Anda di halaman 1dari 109

PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA PERSPEKTIF

AL-QUR’AN SURAT AT-TAHRIM AYAT 1-6


(Studi Komparatif Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Mishbâh)
Skripsi ini diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Disusun Oleh:

Devi Nirmayuni
NIM. 15210650

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN & DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

1440 H/2019 M
PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA PERSPEKTIF
AL-QUR’AN SURAT AT-TAHRIM AYAT 1-6
(Studi Komparatif Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Mishbâh)
Skripsi ini diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Disusun Oleh:

Devi Nirmayuni
NIM. 15210650

Pembimbing:
Drs. H. Arison Sani, MA
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN & DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

1440 H/2019 M
MOTTO

“It’s not happiness that bring us gratitude.

It’s gratitude that bring us happiness.”

iv
PERSEMBAHAN

Terimakasih kepada kedua orang tua yang tidak pernah lelah untuk
mendo‟akan di setiap sujudnya. Terimakasih untuk cinta dan kasih sayang
yang berlimpah serta pengorbanan yang begitu besar yang telah diberikan
hingga saat ini.

v
   
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT sang Maha Pencipta yang
telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya sehingga kita masih bisa hidup
dalam keadaan yang penuh berkah.
Shalawat serta salam senantiasa dicurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke
zaman yang berilmu pengetahuan seperti halnya sekarang ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT karena
atas pertolongan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan
skripsi ini dengan judul “Peran Perempuan dalam Keluarga Perspektif Al-
Qur’an surat At-Tahrim ayat 1-6 (Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar dan
Tafsir Al-Mishbâh)”. Selain itu penulis mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam
penulisan skripsi ini. Terimakasih yang terdalam kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, Rektor Institut Ilmu Al-
Qur‟an (IIQ) Jakarta beserta seluruh jajarannya yang telah berjasa
dalam kemajuan perguruan tinggi ini.
2. Dr. Hj. Nadjematul Faizah, M.Hum sebagai Wakil Rektor I, Dr. H.
M. Dawud Arif Khan, SE, M. Si, Ak, CPA sebagai Wakil Rektor II,
dan Dr. Hj. Romlah Widayati, MA sebagai Wakil Rektor III.
3. Ahmad Hawasyi, S. Si., M. Ag sebagai Penguji I dan Iffaty
Zamimah, M.Ag sebagai Penguji II.
4. Dr. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA sebagai dekan Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah
5. Drs. H. Arison Sani, MA sekaligus dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, pikiran dan tenaganya untuk memberikan
vi
bimbingan, nasehat, petunjuk, kepada penulis dan senantiasa sabar
dalam membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini.
6. Terimakasih kepada kedua orang tua tercinta Bapak Hasanudin dan
Ibu Mariana yang tidak pernah lupa melafadzkan nama penulis di
dalam do‟a-do‟anya, yang tidak pernah berhenti memberikan
dukungan dan motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan
studinya di IIQ Jakarta.
7. Segenap Dosen Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta yang telah
mendidik dan membimbing penulis serta memberikan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat.
8. Segenap Instruktur Tahfidz Ibu Atiqoh, Hj. Istiqomah, S.Th.I, MA,
Hj. Muthmainnah, S.Th.I, MA, Ka Nurafriani Hasanah, dan Ibu
Fatimah Askan terimakasih atas waktu dan motivasi luar biasa
kepada penulis untuk lebih dekat dengan Al-Qur‟an.
9. Terimakasih kepada sahabat-sahabatku tersayang Siti Nurholizah,
Alifah Nurru‟fah, Qoriatus Sholihah, Nabilatun Nada yang selalu
memberikan support kepada penulis hingga skripsi ini selesai.
10. Terimakasih kepada teman-teman kelas Ushuluddin IAT A angkatan
2015, yang telah memberikan semangat, motivasi, dan telah
berjuang bersama sejak awal hingga akhir perkuliahan.
11. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu,
semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya dengan kebaikan
yang berlipat ganda, Amin.
Jakarta, 14 Agustus 2019
Penyusun

Devi Nirmayuni

vii
DAFTAR ISI

SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................. i

SURAT PENGESAHAN ............................................................ ii

PERNYATAAN PENULIS ........................................................ iii

MOTTO ....................................................................................... iv

PERSEMBAHAN ....................................................................... v

KATAPENGANTAR .................................................................. vi

DAFTAR ISI................................................................................ ix

ABSTRAK ................................................................................... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................ xiv

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1


B. Permasalahan .................................................................... 7
1. Identifikasi Masalah ..................................................... 7
2. Pembatasan Masalah .................................................... 7
3. Rumusan Masalah ........................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 8
D. Kajian Pustaka .................................................................. 8
E. Metode Penelitian ............................................................. 12
F. Teknik dan Sistematika Penulisan .................................... 14

BAB II: PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA

A. Pengertian Perempuan ....................................................... 16


B. Istilah-istilah Perempuan dalam Keluarga ........................ 18
C. Peran Perempuan dalam Keluarga .................................... 24

viii
D. Hak-hak Perempuan dalam Keluarga................................ 36
E. Kewajiban Perempuan dalam Keluarga ............................ 41
BAB III: PROFIL KITAB TAFSIR AL-AZHAR KARYA BUYA
HAMKA DAN KITAB TAFSIR AL-MISHBẬH KARYAM. QURAISH
SHIHAB
A. Biografi Buya Hamka
1. Riwayat Hidup Buya Hamka ........................................ 44
2. Riwayat Pendidikan dan Karir Buya Hamka ............... 45
3. Karya-karya Buya Hamka ............................................ 51
B. Profil Tafsir Al-Azhar
1. Latar Belakang dan Motivasi Penulisan Tafsir Al-Azhar.. 51
2. Karakteristik dan Sistematika Tafsir Al-Azhar ............ 53
3. Metode dan Corak Penafsiran Tafsir Al-Azhar ............ 54
C. Biografi M. Quraish Shihab
1. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab ............................. 55
2. Riwayat Pendidikan dan Karir M. Quraish Shihab .... 56
3. Karya-karya M. Quraish Shihab ................................. 58
D. Profil Tafsir Al-Mishbâh
1. Latar Belakang dan Motivasi Penulisan Tafsir Al-Mishbâh
………………………………………………………….. 60
2. Karakteristik dan Sistematika Tafsir Al-Mishbâh…... 62
3. Metode dan Corak Penafsiran Tafsir Al- Mishbâh….. 63

ix
BAB IV: AYAT-AYAT TENTANG PERAN PEREMPUAN DALAM
KELUARGA MENURUT TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-
MISHBÂH

A. Menjaga Rahasia Suami


(QS. At-Tahrim[66]: 1-3).................................................. 65
B. Meminta Maaf ketika melakukan Kesalahan
(QS. At-Tahrim[66] : 4-5)……………………………….. 74
C. Memelihara Diri dan Keluarga dari Neraka
(QS. At-Tahrim[66]: 6)…………………………………... 79

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 85
B. Saran ................................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 87

x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi ini berpedoman pada buku penulisan skripsi, tesis, dan disertasi
Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta tahun 2017. Transliterasi Arab-Latin
mengacu pada berikut ini:
1. Konsonan
No. Arab Latin No. Arab Latin
1. ‫ا‬ a 16. ‫ط‬ th

2. ‫ة‬ b 17. ‫ظ‬ zh

3. ‫ث‬ t 18. ‫ع‬ „

4. ‫ث‬ ts 19. ‫غ‬ gh

5. ‫ج‬ j 20. ‫ف‬ f

6. ‫ح‬ h 21. ‫ق‬ q

7. ‫خ‬ kh 22. ‫ك‬ k

8. ‫د‬ d 23. ‫ل‬ l

9. ‫ذ‬ dz 24. ‫و‬ m

10. ‫ز‬ r 25. ‫ن‬ n

11. ‫ش‬ z 26. ‫و‬ w

12. ‫س‬ s 27. ‫ه‬ h

13. ‫ش‬ sy 28. ‫ء‬ ,

14. ‫ص‬ sh 29. ‫ي‬ y

15. ‫ض‬ dh

xi
2. Vokal
Vokal Tunggal Vokal panjang Vokal Rangkap

Fathah :a ‫آ‬ :ȃ ْْ‫َي‬.. : ai


Kasrah :i ْ‫ي‬: ȋ ْ‫َو‬.. :au

Dhammah :u ‫و‬ :ȗ

3. Kata Sandang

a. Kata sandang yang diikuti alif lam (‫)ال‬ qamariyah.

Kata sandang yang diikuti alif lam (‫)ال‬ qamariyah di

transliterasikan sesuai dengan bunyinya.Contoh :

ْ‫انبقسة‬: al-Baqarah ‫انمدينت‬: al-Madȋnah


b. Kata Sandang yang diikuti oleh (‫ )ال‬syamsiah

Kata sandang yang diikuti alif lam (‫)ال‬ syamsiah

ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan


dan sesuai dengan bunyinya. Contoh:

‫ انسجم‬: ar-rajul ‫انسيدة‬ :as-Sayyidah

‫انشمص‬: asy-syams ْ‫ْاندازمي‬:ad-Dȃrimȋ

c. Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah (Tasydȋd) dalam sistem aksara Arab digunakan lambang

(َََْ) sedangkan untuk alih aksara ini dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan cara menggandengkan huruf yang bertanda

xii
tasydȋd. Aturan ini berlaku secara umum, baik tasydȋd yang
berada di tengah kata ataupun yang terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiah. Contoh:
ّ ِ‫ءمنّآْب‬: Ȃmannȃ billȃhi
ِْ‫بللا‬ ْ‫ وانسُّ ّك ِع‬: wa ar-rukka’i ْ
ْ‫ْءامهْانسُّفهآء‬: Ȃmannȃas-Sufahȃ’u ْ‫ْإِ َّنْان ِريْه‬:Inna al ladzȋna

d. Ta Marbȗthah (‫)ة‬

Ta Marbȗthah (‫ )ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh

kata sifat (na’at),maka huruf tersebut diaksarakan menjadi huruf


“h”. Contoh:

ْ‫ا ْْل ْفئِد ِة‬ : al-Af’idah

ْ‫ ا ْنجب ِمعتْا ِإلسَْل ِميت‬: al-Jȃmi’ah al-Islȃmiyyah


Sedangkan ta marbuthah (‫ )ة‬yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (ism) maka dialih aksarakan menjadi
huruf ”t”. Contoh:

ْ‫صب ِت‬
ِ ‫عب ِمهتْاننب‬ : „Ȃmilatun Nȃshibah.

‫ا ْْليتْ ْانكبْسى‬ : al-Ȃyat al-Kubra

e. Huruf Kapital

Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf capital, akan


tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan
awal kalimat,huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri dan
lain-lain. Ketentuan yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih
aksara ini, seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan
ketentuan lainnya. Adapun untuk nama diri yang diawali dengan kata
sandang, maka huruf yang ditulis capital adalah awal nama diri,

xiii
bukan kata sandangnya. Contoh: „Ali Hasan al-„Ȃridh, al-Ȃsqallȃnȋ,
al-Farmawȋ dan seterusnya. Khusus untuk penulisan kata Alqur‟an
dan nama-nama surahnya menggunakan huruf capital. Contoh: Al-
Qur‟an, Al-Baqarah, Al-Fȃtihah dan seterusnya.

xiv
ABSTRAK
Nirmayuni, Devi, 15210650. “Peran Perempuan dalam Keluarga
Perspektif Al-Qur‟an surat At-Tahrim ayat 1-6 (Studi
Komparatif Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Mishbâh)”. Skripsi.
Jurusan: Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir. Fakultas: Ushuluddin dan
Dakwah, Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta.
Pembimbing: Drs. H. Arison Sani, MA.

Islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Hal itu salah satunya


bisa dlihat dari cara Islam memosisikan kaum perempuan. Ketika
Islam datang, ia mengangkat martabat wanita dari kondisi yang
dominan dalam masyarakat di dunia saat itu. Dari sini kita dapat
melihat betapa besarnya peran perempuan hingga Allah memberikan
petunjuk kepada orang-orang yang beriman agar tidak meremehkan
hal-hal yang berhubungan dengan wanita. Dalam Al-Qur‟an
ditemukan beranekaragam kisah yang mana di dalamnya terdapat
nilai-nilai yang berharga yang terkandung dalam kisah tersebut.
Nilai-nilai tersebut dapat berfungsi sebagai petunjuk, peringatan,
rahmat, penawar penderitaan serta pelajaran. Dalam surat At-Tahrim
terdapat ayat yang saling berkaitan dan membahas permasalahan-
permasalahan yang terjadi di dalam keluarga Nabi-nabi, salah
satunya adalah keluarga Nabi Muhammad SAW yang mengalami
goncangan bahkan ada wacana bahwa beliau akan menceraikan
istrinya.
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (Library
Research), yaitu rangkaian penelitian yang berkenaan dengan
pengumpulan data dan pustaka dari literatur yang berkaitan dengan
judul penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah kualitatif agar
mendapatkan da yang mendalam. Adapun metode yang digunakan
yaitu deskriptif-analisis komparatif, dengan itu penulis dapt
memperoleh data atau informas dari berbgai sumber tertulis atau dari
sumber data yang ada pada informan.
Berdasarkan analisa data yang dilakukan, penulis
memperoleh kesimpulan bahwa betapa besarnya pengaruh peran
perempuan dalam sebuah keluarga, antara lain adalah menjaga
rahasia suami, meminta maaf ketika melakukan kesalahan, menjaga
kelurga dari api neraka.

xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama rahmatan lil’alamin. Hal itu salah satunya
bisa dlihat dari cara Islam memosisikan kaum perempuan. Jika kita
melihat kembali zaman jahiliyah, betapa perempuan dipandang
rendah. Ketika itu, mengubur hidup-hidup bayi berjenis kelamin
perempuan sudah dianggap tradisi dalam masyarakat Arab
jahiliyah.1
Islam mampu mengembalikan harga diri dan kepribadian wanita,
menempatkannya pada kedudukan yang tinggi, yang mana hukum
positif saat itu belum ada yang mencapai taraf itu. Berikut adalah
beberapa contoh sebelum risalah kenabian datang:
Menurut Undang-undang Yunani, dimana wanita berada dalam
wilayah kekuasaan penaggung jawabnya. Sebelum wanita itu
kawin, maka ia menjadi milik ayahnya atau saudara laki-lakinya,
atau siapapun yang menjadi penanggung jawabnya maka setelah ia
kawin akan menjadi milik suaminya, sehingga ia tidak memiliki
ruang gerak untuk mengatur urusannya sendiri baik sebelum kawin
atau sesudahnya. Wanita seolah-olah menjadi komoditas yang dapat
diperjual belikan dan yang menerima harganya adalah penanggung
jawabnya.
Menurut Undang-undang Romawi, wanita diperlakukan seperti
anak kecil atau bagaikan orang gila. Artinya ia tidak memiliki
wewenang sedikit pun atas dirinya. Tuan rumahlah yang berhak
menjual setiap wanita yang berada dalam wilayah tanggung

1
Andi Sri Suriati Amal, Perempuan sebagai Muslimah, Ibu, dan Istri,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 1-2

1
2

jawabnya. Jadi wanita tetap berada di bawah kekuasaan


penanggung jawabnya, yakni ayahnya atau suaminya sampai ia
tutup usia dan penanggung jawabnya mempunyai hak penuh ntuk
menjualnya, mengasingkannya, menghukumnya, atau bahkan
berhak menghilangkan nyawanya.2
Ketika Islam datang, ia mengangkat martabat wanita dari kondisi
yang dominan dalam masyarakat di dunia saat itu. Islam datang
memberikan kebebasan kepada wanita, menjaminnya dapat
menggunakan hak prbadinya dan independensinya, memulihkan
kembali harga dirinya, menyatakan bahwa pria dan wanita satu
sama lain hidup saling melengkapi dan saling mendukung.3
Dalam Al-Qur’an, wanita diberi tempat khusus dengan memberi
satu surat yang disebut dengan surat An-Nisa[4] yang artinya
adalah wanita, yang mana di dalamnya banyak dibicarakan hal-hal
yang berhubungan dengan wanita. Dari sini kita dapat melihat
betapa besarnya peran perempuan dalam kehidupan hingga Allah
memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman agar tidak
meremehkan hal-hal yang menjadi hak para perempuan.
Bagi umat Islam adanya pembatasan seks dengan pernikahan, itu
berarti telah menyelamatkan kaum wanita untuk terjun dalam dunia
prostitusi.4 Maka dari itu umat Islam dianjurkan untuk menikah,
karena pernikahan dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan
kedamaian pikiran, sehingga laki-laki dan perempuan bisa hidup
bersama dalam cinta, kasih sayang, kepahitan dalam hidup,

2
As-Syeikh Mohammad Mutawalli as-Sya’rawi, Wanita dalam Perspektif
Al-Qur’an, (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010), h. 17
3
As-Syeikh Mohammad Mutawalli as-Sya’rawi, Wanita dalam Perspektif
Al-Qur’an, (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010), h. 34
4
Lynn Wilcox, Wanita dalam Al-Qur’an Perspektif Sufi, terj. DICTIA,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), Cet. I, H. 46
3

harmonis, kerjasama, saling menasehati dan toleran meletakkan


pondasi mengangkat keluarga dalam Islam dalam suatu lingkungan
yang lestari dan sehat.5
Menurut Undang-Undang Perkawinan (UUP) No. 1 tahun 1974:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa.6
Dalam kehidupan berkeluarga, suami istri dituntut untuk
menjaga hubungan yang baik, menciptakan suasana yang harmonis,
yaitu dengan menciptakan saling pengertian, saling menjaga, saling
menghormati, dan saling menghargai, serta saling memenuhi
kebutuhan masing-masing. Apabila suami istri melalaikan
kewajiban, maka akan terjadi kesenjangan hubungan yang
akibatnya dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti
mengakibatkan kesalahpahaman, perselisihan, dan ketegangan
hidup berumah tangga. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an surat Ar-Rum[30] ayat 21:

         

          



“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya

5
Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, terj. Ahmad
Baidowi, (Jakarta: PT. Mitra Pusaka, 1999), Cet. I, h. 93
6
Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an , 2012), Cet. II, h. 343
4

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan


dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. 7 (QS. Ar-Rum[30]:
21)
Ayat tersebut menggambarkan jalinan ketenteraman, rasa
kasih dan rasa sayang sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan
oleh masing-masing individu, laki-laki dan perempuan ketika jauh
dari pasangannya. Setiap suami dan istri yang menikah, tentu sangat
menginginkan kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah tangga
mereka, ada ketenangan, ketentraman, kenyamanan, dan kasih
sayang. Rumah tangga yang menjadi surga dunia tidaklah identik
dengan limpahan materi, kebahagiaan bukanlah sebuah kemustahilan
untuk dicapai, sebab kebahagiaan merupakan pilihan dan buah dari
cara berfikir dan bersikap. Maka dari itu, hanya dengan
pasangannyalah ia dapat menikmati manisnya cinta dan indahnya
kasih sayang dan kerinduan.8
Islam sebagai agama yang memberikan perhatian besar pada
pentingnya institusi keluarga, secara normatif memberikan
seperangkat aturan-aturan yang komperehensif, baik berkaitan
dengan persoalan memilih pasangan hidup, tata cara perkawinan, tata
krama hubungan suami istri, menyambut kelahiran anak, pendidikan
anak dan keluarga, bahkan kematian serta soal warisan.9
Keluarga merupakan bagian dari institusi sosial terkecil di
tingkat masyarakat. Satu sisi dapat dipahami sebagai bagian dari
proses sosial, namun di sisi lain juga dapat dipahami sebagai cara

