Anda di halaman 1dari 98

PELAKSANAAN HUKUM KEWARISAN ISLAM MASYARAKAT

MINANGKABAUKENAGARIAN TUJUAH KOTO TALAGO

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

HIDAYATUL FITRI
NIM.11140440000051

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H/2018 M
ABSTRAK

Hidayatul Fitri. NIM 11140440000051. PELAKSANAAN HUKUM


KEWARISAN ISLAM MASYARAKAT MINANGKABAU KENAGARIAN
TUJUAH KOTO TALAGO. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2018 M. ix + 67 + 18.
Skripsi ini membahas pelaksanaan pembagian hukum kewarisan Islam di
masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto Talago.Masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago hidup dengan menjaga adat, tetapi juga kuat dalam keyakinan
beragama Islam. Dibuktikan dengan 100% masyarakatnya yang beragama Islam.
Pelaksanaan pembagian kewarisan yang telah diatur dalam Agama Islam ini,
nyatanya sulit ditemukan praktiknya pada masyarakat yang agamis tersebut. Secara
khusus, skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, pemahaman
serta kesadaran masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago dalam melaksanakan
pembagian kewarisan sebagaimana tuntutan Agama Islam.
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode field research dengan
objeknya adalah masyarakat lingkup Kenagarian Tujuah Koto Talago. Sumber data
primer diperoleh melalui wawancara dan observasi langsung ke masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago. Sumber data sekunder dilakukan dengan kajian
kepustakaan guna memperoleh teori-teori yang relevan dalam pembahasan skripsi
pelaksanaan hukum kewarisan Islam masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah
Koto Talago.Hasil observasi dan wawancara dianalisis menggunakan pendekatan
kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kewarisan Islam di tengah
masyarakat tidak optimal. Penyebabnya adalah karena pendidikan dan kesempatan
mempelajari ilmu kewarisan yang terbatas, selain itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan
pembagian waris menurut adat istiadat yang berlaku di Kenagarian Tujuah Koto
Talago.

Kata Kunci : Kewarisan Islam, Minangkabau, Pelaksanaan,


Kenagarian Tujuah Koto Talago

Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, MA


Daftar Pustaka : 1982 s.d 2017

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
mencurahkan nikmat jasmani dan ruhani kepada kita semua. Salawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, suri tauladan bagi seluruh
umat manusia. Alhamdulillahirabbil‟alamin penulisan skripsi “Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam Masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto Talago” telah
penulis selesaikan. Dukungan moril dan materil dari berbagai pihak terus penulis
dapatkan tanpa henti. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih dan menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.,Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang senantiasa mengarahkan,
membimbing serta memotivasi mahasiswa dengan begitu semangat.
3. Hj. Hotnidah Nasution, MA., dosen pembimbing skripsi sekaligus sebagai dosen
pembimbing akademik penulis. Beliau memberikan banyak ide, gagasan, saran,
serta kritik yang sangat membangun daya pikir penulis. Lebih dari itu, Beliau
adalah sosok dosen yang senantiasa sabar, mendengarkan dan mengarahkan
penulis, baik saat penulisan skripsi maupun selama menjadi dosen pembimbing
akademik. Semoga, seluruh usaha, kesabaran dan kerja keras Beliau menjadi
amal salih baginya dan mendapatkan pahala yang sebaik-baiknya.
4. Wali Nagari Tujuah Koto Talago dan jajarannya, terkhusus kepada Bapak
Nasrullah, M.Ag., S.H dan Ibu Retnita yang dengan segenap hati membantu serta
memfasilitasi penulis selama melaksanakan penelitian di wilayah Kenagarian
Tujuah Koto Talago.
5. Bapak Drs. Hasbi dan Ibu Dra. Khaidawati, orang tua yang luar biasa penulis
sayangi dan hormati. Keduanya tidak pernah patah semangat untuk selalu

vi
memberikan pendidikan yang lebih baik kepada putra putrinya, serta tidak henti-
hentinya berdo‟a demi kesuksesan penulis dan saudara-saudaranya. Tidak lupa,
penulis ucapkan terimakasih kepada adik-adik penulis Jamilatul Husna, Fikrul
Arif, Syaiful Nur Salam dan Miftahur Rizki. Mereka adalah pemupuk semangat
juang penulis, agar dapat menjadi contoh dan tauladan sebagai anak tertua.
6. Anggun Pratiwi, S.Psi. dan Defi Uswatun Hasanah, S.Sy.,MA. yang banyak
memberikan bantuan moril dan materil dan senantiasa meluangkan waktunya
untuk menjadi teman diskusi penulis. Keduanya selalu mengarahkan penulis,
serta memberikan motivasi kepada penulis dalam menghasilkan karya yang lebih
baik.
7. Seluruh rekan mahasiswa/i angkatan 2014. Terkhusus pada mereka yang
senantiasa menjadi tempat bertukar pikiran dan memotivasi penulis diantaranya,
Ratih Afriana Ningsih, Wilda Utami Rizqillah, Meidiana Lara Kharisma, S.H,
Permata Syifa Nur Rahmah, Neng Emawati, S.H, dan Taufik Hidayat.
8. Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago secara umum, terkhusus para
narasumber yang telah meluangkan waktunya dalam sesi wawancara yang
penulis lakukan.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih
yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum
keluarga Islam. Selain itu, penulis juga mengharapkan kritik serta saran yang
membangun dari seluruh pembaca dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan
kualitas tulisan ini kedepannya.

Jakarta, 13 September 2018 M


2 Muharam 1440 H

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ............................................ 8
F. Metode Penelitian ...................................................................... 11
G. Teknik dan Sistematika Penulisan ............................................. 12
BAB II KESADARAN HUKUM, KEWARISAN ISLAM DAN
KEWARISAN MINANGKABAU ................................................ 14
A. Makna dan Aspek Kesadaran Hukum ....................................... 14
B. Konsep Hukum Kewarisan Islam .............................................. 16
C. Kewarisan dalam Budaya Minangkabau ................................... 26
BAB III MASYARAKAT MINANGKABAU KENAGARIAN TUJUAH
KOTO TALAGO ........................................................................... 35
A. Letak Geografis dan Demografis ............................................... 35
B. Kondisi Ekonomi, Pendidikan, dan Sosial Keagamaan ............. 37
C. Pengaruh Sistem Kekerabatan (Matrilineal) dalam Masyarakat 40

viii
BAB IV HUKUM KEWARISAN ISLAM DI KENAGARIAN
TUJUAHKOTO TALAGO ........................................................... 44
A. Pengetahuan Hukum Kewarisan Islam Masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago ................................................................... 44
B. Pemahaman Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago
terhadap Pentingnya Pembagian Waris dalam Islam ................. 54
C. Kesadaran Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam pada
Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago ............................ 58
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 64
A. Kesimpulan ................................................................................ 64
B. Saran .......................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 67
LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang rahmatan lil‟alamin telah mengatur pembagian
kewarisan dengan sebaik-baiknya. Hukum waris merupakan bagian dari syariat Islam
lebih spesifiknya kepada aspek muamalah. Hukum kematian yang mutlak terjadi
pada setiap manusia menjadi faktor utama pentingnya mengkaji hukum waris.Hukum
waris ini menempati kedudukan yang penting dalam agama Islam. 1 Al-Qur‟an
sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan pentingnya hukum waris secara
lebih terperinci jika dibandingkan dengan hukum-hukum lain yang mayoritas masih
tergolong global. Pembagian kewarisan di jelaskan tidak hanya terbatas pada orang-
orang yang berhak atas suatu warisan, namun sampai kepada pelaksanaan hingga
persentase warisan masing-masing ahli waris diatur jelas dalam Al-Qur‟an.
Secara umum, kewarisan adalah perkara harta benda yang ditinggalkan
seseorang setelah datangnya kematian. Dalam kehidupan bermasyarakat, memahami
hukum kewarisan merupakan hal yang krusial sebab kewarisan akan terus
berlangsung selama masih adanya kehidupan manusia di muka bumi.
Hukum Islam dikenal sejak Islam itu masuk dan bermukim di nusantara.
Perkara waris merupakan salah satu bagian dari Hukum Islam yang dapat mengikuti
perkembangan bangsa Indonesia, bahkan pelaksanaan Hukum Kewarisan pun
kemudian dianggap sebagai jalan menuju kesempurnaan Islam. Hukum Islam hadir
menjawab problematika yang muncul di masyarakat. Bagi seorang muslim
memahami hukum Islam berarti seseorang telah menjalankan syariat agama terhadap
dirinya.

1
Abdul Ghafor Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam., Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin, t.t.,t.p.,t.th., h. 8.

1
2

Kewarisan dalam pemahaman hukum Islam adalah proses pemindahan harta


benda yang bernilai uang dari si-mayyit kepada ahli warisnya yang masih hidup
dengan ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan di dalam
ajaran agama Islam. Ketentuan pemindahan berdasarkan ajaran agama Islam ini
hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
Sebelum hukum Islam masuk dan berkembang, hukum adat telah lebih dulu
mendominasi setiap perkembangan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga
memungkinkan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat juga akan dipengaruhi
oleh hukum adat dalam praktik hidup keseharian yang berkembang di masyarakat.
Hukum adat sendiri merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia, yang
turut mendalami sejarah pembentukan peraturan di Indonesia dan masih banyak
ditemukan praktiknya pada masyarakat pedesaan. Dalam praktiknya, penerapan serta
pelaksanaan hukum kewarisan Islam di masyarakat pedesaan dengan eksistensi
hukum adat yang telah mengakar, tentu tidak menutup kemungkinan dalam
pelaksanaannya akan lebih didominasi oleh hukum adat. Sehingga hukum adat
menjadi pertimbangan yang tidak kalah penting dalam penerapan hukum kewarisan
berdasarkan hukum Islam.
Indonesia memiliki beberapa aturan hukum yang berkembang dalam
penyelesaian mengenai pembagian kewarisan, diantaranya: Hukum Islam, sistem
hukum Perdata Barat (BW) dan keanekaragaman sistem hukum kewarisan adat yang
berkembang di Indonesia, salah satunya hukum kewarisan adat Minangkabau. Dalam
pelaksanaannya pembagian harta warisan dilakukan berdasarkan kesepakatan para
pihak ahli waris. Sementara dalam penyelesaian sengketa hak waris yang berujung di
pengadilan, kewenangan penyelesaian sengketa bagi orang yang beragama Islam
dilimpahkan ke Pengadilan Agama dan bagi Non-Islam menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri,sehingga penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan
hukum masing-masing agamannya.
3

Selanjutnya, dalam tatanan perkembangan hukum kewarisan adat di


Indonesia, pada prinsipnya masing-masing daerah mengacu pada sistem keturunan
yang berkembang dan diakui dalam masyarakat, di Indonesia terdapat 3 sistem
keturunan yaitu:2
1. Sistem keturunan bapak (patrilineal), dimana pertalian darah diambil berdasarkan
garis keturunan bapak, seperti yang ada pada suku Batak, Nias, atau Sumba.
2. Sistem keturunan ibu (matrilineal), dimana pertalian darah yang diyakini sebagai
keturunan klannya adalah dari garis keturunan ibu, seperti suku Minangkabau
dengan aturan bermamak-kemenakan dalam hukum persekutuannya.
3. Sistem keturunan keduanya (parental), yaitu pertalian darah diambil dari kedua
belah pihak, baik menurut garis bapak maupun menurut garis ibu. Keduannya
diyakini sama-sama memiliki hak atasnya. Contohnya pada kebudayaan suku
Jawa, Madura, Sunda, Aceh dan Dayak.
Hukum waris yang telah dibangun semenjak abad ke-7 masehi, dalam tatanan
teori ilmu ini tidaklah mengalami perubahan dan akan terus dipertahankan seperti
adanya, hal ini dikarenakan hukum waris dianggap sebagai hukum Tuhan yang
berlaku sepanjang masa dan tidak menerima perubahan. 3
Pembaruan hukum waris di Indonesia pertama kali dikenalkan oleh Hazairin
dengan teori waris bilateral, selanjutnya diikuti dengan gagasan Munawir Sadzali
dengan reaktulisasi hukum Islam. Ayat-ayat Al-Qur‟an menurut Hazairin perihal
hukum waris itu mencita-citakan bentuk masyarakat bilateral. Berdasarkan pemikiran
ini, Hazairin kemudian memberikan pemahaman, bahwa Hadits tentang kewarisan
bukan lagi produk hukum yang berlaku umum di masyarakat Islam tetapi berlaku
menyeluruh sesuai dengan waktu dan keadaan. Persoalan lain mengenai kewarisan

2
Umar Said Suhiarto, Pengantar Hukum Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Cet. Kedua,
h., 123.
3
Edi Riadi, ed. Muchit A. Karim, Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia dalam
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama, 2012, h, 59.
4

Islam juga muncul dari Munawir Sadzali dalam kritikan yang lebih tajam
perihalporsi waris wanita setengah dari bagian laki-laki. Hal ini menurutnya adalah
suatu kekakuan dalam memahami hukum Islam, sebab baginya hukum Islam
menerima perubahan sesuai budaya dan perkembangan zaman.
Masalah waris bagi umat Islam tidak hanya merupakan perpindahan tangan
harta peninggalan saja, melainkan juga sebagai ketaatan terhadap hukum agama dan
proses ibadah. Secara umum kewarisan dalam Islam mengatur diantaranya; harta
peninggalan dari seorang yang telah meninggal, ahli waris dari harta yang
ditinggalkan, dan besar bagian masing-masing yang diperoleh ahli waris terhadap
harta yang ditinggalkan.4
Bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam, dengan sistem
keturunan matrilineal yang dipakai, menimbulkan sejumlah persoalan dan pertanyaan
hukum, bagaimana pelaksanaan serta penerapan kewarisan Islam dalam masyarakat
tersebut? bagaimana kesadaran masyarakatnya dalam menerapkan hukum kewarisan
Islam?. Penghargaan terhadap perempuan yang cukup besar dalam masyarakat
Minangkabau tergambar dari penarikan garis keturunan yang diperkenalkan.
Kelahiran anak perempuan menjadi sebuah dambaan karena akan menjadi penerus
klannya dan akan merawat budaya serta harta kaumnya.
Secara umum persoalan ini cukup banyak menarik perhatian berbagai pihak
terutama kalangan akademisi dan pengamat hukum. Sebab kesadaran hukum yang
terdapat di dalam masyarakat erat kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum yang
diyakini dalam masyarakat. Begitu pula kesadaran penerapan hukum kewarisan
Islam dalam masyarakat yang notabennya menjadikanagama Islam sebagai dasar
keyakinan utama masyarakatnya. Dekatnya hubungan adat dan agama dalam
kehidupan keseharian masyarakat, mengakibatkan hukum yang seharusnya
dijalankan seringkali terlupakan, sebab keduannya sudah saling menyatu dan

4
Desti Budi Nugraheni dan Haniah Ilhami, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2014, h, 8.
5

tenggelam dalam budaya masyarakat. Gagasan yang akan terbangun adalah, bahwa
hukum adat yang dipakai sudah sangat relevan dan sejalan dengan keyakinan
agamanya. Persoalan inilah yang akhirnya berpeluang memicu perkembangan
pemikiran dengan mengatasnamakan “demi kemaslahatan”. Akhirnya kesalahanpun
tetap dapat diupayakan dalam konteks “demi kemaslahatan”, kesadaranpun
seringkali baru akan muncul setelah dijumpainya pelanggaran.5
Berdasarkan uraian di atas muncullah pertanyaan-pertanyaan besar terhadap
kesadaran perkembangan praktik kewarisan Islam di Minangkabau khususnya
Kenagarian Tujuah Koto Talago. Bagaimana kesadaran dari masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago sendiri terhadap pentingnya praktik pembagian kewarisan Islam,
dalam masyarakat yang satu keyakinan, meyakini kebenaran daripada ajaran Islam?.
Kenagarian Tujuah Koto Talago merupakan sebuah kenagarian di wilayah
Kecamatan Guguak Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, yang merupakan
sebuah kenagarian dengan penduduk 100% beragama Islam 6, bagaimana kesadaran
pelaksanaan hukum kewarisan Islam di masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago,
terlebih dengan adanya budaya matrilineal dalam penarikan garis keturunan di
masyarakatnya, apakah penerapan hukum kewarisan yang berkembang masih sesuai
dengan hukum Islam? Bagaimana penyelesaian urusan harta warisan di Kenagarian
Tujuah Koto Talago saat ini?.
Segenap pertanyaan terkait pelaksanaan pembagian kewarisan Islam di
Kenagarian Tujuah Koto Talago hingga kepatuhan masyarakatnya dalam
menjalankan syariat Islam menjadi titik tolak penulis untuk mengangkat tema skripsi
“Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Masyarakat Minangkabau Kenagarian
Tujuah Koto Talago.”

5
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2010, cet.5, h, 2.
6
Data Wilayah dan Penduduk Kenagarian VII Koto Talago, Tahun 2017
6

B. Identifikasi Masalah
Berikut penulis mencoba mengidentifikasi masalah-masalah yang berpeluang
muncul seputar penelitian ini
1. Bagaimana kedudukan ahli waris dan harta warisan di Kenagarian Tujuah
Koto Talago?
2. Bagaimana mekanisme pembagian harta warisan di Kenagarian Tujuah Koto
Talago?
3. Apakah jumlah harta mempengaruhi praktik kewarisan Islam di Kenagarian
Tujuah Koto Talago?
4. Apakah posisi dan kedudukan seseorang dalam keluarga mempengaruhi
kesadaran pelaksanaan kewarisan Islam di Kenagarian Tujuah Koto Talago?
5. Apakah hukum adat dan faktor sosial lingkungan mempengaruhi penerapan
hukum kewarisan Islam di Kenagarian Tujuah Koto Talago?
6. Bagaimana praktik pembagian warisan sesungguhnya dalam Islam?
7. Apakah meninggalnya seseorang, harta yang ditinggalkan harus langsung
disegerakan pembagiannya?
8. Bagaimana eksistensi hukum kewarisan Islam dalam adat Minangkabau di
Kenagarian Tujuah Koto Talago?
9. Bagaimana pandangan hukum kewarisan Islam terhadap perilaku saling
berkerelaan atas harta warisan di antara sesama ahli waris?
10. Bagaimana pengetahuan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago tentang
hukum waris?
11. Bagaimana sikap masyarakat tentang pelaksanaan pembagian waris di
kampung mereka?

C. Batasan dan Rumusan Masalah


1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang penulis
paparkan diatas, persoalan yang timbul mengenai Pelaksanaan
7

HukumKewarisan Islam Masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto


Talago cukup kompleks dan luas. Oleh karena itu, demi mempertajam
pembahasan, penulis memberikan batasan-batasan sebagai berikut.
a. Skripsi ini meneliti tentang pelaksanaan hukum kewarisan Islam di
masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto Talago
b. Sumber utama skripsi ini adalah informan yang berada di Kenagarian
Tujuah Koto Talago diantaranya tokoh agama, tokoh adat dan masyarakat
secara umum
c. Fokus penelitian ini adalah masyarakat Minangkabau di Kenagarian
Tujuah Koto Talago
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan-
batasan yang telah penulis kemukakan, maka ditarik rumusan masalah
sebagai berikut.
a. Bagaimana pengetahuan masyarakat kenagarian Tujuah Koto Talago
tentang hukum kewarisan Islam?
b. Bagaimana pemahaman masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago
terhadap pentingnya pembagian kewarisan dalam Islam?
c. Bagaimana kesadaran masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago dalam
melaksanakan hukum kewarisan Islam?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan hukum kewarisan Islam pada
Masyarakat Minangkabau di Kenagarian Tujuah Koto Talago.
b. Untuk mengetahui pemahaman masyarakat Kenagarian Tujuah Koto
Talago akan pentingnya pembagian waris dalam Islam.
c. Untuk mengetahui kesadaran masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago
dalam melaksanakan hukum kewarisan Islam
8

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan terhadap
praktik penerapan hukum kewarisan Islam yang ada di tengah-tengah
masyarakat saat ini dan mengetahui seberapa sadar masyarakat dalam
melaksanakan hukum kewarisan Islam, khususnya pada masyarakat
Minangkabau di Kenagarian Tujuah Koto Talago.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi para
peneliti dan akademisi yang tertarik untuk mendalami sejauh mana
pelaksanaan hukum kewarisan Islam di tengah-tengah masyarakat, khususnya
pada masyarakat Minangkabau di Kenagarian Tujuah Koto Talago, serta
penelitian ini dapat menjadi pembanding penelitian-penelitian sejenis
kedepannya.

