Anda di halaman 1dari 112

PERAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN OBAT


NON-HALAL (Studi Kasus Suplemen Viostin DS)

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

ETI ASAROH
N I M: 11140460000016

PROGRAM STUDI HUKUM EKONMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
ABSTRAK
ETI ASAROH. 11140460000016. PERAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN OBAT NON-
HALAL (Studi Kasus Suplemen Viostin DS). Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas mengenai Peran Badan Pengawas Obat dan
Makanan dalam melakukan pengawasan terhadap obat non-halal, khususnya obat
Viostin DS. Berdasarkan surat edaran Badan Pengawas Obat dan Makanan,
pelaku usaha tidak memberikan informasi secara benar antara data pre-market dan
hasil pengawasan post-market. Data yang diserahkan dan lulus evaluasi BPOM
saat pendaftaran pre-market, menggunakan bahan baku bersumber sapi.
Sementara, ketika dilakukan pengujian pada post-market menunjukan positif
DNA babi. Tindakan tersebut sangat merugikan konsumen, khususnya konsumen
muslim. Karena telah banyak melanggar peraturan perundang-undangan,
diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Obat dan Pengobatan. Pada intinya pelaku usaha
wajib mencantumkan keterangan “Mengandung Babi” pada produk jika pada
produksinya menggunkan bahan yang bersumber dari babi.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empiris.
Penelitian hukum normatif empiris merupakan penelitian hukum mengenai
pemberlakuan ketentuan hukum normatif (undang-undang) pada setiap peristiwa
yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Adapun hasil dari penelitian ini yaitu pengawasan BPOM dalam rangka
melindungi konsumen dari peredaran obat non-halal, BPOM membentuk tim
gabungan baik dari kepolisian, kementrian kesehatan maupun aparat hukum
lainnya untuk penyidikan kepada pelaku usaha yang masih mengedarkan. BPOM
telah memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu dengan
memberi peringatan keras kepada PT.Pharos Indonesia dan menghentikan seluruh
proses produksinya. Kemudian menghimbau kepada seluruh masyarakat selaku
konsumen apabila masih menemukan obat viostin DS dari peredaran agar melapor
ke BPOM.
Kata Kunci : Pelanggaran, Pengawasan, Perlindungan Konsumen.
Dosen Pembimbing : Mustolih, S.H.I, M.H., CLA
Tahun : 2009-2018

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillahirabil’aalamin, Segala puji bagi Allah SWT yang telah


memberikan kita nikmat iman dan kesehatan sehingga penulis diberi kesempatan
untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERAN BADAN PENGAWAS
OBAT DAN MAKANAN DALAM MENANGGULANGI OBAT-OBATAN
NON-HALAL (Studi Kasus Suplemen Viostin DS)”, sebagai salah satu syarat
yang diwajibkan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada
junjungan kita Nabi Agung, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para
sahabatnya serta pada ummatnya sampai akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa akan banyak ditemukan kekurangan pada


penyusunan skripsi ini. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas bahan observasi
yang penulis tampilkan. Hal tersebut dikarenkan keterbatasan kemampuan
penulis. Sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun mudah-mudahan dikemudian hari dapat memperbaiki segala
kekurangannya.

Dalam penyusunan Skripsi ini, tentunya penulis mendapat banyak sekali


bantuan, bimbingan serta dukungan dari bergbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis juga bermaksud untuk menyampaikan terimakasih tak
terhingga kepada:

1. Bapak Dr. Asep Sapudin Djahar, MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak AM, Hasan Ali, MA. Selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah dan Bapak H. Abdurrauf, Lc., MA. selaku Sekretaris Program Studi

vi
Hukum Ekonomi Syariah yang telah mengizinkan penulis untuk membuat
skripsi ini.
3. Bapak Mustolih, S.H.I., M.H., CLA selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dan dengan sabar dalam memberikan bimbingan,
petunjuk dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
4. Seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik,dan membekali ilmu-ilmu yang
sangat bermanfaat.
5. Kepada Pimpinan Perpustakaan FSH, Perpustakaan Utama, Perpustakaan
BPOM, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
6. Ibu Tiodora M, Sirait, SH. MH selaku Ketua Bidang Penyuluhan Hukum
Badan Pengawas Obat dan Makanan yang telah meluangkan waktu untuk
dapat diwawancarai dan memberikan informasi kepada penulis
7. Kedua orang tua penulis, Bapak Miftahudin (Alm) dan Ibu Suinah
terimakasih atas doa dan dukungannnya serta kasih sayang yang diberikan
kepada penulis. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Kepada
Bapak tercinta yang telah lebih dahulu pergi, tersenyumlah di surga. Hanya
doa yang dapat ku panjatkan semoga engkau bahagia di sana.
8. Aang tercinta Moch. Absori yang telah menjadi kakak paling penuh kasih
sayang dan perhatian serta bersusah payah membiayai penulis dalam
menuntut ilmu. Terimkasih juga untuk mba Evi Zahrotul Latifah yang telah
memberikan dorongan semangat hingga terselesainya skripsi ini. Dan untuk
Lulu Syauqiyatul Absor yang telah menjadi penyemangatnya tante.
9. Keluarga besar penulis yang ada di Brebes yang selalu mendoakan agar
skripsi ini cepat terselesaikan dengan baik.
10. Untuk sahabat tercinta Ismiyatul Arifiyah yang dari awal hingga akhir
penulisan skripsi ini selalu memberi masukan kepada penulis dan sudah
meluangkan waktunya untuk menemani wawancara ke BPOM.

vii
11. Untuk Sahabat-sahabat penulis, Yusri Wahyuni, Binga Agsel Siqitsa,
Camelia Vurista, Hengki Kurniawan yang selalu mendengarkan keluh kesah
dan selalu memberikan motivasi kepada penulis.
12. Untuk temen-temen seperjuangan angkatan 2014 yang selalu memberikan
semangat kepada penulis Opet, Hani, Wiwin, yayah, lisa, fika, fariha, nissa,
kiya dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.
13. Untuk temen-temen KKN Himalaya Kingdom, Chusnul, Mega, Diana, Beby,
Muthiya, Wita, Nanda, Puput, Fabian, Hasan, Haikal, Abu, Alfred dan Dhika
yang selalu mensupport penulis.

Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang


telah mambantu dan apabila ada yang tidak tersebutkan penulis mohon maaf,
dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, Desember 2018

Eti Asaroh

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................... iii


LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK ..............................................................................................................v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1

A. Latar Belakang ..........................................................................1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................5

C. Tujuan Penelitian .......................................................................6

D. Manfaat Penelitian .....................................................................6

E. Metode Penelitian ......................................................................7

F. Teknik Pengumpulan Data ......................................................10

G. Teknik Pengolahan Data .............................................................. 11


H. Sistematika Penulisan ..............................................................11

BAB II KAJIAN TEORI ..........................................................................13

A. Kerangka Konseptual ..............................................................13

B. Kajian Teori .............................................................................15

1. Hukum Perlindungan Konsumen .......................................15

a. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ...............15

ix
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen...................16
c. Pengertian Konsumen ...................................................18
d. Hak-Hak Konsumen .....................................................19
e. Hak Konsumen Prespektif Islam ..................................21
f. Kewajiban Konsumen ..................................................24
g. Pengertian Pelaku Usaha ..............................................25
h. Hak-Hak Pelaku Usaha.................................................25
i. Kewajiban Pelaku Usaha ..............................................26
j. Larangan Bagi Pelaku Usaha........................................27
k. Tanggungjawab Pelaku Usaha .....................................28

2. Sertifikat Halal ...................................................................29

a. Pengertian Sertifikat Halal ...........................................29


b. Landasan Sertifikat Halal .............................................30
c. Produk Halal .................................................................31
d. Proses Sertifikasi Halal.................................................33
e. Pengawasan Sertifikasi Halal .......................................35
C. Review Terdahulu ...................................................................37

BAB III PROFIL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DAN


PT. PHAROS INDONESIA.........................................................41

A. Profil Badan Pengawas Obat dan Makanan ............................41


1. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan ..............41
2. Sejarah ...............................................................................42
3. Latar Belakang ..................................................................46
4. Visi dan Misi .....................................................................48
5. Tugas, Fungsi dan Kewenangan ........................................48
6. Struktur Organisasi ............................................................51
B. Profil PT. Pharos Indonesia .....................................................57
1. PT. Pharos Indonesia .........................................................57
2. Sejarah ...............................................................................57
3. Produk PT. Pharos Indonesia ............................................57

x
4. Viostin DS .........................................................................59

BAB IV PEMBAHASAN ...........................................................................60

A. Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha Suplemen


Viostin DS ...............................................................................60
B. Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan Dalam
Menanggulangi Peredaran Obat Non-Halal (Studi Kasus
Suplemen Viostin DS) .............................................................71
C. Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan Dalam
Menanggulangi Peredaran Obat Non-Halal (Studi Kasus
Suplemen Viostin DS) .............................................................76

BAB V PENUTUP .....................................................................................83

A. KESIMPULAN..........................................................................83
B. SARAN.....................................................................................85

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Maraknya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha akhir-
akhir ini, menimbulkan keresahan bagi konsumen di Indonesia. Di samping
itu, bidang produksi di Indonesia telah mengalami peningkatan yang
signifikan seiring dengan kemajuan zaman. Sehingga tidak menutup
kemungkinan banyak pelaku usaha yang berbuat curang.
Sebuah surat edaran dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
(POM) Mataram kepada Balai POM Palangkaraya mendadak viral. Hal itu
karena isi surat tersebut yang menyatakan bahwa dua
merk suplemen makanan yang beredar di publik mengandung DNA babi. Dua
suplemen makanan tersebut adalah Viostin DS yang diproduksi PT. Pharos
Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN
C6K994H dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories NIE
DBL7214704016A1 nomor bets 16185101. Tak lama setelah viralnya surat
tersebut, Badan POM RI mengeluarkan penjelasannya. Dirangkum dari laman
resminya, BPOM menyebut bahwa isi surat edaran tersebut benar adanya.
Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran
(post-market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian terhadap
parameter DNA babi, ditemukan bahwa produk di atas terbukti positif
mengandung DNA Babi.1
Meskipun Kepala Badan POM bersama-sama dengan pihak Yayasan
Lembaga Konusmen Indonesia (YLKI) dan Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) sudah
menggelar konferensi pers bersama, menindaklanjuti temuan tersebut, namun

1
Resa Eka Ayu Sartika. “BPOM: Dua Produk Suplemen Makanan Mengandung DNA
Babi”. Kompas.com, 01 Februari 2018.

1
2

demikian masih banyak pertanyaan dari masyarakat yang masih belum


terjawab. Pada umumnya mereka mempertanyakan tentang keamanan obat
dan suplemen yang beredar di masyarakat, terutama terkait dengan status
kehalalan dari produk-produk tersebut, mengingat kasus ini bukanlah kasus
pertama yang terjadi.2
Dengan demikian, Indonesia sebagai negara yang mayoritas
beragama Islam perlu adanya pengawasan terhadap produk obat-obatan yang
non-halal. Dalam Islam sendiri mengkonsumsi babi tidak diperkenankan
bahkan dengan tegas melarangnya. Khusus bagi penganut agama Islam ada
ketentuan mengharuskan pangan yang dikonsumsi adalah yang halal dan baik
(halalan toyyiban).3 Sebagaimana dalam (QS. Al-Maidah 88) dijelaskan
”Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepadanya. Ayat tersebut menyuruh kita hanya memakan makanan yang halal
dan baik saja, dua kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang dapat diartikan
halal dari segi syariah dan baik dari segi kesehatan, gizi, estetika dan lainnya.4
Negara wajib menjamin setiap penduduk yang menjalankan agama
dan keyakinannya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan dan
obat-obatan halal sesuai akidah setiap muslim. Hal ini sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) Pasal 8 ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa pelaku usaha
dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa yang
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan pada label.5 Berdasarkan UUPK, setiap produsen
harus secara transparan mencantumkan unsur-unsur setiap makanan yang

2
Hendrian Wulansari. “Perlindungan Konsumen Terhadap Ketiadaan Label Halal Pada
Produk Farmasi Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal”. Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara. 2018, h. 4.
3
Nurhayati, Abbas. “Perkembangan Teknologi di Bidnag Produksi Pangan dan Obat-
obatan serta Hak-Hak Konsumen” . Jurnal Hukum. No. 3, Vol. 16, (2009). 427.
4
Zeni lutfiyah, “ Urgensi Sertifikasi Halal Terhadap Produk Pangan, Barang dan Jasa
Serta Obat-Obatan Dengan Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen”. Parental. Vol. IV, No. 2.
Oktober 2016. 81.
5
Pasal 8 Ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
3

diproduksi untuk melindungi kepentingan konsumen,6 sesuai dengan Pasal 4


huruf c yang menyatakan bahwasanya konsumen memiliki hak atas informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.7
Undang Undang Nomor. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan juga mengatur tentang kehalalan dalam Pasal 58 yang
menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian,
standarisasi, sertifikasi dan registrasi dalam rangka menjamin produk hewan
yang aman, sehat, utuh dan halal.8 Kehalalan produk pangan merupakan hal
yang penting bagi umat Islam. Bagi konsumen muslim, pangan dan obat-
obatan yang aman tidak hanya sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia
ataupun mikrobiologi tetapi juga ada suatu unsur yang sangat hakiki, yaitu
aman dari bahaya barang yang diharamkan dan diragukan oleh syariat Islam.9
Oleh karenanya, tidak boleh ada sedikit pun unsur haram, tidak boleh ada
proses yang menimbulkan ketidakhalalan produk dan tidak menimbulkan
risiko. Dengan demikian perlu adanya komitmen dari seluruh bagian
operasional manajemen, mulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi
pemasaran.10
Konsumen Indonesia khususnya konsumen obat-obatan juga
mempunyai hak yang sama yaitu hak atas informasi terhadap obat-obatan
yang mereka beli dan konsumsi. Hak-hak tersebut termasuk hak mengenai
informasi tentang obat tersebut, mulai dari komposisi, indikasi, kontra
indikasi, nama generik, harga eceran tertinggi (HET), aturan pakai, batas
kadaluarsa dan deskripsi obat. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai hal ini telah banyak diterbitkan oleh pemerintah, khususnya yang

6
Siti Muslimah, “ Label Halal Pada Produk Pangan Kemasan Dalam Prespektif
Perlindungan Konsuemn Muslim”. Yustisia. Vol. 1, No. 2. 86.
7
Pasal 4 huruf h Undang-Undang No.8 Tahun 1999
8
Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
9
Asri, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak
Bersertifikat Halal. Jurnal Ius. Vol. IV, No. 2. Agustus 2016. h. 1-2.
10
Ramlan dan Nahrowi. “Sertifikasi Halal Sebagai Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam
Upaya Perlindungan Bagi Konsumen Muslim”. Ahkam. Vol. XIV, No. 1, (2014). 147.
4

mengatur mengenai informasi obat-obatan di dalam label obat. Tetapi, dalam


kenyataannya, aturan-aturan ini tidak ditaati oleh banyak pelaku usaha
farmasi/produsen obat. Kepmenkes No. 068 dan 069 Tahun 2006 tentang
Pencantuman Nama Generik dan Harga Eceran Tertinggi merupakan contoh
aturan yang tidak ditaati oleh sebagian besar produsen obat.11
Untuk dapat menjamin suatu penyelanggaran perlindungan konsumen,
maka Negara menuangkan perlindungan konsumen dalam suatu produk
hukum. Hal ini penting karena hanya hukum yang memiliki kekuatan untuk
memaksa pelaku usaha untuk menaatinya, dan juga hukum memiliki sanksi
yang tegas. Atas persetujuan bersama antara Presiden Republik Indonesia
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR), maka
diundangkanlah suatu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Di dalam UUPK tersebut tidak saja
dimaksudkan untuk melindungi hak-hak konsumen dari tindakan sewenang-
wenang para pelaku usaha, melainkan juga dimaksudkan untuk menciptakan
iklim usaha yang sehat dan mendorong pelaku usaha menghasilkan produk
barang dan/atau jasa yang berkualitas.12
Khusus di bidang obat-obatan, didorong oleh berkembangnya kualitas
dan kuantitas penyakit, maka aspek kehalalan sering kurang mendapat
perhatian.13 Di Indonesia khususnya perihal pengawasan obat-obatan yang
beredar di masyarakat masih kurang, oleh karenanya pemerintah bersama
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, dituntut lebih aktif
lagi dalam proses pengawasan. Juga terkait kehalalan produk sampai dengan
keamanan pemakaian oleh konsumen.14

11
Andi, Suriangka. “perlindungan Konsumen Terhadap Penyaluran Obat Keras Daftar G
Oleh Badan POM Di Makassar”. Jurisprudentie. Vol. 4, No. 2. Desember 2017. h. 26.
12
Rendy, Novrialdy. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Peredaran Produk Obat Kuat
Impor Yang Tidak Didaftarkan Di BPOM Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Pasundan. h. 7.
13
Nurhayati, Abbas. “Perkembangan Teknologi di Bidnag Produksi Pangan dan Obat-
obatan serta Hak-Hak Konsumen” . Jurnal Hukum. No. 3, Vol. 16, (2009).427.
14
Benny, Ismail. “Pertanggungjawaban Hukum Produsen Obat Tradisional Atas
Kesalahan Proses “CPOTB” Terhadap Konsumen (Kajian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
5

Berdasarkan Latar Belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan


penelitian lebih dalam mengenai PERAN BADAN PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN DALAM MENANGGULANGI PEREDARAN OBAT-
OBATAN NON-HALAL (Studi Kasus Suplemen Viostin DS).

