SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ETI ASAROH
N I M: 11140460000016
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
1. Bapak Dr. Asep Sapudin Djahar, MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak AM, Hasan Ali, MA. Selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah dan Bapak H. Abdurrauf, Lc., MA. selaku Sekretaris Program Studi
vi
Hukum Ekonomi Syariah yang telah mengizinkan penulis untuk membuat
skripsi ini.
3. Bapak Mustolih, S.H.I., M.H., CLA selaku dosen pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dan dengan sabar dalam memberikan bimbingan,
petunjuk dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
4. Seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik,dan membekali ilmu-ilmu yang
sangat bermanfaat.
5. Kepada Pimpinan Perpustakaan FSH, Perpustakaan Utama, Perpustakaan
BPOM, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
6. Ibu Tiodora M, Sirait, SH. MH selaku Ketua Bidang Penyuluhan Hukum
Badan Pengawas Obat dan Makanan yang telah meluangkan waktu untuk
dapat diwawancarai dan memberikan informasi kepada penulis
7. Kedua orang tua penulis, Bapak Miftahudin (Alm) dan Ibu Suinah
terimakasih atas doa dan dukungannnya serta kasih sayang yang diberikan
kepada penulis. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Kepada
Bapak tercinta yang telah lebih dahulu pergi, tersenyumlah di surga. Hanya
doa yang dapat ku panjatkan semoga engkau bahagia di sana.
8. Aang tercinta Moch. Absori yang telah menjadi kakak paling penuh kasih
sayang dan perhatian serta bersusah payah membiayai penulis dalam
menuntut ilmu. Terimkasih juga untuk mba Evi Zahrotul Latifah yang telah
memberikan dorongan semangat hingga terselesainya skripsi ini. Dan untuk
Lulu Syauqiyatul Absor yang telah menjadi penyemangatnya tante.
9. Keluarga besar penulis yang ada di Brebes yang selalu mendoakan agar
skripsi ini cepat terselesaikan dengan baik.
10. Untuk sahabat tercinta Ismiyatul Arifiyah yang dari awal hingga akhir
penulisan skripsi ini selalu memberi masukan kepada penulis dan sudah
meluangkan waktunya untuk menemani wawancara ke BPOM.
vii
11. Untuk Sahabat-sahabat penulis, Yusri Wahyuni, Binga Agsel Siqitsa,
Camelia Vurista, Hengki Kurniawan yang selalu mendengarkan keluh kesah
dan selalu memberikan motivasi kepada penulis.
12. Untuk temen-temen seperjuangan angkatan 2014 yang selalu memberikan
semangat kepada penulis Opet, Hani, Wiwin, yayah, lisa, fika, fariha, nissa,
kiya dan yang lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan semuanya.
13. Untuk temen-temen KKN Himalaya Kingdom, Chusnul, Mega, Diana, Beby,
Muthiya, Wita, Nanda, Puput, Fabian, Hasan, Haikal, Abu, Alfred dan Dhika
yang selalu mensupport penulis.
Eti Asaroh
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
ix
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen...................16
c. Pengertian Konsumen ...................................................18
d. Hak-Hak Konsumen .....................................................19
e. Hak Konsumen Prespektif Islam ..................................21
f. Kewajiban Konsumen ..................................................24
g. Pengertian Pelaku Usaha ..............................................25
h. Hak-Hak Pelaku Usaha.................................................25
i. Kewajiban Pelaku Usaha ..............................................26
j. Larangan Bagi Pelaku Usaha........................................27
k. Tanggungjawab Pelaku Usaha .....................................28
x
4. Viostin DS .........................................................................59
A. KESIMPULAN..........................................................................83
B. SARAN.....................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Resa Eka Ayu Sartika. “BPOM: Dua Produk Suplemen Makanan Mengandung DNA
Babi”. Kompas.com, 01 Februari 2018.
1
2
2
Hendrian Wulansari. “Perlindungan Konsumen Terhadap Ketiadaan Label Halal Pada
Produk Farmasi Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal”. Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara. 2018, h. 4.
3
Nurhayati, Abbas. “Perkembangan Teknologi di Bidnag Produksi Pangan dan Obat-
obatan serta Hak-Hak Konsumen” . Jurnal Hukum. No. 3, Vol. 16, (2009). 427.
4
Zeni lutfiyah, “ Urgensi Sertifikasi Halal Terhadap Produk Pangan, Barang dan Jasa
Serta Obat-Obatan Dengan Kaitannya Dengan Perlindungan Konsumen”. Parental. Vol. IV, No. 2.
Oktober 2016. 81.
5
Pasal 8 Ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
3
6
Siti Muslimah, “ Label Halal Pada Produk Pangan Kemasan Dalam Prespektif
Perlindungan Konsuemn Muslim”. Yustisia. Vol. 1, No. 2. 86.
7
Pasal 4 huruf h Undang-Undang No.8 Tahun 1999
8
Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
9
Asri, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang Tidak
Bersertifikat Halal. Jurnal Ius. Vol. IV, No. 2. Agustus 2016. h. 1-2.
10
Ramlan dan Nahrowi. “Sertifikasi Halal Sebagai Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam
Upaya Perlindungan Bagi Konsumen Muslim”. Ahkam. Vol. XIV, No. 1, (2014). 147.
4
11
Andi, Suriangka. “perlindungan Konsumen Terhadap Penyaluran Obat Keras Daftar G
Oleh Badan POM Di Makassar”. Jurisprudentie. Vol. 4, No. 2. Desember 2017. h. 26.
12
Rendy, Novrialdy. “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Peredaran Produk Obat Kuat
Impor Yang Tidak Didaftarkan Di BPOM Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Pasundan. h. 7.
13
Nurhayati, Abbas. “Perkembangan Teknologi di Bidnag Produksi Pangan dan Obat-
obatan serta Hak-Hak Konsumen” . Jurnal Hukum. No. 3, Vol. 16, (2009).427.
14
Benny, Ismail. “Pertanggungjawaban Hukum Produsen Obat Tradisional Atas
Kesalahan Proses “CPOTB” Terhadap Konsumen (Kajian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
5
3. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas penelitian ini memilih salah satu
pokok permasalahan tersebut. Adapun pokok permasalahan ini adalah
Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan Dalam Menanggulangi
Peredaran Obat-Obatan Non-Halal (Studi Kasus Suplemen Viostin Ds).
Tentang Perlindungan Konsumen)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016. h. 8.