7
Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan
Berpolitik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an), h. 345
8
Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj.
A. Chumaidi Umar, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke 1, h. 82
9
Hamim Ilyas, dkk., Perempuan Tertindas?, (Yogyakarta: Pusat Studi
Wanita IAIN Sunan Kalijaga, 2003), Cet. I, h. 89-90
5

membangun masyarakat yang ramah nilai, manfaat dan arti bagi


kehidupan yang lebih luas. Untuk menghantarkan harapan demikian,
keluarga mesti memiliki seperangkat aturan yang dapat
menumbuhkan kesadaran yang tinggi di antara anggota keluarga
terhadap hak dan kewajibannya masing-masing.10
Setiap pasangan harus berusaha dan bertekad untuk
membangun rumah tangga yang bahagia dan langgeng. Konflik
diantara suami istri merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari,
dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan sebuah keadaan yang
buruk yang tidak mungkin terlepas dari mereka. Karena pada
dasarnya manusia berbeda-beda dalam perasaan, keahlian,
kemampuan, dan kepribadiannya. Perbedaan-perbedaan itulah yang
menyebabkan adanya konflik.11
Nabi Muhammad SAW pun yang merupakan teladan bagi
setiap muslim dan muslimah, dalam kehidupan rumah tangga yang
idealnya itu juga ternyata juga tak luput dari selisih paham dan selisih
pendapat. Ini artinya bahwa Nabi Muammad SAW dan juga istri-
istrinya adalah manusia dengan segala kekurangannya yang tidak
luput dari kesalahan.
Dalam Al-Qur’an ditemukan beranekaragam kisah. Jika dikaji
secara mendalam, bukan saja akan mengungkapkan rahasia pesona
bahasa yang memiliki daya tarik yang begitu kuat, tetapi juga dapat
mengungkapkan banyak hal, berupa nilai-nilai yang berharga yang
terkandung dalam kisah tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berfungsi
sebagai petunjuk, peringatan, rahmat, penawar penderitaan serta

10
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta:
El-Kahfi, 2008), Cet. I, h. 223
11
Ra’ad Kamil Al-Hayali, Trik Mengatasi Konflik Suami Istri, (Surabaya:
Dunia Ilmu 1999), Cet. I, h. 38
6

pelajaran dan pada akhirnya bisa menambah keyakinan akan


kebenaran Al-Qur’an dan risalah Nabi Muhammad SAW.
Dalam surat At-Tahrim terdapat 12 ayat yang saling berkaitan
dan membahas permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam
keluarga Nabi-nabi, salah satunya adalah keluarga Nabi Muhammad
SAW yang mengalami goncangan bahkan ada wacana bahwa beliau
akan menceraikan istrinya. Pada ayat 1-5 membahas sumpah Nabi
yang mengharamkan atas apa yang dihalalkan oleh Allah atas diri
beliau, dikarenakan kedua istrinya yang bernama Aisyah dan
Hafshah yang cemburu. Kemudian Allah memerintahkan Nabi untuk
membebaskan sumpahnya dan memberitahukan apa yang telah
dilakukan oleh istri-istrinya, dan memerintahkan kepada istri-istrinya
untuk segera bertaubat. Lalu pada ayat 6 Allah memerintahkan
kepada seluruh orang-orang yang beriman untuk menjaga dirinya
beserta keluarganya dari api neraka.
Penulis tertarik untuk mengungkap pelajaran apa saja yang
bisa diambil dari permasalahan yang terjadi dalam keluarga Nabi
beserta istri-istrinya tersebut. Maka dari itu, yang akan menjadi fokus
pembahasan dalam penelitian ini adalah Tafsir Al-Azhar yang
merupakan karya Buya Hamka dan Tafsir Al-Mishbâh yang
merupakan karya M. Quraish Shihab. Buya Hamka dan M. Quraish
Shihab merupakan tokoh agama dan juga mufassir kontemporer
Indonesia yang cukup disegani di Indonesia, kedua tokoh tersebut
merupakan tokoh yang ahli di bidang tafsir dan berbagai
permasalahan umat. Dengan adat istiadat, sosio historis dan latar
belakang pendidikan yang berbeda dari kedua mufassir tersebut,
maka peneliti ini akan membandingkan dan menganalisis tentang
bagaimana kedua tokoh tersebut menafsirkan ayat mengenai
7

perempuan di dalam kedua kitabnya yaitu Tafsir Al-Azhar dan Tafsir


Al-Mishbâh.
Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul, “Peran Perempuan dalam Keluarga
Perspektif Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 1-6 (Studi Komparatif
Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Mishbâh)”.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari judul yang akan dipaparkan di atas, dapat ditemukan
beberapa masalah yang patut dibahas. Diantara masalah yang
dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Banyak sekali pelajaran-pelajaran dalam Al-Qur’an
yang bisa dijadikan acuan dalam keluarga
b. Banyaknya peran perempuan yang belum bisa
terlaksanakan dengan baik dalam keluarga
c. Adanya perbedaan pandangan para mufassir dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang perempuan
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi masalah di atas, penulis akan
membatasi penelitian ini hanya pada peran perempuan dalam
keluarga dalam penasfiran Buya Hamka pada Tafsir Al-Azhar
dan penafsiran M. Quraish Shihab pada Tafsir Al-Mishbâh pada
surat at-Tahrim ayat 1-6.
3. Rumusan Masalah
Dari permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi di
atas, penulis melihat perlu melakukan pembatasan terhadap
masalah yaitu Bagaimana peran perempuan dalam keluarga
8

perspektif Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 1-6 pada Tafsir Al-


Azhar dan Tafsir Al-Mishbâh?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui cara Nabi dalam menyikapi
permasalahan yang ada dalam keluarganya
b. Untuk mengetahui pelajaran dan hikmah dari peran
perempuan dalam keluarga
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Dari tulisan ini dapat menambah pengetahuan kita
seperti apakah keluarga Nabi dalam surat at-Tahrim.
b. Memberi acuan untuk setiap keluarga agar dapat
membangun keluarga yang harmonis.
c. Sebagai pedoman dalam membentuk keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah.
D. Kajian Pustaka
Menurut pengamatan penulis karya-karya tulis mengenai
peran suami dan istri dalam keluarga sudah banyak dilakukan para
peneliti baik dari segi perspektif Al-Qur’an maupun perspektif
tafsir-tafsir. Namun sejauh ini peneliti belum menemukan
pembahasan khusus tentang “Peran Perempuan dalam Keluarga
Perspektif Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 1-6 (Studi Komparatif
Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Mishbâh)”.
Penelitian ini mengkaji persoalan bagaimana peran perempuan
menurut Al-Qur’an. Namun tidak menutup kemungkinan skripsi
yang disusun oleh penulis ini memiliki kemiripan dengan skripsi
penulis lainnya. Dalam beberapa buku dan skripsi yang penulis
baca, banyak hal khususnya teori dan pendapat yang menjadi
9

perhatian penulis untuk dijadikan penunjang penulisan skripsi ini.


Dan sebagai tinjauan pustaka penulis dalam menyusun teori-
teorinya mengambil dari buku-buku dan skripsi yang bersangkutan
dengan peran permpuan dalam berumah tangga. Berikut adalah
penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian
ini:
1. Achmad Syauqi Alfanzari merupakan penulis sebuah skripsi
yang berjudul Mendidik Diri dan Keluarga (Kajian Tafsir surat
at-Tahrim, Perspektif Quraish Shihab) Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya 2015, dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana cara
mendidik diri dan keluarga berdasarkan surat at-Tahrim ayat 6
dan memfokuskan pada penafsiran Quraish Shihab saja.
Perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti nanti adalah
terletak pada pembahasan yaitu peneliti akan memfokuskan
penelitiannya pada peran perempuan dan perbedaan selanjutnya
yaitu metode dan pengambilan mufassir yang berbeda, karena
peneliti akan menggunakan kitab tafsir karya Buya Hamka dan
kitab tafsir karya M. Quraish Shihab dengan metode
komparatif.
2. M. Faishal Hadi menulis skripsi dengan judul Pendidikan
Keluarga dalam Al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 6 dalam Tafsir
Al-Mishbâh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2015, di dalam skripsi
ini dijelaskan bagaimana relevansi pendidikan keluarga
berdasarkan surat at-Tahrim ayat 6 menurut tafsir Al-Mishbâh
karya M. Quraish Shihab. Karena penulis melihat banyaknya
fenomena keluarga masa kini yang tidak berprilaku sesuai
10

dengan aturan agama, sehingga menyebabkan terjadinya


perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, pelantaran dan
hubungan yang buruk antara anak dengan kedua orang tuanya.
Adapun perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti nanti
ialah terletak pada pengambilan surat yaitu peniliti akan
mengambil dari ayat 1 sampai ayat 6 pada surat at-Tahrim,
sedangkan penulis hanya memfokuskan pada satu ayat yaitu
ayat 6 saja pada surat at-Tahrim. Lalu perbedaan selanjutnya
yaitu terletak pada metode penafsiran yang diambil, dimana
penulis hanya menganalisis penafsiran menurut tafsir Al-
Mishbâh saja, sedangkan peneliti akan mengambil metode
komparatif antara tafsir Al-Azhar dan tafsir Al-Mishbâh.
3. Ita Rosita menulis skripsi dengan judul Peran Perempuan
sebagai Pendidik Perspektif M. Quraish Shihab
FakultasTarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung 2017, di dalam skripsi ini dijelaskan
peran perempuan sebagai pendidik berdasarkan apa yang sudah
menjadi sifat dalam diri perempuan tersebut. Peran perempuan
yaitu sebagai model dan pembentuk karakter anak yang
memiliki sifat jujur dan menanamkan kejujuran, memiliki sifat
lemah lembut dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang,
memiliki rasa sabar dalam mendidik anak dan menghadapi
tingkah laku anak, adil dalam memberikan kebutuhan anak-
anak serta memiliki sifat keibuan yang mampu menghadapi
segala kondisi anak. Adapun perbedaan dengan penelitian yang
akan diteliti nanti ialah pada objek yang dituju yaitu dalam
skripsi ini yang difokuskan hanya pada peran perempuan
sebagai pendidik, sedangkan peneliti akan memfokuskan pada
11

peran perempuan dalam keluarga yang mana mencakup peran


perempuan sebagai anak, sebagai ibu, sebagai istri, serta sebagai
masyarakat dengan melihat persamaan dan perbedaan dari dua
kitab tafsir yaitu tafsir Al-Azhar dan Al-Mishbâh.
4. Nourma Idah Chasanah menulis skripsi yang berjudul Etika
dalam Keluarga Perspektif Al-Qur’an Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur’an 2017, di dalam skripsi ini dijelaskan
berbagai macam etika dalam keluarga, karena hasil didikan
keluarga tersebut menentukan nasib anak bangsa. Dalam skripsi
ini menjelaskan tentang penafsiran ayat-ayat etika dalam
keluarga dengan menggunakan tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri
dan tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. KH. Bisri adalah salah
satu Kiai besar di kawasan pesisir dengan menggunakan tafsir
tradisi kultur Jawa, sedangkan Buya Hamka merupakan
mufassir pertama menerbitkan tafsirnya di Indonesia dengan
menggunakan bahasa Melayu. Adapun perbedaan dengan
penelitian yang akan diteliti nanti ialah penulis memfokuskan
kepada peran perempuan dalam keluarga. Lalu perbedaan yang
lebih menonjol terletak pada kitab tafsir yang digunakan, karena
peneliti menggunakan kitab tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka
dan kitab tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, dimana
kedua mufassir ini berasal dari Indonesia.
5. Syarifah Ainul Mardiah menulis skripsi yang berjudul Konsep
Pernikahan Harmonis dalam Al-Qur’an Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur’an 2017, di dalam skripsi ini dijelaskan
bagaimana konsep pernikahan yang harmonis yang sesuai
dengan ajaran Islam dan Al-Qur’an. Penulis ingin melihat
persamaan dan perbedaan pandangan dua mufassir yang
12

berbeda yaitu Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar dan Hasbi as-
Shiddieqy dalam tafsir An-Nur. Adapun perbedaan dengan
penelitian yang akan diteliti nanti ialah peneliti lebih
memfokuskan kepada peran perempuan dalam keluarga, dan
menggunakan dua mufassir yang berbeda yaitu tafisr Al-Azhar
karya Buya Hamka dan tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan data dan fakta yang objektif dalam
penelitian ini, peneliti juga menggunakan metode kepustakaan
(Library Research), yaitu rangkaian penelitian yang berkenaan
dengan pengumpulan data dan pustaka dari literature yang
berkaitan dengan judul penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh,
selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis. Sehingga apabila
hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi
teori.12
2. Sumber Data Penelitian
Untuk mendapatkan data dalam penulisan ini, penulis
menggunakan sumber data yang relevan dengan judul proposal
ini. Adapun sumber-sumber penulisan dalam penulisan ini akan
menggunakan kitab tafsir yang sesuai dengan judul, dengan
melihat penafsiran ayat-ayat dalam surat at-Tahrim yang
berkenaan dengan peran perempua. Adapun kitab yang akan

12
Huzemah T. Yanggo, dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,
Disertasi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, (Jakarta: IIQ Press, 2011),
Cet II, h. 22
13

digunakan adalah kitab Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka dan


Al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.
Penulis menggunakan sumber data yang relevan yaitu sumber
primer seperti Al-Qur’an dan terjemahannya, kitab Tafsir Al-
Azhar karya Buya Hamka, dan Tafsir Al-Mishbâh karya M.
Quraish Shihab, ada pula sumber-sumber sekunder untuk
mendukung penulis dalam penelitian menggunakan kitab-kitab
tafsir, buku-buku sejarah tentang keluarga Nabi, ensiklopedia
tafsir, serta buku-buku yang mendukung penafsiran, dan yang
berkaitan dengan judul.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
metode studi documenter (documentary study), yaitu suatu
metode pengumpulan data yang menghimpun dan menganalisa
dokumen-dokumen, baik tertulis, gambar, maupun elektronik.
4. Metode Analisis Data
Secara teknik operasional penulis mengidentifikasikan ayat-
ayat yang ada dalam Al-Qur’an mengenai ayat-ayat yang
berhubungan dengan judul yang akan diteliti.
Pembahasan skripsi ini menggunakan metode penulisan yang
bersifat deskriptif-analisis komparatif. Deskriptif analisis, yaitu
suatu pendekatan masalah dengan menguraikan terlebih dahulu
sebagai gambaran awal dan setelah itu baru di analisis. Metode
deskriptif ini dimaksudkan untuk menggambarkan objek apa
adanya, sedangkan metode analisis di anggap perlu guna
menganalisis objek yang telah digambarkan sebelumnya.
Dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan
teknis analisis komparatif yaitu dengan membandingkan
14

berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-


ayat yang dibahas oleh penulis untuk mendapatkan informasi
berkenaan dengan identitas dan pola pikir dari masing-masing
mufassir.13
F. Teknik dan Sistematika Penulisan
1. Teknik Penulisan
Skripsi ini berpedoman pada buku pembuatan skripsi yang
berjudul: Petunjuk Teknis Penulisan Proposal dan Skripsi
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta yang diterbitkan oleh
LPPI IIQ Jakarta, cetakan tahun 2017.
2. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan, maka pembahasan skripsi ini
dibagi dalam beberapa bab dengan rincian sebagai berikut :
Bab pertama, bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian
serta sistematika penulisan.
Bab kedua, penulis akan memaparkan tentang pengertian
perempuan, istilah-istilah perempuan dalam Al-Qur’an dan
peran perempuan dalam keluarga, hak-hak perempuan dalam
keluarga, kewajiban perempuan dalam keluarga.
Bab ketiga, bab ini berisi tentang biografi Buya Hamka dan
M. Quraish Shihab beserta profil tafsirnya.
Bab keempat, berisi surat at-Tahrim ayat 1-6 menurut
penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dan M. Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâh.

13
Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakrta:
Pustaka Pelajar, 2002), h. 59
15

Bab kelima, pada bab ini berisi penutup, mencakup


kesimpulan dan saran-saran , diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II

PERAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA


Pada pembahasan skripsi ini penulis membahas peran perempuan
yang terdapat dalam Al-Qur‟an surat at-Tahrim. Surat at-Tahrim
merupakan surat yang ke-66.1 Surat ini adalah surat yang ke-105 dari segi
perurutan turunnya surat Al-Qur‟an, ia turun sesudah surat al-Hujurat dan
sebelum surat al-Jumu‟ah. Jumlah ayat-ayatnya terdiri dari 12 ayat. Surat
ini adalah surat Madaniyah.2 Hubungan surat ini amat erat dengan surat
sebelumnya yaitu surat at-Thalaaq, karena di dalam surat at-Tahrim
dijelaskan mengenai persoalan yang timbul di dalam rumah tangga
Rasululah SAW beserta istri-istrinya.
A. Pengertian Perempuan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata peran bermakna pemain
sandiwara. Sedangkan peranan yaitu sesuatu yang jadi bagian atau yang
memegang pemimpin yang terutama dalam terjadinya hal atau peristiwa.3
Kata perempuan dalam bahasa Arab diungkapkan dengan lafadz
yang berbeda, antara lain: mar’ah, imra’ah, nisa’, dan unsa. Kata mar’ah
dan imra’ah jamaknya nisa’. Ada yang mengatakan bahwa akar kata nisa’
adalah nasiya yang artinya lupa yang disebabkan lemahnya akal.Akan
tetapi, pengertian ini kurang tepat, karena tidak semua perempuan akalnya
lemah dan mudah lupa. Sementara dalam kamus Bahasa Indonesia
disebutkan, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puka,

1
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, (Singapura:
Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003), Jilid 10, h. 7486
2
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 161
3
Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru,
(Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007), h. 659

16
17

dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.Sedangkan


wanita adalah perempuan dewasa.4
Wanita merupakan kata halus bahasa Indonesia untuk kata
“perempuan” dalam bahasa Melayu. Kaum feminis Indonesia tidak suka
menggunakannya, mereka lebih suka menggunakan kata “perempuan”.
Apa pun namanya yang dimaksud dengan wanita atau perempuan adalah
jenis makhluk manusia yang paling berjasa dalam spesiesnya secara
biologis. Wanitalah yang memungkinkan manusia bisa bertambah banyak
dan berganti generasi.5
Kaum sufi mengakui bahwa cinta kasih adalah sifat yang lebih
menonjol pada perempuan dibanding lelaki sehingga sungguh tepat kata
orang bijak: “Mengajar perempuan mencintai atau mengasihi serupa
dengan membimbing air mencari tempat yang rendah”. Sedemikian
mantap bawaan ini sehingga ada juga yang berkata, “Hanya satu seni yang
dimahiri perempuan, yaitu mencintai dan dicintai.” Itulah agaknya yang
menjadi sebab sehingga Allah menganugerahi perempuan kemampuan
menangis, cemburu, dan berduka serta kesediaan berkorban untuk kekasih,
menganugerahi mereka hal-hal tersebut melebihi anugerah-Nya kepada
lelaki karena air mata mengundang kasih dan cinta, pengorbanan
menyuburkannya, cemburu menghangatkannya, sedangkan duka cinta
tidak terobati kecuali dengan cinta pula.6
Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat
besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Muhammad Al-
Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan

4
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2004), Cet.
I, h. 57
5
Nadlifah, Wanita Bertanya Islam Menjawab, (Yogyakarta: Qudsi Media,
2011), Cet. I, h. 1
6
M. Quraish Shihab, Perempuan, (Tangerang: Lentera Hati, 2018), Cet I, h.
82-83
18

Mesir menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum


seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati
keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh
perempuan-perempuan di kelima Benua. Keadaan mereka ketika itu lebih
baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa
ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan
bahan perbandingan.”7

B. Istilah-istilah Perempuan dalam Al-Qur’an

1. Imra’ah/ ‫( امرأة‬perempuan/istri)

Kata ٌ‫ اِ ْمَرأَة‬memiliki beberapa sinonim yakni al-unsa (‫)األُنْثَى‬,

َّ ) dan an-nisa (‫)النِّساء‬, tetapi sebagian ahli


az-zaujah (‫الزْوجة‬
َ َ
berpendapat bahwa kata an-nisa (‫ )النِّساء‬adalah bentuk jamak
َ
dari kata imra’ah (ٌ‫)اِ ْمرءة‬. Kata (ٌ‫ )اِ ْمرءة‬dan pecahannya di dalam
ََ ََ
Al-Qur‟an terulang 38 kali, sedangkan kata imra‟ah (ٌ‫ )اِ ْمرءة‬dan
ََ
jamaknya (‫ )اِ ْمرءات‬sendiri terulang 26 kali.
ََ
Di dalam bentuk mu’annas (mufrad dan jamak), kata-kata
imra’ah/imra’at dengan arti „istri‟ atau „perempuan‟ digunakan di
dalam kaitannya dengan perempuan yang boleh menjadi saksi di
dalam bermuamalah, yaitu jika tidak ada dua laki-laki maka boleh
7
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), Cet. I, h.419-
420
19

dengan satu laki-laki dan satu perempuan. Sebagaimana dalam


Al-Qur‟an surat Ali-Imran[3]: 35:

           

       

“Ingatlah, ketika istri 'Imran berkata: Ya Tuhanku,


Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam
kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di
Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui". (QS. Ali-Imran[3]: 35)
Dari pemaparan di atas, tampaknya kata imra’ah/imra’at
digunakan untuk menyatakan perempuan yang sudah menikah,
baik yang masih bersuami maupun yang sudah menjadi janda
(perempuan kalalah). Perempuan-perempuan yang masih
bersuami terbagi dua, yaitu istri para orang saleh, seperti para
Nabi dan orang-orang beriman serta dan istri orang jahat, seperti
istri Abu Lahab dan Firaun.8

ُ ‫( أُِّم‬ibu)
2. Ummiy/‫ي‬
ّ
Kata ummiy ٌ‫اُِّم ّي‬ berasal dari amma, ya’ummu (ٌ‫َم ٌي ُؤم‬
َّ ‫ )أ‬yang َ
secara etimologis mengandung beberapa pengertian, seperti
sumber, tempat tinggal, kelompok, dan agama. Dari arti-arti
tersebut, muncul pula arti yang berkaitan dengan arti itu, seperti
tujuan, tumpuan, dan keteladanan. Dari akar kata itu muncul kata

8
A. Hafiz Anshary AZ, dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an Kajian Kosakata dan
Tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), h. 1-3
20

umm (‫ )أُم‬yang berarti „ibu‟ karena ibu menjadi tumpuan bagi

putra-putrinya sekaligus menjadi teladan bagi mereka.