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah
dalam penelitian ini, diantaranya:
a. Perlindungan hukum bagi konsumen muslim terhadap obat-obatan
yang mengandung DNA Babi.
b. Tanggungjawab produsen terhadap peredaran obat-obatan yang
mengandung DNA Babi.
c. Peran BPOM terhadap peredaran obat yang mengandung DNA Babi.
d. Informasi terhadap bahan baku pembuatan.
e. Pengawasan BPOM terhadap obat yang memiliki izin edar.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan luasnya permasalahan mengenai pelanggaran terhadap
konsumen, maka perlu dilakukan pembatasan. Penulis membatasinya
pada Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan Dalam Menanggulangi
Peredaran Obat-Obatan yang tidak memberikan informasi pada label
kemasan Suplemen Viostin DS.

3. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas penelitian ini memilih salah satu
pokok permasalahan tersebut. Adapun pokok permasalahan ini adalah
Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan Dalam Menanggulangi
Peredaran Obat-Obatan Non-Halal (Studi Kasus Suplemen Viostin Ds).

Tentang Perlindungan Konsumen)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016. h. 8.
6

Berdasarkan pokok permasalahan ini, maka dapat ditarik beberapa


pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana Perlindungan Konsumen Terhadap peredaran Obat Non-
Halal?
2. Bagaimana peran Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam
menanggulangi peredaran obat non-Halal?
3. Bagaimana pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam
menanggulangi peredaran obat non-Halal?

C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan konsumen terhadap peredaran
obat non-halal.
2. Untuk mengetahui Bagaimana peran Badan Pengawas Obat dan Makanan
terhadap peredaran obat non-Halal.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan terhadap peredaran obat non-Halal.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
1. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah
wawasan dan pengetahuan dalam memahami Peran Badan Pengawas Obat
dan Makanan dalam menanggulangi peredaran obat-obatan non-Halal.
Kemudian menambah literature perpustakaan khususnya dalam bidang
ilmu hukum ekonomi syariah.
2. Manfaat Praktisi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
yang berguna dan bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang
peran Badan Pengawas Obat dan Makanan dan perlindungan hukum bagi
konsumen terhadap peredaran obat non-halal.
7

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-
empiris. Penelitian hukum normatif empiris merupakan penelitian hukum
mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (undang-undang)
pada setiap peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Penelitian hukum normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan baku utama, menelaah hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan doktrin-
doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum dengan menggunakan data
sekunder, diantaranya: asas, kaidah, norma dan aturan hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya,
dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan
dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.15
Penelitian hukum empiris merupakan metode penelitian hukum
dengan meneliti secara langsung ke lapangan untuk melihat hukum dalam
artian nyata dan melihat secara langsung penerapan perudang-undangan
yang berlaku serta melakukan wawancara kepada lembaga terkait yang
dianggap dapat memberikan informasi.

2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Pendekatan Perundang-Undangan
Pendekatan perundang-undangan (statude approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.16 Disini penulis menggunakan
beberapa regulasi perundang-undangan sebagai pendekatannya.

15
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo
Peresada,2006, hlm. 24.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet, IV, (Jakarta:Kencana, 2008), h. 137
8

Seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor. HK. 03.1.28.06.10.5166 Tentang Pencantuman Informasi
Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas Kadaluwarsa
Pada Penandaan/ Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan
Makanan dan Pangan, serta peraturan perundang-undangan yang
terkait.
b. Pendekatan analisis
Pendekatan analisis yang digunakan adalah pendekatan analisis
studi kasus yaitu studi kasus suplemen Viostin DS. Kemudian penulis
analisis berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor. HK. 03.1.28.06.10.5166 Tentang Pencantuman
Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas
Kadaluwarsa Pada Penandaan/ Label Obat, Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan Makanan dan Pangan, Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Fatwa MUI Nomor 30
Tahun 2013 Tentang Obat dan Pengobatan, Undang-undang Nomor
33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal maupun perundang-
undangan yang terkait.

3. Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data


Penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu
menggunakan studi pustaka (library research). Studi pustaka dilakukan
guna mengeskplorasi teori-teori tentang konsep dan pemahaman
khususnya terkait dengan tema skripsi ini.
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan
rujukan dalam penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini
penulis bagi ke dalam tiga jenis data, yaitu :
9

a. Bahan Hukum Primer17


Bahan primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif) bahan hukum tersebut terdiri dari:
1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017
Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal.
4) Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan.
5) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.
03.1.23.06.10.5166 Tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan
Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas Kadaluwarsa Pada
Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan
Pangan.
6) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan.
7) Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 tahun 2013 tentang
Obat dan Pengobatan.
8) Wawancara dengan Ibu Tiodora, M. Sirait selaku Kepala Bagian
Penyuluhan Hukum BPOM RI.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum
yang merupakan dokumen tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas:
buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa
permasalahn hukum, termasuk skripsi, tesis,dan artikel ilmiah maupun
website yang terkait dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier

17
Zainuddin, Ali. “ Metode Penelitian Hukum.” Jakarta: Sinar Grafika, 2009. h. 47-57.
10

Selain bahan hukum yang diuraikan di atas, penelitian ini juga


menggunakan penelitian bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang
bersifat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum tersier berupa kamus
hukum, kamus bahasa indonesia dan lain-lain.

F. Teknik Pengumpulan Data


1. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan atau informasi
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka
antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden.
Data yang diperoleh dengan teknik wawancara adalah dengan
menanyakan sesuatu kepada responden. Keterangan tersebut diperoleh
berdasarkan apa yang diketahui dan ingin diberikan oleh responden, baik
tentang suatu fakta, suatu kepercayaan, suatu standar, suatu alasan dan
sebagainya.18
Wawancara dilakukan dengan pihak Badan Pengawas Obat dan
Makanan, dalam hal ini penulis berinteraksi secara langsung dengan Ibu
Tiodora, M. Sirait selaku Kepala Bagian Penyuluhan Hukum Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
2. Studi Dokumen
Studi dokumen meliputi bahan-bahan hukum yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,dan bahan hukum tersier.
Penilaian terhadap bahan hukum yang akan dipergunakan dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik
ekstern berkenaan dengan jawaban dari pertanyaan apakah dokumen itu
otentik dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Sedangkan kritik

18
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2013), h.196
11

intern berkenaan dengan jawaban dari pertanyaan apakah isinya dapat


diterima sebagai kenyataan.19
Dokumen yang didapat berupa beberapa arsip sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014, Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Obat dan Pengobatan, serta peraturan
terkait lainnya.
3. Taknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

G. Teknik Pengolahan Data


Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan berwujud kegiatan
untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam
hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara melakukan seleksi data
sekunder atau bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi menurut
penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara
sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan secara logis, artinya ada hubungan
dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainya untuk
mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian.20

H. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun skripsi
ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

19
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2004), h. 68
20
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015), h.181
12

Yang meliputi, latar belakang, Identifikasi masalah,


batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Yang meliputi, Kajian teori berisi pengertian-pengertian,
asas dan tujuan mulai dari pengertian konsumen, hak-hak
konsumen, kewajian konsumen dan hak dan kewajiban
pelaku usaha dan tanggung jawab pelaku usaha, Kerangka
Konseptual, Review terdahulu.
BAB III : PROFIL BPOM
Yang meliputi, pengertian BPOM, latar belakang, visi dan
misi, tugas, fungsi dan kewenangan serta struktur
organisasi dari BPOM, dan dijelaskan pula profil PT
Pharos Indonesia, dimulai dari sejarah dari PT Pharos
Indonesia, Produk yang diproduksi, dan gambaran umum
suplemen Viostin DS.
BAB IV : PERAN BPOM DALAM MENANGGULANGI
PEREDARAN OBAT NON-HALAL (STUDI KASUS
VIOSTIN DS)
Yang meliputi, Pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha
Visotin DS, Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan
dalam Menanggulangi Peredaran Obat Non-Halal,
Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam
Menanggulangi Obat Non-Halal.
BAB V : PENUTUP
Yang berisi tentang kesimpulan yang akan menjawab
rumusan masalah dan saran yang berguna untuk perbaikan
di masa yang akan datang.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual
Dalam pelaksanaan penelitian ini, diperlukan adanya konsep teori untuk
menyederhanakan pandangan serta penjelasan agar tidak terjadi kerancuan dan
kekaburan pemahaman sehingga menjadi lebih jelas dan terarah. Dengan
demikian dapat memudahkan penyampaian informasi dari penulis secara
keseluruhan.
1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian
hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat
Halal.
5. Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah sebuah lembaga di Indonesia
yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di
Indonesia.
6. Peran
a. Peran adalah pemain yang diandaikan dalam sandiwara maka ia adalah
pemain sandiwara atau pemain utama.

13
14

b. Peran adalah bagian yang dimainkan oleh seseorang pemain dalam


sandiwara, ia berusaha bermain dengan baik dalam semua peran yang
diberikan.
c. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.1
7. Obat Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi Pasal 2
Huruf b dan c yang dimaksud dengan obat adalah obat yang dibuat dari
bahan-bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral dan
obat syntetis, sedangkan obat asli Indonesia, adalah obat-obat yang didapat
langsung dari bahan-bahan alamiah di Indonesia, terolah secara sederhana
atas dasar pengalaman dan dipergunakan dalam pengobatan tradisionil.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan Pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan Obat
adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
8. Suplemen Kesehatan Suplemen Kesehatan atau disebut juga dietary
supplement adalah produk kesehatan yang mengandung satu jenis atau
lebih zat-zat yang bersifat nutrisi atau obat. Yang bersifat nutrisi termasuk
vitamin, mineral, dan asam-asam amino, sedangkan yang bersifat obat
umumnya diambil dari tanaman atau jaringan tubuh hewan yang berkhasiat
obat.2
9. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk
rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.3

1
Andi Kardian Riva’i, Komunikasi Sosial Pembangunan Tinjauan Komunikasi Dalam
Pembangunan Sosial, (Pekanbaru: Hawa dan Ahwa, 2016), h.,14.
2
Andang Gunawan, Food Combining Kombinasi Makanan Serasi Pola Makan Untuk
Langsing dan Sehat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h,. 104.
3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
15

10. Label adalah sejumlah keterangan yang terdapat di bagian luar kemasan
sebuah produk/barang, berbentuk nama atau merek produk, informasi gizi,
tanggal kadaluwarsa dan keterangan legalitas.
11. Halal segala sesuatu yang diperbolehkan/diizinkan dalam agama Islam,
apabila dikerjakan/dilaksanakan akan mendapat pahala, sedangkan apabila
ditinggalkan mendapat dosa.

B. Kajian Teori
1. Hukum Perlindungan Konsumen
a. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Konsumen Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2018 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 memberikan pengertian
tentang perlindungan konsumen yaitu segala upaya untuk menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Menurut AZ. Nasution, mengartikan bahwa perlindungan
konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam hubugan dan masalahnya
dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. Nasution
menambahkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang memuat sas-asas atau kaidah-kaidah bersifat
mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen.
adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah antara berbagai pihka
satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup.4
Menurut Business English Dictionary, perlindungan Konsumen
adalah Protecting consumers against unfair of illegal traders. Adapun
Black’s Law Dictionary mendefinisikan a ststute that safeguards
consumers in the use goods and services. Perlindungan konsumen
4
Ahmad Zuhairi, Hukum Perlindungan Konsumen & Problematikanya, (Jakarta: GH
Publishing , 2016), h.,17.
16

adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum


yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.
Undang-undang perlindungan konsumen menyatakan bahwa,
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas, meliputi
perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa, yang berawal dari
tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga sampai
akibat-akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut.5
Cakupan perlindungan konsumen itu dapat dibedakan dalam dua
aspek, yaitu:
1) Perlindungan terhadap kemungkinan barang yang diserahkan kepada
kosnsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.
2) Perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil
kepada konsumen.6

b. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen


Upaya perlindungan konsumen di Tanah air didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam
implementasinya ditingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan
yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang
benar-benar kuat.
1) Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 2,
menyebutkan bahwa asas perlindungan konsumen ada 5:

5
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h.,21-22.
6
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h.,22.
17

a) Asas Manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b) Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c) Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan kesemimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material
atau spiritual.
d) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
e) Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian Hukum.7
2) Tujuan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Pasal 3 No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen
memiliki beberapa tujuan diantaranya:
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
7
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), h,.17-18
18

b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara


menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa.
c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses
untuk mendapatkan informasi.
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha.
f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

c. Pengertian Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan
konsumen sebagai ”Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.8
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan,
para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen
sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa.9
Pengertian konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya
Principle Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang

8
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2010), h., 30.
9
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala dan Implementasinya, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), cet.3, h. 60.
19

membeli atau memperoleh barang dan/atau jasa untuk dikonsumsi


pribadi.10
Sedangkan pengertian konsumen dalam naskah final Rancangan
Akademik Undang-Undang tentang perlindungan konsumen
(selanjutnya disebut Rancangan Akademik) yang disusun oleh Fakultas
Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Penelitian
dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan RI,
konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang
untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.11

d. Hak-hak Konsumen berdasarkan Undang-Undnag Nomor 8 Tahun


1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4, meliputi:
a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa.
b) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisidan jaminan barang dan/atau jasa.
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan.
e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya
penyelesaian sengkete perlindungan konsumen secara patut.
f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g) Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

10
Rosmawati, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Depok: Prenadamedia,
2018), h. 2-3
11
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 20.
20

i) Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak-hak konsumen tersebut sudah mencakup hak-hak


konsumen seperti yang dirumuskan oleh mantan presiden Amerika
Serikat John F. Kennedy dalam pidatonya dihadapan kongres Amerika
Serikat pada tahun 1962, pada waktu mengumumkan gagasan tentang
perlunya aperlindungan konsumen, yang diantara pidatonya
menyebutkan empat hak kosnumen yang perlu mendapat perlindungan
secara hukum, yaitu:

1) Hak memperoleh keamanan (the righ to safety).


2) Hak memilih (the right to choose).
3) Hak mendapatkan informasi (the right to be informed).
4) Hak untuk didengar (the right to be heard).12

Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4


UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana
pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy
di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:13

1) Hak memperoleh keamanan


2) Hak memilih
3) Hak mendapat informasi
4) Hak untuk didengar
Keempat hak tersebut merupakan bagian Deklarasi Hak-Hak
Asasi Manusi yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948,
masing-masing pada Pasal 3,8,19,21, dan Pasal 26, yang oleh Organisasi

12
Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen Aspek Substansi Hukum, Struktur
Hukum dan Kultur Hukum Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
(Yogyakarta: Ombak, 2014), h. 53.
13
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), h. 39.
21

Konsumen Sedunia (International Organization of Consummers Union-


IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:14
1) Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
2) Hak untuk memperoleh ganti rugi.
3) Hak untuk emperoleh pendidikan konsumen.
4) Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

e. Hak-Hak Konsumen Perspektif Islam15


Seluruh ajaran Islam yang terkait dengan perdagangan dan
perekonomian berorientasi pada perlindungan hak-hak pelaku
usaha/produsen dan konsumen. karena Islam menghendaki adanya
unsur keadilan, kejujuran, dan transparansi yang dilandasi nilai
keimanan dalam praktik perdagangan dan peralihan hak. Terkait
dengan hak-hak konsumen, Islam memberikan ruang bagi konsumen
dan produsen untuk mempertahankan hak-haknya dalam perdagangan
yang dikenal dengan istilah khiyar dengan beragam jenisnya sebagai
berkut:
1) Khiyar Majelis
As-Sunnah menetapkan bahwa kedua belah pihak yang berjual
beli memiliki khiyar (pilihan) dalam melangsungkan atau
membatalkan akad jual beli selama keduanya masih dalam satu
majelis (belum berpisah). Bukhari dan Muslim meriwayatkan
Hadist dari Hakim bin Hazam, bahwa Rasulullah pernah bersabda:

‫يتفرقا فاءن صدقا وبيّنا برك هلما يف بيعهما وإن كتما وكذبا‬
َّ ‫البيِّعان باخليار مامل‬

‫حمقت بركة بيعهما‬

“Dua pihak yang berjual beli memiliki khiyar selama belum


berpisah. Jika keduanya jujur dan transparan maka berkah

14
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), h. 39.
15
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 58-62.
22

diberikan dalam jual beli keduanya. Sebaliknya, jika keduanya


tertutup dan berdusta maka berkah jual belinya hangus.

2) Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah salah satu pihak yang berakad membeli
sesuatu dengan ketentuan memiliki khiyar selama jangka waktu
yang jelas. Selama waktu tersebut, jika pembeli menginginkan, ia
bisa melaksanakan jual beli tersebut atau membatlkannya. Hal ini
sesuai dengan Hadist riwayat Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah
bersabda:

‫يتفرقاإالّ بيع اخليا ِر‬


َّ ‫حىت‬
ّ ‫كل بيّعني ال بيع بينهما‬
ّ
“masing-masing dari dua orang yang berjual beli tidak ada
jual beli bagi keduanya hingga keduanya berpisah, kecuali
jual beli dengan khiyar”

3) Khiyar Aibi
Yaitu, haram bagi seseorang menjual barang yang memiliki
cacat. (cacat produk) tanpa menjelaskan kepada pembeli
(konsumen). Uqubah bin Amir menyatakan bahwa Rasulullah
pernah bersabda:

ِ ِ ‫املسلم اخو املسل ِم الَ ََِي ُّل ملسل ٍم‬


ُ‫عيب إالَّبَيَّ نَو‬
ٌ ‫باع من أخيو بيعا وفيو‬
َ ُ

“seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya.


