Anda di halaman 1dari 135

Skripsi

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL BATANG OLAE (Etlingera


calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) TERHADAP KADAR GLUKOSA
DARAH DAN GAMBARAN HISTOLOGI PANKREAS PADA TIKUS
JANTAN GALUR WISTAR MODEL DIABETES MELITUS TIPE 2

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Memperoleh Derajat Sarjana (S-1)

OLEH :
ANDI SRI WAHYUNI THAMRIN
O1A1 15 045

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
ii
iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT, atas berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya berupa kesehatan,

kekuatan dan kesempatan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad

SAW dan para sahabat yang telah yang telah mengantarkan manusia menuju

jaman yang terang benderang.

Skripsi saya yang berjudul " Efek Ekstrak Etanol Batang Olae

(Etlingera calophrys (K.Schum) A.D. Poulsen) Terhadap Kadar Glukosa

Darah dan Gambaran Histologi Pankreas Pada Tikus Jantan Galur Wistar

Model Diabetes Melitus Tipe 2” ini disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir

untuk mendapatkan galar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas

Farmasi Universitas Halu Oleo, Kendari.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak mengalami

kendala, tetapi berkat bantuan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak dan

berkah dari Allah SWT sehinga kendala-kendala tersebut dapat diatasi. Secara

khusus penulis menyampaikan rasa terima kasih penulis kepada ayahanda penulis

Dr. H. Thamrin Azis, M.Si serta Ibunda penulis Dra. Hj. Ratu Opu segala doa,

bimbingan, dukungan, arahan, semangat serta motivasi kepada penulis. Sehingga

penulis termotivasi dalam mengerjakan penelitian ini hingga skripsi ini selesai.

Saudara penulis Andi Tenri Nurwahida Lalaki Opu., S.Si, M.Pharm, Sci

iv
terima kasih untuk segala bentuk dukungan dan motivasinya selama ini. Keluarga

besar Suanna tercinta, untuk segala kasih sayang, semangat dan mendoakan

kebaikan kepada penulis. Terimakasih juga kepada Ahsan Akmal, S.ST, untuk

segala kesabaran, motivasi belajar dan semangat yang tiada henti untuk penulis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada ibu

Mesi Leorita S.Si., M.Sc., Apt. selaku pembimbing I dan ibu Fadhliyah Malik,

S.Farm., M.Farm., Apt selaku pembimbing II yang telah sabar , tulus , dan

ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya dalam memberikan bimbingan,

arahan, dan saran-saran kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Halu Oleo Bapak Prof. Dr. Muhammad Zamrun F., S.Si.,

M.Si., M.Sc.

2. Dekan Fakultas Farmasi UHO Bapak Dr. Ruslin, S.Pd., M.Si.

3. Wakil Dekan I Fakultas Farmasi UHO Ibu Suryani, S.Farm., M.Sc., Apt

4. Wakil Dekan II Fakultas Farmasi UHO Ibu Henny Kasmawati, S.Farm.,

M.Si., Apt

5. Wakil Dekan III Fakultas Farmasi UHO Bapak Sunandar Ihsan, S.Farm.,

M.Sc., Apt

6. Ketua Jurusan Farmasi Fakultas Farmasi UHO Ibu Wahyuni, S.Si., M.Si., Apt

7. Ibu Suryani, S.Farm., M.Sc., Apt, Ibu Andryani Ningsih, S.Farm., M.Sc., Apt,

dan Bapak Dr. rer.nat. Adryan Fristiohady Lubis, S.Farm., M.Sc., Apt. selaku

v
Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan di bidang

akademik.

8. Ibu Wahyuni, S.Si., M.Si., Apt, Bapak Muhammad Hajrul Malaka, S.Si.,

M.Sc. dan Bapak Muh. Ilyas Yusuf, S.Farm., M.Imun., Apt. Selaku Dewan

Penguji yang telah banyak memberikan ide dan saran kepada penulis dalam

penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Universitas Halu Oleo, khususnya Jurusan

Farmasi, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis. Seluruh

staf di Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo atas segala fasilitas dan

pelayanan yang telah diberikan.

10. Kak Gayu dan kak sarip, tauli, adit, ais, dan ending yang telah membantu

penulis dalam melakukan penelitian di Lab. Fakultas Kedokteran Universitas

Halu Oleo Kendari, terima kasih untuk semangat dan ilmu pengetahuan yang

ditularkan kepada penulis serta bantuannya selama penulis berada di

laboratorium.

11. Rekan-rekan “Tim Penelitian Farmakologi” terimakasih atas semangat,

dukungan dan kerjasamanya

12. Teman-Teman Pulvis 2015 dan kelas farmasi klinik yang tidak dapat

disebutkan satu persatu, terimakasih atas kerja sama yang baik dan selalu

memberikan dukungan serta semangat kepada penulis

13. Teman-teman B15TAR (Kelas B 2015) yang tidak dapat disebutkan satu

persatu yang telah bersama-sama melewati susah dan senang selama

vi
menempuh perkuliahan di farmasi. Terimakasih atas kerja sama yang baik dan

selalu memberikan dukungan serta semangat kepada penulis.

14. Sahabat-sahabat tersayang A. Astri, Nurul Fakhirah, Andi Fitriani B,

Makhrifah Ramadhani, Siti Hardiyanti, Nurul Yaumil Akhir , Nur Amaliah

Ramadhani, Adek Nanni, Nurul Lily, Rezki Yulianti Bahtiar, Reski R, Andi

Firmansyah, Nur Hidayat Ali, Nur Rahman Hasfar, Ashar Kurniadi, Andi

Hidayat Subhan, Ahri Amira, Kakak Ashari Hamja, Kakak Andi Waris,

Kakak Zulfikar Ariyanto Arif, Kakak Syahrul Kamal, Kakak Suharyadi, dan

Abdul Salam. Terimakasih untuk dukungan, kebersamaan, canda tawa, serta

doa tulus yang diberikan kepada penulis.

15. Terimakasih kepada Kakak Qiu, Kakak Musli, Kakak Ila, dan Kakak Darwin

yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta doa tulus kepada penulis.

16. Kakak-kakak senior 2010-2014 yang telah berbaik hati membantu dan

memberikan motifasi kepada penulis

17. Adik-adik mahasiswa Fakultas Farmasi UHO angkatan 2016, 2017, dan 2018

yang selalu memberikan semangat, dukungan dan bantuan kepada penulis.

18. Seluruh pihak yang membantu dan tidak dapat disebutkan satu-persatu, terima

kasih atas segala keikhlasannya dalam mambantu peneliti

Mohon maaf atas segala hal-hal yang tidak berkenan dari diri penulis dan

akhirnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

semua pihak dan berharap tulisan ini dapat bermanfaat. Semoga Allah SWT

memberi petunjuk kepada kita semua untuk selalu menjunjung tinggi ilmu

vii
pengetahuan, amalan yang shalih dan memberikan ridho balasan yang sebaik-

baiknya.

Kendari, Juli 2019

Penulis

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………….ii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..…..xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………xiii
ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ……………………………………….xiv
ABSTRAK ……………………………………………………………...………xvi
ABSTRACT ……………………………………………………………..….….xvii
BABI ……………………………………………………………………..1
PENDAHULUAN ……………………………………………………………..1
A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
B A B II ……………………………………………………………………..7
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………..7
A. Tumbuhan Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen ......................... 7
B. Metode Analisa Senyawa Bahan Alam .......................................................... 9
C. Diabetes Melitus........................................................................................... 11
D. Organ Pankreas ............................................................................................ 25
F. Pemodelan Diabetogenik Hewan Uji ........................................................... 27
F. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin ................................................................... 28
G. Hewan Uji .................................................................................................... 28
H. Kerangka Konsep ......................................................................................... 31
B A B III ……………………………………………………………………32
METODE PENELITIAN ……………………………………………………32
A. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 32
B. Jenis Penelitian ............................................................................................. 32
C. Bahan Peneltian ............................................................................................ 31
D. Alat/Instrumen Penelitian............................................................................. 33
E. Variabel ........................................................................................................ 33
F. Definisi Operasional..................................................................................... 33
G. Determinasi dan Pengumpulan Tumbuhan .................................................. 34

ix
H. Skrining Fitokimia ....................................................................................... 35
I. Ekstraksi ....................................................................................................... 36
J. Karakterisasi Sampel..………………..………………………………..…37
K. Prosedur Penelitian ……………………………………………………....38
I. Analisis Data……………………………………………………………...43
B A B IV ……………………………………………………………………45
PEMBAHASAN ……………………………………………………………45
A. Determinasi Sampel ..................................................................................... 45
B. Preparasi Sampel .......................................................................................... 45
C. Ekstraksi ....................................................................................................... 46
D. Skrining Fitokimia ....................................................................................... 47
E. Karakterisasi Sampel .................................................................................... 51
F. Perubahan Kadar Glukosa Darah Tikus ....................................................... 52
G. Gambaran Histologi Organ Pankreas Tikus Jantan ..................................... 59
BABV ……………………………………………………………………64
PENUTUP ……………………………………………………………………64
A. Kesimpulan .................................................................................................. 64
B. Saran ......................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………65
LAMPIRAN ……………………………………………………………………71

x
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Kriteria diagnosis DM 12

2. Faktor risiko untuk DM tipe 2 15

3. Presentasi klinik DM 16

4. Target kontrol glikemik 21

5. Data biologis tikus wistar 30

6. Hasil Ekstraksi dan organoleptis ekstrak 47

7. Skrining fitokimia ekstrak etanol batang olae 47

8. Hasil karakterisasi ekstrak batang olae 51

9. Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Induksi 53

11. Kadar Glukosa Darah Puasa Setelah Perlakuan 54

12. Jumlah sel pada pulau Langerhans 58

xi
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen 8

2. Organ Pankreas 26

3. a. Histologi jaringan pankreas tikus normal 27


b. Histologi jaringan pankreas tikus diinduksi STZ 27

4 Struktur Streptozotosin 28

5 R.norvegicus galur Wistar 29

6. Kerangka konsep 31

7 Rata-rata selisi penurunan kadar glukosa darah setelah perlakuan 55


Terhadap kadar glukosa darah setelah induksi
8. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus kelompok
59
normal perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE.

9 a. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus K Normal 59


pembesaran 400x dengan pewarnaan HE
b. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus K- 59
pembesaran 400x dengan pewarnaan HE
10 a. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus K+ 61
pembesaran 400x dengan pewarnaan HE
b. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus K1 61
pembesaran 400x dengan pewarnaan HE
c. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus K2 61
pembesaran 400x dengan pewarnaan HE
d. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus K3 61
pembesaran 400x dengan pewarnaan HE
a. Gambaran histologi sel pulau langerhans tikus K4 61
pembesaran 400x dengan pewarnaan HE

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

1. Hasil Determinasi Tanaman 71

2. Bukti Kelaiakan Etik 74

3. Skema Alur Penelitian 75

4. Pembuatan Skrining Fitokimia 80

5. Perhitungan redemen 81

6. Perhitungan untuk Karakterisasi Simplisia 81

7. Tabel Konversi Perhitungan Dosis 85

8. Tabel Volume Maksimum Pemberian Cairan Untuk Hewan Uji 86

9. Pembuatan Sediaan Pembanding 87

10. Pembuatan Sediaan Uji 91

11. Pembuatan Larutan Induksi STZ 103

12. Data Kadar Glukosa Darah 105

13. Hasil Analisis Menggunakan SPSS 105

14. Dokumentasi Penelitian 110

xiii
ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

ADA American Diabetes Association

DM Diabetes Melitus

WHO World Health Organization

PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronis

PTM Penyakit Tidak Menular

IDF International Diabetes Federation

α Alpha

β Beta

E. caloprhys Etlingera caloprhys

µg Mikrogram

µL Mikroliter

mg Miligram

mL Mililiter

dL Desiliter

TTGO Tes Toleransi Glukosa Oral

mmol/L Milimol per liter

HbA1c Glycated Haemoglobin

GDM Gestational Diabetes Mellitus

SGDs Sustainable Development Goals

MODY Maturity-Onset Diabetes of the Young

mmHg Milimeter hydrargyrum / millimeter merkuri

HDL High Density Lippoprotein

IFG Impaired Fasting Glucose

xiv
IGT Impaired Glucose Tolerance

GLP-1 Glucagon Like Peptide-1

DPP-IV Dipeptidyl PeptidaseIV

HGP Hepatic Glucose Production

FFA Free Fatty Acid

GIP Glucose-dependent Insulinotrophic Polypeptide

SGLT-2 Sodium-Glucose co-Transporter 2

GDS Glukosa Darah Sewaktu

% Persen

cm Sentimeter

STZ Streptozotosin

BNF Buffer Neutral Formalin

xv
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL BATANG OLAE
(Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) TERHADAP KADAR
GLUKOSA DARAH DAN GAMBARAN HISTOLOGI PANKREAS TIKUS
JANTAN GALUR WISTAR MODEL DIABETES MELITUS TIPE 2

Andi Sri Wahyuni Thamrin


O1A115045

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder,


serta pengaruh pemberian ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophyrs
(K.Schum) A. D. Poulsen) terhadap kadar glukosa darah dan gambaran histologi
pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi oleh streptozotosin.
Streptozotosin 40 mg/kgBB diinjeksikan secara intraperitonial. Sebanyak dua
puluh delapan ekor tikus jantan galur wistar dibagi ke dalam 7 kelompok
perlakuan yaitu kontrol normal (hanya diberikan pakan) kontrol positif
(metformin), kontrol negatif (NaCMC 0,5%), perlakuan I (ekstrak etanol batang
olae dosis 100 mg/kgBB), perlakuan II (ekstrak etanol batang olae dosis 150
mg/kgBB), perlakuan III (ekstrak etanol batang olae dosis 200 mg/kgBB), dan
perlakuan IV (ekstrak etanol batang olae dosis 250 mg/kgBB). Tikus diberi
perlakuan selama 7 hari. Data kadar glukosa darah dari penelitian ini dianalisis
dengan one-way ANOVA, kemudian dilanjutkan dengan uji post-hoc LSD. Hasil
dari penelitian ini adalah ekstrak etanol E. calophrys mengandung metabolit
sekunder yaitu flavonoid, tanin, dan terpenoid dan berpengaruh terhadap kadar
glukosa darah pada tikus namun masih lebih rendah dibanding metformin
(Sig.<0,05). Ekstrak etanol E. calophrys juga meningkatkan jumlah sel β pada
pulau Langerhans pankreas tikus.

Kata kunci : Etlingera calophyrs, streptozotosin, glukosa darah, histologi


pankreas, Rattus norvegicus.

xvi
THE EFFECT OF OLAE (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen)
STEM ETHANOL EXTRACT ON BLOOD GLUCOSE LEVEL AND
HISTOLOGY PANCREAS PROFILE IN WISTAR MALE RATS OF TYPE
2 DIABETES MELITUS MODEL

Andi Sri Wahyuni Thamrin


O1A115045

ABSTRACT

This study was conducted to determine the content of secondary


metabolites, the effect of giving ethanol extract of olae stem (Etlingera calophyrs
(K.Schum) A. D. Poulsen) on blood glucose levels and histology of rat pancreas
(Rattus norvegicus) induced by streptozotocin. Streptozotocin 40 mg/KgBB is
injected intraperitoneally. Twenty-eight male wistar rats were divided into seven
experimental groups normal control (only given feed) positive control
(metformin), negative control (NaCMC 0.5%), treatment I (ethanolic extrac of
olae stem dose 100 mg / kgBB), treatment II (ethanolic extrac of olae stem dose
150 mg / kgBB), treatment III (ethanolic extrac of olae stem dose 200 mg / kgBB),
and treatment IV (ethanolic extrac of olae stem dose 250 mg / kgBB). Rats were
treated for 7 days. The blood glucose level data of this study were analyzed by
one-way ANOVA, then continued by the LSD post-hoc test. The results of this
study were E. calophrys ethanol extract containing secondary metabolites namely
flavonoids, tannins, and terpenoids and had an effect on blood glucose levels in
rats but were still lower than metformin (Sig. <0.05). E. callophrys ethanol
extract also increased the number of β cells of the island of Langerhans in the rat
pancreas

Keywords: Etlingera calophyrs, Streptozotocin, Blood glucose, Histological


pancreas, Rattus norvegicus.

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit yang tidak ditularkan

dari satu orang ke orang lain. PTM diantaranya penyakit jantung, stroke, diabetes,

kanker, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). PTM merupakan penyebab

kematian hampir 70% di dunia. PTM dimasukkan sebagai salah satu target

Sustainable Development Goals (SDGs) yang bertujuan untuk mengurangi

sepertiga angka kematian dini dari penyakit tidak menular (WHO, 2015). Diabetes

melitus (DM) merupakan salah satu dari PTM dengan jumlah kasus yang cukup

tinggi. Menurut World Health Organization (WHO), (2014) pada tahun 2000

sebanyak 150 juta penduduk dunia menderita DM dan angka ini akan menjadi dua

kali lipat pada tahun 2025. Menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS),

(2018) prevalensi penyakit tidak menular mengalami kenaikan jika dibandingkan

dengan tahun 2013, dimana presentase penderita DM pada tahun 2013 sebesar

2,1% dan naik pada tahun 2018 sebesar 8.5%. Pada tahun 2017 jenis penyakit

tidak menular yang masuk dalam daftar 10 besar tidak bertambah dan tidak

berubah urutannya yaitu penyakit diabetes melitus di urutan 5. Hal tersebut

menunjukkan penderita DM di Sulawesi Tenggara yang relative konstan setiap

tahunnya. Diabetes seringkali menjadi pemicu utama menyakit degeneratif

lainnya (Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara, 2018).

xviii
Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme glukosa akibat

kekurangan insulin yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah

akibat rusaknya sel β pankreas atau resistensi insulin (Dipiro dkk., 2015).

Menurut American Diabetes Association (ADA), (2017) secara umum DM

diklasifikasikan menjadi: DM tipe 1 yang diakibatkan karena kerusakan sel β

pankreas yang menyebabkan kekurangan insulin absolute, DM tipe 2 yang

ditandai dengan adanya gangguan sekresi insulin pada sel β pankreas ataupun

gangguan kerja insulin (resistensi), Gestational diabetes melitus (GDM) yaitu DM

yang terjadi pada masa kehamilan dan biasanya terjadi pada trimester kedua atau

ketiga, dan DM tipe spesifik.

Diabetes melitus adalah salah satu gangguan metabolisme endokrin yang

yang ditandai dengan hiperglikemia. Hiperglikemia dalam waktu lama memiliki

efek samping pada jaringan terutama di hati. Hiperglikemia dapat meningkatkan

produksi spesies oksigen reaktif mitokondria, yang dapat menyebabkan stres

oksidatif (El-Gohary dkk., 2013). Stres oksidatif dapat menyebabkan disfungsi

dan gangguan apoptosis pada sel β pankreas sehingga berakibat pada percepatan

kematian sel β pankreas (Hosseini dkk., 2015). Tidak hanya itu, stres oksidatif

juga dapat menyebabkan kerusakan multiorgan dan memicu berkembangnya

komplikasi pada diabetes melitus (Wei wei dkk., 2007). Antioksidan memiliki

peran penting dalam penanganan diabetes melitus. Keterlibatan antioksidan

terhadap penyakit diabetes melitus dikarenakan kemampuannya yang dapat

menetralkan senyawa radikal bebas dan menekan stres oksidatif yang terjadi

selama hiperglikemia (Khan dkk., 2015).

2
Indonesia merupakan negara mega biodiversity kedua setelah Brasil,

bahkan beberapa ilmuwan Biologi menempatkan Indonesia sebagai negara mega

biodiversity peringkat pertama ketika keanekaragaman hayati habitat lautnya ikut

diperhitungkan disamping keanekaragaman hayati daratan (Kementerian Riset

dan Teknologi, 2010). Indonesia memiliki banyak tumbuhan yang potensial

sebagai obat. Salah satunya tumbuhan dari genus Etlingera.

