Anda di halaman 1dari 92

PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU

DI NAGARI BATIPUH ATEH

(PENDEKATAN ANTROPOLOGI HUKUM)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H)

Oleh

Helma Suryani

NIM 11150440000001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/1440 H
ii
iii
iv
ABSTRAK

Helma Suryani. NIM 11150440000001. Perkawinan Satu Suku dalam Budaya


Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh (Pendekatan Antropologi Hukum), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440
H/2019 M. (x halaman dan 69 halaman).
Fokus penelitian ini adalah menganalisa tentang perkawinan satu suku
dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh. Dalam budaya Minangkabau,
perkawinan satu suku merupakan perkawinan yang dilarang. Bagi pelakunya akan
diberikan sanksi adat yang cukup berat yaitu dikucilkan dari keluarga besar,
masyarakat serta dibuang sepanjang adat. Garis keturunan baik suami, isteri
maupun anak tidak boleh menggunakan nama suku. Demikian juga dengan hak-hak
adat yang lainnya. Namun, ada sebuah Nagari di Batipuh Ateh, Kabupaten Tanah
Datar, terdapat pengecualian terhadap larangan tersebut. Di Nagari ini perkawinan
satu suku diperbolehkan selama pasangan tersebut berasal dari Nagari yang
berbeda. Namun, larangan tetap berlaku jika pasangan berasal dari Nagari yang
sama, karena tradisi di Batipuh Ateh ini langka, maka menarik untuk dilakukan
penelitian lebih mendalam apa yang menjadi alasan pembolehannya dan bagaimana
Kerapatan Adat Nagari memberikan dispensasi perkawinan tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan antropologi hukum. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan
teknik survey dan wawancara mendalam dengan pemangku adat, tokoh masyarakat,
dan pelaku perkawinan. Dalam penelitian ini peneliti berupaya memotret sejelas
dan seobjektif mengkin apa yang terjadi dalam pelaksanaan perkawinan satu suku
pada masyarakat Batipuh Ateh.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat Batipuh Ateh
membolehkan perkawinan satu suku dengan catatan pasangan berada di Nagari
yang berbeda, namun tidak membolehkan perkawinan satu suku yang tinggal di
Nagari yang sama. Untuk pasangan yang akan melakukan perkawinan satu suku
dengan Nagari yang berbeda, harus mendapat izin dari ninik mamak suku tersebut
untuk memastikan bahwa memang benar pasangan tersebut berlainan nagari dan
ketua sukunya berbeda. Dalam penelitian ini juga terdapat informan yang
melakukan perkawinan satu suku dan se Nagari. Bagi kedua pasangan ini,
Kerapatan Adat Nagari memberikan sanksi adat yang sangat keras berupa
pembuangan secara adat, dihapus dari kaum dan dikucilkan serta membersihkan
kembali nama baik ninik mamak dengan upacara adat tertantu.

Kata Kunci : Perkawinan, Satu Suku, Adat, Minangkabau.

Pembimbing : Dr. Yayan Sopyan S.H., M.A., MH.

v
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, hidayah, berkah dan keridhaan-Nyalah Penulis bisa menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang berjudul “PERKAWINAN SESUKU DALAM
BUDAYA MINANGKABAU DI NAGARI BATIPUH ATEH
(PENDEKATAN ANTROPOLOGI HUKUM)”. Shalawat serta salam semoga
tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW., keluarga dan sahabat-sahabatnya,
serta para Pengikutnya hingga akhir zaman.

Segala upaya yang Penulis lakukan seakan tiada artinya jika tidak dibantu
maupun didorong oleh berbagai pihak. Karena itu Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah berkenan membantu dan memberikan
dorongan nasihat yang amat berharga bagi terselesaikannya skripsi ini.
Penulis ucapkan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya
terutama Penulis sampaikan kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabie Kharlie, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum beserta para Wakil Dekan.
2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga
dan Bapak Indra Rahmatullah SH.I., MH., Sekretaris Program Studi
Hukum Keluarga.
3. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., MH, pebimbing skripsi sekaligus dosen
pembimbing akademik saya, yang dengan penuh kesabaran berkenan
membimbing, memotivasi, dan memberikan arahan yang amat berharga
sehingga terselesaikannya skripsi ini.
4. Seluruh Dosen dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum,
pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Para Narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
data-data terkait penelitian ini, bapak H. Samsuar DT. Gadang
Majolelo, Bapak Safrial, DT. Batuah Nan Teleang, Bapak Hj. Alfa

vi
Edison, DT. Mustafa, Bapak Azizman DT. Sinaro Alam Nan Putiah,
Bapak Musa DT. Tumangguang, Yuniar, Yusmawati.
6. Teristimewa untuk keluarga saya, Ayahanda Mawardi DT. Indomo dan
Ibunda Yusmawati yang sangat saya cintai dengan segenap hati ini.
Atas kasih sayang dan pengorbanannya baik berupa materiil, dan
segenap jiwa raganya untuk keberhasilan saya. Serta kakak dan adik-
adik saya Maryu Yendra Dewi. Firdaus Ramadhani dan Dian Oktania
Fitri yang selalu memberikan dorongan kepada saya untuk segera
menuntaskan penulisan skripsi.
7. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2015,
yang telah berbagi ilmu dan bertukar fikiran dengan saya, semoga ilmu
yang kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
8. Kepada sahabat-sahabat saya Mitra Aminah dan Ahmad Fala Tansa,
S.H yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Terimakasih kepada abang Adeb Davega Prasna, S.H., yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Semoga segala arahan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan oleh
berbagai pihak tersebut mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari
Allah SWT.
Tak banyak kata yang bisa Penulis sampaikan selain ucapan syukur, terima
kasih dan harapan yang besar semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang
besar untuk kemajuan bangsa dan negara, khususnya di dunia akademik. Mudah-
mudahan skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan para pambaca
pada umumnya. Akhirul kalam wabillahittaufiq wal hidayah

Jakarta, 29 Mei 2019

Helma Suryani

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...............................................................iii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................iv

ABSTRAK ..............................................................................................................v

KATA PENGANTAR ..........................................................................................vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................1


B. Identifikasi Masalah ...............................................................5
C. Pembatasan Masalah ...............................................................5
D. Perumusan Masalah ................................................................6
E. Tujuan Penelitian ....................................................................6
F. Manfaat Penelitian ..................................................................6
G. Penelitian Terdahulu ...............................................................7
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian ...................................................9
2. Jenis Penelitian ............................................................10
3. Fokus Penelitian ..........................................................10
4. Sumber Data ................................................................10
5. Teknik Pengumpulan Data ..........................................11
6. Analisis Data ...............................................................11
7. Sistematika Penulisan ..................................................12

viii
BAB II : HUKUM ADAT DAN PLURALISME HUKUM DI
INDONESIA

A. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia


1. Pengertian Pluralisme Hukum di Indonesia .................13
2. Sejarah Pluralisme Hukum di Indonesia ......................16
3. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia .........................18
B. Hukum Adat
1. Pengertian Hukum Adat ..............................................20
2. Eksistensi Hukum Adat di Indonesia ...........................24
3. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat .................................29
4. Larangan Perkawinan Dalam Hukum Perkawinan Adat
.....................................................................................31
C. Perkawinan Adat Minangkabau
1. Perkawinan di Minangkabau .......................................34
2. Perkawinan Sesuku .....................................................39

BAB III : NAGARI BATIPUH ATEH DAN EKSISTENSI LEMBAGA


ADATNYA DALAM PERKAWINAN SATU SUKU

A. Profil Nagari Batipuh Ateh


1. Sejarah Nagari Batipuh Ateh .......................................42
2. Pemerintahan Nagari Batipuh Ateh .............................44
B. Eksistensi Lembaga Adat di Nagari Batipuh Ateh
1. Tujuan Dibentuknya KAN (Kerapatan Adat Nagari) ..44
2. Tugas dan Fungsi KAN (Kerapatan Adat Nagari) .......47

BAB IV : PERKAWINAN SATU SUKU DALAM BUDAYA


MINANGKABAU DI NAGARI BATIPUH ATEH

A. Praktik Perkawinan Satu Suku di Nagari Batipuh Ateh ........49


B. Akibat Hukum Perkawinan Satu Suku ..................................55
C. Implementasi Perkawinan Satu Suku di Minangkabau .........57

ix
BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................60
B. Saran .....................................................................................62

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................63

LAMPIRAN .........................................................................................................69

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya, manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik
tanpa adanya suatu proses atau lembaga yang disebut perkawinan.
Perkawinan bagi masyarakat bukan sekedar acara persetubuhan antara jenis
kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk ciptaan Allah lainnya, akan
tetapi perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan
kekal berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974,1 bahkan dalam pandangan
hukum adat perkawinan merupakan hubungan kekerabatan dan merupakan
syarat yang mengatur kesanak-saudaraan semenda pada gologan tersebut.2
Sehubungan dengan itu perkawinan tidak saja suatu peristiwa mengenai
mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki yang menikah) saja,
melainkan juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-
keluarganya.3
Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku
yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan
perkawinan dengan orang yang sesuku dengannya, dimana masing-masing
suku tersebut dipimpin oleh seorang penghulu. Penghulu merupakan sebuah
gelar yang diberikan kepada seorang pemimpin suatu suku atau korong di
wilayah populasi etnis Minangkabau.4 Seorang Penghulu harus dipilih dari
figur yang dianggap paling bijaksana, paling mampu, dan seorang laik-laki
yang paling jernih pandangannya diantara anggota keluarga keturunannya.5

1
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung :
Alfabeta, 2013), h., 221.
2
B. Ter Haar Bzn, Soebakti Pesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta
Timur : Balai Pustaka, 2013), h., 159.
3
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), h., 221.
4
Amrizal, “Asal Usul dan Makna Nama Gelar Datuak di Nagari nan Tujuah Kecamatan
Palupuh Kabupaten Agam” Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, (Oktober, 2011), h., 96.
5
Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respon Terhadap Kolonial
Belanda Abad XIX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h., 22.

1
2

Selain itu, Penghulu juga berkedudukan sebagai Ninik Mamak dalam suku
atau kaumnya.6
Sejalan dengan itu seorang Penghulu merupakan orang yang memiliki
hak-hak istimewa yang melekat pada gelar pusaka yang disandangnya
sebagai Penghulu, kemudian akan diturunkan kepada kemenakan saparuik,
sekaum atau sepersukuan.7 Seorang Penghulu juga memiliki posisi yang
tinggi dan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.8
Selain itu kepemimpinan seorang Penghulu juga sangat berkaitan erat untuk
mensukseskan pembangunan dalam berbagai bidang, khususnya kepada anak
dan kemanakan serta kaumnya.9
Adapun menurut hukum adat Minangkabau seseorang dilarang kawin
dengan suku yang sama disebabkan karena garis keturunan di Minangkabau
dilihat berdasarkan garis keturunan ibu, adapun terkait sistem perkawinannya
menggunakan sistem eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal, yaitu
suatu sistem yang memperbolehkan seseorang menikah dengan orang yang
memiliki suku yang berbeda dengannya,10 sehingga memberikan pengaruh
yang kuat untuk keturunannya kelak.11
Sedangkan perkawinan yang dilakukan di luar suku menjadi syarat
mutlak diperbolehkannya seseorang melangsungkan perkawinan, yang mana
syarat perkawinan itu telah diatur dalam Undang-undang adat Minangkanbau
pada bagian adat nan ampek, yaitu pada bagian adat nan babuhua mati, yang

6
Aditiawarman dan Abrar, Budaya Alam Minangkabau (BAM), (Padang: Pemerintah Kota
Padang Dinas Pendidikan, 2007), h., 125.
7
Amrizal, “Asal Usul dan Makna Nama Gelar Datuak di Nagari nan Tujuah Kecamatan
Palupuh Kabupaten Agam”, Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, (Oktober, 2011), h., 97-98.
8
Irfan Saputra, “Perilaku Politik Elit Adat Studi Atas Kemenangan Bupati Indra Cantri dan
Wakil Bupati Trinda Farhan Satria pada Pemilukada 2015 di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.”
(Skirpsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017), h., 1-2.
9
Idrus Hakimi, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Aula Pasambahan Adat
di Minangkabau, (Bandung: Remadja Karya CV, 1984, Cet. Pertama), h., 1.
10
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,
2011), h., 3.
11
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,
2011), h., 3.
3

dalam hal ini menegaskan bahwa semua ketentuan dan hukum adat yang
berlaku tidak dapat diubah-ubah.12 Seperti perkawinan sesuku yang sudah
bersifat turun temurun dan disebut juga sebagai keluarga sakampuang
(sekampung) atau suatu kelompok orang yang berkumpul dalam beberapa
rumah gadang dengan satu keturunan atau satu nenek moyang, sehingga hal
ini menciptakan pendapat bahwa perkawinan sesuku merupakan perkawinan
dengan saudara sendiri.
Selain itu penerapan perkawinan sesuku ini tidak sama antar wilayah
Minangkabau, hal ini selaras dengan pepatah adat “lain lubuk lain ikannya,
lain Nagari lain pula adat istiadatnya”.13 Dimana pepatah adat tersebut
mengisyaratkan bahwa setiap Nagari sama dalam hal entitas kultural dan
geografis namun dalam penerapan hukum adat setiap Nagari tidaklah sama
karena setiap Nagari diatur oleh hukum adatnya masing-masing.
Begitu juga adat istadat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh, dimana
dalam memahami perkawinan sesuku, aturan adat Salingka Nagari Batipuh
Ateh yang dipimpin oleh Penghulu atau lembaga adat hanya melarang
perkawinan sesuku yang terdapat dalam Nagari yang sama, sedangkan jika
perkawinan sesuku yang berbeda Nagari diperbolehkan namun tetap menjadi
perhatian dan pertimbangan Penghulu dalam memutuskannya. Karena pada
hakikatnya setiap Penghulu memiliki peran aktif dalam menjaga keluarga,
kemenakan dan anggota kaumnya salah satu peran atau usaha yang dapat
dilakukan oleh Penghulu dalam menjaga dan mengatasi agar tidak terjadinya
perkawinan sesuku tersebut adalah dengan cara memberikan pembinaan dan
nasehat serta pengembangan nilai-nilai adat kepada keluarga, kemanakan dan
anggota kaumnya.14

12
Arika Suryadi, “Perkawinan Sesuku Di Nagari Matur, Kabupaten Agam, SUMBAR
(Studi Pandangan Tokoh Adat dan Tokoh Agama).” (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h., 3.
13
Nola Putriyah P, “Perkawinan Eksogami: Larangan Perkawinan Satu Datuak di Nagari
Ampang Kuranji, Sumatera Barat”, Al-Ahwal, Vol. 8, No. 2, (2015 M/1436 H) h., 176.
14
Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi Perkawinan
Sesuku Menurut Hukum Adat di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”, Fakultas Hukum, Volume Iv, No. 1, (Februari, 2017), h., 4.
4

Adapun yang menjadi salah satu alasan tidak diperbolehkannya


perkawinan sesuku, karena masyarakat di Batipuh Ateh berpandangan bahwa
hubungan sesuku merupakan hubungan keluarga dan jika ini dilanggar
tentunya akan bertentangan dan tidak sesuai dengan apa yang telah diatur oleh
hukum adat serta ini akan mencerminkan posisi dan keberadaan hukum adat
dewasa ini yang semakin melemah.15
Terkait dengan peran lembaga adat atau Penghulu terhadap mereka
yang melanggar aturan perkawinan sesuku akan diberikan hukuman seperti
dibuang sepanjang adat.16 Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap
kehidupan pelaku dalam masyarakat, terutama dalam kaumnya. Pelaku akan
dikucilkan dari kaum serta menerima berbagai cemoohan di lingkungan
tempat tinggalnya.
Faktor cinta juga menjadi pemicu terjadinya perkawinan sesuku,
sehingga perkawinan sesuku semakin banyak dan bersemi di tengah-tengah
masyarakat, seiring dengan faktor pendidikan, ekonomi, dan budaya juga
menjadi alasan terjadinya perkawinan sesuku. Oleh sebab itu, Penghulu
berperan penting dalam menjaga anak dan kemenakannya, agar tidak
melakukan perkawinan sesuku atau dimaksudkan sama dengan perkawinan
satu keturunan yang berasal dari satu rumpun suku ataupun berbau suku yang
sama.17
Berdasarkan pada signifikasi pemberlakuan perkawinan sesuku dengan
Nagari yang berbeda bermanfaat untuk diterapkan terutama bagi mereka yang
memiliki hubungan kekerabatan jauh namun terikat dengan suku yang sama
agar dapat menikah dan menghindari perbuatan zina, karena itulah peneliti
tertarik untuk membahas judul penelitian tentang perkawinan sesuku dalam

15
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,
2011), h., 3.
16
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari
Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), h, 53.
17
Melly Dwi Saputri, “Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu
Kabupaten Kampar”, Jom FISIP Volume 2 No. 2 (Oktober, 2015), h., 3.
5

budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh (pendekatan antropologi


hukum). Manfaat penelitian ini untuk mempertegas kembali apa penyebab
dibolehkannya perkawinan sesuku serta bagaimana akibat hukum terhadap
pelaku perkawinan sesuku dengan Nagari sama. Serta penelitian ini ditujukan
kepada seluruh masyarakat Minangkabau agar mereka tahu serta lebih
memahami tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau.

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas terdapat beberapa
permasalahan yang teridentifikasi sebagai berikut:
1) Mengapa perkawinan sesuku dalam adat Minangkabau dilarang?
2) Bagaimana akibat hukum perkawinan sesuku dalam budaya
Minangkabau?
3) Apa saja peran dari Ninik Mamak (Penghulu) dalam budaya
Minangkabau?
4) Apa saja peran dari Ninik Mamak (Penghulu) dalam perkawinan sesuku?
5) Mengapa Ninik Mamak sangat berperan aktif dalam menjaga anak dan
kemanakannya terutama dalam hal perkawinan sesuku di Minangkabau?
6) Apa peran lembaga adat dalam menyelesaikan perkara perkawinan
sesuku?
7) Mengapa di zaman modern ini anjuran larangan perkawinan sesuku di
Minangkabau masih tidak diperbolehkan?
8) Bagaimana pandangan Islam terkait pelarangan perkawinan sesuku?
9) Apakah ada pertentangan antara hukum Islam dan hukum Adat terkait
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau?

C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Untuk itu penulis hanya
6

akan membahas tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di


Nagari Batipuh Ateh.