Tidak halal bagi seseorang Muslim menjual sesuatu kepada
saudaranya, sementara di dalamnya terdapat cacat, kecuali
ia menjelaskannya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan
Tabrani).
23

4) Khiyar Tadlis
Yaitu, jika penjual mengelabui pembeli sehingga
menaikkan harga barang, maka hal itu haram baginya. Dalam hal
ini pembeli memiliki khiyar selama tiga hari, adanya khiyar untuk
mengembalikan barang tersebut didasarkan pada Hadist
Rasulullah yang dituturkan oleh Abu Hurairah:

ِ ِ ِ ِ
َ‫اع َها بَ َع ُد فإنّو خبري النَّظََريْ ِن ْبع ُد ا ْن ََْيتَلبَ َها ا ْن َشاء‬
َ َ‫فمن ابْت‬
َ ‫صُّرْوا اإلب َل والغَنَ َم‬
َ ُ‫ال ت‬
‫اعا ِمن التّ َم ِر‬
ً ‫وص‬
َ ‫رد َىا‬
َّ َ‫ْأم َس َك َها وإن َشاء‬

“janganlah kalian membiarkan unta dan domba tidak diperah


(sebelum dijual). Siapa saja yang membelinya, kemudian setelah ia
memerahnya, ia boleh memilih antara du hal: jika ingin ia boleh
mempertahankannya disertai dengan satu sha’ kurma”. (HR.
Bukhari dan Muslim).

5) Khiyar al-Ghabn al-Fahisy (Khiyar al-Mustarsil)


Khiyar jenis ini pada dasarnya terdapat syarat di dalamnya,
hal ini didasarkan pada Hadist Rasulullah, lalu ia berkata:”Ya
Rasulallah, sesungguhnya aku telah ditipu dalam jual beli”.
Rasulallah kemudian bersabda kepadanya:

ٍ‫ت فَ ُقل ال ِخالبةَ ِوِل اخلِيار االاةَ أيا‬


َ ‫إذا بَايَ ْع‬
َُ َ
“Jika engkau membeli maka katakanlah, tidak ada penipuan
dan bagiku khiyar tiga hari.

6) Khiyar Ru’yah
Khiyar jenis ini terjadi bila pelaku usaha menjual barang
dagangannya, sementara barang tersebut tidak ada dalam majelis
jual beli. Jika pembeli kemudian melihat barang tersebut dan
tidak berhasrat terhadapnya, atau pembeli melihat bahwa barang
24

tersebut tidak sesuai dengan keinginannya, maka pembeli berhak


menarik membatalkan diri dari akad jual beli tersebut. Hal ini
didasarkan pada Hadist Rasulullah:

ِ
ُ‫َمن ا ْش ََتى شئاً مل يََرهُ فهو باخليا ِر إذا َرآهُ إ ْن َشاءَ أخ َذهُ وإ ْن َساءَ تَ َرَكو‬
“barang siapa yang membeli sesuatu dan ia belum
melihatnya maka ia memiliki khiyar jika melihatnya, jika
ingin ia boleh mengambilnya, jika ingin ia pun boleh
meninggalkannya”

7) Khiyar Ta’yin
Khiyar jenis ini memberikan hak kepada pembelinya untuk
memilih barang yang dia inginkan dari sejumlah atau kumpulan
barang yang dijual kendatipun barang tersebut berbeda harganya,
sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia
kehendaki. Misalnya, seseorang membeli empat ekor kambing
dari sekumpulan kambing, maka pembeli diberi hak khiyar ta’yin
sehingga ia dapat menentukan empat ekor kambing yang ia
inginkan diantara sekumpulan kambing itu.

f. Kewajiban Konsumen Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, mewajibkan konsumen
untuk:
a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan.
b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa.
c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
25

g. Pengertian Pelaku Usaha


Sesuai dengan Pasal 1 Angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-undang
Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir leveransir,
pengecer dan sebagainya. Cakupan luasnya dalam UUPK tersebut
memiliki persamaan dengan pelaku usaha dalam masyarakat Eropa
terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebgai
produsen adalah pembuat produk jadi (Finished Product), pengasil
bahan baku, pembuat suku cadang, setiap orang yang menampakkan
dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda
pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk
asli, pada produk tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk
dijualbelikan , disewakan, disewagunakan, atau bentuk distribusi lain
dalam transaksi perdagangan , pemasok (supplier), dalam hal identitas
dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.16

h. Hak-hak Pelaku Usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun


1999 tentang Perlindungan Konsumen, meliputi:
a) Hak untuk menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.

16
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), h. 8-9.
26

b) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan


konsumen yang beritikad tidak baik.
c) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan.
e) Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

i. Kewajiban Pelaku Usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun


1999 Tentang Perlindunagn Konsumen, Pasal 7 meliputi:
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barangdan/atau jasa serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku.
e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
f) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen
tidak sesuai dengan perjanjian.
g) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
27

j. Larangan Bagi pelaku Usaha Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8.
Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menetapkan tujuan perlindungan Konsumen antara lain untuk
mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut
berbagai hal yang membawa akibat negtaif dari pemakaian barang
dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktifitas perdagangan pelaku
usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian
barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang mengatur berbagai
larangan sebagai berikut:
a) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
b) Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Tidak sesuai dengan berat besrih, isi bersih, atau neto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut.
d) Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
e) Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
f) Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut.
g) Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut.
h) Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.
28

i) Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana


pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
j) Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau neto, komposisi,
atauran pakai, tangal pembuatan, akibat semping, nama dan alamat
pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus dipsang/dibuat.
k) Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
l) Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat
dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
m) Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan
tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.17

k. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang


Perlindungan Konsumen Pasal 19, Tanggung Jawab Pelaku Usaha
meliputi:
a) Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
b) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

17
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 42-
43.
29

c) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)


hari setelah tanggal transaksi.
d) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
mengahapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidanaberdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
e) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.

2. Sertifikasi Halal
a. Pengertian Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal terdiri dari atas dua kata yaitu sertifikasi dan
halal. Kata “sertifikasi” berasal dari bahasa Inggris “certificate” yang
mempunyai tiga arti yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah.
Kata “certificate” kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “sertifikat” yang merupakan kata benda. Dalam “Kamus Besar
Bahasa Indonesia” dijelaskan bahwa sertifikat itu berarti tanda atau surat
keterangan atau pernyataan tertulis atau tercetak yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti. Sementara
itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau proses menjadikan
sertifikat.18
Sementra itu, kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang
berkaitan dengan hukum halal dan haram. Menurut Ibn Mnzhur halal itu
berasal dari kata “al-hillu” yang berarti tidak terikat (al-thalq). Oleh
karena itu, al-muhillu berarti orang kafir yang boleh diperangi karena
tidak terikat perjanjian damai dengan kita. Lafazh halal merupakan lawan
dari kata “haram”, sedangkan lafazh “haram” itu pada asalnya berarti
mencegah atau merintangi (al-man’u) itu menjadi tercegah atau terlarang.
Lafazh al-muhrimu merupakan lawan dari lafazh al-muhillu yang berarti
18
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 12.
30

orang kafir yang tidak boleh diperangi karena terikat perjanjian damai
dengan kita.19
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sertifikasi halal itu merupakan proses kegiatan pembuatan surat
keterangan halal (Fatwa Halal) atas suatu produk pangan yang dibuat
secara tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai pihak yang berwenang
mengeluarkan fatwa di Indonesia. Maka, sebagai hasilnya adalah
Sertifikat Halal yang dapat dijadikan bukti bagi perusahaan untuk
mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produknya dari
instansi pemerintah yang berwenang dalam hal ini Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (Badan BPOM).20
Maka, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan
yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan/atau di kemasan pangan. Label
dimaksud tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau
rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk
dilihat dan dibaca.21

b. Landasan Sertifikasi Halal


Secara umum, setiap peraturan hukum yang baik pasti memiliki
landasan hukum yang kuat, baik berupa landasan hukum material
maupun hukum formal. Begitu pula dengan peraturan hukum terkait
sertifikasi halal, tentu memiliki landasan hukum baik menyangkut hukum
material (yakni Al-Qur’an, al-Hadits dan Ijtihad) maupun hukum formal
( yakni landasan filosofis (philosophiegelding), landasan sosiologis

19
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 12.
20
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 13-14.
21
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 113.
31

(sociologische gelding), landasan politis (politic gelding), dan landasan


yuridis (juridische gelding)).22
Dasar Hukum yang menjadi landasan sertifikasi halal tersebar
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut yaitu:
1) Undang-Undang yaitu Undang-Undang Pangan (UU No. 7/1996),
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1998), dan
Undang-Undang Kesehatan (UU No. 23/1992).
2) Peraturan Pemerintah No. 69/1999 tentang “Label dan Iklan Pangan”.
3) Instruksi Presiden RI No. 2/1991.
4) Keputusan Menteri yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
82/Menkes/SK/I/1990 jo Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
924/Menkes/SK/VIII/1996, Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
413/Kpts/TN.310/7/1992 jo. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
306/Kpts/TN.330/4/1994, Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
295/Kpts/TN.240/5/1989, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan
Menteri Agama RI No. 427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan No. 68
Tahun 1985, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
76/Menkes/Per/III/78, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
280/Menkes/Per/XII/76.

c. Produk Halal
Maksud dari produk halal adalah produk yang memenuhi syarat
kehalalan sesuai dengan syariat Islam yaitu:
1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-
bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan
lain sebagainya.

22
Mashudi, Konstruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk
Halal Studi Socio-legal Terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 1.
32

3) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tata cara syariat Islam.
4) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi.
Apabila digunakan untuk babi atau barang yang haram lainnya
terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur
menurut syariat Islam.
5) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.23

Maka secara umum makanan dan minuman yang haram terdiri dari
binatang, tumbuh-tumbuhan sebagai berikut:24

1) Binatang: bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan


nama selain Allah. Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya
menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbentur, jatuh
tertunduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala,
kecuali ikan dan belalang boleh dikonsumsi tanpa disembelih.
Binatang yang dipandang jijik atau kotor menurut naluri manusia.
Binatang dan burung buas yang bertaring dan memiliki cakar,
binatang-binantang yang oleh ajaran islam diperintahkan
membunuhnya seperti ular, gagak, tikus, anjing galak, dam burung
elang dan sejenisnya, binatang-binatang dilarang membunuhnya
seperti semut, lebah, burung hudhud, belatuk, hewan yang hidup di
dua jenis alam seperti kodok, penyu, buaya.
2) Tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran, dan buah-buahan boleh dimakan
kecuali yang mendatangkan bahaya atau memabukkan baik secara
langsung maupun proses. Maka semua jenis tumbuh-tumbuhan yang
mengandung racun atau memabukkan haram dimakan.

23
Galuh Tri Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Muslim Melalui
Sertifikasi Halal Pada Produk Obat-Obatan”, (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Jember,
2016), h.18.
24
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 111-112.
33

3) Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang


memabukkan seperti arak dan yang dicampur dengan benda-benda
najis, baik sedikit maupun banyak.

Berdasarkan Undang-Undang Jaminan produk halal Pasal 18


menyebutkan bahwasanya:

a) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi: a. bangkai; b. darah; c.
babi; dan/atau d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat.
b) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa
MUI.

Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha


dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang
memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang
diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan
tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk
yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Produk.25

d. Proses sertifikasi halal


1) Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya,
pertama diharuskan mengisi formulir yang telah disediakan LPPOM-
MUI. Ada tiga macam formulir yang digunakan, dalam pengajuan ini,
masing-masing untuk makanan, dan minuman olahan, usaha restoran
dan hewan potong.

25
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jamninan Produk Halal.
34

2) Surat sertifikasi yang disampaikan ke LPPOM-MUI, harus dilampiri


dengan sistem mutu, termasuk panduan mutu dan prosedur baku
pelaksanaan yang telah disiapkan produsen sebelumnya.
3) Pada saat pengajuan sertifikasi halal, produsen harus menandatangani
pernyataan tentang kesediaannya untuk menerima tim pemeriksa
(audit) dari LPPOM-MUI dan memberi contoh produk dan bahan
baku, bahan penolong dan bahan tambahan produk untuk dapat
diperiksa LPPOM-MUI.
4) Semua dokumen yang dapat dijadikan jaminan atas kehalalan produk
yang diajukan sertifikasi halalnya harus diperlihatkan aslinya,
sedangkan fotocopynya diserahkan kepada LPPOM-MUI.
5) Surat pengajuan sertifikasi halal dan formulir yang sudah diisi dengan
cermat beserta seluruh lampirannya dikembalikan kepada LPPOM-
MUI.
6) LPPOM-MUI akan memeriksa semua dokumen yang dilampirkan
bersama surat pengajuan sertifikasi halal. Jika tidak lengkap, LPPOM-
MUI akan mengembalikan seluruh berkas pengajuan untuk dapat
dilengkapi oleh produsen pengusul.
7) Pemeriksaan audit di lokasi produsen akan dilakukan oleh LPPOM-
MUI segera setelah surat pengajuan sertifikasi halal beserta lampiran-
lampirannya dianggap sudah memenuhi syarat.
8) Setelah hasil pemeriksaan (audit) dievaluasi dan memenuhi syarat
halal, maka produsen yang bersangkutan selanjutnya akan diproses
sertifikasi halalnya.
9) Jika ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan penolong,
bahan tambahan dalam proses produksinya, produsen diwajibkan
segera melaporkan ke LPPOM-MUI untuk mendapatkan
“ketidakberatan menggunakannya”.26

26
Anton Yudi Setianto, dkk, Panduan Lengkap Mnegurus Perijinan dan Dokumen
Pribadi keluarga, dan Bisnis, (Jakarta: ForumSahabat, 2008), h. 162-163.
35

e. Pengawasan Sertifikasi Halal27


Setelah memperoleh Sertifikat Halal, perusahaan harus
mengangkat Internal Halal Auditor yang bertugas mengawasi sistem
produksi halal pada produk mereka. Auditor tersebut haruslah berasal
dari karyawan tetap perusahaan dan berasal dari bagian yang terakait
dengan proses produksi seperti bagian QA/QC, R&D, Purcashing,
Produksi dan Pergudangan. Di samping itu ia juga harus beragama Islam
dan taat dalam mengamalkan ajaran Islam. Lebih dari itu, ia juga
memahami betul titik kritis keharaman produk secara keseluruhan baik
ditinjau dari bahan yang digunakan maupun pada proses produksinya.
Oleh karena itu, ia harus memiliki bekal pengetahuan keislaman yang
memadai terutama dalam masalah kehalalan pangan.28
Dalam hal pengawasan sertifkat halal LPPOM MUI hanya
mensyaratkan perusahaan wajib menandatangani perjanjian untuk
menerima Tim Inspeksi Mendadak LPPOM MUI sewaktu-waktu dan
perusahaan berkewajiiban menyerahkan laporan audit internal setiap
enam bulan setelah terbitnya sertifikasi halal.
Untuk mengawasi produk makanan tersebut, pemerintah
berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya
pelanggaran hukum di bidang pangan dengan cara:
1) Memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau
proses produksi untuk memeriksa, meneliti dan mengambil contoh
pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau perdagangan pangan.
2) Menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan
yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan pangan
serta mengambil dan memeriksa contoh pangan.
3) Membuka dan meneliti setiap kemasan pangan.

27
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 123-124.
28
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 30.
36

4) Memeriksa setiap buku, dokumen atau catatan lain yang diduga


memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan,
pengangkutan dan/atau perdagangan pangan termasuk menggandakan
atau mengutip keterangan tersebut.
5) Memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen lain
sejenis.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 merumuskan:

1) Pengawasan pemerintah dilakukan terhadap pelaku usaha dalam


memenuhi standar mutu produksi barang dan/atau jasa, pencantuman
label dan klausula baku, serta pelayanan purna jual barang dan/atau
jasa.
2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
proses produksi, penawaran, promosi, pengiklanan, dan penjualan
barang dan/atau jasa.
3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
disebarluaskan kepada masyarakat.
4) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait
bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas masing-
masing.

Adapun bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat,


ditentukan bahwa:29

1) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa


yang beredar di pasar.
2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
cara penelitian, pengujian dan/atau survei.
3) Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko
penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan,
29
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 128.
37

dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
4) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat
disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan ke pada
menteri dan menteri teknis.