Hasil penelitian dari Chan dkk. (2008) yang melakukan penapisan

fitokimia terhadap genus Etlingera diketahui bahwa dari beberapa spesies

Etlingera (E. elatior, E.rubrostriata, E. littoralis, E.fulgens, dan E. maingayi)

memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Spesies Etlingera calophrys (K. Schum)

A. D. Poulsen (Olae) adalah spesies tumbuhan endemik dari Sulawesi Tenggara.

Batang tumbuhan dari tumbuhan olae (E. Calophrys) memiliki kandungan

antioksidan yang cukup tinggi (Sahidin dkk., 2018). Hasil penelitian sebelumnya

yang menggunakan tumbuhan Etlingera elatior yang memiliki genus yang sama

dengan tumbuhan olae (Etcalophrys) diketahui bahwa tumbuhan yang memiliki

daya antioksidan dapat menekan stres oksidatif dan mampu menurunkan kadar

glukosa darah pada diabetes (Pasaribu dkk., 2012)

Flavonoid memiliki fungsi sebagai agen antioksidan alami berdasarkan

jumlah dan pengaturan gugus hidroksil fenolik yang melekat pada struktur cincin

aromatik. Oleh karena itu, flavonoid alami sangat membantu dalam komplikasi

diabetes terkait stres oksidatif seperti nyeri neuropatik diabetes, kerusakan ginjal

dan hepar (Chan dkk., 2007). Selain flavonoid, Tanin yang bersifat sebagai

astringent pada permukaan lapis usus halus sehingga dapat menghambat

3
penyerapan gula yang pada akhirnya akan menurunkan kadar gula dalam darah

(Putri, 2013).

Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan uji ekstrak

etanol batang olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) terhadap tikus

jantan Galur Wistar yang mengalami DM serta untuk mengetahui lebih lanjut

mengenai pengaruh dari ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophrys (K.

Schum) A. D. Poulsen) terhadap gambaran histologi pankreas model diabetes

melitus tipe 2.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas

antara lain sebagai berikut :

1. Apakah kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak etanol

batang olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) yang berasal dari

desa Punggaluku, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe, Selatan Sulawesi

Tenggara?

2. Bagaimana pengaruh ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophrys (K.

Schum) A. D. Poulsen) terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus

jantan galur Wistar model diabetes melitus tipe 2?

3. Bagaimana gambaran histologi organ pankreas tikus jantan galur Wistar

model diabetes melitus setelah pemberian ekstrak etanol batang olae

(Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) ?

C. Tujuan penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

4
1. Untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak

etanol batang olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) yang

berasal dari desa Punggaluku, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe, Selatan

Sulawesi Tenggara.

2. Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophrys

(K. Schum) A. D. Poulsen) terhadap penurunan kadar glukosa darah pada

tikus jantan galur Wistar model diabetes melitus tipe 2.

3. Untuk mengetahui gambaran histologi organ pankreas tikus jantan galur

Wistar model diabetes melitus setelah pemberian ekstrak etanol batang olae

(Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen).

D. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi antara lain

sebagai berikut :

1. Bagi peneliti, menambah ilmu pengetahuan dan keahlian dalam penelitian

praklinis pada tumbuhan yang berpotensi untuk pengobatan menggunakan

hewan uji.

2. Bagi ilmu pengetahuan, dapat memberikan informasi yang dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah mengenai manfaat ekstrak etanol

batang olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) sebagai

antidiabetik.

3. Bagi institusi, mewujudkan peranan Universitas Halu Oleo dalam mengkaji

permasalahan yang terjadi di masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan

5
khususnya tumbuhan olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen)

sebagai usaha dan kuratif untuk mengobati penyakit antidiabetik.

4. Bagi masyarakat, memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat terhadap

tumbuhan ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D.

Poulsen) sebagai antidiabetik.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen)

1. Deskripsi

Tumbuhan olae memiliki tinggi tumbuhan 3,6-5,3 m dengan 13-27 daun.

Jarak antara tunas daun hingga 18-20 cm, diameter pangkal tunas daun 5,5-7,5

cm, berwarna cokelat keemasan, seperti beludru. pelepah hijau dengan bintik-

bintik cokelat. Daun berbentuk lanset, sekitar 52-90 × 8-17,5 cm, gundul, tepi

dengan rambut berwarna cokelat keemasan, berombak/berkerut, pangkal runcing

memanjang, ujungnya meruncing, panjang tangkai daun 0,7-2,5 cm, gundul,

Panjang perbungaan 17 cm: panjang tangkai bunga 9,5 cm, dengan sisik berwarna

merah tua, bagian atas berwarna kuning keemasan; bunga bulir 8 × 6 cm, 3-6

bunga mekar secara bersamaan. Daun pelindung (braktea) berwarna coklat

kuning, 2,2-2,3 × 0,5-1,1 cm, berbentuk seperti perahu, coklat merah di bagian

bawah, coklat kehijauan pada bagian atas, ujunganya bermantel; brakteola

berbentuk seperti perahu, panjang 1,5-2 cm, berwarna coklat kekuningan, terdiri

atas dua lobus. Kelopak (calyx) berwarna coklat kekuningan, panjangnya 1,6-2,1

cm, dengan bentuk seperti gigi berjumlah tiga (dentatus) (Ardiyani dkk., 2012)

Mahkota (corolla): panjang tabung 1,3-1,4 cm, berwarna putih krim; lobus

mahkota coklat kekuningan, lobus dorsal 1,3-1,4 cm, lobus lateral 1,5-1,7 cm x

0,3-3,5 mm, mahkota (coeolla) lain memiliki labellum kuning terang. Panjang

7
tabung benang sari (stamen) 0,2 cm. Kepala sari (anthera) berwarna kuning pucat,

panjang 2-4 mm. Kepala putik (stigma) berwarna kuning. Bakal buah (ovarium)

coklat keemasan, seperti beludru. Panjang tangkai buah 15-29 cm, spikula 7-8,2 x

7,5-9 cm, berbentuk elips. Buah berwarna merah keorange-orangean, 2,0 x 1,7 cm

dengan duri sebanyak 7-12, sisa kelopak (calyx) 1,9-2,0, panjang tangkai

(pedicullum) 0,9 cm (Ardiyani dkk., 2012).

Gambar 1. Tumbuhan Olae (Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen)


(Sumber : Ardiyani, 2012)

2. Nama Lain

Tumbuhan E.Calophrys merupakan tumbuhan endemik dari Sulawesi

Tenggara. Di Sulawesi Tenggara tumbuhan ini dinamanakan olae.

3. Klasifikasi

Tumbuhan olae (Etlingera calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen)

ditemukan pertama kali oleh Poulsen (2012). Klasifikasi spesies E. calophrys

menurut Poulsen. (2012) adalah sebagai berikut:

Regnum : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

8
Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Etlingera

Species : Etlingera calophrys (K.Schum) A.D. poulsen

4. Kandungan Kimia

Tumbuhan Etlingera mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol,

alkaloid, flavonoid, steroid, saponin dan minyak atsiri yang diduga memiliki

potensi sebagai antioksidan (Syarif dkk., 2016).

5. Aktivitas Farmakologi

Tiga metabolit sekunder diisolasi dari ekstrak metanol dari batang olae

(E.calophrys), seperti yakuchinone A, asam p-hydroxybenzoic, dan stigmasterol.

Yakuchinone A dan asam p-hydroxybenzoic pertama kali diisolasi dari tumbuhan

Etlingera dapat digunakan dalam pengembangan agen antioksidan (Sahidin dkk.,

2018).

B. Metode Analisa Senyawa Bahan Alam

1. Preparasi Sampel

Sampel yang diambil dari tumbuhan segar yang selanjutnya dikeringkan

untuk mencegah banyaknya perubahan kimia. Pengeringan dilakukan di udara

terbuka tidak menggunakan suhu yang tinggi atau dengan hanya menggunakan

aliran udara yang cukup. Hasil pengeringan tumbuhan tersebut selanjutnya

dihaluskan untuk dapat dipergunakan sebagai sampel analisis (Harborne, 1996).

2. Ekstraksi

9
Ekstraksi adalah suatu proses yang dilakukan untuk memperoleh

kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupan hewan. Cairan penyari

dapat berupa air, etanol dan campuran air etanol (Depkes RI, 2008). Proses

ekstraksi khususnya untuk bahan yang berasal dari tumbuhan yaitu, pengambilan

bagian tumbuhan (batang), pengeringan dan penggilingan bagian tumbuhan.

pemilihan pelarut, Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya, pelarut

semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya, pelarut nonpolar: n-heksan,

petroleum eter, kloroform, dan sebagainya (Mukhriani, 2014). Beberapa metode

yang sering digunakan dalam ekstraksi diantaranya maserasi, infusa, digesti,

dekoksi, perkolasi dan sebagainya.

Maserasi adalah metode ekstraksi yang paling banyak dan mudah

digunakan. Metode ini dilakukan dengan memasukkan tumbuhan yang sudah

dirajang atau pun diserbukkan kedalam pelarut yang sesuai dengan wadah yang

inert dan tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi ini akan dihentikan jika

tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan

konsentrasi dalam sel tumbuhan (Mukhriani,2014). Efektivitas hasil ekstraksi juga

dioptimalkan dengan pengadukan. Ektraksi maserasi tidak menghasilkan ekstraksi

yang komplit, tetapi banyak penelitian memilih menggunakan metode ekstraksi

ini karena metode maserasi merupakan metode yang sederhana untuk

mendapatkan ekstrak dan cocok untuk skala kecil maupun industri (Sartini dkk,

2013). Metode ekstraksi maserasi ini tidak memerlukan pemanasan sehingga

senyawa-senyawa yang tidak tahan dengan pemanasan tidak mudah terurai.

3. Skrining Fitokimia

10
Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang

belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan yang dapat dengan cepat

memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu

dengan bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining

fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang

bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang

terkandung dalam tumbuhan yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia

dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu

pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting dalam skrining fitokimia

adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi. Skrining fitokimia serbuk

simplisia sampel atau dalam bentuk ekstrak meliputi pemeriksaaan kandungan

senyawa alkaloida, fllavonoida, terpenoida/steroida, tanin dan saponin (Minarno,

2015).

C. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit gangguan

metabolik yang menimbulkan kondisi tubuh menjadi hiperglikemia. Menurut

WHO tahun 2010, DM merupakan penyakit kronik akibat dari pankreas yang

tidak dapat memproduksi insulin yang cukup atau kondisi dimana tubuh penderita

tidak dapat menggunakan insulin.

Diabetes Melitus didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar

gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein

11
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insulin adalah hormon penting yang

diproduksi di kelenjar pankreas tubuh, dan mengangkut glukosa dari aliran darah

ke sel-sel tubuh, didalam sel glukosa diubah menjadi energi. Kurangnya insulin

atau ketidakmampuan sel untuk merespon insulin menyebabkan tingginya kadar

glukosa darah, atau hiperglikemia, yang merupakan ciri khas diabetes (IDF,

2017).

Tabel 1. Kriteria Penegakan Diagnosis.


IGT (terganggunya toleransi IFG (Terganggunya
Diabetes
glukosa) glukosa puasa)
Glukosa plasma
Glukosa plasma puasa puasa
Glukosa plasma puasa 6.1-6.9 mmol/L
≥7.0 mmol/L (126 mg/dL)
<7,0 mmol/L (126 mg/dL) (110 hingga 125
mg/dL)
Glukosa plasma dua jam ≥11.1 Glukosa plasma dua jam ≥7.8 Glukosa plasma dua
mmol/L (200 mg/dL) setelah - 11.0mmol/L jam <7.8mmol/L
puasa glukosa oral 75g (≥140 hingga 199 mg/dL) (140mg/dL) setelah
setelah puasa glukosa puasa glukosa
oral 75g oral 75g
Sumber: IDF, 2017.

Apabila pasien merasakan keluhan diabetes, hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Jika tidak ada keluhan, hasil

pemeriksaan kadar glukosa darah satu kali saja tidak cukup kuat untuk

menegakkan diagnosis DM. Untuk itu, diperlukan untuk melakukan pemeriksaan

kadar glukosa darah di hari lain (Depkes RI, 2005).

2. Klasifikasi

Diabetes melitus dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi dan

etiologinya yaitu:

a. Diabetes Melitus Tipe 1

12
Diabetes tipe ini merupakan keadaan hiperglikemia yang diakibatkan

terjadinya destruksi sel β pankreas, akibat infeksi virus dan senyawa toksik,

diabetogenik, atau secara genetik yang mengakibatkan produksi insulin sangat

rendah atau berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan penurunan

pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan adipose. Secara patofisologi, penyakit

ini terjadi lambat dan membutuhkan waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi

sejak anak-anak atau awal remaja. Penurunan berat badan merupakan ciri khas

dari penderita DM tipe 1 yang tidak terkontrol. Gejala yang sering mengiringi DM

tipe 1 yaitu, poliuria, polidipsia, dan polifagia. Peningkatan volume urin terjadi

disebabkan oleh diuresis osmotik (akibat peningkatan kadar glukosa oleh diuresis

osmotik) dan benda-benda keton dalam urin. Lebih lanjut diuresis osmotik

tersebut akan mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus

dan lapar merupakan akibat kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh

menggunakan nutrisi (Nugroho,2006).

Pada DM tipe 1, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi tubuh tidak

dapat memanfaatkan secara optimal untuk membentuk energi. Oleh karena itu,

energi diperoleh melalui peningkatan katabolisme protein dan lemak. Seiring

dengan kondisi tersebut, terjadi perangsangan liposis serta peningkatan kada asam

lemak bebas dan gliserol darah (Nugroho, 2006).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2, yang ditandai dengan adanya gangguan sekresi

insulin ataupun gangguan kerja insulin (resistensi) pada organ target utama hati

dan otot yang awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes

13
secara klinis. Pada saat tersebut sel β pankreas masih dapat mengkompensasi

keadaan ini dan terjadi suatu hiperurisemia dan glukosa darah masih normal atau

baru sedikit meningkat. Kemudia setelah tidak terjadi ketidaksanggupan sel β

pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinik, yang ditandai dengan

terjadinya peningkatan glukosa darah (Setiati dkk., 2014).

c. Diabetes Melitus Gestasional

Gestasional Diabetes Mellitus (GDM) adalah keadaan diabetes atau

intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan dan biasanya berlangsung

hanya sementara (Depkes RI, 2005). Menurut Association College of Clinical

Pharmacy, GDM pada wanita hamil umumnya terjadi pada trimester ketiga

(ACCP, 2013). GDM dapat pulih beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat

berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung seperti timbulnya malformasi

kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko

mortalitas perinatal. Selain itu, wanita yang memiliki riwayat GDM, memiliki

risiko yang tinggi untuk menderita diabetes kembali di masa depan. Namun,

dengan adanya kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko

tesebut (Depkes RI, 2005).

d. Diabetes Melitus Tipe Spesifik

Diabetes melitus tipe spesifik disebabkan oleh faktor-faktor lain terjadi

pada sekitar 1-2% dari semua kasus DM. Penyebab-penyebab lain yang dapat

menimbulkan DM jenis ini diantaranya, yaitu sindrom diabetes monogenik seperti

diabetes neonatal dan MODY, penyakit eksokrin pankreas seperti sistik fibrosis,

14
dan obat atau zat kimia yang dapat menginduksi DM, seperti glukokortikoid

(ADA, 2017).

3. Faktor Risiko

Beberapa hal yang dapat meningkatkan faktor resiko DM tipe 2

diantaranya yaitu riwayat penyakit, obesitas, umur, dan faktor lainnya yang

terdapat pada Tabel di bawah ini:

Tabel 2. Faktor Risiko untuk DM tipe 2


Faktor Risiko Keterangan
Riwayat Faktor keturunan
Diabetes gestasional
Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg
Kista Ovarium (Polycystic ovary syndrome)
IFG atau IGT
Obesitas >120% berat badan ideal
Umur 20-59 tahun : 8,7%
>65 tahun : 18%
Hipertensi >140/90 mmHg
Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl
Kadar lipid darah tinggi >250 mg/dl
Faktor lain Kurang olahraga
Pola makan rendah serat
Sumber : Dipiro dkk., 2008

4. Presentasi Klinik

Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain sering

buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), dan mudah lapar dan banyak

makan (polifagia). Selain itu, sering pula muncul keluhan penglihatan kabur,

koordinasi gerak tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-

gatal (pruritis), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas (Depkes RI,

2005).

Presentasi klinik DM tipe 1 dan DM tipe 2 sangat berbeda. Individu

dengan DM tipe 1 berat badan yang turun dan cenderung mengalami ketoasidosis

15
diabetes. Pasien DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetes sekitar 20% sampai

40% pasien setelah beberapa hari mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan (Dipiro dkk., 2011).

Pada diagnosis DM tipe 2 dapat dilihat dari pasien mengalami letargi,

poliuria, nokturia, dan polidipsia. Karakteristik presentasi klinik klasik harus

digunakan bersamaan dengan data laboratorium definitif lainnya (Dipiro dkk.,

2011).

Tabel 3. Presentasi klinik DM


Karakteristik DM Tipe 1 DM Tipe 2
Umur < 30 tahun > 30 tahun
Onset Mendadak Bertahap
Kondisi tubuh Obesitas atau riwayat obesitas
Resistensi insulin Tidak ada Ada
Autoantibodi Sering ada Jarang ada
Gejala Simtomatik Sering asimtomatik
Keberadaan keton Ada Tidak ada
pada diagnosis
Kebutuhan untuk Segera Tahunan setelah diagnosis
terapi insulin
Komplikasi akut Ketoasidosis diabetikum Keadaan hiperglikemik
hiperosmolar
Komplikasi Tidak Umum
mikrovaskular pada
diagnosis
Komplikasi Jarang Umum
makrovaskular pada
atau sebelum
diagnosis
Sumber : Dipiro dkk., 2011

5. Patogenesis

DeFronzo (2009) menyampaikan bahwa tidak hanya otot, liver, dan sel β

pankreas yang berperan penting dalam patogenesis penderita DM tipe 2 tetapi

terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the omnious octet.

Secara garis besar patogenesis DM tipe 2 disebabkan oleh 8 hal (omnious octet)

berikut :

16
a) Kegagalan sel β pankreas

Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel β pankreas sudah sangat

berkurang. Obat antidiabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,

meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor (Perkeni, 2015).

b) Liver

Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaaan basal oleh liver

(HGP= hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur

ini adalah metformin, yang menekan proses glukoneogenesis (Perkeni, 2015).

c) Otot

Penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin ganda di

intramioseluler, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan

transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan

oksidasi glukosa. Obat yang bekerja pada jalur ini adalah metformin dan

tiazolidindion (Perkeni, 2015).

d) Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan

peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA= free fatty acid)

dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan

mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu

sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai

lipotoxociti. Obat yang bekerja pada jalur ini adalah tiazolidindion (Perkeni,

2015).

17
e) Usus

Glukosa yang diberikan secara oral memicu respon insulin jauh lebih besar jika

dibanding dengan diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek

inkretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan

GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric

inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1

dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut inkretin segera dipecah oleh

keberadaan enzim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat

yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor

(Perkeni, 2015).