ٌ ‫ )ٌأُِّم‬di dalam berbagai bentuknya, baik tunggal


Kata ummiy (‫ي‬
ّ
maupun jamak, di dalam Al-Qur‟an ditemukan enam kali yang

ٌ ‫ )ٌأُِّم‬menurut
berada di dalam empat surat. Kata ummiy (‫ي‬
ّ
kebahasaan mempunyai beberapa arti.Diantaranya berarti „tidak
bisa menulis‟.Kata ini menurut Al-Afshahani di dalam Mu’jam-
nya, dinisbatkan kepada umat yang tidak mempunyai tradisi
menulis.Karena itulah bangsa Arab disebut juga dengan bangsa
ِ
ummatan ummiyyah (‫ُميّة‬
ّ ‫)أ َُّمةٌ ٌأ‬.Kalangan Arab Thaif bisa menulis
setelah mereka berupaya, yaitu mereka belajar kepada penduduk
Hirah yang memperoleh ilmu itu dari orang-orang Anbar.

ٌ ‫ )ٌأُِّم‬juga berarti „tidak bisa menulis dan tidak


Kata ummiy (‫ي‬
ّ
bisa membaca‟.Kata tersebut dapat dinisbatkan kepada ummah
yang yang tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca.Ibnu

ٌ ‫ )ٌأُِّم‬dapat dinisbatkan
Manzhur menyatakan bahwa kata ummiy (‫ي‬
ّ
kepada umm (‫ُم‬
ٌّ ‫ )أ‬atau ibu karena anak yang baru dilahirkan
sedikit sekali bicaranya disamping tidak jelas.Oleh karena itu,

ٌ ‫ )ٌأُِّم‬karena bangsa Arab


Nabi Muhammad dikatakan ummiy (‫ي‬
ّ
tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca.
21

ٌ ‫)ٌأُِّم‬, baik yang berkonotasi tidak


Penggunaan kata ummiy (‫ي‬
ّ
pandai membaca dan menulis maupun yang menunjuk kelompok
masyarakat yakni penduduk Mekkah, saling berkaitan karena
masyarakat Mekkah pada sata diutusnya Nabi Muhammad SAW
pada umumnya tidak pandai membaca dan menulis sehingga
wajar kalau mereka disebut kelompok masyarakat yang ummiy

ٌ ‫)ٌأُِّم‬.
(‫ي‬
ّ
ٌ ‫ )ٌأُِّم‬dapat dipahami
Di dalam konteks Al-Qur‟an kata ummiy (‫ي‬
ّ
dengan beberapa pengertian, kalangan mufassir pun memberikan
beberapa interpretasi. Ath-Thabthabai misalnya, mengartikan

ٌ ‫ )ٌأُِّم‬sebagai orang yang tidak bisa membaca dan


ummiy (‫ي‬
ّ
menulis, disamping dapat mengandung pengertian lain, yaitu
penduduk Mekkah atau ummul Qura’ dan selain ahli kitab,
sebagaimana dalam Al-Qur‟an surat Ali-Imran[3]: 20:

          

         

         

“Dan Katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al kitab


dan kepada orang-orang yang ummi (buta huruf)”. (QS. Ali-
Imran[3]: 20)

Ath-Thabari yang mengutip beberapa riwayat di dalam


beberapa tafsirnya mengemukakan beberapa pengertian kata
22

ummiy. Diantaranya adalah orang yang tidak bisa menulis, orang


yang tidak bisa menulis sekaligus tidak bisa membaca, orang-
orang Arab yang tidak mempunyai Al-Kitab, orang-orang yang
tidak membenarkan rasul dan kitab yang dibawanya, dan bahkan
mereka membuat kitab dengan tangan mereka sendiri, dan
kalangan Yahudi yang tidak mengetahui atau tidak membaca
sedikit pun kitab mereka. Akan tetapi menurut Al-Farmawi,
kendatipun kata ummiy di dalam Al-Qur‟an menunjuk kepada
makna yang beragam, tetapi mempunyai maksud yang sama yaitu
orang yang tidak bisa membaca dan menulis.

Berbeda dengan Al-Farmawi, kalangan orientalis menolak


untuk mengartikan Nabi Muhammad ummiy dengan tidak bisa
menulis dan membaca. Frans Bukhl misalnya, memberikan arti
kata tersebut dengan tidak diajar (untaught).9

3. Al-Unsa/ ‫( األُنْ ثَى‬lemah-lembut)

Kata ‫ األُنْثَى‬secara etimologis bermakna “lemah-lembut”. Ini


memberikan kesan konotasi kualitas psykis perempuan.10 Pada
sisi lain dapat dipahami bahwa kelembutan kaum perempuan
pertanda mereka memerlukan perlindungan dari kaum lelaki
sebagai suatuhal yang fithrawi. Sebagaimana dalam Al-Qur‟an
surat An-Najm[53]: 45-46:

9
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 1038-1039
10
Ibn Fâris bin Zakariya‟, Abu al-Husain Ahmad, Mu’jam Maqâyis al-
Lughat, Juz VI, (Mishr: Mushthafa‟ al-Bâb al-Halabiy wa al-Syarîqat, 1992), h. 67
23

          

“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-


pasangan pria dan wanita. Dari air mani, apabila
dipancarkan”.(QS. An-Najm[53]: 45-46)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa perempuan (‫)األُنْ ثَى‬

adalah kodrat manusia. Hal itu dapat dipahami dari kata ٌ‫َخلَ َق‬
(memberi kodrat).11Jender manusia hanya ada 2, yaitu lelaki

َّ dan perempuan (‫)األُنْثَى‬.Ini berimplikasi tidak ada jender


(ٌ‫)الذ َكَر‬
jenis ketiga. Fenomena yang terdapat dalam kehidupan sosial
dengan begitu adalah penyimpangan yang terjadi karena faktor
agresor terhadap aturan kodrati.

4. Al-Zauj/‫الزْوج‬
َّ (pasangan suami-istri)

Kata ٌ‫َزْوج‬ diambil dari akar kata dengan huruf-huruf al-zâ’u,

al-wâwu, dan al-jîm, yang berarti hubungan antara sesuatu


dengan yang lain, pasangan suami-istri. Itu sebabnya perkawinan
dinamakan “zauj” yang berarti penyatuan rohani dan
jasmani.Suami dinamai “zauj” dan istri pun demikian.12Kata
“zauj” yang bentuk jamaknya adalah “azwaj” digunakan dalam

11
Al-„Allâmah al-Râgib al-Ashfahâniy, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-
Qur’â, (Bairut-Libnan: Dâr al-Fikr, t.th), h. 158
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 316
24

Al-Qur‟an sebanyak 41 kali. Sebagaimana dalam Al-Qur‟an surat


Az-Zariyat[51]: 49:

       

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan


supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (QS. Adz-
Zariyat[51])

C. Peran Perempuan dalam Keluarga


1. Sebagai Anak dalam Keluarga
Kehadiran anak pada sebuah keluarga pada umunya menjadi
dambaan bagi suami istri untuk melengkapi kebahagiaan mereka.
Anak adalah karunia, kebanggaan, amanah, dan sekaligus
menjadi cobaan. Anak sebagai anugerah dari Allah SWT harus
diterima, dirawat, dibesarkan, dididik dengan baik, karena semua
itu harus dipertanggung jawabkan.13
Seorang anak perempuan memiliki kedudukan yang setara
dengan anak laki-laki. Islam tidak pernah mempermasalahkan
kehadiran mereka dalam keluarga muslim. Bahkan Islam
mengecam tradisi Arab Jahiliyah yang membenci kelahiran anak
perempuan atau sikap berlebihan mereka yang mengubur anak
perempuan hidup-hidup.14
Adapun tugas-tugas seorang anak antara lain yaitu mereka harus
mentaati kedua orang tua selama orang tuanya tidak
memerintahkan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Bahkan ketaatan ini tetap dibebankan kepada mereka meskipun

13
Kementrian Agama RI, Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an , 2012), Cet. II, h. 153
14
Abu Hadian Shafiyarrahman, Hak-hak Anak dalam Syari’at Islam,
(Yogyakarta: Al-Manar, 2002), h. 48
25

orang tua mereka bukan muslim dan selama perintah itu tidak
bermaksiat kepada Allah.15
Berbuat baik kepada kedua orang tua sejatinya adalah suatu
kewajiban. Anak harus sedapat mungkin memerankan sendiri
kewajiban ini dengan baik. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Qur‟an surat Al-Isra‟[17]: 23-24:

           

         

        

         

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan


menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut
dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah:
Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Mengucapkan
kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi
mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan
lebih kasar daripada itu”.16 (QS. Al-Isra‟[17]: 23-24)

15
Ali As-Shabuni, Tafsir ayatul Ahkam min Al-Qur’an (Beirut: Daru al-Kutub
al-Ilmiyah, 1999), jilid kedua, h. 180
16
Kementrian Agama RI, Kedudukan dan Peran Perempuan, h. 154-155
26

2. Sebagai Seorang Istri


Islam bertujuan menciptakan kedamaian dan ketentraman
dalam pernikahan. Karena itu suami istri harus saling membantu.
Tidak diragukan lagi, semakin kuat keluarga akan semakin kuat
bangsa, karena bangsa terdiri dari kumpulan keluarga.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-
A‟raf[7]: 189:

         

          

        

 

“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari
padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang
kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu
mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa
ringan (Beberapa waktu).kemudian tatkala Dia merasa berat,
keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya
seraya berkata: Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak
yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang
bersyukur". (QS. Al-A‟raf[7]: 189)
Mengenai ayat di atas, Al-Sya‟rawi menjelaskan bahwa:
Perempuan merupakan tempat berteduh bagi laki-laki secara fisik
dan emosional sekaligus, seperti halnya posisi anak yang
merupakan bagian dari ayah dan ibu, sehingga akibat ikatan ini
tumbuh rasa kasing syang terhadap anaknya. Perempuan
berdasarkan kodratnya senantiasa tertutup, dalam arti kaum
perempuan tidak pernah disebutkan dengan terang-terangan,
27

sebagaimana fakta yang terjadi pada masyarakat petani di Mesir,


yaitu mereka memanggil istrinya dengan panggilan al-jamâ’ah
atau al-aulâd atau ahli dan tidak pernah memanggilnya dengan
panggilan “istriku” atau bahkan nama pasangan hidupnya.
Seperti yang disebutkan bahwa laki-laki merupakan makhluk
independen dan tidak bergantung kepada perempuan. Adapun
perempuan adalah seakan (tempat pencari ketenangan) bagi
pasangannya, hukum ini berlaku bagi anak cucu Adam dan
Hawa. Terlebih hukum yang mengindikasikan bahwa Hawa
mengandung anak laki-laki dan perempuan. Demikian kondisi
yang sangat berat yang dialami perempuan, terkadang kondisi
seperti melalaikan tugas utamanya sebagai istri, yaitu sebagai
tempat berlabuh suami.
Kalimat liyaskunu ilaihâ mengandung pesan bahwa
perempuan adalah tempat berteduh dan berlabuh bagi suaminya.
Meskipun demikian, tidak benar jika dikatakan perempuan hanya
merupakan sakan (rumah) bagi suaminya yang selalu bergerak
sehingga timbul kesan bahwa gerakan dalam sebuah kehidupan
hanya dikuasai kaum laki-laki. Kemudian mencari ketenangan
pada kaum perempuan dengan penuh kasih sayang. Jika
perempuan tidak mampu menyuguhkan ketenangan yang dicari
laki-laki, maka tidak salah apabila kaum laki-laki mencari
ketenangan lain di luar rumah karena baginya sikap tersebut lebih
baik.17

17
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan, h. 104-106
28

3. Sebagai Seorang Ibu


Ibu dalam bahasa Al-Qur‟an dinamai dengan umm. Dari akar
kata yang sama dibentuk kata imam (pemimpin) dan ummat.
Kesemuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang
diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada umat,
pemimpin, dan ibu untuk diteladani. Umm atau ibu melalui
perhatiannya kepada anak serta keteladanannya, serta perhatian
anak kepadanya, dapat menciptakan pemimpin-pemimpin dan
bahkan dapat membina umat. Sebaliknya, jika yang melahirkan
anak tidak berfungsi sebagai umm, maka umat akan hancur dan
pemimpin (imam) yang wajar untuk diteladani pun tidak akan
lahir.
Agaknya, ketika Al-Qur‟an menempatkan kewajiban berbuat
baik kepada orang tua khususnya kepada ibu pada urutan kedua
setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya disebabkan
karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung,
melahirkan, dan menyusukan anak. Tetapi juga karena ibu
dibebani tugas menciptakan pemimpin-pemimpin umat.
Fugsi dan peran inilah yang menjadikannya sebagai umm atau
ibu. Dan demi suksesnya fungsi tersebut, Allah
menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri
psikologis yang berbeda dengan kaum bapak. Peranan ibu
sebagai pendidik generasi bukanlah sesuatu yang mudah. Peranan
itu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan. Namun
demikian, ini bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus di
rumah dan tidak mengikuti perkembangan. Juga pada saat yang
29

sama, ia tidak berarti bahwa mereka harus menelusuri jalan yang


ditempuh oleh kaum bapak.18
Seorang ibu pada umumnya mengemban tanggung jawab lebih
besar dalam megasuh anak. Anak-anak umumnya menghabiskan
sebagian besar waktu kanak-kanak mereka bersama ibu. Fondasi
dari arah masa depan mereka terletak disana. Oleh karena itu,
kunci dari sifat baik atau buruk seseorang, dan kemajuan atau
kemunduran masyarakat, terletak pada para ibu. Kedudukan
kaum wanita tidak terletak di pasar-pasar ataupun di posisi
administratif. Fungsi-fungsi ini tidak mencerminkan pentingnya
seorang wanita sebagai seorang ibu.Kaum ibu semestinya adalah
penghasil manusia-manusia sempurna. Para menteri, pengacara,
dan professor yang berutang budi pada cinta kasih dari ibu
mereka selama masa pertumbuhan mereka.19
Seorang ibu apabila mampu menjaga moral anaknya maka ibu
tersebut mampu menjaga moral bangsa. Lahirnya generasi emas
penerus bangsa adalah hasil dari pendidikan keluarga yang
sebagian besar di dominasi oleh pendidikan seorang ibu. Ibu yang
pertama kali mendidik dan mengenalkan dunia kepada anak
menjadikan suatu keutuhan sistem. Tidak dapat dipungkiri bahwa
mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah dari
potensi masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan
seluruh manusia karena tidak seorang manusia pun selain Adam
dan Hawa yang tidak lahir melalui seorang perempuan.20
Ada beberapa tugas seorang ibu terhadap anaknya:

18
M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung:
Mizan, 1994), Cet. I, h. 258-259
19
Ibrahim Amini, Anakmu AmanatNya, (Jakarta: Al-Huda 2006), Cet. I, h. 8
20
M. Quraish Shihab, Perempuan, h. 33
30

a. Mendidik anak dengan baik


Seorang ibu yang cakap akan mengenal kewajiban putra-
putrinya serta memaklumi karakter dan sifat mereka
berbeda untuk kemudian meminimumnya dengan nilai-
nilai luhur, akhlak karimah dengan menggunakan cara
yang paling tepat dan baik.
Kepribadian seorang ibu biasanya dekat dengan anak-
anaknya dan disenangi oleh mereka. Kepadanyalah
mereka mengungkapkan perasaan dan pengaduan
permasalahan dan sang ibu pun menerima pengaduan itu
serta berusaha mengatasi dan mempengaruhi perasaan
mereka, berbasa-basi sambil menyampaikan nasehat,
bimbingan dan arahan dengan kata-kata lembut penuh
kasih sayang. Karena itu, bertambahlah kecintaan,
perhatian, dan kepatuhan mereka terhadapnya untuk
mendengarkan nasehat dan arahan, dan mereka pun taat
menjalankannya kepada sang ibu bukan karena paksaan
atau adanya kekerasan dimana kedua jenis ketaatan ini
berbeda. Ketaatan pertama timbul dari kesadaran
merupakan ketaatan yang benar, kuat dan abadi serta akan
mendatangkan hasil yang baik. Sedangkan ketaatan yang
kedua yang muncul karena kekerasan dan keterpaksaan
merupakan ketaatan yang palsu.21
b. Bersikap adil kepada anak-anak dalam kasih sayang
Seorang ibu harus berbuat adil kepada anak-anaknya
dengan tidak mengutamakan sebagian atas yang lain
dalam setiap perkara, karena sikap ketidakadilan tersebut