6
C. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh
penulis, dan tujuan yang dimaksud adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan konsumen terhadap peredaran
obat non-halal.
2. Untuk mengetahui Bagaimana peran Badan Pengawas Obat dan Makanan
terhadap peredaran obat non-Halal.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan terhadap peredaran obat non-Halal.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
1. Manfaat Akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah
wawasan dan pengetahuan dalam memahami Peran Badan Pengawas Obat
dan Makanan dalam menanggulangi peredaran obat-obatan non-Halal.
Kemudian menambah literature perpustakaan khususnya dalam bidang
ilmu hukum ekonomi syariah.
2. Manfaat Praktisi. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
yang berguna dan bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang
peran Badan Pengawas Obat dan Makanan dan perlindungan hukum bagi
konsumen terhadap peredaran obat non-halal.
7
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-
empiris. Penelitian hukum normatif empiris merupakan penelitian hukum
mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (undang-undang)
pada setiap peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat.
Penelitian hukum normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan baku utama, menelaah hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum, pandangan dan doktrin-
doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum dengan menggunakan data
sekunder, diantaranya: asas, kaidah, norma dan aturan hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya,
dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan
dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.15
Penelitian hukum empiris merupakan metode penelitian hukum
dengan meneliti secara langsung ke lapangan untuk melihat hukum dalam
artian nyata dan melihat secara langsung penerapan perudang-undangan
yang berlaku serta melakukan wawancara kepada lembaga terkait yang
dianggap dapat memberikan informasi.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Pendekatan Perundang-Undangan
Pendekatan perundang-undangan (statude approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.16 Disini penulis menggunakan
beberapa regulasi perundang-undangan sebagai pendekatannya.
15
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo
Peresada,2006, hlm. 24.
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet, IV, (Jakarta:Kencana, 2008), h. 137
8
17
Zainuddin, Ali. “ Metode Penelitian Hukum.” Jakarta: Sinar Grafika, 2009. h. 47-57.
10
18
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2013), h.196
11
H. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun skripsi
ini dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
19
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2004), h. 68
20
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015), h.181
12
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Dalam pelaksanaan penelitian ini, diperlukan adanya konsep teori untuk
menyederhanakan pandangan serta penjelasan agar tidak terjadi kerancuan dan
kekaburan pemahaman sehingga menjadi lebih jelas dan terarah. Dengan
demikian dapat memudahkan penyampaian informasi dari penulis secara
keseluruhan.
1. Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian
hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat
Halal.
5. Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah sebuah lembaga di Indonesia
yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di
Indonesia.
6. Peran
a. Peran adalah pemain yang diandaikan dalam sandiwara maka ia adalah
pemain sandiwara atau pemain utama.
13
14
1
Andi Kardian Riva’i, Komunikasi Sosial Pembangunan Tinjauan Komunikasi Dalam
Pembangunan Sosial, (Pekanbaru: Hawa dan Ahwa, 2016), h.,14.
2
Andang Gunawan, Food Combining Kombinasi Makanan Serasi Pola Makan Untuk
Langsing dan Sehat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h,. 104.
3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
15
10. Label adalah sejumlah keterangan yang terdapat di bagian luar kemasan
sebuah produk/barang, berbentuk nama atau merek produk, informasi gizi,
tanggal kadaluwarsa dan keterangan legalitas.
11. Halal segala sesuatu yang diperbolehkan/diizinkan dalam agama Islam,
apabila dikerjakan/dilaksanakan akan mendapat pahala, sedangkan apabila
ditinggalkan mendapat dosa.
B. Kajian Teori
1. Hukum Perlindungan Konsumen
a. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Konsumen Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2018 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 memberikan pengertian
tentang perlindungan konsumen yaitu segala upaya untuk menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Menurut AZ. Nasution, mengartikan bahwa perlindungan
konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam hubugan dan masalahnya
dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen. Nasution
menambahkan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang memuat sas-asas atau kaidah-kaidah bersifat
mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi konsumen.
adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah antara berbagai pihka
satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup.4
Menurut Business English Dictionary, perlindungan Konsumen
adalah Protecting consumers against unfair of illegal traders. Adapun
Black’s Law Dictionary mendefinisikan a ststute that safeguards
consumers in the use goods and services. Perlindungan konsumen
4
Ahmad Zuhairi, Hukum Perlindungan Konsumen & Problematikanya, (Jakarta: GH
Publishing , 2016), h.,17.
16
5
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h.,21-22.
6
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h.,22.
17
a) Asas Manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b) Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c) Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan kesemimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material
atau spiritual.
d) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
e) Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian Hukum.7
2) Tujuan Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Pasal 3 No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen
memiliki beberapa tujuan diantaranya:
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
7
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), h,.17-18
18
c. Pengertian Konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan
konsumen sebagai ”Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.8
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan,
para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen
sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa.9
Pengertian konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya
Principle Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang
8
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2010), h., 30.
9
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala dan Implementasinya, (Jakarta: Prenadamedia, 2015), cet.3, h. 60.
19
10
Rosmawati, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Depok: Prenadamedia,
2018), h. 2-3
11
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 20.
20
12
Kelik Wardiono, Hukum Perlindungan Konsumen Aspek Substansi Hukum, Struktur
Hukum dan Kultur Hukum Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
(Yogyakarta: Ombak, 2014), h. 53.
13
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), h. 39.
21
يتفرقا فاءن صدقا وبيّنا برك هلما يف بيعهما وإن كتما وكذبا
َّ البيِّعان باخليار مامل
14
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), h. 39.
15
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 58-62.