E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu


Sebelum lebih jauh masuk membahas penelitian ini penulis telah lebih dulu
melakukan review studi terdahulu melalui studi pustaka. Berdasarkan temuan yang
penulis peroleh untuk perkara waris di dominasi oleh pembahasan analisis
perbandingan hukum kewarisan adat dan hukum kewarisan Islam serta perihal
kewarisan harta pusaka. Sedangkan penelitian terhadap pelaksanaan hukum
kewarisan Islam itu sendiri di masyarakat dan bagaimana kesadaran masyarakat
dalam mengamalkannya sangat minim.
Sedangkan untuk menjaga agar penerapan hukum kewarisan Islam tetap
terjaga dengan baik dalam masyarakat dan tidak dirusak oleh pemahaman lain yang
bertentangan dengan hukum kewarisan Islam itu sendiri, pengetahuan
danpengamalan terhadap hukum kewarisan Islam perlu dikaji sehingga terjaga dalam
penerapannya.
9

Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai persoalan kewarisan pernah


dilakukan diantaranya:
1. Aep Saifullah, dengan judul “Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan adat
Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam”, konsentrasi Peradilan Agama, FSH,
UIN Jakarta, tahun 2007. Penelitian fokus pada perbandingan dan pengaruh
hukum Islam di kewarisan adat Sunda, dimana masyarakat Sunda sebagai objek
bahasan utama, dalam hal pembagian kewarisan masyarakat tidak menerima
kewarisan Islam karena dianggap tidak memiliki keadilan dan akhirnya memilih
mengutamakan asas kekeluargaan. Sehingga perbandingan kewarisan yang
dipakai adalah 1:1 antara laki-laki dan perempuan (sama rata). Penelitian ini
menggunakan metode dekriptif analisis dengan study kepustakaan (Library
Research) dan pendekatan sejarah (analisis histories). Berbeda dengan penelitian
penulis, yang mana masyarakat yang menjadi objek kajiannya adalah masyarakat
yang kuat dalam beragama (Islam), pembagian kewarisan berdasarkan hukum
Islam 2:1 juga diakui keberadaannya. Masyarakat penelitian penulis memiliki
adat dan hukum Islam yang sama-sama dijadikan landasan hidup masyarakatnya,
namun dalam hal pelaksanaan, masyarakatnya punya landasan keyakinan yang
kuat bahwa hukum adatnya bersumber dari ajaran Islam dan tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
2. Moh. Khoiruddin, dengan judul “Tradisi Penyelesaian Waris di Desa Tunggul
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan”, merupakan skripsi konsentrasi
Peradilan Agama, FSH, UIN Jakarta tahun 2011. Titik fokus penelitian ini adalah
pada pertentangan hukum adat dan hukum Islam yang terjadi di desa Tunggul
Kecamatan Paciran Lamongan, dimana dalam pelaksanaannya warga desa lebih
mengutamakan penerapan hukum adat daripada hukum Islam karena anggapan
hukum adat lebih menjamin rasa keadilan. Sehingga pembagian kewarisan yang
diterapkan adalah 1:1 antara laki-laki dan perempuan dan yang menjadi objek
utama penelitiannya adalah masyarakat Desa Tunggul Lamongan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan studi kasus kajian antropologi hukum.
10

Berbeda dengan penelitian penulis pada masyarakat Kenagarian Tujuah Koto


Talago. Penulis mengedepankan penelitian terhadap pelaksanaan hukum
kewarisan Islam di lingkungan masyarakatnya. Penulispun tidak membahas
masing-masing bagian yang diterima ahli waris, sebab pembagian yang
dilakukan disini sesuai dengan hukum Islam 2:1.
3. Achmad Fahmi Ramdhan, dengan judul “Pelaksanaan Hukum Kewarisan di
Perkampungan Budaya Betawi Srengseng Sawah di Jakarta Selatan”, merupakan
skripsi konsentrasi Peradilan Agama, FSH, UIN Jakarta pada tahun 2014. Fokus
penelitiannya adalahpelaksanaan hukum yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
sebab membagi waris antara laki-laki dan perempuan ditetapkan pembagian
perbandingan 1:1, serta yang menjadi objek utama penelitiannya adalah
masyarakat dan kebudayaan Betawi. Metode penelitian yang digunakan adalah
studi kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research).
Hal ini berbeda dengan penelitian penulis yang berjudul pelaksanaan hukum
kewarisan Islam di Kenagarian Tujuah Koto Talago dengan kondisi lingkungan
masyarakatnya 100% beragama Islam, ditambah dengan sistem keturunan
matrilineal dan berbeda pula dengan Betawi yang condong pada sistem keturunan
parental. Penulis juga memiliki responden dari masyarakat yang pernah dibagi
kewarisannya, sedangkan pada penelitian Achmad Fahmi hanya mewawancarai
secara umum.
Selain beberapa perbedaan di atas penelitian ini juga memiliki kelebihan
daripada penelitian sebelumnya. Pertama penelitian ini difokuskan pada masyarakat
dalam lingkup yang lebih kecil sehingga target mengenai upaya penelusuran
pelaksanaan hukum kewarisan Islam di tengah-tengah masyarakat dapat
tercapailebih optimal. Kedua penelitian ini berusaha menyajikan data-data
pendukung penelitian dari informan-informan yang memang terkait langsung dengan
penelitian ini, dan sangat berkompeten dibidangnya. Sehingga data yang diperoleh
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Ketiga penelitian ini dilakukan di
tengah-tengah masyarakat yang kental dengan ajaran hukum adat namun kuat pula
11

dalam keyakinan beragama yaitu agama Islam. Keyakinan ini dibuktikan


dengankeberadaan penduduknya yang 100% adalah muslim.

F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kualitatif. Melalui
pendekatan riset lapangan, penulis kemudian mendeskripsikanhasil penelitian
atas ukuran data-data yang ada di lapangan mengenai pengetahuan,
pemahaman, hingga kesadaran pelaksanaan hukum kewarisan Islam di
masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago.
2. Sumber data dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan dua jenis
sumber, yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang penulis kumpulkamselama 2 dua bulan
di Kenagarian VII Koto Talago.Data ini dikumpulkan melalui wawancara
dengan tokoh agama, tokoh adat dan masyarakat Minangkabau Kenagarian
Tujuah Koto Talagoyang terkait langsung dengan masalah kewarisan ini.
Masyarakat tersebut akan menjadi responden penulis saat melakukan
wawancara dan observasi.
b. Data Skunder
Data skunder yang digunakan oleh penulis diperoleh dari buku-buku,
jurnal dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan
kewarisanIslam, kewarisan adat dan lainnya yang relevan dalam memperkuat
penelitian serta analisis penulis.
3. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data melalui observasi dan
wawancara. Wawancara akan banyak dilakukan terhadap masyarakat yang
telah berkeluarga, ataupun masyarakat yang telah cukup umur dan telah
pernah melakukan pembagian kewarisan, agar lebih mengerti persoalan yang
sedang di bicarakan.Selain itu pada penelitian ini juga penulis menggunakan
teknik dokumenter berupa audio (wawancara) dengan masyarakat wilayah
12

Kenagarian Tujuah Koto Talago yang penulis jabarkan dalam lampiran hasil
wawancara dengan narasumber, agar dapat mempelajari secara lebih dalam
realitas yang mungkin akan terlewatkan saat melakukan observasi.
4. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil
observasi dan wawancara yang diperoleh. Sehingga mendapat suatu
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan
yang penulis lakukan dalam penelitian ini.
5. Teknis penulisan penelitian skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Skrispsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2017.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skrispsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.Adapun
sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.
Bab I bagian pendahuluan merupakan kerangka dasar yang menjadi acuan
dalam penelitian ini. Bab ini berisi latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, review kajian
terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II membahas mengenai kesadaran hukum kewarisan Islam dan kewarisan
Minangkabau. Bab ini berisi kajian kepustakaan dan hal-hal yang berhubungan
dengan konsep kewarisan Islam dan budaya Minangkabau. Bagian ini merupakan
landasan teori penulis dalam memperkuat analisi yang akan penulis uraikan.
Bab III membahas masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto
Talago. Bab ini menjelaskan tentang profil dan gambaran umumKenagarian
TujuahKoto Talago. Bagaimana sistem kewarisan yang selama ini terbentuk dan
berjalan di Kenagarian Tujuah Koto Talago.
13

Bab IV mengenai hukum kewarisan Islam di Kenagarian Tujuah Koto


Talago. Bab ini menjelakan tentang analisis penulis mengenai pengetahuan hukum
kewarisan Islam masyarakat Minangkabau Kenagarian Tujuah Koto Talago serta
kesadaran masyarakat dalam pelaksanaannya. Dalam bab ini akan diuraikan segala
bentuk persoalan pelaksanaan kewarisan Islam di Kenagarian Tujuah Koto Talago
dalam kondisi masyarakat yang taat serta kuat dalam beragama.
Bab V adalah bagian penutup dan kesimpulan dari seluruh hasil kegiatan
penelitian serta analisis yang penulis lakukan. Bagian ini akan melengkapi dan
menjadi titik terang hasil penelitian serta analisis penulis. Kemudian, akan diakhiri
dengan saran serta masukan dari penulis setelah melakukan penelitian.
BAB II

KESADARAN HUKUM, KEWARISAN ISLAM DAN KEWARISAN


MINANGKABAU

A. Makna dan Aspek Kesadaran Hukum


Hubungan antara manusia satu dengan lainnya dalam bermasyarakat diatur
oleh serangkaian kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam perilaku, yang secara bertahap
akan melembaga membentuk pola-pola. Sehingga dalam kelahiran, sesungguhnya
manusia telah sadar bahwa dirinya adalah bagian dari kesatuan manusia dalam
kelompok yang lebih besar dan dalam kesatuan kebudayaan.7
Prof. Dr. Soerjono Soekanto dan Prof. Purnadi Purbacaraka dalam bukunya
“sendi-sendi ilmu hukum dan tata hukum”, mengemukakan unsur-unsur adanya
hukum diantaranya adalah unsur idiil dan unsur riil. Unsur idiil ini mencakup hasrat
susila dan rasio manusia. Hasrat susila akan menghasilkan azas-azas hukum, seperti:
“tidak ada hukuman tanpa kesalahan”. Kemudian rasio manusia menghasilkan
pengertian-pengertian hukum, seperti: subyek hukum, hak dan kewajiban dan
seterusnya. Selanjutnya unsur riil terdiri dari manusia, kebudayaan materiil dan
lingkungan alam. Apabila kemudian unsur ini melahirkan kaidah-kaidah hukum
melalui filsafat hukum, maka unsur riil ini akan melahirkan tata-hukum. 8
Hubungan yang tercipta dalam kehidupan bermasyarakat tentu memiliki
kaidah-kaidah yang telah mereka sepakati dan tetapkan, baik itu yang tertulis
ataupun yang berkembang mengikuti perkembangan kehidupan tanpa mereka sadari.
Perlu dipahami bahwa, aspek kesadaran hukum tumbuh dan terbentuk dari dalam diri
manusia, mengenai hukum yang ada ataupun hukum yang diharapkan ada. Hal ini

7
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010, h, 2
8
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
Cet-6, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, h, 4

14
15

juga berkaitan dengan fungsi apa yang hendak dijalankan oleh hukum dalam
masyarakat.9 Kemudian dituangkan dalam bentuk penerapan di dalam kesehariannya.
Sedikit banyaknya kesadaran hukum dijadikan sebagai cerminan dari aturan-aturan
yang telah disepakati dan diharapkan, dengan menyatakan patuh serta tunduk
dibawahnya. Sebagai suatu kajian sosiologi hukum, kenyataan ini serasi dengan
objek utama kajian sosiologi hukum, di mana kesadaran hukum menjadikan
masyarakat sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi berbagai kaidah sosial
yang disepakati dan diakui, dengan kesadaran dan pernyataan diri tersebut, setiap
warga masyarakat harus menaatinya.
Aspek kesadaran hukum dalam Islam, dapat dipahami dari teori kredo dan
teori kedaulatan Tuhan. Teori kredo identik dengan persaksian atau syahadah (dalam
Islam), mengharuskan tunduk serta patuh seorang yang memiliki keyakinan hukum
terhadap agama yang dianutnya.10 Kesadaran beragama yang dimiliki cenderung
memiliki pengaruh yang lebih besar dalam dirinya dalam memunculkan kesadaran
hukum. Hal ini termaktup dalam QS. Al-Fatihah ayat 5 yang berbunyi:



Artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan.
Dari teori di atas dapat dipahami bahwa setiap insan yang telah menyatakan
diri untuk tunduk pada suatu keyakinan, wajib sepenuhnya patuh dan tunduk dalam
persaksiannya itu, sehingga ketundukannya ini menjadi sebuah kesadaran hukum
baginya.
Secara sederhana menilai kesadaran hukum dapat dilakukan dengan mempelajari
proses terbentuknya norma hukum dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Perbuatan

9
Achmad Ali, dan Dr.Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, Cet-2
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, h, 141
10
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011, h, 20
16

yang dilakukan secara berulang dan dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang
sudah seharusnya, akan menjadi hukum kebiasaan.11Dalam penerapannya di
masyarakat terdapat hukum yang berasal dari ajaran agama yang diyakini dan
terdapat pula hukum adat atau kebiasaan yang memang berkembang mengikuti
perjalanan hidup keseharian masyarakatnya. Berdasarkan ajaran agama Islam,
masyarakat yang memiliki hukum adat serta meyakini pula hukum agama Islam,
dalam penerapan aspek kesadaran hukum tidak boleh bertentangan antara kesadaran
beragama dan kesadaran hukum adat. Hukum Islam haruslah menjadi landasan
kesadaran utama yang harus didahulukan sebelum berpedoman pada hukum adat.
Secara tegas hukum Islam tidak boleh dikesampingkan dan hukum yang ada tidak
boleh menyalahi apalagi bertentangan dengan hukum Islam.
Faktor-faktor yang erat kaitannya dalam mempengaruhi kesadaran hukum
masyarakat, biasanya disebabkan oleh rasa takut terhadap sanksi yang akan
dikenakan apabila dirinya melanggar hukum, karena kepentingan-kepentingannya
akan terjamin dengan mengikuti hukum, karena pengetahuan dan pemahaman
masyarakat yang belum sesuai terhadap suatu hukum, atau bahkan kepatuhannya
memang disebabkan karena hukum yang berlaku dirasa sesuai dengan nilai-nilai
yang ada dalam dirinya, sehingga terbentuklah kepatuhan hukum dan kesadaran
hukum.12

B. Konsep Hukum Kewarisan Islam


Pusaka mempusakai sudah berlangsung sejalan dengan keberadaan manusia
itu sendiri. Setiap adanya kematian, kerabat yang masih hidup mewarisi dan
mengelola harta peninggalan13si-mayyit, meski hanya berdasarkan adat istiadat

11
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, Cet 1, Bandung:
Penerbit Alumni, 1993, h, 26
12
Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris,..., h, 30.
13
Harta peninggalan dalam hukum Islam disebut tirkah. Harta peninggalan adalah segala
suatu benda atau yang bernilai kebendaan yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh yang meninggal
dunia yang dibenarkan oleh syara‟ dan dapat diwarisi oleh para ahli waris. lihat: Kedudukan Wasiat
17

yangmereka ciptakan sendiri dimasanya. Sejarah kewarisan orang Arab zaman


Jahiliyah yaitu sebelum datangnya Islam juga dijalankan dengan sisa-sisa syari‟at
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ditambah dengan aturan yang mereka bentuk
sesudahnya.14 Dalam bahasa Indonesia, kewarisan adalah turunan dari kata dasar
waris yang berarti hal yang berhubungan dengan waris atau warisan. 15 Waris sendiri
berasal dari bahasa Arab, dimana kewarisan berasal dari kata al-Miirats,16 yang
diartikan sebagai perpindahan dari pada sesuatu yang adanya hak padanya setelah
wafatnya yang menjadi pemilik asal.
Mustofa Hasan, dalam bukunya Pengantar Hukum Keluarga sebagaimana
dikutip dari buku Hukum Warisan di Indonesia karangan Wirjono Prodjodikoro
(1991:12), hukum waris diartikan sebagai suatu cara penyelesaian perhubungan
hukum dalam masyarakat, yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat
wafatnya seseorang.17
Hukum Kewarisan sendiri dalam literatur hukum Islam memiliki banyak
penyebutan lain, diantaranya Fiqih Mawaris, Faraid, dan Hukmal-Waris.18
Penggunaan istilah Fiqih Mawaris atau fiqih tentang warisan lebih sering digunakan
dalam tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan, sedangkan penggunaan
istilah faraid lebih kepada penjelasan Allah SWT. tentang bagian yang di terima oleh

dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, h, 28 diakses dari
Fathurrahman Djamil, “wasiat: Makna, Urgensi dan Kedudukannya dalam Islam”, Artikel dalam
Mimbar Hukum, 1999, Nomor 38 Tahun IX.
14
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris untuk Warisan dalam Syari‟at
Islam, Cet- 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h, 13
15
KBBI Online, diakses pada 13 April 2018, pukul 20:28 WIB
16
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris menurut Islam, Cet- 1, Jakarta: Gema
Insani Press, 1995, h, 33
17
Mostofa hasan, Pengantar Hukum Keluarga, Cet-1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, h,
290
18
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet-3, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, h, 5
18

masing-masing ahli waris yang telah ditentukan dengan tetap dan pasti.19 Istilah lain
dalam bahasa Indonesia “hukum waris” merujuk kepada subjek yang dikenai
hukum,dalam hal ini adalah orang-orang yang berhak atas harta warisan yang di
tinggalkan.20 Secara terminologis ilmu Al-Mawarits di definisikan sebagai cara
menghitung bagian dari masing-masing ahli waris terhadap harta peninggalan
pewaris, serta untuk mengetahui ahli waris yang dapat menerima warisan beserta
kadar bagian harta yang dapat diterima,21 sehingga Ilmu al-Mawarits mencakup tiga
unsur :
1. Pengetahuan terhadap pihak-pihak yang menjadi ahli waris
2. Pengetahuan mengenai besar bagian yang berhak diterima masing-masing ahli
waris
3. Pengetahuan tentang cara perhitungan harta warisan yang akan diterima setiap
ahli waris
Kewarisan identik dengan sebuah perpindahan, kematian adalah sebab yang
menimbulkannya, sehingga terdapat peralihan kepemilikan yang mutlak di
dalamnya. Tidak hanya itu, kewarisan memerlukan pengaturan yang jelas serta tegas
guna meminimalisir segala bentuk persoalan yang akan mempermasalahkan
kewarisan tersebut di kemudian hari.
Al-Qur‟an dan Hadits sudah memberikan ketentuan pembagian waris yang
rinci dan jelas. Amin Husein Nasution, dalam bukunya “Hukum Kewarisan Islam
Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam” menjelaskan,
apabila terdapat perintah dalam Al-Qur‟an atau Hadits dengan nash yang sarih, maka

19
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris Ahkamul-Mawaarits
fil-Fiqhil-Islami, Cet- 1, Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2004, h, 12-13
20
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ... h, 6
21
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI Tahun
2013, Panduan Praktis Pembagian Waris dalam Islam, h, 13
19

hukum melaksanakannya adalah wajib, selama tidak ada dalil nash yang
menunjukkan ketidakwajibannya.22

1. Dasar hukum kewarisan


QS. An-Nisaa‟/4:7





Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan”.
Ayat di atas menunjukkan makna yang lebih luas, Syariat Islam jelas
memberikan ketetapan dan kepastian waris atas setiap bagian dari harta-harta
peninggalan keluarganya baik laki-laki ataupun perempuan, baik itu dari garis
keturunan laki-laki ataupun garis keturunan perempuan berdasarkan ketentuan yang
telah diatur pula di dalamnya, dimana keduanya juga memiliki hak atasnya. Ayat ini
secara tegas menentang perlakuan masyarakat jahiliyah yang mendiskriminasikan
perempuan saat itu dengan tidak memberikan kewarisan yang sesungguhnya menjadi
hak setiap keturunan baik laki-laki maupun perempuan.
QS. An-Nisaa‟/4:8



Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.

