Skripsi
Oleh
Helma Suryani
NIM 11150440000001
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
ii
iii
iv
ABSTRAK
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, hidayah, berkah dan keridhaan-Nyalah Penulis bisa menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang berjudul “PERKAWINAN SESUKU DALAM
BUDAYA MINANGKABAU DI NAGARI BATIPUH ATEH
(PENDEKATAN ANTROPOLOGI HUKUM)”. Shalawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW., keluarga dan sahabat-sahabatnya,
serta para Pengikutnya hingga akhir zaman.
Segala upaya yang Penulis lakukan seakan tiada artinya jika tidak dibantu
maupun didorong oleh berbagai pihak. Karena itu Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah berkenan membantu dan memberikan
dorongan nasihat yang amat berharga bagi terselesaikannya skripsi ini.
Penulis ucapkan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya
terutama Penulis sampaikan kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabie Kharlie, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum beserta para Wakil Dekan.
2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga
dan Bapak Indra Rahmatullah SH.I., MH., Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga.
3. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., MH, pebimbing skripsi sekaligus dosen
pembimbing akademik saya, yang dengan penuh kesabaran berkenan
membimbing, memotivasi, dan memberikan arahan yang amat berharga
sehingga terselesaikannya skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum,
pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Para Narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
data-data terkait penelitian ini, bapak H. Samsuar DT. Gadang
Majolelo, Bapak Safrial, DT. Batuah Nan Teleang, Bapak Hj. Alfa
vi
Edison, DT. Mustafa, Bapak Azizman DT. Sinaro Alam Nan Putiah,
Bapak Musa DT. Tumangguang, Yuniar, Yusmawati.
6. Teristimewa untuk keluarga saya, Ayahanda Mawardi DT. Indomo dan
Ibunda Yusmawati yang sangat saya cintai dengan segenap hati ini.
Atas kasih sayang dan pengorbanannya baik berupa materiil, dan
segenap jiwa raganya untuk keberhasilan saya. Serta kakak dan adik-
adik saya Maryu Yendra Dewi. Firdaus Ramadhani dan Dian Oktania
Fitri yang selalu memberikan dorongan kepada saya untuk segera
menuntaskan penulisan skripsi.
7. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2015,
yang telah berbagi ilmu dan bertukar fikiran dengan saya, semoga ilmu
yang kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
8. Kepada sahabat-sahabat saya Mitra Aminah dan Ahmad Fala Tansa,
S.H yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Terimakasih kepada abang Adeb Davega Prasna, S.H., yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Semoga segala arahan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan oleh
berbagai pihak tersebut mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari
Allah SWT.
Tak banyak kata yang bisa Penulis sampaikan selain ucapan syukur, terima
kasih dan harapan yang besar semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang
besar untuk kemajuan bangsa dan negara, khususnya di dunia akademik. Mudah-
mudahan skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan para pambaca
pada umumnya. Akhirul kalam wabillahittaufiq wal hidayah
Helma Suryani
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..............................................................................................................v
BAB I : PENDAHULUAN
viii
BAB II : HUKUM ADAT DAN PLURALISME HUKUM DI
INDONESIA
ix
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................60
B. Saran .....................................................................................62
LAMPIRAN .........................................................................................................69
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung :
Alfabeta, 2013), h., 221.
2
B. Ter Haar Bzn, Soebakti Pesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta
Timur : Balai Pustaka, 2013), h., 159.
3
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), h., 221.
4
Amrizal, “Asal Usul dan Makna Nama Gelar Datuak di Nagari nan Tujuah Kecamatan
Palupuh Kabupaten Agam” Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, (Oktober, 2011), h., 96.
5
Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respon Terhadap Kolonial
Belanda Abad XIX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h., 22.
1
2
Selain itu, Penghulu juga berkedudukan sebagai Ninik Mamak dalam suku
atau kaumnya.6
Sejalan dengan itu seorang Penghulu merupakan orang yang memiliki
hak-hak istimewa yang melekat pada gelar pusaka yang disandangnya
sebagai Penghulu, kemudian akan diturunkan kepada kemenakan saparuik,
sekaum atau sepersukuan.7 Seorang Penghulu juga memiliki posisi yang
tinggi dan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.8
Selain itu kepemimpinan seorang Penghulu juga sangat berkaitan erat untuk
mensukseskan pembangunan dalam berbagai bidang, khususnya kepada anak
dan kemanakan serta kaumnya.9
Adapun menurut hukum adat Minangkabau seseorang dilarang kawin
dengan suku yang sama disebabkan karena garis keturunan di Minangkabau
dilihat berdasarkan garis keturunan ibu, adapun terkait sistem perkawinannya
menggunakan sistem eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal, yaitu
suatu sistem yang memperbolehkan seseorang menikah dengan orang yang
memiliki suku yang berbeda dengannya,10 sehingga memberikan pengaruh
yang kuat untuk keturunannya kelak.11
Sedangkan perkawinan yang dilakukan di luar suku menjadi syarat
mutlak diperbolehkannya seseorang melangsungkan perkawinan, yang mana
syarat perkawinan itu telah diatur dalam Undang-undang adat Minangkanbau
pada bagian adat nan ampek, yaitu pada bagian adat nan babuhua mati, yang
6
Aditiawarman dan Abrar, Budaya Alam Minangkabau (BAM), (Padang: Pemerintah Kota
Padang Dinas Pendidikan, 2007), h., 125.
7
Amrizal, “Asal Usul dan Makna Nama Gelar Datuak di Nagari nan Tujuah Kecamatan
Palupuh Kabupaten Agam”, Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, (Oktober, 2011), h., 97-98.
8
Irfan Saputra, “Perilaku Politik Elit Adat Studi Atas Kemenangan Bupati Indra Cantri dan
Wakil Bupati Trinda Farhan Satria pada Pemilukada 2015 di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.”
(Skirpsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017), h., 1-2.
9
Idrus Hakimi, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Aula Pasambahan Adat
di Minangkabau, (Bandung: Remadja Karya CV, 1984, Cet. Pertama), h., 1.
10
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,
2011), h., 3.
11
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,
2011), h., 3.