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat

melalui kinerja enzim α-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi

monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan

glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim

α-glukosidase adalah akarbosa (Perkeni, 2015).

f) Sel α pankreas

Sel-α pankreas berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa

kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan Hepatic

glucose production (HGP) dalam keadaan basal meningkat secara signifikan

dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau

menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1)

agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin (Perkeni, 2015).

g) Ginjal

18
Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sekitar 90% dari glukosa

terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose

coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal, sedangkan 10%

sisanya akan diabsorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan

asenden, sehingga glukosa di dalam urine habis (tidak tersisa). Pada penderita DM

terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-

2 (SGLT-2 inhibitor) akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus

ginjal sehingga glukosa dikeluarkan melalui urine. Contoh obat dari golongan

SGLT-2 inhibitor adalah Dapaglifozin (Perkeni, 2015).

h) Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang

obesitas baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang

merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini

asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga

terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan

bromokriptin (Perkeni, 2015).

6. Patofisiologi

DM tipe 2 disebabkan karena dua hal yaitu (1) penurunan respon

jaringan perifer terhadap insulin, peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin,

dan (2) penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai

respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan

kegemukan karena kelebihan makanan. Sebagai kompensasi sel β pankreas

merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin

19
meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan

reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan

menurunkan jumlah reseptor atau down regulation. Hal ini membawa dampak

pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya

resistensi insulin (Nugroho, 2006).

Kondisi hiperinsulinemia juga dapat meningkatkan desensitisasi reseptor

insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivitas kinase reseptor,

translokasi glucose transporter dan aktivasi gluycogen synthase. Kejadian ini

mengakibatkan resistensi pada insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada

permulaan proses terjadinya DM tipe 2. Secara patologis, pada permulaan DM

tipe 2 terjadi peningkatan kadar glukosa plasma, namun masih diiringi dengan

sekresi insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan

telah terjadi defect atau kerusakan pada reseptor maupun postreseptor insulin.

Pada resistensi insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan

penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah

(hiperglikemik). Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami

adaptasi diri sehingga responnya kurang sensitif untuk mensekresi insulin, dan

mengakibatkan defisiensi insulin. Sedangkan pada DM tipe 2 akhir telah terjadi

penurunan kadar insulin plasma akibat penurunan kemampuan sel β pankreas

untuk mensekresi insulin, dan diiringi dengan peningkatan kadar glukosa plasma

(Nugroho, 2006).

7. Komplikasi

20
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan

komplikasi. Pada tahap akut, Komplikasi DM terjadi akibat gangguan metabolik

seperti hipoglikemia atau hiperglikemia sedangkan pada tahap lanjut, gangguan

ini terjadi akibat kerusakan mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi

mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati sedangkan komplikasi

makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, strok dan penyakit vaskular

periferal (Almasdy dkk., 2015).

8. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas

hidup penyandang DM. Tujuan penatalaksanaan meliputi

a. Jangka Pendek

Hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan

tercapainya target pengendalian glukosa darah (Perkeni, 2015).

b. Jangka Panjang

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,

tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara

holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku (Perkeni,

2015).

Tabel 4.Target kontrol glikemik


Parameter Karakter Ideal yang Diharapkan

21
Kadar glukosa darah puasa 70-130 mg/dL (3,9-7,2mmol/L)
Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan 90-130 mg/dL
Kadar glukosa darah saat tidur 100-140 mg/dL
Kadar HbA1c <7%
Kadar trigliserida <200 mg/dL
Tekanan darah <130/80 mmHg
Sumber : ADA, 2017

a. Terapi Non Farmakologi

1) Diet

Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang

dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik.

Komposisi karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, dan lemak 20-25%. Jumlah

kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan

kegiatan fisik untuk mencapat dan mempertahankan berat badan ideal. Asupan

serat paling penting untuk penderita DM adalah asupan serat yang diusahakan

setidaknya 25 g perhari untuk mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita

penyakit DM tanpa masukan kalori yang berlebih (Depkes RI, 2005).

2) Olahraga

Berolahraga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah

tetap normal. Selain itu, olahraga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan

aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan

glukosa. Olahraga yang dianjurkan pada prinsipnya bukan merupakan olahraga

yang berat akan tetapi berupa olahraga ringan namun dilakukan secara teratur

misalnya lari pagi, berenang, bersepeda dan lain sebagainya (Depkes RI, 2005).

b. Terapi Farmakologi

22
Terapi farmakologi meliputi pengobatan dengan insulin atau dengan

obat-obat hipoglikemia oral.

1) Insulin

Penderita DM tipe 1 sering kali memerlukan insulin eksogen untuk

mengatasi keadaan hiperglikemia. Kebanyakan penderita tipe 2 tidak memerlukan

insulin eksogen untuk kelangsungan hidupnya tetapi insulin eksogen hanya

digunakan untuk mencapai kesehatan optimum. Pada beberapa pasien, insulin

digunakan sebagai alternatif dari terapi hipoglikemik oral. Diperkirakan sebanyak

20% dari jumlah penderita diabetes tipe 2 di Amerika Serikat diobati dengan

menggunakan insulin (Katzung, 2012).

2) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

OHO berguna dalam pengobatan pasien diabetes tidak tergantung insulin

(NIDDM) yang tidak dapat diperbaiki hanya dengan diet. Pasien yang sudah lama

menderita diabetes mungkin memerlukan suatu kombinasi obat hipoglikemik dan

insulin untuk mengontrol hipoglikemiknya. Pemberian OHO dimulai dengan

dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa

darah (ADA, 2010).

a) Golongan Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama adalah meningkatkan sekresi

insulin oleh sel β pankreas. Obat ini merupakan pilihan utama untuk pasien berat

badan normal atau kurang. Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang

tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi (ADA, 2010).

23
b) Golongan Biguanida

Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati

(hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Golongan biguanid yang paling

banyak digunakan adalah metformin. Metformin menurunkan glukosa darah

melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor

insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin merupakan pilihan

utama untuk penderita diabetes yang mengalami kegemukan, disertai

dislipidemia, dan disertai resistensi insulin (ADA, 2010).

c) Golongan Penghambat Enzim α-Glukosidase

Senyawa inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim α-

glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase

(maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase) berfungsi menghidrolisis

oligosakarida, pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara aktif dapat

mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat

mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes

(Depkes RI, 2005).

d) Golongan Tiazolidindion

Rosiglitazon dan pioglitazone merupakan obat golongan tiazolidindion,

dengan mekanismenya yang istimewa yang disebut juga dengan insulin sentitizer.

Berfungsi mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas jaringan

perifer untuk insulin. Oleh karena itu, penyerapan glukosa ke dalam jaringan

lemak dan otot meningkat, juga kapasitas penimbunannya di jaringan ini. Efek

24
dari obat ini menyebabkan kadar insulin, glukosa, dan asam lemak dalam darah

menurun,begitu pula glukoneogenesis dalam hati (Tjay dan Rhardja, 2007).

e) Golongan Meglitinida

Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat yang

cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa

hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh

kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida

dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat

antidiabetik oral lainnya (Depkes RI, 2005).

f) Golongan Penghambat Dipeptidil Peptidase-4 (DPP-4)

Obat ini bekerja berdasarkan penurunan efek hormon incretin. Incretin

berperan utama terhadap produksi insulin di pankreas dan yang terpenting adalah

GLP 1dan GIP, yaitu glukagon-like peptide dan glucose-dependent insulin tropic

polypeptide. Incretin ini diuraikan oleh suatu enzim khas yang disebut

dipeptidilpeptidase. Dengan penghambatan enzim ini, senyawa gliptin

mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, sehingga kadar insulin akan

meningkat. Contoh obatnya yaitu sitagliptin dan vildagliptin (Tjay dan Rhardja,

2007).

g) Golongan Reseptor Polipetida Glucagon Like Polypeptide-1 (GLP-1)

Obat golongan ini memiliki efek meningkatkan sekresi insulin,

perlambatan pengosongan lambung dan penurunan nafsu makan melalui efek

sentral. Meningkatnya sekresi insulin yang disebabkan oleh meningkatnya massa

25
sel beta yang dapat menimbulkan berkurangnya apoptosis sel beta, meningkatnya

pembentukan sel beta atau keduanya (Katzung, 2012).

D. Organ Pankreas

1. Anatomi dan Fisiologi Pankreas

Pankreas panjangnya kira-kira 15cm, dengan berat 60-100 gram. Pankreas

menyilang korpus vertebra mulai dari duodenum sampai limpa, berbentuk iregular

dan dilukiskan menjadi tiga bagian yaitu kepala (caput), badan (corpus), dan ekor

(cauda) (Pearce, 2000).

Kaput pankreas merupakan bagian yang paling besar dan terdapat

disebelah kanan rongga abdomen dan didalam lekukan duodenum. Korpus

pankreas merupakan bagian utama pankreas, terletak di belakang lambung di

depan vertebra lumbalis pertama. Cauda pankreas adalah bagian yang ruding di

sebelah kiri (Pearce, 2000).

2. Histologi Pankreas

Organ pankreas terdiri atas eksokrin dan endokrin. Bagian sel-sel endokrin

membentuk Pulau Langerhans. Pulau Langerhans dikelilingi oleh jaringan ikat

retikulin dan berada tersebar di antara asini, yaitu bagian eksokrin pankreas.

Diameter pulau Langerhans sebesar 0,1-0,2 mm dan di dalamnya berisi ribuan sel.

Pulau Langerhans biasanya berbentuk egg-shoped dan terdiri atas sel-sel yang

berbentuk polygonal atau bulat. Pulau Langerhans tanpak lebih pucat

dibandingkan dengan area aksokrin karena tidak memiliki granul zimogen (Attia,

2009).

26
Gambar 2. Organ Pankreas (Sumber: Attia, 2009)

Bagian eksokrin dari pankreas dibagi menjadi beberapa lobus oleh septa

jaringan ikat. Lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa lobulus oleh sedikit

jaringan ikat dan tidak memiliki batas yang tegas. Bagian eksokrin terdiri atas sel-

sel asiner yang berbentuk pyramid dan memiliki inti sel di bagian basal.

Karekteristik sel asiner adalah sitoplasma dengan sifat basofilik terang pada

bagian basal dan asidofilik granul zimogen pada bagian apeks (Attia, 2009).

A B

Gambar 3. (a) Histologi jaringan pankreas tikus wistar normal pembesaran 400x. (b)
Histologi jaringan pankreas tikus wistar yang diinduksi streptozotosin
(Hu dkk., 2017)
E. Pemodelan diabetogenik hewan uji

27
DM tipe 2 merupakan kelompok penyakit dengan terjadinya resistensi

insulin dan gangguan sel β pankreas dalam mensekresi insulin. Hewan uji DM

tipe 2 dapat dibuat yaitu dengan cara pemberian nutrisi yang dapat menstimulasi

resistensi insulin, pankreatektomi parsial, pemberian senyawa diabetogenik,

ataupun secara genetik. Dengan perlakuan tersebut dapat mengakibatkan hewan

coba mengalami penurunan respon jaringan perifer terhadap aksi insulin atau

multifungsi dari reseptor insulin dan penurunan kemampuan sel β pankreas dalam

menstimulasi insulin (Nugroho, 2006).

Streptozotosin (STZ) atau 2-deoksi-2-[3-(metil-3-nitrosoureido)-D-gluko

piranose] diperoleh dari Streptomyces achromogenes dapat digunakan untuk

menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji. Struktur kimia

streptozotosin dapat dilihat pada Gambar 4. Dosis yang digunakan untuk

menginduksi DM tipe 1 untuk intravena adalah 40-60 mg/kg, sedangkan dosis

intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kgBB. STZ juga dapat diberikan secara

berulang, untuk menginduksi DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun.

Untuk menginduksi DM tipe 2, STZ diberikan intravena atau intraperitoneal

dengan dosis 100 mg/kgBB pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10

minggu tikus tersebut mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan

sensitivitas sel β terhadap glukosa (Nugroho, 2006). Penginduksian STZ dengan

dosis 40 mg/KgBB secara intraperitonial selama 3 hari sudah dapat menyebabkan

diabetes melitus tipe 2 (Nurmawati, 2017).

28
Gambar 4: Struktur Streptozotozin
Sumber: Nugroho, 2006

F. Pewarnaan Hematoksilin – Eosin

Pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE) dilakukan untuk perubahan

morfologis dan kerusakan pada jaringan organ pankreas tikus yang digunakan.

Hematoksilin termaksud pewarnaan basa (basofilik) akan mewarnai jaringan

pankreas dengan warna biru dan struktur eosin yang bersifat asam yang akan

mewarnai sitoplasma yang bersifat basa. Eosin akan mewarnai dengan warna

merah muda (Alamudin dkk., 2013).

G. Hewan Uji

Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja

dipelihara untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan

mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau

pengamatan laboratorium (Maula, 2014). Hewan uji sangat diperlukan dalam

penelitian in vivo di bidang biomedik, terutama untuk kajian imunologi, onkologi,

fisiologi, patologi, toksikologi, farmakologi, dan neurosains (Johnson, 2012).

Galur Wistar memiliki ciri-ciri berupa tikus albino dengan kepala besar, telinga

panjang dan ekor pendek. Tikus Wistar memiliki panjang ekor yang selalu lebih

pendek daripada panjang badan (Dahlia, 2014).

29
Tikus putih jantan digunakan sebagai hewan uji karena tikus putih jantan

dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh

adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus

putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan

kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatidjan, 2006).

Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut (Akbar, 2010) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia
Gambar 5.R.norvegicus galur Wistar
Sumber : Nugroho, 2006
Subordo : Odontoceti

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Spesies :Rattus norvegicus

Berikut data biologis dari tikus (R. norvegicus) galur wistar :

Tabel 5. Karakteristik Tikus


Masa hidup 2,5 – 3 tahun
Konsumsi air 10-12/mL/100 gram/hari
Konsumsi makanan 20-40 g/hari
Pubertas (jantan dan betina) 50 ± 10 hari
Masa berkembang biak Sepanjang tahun
Panjang siklus estrus 4-5 hari
Durasi estrus 10-20 jam
Mekanisme ovulasi Spontan

30
Waktu ovulasi 7-10 jam setelah onset estrus
Waktu kehamilan 21-23 hari
Berat badan lahir 5-6 gram
Tekanan darah 116/76 – 145/97 mmHg
Denyut jantung 296-388 kali / menit
Laju pernapasan 100-140 kali / menit
Suhu tubuh rata-rata 37,5oC
Glukosa darah
Glukosa darah puasa 80-115 mg/dL
Glukosa darah 2 jam post prandial 50-135 mg/dL
Kolesterol 10-54 mg/dL
Asam urat 1,2 – 7,5 mg/dL
Sumber : Gad, 2016

H. Kerangka Konsep

Batang olae Etlingera


caloprhrys (K. Schum)
A. D. Poulsen
Tumbuhan Etlingera merupakan tumbuhan
rempah-rempah yang termasuk dalam - Disortasi basah, pencucian,
golongan Zingiberaceae dan sudah dikenal perajangan, pengeringan,
lama oleh masyarakat dan dimanfaatkan sortasi kering, penggilingan
sebagai sayuran dan tumbuhan obat (Lingga - Dimaserasi dengan pelarut
dkk., 2016). Batang olae (Etlingera etanol selama 3 x 24 jam
calophrys (K.Schum) A. D. Poulsen) - Dievaporasi 31
memiliki aktivitas sebagai agen antioksida
(Sahidin dkk., 2018) .
Ekstrak etanol batang olae
BAB III

METODE PENELITIAN
Gambar 6.Kerangka konsep
A. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juni 2019 dan bertempat di

Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo, Laboratorium

Hewan Coba Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo,

32
Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Halu Oleo, Laboratorium Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Halu Oleo dan Laboratorium Patologi Anatomi RS

Pendidikan Universitas Hasanudin.

B. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan

penelitian post test with control group design yang menggunakan hewan uji

sebagai obyek penelitian.

C. Bahan penelitian

Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tikus jantan

(R. norvegicus) galur Wistar, sampel batang olae Etlingera caloprhrys (K.

Schum) A. D. Poulsen, metformin 500 mg (generik), streptozotocin

(bioWORLD®), nikotinamid (TCI®), reagen glukosa GOD FS (DiaSys®), akuades

(Waterone®), asam sulfat 0,1 M (Merck), pereaksi Dragendorf, pereaksi

Lieberman-Buchard, FeCl3 1%, Na-CMC 0,5%, kertas saring, dan bahan pakan

tikus AD-2. Larutan yang diperlukan adalah kloroform, NaCl 0,9%, alkohol (70%

; 80% ; 90% ; 95% dan 100%), BNF 10%, xylol, parafin, larutan

Mayer’shematoksilin dan larutan eosin.

D. Alat penelitian

Alat-alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah alat rotary

evaporator (Buchi®), timbangan digital (Fujitsu®), gelas ukur (Pyrex®), gelas

kimia (Pyrex®), toples, kanula (sonde), cawan porselin, photometer (5010V5+),

mikropipet, spoit 1 cc, spoit 5 cc, botol vial, tabung EDTA, tabung mikro, mesin

33
sentrifugasi, desikator, oven (Inaco®), pipet tetes, batang pengaduk, dan kandang

tikus. Alat untuk pembuatan histologi hepar : talenan, pisau scalpel, pinset, tissue

cassette, mesin processor otomatis, mesin vacuum, mesin blocking, mesin

microtome, pisau microtome, waterbath 46oC, kaca objek, kaca penutup, rak

khusus untuk pewarnaan, oven, dan mikroskop cahaya.

E. Variabel

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian variasi dosis ekstrak

etanol batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen.

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perubahan kadar glukosa darah

dan histologi organ pankreas tikus model diabetes melitus.

3. Variabel Terkendali/Terkontrol

Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah makanan, minuman,suhu

kandang, berat badan, dan jenis kelamin tikus.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu :

1. Ekstak etanol batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen

adalah ekstrak pekat yang diperoleh dengan mengekstrak batang olae

menggunakan pelarut etanol dan telah diuapkan dengan rotary vacum

evaporator.

2. Skrining fitokimia merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi

ada tidaknya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan

34
terpenoid pada ekstrak etanol batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A.

D. Poulsen.

3. Tikus (R. norvegicus) hewan uji/sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah tikus dari jenis galur Wistar dengan pemodelan DM tipe 2 dengan

injeksi Streptozotosin (STZ) dengan dosis 40 mg/KgBB.

4. Kadar glukosa darah adalah kadar glukosa puasa dalam darah tikus yang

diukur dengan alat photometer sebelum dan sesudah perlakuan.

G. Determinasi dan pengumpulan tumbuhan

1. Determinasi tumbuhan

Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini dilakukan determinasi

untuk memastikan tumbuhan yang digunakan dalam sampel penelitian ini benar

jenis batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen. Determinasi

dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Halu Oleo.

2. Penyiapan sampel

Sampel berupa batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D.

Poulsen sebanyak 20 kg yang diperoleh di Desa Punggaluku, Kecamatan Laeya,

Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Batang olae Etlingera

caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen dikumpulkan dan dibersihkan dari kotoran

yang melekat dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan cara diangin-

anginkan kemudian dipotong kecil-kecil, dikeringkan dengan cara dijemur

dibawah sinar matahari yang dilapisi kain hitam dihaluskan hingga diperoleh

serbuk simplisia (Wahyuni dkk., 2017).

35
H. Skrining fitokimia

1) Uji alkaloid

Sebanyak 1 mL ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer setetes demi setetes, reaksi positif ditandai

dengan terbentuknya endapan menggumpal berwarna coklat atau merah hingga

jingga (Putri dkk., 2013)

2) Uji flavonoid

Sebanyak 1 mL ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan

1 mL HCl pekat, dan tambahkan 1 mL amil alkohol kemudian ditambahkan 0,2

mg serbuk Mg. Reaksi positif jika terjadi perubahan warna kecoklatan atau kuning

pada lapisan amil alkohol (Putri dkk., 2013).