22
2) Khiyar Syarat
Khiyar syarat adalah salah satu pihak yang berakad membeli
sesuatu dengan ketentuan memiliki khiyar selama jangka waktu
yang jelas. Selama waktu tersebut, jika pembeli menginginkan, ia
bisa melaksanakan jual beli tersebut atau membatlkannya. Hal ini
sesuai dengan Hadist riwayat Ibnu Umar bahwa Rasulullah pernah
bersabda:
3) Khiyar Aibi
Yaitu, haram bagi seseorang menjual barang yang memiliki
cacat. (cacat produk) tanpa menjelaskan kepada pembeli
(konsumen). Uqubah bin Amir menyatakan bahwa Rasulullah
pernah bersabda:
4) Khiyar Tadlis
Yaitu, jika penjual mengelabui pembeli sehingga
menaikkan harga barang, maka hal itu haram baginya. Dalam hal
ini pembeli memiliki khiyar selama tiga hari, adanya khiyar untuk
mengembalikan barang tersebut didasarkan pada Hadist
Rasulullah yang dituturkan oleh Abu Hurairah:
ِ ِ ِ ِ
َاع َها بَ َع ُد فإنّو خبري النَّظََريْ ِن ْبع ُد ا ْن ََْيتَلبَ َها ا ْن َشاء
َ َفمن ابْت
َ صُّرْوا اإلب َل والغَنَ َم
َ ُال ت
اعا ِمن التّ َم ِر
ً وص
َ رد َىا
َّ َْأم َس َك َها وإن َشاء
6) Khiyar Ru’yah
Khiyar jenis ini terjadi bila pelaku usaha menjual barang
dagangannya, sementara barang tersebut tidak ada dalam majelis
jual beli. Jika pembeli kemudian melihat barang tersebut dan
tidak berhasrat terhadapnya, atau pembeli melihat bahwa barang
24
ِ
َُمن ا ْش ََتى شئاً مل يََرهُ فهو باخليا ِر إذا َرآهُ إ ْن َشاءَ أخ َذهُ وإ ْن َساءَ تَ َرَكو
“barang siapa yang membeli sesuatu dan ia belum
melihatnya maka ia memiliki khiyar jika melihatnya, jika
ingin ia boleh mengambilnya, jika ingin ia pun boleh
meninggalkannya”
7) Khiyar Ta’yin
Khiyar jenis ini memberikan hak kepada pembelinya untuk
memilih barang yang dia inginkan dari sejumlah atau kumpulan
barang yang dijual kendatipun barang tersebut berbeda harganya,
sehingga konsumen dapat menentukan barang yang dia
kehendaki. Misalnya, seseorang membeli empat ekor kambing
dari sekumpulan kambing, maka pembeli diberi hak khiyar ta’yin
sehingga ia dapat menentukan empat ekor kambing yang ia
inginkan diantara sekumpulan kambing itu.
16
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), h. 8-9.
26
17
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 42-
43.
29
2. Sertifikasi Halal
a. Pengertian Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal terdiri dari atas dua kata yaitu sertifikasi dan
halal. Kata “sertifikasi” berasal dari bahasa Inggris “certificate” yang
mempunyai tiga arti yaitu akte, surat keterangan, diploma atau ijazah.
Kata “certificate” kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “sertifikat” yang merupakan kata benda. Dalam “Kamus Besar
Bahasa Indonesia” dijelaskan bahwa sertifikat itu berarti tanda atau surat
keterangan atau pernyataan tertulis atau tercetak yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti. Sementara
itu, sertifikasi berarti kegiatan penyertifikatan atau proses menjadikan
sertifikat.18
Sementra itu, kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang
berkaitan dengan hukum halal dan haram. Menurut Ibn Mnzhur halal itu
berasal dari kata “al-hillu” yang berarti tidak terikat (al-thalq). Oleh
karena itu, al-muhillu berarti orang kafir yang boleh diperangi karena
tidak terikat perjanjian damai dengan kita. Lafazh halal merupakan lawan
dari kata “haram”, sedangkan lafazh “haram” itu pada asalnya berarti
mencegah atau merintangi (al-man’u) itu menjadi tercegah atau terlarang.
Lafazh al-muhrimu merupakan lawan dari lafazh al-muhillu yang berarti
18
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 12.
30
orang kafir yang tidak boleh diperangi karena terikat perjanjian damai
dengan kita.19
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sertifikasi halal itu merupakan proses kegiatan pembuatan surat
keterangan halal (Fatwa Halal) atas suatu produk pangan yang dibuat
secara tertulis yang dikeluarkan oleh MUI sebagai pihak yang berwenang
mengeluarkan fatwa di Indonesia. Maka, sebagai hasilnya adalah
Sertifikat Halal yang dapat dijadikan bukti bagi perusahaan untuk
mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produknya dari
instansi pemerintah yang berwenang dalam hal ini Badan Pengawasan
Obat dan Makanan (Badan BPOM).20
Maka, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan
yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan/atau di kemasan pangan. Label
dimaksud tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau
rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk
dilihat dan dibaca.21
19
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 12.
20
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 13-14.
21
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 113.
31
c. Produk Halal
Maksud dari produk halal adalah produk yang memenuhi syarat
kehalalan sesuai dengan syariat Islam yaitu:
1) Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2) Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-
bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan
lain sebagainya.
22
Mashudi, Konstruksi Hukum & Respons Masyarakat Terhadap Sertifikasi Produk
Halal Studi Socio-legal Terhadap Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 1.
32
3) Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tata cara syariat Islam.
4) Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi.
Apabila digunakan untuk babi atau barang yang haram lainnya
terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur
menurut syariat Islam.
5) Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.23
Maka secara umum makanan dan minuman yang haram terdiri dari
binatang, tumbuh-tumbuhan sebagai berikut:24
23
Galuh Tri Wulandari, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Muslim Melalui
Sertifikasi Halal Pada Produk Obat-Obatan”, (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Jember,
2016), h.18.
24
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 111-112.
33
25
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jamninan Produk Halal.
34
26
Anton Yudi Setianto, dkk, Panduan Lengkap Mnegurus Perijinan dan Dokumen
Pribadi keluarga, dan Bisnis, (Jakarta: ForumSahabat, 2008), h. 162-163.
35
27
Zulham, “Hukum Perlindungan Konsumen”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 123-124.
28
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 30.
36
C. Review Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang membahas tentang peranan BPOM dalam
menanggulangi peredaran obat-obatan diantaranya:
1. Henny G. Rahayu, yang menulis tentang “Peranan BPOM dan Tanggung
Gugat Obat-Obatan Yang Melanggar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen”. dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kurangnya
pengawasan yang maksimal yang dilakukan BPOM sebagai badan yang
mengawasi peredaran obat-obatan, hal ini terbukti masih adanya obat
tradisional seperti super Flu Tulang 45 yang melanggar ketentuan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Pasal 8 (1) huruf g yaitu, produk tersebut
tanpa mencantumkan komposisi, aturan pakai, akibat sampingan dan tanpa
mencantumkan tanggal kadaluarsa Pasal 8 (1) huruf i.30 Dalam skripsi
tersebut membahas mengenai tanggung gugat obat-obatan ditinjau dari
aspek Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jelas beda dengan apa
yang diteliti oleh penulis yaitu penulis melakukan penelitian terhadap peran
BPOM dalam menanggulangi peredaran obat non-halal.
