SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
HIDAYATUL FITRI
NIM.11140440000051
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
mencurahkan nikmat jasmani dan ruhani kepada kita semua. Salawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan bagi seluruh
umat manusia. Alhamdulillahirabbil‟alamin penulisan skripsi “Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam Masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto Talago” telah
penulis selesaikan. Dukungan moril dan materil dari berbagai pihak terus penulis
dapatkan tanpa henti. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih dan menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.,Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang senantiasa mengarahkan,
membimbing serta memotivasi mahasiswa dengan begitu semangat.
3. Hj. Hotnidah Nasution, MA., dosen pembimbing skripsi sekaligus sebagai dosen
pembimbing akademik penulis. Beliau memberikan banyak ide, gagasan, saran,
serta kritik yang sangat membangun daya pikir penulis. Lebih dari itu, Beliau
adalah sosok dosen yang senantiasa sabar, mendengarkan dan mengarahkan
penulis, baik saat penulisan skripsi maupun selama menjadi dosen pembimbing
akademik. Semoga, seluruh usaha, kesabaran dan kerja keras Beliau menjadi
amal salih baginya dan mendapatkan pahala yang sebaik-baiknya.
4. Wali Nagari Tujuah Koto Talago dan jajarannya, terkhusus kepada Bapak
Nasrullah, M.Ag., S.H dan Ibu Retnita yang dengan segenap hati membantu serta
memfasilitasi penulis selama melaksanakan penelitian di wilayah Kenagarian
Tujuah Koto Talago.
5. Bapak Drs. Hasbi dan Ibu Dra. Khaidawati, orang tua yang luar biasa penulis
sayangi dan hormati. Keduanya tidak pernah patah semangat untuk selalu
vi
memberikan pendidikan yang lebih baik kepada putra putrinya, serta tidak henti-
hentinya berdo‟a demi kesuksesan penulis dan saudara-saudaranya. Tidak lupa,
penulis ucapkan terimakasih kepada adik-adik penulis Jamilatul Husna, Fikrul
Arif, Syaiful Nur Salam dan Miftahur Rizki. Mereka adalah pemupuk semangat
juang penulis, agar dapat menjadi contoh dan tauladan sebagai anak tertua.
6. Anggun Pratiwi, S.Psi. dan Defi Uswatun Hasanah, S.Sy.,MA. yang banyak
memberikan bantuan moril dan materil dan senantiasa meluangkan waktunya
untuk menjadi teman diskusi penulis. Keduanya selalu mengarahkan penulis,
serta memberikan motivasi kepada penulis dalam menghasilkan karya yang lebih
baik.
7. Seluruh rekan mahasiswa/i angkatan 2014. Terkhusus pada mereka yang
senantiasa menjadi tempat bertukar pikiran dan memotivasi penulis diantaranya,
Ratih Afriana Ningsih, Wilda Utami Rizqillah, Meidiana Lara Kharisma, S.H,
Permata Syifa Nur Rahmah, Neng Emawati, S.H, dan Taufik Hidayat.
8. Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago secara umum, terkhusus para
narasumber yang telah meluangkan waktunya dalam sesi wawancara yang
penulis lakukan.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih
yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum
keluarga Islam. Selain itu, penulis juga mengharapkan kritik serta saran yang
membangun dari seluruh pembaca dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan
kualitas tulisan ini kedepannya.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB IV HUKUM KEWARISAN ISLAM DI KENAGARIAN
TUJUAHKOTO TALAGO ........................................................... 44
A. Pengetahuan Hukum Kewarisan Islam Masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago ................................................................... 44
B. Pemahaman Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago
terhadap Pentingnya Pembagian Waris dalam Islam ................. 54
C. Kesadaran Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam pada
Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago ............................ 58
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 64
A. Kesimpulan ................................................................................ 64
B. Saran .......................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang rahmatan lil‟alamin telah mengatur pembagian
kewarisan dengan sebaik-baiknya. Hukum waris merupakan bagian dari syariat Islam
lebih spesifiknya kepada aspek muamalah. Hukum kematian yang mutlak terjadi
pada setiap manusia menjadi faktor utama pentingnya mengkaji hukum waris.Hukum
waris ini menempati kedudukan yang penting dalam agama Islam. 1 Al-Qur‟an
sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan pentingnya hukum waris secara
lebih terperinci jika dibandingkan dengan hukum-hukum lain yang mayoritas masih
tergolong global. Pembagian kewarisan di jelaskan tidak hanya terbatas pada orang-
orang yang berhak atas suatu warisan, namun sampai kepada pelaksanaan hingga
persentase warisan masing-masing ahli waris diatur jelas dalam Al-Qur‟an.
Secara umum, kewarisan adalah perkara harta benda yang ditinggalkan
seseorang setelah datangnya kematian. Dalam kehidupan bermasyarakat, memahami
hukum kewarisan merupakan hal yang krusial sebab kewarisan akan terus
berlangsung selama masih adanya kehidupan manusia di muka bumi.
Hukum Islam dikenal sejak Islam itu masuk dan bermukim di nusantara.
Perkara waris merupakan salah satu bagian dari Hukum Islam yang dapat mengikuti
perkembangan bangsa Indonesia, bahkan pelaksanaan Hukum Kewarisan pun
kemudian dianggap sebagai jalan menuju kesempurnaan Islam. Hukum Islam hadir
menjawab problematika yang muncul di masyarakat. Bagi seorang muslim
memahami hukum Islam berarti seseorang telah menjalankan syariat agama terhadap
dirinya.
1
Abdul Ghafor Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam., Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, t.t.,t.p.,t.th., h. 8.
1
2
2
Umar Said Suhiarto, Pengantar Hukum Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet. Kedua,
h., 123.
3
Edi Riadi, ed. Muchit A. Karim, Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia dalam
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama, 2012, h, 59.
4
Islam juga muncul dari Munawir Sadzali dalam kritikan yang lebih tajam
perihalporsi waris wanita setengah dari bagian laki-laki. Hal ini menurutnya adalah
suatu kekakuan dalam memahami hukum Islam, sebab baginya hukum Islam
menerima perubahan sesuai budaya dan perkembangan zaman.
Masalah waris bagi umat Islam tidak hanya merupakan perpindahan tangan
harta peninggalan saja, melainkan juga sebagai ketaatan terhadap hukum agama dan
proses ibadah. Secara umum kewarisan dalam Islam mengatur diantaranya; harta
peninggalan dari seorang yang telah meninggal, ahli waris dari harta yang
ditinggalkan, dan besar bagian masing-masing yang diperoleh ahli waris terhadap
harta yang ditinggalkan.4
Bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam, dengan sistem
keturunan matrilineal yang dipakai, menimbulkan sejumlah persoalan dan pertanyaan
hukum, bagaimana pelaksanaan serta penerapan kewarisan Islam dalam masyarakat
tersebut? bagaimana kesadaran masyarakatnya dalam menerapkan hukum kewarisan
Islam?. Penghargaan terhadap perempuan yang cukup besar dalam masyarakat
Minangkabau tergambar dari penarikan garis keturunan yang diperkenalkan.
Kelahiran anak perempuan menjadi sebuah dambaan karena akan menjadi penerus
klannya dan akan merawat budaya serta harta kaumnya.
Secara umum persoalan ini cukup banyak menarik perhatian berbagai pihak
terutama kalangan akademisi dan pengamat hukum. Sebab kesadaran hukum yang
terdapat di dalam masyarakat erat kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum yang
diyakini dalam masyarakat. Begitu pula kesadaran penerapan hukum kewarisan
Islam dalam masyarakat yang notabennya menjadikanagama Islam sebagai dasar
keyakinan utama masyarakatnya. Dekatnya hubungan adat dan agama dalam
kehidupan keseharian masyarakat, mengakibatkan hukum yang seharusnya
dijalankan seringkali terlupakan, sebab keduannya sudah saling menyatu dan
4
Desti Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2014, h, 8.