3
dalam hal ini menegaskan bahwa semua ketentuan dan hukum adat yang
berlaku tidak dapat diubah-ubah.12 Seperti perkawinan sesuku yang sudah
bersifat turun temurun dan disebut juga sebagai keluarga sakampuang
(sekampung) atau suatu kelompok orang yang berkumpul dalam beberapa
rumah gadang dengan satu keturunan atau satu nenek moyang, sehingga hal
ini menciptakan pendapat bahwa perkawinan sesuku merupakan perkawinan
dengan saudara sendiri.
Selain itu penerapan perkawinan sesuku ini tidak sama antar wilayah
Minangkabau, hal ini selaras dengan pepatah adat “lain lubuk lain ikannya,
lain Nagari lain pula adat istiadatnya”.13 Dimana pepatah adat tersebut
mengisyaratkan bahwa setiap Nagari sama dalam hal entitas kultural dan
geografis namun dalam penerapan hukum adat setiap Nagari tidaklah sama
karena setiap Nagari diatur oleh hukum adatnya masing-masing.
Begitu juga adat istadat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh, dimana
dalam memahami perkawinan sesuku, aturan adat Salingka Nagari Batipuh
Ateh yang dipimpin oleh Penghulu atau lembaga adat hanya melarang
perkawinan sesuku yang terdapat dalam Nagari yang sama, sedangkan jika
perkawinan sesuku yang berbeda Nagari diperbolehkan namun tetap menjadi
perhatian dan pertimbangan Penghulu dalam memutuskannya. Karena pada
hakikatnya setiap Penghulu memiliki peran aktif dalam menjaga keluarga,
kemenakan dan anggota kaumnya salah satu peran atau usaha yang dapat
dilakukan oleh Penghulu dalam menjaga dan mengatasi agar tidak terjadinya
perkawinan sesuku tersebut adalah dengan cara memberikan pembinaan dan
nasehat serta pengembangan nilai-nilai adat kepada keluarga, kemanakan dan
anggota kaumnya.14
12
Arika Suryadi, “Perkawinan Sesuku Di Nagari Matur, Kabupaten Agam, SUMBAR
(Studi Pandangan Tokoh Adat dan Tokoh Agama).” (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h., 3.
13
Nola Putriyah P, “Perkawinan Eksogami: Larangan Perkawinan Satu Datuak di Nagari
Ampang Kuranji, Sumatera Barat”, Al-Ahwal, Vol. 8, No. 2, (2015 M/1436 H) h., 176.
14
Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi Perkawinan
Sesuku Menurut Hukum Adat di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”, Fakultas Hukum, Volume Iv, No. 1, (Februari, 2017), h., 4.
4
15
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,
2011), h., 3.
16
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari
Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), h, 53.
17
Melly Dwi Saputri, “Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu
Kabupaten Kampar”, Jom FISIP Volume 2 No. 2 (Oktober, 2015), h., 3.
5
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas terdapat beberapa
permasalahan yang teridentifikasi sebagai berikut:
1) Mengapa perkawinan sesuku dalam adat Minangkabau dilarang?
2) Bagaimana akibat hukum perkawinan sesuku dalam budaya
Minangkabau?
3) Apa saja peran dari Ninik Mamak (Penghulu) dalam budaya
Minangkabau?
4) Apa saja peran dari Ninik Mamak (Penghulu) dalam perkawinan sesuku?
5) Mengapa Ninik Mamak sangat berperan aktif dalam menjaga anak dan
kemanakannya terutama dalam hal perkawinan sesuku di Minangkabau?
6) Apa peran lembaga adat dalam menyelesaikan perkara perkawinan
sesuku?
7) Mengapa di zaman modern ini anjuran larangan perkawinan sesuku di
Minangkabau masih tidak diperbolehkan?
8) Bagaimana pandangan Islam terkait pelarangan perkawinan sesuku?
9) Apakah ada pertentangan antara hukum Islam dan hukum Adat terkait
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Untuk itu penulis hanya
6
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penulis membuatnya dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa perkawinan sesuku di Nagari Batipuah Ateh diperbolehkan
sedangkan di Minangkabau pada umumnya dilarang?
2. Apa implikasi terhadap pelaku yang melanggar perkawinan sesuku di
Nagari Batipuah Ateh?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang penyebab dibolehkannya perkawinan sesuku dalam
budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.
2. Mengungkapkan implikasi terhadap pelaku yang melanggar perkawinan
sesuku di Nagari Batipuh Ateh.
F. Manfaat Penelitian
Dari tujuan tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya bagi penulis sendiri maupun dari pihak lain
yang berkepentingan baik secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan masukan pengembangan ilmu pengetahuan tentang
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh
Ateh..
b. Memberikan sumbangsih pemikiran baik berupa pengertian hukum
adat, perkawinan sesuku dan antropologi hukum.
7
2. Manfaat praktis
a. Diharapkan setelah membaca penelitian ini bisa memberikan
edukasi yang positif.
b. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi peneliti lain yang
akan melakukan penelitian yang serupa dengan tujuan yang berbeda.
G. Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang terkait dengan
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau studi antropologi hukum di
Nagari Batipuh Ateh yang dilakukan peneliti:
Pertama, Rahmat Hidayat dengan judul “Perkawinan Sesuku dalam
Masyarakat Minangkabau Menurut Pandangan Hukum Islam Studi Kasus di
Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat”.18 Skripsi ini membahas tentang
perkawinan sesuku dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan hukum
Islam, apakah dari sisi hukum Islam selaras dengan hukum adat yang berlaku
atau malah sebaliknya. Persamaan yang ditemukan dalam skripsi ini adalah
sama-sama membahas tentang perkawinan sesuku. Perbedaannya adalah
penelitian yang dilakukan Rahmat Hidayat bertujuan untuk mengetahui
pandangan hukum Islam terkait dengan perkawinan sesuku di kecamatan
Banuhampu sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk
memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di
Nagari Batipuh Ateh.