2. Handi Mulyansyah, yang menulis tentang “Peranan Balai Besar Pengawas
Obat Dan Makanan Dalam Memberantas Tindak Pidana Peredaran Obat
Keras Di Sarana Yang Tidak Memiliki Keahlian Dan Kewenangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
30
Henny G. Rahayu, “Peranan BPOM dan Tanggung Gugat Obat-Obatan Yang
Melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas
Airlangga Surabaya. 2006).
38
31
Hadi Mulyansyah, “Peranan Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam
Memberantas Tindak Pidana Peredaran Obat Keras Di Sarana Yang Tidak Memiliki Keahlian Dan
Kewenangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Di Provinsi
Riau”. JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober 2016.
32
Taufikkurrahman, yang menulis tentang “Peran Bpom Dan Bpkn Dalam Memberikan
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Vaksin Palsu”. Iqtishadia, Vol.3 No.1
Juni 2016.
40
33
Tika Rahmawati yang menulis tentang “Kerjasama Interpol Dan Bpom Dalam
Menangani Peredaran Obat-Obatan Ilegal Di Indonesia”. (Skripsi S1, Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Pasundan).
BAB III
41
42
2. Sejarah1
Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali
dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu di
apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek.
Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan
dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang
diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku Verzameling
Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli
Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis dan
jurnalis, dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan
dengan Surat Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang
kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 15 (Stb No. 50) tanggal 28
Januari 1923 dan No. 45 (Stb. No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama
Leergang voor de opleleiding van apotheker-bedienden onder den naam
van apothekers-assisten school".
Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan ijin kerja diatur
dalam Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/ F tanggal 16 Maret 1933
yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8
September 1936 dan No. 11161/ F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan
tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian
apoteker harus berijasah MULO bagian B, memiliki Surat Keterangan
bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian secara terus menerus
selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang
memimpin sebuah apotek, atau telah mengikuti pendidikan asisten
apoteker di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi
Farmasi di Indonesia dan diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan
1
https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan Di Akses Pada
Tanggal 22 Oktober 2018. Pukul 12:25.
43
nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944
Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku.
dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang
dapat bertahan hanyalah industri yang mendapat jatah atau mereka yang
mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat
menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import. Sementara
itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi
kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi standar.
Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam
sejarah kefarmasian Indonesia, yakni berakhirnya apotek-dokter dan
apotek darurat. Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148/
Kab/ 176 tanggal 8 Juni 1962, antara lain:
3. Latar Belakang2
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan yang cepat dan
signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika
dan alat kesehatan. Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan
entry barrier yang makin tipis dalam perdagangan internasional, maka
produk-produk tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat menyebar
ke berbagai negara dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu
menjangkau seluruh strata masyarakat.
Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk terus meningkat,
seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola
konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum
memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat,
benar dan aman. Di lain pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong
konsumen untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan seringkali tidak
rasional.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan
Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi,
mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi
keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam
maupun di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk BPOM yang memiliki
jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum
dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.
2
http://www.pom.go.id/new/view/direct/pdsispom, Diakses Pada Tanggal 6 Mei 2018.
Pukul 20:12
47
2. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat
tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
b. Fungsi
Berdasarkan pasal 3 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017
tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai
fungsi:
1) Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM
menyelenggarakan fungsi :
a. Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
b. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
c. Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama
Beredar.
d. Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan
Selama Beredar.
e. Koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan
instansi pemerintah pusat dan daerah.
f. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan
Obat dan Makanan.
g. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan.
h. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan BPOM.
i. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab BPOM.
50
c. Kewenangan
Berdasarkan pasal 4 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017
tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dalam melaksanakan
tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM mempunyai
kewenangan :
1. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu,
serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat
dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
6. Struktur Organisasi
Susunan Organisasi diatur dalam Pasal 5 Peraturan Presiden No. 80
Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, dalam
melaksanakan tugasnya BPOM harus memiliki struktur organisasi yang
solid. Struktur organisasi tersebut terdiri dari:
1) Kepala BPOM
2) Sekretariat Pertama Layanan Pengaduan Konsumen.
3) Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor,
Zat Adiktif
52
4
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
53
5
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
6
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
54
7
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
8
https://www.pom.go.id/new/view/direct/solid, Organisasi Yang Solid, Diakses Pada
Tanggal 06 November 2018, Pukul 23.00.
55
INSPEKTORAT SEKRETARIS
UTAMA UTAMA
Pusat Pusat
Pusat Pengemban Pengemba Pusat
Data dan gan Sumber ngan Riset dan
Informasi Daya Pengujian Kajian
Obat & Manusia Obat dan Obat &
Makanan Pengawasan Makanan Makanan
Obat & Nasional
Makanan
6) Viostin – X
7) Viostin DS (Sekarang sudah ditarik karena diduga mengandung
DNA Babi)
8) Viostin COM
9) Thermolyte Plus
10) Thermolyte Diet Sugar
11) Maximus Dietary Herbal
12) Albothyl Concentrate (Sekarang sudah ditarik karena mengandung
Policresulen)
13) Medisio Concentrate (Sekarang sudah ditarik karena mengandung
Policresulen)
14) Fruit 18/Vegeblend 21 Jr
15) Fruit 18/Vegeblend For Adults
16) Nourish Skin
17) Nourish Skin Ultimate
18) Nourish – E
19) Nourish Beauty Care
20) Omepros
21) Fishqua
22) Aclonac Emulsi Gel
23) Joint Herbal
24) Chondromax Krim
25) BeLuna
26) i-Face
27) Glunest
28) Lactokid
29) Derma Cote
30) UC-Flex
31) HycoCare
32) Keloplast
33) Colidan
59
4. Viostin DS13
a. Khasiat
Viostin DS adalah suplemen makanan yang digunakan untuk
meringankan osteoarthritis, rematik, dan gangguan pada persendian dan
tulang rawan. Suplemen ini mengandung glucosamine, chondroitin
sulfate, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Viostin DS digunakan
sebagai obat alternatif untuk meringankan osteoarthritis, rematik, dan
gangguan pada persendian seperti nyeri sendi, bengkak, dan kekakuan
yang disebabkan oleh arthritis.
b. Efek Samping
Berikut adalah beberapa efek samping Viostin DS :
1. Efek samping suplemen ini biasanya ringan meliputi gatal-gatal dan
ketidaknyamanan lambung (misalnya, diare, mulas, mual, dan
muntah).