3) Uji tanin

Sebanyak 2 mL ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian

ditambahkan beberapa tetes FeCl3 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan

atau biru kehitaman menunjukkan adanya tanin (Yunus dkk., 2018).

4) Uji saponin

Sebanyak 1 mL ekstrak dimasukkan dalam tabung reaksi. Kemudian

ditambahkan air panas kemudian ditambahkan HCl 2 N. Terbentuknya busa yang

stabil berarti positif terdapat saponin (Illing dkk., 2017).

5) Uji Kuinon

36
Sebanyak 1 mL eksrak di masukkan dalam tabung reaksi. Dicampur dengan

air didih sebanyak 10 mL, saring, filtrat yang diperoleh ditambahkan NaOH 1 N.

Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya senyawa golongan kuinon

(Setyani dkk., 2016).

6) Uji terpenoid

Ekstrak dilarutkan dalam pelarut etanol, kemudian dimasukkan 2 mL dalam

tabung reaksi dan ditambahkan asam asetat glasial melalui dinding tabung,

terbentuk warna hijau atau biru untuk steroid dan coklat kemerahan menunjukkan

positif terpenoid (Putri dkk., 2013).

I. Ekstraksi

Metode ekstraksi yang digunakan yaitu metode maserasi, sebanyak 1000

gram batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen dimasukkan

dalam wadah tertutup dan direndam dengan menggunakan pelarut etanol 96%

selama 3 x 24 jam. Perbandingan 1 : 3 (jumlah pelarut yang digunakan dua kali

dari jumlah serbuk halus tumbuhan) (Harborne, 1996). Filtrat dikumpulkan dan

dipekatkan dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 50oC hingga diperoleh

ekstrak etanol kental batang olae Etlingera caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen

kemudian ditimbang utnuk mengetahui bobotnya.

J. Karakterisasi Sampel

1. Penetapan kadar sari larut air

Timbang saksama lebih kurang 5 g ekstrak. Masukkan ke dalam labu

bersumbat, tambahkan 100 ml air jenuh kloroform, kocok berkali-kali selama 6

jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga kering

37
dalam cawan porselen yang telah dipanaskan 105°C dan ditara, panaskan sisa

pada suhu 105°C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut air (Depkes

RI, 2011).

2. Penetapan kadar sari larut etanol

Timbang saksama lebih kurang 5 g ekstrak. Masukkan ke dalam labu

bersumbat, tambahkan 100 ml etanol, kocok berkali-kali selama 6 jam pertama,

biarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk menghindarkan penguapan etanol,

uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan porselen yang telah dipanaskan

l05°C dan ditara, panaskan sisa pada suhu l05°C hingga bobot tetap. Hitung kadar

dalam % sari larut etanol (Depkes RI, 2011).

3. Penetapan kadar air

Masukan lebih kurang 10 gram ekstrak dan timbang saksama dalam wadah

yang telah ditara. Keringkan pada suhu 105 ºC selama 5 jam dan ditimbang.

Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2

penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25 % (Depkes RI, 1995).

4. Penetapan kadar abu

Timbang saksama 2 sampai 3 g ekstrak dan masukkan ke dalam krus

silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis,

dinginkan dan timbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan,

tambahkan air panas, aduk, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan kertas

saring beserta sisa penyaringan dalam krus yang sarna. Masukkan filtrat ke dalam

krus, uapkan dan pijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap

berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b. (Depkes RI, 2011).

38
K. Prosedur penelitian

1. Penentuan jumlah dan pengelompokkan hewan uji

Hewan uji dibagi menjadi 6 kelompok, pengelompokkan hewan uji

dilakukan secara acak lengkap dengan jumlah mengikuti rumus Federer (Agustina

dan Sulchan, 2013) yaitu :

(n-1) (t-1) ≥ 15 ...................................................................................(1)

(n-1) (7-1) ≥ 15

(n-1) (6) ≥ 15

6n ≥ 15 + 6 Keterangan :
20 n = banyak hewan uji
n ≥
6
t = banyak perlakuan atau kelompok uji
n ≥3

Hewan uji dikelompokkan menjadi 7 kelompok dimana setiap kelompok

terdiri dari 3 hewan uji (Hewan uji dilebihkan 1 ekor agar mengantisipasi masih

cukupnya hewan uji ketika terjadi kematian pada saat perlakuan). Kelompok

tersebut terdiri dari kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif, kelompok

normal dan 4 kelompok pemberian ekstrak etanol batang olae Etlingera

caloprhrys (K. Schum) A. D. Poulsen.

Kategori inklusi hewan uji :

a) Tikus jantan galur Wistar

b) Memiliki berat badan 200-300 gram

c) Jenis kelamin jantan

d) Berusia kurang lebih 8-10 minggu (dewasa)

e) Sehat

39
f) Tingkah laku dan aktivitas normal

g) Tidak ada kelainan anatomi yang tampak

h) Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok atau botak, dan bergerak

aktif

Kategori eksklusi hewan uji :

a) Penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan aktivitas kurang atau

tidak aktif. Keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus, dan

genital.

b) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa aklimatisasi

c) Mati selama masa aklimatisasi tikus.

2. Penyiapan hewan uji

a. Aklimatisasi hewan uji

Sebelum dilakukan penelitian, tikus terlebih dahulu dipelihara dan

diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium. Disiapkan tempat pemeliharaan

hewan uji yang meliputi kandang, sekam, tempat makan, dan tempat minum tikus.

Tikus diaklimatisasi selama 7 hari pada kondisi laboratorium, agar dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Selama proses adaptasi,

diberi makan dan minum, dilakukan pengamatan kondisi umum serta ditimbang

berat badannya. Tikus yang digunakan adalah tikus yang sehat yakni berat badan

selama aklimatisasi tidak mengalami perubahan lebih dari 10 % dan secara visual

menunjukkan perilaku yang normal (Maula, 2014). Setelah proses aklimatisasi,

tikus diukur kadar glukosa darah awalnya pada tiap kelompok perlakuan.

b. Pemeliharaan hewan uji

40
Pemeliharaan tikus putih meliputi kebersihan kandang dan kebersihan

tikus putih itu sendiri. Kebersihan kandang dilakukan dengan cara penggantian

sekam setiap 2 hari sekali dan pencucian/disinfeksi kandang setiap 1 minggu.

Kandang terbuat dari bak plastik yang tertutup dengan anyaman kawat dengan

luas 1 cm. Kandang berukuran sekitar p : ± 40 cm, t : ± 10 cm, dan l : ± 15 cm.

Pakan yang digunakan dalam pemeliharaan tikus putih adalah AD-2. Pakan

diberikan sebanyak 10% bobot badan, yaitu sekitar 10-15 gram/ekor/hari. Pakan

diberikan pada pagi hari pukul 08.00 dan sore hari pukul 17.00. Air minum yang

digunakan adalah reverse osmosis (RO) yang diberikan ad libitum yang

dimasukkan ke dalam tempat air minum yang digantung dalam kandang.

3. Penyiapan bahan

a. Pembuatan suspensi Na-CMC 0,5%

Pembuatan suspensi Na-CMC 0,5% yaitu dengan ditimbang Na-CMC

sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam gelas kimia. Ditambahkan 100 ml

aquades diaduk sambil dipanaskan di atas hot plate. Didinginkan selama 15 menit

hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diaduk sampai homogen.

b. Pembuatan sediaan uji

Sediaan uji dibuat dengan mensuspensikan ekstrak uji ke dalam Na-CMC

0,5 % dengan volume pemberian yang disesuaikan dengan berat badan hewan

coba. Suspensi yang telah siap diberikan per oral (p.o) ke hewan uji.

c. Pembuatan sediaan pembanding

Sediaan pembanding metformin diberikan dalam bentuk suspensi dalam

Na-CMC 0,5 % sesuai dosis oral efektif manusia 500 mg/kgBB. Dosis pemberian

41
metformin pada mencit dikonversikan berdasarkan perhitungan konversi dosis.

Faktor konversi dosis manusia ke tikus dengan berat badan 200g adalah 0,018.

4. Tahap induksi hewan uji

a. Pada hari pertama setelah aklimatisasi tikus dipuasakan selama 6 sampai 8

jam sebelum pemberian STZ.

b. Dimasukkan STZ sebanyak 40 mg ke dalam tabung. Dilarutkan STZ ke dalam

buffer natrium sitrat 0,05 M pH 4,5, hingga mencapai konsentrasi akhir 40

mg/mL. Larutan STZ harus disiapkan segar untuk setiap injeksi.

c. Larutan diinjeksikan STZ secara ip sebesar 40 mg/kgBB (1 mL/kgBB) kepada

hewan uji tikus.

d. Dikembalikan tikus ke kandangnya dan diberikan makanan dan air minum

seperti biasa.

e. Diuji kadar glukosa darah dari sampel darah vena hewan uji tikus pada hari

ke-10 setelah induksi (Furman, 2015).

5. Perlakuan hewan uji

Sebanyak 28 ekor tikus yang telah diinduksi dan mengalami kenaikan

glukosa darah kemudian dibagi menjadi 7 kelompok secara acak serta dilakukan

perlakuan selama 7 hari sebagai berikut :

K1 : kelompok kontrol normal tidak diberikan NaCMC 0,5% dan tidak di

induksi.

K2 : kelompok kontrol positif diberikan metformin

K3 : kelompok kontrol negatif diberikan NaCMC 0,5 %

K4 : diberikan ekstrak dosis 100 mg/kgBB

42
K5 : diberikan ekstrak dosis 150 mg/kgBB

K6 : diberikan ekstrak dosis 200 mg/kgBB

K7 : diberikan ekstrak dosis 250 mg/kgBB

Hari ke-8 setelah perlakuan akan dilakukan pengukuran kadar glukosa

puasa pada tikus tersebut menggunakan alat photometer .

6. Pengukuran kadar glukosa darah puasa tikus

Pengambilan darah pada tikus melalui pembuluh darah vena lateralis pada

tiap kelompok perlakuan sebanyak 1 mL. Kemudian disentrifugasi dengan

kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan diambil bagian plasmanya sebanyak 10

µL. Plasma darah kemudian dimasukkan dalam tabung mikro dan ditambahkan

1000 µL reagen glukosa, diinkubasi selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan

pengukuran kadar glukosa darah menggunakan alat photometer 5010v15+ dengan

panjang gelombang 546 nm.

7. Pemeriksaan histologi organ pankreas

a) Pengambilan organ pankreas

Tikus dianestesi general dengan kloroform. Tikus kemudian dibedah dan

darah diambil hingga detak jantung berhenti. Selanjutnya diambil organ pankreas

dan organ pankreas dicuci dengan NaCl fisiologis 0,9%. Organ pankreas difiksasi

dengan larutan buffer neutral formalin (BNF) 10% dilanjutkan dengan pembuatan

preparat histologi.

b) Pembuatan preparat histologi

Sampel organ yang akan digunakan difiksasi dalam larutan Buffer Neutral

Formalin (BNF) 10% selama 48 jam hingga mengeras (matang). Selanjutnya

43
sampel dimasukkan ke dalam tissue cassatte untuk proses pembuatan sediaan

histologi dengan menggunakan alat automatic tissue processor. Proses pembuatan

sediaan histologi melalui tahapan dehidrasi di dalam larutan alkohol bertingkat

(70%, 80%, 90% dan 95%), penjernihan (clearing) dilakukan dengan

menggunakan larutan xylol (I dan II). Selanjutnya dilakukan proses infiltrasi

paraffin cair ke dalam jaringan. Pembuatan blok jaringan dilakukan dengan

menggunakan tissue embedding console. Blok dipotong menggunakan dengan

microtom dengan ketebalan 4-5 µm. Hasil sayatan jaringan diletakkan pada gelas

objek dan diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37°C selama satu malam.

Sebelum pewarnaan, sayatan jaringan selanjutnya dideparafinisasi dan rehidrasi.

Setelah kedua tahap tersebut, dilakukan pewarnaan dengan metode hematoxyllin

dan eosin (HE). Preparat organ pankreas yang telah diwarnai diamati diatas

mikroskop dengan pembesaran 400x (Asnita, 2011).

L. Analisis Data

Metode analisis data kadar glukosa darah puasa tikus yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu metode Analysis of Variance (ANOVA) one way,

dengan taraf kepercayaan 95% dan tingkat signifikansi 5% (α = 0,05). Analisis

data dilanjutkan dengan analisis post hoc Least Significant Difference (LSD). Bila

data tidak terdistribusi normal maka data dianalisis menggunakan metode uji

Kruskal-Wallis dan bila terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok

perlakuan (p<0,05), maka dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Daniel, 1991).

Analisis statistika dilakukan dengan menggunakan program IBM Statistics SPSS.

44
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tumbuhan

45
Determinasi sampel batang olae (Etlingera calophrys (K.Schum) A. D.

Poulsen) dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. Hasil determinasi digunakan untuk

menjamin kebenaran dari spesies tumbuhan (Etlingera calophrys (K.Schum) A.

D. Poulsen). Hasil determinasi menunjukkan bahwa tumbuhan yang digunakan

adalah benar tumbuhan olae Etlingera calophrys hasil determinasi dapat dilihat

pada Lampiran 1.

B. Preparasi Sampel

Batang olae diambil dari desa Punggaluku, kacamatan Laeya, Kabupaten

Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi

hari jam 10 WITA. Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini berusia cukup

tua yang ditandai dengan batang berwarna hijau tua sehingga diharapkan senyawa

metabolit sekunder dari tumbuhan ini sudah maksimal dan seragam. Batang olae

yang diambil adalah batang yang tidak terkena hama, tidak rusak dan terkena

sinar matahari. Proses preparasi sampel dimulai dengan sortasi basah dimana

bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tumbuhan. Perajangan

dilakukan agar memperluas permukaan agar lebih mudah dalam proses

pengeringan. Proses pengeringan dilakukan dengan bantuan sinar matahari.

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak

sehingga dapat disimpan dalam waktu lama (Prasetyo dan Entang, 2013). Berat

batang olae yang diperoleh sebanyak 20 kg, selanjutnya dilakukan sortasi kering.

Tujuan sortasi kering untuk memisahkan kotoran yang masih tertinggal dan

sampel batang yang mengalami kerusakan pada proses sebelumnya. Setelah itu

46
sampel batang olae dihaluskan sehingga diperoleh serbuk simplisia batang olae.

Serbuk simplisia yang diperoleh adalah 1,5 kg.

C. Ekstraksi

Metode ekstraksi yang digunakan pada batang olae (Etlingera caloprhys

(K.Schum) A. D. Poulsen) yaitu menggunakan metode maserasi. Maserasi

digunakan untuk menghindari terurainya senyawa dalam sampel yang tidak tahan

pemanasan. Pelarut yang digunakan untuk proses maserasi adalah etanol 96%.

Pemilihan etanol 96% dikarenakan etanol relatif kurang toksik dibandingkan

dengan metanol, murah, mudah didapatkan, dan ekstrak yang dihasilkan tidak

mudah ditumbuhi oleh jamur dan bakteri serta umum digunakan dalam pembuatan

ekstrak. Etanol bersifat semi polar sehingga memungkinkan senyawa polar

maupun senyawa non polar dapat ditarik (Munte dkk, 2015).

Serbuk batang olae dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%

selama 3x24 jam, yang dimana selama 1x24 pelarut etanol diganti dan dilakukan

penyaringan yang bertujuan untuk memisahkan antara filtrat dan residu.

Penggantian pelarut diharapkan pelarut etanol dapat menarik semua senyawa yang

terdapat pada batang olae. Hasil maserasi diuapkan menggunakan vacuum rotary

evaporator pada suhu 50°C agar terjadi pemisahan antara zat aktif dengan pelarut

berdasarkan titik didihnya sehingga diperoleh ekstrak kental batang olae

(Andriyanto dkk., 2016). Jumlah berat serbuk batang olae yang diperoleh sebesar

1500 gram dan menghasilkan ekstrak kental sebanyak 118,3 gram sehingga

didapatkan nilai rendamen ekstrak batang olae sebesar 7,8%.

Tabel 6. Hasil Ekstraksi dan organoleptis ekstrak

47
Berat serbuk batang olae (g) Ektrak Kental (g) Rendemen (%) Organoleptis ekstrak

1500 118,3 7,8 Ekstrak kental, warna


hijau kehitaman, bau
aromatik lemah
(Sumber: Data Primer, 2019)

D. Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia digunakan untuk mengetahui fitokimia atau bahan aktif

yang merupakan metabolit sekunder pada batang olae. Sehingga dapat

memberikan gambaran golongan senyawa yang kemungkinan berperan dalam

menurunkan kadar glukosa darah (Purwati dkk., 2017). Hasil skrining fitokimia

dapat dilihat pada Tabel 7:

Tabel 7. Skrining fitokimia ekstrak etanol batang olae (Sumber: Data primer,
2019)
Uji Kimia Pereaksi Penanda Positif Hasil Kesimpulan

Alkaloid Mayer Terbentuknya Negatif


endapan
menggumpal
berwarna coklat
atau merah hingga
jingga (Putri dkk.,
2013)

Reaksi positif jika


Flavonoid Mg + HCl P terjadi perubahan Positif
warna kecoklatan
atau kuning pada
lapisan amil alkohol
(Putri dkk., 2013).

48
Saponin HCl 2 N Terbentuknya busa Negatif
yang stabil berarti
positif terdapat
saponin (Illing dkk.,
2017).

Tanin FeCl3 Terbentuknya warna Positif


coklat kehijauan atau
biru kehitaman
menunjukkan adanya
tanin (Yunus dkk.,
2018).

Terpenoid Liebermann- Terbentuk warna Positif


Buchard hijau atau biru untuk
steroid dan coklat
kemerahan
menunjukkan positif
terpenoid (Putri
dkk., 2013).

Kuinon NaOH 1 N Terbentuknya warna Negatif


merah menunjukkan
adanya senyawa
golongan kuinon
(Setyani dkk., 2016).

1) Alkaloid

Uji Alkaloid dilakukan menggunakan pereaksi mayer. Ektrak batang olae

tidak mengandung senyawa alkaloid yang ditandai tidak adanya endapan coklat

setelah penambahan pereaksi mayer.

49
2) Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa fenol sehingga warnanya berubah jika

ditambahkan basa atau amoniak. Flavonoid mempunyai sifat sebagai antioksidan

sehingga dapat melindungi sel-sel pankreas dari radikal bebas. Flavonoid juga

memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurunan kadar glukosa darah dengan

menghambat enzim-enzim penting yang berperan dalam pemecahan karbohidrat

menjadi monosakarida yang dapat diserap oleh usus yaitu enzim α amilase dan

enzim α glukosidase (Putri dkk., 2013). Ekstrak batang olae mengandung senyawa

flavonoid yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah kecoklatan

setelah pemberian serbuk Mg dan asam klorida pekat (HCl). Penambahan serbuk

Mg bertujuan agar membentuk ikatan dengan gugus karbonil pada senyawa

flavonoid dan penambahan HCl bertujuan untuk membentuk garam flavilium

(Andryanto dkk., 2016). Flavonoid yang terkandung dalam batang olae diduga

menyebabkan regenerasi sel pulau Langerhans, regenerasi sel β, dan merangsang

pengeluaran insulin. Flavonoid akan menginduksi hepatik glukokinase yang

menyebabkan hipoglikemik sehingga dapat menurunkan kadar glukosa dalam

darah (Putri dkk., 2013).