Kedua, Yossi Febrina dengan judul “Perkawinan Sesuku di Nagari
Jawi-jawi Sumatera Barat Ditinjau dari Hukum Islam”.19 Skripsi ini
membahas tentang analisa masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan
hukum adat Minangkabau, yaitu larangan melangsungkan perkawinan bagi
18
Rahmat Hidayat “Perkawinan Satu Suku dalam Masyarakat Minangkabau Menurut
Pandangan Hukum Islam Studi Kasus di Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat”, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Ahwal Syakhshiyyah,
Jakarta, 2007.
19
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-jawi Sumatera Barat Ditinjau
dari Hukum Islam”, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Hukum
Keluarga, Jakarta, 2017.
8
mereka yang sesuku. Persamaan yang ditemukan pada penelitian ini adalah
sama-sama membahas tentang perkawinan sesuku. Perbedaannya adalah
penelitian yang dilakukan Yossi Febrina ini bertujuan untuk menganalisa
masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan tentang perkawinan
sesuku menurut hukum Islam, sedangkan fokus penelitian yang dilakukan
peneliti adalah untuk memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya
Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.
Ketiga, Melly Dwi Saputri dengan judul “Perkawinan Sesuku di Desa
Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar”.20 Jurnal ini
membahas tentang latar belakang terjadinya perkawinan sesuku serta peran
Ninik Mamak terhadap penegakan hukum atau sanksi dalam perkawinan
sesuku. Persamaan yang ditemukan pada penelitian ini adalah sama-sama
membahas tentang perkawinan sesuku. Adapun perbedaannya adalah
penelitian yang dilakukan Melly Dwi Saputri ini membahas tentang
perkawinan sesuku di Tanjung Kecamatan Koto Kampar sedangkan
sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk
memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di
Nagari Batipuh Ateh.
Keempat, Iqbal Sonta Pratama dengan judul “Peranan Tungku Tigo
Sajarangan dalam Mengatasi Perkawinan Sesuku Menurut Hukum Adat di
Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”21 Jurnal ini membahas tentang besarnya Peranan Tungku Tigo
Sajarangan dalam menjaga tatanan nilai adat Minangkabau di Nagari Sungai
Buluah, peranan Tungku Tigo Sajarangan ini dapat membantu masyarakat
Nagari Sungai Buluah untuk memahami agar tidak melakukan perkawinan
sesuku dikarenakan dapat merusak tatanan adat di Minangkabau. Persamaan
yang ditemukan pada penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang
20
Melly Dwi Saputri, “Perkawinan Sesuku Di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar
Hulu Kabupaten Kampar” Fisip, 2015.
21
Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi Perkawinan
Sesuku Menurut Hukum Adat Di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”, Fakultas Hukum tahun 2017.
9
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan
antropologi hukum yang diuraikan secara deskriptif. Antropologi hukum
merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola
sengketa dan penyelesaiannya. Baik pada masyarakat-masyarakat sederhana
maupun pada msyarakat yang mengalami proses pengembangan dan
pembangunan.22 Menurut Istilah antropologi terjadi dari kata antropos dan
logos. Kedua kata itu berasal dari bahasa yunani; antropos artinya manusia
logos artinya ilmu atau studi. Jadi antropologoi artinya adalah ilmu yang
mempelajari manusia baik dari segi hatyati maupun dari segi budaya.23
Adapun menurut Miles dan Huberman yang dikutip dalam buku Ulber
Silalahi menjelaskan penelitian kualitatif adalah sumber dari deskripsi yang
luas dan berlandasan kukuh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses
yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan data kualitatif diharapkan dapat
mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab
akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh
penjelasan yang banyak dan bermanfaat.24
22
Salman Manggalatung, Amrizal Siagian, Pengantar Studi Antopologi Hukum di
Indonesia, (Jakarta : UIN Jakarta, 2015, Cet. Pertama), h., 20.
23
Hilma Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung : P.T. Alumni, 2010, Cet.
Ketiga), h., 1.
24
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h., 284.
10
2. Jenis Penelitian
Dalam penghimpunan bahan yang disajikan dalam penelitian ini
penulis menggunakan jenis penelitian empiris studi antropologi hukum atau
sering disebut sebagai penelitian hukum non-doktrinal yang merupakan suatu
penelitian yang bersumber pada data primer seperti data yang langsung
diperoleh dari objek penelitian. Selain itu penelitian empiris umumnya
mencari jawaban terhadap kesenjangan (gap) antara hukum yang seharusnya
(das sollen) dengan hukum senyatanya (das sein) di dalam kehidupan
masyarakat.25
3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian yang peneliti lakukan adalah terkait tentang
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.
4. Sumber Data
Sumber data merupakan segala sesuatu yang menjadi sumber dan
rujukan dalam penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti
bagi dalam dua jenis data, yaitu :
a. Data primer, merupakan sumber yang berkaitan langsung dengan objek
penelitian. Dalam hal ini yaitu wawancara langsung dengan objek yang
diteliti yaitu Ketua Adat, ninik mamak serta masyarakat Nagari Batipuh
Ateh. Diantaranya adalah H. Samsuar, Dt. Gadang Majolelo selalu
pangulu andiko dalam kaumnya serta sebagai anggota dalam KAN,
Safrizal Dt. Batuah Nan Teleang dan Alfa Edison Dt. Mustofa yang
merupakan ninik mamak di Nagari Batipuh Ateh sekaligus anggota
dalam KAN, Azizman Dt. Sinaro Alam Nan Putiah dan Musa Dt.
Tumangguang merupakan pengulu-pengulu yang juga sangat
berpengaruh di Nagari Batipuh Ateh serta juga merupakan bagian dari
25
Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Peneltian, (Jakarta : UIN Jakarta, 2010),
h., 32.
11
KAN, SERTA Yuniar dan Yusmawati adalah orang yang juga menjadi
saksi akan adanya perkawinan sesuku di Nagari Batipuh Ateh.
b. Data sekunder, merupakan data pendukung serta memperkuat data-data
primer. Dalam hal ini berupa berupa buku, skripsi, jurnal, tesis, artikel
maupun internet.
Membuat Membuat
Mengamati
Kerangka Terkait Pertanyaan
Sumber Data
Data-data. Wawancara.
