Anda di halaman 1dari 95

MEKANISME TATA PELAKSANAAN BIOREMEDIASI DALAM

KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI INDONESIA


Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum

Oleh :
Ayyida Sabila
NIM : 1110048000035

KONSENTRASI HUKUM BISNIS


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI


Skripsi ini berjudul MEKANISME TATA PELAKSANAAN BIOREMEDIASI DALAM
KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI INDONESIA, telah diujikan dalam Sidang

Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi
Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Bisnis.
Jakarta, 07 Mei 2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. H. JM. Muslimin, M.A


NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
Ketua

: Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H.

( ........................... )

NIP. 195003061976031001
Sekretaris

: Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.

( ........................... )

NIP. 196509081995031001
Pembimbing

: Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H.,M.H.

( ........................... )

NIP. 195912311986091003
Penguji I

: Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H.

( ......................,.... )

NIP. 195003061976031001
Penguji II

: Elviza Fauzia, M.H.

( ........................... )

ii

LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 Mei 2014

Ayyida Sabila

iii

ABSTRAK
AYYIDA SABILA. NIM 1110048000035. MEKANISME TATA PELAKSANAAN
BIOREMEDIASI DALAM KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI INDONESIA.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435H/2014M x + 71
halaman + 2 halaman daftar pustaka + halaman lampiran.
Penelitian ini dilakukan karena adanya permasalahan atas ketidakpastian dalam
hukum lingkungan dengan hukum pertambangan yang terkandung didalamnya
kewenangan Pemerintah dan kewenangan Perusahaan dalam melakukan pengolahan
limbah bahan beracun dan berbahaya salah satunya kegiatan bioremediasi pasca
operasional eksploitasi dan eksplotasi pertambangan minyak bumi. KKKS
merupakan induk kontrak untuk investor dalam maupun luar negeri dari kegiatan
pertambangan usaha hulu mengatur pula production sharing contract (kontrak bagi
hasil) bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan usaha hulu wajib untuk
melakukan pemulihan wilayah sementara Undang-Undang mengatur lain. Tujuan
dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepastian hukum yang mengatur
jelas mengenai kegiatan Bioremediasi dan pihak yang berwenang melaksanakannya.
Metode penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian normatif.
Penelitian hukum normatif sendiri memiliki beberapa pendekatan diantaranya
pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan komparatif dan
pendekatan konseptual. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
bahan hukum primer berupa UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, UU
No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, PP No. 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta KepMen Lingkungan
Hidup No.128 Tahun 2003, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perusahaan pertambangan yang telah melakukan
kegiatan usaha hulu memiliki tanggung jawab untuk mengolah limbah bahan beracun
dan berbahaya diantaranya kegiatan bioremediasi yang dihasilkan selama produksi
minyak bumi berlangsung dan pemerintah dalam bentuk SKK Migas dan BP Migas
memiliki tanggung jawab untuk mengawasi seluruh kegiatan yang dilakukan
perusahaan pertambangan dan mengganti biaya produksi hingga pemulihan dengan
biaya pengembalian atau cost recovery.
Kata Kunci : Bioremediasi, Hukum, Lingkungan, Pertambangan dan Pertamina.

iv

Pembimbing

Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, SH. MH

Daftar Pustaka

Tahun 2004 s.d Tahun 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Melihat lagi Maha Mendengar,
atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah
memberikan bantuan baik materiil maupun immaterial, oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. JM. Muslimin, M.A. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Jakarta;
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH. MA dan Drs. Abu Thamrin, SH. M.Hum selaku
ketua dan Sektretaris Program Studi Ilmu Hukum;
3. Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, SH. MH selaku pembimbing skripsi Penulis;
terimakasih atas tambahan referensi buku bacaan serta semua kritik dan saran
yang membangun Penulis dalam menyelesaikan skripsinya;
4. Kedua orang tua Penulis, Ayah Dimas dan Ibu Nurul Fajri Chikmawati yang
telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, dukungan langsung
maupun tidak langsung serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai;
5. Kakak dan Adik Penulis, Zahra Nailatul Huda dan Silmi Hanifah yang sudah
memberikan semangat kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan,
terimakasih juga kepada satu-satunya keponakanku Jasmine Aulia Kusuma.
6. Teman-teman seperjuangan dalam perkumpulan Dergamor, Kaka Defi
Satiatika, Kaka Siti Annisa Saaridah, Ajeng Kumalasari, Hopsah Varah Dini,
Nazia Tunnisa Alham dan M. Rizky yang selalu memberi saran dan contoh
pendidikan sosial yang menarik sejak semester pertama hingga semester
akhir. Terima kasih atas kekompakan kalian yang mendukung satu dengan
lainnya untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman belajar bersama yang tidak pernah letih mengajari, Atiek
Afidata, Apriyanti, Nourma A. Utami, Ainul Arifatul, Endah Sulastri dan

vi

Liza Tri Kusuma dan seluruh teman-teman calon sarjana hukum angkatan
2010 Hukum Bisnis UIN Jakarta.
8. Brian Aderinanda Bahri, sebagai partner dan motivator yang selau ada dikala
suka dan duka.
9. Seluruh teman-teman KKN Agoritma 2013, Ahmad Hidayah, Brian A.Bahri,
M. Rizky, Novian D.Cahyo, Choir Al-ayubi, Ade A.Mulyana , Eka Rahmania,
Himatulmilah, Octaviani, Fida dan Tika.
10. Seluruh keluarga besar kosan Griya Aini terutama para pengganti pengawas
layaknya orangtua yaitu Mbak Ar, Mbak Fat, Mbak Sule dan Mbak Nawati.
11. Seluruh teman SMA yang masih setia mendukung, Putri Maharani, Dinny
Gamalasari, Rachma Annisa, Mila Prawitasari dan Titi Tri Hastuti.
12. Bapak Zainudin Arifin dari PT.Citra Wahana Jaya yang telah memberikan
waktunya sebagai salah satu nara sumber.
13. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik materiil maupun immaterial,
Penulis memanjatkan doa semoga Allah memberikan balasan yang berlipat
dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya
dan bagi para pembaca umumnya.

Jakarta, April 2014


Ayyida Sabila

vii

DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING

... i

LEMBAR PENGESAHAN

... ii

LEMBAR PERNYATAAN

... iii

ABSTRAK

... iv

KATA PENGANTAR

... vi

DAFTAR ISI

... viii

DAFTAR LAMPIRAN

... x

BAB I : PENDAHULUAN 1
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

Latar Belakang Masalah


Identifikasi Masalah
Batasan dan Rumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tinjauan (Review) Terdahulu
Kerangka Teori dan Asas
Kerangka Konseptual
Metode Penelitian
Sistematika Penulisan

.. 1
...... 6
.. 7
.. 7
... 8
... 10
... 15
... 17
... 19

BAB II : TINJAUAN UMUM.. 21


A.
B.
C.
D.

Pengertian Bioremediasi
... 21
Tujuan Kegiatan Bioremediasi ... 24
Bentuk Perjanjian Pertambangan di Indonesia ... 25
Kedudukan Badan Pelaksana dalam Kegiatan Usaha Hulu
... 27

BAB III : PENGATURAN TATA PELAKSANAAN KEGIATAN


BIOREMEDIASI DI INDONESIA 29
A.
B.
C.
D.