5
tenggelam dalam budaya masyarakat. Gagasan yang akan terbangun adalah, bahwa
hukum adat yang dipakai sudah sangat relevan dan sejalan dengan keyakinan
agamanya. Persoalan inilah yang akhirnya berpeluang memicu perkembangan
pemikiran dengan mengatasnamakan “demi kemaslahatan”. Akhirnya kesalahanpun
tetap dapat diupayakan dalam konteks “demi kemaslahatan”, kesadaranpun
seringkali baru akan muncul setelah dijumpainya pelanggaran.5
Berdasarkan uraian di atas muncullah pertanyaan-pertanyaan besar terhadap
kesadaran perkembangan praktik kewarisan Islam di Minangkabau khususnya
Kenagarian Tujuah Koto Talago. Bagaimana kesadaran dari masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago sendiri terhadap pentingnya praktik pembagian kewarisan Islam,
dalam masyarakat yang satu keyakinan, meyakini kebenaran daripada ajaran Islam?.
Kenagarian Tujuah Koto Talago merupakan sebuah kenagarian di wilayah
Kecamatan Guguak Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, yang merupakan
sebuah kenagarian dengan penduduk 100% beragama Islam 6, bagaimana kesadaran
pelaksanaan hukum kewarisan Islam di masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago,
terlebih dengan adanya budaya matrilineal dalam penarikan garis keturunan di
masyarakatnya, apakah penerapan hukum kewarisan yang berkembang masih sesuai
dengan hukum Islam? Bagaimana penyelesaian urusan harta warisan di Kenagarian
Tujuah Koto Talago saat ini?.
Segenap pertanyaan terkait pelaksanaan pembagian kewarisan Islam di
Kenagarian Tujuah Koto Talago hingga kepatuhan masyarakatnya dalam
menjalankan syariat Islam menjadi titik tolak penulis untuk mengangkat tema skripsi
“Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Masyarakat Minangkabau Kenagarian
Tujuah Koto Talago.”
5
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2010, cet.5, h, 2.
6
Data Wilayah dan Penduduk Kenagarian VII Koto Talago, Tahun 2017
6
B. Identifikasi Masalah
Berikut penulis mencoba mengidentifikasi masalah-masalah yang berpeluang
muncul seputar penelitian ini
1. Bagaimana kedudukan ahli waris dan harta warisan di Kenagarian Tujuah
Koto Talago?
2. Bagaimana mekanisme pembagian harta warisan di Kenagarian Tujuah Koto
Talago?
3. Apakah jumlah harta mempengaruhi praktik kewarisan Islam di Kenagarian
Tujuah Koto Talago?
4. Apakah posisi dan kedudukan seseorang dalam keluarga mempengaruhi
kesadaran pelaksanaan kewarisan Islam di Kenagarian Tujuah Koto Talago?
5. Apakah hukum adat dan faktor sosial lingkungan mempengaruhi penerapan
hukum kewarisan Islam di Kenagarian Tujuah Koto Talago?
6. Bagaimana praktik pembagian warisan sesungguhnya dalam Islam?
7. Apakah meninggalnya seseorang, harta yang ditinggalkan harus langsung
disegerakan pembagiannya?
8. Bagaimana eksistensi hukum kewarisan Islam dalam adat Minangkabau di
Kenagarian Tujuah Koto Talago?
9. Bagaimana pandangan hukum kewarisan Islam terhadap perilaku saling
berkerelaan atas harta warisan di antara sesama ahli waris?
10. Bagaimana pengetahuan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago tentang
hukum waris?
11. Bagaimana sikap masyarakat tentang pelaksanaan pembagian waris di
kampung mereka?
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan terhadap
praktik penerapan hukum kewarisan Islam yang ada di tengah-tengah
masyarakat saat ini dan mengetahui seberapa sadar masyarakat dalam
melaksanakan hukum kewarisan Islam, khususnya pada masyarakat
Minangkabau di Kenagarian Tujuah Koto Talago.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi para
peneliti dan akademisi yang tertarik untuk mendalami sejauh mana
pelaksanaan hukum kewarisan Islam di tengah-tengah masyarakat, khususnya
pada masyarakat Minangkabau di Kenagarian Tujuah Koto Talago, serta
penelitian ini dapat menjadi pembanding penelitian-penelitian sejenis
kedepannya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kualitatif. Melalui
pendekatan riset lapangan, penulis kemudian mendeskripsikanhasil penelitian
atas ukuran data-data yang ada di lapangan mengenai pengetahuan,
pemahaman, hingga kesadaran pelaksanaan hukum kewarisan Islam di
masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago.
2. Sumber data dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan dua jenis
sumber, yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang penulis kumpulkamselama 2 dua bulan
di Kenagarian VII Koto Talago.Data ini dikumpulkan melalui wawancara
dengan tokoh agama, tokoh adat dan masyarakat Minangkabau Kenagarian
Tujuah Koto Talagoyang terkait langsung dengan masalah kewarisan ini.
Masyarakat tersebut akan menjadi responden penulis saat melakukan
wawancara dan observasi.
b. Data Skunder
Data skunder yang digunakan oleh penulis diperoleh dari buku-buku,
jurnal dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan
kewarisanIslam, kewarisan adat dan lainnya yang relevan dalam memperkuat
penelitian serta analisis penulis.
3. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi dan
wawancara. Wawancara akan banyak dilakukan terhadap masyarakat yang
telah berkeluarga, ataupun masyarakat yang telah cukup umur dan telah
pernah melakukan pembagian kewarisan, agar lebih mengerti persoalan yang
sedang di bicarakan.Selain itu pada penelitian ini juga penulis menggunakan
teknik dokumenter berupa audio (wawancara) dengan masyarakat wilayah
12
Kenagarian Tujuah Koto Talago yang penulis jabarkan dalam lampiran hasil
wawancara dengan narasumber, agar dapat mempelajari secara lebih dalam
realitas yang mungkin akan terlewatkan saat melakukan observasi.
4. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil
observasi dan wawancara yang diperoleh. Sehingga mendapat suatu
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan
yang penulis lakukan dalam penelitian ini.
5. Teknis penulisan penelitian skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Skrispsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skrispsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.Adapun
sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.
Bab I bagian pendahuluan merupakan kerangka dasar yang menjadi acuan
dalam penelitian ini. Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review kajian
terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II membahas mengenai kesadaran hukum kewarisan Islam dan kewarisan
Minangkabau. Bab ini berisi kajian kepustakaan dan hal-hal yang berhubungan
dengan konsep kewarisan Islam dan budaya Minangkabau. Bagian ini merupakan
landasan teori penulis dalam memperkuat analisi yang akan penulis uraikan.
Bab III membahas masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto
Talago. Bab ini menjelaskan tentang profil dan gambaran umumKenagarian
TujuahKoto Talago. Bagaimana sistem kewarisan yang selama ini terbentuk dan
berjalan di Kenagarian Tujuah Koto Talago.
13
7
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010, h, 2
8
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
Cet-6, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, h, 4
14
15
juga berkaitan dengan fungsi apa yang hendak dijalankan oleh hukum dalam
masyarakat.9 Kemudian dituangkan dalam bentuk penerapan di dalam kesehariannya.
Sedikit banyaknya kesadaran hukum dijadikan sebagai cerminan dari aturan-aturan
yang telah disepakati dan diharapkan, dengan menyatakan patuh serta tunduk
dibawahnya. Sebagai suatu kajian sosiologi hukum, kenyataan ini serasi dengan
objek utama kajian sosiologi hukum, di mana kesadaran hukum menjadikan
masyarakat sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi berbagai kaidah sosial
yang disepakati dan diakui, dengan kesadaran dan pernyataan diri tersebut, setiap
warga masyarakat harus menaatinya.