2. Efek samping lainnya berupa hati seperti terbakar, dispepsia,
konstipasi, sakit perut, jantung berdebar, mengantuk, dan sakit kepala.
3. Ada laporan bahwa pasien yang memiliki penyakit hati kronis
kondisinya memburuk setelah menggunakan suplemen yang
mengandung glucosamine. Namun efek samping ini sangat jarang
terjadi.
4. Sebuah studi awal menemukan bahwa pada penggunaan dosis yang
besar (di luar dosis yang dianjurkan), obat yang mengandung
glucosamine dapat merusak sel-sel pankreas. Hal ini mungkin
meningkatkan risiko penyakit diabetes melitus.
13
https://www.farmasiana.com/suplemen/viostin-ds/. Diakses Pada Tanggal 27 Januari
2019, Pukul: 11.21.
BAB IV
60
61
1
Wawancara Pribadi dengan Ibu Tiodora M, Sirait, SH, MH. Kepala Sub Bagian
Penyuluhan Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta: 16 Oktober
2018
62
2
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/14002/Temuan-Produk-Obat-Dan-
Suplemen-Mengandung-DNA-Babi--Bukti-Kerja-Nyata-BPOM-RI.html. “Temuan Produk Obat
Dan Suplemen Mengandung DNA Babi, Bukti Kerja Nyata BPOM RI”. Diakses Pada Tanggal 28
Januari 2019, Pukul:10.59.
63
3
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: PT.
RajaGrafindo, 2017), h.,290.
66
4
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia, Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika. (Jakarta: GP Press, 2013).,h.3.
5
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Obat dan Pengobatan.
69
6
Wawancara dengan Ibu Tiodora M, Sirait, SH, MH. Kepala Sub Bagian Penyuluhan
Hukum, Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta: 16 Oktober 2018.
71
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Untuk memberikan rasa aman bagi konsumen, khususnya
konsumen muslim. Bentuk tanggungjawab yang dilakukan oleh PT. Pharos
Indonesia selaku produsen Viostin DS yaitu menarik semua produk tersebut dari
peredaran serta menghentikan seluruh produksinya.
yang tidak memenuhi persyaratan keamanan mutu, dan gizi serta ketenangan
bathin khususnya bagi yang beragama Islam diperlukan pengawasan yang
komprhensif baik sebelum beredar (pre-market evaluation) dan setelah beredar
(post-market vigillance).7 Sistem pengawasan dilakukan mencakup
pengawasan pre-market dan post-market sistem itu terdiri:8
1. Standardisasi yang merupakan fungsi penyusunan standar, regulasi, dan
kebijakan terkait dengan pengawasan Obat dan Makanan. Standardisasi
dilakukan terpusat, dimaksudkan untuk menghindari perbedaan standar
yang mungkin terjadi akibat setiap provinsi membuat standar tersendiri.
2. Penilaian (pre-market evaluation) yang merupakan evaluasi produk
sebelum memperoleh nomor izin edar dan akhirnya dapat diproduksi dan
diedarkan kepada konsumen. Penilaian dilakukan terpusat, dimaksudkan
agar produk yang memiliki izin edar berlaku secara nasional.
3. Pengawasan setelah beredar (post-market control) untuk melihat
konsistensi mutu produk, keamanan dan informasi produk yang dilakukan
dengan melakukan sampling produk Obat dan Makanan yang beredar, serta
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi Obat dan Makanan,
pemantauan farmakovigilan dan pengawasan label/penandaan dan iklan.
Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan terpadu, konsisten,
dan terstandar. Pengawasan post-market dilakukan secara nasional dan
terpadu, konsisten, dan terstandar. Pengawasan ini melibatkan Balai
Besar/Balai POM di 33 provinsi dan wilayah yang sulit
terjangkau/perbatasan dilakukan oleh Pos Pengawasan Obat dan Makanan
(Pos POM).
4. Pengujian laboratorium. Produk yang disampling berdasarkan risiko
kemudian diuji melalui laboratorium guna mengetahui apakah Obat dan
Makanan tersebut telah memenuhi syarat keamanan, khasiat/manfaat dan
7
Badan POM RI, Panduan Teknis Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan,
(Jakarta: 2009), h. 15.
8
https://www.pom.go.id/new/view/direct/strategic, “Sasaran Strategis”, Diakses Pada
Tanggal 31 Oktober 2018. Pukul 00.05.
73
mutu. Hasil uji laboratorium ini merupakan dasar ilmiah yang digunakan
sebagai untuk menetapkan produk tidak memenuhi syarat yang digunakan
untuk ditarik dari peredaran.
5. Penegakan hukum di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Penegakan
hukum didasarkan pada bukti hasil pengujian, pemeriksaan, maupun
investigasi awal. Proses penegakan hukum sampai dengan projusticia dapat
berakhir dengan pemberian sanksi administratif seperti dilarang untuk
diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar, disita untuk
dimusnahkan. Jika pelanggaran masuk pada ranah pidana, maka terhadap
pelanggaran Obat dan Makanan dapat diproses secara hukum pidana.
9
Laporan Kinerja BPOM Tahun 2017
74
10
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia Studi atas Fatwa Halal MUI terhadap
Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2013), h. 31.
75
11
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Panduan Teknis
Pencantuman Tulisan Halal Pada Label Makanan”. (Jakarta: 2009). h., 12.
76
Pemohon
Tim Auditor
Evaluasi Evaluasi
Penilaian dari
Evaluasi
CPOB/CPMB
Komisi
Fatwa
MUI
Sertifikasi MS Memenuhi
CPOB/CPMB Ketentuan
Oleh banyaknya komoditas yang harus diawasi oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan, maka BPOM dalam mengawasi dan memeriksa peredaran obat
dan makanan yang bererdar di wilayah Indonesia melakukan 2 cara yaitu:12
12
Https://Www.Pom.Go.Id/New/View/More/Pers/397/Siaran-Pers-----Tindak-Lanjut-
Terhadap--Temuan-Produk-Viostin-Ds-Dan-Enzyplex.Html. Diakses Pada Tanggal 21 Oktober
2018. Pukul 19:25.
78
saat evaluasi pre-market. Hasil uji ini menjadi dasar untuk melakukan
tindak lanjut terhadap produk yang disampling.
Sistem regulatori pengawasan obat memiliki beberapa tahapan,
diantaranya13:
1. Tahap Pengembangan : Melindungi hak dan keamanan dari subjek uji
klinik, Evaluasi protokol UK dan audit pelaksanaan UK sesuai GCP
(Ground Control Point), Cara Uji Klinik Yang Baik (CUKB).