KKKS
... 29
Pancasila dan UUD 1945
... 31
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001
... 32
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
... 36
viii

E. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999


... 42
F. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003 ... 47

BAB IV : ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN BIOREMEDIASI DALAM


KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI INDONESIA 54
A. Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu Minyak
Bumi di Indonesia
... 54
B. Hubungan Hukum Pemerintah dan Perusahaan dalam Kegiatan
Bioremediasi
... 58
C. Analisis Kasus
... 64
D. Hukum Lingkungan Menurut Sudut Pandang Hukum Islam
... 68

BAB V : PENUTUP.. 69
A. Kesimpulan
B. Saran

.. 69
.. 70

ix

DAFTAR LAMPIRAN
1. Prosedur Perijinan Pengalihan Interest KKS
2. Kerangka Dasar Kontrak Kerjasama Operasi (KSO) Pertamina EP
3. Persyaratan Mitra Information Summary dari Pertamina EP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia dikenal sebagai Negara yang memiliki keaneka ragaman
dalam berbagai bentuk, seperti keaneka ragaman budaya dan latar belakang
kehidupan sosialnya, serta keaneka ragaman sumberdaya alam. Berbagai
macam sumberdaya alam yang terhampar di atas daratan dan lautan serta
sumberdaya alam yang terkandung di perut bumi hingga di dasar samudera.
Sumberdaya alam yang beraneka ragam ini merupakan karunia Allah SWT
yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Berdasarkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
itu dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dengan demikian Negara memiliki kewenangan secara
konstitusional

untuk

mengelola sumberdaya

alam

yang ada untuk

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kewenangan ini


selanjutnya diamanatkan kepada Pemerintah untuk menyusun berbagai

program pembangunan khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam


secara tepat dan berkelanjutan.
Salah satu sumberdaya alam unggulan Indonesia adalah adalah
sumberdaya alam berupa bahan pertambangan mineral dan batubara dan
minyak bumi serta gas. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai regulasi
guna mendukung kegiatan pengelolaan dan pemanfaatannya. Kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam khususnya minyak bumi dan
gas (selanjutnya disingkat migas) membutuhkan biaya dan teknologi yang
tinggi sehingga Negara untuk mengatasi kendala kekurangan atau kelemahan
di bidang pendanaan dan penggunaan teknologi tinggi serta sumber daya
manusia yang memiliki keahlian khusus tersebut maka Negara mengundang
peran serta pihak investor swasta asing maupun dalam negeri untuk mengelola
kekayaan Negara tersebut melalui mekanisme yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan untuk mengelola sumberdaya migas sebagai upaya
untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi di Indonesia.
Salah satu instrumen hukum yang dapat dipergunakan dalam
kerjasama tersebut adalah kontrak, seperti Kontrak Bagi Hasil atau
Production Sharing Contract. Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing
Contract ini merupakan sarana yang spesifik ditujukan untuk dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam eksplorasi dan eksploitasi terhadap
pertambangan minyak dan gas bumi. Kontrak ini dilakukan sebagai salah satu

kontrak kerja sama

yang dilaksanakan dalam rangka

memberikan

perlindungan terhadap aset-aset Negara serta sekaligus memberikan


keuntungan bagi Negara. Kontrak kerjasama ini dapat diselenggarakan oleh
pemerintah dengan pihak swasta yang berbentuk badan usaha atau badan
usaha tetap. Dalam perkembangannya kemudian pelaksanaan kontrak ini
menjadi sangat krusial karena melibatkan banyak kepentingan terhadap
minyak dan gas bumi sehingga diperlukan pengaturan yang lebih khusus yang
dapat melindungi asset atau kekayaan alam Negara1 beserta lingkungan
sekitarnya.
Bidang usaha pertambangan merupakan bidang usaha yang mendapat
prioritas dari pemerintah, baik sebelum maupun sesudah diterbitkannya
Undang-undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Bidang usaha
pertambangan meliputi pertambangan minyak bumi (mentah), gas bumi,
batubara, logam timah, bijih nikel, bauksit, pasir besi, emas, perak serta
konsentrat tembaga2. Dalam pengerjaan pertambangan tentunya akan
berdampak negatif pada kondisi dan kualitas lingkungan seperti adanya
pencemaran tanah berupa terpaparnya tanah dengan minyak mentah dan
minyak lainya dari sisa pengolahan industri yang menggunakan mikro
organisme berbahaya bagi lingkungan. Maka, untuk mengembalikan fungsi
1

Faizal Kurniawan, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi
Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak, Jurnal Perspektif, Volume XVIII No. 2 Tahun 2013
Edisi Maret, hlm. 75.
2
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Pranada Kencana,
2004), hlm. 113.

tanah yang terkontaminasi di sekitar wilayah pertambangan diperlukan adanya


kegiatan yang disebut dengan bioremediasi. Bioremediasi adalah proses
perbaikan terhadap lingkungan yang tercemar dengan menggunakan
organisme berupa bakteri, fungi dan tanaman yang akan memodifikasi polutan
tersebut menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak
berbahaya dan tidak beracun.3
Ternyata dalam prakteknya ditemukan adanya persoalan hukum dalam
hal izin bioremediasi atau pengolahan limbah. Contoh kasusnya adalah
kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia
yang terjadi pada tahun 2013. Dari hasil temuan mengenai kegiatan
bioremediasi tersebut ternyata tidak ditemukan adanya unsur melanggar
ketentuan Kementrian Lingkungan dalam pengolahan hasil limbah migas.
Bahwa izin pengolahan limbah dilakukan oleh perusahaan pengolah limbah
bukan perusahaan penghasil limbah. Adapun ketentuan yang mengatur
tentang kegiatan bioremediasi terdapat dalam Undang-Undang No 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas serta Undang-Undang No.32 Tahun 2009
tentang Lingkungan Hidup atau bahkan Pemerintahlah yang memiliki
kewenangan dalam kegiatan bioremediasi. Dalam operasi Migas di Indonesia
Pemerintah bermitra dengan pihak investor dalam hal ini PT.Chevron Pacific
Indonesia dalam suatu hubungan kontrak bisnis yang dikenal sebagai

Ekosari R. Bioremediasi (Artikel). Staff.UNY.ac.id (2011)

Production Sharing Contract (PSC). Dalam pelaksanaannya PT.Chevron


Pacific Indonesia mengeluarkan dana investasi untuk mengoprasikan produksi
migas yang kemudian diperhitungkan sebagai biaya operasi terhadap minyak
yang dihasilkan yang dikenal sebagai Cost Recovery4. Dalam hal ini Badan
Pemerintah yang dimaksud adalah BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan
Hulu Minyak dan Gas Bumi) yang kini telah berganti kewenangannya di SKK
Migas (Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas
Bumi).5
Untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi, Pemerintah
telah mengambil langkah kebijaksanaan khusus dalam bidang usaha
pertambangan minyak bumi dengan telah diperkenalkan beberapa kemudahan
dalam bentuk paket insentif bagi penanaman modal khususnya penanaman
modal asing. Dengan adanya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang usaha
pertambangan ini, tentunya diharapkan penanaman modal khususnya
penanaman modal asing dapat terus meningkat bukan hanya pada bidang
usaha pertambangan yang selama ini diadakan tetapi dibidang usaha
pertambangan baru seperti bauksit, granit, pasir besi dan sebagainya di
Indonesia yang belum diadakan eksplorasi dan eksploitasi.6 Kasus mengenai
adanya ketidakpastian hukum dalam hal kegiatan bioremediasi memberikan
4

Pernyataan Dony Inderawan selaku Corporate Communication Manager PT. Chevron Pacific

Indonesia
5

Alamsyah Pua Saba, 3 Rig Milik Chevron Berhenti Beroprasi. (Berita online,
www.majalahtambang.com, diakses 13 Mei 2013
6
Aminuddin Ilmar, Op Cit, hlm.115

konsekuensi negatif dalam iklim kegiatan berinvestasi di Indonesia bagian


hulu migas ditengah upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi guna
menjaga produksi yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dian Puji Simatupang7 menilai, investor di sektor migas lebih memilih adanya
kepastian hukum ketimbang diberi insentif pajak oleh pemerintah dalam
menjalankan kinerja operasi. Menurut Dipnala, Indonesian Petroleum
Association dan para anggotanya percaya bahwa kepastian hukum dan
regulasi sangat diperlukan untuk menciptakan iklim investasi dan produksi
yang stabil.8 Karena itu penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul
Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu Minyak
Bumi Di Indonesia
B. Identifikasi Masalah
Penelitian ini melalui latar belakang dapat ditemukan beberapa
permasalahan yang dapat dibahas seperti :
1. Bagaimanakah mekanisme tata pelaksaan kegiatan Bioremediasi menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan hubungan hukum suatu perusahaan pertambangan
minyak dan gas bumi dalam kegiatan Bioremediasi?