3) Tanin

Tanin merupakan senyawa yang memiliki gugus fenol. Jika bereaksi

dengan protein dapat membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air. Uji tanin

dilakukan dengan cara menambahkan ekstrak dengan larutan FeCl3 1% dan jika

terbentuk warna coklat kehijauan atau biru kehitaman menunjukkan adanya

senyawa polifenol dan tanin (Simaremare, 2014). Pada ekstrak batang olae positif

50
mengandung tanin dikarenakan perubahan warna menjadi biru kehitaman. Tanin

diketahui dapat memacu metabolisme glukosa dan lemak sehingga sumber kalori

dalam darah dapat dihindari. Tanin mempunyai aktivitas antioksidan dan

menghambat pertumbuhan tumor. Senyawa ini juga mempunyai aktivitas

hipoglikemia yaitu dengan meningkatkan glikogenesis. Selain itu tanin juga

berfungsi sebagai astrigen atau pengkhelat yang dapat mengkerutkan membran

epitel usus halus sehingga mengurangi penyerapan sari makanan akibatnya

menghambat asupan gula dan laju peningkatan gula darah tidak terlalu tinggi

(Putri dkk., 2013).

4) Saponin

Saponin merupakan senyawa yang memiliki gugus hidrofilik dan hidrofob.

Saponin pada saat digojok akan terbentuk buih karena adanya gugus hidrofil yang

berkikatan dengan air dan hidrofob akan berkikatan dengan udara. Penambahan

HCl 2 N bertujuan untuk menambahkan kepolaran sehingga gugus hidrofil akan

berkaitan dengan stabil dan buih yang terbentuk menjadi stabil (Simaremare,

2014). Pada ekstrak batang olae negatif mengandung saponin dikarenakan tidak

terdapat buih setelah ekstrak digojok dan jika penambahan HCl 2 N tetap tidak

adanya buih yang dihasilkan.

5) Kuinon

Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar.

Identifikasi kuinon terbagi menjadi tiga kelompok yaitu benzokuinon,

naftokuinon, dan antrakuinon. Terbentuknya warna merah setelah penambahan

51
NaOH 1 N yang menunjukkan bahwa batang olae negatif mengandung kuinon

karena tidak terbentuknya warna merah setelah penambahan NaOH 1 N.

6) Terpenoid

Pengujian terpenoid didasarkan pada kemampuan senyawa untuk

membentuk warna coklat kemerahan setelah penambahan asam asetat glasial

yang menunjukkan bahwa batang olae positif mengandung terpenoid.

E. Karakterisasi Sampel

Karakterisasi sampel ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophrys

(K.Schum) A. D. Poulsen) bartujuan untuk menjamin bahwa ekstrak yang

digunakan merupakan sediaan yang terjamin mutunya. Menurut Materi Medika

Indonesia VI (1995) karakterisasi sampel terdiri dari uji kadar abu, uji kadar air,

uji kadar sari larut etanol dan uji kadar sari larut air. Persyaratan kadar air pada

ekstrak adalah tidak lebih dari 10%. Sedangkan, penentuan kadar abu

berhubungan erat dengan kandungan mineral yang berasal dari proses awal

sampai diperoleh ekstrak batang olae. Kadar abu pada ekstrak tidak boleh lebih

dari 7%. Pengujian ini bertujuan untuk melihat kualitas, aman dan berkhasiat dari

ekstrak. Hasil dari pengujian karakterisasi ekstrak batang olae terlihat pada Tabel

8:

Tabel 8. Hasil karakterisasi ekstrak batang olae


Jenis karakterisasi Persyaratan Kadar Hasil
Kadar air Tidak lebih dari 10 % (Materi Medika 10 %
Indonesia VI, 1995)
Kadar abu Tidak lebih dari 7 % (Materi Medika 2,3%
Indonesia VI, 1995)
Kadar sari larut etanol Semakin tinggi maka ekstrak semakin 38%
bagus (Materi Medika Indonesia VI,
Kadar sari larut air 1995) Semakin tinggi maka ekstrak 26,7%
semakin bagus (Materi Medika Indonesia

52
VI, 199

(Sumber: Data primer, 2019)

Pengujian kadar sari etanol bertujuan untuk menentukan senyawa aktif

yang terdeteksi pada pelarut dari sejumlah ekstrak. Selain itu pada pengujian

kadar sari ini dapat ditentukan pelarut yang tepat untuk proses ekstraksi (Liana

dkk., 2015). Pengujian kadar air bertujuan untuk mengetahui banyaknya air yang

terkandung pada ekstrak. Kelebihan jumlah air pada ekstrak akan mempercepat

pertumbuhan mikroba maupun pembusukan, sehingga pengontrolan terhadap

kadar air dapat menekan terjadinya pembusukan dan kerusakan bahan baik dalam

penyiapan maupun pengolahan (Liana dkk., 2015).

Pengujian kadar abu dilakukan secara gravimetri yaitu penentuan kadar

abu berdasarkan bobot. Prinsipnya yaitu bahan dipanaskan pada temperatur

dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap serta yang

tertinggal hanya unsur mineral dan anorganiknya (Liana dkk., 2015).

F. Perubahan Kadar Glukosa Darah Tikus

Pengujian aktivitas antidiabetes pada penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui penurunan kadar glukosa darah pada tikus jantan galur wistar model

diabetes melitus yang ditelah diberikan ekstrak etanol batang olae (Etlingera

calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen) dengan varian dosis 100 mg/KgBB, 150

mg/KgBB, 200 mg/KgBB dan 250 mg/KgBB. Kontrol Positif yang digunakan

pada penelitian ini adalah metformin. Metformin dengan dosis 500 mg/KgBB

memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah dan mampu meningkatkan

53
sensitivitas terhadap insulin dan menekan produksi gula di hati sehingga, kadar

glukosa dalam darah menurun sehingga secara tidak langsung mengurangi

pembentukan senyawa reaktif akibat hiperglikemik (ADA, 2010). Kontrol negatif

yang digunakan adalah NaCMC karena NaCMC digunakan sebagai pensuspensi

sediaan ekstrak dan sediaan obat metformin yang diharapkan tidak memiliki efek

farmakologis sehingga NaCMC tidak dapat mempengaruhi hasil kadar glukosa

darah yang diperoleh.

Pada penelitian ini tikus di induksikan menggunakan streptozotocin (STZ)

dengan dosis 40 mg/KgBB (Nurmawati, 2017). STZ dapat membentuk radikal

bebas sangat reaktif yang dapat menimbulkan kerusakan pada membran sel

sehingga sel β pankreas terganggu dalam menghasilkan insulin (Saputra dkk.,

2018). Peningkatan kadar glukosa darah setelah pemberian STZ dengan dosis 40

mg/KgBB menjadi indikasi terjadinya DM tipe 2 (≥150 mg/dL) (Nurmawati,

2017).

Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dilakukan sebelum dan sesudah di

induksi menggunakan STZ dosis 40 mg/KgBB yang bertujuan untuk

membuktikan kondisi tikus setiap kelompok sudah mencapai kondisi DM tipe 2.

Sehingga didapatkan rata-rata glukosa darah puasa sebelum dan sesudah diinduksi

menggunakan STZ di tunjukkan pada Tabel. 9.

Tabel 9. Kadar Glukosa Darah Puasa Sebelum dan Setelah Induksi STZ
Kelompok/ Kadar glukosa darah tikus (mg/dL) Rata-rata
Perlakuan Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3 Tikus 4 (mg/dL)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
K- 164 492 109 400 106 507 115 514 123.5 478.25
K Normal 90 98 112 113 116 110 85 90 100.75 102.75
K+ 82 409 116 550 122 517 137 550 114.25 506.5
K1 103 550 111 550 102 550 101 550 104.25 550
K2 60 550 65 550 76 550 117 555 79.5 551.25

54
K3 132 520 115 550 249 506 108 550 151 531.5
K4 101 415 109 550 78 550 109 533 99.25 512
(Sumber: Data Primer, 2019)

Berdasarkan Tabel. 9 rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok uji (K-

, K+, K1, K2, K3, dan K4) yang di induksi menggunakan STZ 40 mg/KgBB

terjadi kenaikan kadar glukosa darah yang membuktikan bahwa kelompok uji (K-,

K+, K1, K2, K3, dan K4) sudah mencapai kondisi DM tipe 2. Pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa setelah tujuh hari perlakuan dengan pemberian metformin,

NaCMC 0,5%, dosis 100 mg/KgBB, dosis 150 mg/KgBB, dosis 200 mg/KgBB,

dosis 250 mg/KgBB ekstrak batang olae. Sehingga didapatkan rata-rata glukosa

darah puasa setelah perlakuan di tunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Kadar Glukosa Darah Puasa Setelah Perlakuan


Kelompok/ Kadar Glukosa Darah Puasa (mg/dL) Rata-rata
Perlakuan Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3 Tikus 4 (mg/dL)
K- 529,2 576,1 569 579,6 563,4
K Normal 89,3 97,3 95,5 92,9 93,8
K+ 231,8 223 232,7 226,5 228,5
K1 455,7 452,2 452,2 457,5 454,4
K2 432,7 435,3 423,8 430,9 430,7
K3 353 351,3 372,5 373,4 362,6
K4 314,1 311,5 307 292,9 306,4
(Sumber: Data primer, 2019)

Tabel. 10 menunjukkan rata-rata perubahan kadar glukosa darah tikus

setelah perlakuan selama tujuh hari. Dimana pada kelompok K normal memiliki

rata-rata kadar glukosa darah lebih rendah jika dibandingkan dengan semua

kelompok perlakuan yaitu sebesar 93,8 mg/dL, ini dikarenakan pada kelompok

normal tidak diinduksi menggunakan STZ yang dapat memberikan efek kenaikan

kadar glukosa darah. Sedangkan pada kelompok K- memiliki rata-rata kadar

glukosa darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan

dikarenakan kelompok K- diinduksi menggunakan STZ dan diberikan suspensi

55
NaCMC 0,5% sehingga membuktikan bahwa pemberian NaCMC 0,5 % selama

tujuh hari tidak memberikan efek penurunan kadar glukosa darah.

278.0
300.0 205.6
Kadar Glukosa Darah (mg/dL)

250.0 168.9
200.0
120.6
150.0 95.5

100.0

50.0 -85.2 8.9


0.0

-50.0

-100.0
K- Normal K+ K1 K2 K3 K4
Kelompok Perlakuan

Gambar 7. Rata-rata selisih perubahan kadar glukosa darah setelah perlakuan


terhadap kadar glukosa darah setelah induksi (Sumber: Data Primer, 2019)
Gambar.7 menunjukkan rata-rata selisih perubahan kadar glukosa darah

tikus sebelum dan sesudah diberi perlakuan selama 7 hari. Pada kelompok K-

lebih rendah penurunan kadar glukosa darah dibandingkan dengan kelompok K+

yang membuktikan bahwa rata-rata kadar glukosa darah pada kelompok K- lebih

tinggi dibandingkan dengan kelompok K+ dikarenakan pemberian metformin

memiliki efek penurunan kadar glukosa darah setelah pemberian selama tujuh

hari.

Rata-rata selisih kadar glukosa darah kelompok uji (dosis 100 mg/KgBB,

150 mg/KgBB, 200 mg/KgBB, dan 250 mg/KgBB) lebih tinggi dibandingkan

dengan rata-rata selisih perubahan kadar glukosa darah kelompok K- (Kelompok

negatif NaCMC). Berdasarkan hasil tersebut ekstrak batang olae memiliki potensi

penurunan kadar glukosa darah tikus setelah tujuh perlakuan. Rata-rata selisih

56
kadar glukosa darah kelompok uji (dosis 100 mg/KgBB, 150 mg/KgBB, 200

mg/KgBB, dan 250 mg/KgBB) lebih rendah dibandingkan dengan K+ (kelompok

positif metformin). Berdasarkan hasil tersebut membuktikan bahwa ekstrak

batang olae memiliki aktivitas menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak lebih

tinggi bila dibandingkan dengan pemberian Metformin.

Kelompok uji (dosis 100 mg/KgBB, 150 mg/KgBB, 200 mg/KgBB, dan

250 mg/KgBB) yang mengalami penurunan kadar glukosa darah tertinggi yaitu

kelompok ekstrak etanol batang olae dosis 250 mg/KgBB (K4) dengan nilai

penurunan kadar glukosa darah sebesar 205,6 mg/dL. Kelompok yang mengalami

penurunan kadar glukosa darah terendah yaitu kelompok ekstrak etanol batang

olae dosis 100 mg/KgBB (K1) dengan nilai penurunan kadar glukosa darah

sebesar 95,5 mg/KgBB. Kelompok yang mengalami peningkatan kadar glukosa

darah puasa yaitu kelompok K- (kelompok kontrol negatif) dengan nilai

peningkatan kadar glukosa darah sebesar 85,2 mg/KgBB.

Hasil pemeriksaan glukosa darah puasa setelah perlakuan semua kelompok

dianalisis statistic menggunakan program IBM Statistics SPSS dengan uji Analysis

of Variance (ANOVA) one way yang sebelumnya data kadar glukosa darah

setelah perlakuan diuji normalitas yang menggunakan metode Shapiro-Wilk. Uji

normalitas menggunakan Shapiro-Wilk bertujuan untuk apakah kadar glukosa

darah puasa setiap kelompok terdistribusi normal. Berdasarkan hasil uji

normalitas diketahui bahwa data yang dihasilkan berdistribusi normal (Sig.>0.05)

hasil uji normalitas dapat dilihat pada Lampiran. 13. Uji homogenitas dilakukan

untuk melihat data dari beberapa kelompok uji memiliki varian yang homogen

57
atau tidak, hasil uji homogenitas dapat dilihat pada Lampiran. 13. Didapatkan

nilai Sig. 0,006 yang menunjukkan bahwa data tidak homogen tetapi tetap

digunakan uji ANOVA karena data yang didapatkan terdistribusi normal dimana

syarat dari uji ANOVA adalah data terdistribusi normal.

Hasil uji post hoc LSD dapat dilihat pada Lampiran. 13 menunjukkan

perbandingan rata-rata kadar glukosa darah masing-masing kelompok. Kadar

glukosa darah pada kelompok K- terhadap kelompok uji (K1, K2, K3, dan K4)

yang memberikan perbedaan yang signifikan (Sig. <0,05) terhadap K-.

Berdasarkan hasil tersebut, ekstrak etanol batang olae memiliki pengaruh

menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes melitus setelah tujuh hari

perlakuan.

Pengaruh ekstrak etanol batang olae dalam menurunkan kadar glukosa

darah dengan membandingkan kadar glukosa darah kelompok K+ dengan

keempat kelompok uji berdasarkan rata-rata kadar glukosa darah dan hasil

statistik post hoc LSD. Rata-rata penurunan kadar glukosa darah pada Gambar. 7

menunjukkan bahwa K4 (kelompok dosis 250 mg/KgBB) memberikan penurunan

kadar glukosa darah yang lebih baik setelah tujuh hari perlakuan dibandingkan

dengan dosis yang lain. Hasil uji post hoc LSD, keempat kelompok uji pada hari

ketujuh menunjukkan penurunan kadar glukosa darah puasa yang bermakna (Sig.

<0,05) terhadap K+ tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan K+.

Penurunan kadar glukosa darah dengan pmeberian ekstrak batang olae

diduga diakibatkan adanya senyawa flavonoid dan tanin yang terdapat dalam

tumbuhan olae. Flavonoid mempunyai sifat sebagai antioksidan sehingga dapat

58
melindungi sel-sel pankreas dari radikal bebas. Flavonoid juga memiliki aktivitas

hipoglikemik atau penurunan kadar glukosa darah dengan menghambat enzim-

enzim penting yang berperan dalam pemecahan karbohidrat menjadi

monosakarida yang dapat diserap oleh usus yaitu enzim α amilase dan enzim α

glukosidase. Sedangkan tanin diketahui dapat memacu metabolisme glukosa dan

lemak, tanin juga berfungsi sebagai astrigen atau pengkhelat yang dapat

mengkerutkan membran epitel usus halus sehingga mengurangi penyerapan sari

makanan akibatnya menghambat asupan gula dan laju peningkatan gula darah

tidak terlalu tinggi (Putri dkk., 2013).

G. Gambaran Histologi Organ Pankreas Tikus Jantan


Pengamatan histologi menggunakan organ pankreas tikus jantan model

diabetes melitus yang diamati secara mikroskopis dengan pewarnaan

Hematoxilin-Eosin dengan pembesara 400x dengan melihat jumlah sel yang

terdapat pada pulau Langerhans.

Pada hewan uji yang mengalami diabetes melitus akan terjadi perubahan

morfologi pada pulau Langerhans, baik dalam jumlah sel maupun bentuk sel yang

terdapat pada pulau Langerhans yang meliputi terjadinya nekrosis atau degenerasi

sel. Gambaran histologi pankreas diamati menggunakan mikroskop dengan

pembesaran 400x. Perbaikan pulau Langerhans dapat dilihat dengan jumlah sel

yang mengalami regenerasi. Berikut ini merupakan data jumlah sel pada pulau

Langerhans.

Tabel 11. Jumlah sel β pada pulau Langerhans


Kelompok Percobaan Jumlah sel β
Kelompok Kontrol Negatif (K(-)) 208 sel
Kelompok Normal 653 sel
Kelompok Kontrol Positif (K(+)) 604 sel

59
Kelompok dosis 100 mg/kgbb (KI) 404 sel
Kelompok dosis 150 mg/kgbb (KII) 600 sel
Kelompok dosis 200 mg/kgbb (KIII) 650 sel
Kelompok dosis 250 mg/kgbb (KIV) 658 sel
(Sumber: Data primer: 2019)

1. Histologi Organ Pankreas Tikus Normal

Gambar 8. Histologi Sel Pulau Langerhans Tikus Normal Perbesaran 400x


dengan Pewarnaan HE. = sel normal

Pulau Langerhans kelompok normal pada Gambar. 8 diameter pulau

langerhans yang besar, adanya susunan keteraturan sel serta bentuk selnya

seragam dalam keadaan rapat dan utuh yang ditunjukkan dengan panah berwarna

merah serta tidak mengalami nekrosis dan degenerasi sel. Jumlah sel yang

terdapat pada pulau Langerhans kelompok normal yaitu 653 sel.

2. Histologi Organ Pankreas Tikus Kelompok Negatif (-)

a b

Gambar 9 . (a) Gambaran Histologi Sel Pulau Langerhans Tikus Kelompok Normal;
(b) Gambaran Histologi Sel Pulau Langerhans Tikus Kelompok Negatif
(K-) Perbesaran 400x dengan Pewarnaan HE. = sel normal ,
= nekrosis, = inti sel hilang.

60
Gambar. 9b pemberian STZ 40 mg/KgBB menunjukkan terjadinya

perubahan bentuk pulau Langerhans yang mengkerut dan mengecil jika

dibandingkan dengan kelompok normal, terjadinya perubahan jumlah dan bentuk

sel pada pulau langerhans, dan terdapat adanya sel yang mengalami nekrosis yang

ditandai dengan adanya ruang kosong pada pulau langerhands yang ditandai

dengan panah warna kuning dan terjadi degenerasi sel yang ditandai dengan

hilangnya inti sel yang ditandai dengan panah warna hijau. Pada Tabel. 11 jumlah

sel pulau Langerhans kelompok kontrol negatif sebanyak 208 sel dan pada

kelompok normal sebanyak 653 sel yang membuktikan bahwa kelompok negatif

(NaCMC 0,5%) yang sudah diinduksikan STZ 40 mg/KgBB mengalami

kerusakan sel pada pulau langerhans sehingga jumlah sel jauh lebih sedikit jika

dibandingkan dengan kelompok normal.

3. Histologi Organ Pankreas tikus setelah terapi

Pemberian metformin pada hewan uji sebagai kontrol positif Gambar.

10a menunjukkan adanya perbaikan mendekati normal yang dimana diameter

pulau langerhans lebih besar dan jumlah sel yang terdapat pada pulau langerhans

lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok negatif pada Gambar. 9b.