D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penulis membuatnya dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa perkawinan sesuku di Nagari Batipuah Ateh diperbolehkan
sedangkan di Minangkabau pada umumnya dilarang?
2. Apa implikasi terhadap pelaku yang melanggar perkawinan sesuku di
Nagari Batipuah Ateh?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan tentang penyebab dibolehkannya perkawinan sesuku dalam
budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.
2. Mengungkapkan implikasi terhadap pelaku yang melanggar perkawinan
sesuku di Nagari Batipuh Ateh.

F. Manfaat Penelitian
Dari tujuan tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebanyak-banyaknya bagi penulis sendiri maupun dari pihak lain
yang berkepentingan baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis
a. Memberikan masukan pengembangan ilmu pengetahuan tentang
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh
Ateh..
b. Memberikan sumbangsih pemikiran baik berupa pengertian hukum
adat, perkawinan sesuku dan antropologi hukum.
7

2. Manfaat praktis
a. Diharapkan setelah membaca penelitian ini bisa memberikan
edukasi yang positif.
b. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi peneliti lain yang
akan melakukan penelitian yang serupa dengan tujuan yang berbeda.

G. Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang terkait dengan
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau studi antropologi hukum di
Nagari Batipuh Ateh yang dilakukan peneliti:
Pertama, Rahmat Hidayat dengan judul “Perkawinan Sesuku dalam
Masyarakat Minangkabau Menurut Pandangan Hukum Islam Studi Kasus di
Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat”.18 Skripsi ini membahas tentang
perkawinan sesuku dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan hukum
Islam, apakah dari sisi hukum Islam selaras dengan hukum adat yang berlaku
atau malah sebaliknya. Persamaan yang ditemukan dalam skripsi ini adalah
sama-sama membahas tentang perkawinan sesuku. Perbedaannya adalah
penelitian yang dilakukan Rahmat Hidayat bertujuan untuk mengetahui
pandangan hukum Islam terkait dengan perkawinan sesuku di kecamatan
Banuhampu sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk
memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di
Nagari Batipuh Ateh.
Kedua, Yossi Febrina dengan judul “Perkawinan Sesuku di Nagari
Jawi-jawi Sumatera Barat Ditinjau dari Hukum Islam”.19 Skripsi ini
membahas tentang analisa masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan
hukum adat Minangkabau, yaitu larangan melangsungkan perkawinan bagi

18
Rahmat Hidayat “Perkawinan Satu Suku dalam Masyarakat Minangkabau Menurut
Pandangan Hukum Islam Studi Kasus di Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat”, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Ahwal Syakhshiyyah,
Jakarta, 2007.
19
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-jawi Sumatera Barat Ditinjau
dari Hukum Islam”, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Hukum
Keluarga, Jakarta, 2017.
8

mereka yang sesuku. Persamaan yang ditemukan pada penelitian ini adalah
sama-sama membahas tentang perkawinan sesuku. Perbedaannya adalah
penelitian yang dilakukan Yossi Febrina ini bertujuan untuk menganalisa
masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan tentang perkawinan
sesuku menurut hukum Islam, sedangkan fokus penelitian yang dilakukan
peneliti adalah untuk memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya
Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.
Ketiga, Melly Dwi Saputri dengan judul “Perkawinan Sesuku di Desa
Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar”.20 Jurnal ini
membahas tentang latar belakang terjadinya perkawinan sesuku serta peran
Ninik Mamak terhadap penegakan hukum atau sanksi dalam perkawinan
sesuku. Persamaan yang ditemukan pada penelitian ini adalah sama-sama
membahas tentang perkawinan sesuku. Adapun perbedaannya adalah
penelitian yang dilakukan Melly Dwi Saputri ini membahas tentang
perkawinan sesuku di Tanjung Kecamatan Koto Kampar sedangkan
sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk
memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di
Nagari Batipuh Ateh.
Keempat, Iqbal Sonta Pratama dengan judul “Peranan Tungku Tigo
Sajarangan dalam Mengatasi Perkawinan Sesuku Menurut Hukum Adat di
Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”21 Jurnal ini membahas tentang besarnya Peranan Tungku Tigo
Sajarangan dalam menjaga tatanan nilai adat Minangkabau di Nagari Sungai
Buluah, peranan Tungku Tigo Sajarangan ini dapat membantu masyarakat
Nagari Sungai Buluah untuk memahami agar tidak melakukan perkawinan
sesuku dikarenakan dapat merusak tatanan adat di Minangkabau. Persamaan
yang ditemukan pada penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang

20
Melly Dwi Saputri, “Perkawinan Sesuku Di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar
Hulu Kabupaten Kampar” Fisip, 2015.
21
Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi Perkawinan
Sesuku Menurut Hukum Adat Di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”, Fakultas Hukum tahun 2017.
9

perkawinan sesuku. Adapun perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan


Iqbal Sonta ini membahas tentang Peranan Tungku Tigo Sajarangan,
sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk
memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di
Nagari Batipuh Ateh.

H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan
antropologi hukum yang diuraikan secara deskriptif. Antropologi hukum
merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola
sengketa dan penyelesaiannya. Baik pada masyarakat-masyarakat sederhana
maupun pada msyarakat yang mengalami proses pengembangan dan
pembangunan.22 Menurut Istilah antropologi terjadi dari kata antropos dan
logos. Kedua kata itu berasal dari bahasa yunani; antropos artinya manusia
logos artinya ilmu atau studi. Jadi antropologoi artinya adalah ilmu yang
mempelajari manusia baik dari segi hatyati maupun dari segi budaya.23
Adapun menurut Miles dan Huberman yang dikutip dalam buku Ulber
Silalahi menjelaskan penelitian kualitatif adalah sumber dari deskripsi yang
luas dan berlandasan kukuh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses
yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan data kualitatif diharapkan dapat
mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab
akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh
penjelasan yang banyak dan bermanfaat.24

22
Salman Manggalatung, Amrizal Siagian, Pengantar Studi Antopologi Hukum di
Indonesia, (Jakarta : UIN Jakarta, 2015, Cet. Pertama), h., 20.
23
Hilma Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung : P.T. Alumni, 2010, Cet.
Ketiga), h., 1.
24
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h., 284.
10

2. Jenis Penelitian
Dalam penghimpunan bahan yang disajikan dalam penelitian ini
penulis menggunakan jenis penelitian empiris studi antropologi hukum atau
sering disebut sebagai penelitian hukum non-doktrinal yang merupakan suatu
penelitian yang bersumber pada data primer seperti data yang langsung
diperoleh dari objek penelitian. Selain itu penelitian empiris umumnya
mencari jawaban terhadap kesenjangan (gap) antara hukum yang seharusnya
(das sollen) dengan hukum senyatanya (das sein) di dalam kehidupan
masyarakat.25

3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian yang peneliti lakukan adalah terkait tentang
perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.

4. Sumber Data
Sumber data merupakan segala sesuatu yang menjadi sumber dan
rujukan dalam penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti
bagi dalam dua jenis data, yaitu :
a. Data primer, merupakan sumber yang berkaitan langsung dengan objek
penelitian. Dalam hal ini yaitu wawancara langsung dengan objek yang
diteliti yaitu Ketua Adat, ninik mamak serta masyarakat Nagari Batipuh
Ateh. Diantaranya adalah H. Samsuar, Dt. Gadang Majolelo selalu
pangulu andiko dalam kaumnya serta sebagai anggota dalam KAN,
Safrizal Dt. Batuah Nan Teleang dan Alfa Edison Dt. Mustofa yang
merupakan ninik mamak di Nagari Batipuh Ateh sekaligus anggota
dalam KAN, Azizman Dt. Sinaro Alam Nan Putiah dan Musa Dt.
Tumangguang merupakan pengulu-pengulu yang juga sangat
berpengaruh di Nagari Batipuh Ateh serta juga merupakan bagian dari

25
Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Peneltian, (Jakarta : UIN Jakarta, 2010),
h., 32.
11

KAN, SERTA Yuniar dan Yusmawati adalah orang yang juga menjadi
saksi akan adanya perkawinan sesuku di Nagari Batipuh Ateh.
b. Data sekunder, merupakan data pendukung serta memperkuat data-data
primer. Dalam hal ini berupa berupa buku, skripsi, jurnal, tesis, artikel
maupun internet.

5. Teknik Pengumpulan Data


Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, yang pertama kali
digunakan ialah: (1) Membuat kerangka terkait data-data. (2) Mengamati
sumber data. (3) Membuat pertanyaan wawancara. (4) Melakukan wawancara
dengan tokoh adat, orang tua dan masyarakat. (5) Melakukan transkip hasil
wawancara dari lisan menjadi tulisan. Dengan menggunakan teknik penulisan
ini mampu memberikan gambaran yang sistematis, aktual, faktual dan akurat
terkait data-data yang terjadi dilapangan terkait perkawinan sesuku dalam
budaya Minangkabau (studi antropologi hukum di Nagari Batipuah Ateh).

Membuat Membuat
Mengamati
Kerangka Terkait Pertanyaan
Sumber Data
Data-data. Wawancara.

Melakukan Melakukan
Wawancara Transkip Hasil
Dengan Tokoh Wawancara Dari
Adat, Orang Tua Lisan Menjadi
Dan Masyarakat Tulisan

6. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dilakukan
transkip hasil wawancara dari lisan menjadi tulisan. Setelah itu penulis
menganalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu
menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional.
12

Kemudian data tersebut penulis paparkan dalam bentuk narasi sehingga


menjadi kalimat yang jelas dan mudah dipahami.

I. Sistematika Penulisan.
Agar penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan sistematika
penulisan menjadi lima bab, yang dalam kelima bab tersebut terdiri dari sub
bab yang terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan, meliputi latar belakang, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan Hukum adat dan pluralisme hukum di Indonesia,
mencakup tiga pembahasan, yaitu pertama pengertian pluralisme hukum di
Indonesia, sejarah pluralisme hukum di Indonesia dan teori pluralisme hukum
di Indonesia. Kedua hukum adat mencakup eksistensi hukum adat, bentuk-
bentuk perkawinan adat serta larangan perkawinan dalam hukum perkawinan
adat. Selanjutnya yang ketiga perkawinan adat Minangkabau mencakup
perkawinan di Minangkabau dan perkawinan sesuku.
Bab III menguraikan tentang Nagari Batipuh Ateh dan eksistensi
lembaga adatnya dalam perkawinan sesuku, yang mencakup dua pembahasan
pertama profil Nagari Batipuh Ateh mencakup sejarah Nagari Batipuh Ateh
dan pemerintahan Nagari Batipuh Ateh. Kedua eksistensi lembaga adat di
Nagari Batipuh Ateh mencakup tujuan dibentuknya KAN (Kerapatan Adat
Nagari) dalam menyelesaikan perkawinan sesuku, serta tugas dan fungsi
KAN (Kerapatan Adat Nagari).
Bab IV perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari
Batipuh Ateh. mencakup praktek perkawinan sesuku di Nagari Batipuh Ateh,
akibat hukum perkawinan sesuku serta implementasi perkawinan sesuku di
Minangkabau.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II

HUKUM ADAT DAN PLURALISME HUKUM DI INDONESIA

A. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia


1. Pengertian Pluralisme Hukum di Indonesia
Indonesia adalah sebuah negara yang menganut pluralisme hukum, ada
tiga sistem hukum yang hidup di negeri ini yaitu hukum adat, hukum Islam
dan hukum Barat (Belanda). Ketiganya merupakan sistem hukum yang
membentuk hukum nasional di Indonesia.1 Dalam hal ini pluralisme
merupakan kata yang sering digunakan untuk mendeskripsikan Indonesia.
Sebagaimana halnya negara Indonesia tidak hanya plural dalam hal budaya
dan tradisi, akan tetapi juga dalam hal agama, kepercayaan dan golongan
agama yang tersebarluas diseluruh Nusantara.2
Adapun maksud dari pluralisme hukum adalah sebuah “gambar”
kontemporer tentang hukum yang “dilukis” oleh para Sarjana sosio-legal.
Gambar itu dibuat untuk mengkritik gambar hukum monolitik yang terlihat
begitu dominan karena mengacu pada daerah politis beserta turunan-
turunannya. Gambar pluralistis akan mengarahkan kembali riset tentang
hukum dan masyarakat ke arah berbagai pranata normatif yang ada di luar
lingkaran hukum. Selain itu pandangan pluralisme hukum kritis menganggap
bahwa subjek hukum sebagai “yang menciptakan hukum” bukan sekedar
“yang mematuhi hukum”.3
Menurut Andi Akbar bahwa jika kemampuan kreatif dan konstruktif
dari subjek-subjek hukum diakui bersamaan dengan pluralismenya,
hubungan antara hukum dan diri (selves) akan menampakkan
konfleksitasnya. Selain itu beliau juga beranggapan bahwa setiap upaya untuk
membuat konsep ulang atas hukum dalam kerangka pluralisme hukum kritis

1
Abdurrahman, “Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam Bagi Pengembangan
Hukum Nasional di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, h., 233.
2
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2008), h.,
230.
3
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, (Jakarta : Huma,
2005, Cet. Pertama), h., 121-122.

13
14

adalah bentuk perumusan yang bersifat emansipatoris, karena definisi-


definisi tentang hukum direvisi dan ditolak, gairah-gairah baru terbuka bagi
ilmu pengetahuan sosio-legal.4
Di dunia gerakan perubahan hukum atau gerakan pembelaan
masyarakat adat, pluralisme hukum tidak bisa dilepaskan dari advokasi
pengakuan masyarakat adat. Pada awalnya istilah ini dikemukakan dengan
tujuan membela tanah-tanah masyarakat adat yang diambil paksa oleh LSM
dan segelintir akademisi kampus mulai mengkritik hukum negara yang
digunakan untuk mengabsahkan pengambilan paksa tersebut, sekaligus
menunjukkan bahwa wilayah yang didiami dan dikelola oleh masyarakat adat
bukanlah wilayah tanpa hukum. Sebaliknya masyarakat adat memiliki hukum
yang mengatur mengenai penguasaan dan pengelolaan tanah. Belakangan
istilah pluralisme hukum pertanahan diciptakan khusus untuk membenarkan
kenyataan bahwa selain diatur oleh hukum negara, penguasaan dan
pengelolaan tanah di Indonesia juga diatur oleh hukum adat. Sejarah tersebut
memberikan pondasi bagi aktivis sosial untuk mengartikan pluralisme hukum
sebagai keragaman hukum. Lebih sempit lagi, pluralisme hukum dilihat
ketika negara mengakui keberadaan hukum adat atau hukum lokal lainnya.
Maksudnya jika bila negara atau pemerintah mengakui keberadaan hukum
adat, maka pluralisme hukum telah berlangsung.5
Sejalan dengan hal di atas bahwa sejumlah kalangan akademisi
menemukan dua kekeliruan di dalamnya. Pertama pandangan tersebut
menyempitkan pluralitas menjadi dualitas. Hukum yang dianggap berlaku
dalam organisasi dan wilayah sosial bernama negara hanyalah sitem hukum
negara dan sistem hukum adat. Pandangan tersebut cenderung melupakan
hukum kebiasaan (customary law) dan hukum agama. Dengan menganggap,
bahwa hanya ada dua sistem hukum yang berlaku, pandangan ini sebenarnya
sedang menemukan dualisme, bukan pluralisme. Kedua, pandangan tersebut
melihat relasi dikotomik. Tidak mungkin ada relasi koorporatif atau

4
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 122.
5
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 6.
15

akomodatif antara kedua sistem hukum tersebut. Pandangan yang


mendikotomikan antara hukum negara dengan hukum adat merupakan
konsep tua dalam pemikiran pluralisme hukum. Oleh karena itu pandangan
ini pada dasarnya memang mendapat konteks dalam masa kolonialisme
namun menjadi kehilangan konteks pada periode post kolonialisme.6
Terkait dengan pluralisme hukum yang tidak hanya berkembang dalam
hal wilayah saja atau obyek kajian tetapi juga berkembang dengan cara lain
yakni mendetail dan menajamkan dirinya. Ada beberapa pemikiran yang
bersifat mendetail dan menajam konsep pluralisme hukum yakni ; Pertama,
strong legal pluralism dan weak legal pluralism, (pluralisme hukum yang
kuat dan pluralisme hukum yang lemah). Pluralisme hukum yang kuat adalah
ketika antar berbagai sistem hukum melangsungkan interaksi yang tidak
saling mendominasi atau sederajat. Dalam situasi ini tidak ada sistem hukum
yang lebih superior dibanding sistem hukum yang lain. Situasi sebaliknya
digambarkan dengan pkuralisme hukum yang lemah, pada situasi seperti ini
sistem hukum (biasanya dicontohkan dengan hukum negara) memiliki posisi
superior dihadapan sistem hukum laninnya (biasanya dicontohkan dengan
sistem hukum lokal). Dalam sistem hukum ini individu atau kelompok
cenderung menggunakan salah satu sistem hukum karena tekanan. Kedua,
mapping of law, (pemetaan hukum). Hal ini berawal dari kegelisahan
terhadap pemikir pluralisme dengan mudah membuat peta-peta tentang
hukum. Peta-peta hukum tersebut memilah dengan gampang dengan berbagai
sistem hukum berikut pemberlakuaannya. Ketiga, critical legal pluralism,
(pluralisme hukum kritis). Pluralisme hukum kritis menawarkan sebuah
pendekatan baru dalam pluralisme hukum. Pendekatan yang dilakukan leh
pluralisme hukum yang lama tidak memperhitungkan posisi subyek dalam
wilayah atau lapangan sosial.7
Selain itu pluralisme hukum juga merupakan suatu kondisi dimana
mayarakat melihat adanya lebih dari satu sistem hukum, yang dalam hal ini

6
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin h., 7.
7
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 9-11.
16

terkait kasus Indonesia yang mana penduduk bisa menggambarkan dirinya


berupa objek dari suatu sistem atau lebih, yaitu hukum negara dan satu atau
lebih tradisi hukum etnik atau agama. Karena hal itu maka dapat dipahami
bahwa pluralisme hukum tidak menghasilkan entitas yang statis, namun juga
menciptakan interaksi dinamis di antara tradisi-tradisi hukum yang berbed-
beda.8