Pakar Hukum Admistrasi Negara


Berita online : Keputusan Pengadilan Kasus Bioremediasi Beri Dampak Negatif Industri
Migas. www.migasreview.com 24 Juli 2013
8

C. Batasan dan Rumusan Masalah


1. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah maka masalah hukum yang dibahas dalam
skripsi ini adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan
Bioremediasi pada usaha pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan diteliti adalah tentang pengaturan
tentang kewenangan dalam kegiatan Bioremediasi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang diatur dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 serta kedudukan hak dan kewajiban suatu
perusahaan pertambangan dalam kegiatan Bioremediasi.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah :
a) Mengetahui kewenangan Pemerintah dan Perusahaan pertambangan dalam
kegiatan Bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
b) Mengetahui

kedudukan

hak

dan

kewajiban

pertambangan dalam kegiatan Bioremediasi.

suatu

perusahaan

2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
a) Diharapkan penelitian penulis dapat bermanfaat untuk masyarakat terkait
dengan pengetahuan masyarakat mengenai kegiatan Bioremediasi dalam
pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan di bidang eksplorasi dan
eksploitasi minyak bumi di Indonesia.
b) Diharapkan penulis dapat menambah referansi bahan ajar serta dapat
bermanfaat untuk menambah wawasan para akademisi di UIN Syarif
Hidayatullah pada khususnya dan para akademisi di Indonesia pada
umumnya.
c) Diharapkan penulisan ini dapat menjadi tolak ukur perusahaanperusahaan lain dalam melakukan kegiatan Bioremediasi di Indonesia
serta sebagai bahan kajian dalam rangka optimalisasi pencapaian
pembangunan nasional.

E. Tinjauan ( review ) Kajian Terdahulu


Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalahan
pada penelitian ini antara lain :
NO.
1.

NAMA

TAHUN

Dinda Nurasih Saragih 2010

Judul Skripsi
Hukum

yang

berlaku

dalam

Universitas Indonesia.

kontrak

bagi

hasil

dibidang

Fakultas Hukum

pertambangan minyak dan gas


bumi di Indonesia.

Margaretha Quina

2012

Pelanggaran Terhadap Hak Asasi

Universitas Indonesia.

Manusia Atas Lingkungan Hidup

Fakultas Hukum

Oleh

Perusahaan

Transnasional

Dalam Hukum Internasional

1. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian Hukum yang berlaku


dalam kontrak bagi hasil dibidang pertambangan minyak dan gas
bumi di Indonesia. Lebih terfokus kepada kontrak bagi hasil dibidang
pertambangan minyan dan gas bumi di Indonesia.
2. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian Pelanggaran Terhadap
Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup Oleh Perusahaan
Transnasional Dalam Hukum Internasional adalah pelanggaran atas
lingkungan hidup dilihat dalam Hukum Internasional.

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian-penelitian sebelumnya


yakni terletak pada objek dalam hal perjanjian hukum pertambangan yang
diteliti dan dasar hukum yang digunakan dalam penelitian.

10

F. Kerangka Teori dan Asas


1. Kerangka Teori
a. Teori Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang
meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini
diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruknya atau
adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Kebahagiaan itu
selayaknya dapat dinikmati oleh setiap individu atau paling tidak dapat
dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa)
tersebut atau dikenal dengan the greatest happiness for the greatest
number of people. Selain itu tujuan hukum menurut aliran ini adalah
untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Hukum bukanlah sematamata pencerminan dari rasio semata-mata, tetapi hukum juga
merupakan pencerminan perintah penguasa9.
Jeremy Bentham berpendapat bahwa alam telah memberikan
kebahagiaan dan kesusahan dan manusia selalu berusaha untuk
mendapatkan banyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Tugas
hukum adalah menjamin kebahagiaan kepada individu-individu.
Namun demikian Bentham juga tidak menyangkal bahwa disamping

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h.lm 117.

11

kepentingan individu, kepentingan masyarakatpun harus diperhatikan


dan agar tidak terjadi konflik maka kepentingan individu dalam
mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya perlu dibatasi10.
Prinsip-prinsip utilitarianisme juga dapat digunakan dalam
pengambilan keputusan dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut11:
1. Menentukan bagaimana suatu biaya dan manfaat akan dapat
diukur dalam memilih satu langkah tindakan atas tindakan yang
lain.
2. Menentukan informasi apa yang dibutuhkan untuk menentukan
biaya dan manfaat sebagai alat perbandingan.
3. Mengidentifikasikan prosedur-prosedur dan kebijakan-kebijakan
yang akan digunakan untuk menjelaskan dan membenarkan
analisis atas biaya dan manfaat.
4. Menetapkan asumsi ketika mendefinisikan dan membenarkan
analisis dan kesimpulan.
5. Menentukan

kewajiban

moral

terhadap

para

pemangku

kepentingan (stakehoulder) setelah biaya dan manfaat diestimasi


untuk pengambilan strategi yang spesifik.

10
11

Ibid, hlm. 118.


Zaenal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2014), hlm.120.

12

Teori nilai kebijakan publik menjelaskan bahwa pertukaran


pandangan atau musyawarah mufakat di antara pemangku kepentingan
dapat menjadi dasar bagi pembuatan keputusan yang rasional.
Pertukaran pandang dilandasi oleh sifat keterbukaan pemikiran,
kejujuran, kesediaan untuk mendengarkan kritik dan penghargaan atas
pandangan-pandangan pihak yang berbeda menjadi dasar pengambilan
keputusan bersama. Menurut teori nilai kebijakan publik wakil-wakil
dari pemangku kepentingan dalam proses legislasi harus mampu
mengatasi

benturan

kepentingan

dengan

cara

menempatkan

kepentingan bersama diatas kepentingan konsituen mereka karena


dalam pembangunan ekonomi nasional seringkali berbenturan dengan
hukum lingkungan dengan tidak diperhatikannya aspek lingkungan
hidup.
b. Teori Efektifitas
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu
terdiri dari struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal
substance) dan budaya hukum (legal culture).12 Struktur hukum meliputi
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga terkait,
seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain. Sedangkan substansi
hukum adalah mengenai norma, peraturan maupun undang-undang.
12

Lawrence Friedman, American Law, (London: W.W. Norton & Company, 1984), h. 6.

13

Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun


perilaku

dari

masyarakat

mengenai

pemikiran

nilai-nilai

dan

pengharapan dari sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain,


budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana
hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
2. Kerangka Asas
a. Asas Tanggung Jawab Negara
Bahwa negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan
mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa
depan. Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat dan negara berkewajiban untuk mencegah
dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

b. Asas Kelestarian Dan Keberlanjutan


Setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap
generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi
dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan
memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Daya dukung lingkungan
hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung

14

perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan


antarkeduanya.

c. Asas Keselarasan
Asas keselarasan merupakan asas, di mana ketentuan undang-undang
pokok pertambangan harus selaras atau sesuai atau seide dengan citacita dasar Negara Republik Indonesia untuk menciptakan Indonesia
berwawasan lingkungan dengan upaya pemanfaatan lingkungan hidup
dengan tetap memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan
ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.

d. Asas Kehati-hatian
Asas Kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak
suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran

dan/atau

kerusakan

lingkungan

hidup.

Kegiatan

Bioremediasi merupakan salah satu langkah untuk menghindari dari


dampak buruk dari aktivitas eksplorasi migas.

15

e. Asas Manfaat
Asas manfaat adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan
pembangunan

yang

dilaksanakan,

termasuk

di

dalamnya

pembangunan di sector MIGAS harus disesuaikan dengan potensi


sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan
lingkungannya.

G. Kerangka Konseptual
1. Bioremediasi adalah penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi
polutan di lingkungan.13
2. Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi adalah kegiatan usaha hulu yang
berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi.
3. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,
termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh
dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang
tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

13

Brooker et al.. Biology. ( New York: McGraw-Hill, 2008)

16

4. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh
dari proses penambangan.
5. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.
6. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi
mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
7. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri
atas

pengeboran

dan

penyelesaian

sumur,

pembangunan

sarana

pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan


pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang
mendukungnya.
8. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja
sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.