21
Ali Hasyimi, Kepribadian Wanita menurut Al-Qur’an dan Sunnah, h. 184-185
31

akan memberi dampak negatif pada jiwa anak yang


perhatiannya dikurangi yaitu akan tumbuh dalam keadaan
minder, gelisah sambil menyimpan rasa dengki dan
cemburu. Sementara anak yang mendapat perhatian adil
oleh seorang ibu akan hidup sehat, bersih hatinya dari rasa
dengki, rasa dendam dan minder. Jiwanya penuh dengan
rasa optimis, ridha, cinta kasih dan lapang dada.Inilah
yang diinginkan oleh Islam dari para orang tua.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Nu‟am bin Basyir
r.a bahwa ayah beliau pernah membawa dirinya kepada
Rasulullah SAW seraya berkata: “Aku telah
menghadiahkan pelayanku untuk putraku ini”. Maka
Rasulullah SAW bertanya, “Apakah anak-anakmu yang
lain engkau beri pelayan juga?”ia menjawab, “Tidak”.
Maka Nabi SAW bersabda: “kalau begitu ambillah
kembali pelayan itu.”22
c. Memperhatikan hal yang mempengaruhi pembentukan dan
pembinaan anak
Wanita muslimah yang menyadari agamanya, dengan
tanpa sepengetahuan anak-anaknya ia akan memantau
kegiatan mereka, mengetahui teman-temannya, hobinya
dan kemana saja mereka pergi.
Manakala didapati mereka menyimpang baik pandangan
maupun pergaulan serta hobinya dari rel Islam, seperti
merokok, suka datang ke tempat-tempat maksiat atau hura-
hura maka sebagai sang ibu yang bertakwa segera
mengurnya atau memperingatkannya dengan lemah

22
Ali Hasyimi, Kepribadian Wanita menurut Al-Qur’an dan Sunnah, h. 185
32

lembut dan bijak, karena ia lebih mampu untuk melakukan


seperti itu daripada suaminya lantaran ia lebih dekat
dengan mereka. Disini tampaklah tanggung jawab besar
seorang ibu dalam mengarahkan anak-anaknya dan
membentuknya menjadi generasi yang saleh yang
23
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai Islam.
d. Menanamkan akhlak kepada anak
Seorang ibu bersungguh-sungguh menanamkan akhlak
karimah pada jiwa putra-putrinya, berupa cinta kepada
orang lain, menyayangi yang lemah, menghormati yang
lebih tua, mengasihi yang lebih kecil, menjalin
silaturahim, senang berbuat kebaikan, jujur, menepati janji
dan sikap-sikap terpuji lainnya yang termasuk akhlak
karimah. Ibu adalah madrasah pertama dalam pendidikan
bangsa karena ia pertama kali mendidik putra-putrinya dan
menjadikan mereka berpikir matang. Tepatlah apa yang
diucapkan penyair kenamaan Hafizh Ibrahim, berikut:
“Ibu adalah madrasah bila engkau menyiapkan berarti engkau
menyiapkan bangsa yang baik pokok pangkalannya.Ibu adalah
guru pertama semua guru yang pengaruhnya menyelimuti
seluruh persada.”24
Orang tua yang menghasilkan anak-anak yang jujur dan saleh,
tidak hanya melayani anak-anak mereka dan masyarakat,
melainkan juga menciptakan wadah bagi mereka dalam
masyarakat. Anak-anak ini akan menjadi penolong bagi orang
tua, saat keduanya berusia lanjut kelak. Jika para orang tua
berupaya keras untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka,

23
Ali Hasyimi, Kepribadian Wanita menurut Al-Qur’an dan Sunnah, h. 193
24
Ali Hasyimi, Kepribadian Wanita menurut Al-Qur’an dan Sunnah, h. 195
33

maka mereka akan memperoleh hasil yang baik ketika


menghadapi masa-masa dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, mereka yang telah menjadi orang tua memikul
tanggung jawab besar di pundak mereka, yakni tanggung jawab
kepada Allah SWT, sesama manusia, dan anak-anak mereka. Jika
melaksanakan tanggung jawab itu secara benar, mereka akan
memperoleh pahala di dunia dan akhirat. Namun, jika gagal
dalam melaksanakannya, mereka akan mejadi orang-orang yang
merugi. Mereka pun akan menjadi orang-orang yang telah
bersikap curang terhadap anak-anak mereka sendiri dan
masyarakat secara luas, dan ini sama saja dengan melakukan dosa
yang tak terampunkan.25
Sejarah belum pernah mencatat bahwa ada agama dan sistem
yang memuliakan dan mengangkat harkat wanita bahkan
menganggapnya sebagai ibu selain Islam. Islam sangat
menekankan perintah berbakti kepada ibu dan menempatkan
perintah itu setelah perintah mengesakan Allah dan menyembah
kepada-Nya. Islam menjadikan berbakti kepada ibu termasuk
prinsip keutamaan dan memosisikan hak ibu lebih kuat dari hak
ayah. Hal itu disebabkan ibu telah memikul beratnya
mengandung, melahirkan, menyusui, dan mendidik. Prinsip ini
ditetapkan oleh Al-Qur‟an lebih dari satu surat dan dalam hadis
juga banyak disebutkan dengan maksud menanamkan persepsi ke
dalam pikiran dan jiwa anak-anak.26 Seperti firman Allah SWT
dalam surat Lukman[31]: 14:

25
Ibrahim Amini, Anakmu AmanatNya, h. 9-10
26
Nadlifah, Wanita Bertanya Islam Menjawab, h. 22
34

         

       

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada


dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam
Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.(QS.
Lukman[31]: 14)

Perintah untuk berbakti kepada ibu benar-benar ditekankan


dalam Islam, hingga Islam memosisikan hak ibu lebih kuat dari
hak ayah. Sebagaimana juga diungkapkan dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Muslim:

ِ ٍ ِ ‫ح َّدثَنَا ُقُتَ ي بةُ ُبن ُس ِع‬


َِ ‫يد ُبْ ِن‬
َ ،‫يل ُبْ ِن ُطَ ِريف ُالثَّ َقف ُّي‬
ُ‫ُوُزَى ْي ُر ُبْ ُن‬ ِ ‫َُج‬ َ ُ ْ َْ َ
ُ،َ‫ُزْر َعة‬ َ ‫ارَة ُبْ ِن ُالْ َق ْع َق ِاع‬
ُ ‫ُع ْن ُأَِِب‬، َ ‫اُج ِر ٌير‬
َ ‫ُع ْن ُعُ َم‬، َ َ‫ُح َّدثَن‬:
َ ‫ُقَ َاَل‬،‫ب‬ ٍ ‫َح ْر‬
ُ،‫ُو َسلَّ َم‬ ِ ُ َّ‫ُهللاُصل‬ ِ ‫ول‬ ِ ‫ُجاءُر ُجلُإِ ََلُر ُس‬:
َ ‫ىُهللاُُ َعلَْيو‬ َ َ ٌ َ َ َ ‫ال‬ ُ ‫َع ْنُأَِِب‬
َ َ‫ُق‬،َ‫ُى َريْ َرة‬
ِ ِ ‫ُمنُأَحقُُّالن‬:‫ال‬
ُ‫َُّم ْن؟‬
َ ‫ُُث‬:
ُ ‫ال‬ َ َ‫ك»ُق‬ َُ ‫ُ«أ ُُّم‬:‫ال‬ َ ‫َّاسُِبُ ْس ِن‬
َ َ‫ُص َحابَِِت؟ُق‬ َ ْ َ َ ‫فَ َق‬
ُ‫َُّم ْن؟‬
َ ‫ُُث‬
ُ :‫ال‬ َ َ‫ك» ُق‬ َُ ‫ ُ« ُُثَُّأ ُُّم‬:‫ال‬َ َ‫َُّم ْن؟ ُق‬
َ ‫ُُث‬
ُ "ُ :‫ال‬ َ َ‫ك» ُق‬َُ ‫ ُ« ُُثَُّأ ُُّم‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬
)‫وك»ُ(رواهُمسلم‬ َُ ُ‫ُ« ُُثَُّأَب‬:‫ال‬ َ َ‫ق‬
“Dari Abu Hurairah, datang seorang lelaki kepada
Rasulullah, lalu bertanya: Wahai Rasulullah, kepada
siapakah aku harus berbakti pertama kali? Nabi
menjawab: Ibumu. Dan orang tersebut kembali bertanya:
Kemudian siapa lagi? Nabi pun menjawab: Ibumu. Orang
tersebut bertanya kembali, kemudia siapa lagi? Nabi pun
35

menjawab: Ibumu. Orang tersebut bertanya kembali,


kemudian siapa lagi? Nabi pun menjawab: kemudian
ayahmu”.27(HR. Muslim)

4. Sebagai Anggota Masyarakat


Disamping perannya dalam keluarga, ia juga bisa mempunyai
peran lainnya dalam masyarakat dan Negara. Jika ia adalah
seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk
mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya.
Begitu pula jika ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang
tertentu, maka ia bisa mempunyai andil dalam urusan tersebut.
Namun dengan batasan-batasan yang telah disyariatkan dan
tentunya setelah kewajiban yang lain di dalam keluarga.28
Secara kodrati, sebagai manusia tidak dapat melepaskan diri
dari keterikatannya dengan manusia lain. Seperti kita ketahui
bahwa pada dasarnya berhubungan dengan individu lain
merupakan suatu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan
sosialnya. Dari hubungan antar pribadi ini manusia dapat lebih
mengenal dirinya sendiri, banyak mendapatkan penilaian dan
memberikan penilaian.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia berhubungan dengan
individu lain, Islam mengajarkan umatnya untuk menjalankan
silaturahim sebagai usaha untuk mempererat persaudaraan
dengan sesama umat. Dari silaturahim inilah awal tumbuhnya

27
Muslim Ibnu Hajaj Abu Hasan Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih
Muslim, (Bairut: Dar Ihya Tirasul „Arabi), No. 2548, Juz. 8, Bab. Berbakti Kepada
Kedua Orang Tua, h. 1974
28
https://muslim.or.id/9142-peranan-wanita-dalam-islam.html, diakses
pada tanggal 8 Agustus 2019
36

Ukhuwah Islamiyah, yang merupakan suatu cara untuk mencapai


terwujudnya masyarakat Islam yang bersatu.29
Dari pemaparan berbagai macam peran perempuan di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwasannya seorang perempuan
diciptakan dengan berbagai kelebihannya yang diberikan oleh
Allah SWT. Perempuan diciptakan sebagai sosok yang istimewa
yang harus dicintai, disayangi, dan dilindungi karena seorang
perempuan memiliki peran penting dalam sebuah kehidupan.
Sebagai seorang istri, wanita harus menumbuhkan suasana yang
harmonis sehingga dapat terciptanya ketentraman dalam sebuah
rumah tangga dan seorang istri juga sebagai tempat berteduh bagi
suaminya. Sebagai seorang ibu, ia harus mendidik anak-anaknya
agar terciptanya generasi penerus bangsa yang berakhlakul
karimah karena seorang ibu merupakan contoh bagi anak-
anaknya. Sebagai anggota masyarakat, seorang perempuan juga
harus menjalankan silaturahim agar mempererat persaudaraan
sesama umat. Karena dari silaturahim inilah awal tumbuhnya
Ukhuwah Islamiyah yang merupakan suatu cara agar
terwujudnya masyarakat Islam yang bersatu.

D. Hak-hak Perempuan Dalam Keluarga


Pengertian hak secara etimologi berarati hak milik, kepunyaan, dan
kewenangan. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah
sebuah kemaslahatan yang boleh dimiliki secara syar‟i. Dalam kaitan
kehidupan berumah tangga, maka yang dimaksud dengan hak adalah
sesuatu yang merupakan hak milik atau dapat dimiliki oleh suami istri

29
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/3700/Peran%20
Perempuan%dalam%20Keluarga.pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses pada
tanggal 8 Agustus 2019
37

yang diperoleh dari hasil perkawinannya yang diberikan oleh agama.


Hak ini hanya dapat dimiliki dengan memenuhinya, membayar atau
dapat juga hilang seandainya yang berhak rela apabila haknya tidak
dipenuhi oleh pihak lain.30
Islam terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman dan kasih
sayang. Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan
tulus, ayah yang penuh kasih dan ramah, ibu yang lemah lembut dan
berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang
saling membina silaturahin dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai
bila masing-masing anggota keluarga tersebut mengetahui hak-haknya
dan melaksanakan kewajibannya. Karena itu, Islam mengatur hak dan
kewajiban suami istri dengan jelas dan tegas agar kehidupan rumah
tangga dapat berjalan dengan harmonis.31
1. Hak Perempuan sebagai Individu
Hak individu pria dan wanita menurut Prof. Dr. H. Rahmat
Djatmika dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Hak Thabi‟i, yaitu hak manusia yang berlaku
menurut fitrahnya, menurut asal kejadiannya,
bahwa keadaan itu adalah menjadi hak manusia,
seperti hak hidup dan hak merdeka. Hak hidup
adalah hak manusia menurut fitrahnya yang
diberikan Allah kepadanya menurut kadar
ketentuan yang telah ditentukan. Karena itu,
kewajiban manusia lainnya untuk memelihara dan
menghormati hidup manusia yang lainnya. Sejak

30
M. Zainal Arifin, dan Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Jawa Timur:
CV. Jaya Star Nine, 2019), h. 126
31
Huzemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010), h. 69
38

manusia menjadi manusia sebagai makhluk baru,


mulai dari pembuahan di rahim ibu, dia telah
menjadi manusia dnegan pertumbuhannya yang
telah mendapat hidup, yang tidak boleh bagi yang
lainnya untuk menganiaya apalagi membunuhnya.
Pengguguran bayi dalam kandungan dengan tidak
ada sebab yang dibolehkan syara‟ adalah
pembunuhan, yang merupakan pelanggaran hak
hidup si bayi tersebut.
b. Hak merdeka adalah hak manusia yang merupakan
fitrahnya. Tidak boleh bagi yang lain mengganggu
kemerdekaan orang lain yang menjadi haknya.
Sejak manusia hidu di dunia ini, maka dia telah
pula mendapatkan hak merdeka, tidak boleh bagi
yang lain memperbudak dan melanggar
kemerdekaannya, haknya harus dihormati oleh
orang lain. Kemerdekaan seseorang, berarti
kebebasan berpikir, berbicara, berkehendak, dan
sebagainya. Dalam batas-batas yang telah
ditentukan dalam norma hidup dan kehidupan.
Pokok-pokok norma initelah digariskan oleh Allah
dan Rasul-Nya, yang berarti menghormati dan
dibatasi oleh kemerdekaan bukan berarti
kebebasan yang sewenang-wenang. Dalam ajaran
Islam, manusia adalah merdeka sejak dia
dilahirkan oleh ibunya, tidak seorang pun yang
diperkenankan memperbudak orang lain.
39

c. Hak yang diberikan oleh undang-undang atau


peraturan, yaitu hak yang dijamin berdasrakan
peraturan yang dibuat oleh manusia. Hal ini
ditentukan oleh pembuat undang-undang dan
peraturan-peraturan yang harus dianut oleh orang-
orang yang tunduk dibawah kekuasaannya.
Pengakuan hak-hak ini lebih bersifat politis karena
terserah kepada siapa yang berkuasa membuat
undang-undang atau peraturan-peraturan di
kawasannya. Apa pun macam hak itu,
pelaksanaannya terserah kepada ide yang dianut
oleh yang berkuasa membuat undang-undang
tersebut. Hak-hak manusia yang telah disebutkan
di atas adalah merupakan individu, laki-laki dan
perempuan, di lingkungan keluarga dan
masyarakat.32
1. Hak Perempuan sebagai Istri
a. Memperoleh mahar dan nafkah dari suami. Sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa[4]:4:

          

    

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah

32
Huzemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, h. 70
40

(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi


baik akibatnya”.(QS, An-Nisa[4]:4)

Adapun yang dimaksud dengan nafkah disini adalah meliputi


makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan,
dan lain-lain. Kalau suami tidak memberi nafkah, istri boleh
mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya, yang
mencukupi hidupnya dan anaknya denga cara yang baik.
b. Mendapat perlakuan yang baik dari suami. Sebagaimana
firman Allah dalam suratAn-Nisa[3]: 19:

           

       

       

         

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu


mempusakai wanita dengan jalan paksadan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS. An-
Nisa[3]: 19)

c. Suami menjaga dan memelihara istrinya, yaitu dengan


menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakannya dan
menjaga agar selalu melaksanakan perintah Allah.

ٌ )‫ٌخْي ُرُك ْمٌِأل َْىلِ ٌْيٌ(رواهٌالرتميذى‬ ِِ ِ


َ ‫ٌخْي ُرُك ْمٌأل َْىلو ٌَوأ َََن‬
َ ‫ٌَخْي ُرُك ْم‬
41

“Suami yang baik adalah yang paling baik kepada istrinya”


(HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).33

E. Kewajiban Perempuan dalam Keluarga


Kewajiban berasal dari kata wajib yang artinya harus. Kewajiban
dapat juga diartikan dengan sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang
harus dilakukan. Yang dimaksud dengan kewajiban dalam dalam
hubungan suami istri adalah hal-hal yang harus dilakukan atau
diadakan oleh salah seorang suami istri untuk memenuhi hak dari pihak
lain.34
1. Kewajiban Perempuan sebagai Individu
Kewajiban perempuan sebagai individu yang dimaksud adalah
kewajiban perempuan terhadap dirinya sendiri. Kewajiban utama
bagi perempuan sebagai individu adalah mempercayai keyakinan
dengan adanya Allah, tiada Tuhan melainkan Allah, dengan
keyakinan bahwa Allah mempunyai segala kesempurnaan.
Keyakinan pokok ini merupakan kewajiban manusia bagi dirinya
sendiri untuk keselamatan dirinya.Setiap manusia harus
dibahagiakan dan diselamatkan secara universal. Hak manusia
seutuhnya harus diberikan oleh dirinya sendiri agar dia selamat
dan bahagia pada masa kini dan mendatang.Kunci keselamatan
untuk dirinya secara universal adalah iman kepada Allah yang
Maha Esa, dengan melaksanakan ajaran-Nya. Selain beriman
kepada Allah, kewajiban yang lainnya adalah kewajiban makan
dan minum, pakaian, tempat tinggal, memelihara kebersihan, dan
menjaga kesehatan, serta menuntut ilmu agar dapat mengethaui
hak dan kewajiban serta mendapatkan sistem dan metode untuk

33
Huzemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, h. 71-72
34
M. Zainal Arifin, dan Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, h. 126
42

menghadapi segala sesuatu yang dibutuhkan dalam hidup, baik


dilingkungan keluarg maupun di masyarakat.35
2. Kewajiban Perempuan Dalam Keluarga
Keluarga merupakan tangga awal dalam kehidupan manusia,
karena ia dianggap sebagai tolak ukur yang mempengaruhi
langkah-langkah kehidupan manusia selanjutnya. Di sisi lain,
keluarga memiliki peran penting untuk mencetak karkter manusia,
yang merupakan makhluk termulia dalam pandangan
Islam.36Institusi keluarga ini sangat mulia dalam pandangan
Islam, mengingat perannya yang begitu penting dalam
membangun masyarakat dan memasoknya dengan elemen-elemen
baru yang sangat dibutuhkan bagi perkembangan, kemajuan, dan
kelangsungan masyarakat.37
Tatanan Ilahi selalu memperhatikan fitrah dan potensi yang
diberikan kepada laki-laki dan perempuan untuk melakukan
kewajiban yang dibebankan kepada mereka, sesuai kemampuan
masing-masing. Sebagaimana tatanan ini juga memeperhatikan
keadilan dalam pembagian tanggungan dan jenis-jenisnya yang
disesuaikan dengan potensi masing-masing.
Pada dasarnya, baik laki-laki maupun perempuan merupakan
ciptaan Allah SWT. Dia tidak pernah menghendaki adanya
tindakan zalim atas makhluk-Nya. Dia telah mempersiapkan tugas
bagi tiap-tiap mereka dan memberikan mereka bekal agar mampu
melaksanakan perintah-Nya dengan baik. Allah menciptakan laki-
laki dan perempuan berpasang-pasangan sesuai kaidah yang