2. Tahap Persetujuan Izin Edar: Evaluasi data uji preklinik dan klinik utk
menunjang efikasi/khasiat dan keamanan, evaluasi data mutu,
konsistensi standar mutu untuk 3 batch/lot berurutan (vaksin).
3. Tahap Produksi : Sertifikasi GMP (Good Manufacturing Practices),
Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) pra-produksi, Inspeksi /
audit kepatuhan terhadap GMP (CPOB).
4. Tahap Distribusi : Inspeksi sesuai GDP (Gross Domestic Product),
CDOB (Cara Distribusi Obat Yang Baik), Penyelidikan / Investigasi
keabsahan.
5. Administrasi Penggunaan : Monitoring mutu, MESO (Mentoring Efek
Samping Obat)/KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi).
1. Berdasarkan data base Badan POM, produk obat atau suplemen makanan
merek Viostin DS terdaftar di Badan POM atas nama PT. Pharos
Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771.
2. BPOM RI menyampaikan bahwa dalam kasus temuan adanya DNA babi
dalam Viostin DS, mengindikasikan adanya ketidakkonsistenan informasi
13
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Badan Pengawas Obat dan Makanan “
Peran Badan POM dalam Pengawasan Pre Market Obat”. Praktek Kerja Profesi Apoteker 4
September 2017.
14
Https://Www.Pom.Go.Id/New/View/More/Klarifikasi/78/PENJELASAN-BADAN-
POM-RI-Tentang-Viralnya-Surat-Internal-Hasil-Pengujian-Sampel-Suplemen-Makanan.Html.
Diakses Pada Tanggal 26 Januari 2018, Pukul: 22.21.
79
data pree market dengan hasil pengawasan post market. Hasil pengujian
pada saat post market menunjukan positif DNA babi, sedangkan data yang
diserahkan dan lulus evaluasi BPOM RI pada saat pendaftaran produk
(pree market), menggunakan bahan baku yang bersumber dari sapi.
3. Badan POM menerbitkan surat edar setelah melakukan evaluasi terhadap
aspek khasiat, mutu dan gizi. Apabila bahan baku yang digunakan berasal
atau mengandung babi dan turunannya dan atau proses produksinya
bersinggungan dengan produk mengandung babi, maka:
a. Produk harus mencantumkan gambar babi dengan tulisan berwarna
merah “mengandung babi” pada label.
b. Penempatan termasuk display di sarana retail, produk yang
mengandung babi harus diletakkan terpisah dari produk non-babi.
4. Berdasarkan hasil pengawasan terhadap produk yang beredar di pasaran
(post market vigilance) melalui pengambilan contoh dan pengujian
terhadap parameter DNA babi, ditemukan bahwa tidak semua produk
viostin ds mengandung DNA babi. Produk Viostin DS yang terindikasi
adanya DNA babi pada nomor bets C6K994H.
5. Menindaklanjuti kasus peredaran produk Viostin DS yang mengandung
DNA babi, BPOM RI telah memberikan sanksi peringatan keras kepada
PT. Pharos Indonesia dan memerintahkan untuk menarik produk tersebut
dari peredaran serta menghentikan proses produksi.
6. Dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia, Badan POM akan
memberikan sanksi yang berat terhadap industri farmasi yang terbukti
melakukan pelanggaran.
7. Sebagai langkah antisipasi dan perlindungan konsumen, Badan POM telah
menginstruksikan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk terus
melakukan pengawasan terhadap kemungkinan beredarnya produk yang
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
8. BPOM RI mengimbau kepada masyarakat apabila masih menemukan
produk Viostin DS dari peredaran agar melapor ke BPOM RI.
80
a. Anggaran terbatas
Untuk melaksanakan tugas mengawasi peredaran makanan ataupun obat-
obatan, BPOM dituntut untuk terjun langsung ke semua sektor usaha yang
telah lulus uji edar, tentu hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit
mengingat sektor produksi pangan maupun obat-obatan di Indonesia begitu
banyak. Dengan anggaran yang terbatas menjadi kendala BPOM dalam
memaksimalkan tugasnya mengawasi satu persatu sektor usaha di Indonesia.
15
Wawancara Dengan Ibu Tiodora M. Sirait, SH., MH. Kepala Sub Bagian Penyuluhan
Hukum. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: 16 Oktober 2018.
16
Inspektor adalah salah satu bagian tugas dalam tim pengawasan yang dibentuk oleh
konsultan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam kerangka acuan tugas.
81
Dari situ munculah celah pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab untuk
melakukan pelanggran yang merugikan konsumen.
b. SDM (Sumber Daya Manusia)
Untuk menjalankan tugas BPOM sesuai peran dan fungsinya, diperlukan
sumber daya manusia yang memiliki kompetensi sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi pengawasan obat dan makanan. Keterbatasan tenaga kerja/karyawan
menjadikan kinerja BPOM tidak maksimal. Terbatasnya tenaga kerja ini, tentu
akan mempengaruhi pelaksanaan pengawasan BPOM dalam mengawasi obat-
obatan ataupun makanan sedangkan ada banyak produk baik obat maupun
pangan yang beredar di wilayah Indonesia. Untuk mendukung pelaksanaan
tugas pengawasan obat dan makanan secara optimal perlu adanya sumber daya
manusia yang memadai.
c. Kurang dukungan dari lintas sektor
Kurangnya dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan di daerah
menjadikan tindak lanjut hasil pengawasan obat dan makanan belum optimal.
Pengawasan obat dan makanan merupakan suatu program yang terkait dengan
banyak sektor, baik pemerintah maupun non-pemerintah, untuk itu perlu dijalin
suatu kerjasama semua sektor yang terkait agar peran pengawasan BPOM
berjalan efektif.
17
Wawancara Pribadi Dengan Tiodora M, Sirait, SH., MH, Kepala Sub Penyuluhan
Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan RI, Jakarta 16 Oktober 2018.