2. Sejarah Pluralisme Hukum di Indonesia


Pluralisme sudah menjadi suatu fenomena yang nyata semenjak awal
sejarah umat manusia. Sedangkan kajian mendalam terkait hukum baru
dibahas pada abad ke-20. Kemunculan kajian pluralisme hukum salah satunya
dipicu oleh positivisme atau statisme hukum yang menjadi wacana dominan
dalam studi hukum. Serta sudah lebih dahulu muncul dari wacana
polisentrisme hukum yang berkembang baru-baru ini. Meskipun pada
hakikatnya pluralisme hukum ini relatif baru, namun tidak diragukan lagi
bahwa pluralisme hukum ini telah melahirkan banyak kajian yang
kebanyakan bersifat interdisipliner dengan menggunakan sosiologi,
antropologi dan ilmu sosial-sosial lainnya. Sampai saat ini sudah banyak
konsep serta atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para
ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan tahun 1970 mengajukan
konsep pluralisme hukum yang beragam, namun pada hakikatnya tetap
mengacu terkait lebih dari satu sitem hukum yang secara bersama-sama
berada dalam lapangan sosial yang sama.9
Sebagai salah satu aspek dari kajian hukum, pluralisme hukum
dianggap telah melingkupi berbagai institusi hukum, mulai dari pengakuan
atas keberagaman tatanan hukum dalam suatu negara-bangsa sampai pada
konsep hukum yang open-ended dan memiliki cakupan luas yang tidak terlalu
menggantungkan validitasnya pada pengakuan negara. pada fase pertama,

8
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 9-10.
9
Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan
Konsekuensi Metodologisnya” Hukum dan Pembangunan, No. 4 (XXXIII), h., 91.
17

kajian ini masih berada di bawah pengaruh pendahulunya, yaitu pemikiran


bahwa sumber dari segala hukum adalah negara. Dalam pemikiran seperti itu
yang memunculkan dominasi negara yang sangat kuat sebagai penentu
terhadap peran pluralisme hukum sampai tingkat tertentu masih tetap
dipertahankan.10
Selain itu pendekatan yang lebih mutakhir terhadap pluralisme hukum
diciptakan untuk memperbaiki ketidak akuran kajian-kajian sebelumnya.
Dengan tuggas baru untuk menciptakan sebuah kajian yang lebih terbuka
terhadap konseptualisasi yurisprudensi sosiologis yang baru, para sarjana
pluralisme hukum mutakhir ini lebih terfokus pada aspek kesaling terkaitan
antara berbagai tatanan hukum. Hal ini mengakibatkan pluralisme hukum
tidak lagi terbatas pada fenomena hukum negara dan hukum non negara, tapi
juga mencakup aspek-aspek analisis yang lebih luas dengan memasukkan
lebih banyak lagi aspek non negara sebagai faktor faktor penentu dalam studi.
Sebagai salah satu negara yang memiiki kebudayaan yang paling beragam di
dunia, Indonesia merupakan laboratorium ideal bagi kajian pluralisme
hukum. Meskipun pada hakikatnya kajian di wilayah ini masih terfokus pada
bagaimana negara membentuk norma-norma hukum masyarakat
(peninggallan kajian pluralisme hukum terdahulu).11
Oleh karena itu jika diamati pemikiran terakhir wacana pluralisme
hukum, maka diperlukan kehati-hatian dalam menarik garis antara hukum
negara dengan hukum yang tidak berasal dari negara. dalam kenyataan
beroperasinya sistem hukum secara bersama-sama, sistem tersebut saling
berkompetisi sekaligus saling menyesuaikan dan mengadopsi. Hal itu terlihat
dari bagaimana hukum internasional memberi dampak sampai kepada
masyarakat lokal.12

10
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 16.
11
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 17.
12
Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan
Konsekuensi Metodologisnya” Hukum dan Pembangunan, No. 4 (XXXIII), h., 498-499.
18

3. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia

Adanya gagasan mengenai hukum plural setidaknya sudah ada sejak


zaman Montesquieu yaitu mengenai (jika yang dimaksudkan bukan
perbedaan gaya antara ius civile dan ius gentium) hal demikian dapat dilihat
dari tulisan-tulisan yang ditulis oleh para ahli hukum seperti Santi Romano
dan Giurvitch sebagai gambaran tentang hukum yang begitu jelas, tetapi
gagasan tentang pluralisme hukum baru muncul lagi yaitu pada tahun 1960-
an. Sehubungan dengan hal itu tampak dua kecendrungan. Pertama,
pluralisme legal doktrinal yang tampak khsusunya dalam karya Lon Fulller
yang menekankan keteraturan. Kedua adalah pluralisme hukum yang bersifat
ilmiah-sosial, yang dimulai oleh mereka yang melanjutkan agenda riset studi
hukum dan masyarakat.13

Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu:


Weak legal pluralisme dan strong legal pluralisme, menurut Griffhits
Pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum
karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara
tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain
disatukan dalam hierarki dibawah hukum negara. contoh dari pandangan
pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker:
“The term legal pluralism refers to the situation in which two or more law
interract” Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi
ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut dengan
municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara) dengan servient
law yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama.14

Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat, yang menurut


Griffhits merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan
ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di
semua kelompok masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama

13
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 126.
14
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 59.
19

kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan


sistem hukum yang lebih tinggi dari yang lain. Griffhits sendiri memasukkann
pandangan beberapa ahli kedalam pluralisme hukum yang kuat antara lain
adalah, teori living law dari Eugen Erlich, yaitu aturan-aturan hukum yang
hidup dari tatanan normatif, yang dikontrasikan dengan hukum negara. 15

Menurut Griffhits pandangan lain yang dikategorikan sebagai


pluralisme hukum yang kuat menurut Griffhits adalah teori dari Sally Falk
Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan pemaksa di
dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label the semi-autonomous
social field. Dalam hal ini Griffhits mengadopsi pengertian pluralisme hukum
dari Moore : “Legal Pluralism refers to normetive heterogenity attendant
upon the fact that social action always takes place in a context of multipple
overlapping semi autonomuos social field”. 16

Sejalan dengan hal itu maka kajian pluralisme hukum di Indonesia


dalam sejarahnya sewaktu Indonesia dijajah oleh Belanda dan saat itu
terdapat ilmuwan Belanda yang menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku
penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan, dan L.W.C Van Den
Berg dialah yang menganut teori Receptie in Complexu dan dialah yang
memberi nama tersebut.

L.W.C Van Den Berg Termasuk ahli hukum belanda dan dialah yang
paling awal dalam memeperlihatkan secara tegas pengakuannya atas
kenyataan bahwa hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi orang Islam di
Indonesia walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Bahkan
pemikirannya lebih terlihat nyata dalam jajaran praktis. Dia juga
mengusahakan sehingga sehingga hukum kewarisan dan hukum perkawinan

15
Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 59.
16
Jhon Griffhits, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, artikel ini
disampaikan oleh Jhon Griffits dalam pertemuan tahunan Asosiasi Hukum dan Masyarakat (The
Law and Society Association) di Amhest (12-14 Juni 1981), h., 74.
20

Islam dijalankan oleh Hakim-hakim Belanda dengan bantuan


Penghulu/Qadhi Islam.

Adapun teori hukum lain yang bersangkut paut dengan pluralisme


hukum yaitu teori Receptie, teori ini merupakan pertentangan dari teori
Recpetie In Complexu yang dibuat oleh L.W.C. Van Den Berg, teori receptie
dicetus C. Snouck Hurgronje, penganut teori receptie ini mengemukakan
bahwa sebenarnya yang berlaku adalah hukum adat asli. Dalam hukum adat
ini memang telah masuk pengaruh hukum Islam, pengaruh hukum Islam itu
kata mereka, baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh
hukum adat dan dengan demikian lahirlah dia keluar sebagai hukum adat
bukan sebagai hukum Islam. Di Hindia belanda teori ini banyak
pengikutnya.17

B. Hukum Adat
Pada dasarnya istilah hukum adat berasal dari bahasa arab, “Huk’mun”
dan “Adah” (jamaknya , Ahkam) yang berarti suruhan atau ketentuan. Selain
itu dalam hukum Islam dikenal dengan “Hukum Syari’ah” yang terdapat lima
macam suruhan dan perintah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu :
fardh (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makhruh
(celaan), dan jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam
bahasa arab disebut dengan arti “kebiasaan”yaitu suatu perilaku masyarakat
yang selalu terjadi.18
Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum adat disebut sebagai hukum
tidak tertulis (unstatuta law), yang berbeda dengan hukum kontinental
sebagai hukum tertulis (statua law). Dalam sistem hukum Inggris, hukum
tidak tertulis disebut (common law) atau (judge made law). Tidak dapat
dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak memiliki

17
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam,
(Jakarta : Bina Aksara, 1982), h., 12-13.
18
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, Cet. 3, 2014),
h., 1.
21

tatanan hukumnya sendiri. Betapapun sederhananya sebagai negara berdaulat


mempunyai tata hukum sendiri yang bersumber dari pemikiran bangsa itu
sendiri.19
Menurut Hardjito Notopuro hukum adat merupakan hukum yang tidak
tertulis atau hukum kebiasaan yang memiliki ciri khas sebagai pedoman
kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan
masyarakat serta bersifat kekeluargaan.20 Sejalan dengan hal itu menurut
Soerjono Soekanto hukum adat merupakan keseluruhan adat (hukum tidak
tertulis) hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat berupa
kesusilaan kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.21
Selain itu hukum adat juga merupakan keseluruhan peraturan hukum
yang berisi ketentuan adat istiadat seluruh bangsa Indonesia dimana sebagian
besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, selain itu dalam keadaannya
yang ber-bhineka mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku
bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat-istiadat
berdasarkan pandangan hudup masing-masing.22 Dalam hal lain terkait
dengan hukum adat perkawinan menurut Dewi Wulansari merupakan atura-
aturan adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara
pelamaran, upacara perkawinan dam putusnya perkawinan di Indonesia.23
Berdasarkan ketentuan adat pepatah Minangkabau “sawah diagiah
bapamatang, ladang dibari bamintalak, nan babesotapuang jo sadah, nan
bapikehminyak jo aia”. Artinya adat tersebut mengatur tata kehidupan
masyarakat, baik secara perorangan maupun secara bersama dalam setiap
tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti
yang baik dan mulia, sehingga setiap pribadi mampu merasakan kedalam

19
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, (Bandung : Nuansa Aulia, 2013, Cet. Pertama), h., 1
20
Hardjito Notopuro, Tentang Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan dalam Hukum
Nasional, (Jakarta : Majalah Hukum Nasional, 1969), h., 49.
21
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005),
h., 283.
22
Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Gralia Indonesia, Cet. 1,
1987), h., 9.
23
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, h., 35-47.
22

dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain, hal ini pun diperkuat dengan
ungkapan “bak adat bapiek kulik, sakik dek awak sakik dek urang, sanang
dek awak sangak dek urang, nan elok dek awak katuju dek urang”.24

Pada dasarnya adat Minangkabau terdiri dari empat jenis, namun satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan
yaitu : Pertama, Adat Nan Babuhua Mati yang merupakan hukum dasar baik
tentang kesatuan tentang ketentuan pokok dari Adat Nan Diadatkan oleh
nenek moyang, maupun tentang aturan-aturan pelaksanaan dari yang disebut
Adat Nan Babuhua Sentak. Dalam petatah-petitih Minangkabau seperti Adat
Nan Babuhua Mati adalah aturan-aturan adat yang tidak bisa diubah-ubah
walau dengan kata mufakat sekalipun. Seperti yang disebutkan dalam pepatah
adat Minangkabau “tak lakang dek paneh, takan lapuak dek hujan, dianjak
tak layua, dibubuik tak mati, dibasuah bahabih aia, dikikih bahabi basi”.25

Kedua, Adat Nan Babuhua Sentak merupakan aturan-aturan yang


dibuat dengan kata mufakat oleh pemuda-pemuda adat di Minangkabau di
setiap Nagari. Sifatnya boleh diubah asal dengan melalui kesepakatan pula.
Inilah yang dimaksud oleh pepatah adat Minangkabau “lain lubuk lain
ikannya, lain padang lain belalang, lain Nagari lain adatnya”. Adat
mengatur tentang hal-hal yang lebih besar dan lebih luas. Seperti mengatur
tentang pentingnya hubungan manusia dengan manusia, baik secara
perorangan maupun bermasyarakat serta berbangsa dengan berdasarkan
hubungan tersebut kepada ketentuan adat, yaitu nan elok dek awak katuju dek
urang, atau nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago, nan baiek iyolah
budi, nan endaih iyolah baso.26

Selain itu terkait dengan keabsahan perkawinan, hukum adat


menggantungkannya pada system kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat
hukum tempat para calon mempelai tinggal. Sebagaimana telah diketahui

24
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 13.
25
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 14.
26
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 15.
23

bahwa sistem penarikan garis keturunan menurut hukum adat diantaranya


dalam bentuk patrilineal, matrilineal dan parental.27

Pertama, bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal yang


merupakan suatu masyarakat yang menarik garis kekeluargaan dari pihak
ayah (patrilineal) serta menganut sistem eksogami. Misalnya bentuk
perkawinan jujur pada masyarakat Toba, yang mengharuskan adanya
perbedaan marga antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai
perempuan. Pihak laki-laki menarik perempuan untuk masuk ke dalam
marganya. Karena hal itu perempuan memiliki hal serta kewajiban yang
sepadan dengan keluarga laki-laki. Selain itu masyakat patrilineal memiliki
ciri yaitu mempertahankan kelangsungan generasi keturunannya, seperti
adanya larangan kawin dengan keluarga dari marga yang sama atau larangan
kawin timbal balik antara dua keluarga yang walaupun berbeda marga, tetapi
telah atau pernah terjadi hubungan perkawinan (asymmetrisch connuium)
diantara dua keluarga yang saling bersangkutan.28

Kedua, bentuk perkawinan pada masyarakat matrilineal. Masyarakat


matrilineal juga mengenal bentuk perkawinan eksogami. Namun memiliki
beberapa perbedaan dengan masyarakat patrilineal. Misalnya di
Minangkabau berlaku tiga bentuk perkawinan, yaitu kawin bertandang
(semenda), kawin menetap dan kawin bebas. Kawin bertandang, merupakan
suatu perkawinan dimana suami dan istri tidak hidup bersama, masing-
masing tetap tinggal di lingkungan marganya. Kedudukan suami dalam kawin
bertandang ini semata-mata berstatus sebagai tamu yang bertandang kerumah
isterinya, serta tidak berhak atas anaknya dan harta benda isteri sekaligus
segala hal yang bersangkutan dengan rumah tangga, sedangkan harta
kekayaan yang dihasilkan suami hanya diperuntukan kepada dirinya, ibunya,
saudara-saudaranya serta anak-anaknya. Adapun perkembangan dari kawin

27
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung :
P.T Alumni, 2002, Cet. Pertama) h., 175.
28
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 175-176.
24

bertandang adalah kawin menetap yaitu perkawinan yang pasangan suami


isteri hidup dalam satu rumah. Kebersamaan ini terjadi karena rumah gadang
dipandang tidak lagi mencukupi untuk ditempati sehingga mereka harus
pindah dan membentuk keluarga sendiri serta sumber mata pencarian dan
kepengurusan harta kekayaan secara mandiri yang selanjutnya akan
diwariskan kepada anak-anaknya dan menjadi harta peninggalan generasi
pertama (harta pusaka rendah). Selanjutnya adalah kawin bebas, yaitu
perkawinan yang memperbolehkan seseorang untuk memilih sendiri
pasangannya masing-masing tanpa harus terikat pada kondisi-kondisi khusus
bahwa adat mengikat bagi kelompok mereka. Bentuk dari kawin bebas ini
biasanya dilakukan oleh mereka, suami isteri dari Minangkabau yang telah
melakukan perpindahan finansial tempat tinggalnya semula.29

Ketiga, bentuk perkawinan pada masyarakat parental. Dalam


masyarakat parental, misalnya masyarakat Jawa Barat, bentuk perkawinan
yang dilaksanakan adalah kawin bebas, setiap orang boleh kawin dengan
siapa saja sepanjang tidak dilarang oleh hukum adat setempat atau karena
alasan agama. Maksudnya syarat sahnya suatu perkawinan tidak ditentukan
oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan marga seseorang, baik di dalam
maupun di luar satu marga tertentu.30

1. Eksistensi Hukum Adat di Indonesia


Pada dasarnya setiap masyarakat di seluruh dunia mempunyai tata
hukum dalam wilayah negaranya masing-masing. Tidak ada suatu bangsa
yang tidak mempunyai tata hukum nasionalnya. Hukum nasional bangsa
merupakan cerminan dari kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Karena
hukum merupakan akal budi bangsa dan tumbuh dari kesadaran hukum

29
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 176-177.
30
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 175-178.
25

bangsa, maka hukum akan tampak dari cerminan kebudayaan bangsa itu
sendiri.31
Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan dari
kepribadian bangsa adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa
bangsa dari abad ke abad. Setiap aturan adat yang dimiliki oleh daerah yang
ada di dunia berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya sama yaitu ke-
Indonesiaannya. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia dikatakan sebagai
Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya meskipun berbeda beda, tetapi tetap satu.
Selain itu adat selalu berkembang serta senantiasa mengikuti perkembangan
masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi rakyat. Dengan demikian
adat merupakan endapan (renapan) kesusilaan dalam masyarakat, yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat tersebut.32

Seiring dengan berjalannya waktu, dari adanya hasil pemikiran ahli


hukum belanda dan kaum terpelajar kalangan pribumi pada saat itu
menghasilkan dampak penguatan hukum adat dalam berbagai kebijakan
hukum kolonial, walaupun keberadaanya hanya sedikit demi sedikit, selama
masa perjuangan kemerdekaan, pemakaian istilah hukum adat secara khusus
pada awal mulanya dipelopori oleh kalangan pemuda pada 1928 dalam suatu
kongres pemuda. Mereka sepakat mencantumkan hukum adat sebagai
pemersatu bangsa Indonesia dan mengikrarkan hukum adat sebagai asas-asas
hukum Indonesia dimasa yang akan datang. Ikrar yang diikrarkan merupakan
salah satu indikator nyata dari gerakan modernisasi dikalangan kaum
terpelajar pribumi, namun demikian masih tetap mempertahankan warisan
kultural dari tanah air sendiri sebagai substansi utama.33