Jumlah sel yang terdapat pada pulau Langerhans kelompok positif sebesar 604 sel

sedangkan pada kelompok normal sebesar 653 sel dan pada kelompok negatif

sebesar 208 sel (Tabel. 11) yang membuktikan adanya regenerasi sel pada pulau

Langerhans setelah pemberian metformin selama 7 hari.

61
a b

c d

Gambar 10. (a) Gambaran Histologi Sel Pulau Langerhans Tikus Kelompok Negatif
(K+); (b) Gambaran Histologi Sel Pulau Langerhans Tikus Kelompok
dosis 100 mg/KgBB (K1); (c) Gambaran Histologi Sel Pulau Langerhans
Tikus Kelompok dosis 150 mg/KgBB (K2); (d) Gambaran Histologi Sel
Pulau Langerhans Tikus Kelompok dosis 200 mg/KgBB (K3); (e)
Gambaran Histologi Sel Pulau Langerhans Tikus Kelompok dosis 250
mg/KgBB (K4)
Perbesaran 400x dengan pewarnaan HE.
= sel normal , = nekrosis, = inti sel hilang.

62
Pemberian metformin pada hewan uji sebagai kontrol positif Gambar.

10a menunjukkan adanya perbaikan mendekati normal yang dimana diameter

pulau langerhans lebih besar dan jumlah sel yang terdapat pada pulau langerhans

lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok negatif pada Gambar. 9b.

Jumlah sel yang terdapat pada pulau Langerhans kelompok positif sebesar 604 sel

sedangkan pada kelompok normal sebesar 653 sel dan pada kelompok negatif

sebesar 208 sel (Tabel. 11) yang membuktikan adanya regenerasi sel pada pulau

Langerhans setelah pemberian metformin selama 7 hari.

Perbandingan K- (kelompok NaCMC 0,5%) dibandingkan dengan

kelompok uji (K1, K2, K3, K4), pada Gambar 9b, Gambar 10b, Gambar 10c,

Gambar 10d, dan Gambar 10e terlihat adanya perubahan bentuk pulau

Langerhans dimana pada kelompok negatif pulau Langerhans mengkerut dan

mengecil dan jika dibandingkan dengan kelompok uji (K1, K2, K3, K4) adanya

perbaikan pulau Langerhans dapat dilihat dari diameter lebih besar dan jumlah sel

lebih banyak. Jumlah sel kelompok negatif sebesar 208 sel sedangkan pada

kelompok uji K1 (dosis 100 mg/KgBB) sebesar 404 sel, kelompok uji K2 (dosis

150 mg/KgBB) sebesar 600 sel, kelompok uji K3 (dosis 200 mg/KgBB sebesar

650 sel, kelompok uji K4 (dosis 250 mg/KgBB) sebesar 658 sel (Tabel. 11) yang

membuktikan pada pemberian ekstrak etanol batang olae dapat memberikan

potensi dalam memperbaiki pankreas pulau Langerhans yang telah diinduksi STZ

40 mg/KgBB.

Perbandingan K+ (kelompok metformin) dengan kelompok uji (K1, K2,

K3, K4), memberikan efek perbaikan pankreas pulau Langerhans sama dengan

63
efek yang diberikan dari kelompok K+ (kelompok metformin). Pada jumlah sel

kelompok positif sebesar 604 dan pada kelompok uji K1 (dosis 100 mg/KgBB)

sebesar 404 sel, kelompok uji K2 (dosis 150 mg/KgBB) sebesar 600 sel,

kelompok uji K3 (dosis 200 mg/KgBB sebesar 650 sel, kelompok uji K4 (dosis

250 mg/KgBB) sebesar 658 sel yang membuktikan adanya efektivitas dari esktrak

batang olae dalam memperbaiki pankreas pulau Langerhans.

Pemberian ekstrak etanol batang olae sebagai kelompok uji (K1, K2, K3,

K4) menunjukkan adanya perbaikan pada pulau Langerhans pada Gambar 10b,

Gambar 10c, Gambar 10d, dan Gambar 10e menunjukkan adanya perbedaan

diameter pulau Langerhans dan jumlah sel yang terdapat pada pulau Langerhans.

Dimana pada dosis 250 mg/kgBB memberikan perbaikan paling tinggi jika

dibandingan dengan dosis lainnya.

Hasil yang didapatkan bahwa kelompok K4 (kelompok dosis 250

mg/KgBB) dapat memperbaiki pulau Langerhans yang telah telah di induksikan

STZ lebih baik dari pada kelompok K+ (kelompok positif metformin) yang dilihat

dari jumlah sel yang terdapat pada pulau Langerhans. Pada metformin memiliki

aktivitas kerja mirip dengan antioksidan dimana antioksidan dapat mencegah

kerusakan sel β pankreas karena memiliki aktivitas dengan cara menangkap atau

menetralkan radikal bebas sehingga dapat memperbaiki keadaan jaringan yang

rusak (Dehkordi dkk., 2019; Tendean dkk., 2017)

Dari hasil penelitian ini menujukkan bahwa ekstrak etanol batang olae

mempunyai efek penurunan kadar glukosa darah dan perbaikan pada organ

pankreas pulau Langerhans dan diharapkan penelitian ini dapat menjadi data

64
tambahan dan informasi ilmiah mengemai pemanfaatan batang oale (Etlingera

calophrys (K.Schum) A. D. Poulsen).

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu:

1. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak etanol batang olae

(Etlingera calophrys (K.Schum) A.D. Poulsen) yang berasal dari desa

Punggaluku Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

adalah, flavonoid, tanin, dan terpenoid

2. Ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophrys (K.Schum) A.D. Poulsen)

berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah pada tikus jantan galur

wistar model diabetes melitus tipe 2.

3. Gambaran histologi organ pankreas tikus jantan galur wistar model diabetes

melitus setelah pemberian ekstrak etanol batang olae (Etlingera calophrys

(K.Schum) A.D. Poulsen) dapat meningkatkan regenerasi sel β pulau

Langerhans.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai senyawa utama dari ekstrak etanol batang olae

sebagai antidiabetes dan perlu dilakukan uji histologi pada organ hepar dan ginjal

65
untuk mengetahui ekstrak etanol pada morfologi organ tersebut pada hewan yang

mengalami DM.

DAFTAR PUSTAKA
ACCP,. 2013. Pharmacotherapy Review Program for Advanced Clinical
Pharmacy Practice. United States: American Collage of Clinical
Pharmacy.

ADA, 2010, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care.

ADA, 2017, American Diabetes Association : Standards of Medical Care in


Diabetes 2017. The J of Clin & App Research & Ed, 40(1), 513

Akbar, B., 2010, Tumbuhan dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi
sebagai Bahan Antifertilitas, Adabia Press: Jakarta.

Alamudin, Benazir., B. Maria Monica S., dan Taufikurohma T., 2013, Pengaruh
Infiltrasi Nanogold terhadap Kualitas Jaringan dan Kuantitas Merkuri
pada Otak Mencit (Mus musculus) Setelah Terpapar Merkuri, UNESA
journal of Chemistry, VOL 2(3).

Almasdy, D., Sari Dita P., Suharti., Darwin D., dan Kurniasih N., 2015, Evaluasi
Penggunaan Obat Antidiabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe-2 di
Suatu Rumah Sakit Pemerintah Kota Padang-Sumatera Barat. Jurnal
Sains Farmasi & Klinis, Vol. 2(1), 104.

Andryanto, Bambang E, Ardiningsi Puji, dan Indiawati Nora, 2016, Skrining


Fitokimia Ekstrak Daun Belimbing Hutan (Baccaurea angulata Merr.),
JKK, Vol 5 (4).
Angin, Mawar I.B.P, 2015, Karakterisasi Senyawa Kimia dan Uji Aktivitas
Antibakteri Minyak Atsiri Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) yang
Diisolasi dengan Destilasi Stahl, Agrica Ekstensia, Vol 9 (1).

Ardiyani, Marlina., Yessi Santika., Jin Hyub Paik., Ansyary Muruzy., dan Axel
Dalberg Poulsen., 2012, Gingers of Lombok, Floribunda, Vol 4(5).
Asnita. 2011. Identifikasi Cacing Parasitik dan Perubahan Histopatologi padaIkan
Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) dari Kepulauan
Seribu.Skripsi, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

66
Attia, AA, 2009, Histological and Electron Microscopic Studies of the Effect of β-
Carotene on the Pancreas of Streptozotocin (STZ)- Induced Diabetic
Rats, Pakistan Journal of Biological Science, Vol 12(4).

Chan, E.W.C., Lim Y.Y., dan Omar M., 2007, Antioxidant and antibacterial
activity of leaves of Etlingera species (Zingiberaceae) in Peninsular
Malaysia. Food Chemistry Elsevier, 104: 1586–1593.

Chan, E.W.C., Y.Y. Lim, L.F. Wong, F.S. Lianto, S.K. Wong, K.K. Lim, C.E.
Joe, dan T.Y. Lim, 2008, Antioxidant and Tyrosinase Inhibition
Properties of Leaves and Rhizomes of Ginger Species, Food Chemistry,
109, 477–483.

Dahlia, F.M.D., 2014, Pemberian Ekstrak Teh Putih (Camelliasinensis) Oral


Mencegah Dislipidemia pada Tikus (Rattusnorvegicus) Jantan Galur
Wistar yang Diberi Diet Tinggi Lemak. Tesis, Universitas Udayana, Bali.

DeFronzo, R.A., 2009, From the Triumvirate to the Ominous Octet: A


NewParadigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes,
58, 773-795.

Depkes, RI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus.


Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan alat Kesehatan, Jakarta.

Depkes, RI, 2008, Farmakope herbal Indonesia, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta.

Depkes, RI,1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta.

Depkes, RI., 2011, Suplemen II Farmakope Herbal Indonesia Edisi I, Departemen


Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Dewick, P.M., 2009, Medicinal Natural Products : A Biosynthetic Approach, 3th


Edition, John & Wiley Sans, United Kingdom.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2016, Profil Kesehatan Sulawesi
Tenggara Tahun 2016, Dinkes Prov Sulawesi Tenggara, Kendari.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee G.C., Matzke G.R., Wells B.G., dan Posey LM.,
2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologyc Approach 7th Edition,
McGraw-Hill Companies, Inc USA.

Furman, B.L., 2015, Streptozotocin-Induced Diabetic Models in Mice and Rats.


Current Protocols in Pharmacology, Supplement 70.

67
Gad, S.C., 2016, Animal Models in Toxicology, 3rd Edition, CRC Press: United
States.

Harborne, J.B., 1996, Metode Fitokimia:Penuntun Cara Moderen Menganalisa


Tumbuhan, Edisi II, ITB Press: Bandung.

Hosseini, A., R. Shafiee-Nick., dan A. Ghorbani., 2015, Pancreatic beta cell


protection or regeneration with phytotherapy, Brazilian Journal of
Pharmaceutical Sciences, Vol 51 (1).

Hu, Hu., Jin-Hee Yeo., Yunyao Jiang., Seong-Il Heo dan Myeong-Hyeon Wang,
2013, The antidiabetic effects of an herbal formula composed of Alnus
hirsuta, Rosa davuri ca, Acanthopanax senticosus and Panax schinsen in
the streptozotocin-induced diabetic rats, Nutrition Research and Practice
(Nutr Res Pract), Vol 7(2).

Illing, I., Wulan, S., dan Erfiana, 2017, Uji Fitokimia Ekstrak Buah Dengen.
Jurnal Dinamika, 8(1).
International Diabetes Federation, 2017, Diabetes Atlas 8th edition. Diabetes
Atlas.

Johnson, M., 2012, Laboratory Mice and Rats,


http://www.labome.com/method/Laboratory-Mice-and-Rats.html.5
Oktober 2017.

Katzung, B. G, 2012, Farmakologi Dasar dan Klinik Edis 12 Vol 2, Penerbit


Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Kementerian Riset dan Teknologi, 2010, Direktori Penelitian Asing di Indonesia,


Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta.

Khan, Ahmad Nawaz., Khan RA,. Ahmad M., dan Mushtaq N., 2015, Role of
antioxidant in oxidative stress and diabetes mellitus, Journal of
Pharmacognosy and Phytochemistry, Vol 3(6).

Liana, Mira, Fitrianingsih SP, dan Mulqie L, 2015, Karakterisasi Simplisia dan
Ekstrak Etanol Jamur Kuping Hitam (Auricularia polytricha (Mont.)
Sacc.), Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba, ISSN: 2460-6472.
Lingga, A.R., Usman, P., dan Evy, R., 2016, Uji Antibakteri Ekstrak Batang
Kecombrang (Nicolaia speciose Horan) terhadap Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli. JOM Faperta, Vol. 2(2), 1.

Maimulyanti, A dan Anton, R.P., 2015, Chemical Composition, Phytochemical


and Antioxidant Activity From Extract of Etlingera elatior Flower From
Indonesia, Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry, Vol 3(6).

68
Maula, I.F., 2014, Uji Antifertilitas Ekstrak n-Heksan Biji Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.) pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague
Dawley Secara In Vivo. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

McCulloch, D.K., 2008, Metformin in The Treatment Of Diabetes Mellitus. In:


UpToDate [database online]. Version 16.2. Waltham (MA). 23
September 2018.
Minarno, E.B, 2015, Skrining Fitokimia dan Kandungan Total Flavanoid pada
Buah Carica pubescens Lenne & K. Koch Di Kawasan Bromo, Cangar,
dan Dataran Tinggi Dieng, El-Hayah, 5 (2).

Mukhriani, 2014, Ekstraksi, Pemisahan Senyawa dan Identifikasi Senyawa Aktif,


Jurnal Kesehatan, Vol. 7 (2).

Munte, L., Max R.R., dan Gayatri C., 2015, Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak
Daun Prasman (Eupatorium triplinerve Vahl.), Jurnal Ilmiah Farmasi,
4 (3).
Ngatidjan. 2006. Metode Laboratorium dalam Toksikologi. Metode Uji
Toksisitas.

Noer, Shafa, 2016, Uji Kualitatif Fitokimia Daun Ruta Angustifolla, Faktor
Excata, Vol 9 (3).
Nugroho, A.E, 2006, Review: Hewan Percobaan Diabetes Mellitus : Patologi Dan
Mekanisme Aksi Diabetogenik, Biodiversitas, Vol. 7(4).

Nurmawati, Thati., 2017, Studi Respon Fisiologis dan Kadar Gula Darah pada
Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Terpapar Streptozotocin (STZ),
Jurnal Ners dan Kebidanan. Vol 4(3).
Papich, M.K., 2016, Saunders Handbook of Veterinary Drugs. 4th Edition,
Elsevier, New York.
Pasaribu, Fidayani., Sitorus Panal., dan Bahri Saiful., 2012, Uji Ekstrak Etanol
Kulit Buah Manggis (Garcinia Mangostana. L) Terhadap penurunan
Kadar Glukosa Darah, Journal of Pharmaceutics and Pharmacology, Vol
1(1).

Pearce E.C. 2000. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. 23th ed. Gramedia
pustaka utama: Jakarta.

Perkeni, 2015, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia 2015, PB PERKENI, Jakarta.

69
Prasetyo dan Entang, I., 2013, Pengelolaan Budidaya Tanaman Obat-Obatan
(Bahan Simplisia), Badan Penerbitan Fakultas Pertanian UNIB,
Bengkulu.
Purwati, Sri, Lumowa S.V.T, Samsurianto, 2017, Skrining Fitokimia Daun Saliara
(Latana camara L) Sebagai Pestisida Nabati Penekanan Hama dan
Insidensi Pada Tanaman Holtikultura di Kalimantan Timur, Prosiding
Seminar Nasional Kimia, ISBN 978-602-50942-0-0.
Putri, Eska Perdanawati Kahar. Baharuddin Hamzah. dan Nurdin Rahman., 2012,
Analisis Kualitatif Zat Bioaktif pada Ekstrak Daun Alpukat (Persea
Americana Mill) dan Uji Praklinis dalam Menurunkan Kadar Glukosa
Darah pada Mencit (Mus musculus), J.Akad Kim, Vol 2(3).

Putri, Eska Perdanawati Kahar., Baharuddin Hamzah., dan Nurdin Rahman, 2012,
Analisis Kualitatif Zat Bioaktif pada Ekstrak Daun Alpukat (Persea
Americana Mill) dan Uji Praklinis dalam Menurunkan Kadar Glukosa
Darah pada Mencit (Mus musculus), J.Akad Kim, Vol 2(3).

Sahidin, I., Wahyuni., Muh Hajrul Malaka., Jabbar A., Imran., dan Marianti A
Manggau., 2018, Evaluation of Antiradical Scavenger Activity of Extract
and Compounds From Etlingera Calophrys Stems, Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research, Vol 11(2).

Saputra, Nengah Tegar, Suartha I Nyoman, dan Dharmayudha AAGO, 2018,


Agen Diabetagonik Streptozotocin untuk Membuat Tikus Putih Jantan
Diabetes Melitus, Buletin Veteriner Udayana, Vol 10 (2).
Sartini, Y., Wahyuono, S., Widyarini, S., dan Yuswanto, A.G, 2013, Uji Aktivitas
Fagositosis Makrofag Senyawa Kode Pc-2 dari Daun Sirih Merah (Piper
crocatum Ruiz & Pav.) Secara In-vivo, JIFI, Vol. 11 (2).

Setiati, Siti., Idrus Alwi, Aru W Sudoyo, Marcellus Simadibrata K, Bambang


Setiyohadi, dan Ari Fahrial Syam, 2014, Buku Ajar: Ilmu Penyakit
Dalam, InternaPublishing: Jakarta.

Setyani, Wahyuning, Setyowati Hanny, dan Ayuningtyas Dewi., 2016,


Pemanfaatan Ekstrak Tersandarisasi Daun Som Jawa (Talinum
paliculatum (Jacq.)Gaertn) Dalam Sediaan Krim Antibakteri
Staphylococcus aureus, Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas, Vol 13
(1).
Simaremare, Eva Susanty, 2014, Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Gatal
(Laportea decumana (Roxb.) Wedd), Pharmacy, Vol 11 (1).
Sukandar, D., Radiastuti N., Jayanegara I., dan Hudaya A., 2010, Karakterisasi
Senyawa Aktif Antibakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang
(Etlingeraelatior) sebagai Bahan Pangan Fungsional, Valensi, Vol. 2(1)

70
Sutari, 2016, Kandungan Bahan Aktif Tanaman Pegagan dan Khasiatnya untuk
Meningkatkan Sistem Imun Tubuh, Jurnal Litbang Pertanian, Vol
35(3).
Syarif, R.A., Firdha, S., dan Aktsar, R.A., 2016, Rimpang Kecombrang (Etlingera
elatior Jack.) sebagai Sumber Fenolik. J Fitofarmaka Indonesia, Vol.
2(2).

Syarif, R.A., Firdha, S., dan Aktsar, R.A., 2016, Rimpang Kecombrang (Etlingera
elatior Jack.) sebagai Sumber Fenolik. J Fitofarmaka Indonesia, Vol.
2(2).

Tjay, T.H., dan Rahardja, K, 2007, Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaandan


Efek-efek samping. Edisi IV, Elex Media Komputindo: Jakarta.

Wahyuni, Hajrul M.M., Adryan F., Ilyas M.Y., dan Sahidin, 2017, Potensi
Imunomodulator Ekstrak Etanol Buah Kecombrang (Etlingera elatior
(Jack). R.M.Smith) terhadap Aktivitas Fagositosis Makrofag Mencit
Jantan Galur Balb/c, Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol. 6(3).

Wei wei,. Liu Q., Tan Y., Liu L., Li X., dan Cai L., 2009, Oxidative stress,
diabetes, and diabetic complications. Hemoglobin, Vol 33(5).

World Health Organization., 2010, World Health Statistic 2010, WHO Library
Cataloguin-In-Publication Data Printed in France.