82
ataupun makanan. Tujuan dari KIE ini adalah agar BPOM dapat menjelaskan
dan menguraikan tentang penggunaan produk yang benar dan baik, sehingga
konsumen merasa aman dengan produk yang dikonsumsinya tersebut.
b. BPOM mengupayakan agar masyarakat lebih cerdas dalam menggunakan
ataupun mengonsumsi baik obat ataupun makanan untuk selalu melihat
informasi pada kemasan. Masyarakat harus menjadi konsumen cerdas, ingat
selalu CEK KLIK (cek kemasan, label, izin edar, kadaluwarsa).
c. Membentuk sistem pengawasan Obat dan Makanan untuk selanjutnya disebut
SISPOM. SISPOM terdiri dari 3 lapis, yakni sub-sistem pengawasan prosuden
adalah pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara
produksi yang baik agar setiap bentuk penyimpangan mutu dapat dideteksi
sejak awal, sub-sistem pengawasan konsumen ini untuk meningkatkan
kesadaran konsumen mengenai produk-produk yang digunakannya, dan sub-
sistem pengawasan pemerintah, pengawasan oleh pemerintah melalui
pengaturan dan standarisasi produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia.
dalam memberikan sanksi, karena apabila hanya memberikan sanksi teguran keras
dan menarik produk dari peredaran serta mengehentikan seluruh proses produksi
tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku usaha. Akibatnya perbuatan nakal
pelaku usaha dapat selalu terulang.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan uraian di atas, penulis menyimpulkan
1. Pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Viostin DS yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
b. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal.
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK. 03.1.23.06.10.5166 Tentang Pencantuman
Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas
Kadaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen
Makanan dan Pangan.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan.
e. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 Tentang Obat
dan Pengobatan.
83
84
DNA Babi, yaitu dengan memberikan sanksi peringatan keras kepada PT.
Pharos Indonesia dan memerintahkan untuk menarik produk tersebut dari
peredaran serta mengehentikan proses produksi, serta menghimbau kepada
seluruh masyarakat selaku konsumen apabila masih menemukan produk
tersebut dari peredaran agar melapor ke BPOM. Kemudian konsumen
yang selama ini mengalami kerugian dan keberatan terhadap konsumsinya
dapat mengajukan keberatannya ke BPSK maupun Dinas Kesehatan. hal
ini dilakukan agar konsumen yang merasa dirugkan mendapatkan
kompensasi.
konsistensi pelaku usaha terhadap bahan baku yang digunakan, BPOM juga
melakukan pengawasan secara post-market yaitu pengawasan yang
dilakukan setelah produk itu beredar di pasaran, hal ini bertujuan untuk
menjaga produk yang beredar di pasaran tetap mengikuti peraturan yang
berlaku. Pengawasan terhadap peredaran obat non-halal dalam hal ini
Viostin DS, BPOM secara rutin melakukan pengawasan dari hulu ke hilir
sampai tuntas dengan cara sampling produk tersebut untuk mengetahui
apakah obat tersebut masih memenuhi persyaratan yang telah disetujui
pada saat evaluasi pree-market. Kemudian BPOM juga mengerahkan
inspektor-inspektor yang berkompeten di lapangan untuk melakukan
pengecekan terhadap sarana farmasi untuk tidak menjual obat tersebut.
Namun dalam hal pengawasan BPOM menemui banyak kendala
diantaranya yaitu: a) anggaran terbatas, dengan anggaran yang terbatas
menjadi kendala BPOM dalam memaksimalkan tugasnya mengawasi satu
persatu obat-obatan maupun makanan di Indonesia. b) sumber daya
manusia yang kurang memadai, untuk mendukung pelaksanaan tugas
pengawasan obat dan makanan secara optimal perlu adanya sumber daya
manusia yang memadai, mengingat banyak sekali produk yang beredar di
Indonesia. c) Kurang dukungan dari lintas sektor, hal ini menjadi kendala
bagi BPOM dalam melakukan pengawasan, karena pengawasan obat dan
makanan merupakan program terkait banyak sektor maka perlu dijalin
suatu kerjasama agar peran BPOM berjalan efektif.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, penulis mengusulkan
saran yang diharapkan dapat berguna
1. Pelaku Usaha hendaknya lebih mematuhi peraturan dalam memenuhi
ketentuan dan persyaratan produksi dan distribusi obat, khususnya dalam
mengikuti standar obat yang sudah ditetapkan oleh BPOM. Apabila dalam
produksinya menggunakan bahan bersumber dari babi atau bersinggungan
dengan babi, wajib mencantumkan tulisan “MENGANDUNG BABI” ke
86
1. Awal mula kasus viostin ds dan mengapa bisa lulus uji coba dan bisa
dipasarkan?
pelaku usaha tidak memberikan informasi yang benar antara data pre-
market dan hasil pengawasan post-market. Data yang diserahkan kepada
BPOM dan lulus evaluasi saat pendaftaran pre market, menggunakan
bahan baku bersumber dari sapi. Semnetara, ketika dilakukan pengujian
pada post market menunjukan positif DNA babi.
2. Sudah berapa lama viostin ds beredar?
Tahun 2016, sudah lama sekali.
3. Dari penegcekan awal viostin ds beredar sampai ketahuan ada kandungan
DNA babi sudah berapa kali BPOM melakukan pengecekan?
Sudah sering, sampai tuntas di lapangan itu di cek terus, kemudian
mengambil sampel masih ada yang beredar yang mengandung babi,
sampai inspektor-inspektor yang berkompeten di lapangan dikerahkan
semua kepada toko-toko yang menjual atau sarana farmasi dan semua
industri-industri farmasi akan diingatkan dan dihimbau. Diseluruh
Indonesia di cek, karena ada Balai daerah provinsi, sekarang ada loka di
kabupaten. Ada beberapa loka yang sudah beroperasi.
4. Untuk pengecekan kandungan bahan suatu produk kewenangan siapa?
Apakah BPOM yang punya kewenangan berkala (rutin), atau perusahaan
yang berkewajiban melaporkan setiap berapa bulan atau tahun sekali ke
BPOM tentang keadaan produknya?
Industri farmasi, berkala memberikan suatu laporannya yaitu perusahaan
melaporkan, BPOM juga akan mengaudit perusahaan-perusahaan itu,
apakah dia malakukan misalnya cara produksi obat yang baik, apakah dia
turut kepada undang-undang atau peraturan yang sudah dibuat oleh
BPOM. peraturan tersebut harus diikuti oleh perusahaan. Jika dia tidak
mengikuti tentu BPOM akan memberikan sanksi. Jadi untuk pengecekan
bahan-bahan dan kandungan, jadi setiap bulan para pakar mengevaluasi
dan semua dikaji itu semua dilakukan oleh BPOM
5. Apa peran BPOM dalam menanggulangi peredaran obat yang
mengandung DNA babi?