17

H. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Pada penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis

dalam

peraturan

perundang-undangan

atau

hukum

yang

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan


berperilaku manusia yang dianggap pantas14. Karenanya penulisan ini
masuk kedalam tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum normatif sendiri memiliki beberapa pendekatan.
Melalui pendekatan ini, Penulis mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum normatif yaitu15: pendekatan perundang-undangan,
pendekatan kasus, pendekatan historis, pendekatan komparatif, dan
pendekatan konseptual.
Penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundangundangan (Statue Approach), karena penulis menggunakan metode
normatif yang tentunya tak akan melepaskan aturan-aturan hukum yang
terkait dengan masalah penelitian penulis. Undang-undang yang penulis
gunakan yaitu Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan
14

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm.118
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI,(Jakarta: Kencana,2010),hlm.93

18

Gas, Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup,


Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun serta Keputusan Kementrian Lingkungan
Hidup No.128 Tahun 2003.

3. Sumber Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan data sekunder, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan-bahan hukum yang
memiliki kekuatan mengikat dengan masyarakat. Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang No.22
tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, Undang-Undang No.32 Tahun
2009 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta
Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003.
b. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan
penjelasan atau hal-hal yang berkaitan dengan penelitian sumber
primer seperti naskah akademik rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, artikel, makalah, dan hasil dari para ahli hukum di bidang
Bioremediasi lainnya yang mendukung penelitian ini. Sumber
sekunder

dalam

penelitian

ini

yaitu

buku-buku

mengenai

Bioremediasi, Hukum Lingkungan dan Kegiatan Pertambangan serta

19

sumber tertulis lain yang berkaitan erat dengan permasalahan yang


diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan-bahan yang memerikan
petunjuk berupa bahan primer maupun sekunder atau disebut juga
sebagai bahan penunjang penelitian ini seperti yang diperoleh dari
kamus, bibliografi maupun ensiklopedia.

Setelah memperoleh semua informasi dan penjelasan yang


diperlukan barulah penulis dapat mengambil kesimpulan. Kesimpulankesimpulan digunakan sebagai jawaban atas pokok-pokok permasalahan
juga saran-saran yang terkait dengan permasalahan bioremediasi.

I. Sistematika Penulisan
BAB I

PENDAHULUAN : Sebagai pendahuluan dari skripsi ini, maka bab


ini merupakan pengantar untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Bab
ini berisi tentang latar belakang penulis mengangkat tema yang akan
dibahas dalam skripsi, identifikasi masalah, perumusan masalah dan
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian dan
teknik penulisan serta rancangan outline.

BAB II TINJAUAN UMUM : Pada Bab ini, penulis akan membahas


mengenai kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh usaha

20

pertambangan di Indonesia yang diambil dari buku-buku, artikel dan


kamus serta pengertian dari Joint Venture dalam kegiatan
pertambangan hulu minyak bumi di Indonesia yang diambil dari
buku-buku, artikel dan kamus.

BAB III DASAR HUKUM KEGIATAN BIOREMEDIASI : Serta dasar-dasar


hukum kegiatan bioremediasi tersebut dilihat dari Kontrak kerja
sama perusahaan pertambangan asing dengan pemerintah, Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No.32 Tahun 2009
tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No.85 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta
Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003.
BAB III TINJAUAN
DALAM

YURIDIS

KEGIATAN

PELAKSANAAN
HULU

MINYAK

BIOREMEDIASI
DAN

GAS

DI

INDONESIA : Pada bab ini membahas mengenai analisis semua


peraturan yang terkait dengan kegiatan bioremediasi untuk
mengetahui pihak-pihak yang berwenang atas kegiatan bioremediasi
dari suatu usaha pertambangan di Indonesia.
BAB IV PENUTUP : Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran atas penelitian
yang dilakukan penulis.

BAB II
TINJAUAN UMUM

A. Pengertian Bioremediasi
Menurut Kamus Istilah Lingkungan, Bioteknologi dapat didefinisikan
sebagai penerapan ilmu biologi untuk memanipulasi dan memanfaatkan
makhluk hidup bagi kebutuhan manusia, sedangkan menurut Sheenan
bioteknologi pada dasarnya merupakan pemanfaatan organisme hidup untuk
memecahkan masalah atau untuk menghasilkan suatu produk yang berguna
bagi kesejahteraan manusia dan lingkungan secara berkelanjutan. Salah satu
bentuk penerapan bioteknologi adalah mekanisme bioremediasi dalam proses
degradasi limbah minyak bumi.1
Menurut Baker dan Hansen dalam bukunya Astri Nugroho
menyebutkan bahwa bioremediasi merupakan proses pemulihan (remediasi)
secara biologi terhadap komponen lingkungan, tanah dan air yang telah
tercemar. Menurut Sheenan bioremediasi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses yang mengeksploitasi kemampuan katalitik suatu organisme untuk
meningkatkan laju perombakan suatu polutan sedangkan menurut Leisinger,
dkk menyebutkan bahwa bioremediasi adalah proses penguraian atau

Astri Nugroho, Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006)

h.31

21

22

degradasi secara biologi suatu polutan organik yang beracun menjadi senyawa
lain yang lebih sederhana dan tidak beracun. Dari berbagai definisi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa bioremediasi bukan hanya diaplikasikan pada
lingkungan yang tercemar minyak bumi, tetapi dapat juga diterapkan untuk
mengendalikan pencemaran oleh bahan-bahan berbahaya lainnya seperti
pestisida dan senyawa xenobiotic lainnya.2
Selanjutnya, menurut Leisinger dan Sheehan bahwa biodegradasi
dapat diartikan sebagai proses penguraian oleh aktifitas mikroba, yang
mengakibatkan transformasi struktur suatu senyawa sehingga terjadi
perubahan integritas molekuler. Agar biodegradasi dapat berlangsung efektif,
diperlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk menunjang pertumbuhan
dan perkembangan mikroba. Gordon, Ray menjelaskan untuk memahami
lebih dalam mengenai bioremediasi minyak bumi, harus terlebih dahulu
memahami biodegradasi. Biodegradasi minyak bumi merupakan proses alami,
yang

melibatkan

mikroba

yang

dapat

mentransformasikan

dan

mendekomposisikan hidrokarbon minyak bumi menjadi komponen-komponen


lain yang lebih sederhana. Bioremediasi merupakan optimasi dari proses
biodegradasi. Hal ini berarti diperlukan pengkondisian lingkungan tertentu
dan perlakuan-perlakuan khusus untuk mengatasi faktor-faktor lingkungan
yang dapat membatasi proses biodegradasi.

h.32

Astri Nugroho, Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006),

23

Hal yang serupa dibahas oleh Lehmann, bahwa Volker

yang

menyatakan bahwa biodegradasi merupakan proses aktivitas enzimatik oleh


mikroba

untuk

menyederhanakan

substrat,

misalnya

minyak

bumi

dikonversikan menjadi karbon dioksida dan air.