Melakukan Melakukan
Wawancara Transkip Hasil
Dengan Tokoh Wawancara Dari
Adat, Orang Tua Lisan Menjadi
Dan Masyarakat Tulisan
6. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dilakukan
transkip hasil wawancara dari lisan menjadi tulisan. Setelah itu penulis
menganalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu
menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional.
12
I. Sistematika Penulisan.
Agar penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan sistematika
penulisan menjadi lima bab, yang dalam kelima bab tersebut terdiri dari sub
bab yang terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan, meliputi latar belakang, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan Hukum adat dan pluralisme hukum di Indonesia,
mencakup tiga pembahasan, yaitu pertama pengertian pluralisme hukum di
Indonesia, sejarah pluralisme hukum di Indonesia dan teori pluralisme hukum
di Indonesia. Kedua hukum adat mencakup eksistensi hukum adat, bentuk-
bentuk perkawinan adat serta larangan perkawinan dalam hukum perkawinan
adat. Selanjutnya yang ketiga perkawinan adat Minangkabau mencakup
perkawinan di Minangkabau dan perkawinan sesuku.
Bab III menguraikan tentang Nagari Batipuh Ateh dan eksistensi
lembaga adatnya dalam perkawinan sesuku, yang mencakup dua pembahasan
pertama profil Nagari Batipuh Ateh mencakup sejarah Nagari Batipuh Ateh
dan pemerintahan Nagari Batipuh Ateh. Kedua eksistensi lembaga adat di
Nagari Batipuh Ateh mencakup tujuan dibentuknya KAN (Kerapatan Adat
Nagari) dalam menyelesaikan perkawinan sesuku, serta tugas dan fungsi
KAN (Kerapatan Adat Nagari).
Bab IV perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari
Batipuh Ateh. mencakup praktek perkawinan sesuku di Nagari Batipuh Ateh,
akibat hukum perkawinan sesuku serta implementasi perkawinan sesuku di
Minangkabau.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II
1
Abdurrahman, “Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam Bagi Pengembangan
Hukum Nasional di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, h., 233.
2
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2008), h.,
230.
3
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, (Jakarta : Huma,
2005, Cet. Pertama), h., 121-122.
13
14
4
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 122.
5
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 6.
15
6
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin h., 7.
7
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 9-11.
16
8
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 9-10.
9
Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan
Konsekuensi Metodologisnya” Hukum dan Pembangunan, No. 4 (XXXIII), h., 91.
17
10
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 16.
11
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 17.
12
Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan
Konsekuensi Metodologisnya” Hukum dan Pembangunan, No. 4 (XXXIII), h., 498-499.
18
13
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 126.
14
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 59.
19
L.W.C Van Den Berg Termasuk ahli hukum belanda dan dialah yang
paling awal dalam memeperlihatkan secara tegas pengakuannya atas
kenyataan bahwa hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi orang Islam di
Indonesia walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Bahkan
pemikirannya lebih terlihat nyata dalam jajaran praktis. Dia juga
mengusahakan sehingga sehingga hukum kewarisan dan hukum perkawinan
15
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 59.
16
Jhon Griffhits, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, artikel ini
disampaikan oleh Jhon Griffits dalam pertemuan tahunan Asosiasi Hukum dan Masyarakat (The
Law and Society Association) di Amhest (12-14 Juni 1981), h., 74.
20
B. Hukum Adat
Pada dasarnya istilah hukum adat berasal dari bahasa arab, “Huk’mun”
dan “Adah” (jamaknya , Ahkam) yang berarti suruhan atau ketentuan. Selain
itu dalam hukum Islam dikenal dengan “Hukum Syari’ah” yang terdapat lima
macam suruhan dan perintah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu :
fardh (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makhruh
(celaan), dan jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam
bahasa arab disebut dengan arti “kebiasaan”yaitu suatu perilaku masyarakat
yang selalu terjadi.18
Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum adat disebut sebagai hukum
tidak tertulis (unstatuta law), yang berbeda dengan hukum kontinental
sebagai hukum tertulis (statua law). Dalam sistem hukum Inggris, hukum
tidak tertulis disebut (common law) atau (judge made law). Tidak dapat
dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak memiliki
17
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam,
(Jakarta : Bina Aksara, 1982), h., 12-13.
18
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, Cet. 3, 2014),
h., 1.
21
19
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, (Bandung : Nuansa Aulia, 2013, Cet. Pertama), h., 1
20
Hardjito Notopuro, Tentang Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan dalam Hukum
Nasional, (Jakarta : Majalah Hukum Nasional, 1969), h., 49.
21
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005),
h., 283.
22
Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Gralia Indonesia, Cet. 1,
1987), h., 9.
23
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, h., 35-47.
22
dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain, hal ini pun diperkuat dengan
ungkapan “bak adat bapiek kulik, sakik dek awak sakik dek urang, sanang
dek awak sangak dek urang, nan elok dek awak katuju dek urang”.24
Pada dasarnya adat Minangkabau terdiri dari empat jenis, namun satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan
yaitu : Pertama, Adat Nan Babuhua Mati yang merupakan hukum dasar baik
tentang kesatuan tentang ketentuan pokok dari Adat Nan Diadatkan oleh
nenek moyang, maupun tentang aturan-aturan pelaksanaan dari yang disebut
Adat Nan Babuhua Sentak. Dalam petatah-petitih Minangkabau seperti Adat
Nan Babuhua Mati adalah aturan-aturan adat yang tidak bisa diubah-ubah
walau dengan kata mufakat sekalipun. Seperti yang disebutkan dalam pepatah
adat Minangkabau “tak lakang dek paneh, takan lapuak dek hujan, dianjak
tak layua, dibubuik tak mati, dibasuah bahabih aia, dikikih bahabi basi”.25
24
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 13.
25
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 14.
26
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 15.
23
27
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung :
P.T Alumni, 2002, Cet. Pertama) h., 175.
28
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 175-176.
24
29
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 176-177.
30
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 175-178.
25
bangsa, maka hukum akan tampak dari cerminan kebudayaan bangsa itu
sendiri.31
Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan dari
kepribadian bangsa adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa
bangsa dari abad ke abad. Setiap aturan adat yang dimiliki oleh daerah yang
ada di dunia berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya sama yaitu ke-
Indonesiaannya. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia dikatakan sebagai
Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya meskipun berbeda beda, tetapi tetap satu.