Perannya sangat tinggi, sampai produk visotin ds tidak ada lagi di pasaran,
karena memang secara rutin dan berkala BPOM mengawasi, BPOM
membuat tim gabungan dari Kepolisian, Dinas Kesehatan, dan
Perdagangan serta semua lintas sektor yang terkait memberikan suatu
tenaga. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 untuk
melakukan membantu koordinasi beberapa kementrian lembaga untuk
membantu BPOM dalam melakukan pengawasan.
6. Bagaimana pengawasan BPOM dalam menanggulangi peredaran obat
yang mengandung DNA babi?
Pengawasan dari hulu ke hilir dan menggerakan semua petugas-petugas di
lapangan, Balai POM, dan membentuk tim gabungan untuk menyisir dan
mengawasi semua pedagang atau toko-toko yang masih menjual viostin
ds. Dengan adanya kasus tersebut mungkin dokter-dokter akan diberi
pembinaan. Kalau menurut dokter obat tersebut dapat menyembuhkan
tetapi melanggar tauran maka tidak dibolehkan. Pembinaan kepada dokter
harus bekerjasama dengan Kementrian Kesehatan karena kewenangan
meraka untuk membina dokter. Kewenangan BPOM sendiri terkait dengan
produknya.
7. Apa saja faktor-faktor/kendala yang mempengaruhi pengawasan?
Ada banyak faktor, karena anggarannya terbatas, faktor SDM (sumber
daya manusia), kurang dukungan dari lintas sektor, kurang dukungan-
dukungan politik itu juga dapat mempengaruhi pengawasan.
8. Bagaimana upaya yang dilakukan BPOM untuk mengatasi kendala yang
dihadapi?
Berupaya terus, ada KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) kepada
masyarakat, mengupayakan supaya masyarakat lebih cerdas. Ada tiga
fungsi yaitu pengawasan terhadap BPOM, pelaku usaha, dan pengawasan
yang dilakukan terhadap kosnumen itu sendiri. Kalau membeli suatu
barang harus di cek dahulu apakah sudah terdaftar di BPOM atau tidak?
9. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen muslim terhadap
obat yang mengandung DNA babi?
Untuk melindungi masyarakat, BPOM memberikan suatu perlindungan
kepada masyarakat secara positif. Dengan dilakukan public warning
(mempublikasikan kepada masyarakat) seluruh Indonesia, karena memang
masyarakat Indonesia itu mayoritas muslim. Produk tersebut ditarik dari
peredaran kemudian dimusnahkan. Itu semua merupakan perlindungan
hukum dari BPOM. Kepada pelaku usaha yaitu PT. Pharos apabila dia
benar-benar melakukan pelanggaran dia akan di kasih sanksi. Sanksi
tersebut sampai bisa menutup industri tetapi tentunya itu harus
berkoordinasi dengan lintas sektor artinya yang mengeluarkan izinnya itu
siapa? Karena BPOM sendiri melihat dari sisi produknya yaitu produk
yang dikeluarkan oleh PT. Pharos. Jika terjadi kasus-kasus seperti ini tentu
bukan BPOM sendiri yang harus memberikan perlindungan kepada
masyarakat, tentu juga ada YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia). kalau ada sengkete konsumen tentu harus dibawa kesana dan
ada juga Badan Penyelesaian Konsumen dibawah oleh Kementrian
Perdagangan. Jadi melalui pengambilan contoh yang diuji laboratorium
tentu tidak hanya satu laboratorium yang membuat kepastian tentu ada
pembanding, bener atau tidak karena ini meresahkan masyarakat. BPOM
sudah mempunyai filter-filter, jadi perusahaan yang yang telah terdaftar di
BPOM tentu dia harus mengikuti semua peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh BPOM. jika ada kejadian seperti itu mungkin bukan
kelalaian BPOM, mungkin ada pihak-pihak tertentu yang mengambil suatu
kesempatan memalsukan. Vioastin mengandung babi itu, karena memang
begitu gencarnya suatu event-event kemudian yang menjadi penyandang
dananya viostin ds. Contohnya iklan di TV. Kemudian kalau dia
melakukan pelanggaran pidana ada unsur kesengajaan tentu dia harus
berhadapan dengan pihak kepolisian, karena kalau terjadi pidana, BPOM
tidak bisa, BPOM serahkan kepada kepolisian, karena menangani orang-
orang tersangka, penyidik BPOM tidak berwenang. Seharusnya
kementrian Agama juga ikut berperan. Apabila sampai terjadi korban atau
sakit maka harus mengadu kepada Badan Perlindungan Konsumen. BPOM
tidak bisa menggantikan suatu ganti rugi. Yang dapat mengganti hanya
dari pihak perusahaan. BPKN akan membantu kepada konsumen yang
merasa dirugikan. BPOM hanya melindungi konsumen dari sisi
hukumnya, dan BPOM juga memfasilitasi ketika terjadi kasus. Perusahaan
akan dipanggil oleh BPOM.
10. Bagaimana tanggungjawab pelaku usaha atas peredaran kasus viostin ds?
Pelaku usaha yang terdaftar di BPOM, harus bertanggungjawab terhadap
produknya, ketika produk itu sudah diedarkan harus diawasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
87
88
Jurnal :
Abbas, Nurhayati, “Perkembangan Teknologi di Bidang Produksi Pangan dan
Obat-Obatan Serta Hak-Hak Konsumen”. Jurnal Ahkam, No. 3,
Vol. 16. 2009.
Asri, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Pangan Yang
Tidak Bersertifikat Halal. Jurnal Ius. Vol. IV, No. 2. Agustus 2016.
Hadi Mulyansyah, “Peranan Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Dalam
Memberantas Tindak Pidana Peredaran Obat Keras Di Sarana Yang
Tidak Memiliki Keahlian Dan Kewenangan Berdasarkan Undang-
89
Skripsi:
Fika, Nur. “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Obat Tradisional
Impor (Studi Kasus Shen Long Gingseng Powder).” Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2014.
Ismail, Benny “Pertanggungjawaban Hukum Produsen Obat Tradisional Atas
Kesalahan Proses “CPOTB” Terhadap Konsumen (Kajian Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)”.
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.
Miharjo Utomo, Slamet. “Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Obat
Obatan Palsu Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Dan Undang-Undang Nomor 36
90
Peraturan Perundang-Undangan:
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Obat dan
Pengobatan.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK. 03.1.23.06.10.5166 Tentang Pencantuman Informasi Asal
Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol dan Batas Kadaluwarsa Pada
Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan
Pangan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Undang-Undang Nomor 69Tentang 1999 Label dan Iklan Pangan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.