Dalam kongres tersebut Moh. Kusnoe menegaskan bahwa hukum adat


telah menjadi jiwa dan isi tatanan hukum nasional. Sebagai cikal bakal

31
Eka Susylawati, “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”, VOL. IV,
No. 1, (Juni, 2009), h., 126.
32
Eka Susylawati, “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”, VOL. IV,
No. 1, (Juni, 2009), h., 126.
33
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450.
26

tersusunnya pengertian hukum adat khas Indonesia yang berbeda dengan


adatrecht sebagaimana diberikan oleh kalangan akademisi barat dan para ahli
hukum adat mengenang keputusan hukum adat menjadikan keputusan
kongres tersebut sebagai peristiwa yang monumental. Penegasan identitas
bangsa Indonesia sebagai negara hukum dalam konstitusi terletak dalam pasal
1 (3) UUD 1945 dan dalam penjelasan atas UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat) dan
tidaklah berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Satu hal yang menarik
disini untuk dibahas yaitu mengenai eksistensi hukum adat dalam kerangka
hukum nasional.34

Penegasan negara hukum Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945


tidak harus dilihat sebagai suatu bangunan yang final, tetapi dilihat dari suatu
bangunan yang secara terus menerus dibangun untuk dibenahi untuk menjadi
Indonesia yang sesungguhnya. Misalnya melalui penampilan ciri khas ke
Indonesiaan yang membumi kedalam habitat, tradisi, nilai-nilai ksomologi,
serta cita-cita modern Indonesia. Harus ada harmonisasi hukum adat dan
hukum nasional dalam proses membangun Negara hukum ala Indonesia.
Seperti kata orang belanda “ kita hanya dapat mengayuh perahu dengan
dayung kia sendri”. Berangkat dari semangat konstitusionalisme bangsa
Indonesia yang khas, konstitusi harus dibaca secara bermakna seperti yang
dikatakan Ronald Dworkin sebagai “moral reading” dari pembahasan tersebut
dibuatlah sebuah konstruksi yang menyatakan bahwa negara hukum
Indonesia adalah suatu negara yang memiliki empati atau kepedulian (a state
with consciencie and compassion). Negara hukum Indonesia bukan negara
yang hanya bekerja dalam perwujudan hukum formal belaka namun harus
mampi mewujudkan moral yang substansi dalam konstitusinya.35

34
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450-451.
35
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 452.
27

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang


memiliki peran mengawal dan menafsirkan konstitusi diharapkan mampu
menjaga Negara hukum ala Indonesia dengan tetap menjaga harmonisasi
antara hukum adat dan hukum nasional dalam konstitusi yang pluralis. Dalam
pasal 18 B UUD 1945 sebagai dasar hukum telah membuktikan eksistensi
negara dalam mempertahankan dan menghormati pengakuan terhadap hak-
hak masyarakat adatnya. Selama dalam perjalanan hukum ketatanegaraan kita
di masa-masa orde lama, orde baru, orde refomasi, sampai pada amandemen
konstitusi Negara, secara konsisten pemerintahan Negara merespon baik
terlaksananya kepastian hukum dalam perspektif hukum adat, misalnya pada
tahun 1960, dikeluarkan TAP II/MPRS/1960 yang pada lampiran satunya
menetapkan hukum adat menjadi landasan utama tata hukum nasional.36

Selanjutnya ada TAP TAP IV/MPR/1973 yang pada butir dua


menentukan, “pembinaan bidang hukum harus bisa mengarahkan dan
menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai sesuai dengan kesadaran
hukum rakyat yang berkembang menuju arah modernisasi sesuai dengan
tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai
ketertiban dan kepastian hukum yang bertujuan sebagai prasarana yang
diarahkan menuju peningkatan kesatuan bangsa sekaligus berguna sebagai
sarana modernisasi dan pembangunan”. Selain itu TAP IV/MPR/1999
tentang GBHN, pada Bab III pembangunan Hukum bagian Umum: yang
berbunyi “pembangunan hukum harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan dengan mengakui dan menghormati hukum agama
dan hukum adat ”. Terakhir kita memiliki TAP/MPR/2001 tentang
pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang menghendaki
pengakuan, kehormatan, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.37

36
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 453-458.
37
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar Hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 4559-461.
28

Adanya jaminan konstitusi dan pengakuan Negara terhadap eksistensi


hukum adat dan masyarakat hukumnya telah termaktub dalam pasal 18 A (1)
UUD 1945 yang mengamanatkan pemerintah agar memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. Sementara itu dalam pasal 18B (1-2)
menggariskan:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah


yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-
undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur
dalam undang-undang.38

Perlindungan Negara dalam melindungi hak-hak Masyarat Hukum


Adat (MHA) dalam tataran konsep telah dijamin oleh konstitusi. Keberadaan
pasal 18 B ayat (2) dan 28I (3) UUD 1945 serta Undang-Undang sektoral (UU
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; UU Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara; UU Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air; dan UU terkait lainnya) telah memberikan upaya
pengakuan dan peghormatan terhadap Kesatuan MHA. Secara das sollen
pemerintah pusat telah menjamin secara yuridis dalam menyelenggarakan
sistem pemerintahan mensejahterakan, yaitu dengan memperjuangkan
tercapainya pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak tradisional. Hak-
hak Konstitusional yang dimaksud adalah hak-hak dasar dan hak kebebasan
dasar setiap warga negara, terkait dengan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan
di depan hukum, hak sosial ekonomi, kebebasan berpendapat, hak untuk
hidup dan bertempat tinggal yang dijamin oleh UUD. Sedangkan hak-hak
tradisional yaitu hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan dimiliki
oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal-usul

38
Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”
Mimbar Hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450-464.
29

(geneologis), kesamaan wilayah, dan obyek- obyek adat lainnya, hak atas
tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya.39

2. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat


Adanya perbedaan bentuk-bentuk perkawinan adat disebabkan karena
terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut
oleh masing-masing masyarakat adat di Indonesia. Adapun bentuk hukum
perkawinan adat. Pertama, perkawinan jujur yang merupakan suatu bentuk
perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” . dengan diterimanya
uang atau barang jujur, oleh pihak perempuan berarti setelah perkawinan
perempuan tersebut akan mengalihkan kedudukannya kedalam kekerabatan
suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu atau sebagaimana
berlaku di daerah Lampung dan Batak untuk selama hidupnya. Setelah isteri
berada di tangan suami, maka isteri dengan segala perbuatan hukumnya harus
berdasarkan persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan
kerabat suami. isteri tidak boleh bertindak sendiri, karena ia adalah pembantu
suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan
kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.40
Dikalangan masyarakat adat ada yang menganut sistem perkawinan
jujur dan menarik garis keturunan berdasarkan ayahnya, setiap anak wanita
akan menganggap dirinya anak orang lain.41 Mengenai bentuk perkawinan
jujur ini dalam hukum perkawinan adat memiliki fariasi bentuk yaitu
perkawinan ganti suami ha ini disebabkan wafatnya suami, oleh karena itu
isteri harus kawin dengan saudara laki-laki dari suaminya yang wafat itu.
Dalam perkawinan ini tidak diperlukan adanya pembayaran jujur,
pembayaran adat dan sebagainya.42 Perkawinan ganti isteri disebabkan

39
Jawahir Tantowy, “Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan
Hak-hak Tradisionalnya”, Jurnal Pandecta, Vol. 10, No. 1, (Juni, 2019), hal., 2.
40
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 52.
41
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
1990, Cet. Ke empat), h., 73.
42
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 53.
30

karena istri meninggal dunia dan suami kawin lagi dengan kakak atau adik
perempuan dari isteri yang telah wafat, Perkawinan mengabdi terjadi ketika
diadakan pembicaraan lamaran, pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-
syarat perpintaan dari perempuan.43 Perkawinan ambil beri merupakan
bentuk perkawinan yang terjadi antara kerabat yang sifatnya simetris.
Perkawinan seperti ini sering terjadi pada masyarakat adat Minangkabau.
Tetapi tidak dapat berlaku di daerah batak karena sifat kekerabatannya
asimetris dan menganut adat “manunduti”, artinya dimana perkawinan itu
terjadi berulang searah tidak boleh bertimbal balik, Perkawinan ambil anak
terjadi karena hanya memiliki anak perempuan tunggal, maka anak
perempuan mengambil laki-laki dari anggota kerabat untuk menjadi
suaminya dan mengikuti kerabat isteri selama perkawinannya, hal ini
bertujuan untuk menjadi penerus keturunan pihak isterinya. 44
Kedua, perkawinan semenda. Pada umumnya berlaku dilingkungan
masyarakat adat yang “matrilineal” dalam rangka mempertahankan garis
keturunan pihak ibu. Bentuk perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk
perkawinan jujur. Dalam perkawinan ini calon mempelai laki-laki dan
kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak perempuan,
bahkan sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada
pihak laki-laki.45 Adapun bentuk-bentuk perkawinan semenda yang berlaku
ini seperti semenda raja-raja, semenda lepas, semenda bebas, semenda
nunggu, semenda ngangkit dan semenda anak dagang.46
Ketiga, perkawinan bebas. Pada umumnya perkawinan ini berlaku di
lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental, seperti pada masyarakat
Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi serta dikalangan
masyarakat Indonesia yang modern.47

43
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 54-56.
44
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 56.
45
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 57.
46
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 57-60.
47
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 60.
31

Keempat, perkawinan campuran. Dalam arti hukum perkawinan ini


merupakan bentuk perkawinan yang terjadi antara suami isteri yang berbeda
suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda agama yang dianut. Terjadinya
perkawinan campuran biasanya menimbulkan masalah hukum antara tata
hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan
diberlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat
atau hukum agama tidak membernarkan terjadinya perkawinan campuran.
Namun dalam perkembangannya, hukum adat ada yang memberikan jalan
keluar untuk mengatasi masalah ini sehingga perkawinan campuran dapat
dilaksanakan.48
Kelima, perkawinan lari. Perkawinan ini dapat terjadi di suatu
lingkungan masyarakat adat, tetapi paling banyak terjadi adalah dikalangan
masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugis, Makassar dan Maluku. Walaupun
kawin lari merupakan pelanggaran adat, tetapi di daerah-daerah tersebut
terdapat tata tertib guna menyelesaikan masalah ini. Sesungguhnya
perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan sebenarnya, melainkan
merupakan satu sistem pelamaran karena dengan terjadi perkawinan lari
dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebas / mandiri,
tergantung pada keadaan perundingan kedua belah pihak. Sistem perkawinan
lari dapat dibedakan antara “perkawinan lari bersama” dengan “perkawinan
paksa”. 49

3. Larangan Perkawinan Dalam Hukum Perkawinan Adat.


Maksud dari larangan perkawinan dalam hukum perkawinan adat yaitu
segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat
dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki
oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi kekuatan
hukum adat. Adapun larangan perkawinan adat tersebut. Pertama, karena
hubungan kekerabatan. Larangan ini dapat terlihat dalam ukuran adat batak

48
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 61.
49
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 51-64.
32

yang bersifat Asymmetrisch Connubium, dilarang terjadinya perkawinan


antara laki-laki dengan perempuan yang satu marga. Jika di Timor
dimaksudkan adanya larangan perkawinan terhadap anak yang bersaudara
dengan ibu. Sedangkan pada msayarakat Minangkabau disebut bahwa laki-
laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka sesuku. Jika hal
perkawinan itu terjadi maka akan mengakibatkan perpecahan antar suku atau
pada adat Sumatera Selatan disebut sebagai “merubah sumbai”, yang jika
aturan ini dilarang maka akan dijatuhkan hukum denda adat yang harus
dibayar kepada para “prowatin adat” serta harus menyembelih ternak agar
terhindar dari kutuk arwah-arwah gaib.50
Kedua, karena perbedaan kedudukan. Dilarangnya perkawinan karena
alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bertradisi
feodalisme. Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan
dengan perempuan dari golongan rendah atau sebaliknya. Di daerah
Minangkabau seorang perempuan dari golongan penghulu dilarang kawin
dengan laki-laki yang tergolong “kemenakan dibawah lutut”. Di daerah
Lampung laki-laki dari golongan “punyimbang” tidak dibenarkan kawin
dengan seorang gadis dari keturunan golongan “bedowou” (budak). Di Bali
karena pengaruh ajaran agama Hindu, seorang laki-laki dari keturunan
“triwarna” atau “triwangsa” (Brahmana, Ksatria, dan Weisha) kawin
dengan perempuan dari keturunan “sudra” atau orang-orang golongan biasa.
Demikian pula sebaliknya, apabila perkawinan terjadi dapat diangap dapat
menjatuhkan nilai kekerabatan. Pada zaman sekarang agaknya perbedaan
kedudukan kebangsawanan dalam masyarakat penganut feodalisme sudah
mulai memudar, sudah banyak terjadi perkawinan antara orang-orang
golongan bermartabat rendah dengan mereka yang bermartabat tinggi, atau
sebaliknya. Masalahnya perkawinan yang timbul dari perbedaan kedudukan
ini sering mengakibatkan adanya ketegangan dalam kekerabatan.51

50
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65.
51
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65.
33

Ketiga, karena perbedaan agama. Hal ini dapat menjadi penghalang


terjadinya suatu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan, seperti di
Daerah Lampung setiap warga adat harus menganut agama Islam, bagi merka
yang tidak beragama Islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga Adat.
Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak
melangsungkan perkawinannya harus terlebih dahulu masuk agama Islam.
Bagi mereka yang melangsungkan pernikahan tanpa menganut agama Islam
berarti harus keluar dari kekerabatan keluarga Lampung. Karena menurut
hukum adat Lampung perkawinan yang tidak dilaksanakan dalam hukum
Islam adalah tidak sah. Pada masyarakat adat Batak perbedaan agama tidak
menjadi halangan terjadinya perkawinan, karena tidak melarangnya.52
Dalam hal perkawinan ini, hukum Islam memang sangat ketat dan
menegaskan bahwa orang-orang tidak boleh mengikat tali perkawinan dengan
yang disebut “muhrim” karena pertalian darah, pertalian perkawinan dan
pertalian sepersusuan. Hal tersebut dijelaskan di dalam Q.s. An-Nisaa’ (4):
22-23:
‫س ِِ ا‬
٢٢ ً‫ل‬ َ ‫ف ِإنا ۥهُ َكانَ َٰفَ ِحش َٗة َو َم ۡق ٗتا َو‬
َ ‫سا ٓ َء‬ َ ‫سا ٓ ِء ِإ اَل َما قَ ۡد‬
َ َۚ َ‫سل‬ ِ َ‫َو ََل ت َن ِك ُحواْ َما نَ َك َح َءا َبا ٓ ُؤ ُكم ِمن‬
َ ‫ٱلن‬

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini


oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh)”.
َٰ ُ ِ ‫ُح ِر َم ۡت َعلَ ۡل ُك ۡم أ ُ ام َٰ َهت ُ ُك ۡم َو َبنَات ُ ُك ۡم َوأَخ َٰ ََوت ُ ُك ۡم َو َع َٰ امت ُ ُك ۡم َو َٰ َخ َٰلَت ُ ُك ۡم َوبَنَاتُ ۡٱۡلَخ َو َبنَاتُ ٱ ۡۡل ُ ۡخ‬
‫ي‬ٓ ‫ت َٰ َوأ ام َٰ َهت ُ ُك ُم ٱلا ِت‬ ِ َٰ
‫سآئِ ُك ُم ٱلاتِي ََخ َۡلت ُم ِب ِه ان‬
َ ِ‫ور ُكم ِمن ن‬ ِ ‫سآئِ ٓ ُك ۡم َو َر َٰ ٓبَئُِِ ُك ُم ٱلاتِي فِي ُح ُج‬ َ ‫ضعَ ِة َوأ ُ ام َٰ َهتُ ِن‬َ َٰ ‫ٱلر‬‫ضعۡ نَ ُك ۡم َوأَخ َٰ ََوت ُ ُكم ِمنَ ا‬ َ ‫أ َ ۡر‬
ُ ۡ َٰ َٰ ۡ
‫فَإِن لا ۡم ت َ ُكونُواْ ََخَلتُم ِب ِه ان فَ ًَ ُجنَا َح َعلَ ۡل ُك ۡم َو َحلَئِ ُل أ ۡبنَآئِ ُك ُم ٱلذِينَ ِم ۡن أصۡ لَ ِِ ُك ۡم َوأن ت َۡج َمعُواْ بَ ۡلنَ ٱۡل ۡخت َۡل ِن ِإ اَل‬
َ َ ‫ا‬ َ
٢٢ ‫ورا ار ِح ٗلما‬ ٗ ُ‫ٱَّللَ َكانَ َغف‬ ‫ف إِ ان ا‬ َ َۗ َ‫سل‬
َ ‫َما قَ ۡد‬

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
52
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 66.
34

ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan


bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Disebutkan bahwa pertalian perkawinan tidak dibenarkan karena,
pertama, pertalian sedarah yaitu hubungan kakek, nenek dari ayah dan Ibu
seterusnya dalam garis ke atas, anak,cucu, dan seterusnya dalam garis ke
bawah, saudara seibu dan seayah, seayah saja atau seibu saja, saudara ibu atau
saudara ayah dan anak saudara laki-laki atau saudara perempuan. Kedua,
pertalian perkawinan yaitu, mertua, anak tiri, dan menantu. Ketiga, pertalian
sepersusuan yaitu, ibu dan ayah tempat menyusu dan saudara sepesusuan.
Selain ketentuan larangan kawin karena “muhrim”, hukum Islam menentukan
juga tentang larangan melakukan perkawinan dalam masa “iddah”, yaitu
masa tunggu bagi seorang perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapat
melakukan perkawinan lagi, hal agar dapat diketahui apakah perempuan ini
mengandung atau tidak. Jika perempuan itu mengandung, maja ia
diperbolehkan kawin lagi setelah anaknya lahir apabila ia tidak megandung,
maka ia harus menunggu selama 4 Bulan 10 hari jika bercerai karena suami
meninggal dunia atau selama tiga kali suci dari haid jika dikarenakan cerai
hidup.53

C. Perkawinan Adat Minangkabau


1. Perkawinan di Minangkabau
Tidak dapat dipungkiri, bahwa perkawinan merupakan suatu kebutuhan
yang bersifat naluriah bagi setiap makhluk hidup. Salah satu tujuan dari
perkawinan adalah untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan.54
Sejalan dengan hal itu tujuan perkawinan berdasarkan Undang-undang

