 07.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.

39) Julian Dinata Bin Syamsun dengan pasangan yang bernama

Yulianti Bt Kumarman menikah dengan wali bernama Kumarman

pada tanggal 18 Juni 2020 pukul 08.00 dengan penghulu bernama

H. Nasrullah.

40) Muhammad Imran Bin Kamaluddin dengan pasangan yang

bernama Sumiati Abdullah Bt Abdullah menikah dengan wali

bernama Sapriadi pada tanggal 23 Juni 2020 pukul 10.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.

41) Hasanuddin Bin Dowari dengan pasangan yang bernama Eti

Kusumawati Bt Biasi menikah dengan wali bernama Saifullah

pada tanggal 19 Juni 2020 pukul 08.00 dengan penghulu bernama

H. Nasrullah.

42) Mas’ud Bin Mana Wari dengan pasangan yang bernama Satia Bt

Hali menikah dengan wali bernama Faruk Hali pada tanggal 22

Juni 2020 pukul 07.00 dengan penghulu bernama H. Nasrullah.

43) L. J. Januardiansyah Bin L. Latif Hamid dengan pasangan yang

bernama Iis Adekantari Bt Iskandar menikah dengan wali bernama

Iskandar pada tanggal 29 Juni 2020 pukul 09.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah. 56

56
Suyitno (Kepala KUA), Data Nikah, Moyo Hilir, 23 April 2020.
61

Dari seluruh pasangan yang menikah di Tahun 2020, tidak

semuanya menggunakan lafadz ijab dan qabul yang berbeda pada saat

pengucapan akadnya. Adapun yang menggunakan lafadz ijab dan qabul

yang berbeda hanya beberapa orang saja diantaranya:

1) Mustami Bin Zainal Abidin dengan pasangan yang bernama Cindi

Permatasari Bt M. Saleh menikah dengan wali bernama M. Saleh

pada tanggal 12 Mei 2020 pukul 08.00 dengan penghulu bernama

H. Nasrullah. 57

2) Slamet Suwandi Bin H. Jabin dengan pasangan yang bernama Julia

Zikriana Bt Zaidin menikah dengan wali bernama Zaidin pada

tanggal 15 Juni 2020 pukul 09.00 dengan penghulu bernama H.

Nasrullah.58

3) Muhammad Imran Bin Kamaluddin dengan pasangan yang

bernama Sumiati Abdullah Bt Abdullah menikah dengan wali

bernama Sapriadi pada tanggal 23 Juni 2020 pukul 10.00 dengan

penghulu bernama H. Nasrullah.59

4) Mas’ud Bin Mana Wari dengan pasangan yang bernama Satia Bt

Hali menikah dengan wali bernama Faruk Hali pada tanggal 22

Juni 2020 pukul 07.00 dengan penghulu bernama H. Nasrullah.60

5) L. J. Januardiansyah Bin L. Latif Hamid dengan pasangan yang

bernama Iis Adekantari Bt Iskandar menikah dengan wali bernama

57
M. Saleh (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 13 Mei 2020.
58
Zaidin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 14 Mei 2020,
59
Sapriadi (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 15 Mei 2020.
60
Faruk Hali (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 16 Mei 2020.
62

Iskandar pada tanggal 29 Juni 2020 pukul 09.00 dengan penghulu

bernama H. Nasrullah. 61

B. Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam Perkawinan di KUA

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa

Lafadz nikah adalah perkataan yang diucapkan oleh seseroang berupan

pernyataan penyerahan oleh wali atau wakilnya dan disambung dengan

penerimaan dari seorang laki-laki yang melaksanakan pernikahan. Di dalam

ijab dan qabul terdiri dari lafadz-lafadz yang diucapkan sebagai kata-kata

tertentu yang menandakan suatu akad pernikahan terlaksana dan sah. Ijab dan

qabul sebagian dari rukun nikah yang harus dipenuhi lafadz ijab dan qabul

juga merupakan bagian dan point terpenting dalam pernikahan karena lewat

lafadz ijab qabul dapat ditentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan.

Pengucapan lafadz ijab dan qabul sering kali terjadi perbedaan lafadz

terutama dalam pengucapan inkah nya, padahal sudah jelas ketika melafalkan

ijab dan qabul dalam pernikahan harus menggunakan lafal tertentu yaitu inkah

dan tazwij. Namun, di Indonesia sendiri rata-rata di masing-masing KUA

menggunakan lafadz ijab dan qabul menurut mazhab Syafi’i (menggunakan

kata nikah) akan tetapi realita di lapangan masih saja ditemukan ada beberapa

pasangan yang menggunakan lafadz ijab dan qabul yang berbeda-beda (di luar

dari kata nikah) yang walaupun sebelum berlangsungnya akad sudah

diarahkan sebelumnya oleh pihak KUA namun mereka masih kekeh pada

pendiriannya yang menggunakan lafadz tersebut. Adapun penyebab mereka

61
Iskandar (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 17 Mei 2020.
63

menggunakan lafadz ijab dan qabul yang berbeda pada saat melangsungkan

akad yaitu karena kebanyakan dari mereka tidak terlalu paham tentang

mazhab, terutama mazhab yang digunakan di Indonesia, serta pemahaman

agamanya masih kurang.

Berdasarkan pada tabel di atas, dapat kita simpulkan bahwa ada sekian

pasangan yang sudah menikah, diantaranya ada beberapa pasangan yang

menggunakan lafadz ijab dan qabul yang berbeda pada saat pengucapan lafadz

inkahnya. Adapun pengucapan lafadz ijab dan qabul yang digunakan dibagi

menjadi tiga yaitu sebagai berikut: “memberikan”, “menyerahkan” dan

“nikah”. yang hanya menggunakan dua kata saja yaitu “menyerahkan”, dan

“memberikan” yang cendrung kepada mazhab Hanafi, sedangkan pasangan

lainnya menggunakan kata “nikah” pada saat melangsungkan akad.yaitu:

1. Pasangan pengantin yang menggunakan lafadz dengan kata

Kuserah

Sebagaimana hasil penelitian, peneliti menyaksikan secara

langsung apa yang terjadi di lapangan terkait ucapan lafadz ijab dan

qabul yang diucapkan oleh bapak M. Saleh wali dari pasangan

perempuan yang bernama Cindi Permatasari, Bapak Supriadi wali dari

pasangan Muhammad Imran dan Sumiati Abdullah, dan Bapak Faruk

Hali wali dari pasangan perempuan yang bernama Satia. Sebelum

perkawinan tersebut berlangsung, pihak KUA pun sendiri telah

mengarahkan mereka terkait pengucapan lafadz yang digunakan pada


64

saat melangsungkan akad, namun wali dari perempuan tersebut tetap

kukuh pada pendiriannya yang menggunakan lafadz ”menyerahkan”.