C. Review Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang membahas tentang peranan BPOM dalam
menanggulangi peredaran obat-obatan diantaranya:
1. Henny G. Rahayu, yang menulis tentang “Peranan BPOM dan Tanggung
Gugat Obat-Obatan Yang Melanggar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen”. dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kurangnya
pengawasan yang maksimal yang dilakukan BPOM sebagai badan yang
mengawasi peredaran obat-obatan, hal ini terbukti masih adanya obat
tradisional seperti super Flu Tulang 45 yang melanggar ketentuan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Pasal 8 (1) huruf g yaitu, produk tersebut
tanpa mencantumkan komposisi, aturan pakai, akibat sampingan dan tanpa
mencantumkan tanggal kadaluarsa Pasal 8 (1) huruf i.30 Dalam skripsi
tersebut membahas mengenai tanggung gugat obat-obatan ditinjau dari
aspek Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jelas beda dengan apa
yang diteliti oleh penulis yaitu penulis melakukan penelitian terhadap peran
BPOM dalam menanggulangi peredaran obat non-halal.
2. Handi Mulyansyah, yang menulis tentang “Peranan Balai Besar Pengawas
Obat Dan Makanan Dalam Memberantas Tindak Pidana Peredaran Obat
Keras Di Sarana Yang Tidak Memiliki Keahlian Dan Kewenangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

30
Henny G. Rahayu, “Peranan BPOM dan Tanggung Gugat Obat-Obatan Yang
Melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya. 2006).
38

Di Provinsi Riau” dari penelitian ini menyimpulkan yang pertama,


Peranan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dalam memberantas
tindak pidana peredaran obat keras di sarana yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan di Pekanbaru adalah dengan melakukan pengawasan dan
sosialisasi terhadap masyarakat ataupun pelaku usaha dan dalam penindakan
dibidang hukum adalah melakukan pemeriksaan atas laporan, pengumpulan
barang bukti, penangkapan dan penahanan pelaku oleh bagian seksi
penyidikan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan yang dibantu oleh
penyidik kepolisian, Pemeriksaan terhadap tersangka, pembuatan Berita
Acara Pemeriksaan (BAP), Penyerahan tersangka beserta surat pengantar
dari penyidik BBPOM kepada penyidik Polri, Menyerahkan hasil
penyidikan kepada penuntut umum melalui Penyidik Polri berdasarkan
KUHAP dan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Yang kedua, Kendala yang ditemukan dalam menangani penegakan hukum
terhadap tindak pidana peredaran obat keras di sarana yang tidak memiliki
keahlian dan kewenangan adalah kurangnya sumber daya manusia pada
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, kurangnya sarana dan prasarana
pada Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, kurangnya koordinasi
dengan instansi terkait, kurangnya kesadaran dan kepedulian hukum
masyarakat, adanya kesengajaan pemilik toko obat untuk mengedarkan obat
keras. Yang Ketiga, Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang
dihadapi oleh balai besar pengawas obat dan makanan dalam memberantas
tindak pidana peredaran obat keras adalah meningkatkan koordinasi dengan
instansi terkait khususnya dalam proses penegakan hukum dengan instansi
kepolisian dalam hal penyidikan terhadap tindak pidana peredaran obat
keras di sarana yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan, Penataan
sumber daya manusia, dalam penegakan hukum tindak pidana dibidang
kesehatan kompetensi dan kualitas penegak hukum sangatlah menjadi
modal utama. Hal ini bisa didapat dengan memberikan pelatihan dan
penerusan jenjang pendidikan kepada setiap penegak hukum di Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan serta melakukan transparansi rekruitment
39

pegawai penyidik dan dengan meningkatkan pelayanan publik.31 Dalam


skripsi tersebut membahas mengenai pemberantasan tindak pidana obat
keras yang ditinjau dari aspek Undang-Undang Kesehatan. Sedangkan
penulis meneliti tentang penanggulangan peredaran obat non-halal. Jelas
titik fokus yang diteliti berbeda.
3. Taufikkurrahman, yang menulis tentang “Peran Bpom Dan Bpkn Dalam
Memberikan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran
Vaksin Palsu”. Dari hasil penelitan ini menyimpulkan bahwa BPOM sebagai
lembaga yang secara khusus mengawasi obat-obatan dan makanan diberi tugas
untuk melakukan Pre-Market and Post Market. Demikian pula dengan BPKN,
BPKN terbentuk seiring dengan UUPK, maka BPKN harus pro-aktif dalam
menyelesaikan pengaduan-pengaduan yang disampaikan oleh para konsumen.
Tugas semacam ini adalah bagian upaya pemerintah dalam memberikan
perlindungan secara hukum dalam rangka terjaminnya kualitas obat-obatan
yang baik, sesuai dengan mutu yang semestinya. Konsumen sendiri yang
merasa terugikan hak-haknya karena pelaku usaha (pengedar vaksin palsu)
dapat melakukan upaya hukum secara perdata atau melaporkan terjadinya
peristiwa hukum tersebut ke aparat penegak hukum supaya orang-orang yang
berbuat jahat dapat dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya selama ini.
Konsumen harus selalu memperjuangkan hak-hak dirinya walau semestinya
32
hak itu diberi bukan diminta. Dalam skripsi tersebut membahas mengenai
perlindungan konsumen terhadap vaksin palsu, sedangkan penulis meneliti
tentang peredaran obat non-halal.
4. Tika Rahmawati yang menulis tentang “Kerjasama Interpol Dan Bpom Dalam
Menangani Peredaran Obat-Obatan Ilegal Di Indonesia”. Hasil dari penelitian
ini menyimpulkan bahwa Pengawasan rutin yang dilakukan Badan POM

31
Hadi Mulyansyah, “Peranan Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam
Memberantas Tindak Pidana Peredaran Obat Keras Di Sarana Yang Tidak Memiliki Keahlian Dan
Kewenangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Di Provinsi
Riau”. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober 2016.
32
Taufikkurrahman, yang menulis tentang “Peran Bpom Dan Bpkn Dalam Memberikan
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Vaksin Palsu”. Iqtishadia, Vol.3 No.1
Juni 2016.
40

menunjukkan bahwa praktek penjualan obat-obat tradisional dan suplemen


kesehatan melalui situs internet semakin marak. Untuk itu, penertiban
peredaran produk obat ilegal yang dipasarkan secara online menjadi salah satu
fokus intensifikasi pengawasan Badan POM. Hal ini sejalan dengan upaya
International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol dalam
memberantas penjualan produk ilegal termasuk palsu yang dipasarkan secara
online. Maka NCB-Interpol Indonesia membentuk tim koordinasi dalam
memberantas obat obatan palsu dan ilegal di Indonesia ke dalam Tim Operasi
Pangea terutama bekerjasama dengan BPOM selaku instansi yang berada
dalam ranah obat-obatan. Yang kemudian pada perkembangannya keduanya
dibantu oleh Dirjen Bea dan Cukai, serta Kementerian Komunikasi dan
Informatika. BPOM juga berpartisipasi aktif dalam kegiatan sidang umum
Interpol setiap tahunnya dalam menyampaikan hasil kegiatan operasi. Dalam
hasil temuan operasi Pangea setiap tahunnya jumlah peredaran obat-obatan
ilegal semakin bertambah didominasi oleh suplemen kesehatan ilegal seperti
obat pelangsing dan obat-obatan tradisional. Kerjasama INTERPOL dengan
BPOM memberikan kemudahan dalam mengidentifikasi situs-situs web yang
dicurigai menjual obat ilegal dan menangkap pelaku dibalik kejahatan tersebut.
Untuk selanjutnya ditindak-lanjuti secara hukum pidana oleh Kepolisian
Indonesia.33 Dalam skripsi tersebut membahas mengenai kerjasama Interpol
dan BPOM terhadap peredaran obat ilegal, jelas berebeda dengan apa yang
diteliti oleh penulis yaitu dalam penelitian penulis membahas mengenai
peredaran obat non-halal.

33
Tika Rahmawati yang menulis tentang “Kerjasama Interpol Dan Bpom Dalam
Menangani Peredaran Obat-Obatan Ilegal Di Indonesia”. (Skripsi S1, Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Pasundan).
BAB III

PROFIL BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DAN PT. PHAROS


INDONESIA

A. Profil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)


1. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Sebagaimana telah diubah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 145
Tahun 2015. Pada Tahun 2017, telah diterbitkan Peraturan Presiden
Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam melaksanakan
tugasnya, BPOM dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan. Kepala BPOM
menyampaikan laporan, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan
tanggung jawabnya kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan.
Kedudukan BPOM berdasarkan Perpres No. 80 Tahun 2017
Tentang Badan Pengawasan dan Makanan sebagai berikut:
a. Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang selanjutnya adalah
lembaga pemerintah non-kementrian yang menyelenggarakan urusan
pemerintah dibidang pengawasan obat dan makanan.
b. BPOM berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden
melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dibidang kesehatan.
c. BPOM dipimpin oleh Kepala.

41
42

2. Sejarah1
Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali
dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu di
apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.
Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan
dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku Verzameling
Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli
Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis dan
jurnalis, dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan
dengan Surat Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang
kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 15 (Stb No. 50) tanggal 28
Januari 1923 dan No. 45 (Stb. No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama
Leergang voor de opleleiding van apotheker-bedienden onder den naam
van apothekers-assisten school".
Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan ijin kerja diatur
dalam Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/ F tanggal 16 Maret 1933
yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8
September 1936 dan No. 11161/ F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan
tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian
apoteker harus berijasah MULO bagian B, memiliki Surat Keterangan
bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian secara terus menerus
selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang
memimpin sebuah apotek, atau telah mengikuti pendidikan asisten
apoteker di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi
Farmasi di Indonesia dan diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan Di Akses Pada
Tanggal 22 Oktober 2018. Pukul 12:25.
43

nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944
Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku.

Periode setelah perang kemerdekaan sampai dengan tahun 1958

Pada periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga


asisten apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun
pada tahun 1953 terdapat kekurangan tenaga apoteker sehingga
pemerintah mengeluarkan Undang- Undang No. 3 tentang Pembukuan
Apotek. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, untuk membuka
sebuah apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin
dari pemerintah.

Dengan adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat


melarang kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena
jumlahnya sudah dianggap cukup memadai. Izin pembukaan apotek hanya
diberikan untuk daerahdaerah yang belum ada atau belum memadai
jumlah apoteknya. Undang-undang No. 3 ini kemudian diikuti dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat,
yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah
apotek. Undang-undang tentang apotek darurat ini sebenarnya harus
berakhir pada tahun 1958 karena klausula yang termaktub dalam
undangundang tersebut yang menyatakan bahwa undang- undang tersebut
tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasikan oleh
Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan
apoteker ternyata sangat sedikit, undangundang ini diperpanjang sampai
tahun 1963 dan perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1983.

Periode tahun 1958 sampai dengan 1967

Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah


banyak dirintis, dalam kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi
hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa
44

dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang
dapat bertahan hanyalah industri yang mendapat jatah atau mereka yang
mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat
menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import. Sementara
itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi
kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi standar.

Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam
sejarah kefarmasian Indonesia, yakni berakhirnya apotek-dokter dan
apotek darurat. Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148/
Kab/ 176 tanggal 8 Juni 1962, antara lain:

a. Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter.


b. Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1
Januari 1963

Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat


Keputusan Menteri Kesehatan No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1963
yang isinya antara lain:

1. Tidak lagi dikeluarkan izin baru untuk pembukaan apotek darurat


2. Semua izin apotek darurat ibukota daerah Tingkat I dinyatakan tidak
berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964.
3. Semua izin apotek darurat di ibukota daerah Tingkat II dan kota-kota
lainnya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964.

Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-Undang Pokok


Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan
Menteri No. 39521/ Kab/199 tanggal 11 Juni 1963). Dengan demikian
pada waktu itu ada dua instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu
Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat
Urusan Farmasi yang semula Ispektorat Farmasi pada tahun 1967
mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi.
45

Periode Orde Baru

Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan


telah semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat
dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan
sebagai bagian integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan secara
bertahap baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun mutu
pelayanan yang semakin baik serta jangkauan yang semakin luas. Hasil-
hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru ini
dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian,
umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan
perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.

Pada periode Orde Baru ini pula, pengaturan, pengendalian dan


pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan
dengan baik. Sehingga pada tahun 1975, institusi pengawasan farmasi
dikembangkan dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi
menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai
peraturan perundangundangan telah dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan
pembangunan pada masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah
dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek
melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980

Periode tahun 2000

Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan


tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan
perubahan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana
dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada
Departemen Kesehatan namun sekarang setelah terjadinya perubahan
maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada
46

Presiden. Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang merupakan


Lembaga Pemerintah Non Departemen. Berdasarkan Keputusan Presiden
No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami perubahan melalui Keputusan
Presiden No. 166 tahun 2003.

3. Latar Belakang2
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan yang cepat dan
signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika
dan alat kesehatan. Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan
entry barrier yang makin tipis dalam perdagangan internasional, maka
produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat menyebar
ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu
menjangkau seluruh strata masyarakat.
Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk terus meningkat,
seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola
konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum
memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat,
benar dan aman. Di lain pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong
konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak
rasional.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan
Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi,
mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi
keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam
maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk BPOM yang memiliki
jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum
dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

2
http://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom, Diakses Pada Tanggal 6 Mei 2018.
Pukul 20:12
47

Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan


berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu diperlukan sistem
pengawasan yang komprehensip, semenjak awal proses suatu produk
hingga produk tersebut beredar ditengah masyarakat.Untuk menekan
sekecil mungkin risiko yang bisa terjadi, dilakukan SISPOM tiga lapis
yakni:
a. Sub-sistem Pengawasan Produsen
Sistem pengawasan oleh produsen melalui pelaksanaan cara produksi
yang baik atau good manufacturing practices agar setiap bentuk
penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara
hukum produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk
yang dihasilkannya, sesuai dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 huruf d yang menyebutkan
bahwa kewajiban pelaku usaha adalah: “menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku”. Dengan
demikian, apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap
standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik
administratif maupun pro-justisia.
b. Sub-sistem Pengawasan Konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui
peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas
produk yang digunakannya dan cara-cara penggunaan produk yang
rasional. Pengawasan oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan
karena pada akhirnya masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk
membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran
dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu
produk, di satu sisi dapat membentengi dirinya sendiri terhadap
penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak
dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk
ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.
48

c. Sub-sistem Pengawasan Pemerintah/BPOM


Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan
standardisasi, penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum
diijinkan beredar di Indonesia, inspeksi, pengambilan sampel dan
pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada
publik yang didukung penegakan hukum. Untuk meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu,
khasiat dan keamanan produk maka pemerintah juga melaksanakan
kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi.

4. Visi dan Misi3


a. Visi
OBAT DAN MAKANAN AMAN MENINGKATKAN KESEHATAN
MASYARAKAT DAN DAYA SAING BANGSA.
b. Misi
1. Meningkatkan sistem pengawasan Obat dan Makanan berbasis risiko
untuk melindungi masyarakat.
2. Mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan
keamanan Obat dan Makanan serta memprkuat kemitraan dengan
pemangku kepentingan.
3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan.

5. Tugas, Fungsi dan Kewenangan BPOM


a. Tugas
Berdasarkan pasal 2 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017
tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan:
1. BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di
bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3
http://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom. Diakses Pada Tanggal 6 Mei 2018.
Pukul 20:12.
49

2. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat
tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

b. Fungsi
Berdasarkan pasal 3 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017
tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai
fungsi:
1) Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM
menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
b. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
c. Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama
Beredar.
d. Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan
Selama Beredar.
e. Koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan
instansi pemerintah pusat dan daerah.
f. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan
Obat dan Makanan.
g. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
h. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan BPOM.
i. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab BPOM.
50

j. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM dan


k. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan BPOM.
l. Pengawasan Sebelum Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pengawasan Obat dan Makanan sebelum beredar
sebagai tindakan pencegahan untuk menjamin Obat dan Makanan
yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan.
m. Pengawasan Selama Beredar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pengawasan Obat dan Makanan selama beredar untuk
memastikan Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar
dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu produk
yang ditetapkan serta tindakan penegakan hukum.

2) Berdasarkan Pasal 4 Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018, Unit


Pelaksana Teknis BPOM menyelenggarakan fungsi:
a. Penyusunan rencana dan program di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
b. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas produksi Obat dan
Makanan.
c. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas distribusi Obat dan
Makanan dan/atau sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian.
d. Pelaksanaan sertifikasi produk dan sarana/fasilitas produksi
dan/atau distribusi Obat dan Makanan.
e. Pelaksanaan pengambilan contoh (sampling) Obat dan Makanan.
f. Pelaksanaan pengujian Obat dan Makanan.
g. Pelaksanaan intelijen dan penyidikan terhadap pelanggaran
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan
Obat dan Makanan.
h. Pengelolaan komunikasi, informasi, edukasi, dan pengaduan
masyarakat di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
51

i. Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama di bidang pengawasan


Obat dan Makanan.
j. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pengawasan Obat dan Makanan.
k. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
l. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Badan.

c. Kewenangan
Berdasarkan pasal 4 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017
tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam melaksanakan
tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM mempunyai
kewenangan :
1. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu,
serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat
dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

6. Struktur Organisasi
Susunan Organisasi diatur dalam Pasal 5 Peraturan Presiden No. 80
Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, dalam
melaksanakan tugasnya BPOM harus memiliki struktur organisasi yang
solid. Struktur organisasi tersebut terdiri dari:
1) Kepala BPOM
2) Sekretariat Pertama Layanan Pengaduan Konsumen.
3) Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor,
Zat Adiktif
52

4) Deputi Bidang Pengawasan Obat, Tradisional, Suplemen Kesehatan


dan Kosmetik
5) Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan
6) Deputi Bidang Pengawasan Pendidikan
7) Inspektorat Utama.

Berdasarkan Pasal 48 Kepres Nomor 178 Tahun 2000 tentang


Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Kepala BPOM mempunyai tugas yaitu: memimpin BPOM sesuai dengan
keentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyiapkan
kebijakan nasional dan kebijakan umum sesuai dengan tugas BPOM,
menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas BPOM yang menjadi
tanggung jawabnya, membina dan melaksanakan kerjasama dengan
sintansi dan organisasi lain.