Aspek kesadaran hukum dalam Islam, dapat dipahami dari teori kredo dan
teori kedaulatan Tuhan. Teori kredo identik dengan persaksian atau syahadah (dalam
Islam), mengharuskan tunduk serta patuh seorang yang memiliki keyakinan hukum
terhadap agama yang dianutnya.10 Kesadaran beragama yang dimiliki cenderung
memiliki pengaruh yang lebih besar dalam dirinya dalam memunculkan kesadaran
hukum. Hal ini termaktup dalam QS. Al-Fatihah ayat 5 yang berbunyi:
Artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan.
Dari teori di atas dapat dipahami bahwa setiap insan yang telah menyatakan
diri untuk tunduk pada suatu keyakinan, wajib sepenuhnya patuh dan tunduk dalam
persaksiannya itu, sehingga ketundukannya ini menjadi sebuah kesadaran hukum
baginya.
Secara sederhana menilai kesadaran hukum dapat dilakukan dengan mempelajari
proses terbentuknya norma hukum dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Perbuatan
9
Achmad Ali, dan Dr.Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, Cet-2
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, h, 141
10
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011, h, 20
16
yang dilakukan secara berulang dan dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang
sudah seharusnya, akan menjadi hukum kebiasaan.11Dalam penerapannya di
masyarakat terdapat hukum yang berasal dari ajaran agama yang diyakini dan
terdapat pula hukum adat atau kebiasaan yang memang berkembang mengikuti
perjalanan hidup keseharian masyarakatnya. Berdasarkan ajaran agama Islam,
masyarakat yang memiliki hukum adat serta meyakini pula hukum agama Islam,
dalam penerapan aspek kesadaran hukum tidak boleh bertentangan antara kesadaran
beragama dan kesadaran hukum adat. Hukum Islam haruslah menjadi landasan
kesadaran utama yang harus didahulukan sebelum berpedoman pada hukum adat.
Secara tegas hukum Islam tidak boleh dikesampingkan dan hukum yang ada tidak
boleh menyalahi apalagi bertentangan dengan hukum Islam.
Faktor-faktor yang erat kaitannya dalam mempengaruhi kesadaran hukum
masyarakat, biasanya disebabkan oleh rasa takut terhadap sanksi yang akan
dikenakan apabila dirinya melanggar hukum, karena kepentingan-kepentingannya
akan terjamin dengan mengikuti hukum, karena pengetahuan dan pemahaman
masyarakat yang belum sesuai terhadap suatu hukum, atau bahkan kepatuhannya
memang disebabkan karena hukum yang berlaku dirasa sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam dirinya, sehingga terbentuklah kepatuhan hukum dan kesadaran
hukum.12
11
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, Cet 1, Bandung:
Penerbit Alumni, 1993, h, 26
12
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris,..., h, 30.
13
Harta peninggalan dalam hukum Islam disebut tirkah. Harta peninggalan adalah segala
suatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh yang meninggal
dunia yang dibenarkan oleh syara‟ dan dapat diwarisi oleh para ahli waris. lihat: Kedudukan Wasiat
17
dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, h, 28 diakses dari
Fathurrahman Djamil, “wasiat: Makna, Urgensi dan Kedudukannya dalam Islam”, Artikel dalam
Mimbar Hukum, 1999, Nomor 38 Tahun IX.
14
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris untuk Warisan dalam Syari‟at
Islam, Cet- 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h, 13
15
KBBI Online, diakses pada 13 April 2018, pukul 20:28 WIB
16
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris menurut Islam, Cet- 1, Jakarta: Gema
Insani Press, 1995, h, 33
17
Mostofa hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Cet-1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, h,
290
18
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet-3, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, h, 5
18
masing-masing ahli waris yang telah ditentukan dengan tetap dan pasti.19 Istilah lain
dalam bahasa Indonesia “hukum waris” merujuk kepada subjek yang dikenai
hukum,dalam hal ini adalah orang-orang yang berhak atas harta warisan yang di
tinggalkan.20 Secara terminologis ilmu Al-Mawarits di definisikan sebagai cara
menghitung bagian dari masing-masing ahli waris terhadap harta peninggalan
pewaris, serta untuk mengetahui ahli waris yang dapat menerima warisan beserta
kadar bagian harta yang dapat diterima,21 sehingga Ilmu al-Mawarits mencakup tiga
unsur :
1. Pengetahuan terhadap pihak-pihak yang menjadi ahli waris
2. Pengetahuan mengenai besar bagian yang berhak diterima masing-masing ahli
waris
3. Pengetahuan tentang cara perhitungan harta warisan yang akan diterima setiap
ahli waris
Kewarisan identik dengan sebuah perpindahan, kematian adalah sebab yang
menimbulkannya, sehingga terdapat peralihan kepemilikan yang mutlak di
dalamnya. Tidak hanya itu, kewarisan memerlukan pengaturan yang jelas serta tegas
guna meminimalisir segala bentuk persoalan yang akan mempermasalahkan
kewarisan tersebut di kemudian hari.
Al-Qur‟an dan Hadits sudah memberikan ketentuan pembagian waris yang
rinci dan jelas. Amin Husein Nasution, dalam bukunya “Hukum Kewarisan Islam
Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam” menjelaskan,
apabila terdapat perintah dalam Al-Qur‟an atau Hadits dengan nash yang sarih, maka
19
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris Ahkamul-Mawaarits
fil-Fiqhil-Islami, Cet- 1, Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2004, h, 12-13
20
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ... h, 6
21
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI Tahun
2013, Panduan Praktis Pembagian Waris dalam Islam, h, 13
19
hukum melaksanakannya adalah wajib, selama tidak ada dalil nash yang
menunjukkan ketidakwajibannya.22
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”.
Ayat di atas menunjukkan makna yang lebih luas, Syariat Islam jelas
memberikan ketetapan dan kepastian waris atas setiap bagian dari harta-harta
peninggalan keluarganya baik laki-laki ataupun perempuan, baik itu dari garis
keturunan laki-laki ataupun garis keturunan perempuan berdasarkan ketentuan yang
telah diatur pula di dalamnya, dimana keduanya juga memiliki hak atasnya. Ayat ini
secara tegas menentang perlakuan masyarakat jahiliyah yang mendiskriminasikan
perempuan saat itu dengan tidak memberikan kewarisan yang sesungguhnya menjadi
hak setiap keturunan baik laki-laki maupun perempuan.
QS. An-Nisaa‟/4:8
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.
22
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Islam Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam, Cet-1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012, h, 50.
20
QS. An-Nisaa‟/4:9
23
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet-1, Jakarta: Prenada Media, 2004, h, 12-16
21
Artinya:“Saya adalah lebih utama bagi seorang muslim dari diri mereka
sendiri. Siapa-siapa yang meninggal dan mempunyai utang dan tidak
meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan
melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk
ahli warisnya”.
Selain hadits diatas, terdapat juga ijma‟ dan ijtihad ulama yang membahas
tentang pelaksanaan pembagian waris yang belum ditemukan pada masa Rasulullah,
sehingga dalam hal ini ijma‟ dan ijtihad yang dilakukan para ulama semakin
menunjukkan pentingnya pembagian waris. Diantara contoh menarik ijtihad ulama
yang berkembang ialah kasus anak angkat dan ahli waris non-muslim yang
diperbolehkan menerima kewarisan, dimana ini bertentangan dengan hukum Islam.24
Persoalan lain juga dapat ditemukan pada wasiat wajibah, serta „aul dan raad yang
merupakan beberapa contoh dari hasil ijma‟ dan ijtihad para ulama. Hal ini
memberikan keilmuan baru serta perkembangan dalam ilmu kewarisan.