35
Huzaemah T. Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, h. 71
36
Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Qur’an Perempuan 2, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara, 2007), h. 77
37
Syaikh Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim Lin Nisa’, Terj.
Arif Anggoro, dkk., (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 434
43

berlaku. Perempuan bertugas untuk mengandung, melahirkan,


menyusui, dan mengurus buah hati. Sebuah tugas yang selain
berat, juga mengandung resiko tinggi karena hal itu biasanya
datang tanpa adanya persiapan fisik dan mental terlebih dahulu
pada diri perempuan.
Karena itu, sudah menjadi hak yang adil jika suami mendapat
tugas memenuhi setiap kebutuhan istri dan menjaganya. Dengan
demikian, istri tidak dibebani tugas ganda. Karena itu, merupakan
hal yang adail jika setiap mereka diberikan potensi fisik, emosi,
akal dan jiwa agar mampu mengerjakan tugas mereka. Hal itu
membuktikan bahwa Allah tidak akan pernah berbuat zalim
terhadap siapa pun.38
3. KewajibanPerempuan terhadap Suaminya
Perempuan adalah nikmat Allah yang paling besar bagi laki-
laki. Dengannya ia merasa tentram dan damai. Ia menjadi pelipur
lara dan duka, pelepas keletihan dan berbagai dilema yang
membelitnya.
Perempuan dalam Islam selalu taat dan berbakti kepada suami,
tidak menyelewengkan atau menentang. Ia senantiasa
bersungguh-sungguh mencari ridha suami dan tidak bermalas-
malasan melayani dan mengurus suami.
Adapun kewajiban perempuan yang sudah menjadi istri dalam
keluarga sebagai berikut:
a. Saling menghormati orang tua dan keluarga dua belah
pihak
b. Memupuk rasa cinta dan kasih sayang. Masing-masing
harus menyesuaikan diri, seiya sekata, saling

38
Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Qur’an Perempuan 2, h. 78
44

mempercayai, serta selalu bermusyawarah untuk


kepentingan bersama.
c. Hormat-menghormati, sopan santun, penuh pengertian,
serta bergaul dengan baik.
d. Matang dalam berbuat dan berpikir, serta tidak
bersikap emosional dalam memecahkan persoalan
yang dihadapi.39

39
Huzemah T. Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, h. 73
BAB III
A. Biografi Hamka
1. Riwayat Hidup Buya Hamka (1908 M-1981 M)
Nama Hamka merupakan singkatan dari H. Abdul Malik
Karim Amrullah. Nama ini diberikan setelah beliau menunaikan
ibadah haji pada 1927. Beliau lahir disebuah desa yang bernama
Tanah Sirah, dalam Nagari Sungai Batang, di tepi Danau
Maninjau, Sumatera Barat, pada 14 Muharram 1326 H/ 17
Februari 1908 M. Ayahnya bernama Dr. H. Abdul Karim
Amrullah yang dikenal dengan sebutan Haji Rasul, beliau
merupakan seorang ulama terkenal yang membawa faham-
faham Islam di Minangkabau. Ibu Hamka bernama Shofiyah
punya gelar adat Bagindo Nan Batuah. Dikala mudanya
Bagindo terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat.
Di waktu Hamka masih kecil, dia selalu mendengarkan pantun-
pantun yang berarti dan mendalam dari kakeknya. Buya Hamka
mengatakan “Ayahku menaruh harapan atas kelahiranku agar
aku kelak menjadi orang alim pula seperti ayahnya, neneknya,
kakek-kakeknya terdahulu”. Ketika Hamka lahir, ayahnya
mengatakan kepada neneknya bahwa kelak, setelah Hamka
berusia sepuluh tahun, dia akan dikirim ke Mesir agar menjadi
Ulama.1
Keulamaannya yang telah diwarisi Hamka secara geneologis
(turun-temurun) ikut ditanamkan oleh andung (nenek)
kepadanya, lewat cerita “sepuluh tahun” menjelang tidur.
Aktivitas ayahnya sebagai seorang ulama besar di zamannya,

1
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Tangerang: Madzhab Ciputat,
2013), Cet II, h. 170-171

45
46

telah memasuki alam bawah sadar Hamka. Dan keulamaan ini


pulalah yang dipilih Hamka sebagai kawasan, dimana ia
memanifestasikan dirinya dalam berbagai ragam aktivitas, yakni
sebagai sastrawan, budayawan, ilmuan Islam, muballigh,
pendidik, bahkan menjadi seorang politisi.2
2. Riwayat Pendidikan dan Karir Buya Hamka
Hamka mengawali pendidikannya dengan membaca Al-
Qur’an dirumah orang tuanya pada tahun 1914. Pada tahun
1916, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah desa, waktu
pagi hari ia pergi ke sekolah, pada sorenya ia pergi ke sekolah
Diniyah, dan pada malam hari berada di surau bersama teman-
temannya. Pada tahun 1918, Hamka sudah dikhitan dikampung
halamannya Maninjau, dan di waktu yang bersamaan, ayahnya
Syekh Abdul Karim Amrullah, kembali dari perlawatan
pertamanya ke tanah Jawa, Surau Jembatan Besi, tempat Syekh
Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran dengan sistem
lama, kemudian diubah menjadi Madrasah yang bernama Thalib
School. Kemudian Hamka berhenti di sekolah sore karena
ayahnya memasukkan ke dalam Thalib School, dengan hasrat
supaya anaknya kelak bisa menjadi ulama seperti dia pula.3
Pada tahun 1924, Hamka berangkat ke tanah Jawa.
Kunjungannya ke tanah Jawa yang kurang lebih satu tahun,
mampu memberikan “semangat baru” bagi dirinya dalam
mempelajari Islam. Pengembaraannya dimulai dari kota
Yogyakarta, kota dimana Muhammadiyah “Organisasi

2
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Al-Azhar Sebuah Telaah atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet. III, h. 39-
40
3
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Al-Azhar Sebuah Telaah atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, h. 40-41
47

Pembaharu Islam” lahir. Lewat Ja’far pamannya, Hamka


kemudian mendapat kesempatan mengikuti kursus-kursus yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan syarikat Islam. Pada
kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo
dan mendapatkan pelajaranTafsir Al-Qur’an. Ia juga bertemu
dengan HOS Cokroaminoto, dan mendengar ceramahnya
tentang Islam dan Sosialisme. Disamping itu, ia berkesempatan
pula bertukar pikiran dengan beberapa tokoh penting lainnya,
seperti H. Fachruddin dan Syamsul Ridjal, tokoh Islamieten
Bond. Sebagai seorang pejuang dan penganjur Islam, kota
Yogyakarta mempunyai arti penting bagi Hamka. Kota tersebut
telah memberikan sesuatu yang barubagi kesadaran keagamaan
Hamka yang memang sangat jauh berbeda dengan kesadarannya
tentang Islam yang ia dapatkan dari guru-gurunya di
Minangkabau. Ia sendiri menyebut bahwa di Yogyakarta ia
menemukan “Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang
menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis”.4
Setelah beberapa lama di Yogyakarta, Hamka berangkat ke
Pekalongan menemui kakak iparnya A.R. Sutan Mansur yang
menetap di Pekalongan, yang kemudian memberikan dirinya
“jiwa perjuangan”. Ketika ia berada di Pekalongan selama
kurang lebih enam bulan lamanya. Sejak saat itu, Hamka
memastikan aktualisasi dirinya sebagai seorang pengajar dan
penyiar Islam. Pada usia yang relatif muda yaitu 16 tahun,
Hamka telah berpidato dimana-mana dengan jiwa dan semangat
kesadaran baru itu. Pada usia 17 tahun, ia kembali ke

4
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Al-Azhar Sebuah Telaah atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, h. 43
48

Minangkabau setelah perjalanan ke tanah Jawanya, Hamka telah


tumbuh menjadi pemimpin dan mulai berpidato di tengah-
tengah lingkungannya. Ia membuka kursus-kursus berpidato
bagi teman-teman sebayanya di Surau Jembatan Besi.
Kemudian hasil pidatonya di catat dan disusun yang kemudian
diterbitkan dalam sebuah majalah yang di pimpin dan diberinya
nama Khatibul Umam.5
Pada Februari tahun 1927, menjelang pelaksanaan haji
berlangsung, Hamka bersama calon jamaah haji lainnya
mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur. Organisasi ini
bertujuan untuk memberikan pelajaran agama terutama manasik
haji, kepada calon jamaah haji Indonesia.6 Kemudian Hamka
melaksanakan iabadah haji ke Makkah dan bermukim di sana
kurang lebih selama 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja pada
sebuah percertakan dan baru pada bulan Juli ia kembali ke tanah
air dengan tujuan Medan. Kemudian tinggal di Medan dan aktif
sebagai seorang ulama serta bekerja sebagai redaktur majalah
Pedoman Masyarakat & Pedoman Islam pada tahun 1938-1941.
Pada Juli 1952, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan
turut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di
Gatangan Padang Panjang. Pada akhir 1952 itu juga, A. R.
Sutan Mansur kembali ke Sumatera Barat, menjadi mubaligh
dan penyebar paham Muhammadiyah di daerah itu. Sejak itulah,

5
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Al-Azhar Sebuah Telaah atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, h. 44-46
6
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Al-Azhar Sebuah Telaah atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, h. 47
49

Buya Hamka menjadi pengiring A. R. Sutan Mansur dalam


kegiatan Muhammadiyah.7
Pada 5 April 1929, Buya Hamka menikah dengan alamrhumah
Siti Raham. Mereka menikah pada usia muda. Buya Hamka 21
tahun, sedangkan istrinya berusia 15 tahun. Kemudian, Hamka
aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang
dan sibuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-19
Minangkabau.
Buya Hamka selalu diutus untuk menghadiri kongres
Muhammadiyah. Seperti tahun 1930, Buya Hamka diutus oleh
cabang Muhammadiyah Padang Panjang mendirikan
Muhammadiyah di Bengkalis. Dari sana, Hamka langsung
mengahdiri Kongres Muhammadiyah ke-20 Yogyakarta.
Sementara pada akhir 1931, Buya Hamka diutus oleh pengurus
besar Muhammadiyah Yogyakarta ke Makassar untuk menjadi
Mubaligh Muhammadiyah. Di sana dia memiliki tugas khusus
untuk menggerakkan semangat menyambut kongres
Muhammadiyah ke-21 pada Mei 1932. Dan pada 1933
menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang.8
Jabatan Buya Hamka di Muhammadiyah seakan tak ada
habisnya. Mulai Mei 1946 dia dipilih oleh Konferensi
Muhammadiyah Sumatra Barat menjadi Ketua Majelis
Pemimpin Muhammadiyah Daerah Sumatra Barat,
menggantikan kedudukan S. Y. Sutan Mangkuto yang diangkat
menjadi Bupati R. I. di Solok. Posisi Pemimpin Muhammadiyah

7
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: PT. Mizan
Publika, 2017) hal. 4
8
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: PT. Mizan
Publika, 2017) hal. 5
50

Sumatra Barat ini diembannya sampai Penyerahan Kedaulatan


pada 1949. Buya Hamka pun turut mengadakan pembangunan
Muhammadiyah kembali pada Kongres Muhammadiyah ke-31
di Yogyakarta pada 1950, dan untuk selanjutnya turut menysun
Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, dan membuat
rumusan “Kepribadian Muhammadiyah”.9
Tidak bisa dipungkiri kepribadian Buya Hamka dibentuk oleh
bangkitnya pergerakan kaum muda di Minangkabau, yang
dipelopori ayahnya, dan keterlibatannya di organisasi
Muhammadiyah. Namun, aktivitas Buya Hamka bukan hanya di
Muhammadiyah. Setelah terjadi persetujuan Roem-Royen
Statement dan gencatan senjata Indonesia-Belanda, dia
berangkat ke Jakarta, yang disusul oleh istri dan ketujuh
anaknya.
Pada 1950, Buya Hamka memulai karir sebagai Pegawai
Kementrian Agama, yang kala itu menterinya dijabat oleh K.H.
Wahid Hasyim. Buya Hamka bekerja sebagai pegawai negeri
golongan F, yang bertugas mengajar di beberapa perguruan
tinggi Islam, seperti Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN)
Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan
Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan Universitas Islam
Sumatera Utara (UISU).10
Pada tahun 1952, pemerintahan Amerika Serikat mengundang
Hamka untuk menetap selama empat bulan disana. Sejak
kunjungan itu, Hamka mempunyai pandangan yang lebih

9
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, hal. 6
10
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, hal. 7
51

terbuka terhadap Negara-negara non-muslim. Sekembalinya


dari Amerika, Hamka menerbitkan buku perjalanan Empat
Bulan di Amerika sebanyak dua jilid.
3. Karya-karya Buya Hamka
Dengan bekal keterampilan tulis menulis, Hamka mampu
menghasilkan banyak karya, terutama dalm bidamg sastra
(novel dan cerpen). Berikut beberapa dari sekian banyak karya
Hamka:
a. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
b. Di Bawah Lindungan Ka’bah
c. Merantau ke Deli
d. Tafsir al-Azhar11
e. Khatibul Umam
f. Arkanul Islam (1932) di Makassar
g. Mandi Cahaya di Tanah Suci12
B. Profil Tafsir Al-Azhar
1. Latar Belakang dan Motivasi Penulisan Tafsir Al-Azhar
Sejarah penulisan tafsir Al-Azhar bermula dari pada kuliah
subuh di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, yaitu
semenjak tahun 1958. Surah yang pertama kali dikaji adalah
surah al-Kahfi juz 15. Isi kuliah tersebut disusn semula dalam
bentuk tulisan dan diterbitkan secara bersiri dalam majalah
Gema Islam sejak 1962. Hasil dari pada kuliah tafsir ini telah
dimuatkan ke dalam majalah Gema Islam selama dua tahun.
Semenjak Buya Hamka ditangkap pada tanggal 27 Januari 1964,
kegiatan penafsiran di Masjid Agung Al-Azhar dan majalah

11
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008), h. 211
12
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 178
52

Gema Islam berhenti. Namun beliau meneruskan penafsiran Al-


Qur’an di dalam tahanan.13
Di dalam penjara, Hamka mempunyai kesempatan yang
banyak untuk meneruskan penulisan Tafsir Al-Azhar. Selama
dua tahun lebih dalam tahanan, Hamka yang terasing dari dunia
telah dianugerahkan perasaan dekat dengan khalik. Seluruh
waktunya dihabiskan untuk menjalankan ibadah dan
mendekatkan diri kepda Allah. Dalam suasana yang demikian
transendentalnya, Hamka melanjutkan penafsiran Al-Qur’an
hingga Berjaya menyusun menjadi kitab tafsir 30 juz. Hamka
menganggap bahwa kejadian ini adalah nikmat terbesar yang
diberikan Allah dalam hidupnya. Bahkan dengan rendah hati
Hamka mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah atas dirinya ,
beliau merasakan sukar bagi dirinya untuk menyelesaikan tugas
besar itu mengingatkan faktor usia yang semakin lanjut dan
kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah.14
Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Hamka
memberi nama tafsir yang ditulisnya dengan nama Tafsir Al-
Azhar. Pertama, tafsir ini sebagai bahan untuk disampaikan di
kuliah-kuliah di masjid Agung Al-Azhar Jakarta yaitu nama
masjid yang diberikan oleh Syaikh Mahmud Syaltut,
Universitas Al-Azhar Kaherah pada tahun 1960. Kedua, Hamka
mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar,

13
Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, (Kuala
Selangor: Piagam Intan SDN. BHD, 2013), Cet. I, h. 63
14
Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, h. 64
53

Kaherah.15 Gelar doktor honoris casua juga diperolehnya dari


Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974 M.16
Motivasi Hamka menulis Tafsir Al-Azhar ada dua: pertama,
karena ia melihat bahwa mufassir-mufassir klasik sangat gigih
atau ta’ashub (fanatik) terhadap madzhab yang telah mereka
anut, bahkan ada diantara mereka yang sekalipun redaksi suatu
ayat nyata-nyata lebih dekat kepada satu madzhab tertentu, akan
tetapi ada juga yag mengiringi pemahaman ayat tersebut
terhadap madzhab yang ia anut. Kedua, tafsir ini dibuat dalam
suasana baru, yakni di negara yang penduduk Islamnya lebih
besar jumlahnya dari penduduk lainnya, sedangkan
masyarakatnya haus akan bimbingan Al-Qur’an, maka Hamka
menulis sebuah tafsir dengan upaya untuk mengurangi mkana
yata dari lafazh yang berbahasa Arab ke dalam bahasa
Indonesia. Dengan menerangkan maksud ayat-ayat yang
terkandung di dalam Al-Qur’an.17
2. Karakteristik dan Sistematika Tafsir Al-Azhar
Tafsir Al-Azhar menggunakan bahasa sederhana yang mudah
dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Hal itu dapat
dipahami, karena tafsir itu disusun sesuai kebutuhan masyarakat
itu sendiri. Bahkan uraiannya merupakan jawaban dari
persoalan yang sedang mereka hadapi. Dalam tafsir Al-Azhar,
Buya Hamka menghindarai adanya perdebatan antara madzhab,
maka dari itu ia tidak hanya merujuk pada satu madzhab saja.
Hamka juga menafsirkan dengan cara mendekati maksud ayat,

15
Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, h. 63
16
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, h. 212
17
Haji Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar juzu I,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 53-54
54

lalu menguraikan makna lafadz dalam bahasa Arab ke dalam


bahasa Indonesia, memberikan sebab turunnya ayat apabila
terdapat riwayat dan memberikan peluang bagi pembaca untuk
berfikir.18
Adapun sistematika yang digunakan Hamka dalam
penafsirannya yaitu dengan cara menuliskan teks Al-Qur’an
dengan lengkap, menerjemahkannya, kemudian memberi
catatan penjelasan. Biasanya ia menyajikan bagian-bagian
pendek yang terdiri dari beberapa ayat, satu sampai lima ayat
dengan terjemahan bahasa Indonesia, kemudian menjelaskannya
panjang lebar, bisa sampai 15 halaman.19
3. Metode dan Corak Penafsiran Tafsir Al-Azhar
Jika dilihat dari urutan suratnya, tafsir Al-Azhar
menggunakan tartib mushafi sehingga bisa disebut dengan
metode tahlili. Corak penafsiran Hamka dapat dikategorikan
sebagai tafsir yang bercorak adabi ijtima’i. Dinamakan adabi
karena Hamka seorang pujangga yang menggeluti sastra
sehingga setia karyanya dipengaruhi nilai-nilai sastra,
sedangkan dinamakan ijtima’i karena Hamka dalam tafsirnya
tidak hanya menyajikan potret kehidupan bangsa Arab abad ke-
6 saja akan tetapi Hamka membawa permasalahan kontemporer
ke dalam tafsirnya.20

18
Abdul Rouf, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, h. 65-66
19
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, h. 212
20
Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1996), h. 137
55

C. Biografi M. Quraish Shihab


1. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab (1994 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir
dpada 16 Februari 1994, bertepatan dengan 22 Safar 1363 H di
Lotasalo, Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap),
Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 185 km dari kota
Makassar. Kabupaten Sidrap terletak di persimpangan jalur ke
Palopo dan Toraja, yang merupakan setra penghasil beras di
Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur.21
Ia berasal dari keluarga keturunan Arab terpelajar, ayahnya
bernama Abdurrahman Shihab, ia merupakan seorang tokoh
masyarakat terkemuka di daerah Sulawesi Selatan. Ia menjadi
guru besar di IAIN Alauddin, Ujung Pandang.22 Serta tercatat
sebagai salah satu pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI).
Di Ujung Pandang.23
Masa kecil M. Quraish Shihab dilalui dengan kecintaan dan
rutinitas terkait pembelajaran Al-Qur’an. Pada umur 6-7 tahun,
ia mengikuti pengajian Al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya
sendiri. Meskipun di esarkan di dalam keluarga yang taat
beragama, bukan berarti sekitarnya sebagaimana lingkungan
tersebut. Lingkungan di sekitar rumah M. Quraish Shihab
merupakan lingkungan prulal dalam beragama dan
kepercayaan.24