22
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Islam Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam, Cet-1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012, h, 50.
20

QS. An-Nisaa‟/4:9



Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya


meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar”.
Kewarisan Islam adalah masalah paling sempurna yang dijelaskan di dalam
Al-Qur‟an. Pentingnya melaksanakan pembagian kewarisan, sesuai dalam QS. An-
Nisaa‟/4:8 di atas. Perhatian dalam pembagian waris disampaikan tidak hanya bagi
ahli waris, tetapi keluarga yang tidak mendapat bagian warispun tidak lepas dari
perhatian Islam. Hal ini disebutkan dalam pemberian yang sekadarnya pada kerabat
atau para pihak yang turut hadir membantu dalam pelaksanaan pembagian warisan
tersebut.
Ayat selanjutnya dalam QS. An-Nisaa‟/4:9 kembali ditegaskan Allah untuk
pelaksanaan pembagian kewarisan dalam bentuk larangan meninggalkan keluarga
ataupun anak-anak mereka dalam keadaan yang lemah. Sebab meninggalkan dengan
kemampuan dan keadaan yang berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan
keluarga dalam keadaan susah dan meninta-minta, sehingga pembagian kewarisan
menjadi syariat yang harus menjadi perhatian untuk segera dilaksanakan.
Selain sumber dari ayat Al-Qur‟an, Amir Syarifuddin juga berpendapat,
bahwa terdapat pula hadits yang menerangkan mengenai kewarisan Islam
diantarannya:23
Hadis riwayat Abdullah Ibnu Abbas berbunyi:
َ ‫ضَبََأىَلَهَاَفَ َماَبَ َقيََفَ هَهوََ َله َول‬
َ‫ىَر هَجلَََذكَر‬ َ َ‫َألَحَ َق َواَالفَ َرَائ‬:
َ َ‫ال‬
َ َ‫ىَاللهَغَلَيَوََ َوسَلَمََق‬
َ َ‫صل‬ َ ََ‫النبَي‬
َ ََ‫اللهَعَنَ َوهَعَن‬
َ ََ‫عَنََإَبَنََعَبَاسَََرض‬

23
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet-1, Jakarta: Prenada Media, 2004, h, 12-16
21

Artinya:“Telah bersabda Rasulullah SAW: Laksanakan pembagian waris


kepada ahli warisnya, (bila) ada yang tersisa maka itu adalah bagian (ahli
waris) laki-laki yang terdekat”.
Hadits Nabi dari abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhari dan Muslim
ََ‫اَأ َولَىَبَالَ هَمؤََمَنََي َنَمَنََأَنَ هَفسَهَمََفَ َمنََ َماتََ َوعَلَيَ َوَ َديَن‬
َ َ‫َأن‬:
َ ََ‫ىَاللهَعَلَيَوََ َوسَلَمََقَال‬
َ َ‫النبَىََصَل‬
َ ََ‫الَ َعن‬
َ ‫اللهَعَنَ َوهَق‬
َ ََ‫ىَىَريََرةَََرض‬
َ‫عَنََأَبَ ه‬

َ‫َولَ َمَيَتََهركََمَا َلاَفَعَلَيَنَاَقَضَا هَؤَههَ َومَنََتََركََمَالََفَلَ َوَرثَتَو‬

Artinya:“Saya adalah lebih utama bagi seorang muslim dari diri mereka
sendiri. Siapa-siapa yang meninggal dan mempunyai utang dan tidak
meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan
melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk
ahli warisnya”.
Selain hadits diatas, terdapat juga ijma‟ dan ijtihad ulama yang membahas
tentang pelaksanaan pembagian waris yang belum ditemukan pada masa Rasulullah,
sehingga dalam hal ini ijma‟ dan ijtihad yang dilakukan para ulama semakin
menunjukkan pentingnya pembagian waris. Diantara contoh menarik ijtihad ulama
yang berkembang ialah kasus anak angkat dan ahli waris non-muslim yang
diperbolehkan menerima kewarisan, dimana ini bertentangan dengan hukum Islam.24
Persoalan lain juga dapat ditemukan pada wasiat wajibah, serta „aul dan raad yang
merupakan beberapa contoh dari hasil ijma‟ dan ijtihad para ulama. Hal ini
memberikan keilmuan baru serta perkembangan dalam ilmu kewarisan.

2. Asas-asas kewarisan Islam dan peralihan harta


a. Asas Ijbari
Asas Ijbari diartikan sebagai suatu peralihan yang tanpa melalui perencanaan,
dengan kata lain terjadi dengan sendirinya. Secara leksikal „ijbari‟ berarti sebuah
paksaan, sehingga kewarisan bukan lagi merupakan pilihan, tetapi berada pada
tingkatan yang lebih kuat yaitu kewajiban yang timbul sebab adanya kematian,

24
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011, h, 9
22

meskipun tanpa adanya kehendak dari pewaris ataupun ahli warisnya. Asas ijbari
juga dapat dilihat dengan beberapa unsur diantaranya:25
1) Segi pewaris, ijbari berarti tidak dapat menolak. Pewaris boleh jadi memiliki
sejumlah kemauan semasa hidupnya berkenaan dengan harta yang dimiliki, akan
tetapi keinginan tersebut dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan Allah, sehingga
tanpa berbuat sesuatu hal pun ahli waris telah ditetapkan.
2) Segi peralihan harta, ijbari berarti peralihan harta, sehingga harta si-mayyit
otomatis berpindah sesuai ketentuan Allah. Intinya sadar atau tidak, kematian
telah mendatangkan hak sebagai ahli waris.
3) Segi jumlah harta, ijbari berarti bagiannya telah jelas dalam ketentuan yang
ditetapkan Allah, sehingga setiap pihak terkait pada ketetapan tanpa ada porsi
untuk menambah ataupun mengurangi apa yang telah diperhitungkan.
4) Segi penerima peralihan harta, ijbari berarti telah memiliki ketetapan yang
menjadi pemiliknya, sehingga tidak dapat seorangpun ditambahkan ataupun
dikeluarkan dari ketentuan yang telah ditetapkan hak baginya.
b. Asas Bilateral
Asas bilateral berarti bahwa setiap orang memiliki hak kewarisan dari kedua
belah pihak yang menjadi kerabatnya, baik itu pihak laki-laki maupun pihak
perempuan, dimana keduanya saling mewarisi. Asas bilateral dibagi dalam dua
dimensi yaitu; baginya sebagai ahli waris pihak ibu atau ayahnya dan baginya
sebagai ahli waris saudaranya yang tidak memiliki keturunan ataupun orang tua.26
c. Asas Individual
Asas individual adalah setiap ahli waris berhak atas harta warisan yang telah
ditetapkan untuknya tanpa tergantung kepada pihak lain. Sebagai perseorangan, hak
dan kewajiban orang atau person tidak bergantung pada lain hal karena iya juga
25
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet-3, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008, h, 18
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h,
122
23

sebagai subyek hukum yang juga diakui.27 Kepemilikan pribadi dapat diperoleh
dengan penuntutat hak pribadi langsung tanpa diikuti oleh ahli waris lain.

d. Asas Keadilan Berimbang


Asas keadilan berimbang adalah keberadaan hak dan kewajiban yang
berimbang antara yang diperoleh dengan yang digunakan, selain itu dapat pula
dikatakan bahwa perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar penuntutat ataupun
penerapan hukum kewarisan Islam,28 diluar itupun kewarisan tetap dapat
dilaksanakan.
Upaya peralihan harta yang dilakukan di atas, terlihat bahwa pelaksanaan
kewarisan merupakan hal yang telah menjadi kewajiban, baik dari kekerabatan laki-
laki ataupun perempuan dan upaya penuntutat pembagian dapat pula dilakukan oleh
perorangan ataupun secara bersama-sama.

3. Rukun pelaksanaan kewarisan


Al-Mawarrits, yaitu orang yang meninggal dunia baik merupakan kematian
hakiki ataupun hukmiy yang ditetapkan oleh pengadilan dengan suatu sebab.
Sehingga menimbulkan hukum perpindahan harta kewarisan. Sedangkan dalam
Panduan Waris Direktorat Urusan agama Islam dan Pembinaan Syariah
Kementerian Agama RI, saat detik pertama mayyit menghembuskan nafasnya, harta
sudah berpindah kepada ahli waris.29

27
Riduan Syahrani,Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2010,
h, 41.
28
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, ... h, 19-24
29
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI, Panduan
Praktis Pembagian Waris dalam Islam, Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, 2013, h, 21.
24

a. Al-Warits, yaitu kerabat si-mayyit yang masih hidup, yang memiliki hubungan
darah dan dikenai ketetapan ahli waris terhadap dirinya, seperti yang timbul
akibat perkawinan dan hubungan darah.30
b. Al-Mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan, atau harta yang menjadi
kategori bisa diwariskan,31 sehingga mewariskan hak dan kewajiban tidak dapat
masuk dalam kategori ini.

4. Syarat-syarat kewarisan
a. Orang yang mewariskan telah meninggal dunia dengan sebenar-benarnya,
dengan melihat langsung dan mendapatkan bukti yang diterima secara syariat,
atau secara legal seperti orang yang hilang. Sehingga tidak ada berita
diketahui hidup matinya dengan pemberian jangka waktu sesuai ketentuan
syariat, maupun berdasarkan perkiraan seperti ibu hamil yang dipukul
perutnya oleh seseorang, kemudian janin tersebut mengalami keguguran sebab
pemukulan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan janin tersebut dapat
mewarisi sesuatu.
b. Ahli warisnya masih hidup, dapat disaksikan dengan mata serta diterima
secara syar‟i ketika orang yang memiliki warisan meninggal dengan sebenar-
benarnya. Sebab kadang masih banyak ahli waris yang masih diragukan
kehidupannya, seperti orang hilang dan anak yang masih dalam kandungan
serta ahli waris yang mati bersamaan waktunya dengan si mati.32
c. Pihak yang akan mendapatkan waris (ahli waris) diketahui secara definitif,
dimana jelas hubungan antara pewaris dan ahli waris. Seperti saudara

30
Hasbi Ash-Shiddiqy, Fiqih mawaris untuk Warisan dalam Masyarakat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973, h, 42.
31
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, Cet-1,Jakarta:
Senayan abadi Publishing, 2004, h, 28
32
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl Deskripsi Berdasarkan
Hukum Islam Praktis dan Terapan, Cet 1, Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005, h, 30.
25

yangakan mewarisi harta saudaranya tanpa adanya halangan dalam perolehan


harta kewarisan tersebut dan syarat ini khusus di pengadilan.33

5. Sebab-sebab mendapatkan kewarisan


a. Karena hubungan kekerabatan (Nasab), yaitu hubungan sebab kelahiran yang
dapat ditinjau berdasarkan tiga golongan yaitu:
1) Furu‟, yaitu anak turunan dari cabang dari si mati,
2) Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan adanya si mati,
3) Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mati melalui garis
menyamping.
b. Hubungan Perkawinan, dimana suami menjadi ahli waris bagi istri dan
begitupun sebaliknya istri menjadi ahli waris bagi suaminya yang meninggal.
c. Hubungan sebab Al-Wala‟, yaitu hubungan yang timbul sebab membebaskan
budak, sekalipun di antarannya tidak ada hubungan darah. Khusus dalam
kehidupan sekarang, hubungan ini hanya terdapat dalam tataran wacana saja.
d. Hubungan sesama Islam, hal ini dimaksudkan apabila seorang yang meninggal
dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya itu diserahkan kepada
pembendaharaan umum atau disebut Baitul Maal yang akan digunakan oleh
umat Islam.34

6. Penghalang yang menyebabkan tidak diperolehnya hak kewarisan


a. Hajb Hirmaan, yaitu terhalangnya ahli waris sebab keberadaan seseorang
lain yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Di antara ahli waris
yang akan selalu mendapatkan kewarisan tanpa adanya hukum hajb atas
dirinya adalah: 1) anak perempuan kandung si-mayyit, 2) anak laki-laki

33
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Madzhab, Cet 1, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009, h, 11-14
34
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h, 72-75
26

kandung si-mayyit, 3) bapak si-mayyit, 4) ibu si-mayyit, 5) suami si-mayyit


dan 6) istri si-mayyit. Selain ke enam orang di atas berlaku atasnya
hajbhirmaan.35
b. Perbudakan, di mana status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris,
c. Pembunuhan, di mana pewaris yang dibunuh oleh ahli waris akan gugur hak
kewarisannya terhadap pewaris tersebut,
d. Berlainan agama, di mana tidak berhaknya muslim dan non muslim saling
mewarisi, sehingga hubungan kekerabatan yang berbeda agama hanya
sebatas pergaulan yang bukan urusan agama.36

C. Kewarisan dalam Budaya Minangkabau


Peranan adat di Minangkabau cukup mengatur tata kehidupan masyarakatnya,
sehingga adat disebut sebagai undang-undang.Hukum dibentuk sejalan berdasarkan
keyakinan yang diterima dan diakui masyarakat. Hukum yang lahir ini dipelihara
oleh keputusan-keputusan warga masyarakat, terutama pihak yang dituakan
(berwibawa) di antara masyarakat.37
Adat Minangkabau sejak dahulu telah memiliki aturan-aturan dan norma
sosial yang mengatur kehidupan keseharian masyarakat, sehingga tercipta
keteraturan di tengah masyarakat. Hal ini terwujud dengan adanya aturan
bertatakrama dalam berhubungan dengan orang yang sekerabat maupun diluar
kerabat, serta pantang atau larangan yang harus diikuti. Pelanggar pantang atau
larangan adat juga akan dikenai sanksi adat dan yang berwenang adalah mamaknya
atau penghulu kaumnya.38

35
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris, Jakarta: Pustaka
Ibnu „Umar, 2009, h, 35-36
36
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,... h, 112
37
Umar Said Suhiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Cet-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, h,
115
38
Musyair Zainuddin, Ranah Minang dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Penerbit Ombak
(Anggota IKAPI), 2014, h, 31
27

Islam masuk dan berkembang di Minangkabau menggantikan ajaran Hindu


Budha yang sebelumnya dinilai tidak sesuai dengan falsafah hidup orang
minang.Kehadiran Islam mampu mendalami karakter dan budaya masyarakat
Minangkabau. Orang minang adalah penganut agama Islam yang taat dan boleh
dikatakan fanatik. Agama yang telah lebih diterima sejak berabat-abat ini seakan
tidak dapat dipisahkan dengan adat sebab pertalian yang mendalam. Kepercayaan
asli yang diperkirakan ada ialah kepercayaan terhadap arwah nenek moyang dan
kepercayaan akan kekuatan gaib. Kewajiban beribadat Islam, oleh orang minang
terlihat dengan dipaterinya janji yang mengatakan bahwa “adat basandi syarak dan
syarak basandi kitabullah”. Bagi orang minang, Islam tidak hanya agama tapi
39
merupakan bagian dari hidupnya.
Falsafah adat, “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, diartikan
bahwa adat Minangkabau itu bersumberkan Syariat Islam dan Syariat Islam
Minangkabau itu bersumberkan kitabullah (Al-Qur‟an dan Sunnah). Hal ini
membuktikan kuatnya pengaruh Islam di Minangkabau. Falsafah ini telah dimulai
sejak sumpah sakti bukit Maapalam pada awal abad ke-19. Sejak saat itu orang
minang sepenuhnya beragama Islam.40
Masyarakat Minangkabau sudah sangat terkenal dengan keteguhan dan
kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakatnya. Falsafah “adat
bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah” yang menjadi simbol hukum
adat yang mereka terapkan, telah menjadi dasar penerapan aturan dalam keseharian
masyarakat. Hal ini juga berarti bahwa adat dapat mereka jalankan dengan aman jika
dilindungi oleh agama mereka yaitu agama Islam.41

39
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah Sumatera
Barat, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978, h, 138
40
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Cet-1 Jakarta: PT Gunung Agung, 1984, h, 177
41
Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam, ... h, 96-97
28

Ada beberapa persamaan adat Minangkabau dan ajaran Islam yang


ditemukan, baik tentang dasar ataupun falsafahnya. Adat Minangkabau berpedoman
kepada alur dan patut, yang sebagai dasarnya adalah rasa dan periksa, cipta dan
karsa, dengan perkataan lain dapat disebut rasa kemanusiaan yang murni, perasaan
yang halus, pikiran yang tajam, cita-cita luhur dan kemauan yang kuat. Adat basandi
syarak dan syarak basandi kitabullah adalah falsafah orang minang sekarang dan
akan datang. Sebelumnya adat Minangkabau berpegang pada falsafah “alam
takambang jadi guru”, kemudian diganti karena mudahnya terjadi perilaku yang
tidak bersesuaian dengan ajaran Agama Islam dalam perkembangannya saat itu.
Banyak penyimpangan yang terjadi di tengah masyarakat, seperti mabuk-mabukan,
minum-minuman keras, berjudi dan lain sebagainya. Huru-hara banyak terjadi di
antara masyarakat Minangkabau. Pecahnya perang Paderi adalah puncak dari carut
marutnya kehidupan masyarakat Minangkabau saat itu. Falsafah“alam takambang
jadi guru” ini dinilai cukup luas cakupannya. Sebagaimana alam yang juga
merupakan ciptaan Tuhan, falsafah“alam takambang jadi guru” dengan mudah
disalah artikan dan terjadilah penyimpangan adat istiadat di masing-masing nagari
dalam beberapa abad pelaksanaannya.42
Berangkat dari sejarah panjang perkembangan Islam di wilayahnya yang
kuat, Minangkabau masih tetap eksis dengan adat dan budaya yang juga sudah
mentradisi dalam masyarakatnya. Kekayaan dalam pemahaman adat minang terdiri
dari dua jenis, yaitu “sako” berupa kekayaan tanpa wujud (immaterial), seperti gelar
penghulu, garis keturunan, pepatah petitih dan hukum adat. Kemudian “pusako”
yang lebih dikenal dengan harta pusaka.43 Dalam hal pandangan hidup, bagi orang
Minangkabau hidup adalah untuk berbuat jasa, sehingga mengenai pusaka orang
Minangkabau mengatakan “hiduik bajaso, mati bapusako” (hidup berjasa mati