Ada sedikit perbedaan antara prinsip-prinsip desain untuk prosesproses biologi dalam pengolahan air buangan dan bioremediasi. Menurut
Cookson Jr. menyebutkan bahwa proses biologi air buangan merupakan
proses-proses kimia yang dikatalis sedangkan bioremediasi merupakan proses
yang lebih rumit karena menggunakan katalis (enzim) yang disediakan oleh
mikroba untuk menghancurkan komponen-komponen berbahaya yang
spesifik.
Berdasarkan tempat berlangsungnya, teknik bioremediasi dapat
diaplikasikan langsung (in-situ) pada lingkungan yang tercemar. Mikroba
remediator yang digunakan adalah mikroba indigenous. Sifat remediasinya
secara alamiah (natural attenuation) dan proses biodegradasi bahan pencemar
berlangsung sangat lambat. Teknik bioremediasi juga dapat dilaksanakan di
luar lingkungan yang tercemar (ex-situ), yaitu dengan membawa tanah yang
terkontaminasi tersebut ke lokasi pengolahan yang telah ditetapkan.3

h.44

Astri Nugroho, Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2006),

24

B. Tujuan Kegiatan Bioremediasi


Menurut Gordon Ray bioremediasi adalah penggunaan mikroba (fungi
atau bakteri) untuk mendekomposisikan polutan-polutan toksik menjadi
komponen-komponen yang kurang toksik dan menurut Cookson Jr
bioremediasi merupakan salah satu metode untuk mengaplikasi prinsipprinsip biologi untuk menghilangkan bahan-bahan kimia berbahaya dari air
tanah, tanah dan lumpur.
Bahan-bahan kimia yang berbahaya berasal dari minyak bumi yang
sulit untuk dibersihkan sehingga dapat menghalangi masuknya sinar matahari
dan mengurangi kadar oksigen terlarut. Komponen aromatik minyak bumi
yang dapat larut memperlihatkan toksisitas atau dampak buruk fisiologis
terhadap beberapa kelas makhluk hidup laut.
Pengaruh kontaminasi
bervariasi

dari

kecil

sekali

minyak terhadap komunitas organisme


(negligible)

sampai

kemusnahan

total

(catastrophic) dengan salah satu dampak terdapat pada berbagai jenis ikan
kecil maupun besar akan sulit untuk mencari makanan dan tempat berbiak.
Beberapa penelitian melaporkan, akumulasi pencemaran minyak bumi akan
memutuskan jarring-jaring makanan yang kompleks karena matinya
mikroalga penghasil oksigen. Secara khusus pencemaran akibat tumpahan
minyak bumi mempengaruhi berbagai ekosistem perairan serta komponenkomponen biotik di dalamnya.

25

Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan


kegiatan bioremediasi adalah untuk menghilangkan minyak bumi yang
tercecer pada kondisi geografis dan iklim tertentu karena minyak bumi
tersusun dari komponen-komponen toksik dan mutagenik, sehingga
diperlukan suatu teknologi dalam pembersihannya. Saat ini bioremediasi
dianggap merupakan teknologi yang efektif untuk mentransformasikan
komponen-komponen toksik menjadi produk-produk kurang toksik tanpa
adanya gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Pengelolaan limbah minyak
bumi dengan menggunakan teknik bioremediasi ini pada prinsipnya dapat
diterapkan di Indonesia selama pelaksanaannya memenuhi persyaratan teknis
dan aman bagi lingkungan.

C. Bentuk Perjanjian Pertambangan di Indonesia


1. Kontrak Bagi Hasil
Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah Production
Sharing Contract (PSC) dalam Russias Law on Production-Sharing
Agreement tahun 1995 dan The Petroleum Tax Code (PSA), sedangkan di
Suriname, istilah yang lazim digunakan adalah Production Sharing
Service Contract (PSSC). Di Indonesia istilah kontrak production sharing
ditemukan dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971
tentang Pertamina Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974. Sementara

26

itu, dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001


tentang Minyak dan Gas Bumi, istilah yang digunakan adalah dalam
bentuk kontrak kerja sama. Kontrak kerja sama ini dapat dilakukan dalam
bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kerja sama lainnya.4

2. Pengertian Kontrak Karya


Menurut Sony Rospita Simanjuntak bahwa Kontrak Karya
merupakan kontrak yang dikenal dalam pertambangan umum. Istilah
kontrak karya merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris, yaitu kata work
of contract. Dalam Pasal 10 Nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuanketentuan Pokok Pertambangan Umum, istilah yang lazim digunakan
adalah perjanjian karya, tetapi dalam penjelasannya, istilah yang
digunakan adalah indenture, franchise agreement, state agreement or
government agreement.

Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi


Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 Kontrak Karya adalah suatu perjanjian
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing
atau patungan antara asing dengan nasional. Dalam definisi ini, kontrak
karya dikonstruksikan sebagai sebuah perjanjian. Subjek perjanjian itu
adalah Pemerintah Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau joint
4

H. Salim HS. Hukum Pertambangan di Indonesia. (Jakarta : Rajawali Pers, 2008). Hlm. 303

27

venture antara perusahaan asing dan perusahaan nasional. Definisi yang


disempurnakan adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pemerintah
Indonesia dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau merupakan
patungan antara badan hukum domestic untuk melakukan kegiatan
eksplorasi dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan jangka
waktu yang disepakati kedua belah pihak.

D. Kedudukan Badan Pelaksana dalam Kegiatan Usaha Hulu


Pada dasarnya, jenis kegiatan usaha minyak dan gas bumi dibagi
menjadi dua macam, yaitu kegiatan usaha hulu dan usaha hilir. Lembaga yang
berwenang untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu adalah badan
pelaksana sedangkan yang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap
penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan gas bumi pada
kegiatan usaha hilir adalah badan pengatur.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang badan pelaksana adalah
Pasal 1 angka 23, Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Badan Pelaksana adalah suatu
badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di
bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

28

Kedudukan Badan Pelaksana merupakan badan hukum milik Negara.


Badan Hukum milik Negara mempunyai status sebagai subjek hukum perdata
dan merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara
professional.

BAB III
PENGATURAN TATA PELAKSANAAN KEGIATAN BIOREMEDIASI DI
INDONESIA

A. Kontrak Karya Kerja Sama (KKKS)


KKKS (Kontrak Karya Kerja Sama) atau Production Sharing Contract
merupakan sebuah kontrak yang dikeluarkan oleh SKK Migas dengan izin
dari BP Migas dan Kementrian ESDM dimana didalamnya terdapat
mekanisme pembagian kerja antara Pemerintah dengan Pertamina serta
Investor dalam maupun luar negeri dari eksplorasi, eksploitasi hingga
distribusi yang diatur berdasarkan pada ketentuan di dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, Undang-Undang No. 2 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No. 35 Tahun 2004 tentang Badan
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
KKKS merupakan induk kontrak dari berbagai kontrak di bawahnya
antara Pertamina dengan Investor dimana didalamnya terdapat Kontrak KSO
(Kerja Sama Operasi), BOB dan Joint Operation. Kontrak yang mengatur
pelaksanaan kerja sama pertambangan minyak bumi bagian hulu adalah
Kontrak KSO. Prinsip utama dalam pelaksanaan KSO tetap mengacu dan

29

30

sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam KKKS Pertamina EP sebagai


Kontrak Induknya.1
Kontrak Kerjasama Operasi atau KSO merupakan kontrak antara
Pertamina EP dengan Mitra. Mitra adalah perusahaan yang telah
menandatangani kontrak KSO dimana didalamnya memiliki kualifikasi bahwa
Mitra merupakan Badan Usaha atau Bentuk Badan Usaha Tetap yang kegiatan
usahanya meliputi kegiatan usaha migas dimana memiliki kemampuan
finansial, teknis dan sumber daya manusia (SDM) di bidang usaha hulu migas
yang berpengalaman dan bereputasi baik dalam pengelolaan aktifitas
eksplorasi minimal 6 tahun.2 KSO berisi bahwa Pertamina EP bertanggung
jawab atas manajemen operasi sementara Mitra bertanggung jawab
melaksanakan kegiatan operasional, menanggung resiko operasi dan biaya
yang dikeluarkan akan dikembalikan dari hasil produksi setelah titik serah.
Mitra berhak memperoleh bagi-hasil atas produksi yang dihasilkan.
Dalam hal pengembalian biaya operasi dan bagi hasil maka biaya
operasi dikembalikan kepada Mitra dari maksimal 80% produksi untuk tiap
tahun berjalan. Biaya operasi yang belum dikembalikan pada tahun berjalan,
akan diperhitungkan pada tahun-tahun berikutnya. Mitra akan mendapat bagi
hasil dari Pertamina EP dalam KKKS. Pengembalian biaya dan pemberian
bagi hasil akan diberikan kepada partner setelah titik serah.
1

Pertamina EP, Kerangka Dasar Kontrak Kerjasama Operasi (KSO) atau Operation
Cooperation Agreement Launching tgl 30 November 2006, Hotel Four Seasons Jakarta.
2
Pertamina EP, Information Summary. 2010.