24
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011, h, 9
22
meskipun tanpa adanya kehendak dari pewaris ataupun ahli warisnya. Asas ijbari
juga dapat dilihat dengan beberapa unsur diantaranya:25
1) Segi pewaris, ijbari berarti tidak dapat menolak. Pewaris boleh jadi memiliki
sejumlah kemauan semasa hidupnya berkenaan dengan harta yang dimiliki, akan
tetapi keinginan tersebut dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan Allah, sehingga
tanpa berbuat sesuatu hal pun ahli waris telah ditetapkan.
2) Segi peralihan harta, ijbari berarti peralihan harta, sehingga harta si-mayyit
otomatis berpindah sesuai ketentuan Allah. Intinya sadar atau tidak, kematian
telah mendatangkan hak sebagai ahli waris.
3) Segi jumlah harta, ijbari berarti bagiannya telah jelas dalam ketentuan yang
ditetapkan Allah, sehingga setiap pihak terkait pada ketetapan tanpa ada porsi
untuk menambah ataupun mengurangi apa yang telah diperhitungkan.
4) Segi penerima peralihan harta, ijbari berarti telah memiliki ketetapan yang
menjadi pemiliknya, sehingga tidak dapat seorangpun ditambahkan ataupun
dikeluarkan dari ketentuan yang telah ditetapkan hak baginya.
b. Asas Bilateral
Asas bilateral berarti bahwa setiap orang memiliki hak kewarisan dari kedua
belah pihak yang menjadi kerabatnya, baik itu pihak laki-laki maupun pihak
perempuan, dimana keduanya saling mewarisi. Asas bilateral dibagi dalam dua
dimensi yaitu; baginya sebagai ahli waris pihak ibu atau ayahnya dan baginya
sebagai ahli waris saudaranya yang tidak memiliki keturunan ataupun orang tua.26
c. Asas Individual
Asas individual adalah setiap ahli waris berhak atas harta warisan yang telah
ditetapkan untuknya tanpa tergantung kepada pihak lain. Sebagai perseorangan, hak
dan kewajiban orang atau person tidak bergantung pada lain hal karena iya juga
25
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet-3, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, h, 18
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h,
122
23
sebagai subyek hukum yang juga diakui.27 Kepemilikan pribadi dapat diperoleh
dengan penuntutat hak pribadi langsung tanpa diikuti oleh ahli waris lain.
27
Riduan Syahrani,Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2010,
h, 41.
28
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ... h, 19-24
29
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI, Panduan
Praktis Pembagian Waris dalam Islam, Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, 2013, h, 21.
24
a. Al-Warits, yaitu kerabat si-mayyit yang masih hidup, yang memiliki hubungan
darah dan dikenai ketetapan ahli waris terhadap dirinya, seperti yang timbul
akibat perkawinan dan hubungan darah.30
b. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan, atau harta yang menjadi
kategori bisa diwariskan,31 sehingga mewariskan hak dan kewajiban tidak dapat
masuk dalam kategori ini.
4. Syarat-syarat kewarisan
a. Orang yang mewariskan telah meninggal dunia dengan sebenar-benarnya,
dengan melihat langsung dan mendapatkan bukti yang diterima secara syariat,
atau secara legal seperti orang yang hilang. Sehingga tidak ada berita
diketahui hidup matinya dengan pemberian jangka waktu sesuai ketentuan
syariat, maupun berdasarkan perkiraan seperti ibu hamil yang dipukul
perutnya oleh seseorang, kemudian janin tersebut mengalami keguguran sebab
pemukulan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan janin tersebut dapat
mewarisi sesuatu.
b. Ahli warisnya masih hidup, dapat disaksikan dengan mata serta diterima
secara syar‟i ketika orang yang memiliki warisan meninggal dengan sebenar-
benarnya. Sebab kadang masih banyak ahli waris yang masih diragukan
kehidupannya, seperti orang hilang dan anak yang masih dalam kandungan
serta ahli waris yang mati bersamaan waktunya dengan si mati.32
c. Pihak yang akan mendapatkan waris (ahli waris) diketahui secara definitif,
dimana jelas hubungan antara pewaris dan ahli waris. Seperti saudara
30
Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih mawaris untuk Warisan dalam Masyarakat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973, h, 42.
31
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Cet-1,Jakarta:
Senayan abadi Publishing, 2004, h, 28
32
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl Deskripsi Berdasarkan
Hukum Islam Praktis dan Terapan, Cet 1, Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005, h, 30.
25
33
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Madzhab, Cet 1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009, h, 11-14
34
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h, 72-75
26
35
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris, Jakarta: Pustaka
Ibnu „Umar, 2009, h, 35-36
36
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,... h, 112
37
Umar Said Suhiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Cet-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, h,
115
38
Musyair Zainuddin, Ranah Minang dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Penerbit Ombak
(Anggota IKAPI), 2014, h, 31
27
39
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah Sumatera
Barat, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978, h, 138
40
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Cet-1 Jakarta: PT Gunung Agung, 1984, h, 177
41
Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam, ... h, 96-97
28
42
Musyair Zainuddin, Ranah Minang dan Lingkungan Hidup, ... h, 29-30
43
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian, Cet-4, Jakarta: Citra Harta
Prima, 2011, h, 19
29
berpusaka). Artinya orang Minangkabau itu memberikan arti dan harga tinggi
terhadap hidup. Ungkapan mati berpusaka adalah harta sebagai lambang
kemakmuran dan strata sosial masyarakat. Mengembangkan dan memperbanyak
harta kaum adalah suatu keharusan dalam masyarakatnya. Selain itu hal ini juga
diperuntukkan bagi generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan
setelah mati. Sehingga banyak orang Minangkabau yang bekerja keras agar dapat
mempusakakan sesuatu bagi suku dan keturunannya. Dapatlah dipahami bahwa
semangat bekerja dan memupuk kekayaan dalam diri masyarakat, tidaklah semata
terbatas pada pemenuhan materi pribadi namun juga bagi anggota kaum, dan bagian
dari upaya menjaga nilai-nilai adatnya.44
Minangkabau adalah masyarakat matrilineal dengan sistem keturunan ditarik
berdasarkan garis pihak ibu atau nenek moyang perempuan. Adanya sistem
matrilineal ini turut memberikan pengaruh dalam pelaksanaan kewarisan dalam
masyarakat.Sebagaimana keturunan itu hanya dihitung dan ditelusuri menurut garis
perempuan saja, maka bentuk kesatuan tersebut dinamakan kesatuan masyarakat
matriachaat. Dalam sistem keturunan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk
anak-anaknya. Anak-anak hanya akan memperoleh kewarisan dan menjadi bagian
dari kelompok suku ibu mereka, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota
keluarganya dari orang tuanya pula.45 Akibatnya struktur sosial Minangkabau
memberikan tanggungjawab yang berat kepada laki-laki minang, dengan mendorong
untuk berusaha memenuhi tuntutan agar berjasa kepada kerabat dan kampung
halamannya.46
44
Riwayat Attubani, Adat dan Sejarah Minangkabau, Cet-1, Padang: Media Eksplorasi,
2012, h, 65-66
45
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Cet-4,
Bandung: PT Refika Aditama, 2013, h, 41
46
Riwayat Attubani, Adat dan Sejarah Minangkabau, ... , h, 66
30
47
Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
Cet-2, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013, h, 295-296.
31
gadang dan mendirikan rumah di atas tanah kaum akibat bertambahnya anggota
kelompok suku, yang umumnya karena bertambahnya anggota kaum.