53
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65-67.
54
Yahya Samin dkk, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan
Minangkabau Masa Kini, (Padang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Cet. Pertama),
h., 55-56.
35

Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan adalah membentuk keluarga


(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.55 Sedangkan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 3 yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah.56 Dari beberapa tujuan tersebutlah
mengisyaratkan akan pentingnya suatu perkawinan dalam kehidupan
manusia. Atas dasar itulah berlaku bermacam-macam aturan yang kemudian
menjadi adat tradisi.
Menurut Sayuthi Thalib, perkawinan harus dilihat dari tiga sudut segi
pandang, yaitu:
1) Perkawinan dari segi hukum.
Perkawinan yang dipandang dari segi hukum ini merupakan suatu
perjanjian. Hal ini diperkuat oleh ayat Q.s. An-Nisa’ (4): 21:
ٗ ‫ض َوأَخ َۡذنَ ِمن ُكم ِمل َٰث َقاا َغ ِل‬
٢٢ ‫لظا‬ ٖ ۡ‫ض ُك ۡم إِلَ َٰى بَع‬ َ ‫ف ت َۡأ ُخذُونَ ۥهُ َوقَ ۡد أ َ ۡف‬
ُ ۡ‫ض َٰى بَع‬ َ ‫َوك َۡل‬
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat”.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa perkawinan adalah perjanjian


yang sangat kuat, disebut dengan “mitsaaqon qhaalidzhan”. Adapun
alasan terkait maksud dari perkawinan merupakan suatu perjanjian
adalah karena adanya cara mengadakan ikatan perkawinan yaitu dengan
aqad, nikah, rukun dan syarat tertentu, cara memutuskan perkawinan
yaitu dengan prosedur thalaq, fasakh, syiqaq dan sebagainya.
2) Perkawinan dilihat dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap Bangsa, ditemui suatu penilaian yang
universal tentang orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang tidak berkeluarga, dulu sebelum adanya
aturan perkawinan, wanita bisa dimadu tanpa batas dan tanpa perbuatan

55
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974.
56
Kompilasai Hukum Islam.
36

apa-apa tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan tentang


poligami hanya dibatasi paling banyak empat istri dengan syarat-syarat
tertentu.
3) Perkawinan dilihat dari segi agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama yaitu dari unsur
yang sangat penting. Dalam agama perkawinan dianggap sebagai suatu
hal yang sakral suci, upacara perkawinan adalah upacara yang suci,
yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami-istri atau
saling meminta menjadi pasangan hidupnya.57

Selain itu dialektika dalam Minangkabau merupakan model dinamika


sosiokultural yang khas pada etnis Minangkabau di Sumatra Barat.58
Berdasarkan pandangan dan pemikiran masyarakat Minangkabau,
perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan antara anak dan kemenakan
atau lazim disebut pulang kabako atau pulang ka Mamak. Maksud pulang
kabako adalah mengawini kemenakan ayah sedangkan pulang kaMamak
yaitu mengawini anak Mamak atau anak saudara laki-laki ibu.59

Adapun arti perkawinan menurut hukum adat perkawinan merupakan


suatu hubungan yang tidak menyangkut hubungan antara kedua mempelai
saja, melainkan juga menyangkut hubungan antara kedua belah pihak
mempelai. Selain itu dalam hukum adat diyakini bahwa perkawinan bukan
saja peristiwa penting bagi mereka yang hidup, tetapi juga merupakan
peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah tiada.60

Dalam syarak dan tradisi perkawinan adat Minangkabau menggunakan


sistem perkawinan consanguinal, yaitu suatu sistem yang lebih cenderung

57
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Depok : UI-Pres, 2014), h., 47-48.
58
Hasanuddin, Adat dan Syarak Sumber Inspirasi dan Rujukan Nilai Dialektika
Minangkabau, (Padang: Pusat Studi Informasi dan Kebudayaan Miangkabau, 2013), h., 1.
59
Yahya Samin dkk, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan
Minangkabau Masa Kini, h., 56.
60
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, h., 48.
37

atau lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau kaum.61 Oleh karena


itu perkawinan tidak hanya menjadi pengikat antara calon pengantin saja
melainkan juga melibatkan keluarga keduanya. Sehingga nantinya akan
melahirkan hubungan kekerabatan seperti ipar dengan bisan, bako dengan
baki dan sebagainya. Dalam lain hal masyarakat Minangkabau juga
menganggap bahwasanya perkawinan merupakan masa peralihan dari remaja
ke dewasa.62 Dalam pengertian lain bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.63

Pada hakikatnya bila seseorang telah kawin maka telah dianggap


dewasa dalam bertindak dilingkungan keluarga dan di tengah masyarakat.
Dalam kehidupan tradisional Minangkabau sistem perkawinan lebih di
tentukan oleh Mamak. Dalam pepatah adat Minangkabau Mamak diibaratkan
sebagai “kapai tampek batanyo, kapulang tampek ba barito” hal ini yang
perlu di lakukan oleh setiap anak kemenakan terhadap Mamaknya.64

Tidak terlepas dari itu semua, untuk tercapainya kehidupan yang


bahagia dan kekal tentunya harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan daerah yang ditempati, yang pasti akan terikat dengan aturan dan tradisi
yang berbeda.65 Dalam tatanan perkawinan menurut hukum adat
Minangkabau juga terikat dengan ketentuan serta peraturan dalam
pelaksanaannya, diantaranya seseorang dilarang kawin dengan orang yang

61
Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h., 184.
62
Yahya Samin, Peran Mamak Terhadap Kemanakan dalam Kebudayaan Minangkabau
Masa Kini, h., 92.
63
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam
Pasal 1.
64
Yahya Samin, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau
Masa Kini, h., 92.
65
Subkhan Masykuri, “Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayudalam Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus di Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten Kampar Provinsi Riau).”
(Sripsi S-1, Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2016), h., 18.
38

berasal dari suku yang sama dengannya.66 Hal ini disebabkan karena
masyarakat Minangkabau beranggapan bahwa perkawinan sesuku adalah
perkawinan satu rumpun atau satu keturunan, sehingga jika aturan ini
dilanggar maka akan menimbulkan kerancuan dalam tatanan nilai adat yang
mengandung sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan berdasarkan
garis keturunan ibu.67

Sebelum dimulainya suatu perkawinan, terdapat suatu kegiatan dimana


anak kemenakan diberi nasehat oleh Mamak berupa nasehat-nasehat seperti
pituah-pituah yang dipakai dalam berumah tangga nantinya, biasanya berisi
tentang sopan satun ke mertua, orang sekampung dan tetangga di sekitarnya,
selain itu dalam acara perkawinan kehadiran Mamak sebagai tuan rumah
sangatlah penting, hal ini disebabkan kerena keberadaan dan kewibawaan
seorang Mamak akan kelihatan. Bila hal itu diperbuat oleh anak kemenakan
yang akan berkeluarga, maka orang lain akan meremehkan keluarga tersebut.
Dalam kenyataan sehari hari ada juga beberapa keluarga melakukan
perkawinan tanpa melibatkan saudara laki laki ibunya, tentu dalam hal ini ada
beberapa alasan yang akan di kemukakan seperti kurang baiknya hubungan
antara Mamak dengan kemenakan atau Mamak yang sudah tidak ada.
Adapun jika ada diantara mereka yang tidak mempunyai Mamak, maka dalam
hal ini mereka juga memerlukan anggota lain untuk hadir di acara
perkawinan, misalnya di Minangkabau dikenal juga dengan ”Mamak jauh”
mereka juga akan berperan layaknya Mamak pada umumnya.68

fungsi perkawinan adalah suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan


keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang
bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan suatu

66
Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai
Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011), h.,
3.
67
Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan dalam Mengatasi Perkawinan
Sesuku Menurut Hukum Adat di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang
Pariaman”, Fakultas Hukum, Volume Iv, No. 1, (Februari, 2017), h., 5.
68
Yahya Samin, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau
Masa Kini, h., 94.
39

sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh dan retak,
ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu
pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan,
harta kekayaan dan masalah pewarisan.

Melihat pengertian dan fungsi perkawinan menurut hukum adat


perkawinan lebih luas dari pengertian perkawinan menurut perundang-
undangan. Oleh karena itu pelaksanaan perkawinan baik pria maupun wanita
yang belum dewasa maupun telah dewasa senantiasa harus di campuri oleh
orang tua, keluarga, dan kerabat kedua belah pihak.69

Disamping itu dalam hal yang esensial juga terdapat kesesuaian antara
aturan adat masyarakat Minangkabau dengan ajaran syarak. Alam menjadi
sebuah sumber inspirasi dan ajaran bagi kehidupan mereka juga termasuk
dalam sumber atau dasar syarak. Meskipun demikian bukan berarti integrasi
adat dan syarak berlangsung mulus tanpa ada polemik-polemik. Pada
dasarnya syarak diterima sebagai landasan keyakinan masyarakat
Minangkabau, tetapi beberapa unsur dari adat Minangkabau berbenturan
dengan ajaran syarak yang menjadi landasan keyakinan itu. Perbenturan yang
membuahkan konflik itu terutama dalam hal kebiasaan tradisi yang
bertentangan dengan dalil yang tegas dalam syarak, seperti salah satu
contohnya perbedaan dalam hal perkawinan, terutama bagi orang yang boleh
menikah dengan orang yang boleh dinikahi.70

2. Perkawinan Sesuku
Berbicara tentang perkawinan sesuku bukanlah hal yang dianggap tabu
lagi di daerah Minangkabau, karena secara umum berdasarkan adat
Minangkabau perkawinan sesuku tidak diperbolehkan. Baik calonnya berasal
dari Nagari yang sama ataupun berbeda Nagari. Suku berasal dari kata “kaki”
atau satu kaki yang berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya

69
Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, h. 222.
70
Syifa Fauziah, “Perubahan Adat nan Babuhua Mati Terkait Perkawinan Sesuku di Nagari
Saniangbaka Kabupaten Solok.” (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2018), h., 8.
40

Nagari mempunyai empat suku “Nagari nan ampek”. Nama-nama suku


tersebut ialah Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Sesuku artinya semua
keturunan dari Ninik Mamak ke bawahnya dianggap garis keturunan ibu.
Semua keturunan Ninik Mamak ini disebut “sepersusuan” atau “sasuku”.
Setiap kelompok dari suku-suku tersebut dikepalai oleh seorang penghulu
atau Datuak.71
Selain itu suku atau etnis merupakan sekelompok orang yang
mempunyai hubungan biologis, pertalian darah atau kelompok sosial dalam
sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Suku menurut adat
Batipuah Ateh merupakan suatu golongan orang atau kaum yang dipimpin
oleh seorang Datuk atau Penghulu dari keturunan ibu atau saudara laki-laki
ibu.72 Selain itu sesuku juga diartikan sebagai sepersusuan sehingga
melahirkan pemikiran bahwa mereka barunsanak (bersaudara).73
Perkawinan sesuku merupakan suatu perkawinan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki yang mempunyai garis keturunan adat atau suku yang sama
dengan perempuan yang akan dinikahinya.74 Selain itu, berdasarkan dalam
adat Minangkabau bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan dilarang
melakukan perkawinan dari suku yang sama, perkawinan di Minangkabau
juga mengenal sistem perkawinan eksogami matrilineal atau disebut juga
dengan perkawinan beda suku, yaitu perkawinan yang hanya diperlobehkan

71
Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan
Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, JOM Fakultas
Hukum Vol. III No. 2, (Oktober, 2016), h., 6.
72
Rahmat Alpian R, “Kontruksi Makna Perkawinan Sasuku di Kecamatan Kuantan Mudik
Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau”, JOM Fisip, Vol. 4, No. 1 (Februari, 2017), h., 9.
73
Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan
Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, JOM Fakultas Hukum
Vol. III No. 2, (Oktober, 2016), h., 6.
74
Masdir Manto, “Persepsi Masyarakat Terhadap Kawin Sesuku di Desa Pulau Busuk
Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi.” (Skripsi S-1 Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Kasim Riau, 2010), h. 11.
41

apabila laki-laki dan perempuan yang ingin menikah tersebut memiliki suku
yang berbeda.75
Sejalan dengan hal itu jika orang dilarang kawin sesuku disebut
larangan eksogami marga, namun yang terjadi di Minangkabau sendiri kawin
sesuku disebut garis keturunan ibu maka disebut larangan eksogami
matrilokal. Sehingga perkawinan sesuku bukan melihat dari sudut pandang
halal atau haram melainkan sebuah perkawinan yang dibangun atas dasar nilai
moral dan raso jo pareso (perasaan dengan tenggang rasa) dan merupakan
kesepakatan atau sumpah yang berlaku secara turun temurun dari nenek
moyang. Adapun dalam hukum warih nan bajawek (waris yang harus dijawab
atau turun temurun) yang dijalankan dan dituahi oleh Datuk atau Penghulu
sekarang.76
Pelarangam terhadap perkawinan sesuku di Minangkabau dianggap
wajib, hal ini karena prinsip dan pemikiran yang beranggapan bahwa
perkawinan sesuku adalah hubungan satu keluarga atau hubungan dekat.
Sehingga hal ini termasuk dalam kategori pelanggaran adat, yang ini
membuat perkawinan itu menjadi perlu diperhatikan dan disikapi oleh para
ketua adat yaitu Datuk atau Penghulu dan ketika terjadi pelanggaran terhadap
anak dan kemanakan maka sanksi adat akan dijalankan secara tegas. Jika
perkawinan sesuku tersebut dilanggar, maka pasangan yang melakukan
perkawinan akan diberi sanksi adat, yaitu sanksi nan dibuang jauh, disangai
indak baapi, di gantuang tinggi dak batali. Artinya seseorang yang
melakukan perkawinan tersebut akan diusir dan dibuang sepanjang adat oleh
ketua adat dari masing-masing suku tersebut. 77

75
Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat
Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 8.
76
Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat
Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 6.
77
Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat
Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 6-7.
BAB III

NAGARI BATIPUH ATEH DAN EKSISTENSI LEMBAGA ADATNYA


DALAM PERKAWINAN SESUKU

A. Profil Nagari Batipuh Ateh


Sebelum menjelaskan terkait profil Nagari Batipuh Ateh, seperti yang
sudah dijelaskan pada bagian bab I dan II terkait Pluralisme hukum yang
mengaitkan dengan tiga sistem hukum yang hidup di Indonesia, salah satunya
yaitu hukum adat yang juga telah dibahas pada bab sebelumnya terkait
bagaimana hukum adat berlaku di Indonesia dan di Minangkabau serta
penerapan perkawinan sesuku, yang dalam hal ini memiliki perbedaan dengan
Nagari Batipuh Ateh. Aturan adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh
disebut sebagai adat salingka Nagari yang memiliki kekhususan dalam
penerapan kawin sesuku. Namun sebelum hal tersebut diuraikan lebih jauh,
pada bagian ini akan lebih menjelaskan terkait Nagari Batipuh Ateh serta
Lembaga yang ada didalamnya.
1. Sejarah Nagari Batipuh Ateh
Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1
Secara geografis Nagari Batipuh Ateh terletak di lereng Gunung Merapi
yang membujur dari arah Timur ke Barat yang dilewati oleh satu sungai besar
yaitu sungai Batang Sabu. Nagari Batipuh Ateh merupakan salah satu Nagari
darai delapan Nagari yang ada di Kecamatan Batipuh dengan luas ± 8,23 km2
terdiri dari 5 Jorong yaitu Jorong Balai Mato Aie, Jorong Balai Sabuah,
Jorong Subarang, Jorong Jambu dan Jorong Sawah Diujung.2

1
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.
2
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.

42
43

Saat ini Nagari Batipuh Ateh memiliki Jumlah penduduk 4.503 jiwa,
yang terdiri dari laki-laki 2.262 jiwa dan perempuan 2.241 jiwa serta jumlah
kepala keluarga sebanyak 1.310 kk.

Asal usul nama Nagari Batipuh adalah berasal dari nama sebatang kayu
besar yang bernama kayu Ipuah (kayu yang beripuh), yang tumbuh di bawah
beringin gadang (besar). Yang dikatakan / dinamakan Nagari Batipuh adalah
semenjak dari Kapalo Koto sampai Ikua Koto. Nagari Batipuh kira-kira tahun
1840 dibagi menjadi dua kewalian / Nagari yaitu Batipuh Ateh (Kapalo Koto)
dan Batipuh Baruah (Ikua Koto), dengan diberi tanda Batu Gantiang yang
terletak di Gantiang yang dihadiri oleh orang IV Jinih di Batipuh.

Selain itu asal Ninik moyang orang Batipuh Ateh adalah dari Pariangan.
Ninik moyang yang turun dari Pariangan sebanyak 14 keluarga dengan 14
orang penghulu ke Batipuh. Dari Ninik nan 14 yang tinggal di Batipuh Ateh
sebanyak 7 Ninik. Karena manusia bakakambangan maka rapatlah Ninik
tersebut dengan keputusan, penghulu di Nagari Batipuh Ateh menjadi 12
orang yang disebut urang duo kali anam, yang terdiri dari 7 suku.3 Suku-
suku tersebut adalah Panyalai, Sikumbang, Koto, Malayu, Jambak, Pisang
dan Guci.4

Batasan-batasan Nagari Batipuh Ateh terdiri atas beberapa bagian, dari


bagian-bagian tersebut, terdapat juga beberapa Nagari. Batas-batas Nagari
Batipuh Ateh terdiri dari :

Sebelah Utara : Nagari Sabu, Anak Kayu Nan Tigo, Padang Laweh,

Cimporong dan Sandaran Puti.

Sebelah Selatan : Nagari Batipuh Baruah, Bawah Gantiang, Pitalah dan

Sitapuang Banyak.

3
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.
4
Bardasarkan Data Kantor Wali Nagari Batipuh Ateh. Diambil Tanggal 3 Maret 2019.
44

Sebelah Timur : Nagari Sikaladi, Samak Baluka, Labuhan Anjing, Jarang

Balango, Tabek Itam dan Alur Kuning.

Sebelah Barat : Nagari Batipuh Ateh, Kubu Karikia, Nagari Andaleh,

Sawah Ranah, Anak Kayu dan Talago.5

2. Pemerintahan Nagari Batipuah Ateh


Dalam rangka menggerakkan dan terlaksananya urusan pemerintahan
baik perangkat Nagari maupun Kepala Jorong yang memiliki potensi dan
kredibilitas dimata masyarakat. Maka sangat dituntut tenaga yang profesional
dari aparat pemerintahan yang ada dalam Nagari. Adapun data Wali Nagari
dan perangkat Nagari Batipuh Ateh sebagai berikut 6 :

Wali Nagari : Azizman. DT. Sinaro Alam Nan Putiah

Sekretaris Nagari : Armen Sandi. SH. DT. Majo Basa

Bendahara Nagari : Delvi Yunita

Kepala Jorong Balai Mato Aie : Ade Putra S.E.