21
Mauluddin Anwar, dkk., M. Quraish Shihab: Cahaya Cinta dan Canda,
(Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 4
22
Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharu Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Press, 2005), h. 362
23
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, h. 236
24
Mahbub Junaidi, Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, (Sukoharjo:
Angkasa Solo, 2011), h. 24-25
56

Disamping ayahnya, peran seorang ibu juga tidak kalah


pentingnya dalam memberikan dorongan kepada anak-anaknya
untuk giat belajar, terutama masalah agama. Dorongan ibu
inilah yang menjadi motivasi ketekunan dalam menuntut ilmu
agama sampai membentuk kepribadiannya yang kuat terhadap
basis keislaman.25
Dengan melihat latar belakang keluarga yang sangat kuat dan
disiplin, sangat wajar, jika kepribadian, keagamaan, dan
kecintaan serta minatnya terhadap ilmu-ilmu agama dan studi
Al-Qur’an yang digeluti sejak kecil, dan selanjutnya didukung
latar belakang pendidikan yang dilaluinya mengantarkan M.
Quraish Shihab menjadi seorang mufassir.26
2. Riwayat Pendidikan dan Karir M. Quraish Shihab
Pendidikan formal M. Quraish Shihab dimulai di Sekolah
Dasar (SD) Lompobattang, Makassar. Tamat SD pad usia 11
tahun, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Muhammadiyah Makassar. Pilihan ini
menunjukkan sifat terbuka ayahnya soal pendidikan. Walaupun
praktik kehidupan yang ia jalani sehari-hari lebih mendekati
tradisi Nahdatul Ulama (NU). Alasannya sederhana, saat itu
SMP Muhammadiyah memang relatif lebih baik dibanding
sekolah sederajat di Makassar. Ia hanya setahun mengenyam
pendidikan di SMP Muhammadiyah Makassar. Kemudian ia
melanjutkan pendidikan menengahnya di SMP Muhammadiyah
Malang, sambil nyantri di Pondok Pesantren Dâr al-Hadîts al-

25
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Mishbah”, dalam Jurnal Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. XI No. I, 2014, h. 114
26
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Mishbah”, dalam Jurnal Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. XI No. I, 2014, h. 115
57

Faqâhiyyah.27 Selama nyantri ia dibimbing langsung oleh Al-


Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bil Faqih (wafat di Malang
tahun 1962, pada usia 65 tahun) yang merupakan pengasuh
pesantren Dâr al-Hadîts al-Faqâhiyyah, karena dibimbing
langsung inilah akhirnya hubungan yang terjalin antara Quraish
dan Al-Habib begitu erat.28
Melihat bakat bahasa Arab yang dimilikinya, dan
ketekunannya untuk mendalami studi keislaman, Quraish dan
adiknya (Alwi Shihab) dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar,
Kairo. Mereka berangkat pada tahun 1958 M, atas bantuan
beasiswa dari Pemerintah Sulawesi Selatan. Ia diterima di kelas
II Tsanawiyah Al-Azhar.29
Pada tahun 1967, Quraish meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas Al-Azhar, Kairo.
Selanjutnya ia meneruskan studinya di Fakultas yang sama
hingga tahun 1969 meraih gelar M.A. untuk spesialis bidang
Tafsir Al-Qur’an dengan judul tesis al-î’jâz al-Tashrî’iy li al-
Qur’an al-Karîm (Kemukjizatan Al-Qur’an al-Karim dari segi
hukum).30
Sekembalinya ke Makassar, Quraish dipercaya untuk
menjabat wakil rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan
pada IAIN Alauddin. Ia juga terpilih sebagai mordinator
Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia bagian
Timur). Selama di Ujung Pandang, ia juga sempat melakukan

27
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, (Tangerang:
Lentera Hati, 2011), h. 11
28
M. Quraish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 22
29
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, h. 237
30
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Tangerang: Lentera Hati,
2006), h. 55
58

beberapa penelitian antara lain: Beragama di Indonesia Timur


(1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).31
Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar
doktor dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an. Dengan disertasi
berjudul Nazhm ad-Durâr li al-Biqâ’iy, Tahqîq wa Dirâsah.
Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keontetikan Kitab Nazhm
ad-Durâr li al-Biqâ’iy ia berhasil meraih gelar doktor dengan
yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I
(Mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-ûla).32
Kepakarannya di bidang Tafsir Al-Qur’an tidak hanya diakui
di kampus IAIN Jakarta. Ia pun dipercaya mengemban sejumlah
jabatan, seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
(Sejak 1984), anggota Lajnah Pentashihan Al-Qur’an
Departemen Agama (Sejak 1989), Asisten Ketua Umum Ikatan
Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Ia juga aktif
menularkan pemikirannya melalui tulisan, sehingga dipercaya
menjadi anggota Dewan Redaksi sejumlah jurnal ilmiah, seperti
Studi Islamika, Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi
(Jurnal kajian agama dan filsafat).33
3. Karya-karya M. Quraish Shihab
Di sela-sela kesibukannya Quraish Shihab juga terlibat dalam
berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri. Dan
tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam
kegiatan tulis-menulis. Quraish Shihab memiliki banyak karya
antara lain sebagai berikut:

31
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 270
32
Badiatur Roziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia,
(Yogyakarta: E-Nusantara, 2009), h. 269-270
33
Mauluddin Anwar, dkk., M. Quraish Shihab: Cahaya Cinta dan
Canda, h. 191-192
59

a. Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya


(Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984)
b. Filsafat Hukum Islam (Jakara: Departemen Agama,
1987)
c. Mahta Tuntunan Ilahi, Tafsir surah Al-Fatihah
(Jakarta: Untagama 1988)
d. Tafsir Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini 1992)
e. Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan 1992)
f. Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994)
g. Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996)34
h. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997)
i. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta:
Lentera Hati, 1997)
j. Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab: Mistik Seks
dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004)
k. Tafsir Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an volume 1-15 (Jakarta: Lentera Hati, 1999-
2005)35
l. Logika Agama, Kedudukan Wahyu dan Batas-batas
Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
m. Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Doa (Jakarta:
Lentera Hati, 2006)

34
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 273
35
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 272
60

n. Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis Atas Tafsir Al-


Manar (Jakarta: Lnetera Hati, 2006)
o. Menabur Pesan Ilahi Al-Qur’an dan Dinamika
Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
p. Tafsir Surah-surah Pendek (Jakarta: Lentera Hati,
2006)
q. Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan,
Aspek Ilmiah dan Pemberitauan Gaib (Jakarta: Lentera
Hati, 2007)36
D. Profil Tafsir Al-Mishbâh
1. Latar Belakang dan Motivasi Penulisan Tafsir Al-Mishbâh
Motivasi yang melatar belakangi penulisan Tafsir Al-Mishbâh
ada dua yaitu: Pertama, motivasi itu didasarkan pada tanggung
jawab moral penulisnya sebagai ulama yang wajib memberikan
penerangan kepada umat sesuai bidangnya. Rasa tanggung
jawab ini muncul ketika menyadari bahwa Al-Qur’an yang
merupakan petunjuk bagi manusia harus dipahami dan
dimengerti maknanya. Tetapi kenyataan bahwa umat islam
Indonesia mempunyai keterkaitan yang besar terhadap Al-
Qur’an tetapi tidak mengerti isi pesan yang ada dalam Al-
Qur’an. Hal ini disebabkan oleh kendala bahasa. Mengenai hal
ini beliau menguraikan sebagai berikut: “Adalah kewajiban
para ulama untuk memperkenalkan Al-Qur’an dan
menyuguhkanpesan-pesan yang terkandung di dalamnya sesuai
dengan harapan dan kebutuhan itu”. Kedua, tidak sedikit umat
Islam yang mempunyai keterkaitan yang luar biasa terhadap
makna-makna Al-Qur’an, tetapi mengalami beberapa kendala,

36
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 272
61

terutama waktu, ilmu-ilmu yang mendukung, dan keangkaan


buku-buku rujukan yang memadai dari segi kecakupan
informasi dan kejelasannya.37
Penulisan tafsir Al-Mishbâh juga dilatarbelakangi dengan
terbitnya karya beliau yang berjudul “Tafsir Al-Qur’an al-
Karim”. Ada 24 surah yang dihidangkan disana. Uraiannya
banyak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
menggunakan metode tahlili. Penekanan dalam uraian-uraian
tasfsir itu adalah pada pengertian kosakata dan ungkapan-
ungkapan Al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar
bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosakata atau
ungkapan ini digunakan oleh Al-Qur’an. Tetapi, apa yang
ditulis Quraish Shihab dinilai banyak orang kurang menarik
minat orang kebanyakan, bahkan banyak yang menilai terlalu
bertele-tele dalam menguraikan tentang pengertian kosakata
atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya, Quraish Shihab
tidak melanjutkan upayanya tersebut.
Untuk itu, dalam Tafsir Al-Mishbâh, Quraish Shihab berusaha
menghidangkan bahasan pada setiap surah pada apa yang
dinamai tujuan surah atau tema pokok surah, karena
menurutnya, setiap surah ada temanya, pada tema itulah
berkisar uraian ayta-ayatnya. Jika kita mampu memperkenalkan
tema-tema pokok itu, secara umum kita dapat memperkenalkan
pesan utama setiap surah, dan dengan memperkenalkan ke-114
surah, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.38

37
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, h. 12
38
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Cet. II, Vol. 6, h. 14
62

2. Karakteristik dan Sistematika Tafsir Al-Mishbâh


Karakteristik yang dapat dilihat dari kitab Tafsir Al-Mishbâh
dapat dilihat dari perinsip beliau yang tidak pernah luput dari
pembahasan Ilmu Munasabah yang tercermin dalam enam hal
yakni: keserasian kata dengan kata dalam setiap surat,
keserasian antara kandungan ayat dengan penutup ayat,
keserasian hubungan ayat dengan ayat sebelumnya atau
sesudahnya, keserasian uraian muqaddimah satu surat dengan
penutupnya, keserasian dalam penutup surat dengan
muqaddimah surat sesudahnya, keserasian tema surat dengan
nama surat.39
Adapun sistematika penulisan kitab Tafsir Al-Mishbâh
sebagai berikut:
a. Pada setiap awal surat, Quraish Shihab terlebih dahulu
memberikan penjelasan umum yang berfungsi sebagai
pengantar untuk memasuki surat yang akan ditafsirkan.
b. Pengelompokkan ayat sesuai tema-tema tertentu lalu
diikuti dengan terjemahannya
c. Menguraikan kosakata yang dianggap perlu dalam
penafsiran
d. Penyisipan kata penjelas sebagai penjelasan makna atau
sisipan tersebut merupakan bagian dari kata atau kalimat
yang digunakan dalam Al-Qur’an
e. Ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW yang dijadikan
pebguat atau sebagian dari tafsirnya hanya ditulis
terjemahannya saja

39
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Mishbah”, dalam Jurnal Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. XI No. I, 2014, h. 120
63

f. Terkadang Quraish Shihab mengambil kesimpulan dari


perbedaan pendapat ulama yang ada, namun terkadang
beliau tidak memilih pendapat ulama yang berbeda
pandangan, dan tidak menyimpulkan atau memilih salah
satunya40
3. Metode dan Corak Penafsiran Tafsir Al-Mishbâh
Dalam penulisan Tafsir Al-Mishbâh, Quraish Shihab
memadukan antara metode tahlili dan maudhu’i. Metode tahlili
adalah metode yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di
dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an
Mushaf Usmani. Dalam melakukan penafsiran, penafsir
memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang
terkandung dalam ayat yang di tafsirkannya dengan tujuan
menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat, metode
ini merupakan metode panafsiran palig tua.41
Sedangkan metode maudhu’i adalah model penafsiran dengan
menghimpun sejumlah ayat yang tersebar dalam berbagai surat
yang membahas tema yang sama. Setelah menjelaskan
pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, mufassir
kemudian menarik kesimpulan sebagai jawaban atas tema yang
dibahas.42
Meski banyak kelemahannnya, metode tahlili tetap digunakan,
karena ia harus menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat,
sesuai urutan yang tersusundalam mushaf Al-Qur’an.

40
Ansori, Penafsiran Ayat-ayat Jender menurut Muhammad Quraish Shihab,
(Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008) Cet. I, h. 31
41
M. Quraish Shihab, dkk., Sejarah Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008), h. 172
42
Mauluddin Anwar, dkk., M. Quraish Shihab: Cahaya Cinta dan Canda, h. 284
64

Kelemahan itu ditutupi dengan penerapan metode maudhu’i


sehingga pandangan dan pesan kitab suci bisa dihidangkan
secara mendalam dan menyeluruh, sesuai tema-tema yang
dibahas. Sebagian besar karyanya menggunakan metode
maudhu’i yang membahas tema-tema tertentu, dari mulai
persoalan perempuan, jilbab, hubungan sosial, alam semesta,
hingga makhluk halus, dan kehidupan setelah mati.43
Adapun corak penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-
Mishbâh cenderung kepada corak sastra budaya dan
kemasyarakatan (al-Adabi al-Ijtima’i), yaitu corak tafsir yang
berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti,
selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh Al-
Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik,
kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-
nash Al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem
budaya yang ada.44

43
M. Quraish Shihab, Kaidah Tasir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 389
44
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 193-194
BAB IV
AYAT-AYAT TENTANG PERAN PEREMPUAN DALAM
KELUARGA MENURUT TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-
MISHBÂH
Di dalam Al-Qur’an terdapat beranekaragam kisah yang di dalamnya
banyak mengandung nilai-nilai yang berharga dan dapat berfungsi sebagai
petunjuk, peringatan, rahmat, penawar penderitaan serta pelajaran bagi
orang-orang yang beriman. Salah satu kisah yang dapat dijadikan pelajaran
yakni dalam surat QS. At-Tahrim[66] yang di dalamnya terdapat kisah-kisah
mengenai beberapa keluarga termasuk keluarga Nabi Muhammad SAW
beserta istri-istrinya.
Pada bab ini, penulis akan memaparkan tentang penafsiran Buya Hamka
dan M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan peran-
peran perempuan dalam keluarga Nabi Muhammad SAW yang terdapat
dalam QS. At-Tahrim[66]: 1-6, kemudian penulis akan memaparkan
persamaan dan perbedaan kedua mufassir tersebut. Berikut penafsiran ayat-
ayat Al-Qur’an tentang peran perempuan dalam keluarga menurut Tafsir Al-
Azhar dan Tafsir Al-Mishbâh:
A. Menjaga Rahasia Suami (QS. At-Tahrim[66]: 1-3)

             

             

           

            

         

65
66

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan


bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang, Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan
Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia
kepada salah seorang istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala
(Hafsah) menceritakan Peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah
memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada
Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang
diberitakan Allah kepadanya) dan Menyembunyikan sebagian yang lain
(kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan
pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya:
Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?Nabi
menjawab: Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. At-Tahrim[66]: 1-3)

Asbab nuzul turunnya ayat diatas yaitu berkenaan dengan Nabi


yang menyatakan tidak akan lagi meminum madu, hanya karena ingin
menyenangkan istri-istrinya.1 Dari ucapan itu terkesan bahwa Nabi ingin
mengharamkan dirinya mengonsumsi bahan pangan yang dihalalkan
Allah. Sebagaimana diungkapkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari:

‫ َع ْن‬،‫ َع ِن ابْ ِن ُج َريْ ٍج‬،‫ف‬ َ ‫وس‬ُ ُ‫ام بْ ُن ي‬


ُ‫ش‬ َ ‫ أَ ْخبَ َرََن ِى‬،‫وسى‬ َ ‫يم بْ ُن ُم‬
ِ ِ
ُ ‫َح َّدثَنَا إبْ َراى‬
ِ ‫شةَ ر‬ ِ ِ ٍ
‫ول‬
ُ ‫ َكا َن َر ُس‬:‫ت‬ َّ ‫ض َي‬
ْ َ‫ قَال‬،‫اَّللُ َع ْن َها‬ َ َ ‫ َع ْن َعائ‬،‫ َع ْن عُبَ ْيد بْ ِن عُ َم ٍْْي‬،‫َعطَاء‬
ٍ ‫ت َج ْح‬ ِ ‫اَّلل صلَّى هللا َعلَْي ِو وسلَّم ي ْشرب َعس ًًل ِع ْن َد َزيْ نَب بِْن‬ ِ
‫ث‬ُ ‫ َوَيَْ ُك‬،‫ش‬ َ َ ُ َ َ َ ََ ُ َ َّ
َ ‫ أَ َكل‬:ُ‫ أَيَّتُ نَا َد َخ َل َعلَْي َها فَ لْتَ ُق ْل لَو‬،‫صةُ َعلَى‬
‫ْت‬ ُ ‫ فَ َواطَْي‬،‫ِع ْن َد َىا‬
َ ‫ت أ َََن َو َح ْف‬
‫س ًًل‬َ ‫ب َع‬ ُ ‫ت أَ ْش َر‬ُ ‫ َولَ ِك ِّّن ُك ْن‬،َ‫ «ال‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ْي‬ ِ
َ ‫يح َمغَاف‬ َ ‫ك ِر‬ َ ‫َج ُد ِم ْن‬
ِ ‫ إِِّّن أ‬،‫مغَافِْي‬
َ َ

1
Perpustakaan Nasional RI, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an, 2017), h. 446
67

َ ِ‫ الَ ُُتِْ ِِبي بِ َذل‬،‫ت‬


‫ك‬ ُ ‫ َوقَ ْد َحلَ ْف‬،ُ‫ود لَو‬
َ ُ‫ فَ لَ ْن أَع‬،‫ش‬ ِ ‫ِع ْن َد َزيْ نَب بِْن‬
ٍ ‫ت َج ْح‬ َ
)‫َح ًدا» (رواه البخارى‬ َ‫أ‬
“Ibrahim bin Musa menyampaikan kepada kami dari Hisyam bin Yusuf,
dari Ibnu Juraij, dari Atha‟, dari Ubaid bin Umair bahwa Aisyah
berkata: Rasulullah SAW pernah minum madu dan bermalam di
kediaman Zainab binti Jahsy. Aku dan Hafshah pun bersepakat, siapa
pun diantara kami yang beliau kunjungi, maka hendaklah dia menanyai
beliau, „Apakah engaku habis makan maghafir2 (yang baunya tidak
sedap), aku mencium bau maghafir darimu.‟ Beliau menjawab: Tidak,
aku hanya minum madu dikediaman Zainab binti Jahsy. Aku bersumpah
tidak akan meminumnya lagi. Jangan engkau beritahukan hal ini kepada
siapapun.‟‟3(HR. Bukhari)
Munasabah surat at-Tahrim dengan surat sebelumnya surat at-
Thalaaq yaitu di dalam surat at-Thalaaq memuat pembicaraan tentag
tindakan yang membuat sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT
menjadi haram yaitu talak, serta disebutkan bagaimana seharusnya
bergaul dan bertindak terhadap istri. Sedangkan dalam surat at-Tahrim
memuat pembicaraan tentang tindakan mengharamkan apa yang
dihalalakan oleh Allah SWT yaitu sumpaah „ilaa, mengakhiri
perselisihan yang terjadi antara Nabi Muhammad SAW dengan para
istrinya dan tindakan Nabi dalam menghadapi hal itu agar menjadi
pelajaran bagi umatnya dalam pergaulan keluarga, sebagaimana Nabi
memperlakukan mereka dengan lembut dan menasehati mereka dengan
nasehat yang mengesankan. Selain itu, terdapat persamaan dalam kedua
surat ini yaitu sama-sama dimulai dengan seruan Allah kepada Nabi

2
Maghafir adalah nama semacam minyak yang ditakik dari pohon kayu,
rasanya manis tetapi baunya kurang enak. Sedangkan Nabi Muhammad SAW tidak
menyukai makanan yang berbau
3
Muhammad bin Ismail Abu ‘Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fi, Shahih Al-
Bukhari, (Daru Thoqi An-Najati), No. 4912, Juz. 6, Bab. QS. At-Tahrim ayat 1, h.
156
68

Muhammad SAW tentang hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan


keluarga.4

1) Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar


Dalam penafsirannya Buya Hamka berpendapat bahwasannya Nabi
diberi teguran oleh Allah karena mengharamkan atas dirinya sendiri
untuk meminum madu padahal hal tersebutkan dihalalkan oleh Allah,
hanya karena ingin menyenangkan hati istrinya yang sedang marah.
Lalu Nabi pun berjanji tidak akan meminum madu itu lagi kepada
Hafshah dan meminta Hafshah untuk merahasiakan hal tersebut.
Namun Hafshah membocorkan rahasia ini kepada sesama istri Nabi
yaitu Aisyah. Dari kejadian ini menegertilah Rasulullah bahwa istri-
istrinya telah bantu-membantu untuk menyakitinya hanya karena
perasaan cemburu.
“Dan Allah Maha Pengampung, Maha Penyayang.”
Yang disebut sifat Allah Maha Pengampun dan Maha penyayang
karena Allah mengetahui bahwa Nabi mengharamkan atas dirinya
sendiri untuk meminum madu hanya untuk dirinya sendiri dan
dikuatkan dengan sumpah.
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian
membebaskan diri kamu dari sumpah.”
Lalu pada ayat selanjutnya Allah menganjurkan Nabi untuk
membebaskan dirinya dari sumpah dengan cara membayar kaffarat
yaitu memberi makan 10 orang miskin dari pertengahan makanan
yang biasa kamu makan, bisa juga dengan memerdekakan budak,
atau bisa juga dilakukan dengan cara berpuasa tiga hari berturut-turut.