42
Musyair Zainuddin, Ranah Minang dan Lingkungan Hidup, ... h, 29-30
43
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian, Cet-4, Jakarta: Citra Harta
Prima, 2011, h, 19
29

berpusaka). Artinya orang Minangkabau itu memberikan arti dan harga tinggi
terhadap hidup. Ungkapan mati berpusaka adalah harta sebagai lambang
kemakmuran dan strata sosial masyarakat. Mengembangkan dan memperbanyak
harta kaum adalah suatu keharusan dalam masyarakatnya. Selain itu hal ini juga
diperuntukkan bagi generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan
setelah mati. Sehingga banyak orang Minangkabau yang bekerja keras agar dapat
mempusakakan sesuatu bagi suku dan keturunannya. Dapatlah dipahami bahwa
semangat bekerja dan memupuk kekayaan dalam diri masyarakat, tidaklah semata
terbatas pada pemenuhan materi pribadi namun juga bagi anggota kaum, dan bagian
dari upaya menjaga nilai-nilai adatnya.44
Minangkabau adalah masyarakat matrilineal dengan sistem keturunan ditarik
berdasarkan garis pihak ibu atau nenek moyang perempuan. Adanya sistem
matrilineal ini turut memberikan pengaruh dalam pelaksanaan kewarisan dalam
masyarakat.Sebagaimana keturunan itu hanya dihitung dan ditelusuri menurut garis
perempuan saja, maka bentuk kesatuan tersebut dinamakan kesatuan masyarakat
matriachaat. Dalam sistem keturunan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris untuk
anak-anaknya. Anak-anak hanya akan memperoleh kewarisan dan menjadi bagian
dari kelompok suku ibu mereka, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota
keluarganya dari orang tuanya pula.45 Akibatnya struktur sosial Minangkabau
memberikan tanggungjawab yang berat kepada laki-laki minang, dengan mendorong
untuk berusaha memenuhi tuntutan agar berjasa kepada kerabat dan kampung
halamannya.46

44
Riwayat Attubani, Adat dan Sejarah Minangkabau, Cet-1, Padang: Media Eksplorasi,
2012, h, 65-66
45
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Cet-4,
Bandung: PT Refika Aditama, 2013, h, 41
46
Riwayat Attubani, Adat dan Sejarah Minangkabau, ... , h, 66
30

Asas-asas yang terkandung dalam sistem kewarisan Minangkabau:47


1. Asas Unilateral
Maksud asas unilateral adalah, hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis
kekerabatan, di mana yang mereka yakini adalah garis kekerabatan melalui ibu. Asas
kekerabatan ini juga dikenal dengan asas kewarisan Unilateral Matrilinial. Harta
pusaka dari nenek moyang hanya bisa diterima melalui garis keturunan ibu yang
diteruskan kebawah kepada anak cucu yang sama-sama dari garis keturunan ibu,
sedangkan untuk garis keturunan melalui bapak sama sekali tidak ada, baik dari atas
ataupun kebawahnya, karena seluruhnya dari pihak perempuan.
2. Asas Kolektif
Maksud asas kolektif ialah bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah
orang perorangan (individu), melainkan dimiliki oleh satu kelompok secara bersama-
sama. Harta warisan tidak dibagi-bagi melainkan hanya diteruskan kepada satu
kelompok generasi berikutnya dalam bentuk kesatuan yang utuh tanpa adanya
pembagian. Prinsip kewarisan tersebut didasari oleh pokok pikiran sebagai berikut:
a. Guna menjaga kekompakan di dalam keluarga. Penilaian ini di dasarkan atas
pemahaman bahwa bagaimanapun juga pembagian warisan tidaklah selalu
memuaskan semua pihak yang menerimanya, yang akhirnya akan menimbulkan
perasaan iri juga dengki dan dikhawatirkan akan berujung pada perselisihan di
antara anggota keluarga ataupun kaum, hingga memecah kekompakan yang ada.
b. Guna menjaga keutuhan harta. Hal ini di dasari oleh keyakinan sistem kolektif
akan lebih menyulitkan harta tersebut keluar dari kelompok atau kaum, sehingga
penjagaan harta kaum akan lebih terakomodir. Selama harta menjadi kepemilikan
bersama, semua pihak dapat mengontrol keberadaan dan penggunaannya.
Singkatnya asas kolektif tidak menghendaki adanya pembagian harta. Harta
dimanfaatkan mengikuti kepentingan kelompok, seperti keluar dari rumah

47
Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
Cet-2, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013, h, 295-296.
31

gadang dan mendirikan rumah di atas tanah kaum akibat bertambahnya anggota
kelompok suku, yang umumnya karena bertambahnya anggota kaum.
3. Asas Keutamaan
Maksud asas keutamaan disini adalah adanya tingkatan-tingkatan dan hak
yang lebih utama antara satu pihak dibandingkan pihak lainnya. Keutamaan ini
biasanya diterima oleh seorang yang dirinya ditetapkan sebagai penghulu48 dan
penghulu akan memimpin kaum serta pengawasan terhadap harta pusaka. Adanya
keutamaan ini disebabkan oleh bentuk-bentuk lapisan kekerabatan yang terdapat
dalam sistem kekerabatan Matrilineal Adat Minangkabau. Urutan lapisan
kekerabatan pada Adat Minangkabau diantaranya:
a. Kemenakan bertali darah, merupakan hubungan kekerabatan yang paling dekat
dan merupakan hubungan atas kesamaan keturunan yang di telusuri melalui garis
ibu dari atas ke bawah.
b. Kemenakan bertali air, yaitu orang datang yang dijadikan anak kemenakan oleh
penghulu pada sebuah nagari.49
c. Kemenakan bertali budi, yaitu karena kebaikan budi kaum yang di datangi, oleh
rasa kasihan serta tingkah laku yang baik sehingga sudah dianggap sebagai anak
kemenakan.
d. Kemenakan bertali emas, merupakan orang-orang yang tidak sedarah dan tidak
pula sesuku, tetapi datang dan menetap untuk mendapatkan hak kekeluargaan
dari kaum tersebut.
Urutan di atas memiliki keutamaan dalam kewarisan, yang masing-masing
tidak bisa dialihkan kepada tingkatan di bawahnya. Selama urutan dengan hubungan
terdekat dari garis ibu masih ada, kelompok di bawahnya akan tertutup hak mewarisi.

48
Penghulu adalah ketua adat atau pemimpin dari masing-masing suku. Biasanya adalah laki-
laki tertua dalam suatu kaum, namun bukanlah hal yang mutlak sebab juga dibutuhkan kecakapan.
Setiap penghulu di panggil dengan sebutan datuak.
49
https://palantaminang.wordpress.com/sejarah-alam-minagkabau/g-sistem-kepemilikan/,
diakses pada 20 Mei 2018, Pukul 21.31 WIB.
32

Sistem kepemilikan harta di Minangkabau diyakini bercorak komunal. Hal ini


bahkan terjadi sebelum masuknya Islam. Ukuran kaya adalah yang memiliki tanah
yang luas. Tanah di sini adalah milik kaum, dan kaum dengan tanah terluas lah yang
menjadi kelompok terpandang. Sistem kewarisan model ini dikenal dengan sistem
kewarisan kolektif berdasarkan kelembagaan. Maksud kelembagaan di sini adalah
keluarga sebagai suatu kesatuan yang genealogis. Harta kewarisan yang biasanya
berupa tanah dan lahan pertanian, dalam perpindahannya dari yang mati ke yang
hidup hanyadalam bentuk pelestarian dan pemanfaatan lahan tanah saja. Pembagian
yang dilakukan adalah giliran masing-masing kaum dalam memanfaatkan tanah.
Pemanfaatan umumnya dilakukan dalam membantu kesejahteraan garis
keturunannya. Sedangkan dalam hak kepemilikan, baik itu tanah ataupun benda
berharga lain adalah atas nama kaum.50
Bentuk pelaksanaan kewarisan yang dikenal di Minangkabau dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Harta pusaka tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta turun temurun dari beberapa generasi. Harta
ini berupa tembilang basi yakni harta yang di wariskan secara turun temurun dari
mamak ke kemenakan, ataupun tembilang perak, yaitu harta yang diperoleh dari
hasil harta tua. Kedua jenis harta di atas disebut dengan harta pusaka tinggi dan
menurut hukum adat Minangkabau harta ini akan jatuh kepada kemenakan dan tidak
boleh diwariskan kepada anak.
2. Harta pusaka rendah
Harta pusaka rendah merupakan harta yang turun atau diterima seorang anak
dari ibunya sendiri, yaitu warisan dari satu generasi di atasnya.51

50
Yaswirman, Hukum keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Cet-1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2011, h,151
51
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian,..., h, 26
33

3. Harta pencaharian
Harta pencaharian merupakan harta yang diperoleh melalui pembelian atau
taruko.52 Harta ini bila pemiliknya meninggal dunia makan harta akan jatuh pada
jurainya sebagai harta pusaka rendah. Dalam pelaksanaannya hal ini telah disepakati
ninik-mamak dan alim ulama untuk dihapuskan sejak tahun 1952 dan dalam
pelaksanaannya saat ini diganti agar harta juga dapat diwariskan kepada anaknya.
4. Harta suarang
Beberapa nama lain dari harta suarang yang dikenal di Minangkabau adalah;
harta pasuarangan, harta basarikatan, harta kaduo-duo, atau harta salamo baturutan.
Maksud dari harta ini adalah seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-
sama oleh suami-istri selama masa perkawinan. Adapun harta bawaan dari suami
atau istri sebelum terjadinya pernikahan, bukanlah termasuk ke dalam kelompok
harta suarang. 53
Warisan di Minangkabau, baik berupa gelar maupun harta kekayaan harus
diwariskan kepada kemenakan secara turun-temurun. Kemenakan laki-laki dan
perempuan sama-sama berhak menerima warisan dengan kewajiban yang berbeda.
Gelar akan diwariskan kepada laki-laki dan harta pusaka akan diwarisi oleh
perempuan. Di samping itu pihak laki-laki juga berhak dalam pemanfaatan dan
pengembangan harta pusaka bersama dengan pihak perempuan. Hak utama atas hasil
harta adalah untuk kepentingam kaum secara matrilineal.
Fungsi harta menurut adat Minangkabau dan hukum faraid54
1. Harta tidak hanya sekedar jaminan hidup ekonomi, tetapi mempunyai fungsi
moral-sosial-harga diri di samping sebagai modal (ekonomi). Fungsi ini di

52
Taruko diartikan sebagai harta hasil cetakan sawah baru atau menggarap tanah ulayat.
Dimana proses harta ini diperoleh atas usaha penggarapan tanah negara/nagari atau tanah kaumnya
yang belum dimanfaatkan dan belum adanya kepemilikan, kemudian diolah oleh salah satu anggota
kaum, sehingga dengan usahanya tersebut menjadikan kepemilikan tanah jatuh kepadanya.
53
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia,..., h, 53-54.
54
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian,..., h, 28-29
34

antarannya adalah upaya menghargai jerih payah nenek moyang, lambang ikatan
berdunsanak atau yang bertalian darah, dimana kepemilikan bersama
melambangkan hubungan sosial mereka dalam bersodara, sebagai jaminan hidup
kaum sepanjang masa dan sebagai lambang harga diri keluarga sekaum.
2. Hukum tanah adat Minang di dasarkan pada prinsip keluarga jangka panjang dan
abadi sepanjang masa. Sedangkan faraid didasarkan pada prinsip keluarga dalam
satu generasi, sehingga setelah pembagian harta kewarisan di sinyalir tidak ada
lagi fungsi jaminan perekat bagi keutuhan keluarga yang berdunsanak kandung
itu.
Pada dasarnya kewarisan di Minangkabau tidak serta merta seluruhnya
ditetapkan berdasarkan hukum adat, karena memang hanya harta tertentu saja, seperti
harta pusaka yang pewarisannya diatur oleh adat. Harta pusaka ini secara turun
temurun telah diwariskan dari nenek moyang tanpa diketahui siapa pemiliknya
secara perorangan, terlebih dalam setiap generasi harta tersebut telah tercampur
dengan harta pencaharian masing-masing anggota kaum dan pewarisannya telah
berlangsung lama bahkan sebelum masuknya Islam. Menurut Syekh Abdul Karim
Amarullah (Buya Hamka), harta pusaka dapat dianalogikan sebagai harta wakaf atau
harta musabalah seperti yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab sehingga
boleh diambil atau dipanen sendiri hasilnya namun tidak dengan tanahnya. Harta
tersebut tidak dapat diwariskan kepada ahli waris menurut ketentuan syarak, karena
pada dasarnya harta tersebut bukanlah hak milik pribadi secara utuh. Pemilik dari
harta pusaka adalah moyang yang tidak ingin hartanya terjual atau berpindah tangan
kecuali untuk anak kemenakannya dalam kaum tersebut.55 Selanjutnya di luar harta
pusaka, kewarisan di Minangkabau tetap melaksanakan pembagian berdasarkan
hukum kewarisan Islam. Sebagaimana janji yang terpatri dalam falsafah “adat
basandi syarak, dan syarak basandi kitabullah”.

55
Edison Piliang dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Budaya dan Hukum Adat di
Minangkabau,... ,h, 306-307.
BAB III
MASYARAKAT MINANGKABAU
KENAGARIAN TUJUAH KOTO TALAGO

A. Letak Geografis dan Demografis Kenagarian Tujuah Koto Talago


Kenagarian Tujuah Koto Talago merupakan salah satu dari 4 kenagarian yang
berada di dalam lingkup Kecamatan Guguak. Kecamatan Guguak sendiri merupakan
kecamatan yang masuk ke dalam Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Bagi masyarakat desa di Sumatera Barat, khususnya Minangkabau, unit
pemerintahan terkecil dikenal dengan sebutan nagari atau kenagarian. Nagari
dipimpin oleh seorang kepala nagari. Nagari juga memiliki perangkat nagari yang
akan membantu pengurusan wilayah lingkup kenagarian. Perangkat pemerintahan
yang membantu nagari, dikenal dengan “jorong”56 dan dikepalai pula oleh seorang
kepala jorong di masing-masing wilayah. Bagi Kenagarian Tujuah Koto Talago
sendiri terdapat 7 jorong57 yang menjadi lingkup wilayah kekuasaanya. Dalam
kaitannya dengan daerah lain di Indonesia, kenagarian berada di bawah kecamatan,
sehingga dapat disamakan kenagarian setingkat dengan kelurahan. Hanya saja
khusus di Sumatera Barat dikenal dengan istilah kenagarian.
Pusat Kenagarian Tujuah Koto Talago berada di salah satu wilayah jorong
yaitu Jorong Talago, di mana pada jorong ini terdapat sebuah rumah gadang yang
menjadi tempat berkumpul serta tempat musyawarah perhelatan nagari. Luas
wilayahNagari Tujuah Koto Talago adalah 21 KM2 atau sekitar 19,77% dari total
56
Jorong adalah perangkat nagari, yang akan membantu nagari dalam pelaksanaan
pengurusan masing-masing wilayah bagian nagari. Jorong menjadi perpanjang tanganan nagari dalam
menjangkau setiap daerah, sehingga pelayanan kepada masyarakat oleh perangkat pemerintahan desa
dapat terlaksana secara optimal. Posisi Jorong dalam masyarakat berada pada tingkatan RW (Rukun
Warga).
57
7 Jorong yang berada di lingkup Kenagarian Tujuah Koto Talago diantaranya: Jorong
Tanjung Jati, Jorong Talago, Jorong ampang Gadang, Jorong Padang Japang, Jorong Takociak, Jorong
Padang Kandis, dan Jorong Sipingai.

35
36

wilayah pemerintahan Kecamatan Guguak. Tipografi Nagari Tujuah Koto Talago


meliputi daerah datar, berbukit dan bergelombang. Nagari Tujuah Koto Talago
memiliki satu buah situs megalitik berupa batu menhir. Kenagarian Tujuah Koto
Talago berada mulai pada KM 17 dari Kota Payakumbuh.
Batas-batas wilayah Kenagarian Tujuah Koto Talago:
1. Sebelah Timur berbatasan dengan Kenagarian Guguak VIII Koto
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kenagarian Kubang
3. Sebelah Barat berbatasan dengan daerah Limbanang Kecamatan Suliki
4. Sebelah Utara berbatasan dengan daerah Sungai Talang dan Simpang Sugiran
Sedikit mengenai sejarah penamaan Kenagarian Tujuah Koto Talago, berawal
dari sampainya rombongan yang tujuah (tujuh) di Talago dipimpinoleh Dt. Bandaro
Hitam, kemudian membentuk taratak, dusun, koto dan akhirnya menjadi nagari
dalamsejarah sistem pemerintahannya. Pucuk pimpinan adat kala itu dipegang oleh
Datuak Paduko Tuan, yang awalnya memimpin penduduk hingga berkembang di
Talago, kemudian sebagian kelompok masyarakat tersebut pindah ke Ampang
Gadang. Di Ampang Gadang mereka mendirikan pucuk adat sendiri yang dipimpin
oleh seorang Datuak Pucuk yang bernama Datuak Karaing. Kebesaran Datuak
Karaing ditunjukkan melalui kekuasaannya atas wilayah dan rimbo (hutan), sehingga
dalam setiap penggunaan tanah di Nagari Tujuah Koto Talago harus terlebih dahulu
mendapat izin dari Datuak Karaing. Karena perkembangan penduduk maka
pemukiman diperluas.
Sebagian penduduk pindah ke Tanjung Jati dengan Datuk Pucuk bernama
Datuak Bosea Nan Elok, kebesaran Datuak Bosea Nan Elok adalah pada pakaian.
Seiring semakin berkembangnya penduduk, muncul wilayah yang dinamakan Koto
Kociak dengan Datuak Pucuknya bernama Datuak Tan Marajo yang memiliki
kekuasaan mengatur jalannya upacara arak iring. Semakin terus bertambahnya
penduduk dan perjalanan waktu maka bertambah pula terbentuknya wilayah
baruyaitu Sipingai dan masuk dalam wilayah kekuasaan Datuak Tan Marajo.
37

Wilayah terakhir yang terbentuk adalah Padang Kandi dan Padang Japang, yang
masuk wilayah kekuasaan Datuak Karaing. Dengan adanya Tujuah Koto
(wilayah/daerah), maka pemuka adat semasa itu memberi nama dengan Nagari
Tujuah Koto Talago.58

B. Kondisi Ekonomi, Pendidikan dan Sosial Keagamaan Kenagarian Tujuah


Koto Talago
1. Ekonomi
Kondisi ekonomi masyarakat Nagari Tujuah Koto Talago secara umum
berada pada masyarakat kategori menengah. Kategori menengah yang dimaksudkan
adalah masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah dalam posisi yang cukup
seimbang dan saling melengkapi. Hampir tidak ditemukan masyarakat yang
menjadikan mengemis atau meminta-minta sebagai profesi dan jarang pula
ditemukan masyarakat yang hidup penuh kemewahan, baik segi lingkungan tempat
tinggal maupun penampilan warga masyarakatnya. Semuanya masuk dalam kategori
masyarakat yang berkecukupan secara sederhana.
Keadaan di atas terlihat dalam jumlah data pengangguran berdasarkan tingkat
pendidikan masyarakat di Tujuah Koto Talago. Hasil pengolahan data oleh tim
pendataan nagari pada tahun 2017 menyatakan hanya terdapat 19 pegangguran,
dimulai dari SD hingga Perguruan Tinggi.59 Mata pencaharian masyarakat di
Kenagarian Tujuah Koto Talago umumnya adalah sebagai petani dan pedagang.
Selain itu juga terdapat masyarakat yang bekerja sebagai sopir, peternak, guru, jasa,
industri rumah tangga dan berbagai profesi lain.