3. Asas Keutamaan
Maksud asas keutamaan disini adalah adanya tingkatan-tingkatan dan hak
yang lebih utama antara satu pihak dibandingkan pihak lainnya. Keutamaan ini
biasanya diterima oleh seorang yang dirinya ditetapkan sebagai penghulu48 dan
penghulu akan memimpin kaum serta pengawasan terhadap harta pusaka. Adanya
keutamaan ini disebabkan oleh bentuk-bentuk lapisan kekerabatan yang terdapat
dalam sistem kekerabatan Matrilineal Adat Minangkabau. Urutan lapisan
kekerabatan pada Adat Minangkabau diantaranya:
a. Kemenakan bertali darah, merupakan hubungan kekerabatan yang paling dekat
dan merupakan hubungan atas kesamaan keturunan yang di telusuri melalui garis
ibu dari atas ke bawah.
b. Kemenakan bertali air, yaitu orang datang yang dijadikan anak kemenakan oleh
penghulu pada sebuah nagari.49
c. Kemenakan bertali budi, yaitu karena kebaikan budi kaum yang di datangi, oleh
rasa kasihan serta tingkah laku yang baik sehingga sudah dianggap sebagai anak
kemenakan.
d. Kemenakan bertali emas, merupakan orang-orang yang tidak sedarah dan tidak
pula sesuku, tetapi datang dan menetap untuk mendapatkan hak kekeluargaan
dari kaum tersebut.
Urutan di atas memiliki keutamaan dalam kewarisan, yang masing-masing
tidak bisa dialihkan kepada tingkatan di bawahnya. Selama urutan dengan hubungan
terdekat dari garis ibu masih ada, kelompok di bawahnya akan tertutup hak mewarisi.
48
Penghulu adalah ketua adat atau pemimpin dari masing-masing suku. Biasanya adalah laki-
laki tertua dalam suatu kaum, namun bukanlah hal yang mutlak sebab juga dibutuhkan kecakapan.
Setiap penghulu di panggil dengan sebutan datuak.
49
https://palantaminang.wordpress.com/sejarah-alam-minagkabau/g-sistem-kepemilikan/,
diakses pada 20 Mei 2018, Pukul 21.31 WIB.
32
50
Yaswirman, Hukum keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Cet-1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2011, h,151
51
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian,..., h, 26
33
3. Harta pencaharian
Harta pencaharian merupakan harta yang diperoleh melalui pembelian atau
taruko.52 Harta ini bila pemiliknya meninggal dunia makan harta akan jatuh pada
jurainya sebagai harta pusaka rendah. Dalam pelaksanaannya hal ini telah disepakati
ninik-mamak dan alim ulama untuk dihapuskan sejak tahun 1952 dan dalam
pelaksanaannya saat ini diganti agar harta juga dapat diwariskan kepada anaknya.
4. Harta suarang
Beberapa nama lain dari harta suarang yang dikenal di Minangkabau adalah;
harta pasuarangan, harta basarikatan, harta kaduo-duo, atau harta salamo baturutan.
Maksud dari harta ini adalah seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-
sama oleh suami-istri selama masa perkawinan. Adapun harta bawaan dari suami
atau istri sebelum terjadinya pernikahan, bukanlah termasuk ke dalam kelompok
harta suarang. 53
Warisan di Minangkabau, baik berupa gelar maupun harta kekayaan harus
diwariskan kepada kemenakan secara turun-temurun. Kemenakan laki-laki dan
perempuan sama-sama berhak menerima warisan dengan kewajiban yang berbeda.
Gelar akan diwariskan kepada laki-laki dan harta pusaka akan diwarisi oleh
perempuan. Di samping itu pihak laki-laki juga berhak dalam pemanfaatan dan
pengembangan harta pusaka bersama dengan pihak perempuan. Hak utama atas hasil
harta adalah untuk kepentingam kaum secara matrilineal.
Fungsi harta menurut adat Minangkabau dan hukum faraid54
1. Harta tidak hanya sekedar jaminan hidup ekonomi, tetapi mempunyai fungsi
moral-sosial-harga diri di samping sebagai modal (ekonomi). Fungsi ini di
52
Taruko diartikan sebagai harta hasil cetakan sawah baru atau menggarap tanah ulayat.
Dimana proses harta ini diperoleh atas usaha penggarapan tanah negara/nagari atau tanah kaumnya
yang belum dimanfaatkan dan belum adanya kepemilikan, kemudian diolah oleh salah satu anggota
kaum, sehingga dengan usahanya tersebut menjadikan kepemilikan tanah jatuh kepadanya.
53
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia,..., h, 53-54.
54
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian,..., h, 28-29
34
antarannya adalah upaya menghargai jerih payah nenek moyang, lambang ikatan
berdunsanak atau yang bertalian darah, dimana kepemilikan bersama
melambangkan hubungan sosial mereka dalam bersodara, sebagai jaminan hidup
kaum sepanjang masa dan sebagai lambang harga diri keluarga sekaum.
2. Hukum tanah adat Minang di dasarkan pada prinsip keluarga jangka panjang dan
abadi sepanjang masa. Sedangkan faraid didasarkan pada prinsip keluarga dalam
satu generasi, sehingga setelah pembagian harta kewarisan di sinyalir tidak ada
lagi fungsi jaminan perekat bagi keutuhan keluarga yang berdunsanak kandung
itu.
Pada dasarnya kewarisan di Minangkabau tidak serta merta seluruhnya
ditetapkan berdasarkan hukum adat, karena memang hanya harta tertentu saja, seperti
harta pusaka yang pewarisannya diatur oleh adat. Harta pusaka ini secara turun
temurun telah diwariskan dari nenek moyang tanpa diketahui siapa pemiliknya
secara perorangan, terlebih dalam setiap generasi harta tersebut telah tercampur
dengan harta pencaharian masing-masing anggota kaum dan pewarisannya telah
berlangsung lama bahkan sebelum masuknya Islam. Menurut Syekh Abdul Karim
Amarullah (Buya Hamka), harta pusaka dapat dianalogikan sebagai harta wakaf atau
harta musabalah seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab sehingga
boleh diambil atau dipanen sendiri hasilnya namun tidak dengan tanahnya. Harta
tersebut tidak dapat diwariskan kepada ahli waris menurut ketentuan syarak, karena
pada dasarnya harta tersebut bukanlah hak milik pribadi secara utuh. Pemilik dari
harta pusaka adalah moyang yang tidak ingin hartanya terjual atau berpindah tangan
kecuali untuk anak kemenakannya dalam kaum tersebut.55 Selanjutnya di luar harta
pusaka, kewarisan di Minangkabau tetap melaksanakan pembagian berdasarkan
hukum kewarisan Islam. Sebagaimana janji yang terpatri dalam falsafah “adat
basandi syarak, dan syarak basandi kitabullah”.
55
Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Budaya dan Hukum Adat di
Minangkabau,... ,h, 306-307.
BAB III
MASYARAKAT MINANGKABAU
KENAGARIAN TUJUAH KOTO TALAGO
35
36
Wilayah terakhir yang terbentuk adalah Padang Kandi dan Padang Japang, yang
masuk wilayah kekuasaan Datuak Karaing. Dengan adanya Tujuah Koto
(wilayah/daerah), maka pemuka adat semasa itu memberi nama dengan Nagari
Tujuah Koto Talago.58
58
Profil Kenagarian Tujuah Koto Talago dalam Laporan Tim Pendataan Nagari Tujuah Koto
Talago Tahun 2017
59
Sumber Tim Pendataan Nagari Tujuah Koto Talago Tahun 2017
38
2. Pendidikan
Kenagarian Tujuah Koto Talago secara umum adalah wilayah pendidikan, di
mana banyaknya sekolah-sekolah dan madrasah yang berdiri di wilayah tersebut.