World Health Organization., 2014, World Health Statistic 2014, WHO Library
Cataloguin-In-Publication Data Printed in Italy.

World Health Organization., 2015, World Health Statistic 2015, WHO Library
Cataloguin-In-Publication Data Printed in Luxembourg.

Yeans, Helen, 2013, The History and Cultivation of Etlingera A-The Torch
Gingers-At The Royal Botanic Garden Edinburgh, The Journal of
Botanic Garden Horticulture, No.11.

Yunus I, Widdhi B Dan Edwin D.Q, 2018, Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas
Ekstrak Etanol Daun Langsat (Lansium Domesticum Corr) Terhadap
Larva Artemia Salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT), PHARMACON jurnal Ilmiah Farmasi, 7(3).

71
72
73
74
75
76
Lampiran 3. Skema Alur Penelitian.

Batang olae
Etlingera caloprhrys Tikus putih jantan galur wistar

Preparasi batang olae Aklimatisasi tikus selama 7 hari


Etlingera caloprhrys

Simplisia batang olae Pengukuran kadar glukosa darah awal


Etlingera caloprhrys

Penginduksian STZ
Ekstrak kental batang olae
Etlingera caloprhrys

Pengukuran kadar glukosa darah setelah induksi STZ

Perlakuan hewan uji

Selama 7 Hari

K (-) K (+) K (Normal)


K (I) K (II) K (III) K (IV)

Ekstrak batang Ekstrak batang Ekstrak batang Ekstrak batang


olae E.Calophrys olae E.Calophrys olae E.Calophrys olae E.Calophrys
Na-CMC (K.Schum) A. (K.Schum) A.
(K.Schum) A. (K.Schum) A.
0,5% +
Metformin Pakan D. Poulsen) 100 D. Poulsen) 100 D. Poulsen) 100 D. Poulsen) 100
Pakan
+ pakan mg/kgBB + mg/kgBB + mg/kgBB + mg/kgBB +
pakan pakan pakan pakan

Hari ke - 8

Perubahan kadar glukosa darah tikus Gambaran histologi pankreas tikus

Analisis data

77
1. Diagram Alur Pembuatan Ekstrak Kental Batang Olae

Batang olae
(E. calophrys (K. Schum) A. D. Poulsen)

Preparasi batang Olae

- Dibersihkan
- Disortasi basah
- Dicuci hingga bersih
- Dirajang
- Dikeringkan
- Dilakukan sortasi kering
- Dihaluskan
Simplisia batang olae

- Dimaserasi dengan pelarut etanol selama 3 x


24 jam
- Dievaporasi

Ekstrak kental

78
2. Pengukuran kadar glukosa puasa tikus

Tikus jantan galur wistar

- diambil darah tikus melalui pembuluh


darah vena jantung sebanyak 1 mL.
- disentrifugasi dengan kecepatan 3000
rpm selama 10 menit

Sel darah merah Plasma

- diambil sebanyak 10 µL dan


dimasukkan dalam tabung
mikro
- ditambahkan 1000 µL reagen
glukosa
- diinkubasi selama 10 menit.
- diukur kadar glukosa darah
menggunakan alat photometer
5010v15+ dengan 546 nm.

Kadar glukosa darah

79
3. Pengamatan histologi pankreas tikus
a. Pembuatan BNF 10%

NaH2PO4.2H2O monohidrat Na2HPO4anhidrat

- ditimbang sebanyak - ditimbang sebanyak


4 gram 6,5 gram

- Dilarutkan pada sedikit akuades


- Dicampur larutan NaH2PO4.2H2O dengan 100
mL formalin 37%
- Dicampur larutan asam (NaH2PO4.2H2O +
formalin) dengan larutan basa (Na2HPO4)
perlahan-lahan sambil diaduk
- dicek pH
- diencerkan dengan akuades sampai volume tepat
1000 mL
- dicek pH akhir larutan. BNF 10% akan
menunukkan pH ± 7

Larutan BNF 10%

b. Pembedahan hewan uji


Tikus jantan galur wistar

- dianastesi dengan menggunakan


kloroform
- diposisikan tikus pada papan bedah
menggunakan jarum pentul
- dibedah mulai dari bagian perut
ataupun uterus menggunakan pisau
bedah
- diambil organ pankreas dan
dibersihkan organ dari lemak-lemak
yang masih menempel
- dicuci organ dengan NaCl 0,9%
berulang-ulang hingga bersih dari dari
darah
- ditiriskan organ di atas kertas saring
- dimasukkan organ dalam pot berisi
BNF 10%

Pankreas

80
c. Pengamatan histologi organ pankreas

Organ pankreas yang telah difiksasi

- dipotong dengan ketebalan 0,5 µm dengan


mikrotom
- dimasukkan ke dalam kaset tissue
- didehidrasi menggunakan alkohol bertingkat 70 %,
80 %, 90%, dan alkohol absolut
- dijernihkan dengan menggunakan Xylol I, Xylol
II, dan Xylol III
- diblok dengan menggunakan paraffin blok
- dipotong blok paraffin dengan mikrotom pada
ketebalan 3-4µm
- dilakukan pewarnaan HE (hematoksilin-eosin)
- diamati degenerasi dan nekrosis jaringan di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400x pada 5 lapang
pandang berbeda

Hasil

81
Lampiran 4. Pembuatan Pereaksi Skrining Fitokimia

1. Pereaksi Mayer(Alkaloid)

1,36 gram dilarutkan 5 gram KI dalam 10 mL


dalam 60 mL aquadest aquadest

2. Pereaksi FeCl3
2. Pereaksi FeCl3
Campur dan diamkan hingga
memisah sempurna, larutan yang
- Ditimbang
jernih kemudian diambil dan 1 gram -
Dimasukan
encerkan dengan aquadest ad 100 dalam labu
- Ditimbang 1 gram -
mL takar 100 ml -
Dimasukan dalam labu
Ditambahkan samapi tanda
takar 100 ml -
tera
Ditambahkan samapi tanda
teraFeCl3 (Tanin)
2. Pereaksi
Pereaksi FeCl3 1%
FeCl3
Pereaksi FeCl3 1% 3. Lieberman- bunchard
- Ditimbang 1 gram
3. Lieberman- bunchard
- Dimasukan dalam labu takar 100 ml

- Ditambahkan samapi tanda tera

- Di tambahkan 5ml
Pereaksi FeCl3 1% H2SO4 - Ditambahkan 50
- Di tambahkan 5ml
ml etanol
H2SO4 - Ditambahkan 50
ml etanol

Pereaksi Lieberman-
bunchard
Pereaksi Lieberman-
bunchard FeCl3
FeCl3 5 ml Asam Asetat
5 ml Asam Asetat 0,85 gram Bismuth (III)
nitrat dalam dalam 10 mL
0,85 gram Bismuth (III)
asam asetat P
nitrat dalam dalam 10 mL
asam asetat P
82
Lampiran 5. Perhitungan Rendemen
Berat Simplisia Kering = 1500 gram
Berat total ekstrak = 118,3 gram
Bobot ekstrak
Rendamen Ekstrak = bobot simplisia X 100%
118,3 gram
= X 100%
1500 gram

= 7,85
Lampiran 6. Perhitungan untuk Karakterisasi Simplisia

1. Kadar air

KODE Berat Sampel Berat Cawan Berat Setelah Di Hasil %


NO
SAMPEL (gr) Kosong (gr) Oven (gr)
1 5.0319 45.6074 50.1006 10 %
2 Ekstrak 5.0319 45.5975 50.1008 10 %
3 5.0319 45.6071 50.1006 10 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
Rumus : X 100% =
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

Berat ekstrak = 5.0319 gram

Berat cawan kosong

Cawan 1 = 45,6074 gram

Cawan 2 = 45,5975 gram

Cawan 3 = 45,6071 gram

Berat cawan + ekstrak setelah dipanaskan

Cawan 1 = 50,1006 gram

Cawan 2 = 50,1008gram

Cawan 3 = 50,1006 gram

Kadar Air (%)

Cawan 1 (Replikasi 1)

83
𝐁. 𝐚𝐰𝐚𝐥−(𝐁.𝐬𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠−𝐁. 𝐜𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐬𝐨𝐧𝐠)
Kadar Air % = x 100%
𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐚𝐰𝐚𝐥

5.0319 −(50,1006 −45,6074)


= × 100%
5.0319

5.0319 −4,4931
= × 100 %
5.0319

= 10%

Cawan 2 (Replikasi 2)

𝐁. 𝐚𝐰𝐚𝐥−(𝐁.𝐬𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠−𝐁. 𝐜𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐬𝐨𝐧𝐠)


Kadar Air % = x 100%
𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐚𝐰𝐚𝐥

5.0319 −(50,1008−45,5975)
= × 100%
5.0319

5.0319−4,5033
= × 100 %
5.0319

= 10 %

Cawan 3 (Replikasi 3)

𝐁. 𝐬𝐚𝐫𝐢 𝐥𝐚𝐫𝐮𝐭 𝐬𝐞𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐮𝐚𝐩𝐤𝐚𝐧− 𝐁. 𝐜𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐬𝐨𝐧𝐠 𝐱 𝐅𝐏


Kadar Air % = x 100
𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐬𝐢𝐦𝐩𝐥𝐢𝐬𝐢𝐚

5.0319−(50,1006 −45,6071)
= × 100%
5.0319

5.0319−4,4935
= × 100 %
5.0319

= 10 %

2. Kadar abu

KODE Berat Sampel Berat cawan Berat setelah Hasil


NO
SAMPEL (gr) a Kosong (gr) c Ditanur (gr) b
1 2.0413 51.6397 51.6883 2,3%
2 Ekstrak 2.0413 51.6508 51.6991 2,3%
3 2.0413 51.6507 51.7017 2,4%
B−C
Kadar Abu (%) = x 100%
A

 Berat ekstrak (A) = 2.0413 gram

Berat cawan kosong (C) = 51.6397gram

84
Berat cawan + ekstrak setelah diabukan (B) = 51.6883gram

B−C
Kadar Abu (%) = x 100%
A

51.6883−51.6397
= 𝑥 100%
2.0413

= 2,3%

 Berat ekstrak (A) = 2.0413 gram

Berat cawan kosong (C) = 51.6508 gram

Berat cawan + ekstrak setelah diabukan (B) = 51.6991 gram

B−C
Kadar Abu (%) = x 100%
A

51.6991−51.6508
= 𝑥 100%
2.0413

= 2,3%

 Berat ekstrak (A) = 2.0413 gram

Berat cawan kosong (C) = 51.6507 gram

Berat cawan + ekstrak setelah diabukan (B) = 51.7017 gram

B−C
Kadar Abu (%) = x 100%
A

51.7017 −51.6507
= 𝑥 100%
2.0413

= 2,4 %

3. Kadar sari larut air

KODE Berat Berat Cawan Berat Setelah


NO
SAMPEL Sampel (gr) Kosong (gr) Di Oven (gr)
1 40.9217 41.1908
2 Ekstrak 5.0276 40.9216 41.1902
3 40.9217 41.1905

85
𝑐−𝑏
Rumus : X FP X 100%
𝑎
41.1908−40.9217 100
Reprikasi 1 = X X 100% = 26,7% (dihitung terhadap 100 mL
5.0276 20
pelarut)
41.1902−40.9216
Reprikasi 2 = X 5 X 100% = 26,7% (dihitung terhadap 100 mL
5.0276
pelarut)
41.1905−40.9217
Replikasi 3 = X 5 X 100% = 26,7% (dihitung terhadap 100 mL
5.0276
pelarut)
4. Kadar sari larut etanol

KODE Berat Sampel Berat Cawan Berat Setelah Hasil


NO
SAMPEL (gr) a Kosong (gr) b Di Oven (gr) c
1 48.1206 48.5027 38%
2 Ekstrak 5.0201 48.1205 48.5031 38%
3 48.1206 48.5024 38%
𝑐−𝑏
Rumus : X FP X 100%
𝑎
48.5027−48.1206
Reprikasi 1 = X 5 X 100% = 38% (dihitung terhadap 100 mL
5.0201
pelarut)
48.5031−48.1205
Reprikasi 2 = X 5 X 100% = 38% (dihitung terhadap 100 mL
5.0201
pelarut)
41.1905−40.9217
Replikasi 3 = 5.0276
X 5 X 100% = 38% (dihitung terhadap 100 mL
pelarut)

86
Lampiran 7. Tabel Konversi Perhitungan Dosis

Tabel Konversi Dosis Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh (FDA, 2005)

87
Lampiran 8. Tabel Volume Maksimum Pemberian Cairan Untuk Hewan Uji

Volume Maksimum Larutan Sediaan Uji yang dapat diberikan pada beberapa
hewan uji (Harmita dan Maksum, 2006)

Volume maksimum (mL) sesuai jalur pemberian


Jenis Hewan Uji
i.v. i.m. i.p. s.c. p.o.

Mencit (20 – 30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5 – 1,0 1,0

Tikus (200 g) 1,0 0,1 2–5 2–5 5,0

Hamster (50 g) - 0,1 1–2 2,5 2,5

Marmut (250 g) - 0,25 2–5 5,0 10,0

Kelinci (2,5 kg) 5 – 10 0,5 10 – 20 5 – 10 20,0

Kucing (3 kg) 5 – 10 1,0 10 - 20 5 – 10 50,0

Anjing (5 kg) 10 - 20 5,0 20 - 50 10,0 100,0

Keterangan :
i.v. = Intra vena
i.m. = Intra muskular
i.p. = Intra peritoneal
s.c. = Subkutan
p.o. = Pemberian oral

88
Lampiran 9. Pembuatan Sediaan Banding

A. Perhitungan dosis metformin yang akan diberikan pada tikus secara peroral.

a. Sediaan pembanding yang digunakan adalah metformin dengan dosis 500 mg

untuk manusia dewasa. Maka perlu dilakukan konversi dosis untuk pemberian

pada tikus. Perhitungan konversi sebagai berikut:

1. Dosis Tikus BB 230,39 gram

500 𝑚𝑔
Dosis manusia = 60 𝑘𝑔𝐵𝐵 = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

6
Dosis untuk tikus = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 37 = 1,35 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

1,35 𝑚𝑔
Dosis tikus berat 230,39 g = 𝑥 230,39 𝑔 = 0,311 𝑚𝑔
1000 𝑔

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Larutan stok = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

40 𝑚𝐿
= 𝑥 0,311 𝑚𝑔 = 2,488 𝑚𝑔
5 𝑚𝐿

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Berat yang ditimbang = 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑎𝑡
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡

2,488 𝑚𝑔
= 𝑥 0,5925 𝑔 = 0,0029 𝑔
500 𝑚𝑔

Jadi, Metformin yang ditimbang sebanyak 0,0029 g dan disuspensikan dalam

40 mL Na-CMC 0,5% dan diberikan sesuai volume pemberian tikus

Menentukan jumlah obat metformin yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
Volume pemberian = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x volume pemberian oral

230,39 𝑔
Volume pemberian = 286,31 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,02 mL

2.Dosis Tikus BB 250,56 gram

89
500 𝑚𝑔
Dosis manusia = 60 𝑘𝑔𝐵𝐵 = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

6
Dosis untuk tikus = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 37 = 1,35 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

1,35 𝑚𝑔
Dosis tikus berat 250,56 g = 𝑥 250,56 𝑔 = 0,338 𝑚𝑔
1000 𝑔

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Larutan stok = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

40 𝑚𝐿
= 𝑥 0,338 𝑚𝑔 = 2,704 𝑚𝑔
5 𝑚𝐿

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Berat yang ditimbang = 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑎𝑡
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡

2,704 𝑚𝑔
= 𝑥 0,5925 𝑔 = 0,0051 𝑔
500 𝑚𝑔

Jadi, Metformin yang ditimbang sebanyak 0,0051 g dan disuspensikan dalam

40 mL Na-CMC 0,5% dan diberikan sesuai volume pemberian tikus

Menentukan jumlah obat metformin yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
Volume pemberian = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x volume pemberian oral

250,56 𝑔
Volume pemberian = 286,31 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,37 mL

3.Dosis Tikus BB 210,75 gram

500 𝑚𝑔
Dosis manusia = 60 𝑘𝑔𝐵𝐵 = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

6
Dosis untuk tikus = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 37 = 1,35 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

1,35 𝑚𝑔
Dosis tikus berat 210,75 g = 𝑥 210,75 𝑔 = 0,284 𝑚𝑔
1000 𝑔

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Larutan stok = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

40 𝑚𝐿
= 𝑥 0,284 𝑚𝑔 = 2,272𝑚𝑔
5 𝑚𝐿

90
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛
Berat yang ditimbang = 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑎𝑡
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡

2,272 𝑚𝑔
= 𝑥 0,5925 𝑔 = 0,0027 𝑔
500 𝑚𝑔

Jadi, Metformin yang ditimbang sebanyak 0,0027 g dan disuspensikan dalam

40 mL Na-CMC 0,5% dan diberikan sesuai volume pemberian tikus

Menentukan jumlah obat metformin yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
Volume pemberian = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x volume pemberian oral

210,75 𝑔
Volume pemberian = 286,31 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 3,68 mL

4.Dosis Tikus BB 286,31gram

500 𝑚𝑔
Dosis manusia = 60 𝑘𝑔𝐵𝐵 = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

6
Dosis untuk tikus = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 37 = 1,35 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

1,35 𝑚𝑔
Dosis tikus berat 286,31 g = 𝑥 286,31 𝑔 = 0,386 𝑚𝑔
1000 𝑔

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Larutan stok = 𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

40 𝑚𝐿
= 𝑥 0,386 𝑚𝑔 = 3,09 𝑚𝑔
5 𝑚𝐿

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Berat yang ditimbang = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡
𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑎𝑡

3,09 𝑚𝑔
= 𝑥 0,5925 𝑔 = 0,0036 𝑔
500 𝑚𝑔

Jadi, Metformin yang ditimbang sebanyak 0,0036 g dan disuspensikan dalam

40 mL Na-CMC 0,5% dan diberikan sesuai volume pemberian tikus

Menentukan jumlah obat metformin yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
Volume pemberian = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x volume pemberian oral

91
286,31 𝑔
Volume pemberian = 286,31 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,37 mL

5.Dosis Tikus BB 250,56 gram

500 𝑚𝑔
Dosis manusia = 60 𝑘𝑔𝐵𝐵 = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

6
Dosis untuk tikus = 8,33 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵 𝑥 37 = 1,35 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵

1,35 𝑚𝑔
Dosis tikus berat 250,56 g = 𝑥 250,56 𝑔 = 0,338 𝑚𝑔
1000 𝑔

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Larutan stok = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
𝑥 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

40 𝑚𝐿
= 𝑥 0,338 𝑚𝑔 = 2,704 𝑚𝑔
5 𝑚𝐿

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑔𝑖𝑛𝑘𝑎𝑛


Berat yang ditimbang = 𝑥 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑜𝑏𝑎𝑡
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑡𝑖𝑘𝑒𝑡

2,704 𝑚𝑔
= 𝑥 0,5925 𝑔 = 0,0051 𝑔
500 𝑚𝑔

Jadi, Metformin yang ditimbang sebanyak 0,0051 g dan disuspensikan dalam

40 mL Na-CMC 0,5% dan diberikan sesuai volume pemberian tikus

Menentukan jumlah obat metformin yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL.

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠
Volume pemberian = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 x volume pemberian oral

250,56 𝑔
Volume pemberian = 286,31 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,37 mL

B. Pembuatan Na-CMC 0,5%.

Ditimbang Na-CMC sebanyak 0,5 g ke dalam gelas kimia ditambahkan

100 mL akuades diaduk sambil dipanaskan di atas hot plate. Didinginkan

92
selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu diaduk sampai

homogen.