Selain itu adat selalu berkembang serta senantiasa mengikuti perkembangan
masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi rakyat. Dengan demikian
adat merupakan endapan (renapan) kesusilaan dalam masyarakat, yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat tersebut.32
31
Eka Susylawati, “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”, VOL. IV,
No. 1, (Juni, 2009), h., 126.
32
Eka Susylawati, “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”, VOL. IV,
No. 1, (Juni, 2009), h., 126.
33
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450.
26
34
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450-451.
35
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 452.
27
36
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 453-458.
37
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar Hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 4559-461.
28
38
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar Hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450-464.
29
(geneologis), kesamaan wilayah, dan obyek- obyek adat lainnya, hak atas
tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya.39
39
Jawahir Tantowy, “Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan
Hak-hak Tradisionalnya”, Jurnal Pandecta, Vol. 10, No. 1, (Juni, 2019), hal., 2.
40
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 52.
41
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1990, Cet. Ke empat), h., 73.
42
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 53.
30
karena istri meninggal dunia dan suami kawin lagi dengan kakak atau adik
perempuan dari isteri yang telah wafat, Perkawinan mengabdi terjadi ketika
diadakan pembicaraan lamaran, pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-
syarat perpintaan dari perempuan.43 Perkawinan ambil beri merupakan
bentuk perkawinan yang terjadi antara kerabat yang sifatnya simetris.
Perkawinan seperti ini sering terjadi pada masyarakat adat Minangkabau.
Tetapi tidak dapat berlaku di daerah batak karena sifat kekerabatannya
asimetris dan menganut adat “manunduti”, artinya dimana perkawinan itu
terjadi berulang searah tidak boleh bertimbal balik, Perkawinan ambil anak
terjadi karena hanya memiliki anak perempuan tunggal, maka anak
perempuan mengambil laki-laki dari anggota kerabat untuk menjadi
suaminya dan mengikuti kerabat isteri selama perkawinannya, hal ini
bertujuan untuk menjadi penerus keturunan pihak isterinya. 44
Kedua, perkawinan semenda. Pada umumnya berlaku dilingkungan
masyarakat adat yang “matrilineal” dalam rangka mempertahankan garis
keturunan pihak ibu. Bentuk perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk
perkawinan jujur. Dalam perkawinan ini calon mempelai laki-laki dan
kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak perempuan,
bahkan sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada
pihak laki-laki.45 Adapun bentuk-bentuk perkawinan semenda yang berlaku
ini seperti semenda raja-raja, semenda lepas, semenda bebas, semenda
nunggu, semenda ngangkit dan semenda anak dagang.46
Ketiga, perkawinan bebas. Pada umumnya perkawinan ini berlaku di
lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental, seperti pada masyarakat
Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi serta dikalangan
masyarakat Indonesia yang modern.47
43
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 54-56.
44
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 56.
45
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 57.
46
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 57-60.
47
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 60.
31
48
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 61.
49
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 51-64.
32
50
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65.
51
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65.
33
53
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65-67.
54
Yahya Samin dkk, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan
Minangkabau Masa Kini, (Padang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Cet. Pertama),
h., 55-56.
35
55
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.
56
Kompilasai Hukum Islam.
36
57
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Depok : UI-Pres, 2014), h., 47-48.
58
Hasanuddin, Adat dan Syarak Sumber Inspirasi dan Rujukan Nilai Dialektika
Minangkabau, (Padang: Pusat Studi Informasi dan Kebudayaan Miangkabau, 2013), h., 1.
59
Yahya Samin dkk, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan
Minangkabau Masa Kini, h., 56.
60
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, h., 48.
37
61
Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h., 184.
62
Yahya Samin, Peran Mamak Terhadap Kemanakan dalam Kebudayaan Minangkabau
Masa Kini, h., 92.
63
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam
Pasal 1.
64
Yahya Samin, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau
Masa Kini, h., 92.
65
Subkhan Masykuri, “Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayudalam Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus di Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten Kampar Provinsi Riau).”
(Sripsi S-1, Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2016), h., 18.
38
berasal dari suku yang sama dengannya.66 Hal ini disebabkan karena
masyarakat Minangkabau beranggapan bahwa perkawinan sesuku adalah
perkawinan satu rumpun atau satu keturunan, sehingga jika aturan ini
dilanggar maka akan menimbulkan kerancuan dalam tatanan nilai adat yang
mengandung sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan berdasarkan
garis keturunan ibu.67
66
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011), h.,
3.
67
Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan dalam Mengatasi Perkawinan
Sesuku Menurut Hukum Adat di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”, Fakultas Hukum, Volume Iv, No. 1, (Februari, 2017), h., 5.
68
Yahya Samin, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau
Masa Kini, h., 94.
39
sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh dan retak,
ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu
pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan,
harta kekayaan dan masalah pewarisan.
Disamping itu dalam hal yang esensial juga terdapat kesesuaian antara
aturan adat masyarakat Minangkabau dengan ajaran syarak. Alam menjadi
sebuah sumber inspirasi dan ajaran bagi kehidupan mereka juga termasuk
dalam sumber atau dasar syarak. Meskipun demikian bukan berarti integrasi
adat dan syarak berlangsung mulus tanpa ada polemik-polemik. Pada
dasarnya syarak diterima sebagai landasan keyakinan masyarakat
Minangkabau, tetapi beberapa unsur dari adat Minangkabau berbenturan
dengan ajaran syarak yang menjadi landasan keyakinan itu. Perbenturan yang
membuahkan konflik itu terutama dalam hal kebiasaan tradisi yang
bertentangan dengan dalil yang tegas dalam syarak, seperti salah satu
contohnya perbedaan dalam hal perkawinan, terutama bagi orang yang boleh
menikah dengan orang yang boleh dinikahi.70
2. Perkawinan Sesuku
Berbicara tentang perkawinan sesuku bukanlah hal yang dianggap tabu
lagi di daerah Minangkabau, karena secara umum berdasarkan adat
Minangkabau perkawinan sesuku tidak diperbolehkan. Baik calonnya berasal
dari Nagari yang sama ataupun berbeda Nagari. Suku berasal dari kata “kaki”
atau satu kaki yang berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya
69
Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, h. 222.