Tugas Sekretariat Utama adalah melaksanakan koordinasi


perencanaan strategis dan organisasi, pengembangan pegawai, pengelolaan
keuangan, bantuan hukum dan legislasi, hubungan masyarakat dan
kerjasama internasional, serta akses masyarakat terhadap BPOM melalui
Unit Layanan Pengaduan Konsumen yang menerima dan menindaklanjuti
berbagai pengaduan dari masyarakat di bidang obat dan makanan.
Disamping itu dilakukan pembinaan administratif beberapa Pusat yang ada
di lingkungan BPOM dan unit-unit pelaksana teknis yang tersebar di
seluruh Indonesia.4

Kemudian tugas dari Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik


dan NAPZA yaitu melaksanakan penilaian dan evaluasi khasiat,
keamanan dan mutu obat, produk biologi dan alat kesehatan sebelum
beredar di Indonesia dan juga produk uji klinik. Selanjutnya melakukan
pengawasan peredaran produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat

4
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
53

adiktif lainnya. Disamping itu melakukan sertifikasi produk terapetik,


inspeksi penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik dan inspeksi
penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik, inspeksi sarana produksi dan
distribusi, sampling, penarikan produk, public warning sampai pro justicia.
Didukung oleh antara lain Komite Nasional Penilai Obat Jadi, Komite
Nasional Penilai Alat Kesehatan dan Tim Penilai Periklanan Obat Bebas,
Obat Bebas Terbatas, Obat Tradisional dan Suplemen Makanan.5

Selanjutnya tugas dari Deputi Bidang Pengawasan Obat


Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen adalah melaksanakan
penilaian dan registrasi obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan
sebelum beredar di Indonesia. Selanjutnya melakukan pengawasan
peredaran obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen, termasuk
penandaan dan periklanan. Penegakan hukum dilakukan dengan inspeksi
Cara Produksi yang Baik, sampling, penarikan produk, public warning
sampai pro justicia. Didukung oleh antara lain Tim Penilai Obat
Tradisional dan Tim Penilai Kosmetik.6

Tugas dari Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan


Bahan Berbahaya yaitu melaksanakan penilaian dan evaluasi keamanan
pangan sebelum beredar di Indonesia dan selama peredaran seperti
pengawasan terhadap sarana produksi dan distribusi maupun komoditinya,
termasuk penandaan dan periklanan, dan pengamanan produk dan bahan
berbahaya. Disamping itu melakukan sertifikasi produk pangan. Produsen
dan distributor dibina untuk menerapkan Sistem Jaminan Mutu, terutama
penerapan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB), Hazard Analysis
Critical Control Points (HACCP), Cara Distribusi Makanan yang Baik
(CDMB) serta Total Quality Management (TQM). Disamping itu

5
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
6
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
54

diselenggarakan surveilan, penyuluhan dan informasi keamanan pangan


dan bahan berbahaya. Didukung antara lain Tim Penilai Keamanan
Pangan.7

Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional melakukan


pemeriksaan secara laboratorium, pengembangan prosedur pengujian dan
penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lain, alat kesehatan, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen,
pangan dan bahan bahan berbahaya. Disamping merupakan rujukan dari
26 (duapuluh enam) laboratorium pengawasan obat dan makanan di
seluruh Indonesia, telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional,
Badan Standardisasi Nasional tahun 1999 serta merupakan WHO
Collaborating Center sejak 1986 dan anggota International Certification
Scheme. Selain ditunjang dengan laboratorium bioteknologi, laboratorium
baku pembanding, laboratorium kalibrasi serta laboratorium hewan
percobaan, juga didukung dengan peralatan laboratorium yang canggih
untuk analisis fisikokimia seperti Kromatografi Cair Kinerja Tinggi,
Kromatografi Gas, Sektrofotometer Absorpsi Atom, Spektrofotometer
Infra Merah; analisis fisik seperti Alat Uji Disolusi Otomatis dan Smoking
Machine; analisis mikrobiologi dan biologi.8

Pusat Penyidikan Obat dan Makanan melaksanakan kegiatan


penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan melawan hukum di
bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif, obat
tradisional, kosmetik dan produk komplemen dan makanan serta produk
sejenis lainnya.9

7
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
8
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
55

Pusat Riset Obat dan Makanan melaksanakan kegiatan di bidang


riset toksikologi, keamanan pangan dan produk terapetik.10

Pusat Informasi Obat dan Makanan memberikan pelayanan


informasi obat dan makanan, informasi keracunan dan koordinasi kegiatan
teknologi informasi BPOM.11

KEPALA BADAN POM


9
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
10
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
11
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
56

INSPEKTORAT SEKRETARIS
UTAMA UTAMA

INSPEKTORAT I Biro Perencanaan dan


Keuangan
INSPEKRORAT II Biro Hukum dan
Organisasi
Bagian Tata Usaha
Biro Kerjasama
Kelompok Jabatan
Fungsional Auditor Biro Umum dan
Sumber Daya Manusia
Biro Hubungan
Masyarakat dan
Dukungan Strategis
Pimpinan

Pusat Pusat
Pusat Pengemban Pengemba Pusat
Data dan gan Sumber ngan Riset dan
Informasi Daya Pengujian Kajian
Obat & Manusia Obat dan Obat &
Makanan Pengawasan Makanan Makanan
Obat & Nasional
Makanan

Deputi I Deputi II Deputi III Deputi IV


Bidang Bidang Bidang Bidang
Pengawasan Obat, Pengawasan Obat Pengawasan Pendidikan
Narkotika, Tradisional, Pangan Olahan
Psikotropika, Suplemen
Prekursor dan Zat Kesehatan dan
Adiktif Kosmetik

Unit Pelaksana Teknis


57

B. Profil PT. Pharos Indonesia12


1. PT. Pharos Indonesia
PT. Pharos Indonesia atau Pharos Group adalah perusahaan farmasi atau
kelompok usaha yang berdiri tahun 1971 di Jakarta, Indonesia.
2. Sejarah
PT. Pharos Indonesia didirikan sejak 30 September 1971 saat berulang
tahunnya ke-35 tahun dan bergabung dimulai produksi obat-obatan pada
September 1974 oleh Ong Joe San (Eddie Lembong) dengan nama Pharos
Indonesia Ltd. Nama Pharos diambil dari satu nama Mercusuar yang
terletak di kawasan Teluk Alexandria, Mesir. Perusahaan berstatus PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri) dan merupakan perusahaan farmasi
pertama di Indonesia yang mendapatkan sertifikat CPOB (Cara Pembuatan
Obat yang Baik) dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada 30
Juni 1990. Didukung dengan lebih dari 2000 SDM, yang sebagian besar
personel terdiri dari tenaga muda yang dinamis dan energik.
3. Produk PT. Pharos Indonesia
a. Produk Obat Resep
1) Polysilane 6) Diarex
2) Praxion 7) Calarex
3) Proris 8) Custodiol
4) Microlax 9) Panorex Flash Tab
5) Rexcof 10) Ares

b. Produk Konsumen Kesehatan


1) Igastrum New Formula
2) Milmor NF
3) Cor Q
4) Actimmune
5) Stop – X
12
https://id.wikipedia.org/wiki/Pharos_Indonesia. diakses Pada Tanggal 27 Januari 2019,
Pukul: 10.41.
58

6) Viostin – X
7) Viostin DS (Sekarang sudah ditarik karena diduga mengandung
DNA Babi)
8) Viostin COM
9) Thermolyte Plus
10) Thermolyte Diet Sugar
11) Maximus Dietary Herbal
12) Albothyl Concentrate (Sekarang sudah ditarik karena mengandung
Policresulen)
13) Medisio Concentrate (Sekarang sudah ditarik karena mengandung
Policresulen)
14) Fruit 18/Vegeblend 21 Jr
15) Fruit 18/Vegeblend For Adults
16) Nourish Skin
17) Nourish Skin Ultimate
18) Nourish – E
19) Nourish Beauty Care
20) Omepros
21) Fishqua
22) Aclonac Emulsi Gel
23) Joint Herbal
24) Chondromax Krim
25) BeLuna
26) i-Face
27) Glunest
28) Lactokid
29) Derma Cote
30) UC-Flex
31) HycoCare
32) Keloplast
33) Colidan
59

4. Viostin DS13
a. Khasiat
Viostin DS adalah suplemen makanan yang digunakan untuk
meringankan osteoarthritis, rematik, dan gangguan pada persendian dan
tulang rawan. Suplemen ini mengandung glucosamine, chondroitin
sulfate, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Viostin DS digunakan
sebagai obat alternatif untuk meringankan osteoarthritis, rematik, dan
gangguan pada persendian seperti nyeri sendi, bengkak, dan kekakuan
yang disebabkan oleh arthritis.
b. Efek Samping
Berikut adalah beberapa efek samping Viostin DS :
1. Efek samping suplemen ini biasanya ringan meliputi gatal-gatal dan
ketidaknyamanan lambung (misalnya, diare, mulas, mual, dan
muntah).
2. Efek samping lainnya berupa hati seperti terbakar, dispepsia,
konstipasi, sakit perut, jantung berdebar, mengantuk, dan sakit kepala.
3. Ada laporan bahwa pasien yang memiliki penyakit hati kronis
kondisinya memburuk setelah menggunakan suplemen yang
mengandung glucosamine. Namun efek samping ini sangat jarang
terjadi.
4. Sebuah studi awal menemukan bahwa pada penggunaan dosis yang
besar (di luar dosis yang dianjurkan), obat yang mengandung
glucosamine dapat merusak sel-sel pankreas. Hal ini mungkin
meningkatkan risiko penyakit diabetes melitus.

13
https://www.farmasiana.com/suplemen/viostin-ds/. Diakses Pada Tanggal 27 Januari
2019, Pukul: 11.21.
BAB IV

PERAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN DALAM


MENANGGULANGI PEREDARAN OBAT NON-HALAL

(Studi Kasus Suplemen Viostin DS)

A. Pelanggaran Hukum Yang Dilakukan Pelaku Usaha Viostin Ds


PT. Pharos Indonesia
PT. Pharos merupakan industri yang bergerak di bidang farmasi, industri
tersebut banyak memproduksi obat maupun suplemen makanan salah satunya
adalah Viostin DS. Viostin DS merupakan suplemen yang berkhasiat untuk
mengatasi nyeri sendi. Industri tersebut telah mengajukan pendaftaran di
BPOM dan sudah dilakukan pra penilaian dan penilaian. Penilaian merupakan
proses evaluasi terhadap dokumen dan data pendukung. Sebelum memeperoleh
izin edar dilakukan pengawasan secara komprehensif melalui pengawasan
produk sebelum beredar (pre market) dan setelah beredar (post market) sampai
ke tahap distribusi yang itu berarti siap didistribusikan kepada konsumen.
Tahap pengawasan produk sebelum beredar (pre market) melalui evaluasi
terhadap mutu, keamanan dan khasiat produk sebelum memperoleh izin edar.
Kemudian dilakukan audit sarana yaitu CPOB (Cara Pembuatan Obat Yang
Baik) atau penilaian PSB (Penilaian Sarana Bangunan) meliputi GMP (Good
Manufacturing Practice), sidak tersebut dilakukan oleh Balai POM Provinsi
sesuai dengan tempat pabrik/perusahaan. Untuk bahan tertentu yang bersumber
dari babi maupun dalam proses pembuatan bersinggungan dengan bahan babi,
wajib mencantumkan informasi tersebut pada label.
Ditahap pre market ini , PT. Pharos Indonesia selaku produsen Viostin DS
sudah melakukan pendaftaran produk sesuai dengan Tata Laksana pendaftaran
Suplemen Makanan yang diterbitkan oleh e-Registration Obat Tradisional dan
Suplemen Makanan (ASROT), Direktorat Registrasi Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan dan Kosmetik pada Tanggal 25 Mei 2016 dengan Nomor

60
61

Registrasi SD051523771 dan dinyatakan layak edar serta tidak mengandung


zat-zat yang berbahaya maupun mengandung bahan-bahan tertentu.
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan, dalam pengawasan pre market
bahan yang digunakan pada saat uji laboratorium adalah mengandung sapi,
yang berarti aman dikonsumsi dan dinyatakan layak diproduksi sehingga dapat
bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
Kemudian setelah memperoleh Nomor Izin Edar (NIE) dari BPOM dan
sudah didistribusikan kepada masyarakat maka tahap selanjutnya adalah
pengawasan setelah beredar (post-market) yang meliputi inspeksi fasilitas
produksi dan distribusi, sampling produk pengujian laboratorium, monitoring
iklan promosi dan label produk. Pengawasan post-market bertujuan untuk
melihat konsistensi mutu, keamanan, dan khasiat produk.
Monitoring atau pengawasan dilakukan setiap 3 bulan sekali secara rutin1.
Pengawasan rutin meliputi:
1. Pemeriksaan sarana produksi untuk memastikan proses produksi obat dan
makanan telah menerapkan cara produksi.
2. Monitoring produk yang beredar di pasaran (kadaluwarsa, rusak, TIE, dan
mengandung bahan berbahaya.
3. Pengawasan label dan iklan.
4. Pengawasan sarana kefarmasian.
5. Pemeriksaan sarana dan distribusi obat dan makanan
6. Sampling dan pengujian.
7. Monitoring efek samping.

Monitoring atau pengawasan tersebut sudah dilakukan oleh BPOM secara


maksimal, tentu harus ada kerjasama yang terjalin dengan baik antara BPOM
dan pelaku usaha agar kualitas produk yang akan dipasarkan atau

1
Wawancara Pribadi dengan Ibu Tiodora M, Sirait, SH, MH. Kepala Sub Bagian
Penyuluhan Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta: 16 Oktober
2018
62

didistribusikan kepada masyarakat aman untuk dikonsumsi. Kerjasama ini


haruslah tercipta agar pelaksanaan tugas BPOM sendiri berjalan dengan
optimal yang bertujuan untuk melayani masyarakat dengan baik. Disisi pelaku
usaha, didorong agar konsisten dalam menggunakan bahan baku yang memang
sudah lulus uji coba pada saat proses pemeriksaan yang dilakukan oleh BPOM.
Dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun produk viostin DS diedarkan,
terdapat pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh produk
Viostin DS dan meminta Balai POM provinsi lebih tepatnya di Balai POM
Palangkaraya untuk menguji ulang sampling Viostin DS. Kemudian dari hasil
sampling yang dilakukan oleh Balai POM Palangkaraya menunjukan bahwa
produk tersebut terbukti mengandung DNA Babi, kemudian Balai POM
Palangkaraya mengajukan Permohonan Uji Rujuk Sampel Suplemen kepada
BPOM Pusat. Menindaklanjuti surat tersebut, dilakukan Uji Absah di Pusat
Pengujian Obat dan Makanan Nasional dan hasilnya sama yaitu terdeteksi
mengandung DNA babi.
Melalui Siaran Pers, Kepala BPOM RI menyampaikan bahwa temuan
DNA babi dalam produk obat dan suplemen ini mengindikasikan adanya
ketidakkonsistenan informasi data pre-market dengan hasil pengawasan post-
market. Hasil pengujian pengawasan post-market menunjukkan bahwa kedua
produk positif mengandung DNA babi, sementara data yang diserahkan dan
lulus evaluasi BPOM saat pendaftaran produk (pre-market) menggunakan
bahan baku yang bersumber dari sapi.2 Di sini dapat dilihat bahwa kasus
tersebut merupakan unsur kesengajaan pelaku usaha dalam memasukan bahan
baku, bukan tidak boleh pelaku usaha menggunakan bahan baku bersumber
dari babi karena memang ada masyarakat yang menurut keyakinannya boleh
mengonsumsi babi, namun karena penduduk Indonesia mayoritas muslim yang
dilarang mengonsumsi itu. Maka bahan baku tersebut harus dicantumkan
dalam label.

2
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/14002/Temuan-Produk-Obat-Dan-
Suplemen-Mengandung-DNA-Babi--Bukti-Kerja-Nyata-BPOM-RI.html. “Temuan Produk Obat
Dan Suplemen Mengandung DNA Babi, Bukti Kerja Nyata BPOM RI”. Diakses Pada Tanggal 28
Januari 2019, Pukul:10.59.
63

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis menganalisis beberapa


pelanggaran yang dilakukan oleh PT.Pharos Indonesia Selaku produsen Obat
Viostin DS. Diantaranya yaitu:
1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
a. Pelaku Usaha melanggar Pasal 4 huruf a yang menyebutkan bahwa
konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Konsumen berhak mendapatkan
keamanan dari produk yang ditawarkan, produk tersebut tidak boleh
membahayakan keselamatan konsumen sehingga konsumen tidak
dirugikan baik secara jasmani maupun rohani.
b. Pelaku Usaha melanggar Pasal 4 huruf c dimana pelaku usaha harus
memberika informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa. Keterbukaan informasi mengenai
kandungan obat-obatan atau suplemen kesehatan merupakan hal yang
sangat penting dan sudah menjadi kewajiban produsen untuk
memberikan informasi tersebut, sehingga konsumen dapat memperoleh
gambaran yang benar tentang suatu produk itu sendiri. Kenyataannya,
pelaku usaha viostin DS tidak memberikan informasi yang benar
megenai bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produknya.
Bahan baku yang digunakan pada saat penilaian pre-market
menggunakan bahan baku bersumber dari sapi tetapi ketika dari hasil
pengujian pada pengawasan post market ditemukan adanya kandungan
DNA babi. Disini berarti pelaku usaha/produsen viostin ds
mengindikasikan adanya ketidakkonsisten informasi data pada pree
market dengan post market.
c. Pelaku Usaha melanggar Pasal 8 (1) huruf a, f dan h dimana pelaku
usaha dilarang memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam memproduksi suatu produk
produsen harus memenuhi standar atau syarat yang berlaku agar produk
64

yang di edarkan di masyarakat merupakan produk yang layak edar. Di


dalam huruf f disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan,
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Obat Viostin DS
tidak mencantumkan keterangan bahwa dalam kandungannya
mengandung DNA babi sebagaimana standar yang dipersyaratkan oleh
BPOM bahwa obat yang terdeteksi mengandung DNA babi wajib
mencantumkan peringatan “MENGANDUNG BABI” pada labelnya
dengan huruf berwarna merah dan disertakan gambar babi dalam kotak
persegi yang berwarna merah. Pada Pasal 8 huruf h menyebutkan
bahwa pelaku usaha dilarang memproduski dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label. Pernyataan “halal” dimaksudkan agar
masyarakat mengetahui secara jelas bahwa produk yang ingin
digunakan ataupun dikonsumsi merupakan produk yang halal. Sehingga
tidak menimbulkan suatu pertanyaan apakah produk tersebut halal atau
haram. Dengan adanya pernyataan “halal” tersebut, menunjukan bahwa
dalam proses produksinya mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Pharos
Indonesia selaku produsen obat Viostin DS dapat dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yaitu pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, maka dapat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp. 2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah).
Adanya sanksi pidana denda yang dipandang sekedar ongkos
operasional produksi atau pemasaran seperti itu, akan mengakibatkan
perusahaan sebagai subjek hukum pidana tidak menjadi jera atau sanksi
65

pidana denda yang dimaksud tidak mengubah perilaku perusahaan.