Contoh bunyi lafadz ijab dan qabul yang digunakan oleh wali

dari pasangan yang sudah menikah tersebut:

a) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Bapak M. Saleh wali dari

pasangan Cindi Permatasari yang pada saat menikahkan anaknya

menggunakan lafadz seperti berikut ini:

“Mustami anak Zainal Abidin ku serahkan anak ku si


Cindi pabeli 2 gram emas “. Pengucapan mempelai laki-laki “ Ku
terima anak sia si Cindi jadi swai ku pabeli nya 2 gram emas
dibayar tunai “. (Mustami anak Zainal Abidin saya serahkan
anak saya yang bernama Cindi dengan maskawin 2 gram emas
serta, saya terima anak Bapak yang bernama Cindi menjadi sitri
saya dengan maskawin 2 gram emas dibayar tunai).

Pernyataan Bapak M. Saleh selaku wali dari Cindi

Permatasari dibenarkan oleh Mustami selaku suami dari Cindi

Permatasari yang mengatakan iya memang benar pada saat saya

menikah Bapak Saleh menggunakan lafadz seperti itu.62

b) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Bapak M. Saleh wali dari

pasangan Mustami dengan Cindi Permatasari hampir mirip

dengan ucapan lafadz yang digunakan oleh Bapak Sapriadi

ketika menikahkan anaknya yang menggunakan lafadz seperti

berikut ini:

“Muhammad Imran ku serah sanak swai ku lako kau de


basingin Sumiati Abdullah ke pabeli nya seperangkat alat shalat
serta “.“ Ku terima sanak swai sia jadi swai ku pabeli nya
seperangkat alat shalat dibayar tunai “. (Muhammad Imran saya

62
M. Saleh (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 13 Mei 2020.
65

serahkan saudari saya kepada kamu yang bernama Sumiati


Abdullah dengan maskawin seperangkat alat shalat serta, saya
terima Sumiati Abdullah menjadi istri saya dengan maskawin
seperangkat alat shalat dibayar tunai).

Pernyataan Bapak Sapriadi selaku wali dari Sumiati

Abdullah dibenarkan oleh Muhammad Imran selaku suami dari

Sumiati Abdullah yang mengatakan bahwa benar pada saat saya

menikah Bapak mertua saya menggunakan lafadz seperti itu.63

c) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Faruk Hali wali dari

pasangan yang bernama Satia yang menggunakan lafadz seperti

berikut ini:

“Ku serah sanak swai ku lako kau de basingin Satia ke


pabeli nya 1 ekor kerbau betina umur 2 Tahun ke seperangkat
alat shalat serta“.“ Ku terima sanak swai mu jadi swai ku pabeli
nya 1 ekor kerbau betina umur 2 Tahun ke seperangkat alat
shalat dibayar tunai “. (Saya serahkan saudari saya yang bernama
Satia dengan maskawin 1 ekor kerbau betina umur 2 Tahun dan
seperangkat alat shalat serta, saya terima Satia menjadi istri saya
dengan maskawin 1 ekor kerbau betina umur 2 Tahun dan
seperangkat alat shalat dibayar tunai).

Pernyataan Bapak Faruk Hali selaku wali dari Satia

dibenarkan oleh suaminya yang bernama Mas’ud yang

mengatakan bahwa pada saat pengucapan ijab qabul Bapak

mertua saya menggunakan lafadz kuserahkan.64

63
Sapriadi (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 14 Mei 2020.
64
Faruk hali (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 15 Mei 2020.
66

2. Pasangan pengantin yang menggunakan lafadz dengan kata

Kubeang

Hasil wawancara yang peneliti dapatkan di lapangan terkait

pengucapan lafadz yang digunakan oleh Bapak Zaidin wali dari

pasangan perempuan yang bernama Julia Sikriana, dan Bapak Iskandar

wali dari pasangan perempuan yang bernama Iis Adekantari, mereka

mengatakan bahwa sebelumnya sudah diarahkan oleh pihak KUA,

namun karena prinsip bapak tersebut tetap mempertahankan

pendapatnya yang menggunakan lafadz tersebut.

Contoh bunyi lafadz ijab dan qabul yang digunakan oleh wali

dari pasangan yang sudah menikah tersebut:

a) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Zaidin wali dari

pasangan yang bernama Julia Sikriana yang menggunakan lafadz

seperti berikut ini:

“Ku seterima kemanak ku lako kau de besingin Julia


Sikriana maskawin nya 10 gram emas ke seperangkat alat shalat
“. Pengucapan mempelai laki-laki “ Ku terima kemanak sia de
besingin Julia Sikriana maskawin nya 10 gram emas ke
seperangkat alat shalat dibayar tunai “. (Slamet Swandi saya
berikan keponakan saya kepada kamu yang bernama Julia
Sikriana dengan maskawin 10 gram emas dan seperangkat alat
shalat serta, saya terima keponakan Paman yang bernama Julia
Sikriana dengan maskawinnya 10 gram emas dan seperangkat
alat shalat dibayar tunai).

Pernyataan Bapak Zaidin selaku wali dari Satia

dibenarkan oleh suaminya yang bernama Slamet Suwandi yang

mengatakan bahwa pada saat kita menikah memang benar


67

mertua saya menggunakan lafadz memberikan pada saat ijab

qabul. 65

b) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Bapak Zaidin wali dari

pasangan Slamet Suwandi dan Satia hampir mirip dengan ucapan

lafadz yang digunakan oleh Bapak Iskandar ketika menikahkan

anaknya yang menggunakan lafadz seperti berikut ini:

“Ku Seterima anak ku si Iis lako kau pabeli nya ke


seperangkat alat shalat serta“.“Ku terima anak sia si Iis jadi swai
ku pabeli nya ke seperangkat alat shalat dibayar tunai “.(Saya
berikan anak saya kepada kamu yang bernama Iis dengan
maskawin seperangkat alat shalat serta, saya terima Iis menjadi
istri saya dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar
tunai).