Kepala Jorong Balai Sabuah : Mardetillah. KT. Sati.

Kepala Jorong Jambu : Jufri Efendi. ST. Batuah.

Kepala Jorong Sw Diujuang : Indra Satria. ST. Panduko Basa

Kepala Jorong Subarang : Kamarudin. KT. Marajo.

B. Eksistensi Lembaga Adat di Nagari Batipuh Ateh.


Lembaga adat berperan penting dalam menyelesaikan perselisihan adat
istiadat serta kebiasaan masyarakat Batipuh Ateh. Dalam lembaga adat
terdapat suatu musyawarah atau rapat yang dinamakan dengan rapat adat atau
rapat antara lembaga adat dan diikut sertakan lembaga-lembaga adat yang

5
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang
Harimau Campo Kotopili.
6
Bardasarkan Data Kantor Wali Nagari Batipuh Ateh. Diambil Tanggal 3 Maret 2019.
45

terkait serta pemerintah desa terkait. Rapat lembaga adat ini berfungsi untuk
mencari tau penyebab dan seperti apa perselisihan yang menyangkut adat
istiadat. Adanya penyelesaian ini diberlakukannya hukum adat yang dibuat
oleh tetua adat sebelumnya.7
Lembaga adat merupakan suatu organisasi kemasyarakatan adat yang
dibentuk oleh masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah adat
tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta mempunyai
wewenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan hal-hal yang
berkaitan dengan adat.8
Pada dasarnya di Minangkabau terdapat 3 macam pemerintahan adat
(kalarasan), yakni kalarasan Bodi Chaniago, Kalarasan Koto Piliang dan
Pisang Sikalek-kalek Hutan (Campuran). Berhubung di Nagari Panyalaian
termasuk Kalarasan Bodi Caniago, maka bentuk masyarakat hukum adat yang
ada di Nagari Panyalaian hanya 2, yakni masyarakat hukum adat genealogis
matrilineal berupa paruik / kaum yang masing-masing dipimpin oleh seorang
pengulu yang berjumlah 98 orang dan masyarakat hukum adat genealogis
matrilineal teritorial yaitu Panyalaian.
Terkait dengan bentuk pengakuan dan perlindungan hal masyarakat
hukum adat di Kab. Tanah Datar-Sumatera Barat. Jauh sebelum adanya UU
No. 6 tahun 2014 tentang desa sebenarnya eksistensi masyarakat hukum adat
di Minangkabau sudah diakui dan dilindungi. Hal ini terakomodir di dalam
perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang pokok-pokok
pemerintahan Nagari, dimana kedua peraturan tersebut menyebutkan bahwa
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas
wilayah tertentu dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (adat basandi
syara’, syara’ basandi kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat

7
Muhammad Erwin, “Peran Lembaga Adat dalam Pembangunan Desa Sidomulyo” Ilmu
Pemerintahan, Vol. 5, No. 3, (2017), h., 1340.
8
Ayi Haryani, “Peran Pengurus Lembaga Adat dalam Memfungsikan Lembaga Adat
Kasepuhan Sinaresmi di Desa Sinaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi” Jurnal Ilmiah
Pekerjaan Sosial, Vol. 11 No. 1, (Juni, 2012), h., 2.
46

istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Kedua peraturan


tersebut tidak hanya mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat
saja namun juga hak-hak tradisional mereka termasuk juga dalam struktur
pemerintahan di Nagari. 9
Di Minangkabau pemerintah daerah tidak ikut campur tangan dalam
pemerintahan adat, segala macam urusan yang berhubungan dengan adat
dilakukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Nagari (LKAN). Sedangkan urusan
pemerintahan dilakukan oleh Pemda. Pemda hanya membina dan
memberikan fasilitas-fasilitas untuk LKAN. Untuk LKAN Tanah Datar
terdapat sekitar 75 LKAN dengan membawahi 14 kecamatan. Berdasarkan
Perda Provinsi Jawa Barat No 02 Tahun 2007. Tentang pokok-pokok
pemerintahan Nagari, yang dimaksud dengan LKAN adalah Lembaga
Kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun
temurun sepanjang adat berfungsi memelihara kelestarian adat serta
menyelesaikan perselisihan sako dan pusako. 10
LKAN berkedudukan sebagai lembaga perwakilan permusyawaratan
masyarakat adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun-temurun
sepanjang adat.11 Sementara menurut Perda Kab. Tanah Datar No 4 Tahun
2008 tentang Nagari yang dimaksud dengan LKAN adalah lembaga
kerapatan Ninik Mamak pemangku adat yang telah ada dan diwarisi secara
turun-temurun sepanjang adat yang berlaku di masing-masing Nagari dan
merupakan lembaga tertinggi dalam peyelenggaraan adat di Nagari.12
Sejalan dengan hal itu di Nagari Batipuah Ateh LKAN telah diganti
dengan KAN (kerapatan adat Nagari) Batipuah Ateh. KAN (kerapatan adat
Nagari) didirikan dan disahkan oleh para Ninik Mamak Nagari Batipuah Ateh
pada tanggal 2 Juli 1966, serta berkedudukan di Nagari Batipuah Ateh. Hal

9
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat. (Jakarta : Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI, 2016), h., 107.
10
Pasal 1 Angka 13 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Nagari.
11
Pasal 28 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari.
12
Pasal 86 Perda Kabupaten Tanah Datar, No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari.
47

ini didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta hukum
adat yang berpedoman kepada hukum syarak melalui musyawarah mufakat,
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. 13

1. Tujuan Dibentuknya KAN (Kerapatan Adat Nagari) Dalam


Menyelesaikan Perkawinan Sesuku
Lembaga adat atau KAN (kerapatan adat Nagari) yang terdapat di
Nagari Batipuh Ateh merupakan wujud perkumpulan para Ninik Mamak
yang ada di Nagari tersebut. KAN didirikan tidak hanya untuk
memperhatikan Nagari saja namun juga sebagai pemerhati setiap kaum serta
anak kemenakan yang hidup dan mempunyai keterikatan suku atau
kekerabatan dengan Ninik Mamak yang memimpin suku tersebut.14
Adapun tujuan dibentuknya KAN Agar terwujudnya masyarakat yang
agamis, maju dan berbudaya adat serta diridhai oleh Allah SWT, dalam hal
ini seperti adanya larangan kawin sesuku dengan Nagari yang sama, namun
dibolehkan kawin sesuku dengan Nagari yang berbeda. KAN disini bertujuan
memastikan bahwa tidak ada dari anggota kaum atau anak kemenakannya
yang melakukan perkawinan sesuku dengan Nagari yang sama. Serta menjaga
nilai-nilai luhur adat istiadat sesuai dengan kaidah adat Salingka Nagari,
Salingka kaum.15
Jika terdapatnya pelanggaran terhadap aturan adat yang berlaku
tersebut, maka pelaku akan dikenakan sanksi adat berupa sanksi moral seperti
dibuang sepanjang adat serta dikeluarkan dari suku atau kaumnya.16

13
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat
dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
14
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah Ateh
Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, h., 2.
15
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat
dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
16
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah Ateh
Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, h., 2.
48

2. Tugas dan Fungsi KAN (Kerapatan Adat Nagari)

Berdasarkan tugas dan fungsi KAN, apabila terjadi permasalahan


hukum maka secara tidak langsung akan diselesaikan secara adat terlebih
dahulu. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tugas dan fungsi
KAN adalah menyelesaikan sengketa sepanjang menyangkut sako dan
pusako.17

Hal ini telah di pertegas dalam Perda Provinsi Sumatera Barat No 2


Tahun 2007 dan juga Kabupaten Tanah Datar No 4 Tahun 2008 tentang
Nagari, dimana apabila menyangkut masalah sako dan pusako maka akan
dikembalikan terlebih dahulu kepada KAN sebelum perkaranya dibawa ke
pengadilan.18

Maksud kata “sako” ini lebih berbentuk abstrak misalnya seperti gelar
penghulu / gelar adat dari suatu kaum Minangkabau, sedangkan Pusako ini
dapat berbentuk materiil seperti ulayat, jadi secara sederhana, dapat dikatakan
bahwa tugas dan fungsi KAN adalah sebagai tempat mediasi untuk
menyelesaikan suatu perkara sebelum dibawa ke ranah hukum. Sehinga jika
terjadi permasalahan hukum terkait sako dan pusako, maka aparat penegak
hukum tidak dapat menindak hal tersebut. Akan tetapi harus meminta
persetujuan atau rekomendasi terlebih dahulu kepada KAN.19

17
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta : Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI, 2016), h., 108.
18
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, h., 109.
19
Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, h., 109.
BAB IV

PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI


NAGARI BATIPUH ATEH

A. Praktik Perkawinan Sesuku di Nagari Batipuh Ateh

Telah disampaikan dipembahasan terdahulu bahwa dalam adat Minang


perkawinan sesuku tidak diperbolehkan, baik calonnya berasal dari nagari
yang sama ataupun berbeda nagari. Baradiek bakakak, Bakamanakan
bamamak, Babako jo babaki, Ba andan bapasumandan, Bakarik jo babaik,
Baurang-urang sumando. Maksud dari pepatah tersebut adalah satu suku
dianggap bekeluarga dan menurut adat bahwa orang yang satu suku dan satu
nagari tidak boleh melakukan akad nikah/kawin karena dianggap melanggar
adat. Namun karena adanya perkembangan jaman, interaksi sosial dan
pengaruh pemahaman agama (Islam) maka terjadilah pergeseran nilai. Hal ini
yang terjadi di Batipuah Ateh. Disini diperbolehkan perkawinan sesuku,
dengan syarat pasangan berasal dari nagari yang berbeda dan tidak ada ikatan
kekerabatan namun jika pasangan tersebut berasal dari Nagari yang sama
maka perkawinan tersebut diaggap tidak sah atau dilarang.1 Sebagaimana
diutarakan oleh DT Gadang Majolelo : “itu terjadi karano urang batipuah
ateh bapandapek bahwa urang yang babedo nagarinyo indak ado ikatan
kekerabatan dan juo budaya yang makin bakambang”. Artinya : hal ini
terjadi karena menurut masyarakat nagari Batipuah Ateh perkawinan satu
suku berbeda nagari tidaklah terikat dengan kekerabatan dekat dan sejalan
dengan perkembangan zaman.2

Hal ini pun sejalan dengan teori pluralisme hukum yang juga telah
disampaikan pada pembahasan sebelumnya, mapping of law (pemetaan
hukum), dimana hukum adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh merupakan

1
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

49
50

pemetaan hukum yang telah dipilah-pilah dengan hukum adat yang berlaku
di Minangkabau oleh tetua adat untuk menciptakan kemanan dan
kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalamnya.

Selain itu ungkapan pepatah adat Minangkabau “suku nan indak bias
dianjak, malu nan indak dapek dibagi, (sehina semalu)”. Masyarakat Batipuh
Ateh membolehkan perkawinan sesuku dengan catatan harus berasal dari
Nagari yang berbeda, namun tidak membolehkan perkawinan sesuku yang
berasal dari Nagari yang sama atau satu rumpun, satu rumpun yang dimaksud
disini adalah menurut garis keturunan matrilineal, dimana ketentuan itu
disebut dengan istilah “eksogami matrilokal” atau “eksogami matrilineal”.3

Penting untuk difahami bahwa ada perbedaan siginifikan antara


“mengharamkan” dengan “melarang”. Karena, apa yang dilarang oleh adat
belum tentu berarti haram menurut agama, tetapi apa yang diharamkan
agama, pasti dilarang oleh adat. menikah dengan sesuku halal, tetapi bagi
orang Minang melarangnya secara adat. Kawin sesuku adalah tidak baik,
bagi pelakuknya akan dikenakan hukum adat yang berat. Dan hukuman
bukan menyasar pada pribadi saja, tetapi juga pada seluruh anggota suku
terkena imbas. Pelaku dianggap bukan lagi bagian dari keluarga besar
sukunya. Perkawinan sesuku bukan melihat dari sudut pandang halal atau
haram melainkan sebuah perkawinan yang dibangun atas dasar nilai moral
dan raso jo pareso (perasaan dengan tenggang rasa) dan merupakan
kesepakatan atau sumpah yang berlaku secara turun temurun dari nenek
moyang.4
Selain itu untuk pasangan yang akan melakukan perkawinan sesuku
yang berasal dari Nagari yang berbeda harus mendapat izin terlebih dahulu
dari Ninik Mamak atau penghulu dari suku pasangan yang bersangkutan. Hal

3
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari
Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 42-43.
4
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
51

tersebut dilakukan dengan melalui forum musyawarah KAN. Tujuan


dilakukan musyawarah tersebut adalah untuk memastikan bahwa memang
benar pasangan tersebut berbeda Nagari dan ketua kaumnya juga berbeda satu
sama lainnya.5

Ninik Mamak juga wajib memberikan nasihat kepada anak


kemenakannya. Selain sistem adat yang kuat di Minangkabau khususnya di
Nagari Batipuah ateh juga sangat kuat dalam hubungan kekeluargaannya
seperti kata pepatah baradiek bakakak, bakamanakan bamamak, babako jo
babaki, ba andan bapasumandan, bakarik jo babaik, baurang-urang
sumando.6 Maksud dari pepatah tersebut adalah di Nagari Batipuah Ateh
sesuku dianggap bekeluarga dan menurut adat bahwa orang yang sesuku dan
yang berasal dari satu Nagari tidak boleh melakukan akad nikah / kawin
karena dianggap melanggar adat.7

Adapun terkait dengan permasalahan perkawinan sesuku maka Ninik


Mamak yang paling utama berperan aktif dalam menyelesaikan dan
menasehati anak kemenakannya adalah Tuo Kampuang atau orang yang
menjadi pemimpin dalam suku di kampungnya. Tuo Kampuang akan
memberikan pandangan-pandangan terkait dampak perkawinan sesuku
tersebut serta memberikan wejangan kepada anak kemenakannya supaya
tidak melakukan perkawinan sesuku. Hal ini dikarenakan faktor kultur yang
secara turun temurun dari zaman dahulu sampai sekarang, sehingga
masyarakat adat Nagari Batipuah Ateh menganggap itu adalah perkawinan
terlarang atau dianggap kawin dengan saudara.8

5
Wawancara Pribadi dengan Bapak Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
6
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

7
Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari
Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 48.
8
Wawancara Pribadi dengan Bapak Rajudi DT. Tanbarakan, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
52

Sejalan dengan hal itu menutut DT Gadang Majolelo jika permasalahan


anak kemenakan yang melakukan perkawinan sesuku tersebut tidak dapat
diselesaikan oleh Tuo Kampuang maka diserahkan kepada Pasamaian dan
Panungkek untuk menasehati anak kemenakannya begitu seterusnya hingga
sampai kepada Pangulu Pucuak.9

Pangulu Pucuak adalah orang yang menjadi pemimpin dari sukunya,


beliau adalah pemimpin yang di dahulukan selangkah dan ditinggikan
seranting. Jika setiap permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh
sukunya maka masalah tersebut akan diserahkan kepada Pangulu Pucuak.10
Dalam menyelesaikan permasalahan anak kemenakannya Pangulu Pucuak
akan memastikan kembali kepada anak kemanakannya terkait keputusannya
yang melanggar hukum adat serta menasehati agar keinginan untuk menikah
dengan calonnya yang sesuku dibatalkan.11

Namun jika permasalahan tersebut juga tidak dapat diselesaikan oleh


Pangulu Pucuak, maka Pangulu Pucuak berhak membawa masalah tersebut
ke KAN (kerapatan adat Nagari). Disitulah berhimpun setiap masalah-
masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh setiap kepala suku dari suku
tersebut. KAN merupakan suatu lembaga adat yang terdapat di Nagari
Batipuah Ateh, kedudukan dari KAN sama dengan Pengadilan Agama.12
Selain itu keanggotaan dalam KAN (Kerapatan Adat Nagari) ditentukan oleh
dua hal yakni suku dan gelar. Serta susunan kepemimpinan dalam KAN
ditentukan oleh sistem kelarasan yang dominan (Koto Piliang dan Bodi
Caniago). Pada sistem Koto Piliang KAN dipimpin oleh penghulu Pucuak
Nagari, sedangkan pada sistem Bodi Caniago pemimpin berada pada salah
seorang penghulu nan ampek suku atau salah seorang dari penghulu yang

9
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
10
Wawancara Pribadi dengan Bapak Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
11
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
53

empat yang mula membangun Nagari. Periode kepemimpinan bergilir


diantara mereka yang disebut dengan “gadang balega”. Sebagai lembaga
(musyawarah) tertinggi Nagari, keanggotaan KAN haruslah mencerminkan
tungku tiga sejerangan, tali tiga sepilin yakni Ninik Mamak, alim ulama dan
cadiak pandai.13
Adapun perkawinan sesuku dengan Nagari yang berbeda terjadi pada
masyarakat Batipuh Ateh yaitu dengan inisial D dan M. Mereka
melangsungkan perkawinan seperti aturan perkawinan adat Batipuh Ateh
pada umumnya, pernikahan tersebut pun telah dirundingan dan di
musyawarahkan terlebih dahulu oleh para Ninik Mamak pemangku adat dari
suku yang mereka anut. Menurut ibu Yuniar “walau anak ambo kawin sasuku
tapi pakawinan nan ditampuah lai manuruik barih adek Nagari Batipuah
Ateh”. maksudnya perkawinan yang dilakukan oleh anak ibu Yuniar telah
mengikuti adat istiadat yang berlaku dalam aturan adat Salingka Nagari
Batipuh Ateh serta tidak menimbulkan konflik dari pernikahan tersebut. 14
Adapun perkawinan sesuku juga dilakukan oleh yang terjadi pada
sepasang suami istri dengan inisial A dan B. Berbeda dengan perkawinan
sebelumnya, perkawinan yang terjadi pada pasangan A dan B adalah
perkawinan sesuku yang berasal dari Nagari yang sama. Sehingga dari
perkaiwinan tersebut menimbulkan banyak kontroversi dari masyarakat dan
tokoh adat. Menurut ibu Yusmawati “sabalun tajadinyo perkawinan itu,
Ninik Mamaknyo alah barundiang dan mancubo manesehatinyo tapi
kaduonyo taruih sajo basikareh, alah di sabuikan pulo kainyo sanksinyo
sarato jo mulareknyo ka Mamak nyo tapi nan iyo tetap juo nio malanjuikan
pakawian tu”.15 maksudnya sebelum terjadinya perkawinan sesuku tersebut
semua Ninik Mamak atau kepala suku atau pemangku adat dari pasangan
tersebut sudah melakukan perundingan dengan keluraga besar sembari