Akibatnya perbuatan pidana dapat selalu berulang. Jika hal ini terjadi
berarti sanksi pidana denda saja tidak cukup. Sanksi denda yang
dimaksud jumlahnya kecil, sehingga harus ada pertimbangan terhadap
kemungkinannya memberikan sanksi tambahan.3 Agar tidak
mengulangi kesalahan dan memberikan efek jera maka pelaku usaha
dapat juga dikenakan sanksi tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal
63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen berupa:
a) Perampasan barang tertentu.
Obat Viostin DS dapat ditarik secara paksa dari peredaran.
b) Pengumuman putusan hakim.
c) Pembayaran ganti rugi.
Konsumen yang mengalami kerugian dan keberatan berhak
mendapatkan kompensasi. Dengan hal ini konsumen dapat
mengajukan keberatan melalui BPSK, BPOM ataupun Dinas
Kesehatan.
d) Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen.
Dalam hal ini, BPOM memrintahkan produsen untuk mengehentikan
seluruh proses produksi produk tersebut agar tidak ada konsumen
yang dirugikan lagi.
e) Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
Apabila produsen terbutki melakukan pelanggaran yang
menyebabkan kerugian konsumen maka dapat ditarik seluruh produk
dari peredaran.
f) Pencabutan izin usaha.
Pencabutan izin usaha dilakukan oleh BPOM dan Menteri Kesehatan
selaku lembaga yang berwenang memberikan izin usaha.

3
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT.
RajaGrafindo, 2017), h.,290.
66

b. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan


Produk Halal
1) Pelaku Usaha melanggar Pasal 4 Undang-undang Nomor 33 Tahun
2014 yang menyatakan bahwa Produk yang masuk, beredar dan di
perdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Dalam
ajaran Islam, diperintahkan untuk selalu mengonsumsi makanan dan
obat-obatan yang halal dan thayyib. Halal dari segi syariah dan baik
dari segi gizi dan kesehatan. Perintah tersebut terdapat dalam Q.S Al-
Maidah ayat 88.

َ‫َّللاَ الَّ ِذي أَ ًْتُ ْن بِ ِه ُه ْؤ ِهٌُوى‬


َّ ‫طيِّباا ۚ َواتَّقُوا‬ َّ ‫َو ُكلُوا ِه َّوا َر َسقَ ُك ُن‬
َ ‫َّللاُ َح ََل اًل‬
Artinya: Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepadanya.

Dengan demikian, dalam memenuhi kebutuhan hidup, diharuskan


untuk selalu mengonsumsi makanan dan obat-obatan yang halal dan
baik. Sebab, apabila mengonsumsi sesuatu yang haram, akan dapat
berpengaruh buruk pada jasmani dan rohani.

Konsumsi suatu produk bagi konsumen Indonesia yang mayoritas


muslim, walaupun produk tersebut aman untuk dikonsumsi, namun
konsumen masih membutuhkan persyaratan lain yaitu dengan adanya
label halal pada suatu produk. Label halal menjadi suatu yang wajib
dimiliki oleh pelaku usaha, agar masyarakat percaya bahwa produk
yang dikonsumsi maupun digunakan tidak mengandung sesuatu yang
tidak halal dan diproses dengan cara yang halal. Dengan begitu
konsumen merasa tenang, aman dan nyaman dalam mengonsumsi
maupun menggunakan produk tersebut. Kenyataannya masih banyak
obat yang beredar di pasaran yang tidak ada kepastian halalnya, ini
karena aspek kehalalan kerapkali dikesampingkan oleh produsen
farmasi. Padahal dengan adanya sertifikasi halal akan berdampak pada
67

penjualan produk itu sendiri. Pelaku usaha akan mendapatkan


kepercayaan dari konsumen terhadap produk yang diperdagangkan.

2) Pelaku Usaha melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 33


Tahun 2014 Tentang Jamninan Produk Halal yang menyatakan bahan
yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 17 ayat 3 meliputi: bangkai, darah, babi dan/atau hewan
yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. Pada prakteknya pelaku
usaha viostin DS dalam memproduksi obat tersebut menggunakan
bahan baku yang bersumber dari babi. Daging babi merupakan daging
yang diharamkan dalam Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S
Al-Baqarah ayat 173.

َّ ‫يز َو َها أ ُ ِه َّل بِ ِه لِ َغي ِْز‬


‫َّللاِ ۖ فَ َو ِي‬ ِ ‫إًَِّ َوا َح َّز َم َعلَ ْي ُك ُن ْال َو ْيتَةَ َوال َّذ َم َولَحْ َن ْال ِخ ٌْ ِش‬
‫َّللاَ َغفُو ٌر َر ِحي ٌن‬ َّ ‫اغ َو ًَل عَا ٍد فَ ََل إِ ْث َن َعلَ ْي ِه ۚ إِ َّى‬
ٍ َ‫اضْ طُ َّز َغي َْز ب‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih atas
nama selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya), sedang dia tidak menginginkannya dan tidak
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S Al-Baqarah,
173).

Ayat tersebut menjelaskan secara tegas mengenai makanan yang haram


untuk dikonsumsi. Ketentuan tersebut harus ditaati oleh setiap muslim
karena tidak hanya terkait dengan masalah hukum saja tetapi terkait
dengan masalah keimanan. Sebab, keimanan harus dibuktikan dengan
ketaatan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah SWT. Di
samping itu, ternyata makanan yang kita konsumsi mempengaruhi
hubungan manusia dengan Tuhannya. Makanan yang haram atau yang
68

diperoleh secara haram akan menjadi penghalang diterimanya ibadah


dan dikabulkannya do’a.4
Ilmu kedokteran pun melarang memakan daging babi karena
penyakit yang ditimbulkannya sangat berbahaya. Menurut Syari’at
Islam setiap kegiatan tidak terkecuali konsumsi makanan dikategorikan
sebagai nilai Ibadah. Oleh sebab itu, sebelum mengonsumsi atau
menggunakan suatu produk harus memastikan kehalalannya agar
terhindar dari kerugian baik fisik maupun psikis.
c. Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2013
Tentang Obat dan Pengobatan yang menyatakan obat yang digunakan
untuk kepentingan pengobatan wajib menggunkan bahan yang suci dan
halal. Islam mensyariatkan dalam hal pengobatan wajib menggunakan
bahan yang suci bukan bahan yang najis ataupun haram. Penggunaan obat
yang berbahan najis atau haram hukumnya haram kecuali memenuhi
syarat:5
1) Digunakan pada kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi
keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa
manusia, atau kondisi keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat
(al-hajat allati tanzilu manzilah al-dlarurat), yaitu kondisi
keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka akan dapat
mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari.
2) Belum ditemukan bahan yang halal dan suci.
3) Adanya rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak
ada obat yang halal.

Seiring dengan pesatnya perkembangan dunia obat-obatan dan berbagai


macam penyakit, aspek kehalalan sering kali kurang mendapat perhatian
dari produsen farmasi. Berbagai cara dimanfaatkan oleh produsen farmasi
demi efek kesembuhan, tidak terkecuali penggunaan bahan dari babi dan

4
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika. (Jakarta: GP Press, 2013).,h.3.
5
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Obat dan Pengobatan.
69

bahan haram lainnya. Seringkali ditemukan obat-obatan yang beredar di


pasaran menggunakan bahan dari unsur babi. Seperti halnya dengan
produsen Viostin Ds yang menggunakan bahan baku yang mengandung
DNA babi.

d. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan


Republik Indonesia Nomor HK. 03.1.23.06.10.5166 Tentang Pencantuman
Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas
Kadaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen
Makanan dan Pangan
“Pasal 4 ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa selain informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk obat, obat tradisional dan
suplemen makanan yang mengandung bahan tertentu yang berasal dari
babi harus mencantumkan tanda khusus berupa tulisan “mengandung
babi” berwarna hitam dalam kotak berwarna hitam di atas dasar putih, dan
tanda khusus sebagaimana pada ayat (2) untuk obat yang proses
pembuatannya bersinggungan dengan bahan tertentu yang berasal dari
babi harus mencantumkan tulisan “pada proses pembuatannya
bersinggungan dengan bahan bersumber babi”.

Berdasarkan pelanggaran tersebut pelaku usaha dapat dikenakan sanksi


sesuai dengan Pasal 9 peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan yaitu sanksi administratif berupa:
a. Peringatan tertulis.
b. Perintah penarikan dan/atau pemusnahan produk.
c. Pembekuan izin edar/ persetujuan izin edar.
d. Sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
e. Berdasarkan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999
Tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa Setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut
halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan
tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada
Label.
70

Dari berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha Viostin DS di


atas. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Tiodora M, Sirait selaku Kepala
Sub Bagian Penyuluhan Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan.6 Dalam
rangka melindungi konsumen dari peredaran obat non-halal, dilakukan public
warning kepada seluruh konsumen Indonesia bahwa produk tersebut positif
mengandung DNA babi, kemudian produk tersebut akan ditarik dari peredaran
serta dimusnahkan. Terhadap pelaku usaha yang terdaftar di Badan POM yang
telah melanggar peraturan akan diberikan sanksi, sanksi tersebut dapat berupa
menutup industri PT. Pharos Indonesia tetapi hal tersebut harus berkoordinasi
dengan lintas sektor yaitu yang telah memberikian izin usaha. Karena Badan
POM hanya mengluarkan izin edar produknya yang dikeluarakan oleh PT. Pharos
Indonesia. Selanjutnya apabila terjadi kasus-kasus semacam itu tentu bukan hanya
BPOM sendiri yang harus melindungi masyarakat. tetapi BPOM dibantu oleh
YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sebagaimana YLKI merupakan
lembaga yang menangani perlindungan konsumen.

Kemudian apabila dalam mengonsumsi obat tersebut konsumen mengalami


kerugian yang mengakibatkan sakit yang mengancam jiwa maka dapat
mengadukan kepada BPSK, sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum. Selanjutnya pelaku usaha
bertanggungjawab untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen sesuai
dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 19 Ayat (1) dan (2)
bahwasanya pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian

6
Wawancara dengan Ibu Tiodora M, Sirait, SH, MH. Kepala Sub Bagian Penyuluhan
Hukum, Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta: 16 Oktober 2018.
71

barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Untuk memberikan rasa aman bagi konsumen, khususnya
konsumen muslim. Bentuk tanggungjawab yang dilakukan oleh PT. Pharos
Indonesia selaku produsen Viostin DS yaitu menarik semua produk tersebut dari
peredaran serta menghentikan seluruh produksinya.

Menurut penulis, tanggungjawab yang dilakukan oleh pelaku usaha Viostin


DS sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, mereka
menjalankan sanksi yang diberikan oleh BPOM selaku penerima mandat
pemerintah dalam pengawasan peredaran obat dan makanan. Artinya upaya
pemerintah dalam hal ini BPOM pun sudah menjalankan tugasnya dengan
bertindak tegas memberikan sanksi kepada para pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memaksimalkan peran BPOM
dalam melindungi konsumen. Upaya BPOM untuk melindungi konsumen dengan
senantiasa memberikan kualitas pelayanan yang baik. Dalam hal ini BPOM
membuat sebuah Unit Layanan Pengaduan Konsumen atau disingkat ULPK.
ULPK merupakan unit layanan pengaduan konsumen BPOM untuk menampung
pengaduan dan memberikan informasi kepada masyarakat. Selain itu, BPOM
menyediakan layanan HaloBPOM 1500533. Dengan adanya pelayanan publik
tersebut, masyarakat selaku konsumen dapat menyampaikan saran, pertanyaan,
informasi dan pengaduan kepada BPOM.

B. Peran BPOM Dalam Menanggulangi Peredaran Obat-Non Halal (Viostin


DS)
BPOM adalah sebuah Lembaga Non Kementrian yang bertugas
mengawasi peredaran obat dan makanan di wilayah Indonesia. Tugas tersebut
melekat pada BPOM sebagai garda depan dalam hal perlindungan terhadap
konsumen sesuai dengan pembangunan (nawa cita), pada butir ke 5 yaitu:
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, utamanya di sektor kesehatan.
Dengan demikian, untuk melindungi konsumen terhadap produk obat-obatan
72

yang tidak memenuhi persyaratan keamanan mutu, dan gizi serta ketenangan
bathin khususnya bagi yang beragama Islam diperlukan pengawasan yang
komprhensif baik sebelum beredar (pre-market evaluation) dan setelah beredar
(post-market vigillance).7 Sistem pengawasan dilakukan mencakup
pengawasan pre-market dan post-market sistem itu terdiri:8
1. Standardisasi yang merupakan fungsi penyusunan standar, regulasi, dan
kebijakan terkait dengan pengawasan Obat dan Makanan. Standardisasi
dilakukan terpusat, dimaksudkan untuk menghindari perbedaan standar
yang mungkin terjadi akibat setiap provinsi membuat standar tersendiri.
2. Penilaian (pre-market evaluation) yang merupakan evaluasi produk
sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan
diedarkan kepada konsumen. Penilaian dilakukan terpusat, dimaksudkan
agar produk yang memiliki izin edar berlaku secara nasional.
3. Pengawasan setelah beredar (post-market control) untuk melihat
konsistensi mutu produk, keamanan dan informasi produk yang dilakukan
dengan melakukan sampling produk Obat dan Makanan yang beredar, serta
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi Obat dan Makanan,
pemantauan farmakovigilan dan pengawasan label/penandaan dan iklan.
Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan terpadu, konsisten,
dan terstandar. Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan
terpadu, konsisten, dan terstandar. Pengawasan ini melibatkan Balai
Besar/Balai POM di 33 provinsi dan wilayah yang sulit
terjangkau/perbatasan dilakukan oleh Pos Pengawasan Obat dan Makanan
(Pos POM).
4. Pengujian laboratorium. Produk yang disampling berdasarkan risiko
kemudian diuji melalui laboratorium guna mengetahui apakah Obat dan
Makanan tersebut telah memenuhi syarat keamanan, khasiat/manfaat dan

7
Badan POM RI, Panduan Teknis Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan,
(Jakarta: 2009), h. 15.
8
https://www.pom.go.id/new/view/direct/strategic, “Sasaran Strategis”, Diakses Pada
Tanggal 31 Oktober 2018. Pukul 00.05.
73

mutu. Hasil uji laboratorium ini merupakan dasar ilmiah yang digunakan
sebagai untuk menetapkan produk tidak memenuhi syarat yang digunakan
untuk ditarik dari peredaran.
5. Penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Penegakan
hukum didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, maupun
investigasi awal. Proses penegakan hukum sampai dengan projusticia dapat
berakhir dengan pemberian sanksi administratif seperti dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar, disita untuk
dimusnahkan. Jika pelanggaran masuk pada ranah pidana, maka terhadap
pelanggaran Obat dan Makanan dapat diproses secara hukum pidana.

Dalam mengemban tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan


Makanan, BPOM melakukan dengan sistem tiga pilar sebagai berikut:9

1. Pelaku Usaha: pengawasan yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu


menjamin Obat dan Makanan aman, berkhasiat/beramanfaat dan bermutu
serta kebenaran informasi sesuai yang dijanjikan saat registrasi di BPOM.
2. Badan Pengawas Obat dan Makanan: pengawasan yang dilakukan oleh
Badan POM mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari proses
penyusunan standar sarana dan produk, penilaian produk yang didaftarkan
(diregistrasi) dan pemberian nomor izin edar (NIE), pengawasan
penandaan iklan, pengambilan dan pengujian contoh produk di
peredaran/sarana distribusi., pemeriksaan sarana produksi dan distribusi,
pemeriksaan produk ilegal/palsu, hingga ke investigasi awal dan proses
penegakan hukum terhadap berbagai pihak yang melakukan
penyimpangan cara produksi dan distribusi, maupun pengedaran produk
yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Masyarakat: pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat agar mampu
melindungi diri dari produk yang berisiko terhadap kesehatan. Untuk

9
Laporan Kinerja BPOM Tahun 2017
74

mencapai hal ini, BPOM melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi


(KIE) kepada masyarakat.