44
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang
disempurnakan), jilid X, h. 196
69

“Dan Allah adalah Pelindung kamu.”


Ini bermakna bahwa Allah melindungi hamba-Nya dari segala
macam kesulitan, meskipun kesulitan itu disebabkan oleh perbuatan
hamba-Nya sendiri.
“Dan Dia adalah Maha Tahu, Maha Bijaksana.”
Dikarenakan Allah mengetahui bahwa Nabi bersumpah hanya
karena ingin membujuk istrinya yang sedang marah, maka dari itu,
Allah yang Maha Bijaksana menganjurkan kepada Nabi untuk
membayar kaffarat agar terlepas dari sumpahnya.
“Dan ingatlah tatkala secara rahasia Nabi membicarakan sesuatu
kepada setengah istri-istrinya.”
Ayat ketiga ini merupakan penjelasan dari ayat pertama bahwa Nabi
membisikkan suatu rahasia kepada salah satu istrinya yaitu Hafsah.
Hal ini dikarenakan Hafshah yang cemburu ketika mengetahui Nabi
meminum madu dirumah Zainab binti Jahsy, lalu Nabi pun berusaha
untuk meredamkan amarah Hafshah dengan mengharamkan madu
tersebut untuk dirinya sendiri, lalu membisikkan suatu rahasia kepada
Hafshah.
Buya Hamka berpendapat bahwasannya rahasia yang di
sembunyikan Nabi dan beliau bisikkan kepada Hafshah itu ialah
tentang siapa yang akan menggantikan beliau memimpin umat di saat
beliau sudah wafat. Karena itu mengenai urusan politik dan
kenegaraan, maka hal itu sangat berbahaya apabila berita tersebut
diketahui oleh orang umum sebelum beliau wafat, maka Hafshah
dinilai telah berbuat kesalahan yaitu membuka rahasia yang
seharusnya disembunyikannya dari siapapun dan seakan-akan telah
bersekongkol dengan istri Nabi yang lain yaitu Aisyah untuk
meyakiti hati Nabi.
70

“Maka tatkala istrinya menceritakan peristiwa itu.”


Yang dimaksud disini ialah Hafshah yang memberi tahu rahasia
tersebut kepada temannya yang merupakan sesama istri Nabi juga
yaitu Aisyah. Rupanya pembukaan rahasia ini telah disampaikan
Allah kepada Nabi, lalu Nabi pun menegur istrinya tersebut. Dari
kejadian ini mengertilah Rasulullah bahwa istri-istrinya telah bantu-
membantu untuk menyakiti hati beliau hanya karena cemburu
terhadap madunya.Lalu Nabi pun marah dan tidak tidur dirumah
salah satu istrinya selama sebulan lamanya.5
2) Penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâh

M. Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya kata (‫ )حترم‬dalam

ayat ini bukan berarti haram dalam istilah syariat, karena tidak
mungkin Nabi SAW mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah
yakni dalam pengertian syariat. Akan tetapi makna haram disini

menurut beliau adalah makna secara bahasa, yang mana kata (‫)حترم‬

terambil dari kata (‫)حرام‬ yang mempunyai arti awal

“mulia/terhormat” seperti “Masjid Al-Haram.” Sesuatu yang mulia


atau terhormat menimbulkan aneka ketentuan yang menghalangi dan
melarang pihak lain melanggarnya. Maka dari itu kata “haram”
dapat diartikan dengan “melarang, mencegah, menghalangi, dan
menghindari.”

5
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, (Singapura:
Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003), Jilid 10, h. 7494-7500
71

Quraish Shihab juga berpendapat kata (‫حترم‬ ‫)مل‬ bukan betujuan

bertanya, tetapi tujuannya adalah sebagai teguran kepada Nabi dan


mempunyai makna “Tidak ada alasan bagimu untuk melakukan hal
tersebut dan karena itu jangan mengulanginya dan tidak perlu juga
engkau memenuhi ucapanmu itu, karena cara tersebut bukan cara
untuk menyenangkan istri dan mengorbankan pasanganmu yang

lain.” Sedangkan kata (‫لك‬ ‫)ما أحل هللا‬ dalam tafsir Al-Mishbâh

mempunyai makna petunjuk, Bahwasannya segala sesuatu yang


dihalalkan Allah tidak wajar untuk tidak dimanfaatkan atau ditolak
kecuali bila ada alasan yang mengantar kesana, seperti sakit.
Adapun sebab turunnya ayat ini Quraish Shihab hanya memaparkan
beberapa pendapat ulama tanpa menyebutkan nama-namanya. Terkait
ucapan Nabi, sebagian ulama berpendapat bahwa itu adalah sumpah,
dan sebagian ulama yang lain juga berpendapat bahwa itu bukanlah
sumpah. Dan di dalam kalangan ulama yang berpendapat bahwa
perkataan Nabi adalah sumpah terdapat perbedaan lagi, yakni
sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi membatalkan sumpahnya
dengan kaffarat, dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
Nabi tidak membatalkan sumpahnya, akan tetapi Allah SWT telah
mengampuni perbuatan Nabi.
Menurut Quraish Shihab kalimat “sebagian istri-istrinya” pada
ayat ketiga adalah sebagai isyarat bahwa rahasia itu beliau sampaikan
kepada siapa yang seharusnya menyimpan rahasia yaitu istri, karena
istri adalah orang yang paling wajar disampaikan kepadanya rahasia.
Dan di dalam ayat ini tidak disebutkan nama istri Nabi itu, karena
menurut Quraish Shihab adalah sebuah pengajaran untuk tidak
72

menyebut nama orang yang bersalah di depan umum demi menjaga


nama baiknya.
Sedangkan terkait apa yang disampaikan dan apa yang tidak
disampaikan Nabi kepada Hafshah dinilai banyak ulama tidak
memiliki dasar yang kuat, maka dari itu Quraish Shihab berpendapat
sebaiknya kita tidak menentukan apa yang Nabi beritakan dan apa
yang tidak Nabi beritakan. Yang perlu digaris bawahi menurut beliau
atas sebagian yang tidak diberitkan Nabi adalah sikap tersebut, yaitu
tidak menyampaikan teguran kecuali dalam batas-batas yang
diperlukan. Dengan tujuan kelanjutan kehidupan rumah tangga, atau
jalinan persahabatan, walaupun teguran memang dibutuhkan tetapi
tidak boleh berlebihan, karena teguran dapat menjadi bara api yang
membakar hati yang mengakibatkan dendam dan putusnya
hubungan.6
3) Analisis Penafsiran
Dari uraian kedua mufassir diatas, Buya Hamka dan Quraish Shihab
sepakat bahwa ayat ini berisi teguran dari Allah kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah mengharamkan sesuatu hanya untuk
dirinya sendiri demi membuat hati istrinya senang. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa Nabi meneguk madu dirumah Zainab binti Jahsy
dalam waktu yang relatif lama, maka hal inilah yang menyebabkan
Hafshah cemburu dan marah kepada Nabi. Hal ini dikarenakan para
istri-istri Nabi sama seperti wanita biasa yang lain yang sering
merasakan perasaan cemburu satu sama lain, perasaan kecewa karena
tidak dapat memonopoli kasih sayang suaminya. Persaingan itu
sebenarnya merupakan cetusan dari persaingan mereka untuk

6
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 166-170
73

memperebutkan cinta kasih suaminya, dan persaingan untuk ikut


mewarnai kehidupan Nabi.7
Persamaan selanjutnya yaitu kedua mufassir sepakat bahwa Allah
menganjurkan kepada Nabi untuk membebaskan dirinya dari sumpah
dengan cara membayar kaffarat8. Karena Allah mengetahui segala
apa yang mendatangkan kemaslahatan bagi hamba-Nya.
Namun, kedua mufassir ini mempunyai beberapa perbedaan

pendapat dalam memaknai kata yaitu pada kata (‫)حترم‬.

Buya Hamka dalam memaknai kata (‫ )حترم‬berarti sebuah

pengharaman terhadap sesuatu, sedangkan menurut Quraish Shihab

kata (‫ )حترم‬beliau memaknai secara bahasa, yang mana kata (‫)حترم‬

terambil dari kata (‫)حرام‬ yang mempunyai arti awal

“mulia/terhormat” seperti “Masjid Al-Haram”.Maka dari itu


menurut Quraish Shihab kata “haram” dapat diartikan dengan
“melarang, mencegah, menghalangi, dan menghindari”.
Perbedaan selanjutnya terdapat pada ayat ketiga yaitu terkait apa
yang dibisikkan Nabi kepada Hafsah. Nabi membisikkan sesuatu
secara rahasia kepada salah satu istrinya yaitu Hafshah, Namun
Hafshah membocorkan rahasia tersebut kepada sesama istri Nabi
7
Aisyah Bintusy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, (Bandung: Pustaka Hidayah,
2001), h. 30-31
8
Kaffarat adalah denda bagi pelanggar sumpah, yang mana harus dibayar
dengan memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kita
makan atau yang biasa kita berikan kepada keluarga, bisa juga dibayar dengan
memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan hamba sahaya.
Namun apabila tidak mampu melakukannya, maka bisa membayar keffarat dengan
berpuasa selama tiga hari. (QS. Al-Maidah[5]: 89)
74

yaitu Aisyah. Dalam peristiwa ini Buya Hamka berpendapat


bahwasannya rahasia yang di sembunyikan Nabi dan beliau bisikkan
kepada Hafshah itu ialah tentang siapa yang akan menggantikan
beliau memimpin umat di saat beliau sudah wafat. Sedangkan
menurut Quraish Shihab banyak ulama tidak memiliki dasar yang
kuat, maka dari itu Quraish Shihab berpendapat sebaiknya kita tidak
menentukan apa yang Nabi beritakan dan apa yang tidak Nabi
beritakan. Yang perlu digaris bawahi menurut beliau atas sebagian
yang tidak diberitakan Nabi adalah sikap tersebut, yaitu tidak
menyampaikan teguran kecuali dalam batas-batas yang diperlukan.

B. Meminta Maaf ketika melakukan Kesalahan (QS. At-Tahrim[66]


:4-5)

             

         

          

      


“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, Maka Sesungguhnya hati
kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu
berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin
yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya
pula.Jika Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi
ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang
patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan
ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan". (QS. At-
Tahrim[66]: 4-5)
75

1) Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati


kalian berdua mulai cenderung.”
Yang dimaksud kedua orang disini ialah Aisyah dan Hafshah.
Allah memberi peringatan kepada kedua istri Nabi tersebut agar
bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada Nabi, karena
mereka telah bantu-membantu untuk menyakiti hati Nabi. Karena jika
mereka bantu-membantu untuk menyakiti Nabi, maka Allah akan
murka, Jibril juga marah, maka orang-orang beriman yang shaleh
beserta malaikat di langit pun akan murka kepada mereka.
Buya Hamka berpendapat bahwa kedua istri Nabi yang dimaksud
di dalam ayat ini adalah Aisyah dan Hafshah karena diperkuat oleh
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:

‫ت عُبَ ْي َد‬ُ ‫ ََِس ْع‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫يد‬ٍ ‫ ح َّدثَنَا ََْيَي بن س ِع‬،‫ ح َّدثَنَا س ْفيا ُن‬،‫ح َّدثَنَا َعلِ ٌّي‬
َ ُْ َ َ َُ َ َ
ِ ‫اس ر‬ ُ ‫ ََِس ْع‬:‫ال‬ ٍ ْ َ‫بْ َن ُحن‬
‫ت أَ ْن‬ ُ ‫ أ ََر ْد‬:‫ول‬ َّ ‫ض َي‬
ُ ‫ يَ ُق‬،‫اَّللُ َع ْن ُه َما‬ َ ٍ َّ‫ت ابْ َن َعب‬ َ َ‫ ق‬،‫ْي‬
ِ ِ
‫ َم ِن‬،‫ْي‬ َ ِ‫ْي املُْؤمن‬
َ ‫ ََي أَم‬:‫ْت‬ َّ ‫ض َي‬
ُ ‫ فَ ُقل‬،ُ‫اَّللُ َع ْنو‬ ِ ‫اب ر‬
َ ِ َّ‫َسأ ََل عُ َم َر بْ َن اخلَط‬ ْ‫أ‬
‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم؟ فَ َما‬ َِّ ‫ول‬ ِ ‫اىرََت َعلَى ر ُس‬ ِ َّ ِ
َ ‫اَّلل‬ َ َ َ َ‫املَْرأ َََتن اللتَان تَظ‬
)‫صةُ» (رواه البخارى‬ َ ‫ َو َح ْف‬،ُ‫شة‬ َ َ‫ت َكًلَِمي َح ََّّت ق‬
َ ِ‫ « َعائ‬:‫ال‬ ُ ‫أ َْْتَ ْم‬
“Ali menyampaikan kepada kami dari Sufyan, dari Yahya bin Sa‟id
yang mengatakan, aku mendengar dai Ubaid bin Hunain bahwa Ibnu
Abbas berkata, Aku ingin bertanya kepada Umar, aku pun berkata,
Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua wanita yang saling membantu
dalam menyusahkan Rasul? Belum selesai perkataanku, Umar sudah
berkata, Aisyah dan Hafshah.”9(HR. Bukhari)
“Bisa saja Tuhannya, jika mentalak kalian, bahwa mengganti untuk
dia dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian”.
9
Muhammad bin Ismail Abu ‘Abdillah Al-Bukhari Al-Ju’fi, Shahih Al-
Bukhari, (Daru Thoqi An-Najati), No. 4914, Juz. 6, Bab. QS. At-Tahrim ayat 3, h.
158
76

Ini adalah suatu peringatan dari Allah kepada kedua istri-istri Nabi
tersebut bahwasannya jika Nabi menceraikan mereka, maka Allah
akan menggantinya dengan perempuan-perempuan yang lebih baik
dari mereka. Karena akan ada banyak perempuan-perempuan yang
berlomba-lomba untuk menjadi istri Nabi.
“Yang Muslimat, yang Beriman” yaitu yang teguh memegang
kepercayaan, mereka kepada Allah dan percaya bahwa segala sesuatu
Allahlah yang menentukan. “Yang Taat” yang melakukan perintah
Ilahi dengan tidak merasa lalai dan malas serta taat kepada suami dan
sebagai seorang istri yang setia. “Yang Bertaubat” yang bertaubat
dari segala dosa dan kekhilagan yang dilakukan, taubat yang
dimaksudkan disini ialah mengembalikan segala keinginan
Rasul.“Yang Beribadat” ibadat yang dilakukan karena dorongan
akidah yang mendalam, “Yang Mengembara” yaitu orang yang suka
mengembara ke alam lalu merenungi, meninjau, dan memikirkan
terhadap segala kekuasaan Allah yang ada di sekelilingnya. Selain
dari sifat-sifat yang disebutkan itu, ada juga “Yang Janda-janda dan
perawan-perawan”10
2) Penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâh
Menurut Quraish Shihab ayat ini mengisyaratkan bahwa apa yang
dilakukan oleh kedua istri Nabi itu adalah sesuatu yang menyimpang
dari kewajaran dan kebenaran, walaupun diketahui penyebabnya
adalah dikarenakan kecemburuan. Akan tetapi, tidak seorang pun
diantara mereka bermaksud untuk menyakiti Nabi.

10
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 10, h.
7500-7506
77

Menurut Quraish Shihab kata (‫ )عسى‬biasanya bermakna “boleh

jadi” atau “mudah-mudahan”. Akan tetapi jika kata (‫)عسى‬

dinisbatkan kepada Allah, maka ia bermakna “kepastian”. Walaupun


yang dijanjikan Allah pada ayat ini tidak terjadi karena istri-istri Nabi
tidak ditalak.
Sifat-sifat terpuji pada ayat ke-5 ini disebutkan tanpa kata

penghubung (‫“)و‬dan” kecuali kata (‫)ثيابتاوأبكارا‬, dikarenakan sebagai

isyarat bahwasannya yang akan Nabi kawini itu sangat mantap karena
mempunyai seluruh sifat-sifat terpuji tersebut. Dan seandainya sifat-

sifat terpuji tersebut terdapat kata penghubung (‫“)و‬dan”, maka bisa

jadi ada dugaan bahwa diantara mereka hanya mempunyai sebagian

sifat saja. Sedangkan pada kalimat (‫ )ثيابتاوأبكارا‬dipisah dengan kata

penghubung (‫“)و‬dan” dikarenakan keduanya mempunyai makna

yang bertolak belakang. Penyebutan janda atau gadis itu karena Nabi
menikahi Hafshah yang janda dan Aisyah yang gadis.Akan tetapi,
janda ataupun gadis keduanya keduanya memilki keistimewaan-
keistimewaan. Dengan penyebutan keduanya ini menjadikan
peringatan kepada semua istri Nabi bahwa keistimewaan-
keistimewaan yang mereka miliki tidak berarti karena penggantinya
memiliki keistimewaan-keistimewaan yang sama bahkan lebih.
Menurut Quraish Shihab ayat-ayat diatas sangat tegas karena
mengisyaratkan betapa sangat berbekas di hati Nabi akibat peristiwa
78

ini, sehingga Nabi mendapatkan pembelaan dari Allah SWT,


malaikat Jibril, dan orang-orang yang shalih. Maka ayat-ayat diatas
menggambarkan satu sisi kehidupan Nabi Muhammad SAW yang
menyampaikan tugas suci, risalah Ilahi, yang pada saat yang sama
tidak keluar dari sifat kemanusiannya. Disana ada upaya merayu dan
membujuk pasangan, ada rahasia pribadi yang dibisikkan dan diminta
untuk dirahasiakan, ada dorongan seksual, ada marah dan cemburu,
dan bersamaan dengan itu semua ada bimbingan dan pengarahan
Allah karena tuntunan risalah Islamiyah bukannya mencabut potensi
dan bawaan manusia tetapi ini adalah ajaran yang sesuai dengan
fitrah manusia sehingga ia mengukuhkan, mengembangkan, dan
mengarahkan kearah yang benar.11
3) Analisis Penafsiran
Dari uraian kedua mufassir diatas, Buya Hamka dan Quraish
Shihab sepakat bahwa ayat ini berisi teguran dari Allah kepada kedua
istri Nabi yaitu Aisyah dan Hafshah untuk bertaubat karena mereka di
anggap telah bantu-membantu untuk menyakiti hati Nabi. Meskipun
mereka tidak bermaksud untuk menyakiti hati Nabi, namun kedua
istri Nabi ini telah mengecewakan Nabi dan hal ini pun dianggap
sebagai hal yang tidak wajar dilakukan seorang istri kepada suaminya
apalagi sampai menyusahkan Nabi.
Meskipun demikian, jika istri-istrinya telah berlaku melewati batas
berulah beliau marah, menegur, atau mungkin tidak mengacuhkan
mereka, tidak mau berbicara dengan mereka dengan harapan agar
mereka sadar kembali. Selain itu, Rasulullah tidak pernah bertindak
keras terhadap istri-istrinya, bahkan Rasulullah selalu menaruh

11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 171-176
79

perhatian terhadap perselisihan yang terjadi diantara istri-istrinya.