58
Profil Kenagarian Tujuah Koto Talago dalam Laporan Tim Pendataan Nagari Tujuah Koto
Talago Tahun 2017
59
Sumber Tim Pendataan Nagari Tujuah Koto Talago Tahun 2017
38

2. Pendidikan
Kenagarian Tujuah Koto Talago secara umum adalah wilayah pendidikan, di
mana banyaknya sekolah-sekolah dan madrasah yang berdiri di wilayah tersebut.
Sebagaimana komitmen pendidikan agar dapat memajukan bangsa,masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago juga meyakini hal tersebut. Nagari Tujuah Koto
Talago berkomitmen untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan baik bagi
masyarakatnya. Terbukti bahwa sejak zaman Belanda sudah berdiri Lembaga
PendidikanPesantren Darul Funun El Abbasiyah dan Tarbiyah Islamiah di Jorong
Padang Japang.
Kemajuan dalam bidang pendidikan terus dikembangkan di Kenagarian
Tujuah Koto Talago. Beberapa orang putra putri daerahnya yang telah menorehkan
nama, baik dalam skala kecil di daerah maupun skala nasional diantaranya, Prof. Dr.
Kamardi Talud, Prof. Drs. H. Erman Mawardi, Dipl. AIT, Prof. Ganefri, Prof.
Yunuardi, Prof. Dewi Fortuna Anwar, Prof. Safrudin Karimi, Prof. Helmi, Prof.
Suardi Tarumun dan Prof. Nursiwan Hasan yang semuanya merupakan putra asli
Tujuah Koto Talago dan banyak di antaranya yang berkiprah di luar daerah.
Pendidikan formal yang ada di nagari Tujuah Koto Talago masuk kategori
baik dan seluruhnya terpenuhi, dimulai dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA.
Keberadaan sekolah tersebut banyak memberikan konstribusi dalam peningkatan
sumber daya manusia masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Kelengkapan
sarana pendidikan juga terlihat dari banyaknya jumlah lembaga pendidikan yang
berada di wilayah kenagarian, di antaranya 7 Taman Kanak-kanak (TK), 11 Sekolah
Dasar (SD), 5 Sekolah Menengah Pertama yang terdiri dari SMP dan MTs, dan 4
Sekolah Menengah Atas yang terdiri dari SMA dan MA.
3. Sosial Keagamaan
Tidak hanya ekonomi serta pendidikan, sosial keagamaan Kenagarian Tujuah
Koto Talago juga mendapat perhatian yang tidak kalah penting dalam
masyarakatnya. Hal ini tampak dengan adanya9 masjid, 28 musala dan 18
39

MDA/TPA yang ada pada masing-masing jorong.MDA/TPA merupakan sarana


pendidikan agama yang diperuntukkan bagi anak-anak tingkat sekolah dasar (SD).
Pendidikan Agama Islam diajarkan kepada anak-anak dalam lingkungan
formalseperti halnya pada sekolah dasar (SD). Hanya saja di MDA/TPA anak-anak
secara khusus diajarkan ilmu agama.
Penerapan filosofi adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah, di
Nagari Tujuah Koto Talago juga dapat dilihat pada kegiatan hari adat basandi syarak
(Habsyar) dalam upaya revitalisasi nagari adat. Kegiatan ini dilakukan setiap hari
Kamis dimulai pada pukul 18.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB di hari berikutnya
yaitu hari Jum‟at, dengan sejumlah kesepakatan.
a. Laki-laki dan perempuan diharuskan memakai busana muslim dan muslimah,
b. Seluruh masyarakat dilarang tersangkut permainan nagari seperti domino, kartu
remi, koa (ceki),
c. Bagi pelajar atau siswi dilarang keluar rumah (selepas magrib) kecuali pada hari
libur sekolah dan atas izin dari orang tua,
d. Seluruh ikrar dalam ketentuan ini disetujui seluruh anak nagari dan ditanda
tangani bersama-sama oleh setiap unsur perangkat nagari.
Selain itu masyarakat Nagari Tujuah Koto Talago adalah masyarakat yang
rukun dan partisipatif dalam hal membangun dan memajukan nagari. Perancangan
pembangunan nagaripun dilakukan dalam musyawarah pembangunan
(Musrembang). Sehingga apapun kegiatan dan upaya yang dilakukan di dasari atas
partisipasi masyarakat. Dalam bersikap dan berperilaku di antara kelompok yang
berbeda ras, agama, asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah, tidak ditemukan di
Nagari Tujuah Koto Talago. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat Tujuah Koto
Talogo merupakan penduduk asli dengan agama yang sama (Agama Islam) sehingga
kejadian SARA dapat dihindari.60

60
Sumber Data Nagari Tujuah Koto Talago tahun 2017
40

Sampai saat ini terlihat bahwa kondisi lingkungan Kenagarian Tujuah Talago
berada dalam kondisi yang cukup baik, dimulai dari kondisi perekonomian
masyarakatnya, sarana dan prasarana pendidikan baik formal maupun informal,
hingga kepada sosial keagamaan masyarakatnya merupakan masyarakat yang taat
beragama namun kuat pula dengan hukum adat.

C. Pengaruh Sistem Kekerabatan (Matrilineal) dalam Masyarakat


Matrilineal adalah istilah yang sudah umum bagi masyarakat Indonesia.
Ketika mendengar kata matrilineal, pastilah akan langsung dikaitkan dengan wilayah
penyebarannya yaitu Minangkabau. Apalagi dalam dunia pendidikan dan para pakar
ilmu-ilmu sosial. Matrilineal secara sederhana akan langsung diartikan sebagai
struktur masyarakat yang diatur berdasarkan garis keturunan ibu.
Minangkabau sebagai daerah yang menerapkan sistem kewarisan ini kerap
disandingkan dengan pelaksanaan kewarisan yang bertentangan dengan hukum
Islam, karena hukum kewarisan Islam menghendaki keturunan bilateral, yaitu garis
keturunan diambil dari kedua belah pihak, yaitu laki-laki dan perempuan. Berbeda
dengan sistem matrilineal yang hanya mengakui satu garis keturunan perempuan
saja.
Pada dasarnya setiap adat yang di jalankan di Minangkabau, filosofinya adalah
ajaran Agama Islam. Begitu pula dalam sistem matrilineal, diyakini sesuai dengan
ajaran Agama Islam yang memberikan penghargaan kepada ibu melalui ungkapan
surga itu di bawah telapak kaki ibu. Pernyataan ini memberikan pelajaran bahwa ibu
adalah sosok yang dihargai dan dihormati. Allah takdirkan ibu sebagai sumber utama
kehidupan di muka bumi. Sehingga bagi orang Minangkabau dijadikan guru dan
tauladan dalam mengatur kehidupan masyarakatanya.
Penerapan sistem matrilineal pada masyarakat Minangkabau, diwujudkan
masyarakat dalam bentuk suku-suku. Kelompok suku-suku ini kemudian
berkembang menjadi organisasi massa terkecil di tengah masyarakat. Kelompok
41

wanita di Minangkabau dikenal dengan sebutan Bundo Kanduang. Kedudukan kaum


wanita Minangkabau digambarkan sebagai; kebanggaan dan kehormatan kaum,
pemegang kunci yang erat dan hemat, penguasa dan pengelola dana yang bijaksana,
serta pewaris dan pengelola harta pusaka. 61
Pada masyarakat adat Minangkabau dikenal adanya prinsip unilateral dalam
hukum kewarisannya. Prinsip ini menyebabkan hak kewarisan hanya berlaku dalam
satu garis kekerabatan yaitu garis kekerabatan melalui ibu. Anak-anak yang lahir
secara otomatis mengikuti suku ibunya. Bentuk perkawinan yang berlangsung adalah
perkawinan eksogami yang mendatangkan laki-laki dari luar lingkungan kaum yang
disebut sumando.62Sumando haruslah berbeda suku dengan istri.
Kekerabatan matrilineal menjadikan laki-laki yang menikah dan datang pada
suatu kaum dalam hal ini keluarga dari pada istri, hanya sebagai pendatang guna
perkembangan keturunan dari suku istri. Laki-laki yang telah menikah, status
keanggotaannya tetap berada di rumah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.
Hubungan yang terjadi kemudian mempengaruhi harta kewarisan. Adanya tanggung
jawab mamak terhadap kemenakan juga merupakan buah dari sistem kekerabatan
matrilineal. Kewarisan mamak kemenakan inilah yang menjadi ciri khas dari pada
kewarisan adat Minangkabau yang dilandasi oleh kekerabatan matrilineal tersebut.
Dekatnya hubungan yang terjalin pada keluarga ibu, sedikit banyaknya
memunculkan rasa bertanggung jawab dan rasa kedekatan yang lebih.

61
Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam dalam Upaya Mewariskan
dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, Cet-1 Bandung:
Citra Umbara, 2007, h, 25-27
62
Sumando atau yang biasa disebuturang sumando, merupakan bentuk hasil perkawinan
semenda pada masyarakat matrilineal Minangkabau.Perkawinan dilakukan dengan cara mendatangkan
laki-laki dari luar lingkungan untuk maksud menghasilkan keturunan yang akan memperkembangkan
anggota kelompok itu. Suami datang dan menetap di rumah istrinya, tetapi dia tetap sebagai orang
luar. Posisi dan kedudukan suami di rumah keluarga istri inilah yang kemudian disebut sebagai urang
sumando.
42

Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang merasa belum perlu untuk
membawa harta hasil pencahariannya ke luar rumah ibunya, di mana hal tersebut kait
berkait dengan sistem matrilineal itu sendiri63.
Pertama, sikap dan rasa keterikatan seseorang dalam lingkungan keluarga
matrilinealnya. Hal ini disebabkan oleh keberadaannya di lingkungan keluarga ibu
yang cukup lama. Banyaknya waktu yang telah dihabiskan menyebabkan keintiman
dan kasih sayang mendalam. Kedekatan ini kemudian dimunculkan kembali dalam
tanggung jawab antara mamak dan kemenakan.
Kedua, sebagai urang sumando atau pendatang, hidup di lingkungan rumah
istrinya dalam waktu yang sedikit sekali, sebab sebagian besar waktu telah
dihabiskan dengan keluarga ibunya. Keintiman yang timbul tidak seperti halnya
dengan keluarga ibu, sehingga tidak adanya rasa keterikatan di rumah anak dan
istrinya.
Dilihat dalam pelaksanaan kewarisan, adat Minangkabau tidak sepenuhnya
matrilineal dan tidak pula sepenuhnya parental bilateral seperti halnya hukum
kewarisan Islam. Salah satunya adalah keberadaan harta pusaka dalam masyarakat
Minangkabau. Kaum perempuan yang diberikan kedudukan istimewa dalam menjaga
harta pusaka juga tidak bisa sewenang-wenang terhadap harta tersebut. Hak
pengawasan tetap berada pada mamak (laki-laki). Di samping itu mamak juga belum
berhak bertindak atas harta pusaka jika belum diadakannya kesepakatan kaum. Dari
sinilah terlihat asas perimbangan dalam pertentangan kaum laki-laki dan kaum
perempuan di Minangkabau.
Dapat dipahami bahwa laki-laki dan perempuan Minangkabau saling
mempengaruhi satu sama lain. Keberadaan laki-laki minang yang dianggap tidak
memiliki rumah, justru dalam kenyataannya memiliki dua rumah yaitu rumah
keluarga secara matrilineal dan rumah istri sebagai semenda. Di samping

63
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau,Cet-1 PT Gunung Agung: Jakarta, 1984, hal 262
43

mengusahakan ladang milik kaumnya, laki-laki juga dapat melakukan hal yang sama
dari milik istrinya. Laki-laki dalam kaumnya bertanggung jawab sebagai mamak dari
kemenakannya dan dari pihak istrinya bertanggungjawab sebagai ayah dari anak-
anaknya.
BAB IV

HUKUM KEWARISAN ISLAM

DI KENAGARIAN TUJUAH KOTO TALAGO

A. Pengetahuan Hukum Kewarisan IslamMasyarakat Kenagarian Tujuah


Koto Talago
Melakukan pembagian kewarisan memang bukan persoalan yang mudah,
apalagi pada lingkungan masyarakat pedesaan. Kehidupan pedesaan yang banyak
dibangun atas dasar persaudaraan dan kekeluargaan memiliki tantangan yang lebih
besar ketika membicarakan harta kewarisan dari pada masyarakat perkotaan yang
condong pada sikap individual. Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago yang
telah melaksanakan pembagian harta warisan dalam lingkungan keluarganya,
memiliki keilmuan dan pengetahuan yang lebih baik terhadap hukum kewarisan
Islam. Di dapati bahwa sebagaian besar dari kelompok masyarakat tersebut sengaja
mendatangi ustad serta tokoh agama di Kenagarian Tujuah Koto Talago untuk
mempelajari ilmu kewarisan, sehingga saat diwawancarai seputar hukum kewarisan
dan alasan-alasan mereka melaksanakan pembagian harta dapat mereka paparkan
dengan jelas.
Proses pembagian harta kewarisan yang dilakukan masyarakat tersebut
mengikuti hukum Islam dan ketentuan ilmu faraid. Masyarakat menilai bahwa dalam
kewarisan hak mereka terikat dengan orang lain sehingga dilakukannya upaya
pembagian harta. Sedikit banyaknya masyarakat telah meyakini pelaksanaan
pembagian kewarisan akan menghindarkan dirinya dari perselisihan sebab perebutan
harta warisan di kemudian hari, hanya saja pelaksanaan hukum kewarisan yang
benar-benar atas dasar pemahaman ini tidak banyak di temukan di masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago. Wawancara yang dilakukan terhadap 10 keluarga

44
45

yang telah melaksanakan pembagian harta warisan dan mengikuti pembagian


menurut hukum faraid, dalam pelaksanaannya juga diiringi berbagai persoalan
hingga akhirnya pembagian harta tersebut dilakukan dan sebagian besar diantarannya
karena sengketa dan perselisihan diantara para ahli waris.
Masyarakat meyakini bahwa hukum kewarisan yang dilaksanakan adalah
suatu hukum Allah dan menjadi ajaran agama, sehingga perlu untuk
menyegerakannya. Hak pribadi dan hak orang lain akan tetap terikat apabila tidak
dilakukan pembagian harta. Kelalaian terhadap pelaksanaan hukum kewarisan Islam
diyakini masyarakat akan membawanya pada dosa karena tidak mengindahkan ajaran
agama. Di mana hal ini juga bertujuan untuk menjaga diri agar tidak
termakannyabagian harta yang bukan haknya.64
Kemudian, ada pula pembagian warisan yang terlaksana bukan dari
kesepakatan awal ahli waris. Adapun pembagian yang terjadi dikarenakan suatu
sebab yang menjadikan harta harus segera dibagikan kepada masing-masing ahli
waris. Melakukan pembagian kewarisan karena terpaksa seperti ini juga ditemui di
Kenagarian Tujuah Koto Talago. Peristiwa ini disebabkan oleh perselisihan di antara
ahli waris, sehingga berujung pada perebutan harta warisan, yang kemudian
memaksa semua pihak untuk dilakukannya pembagian harta.
Masalah harta warisan yang identik di dalamnya persoalan uang,, memang
lebih banyak dihindari oleh masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Masyarakat
menganggap pembicaraan mengenai kewarisan adalah persoalan yang sensitif
apalagi ketika menghendaki agar dilakukannya pembagian kewarisan. Sebagian
besar ahli waris biasanya menjadi tidak enak hati untuk membicarakannya, sehingga
pembicaraan mengenai harta kewarisan menjadi tabu di tengah-tengah masyarakat.
Bentuk kewarisan Minangkabau yang dikenal dengan harta pusaka tinggi dan
harta pusaka rendah turut mempengaruhi pelaksanaan kewarisan Islam di tengah-

64
Wawancara Pribadi dengan Nasrullah, Ustad dan Da‟i, Rumah Kediaman Bapak
Nasrullah,pada Minggu 10 Juni 2018.
46

tengah masyarakat. Keberadaan harta pusaka tinggi yang hanya dapat diwariskan
secara kolektif dibandingkan harta pusaka rendah yang dapat diwariskan menjadi
kepemilikan individu masih banyak di Kenagarian Tujuah Koto Talago. Sedikitnya
kepemilikan harta pusaka rendah menyebabkan pembagian harta kewarisan secara
hukum Islam tidak banyak dilakukan. Sehingga upaya pewarisan harta mengikuti
hukum adat sebagaimana harta pusaka tinggi lebih banyak mendominasi di tengah-
tengah masyarakat.65
Beberapa faktor penyebab pelaksanaan pembagian harta kewarisan yang
terjadi di Kenagarian Tujuah Koto Talago diantaranya.
a. Sebab kerelaan masing-masing ahli waris
Sebagian besar dari kelompok masyarakat ini melaksanakan pembagian harta
warisan beralasan, bahwa mereka takut akan termakannya harta yang bukan menjadi
haknya,66 sehingga dengan melaksanakan pembagian harta warisan dapat
menghindarkan diri dari keadaan tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
terhadap 10 keluarga yang telah melaksanakan pembagian warisan ini, di dapati
bahwa dalam keluarga tersebut telah mendapatkan pendidikan mengenai hukum
kewarisan Islam. Dalam penyampaiannya diketahui bahwa ilmu kewarisan banyak
diperoleh dari mendatangi ustaz ataupun tokoh agama setempat yang telah benar
nyatanya paham mengenai ilmu waris.
Bapak H. Salman adalah salah satu dari keluarga yang telah melaksanakan
pembagian harta kewarisan di dalam keluarganya. Keluarga Bapak H. Salman
sepakat menyegerakan pelaksanaaan pembagian harta kewarisan, karena khawatir
akan timbul perebutan harta di kemudian hari. Harta yang dibiarkan tanpa adanya
penetapan hak kepemilikan secara pribadi, akan memberikan peluang penguasaan
harta secara sepihak di antara ahli waris yang lebih berani dari pada ahli waris lain.
65
Wawancara Pribadi dengan Roni, Pemuda dan Pemerhati adat Jorong Tanjung Jati,
Melalui Media Seluler, pada Senin 1 Oktober 2018
66
Wawancara Pribadi dengan Budiman, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Bapak Budiman, Selasa 12 Juni 2018
47