Pernyataan Bapak Iskandar selaku wali dari pasangan Iis

Adekantari dibenarkan oleh suaminya yang bernama L.J.

Januardiansyah yang mengatakan bahwa memang benar pada

saat kita menikah dulu Bapak Iskandar selaku orangtua dari Istri

saya menggunakan lafadz memberikan pada saat pengucapan

ijab qabulnya.66

3. Pasangan pengantin yang menggunakan lafadz dengan kata

Kusenikah

Hasil wawancara yang peneliti dapatkan di lapangan terkait

pengucapan lafadz yang digunakan oleh Bapak Biola Ilias wali dari

pasangan Eti Kusumawati dan Hasanuddin, Bapak Muhammad Kadir

Usin wali dari pasangan Yeyen Karliani dan Ahmad Jupriadi, Bapak

65
Zaidin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 16 Mei 2020.
66
Iskandar (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 17 Mei 2020.
68

Ibrahim wali dari pasangan Vety Fitrianti dengan Syahrullah, selaku

yang pengucapannya menggunakan lafadz ijab dan qabul yang

umumnya orang gunakan (kata nikah), beliau mengatakan karena

sebelum berlangsungnya akad, pihak KUA sendiri sudah mengarahkan

untuk menggunakan lafadz nikah tersebut, maka sudah sepantasnya kita

ikuti apa yang diperintahkan atau yang diarahkan oleh mereka.

Contoh bunyi lafadz ijab dan qabul yang digunakan oleh wali

dari pasangan yang sudah menikah tersebut:

a) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Bapak Biola Ilias wali

dari pasangan yang bernama Eti Kusumawati dan Hasanuddin

yang menggunakan lafadz seperti berikut ini:

“Hasanuddin ku senikah kau ke sanakswai ku Eti


Kusumawati anak Biola Ilias ke maskawin seperangkat alat
sholat serta”.“ku terima sanakswai sia Eti Kusumawati anak
Bapak Biola Ilias Almarhun maskawin seperangkat alat sholat
dibayar tunai”. (Hasanuddin saya nikahkan kamu dengan saudari
perempuan saya Eti Kusumawati anak Biola Ilias dengan
maskawin seperangkat alat sholat serta, saya terima nikahnya
saudari Eti Kusumawati anak bapak Biola Ilias Almarhum
maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai).

Pernyataan Bapak Biola Ilias selaku wali dari Eti

Kusumawati dibenarkan oleh Hasanuddin selaku suami dari Eti

Kusumawati yang mengatakan bahwa pada saat kita menikah

mertua saya menggunakan lafadz saya nikahkan pada saat ijab

qabul. 67

67
Biola Ilias (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 18 Mei 2020.
69

b) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Bapak Biola Ilias selaku

wali dari pasangan Eti Kusumawati hampir mirip dengan ucapan

lafadz yang digunakan oleh Bapak Muhammad Kadir Usin wali

dari pasangan Yeyen Karliani yang ketika menikahkan anaknya

menggunakan lafadz seperti berikut ini:

“Ahmad Jupriadi ku senikah kau ke anak ku Yeyen


Karliana ke maskawin seperangkat alat sholat serta”.“ku terima
anak sia Yeyen Karliana maskawin seperangkat alat sholat
dibayar tunai”. (Ahmad Jupriadi saya nikahkan kamu dengan
anak saya Yeyen Karliana dengan maskawin seperangkat alat
sholat serta, saya terima nikahnya Yeyen Karliana maskawin
seperangkat alat sholat dibayar tunai).

Pernyataan Bapak Muhammad Kadir Usin wali dari

pasangan Yeyen Karliani dibenarkan oleh suaminya yang

bernama Ahmad Jupriadi yang mengatakan bahwa iya memang

benar pada Bapak mertua saya selaku orangtua dari Istri saya

menggunakan lafadz saya nikahkan pada saat pengucapan ijab

qabulnya.68

c) Pernyataan lafadz yang diucapkan oleh Bapak Ibrahim wali dari

pasangan Vety Fitrianti dengan Syahrullah yang menggunakan

lafadz seperti berikut ini:

“Syahrullah ku senikah kau ke anak ku Vety Fitrianti ke


maskawin nya uang 200.000 (dua ratus ribu rupiah) serta”.”ku
terima nikah anak sia Vety Fitrianti ke maskawin nya uang
200.000 (dua ratus ribu rupiah) dibayar tunai”. (Syahrullah saya
nikahkan kamu dengan anak saya Vety Fitrianti dengan
maskawin uang 200.000 (dua ratus ribu rupiah) serta, saya terima
nikahnya Vety Fitrianti dengan maskawin uang 200.000 (dua
ratus ribu rupiah) dibayar tunai).

68
Muhammad Kadir Usin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 19 Mei 2020.
70

Pernyataan Bapak Ibrahim wali dari pasangan Vety

Fitrianti dan dibenarkan oleh suaminya yang bernama Syahrullah

yang mengatakan bahwa memang Bapak mertua saya dulu pada

saat berlangsungkan ijab qabul menggunakan lafadz saya

menikahkan. 69

C. Alasan Terjadinya Perbedaan Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam

Perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa Besar

Setelah mengetahui bagaimana pengucapan lafadz ijab dan qabul yang

ada di Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa yang telah dipaparkan di

atas, maka pada bagian ini peneliti akan menguraikan alasan terjadinya

perbedaan penggunaan lafadz ijab dan qabul dalam perkawinan yang ada di

Kecamatan Moyo Hilir. Berdasarkan data yang peneliti peroleh melalui

wawancara dengan para informan, maka ditemukan ada beberapa alasan yang

menyebabkan wali menggunakan lafadz ijab dan qabul dengan kata

“menyerahkan”, “memberikan”, dan “menikahkan” tersebut:

1. Alasan wali yang menggunakan lafadz ”Kuserah”

a) Seperti yang dikatakan oleh Bapak M. Saleh wali dari pasangan

Mustami dan Cindi Permatasari yang menggunakan lafadz ijab

dan qabul yang berbeda dan wawancara tersebut dilakukan pada

tanggal 13 Mei 2020. Beliau beralasan bahwa:

69
Ibrahin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 20 Mei 2020.
71

”Tidak dipermasalahkan lafadz apapun yang digunakan,


selama lafadz tersebut bermaksud untuk menyatukan pasangan
pengantin maka sah-sah saja. Adapun maksud dari Bapak M.
Saleh menggunakan alasan tersebut karena bagi beliau bahwa
sahnya suatu pernikahan tidak dilihat dari lafadz yang digunakan,
akan tetapi dilihat dari pernyataan saksi yang menyatakan sah
atau tidaknya pernikahan tersebut”.70

b) Hasil wawancara pada tanggal 14 Mei 2020 dengan Bapak

Sapriadi wali dari pasangan Muhammad Imran dan Sumiati

Abdullah yang menggunakan lafadz ijab dan qabul yang berbeda.

Beliau beralasan bahwa:

”Karena mengikuti ajaran yang dianjurkan oleh salah satu


anggota keluarga yang dianggap sepuh. Maksud Bapak
menggunakan alasan tersebut karena baru pertama kali menjadi
wali nikah dan kurang memahami tentang lafadz nikah yang
sebenarnya, jadi beliau meminta pendapat dari salah satu
keluarganya walaupun dari pihak KUA pun ada disitu dan sudah
mengarahkannya akan tetapi beliau mengikuti pendapat yang
dari keluarganya dan itu sudah menjadi patokan keluarga”.71

c) Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bapak Faruk Hali wali

dari pasangan Mas’ud dan Satia selaku yang menggunakan

lafadz ijab dan qabul berbeda. Wawancara tersebut dilakukan

pada tanggal 15 Mei 2020. Beliau beralasan bahwa:

“Kata-kata menikahkan dan menyerahkan maknanya


sama saja, selama niatnya untuk menikah tidak masalah. Adapun
maksud Bapak Faruk Hali menggunakan alasan tersebut karena
terkait tentang kata menikahkan atau menyerahkan memiliki
makna yang sama dan masyarakat tidak mempermasalahkan
perbedaan kata tersebut”.72

70
M. Saleh (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 13 Mei 2020.
71
Sapriadi (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 14 Mei 2020.
72
Faruk Hali (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 15 Mei 2020.
72

2. Alasan wali yang menggunakan lafadz ”Kubeang”

a) Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 16 Mei 2020

dengan Bapak Zaidin wali dari pasangan Slamet Swandi dan

Julia Sikriana yang menggunakan lafadz ijab dan qabul yang

berbeda pada saat melangsungkan akad. Beliau beralasan bahwa:

“Karena di bagian Moyo Hilir ini terutama di Dusun


tempat saya ini pendidikannya terlalu minim terutama saya
sendiri kurang paham terhadap agama, apa lagi terkait
pengucapan lafadz yang diucapkan pada saat melangsungkan ijab
qabul itu berbeda-beda caranya yang satu menggunakan ini yang
satunya lagi beda juga. Jadi saya juga menggunakan lafadz
seperti itu karena itu yang saya tau. Alasan selanjutnya karena
menurut saya sahnya pernikahan adanya masyarakat dan saksi
yang menyaksikan akad tersebut dan dilengkapi dengan rukun
nikah”.73

b) Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 17 Mei 2020

dengan Bapak Iskandar wali dari pasangan Iis Adekantari dan

L.J. Januardiansyah selaku yang menggunakan lafadz ijab dan

qabul berbeda. Beliau beralasan bahwa:

“Orang-orang terdahulu juga menggunakan kata-kata


(memberikan) jadi beliau juga pernah mendengarkan atau
menyaksikan pernikahan yang menggunakan lafadz itu (tradisi
orang terdahulu), dan pernikahan tersebut disahkan oleh para
saksi dan masyarakat, jadi beliau juga mengikutinya”.74

3. Alasan wali yang menggunakan lafadz ”Kusenikah”

Hasil wawancara yang peneliti dapatkan di lapangan terkait

alasan yang dipaparkan oleh Bapak Biola Ilias wali dari pasangan Eti

Kusumawati dan Hasanuddin, Bapak Muhammad Kadir Usin wali dari

73
Zaidin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 16 Mei 2020.
74
Iskandar (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 17 Mei 2020.
73

pasangan Yeyen Karliani dan Ahmad Jupriadi, Bapak Ibrahim wali dari

pasangan Vety Fitrianti dengan Syahrullah, selaku yang pengucapannya

menggunakan lafadz ijab dan qabul yang umumnya orang gunakan (kata

nikah). Berikut alasannya:

a) Pernyataan alasan yang diucapkan oleh Bapak Biola Ilias wali

dari pasangan yang bernama Eti Kusumawati dan Hasanuddin

yang menggunakan lafadz menikahkan pada saat ijab qabul

adalah sebagai berikut:

“Karena pada umumnya lafadz yang seharusnya


diucapkan oleh wali ketika menikahkan anaknya adalah seperti
yang sudah diarahkan oleh pihak KUA yaitu menggunakan kata
nikah”.75

b) Alasan Bapak Muhammad Kadir Usin wali dari pasangan Yeyen

Karliani yang menggunakan lafadz menikahkan pada saat

berlangsungnya ijab qabul adalah sebagai berikut:

“Alasan Bapak Muhammad Kadir Usin menggunakan


lafadz seperti itu karena sebelum berlangsungnya akad terlebih
dahulu diajarkan oleh pihak KUA bagaimana seharusnya lafadz
yang digunakan, dan bisa dikatakan itu adalah anjuran dari pihak
KUA sendiri”. 76

d) Alasan Bapak Ibrahim wali dari pasangan Vety Fitrianti dengan

Syahrullah yang menggunakan lafadz seperti itu pada saat

berlangsungnya ijab qabul adalah sebagai beriku:

“Alasan Bapak Ibrahim menggunakan lafadz seperti itu


karena pada dasarnya mayoritas di Indonesia adalah
menggunakan mazhab Syafi’i maka lafadz yang digunakan pada

75
Biola Ilias (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 18 Mei 2020.
76
Muhammad Kadir Usin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 19 Mei 2020.
74

saat ijab qabul adalah menggunakan kata nikah dan dari pihak
KUA sendiri juga mengarahkan seperti itu”.77

Berdasarkan paparan data tersebut di atas, peneliti dapat

nyatakan bahwa yang terjadi dimasyarakat Kecamatan Moyo

Hilir Kabupaten Sumbawa terkait dengan perbedaan penggunaan

lafadz ijab dan qabul tersebut dikarenakan adanya kebiasaan

pada masing-masing masyarakat dan kebiasaan pada masing-

masing daerah, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap

mazhab yang dipakai di Indonesia, serta kurangnya pemahaman

terhadap agamanya. Masyarakat di Kecamatan Moyo Hilir

Kabupaten Sumbawa tersebut, terbilang masyarakat yang masih

dominan menggunakan kebiasaan daerahnya, dan itu akan

berimbas pada berbagai kegiatan yang akan diisi dengan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang salah satunya dalam acara

pernikahan terutama dalam pengucapan lafadz inkah pada saat

melangsungkan akad. Hal inilah yang menjadi penyebab utama

dalam perbedaan tersebut. Redaksi lafadz ijab qabul yang mereka

gunakan adalah mengikuti dari orang-orang sebelumnya dan

itulah yang membuat adanya perbedaan pengucapan lafadz ijab

dan qabul di daerah Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa

tersebut, walaupun dengan bahasa daerah yang sama (Bahasa

Sumbawa) akan tetapi dengan redaksi dan arti yang berbeda.

77
Ibrahin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 20 Mei 2020.
75

Sehingga pelafalan ijab dan qabul di daerah tersebut terbilang

berbeda-beda tergantung kebiasaan lafaz ijab dan qabul yang

mereka sering gunakan.

Hasil wawancara dengan kepala KUA yang ada di

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa, beliau

mengatakan: terkait dengan masalah pengucapan lafadz yang

digunakan oleh masyarakat Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten

Sumbawa pada saat ijab dan qabul, dari pihak KUA pun sudah

mengarahkan biar semua seragam, namun ada juga yang kekeh

dengan pendapatnya sendiri dan ada juga masyarakat yang

sudah menjadi kebiasaan atau bisa dibilang suda turun temurun

dari keluarganya. Hal itulah yang membuat adanya perbedaan

terkait masalah tersebut.78

78
Suyitno (Kepala KUA), Wawancara, Moyo Hilir, 8 Juli 2020.
76

BAB III

Analisis Perbedaan Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam

Perkawinan di KUA Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa

A. Analisis Terhadap Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam

Perkawinan

Lafadz ijab qabul merupakan bagian dan point terpenting dalam

pernikahan. Karena lewat lafadz ijab dan qabul lah dapat ditentukan sah atau

tidaknya suatu pernikahan. Dalam hal pengucapan lafadz ijab dan qabul sering

kali terjadi perbedaan pelafalan ketika melangsungkan akad.

Berdasarkan pada paparan hasil penelitian pada BAB II, peneliti

menemukan adanya berbagai hal yang menarik dalam masyarakat yang ada di

Kec. Moyo Hilir terkait penggunaan pengucapan lafadz inkahnya, seperti

contohnya perbedaan pengucapan lafadz nikah oleh masyarakat tersebut telah

terjadi sejak dahulu, dan sudah banyak terjadi ketika rangkaian ijab dan qabul

berjalan kemudian diberhentikan atau di ulang-ulang berkali-kali oleh

penghulu karena faktor perbedaan pendapat dalam melafadzkan ijab qabulnya.

Di dalam KUA sendiri memang telah disediakan buku panduan

perkawinan termasuk dalam pelafalan ijab qabul, tetapi itu bukan sebagai

solusi dalam perbedaan tersebut, karena yang terjadi di masyarakat saat ini

tentunya tidak terlepas dari tuntunan atau kebiasaan yang terjadi sejak dahulu,

para mazhab pun mempunyai pendapat masing-masing dalam pelafalan ijab

dan qabul, terbukti dari pengertian-pengertian serta pemaparan para mazhab.


77

Hal inilah yang menjadikan masyarakat bertanya-tanya lafadz seperti apa

yang seharusnya diucapkan ketika melangsungkan akad.

Perbedaan pengucapan lafadz nikah tentunya bukan tanpa alasan, ada

hal yang melatar belakangi perbedaan tersebut. Jika merujuk kepada Al-

Qur’an dan Hadist tidak ditemukan ketentuan yang mengharuskan pelafalan

ijab qabul dengan kata-kata yang khusus, untuk itu penulis mengambil

pendapat dari empat mazhab untuk mengkaji terkait perbedaan pengucapan

lafadz inkah tersebut.

Dari hasil penelitian peneliti dalam memaknai arti dari ijab dan qabul

dalam pengucapan inkahnya, empat mazhab mempunyai beberapa pendapat

yang berbeda-beda terkait hal tersebut. Sebagaimana pendapat mazhab

Syafi’i, Maliki dan Hambali membatasi pengucapan lafadz ijab dan qabul

hanya pada dua lafadz saja yaitu lafadz nikah dan zawaj. Jika keluar dari

lafadz tersebut, maka pernikahan dianggap tidak sah. Praktik yang terjadi pada

masyarakat di Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa tersebut terdapat

lima pasangan yang menggunakan lafadz ijab dan qabul yang berbeda dan itu

tidak sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali

dikarenakan pada saat pengucapan inkahnya mereka menggunakan lafadz apa

saja bahkan semua lafadz dianggap cocok apabila maknanya dapat dimengerti,

yang walaupun sebenarnya mayoritas disana adalah bermazhab Syafi’i,

namun dalam pengucapan lafadznya lebih cendrung dominan mengikuti

mazhab Hanafi. Hal ini dalam mazhab Syafi’i, Mailiki dan Hambali sudah

keluar dari maksud lafadz nikah dan zawaj (tidak menunjukkan suatu
78

pernikahan), karena jika menggunakan lafadz selain nikah dan zawaj,

menyebabkan ketidaksahan persaksian yang didengarkan dari akad nikah dan

persaksian tersebut tidak terjamin keabsahannya. Sebagaimana dalil-dalil yang

digunakan dalam membatasi penggunaan lafadz ijab dan qabul hanya pada

lafadz yang berasal dari kata inkah dan zawwaja yaitu berpegang pada Hadits

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim;