Sebagaimana komitmen pendidikan agar dapat memajukan bangsa,masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago juga meyakini hal tersebut. Nagari Tujuah Koto
Talago berkomitmen untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan baik bagi
masyarakatnya. Terbukti bahwa sejak zaman Belanda sudah berdiri Lembaga
PendidikanPesantren Darul Funun El Abbasiyah dan Tarbiyah Islamiah di Jorong
Padang Japang.
Kemajuan dalam bidang pendidikan terus dikembangkan di Kenagarian
Tujuah Koto Talago. Beberapa orang putra putri daerahnya yang telah menorehkan
nama, baik dalam skala kecil di daerah maupun skala nasional diantaranya, Prof. Dr.
Kamardi Talud, Prof. Drs. H. Erman Mawardi, Dipl. AIT, Prof. Ganefri, Prof.
Yunuardi, Prof. Dewi Fortuna Anwar, Prof. Safrudin Karimi, Prof. Helmi, Prof.
Suardi Tarumun dan Prof. Nursiwan Hasan yang semuanya merupakan putra asli
Tujuah Koto Talago dan banyak di antaranya yang berkiprah di luar daerah.
Pendidikan formal yang ada di nagari Tujuah Koto Talago masuk kategori
baik dan seluruhnya terpenuhi, dimulai dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA.
Keberadaan sekolah tersebut banyak memberikan konstribusi dalam peningkatan
sumber daya manusia masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Kelengkapan
sarana pendidikan juga terlihat dari banyaknya jumlah lembaga pendidikan yang
berada di wilayah kenagarian, di antaranya 7 Taman Kanak-kanak (TK), 11 Sekolah
Dasar (SD), 5 Sekolah Menengah Pertama yang terdiri dari SMP dan MTs, dan 4
Sekolah Menengah Atas yang terdiri dari SMA dan MA.
3. Sosial Keagamaan
Tidak hanya ekonomi serta pendidikan, sosial keagamaan Kenagarian Tujuah
Koto Talago juga mendapat perhatian yang tidak kalah penting dalam
masyarakatnya. Hal ini tampak dengan adanya9 masjid, 28 musala dan 18
39
60
Sumber Data Nagari Tujuah Koto Talago tahun 2017
40
Sampai saat ini terlihat bahwa kondisi lingkungan Kenagarian Tujuah Talago
berada dalam kondisi yang cukup baik, dimulai dari kondisi perekonomian
masyarakatnya, sarana dan prasarana pendidikan baik formal maupun informal,
hingga kepada sosial keagamaan masyarakatnya merupakan masyarakat yang taat
beragama namun kuat pula dengan hukum adat.
61
Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam dalam Upaya Mewariskan
dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, Cet-1 Bandung:
Citra Umbara, 2007, h, 25-27
62
Sumando atau yang biasa disebuturang sumando, merupakan bentuk hasil perkawinan
semenda pada masyarakat matrilineal Minangkabau.Perkawinan dilakukan dengan cara mendatangkan
laki-laki dari luar lingkungan untuk maksud menghasilkan keturunan yang akan memperkembangkan
anggota kelompok itu. Suami datang dan menetap di rumah istrinya, tetapi dia tetap sebagai orang
luar. Posisi dan kedudukan suami di rumah keluarga istri inilah yang kemudian disebut sebagai urang
sumando.
42
Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang merasa belum perlu untuk
membawa harta hasil pencahariannya ke luar rumah ibunya, di mana hal tersebut kait
berkait dengan sistem matrilineal itu sendiri63.
Pertama, sikap dan rasa keterikatan seseorang dalam lingkungan keluarga
matrilinealnya. Hal ini disebabkan oleh keberadaannya di lingkungan keluarga ibu
yang cukup lama. Banyaknya waktu yang telah dihabiskan menyebabkan keintiman
dan kasih sayang mendalam. Kedekatan ini kemudian dimunculkan kembali dalam
tanggung jawab antara mamak dan kemenakan.
Kedua, sebagai urang sumando atau pendatang, hidup di lingkungan rumah
istrinya dalam waktu yang sedikit sekali, sebab sebagian besar waktu telah
dihabiskan dengan keluarga ibunya. Keintiman yang timbul tidak seperti halnya
dengan keluarga ibu, sehingga tidak adanya rasa keterikatan di rumah anak dan
istrinya.
Dilihat dalam pelaksanaan kewarisan, adat Minangkabau tidak sepenuhnya
matrilineal dan tidak pula sepenuhnya parental bilateral seperti halnya hukum
kewarisan Islam. Salah satunya adalah keberadaan harta pusaka dalam masyarakat
Minangkabau. Kaum perempuan yang diberikan kedudukan istimewa dalam menjaga
harta pusaka juga tidak bisa sewenang-wenang terhadap harta tersebut. Hak
pengawasan tetap berada pada mamak (laki-laki). Di samping itu mamak juga belum
berhak bertindak atas harta pusaka jika belum diadakannya kesepakatan kaum. Dari
sinilah terlihat asas perimbangan dalam pertentangan kaum laki-laki dan kaum
perempuan di Minangkabau.
Dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan Minangkabau saling
mempengaruhi satu sama lain. Keberadaan laki-laki minang yang dianggap tidak
memiliki rumah, justru dalam kenyataannya memiliki dua rumah yaitu rumah
keluarga secara matrilineal dan rumah istri sebagai semenda. Di samping
63
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau,Cet-1 PT Gunung Agung: Jakarta, 1984, hal 262
43
mengusahakan ladang milik kaumnya, laki-laki juga dapat melakukan hal yang sama
dari milik istrinya. Laki-laki dalam kaumnya bertanggung jawab sebagai mamak dari
kemenakannya dan dari pihak istrinya bertanggungjawab sebagai ayah dari anak-
anaknya.
BAB IV
44
45
64
Wawancara Pribadi dengan Nasrullah, Ustad dan Da‟i, Rumah Kediaman Bapak
Nasrullah,pada Minggu 10 Juni 2018.
46
tengah masyarakat. Keberadaan harta pusaka tinggi yang hanya dapat diwariskan
secara kolektif dibandingkan harta pusaka rendah yang dapat diwariskan menjadi
kepemilikan individu masih banyak di Kenagarian Tujuah Koto Talago. Sedikitnya
kepemilikan harta pusaka rendah menyebabkan pembagian harta kewarisan secara
hukum Islam tidak banyak dilakukan. Sehingga upaya pewarisan harta mengikuti
hukum adat sebagaimana harta pusaka tinggi lebih banyak mendominasi di tengah-
tengah masyarakat.65
Beberapa faktor penyebab pelaksanaan pembagian harta kewarisan yang
terjadi di Kenagarian Tujuah Koto Talago diantaranya.
a. Sebab kerelaan masing-masing ahli waris
Sebagian besar dari kelompok masyarakat ini melaksanakan pembagian harta
warisan beralasan, bahwa mereka takut akan termakannya harta yang bukan menjadi
haknya,66 sehingga dengan melaksanakan pembagian harta warisan dapat
menghindarkan diri dari keadaan tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
terhadap 10 keluarga yang telah melaksanakan pembagian warisan ini, di dapati
bahwa dalam keluarga tersebut telah mendapatkan pendidikan mengenai hukum
kewarisan Islam. Dalam penyampaiannya diketahui bahwa ilmu kewarisan banyak
diperoleh dari mendatangi ustaz ataupun tokoh agama setempat yang telah benar
nyatanya paham mengenai ilmu waris.
Bapak H. Salman adalah salah satu dari keluarga yang telah melaksanakan
pembagian harta kewarisan di dalam keluarganya. Keluarga Bapak H. Salman
sepakat menyegerakan pelaksanaaan pembagian harta kewarisan, karena khawatir
akan timbul perebutan harta di kemudian hari. Harta yang dibiarkan tanpa adanya
penetapan hak kepemilikan secara pribadi, akan memberikan peluang penguasaan
harta secara sepihak di antara ahli waris yang lebih berani dari pada ahli waris lain.