Beliau mendatangi Bapak Nasrullah selaku mubalig yang sudah tidak diragukan
lagikeilmuannya dalam urusan kewarisan. Bapak Nasrullah sendiri adalah ustaz yang
telah mempelajari ilmu waris melalui pendidikan formal dan non formal. Bapak
Nasrullah telah menamatkan studi sarjana hingga magister di bidang hukum. Hukum
Islam khususnya ilmu faraid konsen beliau pelajari, sehingga kerap di datangi
masyarakat dalam menangani persoalan kewarisan.67
Keluarga Ibu Mardhiati adalah salah satu keluarga yang juga telah berhasil
melakukan pembagian harta kewarisan dalam keluarganya. Pelaksanaan pembagian
kewarisan bahkan telah dilakukan dua kali saat ayah dan ibunya meninggal.
Pelaksanaan pembagian harta kewarisan ini disepakati oleh seluruh ahli waris saat
itu, bahwa mereka semua menginginkan dilakukannya pembagian harta warisan
orang tuanya tersebut. Ibu Mardhiati juga menyampaikan bahwa tidak adanya
kerugian dalam melaksanakan hukum Allah. Sehingga pelaksanaan pembagian harta
kewarisan mereka laksanakan dan diterima dengan baik oleh seluruh ahli waris.68
Pelaksanaan pembagian kewarisan yang berhasil dilakukan oleh beberapa
keluarga di Kenagarian Tujuah Koto Talago ini juga tidak terlepas dari lingkungan
keluarga tempat tinggalnya. Ditemukan bahwa, mayoritas keluarga yang berhasil
melaksanakan pembagian kewarisan bukan dari sebab sengketa, tumbuh dari
lingkungan keluarga yang terpelajar. Keadaan ini tampak pada riwayat pendidikan
dan pekerjaan yang mereka tekuni, sehingga dapatlah dikatakan pendidikan dan
pengetahuan seseorang akan suatu keilmuan mempengaruhi perilaku dan pandangan
hidup seseorang dan kesadaran sebab memahami hukum lebih terlihat dalam
kelompok tersebut.
Seperti halnya Bapak H. Salman seorang pensiunan guru dan Ibu Mardhiati
yang juga berprofesi sebagai seorang guru, keduanya berhasil melaksanakan
67
Wawancara Pribadi dengan Salman, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah KediamanBapak Salaman, Selasa 12 Juni 2018
68
Wawancara Pribadi dengan Mardhiati, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Mardhiati, Kamis 14 Juni 2018
48

pembagian harta kewarisan di dalam keluarganya tanpa adanya sengketa di antara


ahli waris. Terbukanya seluruh anggota keluarga Ibu Mardhiati terhadap pelaksanaan
pembagian kewarisan, membuat keluarganya selalu memperhatikan pelaksanaan
pembagian harta kewarisan dalam keluarganya. Hingga saat ini keluarga Ibu
Mardhiati telah 2 kali melaksanakan pembagian harta kewarisan di dalam
keluarganya.
Di antara kelompok keluarga yang melaksanakan kewarisan atas dasar
kerelaan masing-masing ahli waris tersebut, ditemukan setidaknya satu anggota
keluarga maupun ahli waris yang mengetahui pentingnya dalam mengupayakan
pembagian kewarisan. Ahli waris inilah yang kemudian menjadi penggerak dalam
keluarganya, sehingga pelaksanaan pembagian kewarisan tidak lagi dianggap karena
diawali sengketa saja. Tetapi benar-benar dilaksanakan karena keinginan yang
muncul dari dalam diri setiap anggota keluarga. Keluarga itupun juga memiliki
keilmuan dalam melaksanakan hukum kewarisan tersebut.
Seorang sarjana hukum bernama Hart pernah menyatakan bahwa setiap orang
yang terpelajar akan dapat mengidentifikasi ciri-ciri yang menonjol dari hukum.69
Meskipun tidak mempelajari hukum kewarisan Islam secara langsung dalam
pendidikan formal yang ditempuh, dapat disimpulkan bahwa keluarga yang
menempatkan pendidikan sebagai sebuah keharusan dalam kehidupan, memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap pribadi masyarakatnya. Rasa ke ingin tahuan
masyarakatnya besar dan mendorongnya untuk terus menimba ilmu pengetahuan.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pendidikan penting dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan kewarisan dalam masyarakat.
Pada tahap ini, masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago telah masuk pada
kategori masyarakat yang berpengetahuan.Diketahui dalam sesi wawancara yang
dilakukan terhadap keluarga yang telah melaksanakan pembagian kewarisan,

69
Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Cet-1
Jakarta: CV Rajawali, 1984, h, 7
49

seluruhnya kompak mengemukakan bahwa alasan utama melakukan pembagian


kewarisan adalah untuk menghindari termakannya hak orang lain akannya, sehingga
dalam mencegahnya diupayakan pembagian tersebut. Hal ini juga terlihat dari
pelaksanaan pembagian harta kewarisan yang timbul dari keinginan setiap ahli waris.
Seluruh ahli waris menyepakati pelaksanaan pembagian kewarisan sebagaimana
ajaran Agama Islam tanpa adanya paksaan. Pelaksanaan pembagian harta kewarisan,
secara nyata dilakukan atas dasar ilmu pengetahuan yang dimiliki kelompok
masyarakat tersebut, baik dari hasil pendidikan formal yang ditempuh maupun dari
upaya pendidikan non formal dengan ustaz ataupun guru pengajian di Kenagarian
Tujuah Koto Talago. Pelaksanaan pembagian kewarisan dilakukan guna
melaksanakan perintah agama.
b. Sebab adanya sengketa
Dibandingkan dengan masyarakat yang melaksanakan pembagian kewarisan
atas dasar kerelaan, alasan sebab adanya sengketa yang mendahului pelaksanaan
kewarisan lebih mendominasi di daerah Kenagarian Tujuah Koto Talago.
Pelaksanaan pembagian kewarisan yang di dahului oleh sengketa di antara masing-
masing ahli warismemaksa keduanya belah pihak yang berselisih melaksanakan
pembagian kewarisan. Permasalahan yang ditemukan juga cukup beragam, seperti
pada kasus keluarga Ibu Megawati ketika memperjuangkan hak anaknya hingga ke
meja pengadilan.
Persoalan bermula saat meninggalnya suami dari anak Ibu Megawati yaitu
Ibu Ilin. Ibu Megawati menjelaskan, sepeninggal suaminya, Ibu Ilin bekerja pada
toko obat yang dulu dirintis bersama dengan almarhum suaminya. Sepeninggal
suaminya tersebut, saudara laki-laki dari almarhum suami Ibu Ilin ini melakukan
penguasaan sepihak terhadap harta yang ditinggalkan suaminya tersebut. Penguasaan
harta bahkan sampai pada hasil penjualan di toko obat tempat Ibu Ilin bekerja.
Di awal kepergian suaminya, Ibu Ilin lebih banyak mendiamkan pengurusan
harta yang ditinggalkan suaminya tersebut, sehingga penguasaan atas harta banyak
50

dilakukan oleh saudara almarhum suaminya. Semenjak penguasaan sepihak yang


dilakukan atas harta peninggalan itu, segala yang bisa di ambil dari hasil berjualan
obat di toko hanya sekedar pemenuhan makan sehari-hari. Pendapatan ini tidak
sebanding dengan usaha serta haknya atas peninggalan suaminya tersebut. Keadaan
inilah yang kemudian mendorong Ibu Ilin untuk segera membagi harta kewarisan
dari suaminya tersebut.70
Persoalan serupa juga dialami oleh keluarga Ibu Ainil Khairati, di mana
pembagian kewarisan dilakukan karena harta peninggalan almarhum ayahnya
dikuasai secara sepihak oleh istri kedua almarhum. Merasa haknya dihalangi
akhirnya Ibu Ainil Khairati menempuh meja pengadilan dalam memperjuangkan
haknya sebagai sesama ahli waris.71
Keluarga yang mengawali pelaksanaan pembagian kewarisan dengan
sengketa ataupun perselisihan di antara masing-masing ahli waris, tidak sepenuhnya
sampai di meja pengadilan. Banyak pula diantarannya yang memilih membagi
kewarisan dengan bantuan ustaz ataupun tokoh agama yang memang memahami
ilmu kewarisan, sehingga pembagian dapat diupayakan berdasarkan ketentuan dan
hukum Agama Islam. Barulah kemudian sengketa waris yang tidak dapat diupayakan
penyelesaiannya secara kekeluargaan akan dibawa ke meja pengadilan. Peristiwa
inilah yang paling banyak menyisakan kesenjangan di antara beberapa keluarga yang
menyelesaikan perkara di depan meja pengadilan, karena akan ada pihak yang
dimenangkan dan pihak yang dikalahkan.
Pemanfaatan penggunaan harta kewarisan secara bersama-sama di
lingkungan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago, cukup memberikan
pengaruh dalam pelaksanaan pembagian kewarisan di tengah masyarakat.72

70
Wawancara Pribadi dengan Mega, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Mega, Minggu 17 Juni 2018
71
Wawancara Pribadi dengan Ainil Khairani, Narasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu ainil Khairani, Selasa 19 Juni 2018
72
Wawancara Pribadi dengan Sulaiman, Ustaz, Media Seluler, Sabtu 17 Februari 2018
51

Kebiasaan yang terjadi cukup menurunkan minat pelaksanaan pembagian kewarisan


dalam lingkungan masyarakatnya. Doktrin yang tertanam adalah dikhawatirkan
kekompakan diantara sesama anggota keluarga akan hilang ketika harta keluar jauh
dari lingkungan keluarga tersebut.73
Pada kenyataannya di Kenagarian Tujuah Koto Talago, kehidupan
masyarakat juga tidak selalu mudah setiap saat. Banyak faktor yang juga menjadi
pemicu retaknya hubungan keluarga, selain hanya anggapan atas sebab dilakukannya
pembagian kewarisan. Sehingga alasan menunda pelaksanaan pembagian guna
menjaga kekompakan di antara anggota keluarga tersebut, tidak serta merta dapat
dijadikan suatu alasan yang akan menggoyahkan kerukunan dalam keluarga.
Seperti halnya petani yang menggantungkan pekerjaannya dari hasil
partanian, dalam pelaksanaannya tentu tidak selalu berjalan mulus. Di antaranya, ada
saat-saat kesulitan dalam menjalankan ataupun mengembangkan pekerjaan tersebut.
Adanya pelaksanaan pembagian kewarisan, justru akan membantu petani tersebut
dalam pekerjaan dan kehidupannya. Upaya tersebut tentu lebih memberikan manfaat
yang besar kepada seseorang dibandingkan sekedar mengamankan keluarga dari
pemberitaan miring masyarakat. Karena pada akhirnya kebenaran yang
sesungguhnya tetap hanya diketahui masing-masing anggota keluarga.
Peristiwa serupa terjadi pada Keluarga Bapak Hamdi Syakban ketika
memutuskan untuk melakukan pembagian kewarisan. Kondisi keluarga yang cukup
sulit saat itu membuat orang tua Bapak Hamdi mengupayakan haknya sebagai salah
satu ahli waris yang sah sebab kematian orang tuanya. Namun upaya tersebut gagal
dilaksanakan sebab keengganan ahli waris lain dalam membaginya. Bahkan harta
dikuasai oleh saudara kedua orang tuanya tersebut. Barulah setelah kematian kedua
orang tuanya dan seluruh generasi di atasnya, Bapak Hamdi Syakban berhasil

73
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Cet-1 Jakarta: PT Gunung Agung, 1984, h, 329
52

melaksanakan pembagian harta kewarisan yang sempat gagal diupayakan kedua


orang tuanya tersebut. Bapak Hamdi menuturkan, pengalaman telah mengajarkannya
bahwa melaksanakan pembagian kewarisan itu penting sehingga ketenangan hati
dapat diperoleh.74
Kesulitan dalam menemukan kelompok masyarakat yang telah melaksanakan
pembagian kewarisan di Kenagarian Tujuah Koto Talago, tentu tidak sebanding
dengan kelompok masyarakat yang belum pernah melaksanakan pembagian harta
warisan yang lebih mudah ditemukan. Hidup dalam lingkungan masyarakat yang taat
beragama Islam dengan meyakini syariat-syariat agama, belum mampu sepenuhnya
mencuri perhatian masyarakat dalam melaksanakan hukum kewarisan.
Persoalan sebagian besar masyarakat yang belum melaksanakan pembagian
harta kewarisan cukup beragam. Beberapa di antaranya mengungkapkan, yang
menjadi alasan belum terlaksananya pembagian kewarisan di dalam keluarganya dan
di beberapa kelompok keluarga lain pada masyarakat Kenagarian Tujuah Koto
Talago, penulis bagi dalam 3 poin utama diantaranya;
a. Besar kecilnya jumlah harta
Pelaksanaan pembagian harta kewarisan yang kurang mendapat perhatian
ditengah masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago juga berkaitan dengan jumlah
harta yang menjadi warisan. Masyarakat yang bekerja sebagai petani dan
menggantungkan dirinya pada satu pekerjaan tersebut, biasanya tidak akan memiliki
sejumlah harta kewarisan yang cukup besar ketika melaksanakan pembagian
kewarisan, sehingga pihak ahli waris merasa enggan untuk membaginya. Biasanya
pihak keluarga lebih memilih mempergunakan harta warisan tersebut secara
bersama-sama, dan yang dimanfaatkan adalah hak pakai bukan hak milik. Kewarisan
yang dilakukan mengikuti pola pewarisan harta pusaka. Sepanjang tidak adanya

74
Wawancara Pribadi dengan Hamdi Syakban, Narasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan), Rumah Kediaman Bapak Hamdi Syakban, Rabu 20 Juni 2018
53

permintaan pembagian harta warisan di antara ahli waris, harta tetap dalam
kepemilikan berkelompok yang dimanfaatkan secara bersama-sama.75
b. Kesulitan dalam melaksanakan pembagian kewarisan
Kesulitan dalam melaksanakan pembagian harta kewarisan disebabkan
karena harta warisan bukan lagi warisan dari pewaris yang pertama, namun
keinginanpembagian baru dilakukan setelah berganti generasi. Banyaknya ahli waris
serta sulit diketahui keberadaannya, menjadikan beberapa ahli waris yang tersisa
hanya memanfaatkan penggunaan harta dan memilih untuk tidak dilakukan
pembagian harta kewarisan. Akhirnya harta kewarisanpun tetap dibiarkan tanpa
dilakukan pembagian menurut hukum kewarisan Islam.76
c. Keberadaan perempuan dalam adat yang dipegang masyarakat
Perempuan yang dijadikan sebagai simbol penjaga rumah gadang dalam adat
Minangkabau, memberikan pengaruh yang cukup besar dalam pelaksanaan hukum
kewarisan di lingkungan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Pada kasus
ini, umumnya laki-laki di Kenagarian Tujuah Koto Talago lebih memilih untuk tidak
mengambil hak kewarisan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Harta
peninggalan tersebut diberikan kepada saudara ahli warisnya yang perempuan, tanpa
dilakukannya pembagian harta kewarisan. Harta warisan sepenuhnya ditinggalkan di
rumah orang tunya yang kemudian dikelola oleh saudarinya yang perempuan.
Perempuan tersebut akan bertugas menjaga dan mendiami rumah dan harta
peninggalan kedua orang tuanya, sedangkan laki-laki terbiasa untuk merantau
ataupun menetap dirumah istrinya ketika telah menikah. Keadaan inilah yang
kemudian membuatnya enggan melaksanakan pembagian harta.
Keluarga Ibu Ernita adalah salah satu keluarga yang menyepakati
pengelolaan harta peninggalan orang tuanya pada pihak perempuan. Sedikit berbeda
75
Wawancara Pribadi dengan Yetti, Narasumber yang Belum Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Yetti, Sabtu 23 Juni 2018
76
Wawancara Pribadi dengan Datuak Tumbi, Tokoh Adat, Media Seluler, Minggu 24 Juni
2018
54

dengan kebanyakan masyarakat yang menyerahkan pengelolaan harta tanpa


mengetahui pasti bagiannya. Seluruh ahli waris di keluarga Ibu Ernita mengetahui
besar bagian harta dari masing-masing ahli waris. Sadar akan suatu kewajiban
pembagian kewarisan yang harus dituntaskan sepeninggal kedua orang tuanya, Ibu
Ernita bersama dengan tiga saudaranya yang lain berunding untuk menyelesaikan
hukum kewarisan tersebut. Setiap ahli waris diperlihatkan sejumlah harta
peninggalan kedua orang tuanya tersebut. Setelah mengatahui sejumlah harta itu, dua
orang ahli waris laki-lakimemilih untuk memberikan bagian hak warisnya kepada
masing-masing saudarinya yang perempuan. Ibu Ernita adalah salah satu yang
memperoleh harta tersebut.
Ahli waris laki-laki mengungkapkan, bahwa penyerahan hak waris tersebut
mereka lakukan dengan alasan tanggung jawabnya sebagai mamak untuk kemanakan
dari sukunya. Sedangkan tanggung jawabnya kepada istri dan anak-anaknya
diberikan dari hasil pencarian yang dia usahakan melalui pekerjaanya. Selain itu
kediaman saudarinya yang perempuan adalah rumah tempatnya berasal, yang akan
menjadi tempatnya kembali suatu saat, sehingga pemberian ini dapat pula dipandang
sebagai simpanan di keluarga asalnya, di mana hanya hak milik yang telah
diserahkan, namun hak pakai masih dapat digunakan secara bersama-sama.77

B. Pemahaman Masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago terhadap


Pentingnya Pembagian Kewarisan dalam Islam
Pembagian waris dalam agama Islam merupakan suatu kemestian (infaq
ijbary), ahli waris tidak boleh menolak penetapan dan pembagian kewarisan sebelum
dilakukan pembagian warisan. Sebagaimana perintah dan ketentuan Allah SWT.

77
Wawancara Pribadi dengan Ernita, Masyarakat,Rumah Kediaman Ibu Ernita, Senin 25 Juni
2018
55

An-Nisa‟ : 2

َ 

Artinya: dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan
kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-
tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
An-Nahl : 114

َ 

Artinya: Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya
saja menyembah.
An-Nisa‟ : 14



Artinya: dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan


melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam
api neraka sedang dia kekal di dalamnya; dan bagianya siksa
yangmenghinakan.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa melaksanakan pembagian warisan
(faraid) sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an dan Hadits adalah wajib.78
Pembagian dan pemberian harta warisan kepada ahli warisnya yang berhak adalah
suatu ketentuan yang utama agar terhindarnya diri dari pada memakan harta yang
bukan haknya.

78
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Islam, ... h, 51.
56

Pentingnya melaksanakan pembagian waris sesuai pula dengan


haditsRasulullah tentang tujuan mempelajari hukum kewarisan, yang diriwayatkan
oleh Abi Hurairah r.a: 79
َ‫فَالعلمَوإنوهَيهنسىَو هىوأو هلَما‬
‫َهَفإنوهَنص ه‬
‫َت عل همواَالفرائضَوعل همو ه‬:َ‫يَىري رةَرضيَاللهَعنوهَأنَالنبيَصَمَقال‬
‫عنَأب ه‬

‫يهن رَعهَمنَأهمتي‬

Artinya: Dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW telah


bersabda: Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah, karena dia setengah dari
ilmu dan dilupakan orang, dan dia adalah ilmu yang pertama kali akan
dicabut dari umatku.
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago adalah masyarakat yang taat beragama, di samping itu
masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago juga tunduk dengan adat serta budaya
yang masih tertanam kuat mengiringi keseharian masyarakatnya. Ilmu agama yang
diperoleh juga banyak didapatkan dari tempat ibadah yang memang banyak di
wilayah Kenagarian Tujuah Koto Talago.
Bagi sebagian besar masyarakat, terutama yang berusia lanjut, masjid dan
musala menjadi sumber utama penyebaran dan tempat belajar ilmu agama.
Selanjutnya bagi anak-anak dan pelajar selain ikut pada kegiatan yang diadakan di
masjid dan musala, juga diberikan sarana penunjang berupa pendidikan di MDA dan
TPA. Pendidikan formal berbasis agama seperti pondok pesantren, MTs dan MA
juga turut membantu pembelajaran keagamaan anak-anak di Kenagarian Tujuah
Koto Talago.80
Pentingnya untuk melaksanakan pembagian kewarisan sedikit banyaknya
telah dirasakan oleh masyarakat, hanya saja dalam melaksanakan terdapat
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus diperhatikan dan menjadi ukuran dalam
bertindaknya seseorang ketika dihadapkan dengan persoalan harta kewarisan..