70
Syifa Fauziah, “Perubahan Adat nan Babuhua Mati Terkait Perkawinan Sesuku di Nagari
Saniangbaka Kabupaten Solok.” (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2018), h., 8.
40
71
Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan
Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, JOM Fakultas
Hukum Vol. III No. 2, (Oktober, 2016), h., 6.
72
Rahmat Alpian R, “Kontruksi Makna Perkawinan Sasuku di Kecamatan Kuantan Mudik
Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau”, JOM Fisip, Vol. 4, No. 1 (Februari, 2017), h., 9.
73
Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan
Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, JOM Fakultas Hukum
Vol. III No. 2, (Oktober, 2016), h., 6.
74
Masdir Manto, “Persepsi Masyarakat Terhadap Kawin Sesuku di Desa Pulau Busuk
Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi.” (Skripsi S-1 Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Kasim Riau, 2010), h. 11.
41
apabila laki-laki dan perempuan yang ingin menikah tersebut memiliki suku
yang berbeda.75
Sejalan dengan hal itu jika orang dilarang kawin sesuku disebut
larangan eksogami marga, namun yang terjadi di Minangkabau sendiri kawin
sesuku disebut garis keturunan ibu maka disebut larangan eksogami
matrilokal. Sehingga perkawinan sesuku bukan melihat dari sudut pandang
halal atau haram melainkan sebuah perkawinan yang dibangun atas dasar nilai
moral dan raso jo pareso (perasaan dengan tenggang rasa) dan merupakan
kesepakatan atau sumpah yang berlaku secara turun temurun dari nenek
moyang. Adapun dalam hukum warih nan bajawek (waris yang harus dijawab
atau turun temurun) yang dijalankan dan dituahi oleh Datuk atau Penghulu
sekarang.76
Pelarangam terhadap perkawinan sesuku di Minangkabau dianggap
wajib, hal ini karena prinsip dan pemikiran yang beranggapan bahwa
perkawinan sesuku adalah hubungan satu keluarga atau hubungan dekat.
Sehingga hal ini termasuk dalam kategori pelanggaran adat, yang ini
membuat perkawinan itu menjadi perlu diperhatikan dan disikapi oleh para
ketua adat yaitu Datuk atau Penghulu dan ketika terjadi pelanggaran terhadap
anak dan kemanakan maka sanksi adat akan dijalankan secara tegas. Jika
perkawinan sesuku tersebut dilanggar, maka pasangan yang melakukan
perkawinan akan diberi sanksi adat, yaitu sanksi nan dibuang jauh, disangai
indak baapi, di gantuang tinggi dak batali. Artinya seseorang yang
melakukan perkawinan tersebut akan diusir dan dibuang sepanjang adat oleh
ketua adat dari masing-masing suku tersebut. 77
75
Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat
Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 8.
76
Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat
Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 6.
77
Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat
Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 6-7.
BAB III
1
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.
2
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.
42
43
Saat ini Nagari Batipuh Ateh memiliki Jumlah penduduk 4.503 jiwa,
yang terdiri dari laki-laki 2.262 jiwa dan perempuan 2.241 jiwa serta jumlah
kepala keluarga sebanyak 1.310 kk.
Asal usul nama Nagari Batipuh adalah berasal dari nama sebatang kayu
besar yang bernama kayu Ipuah (kayu yang beripuh), yang tumbuh di bawah
beringin gadang (besar). Yang dikatakan / dinamakan Nagari Batipuh adalah
semenjak dari Kapalo Koto sampai Ikua Koto. Nagari Batipuh kira-kira tahun
1840 dibagi menjadi dua kewalian / Nagari yaitu Batipuh Ateh (Kapalo Koto)
dan Batipuh Baruah (Ikua Koto), dengan diberi tanda Batu Gantiang yang
terletak di Gantiang yang dihadiri oleh orang IV Jinih di Batipuh.
Selain itu asal Ninik moyang orang Batipuh Ateh adalah dari Pariangan.
Ninik moyang yang turun dari Pariangan sebanyak 14 keluarga dengan 14
orang penghulu ke Batipuh. Dari Ninik nan 14 yang tinggal di Batipuh Ateh
sebanyak 7 Ninik. Karena manusia bakakambangan maka rapatlah Ninik
tersebut dengan keputusan, penghulu di Nagari Batipuh Ateh menjadi 12
orang yang disebut urang duo kali anam, yang terdiri dari 7 suku.3 Suku-
suku tersebut adalah Panyalai, Sikumbang, Koto, Malayu, Jambak, Pisang
dan Guci.4
Sebelah Utara : Nagari Sabu, Anak Kayu Nan Tigo, Padang Laweh,
Sitapuang Banyak.
3
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.
4
Bardasarkan Data Kantor Wali Nagari Batipuh Ateh. Diambil Tanggal 3 Maret 2019.
44
5
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.
6
Bardasarkan Data Kantor Wali Nagari Batipuh Ateh. Diambil Tanggal 3 Maret 2019.
45
terkait serta pemerintah desa terkait. Rapat lembaga adat ini berfungsi untuk
mencari tau penyebab dan seperti apa perselisihan yang menyangkut adat
istiadat. Adanya penyelesaian ini diberlakukannya hukum adat yang dibuat
oleh tetua adat sebelumnya.7
Lembaga adat merupakan suatu organisasi kemasyarakatan adat yang
dibentuk oleh masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah adat
tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta mempunyai
wewenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan hal-hal yang
berkaitan dengan adat.8
Pada dasarnya di Minangkabau terdapat 3 macam pemerintahan adat
(kalarasan), yakni kalarasan Bodi Chaniago, Kalarasan Koto Piliang dan
Pisang Sikalek-kalek Hutan (Campuran). Berhubung di Nagari Panyalaian
termasuk Kalarasan Bodi Caniago, maka bentuk masyarakat hukum adat yang
ada di Nagari Panyalaian hanya 2, yakni masyarakat hukum adat genealogis
matrilineal berupa paruik / kaum yang masing-masing dipimpin oleh seorang
pengulu yang berjumlah 98 orang dan masyarakat hukum adat genealogis
matrilineal teritorial yaitu Panyalaian.