65
Wawancara Pribadi dengan Roni, Pemuda dan Pemerhati adat Jorong Tanjung Jati,
Melalui Media Seluler, pada Senin 1 Oktober 2018
66
Wawancara Pribadi dengan Budiman, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Bapak Budiman, Selasa 12 Juni 2018
47
Beliau mendatangi Bapak Nasrullah selaku mubalig yang sudah tidak diragukan
lagikeilmuannya dalam urusan kewarisan. Bapak Nasrullah sendiri adalah ustaz yang
telah mempelajari ilmu waris melalui pendidikan formal dan non formal. Bapak
Nasrullah telah menamatkan studi sarjana hingga magister di bidang hukum. Hukum
Islam khususnya ilmu faraid konsen beliau pelajari, sehingga kerap di datangi
masyarakat dalam menangani persoalan kewarisan.67
Keluarga Ibu Mardhiati adalah salah satu keluarga yang juga telah berhasil
melakukan pembagian harta kewarisan dalam keluarganya. Pelaksanaan pembagian
kewarisan bahkan telah dilakukan dua kali saat ayah dan ibunya meninggal.
Pelaksanaan pembagian harta kewarisan ini disepakati oleh seluruh ahli waris saat
itu, bahwa mereka semua menginginkan dilakukannya pembagian harta warisan
orang tuanya tersebut. Ibu Mardhiati juga menyampaikan bahwa tidak adanya
kerugian dalam melaksanakan hukum Allah. Sehingga pelaksanaan pembagian harta
kewarisan mereka laksanakan dan diterima dengan baik oleh seluruh ahli waris.68
Pelaksanaan pembagian kewarisan yang berhasil dilakukan oleh beberapa
keluarga di Kenagarian Tujuah Koto Talago ini juga tidak terlepas dari lingkungan
keluarga tempat tinggalnya. Ditemukan bahwa, mayoritas keluarga yang berhasil
melaksanakan pembagian kewarisan bukan dari sebab sengketa, tumbuh dari
lingkungan keluarga yang terpelajar. Keadaan ini tampak pada riwayat pendidikan
dan pekerjaan yang mereka tekuni, sehingga dapatlah dikatakan pendidikan dan
pengetahuan seseorang akan suatu keilmuan mempengaruhi perilaku dan pandangan
hidup seseorang dan kesadaran sebab memahami hukum lebih terlihat dalam
kelompok tersebut.
Seperti halnya Bapak H. Salman seorang pensiunan guru dan Ibu Mardhiati
yang juga berprofesi sebagai seorang guru, keduanya berhasil melaksanakan
67
Wawancara Pribadi dengan Salman, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah KediamanBapak Salaman, Selasa 12 Juni 2018
68
Wawancara Pribadi dengan Mardhiati, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Mardhiati, Kamis 14 Juni 2018
48
69
Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Cet-1
Jakarta: CV Rajawali, 1984, h, 7
49
70
Wawancara Pribadi dengan Mega, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Mega, Minggu 17 Juni 2018
71
Wawancara Pribadi dengan Ainil Khairani, Narasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu ainil Khairani, Selasa 19 Juni 2018
72
Wawancara Pribadi dengan Sulaiman, Ustaz, Media Seluler, Sabtu 17 Februari 2018
51
73
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Cet-1 Jakarta: PT Gunung Agung, 1984, h, 329
52
74
Wawancara Pribadi dengan Hamdi Syakban, Narasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan), Rumah Kediaman Bapak Hamdi Syakban, Rabu 20 Juni 2018
53
permintaan pembagian harta warisan di antara ahli waris, harta tetap dalam
kepemilikan berkelompok yang dimanfaatkan secara bersama-sama.75
b. Kesulitan dalam melaksanakan pembagian kewarisan
Kesulitan dalam melaksanakan pembagian harta kewarisan disebabkan
karena harta warisan bukan lagi warisan dari pewaris yang pertama, namun
keinginanpembagian baru dilakukan setelah berganti generasi. Banyaknya ahli waris
serta sulit diketahui keberadaannya, menjadikan beberapa ahli waris yang tersisa
hanya memanfaatkan penggunaan harta dan memilih untuk tidak dilakukan
pembagian harta kewarisan. Akhirnya harta kewarisanpun tetap dibiarkan tanpa
dilakukan pembagian menurut hukum kewarisan Islam.76
c. Keberadaan perempuan dalam adat yang dipegang masyarakat
Perempuan yang dijadikan sebagai simbol penjaga rumah gadang dalam adat
Minangkabau, memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pelaksanaan hukum
kewarisan di lingkungan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Pada kasus
ini, umumnya laki-laki di Kenagarian Tujuah Koto Talago lebih memilih untuk tidak
mengambil hak kewarisan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Harta
peninggalan tersebut diberikan kepada saudara ahli warisnya yang perempuan, tanpa
dilakukannya pembagian harta kewarisan. Harta warisan sepenuhnya ditinggalkan di
rumah orang tunya yang kemudian dikelola oleh saudarinya yang perempuan.
Perempuan tersebut akan bertugas menjaga dan mendiami rumah dan harta
peninggalan kedua orang tuanya, sedangkan laki-laki terbiasa untuk merantau
ataupun menetap dirumah istrinya ketika telah menikah. Keadaan inilah yang
kemudian membuatnya enggan melaksanakan pembagian harta.
Keluarga Ibu Ernita adalah salah satu keluarga yang menyepakati
pengelolaan harta peninggalan orang tuanya pada pihak perempuan. Sedikit berbeda
75
Wawancara Pribadi dengan Yetti, Narasumber yang Belum Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Yetti, Sabtu 23 Juni 2018
76
Wawancara Pribadi dengan Datuak Tumbi, Tokoh Adat, Media Seluler, Minggu 24 Juni
2018
54
77
Wawancara Pribadi dengan Ernita, Masyarakat,Rumah Kediaman Ibu Ernita, Senin 25 Juni
2018
55
An-Nisa‟ : 2
َ
Artinya: dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan
kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-
tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
An-Nahl : 114
َ
Artinya: Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya
saja menyembah.
An-Nisa‟ : 14
78
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Islam, ... h, 51.
56
يهن رَعهَمنَأهمتي
79
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h, 10.
80
Observasi Langsung di Wilayah Kenagarian Tujuah Koto Talago, Sabtu 9 Juni 2018
57
81
Wawancara Pribadi dengan Roni, Pemuda dan Pemerhati adat Jorong Tanjung Jati, Melalui
Media Seluler, pada Senin 1 Oktober 2018
82
Wawancara Pribadi dengan Nasrullah, Ustad dan Da‟i, Rumah Kediaman Bapak
Nasrullah,pada Minggu 10 Juni 2018
58
83
Wawancara Pribadi dengan Nelfita Gusti, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Kediaman Ibu Nelfira Gusti, Sabtu 30 Juni 2018
84
Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, Cet
1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, h, 62.
59
85
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah Sumatera
Barat...... h, 144-145
86
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau,…….h, 150
60
kewarisan Islam, tetapi kesadaran justru dipicu oleh keadaan dan kondisi yang terjadi
di tengah keluarga saat diupayakannya pembagian kewarisan.
Di antara masyarakat yang hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD)
hingga sekolah menengah pertama (SMP). Menuntut ilmu bukan lagi menjadi fokus
utama. Kehidupan digantikan dengan semangat bekerja dan mengumpulkan uang.