79
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h, 10.
80
Observasi Langsung di Wilayah Kenagarian Tujuah Koto Talago, Sabtu 9 Juni 2018
57

Sulitnya menemukan keluarga yang telah melaksanakan pembagian kewarisan


karena memang banyak diantaranya yang enggan membicarakan persoalan harta dan
uang. Salah seorang anggota ahli waris yang lebih berkecukupan di bandingkan yang
lainnya juga kerap membuat persoalan harta warisan ini tidak menjadi perhatian yang
besar di tengah-tengah masyarakata. Harta banyak dikelola oleh saudara yang
memang sudah lama tinggal di lingkungan yang menjadi objek warisan tersebut,
sehingga ahli waris yang jauh diperantauan juga enggan bahkan malu apabila harus
mengungkit persoalan harta.81 Akhirnya banyak dari masyarakat Kenagarian Tujuah
Koto Talago lebih senang menjaga keutuhan harta kedua orang tuanya dengan
pemakaian harta peninggalan tersebut secara bersama-sama dibandingkan harus
dimiliki secara perseorangan dan terpisah-pisah.
Masyarakat boleh jadi memberikan ataupun menghibahkan hak nya kepada
saudaranya sesama ahli waris, tetapi penghibahan harta tersebut mestilah dilakukan
setelah masing-masing pihak mengetahui jumlah dan bagian masing-masing.
Penyerahan harta dan penghibahan hak kewarisan sebelum mengetahui porsi masing-
masing ahli waris tidak menutup kemungkinan timbulnya rasa keinginan untuk
memiliki harta, terlebih ketika mengetahui jumlah harta yang besar dan di luar
perkiraannya selama ini, hasrat untuk memperoleh hak nya akan muncul.82 Manfaat
yang dihasilkan dari pelaksanaan pembagian kewarisan belum sepenuhnya dipahami
masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Hal ini cukup dirasakan, sebab
penyampaian materi dan ilmu pengetahuan tentang hukum kewarisan tidak semudah
persoalan ibadah seperti halnya sholat, puasa, sedekah, infaq ataupun penyampaian
pemahaman terhadap akhlak dan cabang ilmu agama lain di tengah masyarakat
umum, sehingga tidak banyak menjadi pilihan para mubalig dan ustaz dalam setiap
penyampaian dakwahnya.

81
Wawancara Pribadi dengan Roni, Pemuda dan Pemerhati adat Jorong Tanjung Jati, Melalui
Media Seluler, pada Senin 1 Oktober 2018
82
Wawancara Pribadi dengan Nasrullah, Ustad dan Da‟i, Rumah Kediaman Bapak
Nasrullah,pada Minggu 10 Juni 2018
58

Rumitnya persoalan kewarisan khususnya dalam penghitungan besar bagian


masing-masing ahli waris, dibutuhkan kelas khusus agar ilmu kewarisan dapat
disampaikan secara optimal kepada masyarakat. Pada masing-masing daerah yang
masuk ke dalam lingkup Kenagarian Tujuah Koto Talago, pendidikan agama yang
diajarkan dan diterima masyarakat didapatkan dari masing-masing tempat ibadah
lingkungan tempat tinggalnya. Adapun pemahaman mayoritas masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago terhadap kewarisan Islam adalah sebatas, bahwa
seorang anak memiliki hak waris atas kedua orang tuanya,83 di luar ini, tidak banyak
dari masyarakat yang mengetahui bagaimana sebenarnya hukum kewarisan Islam
yang harus dilaksanakan.
Demikian tampak jelaslah tujuan akhir sebuah ilmu dengan hukum
praktiknya. Kekuatan hukum pelaksanaan kewarisan jelas dan mengikat seluruh
manusia. Tidak hanya pada aspek individu manusianya namun pelaksanaan
pembagian ini juga merupakan kewajiban hukum yang melekat pada harta
peninggalan yang ditinggal mati pemiliknya.84 Selain itu kewajiban pelaksanaan ini
adalah agar kita selalu berjalan sesuai ketentuan agama, jangan sampai ada yang
dirugikan oleh kita karena termakan bagian ahli waris lain, sebab tidak jarang
problem pembagian waris yang dibiarkan berlarut-larut karena ketidakpahaman
anggota keluarga serta masyarakatnya terhadap hukum kewarisan, berakhir dengan
sengketa perebutan harta dan memecah hubungan baik dalam keluarga.

C. Kesadaran Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam pada Masyarakat


Kenagarian Tujuah Koto Talago
Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, alam mempunyai peran yang
sangat penting, terutama bagi orang minang yang hidup bertani, mereka menyebut

83
Wawancara Pribadi dengan Nelfita Gusti, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Kediaman Ibu Nelfira Gusti, Sabtu 30 Juni 2018
84
Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, Cet
1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, h, 62.
59

alam Minangkabau sebagi dunia mereka. Dalam kesehariannya, masyarakat hidup


bersama. Mereka melihat orang lain sebagai orang yang dihormati, harus diajak
bermusyawarah dan untuk dilindungi. Pepatah adat “duduak surang basampik-
sampik, duduak basamo-samo balapang-lapang”, menunjukkan bagaimana
pandangan mereka dalam hidup kepada orang lain. Mereka yakin dengan hidup
sendiri kehidupan mereka akan menjadi sempit dan hanya dapat diatasi kalau mereka
hidup bersama-sama dalam kelompok.85 Kuatnya persaudaraan yang terjalin dalam
lingkungan masyarakat Minangkabau secara umum juga ditemukan dalam
masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Adat kebiasaan yang tertanam tidak
mudah untuk dihilangkan. Sebagaimana pepatah adat “sekali air besar sekali tepian
beralih”, yang mengandung arti bahwa adat dapat mengalami perubahan, bila terjadi
suatu perubahan besar, yang diibaratkan dengan air besar atau banjir yang menggeser
tepian.86Hal inilah kemudian menyebabkan masyarakat kurang terbuka pada hal baru
selama keyakinan yang mereka jalankan masih relevan di tengah masyarakat.
Keengganan dalam melaksanakan pembagian harta warisan menjadi hal wajar dan
tidak begitu dipandang sebagai suatu persoalan yang harus segera diselesaikan.
Kesadaran pelaksanaan kewarisan dalam lingkungan masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago juga diikuti oleh rendahnya penyebaran ilmu pengetahuan
kewarisan dalam lingkungan masyarakatnya. Tidak banyak dari masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago yang benar-benar memahami secara tuntas
bagaimana hukum kewarisan Islam itu sendri. Banyak dari masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago yang menyadari pentingnya pembagian kewarisan setelah
terjadinya perselisihan di antara kelompok keluarga ahli waris. Berdasarkan
peristiwa tersebut dapat dipahami kesadaran muncul bukan dari dalam diri
masyarakat yang telah memahami pentingnya mempelajari dan melaksanakan hukum

85
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah Sumatera
Barat...... h, 144-145
86
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau,…….h, 150
60

kewarisan Islam, tetapi kesadaran justru dipicu oleh keadaan dan kondisi yang terjadi
di tengah keluarga saat diupayakannya pembagian kewarisan.
Di antara masyarakat yang hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD)
hingga sekolah menengah pertama (SMP). Menuntut ilmu bukan lagi menjadi fokus
utama. Kehidupan digantikan dengan semangat bekerja dan mengumpulkan uang.
Kekhawatiran tidak dapat mengumpulkan harta nyatanya lebih besar ditemukan
dalam masyarakat. Sehingga lebih fokus pada hasil pekerjaan yang mereka usahakan
dibandingkan harus mengurusi harta peninggalan orang tuanya. Minimnya
pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam menangani persoalan kewarisan
juga turut mematikan gerak masyarakat dalam melaksanakan hukum kewarisan
sebagaimana ajaran agama Islam.
Lebih spesifik mengenai kesadaran kelompok masyarakat yang telah
melaksanakan pembagian harta kewarisan, dinilai sudah memiliki kesadaran yang
cukup baik dalam melaksanakan hukum kewarisan Islam.Keinginan untuk hidup
dalam kerukunan serta upaya untuk memperoleh ketenangan batin dalam hidup,
menjadi landasan dan tujuan dilakukannya pembagian harta waris tersebut.87
Pada kelompok masyarakat yang belum melaksanakan pembagian harta
kewarisan, kurangnya kesadaran dalam lingkungan keluarga tanpa latar belakang
pendidikan cukup terlihat jelas.Banyak dari masyarakat merasa belum perlu untuk
melaksanakan pembagian kewarisan. Selain itu, kesadaran diantara masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago juga dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah harta
yang akan dibagi. Kecilnya jumlah harta yang diyakini oleh ahli waris, menjadikan
daya tarik terhadap harta berkurang. Mayoritas masyarakat justru merasa malu jika
tetap melaksanakan pembagian kewarisan, sehingga banyak di antara ahli waris
akhirnya memilih untuk memanfaatkan penggunaan harta secara bersama-sama.
Kenyataannya bahwa semakin tinggi pendidikan ahli waris dalam keluarga tersebut,

87
Wawancara Pribadi dengan Ermita, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Ernita, Sabtu 30 Juni 2018
61

diikuti dengan semakin banyaknya yang berminat melaksanakan hukum kewarisan


Islam. Sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan ahli waris dalam keluarga
tersebut, semakin banyak ditemukan yang tidak berminat.88
Selanjutnya, adat kebiasaan yang masih dianggap relevan di tengah
masyarakat, juga sangat mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam melaksanakan
pembagian kewarisan Islam. Hubungan mamak dan kemenakan menjadi contoh
paling nyata dalam masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Bangunan adat
lama ini masih tertanam kuat dalam masyarakatnya, walaupun dalam bentuk yang
sudah menyesuaikan diri dalam perkembangan kehidupan yang baru.
Adapun upaya yang akan membantu dalam peningkatan kesadaran
masyarakat di lingkungan Kenagarian Tujuah Koto Talago adalah pemanfaatan
fungsi tempat-tempat ibadah seperti masjid, musala dan tempat-tempat pengajian
yang cukup banyak di daerah tersebut. Hanya saja hingga saat ini kemampuan
berbagai sarana ibadah dan keagamaan yang ada belum berjalan secara optimal,
hingga mampu membangkitkan kesadaran pentingnya hukum kewarisan yang kuat di
lingkungan Kenagarian Tujuah Koto Talago. Kesempatan memperoleh ilmu
kewarisan tidak banyak diperoleh masyarakat. Sulitnya dalam penyampaian ilmu
hukum kewarisan pada forum-forum besar, menjadi kendala ustaz dan tokoh agama
yang ada. Benarlah kiranya perlu dibentuk forum-forum khusus, dalam mengkaji
ilmu kewarisan di lingkungan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Di mana
Agama Islam harus lebih bisa mengimbangi lagi adat yang lebih dulu tertanam dalam
masyarakat.
Penulis menilai pengetahuan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago
terhadap pelaksanaan hukum kewarisan Islam sebenarnya telah ada, namun dalam
porsi yang masih sangat sedikit. Di antara kelompok masyarakat yang telah
melaksanakan dan kelompok masyarakat yang belum melaksanakan pembagian

88
Wawancara Pribadi dengan Yasni, Narasumber yang Pernah Melakukan Pembagian
Kewarisan, Rumah Kediaman Ibu Yasni, Sabtu 30 Juni 2018
62

kewarisan, jelas ditemukan perbedaan pengetahuan yang sangat besar di antara


keduanya. Wawancara yang penulis lakukan pada masyarakat yang melaksanakan
pembagian harta kewarisan secara sukarela tanpa adanya sengketa di lingkungan
keluarganya memberikan kesimpulan bahwa melaksanakan hukum kewarisan Islam
tidaklah sulit untuk dilakukan, karena kesadaran pentingnya pelaksanaan pembagian
kewarisan ini di rasakan seluruh ahli waris. Hubungan keluarga di antara ahli waris
juga tetap terjaga dengan baik.
Adapun pada kelompok masyarakat yang melaksanakan pembagian
kewarisan yang di dahului oleh sebab perselisihan dan setelah munculnya sengketa
kewarisan, hanya menyelesaikan salah satu hukum agama. Keadaan ini lebih banyak
memunculkan jarak di antara ahli waris setelah pelaksanaannya. Kesadaran yang
muncul adalah kesadaran sebab terpaksa, agar persoalan yang timbul dapat
diselesaikan dan agar tidak menyisakan kesenjangan diantara ahli waris.
Pengamatan yang penulis lakukan selama dua bulan di wilayah Kenagarian
Tujuah Koto Talago cukup memberikan gambaran kepada penulis, bagaimana
pemahaman masyarakat terhadap pentingnya melaksanakan pembagian kewarisan.
Sebagaimana pengetahuan masyarakat yang juga terbatas dalam hukum kewarisan.
Pentingnya pelaksanaan pembagian kewarisan juga belum banyak dirasakan
masyarakatnya. Masyarakat baru menyadari bahwa Islam mengatur pelaksanaan
hukum kewarisan dan setiap anak memiliki hak kewarisan dari peninggalan kedua
orang tuanya. Adapun bagaimana pelaksanaan sesungguhnya yang diajarkan dalam
Agama Islam belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Hal ini juga disebabkan oleh
keilmuan yang tidak mumpuni mengenai ilmu kewarisan.
Kesadaran masyarakat dalam melaksanakan pembagian kewarisan
berdasarkan hukum Islam juga belum dimunculkan dalam setiap pelaksanaan
pembagian kewarisan yang dilakukan. Banyak di antara masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto Talago yang mempergunakan harta kewarisan secara bersama-sama
seperti yang dilakukan pada pewarisan harta pusaka. Selain itu pembagian karena
63

sebab adanya sengketa kewarisan lebih banyak mendominasi upaya pembagian


kewarisan yang dilakukan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Masyarakat daerah Kenagarian Tujuah Koto Talago pada dasarnya adalah
masyarakat adat. Adat yang dijaga dan agama Islam yang di yakini masyarakat
berjalan berdampingan sehingga tampak tidak ada celah di antara keduanya.
Kewarisan merupakan salah satu persoalan yang selalu diperdebatkan, baik
dalam ketentuan agama maupun ketentuan adat, terlebih pada pelaksanaan
pembagiannya.Selain pengetahuan dan pendidikan ilmu kewarisan yang belum
optimal di tengah-tengah masyarakat, penyebaran harta pusaka tinggi juga masih
mendominasi di wilayah tersebut. Akibatnya pengetahuan dan manfaat kewarisan
Islam tidak banyak dirasakan masyarakat.
Pengetahuan masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago terhadap
pelaksanaan hukum kewarisan Islam masih sangat rendah hingga saat ini.
Rendahnya pengetahuan masyarakat ini tidak terlepas dari kondisi kehidupan
serta sosial masyarakatnya. Faktor yang paling mempengaruhi pengetahuan
hukum kewarisan Islam dalam masyarakat ini adalah pendidikan dan adat istiadat
masyarakatnya. Kesempatan mendapatkan pendidikan ilmu kewarisan yang
terbatas dan adat istiadat yang telah mengakar.
Adat yang dimaksud disini adalah sistem kekerabatan matrilineal yang dijaga
masyarakat, nyatanya memunculkan rasa tanggung jawab dan kedekatan yang
dalam pada keluarga matrilinealnya. Banyaknya waktu yang telah dihabiskan,
dan hubungan yang terjalin diantara seseorang dengan keluarga ibunya ini
menumbuhkan kasih sayang yang lebih kepada sanak saudara dari pihak ibu.
Sebagaimana sistem adat matrilineal yang mengambil garis keturunan dari pihak
ibu, keluarga yang diakui sebagai keluarga yang sebenarnya adalah yang satu
garis keturunan ibu.

64
65

2. Pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pelaksanaan pembagian kewarisan


juga dibarengi oleh kesempatan mempelajari ilmu kewarisan yang diterima
masyarakat. Sulitnya menyampaikan ilmu kewarisan dalam forum-forum
pengajian skala yang besar, mendorong para mubalig dan ustaz-ustaz yang
mengisi pengajian tidak banyak memilih tema waris pada setiap ceramahnya.
Adapun yang berkenaan dengan sistem kekerabatan, bagi laki-laki di Kenagarian
Tujuah Koto Talago, keberadaan hubungan kekerabatan ini juga dirasakan besar
pengaruhnya dalam pertimbangan untuk melaksanakan pembagian
hartakewarisan, terlebih pada harta pencaharian yang dihasilkan dari masa lajang
hingga akhirnya bercampur dengan harta pencarian yang diperoleh setelah
menikah. Upaya pemisahan harta yang sulit dilakukan ini menyebabkan
pelaksanaan kewarisan tidak begitu mendapat perhatian di tengah masyarakatnya,
sehingga banyak dari pada masyarakat lebih memilih untuk menggunakan harta
secara bersama-sama.
3. Kesadaran masyarakat di Kenagarian Tujuah Koto Talago dalam melaksanakan
pembagian kewarisan juga belum tertanam dengan baik. Pengetahuan,
pemahaman serta penyebaran ilmu kewarisan yang tidak merata ini
mempengaruhi pola prilaku masyarakatnya. Kesadaran yang telah dimunculkan
di tengah masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago baru sebatas adanya
hukum kewarisan yang diajarkan oleh agama yang diyakini masyarakat, yaitu
Islam. Pemahaman selanjutnya adalah hukum tersebut memberikan pelajaran
bahwa setiap orang memiliki hak kewarisan dari kerabat-kerabatnya yang
terdekat. Pengetahuan serta pemahaman ilmu kewarisan yang terbatas ini yang
kemudian menyebabkan di Kenagarian Tujuah Koto Talago, meskipun berada
dalam lingkungan masyarakat yang 100% beragama Islam yang taat, kesadaran
pelaksanaan hukum kewarisan masih kurang dirasakan pribadi masyarakatnya.
66

B. Saran
Keyakinan untuk beragama sudah tidak diragukan lagi dalam masyarakat
Kenagarian Tujuah Koto Talago. Lingkungan masyarakatnya juga sudah sangat
mendukung dalam upaya pelaksanaan ajaran agama Islam secara Kaffah. Terlepas
dari pengaruh sistem kekerabatan matrilineal, penanaman ajaran mengenail ilmu
kewarisan Islam perlu lebih di tekankan dalam setiap kegiatan ataupun pengajian
agama yang di lakukan oleh masyarakat. Tokoh agama, ustaz dan para mubalig perlu
menekankan pengajaran terhadap hukum kewarisan Islam dalam setiap ceramah
yang disampaikan, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap kewarisan Islam akan
semakin berkembang dan memunculkan kesadaran yang besar dalam diri dan
lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian pelaksanaan pembagian harta
kewarisan berdasarkan hukum Islam dapat dilaksanakan seluruh masyarakat secara
optimal
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zuhrah, Muhammad, Hukum Waris menurut Imam Ja‟far Shadiq, PT.
Lentera Basritama, 2001.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris Al-Faraidl Deskripsi
Berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, Cet 1, Surabaya: Pustaka Hikmah
Perdana, 2005.
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, S.H, Cet-1, Depok: Gema Insani
Press, 1996.
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap
Hukum, Cet-2 Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad,Pembagian Waris menurut Islam, Cet- 1,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet-2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Amir M.S, Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian, Cet-4,
Jakarta: Citra Harta Prima, 2011.
Budi Nugraheni, Desti dan Haniah Ilhami, “Pembaruan Hukum Kewarisan
Islam di Indonesia”, Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 2014.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, CV. Diponegoro,
Semarang, 2000.
Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama
RI Tahun 2013, Panduan Praktis Pembagian Waris dalam Islam.
Ghafor Anshori, Abdul, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Kewarisan
Bilateral Hazairin.