Terkait dengan bentuk pengakuan dan perlindungan hal masyarakat
hukum adat di Kab. Tanah Datar-Sumatera Barat. Jauh sebelum adanya UU
No. 6 tahun 2014 tentang desa sebenarnya eksistensi masyarakat hukum adat
di Minangkabau sudah diakui dan dilindungi. Hal ini terakomodir di dalam
perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang pokok-pokok
pemerintahan Nagari, dimana kedua peraturan tersebut menyebutkan bahwa
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas
wilayah tertentu dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (adat basandi
syara’, syara’ basandi kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat
7
Muhammad Erwin, “Peran Lembaga Adat dalam Pembangunan Desa Sidomulyo” Ilmu
Pemerintahan, Vol. 5, No. 3, (2017), h., 1340.
8
Ayi Haryani, “Peran Pengurus Lembaga Adat dalam Memfungsikan Lembaga Adat
Kasepuhan Sinaresmi di Desa Sinaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi” Jurnal Ilmiah
Pekerjaan Sosial, Vol. 11 No. 1, (Juni, 2012), h., 2.
46
9
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat. (Jakarta : Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI, 2016), h., 107.
10
Pasal 1 Angka 13 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Nagari.
11
Pasal 28 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari.
12
Pasal 86 Perda Kabupaten Tanah Datar, No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari.
47
ini didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta hukum
adat yang berpedoman kepada hukum syarak melalui musyawarah mufakat,
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. 13
13
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat
dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
14
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah Ateh
Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, h., 2.
15
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat
dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
16
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah Ateh
Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, h., 2.
48
Maksud kata “sako” ini lebih berbentuk abstrak misalnya seperti gelar
penghulu / gelar adat dari suatu kaum Minangkabau, sedangkan Pusako ini
dapat berbentuk materiil seperti ulayat, jadi secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa tugas dan fungsi KAN adalah sebagai tempat mediasi untuk
menyelesaikan suatu perkara sebelum dibawa ke ranah hukum. Sehinga jika
terjadi permasalahan hukum terkait sako dan pusako, maka aparat penegak
hukum tidak dapat menindak hal tersebut. Akan tetapi harus meminta
persetujuan atau rekomendasi terlebih dahulu kepada KAN.19
17
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta : Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI, 2016), h., 108.
18
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, h., 109.
19
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, h., 109.
BAB IV
Hal ini pun sejalan dengan teori pluralisme hukum yang juga telah
disampaikan pada pembahasan sebelumnya, mapping of law (pemetaan
hukum), dimana hukum adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh merupakan
1
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
49
50
pemetaan hukum yang telah dipilah-pilah dengan hukum adat yang berlaku
di Minangkabau oleh tetua adat untuk menciptakan kemanan dan
kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalamnya.
Selain itu ungkapan pepatah adat Minangkabau “suku nan indak bias
dianjak, malu nan indak dapek dibagi, (sehina semalu)”. Masyarakat Batipuh
Ateh membolehkan perkawinan sesuku dengan catatan harus berasal dari
Nagari yang berbeda, namun tidak membolehkan perkawinan sesuku yang
berasal dari Nagari yang sama atau satu rumpun, satu rumpun yang dimaksud
disini adalah menurut garis keturunan matrilineal, dimana ketentuan itu
disebut dengan istilah “eksogami matrilokal” atau “eksogami matrilineal”.3
3
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari
Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 42-43.
4
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
51
5
Wawancara Pribadi dengan Bapak Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
6
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
7
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari
Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 48.
8
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rajudi DT. Tanbarakan, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
52
9
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
10
Wawancara Pribadi dengan Bapak Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
11
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
53
13
Firman Hasan, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, (Padang : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h., 122.
14
Wawancara Pribadi dengan Ibu Yuniar, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari 2019.
15
Wawancara Pribadi dengan Ibu Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari
2019.
54
16
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
17
Wawancara Pribadi dengan Ibu Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari
2019.
55
Setiap suatu tindakan tentu akan ada akibat dari tindakan tersebut,
apalagi jika suatu tindakan tersebut melanggar aturan-aturan yang sudah ada,
baik berupa aturan dalam hukum positif, hukum Islam, hukum adat dan
sebagainya. Terkait dengan perkawinan sesuku yang terjadi di Nagari Batipuh
Ateh, dalam hal ini terikat dengan hukum adat atau disebut dengan hukum
adat Salingka Nagari, yang memiliki aturan-aturan khusus di dalamnya. Salah
satunya terkait dalam kebolehan menikah dengan orang yang sesuku, namun
memiliki pengecualian harus yang berasal dari Nagari yang berbeda. Jika
perkawinan tersebut dilakukan dengan pasangan yang sesuku dan berasal dari
Nagari yang sama, maka akan menimbulkan akibat-akibat dan sanksi hukum
dari aturan adat yang berlaku di Nagari tersebut.
Adapun akibat hukum yang timbul dari perkawinan sesuku dan berasal
dari satu Nagari di Nagari Batipuah Ateh sebagai berikut :
18
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
56
Setiap pelaku kawin sesuku yang berasal dari Nagari yang sama
maka akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya karena dianggap
telah merusak hukum adat yang telah berlaku.20
19
Hampir Serupa dengan Nasi Kuning Namun Nasi Lamak Terbuat dari Beras Ketan Putih.
20
Wawancara Pribadi dengan Bapak Safrial DT Batuah Nan Teleang, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
21
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat
dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
22
Singgang Ayam Merupakan Simbol Adat dalam Acara Tertentu.
23
Sa Pikua Bareh setara dengan 100 Liter beras.
57
24
Riyal Merupakan Mata Uang Dahulu Kala yang Ada di Minangkabau, Satu Ria sebanyak
12.000 sama dengan 120.000 dalam Rupiah.
25
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
26
Abdurrahman, “Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam Bagi Pengembangan
Hukum Nasional Di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, h., 233.