Peran BPOM dalam pengawasan produk berlabel halal, bekerjasama


dengan Menteri Agama dan LPPOM-MUI. Ketiga lembaga tersebut bersama-
sama melakukan upaya untuk memastikan kehalalan produk melalui audit
terhadap penerapan Cara Produksi Obat yang Baik yaitu melalui pengaturan dan
standarisasi, evaluasi mutu dan keamanan produk pangan sebelum diizinkan
beredar di masyarakat, pembianaan dan penyuluhan, sampling dan pengujian
laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan kasus
khusus, dan publik warning yang diajukan kepada masyarakat luas. Pengawasan
oleh BPOM dapat dilakukan sebelum berproduksi dengan cara regulasi dalam
bentuk peraturan-peraturan dan standarisasi yang berkaitan dengan sertifikasi dan
label halal. Kemudain dengan cara memberikan pembinaan dan penyuluhan
kepada perusahaan-perusahaan dalam rangka sosialisasi.10 Kemudian LPPOM-
MUI mengaudit terhadap kehalalan bahan yang digunakan, proses produksi dan
penerapan sistem jaminan halal, serta bimbingan syariah kepada manajemen
perusahaan dan karyawan muslim. BPOM memberikan persetujuan tulisan halal
pada label produk obat-obatan ataupun makanan yang baik, setelah MUI
menyatakan bahwa produk tersebut merupakan produk yang halal dan telah
memiliki izin edar dari BPOM. Setelah mendapatkan Sertifikasi Halal dari
LPPOM-MUI, BPOM memberikan persetujuan tulisan halal pada label suatu
produk berdasarkan Sertifikasi Halal dari MUI dan perusahaan memenuhi
persyaratan Cara Berproduksi Obat yang Baik. Dengan demikian, perusahaan
tidak dapat secara langsung mencantumkan label halal pada kemasan sebelum di
audit oleh tim auditor ekternal yang terdiri dari BPOM, Departemen Agama dan

10
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 31.
75

LPPOM-MUI. Berikut alur proses pencantuman tulisan Halal pada kemasan


11
produk.

11
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Panduan Teknis
Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan”. (Jakarta: 2009). h., 12.
76

Pemohon

Permohohan dan Dokumen


Dit. Insert BPOM

Pemeriksaan Data tidak Lengkap


Kelengkapan
Data

Tim Auditor

MUI (LPPOM) Badan POM Dep. Agama

Evaluasi Evaluasi

Penilaian dari
Evaluasi
CPOB/CPMB

Komisi
Fatwa
MUI

Sertifikasi MS Memenuhi
CPOB/CPMB Ketentuan

Persetujuan Pencantuman Tulisan


Halal Pada Label Obat
77

C. Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan Dalam Menanggulangi


Peredaran Obat Non-Halal (Viostin DS)
Badan Pengawas Obat dan Makanan memiliki banyak komoditas yang
harus diawasi, diantaranya adalah:
1. Obat (temasuk produk biologi, Narkotik, dan Psikotropik).
2. Obat Tradisional
3. Suplemen Makanan
4. Kosmetik
5. Pangan Olahan
6. Bahan Berbahaya

Oleh banyaknya komoditas yang harus diawasi oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan, maka BPOM dalam mengawasi dan memeriksa peredaran obat
dan makanan yang bererdar di wilayah Indonesia melakukan 2 cara yaitu:12

a. Pengawasan obat dan suplemen makanan dilakukan secara komprehensif


melalui pengawasan produk sebelum beredar (pre-market) dan
pengawasan produk setelah beredar (post-market). Pengawasan pre-
market merupakan evaluasi terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk
sebelum memperoleh nomor izin edar (NIE). Untuk produk yang
mengandung bahan tertentu berasal dari babi maupun bersinggungan
dengan bahan bersumber babi dalam proses pembuatannya, wajib
mencantumkan informasi tersebut pada label.
b. Pengawasan post-market bertujuan untuk melihat konsistensi mutu,
keamanan, dan khasiat produk, yang dilakukan dengan sampling produk
yang beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, pemantauan
farmakovigilan, pengawasan label, dan iklan. Produk yang disampling
kemudian diuji laboratorium untuk mengetahui apakah obat dan suplemen
makanan tersebut masih memenuhi persyaratan yang telah disetujui pada

12
Https://Www.Pom.Go.Id/New/View/More/Pers/397/Siaran-Pers-----Tindak-Lanjut-
Terhadap--Temuan-Produk-Viostin-Ds-Dan-Enzyplex.Html. Diakses Pada Tanggal 21 Oktober
2018. Pukul 19:25.
78

saat evaluasi pre-market. Hasil uji ini menjadi dasar untuk melakukan
tindak lanjut terhadap produk yang disampling.
Sistem regulatori pengawasan obat memiliki beberapa tahapan,
diantaranya13:
1. Tahap Pengembangan : Melindungi hak dan keamanan dari subjek uji
klinik, Evaluasi protokol UK dan audit pelaksanaan UK sesuai GCP
(Ground Control Point), Cara Uji Klinik Yang Baik (CUKB).
2. Tahap Persetujuan Izin Edar: Evaluasi data uji preklinik dan klinik utk
menunjang efikasi/khasiat dan keamanan, evaluasi data mutu,
konsistensi standar mutu untuk 3 batch/lot berurutan (vaksin).
3. Tahap Produksi : Sertifikasi GMP (Good Manufacturing Practices),
Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) pra-produksi, Inspeksi /
audit kepatuhan terhadap GMP (CPOB).
4. Tahap Distribusi : Inspeksi sesuai GDP (Gross Domestic Product),
CDOB (Cara Distribusi Obat Yang Baik), Penyelidikan / Investigasi
keabsahan.
5. Administrasi Penggunaan : Monitoring mutu, MESO (Mentoring Efek
Samping Obat)/KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi).

Sehubungan dengan adanya pemberitaan produk Viostin DS PT. Pharos


Indonesia yang beredar di masyarakat, untuk melindungi konsumen dari
resiko tersebut, Badan POM menjelasakan sebagai berikut:14

1. Berdasarkan data base Badan POM, produk obat atau suplemen makanan
merek Viostin DS terdaftar di Badan POM atas nama PT. Pharos
Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771.
2. BPOM RI menyampaikan bahwa dalam kasus temuan adanya DNA babi
dalam Viostin DS, mengindikasikan adanya ketidakkonsistenan informasi

13
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Badan Pengawas Obat dan Makanan “
Peran Badan POM dalam Pengawasan Pre Market Obat”. Praktek Kerja Profesi Apoteker 4
September 2017.
14
Https://Www.Pom.Go.Id/New/View/More/Klarifikasi/78/PENJELASAN-BADAN-
POM-RI-Tentang-Viralnya-Surat-Internal-Hasil-Pengujian-Sampel-Suplemen-Makanan.Html.
Diakses Pada Tanggal 26 Januari 2018, Pukul: 22.21.
79

data pree market dengan hasil pengawasan post market. Hasil pengujian
pada saat post market menunjukan positif DNA babi, sedangkan data yang
diserahkan dan lulus evaluasi BPOM RI pada saat pendaftaran produk
(pree market), menggunakan bahan baku yang bersumber dari sapi.
3. Badan POM menerbitkan surat edar setelah melakukan evaluasi terhadap
aspek khasiat, mutu dan gizi. Apabila bahan baku yang digunakan berasal
atau mengandung babi dan turunannya dan atau proses produksinya
bersinggungan dengan produk mengandung babi, maka:
a. Produk harus mencantumkan gambar babi dengan tulisan berwarna
merah “mengandung babi” pada label.
b. Penempatan termasuk display di sarana retail, produk yang
mengandung babi harus diletakkan terpisah dari produk non-babi.
4. Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran
(post market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian
terhadap parameter DNA babi, ditemukan bahwa tidak semua produk
viostin ds mengandung DNA babi. Produk Viostin DS yang terindikasi
adanya DNA babi pada nomor bets C6K994H.
5. Menindaklanjuti kasus peredaran produk Viostin DS yang mengandung
DNA babi, BPOM RI telah memberikan sanksi peringatan keras kepada
PT. Pharos Indonesia dan memerintahkan untuk menarik produk tersebut
dari peredaran serta menghentikan proses produksi.
6. Dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia, Badan POM akan
memberikan sanksi yang berat terhadap industri farmasi yang terbukti
melakukan pelanggaran.
7. Sebagai langkah antisipasi dan perlindungan konsumen, Badan POM telah
menginstruksikan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk terus
melakukan pengawasan terhadap kemungkinan beredarnya produk yang
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
8. BPOM RI mengimbau kepada masyarakat apabila masih menemukan
produk Viostin DS dari peredaran agar melapor ke BPOM RI.
80

9. BPOM RI menghimbau kepada pelaku usaha agar tidak memproduksi


dan/atau mengedarkan Obat dan Makanan tanpa izin edar/tidak memenuhi
ketentuan.
15
Terhadap permasalahan di atas, berdasarkan hasil wawancara, BPOM
secara rutin melakukan pengawasan terhadap obat viostin DS dari hulu ke hilir
sampai tuntas dengan melakukan pengecekan untuk mengambil sampel apakah
masih beredar obat yang mengandung babi, selain itu BPOM juga mengerahkan
inspektor-inspektor16 yang berkompeten dilapangan untuk melakukan pengecekan
terhadap toko-toko atau sarana-sarana farmasi yang masih menjual produk
tersebut. Ini adalah bentuk perlidungan konsumen yang dilakukan BPOM dalam
memastikan atau menjamin produk yang melanggar ketentuan perundang-
undangan tidak akan beredar lagi, sehingga masyarakat selaku konsumen tidak
merasa resah untuk mengkonsumsi suatu makanan ataupun obat-obatan. BPOM
akan sebisa mungkin melaksanakan tugasnya dengan baik dan menyelesaikan
pengaduan dengan cepat, namun dalam melakukan pengawasan terhadap produk
yang beredar, tidaklah serta merta berjalan dengan mudah mengingat banyak
sekali produk-produk baik itu makanan ataupun obat-obatan dibawah pengawasan
BPOM. Tentu hal tersebut menjadi kendala BPOM dalam melakukan
pengawasan. Beberapa kendala tersebut, diantaranya:

a. Anggaran terbatas
Untuk melaksanakan tugas mengawasi peredaran makanan ataupun obat-
obatan, BPOM dituntut untuk terjun langsung ke semua sektor usaha yang
telah lulus uji edar, tentu hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit
mengingat sektor produksi pangan maupun obat-obatan di Indonesia begitu
banyak. Dengan anggaran yang terbatas menjadi kendala BPOM dalam
memaksimalkan tugasnya mengawasi satu persatu sektor usaha di Indonesia.

15
Wawancara Dengan Ibu Tiodora M. Sirait, SH., MH. Kepala Sub Bagian Penyuluhan
Hukum. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: 16 Oktober 2018.
16
Inspektor adalah salah satu bagian tugas dalam tim pengawasan yang dibentuk oleh
konsultan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam kerangka acuan tugas.
81

Dari situ munculah celah pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab untuk
melakukan pelanggran yang merugikan konsumen.
b. SDM (Sumber Daya Manusia)
Untuk menjalankan tugas BPOM sesuai peran dan fungsinya, diperlukan
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi pengawasan obat dan makanan. Keterbatasan tenaga kerja/karyawan
menjadikan kinerja BPOM tidak maksimal. Terbatasnya tenaga kerja ini, tentu
akan mempengaruhi pelaksanaan pengawasan BPOM dalam mengawasi obat-
obatan ataupun makanan sedangkan ada banyak produk baik obat maupun
pangan yang beredar di wilayah Indonesia. Untuk mendukung pelaksanaan
tugas pengawasan obat dan makanan secara optimal perlu adanya sumber daya
manusia yang memadai.
c. Kurang dukungan dari lintas sektor
Kurangnya dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan di daerah
menjadikan tindak lanjut hasil pengawasan obat dan makanan belum optimal.
Pengawasan obat dan makanan merupakan suatu program yang terkait dengan
banyak sektor, baik pemerintah maupun non-pemerintah, untuk itu perlu dijalin
suatu kerjasama semua sektor yang terkait agar peran pengawasan BPOM
berjalan efektif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Tiodora M, Sirait selaku Kepala


Sub Bagian Penyuluhan Hukum17. Untuk menekan sekecil mungkin resiko yang
bisa terjadi, diperlukan sistem pengawasan yang komprehensif, semenjak awal
proses suatu produk hingga produk tersebut beredar, untuk mengatasi kendala
tersebut yaitu:

a. Komunikasi, Informasi, Edukasi atau disingkat KIE adalah suatu proses


penyampain informasi kepada konsumen yang dilakukan secara sistematis
untuk membantu konsumen meningkatkan pengetahuan, pemahaman sehingga
konsumen memperoleh keyakinan dalam penggunaan produk baik obat-obatan

17
Wawancara Pribadi Dengan Tiodora M, Sirait, SH., MH, Kepala Sub Penyuluhan
Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta 16 Oktober 2018.
82

ataupun makanan. Tujuan dari KIE ini adalah agar BPOM dapat menjelaskan
dan menguraikan tentang penggunaan produk yang benar dan baik, sehingga
konsumen merasa aman dengan produk yang dikonsumsinya tersebut.
b. BPOM mengupayakan agar masyarakat lebih cerdas dalam menggunakan
ataupun mengonsumsi baik obat ataupun makanan untuk selalu melihat
informasi pada kemasan. Masyarakat harus menjadi konsumen cerdas, ingat
selalu CEK KLIK (cek kemasan, label, izin edar, kadaluwarsa).
c. Membentuk sistem pengawasan Obat dan Makanan untuk selanjutnya disebut
SISPOM. SISPOM terdiri dari 3 lapis, yakni sub-sistem pengawasan prosuden
adalah pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara
produksi yang baik agar setiap bentuk penyimpangan mutu dapat dideteksi
sejak awal, sub-sistem pengawasan konsumen ini untuk meningkatkan
kesadaran konsumen mengenai produk-produk yang digunakannya, dan sub-
sistem pengawasan pemerintah, pengawasan oleh pemerintah melalui
pengaturan dan standarisasi produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia.

Obat merupakan komoditi yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan,


yang ketersediaannya harus terjamin secara berkesinambungan. Maka harus
dilakukan penguatan pengawasan untuk mencegah dan mendeteksi produk ilegal
maupun produk yang dalam pembuatannya tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. dengan ini, penulis menyimpulkan Badan Pengawas Obat dan Makanan
kurang memaksimalkan tugasnya dengan baik. Hal ini didasari oleh masih
banyaknya pelanggaran produk obat-obatan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan juga bertentangan dengan undang-undang perlindungan
konsumen, maupun undang-undang lainnya. Namun dalam kasus ini Badan
Pengawas Obat dan Makanan berupaya melakukan pengawasan terhadap obat
Viostin DS dengan membentuk tim gabungan dari lembaga-lembaga terkait
lainnya, dengan tujuan untuk mengawasi pelaku usaha dan sarana farmasi yang
masih mengedarkan, untuk tidak menjual produk tersebut. Dalam hal pemberian
sanksi kepada pelaku usaha suplemen Viostin DS, Badan Pengawas Obat dan
Makanan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Namun hendaknya Badan Pengawas Obat dan Makanan lebih tegas
83

dalam memberikan sanksi, karena apabila hanya memberikan sanksi teguran keras
dan menarik produk dari peredaran serta mengehentikan seluruh proses produksi
tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku usaha. Akibatnya perbuatan nakal
pelaku usaha dapat selalu terulang.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan uraian di atas, penulis menyimpulkan
1. Pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Viostin DS yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal.
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK. 03.1.23.06.10.5166 Tentang Pencantuman
Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas
Kadaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen
Makanan dan Pangan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan.
e. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Obat
dan Pengobatan.

Pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Pharos Indonesia selaku


produsen Viostin DS sangat merugikan bagi konsumen khususnya
konsumen muslim, baik kerugian dari segi jasamani maupun rohani, dalam
hal ini konsumen merasa tidak nyaman karena Produk tersebut
mengandung bahan yang bersumber dari babi, dimana konsumen muslim
diharamkan untuk memakan daging babi ataupun turunannya. Sebagai
langkah antisipasi dan perlindungan konsumen, BPOM sebagai Lembaga
Pemerintahan Non-Kementrian yang bertugas menyelenggarakan tugas
Pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makakanan
menindaklanjuti kasus peredaran produk Viostin DS yang mengandung

83
84

DNA Babi, yaitu dengan memberikan sanksi peringatan keras kepada PT.
Pharos Indonesia dan memerintahkan untuk menarik produk tersebut dari
peredaran serta mengehentikan proses produksi, serta menghimbau kepada
seluruh masyarakat selaku konsumen apabila masih menemukan produk
tersebut dari peredaran agar melapor ke BPOM. Kemudian konsumen
yang selama ini mengalami kerugian dan keberatan terhadap konsumsinya
dapat mengajukan keberatannya ke BPSK maupun Dinas Kesehatan. hal
ini dilakukan agar konsumen yang merasa dirugkan mendapatkan
kompensasi.