67
68

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,


Kencana Prenada Media Group, 2011.
Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga, Cet-1, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2011.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Muhammad,Fiqih Mawaris untuk Warisan dalam
Syari‟at Islam, Cet- 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur‟an dan Hadis, Jakarta:
Tintamas, 1982.
Husein Nasution, Amin, Hukum Kewarisan Islam Analisis Komparatif
Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Cet-1, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012.
Julius DT. Malako Nan Putiah, Mambangkik Batang Tarandam dalam Upaya
Mewariskan dan Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi
Kehidupan Bangsa, Cet-1 Bandung: Citra Umbara, 2007.
Kuzari, Achmad,Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta
Tinggalan, Cet 1, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris
Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami, Cet- 1, Jakarta: Senayan Abdi Publishing,
2004.
Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Pustaka Alvabet Anggota
IKAPI, Jakarta, 2008.
Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Abu, Tuntunan Praktis Hukum Waris,
Jakarta: Pustaka Ibnu „Umar, 2009.
Muhyidin Abdul Hamid, Muhammad,Panduan Waris Empat Madzhab, Cet 1,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Muhibbin, Muhammad, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Cet-1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
69

Piliang, Edison, dan Nasrun Dt. Marajo Sungut, Budaya dan Hukum Adat di
Minangkabau, Cet-2, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah
Sumatera Barat, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan
Daerah, 1978.
Riadi, Edi “ Paradigma Baru Hukum Waris Islam di Indonesia” dalam
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia ed Muchit A.
Karim,Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2012.
Riwayat Attubani, Adat dan Sejarah Minangkabau, Cet-1, Padang: Media
Eksplorasi, 2012.
Rosyadi, A. Rahmat, dan M. Rais ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Cet-1, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Said Suhiarto, Umar, Pengantar Hukum Indonesia, Cet-2,Jakarta: Sinar
Grafika, 2014.
Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, Cet 1,
Bandung: Penerbit Alumni, 1993.
Soekanto, Soerjono, Antropologi Hukum Proses Pengembangan Ilmu Hukum
Adat, Cet-1 Jakarta: CV Rajawali, 1984.
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok sosiologi Hukum, Cet. Ke-5, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2010.
Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan
Tata Hukum, Cet-6, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti.
Suhiarto, Said Umar, Pengantar Hukum IndonesiaJakarta: Sinar Grafika,
2014, Cet. Ke-2.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan
BW, Cet-4, Bandung: PT Refika Aditama, 2013.
Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT.
Alumni, 2010.
70

Syarifuddin, Amin. Hukum Kewarisan Islam edisi kedua, Prenadamedia


Group, 2015.
Syarifuddin, Amin Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan
Adat Minangkabau, Cet-1 Jakarta: PT Gunung Agung, 1984.
Yahya, M.Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No 7 Tahun 1989, jakarta:Pustaka Kartini, 1997.
Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan
Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Cet-1, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2011.
Zainuddin, Musyair, Ranah Minang dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta:
Penerbit Ombak Anggota IKAPI, 2014.
Zamzami, Mukhtar, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan
Indonesia, Kencana Prenada Media Group, 2013.

Artikel dan Wawancara


Data Wilayah dan Penduduk Kenagarian VII Koto Talago, Tahun 2017.
Hadits Riwayat Ibnu Majah No 224, tentang Penegasan Hukum Menuntut
Ilmu Adalah Wajib, https://muslim.or.id/18810-setiap-muslim-wajib-mempelajari-
agama.html, diakses pada kamis, 16 Agustus 2018, pukul 10:13.
https://palantaminang.wordpress.com/sejarah-alam-minagkabau/g-sistem-
kepemilikan/, diakses pada 20 Mei 2018, jam 21.31 WIB.
Observasi Langsung di Wilayah Kenagarian Tujuah Koto Talago, 9 Juni
2018.
Profil Kenagarian Tujuah Koto Talago dalam Laporan Tim Pendataan Nagari
Tujuah Koto Talago Tahun 2017.
Wawancara Pribadi dengan Ainil Khairani, Narasumber yang Pernah
Melakukan Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman,Selasa 19 Juni 2018.
71

Wawancara Pribadi dengan Budiman, Narasumber yang Pernah Melakukan


Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman,Selasa 12 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan ErmitaNarasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman,Sabtu 30 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Ernita, Masyarakat, Rmah Kediaman, Senin 25
Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Hamdi Syakban, Narasumber yang Pernah
Melakukan Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman, Rabu 20 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Mardhiati, Narasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman, Kamis 14 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Mega, Narasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman, Minggu 17 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Nasrullah, Pendakwah dan Da‟i, Rumah
Kediaman, Minggu 10 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Nelfita Gusti, Narasumber yang Pernah
Melakukan Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman, Sabtu 30 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Roni, Pemuda dan Pemerhati Adat Jorong
Tanjung Jati, Media Seluler, Senin 1 Oktober 2018, Pukul 09.00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Salman, Narasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman Selasa 12 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan Sulaiman, Tokoh Agama, Media Seluluer, Sabtu
17 Februari 2018, Pukul 19.30 WIB
Wawancara Pribadi dengan Tumbi, Tokoh Adat, Media Seluler, Minggu 24
Juni 2018, Pukul 08.30 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Yetti, Narasumber yang Belum Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman, Sabtu 23 Juni 2018.
Wawancara Pribadi dengan YasniNarasumber yang Pernah Melakukan
Pembagian Kewarisan, Rumah Kediaman, Sabtu 30 Juni 2018.
HASIL WAWANCARA I

Nama : Nasrullah
Pekerjaan : Pendakwah dan Ustad
Hari / Tanggal : Minggu, 10 Juni 2018
Tempat : Rumah Kediaman Bapak Nasrullah

1. Bagaimana pendangan bapak terhadap kewarisan yang berkembang di


Kenagarian Tujuah Koto Talago?
Jawab: masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago secara umum mengetahui
adanya hukum kewarisan Islam disamping kewarisan yang juga dimiliki oleh
hukum adat terhadap harta pusaka. Pengetahuan yang saya maksudkan disini
adalah dari segi keberadaan hukum tersebut, sebagaimana ajaran dari agama yang
diyakini dan diakui oleh masyarakat Kenagarian Tujuah Koto Talago. Adapun
dari segi keilmuan dalam melaksanakan hukum, masyarakat kita masih sangat
kurang keilmuannya. Selama saya membantu proses pelaksanaan pembagian
harta kewarisan di tengah masyarakat juga beragam persoalan yang ditemukan.
Hasilnyapun juga ada yang menerima pembagian yang diajarkan dan adapula
yang menolak.
2. Selama membantu masyarakat dalam persoalan hukum kewarisan hingga
pelaksanaannya, bagaimana kondisi dilapangan yang bapak temui?
Jawab: Saya membantu masyarakat dalam persoalan faraid ini sudah cukup lama,
jadi peristiwa dilapangan juga sangat banyak dan masing-masing menjadi
permasalahan masyarakat dalam melaksanakan pembagian harta warisan.
Beberapa di antarannya adalah perselisihan dalam menetapkan harta kewarisan
berupa tanah dan ini paling banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana masyarakat kita yang hidup bersuku-suku dan tinggal dalam satu
lingkungan yang berdekatan, penetapan atas kepemilikan tanah seringkali sulit
dilakukan karena perbedaan pendapat apakah tanah ini merupakan harta pusaka,
atau harta pencaharian. Jadi, sebagian keluarganya karena beranggapan tanah
adalah haera pusaka, mereka meminta tanah ini mengikuti kewarisan adat,
sedangkan sebagian lain yang mengganggap hasil pembelian dan masuk dalam
kelompok harta pencaharian menginginkan pembagian kewarisan. Saya
membantu langsung penyelesaian kewarisan ini. Sebagaimana masyarakat
Minangkabau yang hidup bersuku-suku dan tinggal dalam satu lingkungan yang
bedekatan, pada tanah sengketa tersebut didapati milik suku caniago, sedangkan
disekeliling tanah tersebut adalah suku sipisang.Hal ini tentu janggal dan tidaklah
pas dikatakan tanah tersebut masuk dalam harta pusaka, karena sepetak tanah di
miliki oleh suku yang berbeda dengan suku-suku di sekelilingnya. Setelah
dilakukan penelusuran lebih lanjut kepada keduabelah pihak suku tersebut,
ditemukan bahwa tanah sengketa ini diperoleh dari hasil gadai. Salah satu dari
keluarga yang bersuku sipisang saat itu dalam kondisi yang mengharuskannya
menggadaikan tanah yang dimilikinya, kemudian keluarga yang bersuku
caniagolah yang kemudian memperoleh kepemilikan tanah tersebut, dari bantuan
yang diberikannya. Kesepakatan akhirnya di temukan bahwa tanah tersebut
merupakan hasil pencaharian sehingga dapat dilaksanakan pembagian kewarisan.
3. Sebagai orang yang sadar dalam pembagian waris, apakah ada masukan atau
saran bapak agar masyarakat kita dapat sadar pulaterhadap pentingnya
melaksanakan pembagian warisan dan hukumnya?
Jawab: Saya menyadari bahwa masyarakat kita memang masih terbatas
pengetahuan dan pemahamannya dalam hukum kewarisan Islam, namun bukan
berarti tidak ada sama sekali. Beberapa dari masyarakat kita datang menemui
saya untuk menanyakan persoalan kewarisan, bahkan mereka juga melaksanakan
keilmuan dan hukum yang telah mereka pelajari tersebut. Hal ini saya rasa cukup
di awal, tapi kita masih sangat memerlukan perkembangan pelaksanaan hukum
kewarisan Islam di tengah-tengah masyarakat kita, Kenagarian Tujuah Koto
Talago. Jumlah masyarakat yang melaksanakan dengan yang belum
melaksanakan masih jauh dari kata imbang. Masjid, mushalla dan tempat-tempat
keagamaan yang telah kita punya perlu dikembangkan dengan penyampaian ilmu
kewarisan. Mubalig dan ustad-ustad yang kita miliki diminta memperbanyak
penyampaian dakwah mengenai ilmu kewarisan sehingga akan semakin tertanam
dalam diri masyarakat kita, agar terwujudnya pelaksanaan yang optimal menuju
masyarakat yang lebih baik lagi. Saya berharap untuk selanjutnya perhatian
masyarakat terhadap ilmu kewarisan akan lebih besar.
HASIL WAWANCRA II

Nama : Ernita
Hari / Tanggal :Senin ,25 Juni 2017
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Tempat : Kediaman Ibu Ernita

1. Apakah ibu pernah mendengar ataupun melaksanakan pembagian kewarisan?


Jawab: ya! saya pernah mendengarnya dan mempelajarinya sedikit semasa studi
saya, selain itu keluarga saya juga pernah melaksanakannya saat kematian ayah
dan ibu saya.
2. Apakah yang mendasari ibu dan keluarga dalam melaksanakan pembagian
kewarisan?
Jawab: Kami meyakini pembagian untuk kemaslahatan jangka panjang.
Pembagian akan menjadi upaya pencegahan kesalahpahaman di antara anak cucu
kami di masa depan, sehingga kejelasan penting untuk kami sampaikan di awal
kepada mereka. Sehingga mereka dapat mengetahui hak-haknya secara jelas dan
tidak lalai dengan hak saudaranya yang lain.
3. Bagaimana pelaksanaan kewarisan yang ibu lakukan saat itu?
Jawab: Hasil akhir dari pembagian yang kami lakukan menyepakati pengelolaan
harta peninggalan orang tua pada pihak perempuan. Meskipun demikian seluruh
ahli waris di keluarga mengetahui besar bagian harta masing-masing. Setiap ahli
waris diperlihatkan rincian harta peninggalan kedua orang tuanya tersebut.
Setelah mengatahui sejumlah harta itu, dua orang saudara laki-laki saya
menyepakati untuk memberikan bagian hak warisnya kepada saya dan adik
perempuan saya.
Saudara laki-laki saya mengungkapkan, bahwa penyerahan hak waris tersebut
mereka lakukan dengan alasan tanggung jawabnya sebagai mamak untuk
kemanakan dari sukunya. Sedangkan tanggung jawabnya kepada istri dan anak-
anaknya diberikan dari pencarian yang dia usahakan melalui pekerjaanya. Selain
itu kediaman saudarinya yang perempuan adalah rumah tempatnya berasal, yang
akan menjadi tempatnya kembali suatu saat. Sehingga pemberian ini dapat pula
dipandang sebagai simpanan di keluarga asalnya, dimana hanya hak milik yang
telah diserahkan, namun hak pakai masih dapat digunakan secara bersama-sama
nantinya.
4. Berapa besar harta warisan yang dibagi saat itu?
Jawab: Warisan yang ditinggalkan berupa tanah, rumah, sawah, dan perkebunan,
5. Apakah pelaksanaan pembagian kewarisan yang dilakukan diterima seluruhnya
oleh ahli waris?
Jawab: Semuanya atas kesadaran dan kesepakatan kami bersaudara. Mereka
diberitahukan masing-masing hak dan bagiannya dan setelah mereka terima, hak
tersebut di hibahkan seluruhnya kepada saya dan saudari perempuan saya.
HASIL WAWANCARA III

Nama : Roni
Hari / Tanggal : Senin 1 Oktober 2018
Pekerjaan : Wiraswasta

1. Bagaimana pendangan bapak terhadap kewarisan yang berkembang di


Kenagarian Tujuah Koto Talago?
Jawab: Jadi yang berkembang di masyarakat kita itu ada dua sistem kewarisan,
ada sistem kewarisan adat dan ada sistem kewarisan Islam. Sistem kewarisan
adat ini juga dikelompokkan dalam dua jenis harta dan masing-masing memiliki
tata cara pewarisannya. Pertama ada harta kewarisan pusaka tinggi, dalam
pembagian kewarisannya tidak dapat dilaksanakan menurut ketentuan Agama
Islam dengan pembagian secara individu, karena bentuk kepemilikan yang ada
dalam harta tersebut adalah dari sekelompok orang atau kaum. Akibatnya
kewarisan yang dilakukan juga dengan cara kolektif dalam penggunaan serta
kepemilikannya. Adapun untuk harta pusaka rendah yang masuk di dalamnya
mengenai harta pencaharian, hal ini dapat dilakukan pembagian dengan
kepemilikan secara perorangan atau individu, dimana harta diketahui jelas
keberadaannya dan memiliki pemilik yang tunggal.Masyarakat Kenagarian
Tujuah Koto sudah paham dalam perbedaan ini, mereka paham betul yang dapat
di bagi menurut ketentuan hukum Islam hanyalah dalam bentuk harta pusaka
rendah.
2. Pembagian kewarisan yang berkembang di daerah kita, diluar bentuk kewarisan
harta pusaka tinggi, apakah sudah sejalan dengan hukum kewarisan Islam
menurut bapak?
Jawab: Sepanjang yang saya temui, pelaksanaan pembagian kewarisan memang
jarang ditemukan di Kenagarian Tujuah Koto Talago. Pelaksanaan kewarisan
Islam yang sedikit ditemui ini menurut saya lebih kepada persoalan keberadaan
harta pusaka rendah tersebut.Wilayah Kenagarian Tujuah Koto Talago masih
sangat kuat dengan adat istiadatnya sebagai orang Minang.Penyebaran harta
pusaka tinggi juga masih mendominasi di tengah-tengah masyarakatnya,
akibatnya pelaksanaan pembagian harta kewarisan dari pusaka rendah tidak
banyak terjadi.Hubungan kekeluargaan yang terjalin juga sangat kuat diantara
anggota keluarga dan masyarakat.Banyak dari masyarakat Kenagarian Tujuah
Koto Talago yang hidup bergantug kepada harta kaumnya, sehingga harta
pencaharian yang diperoleh juga banyak kembali kepada kaumnya tersebut.Hal
inilah yang mungkin mengurangi pelaksanaan kewarisan Islam di tengah-tengah
masyarakat, karena memang harta kepemilikan individu tidak banyak dimiiki.
3. Menurut bapak apakah kewarisan yang menurut hukum Islam penting untuk
dilaksanakan dan penyegeraan pelaksanaanya?
Jawab: Berkenaan dengan hukum kewarisan Islam saya setuju untuk
dilaksanakan penyegeraan kewarisannya, karena hal tersebut merupakan tuntutan
agama dan memiliki tujuan kemaslahatan jangka panjang.
4. Sebagai orang yang sadar dalam pembagian waris, apakah ada masukan atau
saran bapak agar di tengah-tengah masyarakat kita dalam mengupayakan
pembiasaan melaksankan pembagian kewarisan?
Jawab: Saya menyadari bahwa masyarakat kita memang masih terbatas
pengetahuan dan pemahamannya dalam hukum kewarisan Islam, namun bukan
berarti tidak ada sama sekali.Mayarakat hanya enggan berurusan dengan
persoalan harta dan uang tersebut.Mungkin ada satu pihak yang menginginkan,
tetapi karena hanya dirinya saja akhirnya seringkali obrolan tersebut tidak
tersampaikan. Lain lagi halnya dengan ahli waris yang barangkali lebih
berkecukupan daripada ahli waris yang lain, sehingga dalam pemanfaatan hak
kewarisan lebih diserahkan begitu saja kepada saudaranya yang lain.
HASIL WAWANCARA IV

Nama : Yetti
Hari / Tanggal : Sabtu, 23 Juni 2018
Tempat : Kediaman Ibu Yetti, Kenagarian Tujuah Koto Talago
Pekerjaan : Rumah Tangga

1. Apakah ibu pernah mendengar tentang faraid atau kewarisan?


Jawab : ya saya pernah mendengarnya
2. Apakah ibu pernah melaksanakan pembagian kewarisan?
Jawab: Saya belum melaksanakannya
3. Bagaimana pandangan ibu terhadap pelaksanaan pembagian kewarisan?
Jawab: Sebagai seorang muslim saya meyakini pelaksanaan pembagian
kewarisan juga diajarkan dalam Agama Islam, namun hingga saat ini pembagian
kewarisan cukup sulit dilakukan di keluarga saya. Ahli waris di keluarga kami
cukup banyak dan semuanya tinggal berjauhan satu sama lain. Kesibukan dengan
pekerjaan masing-masing turut mengurangi perhatian kami mengenai kewarisan
peninggalan orang tua kami ini, sehingga belum dilaksanakannya pembagian.
4. Apakah pernah ada ungkapan dari ahli waris lain untuk melaksanakn pembagian
kewarisan?
Jawab: Hingga saat ini belum ada, karena kesibukan masing-masing. Selain itu
sebagian besar saudara saya lebih senang seperti saat ini, harta warisan orang tua
kami saya jaga. Salah satunya dengan saya tinggal dan merawat rumah
peninggalan orang tua saya ini. Kedepannya saya tidak bisa mengetahui pasti,
hanya untuk saat ini kami meyakini pemanfaatan harta secara bersama-sama
adalah pilihan terbaik.
Gambar 1 : Wawancara dengan bapak Budiman, Narasumber yang Telah
Melaksanakan Pembagian Kewarisan di Kenagarian Tujuah Koto Talago, Kecamatan
Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Selasa 12 Juni 2018, Pukul 19.30 WIB.

Gambar 2 : Bapak Hamdi Syakban Narasumber yang Sudah Melaksanakan


Pembagian Kewarisan, di Rumah Kediamannya, Setelah Selesai Sesi Wawancara
Pada Rabu 20 Juni 2018.
Gambar 3 : Wawancara dengan Ibu Nelfita Gusti, Narasumber yang Telah
Melaksanakan Pembagian Kewarisan, di Kediamannya, Sabtu 30 Juni 2018

Gambar 4 : Potret Ibu Mega dan kediamannya, Narasumber yang Telah


Melaksanakan Pembagian Kewarisan, di Kenagarian Tujuah Koto Talago, Minggu
17 Juni 2018
Gambar 5 : Potret Rumah Kediaman Ibu Ernita, di Ambil Saat Setelah Selesai
Melaksanakan Sesi Wawancara, Senin 25 Juni 2018

Gambar 6 : Potret Ibu Yasni dan Rumah Kediamannya, Narasumber yang Telah
Melaksanakan Pembagian Kewarisan, Sabtu 30 Juni 2018

Gambar 7 : Potret Bapak Salman dan Rumah Kediamannya, Narasumber yang Telah
Melaksanakan Pembagian Kewarisan, Selasa 12 Juni 2018.

Anda mungkin juga menyukai