31

Kontrak ini menyatakan bahwa Investor yang telah mendapatkan izin


melakukan pertambangan kegiatan hulu minyak bumi di Indonesia
bertanggung jawab dalam hal kegiatan operasional dari eksplorasi, eksploitasi,
pengeboran hingga kegiatan pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun
ataupun kegiatan bioremediasi serta menanggung resiko operasi kegiatan
usaha hulu minyak dari awal pelaksanaan hingga akhir pelaksanaan yang
dikemudian waktu pemerintah akan mengembalikan biaya operasi atau cost
recovery.

B. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945


Kegiatan Bioremediasi di dasarkan pada Pancasila dalam butir ke 5
yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dengan pengertian
bahwa antara hak dan kewajiban harus seimbang dimana perusahaan
pertambangan yang telah mendapatkan haknya untuk melaksanakan kegiatan
Usaha Hulu di wilayah Indonesia berkewajiban pula untuk melakukan
kegiatan pemulihan atas wilayah pertambangan dimana hal ini bersandingan
pula dengan hak rakyat Indonesia untuk mendapatkan lingkungan yang bersih
dan asri.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kegiatan Bioremediasi didasarkan
pada Pasal 33 ayat (4) yang menyatakan bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan

berdasar

atas

demokrasi

ekonomi

dengan

prinsip

32

kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,


kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional atau dengan kata lain bahwa badan usaha yang
melaksanakan kegiatan perekonomiannya di wilayah Indonesia harus
berdasarkan prinsip wawasan lingkungan dalam kegiatan usahanya yang
bersandingan pula dalam hak rakyat Indonesia yang diatur dalam Pasal 28H
ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan yang sehat dimana dalam
Pasal 28I ayat (4) dan (5) dikatakan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara,
terutama Pemerintah dan untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan.

C. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi


Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi

dibuat

mengingat

pembangunan

nasional

harus

berdasarkan

kesejahteraan rakyat terutama di bidang minyak dan gas bumi yang


merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh
Negara serta komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak yang

33

mempunyai

peranan

penting

dalam

perekonomian

Negara.

Melihat

perkembangan dan kebutuhan hukum dibidang pertambangan minyak bumi


yang semakin terbarukan maka Undang-Undang ini diundangkan.
Dalam Undang-Undang ini dikatakan bahwa pengertian dari Kuasa
Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah
untuk menyelenggarakan Eksplorasi dan Eksploitasi atau kegiatan usaha hulu
dengan mengeluarkan izin pertambangan kepada badan usaha berbentuk
Kontrak Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau
bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang
lebih menguntungkan Negara dengan hasil dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Kontrak Kerja sama memuat hal-hal mengenai
penerimaan Negara, wilayah kerja dan pengembaliannya, kewajiban
pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan hasil produksi atau Minyak dan
Gas Bumi, jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak, penyelesaian
perselisihan, kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk
kebutuhan dalam negeri, berakhirnya kontrak, kewajiban pasca operasi
pertambangan, keselamatan dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan
hidup, pengalihan hak dan kewajiban, pelaporan yang diperlukan, rencana
pengembangan lapangan, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam
negeri,

pengembangan

masyarakat

sekitarnya

dan

jaminan

hak-hak

masyarakat adat dan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

34

Mengenai hal penguasaan diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan


bahwa Minyak dan Gas sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan
yang terkandung didalamnya wilayah hukum Pertambangan Indonesia
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara, penguasaan oleh
Negara yang dimaksud adalah penguasaan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dan Pemerintah sebagai
pemegang penguasa pertambangan membentuk Badan Pelaksana. Pasal 6
Undang-Undang ini menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan
dikendalikan melalui kontrak kerja sama dimana didalamnya memuat hal
bahwa manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana.
Kegiatan Usaha Hulu diatur dalam Pasal 11 yang menyatakan bahwa
kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh Badan Usaha atau bentuk usaha tetap
berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
Undang-Undang ini mengatur pula mengenai pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan Pemerintah mengenai hal kegiatan bioremediasi,
diatur dalam Pasal 39 ayat (1) bahwa dalam hal pembinaan, pemerintah
berkewajiban menetapkan kebijakan mengenai kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi berdasarkan aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup
dimana pelaksanaan pembinaan ini harus bersifat cermat, transparent dan adil.
Diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 ayat (3) bahwa pengelolaan lingkungan
hidup berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penganggulangan

35

pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup,


termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan dan ketentuan lainnya diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Mengenai hal Pengawasan Pemerintah diatur dalam Pasal 41 yang
berisi tentang tanggung jawab kegiatan pengawasan atas pekerjaan dan
pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi terhadap ditaatinya
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berada pada
departemen yang bidang tugas dan kewenangannya meliputi kegiatan usaha
minyak dan gas bumi dan departemen lain yang terkait. Pengawasan atas
pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang
dijalankan oleh Badan Pelaksana. Pasal 44 mengatur lebih lanjut mengenai
fungsi dan tugas badan pelaksana bahwa badan pelaksana memiliki fungsi
untuk

melakukan

pengawasan

terhadap

kegiatan

usaha

Hulu

agar

pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik Negara dapat
memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
BP Migas diatur dalam pasal 44 ayat (3) bahwa tugas badan pelaksana
adalah memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya
dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja
Sama, melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama.

36

D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup


Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup ini
merupakan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan lahir atas dasar bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga
Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta untuk membantu
pelaksanaan pemerintah dalam program pembangunan ekonomi nasional
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang diselenggrakan berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dan dengan semangat otomoni
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk membawa perubahan
hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah,
termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Atas alasan bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun
telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku
kepentingan dan melihat dari pemanasan global yang semakin meningkat
mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas
lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan

37

lingkungan hidup dan agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan
perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan
ekosistem.
Definisi

pencemaran

lingkungan

hidup

adalah

masuk

atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam


lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan, sementara baku mutu lingkungan
hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan
hidup.
Undang-Undang ini mengatur tentang bioremediasi dalam hal
pengendalian yang tercantum pada Pasal 13 dimana dijelaskan bahwa
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan
dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan. Dalam hal pencegahan telah diatur dalam
Pasal 53 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, penanggulangan yang
dimaksud adalah dengan cara pemberian informasi peringatan pencemaran

38

dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat, pengosilasian


pencemaran dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan ketentuan lebih lanjut yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 54 menjelaskan tentang pemulihan dengan pengertian bahwa
setiap orang yang melakukan peran dan/atau perusakan lingkungan hidup
wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup, pemulihan fungsi
lingkungan hidup yang dimaksud adalah dengan tahapan penghentian sumber
pencemaran dan pembersihan unsur pencemar, remediasi, rehabilitasi,
restorasi dan/atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Mengenai perizinan diatur dalam pasal 55 bahwa pemegang izin
lingkungan3 wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi
lingkungan hidup, dimana dana penjaminan disimpan di bank pemerintah
yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota serta sesuai
dengan kewenangannya bahwa mereka dapat menetapkan pihak ketiga untuk
melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana
penjaminan dengan ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah.
Lebih khusus lagi dalam Undang-Undang ini kegiatan bioremediasi
diatur dalam BAB VII yang berisi tentang pengelolaan bahan berbahaya dan
3

Pemegang izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

39

beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun. Pasal 58 menjelaskan


bahwa setiap orang yang memasukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan,
memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib
melakukan pengelolaan B3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan
sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya dilakukan oleh pihak lain.
Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai kewenangannya keputusan pemberian izin wajib
diumumkan.
Tugas dan Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah di dalam
Pasal 63 dimana dijelaskan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang untuk menetapkan
kebijakan nasional, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria serta
menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional,
menetapkan

dan

melaksanakan

kebijakan

amdal

dan

UKL-UPL,

menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas


rumah kaca, mengembangkan standar kerja sama, mengoordinasi dan
melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup, menetapkan dan kebijakan mengenai limbah B3, lingkungan laut dan
menetapkan kebijakan mengenai melaksanakan limbah, serta melaksanakan
perlindungan melaksanakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