Kekhawatiran tidak dapat mengumpulkan harta nyatanya lebih besar ditemukan
dalam masyarakat. Sehingga lebih fokus pada hasil pekerjaan yang mereka usahakan
dibandingkan harus mengurusi harta peninggalan orang tuanya. Minimnya
pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam menangani persoalan kewarisan
juga turut mematikan gerak masyarakat dalam melaksanakan hukum kewarisan
sebagaimana ajaran agama Islam.
Lebih spesifik mengenai kesadaran kelompok masyarakat yang telah
melaksanakan pembagian harta kewarisan, dinilai sudah memiliki kesadaran yang
cukup baik dalam melaksanakan hukum kewarisan Islam.Keinginan untuk hidup
dalam kerukunan serta upaya untuk memperoleh ketenangan batin dalam hidup,
menjadi landasan dan tujuan dilakukannya pembagian harta waris tersebut.87
Pada kelompok masyarakat yang belum melaksanakan pembagian harta
kewarisan, kurangnya kesadaran dalam lingkungan keluarga tanpa latar belakang
pendidikan cukup terlihat jelas.Banyak dari masyarakat merasa belum perlu untuk
melaksanakan pembagian kewarisan. Selain itu, kesadaran diantara masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago juga dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah harta
yang akan dibagi. Kecilnya jumlah harta yang diyakini oleh ahli waris, menjadikan
daya tarik terhadap harta berkurang. Mayoritas masyarakat justru merasa malu jika
tetap melaksanakan pembagian kewarisan, sehingga banyak di antara ahli waris
akhirnya memilih untuk memanfaatkan penggunaan harta secara bersama-sama.
Kenyataannya bahwa semakin tinggi pendidikan ahli waris dalam keluarga tersebut,
87
Wawancara Pribadi dengan Ermita, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Ernita, Sabtu 30 Juni 2018
61
88
Wawancara Pribadi dengan Yasni, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Yasni, Sabtu 30 Juni 2018
62
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Masyarakat daerah Kenagarian Tujuah Koto Talago pada dasarnya adalah
masyarakat adat. Adat yang dijaga dan agama Islam yang di yakini masyarakat
berjalan berdampingan sehingga tampak tidak ada celah di antara keduanya.
Kewarisan merupakan salah satu persoalan yang selalu diperdebatkan, baik
dalam ketentuan agama maupun ketentuan adat, terlebih pada pelaksanaan
pembagiannya.Selain pengetahuan dan pendidikan ilmu kewarisan yang belum
optimal di tengah-tengah masyarakat, penyebaran harta pusaka tinggi juga masih
mendominasi di wilayah tersebut. Akibatnya pengetahuan dan manfaat kewarisan
Islam tidak banyak dirasakan masyarakat.
Pengetahuan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago terhadap
pelaksanaan hukum kewarisan Islam masih sangat rendah hingga saat ini.
Rendahnya pengetahuan masyarakat ini tidak terlepas dari kondisi kehidupan
serta sosial masyarakatnya. Faktor yang paling mempengaruhi pengetahuan
hukum kewarisan Islam dalam masyarakat ini adalah pendidikan dan adat istiadat
masyarakatnya. Kesempatan mendapatkan pendidikan ilmu kewarisan yang
terbatas dan adat istiadat yang telah mengakar.
Adat yang dimaksud disini adalah sistem kekerabatan matrilineal yang dijaga
masyarakat, nyatanya memunculkan rasa tanggung jawab dan kedekatan yang
dalam pada keluarga matrilinealnya. Banyaknya waktu yang telah dihabiskan,
dan hubungan yang terjalin diantara seseorang dengan keluarga ibunya ini
menumbuhkan kasih sayang yang lebih kepada sanak saudara dari pihak ibu.
Sebagaimana sistem adat matrilineal yang mengambil garis keturunan dari pihak
ibu, keluarga yang diakui sebagai keluarga yang sebenarnya adalah yang satu
garis keturunan ibu.
64
65
B. Saran
Keyakinan untuk beragama sudah tidak diragukan lagi dalam masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago. Lingkungan masyarakatnya juga sudah sangat
mendukung dalam upaya pelaksanaan ajaran agama Islam secara Kaffah. Terlepas
dari pengaruh sistem kekerabatan matrilineal, penanaman ajaran mengenail ilmu
kewarisan Islam perlu lebih di tekankan dalam setiap kegiatan ataupun pengajian
agama yang di lakukan oleh masyarakat. Tokoh agama, ustaz dan para mubalig perlu
menekankan pengajaran terhadap hukum kewarisan Islam dalam setiap ceramah
yang disampaikan, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap kewarisan Islam akan
semakin berkembang dan memunculkan kesadaran yang besar dalam diri dan
lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian pelaksanaan pembagian harta
kewarisan berdasarkan hukum Islam dapat dilaksanakan seluruh masyarakat secara
optimal
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zuhrah, Muhammad, Hukum Waris menurut Imam Ja‟far Shadiq, PT.
Lentera Basritama, 2001.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl Deskripsi
Berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, Cet 1, Surabaya: Pustaka Hikmah
Perdana, 2005.
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H, Cet-1, Depok: Gema Insani
Press, 1996.
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap
Hukum, Cet-2 Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad,Pembagian Waris menurut Islam, Cet- 1,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet-2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian, Cet-4,
Jakarta: Citra Harta Prima, 2011.
Budi Nugraheni, Desti dan Haniah Ilhami, “Pembaruan Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia”, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2014.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro,
Semarang, 2000.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama
RI Tahun 2013, Panduan Praktis Pembagian Waris dalam Islam.
Ghafor Anshori, Abdul, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan
Bilateral Hazairin.
67
68
Piliang, Edison, dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Budaya dan Hukum Adat di
Minangkabau, Cet-2, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah
Sumatera Barat, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan
Daerah, 1978.
Riadi, Edi “ Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia” dalam
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia ed Muchit A.
Karim,Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2012.
Riwayat Attubani, Adat dan Sejarah Minangkabau, Cet-1, Padang: Media
Eksplorasi, 2012.
Rosyadi, A. Rahmat, dan M. Rais ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Cet-1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Said Suhiarto, Umar, Pengantar Hukum Indonesia, Cet-2,Jakarta: Sinar
Grafika, 2014.
Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, Cet 1,
Bandung: Penerbit Alumni, 1993.
Soekanto, Soerjono, Antropologi Hukum Proses Pengembangan Ilmu Hukum
Adat, Cet-1 Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok sosiologi Hukum, Cet. Ke-5, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010.
Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan
Tata Hukum, Cet-6, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti.
Suhiarto, Said Umar, Pengantar Hukum IndonesiaJakarta: Sinar Grafika,
2014, Cet. Ke-2.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan
BW, Cet-4, Bandung: PT Refika Aditama, 2013.
Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT.
Alumni, 2010.
70
Nama : Nasrullah
Pekerjaan : Pendakwah dan Ustad
Hari / Tanggal : Minggu, 10 Juni 2018
Tempat : Rumah Kediaman Bapak Nasrullah
Nama : Ernita
Hari / Tanggal :Senin ,25 Juni 2017
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Tempat : Kediaman Ibu Ernita
Nama : Roni
Hari / Tanggal : Senin 1 Oktober 2018
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama : Yetti
Hari / Tanggal : Sabtu, 23 Juni 2018
Tempat : Kediaman Ibu Yetti, Kenagarian Tujuah Koto Talago
Pekerjaan : Rumah Tangga
Gambar 6 : Potret Ibu Yasni dan Rumah Kediamannya, Narasumber yang Telah
Melaksanakan Pembagian Kewarisan, Sabtu 30 Juni 2018
Gambar 7 : Potret Bapak Salman dan Rumah Kediamannya, Narasumber yang Telah
Melaksanakan Pembagian Kewarisan, Selasa 12 Juni 2018.