ََ ‫َ سْت ْحل ْلت ْم ف ج َن بكل ة‬ َ


َ ‫وهن بأما‬ ‫َ فى لنساء فإنَك ْم أخ ْت‬
َ ‫تَقو‬
َ ‫ض ب‬
‫وهن‬ ْ ‫ فإ ْ فع ْلن لك فا‬.‫لك ْم عل ْي َن أ ْ ا يوط ْن ف شك ْم أح ً ت ْك هونه‬
79
‫ض ْ بًا غ ْي مب ح ل َن عليْك ْم ْ ق َن كسْوت َن ب ْال ْع ف‬
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para
wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan
amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat
Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian
ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan
demikian, Pukullah mereka dengan Pukulan yang tidak menyakiti.
Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan
pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218)80

Kitabnya menggunakan surat An-Nisa ayat 22, yaitu;

   


 
   
    
  

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk
jalan (yang ditempuh)”.81

79
HR. Muslim, Hadits Hukum Bukhari Muslim, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah Jakarta, 2010),
hlm. 907.
80
Ibid, hlm. 908.
81
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 114.
79

Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 221:

 
 
   
   
   
 
  
   
  
  
   
 

  
 
  

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,


sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”.82

Bunyi surat Al-Ahzab ayat 37:

  


  
  
  
    
  
   
    
 
   

82
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 8.
80

  


 
 
   
   


Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang


Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi
nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",
sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan
dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. dan adalah ketetapan
Allah itu pasti terjadi”.83

Dalil Al-Qur’an yaitu surat Al-Qashas ayat 27:

   


  
   
   
  
    
   
   
 
Artinya: “Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar
bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan
sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak
hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk
orang- orang yang baik".84

83
Ibid, hlm. 666.
84
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 609.
81

Menurut mazhab Hanafi memperbolehkan menggunakan lafadz apa

saja entah itu lafadz sharih (jelas) ataupun lafadz kinayah (samar atau

sindiran) sebab dalam ijab qabul yang terpenting niatnya dan tidak disyaratkan

menggunakan kata-kata khusus, bahkan semua lafadz dianggap cocok apabila

maknanya dapat dimengerti, yaitu kata-kata tadi dengan maksud agamanya

maknanya sama, hukumnya tetap sah. Sehingga tidak ada kekhawatiran sah

atau tidaknya lafadz tersebut diucapkan, selama mengandung makna yang

sama dan dapat dimengerti maka lafadz “memberikan dan menyerahkan”

dapat digunakan. Fakta yang terjadi pada masyarakat di Kec. Moyo Hilir

tersebut, selaras dengan pendapat mazhab Hanafi yang menggunakan lafadz

apa saja selama maksud dan tujuannya adalah untuk menikah tidak masalah.

Dalil yang digunakan mazhab Hanafi yaitu surat Al-Ahzab ayat 37:

   


  
  
  
    
  
    
   
   
  
  
 
   
   

Artinya: “Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya
tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-
anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
82

keperluannya daripada isterinya[1220]. dan adalah ketetapan Allah itu pasti


terjadi”.85

Hal ini menurut penulis jika belum pernah ditemukan sama sekali baik

dalam Al-Qur’an maupun Hadist mengenai ketentuan lafadz ijab dan qabul

dalam pernikahan, maka perbedaan lafadz ijab qabul tersebut tidaklah menjadi

masalah yang besar selama lafadz itu mengandung kata tazwij dan nikah.

Dalam Hadist tidak ditentukan lafadz seperti apa yang digunakan ketika

menikah, tetapi ketentuan yang harus diikuti adalah rukun nikah tersebut,

tidak heran jika banyak perbedaan yang terjadi tentang lafadz nikah ini karena

kita dalam menghukumi sesuatupun banyak perbedaan tetapi semua mengikuti

Sunnah Nabi, dalam memaknai Al- Qur’anpun ulama berbeda-beda pendapat.

Jadi, menurut penulis pandangan empat mazhab terhadap perbedaan

lafadz nikah dalam ijab qabul adalah, jika terjadi perbedaan pelafalan dalam

ijab qabul ketika akad nikah tetapi selama perbedaan pengucapan lafadz ijab

qabul dalam pernikahan tidak menyalahi atau dimaknainya berbeda (keluar

dari kontes nikah), maka tidak masalah. Lafadz ijab qabul ketika menikah

menggunakan lafadz nikah dan tazwij yang berarti nikah atau kawin.

Tentang redaksinya sesuai kesepakatan atau kebiasaan yang terjadi di

tengah-tengah masyarakat tersebut, atau bisa di musyawarahkan antar

keluarga dan penghulu lafadz mana yang lebih baik digunakan ketika

melangsungkan akad. Tidak masalah terdapat redaksi yang berbeda antara

pendapat satu dengan yang lainnya dalam pelafalan ijab qabul, selama dapat

dipahami bahwa makna lafadz tersebut adalah proses penyerahan mempelai

85
Departemen Agama RI, Al-Qur’an…, hlm. 666.
83

wanita kepada mempelai laki-laki (Ijab) dan pernyataan mempelai laki-laki

dalam menerima ijab (Qabul).

Jadi, menurut peneliti terjadinya perbedaan pengucapan lafadz ijab dan

qabul disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kurangnya pemahaman

tentang agama, dan cara memahami dalil-dalil dengan berbeda, ada yang

memahami secara literal dan ada yang memahami secara substansi. Jika

secara literal maka dia harus membaca sesuai dengan apa yang sudah

dianjurkan oleh para Ulama. Berbeda dengan yang memahami secara

substansi, yang menganggap jika makna atau tujuan dari lafadz nikah itu

sudah dipahami dan sudah dicapai maka sudah cukup dan orang-orang sudah

mengerti.