Lampiran 10. Pembuatan Sediaan Uji

Dosis ekstrak batang ole yang akan dibuat adalah 100 mg/kgBB, 150 mg/kgBB,

200 mg/kgBB dan 250 mg/kgBB.

Berat badan tikus rata-rata :

Kelompok dosis 100 mg/kgBB : 200 g (0,2kg)

Kelompok dosis 150 mg/kgBB : 200 g (0,2kg)

Kelompok dosis 200 mg/kgBB : 200 g (0,2kg)

Kelompok dosis 250 mg/kgBB : 200 g (0,2kg)

Perhitungan dosis pemberian :

a. Kelompok dosis 100 mg/kgBB

4. Untuk BB 174,05 gram


100 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,1 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 174,05 gram = 0,1 mg/gBB x 174,05 gram =

17,05 mg = 0,0174 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0174 gram
5 mL

= 0,1392 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

93
174,05 𝑔
Volume pemberian = 177,00 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,91 mL

5. Untuk BB 166,64 gram


100 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,1 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 166,64 gram = 0,1 mg/gBB x 166,64 gram =

16,64mg = 0,01664 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0174 gram
5 mL

= 0,1392 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

174,05 𝑔
Volume pemberian = 177,00 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,91 mL

6. Untuk BB 167,68 gram


100 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,1 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 167,68 gram = 0,1 mg/gBB x 167,68 gram =

16,768 mg = 0,0167 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0167 gram
5 mL

94
= 0,1336 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

167,68 𝑔
Volume pemberian = 177,00 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,73 mL

7. Untuk BB 161, 31 gram


100 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,1 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 161,31 gram = 0,1 mg/gBB x 161,31 gram =

16,131 mg = 0,0161 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0161 gram
5 mL

= 0,128 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

161,31 𝑔
Volume pemberian = 177,00 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 4,55 mL

8. Untuk BB 177 gram


100 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,1 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 177 gram = 0,1 mg/gBB x 177 gram = 17,7 mg

= 0,0177gram

95
- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0177 gram
5 mL

= 0,141 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

177,00 𝑔
Volume pemberian = 177,00 𝑔 x 5 mL

Volume pemberian = 5 mL

b. Kelompok dosis 150 mg/kgBB

1. Untuk BB 205,05gram

150 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,15 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 205,05 gram = 0,15 mg/gBB x 205,05 gram =

30,751 mg = 0,03 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,03 gram
5 mL

= 0,246 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

205,05 𝑔
Volume pemberian = 205,05 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 5 mL

96
2. Untuk BB 184,58 gram

150 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,15 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 184,58 gram = 0,15 mg/gBB x 184,58 gram =

27,687 mg = 0,0276 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0276 gram
5 mL

= 0,0276 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

184,58 𝑔
Volume pemberian = 205,05 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,5 mL

3. Untuk BB 174,44 gram

150 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,15 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 174,44 gram = 0,15 mg/gBB x 174,44 gram =

26,166 mg = 0,0261 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0261 gram
5 mL

= 0,209 gram

- Menentukan volume pemberian

97
Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

174,44 𝑔
Volume pemberian = 205,05 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,57 mL

4. Untuk BB 192, 18 gram

150 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,15 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 192,18 gram = 0,15 mg/gBB x 192,18 gram =

28,827 mg = 0,0288 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0288 gram
5 mL

= 0,23 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

192,18 𝑔
Volume pemberian = 205,05 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,68 mL

5. Untuk BB 192,18 gram

150 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,15 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 192,18 gram = 0,15 mg/gBB x 192,18 gram =

28,827 mg = 0,0288 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

98
40 mL
= x 0,0288 gram
5 mL

= 0,23 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

192,18 𝑔
Volume pemberian = 205,05 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,68 mL

c. Kelompok dosis 200 mg/kgBB

1. Untuk BB 188,64 gram


200 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,2 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 188,64 gram = 0,2 mg/gBB x 188,64 gram =

37,728 mg = 0,0377 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0377 gram
5 mL

= 0,3 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

188,64 𝑔
Volume pemberian = 209,46 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,5 mL

2. Untuk BB 199,21 gram


200 mg
- Konversi dari kg ke g = 1000 g
= 0,2 mg/gBB

99
Untuk tikus dengan berat 199,21 gram = 0,2 mg/gBB x 199,21 gram =

39,842 mg = 0,0398 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0398gram
5 mL

= 0,318 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

199,21 𝑔
Volume pemberian = 209,46 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,76 mL

3. Untuk BB 202,35 gram


200 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,2 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 202,35 gram = 0,2 mg/gBB x 202,35 gram =

40,47 mg = 0,0404 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0404 gram
5 mL

= 0,323 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

202,35 𝑔
Volume pemberian = 209,46 𝑔
x 5 mL

100
Volume pemberian = 4,83 mL

4. Untuk BB 209,46 gram


200 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,2 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 209,46 gram = 0,2 mg/gBB x 209,46 gram =

41,892 mg = 0,0418 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0418 gram
5 mL

= 0,335 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

209,46 𝑔
Volume pemberian = 209,46 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 5 mL

5. Untuk BB 195,6 gram


200 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,2 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 195,6 gram = 0,2 mg/gBB x 195,6 gram =

39,12 mg = 0,0391 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0391 gram
5 mL

101
= 0,439 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

195,6 𝑔
Volume pemberian = 209,46 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,67 mL

d. Kelompok dosis 250 mg/kgBB

1. Untuk BB 227,55 gram

250 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,25 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 227,55 gram = 0,25 mg/gBB x 227,55 gram =

56,883 mg = 0,0568 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0568 gram
5 mL

= 0,455 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = x volume pemberian max.
Berat Max.Tikus

227,55 𝑔
Volume pemberian = 233,85 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,86 mL

2. Untuk BB 219,50 gram

250 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,25 mg/gBB
1000 g

102
Untuk tikus dengan berat 219,50 gram = 0,25 mg/gBB x 219,50 gram =

54,87 mg = 0,0548 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0548 gram
5 mL

= 0,439 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

219,5 𝑔
Volume pemberian = 233,85 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,69 mL

3. Untuk BB 233,85 gram

250 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,25 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 233,85 gram = 0,25 mg/gBB x 233,85 gram =

58,46 mg = 0,0584gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0584 gram
5 mL

= 0,467 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

233,85 𝑔
Volume pemberian = 233,85 𝑔
x 5 mL

103
Volume pemberian = 5 mL

4. Untuk BB 227,27 gram

250 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,25 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 227,27 gram = 0,25 mg/gBB x 227,27 gram =

56,817 mg = 0,0568 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0568 gram
5 mL

= 0,454 gram

- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

227,27 𝑔
Volume pemberian = 233,85 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,86 mL

5. Untuk BB 225,55 gram

250 mg
- Konversi dari kg ke g = = 0,25 mg/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan berat 225,55 gram = 0,25 mg/gBB x 225,55 gram =

56,38 mg = 0,0563 gram

- Menentukan ekstrak yang dibutuhkan untuk membuat 40 mL

Volume yang diinginkan


Ekstrak butuh = x dosis tikus
Volume max. tikus

40 mL
= x 0,0563 gram
5 mL

= 0,45gram

104
- Menentukan volume pemberian

Berat Tikus
Volume pemberian = Berat Max.Tikus x volume pemberian max.

225,55 𝑔
Volume pemberian = 233,85 x 5 mL
𝑔

Volume pemberian = 4,82 mL

Lampiran 11. Pembuatan larutan induksi STZ

Dosis STZ = 40 mg/kgBB

BB rata-rata tikus = 216,62 g = 0,2166

a. Dosis STZ untuk satu tikus = 40 mg/kgBB x 0,2166 kg

=8,644 mg

larutan stok
b. STZ butuh = volume pemberian x dosis STZ per tikus

6 mL
= x 8,644 mg
0,2 mL

= 259,32 mg

=0,2593 gram

c. Volume pemberian STZ per tikus :

Volume pemberian untuk penginduksian STZ sebesar 1 mL/kgBB (Furman,

2015).

1 mL/kgBB
1 mL/kgBB = = 0,001 mL/gBB
1000 g

Untuk tikus dengan BB 216,62 g, volume pemberiannya yaitu :

= 0,001 mL/gBB × berat rata-rata tikus

= 0,001 mL/gBB × 216,62

= 0,21 mL

d. Pembuatan Larutan Penginduksi :

105
Ditimbang STZ sebanyak 259,32 mg, kemudian dimasukkan ke dalam botol

vial. Segera sebelum injeksi dilakukan, STZ dilarutkan dengan buffer natrium

sitrat 0,05 M (pH 4,5) hingga volumenya mencapai 6 mL lalu diaduk hingga

homogen. Larutan STZ harus disiapkan segar untuk setiap injeksi.

106
Lampiran 11. Data Kadar Glukosa Darah

Kadar Glukosa darah tikus sebelum induksi


Kelompok/ Kadar glukosa darah tikus (mg/dL) Rata-rata
Perlakuan Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3 Tikus 4 (mg/dL)
K- 164 109 106 115 123.5
K Normal 90 112 116 85 100.75
K+ 82 116 122 137 114.25
K1 103 111 102 101 104.25
K2 60 65 76 117 79.5
K3 132 115 249 108 151
K4 101 109 78 109 99.25

Kadar Glukosa darah tikus setelah


Kelompok/ Kadar glukosa darah tikus (mg/dL) Rata-rata
Perlakuan Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3 Tikus 4 (mg/dL)
K- 492 400 507 514 478.25
K Normal 98 113 110 90 102.75
K+ 409 550 517 550 506.5
K1 550 550 550 550 550
K2 550 550 550 555 551.25
K3 520 550 506 550 531.5
K4 415 550 550 533 512

Lampiran 13. Hasil analisis menggunakan SPSS

Analisis kadar glukosa darah setelah perlakuan

1. Uji Normalitas dengan menggunakan Shapiro-Wilk


Tujuan: Untuk mengetahu kadar glukosa darah setelah perlakuan pada tiap
kelompok terdistribus normal
Hipotesis :
H0 : Data kadar glukosa darah setelah perlakuan teridistribusi normal
H1 : Data kadar glukosa darah setelah perlakuan tidak terdistribusi normal
Syarat:
H0 diterima jika nilai Sig.>0,05
H0 ditolak jika nilai Sig.<0,05

107
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Kelompokperlakuan Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kadar dosis 100 mg/KgBB .298 4 . .849 4 .224

dosis 150 mg/KgBB .268 4 . .926 4 .571

dosis 200 mg/KgBB .296 4 . .783 4 .075

dosis 250 mg/KgBB .278 4 . .876 4 .321

Kontrol positif .265 4 . .907 4 .467

Kontrol negatif .344 4 . .790 4 .085

Normal .195 4 . .971 4 .850

Dengan melihat tabel nilai Sig. pada uji Shapiro-Wilk data kadar glukosa
darah setelah perlakuan, nilai Sig. >0,05 maka H0 diterima. Dengan demikia,
bahwa kadar glukosa darah setelah perlakuan terdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas dengan menggunakan metode Lavane


Tujuan : Untuk mengetahui kesamaan variasi data kadar glukosa darah setelah
perlakuan pada tiap kelompok uji.

Hipotesis :
H0 : variasi data kadar glukosa darah setelah perlakuan homogen
H1 : variasi data kadar glukosa darah setelah perlakuan tidak homogen
Syarat :
H0 diterima jika nilai Sig.>0,05
H0 ditolak jika nilai Sig.<0,05

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

4.308 6 21 .006

108
Multiple Comparisons
Dengan melihat tabel nilai Sig. pada uji Shapiro-Wilk data kadar glukosa
darah setelah perlakuan, nilai Sig. <0,05 maka H0 ditolak. Dengan demikia, bahwa
kadar glukosa darah setelah perlakuan tidak homogen.

3. Uji one way Anova


Tujuan: Untuk mengetahu ada tidaknya perbedaan signifikan kadar glukosa
darah setelah perlakuan pada keseluruhan kelompok uji.
Hipotesis :
H0 : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah setelah
perlakuan pada seluruh kelompok uji.
H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan kadar glukosa darah setelah
perlakuan pada seluruh kelompok uji.
Syarat:
H0 diterima jika nilai Sig.>0,05
H0 ditolak jika nilai Sig.<0,05

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 581754.328 6 96959.055 807.264 .000


Within Groups 2522.272 21 120.108
Total 584276.601 27
Nilai Sig. pada kadar glukosa darah setelah perlakuan pada seluruh
kelompok menunjukkan nilai Sig. 0,000 sehingga H1 diterima yang artinya
terdapat perbedaan yang signifikan efektivitas ekstrak etanol batang olae dalam
menurunkan kadar glukosa darah setelah perlakuan pada seluruh kelompok uji.
Selanjutnya dilakukan uji lanjutan menggunakan uji post hoc LSD untuk
mengetahui dosis yang paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah.
4. Uji post hoc LSD
Tujuan: Untuk mengetahu ada tidaknya perbedaan signifikan kadar glukosa
darah setelah perlakuan pada keseluruhan kelompok uji.

109
Dependent Variable: kadarglukosadarah
LSD
Mean 95% Confidence Interval
(I) (J) Difference Std. Lower Upper
kelompokperlakuan kelompokperlakuan (I-J) Error Sig. Bound Bound
Kontrol negatif kontrol normal 476.47500* 8.94965 .000 457.8632 495.0868
kontrol positif 341.72500* 8.94965 .000 323.1132 360.3368
*
kelompok dosis 1 115.82500 8.94965 .000 97.2132 134.4368
kelompok dosis 2 139.57500* 8.94965 .000 120.9632 158.1868
*
kelompok dosis 3 207.67500 8.94965 .000 189.0632 226.2868
kelompok dosis 4 263.85000* 8.94965 .000 245.2382 282.4618
*
kontrol normal Kontrol negatif -476.47500 8.94965 .000 -495.0868 -457.8632
*
kontrol positif -134.75000 8.94965 .000 -153.3618 -116.1382
kelompok dosis 1 -360.65000* 8.94965 .000 -379.2618 -342.0382
*
kelompok dosis 2 -336.90000 8.94965 .000 -355.5118 -318.2882
*
kelompok dosis 3 -268.80000 8.94965 .000 -287.4118 -250.1882
*
kelompok dosis 4 -212.62500 8.94965 .000 -231.2368 -194.0132
kontrol positif Kontrol negatif -341.72500* 8.94965 .000 -360.3368 -323.1132
*
kontrol normal 134.75000 8.94965 .000 116.1382 153.3618
*
kelompok dosis 1 -225.90000 8.94965 .000 -244.5118 -207.2882
*
kelompok dosis 2 -202.15000 8.94965 .000 -220.7618 -183.5382
kelompok dosis 3 -134.05000* 8.94965 .000 -152.6618 -115.4382
*
kelompok dosis 4 -77.87500 8.94965 .000 -96.4868 -59.2632
*
kelompok dosis 1 Kontrol negatif -115.82500 8.94965 .000 -134.4368 -97.2132
*
kontrol normal 360.65000 8.94965 .000 342.0382 379.2618
kontrol positif 225.90000* 8.94965 .000 207.2882 244.5118
*
kelompok dosis 2 23.75000 8.94965 .015 5.1382 42.3618
*
kelompok dosis 3 91.85000 8.94965 .000 73.2382 110.4618
*
kelompok dosis 4 148.02500 8.94965 .000 129.4132 166.6368
kelompok dosis 2 Kontrol negatif -139.57500* 8.94965 .000 -158.1868 -120.9632
*
kontrol normal 336.90000 8.94965 .000 318.2882 355.5118
*
kontrol positif 202.15000 8.94965 .000 183.5382 220.7618
*
kelompok dosis 1 -23.75000 8.94965 .015 -42.3618 -5.1382
kelompok dosis 3 68.10000* 8.94965 .000 49.4882 86.7118
*
kelompok dosis 4 124.27500 8.94965 .000 105.6632 142.8868
*
kelompok dosis 3 Kontrol negatif -207.67500 8.94965 .000 -226.2868 -189.0632

110
kontrol normal 268.80000* 8.94965 .000 250.1882 287.4118
kontrol positif 134.05000* 8.94965 .000 115.4382 152.6618
*
kelompok dosis 1 -91.85000 8.94965 .000 -110.4618 -73.2382
*
kelompok dosis 2 -68.10000 8.94965 .000 -86.7118 -49.4882
*
kelompok dosis 4 56.17500 8.94965 .000 37.5632 74.7868
kelompok dosis 4 Kontrol negatif -263.85000* 8.94965 .000 -282.4618 -245.2382
*
kontrol normal 212.62500 8.94965 .000 194.0132 231.2368
kontrol positif 77.87500* 8.94965 .000 59.2632 96.4868
*
kelompok dosis 1 -148.02500 8.94965 .000 -166.6368 -129.4132
kelompok dosis 2 -124.27500* 8.94965 .000 -142.8868 -105.6632
*
kelompok dosis 3 -56.17500 8.94965 .000 -74.7868 -37.5632
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Hasil uji post hoc LSD K+ terhadap kelompok uji menunjukkan pada hari
ke-7 terapi menunjukkan penurunan kadar glukosa darah puasa yang berbeda
bermakna (Sig. <0,05) terhadap K+ namun masih lebih rendah dibandingkan
dengan K+.

Lampiran 14. Dokumentasi Penelitian

1. Preparasi Sampel

111
(a.1) (a.2) (a.3) (b)

(c) (d) (e) (f)


Keterangan:
(a.1) Tanaman olae
(a.2) Bunga olae
(a.3) Batang olae
(b) Batang olae di timbang
(c) Perajangan
(d) Pengeringan
(e) Disortasi kering
(f) Penghalusan batang olae

2. Ekstraksi

112
(a) (b)

(c) (d)

Keterangan :

(a) Maserasi
(b) Penyaringan hasil maserat
(c) Evaporasi
(d) Ekstrak etanol batang olae

3. Karakterisasi Sampel

113
a b

c d

Keterangan :

a. Kadar Abu
b. Kadar Air
c. Kadar sari larut etanol
d. Kadar sari larut air

114
4. Pemodelan Hewan Diabetogenik

(a) (b)

Keterangan:

(a) Streptozotocin
(b) Buffer sitrat
5. Perlakuan Hewan Uji

a b

c
Keterangan:
a. Pengelompokkan hewan uji
b. Suspensi uji ektrak 4 variasi dosis dan suspense metformin
c. Penginduksian secara per oral (p.o)

115
6. Pengukuran kadar glukosa darah hewan tikus

a b c

d e
Keterangan:
a. Hewan uji
b. Pengambilan darah hewan uji
c. Darah tikus sebelum disentrifugasi
d. Darah tikus dimasukkan kedalam alat sentrifugasi
e. Darah tikus yang sudah disentrifugasi

7. Pengambilan organ pankreas

a b c

Keterangan:
a. Hewan uji
b. Pengambilan organ pankreas
c. Organ pankreas hewan uji

116
8. Pengamatan mikroskopik preparat histologi organ pankreas

a b c

d e f

g h i

Keterangan:
a. Proses pembuatan blok paraffin
b. Blok parafin
c. Pemotongan blok paraffin
d. Pencelupan Slide masukkan kedalam waterbart
e. Penulisan kode pada slide
f. Deparafinasi (Xylol 1, xylol 2, dan xylol 3) masing-masing 5 menit

117
g. Rehidrasi (Alkohol 70%, 80%, 96%)
h. Pencucian slide dengan air mengalir
i. Pencelupan kedalam larutan hemaktosilin mayer selama 5 menit
selanjutnya slide dicuci dengan air mengalir dilanjutkan dengan
pencelupan kedalam larutan eosin selama 2 menit
j. Dehidrasi (Alkohol 70%, 80%, dan 96%) selanjutnya dilakukan
penjernihan (Xylol 1, xylol 2, dan xylol 3) selama 5 menit

118

Anda mungkin juga menyukai