13
Firman Hasan, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, (Padang : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h., 122.
14
Wawancara Pribadi dengan Ibu Yuniar, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari 2019.
15
Wawancara Pribadi dengan Ibu Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari
2019.
54

memberikan nasehat-nasehat kepada pasangan tersebut bahwa hal itu


termasuk hal yang haram dan sangat dilarang. Selain itu akibat yang
ditimbulkan dari perkawinan sesuku tersebut juga sangat besar dampaknya.
Hal itu tidaknya pada pelaku saja melainkan semua Ninik Mamak dari kaum
atau suku tersebut juga ikut dikucilkan oleh masyarakat di Batipuh Ateh.
Oleh karena itu dari dua kejadian di atas menjelaskan bahwa pada
dasarnya di Nagari Batipuh Ateh perkawinan sesuku yang berasal dari Nagari
yang berbeda berdasarkan aturan adat batipuh diperbolehkan namun tetap
memerlukan unsur kehati-hatian. Sedangkan perkawinan sesuku yang berasal
dari Nagari yang sama sangat dilarang dan bertentangan dengan aturan adat
istidat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh.
Keputusan adat di Nagari Batipuh Ateh ini juga merupakan kompromi
dari adanya tarik menarik antara dua kepentingan hukum yaitu hukum adat
dan hukum Islam, hukum agama yang dianut masyarakat Minangkabau.
Dalam hukum Islam perkawinan sesuku asalkan tidak termasuk mahrom
(yang haram dinikahi) adalah boleh. Sementara bagi perkawinan yang sesuku
dan tinggal dalam Nagari yang sama tetap dikenakan hukum adat yang
ditentukan oleh KAN.16
Adapun tatacara pelaksanaan adat istiadat perkawinan sesuku yang
berasal dari Nagari yang berbeda sama saja dengan tatacara perkawinan pada
umumnya yang berlaku dalam aturan adat Minangkabau, hanya saja dalam
perkawinan sesuku yang berasal dari Nagari yang berbeda diperlukan kehati-
hatian dan musyawah para Ninik Mamak, untuk memastikan bahwa yang
akan menikah benar-benar berada dalam Nagari yang berbeda.17

16
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
17
Wawancara Pribadi dengan Ibu Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari
2019.
55

B. Akibat Hukum Perkawinan Sesuku di Nagari Batipuh Ateh

Setiap suatu tindakan tentu akan ada akibat dari tindakan tersebut,
apalagi jika suatu tindakan tersebut melanggar aturan-aturan yang sudah ada,
baik berupa aturan dalam hukum positif, hukum Islam, hukum adat dan
sebagainya. Terkait dengan perkawinan sesuku yang terjadi di Nagari Batipuh
Ateh, dalam hal ini terikat dengan hukum adat atau disebut dengan hukum
adat Salingka Nagari, yang memiliki aturan-aturan khusus di dalamnya. Salah
satunya terkait dalam kebolehan menikah dengan orang yang sesuku, namun
memiliki pengecualian harus yang berasal dari Nagari yang berbeda. Jika
perkawinan tersebut dilakukan dengan pasangan yang sesuku dan berasal dari
Nagari yang sama, maka akan menimbulkan akibat-akibat dan sanksi hukum
dari aturan adat yang berlaku di Nagari tersebut.

Adapun akibat hukum yang timbul dari perkawinan sesuku dan berasal
dari satu Nagari di Nagari Batipuah Ateh sebagai berikut :

1) Dibuang puluih dari Nagari atau keluar dari kaum


Hal ini terjadi jika kedua calon mempelai melakukan perkawinan
sesuku yang berasal dari Nagari yang sama serta dianggap kawin
limbago barunsanak. Selain itu kedua pasangan tersebut tidak
diperbolehkan untuk pulang kerumah mertuanya secara bersamaan.
Jika aturan ini tidak dijalankan maka keduanya diharuskan untuk
bercerai.18
2) Keluar dari kaum beserta dari kaum Mamak-Mamaknya.
Anak atau kemenakan yang melanggar aturan adat perkawinan
sesuku yang berasal dari Nagari yang sama, maka dirinya secara
otomatis dihapus dari keluarganya dan tidak dianggap lagi sebagai anak
kemenakan dari Ninik Mamak suku tersebut. Jika anak atau kemenakan

18
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
56

tersebut ingin kembali lagi ke dalam keluarganya, maka mereka harus


bercerai terlebih dahulu.19
3) Dikucilkan

Setiap pelaku kawin sesuku yang berasal dari Nagari yang sama
maka akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya karena dianggap
telah merusak hukum adat yang telah berlaku.20

4) Membersihkan nama Mamak

Di Minangkabau Ninik Mamak sangat berperan aktif dari pada


orang tua, karena hal-hal yang terjadi Mamak lah yang terlebih dahulu
terlibat bak dalam hal perkawinan kemenakannya, harta pusaka dan
sebagainya. Dalam hal perkawinan sesuku jika anak kemenakannya
melanggar aturan adat maka anak kemenakan tersebut wajib
membersihkan nama Mamaknya, jika hal itu tidak dilakukan oleh
kemenakannya makan Ninik Mamak yang bersangkutan tidak
diperkenankan untuk meengikuti sidang yang berlangsung di KAN.21

Hal-hal yang dilakukan dalam pembersihan nama Mamak disini


seperti membuat nasi lamak, tungkahan badarah, membuat singang
ayam,22 membayar kepada Nagari sebanyak sapikua bareh23 dan satu
mas.

Jika hal-hal diatas telah terpenuhi dan sudah dihidangkan kepada


Mamak Bareh sapikua, pajuraian, dan salah seorang pengurus KAN, maka
Mamak dan setiap orang yang hadir tidak boleh mencicipi hidangan tersebut,
karena itu dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan masyarakat adat
beranggapan makanan tersebut tidak layak untuk dimakan.

19
Hampir Serupa dengan Nasi Kuning Namun Nasi Lamak Terbuat dari Beras Ketan Putih.
20
Wawancara Pribadi dengan Bapak Safrial DT Batuah Nan Teleang, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
21
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat
dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
22
Singgang Ayam Merupakan Simbol Adat dalam Acara Tertentu.
23
Sa Pikua Bareh setara dengan 100 Liter beras.
57

5) Ninik Mamak didenda


Adapun dendan yang diberlakukan untuk Mamak adalah membayar
kepada Nagari sesuai dengan kebesaran Mamak yaitu :
a. Pangulu Pucuak sebanyak 60 Riyal 24
b. Pangulu Andiko sebanyak 40 Riyal
c. Pangulu Pasamaian sebanyak 30 Riyal
d. Pangulu Panungkek sebanyak 20 Riyal
e. Tuo Kampuang sebanyak 10 Riyal 25

C. Implementsi Perkawinan Sesuku di Minangkabau.


Secara filosofis perkawinan sesuku sejalan dengan sila ke 3 dalam
Pancasila yaitu persatuan Indonesia, yang dalam hal ini juga sesuai dengan
Bhineka Tunggal Ika sebagai suatu semboyan bagi Bangsa Indonesia, yang
berarti meskipun berbeda-beda namun tetap dalam satu kesatuan negara
Republik Indonesia. Ke bhinekaan yang dimaksud disini adalah banyaknya
suku bangsa yang mendiami pulau-pulau diseluruh wilayah Indonesia tapi
mereka tetap menciptakan warna-warni persatuan. Selain itu Setiap suku
Bangsa juga memiliki aturan dan norma-norma yang mereka patuhi sejak
zaman dahulu kala dan hal itu tidak melahirkan perpecahan dan pertikaian
antar masyarakat Indonesia yang dalam hal ini disebut dengan istilah hukum
adat.26
Adapun secara sosiologis tentang perkawinan sesuku juga sejalan
dengan teori Recpetie In Complexu. Dimana aturan adat terkait perkawinan
sesuku tidak bertentangan dengan aturan agama, yang dalam falsafah
Minangkabau dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Maksudya aturan adat Minangkabau berdasarkan pada syarak
yang sesuai dengan agama atau kalamullah. Secara agama perkawinan

24
Riyal Merupakan Mata Uang Dahulu Kala yang Ada di Minangkabau, Satu Ria sebanyak
12.000 sama dengan 120.000 dalam Rupiah.
25
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.
26
Abdurrahman, “Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam Bagi Pengembangan
Hukum Nasional Di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, h., 233.
58

tidaklah sah apabila dilakukan dengan orang yang sedarah atau saudara
kandung, yang juga bersesuaian dengan aturan adat Minangkabau yang
melarang seseorang kawin sesuku atau satu saudara atau sedarah.
Selain itu aturan adat yang berlaku di Minangkabau khususnya di
Nagari Batipuh Ateh tentang perkawinan sesuku menjadi suatu hal yang
menarik untuk penulis bahas. Karena jika diamati kembali aturan adat yang
berlaku secara umum di Minangkabau tentang perkawinan sesuku sedikit
berbeda dengan aturan adat Nagari Batipuh Ateh, dalam hal ini di
Minangkabau perkawinan sesuku adalah suatu perwinan yang dilarang karena
pengaruh dari sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan ibu, yang
beranggapan bahwa setiap orang yang memiliki suku yang sama adalah orang
yang mempunyai hubungan pertalian darah atau hubungan kekerabatan.
Dengan kata lain jika seseorang melakukan perkawinan sesuku maka sudah
diaggap sumbang dan menyimpang dalam aturan adat Minangkabau.27
Lain halnya dengan aturan adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh,
dimana perkawinan sesuku adalah sah atau boleh jika dilakukan dengan orang
yang berasal dari Nagari yang berbeda, namun jika perkawinan itu dilakukan
dengan orang yang berasal dari Nagari yang sama maka perkawinan tersebut
tidak boleh atau tidak sah secara aturan adat Nagari Batipuh Ateh.
Hal yang mendasari bolehnya perkawinan sesuku di Batipuh Ateh yang
berasal dari Nagari yang berbeda menurut Samsuar “Karano alam lah
bakalebaran, manusia alah bakakambangan, dan aturannyo pun lah babeda
dengan Nagari yang lain”.28 Maksudnya karena alam sudah semakin luas dan
masyarakat sudah semakin berkembang serta aturan-aturan adat pun telah
berbeda di masing-masing Nagari. Hal tersebut juga di perkuat oleh pendapat
Alfa Edison yang mengatakan “Nagari satu kesatuan masyarakat hukum

27
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT. Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuh Ateh, 03 Maret 2019.
28
Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT. Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan
Agama, Batipuh Ateh, 03 Maret 2019.
59

adat, adat yang balaku adalah adat Salingka Nagari”29 maksudnya dalam
aturan Nagari merupakan satu kesatuan yang berasal dari masyarakat hukum
adat dan hukum adat yang berlaku adalah hukum adat Salingka Nagari di
daerah tersebut.
Sedangkan secara yuridis terkait terkait permasalahan perkawinan
sesuku maka penyelesaian terakhir jika tidak selesai oleh Ninik Mamak
adalah KAN (Kerapatan Adat Nagari). Karena pengadilan tertinggi di Nagari
Batipuh Ateh adalah KAN. Sejalan dengan Peraturan Daerah tentang Nagari
dimana segala permasalahan yang terjadi di Nagari diselesaikan oleh KAN,
karena KAN merupakan perwujudan permusyawaratan tertinggi dalam
Nagari.30
Oleh karena itu dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan terkait
adanya perbedaan yang terjadi antara aturan adat yang berlaku di
Minangkabau pada umumnya dengan aturan yang adat yang berlaku di Nagari
Batipuh Ateh maka peneliti setuju dengan kebolehan perkawinan sesuku beda
Nagari yang ada dalam aturan adat Salingka Nagari yang berlaku di Nagari
Batipuh Ateh, hal yang paling mendasari alasan peneliti adalah ketika
seseorang melakukan perkawinan sesuku yang berasal dari beda Nagari maka
Ninik Mamak dari suku tersebut sudah pasti berbeda, karena jika satu Nagari
sudah pasti satu Ninik Mamak. Selain itu menurut pepatah Minangkabau
Sawah lah balupak, ladang dan babintalak, maksudnya kalau orang yang
berasal dari berbeda Nagari hak dan hartanya sudah berbeda sehingga tidak
menimbulkan lagi perpecahan antar kaum serta tidak ada permasalahan yang
timbul dalam pengurusan NA.

29
Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustafa, Tokoh Adat dan Agama,
Batipuh Ateh, 03 Maret 2019.
30
Pasal 1 angka 6 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indonesia memiliki tiga sistem kekerabatan yaitu : sistem kekerabatan


bilateral dimana anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya,
seperti masyarakat di Jawa, Madura, Kalimantan dan Sulawesi. Sistem
kekerabatan patrilineal dimana anak menghubungkan dirinya berdasarkan
garis keturunan ayahnya, seperti berlaku pada masyarakat Batak dan Bali.
Dan sistem kekerabatan matrilineal dimana anak menghubungkan dirinya
dengan garis keturunan ibunya, seperti yang berlaku pada masyarakat
Minangkabau. Perbedaan sistem kekerabatan ini memiliki konsekuensi
terjadinya perbedaan dibidang hukum perkawinan dan kewarisan.

Sebagaimana diketahui, bahwa perkawinan sesuku merupakan


perkawinan yang dilarang dalam budaya Minangkabau. Perkawinan sesuku
dianggap tabu dan terlarang, dalam terminologi budaya disebut juga kawin
pantang. Ada dua macam perkawinan yang dilarang dalam budaya
Minangkabau yaitu Eksogami suku dan eksogami nagari. Yang dimaksud
dengan eksogami suku adalah larangan perkawinan dengan sesama suku dan
eksogami Nagari adalah larangan sesuku dan senagari.

Sebagian masyarakat Minangkabau ingin mempertahankan larangan


perkawinan sesuku karena perkawinan sesuku sesungguhnya akan menjadi
ancaman bagi eksistensi budaya Minang secara keseluruhan karena akan
merusak sistem kekerabatan, yaitu yang setali darah menurut garis keturunan
matrilineal, sekaum atau sesuku meskipun tidak mempunyai hubungan
geneologis atau tidak senagari. Namun ada juga sebagian masyarakat
Minangbau yang mengakomodasi perubahan jaman ini dengan
memperbolehkan perkawinan sesuku asal tidak berasal dari Nagari yang
sama. Inilah yang menjadi perhatian dalam penelitian ini, dimana di

60
61

Minangkabau khususnya Nagari Batipuh Ateh memiliki keunikan atau


kekhususan tersendiri dalam penerapan perkawinan sesuku.

Perkawinan sesuku yang terjadi di Nagari Batipuh Ateh adalah boleh


berdasarkan adat salingka Nagari Batipuh Ateh dengan syarat mereka harus
berasal dari Nagari yang berbeda, dan tidak terikat dengan kekerabatan dekat
dan hal ini didukung dengan adanya pandangan alam sudah semakin luas dan
masyarakat sudah semakin berkembang serta aturan-aturan adatpun telah
berbeda di masing-masing Nagari. Selain itu menurut pepatah Minangkabau
Sawah lah balupak, ladang dan babintalak, maksudnya kalau orang berbeda
nagari hak dan hartanya sudah berbeda sehingga tidak menimbulkan lagi
perpecahan antar kaum.
Adapun jenis hukuman yang lazim dilakukan pada pelaku perkawinan
sesuku dan berasal dari Nagari yang sama di Batipuah Ateh, “pelaku akan
Dibuang puluih dari Nagari atau keluar dari kaum. Hal ini terjadi jika kedua
calon mempelai melakukan perkawinan satu suku dengan nagari yang sama
serta dianggap kawin limbago barunsanak. Selain itu kedua pasangan tersebut
tidak diperbolehkan untuk pulang kerumah mertuanya secara bersamaan. Jika
aturan ini tidak dijalankan maka keduanya diharuskan untuk bercerai.
Kedua, akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya karena dianggap
telah merusak hukum adat yang telah berlaku. Kemudian wajib
membersihkan nama mamaknya, jika hal itu tidak dilakukan oleh
kemenakannya makan niniak mamak yang bersangkutan tidak diperkenankan
untuk mengikuti sidang yang berlangsung di KAN. Adapun hidangannya
adalah : Membuat Nasi Lamak, Tungkahan badarah (minimal seekor
kambing), Membuat singang ayam (ayam panggang utuh). Membayar denda
kepada Nagari Sa pikua bareh (setara 100 liter beras) dan 1 mas (sekitar 3
gram).
Jika hal-hal diatas telah terpenuhi dan sudah dihidangkan kepada
mamak bareh sapikua, pajuraian, dan salah seorang pengurus KAN, maka
mamak dan setiap orang yang hadir tidak boleh mencicipi hidangan tersebut,
62

karena itu dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan masyarakat adat
beranggapan makanan tersebut tidak layak untuk dimakan.
Ada juga hukuman yang dibebankan kepada Ninik-mamak yang
bersangkutan, pembayaran kepada : Pangulu Pucuak sebanyak 60 Riya,
Pangulu Andiko sebanyak 40 Riya, Pangulu Pasamaian sebanyak 30 Riya,
Pangulu Panungkek sebanyak 20 Riya, Tuo Kampuang sebanyak 10 Riya
(Majolelo : 2019). Nilai satu Riya seharga Rp 3000.

B. SARAN

Bagi masyarakat Batipuh Ateh hendaknya terus berupaya untuk terus


menjaga aturan adat Salingka Nagari ini, karena banyak kemaslahatan yang
ada pada dibolehkannya perkawinan sesuku dengan Nagari yang sama.
Banyak nilai-nilai keIslaman dan manfaat yang didapat dari pelaksanaan
aturan perkawinan ini. Selanjutnya sebagai langkah dan upaya dalam
pelestarian adat Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.