Karena Rasulullah pun mengerti bahwa perselisihan itu dipicu oleh
rasa cinta yang mendalam dari istri-istri Nabi tersebut. Kecintaan
yang seringkali dibumbui oleh perasaan cemburu. Bahkan Rasulullah
sendiri tidak pernah memaksa istri-istrinya untuk menekankan naluri
kewanitaan yang ada dalam diri mereka. Rasulullah tidak pernah
menginginkan hilangnya watak murni yang ada dalam istri-istrinya
sehingga kemudian tidak memiliki rasa cemburu, rasa rindu, dan
hilangnya keinginan untuk diutamakan oleh suami yang mereka
cintai 12
Adapun perbedaan diantara kedua mufaasir ini ialah, Buya Hamka
berpendapat bahwa Nabi tidak memulangi istrinya sampai sebulan
lamanya bahkan sampai menceraikan istrinya tersebut. Namun,
menurut Quraish Shihab hal itu tidak sampai terjadi karena Nabi
tidak sampai mentalak istri-istrinya tersebut.

C. Memelihara Diri dan Keluarga dari Neraka (QS. At-Tahrim[66]: 6)

         

           


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-
Tahrim[66]: 6)

12
Aisyah Bintusy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 32
80

1) Penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar


“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri-diri kamu dan
keluarga-keluarga kamu dari api neraka.”

Dari uraian di atas, Buya Hamka berpendapat bahwasannya Allah


memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman agar menjaga
diri dan keluarganya dari neraka. Dianjurkan juga untuk menanamkan
iman dan memupuk Islam di dalam keluarga. Allah memperingatkan
kepada orang yang beriman, bahwa mengaku beriman saja tidaklah
cukup karena iman harus dipelihara dan di pupuk. Dari rumah tangga
itulah pendidikan pertama dimulai yaitu dengan menanamkan iman
dan memupuk Islam, karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk
umat. Dan dalam umat itulah akan tegak masyarakat Islam.
“Yang diatasnya ialah malaikat-malaikat yang kasar lagi keras
sikapnya.”

Dan pada akhir ayat Allah pun memberi peringatan tentang


seramnya api neraka yang alat-alat penyalanya ialah manusia dan
batu-batu. Batu-batu disini diibaratkan sebagai barang yang tidak
berharga dan dapat ditemukan dimana saja misalnya di bukit, di
munggu, dan di padang pasir, sama halnya seperti manusia yang
banyak melakukan dosa diumpamakan seperti batu-batu yang
berserakan di padang pasir. Yang penjanganya ialah malaikat-
malaikat yang kasar. Malaikat-malaikat itu diberi kekuasaan untuk
menjaga dan mengawal neraka agar apinya selalu menyala, agar alat
penyalanya selalu tersedia baik batu maupun manusia. Di ujung ayat
ini menunjukkan bagaimana keras dan disiplinnya peraturan yang
dijalankan oleh para malaikat-malaikat itu. Mereka semua benar-
81

benar patuh dan setia dalam menjalankan perintah Allah SWT dan
tidak pernah membantah sedikit pun.13
2) Penafsiran Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâh
Menurut Quraish Shihab ayat ini menjelaskan bahwa awal
pendidikan dan dakwah adalah lingkungan keluarga yaitu lingkungan
rumah. Meskipun ayat ini secara tekstual tertuju kepada kaum lelaki
yaitu ayah, bukan berarti hanya tertuju kepada mereka saja, akan
tetapi ayat ini juga tertuju kepada keduanya yaitu ibu dan ayah. Maka
dari itu tanggung jawab terhadap anak-anak juga pasangan masing-
masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas
kelakuannya. Dikarenakan ayah atau ibu sendiri tidak cukup untuk
menciptakan lingkungan yang agamis serta harmonis.

Adapun sifat malaikat yaitu (‫ )غالظ‬menurut Quraish Shihab

bukan berarti kasar jasmaninya, karena malaikat adalah makhluk


halus yang tercipta dari cahaya. Tetapi kasar yang dimaksudkan
disini adalah perlakuannya atau ucapannya, karena mereka diciptakan
khusus untuk menangani neraka, maka hati mereka tidak merasakan
iba dan belas kasih.Maka dari itu Allah menciptakan mereka dengan

sifat sadis, (‫ )شداد‬yang bermakna “keras-keras” yakni makhluk yang

keras hatinya dan keras pula perlakuannya.14

13
Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid 10, h.
7507-7512
14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h.176-177
82

3) Analisis Penafsiran
Dari uraian kedua mufassir diatas, Buya Hamka dan Quraish
Shihab sepakat bahwa ayat ini berisi tuntunan kepada orang-orang
yang beriman untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari siksa api
neraka. Karena pendidikan itu bermula dari lingkungan terdekat yaitu
keluarga, maka dari situlah awal pendidikan dimulai.
Sedangkan perbedaan dari kedua mufassir ini adalah Buya Hamka
berpendapat bahwa ayat ini tertuju kepada kepala keluarga yaitu
Ayah untuk membimbing dan menjaga anggota keluarganya seperti
istri dan anak-anaknya dari api neraka. Karena menurut Buya Hamka
seorang ayah merupakan kepala keluarga maka dialah yang
mempunyai tanggung jawab besar untuk melindungi anggota
keluarganya.
Tetapi berbeda dengan Quraish Shihab yang berpendapat bahwa
meskipun ayat ini secara tekstual tertuju kepada kaum laki-laki yaitu
ayah, bukan berarti hanya tertuju kepada mereka saja, akan tetapi
ayat ini juga tertuju kepada keduanya yaitu kepada perempuan dan
laki-laki yaitu ayah dan ibu. Karena seorang ibu merupakan pendidik
pertama bagi anak-anaknya. maka keberhasilan seorang anak kelak
sangat bergantung pada ibu. Sebagaimana ayat-ayat yang serupa
misalnya perintah untuk berpuasa yang juga tertuju kepada kaum
laki-laki dan perempuan, ini berarti kedua orang tua bertanggung
jawab terhadap anak-anaknya dan juga pasangannya masing-masing.
Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwasannya perempuan
berperan penting dalam menjaga keluarga dan anak-anaknya dari api
nereka. Sebagai seorang istri, perempuan mempunyai tanggung jawab
yaitu mendorong suami dan anak-anaknya agar selalu menjalankan
perintah Allah SWT serta menjauhi segala larangannya. Sebagai
83

seorang ibu, perempuan sangat berperan dalam menjaga anak-


anaknya agar terhindar dari api nereka yaitu dengan menanamkan
keimanan kepada anak-anaknya. Karena keimanan merupakan bekal
hidup yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini dan ini
merupakan peran penting yang harus dilaksanakan oleh seorang ibu
terhadap anak-anaknya.
Pada ayat selanjutnya Allah juga memberi peringatan tentang
seramnya api neraka, yang alat-alat penyalanya ialah manusia dan
batu-batu, serta penjaganya ialah malaikat-malaikat yang kasar.
Namun Buya Hamka tidak menjelaskan secara rinci bahwa malaikat-
malaikat kasar seperti apa yang dimaksudkan dalam ayat ini. Tetapi
Quraish Shihab dalam penafsirannya menjelaskan secara rinci bahwa
malaikat kasar yang dimaksudkan disini bukanlah berarti kasar
jasmaninya, melainkan kasar perlakuannya atau ucapannya, karena
mereka diciptakan khusus untuk menangani neraka, maka hati
mereka tidak akan pernah merasakan iba dan belas kasih terhadap
siapapun.
84

Tabel hasil analisis

No. Pembahasan Buya Hamka M. Quraish Shihab

1. QS. At-Tahrim Terkait apa yang Banyak ulama yang


[66]: 1-3 dibisikkan Nabi tidak memiliki dasar
kepada Hafshah yang kuat. maka dari
Menjaga Rahasia yaitu tentang siapa itu menurut Quraish
Suami yang akan Shihab, sebaiknya
menggantikan beliau kita tidak menetukan
memimpin umat apa yang
disaat beliau wafat disampaikan Nabi
nanti kepada Hafshah

2. QS. At-Tahrim Karena istri-istri Hal itu tidak sampai


[66]: 4-5 Nabi telah bantu- terjadi, karena Nabi
membantu untuk tidak sampai
Meminta Maaf menyakiti hati Nabi. mentalak istrinya
ketika melakukan Lalu Nabi tidak
Kesalahan memulangi istri-
istrinya selama
sebulan lamanya,
bahkan sampai
menceraikan istrinya

3. QS. At-Tahrim Ayat ini tertuju Meskipun secara


[66]: 6 kepada lelaki yaitu tekstual tertuju
ayah sebagai kepala kepada kaum lelaki
Memelihara Diri keluarga yaitu ayah, tetapi
dan Keluarga dari ayat ini juga tertuju
Neraka kepada kaum
perempuan yaitu ibu
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap anggota keluarga perlu melaksanakan perannya
masing-masing dengan baik, agar terciptanya keluarga yang
harmonis. Karena keharmonisan dalam keluarga akan tercipta
bila setiap anggota keluarga dapat saling memahami dan
menjalankan perannya masing-masing.
Di dalam surat At-Tahrim ayat 1-6 terdapat beberapa
permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan keluarga Nabi
Muhammad SAW, yang mana dari permasalahan-permasalahn
tersebut banyak pelajaran yang bisa diambil hikmahnya untuk
dijadikan petunjuk bagi setiap keluarga-keluarga muslim.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah bahwasannya Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar dan M.
Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah memiliki persamaan
pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat mengenai peran
perempuan dalam keluarga surat at-Tahrim ayat 1-6 yaitu
menjaga keharmonisan sebuah keluarga, antara lain adalah
perempuan harus bisa menjaga rahasia suaminya, perempuan
juga harus menyadari apabila ia melakukan kesalahan, lalu
segera meminta maaf ketika melakukan kesalahan tersebut.
Namun, kedua mufassir ini juga memiliki perbedaan pendapat
bahwasannya Buya Hamka berependapat menjaga keluarga dari
api neraka merupakan tugas seorang lelaki sebagai kepala
keluarga, karena dialah yang harus membimbing dan menjaga
anggota keluarganya agar terhindar dari api neraka. Namun M.

85
86

Quraish Shihab berpendapat bahwasannya meskipun secara


tekstual ayat ini tertuju kepada lelaki sebagai kepala keluarga,
tetapi ayat ini juga tertuju kepada perempuan karena perempuan
karena perempuan memiliki berbagai macam peran dalam
sebuah keluarga, dimana dari peran-peran tersebut perempuan
memiliki tanggung jawab besar dalam memelihara keluarganya
dari api neraka.
B. Saran
Sebagai akhir pembahasan ini, penulis ingin
menyampaikan kepada para pembaca yang tertarik dengan tema
yang penulis teliti, agar penelitian ini dapat dijadikan rujukan
atau informasi awal dalam penelitian yang berkaitan dengan
tema tersebut.
Kepada para pengkaji maupun peneliti selanjutnya, untuk
lebih dalam membahas tema ini. Penelitian yang penulis
paparkan ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Karena
keterbatasan keilmuwan yang penulis miliki, sehingga hanya
mampu mengupas dan menyentuh bagian permukaan saja.
DAFTAR PUSTAKA

Al-„Allâmah al-Râgib al-Ashfahâniy, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-


Qur’â, Bairut-Libnan: Dâr al-Fikr

Anwar, Mauluddin, dkk, M. Quraish Shihab: Cahaya Cinta dan


Canda, Tangerang: Lentera Hati, 2015

Amini, Ibrahim. Anakmu AmanatNya, Jakarta: Al-Huda 2006

Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia, Tangerang: Madzhab Ciputat,


2013

Anshary AZ, A. Hafiz., dkk, Ensiklopedi Al-Qur’an Kajian Kosakata


dan Tafsirnya, Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002

Baidan, Nasharuddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakrta:


Pustaka Pelajar, 2002

Bintusy-Syâthi‟, Aisyah. Istri-istri Nabi, Bandung: Pustaka Hidayah,


2001

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an, Yogyakarta:


Pustaka Insan Madani, 2008

HAMKA, Tafsir Al-Azhar juzu I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982

, Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003

Hamka, Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Hamka, Jakarta: PT.


Mizan Publika, 2017

87
88

Hasyimi, Muhammad Ali. Kepribadian Wanita menurut Al-Qur’an dan


Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo, 1997

, Muhammad Ali. Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi,


Jakarta: PT. Mitra Pusaka, 1999

Hayali, Ra‟ad Kamil. Trik Mengatasi Konflik Suami Istri, Surabaya:


Dunia Ilmu 1999

https://muslim.or.id/9142-peranan-wanita-dalam-islam.html, diakses
pada tanggal 8 Agustus 2019
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/3700/Peran%2
0Perempuan%dalam%20Keluarga.pdf?sequence=1&isAllowed=
y, diakses pada tanggal 8 Agustus 2019

Ibn Fâris bin Zakariya‟, Abu al-Husain Ahmad, Mu’jam Maqâyis al-
Lughat, Juz VI, Mishr: Mushthafa‟ al-Bâb al-Halabiy wa al-
Syarîqat, 1992

Ilyas, Hamim, dkk, Perempuan Tertindas?, Yogyakarta: Pusat Studi


Wanita IAIN Sunan Kalijaga, 2003

Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2004

Junaidi, Mahbub. Rasionalitas Kalam M. Quraish Shihab, Sukoharjo:


Angkasa Solo, 2011

Kementrian Agama RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan


Berpolitik, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an , 2012
89

, Kedudukan dan Peran Perempuan, Jakarta:


Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an , 2012

Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj.


A. Chumaidi Umar, Bandung: Mizan, 1990

Muh. Anshori, M. Zainal Arifin. Fiqih Munakahat, Jawa Timur: CV.


Jaya Star Nine, 2019

Muhammad bin Ismail Abu „Abdillah Al-Bukhari Al-Ju‟fi, Shahih Al-


Bukhari, (Daru Thoqi An-Najati), No. 4912, Juz. 6

Muslim Ibnu Hajaj Abu Hasan Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih


Muslim, (Bairut: Dar Ihya Tirasul „Arabi), No. 2548, Juz. 8

Mutawalli as-Sya‟rawi, As-Syeikh Mohammad. Wanita dalam


Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah,
2010

Nadlifah, Wanita Bertanya Islam Menjawab, Yogyakarta: Qudsi


Media, 2011

Nata, Abudin. Tokoh-tokoh Pembaharu Islam di Indonesia, Jakarta:


Raja Grafindo Press, 2005

Perpustakaan Nasional RI, Asbabun Nuzul, Jakarta: Lajnah Pentashihan


Mushaf Al-Qur‟an, 2017

Rouf, Abdul. Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, Kuala


Selangor: Piagam Intan SDN. BHD, 2013
90

Roziqin, Badiatur dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta:


E-Nusantara, 2009

Shafiyarrahman, Abu Hadian. Hak-hak Anak dalam Syari’at Islam,


Yogyakarta: Al-Manar, 2002

Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata,


Jakarta: Lentera Hati, 2007

, Kaidah Tasir, Tangerang: Lentera Hati, 2013

, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan,


Bandung: Mizan, 1994

, Logika Agama, Jakarta: Lentera Hati, 2005

, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran


Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2013

, Membumikan Al-Qur’an Jilid 2, Tangerang:


Lentera Hati, 2011

, Menabur Pesan Ilahi, Tangerang: Lentera


Hati, 2006

, Perempuan, Tangerang: Lentera Hati, 2018

, Sejarah Ulum al-Qur’an Jakarta: Pustaka


Firdaus, 2008

, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan


Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2009
91

Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Amzah, 2014

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan,


Jakarta: El-Kahfi, 2008

Suriati Amal, Andi Sri. Perempuan sebagai Muslimah, Ibu, dan Istri,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013

Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru,


Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007

Tim Penerjemah Pena, Tafsir Al-Qur’an Perempuan 2, Jakarta: Pena


Pundi Aksara, 2007

Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-


Mishbah”, dalam Jurnal Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. XI
No. I, 2014

Wilcox, Lynn. Wanita dalam Al-Qur’an Perspektif Sufi, Terj. DICTIA,


Bandung: Pustaka Hidayah, 2001

Yanggo, Huzemah T. dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi


Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Jakarta: IIQ Press, 2011

Yanggo, Huzemah T. Fiqih Perempuan Kontemporer, Jakarta: Ghalia


Indonesia, 2010

Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Al-Azhar Sebuah Telaah


atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta:
Penamadani, 2004

Zaki al-Barudi, Syaikh Imad. Tafsir Al-Qur’an al-Adzim Lin Nisa’,


Terj. Arif Anggoro, dkk., Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007
RIWAYAT HIDUP

Devi Nirmayuni, lahir di Sungai Danai


pada tanggal 25 Desember 1996. Penulis
menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di
SDN 001 Tanjung Batu Kota, pada
tahun 2008, lalu melanjutkan pendidikan
di Sekolah Menengah Pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri
Kundur pada tahun 2011, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan
Sekolah Menengah Atas di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami,
Jakarta pada tahun 2015. Lalu melanjutkan studinya di Perguruan
Tinggi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta pada tahun 2015 dan
mengambil Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Program Studi Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir (IAT).
Adapun pengalaman organisasi penulis yaitu, sebagai anggota OSIS
sebagai Sekbid Keagamaan pada priode tahun 2009/2010 di Madrasah
Tsanawiyah Negeri Kundur. Sebagai mudabbiroh JQ (Jamiyyatul
Qori’ah) pada priode tahun 2012/2013 di Pondok Pesantren
Darunnajah. Sebagai anggota OSDN (Organisasi Santri Darunnajah)
dan menjabat sebagai pengurus bagian Ta’lim pada priode tahun
2014/2015.
Semoga dengan penulisan skripsi ini mampu memberikan kontribusi
positif, manfaat, dan berkah bagi siapapun yang membacanya. Akhir
kata penulis mengucapkan rasa syukur atas terselesaikannya skripsi
yang berjudul “Peran Perempuan dalam Keluarga Perspektif Al-
Qur’an surat At-Tahrim ayat 1-6 (Studi Komparatif Tafsir Al-Azhar
dan Tafsir Al-Mishbâh)”.

Anda mungkin juga menyukai