Perbedaan pengucapan lafadz nikah ketika melakukan ijab dan qabul

sudah terjadi sejak dahulu, tetapi tujuan dan maksudnya adalah sama yaitu

sahnya suatu pernikahan. Di masyarakat mempunya pendapat yang berbeda-

beda ketika mengucapkan lafadz ijab dan qabul dalam pernikahan, itu

dikarenakan merujuk pada pendapat para Ulama terdahulu yang pendapatnya

juga berbeda-beda.

B. Analisis Terhadap Alasan Terjadinya Perbedaan Penggunaan Lafadz

Ijab dan Qabul dalam Perkawinan

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti peroleh melalui wawancara

dengan para informan, menunjukkan bahwa pengunaan kata kuserah,

kubeang, dan kusenikah memiliki beberapa alasan yang berbeda-beda yakni

sebagai berikut:
84

1. Alasan Wali Menggunakan Lafadz Kuserah

Dimana mereka mengatakan bahwa tidak dipermasalahkan

lafadz apapun yang digunakan selama lafadz tersebut bermaksud untuk

menyatukan pasangan pengantin maka sah-sah saja, 86 karena

mengikuti ajaran yang dianjurkan oleh salah satu anggota keluarga

yang dianggap sepuh, 87 dan kata-kata menikahkan dan menyerahkan

maknanya sama saja selama niatnya untuk menikah tidak masalah. 88

2. Alasan Wali Menggunakan Lafadz Kubeang

Mengatakan bahwa dibagian Moyo Hilir ini terutama di Dusun

tempat saya pendidikannya terlalu minim terutama saya sendiri kurang

paham terhadap agama apa lagi terkait pengucapan lafadz yang

diucapkan pada saat melangsungkan ijab qabul itu berbeda-beda

caranya yang satu menggunakan ini yang satunya lagi beda juga,89

orang-orang terdahulu juga menggunakan kata-kata (memberikan) dan

pernah mendengarkan atau menyaksikan pernikahan yang

menggunakan lafadz itu (tradisi orang terdahulu), dan pernikahan

86
M. Saleh (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 13 Mei 2020.
87
Sapriadi (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 14 Mei 2020.
88
Faruk Hali (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 15 Mei 2020.
89
Zaidin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 16 Mei 2020.
85

tersebut disahkan oleh para saksi dan masyarakat, jadi mereka juga

mengikutinya.90

3. Alasan Wali Menggunakan Lafadz Senikah

Karena pada umumnya lafadz yang seharusnya diucapkan oleh

wali ketika menikahkan anaknya adalah seperti yang sudah diarahkan

oleh pihak KUA yaitu menggunakan kata nikah,91 sebelum

berlangsungnya akad terlebih dahulu diajarkan oleh pihak KUA

bagaimana seharusnya lafadz yang digunakan, dan bisa dikatakan itu

adalah anjuran dari pihak KUA sendiri, 92 dan mereka mengatakan juga

pada dasarnya mayoritas di Indonesia adalah menggunakan mazhab

Syafi’i maka lafadz yang digunakan pada saat ijab qabul adalah

menggunakan kata nikah dan dari pihak KUA sendiri juga

mengarahkan seperti itu.93

Penggunaan lafadz yang berbeda dengan alasan seperti yang sudah

dipaparkan di atas, menurut peneliti itu sebenarnya tidak bisa dibenarkan,

karena alasan kebiasaan dimana kebiasaan itu di dalam Hukum Islam tentang

ur’f itu hanya bisa dijadikan dasar hukum ketika dilakukan oleh masyarakat

dan kebiasaan itu juga dilakukan secara terus menerus sehingga perbuatan

tersebut menjadi popular dikalangan mereka, dan itu bukan dilakukan oleh

beberapa orang atau keluarga saja, karena di dalam teori tentang ur’f / adat

90
Iskandar (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 17 Mei 2020.
91
Biola Ilias (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 18 Mei 2020.
92
Muhammad Kadir Usin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 19 Mei 2020.
93
Ibrahin (Wali Nikah), Wawancara, Moyo Hilir, 20 Mei 2020.
86

kebiasaan yang digunakan sebagai dasar hukum harus mengacu kepada

peristiwa yang berulang kali dilakukan, diakui atau dikenal oleh masyarakat.

Dasar Hukum Ur’f terdapat pada Surat Al-Ar’raf ayat 199:

  


  
 
Artinya:“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Hadist Nabi:

Artinya:”Sesuatu yang dinilai muslimin baik, maka baik pula menurut


Allah”.

Dalil-dalil di atas menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan yang sudah

lama berjalan dikalangan masyarakat dan bernilai baik (mengandung

manfaat) dibolehkan untuk mengerjakannya, sebaliknya yang bernilai buruk

(mengandung kerusakan) tidak boleh dikerjakan sebab Islam turun untuk

memberikan maslahat kepada seluruh alam bukan untuk menabur kerusakan.

Dalam hal ini sesuai dengan kriteria ur’f yang berkaitan dengan

kebiasaan yang diterima oleh banyak orang dan tidak bertentangan dengan

norma agama, sopan santun dan budaya leluhur. Dari kriteria tersebut

ternyata kejadian yang terjadi di masyarakat Kecamatan Moyo Hilir tersebut

tidak bisa dimasukan atau dikatakan ur’f, karena hanya beberapa orang atau

bisa dikatakan hanya di dalam keluarga itu saja dan tidak semua masyarakat

mengakuinya, para ulama ushul juga mengatakan bahwa suatu ur’f baru

dapat dijadikan oleh salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila

memenuhi syarat sebagai berikut:


87

1. Ur’f tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan masyarakat.

Artinya kebiasaan sejumlah orang tertentu dalam masyarakat tidak

dapat dikatakan.

2. Ur’f tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang

didasarkan pada ur’f tersebut ditetapkan.

3. Ur’f itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan

masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat

tersebut baik itu ur’f dalam bentuk praktik, perkataan, umum dan

khusus.