Bagi tokoh agama dan tokoh adat yang mengetahui dengan jelas tujuan
dan maksud dari pelestarian aturan ini, hendaknya memberikan penjelasan
yang lebih mendalam lagi terkait pandangan Islam terhadap aturan adat
Salingka Nagari tentang kebolehan perkawinan sesuku beda Nagari di
Batipuh Ateh.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. “Harmonisasi Hukum Adat Dan Hukum Islam Bagi Pengembangan


Hukum Nasional Di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata
Sosial Islam : 233.
Aditiawarman, Abrar. Budaya Alam Minangkabau(BAM). Padang: Pemerintah
Kota Padang Dinas Pendidikan, 2007.
Afadarma, Romi. “Peranan Ketua Adat Dan Kerapatan Adat Nagari Dalam
Penyelesaian Sengketa Harta Pusaka Tinggi Di Nagari Sungai Tarab
Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat.” Tesis S-2 Program
Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2010.
Akbar, Andi. Dkk. Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin. Jakarta :
Huma. 2005.
Alpian R, Rahmat. “Kontruksi Makna Perkawinan Sasuku Di Kecamatan Kuantan
Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau”. JOM Fisip. Vol. 4. No.
1. Februari. 2017 : 9.
Amrizal. “Asal Usul Dan Makna Nama Gelar Datuak Di Nagari Nan Tujuah
Kecamatan Palupuh Kabupaten Agam.” Ilmu Sosial Dan Humaniora, Vol.
2, No. 2, (2011): 96.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah
Ateh Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar : 2.
Arifin, Tajul. Antropologi Hukum. Bandung : Pustaka Setia. 2012.
E. Graves, Elizabeth. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respon Terhadap
Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh. Kab. Tanah Datar. Nagari Tuan
Gadang Harimau Campo Kotopili.
Erwin, Muhammad. “Peran Lembaga Adat Dalam Pembangunan Desa Sidomulyo”
Ilmu Pemerintahan. Vol. 5. No. 3. 2017 : 1340.
Fauziah, Syifa. “Perubahan Adat Nan Babuhua Mati Terkait Perkawinan Sesuku Di
Nagari Saniangbaka Kabupaten Solok.” Skripsi S-1 Fakultas Hukum.
Universitas Andalas. 2018.

63
64

Febrina, Yossi. “Perkawinan Sesuku Di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau


Dari Hukum Islam.” Skripsi S-1 Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Fuad, Fokky. Negara dan Masyarakat Hukum Adat. Jakarta : Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI. 2016.
Griffhits, Jhon. Memahami Pluralisme Hukum. Sebuah Deskripsi Konseptual,
artikel ini disampaikan oleh Jhon Griffits dalam pertemuan tahunan
Asosiasi Hukum dan Masyarakat (The Law and Society Association) di
Amhest.12-14 Juni 1981 : 74.
Haar Bzn, B. Ter Terjemahan Pesponoto, Soebakti. Asas-asas dan Susunan Hukum
Adat. Jakarta Timur : Balai Pustaka. 2013.
Habibah Sahju, Annisa. “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum
Adat Suku Jambak Padang-Pariaman Di Bandar Lampung.” Skripsi S-1
Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung. 2018.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung : P.T. Alumni.
2010.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
1990.
Hakimi, Idrus. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, Dan Pidato Aula
Pasambahan Adat Di Minangkabau. Bandung: Remadja Karya CV. 1984.
Halim, Ridwan. Hukum Adat Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Gralia Indonesia. 1987.
Haryani, Ayi. “Peran Pengurus Lembaga Adat Dalam Memfungsikan Lembaga
Adat Kasepuhan Sinaresmi Di Desa Sinaresmi Kecamatan Cisolok
Kabupaten Sukabumi” Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Vol. 11. No. 1. Juni.
2012.
Hasan, Firman. Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau. Padang :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988.
Hasanuddin. Adat Dan Syarak Sumber Inspirasi Dan Rujukan Nilai Dialektika
Minangkabau. Padang: Pusat Studi Informasi Dan Kebudayaan
Miangkabau. 2013.
65

Irianto, Sulistyowati. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum


dan Konsekuensi Metodologisnya”. Hukum dan Pembangunan. No. 4
(XXXIII) : 91.
Irianto, Sulistyowati. Hukum Yang Bergerak Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia. 2009.
M.S, Amir. Adat Minangkabau Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta:
Citra Harta Prima. 2011.
Maladi, Yanis. “Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca
Amandemen” Mimbar Hukum. Vol. 22. No. 3. Oktober. 2010 : 450-464.
Manggalatung, Salman. Siagian, Amrizal Pengantar Studi Antopologi Hukum di
Indonesia. Jakarta : UIN Jakarta. 2015.
Manggalatung, Salman. Siagian, Amrizal. Pengantar Studi Antopologi Hukum di
Indonesia. Jakarta : UIN Jakarta, 2015.
Manto, Masdir. “Persepsi Masyarakat Terhadap Kawin Sesuku Di Desa Pulau
Busuk Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi.” Skripsi S-1
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Kasim Riau. 2010.
Marlis. “Eksistensi Ninik Mamak (Datuk/Penghulu) Dalam Mensejahterakan
Masyarakat Desa Tabing Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten
Kampar,” Skripsi S-1 Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. 2013.
Masykuri, Subkhan. “Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayudalam
Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Kecamatan Perhentian Raja
Kabupaten Kampar Provinsi Riau),” Sripsi S-1, Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Salatiga. 2016.
Mayaldi, Apri. “Peran Penghulu Dalam Mempertahankan Adat Istiadat Di Nagari
Lubuk Tarok Kecamatan Lubuk Tarok Kabupaten Sijunjung.” Artikel
Pendidikan Sosiologi, 15 Oktober 2015.
Notopuro, Hardjito. Tentang Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan dalam
Hukum Nasional. Jakarta : Majalah Hukum Nasional. 1969.
66

Piliang, Edison dan Nasrun, Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkabau.


Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014.
Pratama, Iqbal Sonta. “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi
Perkawinan SesukuMenurut Hukum Adat Di Nagari Sungai Buluah
Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman”. Fakultas Hukum,
Volume IV, No. 1, (Februari, 2017): 4.
Putriyah P, Nola. “Perkawinan Eksogami: Larangan Perkawinan Satu Datuak Di
Nagari Ampang Kuranji, Sumatera Barat,” Al-Ahwal, Vol. 8, No. 2, (2015
M/1436 H): 176.
Ratno Lukito. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Jakarta : Pustaka Alvabet 2008.
Salman Soemadiningrat, Otje. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer.
Bandung : P.T Alumni. 2002.
Samin, Yahya. Dkk. Peranan Mamak Terhadap Kemenakan Dalam Kebudayaan
Minangkabau Masa Kini. Padang : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1996.
Samosir, Djamanat. Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika
Perkembangan Hukum di Indonesia. Bandung : Nuansa Aulia. 2013.
Sandy, Ferri. “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku Di Desa Tanjung
Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum
Adat Kampar”. JOM Fakultas Hukum Vol. III. No. 2. Oktober. 2016 : 6.
Saputra, Irfan. “Perilaku Politik Elit Adat Studi Atas Kemenangan Bupati Indra
Cantri Dan Wakil Bupati Trinda Farhan Satria Pada Pemilukada 2015 Di
Kabupaten Agam, Sumatera Barat.” Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Saputri, Melly Dwi. “Perkawinan Sesuku Di Desa Tanjung Kecamatan Koto
Kampar Hulu Kabupaten Kampar.” Jom FISIP Volume 2 No. 2, (2015) : 3.
Setiadi, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan).
Bandung : Alfabeta. 2013.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Soekanto, Soerjono. Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat.
Jakarta : CV. Raja Wali. 1984.
67

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.


2005.
Sopyan,Yayan. Buku Ajar Pengantar Metode Peneltian. Jakarta : UIN Jakarta.
2010.
Subchi, Imam. Pengantar Antropologi. Jakarta : UIN Jakarta. 2016.
Suryadi, Arika. “Perkawinan Sesuku Di Nagari Matur, Kabupaten Agam,
SUMBAR (Studi Pandangan Tokoh Adat Dan Tokoh Agama)”. Skripsi S-1
Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2009.
Susylawati, Eka. “Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”.
VOL. IV. No. 1. Juni. 2009 : 126.
Tantowy, Jawahir. “Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi
Perlindungan Hak-Hak Tradisionalnya”, Jurnal Pandecta. Vol. 10. No. 1.
Juni. 2019 : 2.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Depok : UI-Pres. 2014.
Thalib, Sayuti. Receptio A Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum
Islam. Jakarta : Bina Aksara. 1982.
Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia. Bandung : PT Refika Aditama. 2014.
Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat
Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. 2011.
Yulanda, Resty .“Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku Dalam KeNagarian
Sungai Asam Kabupaten Padang Pariaman.” Skripsi S-1 Fakultas Hukum,
Universitas Andalas Padang. 2011.

Zainuddin, Musyair. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak Asal-


Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. 2000
Peraturan Perundangan

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah
Ateh Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar : 2.

Perda Kabupaten Tanah Datar, No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari.

Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan Nagari.

Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari.

Daftar Wawancara

Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi, Batipuah
Ateh, 23 Maret 2019.

Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara
Pribadi, Batipuah Ateh, 25 Wawancara Pribadi Maret 2019.

Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi, Batipuah
Ateh, 4 Maret 2019.

Rajudi DT. Tanbarakan, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi Batipuah
Ateh, 15 Maret 2019.

Safrial DT Batuah Nan Teleang, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi
Batipuah Ateh, 17 Maret 2019.

Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi,


Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi,


Batipuah Ateh, 07 Maret 2019.

Yuniar, masyarakat, Wawancara Pribadi ,Batipuah Ateh, 20 Februari 2019.

Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, Wawancara Pribadi 24 Februari 2019.

68
HASIL WAWANCARA

1. Bapak H. Samsuar, DT. Gadang Majolelo


Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh
Suku : Sikumbang
Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko

a. Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui tentang perkawinan satu suku di


Nagari Batipuh Ateh ?
Jawaban : Kawin satu suku manurik adaik Minangkabau yaitu kawin
sakaum atau kawin badunsanak.
b. Pertanyaan : Kenapa dalam aturan adat nagari perkawinan satu suku di
Perbolehkan?
Jawaban : Ado juo samantang pun baitu dibuliahkannyo kawin sasuku
di Nagari Batipuh Ateh jo urang yang babedo Nagari adolah karano
manuruik masyarakat adaik Batipuh Ateh niniak mamaknyo alah pasti
babedo, salain itu juo masalah hak dan haratonyo indak pulo
manimbuaan sangketo atau pasalisiahan.
c. Pertanyaan : Bagaimana Jika perkawinan satu suku di langgar?
Jawaban : Jikok aturan adaik nan dilanggarnyo mako pelaku dibuang
puluih dari Nagari ko, sarato dihapuih inyo dari dalam kaumnyo dan
indak buliah pulang kanagari nyo surang. Kok nio juo nyo pulang, yo
pulanglah nyo surang-surang.

Ttd

H. Samsuar, DT. Gadang Majolelo


2. Bapak Safrial, DT. Batuah Nan Teleang
Alamat : Balai Gadang
Suku : Sikumbang
Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko

a. Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang KAN ?


Jawaban : KAN (Kerapatan Adat Nagari), adolah sebuah unsur lembaga
tertinggi di Nagari Batipuh Ateh, posisi dari KAN ko samo derajatnyo
jo Badan Pengadilan Agamo. Salain itu KAN di sabuik pulo sabagai
tampek perhimpunan ninik mamak untuk melaksanakan musyawarah
atau disabuik jo rumpuik sahalai, tanah sakapa.
b. Pertanyaan : Kapan masalah tersebut diselesaikan oleh KAN?
Jawaban : Di Nagari Batipuh Ateh masalah baru bisa disalasaian oleh
KAN jikok niniak mamak alah manjalanan tugasnyo sabagai kapalo
kaum atau mamak bagi kamanakannyo, itu juo dilakuan dengan
mambarian pituah-pituah sarato pemahaman takaik aturan-aturan adaik
salingka Nagari di Batipuh Ateh. Salain itu nan talabiah utamo baperan
dalam kaum adolah tuo kampuang, jikok masalah itu indak tasalasaian
dek tuo kampuang maka di sarahan ka pasamaian dan panungkek,
hinggo sataruihnyo sampai ka ka pangulu pucuak, jikok indak salasai
juo mako masalah tu di baok ka pangadilan.

Ttd

Safrial, DT. Batuah Nan Teleang


3. Bapak Hj. Alfa Edison, DT. Mustafa
Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh
Suku : Sikumbang
Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko

a. Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui tentang wewenang KAN di nagari


Batipuh Ateh?
Jawaban : Sakileh yang ambo ketahui takaik wewenang KAN yaitu
untuak malestarian sarato mansejahterakan kehidupan sosial budayo
dan adaik istiadat masyarakat Nagari Batipuh Ateh, sarato manjago
kautuhan sako jo pusako.
b. Pertanyaan : Apa saja hal-hal yang termasuk pada lembaga unsur di
KAN?
Jawaban : Samantang pun baitu takaik lembaga-lembaga unsur yang
ado di KAN yaitu niniak mamak nan marupokan lembaga adat nan
tadiri dari babarapo pangulu sarato barbagai kaum nan ado di babagai
suku, alim ulama sabagai pemimpin masyarakat dalam urusan agamo,
cadiak pandai sabagai urang nan dipicayo dalam hal penerapan ilmu
untuak kapantiangan masyarakat negara, bundo kanduang marupokan
sosok wanita nan manjadi contoh untuak wanita-wanita nan ada di
Nagari dalam hal perilaku, budi pekerti sarato caro bapakaian, salain itu
juo ado namonyo pemuda parik paga nan merupokan urang nan
manjago ketertiban dan keamanan Nagari.
c. Pertanyaan : Selain KAN, apa saja yang bapak ketahui terkait
perkawinan satu suku di nagari Batipuh Ateh?
Jawaban : Kawin sasuku adolah kawin limbagu urang barunsanak, atau
bisa juo ciek katurunan. Jikok tajadi perkawinan sasuku jo Nagari nan
samo sarato suku nan samo maka pelaku nan indak mangikuti aturan
adaik itu harus kalua dari kampuang dan indak buliah tingga di Nagari,
salain itu nan bersangkutan taputuih hubungan nyo sacaro adaik di
Nagari asalnyo. Cok itu bana bareknyo jikok malangga aturan adaik di
Nagari Batipuah Ateh.

Ttd

Hj. Alfa Edison, DT. Mustafa


4. Bapak Azizman DT. Sinaro Alam Nan Putiah
Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh
Suku : Panyalai
Pekerjaan : Wali Nagari serta Pengurus kan, sebagai Pucuak

a. Pertanyaan : terkait perkawinan satu suku, apa saja sanksi yang


diberikan bagi pelaku?
Jawaban : Adapun takaik saksi adaik salingka Nagari nan di balakuan
untuak pelaku dan malangga aturan adaik yaitu dibuang sapanjang
adaik (maksudnya jika pelaku melanggar aturan adat maka di harus
keluar dari kampung halamannya), di jauahin dek masyarakat “mati
indakdijanguak, sakik indak disilau”, ninik mamaknyo indak
disaratokan dalam rapek-rapek nan ado di Nagari, salanjuiknyo
mambarasiahan namo niniak mamaknyo dan mambayia dando kapado
kapalo Nagari sabanyak 100 liter bareh (jika sudah dibayar maka
mamaknya baru bisa diikut sertakan kembali pada acara-acara rapat
adat).
b. Pertanyaan : jika seseorang melakukan perkawinan satu suku dengan
beda nagari, apakah ada aturan-aturan tertentu yang membatasi
perkawinan itu pak?
Jawaban : Sajauah ko indak ado, tapi samantang pun baitu tetap sajo
dalam mambarian kaputusan terhadap pelaku manggunoan unsur
kahati-hartian.

Ttd

Azizman DT. Sinaro Alam Nan Putiah


5. Bapak Musa DT. Tumangguang
Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh
Suku : Panyalai
Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko
a. Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang aturan adat salingka
nagari?
Jawaban : Adaik salingka Nagari adolah aturan nan mangar=tur secara
khusus Nagari Batipuah Ateh, nan dalam hal ko satiok Nagari
mampunyoi adaik dan aturan-aturan masiang-masiang.
b. Pertanyaan : apakah bapak pernah melihat masyarakat yang melakukan
perkawinan satu suku?
Jawaban : iyo, contohnyo nan tajadi di Pincuran Base Nagari Batipuh
Ateh, di daerah ko pernah tajadi kawin sasuku, akibaik nyo nan
malangga adaik tapaso maninggaan kampuang halamannyo dan hiduik
di parantauan, kok nio inyo pulang manyanguak rumah, iyo pulanglah
surang-surang, indak buliah baduo, kok dilangga yo bacarailah
timbangannyo.

Ttd

Musa DT. Tumangguang


6. Yuniar
Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh
Suku : Sikumbang
Pekerjaan : Sebagai Tokoh Masyarakat

a. Apakah benar dari keluarga ibu ada yang melakukan perkawinan satu
suku?
Jawaban : Iyo batua, itu adolah anak ambo sandiri, namun samantang
pun baitu iyo lai indak ado masalah ataun pun papacahan baru nan
datang dari pakawinan itu do.

b. Apakah status perkawinannya masih suami istri sampai sekarang?


Jawaban : Alhamdulillah kok statusnya lai masih suami isteri sampai
kini, pakawinan itu juo alah balangsuang salamo 22 tahun dan
dikaruniai anak 3 urang, duo jantang dan surang padusi.

Ttd

Yuniar
7. Yusmawati
Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh
Suku : Sikumbang
Pekerjaan : Sebagai Tokoh Masyarakat

a. Pertanyaan : Pernahkah ibu melihat masyarakat disini melakukan kawin


satu suku?
Jawaban : iyo, itu pernah tajadi di Ngari Sabu, nan pado waktu itu nan
basungkutan barase dari nagari nan samo sarato suku nan samo, ciek
pangulu dan niniak mamak. Akibaiknyo nan basangkutan harus bacarai
karato indak bisa di patahanan pakawinannyo dan indak bisa jauah dari
keluarga.

b. Pertanyaan : Bagaimana respon masyarakat terkait hal itu?


Jawaban : sampai kini iyo tasabuik-sabuiklah keluarga nyo dalam
masyarakat sarato di jauhi nyo saolah-olah dianggap indak ado di dalam
Ngari itu.

Ttd

Yusmawati
DOKUMENTASI WAWANCARA

Anda mungkin juga menyukai