2. BPOM mempunyai peran yang sangat penting dalam mengemban tugas


Pemerintahan di bidang Obat dan Makanan, yaitu melakukan pengawasan
dengan sistem tiga pilar: pertama pengawasan terhadap pelaku usaha yaitu
menjamin obat dan makanan aman, bermutu, dan berkhasiat serta
kebenaran informasi sesuai yang dijanjikan pada saat registrasi di BPOM.
Kedua, Pengawasan yang dilakukan BPOM mencakup aspek yang sangat
luas baik sebelum produk didaftarkan maupun proses penegakan hukum
apabila ada pelaku usaha melanggar ketentuan yang berlaku. Ketiga,
pengawasan terhadap masyarakat selaku konsumen agar mampu
melindungi diri dari produk yang berbahaya bagi kesehatan, BPOM
mengadakan sosialisasi, edukasi mengenai produk obat yang memenuhi
standar yang baik untuk dikonsumsi oleh konsumen. Peran BPOM dalam
mengawasi obat yang sudah bersertifikat halal bekerjasama dengan
LPPOM-MUI dan Kementrian Agama.
3. BPOM dalam mengawasi dan memeriksa peredaran obat dan makanan
yang beredar di wilayah Indonesia melakukan pengawasan secara pre-
market dan post-market. Yang dimaksud dengan pre-market adalah
pengawasan yang dilakukan sebelum produk beredar dengan cara
mengevaluasi terhadap mutu, keamanan dan khasiat sebelum memperoleh
izin edar (NIE). Untuk produk yang berasal dari bahan tertentu berasal dari
babi maupun berisnggungan dengan babi dalam proses pembuatannya,
wajib mencantumkan informasi tersebut pada label. Untuk melihat
85

konsistensi pelaku usaha terhadap bahan baku yang digunakan, BPOM juga
melakukan pengawasan secara post-market yaitu pengawasan yang
dilakukan setelah produk itu beredar di pasaran, hal ini bertujuan untuk
menjaga produk yang beredar di pasaran tetap mengikuti peraturan yang
berlaku. Pengawasan terhadap peredaran obat non-halal dalam hal ini
Viostin DS, BPOM secara rutin melakukan pengawasan dari hulu ke hilir
sampai tuntas dengan cara sampling produk tersebut untuk mengetahui
apakah obat tersebut masih memenuhi persyaratan yang telah disetujui
pada saat evaluasi pree-market. Kemudian BPOM juga mengerahkan
inspektor-inspektor yang berkompeten di lapangan untuk melakukan
pengecekan terhadap sarana farmasi untuk tidak menjual obat tersebut.
Namun dalam hal pengawasan BPOM menemui banyak kendala
diantaranya yaitu: a) anggaran terbatas, dengan anggaran yang terbatas
menjadi kendala BPOM dalam memaksimalkan tugasnya mengawasi satu
persatu obat-obatan maupun makanan di Indonesia. b) sumber daya
manusia yang kurang memadai, untuk mendukung pelaksanaan tugas
pengawasan obat dan makanan secara optimal perlu adanya sumber daya
manusia yang memadai, mengingat banyak sekali produk yang beredar di
Indonesia. c) Kurang dukungan dari lintas sektor, hal ini menjadi kendala
bagi BPOM dalam melakukan pengawasan, karena pengawasan obat dan
makanan merupakan program terkait banyak sektor maka perlu dijalin
suatu kerjasama agar peran BPOM berjalan efektif.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, penulis mengusulkan
saran yang diharapkan dapat berguna
1. Pelaku Usaha hendaknya lebih mematuhi peraturan dalam memenuhi
ketentuan dan persyaratan produksi dan distribusi obat, khususnya dalam
mengikuti standar obat yang sudah ditetapkan oleh BPOM. Apabila dalam
produksinya menggunakan bahan bersumber dari babi atau bersinggungan
dengan babi, wajib mencantumkan tulisan “MENGANDUNG BABI” ke
86

dalam label kemasan. Dengan demikian, masyarakat selaku konsumen dapat


mengetahui bahan obat yang akan dikonsumsi.
2. BPOM hendaknya lebih tegas lagi dalam memberikan sanksi kepada pelaku
usaha yang telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang lainnya.
3. Perlunya pengawasan yang lebih ketat dari Pemerintah yaitu dengan cara
melakukan evaluasi secara periodik terhadap produk yang telah mendapat
izin edar sehingga tidak ada celah bagi pelaku usaha untuk melakukan
pelanggaran.
4. BPOM harus mengawal industri farmasi dalam melakukan proses produksi
agar industri farmasi dapat memenuhi persyaratan dan standar pembuatan
obat yang baik yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Banyaknya kendala yang dihadapi oleh BPOM salah satunya adalah
anggaran yang terbatas, dengan adanya kendala tersebut hendaknya BPOM
tetap maksimal dalam menjalankan tugasnya yaitu dalam melakukan
pengawasan terhadap obat yang beredar.
Daftar Pertanyaan Wawancara dengan Ibu Tiodora M. Sirait., SH.,MH.
Kepala Sub Bagian Penyuluhan Hukum, BPOM

1. Awal mula kasus viostin ds dan mengapa bisa lulus uji coba dan bisa
dipasarkan?
pelaku usaha tidak memberikan informasi yang benar antara data pre-
market dan hasil pengawasan post-market. Data yang diserahkan kepada
BPOM dan lulus evaluasi saat pendaftaran pre market, menggunakan
bahan baku bersumber dari sapi. Semnetara, ketika dilakukan pengujian
pada post market menunjukan positif DNA babi.
2. Sudah berapa lama viostin ds beredar?
Tahun 2016, sudah lama sekali.
3. Dari penegcekan awal viostin ds beredar sampai ketahuan ada kandungan
DNA babi sudah berapa kali BPOM melakukan pengecekan?
Sudah sering, sampai tuntas di lapangan itu di cek terus, kemudian
mengambil sampel masih ada yang beredar yang mengandung babi,
sampai inspektor-inspektor yang berkompeten di lapangan dikerahkan
semua kepada toko-toko yang menjual atau sarana farmasi dan semua
industri-industri farmasi akan diingatkan dan dihimbau. Diseluruh
Indonesia di cek, karena ada Balai daerah provinsi, sekarang ada loka di
kabupaten. Ada beberapa loka yang sudah beroperasi.
4. Untuk pengecekan kandungan bahan suatu produk kewenangan siapa?
Apakah BPOM yang punya kewenangan berkala (rutin), atau perusahaan
yang berkewajiban melaporkan setiap berapa bulan atau tahun sekali ke
BPOM tentang keadaan produknya?
Industri farmasi, berkala memberikan suatu laporannya yaitu perusahaan
melaporkan, BPOM juga akan mengaudit perusahaan-perusahaan itu,
apakah dia malakukan misalnya cara produksi obat yang baik, apakah dia
turut kepada undang-undang atau peraturan yang sudah dibuat oleh
BPOM. peraturan tersebut harus diikuti oleh perusahaan. Jika dia tidak
mengikuti tentu BPOM akan memberikan sanksi. Jadi untuk pengecekan
bahan-bahan dan kandungan, jadi setiap bulan para pakar mengevaluasi
dan semua dikaji itu semua dilakukan oleh BPOM
5. Apa peran BPOM dalam menanggulangi peredaran obat yang
mengandung DNA babi?
Perannya sangat tinggi, sampai produk visotin ds tidak ada lagi di pasaran,
karena memang secara rutin dan berkala BPOM mengawasi, BPOM
membuat tim gabungan dari Kepolisian, Dinas Kesehatan, dan
Perdagangan serta semua lintas sektor yang terkait memberikan suatu
tenaga. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 untuk
melakukan membantu koordinasi beberapa kementrian lembaga untuk
membantu BPOM dalam melakukan pengawasan.
6. Bagaimana pengawasan BPOM dalam menanggulangi peredaran obat
yang mengandung DNA babi?
Pengawasan dari hulu ke hilir dan menggerakan semua petugas-petugas di
lapangan, Balai POM, dan membentuk tim gabungan untuk menyisir dan
mengawasi semua pedagang atau toko-toko yang masih menjual viostin
ds. Dengan adanya kasus tersebut mungkin dokter-dokter akan diberi
pembinaan. Kalau menurut dokter obat tersebut dapat menyembuhkan
tetapi melanggar tauran maka tidak dibolehkan. Pembinaan kepada dokter
harus bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan karena kewenangan
meraka untuk membina dokter. Kewenangan BPOM sendiri terkait dengan
produknya.
7. Apa saja faktor-faktor/kendala yang mempengaruhi pengawasan?
Ada banyak faktor, karena anggarannya terbatas, faktor SDM (sumber
daya manusia), kurang dukungan dari lintas sektor, kurang dukungan-
dukungan politik itu juga dapat mempengaruhi pengawasan.
8. Bagaimana upaya yang dilakukan BPOM untuk mengatasi kendala yang
dihadapi?
Berupaya terus, ada KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada
masyarakat, mengupayakan supaya masyarakat lebih cerdas. Ada tiga
fungsi yaitu pengawasan terhadap BPOM, pelaku usaha, dan pengawasan
yang dilakukan terhadap kosnumen itu sendiri. Kalau membeli suatu
barang harus di cek dahulu apakah sudah terdaftar di BPOM atau tidak?
9. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen muslim terhadap
obat yang mengandung DNA babi?
Untuk melindungi masyarakat, BPOM memberikan suatu perlindungan
kepada masyarakat secara positif. Dengan dilakukan public warning
(mempublikasikan kepada masyarakat) seluruh Indonesia, karena memang
masyarakat Indonesia itu mayoritas muslim. Produk tersebut ditarik dari
peredaran kemudian dimusnahkan. Itu semua merupakan perlindungan
hukum dari BPOM. Kepada pelaku usaha yaitu PT. Pharos apabila dia
benar-benar melakukan pelanggaran dia akan di kasih sanksi. Sanksi
tersebut sampai bisa menutup industri tetapi tentunya itu harus
berkoordinasi dengan lintas sektor artinya yang mengeluarkan izinnya itu
siapa? Karena BPOM sendiri melihat dari sisi produknya yaitu produk
yang dikeluarkan oleh PT. Pharos. Jika terjadi kasus-kasus seperti ini tentu
bukan BPOM sendiri yang harus memberikan perlindungan kepada
masyarakat, tentu juga ada YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia). kalau ada sengkete konsumen tentu harus dibawa kesana dan
ada juga Badan Penyelesaian Konsumen dibawah oleh Kementrian
Perdagangan. Jadi melalui pengambilan contoh yang diuji laboratorium
tentu tidak hanya satu laboratorium yang membuat kepastian tentu ada
pembanding, bener atau tidak karena ini meresahkan masyarakat. BPOM
sudah mempunyai filter-filter, jadi perusahaan yang yang telah terdaftar di
BPOM tentu dia harus mengikuti semua peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh BPOM. jika ada kejadian seperti itu mungkin bukan
kelalaian BPOM, mungkin ada pihak-pihak tertentu yang mengambil suatu
kesempatan memalsukan. Vioastin mengandung babi itu, karena memang
begitu gencarnya suatu event-event kemudian yang menjadi penyandang
dananya viostin ds. Contohnya iklan di TV. Kemudian kalau dia
melakukan pelanggaran pidana ada unsur kesengajaan tentu dia harus
berhadapan dengan pihak kepolisian, karena kalau terjadi pidana, BPOM
tidak bisa, BPOM serahkan kepada kepolisian, karena menangani orang-
orang tersangka, penyidik BPOM tidak berwenang. Seharusnya
kementrian Agama juga ikut berperan. Apabila sampai terjadi korban atau
sakit maka harus mengadu kepada Badan Perlindungan Konsumen. BPOM
tidak bisa menggantikan suatu ganti rugi. Yang dapat mengganti hanya
dari pihak perusahaan. BPKN akan membantu kepada konsumen yang
merasa dirugikan. BPOM hanya melindungi konsumen dari sisi
hukumnya, dan BPOM juga memfasilitasi ketika terjadi kasus. Perusahaan
akan dipanggil oleh BPOM.
10. Bagaimana tanggungjawab pelaku usaha atas peredaran kasus viostin ds?
Pelaku usaha yang terdaftar di BPOM, harus bertanggungjawab terhadap
produknya, ketika produk itu sudah diedarkan harus diawasi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.


Barkatullah, Abdul Halim, Hak-Hak Konsumem. Bandung: Nusa Media, 2010.
Badan POM RI, “Panduan Teknis Pencantuman Tulisan Halal Pada Label
Makanan”. Jakarta: 2009.
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Panduan Teknis Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan.
Jakarta: 2009.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Gunawan, Andang, Food Combining Kombinasi Makanan Serasi Pola Makan
Untuk Langsing dan Sehat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2006.
Laporan Kinerja BPOM Tahun 2017.
Mashudi, Konstruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk
Halal Studi Socio-legal Terhadap Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan, Dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.
Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia”. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet, IV, Jakarta:Kencana, 2008.
Nazir, Moh, Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2013.
Nugroho, Susanti Adi. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Riva’i, Andi Kardian, Komunikasi Sosial Pembangunan Tinjauan Komunikasi
Dalam Pembangunan Sosial. Pekanbaru: Hawa dan Ahwa, 2016.

87
88

Rosmawati, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Depok:


Prenadamedia, 2018.
Setianto, Anton Yudi, dkk, Panduan Lengkap Mnegurus Perijinan dan Dokumen
Pribadi keluarga, dan Bisnis. Jakarta: ForumSahabat, 2008.
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI
terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika. Jakarta:
Gaung Persada Press, 2013.
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta,
2013.
Susanto, Happy. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008.
Wardiono, Kelik, Hukum Perlindungan Konsumen Aspek Substansi Hukum,
Struktur Hukum dan Kultur Hukum Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Yogyakarta: Ombak, 2014.
Yusuf, A Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Zainal Asikin, Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Zuhairi, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen & Problematikanya. Jakarta:
GH Publishing, 2016.
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana, 2013.

Jurnal :
Abbas, Nurhayati, “Perkembangan Teknologi di Bidang Produksi Pangan dan
Obat-Obatan Serta Hak-Hak Konsumen”. Jurnal Ahkam, No. 3,
Vol. 16. 2009.
Asri, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang
Tidak Bersertifikat Halal. Jurnal Ius. Vol. IV, No. 2. Agustus 2016.
Hadi Mulyansyah, “Peranan Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam
Memberantas Tindak Pidana Peredaran Obat Keras Di Sarana Yang
Tidak Memiliki Keahlian Dan Kewenangan Berdasarkan Undang-
89

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Di Provinsi


Riau”. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober 2016.
Lutfiyah, Zuni. “ Urgensi Sertifikasi Halal Terhadap Produk Pangan, Barang dan
Jasa Serta Obat-Obatan Dengan Kaitannya Dengan Perlindungan
Konsumen”. Parental. Vol. IV, No. 2. Oktober 2016.
Muslimah, Siti. “ Label Halal Pada Produk Pangan Kemasan Dalam Prespektif
Perlindungan Konsuemn Muslim”. Yustisia. Vol. 1, No. 2.
Puspitasari, Indriani. “Peran Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam
Menanggulangi Peredaran Makanan Yang Mengandung Bahan
Berbahaya Di Kota Samarinda”. eJournal Ilmu Pemerintahan
Volume 4, Nomer 1, 2016.
Ramlan dan Nahrowi, “Sertefikasi Halal Sebagai Penerapan Etika Bisnis Islam
Dalam Upaya Perlindungan Konsumen Muslim”. Jurnal Ahkam. No.
1, Vol. XIV. 2014.
Taufikkurrahman, “Peran Bpom Dan Bpkn Dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Vaksin Palsu”.
Iqtishadia, Vol.3 No.1 Juni 2016.

Skripsi:
Fika, Nur. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Obat Tradisional
Impor (Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder).” Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2014.
Ismail, Benny “Pertanggungjawaban Hukum Produsen Obat Tradisional Atas
Kesalahan Proses “CPOTB” Terhadap Konsumen (Kajian Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)”.
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.
Miharjo Utomo, Slamet. “Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Obat
Obatan Palsu Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Dan Undang-Undang Nomor 36
90

Tahun 2009 Tentang Kesehatan.” Skripsi S1, Fakultas Hukum


Universitas Jember. 2014.
Rahayu, Henny G.“Peranan BPOM dan Tanggung Gugat Obat-Obatan Yang
Melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. 2006.
Tika Rahmawati yang menulis tentang “Kerjasama Interpol Dan Bpom Dalam
Menangani Peredaran Obat-Obatan Ilegal Di Indonesia”. (Skripsi S1,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pasundan).
Wulandari, Galuh Tri. “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Melalui
Sertifikasi Halal Pada Produk Obat-Obatan.” Skripsi S1 Fakultas
Hukum, Universitas Jember. 2016.

Peraturan Perundang-Undangan:
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Obat dan
Pengobatan.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK. 03.1.23.06.10.5166 Tentang Pencantuman Informasi Asal
Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas Kadaluwarsa Pada
Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan
Pangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Undang-Undang Nomor 69Tentang 1999 Label dan Iklan Pangan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Dokumen Elektronik dari Internet


https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan Di Akses
Pada Tanggal 22 Oktober 2018. Pukul 12:25.
http://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom, Diakses Pada Tanggal 6 Mei
2018. Pukul 20:12
91

http://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom. Diakses Pada Tanggal 6 Mei


2018. Pukul 20:12.
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses
Pada Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pharos_Indonesia. diakses Pada Tanggal 27 Januari
2019, Pukul: 10.41.
https://www.farmasiana.com/suplemen/viostin-ds/. Diakses Pada Tanggal 27
Januari 2019, Pukul: 11.21
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/14002/Temuan-Produk-Obat-Dan-
Suplemen-Mengandung-DNA-Babi--Bukti-Kerja-Nyata-BPOM-
RI.html. “Temuan Produk Obat Dan Suplemen Mengandung DNA
Babi, Bukti Kerja Nyata BPOM RI”. Diakses Pada Tanggal 28
Januari 2019, Pukul:10.59.
https://www.pom.go.id/new/view/direct/strategic, “Sasaran Strategis”, Diakses
Pada Tanggal 31 Oktober 2018. Pukul 00.05.
Https://Www.Pom.Go.Id/New/View/More/Pers/397/Siaran-Pers-----Tindak-
Lanjut-Terhadap--Temuan-Produk-Viostin-Ds-Dan-Enzyplex.Html.
Diakses Pada Tanggal 21 Oktober 2018. Pukul 19:25.
Https://Www.Pom.Go.Id/New/View/More/Klarifikasi/78/PENJELASAN-
BADAN-POM-RI-Tentang-Viralnya-Surat-Internal-Hasil-
Pengujian-Sampel-Suplemen-Makanan.Html. Diakses Pada Tanggal
26 Januari 2018, Pukul: 22.21.

Anda mungkin juga menyukai