58
tidaklah sah apabila dilakukan dengan orang yang sedarah atau saudara
kandung, yang juga bersesuaian dengan aturan adat Minangkabau yang
melarang seseorang kawin sesuku atau satu saudara atau sedarah.
Selain itu aturan adat yang berlaku di Minangkabau khususnya di
Nagari Batipuh Ateh tentang perkawinan sesuku menjadi suatu hal yang
menarik untuk penulis bahas. Karena jika diamati kembali aturan adat yang
berlaku secara umum di Minangkabau tentang perkawinan sesuku sedikit
berbeda dengan aturan adat Nagari Batipuh Ateh, dalam hal ini di
Minangkabau perkawinan sesuku adalah suatu perwinan yang dilarang karena
pengaruh dari sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan ibu, yang
beranggapan bahwa setiap orang yang memiliki suku yang sama adalah orang
yang mempunyai hubungan pertalian darah atau hubungan kekerabatan.
Dengan kata lain jika seseorang melakukan perkawinan sesuku maka sudah
diaggap sumbang dan menyimpang dalam aturan adat Minangkabau.27
Lain halnya dengan aturan adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh,
dimana perkawinan sesuku adalah sah atau boleh jika dilakukan dengan orang
yang berasal dari Nagari yang berbeda, namun jika perkawinan itu dilakukan
dengan orang yang berasal dari Nagari yang sama maka perkawinan tersebut
tidak boleh atau tidak sah secara aturan adat Nagari Batipuh Ateh.
Hal yang mendasari bolehnya perkawinan sesuku di Batipuh Ateh yang
berasal dari Nagari yang berbeda menurut Samsuar “Karano alam lah
bakalebaran, manusia alah bakakambangan, dan aturannyo pun lah babeda
dengan Nagari yang lain”.28 Maksudnya karena alam sudah semakin luas dan
masyarakat sudah semakin berkembang serta aturan-aturan adat pun telah
berbeda di masing-masing Nagari. Hal tersebut juga di perkuat oleh pendapat
Alfa Edison yang mengatakan “Nagari satu kesatuan masyarakat hukum
27
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT. Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuh Ateh, 03 Maret 2019.
28
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT. Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuh Ateh, 03 Maret 2019.
59
adat, adat yang balaku adalah adat Salingka Nagari”29 maksudnya dalam
aturan Nagari merupakan satu kesatuan yang berasal dari masyarakat hukum
adat dan hukum adat yang berlaku adalah hukum adat Salingka Nagari di
daerah tersebut.
Sedangkan secara yuridis terkait terkait permasalahan perkawinan
sesuku maka penyelesaian terakhir jika tidak selesai oleh Ninik Mamak
adalah KAN (Kerapatan Adat Nagari). Karena pengadilan tertinggi di Nagari
Batipuh Ateh adalah KAN. Sejalan dengan Peraturan Daerah tentang Nagari
dimana segala permasalahan yang terjadi di Nagari diselesaikan oleh KAN,
karena KAN merupakan perwujudan permusyawaratan tertinggi dalam
Nagari.30
Oleh karena itu dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan terkait
adanya perbedaan yang terjadi antara aturan adat yang berlaku di
Minangkabau pada umumnya dengan aturan yang adat yang berlaku di Nagari
Batipuh Ateh maka peneliti setuju dengan kebolehan perkawinan sesuku beda
Nagari yang ada dalam aturan adat Salingka Nagari yang berlaku di Nagari
Batipuh Ateh, hal yang paling mendasari alasan peneliti adalah ketika
seseorang melakukan perkawinan sesuku yang berasal dari beda Nagari maka
Ninik Mamak dari suku tersebut sudah pasti berbeda, karena jika satu Nagari
sudah pasti satu Ninik Mamak. Selain itu menurut pepatah Minangkabau
Sawah lah balupak, ladang dan babintalak, maksudnya kalau orang yang
berasal dari berbeda Nagari hak dan hartanya sudah berbeda sehingga tidak
menimbulkan lagi perpecahan antar kaum serta tidak ada permasalahan yang
timbul dalam pengurusan NA.
29
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustafa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuh Ateh, 03 Maret 2019.
30
Pasal 1 angka 6 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
60
61
karena itu dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan masyarakat adat
beranggapan makanan tersebut tidak layak untuk dimakan.
Ada juga hukuman yang dibebankan kepada Ninik-mamak yang
bersangkutan, pembayaran kepada : Pangulu Pucuak sebanyak 60 Riya,
Pangulu Andiko sebanyak 40 Riya, Pangulu Pasamaian sebanyak 30 Riya,
Pangulu Panungkek sebanyak 20 Riya, Tuo Kampuang sebanyak 10 Riya
(Majolelo : 2019). Nilai satu Riya seharga Rp 3000.
B. SARAN
Bagi tokoh agama dan tokoh adat yang mengetahui dengan jelas tujuan
dan maksud dari pelestarian aturan ini, hendaknya memberikan penjelasan
yang lebih mendalam lagi terkait pandangan Islam terhadap aturan adat
Salingka Nagari tentang kebolehan perkawinan sesuku beda Nagari di
Batipuh Ateh.
DAFTAR PUSTAKA
63
64
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah
Ateh Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar : 2.
Daftar Wawancara
Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi, Batipuah
Ateh, 23 Maret 2019.
Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara
Pribadi, Batipuah Ateh, 25 Wawancara Pribadi Maret 2019.
Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi, Batipuah
Ateh, 4 Maret 2019.
Rajudi DT. Tanbarakan, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi Batipuah
Ateh, 15 Maret 2019.
Safrial DT Batuah Nan Teleang, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi
Batipuah Ateh, 17 Maret 2019.
68
HASIL WAWANCARA
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
a. Apakah benar dari keluarga ibu ada yang melakukan perkawinan satu
suku?
Jawaban : Iyo batua, itu adolah anak ambo sandiri, namun samantang
pun baitu iyo lai indak ado masalah ataun pun papacahan baru nan
datang dari pakawinan itu do.
Ttd
Yuniar
7. Yusmawati
Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh
Suku : Sikumbang
Pekerjaan : Sebagai Tokoh Masyarakat
Ttd
Yusmawati
DOKUMENTASI WAWANCARA