40

hidup lintas batas Negara, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap


pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah, melakukan pembinaan dan pengasawan ketaatan pengangung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan, menerbitkan izin lingkungan dan melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup. Sementara, tugas Pemerintah Provinsi,
Pemerintah kabupaten atau kota mengatur hal-hal yang sama tetapi dalam
tingkatannya.
Kewajiban mengenai badan usaha dalam hal kegiatan bioremediasi
tertuang dalam Pasal 68 bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan berkewajiban untuk memberikan informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka,
dan tepat waktu, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan menaati
ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Pengawasan diatur dalam Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 71
bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penganggung jawab usaha
dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta
mereka dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan

41

kepada

pejabat/instansi

teknis

yang

bertanggung

jawab

di

bidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan dalam melaksanakan


pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat
pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Pasal 72
menyatakan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penganggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan. Pasal 73 menyatakan
bahwa Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penganggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang
serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sementara

kewenangan

pejabat

pengawas

lingkungan

hidup

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yaitu melakukan pemantauan,


meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, memotret, membuat
rekaman audio visual, mengambil sampel, memeriksa peralatan, memeriksa
instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau menghentikan pelanggaran
tertentu, serta dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan
hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri
sipil dan penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan untuk ketentuan

42

lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan diatur dalam


Peraturan Pemerintah.

E. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah


Bahan Berbahaya dan Beracun
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun terhadap perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999. Lahirnya Peraturan Pemerintah ini dilandasi upaya
pemerintah untuk menjaga lingkungan hidup atas kelestariannya sehingga
tetap mampu menunjang pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan
mengingat adanya peningkatan pembangunan di segala bidang, khususnya
pembangunan di bidang industri, karena akan semakin meningkat pula jumlah
limbah yang dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat
membahayakan lingkungan hidup dan kesehatan manusia dan untuk
mengenali limbah yang dihasilkan secara dini diperlukan identifikasi
berdasarkan uji tosikologi dengan penentuan nilai akut dan atau kronik untuk
menentukan limbah yang dihasilkan termasuk sebagai limbah bahan
berbahaya dan beracun serta dengan sehubungan itu maka pemerintah
memandang perlu mengubah dan menyempurnakan beberapa ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun.

43

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 ini definisi


kegiatan bioremediasi termasuk dalam definisi pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun yang disingkat limbah B3, maka pengertian
pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan
penimbunan limbah B3. Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada
penghasil untuk mengurangi jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan racun
limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan. Tujuan pengelolaan
limbah B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta
melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga
sesuai fungsinya kembali.
Peraturan Pemerintah ini mengatur pula mengenai kewenangan Pelaku
Pengelola yang diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 11 bahwa setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan
beracun dan/atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi limbah
B3, mengolah limbah B3 dan/atau menimbun limbah B3 dan bahwa setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang
dihasilkan sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak mampu diolah di
dalam negeri dapat diekspor ke Negara lain yang memiliki teknologi pengolah
limbah B3. Dalam bidang usaha penghasil limbah Peraturan Pemerintah ini

44

mengatur pada Pasal 23 bahwa pengolah limbah B3 dilakukan oleh penghasil


atau badan usaha yang melakukan kegiatan pengolahan limbah B3.
Mengenai tata laksana perizinan, Peraturan Pemerintah ini mengatur
dalam Pasal 40 ayat (1) bahwa setiap badan usaha yang melakukan kegiatan
penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan
limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung
jawab, pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari Menteri
Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari kepala instansi yang
bertanggung jawab dan pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib
memiliki izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi
yang bertanggung jawab. Pasal 40 ayat (2) menjelaskan ketentuan mengenai
tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab, dan kepala instansi yang
berwenang memberikan izin. Sementara untuk kewenangan keputusan
permohonan izin diatur dalam Pasal 44 yang menyatakan bahwa keputusan
mengenai permohonan izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 diberikan
oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 45 (empat
puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya dengan syarat dan
kewajiban dalam analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah
disetujui merupakan bagian yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam
pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).

45

Pengaturan mengenai Analisis Dampak Lingkungan atau AMDAL


diatur Peraturan Pemerintah ini dalam Pasal 43 bahwa untuk kegiatan
pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3
sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama
dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
kepada instansi yang bertanggung jawab.
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 mengatur pula tentang
pengawasan dalam Pasal 47 bahwa pengawasan pengelolaan limbah B3
dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan kepada instansi yang
bertanggung jawab. Pengawasan sebagaimana dimaksud meliputi pemantauan
terhadap penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh
penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun
limbah B3. Pelaksanaan pengawasan pengelola limbah B3 di daerah
dilakukan menurut tata laksana yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang
bertanggung jawab.
Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 menjelaskan
bahwa apabila dalam pelaksanaan pengawasan lingkungan ditemukan indikasi
adanya tindak pidana lingkungan hidup maka pengawas selaku penyidik
pegawai negeri sipil lingkungan hidup dalam melakukan penyidikan.

46

Mengenai sanksi jelaskan di dalam Pasal 62 dan Pasal 63 bahwa Instansi yang
bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis kepada yang melanggar
Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang
dihasilkannya langsung ke dalam media lingkungan hidup, tanpa pengolahan
lebih dahulu dan Pasal 4 yang menyatakan bahwa setiap orang atau badan
usaha yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pengolahan dan penimbunan limbah B3 dilarang melakukan pengenceran
untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B3 serta
Pasal 9 sampai Pasal 26, Pasal 18 sampai dengan Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58 dan Pasal 60. Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II dapat menghentikan sementara kegiatan operasi
atas nama instansi yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab
apabila pelanggaran tersebut dapat membahayakan lingkungan hidup. Pasal
63 menyatakan bahwa barangsiapa yang melanggar ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang ini yang mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup diancam dengan pidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.

47

F. Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun
2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak
Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis ini lahir
sebagai upaya pemerintah untuk mengolah limbah minyak bumi dan tanah
yang terkontaminasi oleh minyak bumi yang dihasilkan usaha atau kegiatan
minyak, gas dan panas bumi atau kegiatan lain yang menghasilkan limbah
minyak bumi yang merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang
memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan
maka perlu dilakukannya upaya pengolahan secara biologis sebagai alternatif
teknologi pengolahan limbah minyak bumi.
Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun secara teknis telah
diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor : Kep-03/Bapedal/09/1995
tentang Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun oleh karena sifat kekhususannya, maka pengolahan limbah dan tanah
terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis perlu diatur tersendiri dalam
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan bahwa berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara bahwa
pembuatan pedoman pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun

48

menjadi kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan dengan hal


tersebut

maka

pemerintah

menetapkan

Keputusan

Menteri

Negara

Lingkungan Hidup tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan


Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara
Biologis.
Dalam

Keputusan

Menteri

ini

definisi

bioremediasi

mulai

diperkenalkan dengan pengertian sebuah proses pengolahan limbah minyak


bumi yang sudah lama atau tumpahan/ceceran minyak pada lahan
terkontaminasi dengan memanfaatkan makhluk hidup mikroorganisme,
tumbuhan atau organisme lain untuk mengurangi konsentrasi atau
menghilangkan daya racun bahan pencemar. Kegiatan bioremediasi masuk ke
dalam istilah pengolahan limbah minyak bumi dengan pengertian berupa
proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah minyak bumi
untuk menghilangkan dan atau mengurangi sifat bahaya dan atau sifat racun.
Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang terbentuk dari
proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas
kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang
terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat
digunakan kembali dalam proses produksi.