4. Ur’f tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas.

5. Ur’f tidak bertentangan dengan nash sehingga menyebabkan hukum

yang dikandung nash tersebut tidak diterapkan. Ur’f seperti ini tidak

dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan ur’f baru bisa direima

apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang

dihadapi. 94

Jika dilihat dari beberapa persayaratan ur’f di atas maka dapat

disimpulkan bahwa yang terjadi pada masyarakat yang ada di Kecamatan

Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa tersebut tidak bisa dibenarkan atau

dikatakan ur’f, karena dalam pengertian ur’f yang telah dikemukakan bahwa

ur’f yang dapat diterima sebagai dalil syara’ adalah ur’f yang tidak

bertentangan dengan nash dan dilakukan secara terus menerus oleh

masyarakat bukan hanya beberapa orang saja. Para ulama pun banyak yang

94
Suwarijin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 148.
88

sepakat dan menerima ur’f sebagai dalil menetapkan hukum selama ur’f itu

tidak bertentangan dengan syariat. Penerimaan para ulama tersebut, bertujuan

untuk mewujudkan kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan manusia dalam

arti orang tersebut. bahkan ulama menempatkannnya sebagai syarat yang

disyaratkan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari seluruh pembahasan yang telah peneliti uraikan pada bab-bab

sebelumnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan dari “Perbedaan

Penggunaan Lafadz Ijab dan Qabul dalam Perkawinan (Studi di KUA

Kecamatan Moyo Hilir Kabupaten Sumbawa)”, sesuai dengan rumusan

masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Pengucapan lafadz inkah pada saat ijab qabul di Kecamatan Moyo Hilir

berbeda-beda (tidak sama), dari kelima pasangan yang menggunakan

lafadz ijab dan qabul yang berbeda tersebut, mereka lebih cendrung
89

mengikuti mazhab Hanafi yang menggunakan lafadz “saya menyerahkan

atau memberikan”.

2. Alasan terjadinya perbedaan penggunaan lafadz inkah di Kecamatan

Moyo Hilir yaitu:

a. Lafadz tersebut sudah biasa digunakan di dalam keluarga.

b. Semua lafadz dianggap cocok selama lafadz tersebut bermaksud untuk

menyatukan pasangan pengantin maka sah-sah saja.

c. Adanya saksi dan masyarakat yang menyaksikan akad tersebut, dan

selama sesuai dengan syarat dan rukunnya maka lafadz tersebut tidak

menjadi sebuah masalah .

d. Lafadz apa saja yang digunakan selama itu mengarah pada pernikahan

tidak masalah.

e. Pernah mendengarkan/menyaksikan pernikahan yang menggunakan

lafadz berbeda (tradisi orang terdahulu), dan pernikahan tersebut

disahkan oleh para saksi dan masyarakat.

3. Penggunaan lafadz ijab dan qabul yang digunakan oleh kelima pasangan

yang berbeda tersebut, lebih cendrung mengikuti mazhab Hanafi yang

menggunakan lafadz “menyerahkan/memberikan” dengan berbagai faktor

seperti kebiasaan yang terjadi sejak dahulu dan itu sudah menjadi turun

temurun dalam masyarakat terutama di dalam keluarga.

B. Saran

1. Indonesia adalah Negara yang mayoritasnya penganut mazhab Syafi’i,

maka seharusnya masyarakat lebih memahami pengucapan lafadz ijab dan


90

qabul sesuai dengan ketentuan mazhab Syafi’i agar tidak terjadi perbedaan

pendapat.

2. Mengikuti pendapat siapapun diantara para mazhab tidak ada yang salah,

karena dari pendapat para mazhab mempunyai dasar hukum yang kuat.

Jadi tidak perlu mengklaim pendapat para mazhab karena hal tersebut

bukanlah kapasitas kita.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bin’Umar Ad-Dairabi, Fiqih Nikah. Jakarta: Mustaqiim, 1986.

Abu Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah Lengkap. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.

Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2004.

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006.

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Bagong Suyanto Sutinah, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.


Jakarta: Kencana, 2007.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: PT. Syamil Cipta
Media, 2005.
91

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan


Bintang, 1974.

Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,


1999.

Madani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta 13220: Kencana, 2016.

Musatato Hasan, Pengantar Hukum Keluarga. Bandung 40253: Cv Pustaka Setia,


2011.

Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2010.

Noor Muklisin, Hukum Fals antara Ijab dan Qabul Nikah (Studi Komparatif
Pendapat Al-Juwaini dan Al-Syairazi). Skripsi: Fakultas Syariah dan Hukum
Uin Walisongo Semarang, 2016.

Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi. Jakarta:


PT Bumi Aksara 2006.

Ria Rhisthiani, Perbedaan Lafadz Nikah dalam Ijab Qabul Perspektif Majelis
Mazhab Indonesia Provinsi Lampung. Skripsi: Fakultas Syariah UIN Raden
Intan Lampung, 2019.

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2005.

Surhasimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT


Rineka Cipta, 2014.

Syaikh Abdullah Abdurrahman Alu Bassam, Hadits Hukum Bukhari Muslim.


Jakarta: As-Sunnah Jakarta, 2015.

Sutrisno Hadi, Metode Research. Jakarta: Andi Offsel, 1986.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah. Bandung: PT Alma’arif, 1978.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Grafika, 1998.

Tihami, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Wahyudin Asofi, Studi Analisis Pendapat Ibnu Qudamah tentang Keharusan Ijab
Qabul Menggunakan Lafadz “Inkah” dan “ Tazwij” bagi yang Mampu.
Skripsi: Fakultas Syariah dan Hukum Uin Walisongo Semarang, 2014.
93

LAMPIRAN-LAMPIRAN
100
101
110
111
112
113

1. Wawancara bersama Kepala KUA Kec. Moyo Hilir (Bapak Suyitno, S.Ag)

2. Wawancara bersama Penghulu KUA Kec. Moyo Hilir (Bapak H. Nasrullah)


114

3. Dokumentasi bersama Kepala dan Staf di KUA Kec. Moyo Hilir

4. Megumpulkan data nikah Tahun 2020


115

5. Stempel data nikah


116

6. Wawancara bersama nara sumber


117

Anda mungkin juga menyukai