49

Beberapa aspek yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan


Hidup nomor 128, Juli 2003, tentang tatacara dan persyaratan teknis
pengolahan limbah sludge minyak bumi secara biologi adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan Limbah
Persyaratan limbah sludge minyak bumi yang akan diolah secara
biologi adalah konsentrasi maksimum Total Petroleum Hidrokarbon
(TPH) sebelum proses pengolahan adalah tidak lebih dari 15%, jika
konsentrasi TPH sebelum pengolahan atau pemanfaatan terlebih dahulu
dengan mempertimbangkan teknologi yang tersedia dan karakteristik
limbahnya. Sementara hasil uji TCLP logam berat berada di bawah baku
mutu

seperti

yang

tercantum

dalam

Keputusan

Nomor

04/Bapedal/09/1995.
2. Persyaratan Tempat Pengolahan
Tempat dilakukannya proses pengolahan secara biologi harus
memenuhi persyaratan umum yang diatur dalam Keputusan Kepala
Bapedal tahun 1995 tentang pengelolaan limbah B3.
3. Tata Cara Pengolahan
4. Analisis Terhadap Proses Pengolahan
Selama proses pengelolaan secara biologi ini dilakukan, maka
beberapa parameter dianalisis diantaranya:

50

a. Analisis sampel limbah minyak yang diolah yang terdiri dari


Analisis kimia yang merupakan parameter dan metode sampling
untuk analisis sampel limbah minyak yang akan diolah dan
Analisis pendukung yang merupakan analisis terhadap produk
hasil penguraian limbah sludge minyak bumi (TPH) hasil aktifitas
mikroba

dan

sebagai

analisis

terhadap

parameter

yang

berhubungan dengan proses mikrobiologis dapat dilakukan


sehingga dapat diperoleh data pendukung untuk mengetahui
efektifitas pengolahan, misalnya dengan menghitung jumlah total
mikroba, pengukuran respirasi, dan biomassa hidrokarbon.
b. Analisis sampel air tanah dari sumur pantau, dimana sampel air
tanah diambil

dari sumur pantau

yang dipasang secara

respresentatif di daerah hulu dan hilir minimum pada saat awal


operasi, selama proses dan akhir oprasi.
c. Analisis sampel tanah
d. Analisis sampel air lindi yang dibuang ke lingkungan diperlakukan
sebagai limbah cair mengacu kepada Keputusan Kementrian
Lingkungan Hidup nomor 42 tahun 1996, minimum 1 (satu) bulan
sekali.
5. Kriteria Hasil Akhir Pengolahan

51

Hasil akhir dari proses pengolahan secara biologi harus memenuhi


kriteria seperti yang diatur dalam Keputusan Kementrian Lingkungan
Hidup No. 42 tahun 1996 yang menyatakan bahwa limbah cair yang
dibuang ke lingkungan harus memenuhi persyaratan mengenai baku mutu
limbah cair yang telah ditetapkan dalam peraturan.
6. Penanganan Bahan Hasil Limbah Pengolahan
Setelah proses pengolahan mencapai ketentuan kriteria maka
terhadap bahan tersebut dapat dilakukan perlakuan dengan ketentuan :
a. Sebelum melakukan kegiatan pengelolaan terhadap bahan hasil olahan
pasca operasi, maka pengelola melaporkan rencana kegiatan tersebut
ke KLH.
b. Hasil olahan ditimbun ke landfill jika hasil analisis tidak memenuhi
baku mutu yang dipersyaratkan sesuai dengan hasil analisis sludge
minyak

bumi

yang

mengacu

pada

keputusan

Nomor

04/Bapedal/09/1995.
c. Hasil olahan dapat ditempatkan ke lokasi dimana proses pengolahan
biologi sebelumnya berlangsung jika hasil analisis telah memenuhi
baku mutu yang dipersyaratkan, serta hasil olahan dapat ditempatkan
ditempat lain yang masih berada di sekitar area internal penghasil
limbah jika hasil analisis telah memenuhi baku mutu yang
dipersyaratkan.

52

Tujuan ditetapkannya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup ini


dalam hal pelaksanaan bioremediasi adalah bahwa untuk mewujudkan
terlaksananya pengelolaan limbah dan pemulihan lingkungan akibat kegiatan
usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain yang berhubungan dengan
pengelolaan limbah minyak bumi yang efektif dan efisien sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku dan untuk memberikan acuan dan arahan
bagi kegiatan usaha minyak dan gas bumi atau kegiatan lain yang
berhubungan dengan pengolahan limbah minyak bumi dalam mengurangi
konsentrasi residu minyak atau menghilangkan sifat bahaya dan beracun agar
tidak membahayakan

kesehatan manusia

dan untuk

menanggulangi

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.


Mengenai perizinan pengelolaan limbah Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup ini mengatur dalam Pasal 3 bahwa ketentuan perizinan
pengelolaan limbah bahan minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh
minyak bumi secara biologis mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
dengan hasil analisis terhadap proses pengolahan biologis dan pemantauan
terhadap bahan hasil pengolahan dilaporkan kepada Menteri Negara
Lingkungan Hidup dengan tembusan kepada instansi yang bertanggungjawab
di bidang lingkungan hidup Propinsi, Kabupaten/Kota atau instansi lain yang

53

terkait minimum 6 (enam) bulan sekali. Pelaporan yang dimaksud mencakup


jumlah, jenis dan karakteristik limbah yang diolah, hasil analisis dari
pemantauan limbah yang diolah dan air tanah serta data analisis dari
pemantauan terhadap hasil olahan setelah proses pengolahan biologis.
Semenjak ditetapkannya Keputusan Menteri Negara ini pada tahun
2003 maka apabila saat diberlakukannya keputusan ini telah dilakukan
pengolahan limbah minyak dan tanah terkontaminasi secara biologis yang
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini,
maka

pelaksana

berkewajiban

menyesuaikan

pengelolaannya

dengan

keputusan ini selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak


diterbitkannya keputusan ini yang telah diatur dalam Pasal 5.

BAB IV
ANALISIS YURIDIS PELAKSANAAN BIOREMEDIASI DALAM
KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI INDONESIA
A. Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu
Minyak Bumi di Indonesia
Mekanisme tata pelaksanaan bioremediasi di Indonesia diatur jelas di
dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 dimana
tatacara dan persyaratan teknis pengolahan limbah sludge minyak bumi secara
biologi adalah sebagai berikut :
1. Persyaratan Limbah
Persyaratan limbah minyak bumi yang akan diolah secara biologi
adalah konsentrasi maksimum Total Petroleum Hidrokarbon (TPH)
sebelum proses pengolahan adalah tidak lebih dari 15%, jika lebih maka
perlu dilakukan pengolahan atau pemanfaatan terlebih dahulu dengan
mempertimbangkan teknologi yang tersediadan karakteristik limbahnya
serta hasil uji logam berat berada di bawah baku mutu seperti yang
tercantum dalam Keputusan Nomor 04/Bapedal/09/1995.
2. Persyaratan Tempat Pengolahan
Persyaratan umum sesuai dengan Keputusan Kepala Bapedal tahun
1995 tentang pengolahan limbah B3 dan melakukan pengkajian terhadap

54

55

konsisi awal tanag dari lokasi yang akan dibangun unit pengolahan
termasuk data kandungan TPH dan logam berat pada sampel tanah dan air
tanah.
3. Persyaratan Fasilitas
Fasilitas pengolahan limbah minyak bumi secara biologi di tempat
pengolahan harus dilapisi tanah lempung dengan ketebalan minimum 60
cm seteah dipadatkan, saluran drainase dirancang di sekeliling unit lokasi
pengelolahan, konstruksi saluran drainasedan kolam penampungan air
limpasan harus kedap air, tanggul dibangun disekeliling unit lokasi
pengolahan, pagar pengaman di sekeliling lokasi dipasang untuk
menghindari masuknya pihak-pihak yang tidak berkepentingan, dan tandatanda peringatan dipasang untuk menjaga aspek keselamatan dan
keamanan.
4. Tata Cara Pengolahan
a. Bahan pencampur dapat ditambahkan pada limbah dengan tujuan
untuk mengoptimalkan proses penguraian limbah minyak bumi oleh
mikroba. Bahan penggembur dapat ditambahkan untuk meningkatkan
porositas campuran limbah minyak bumi dengan memanfaatkan bahan
yang tersedia di sekitar lokasi pengolahan. Pada proses pengolahan
yang dilakukan secara aerob, maka pemberian oksigen melalui pipapipa, pengadukan manual atau dengan alat berat.

56

b. Mikroba pengurai limbah minyak bumi yang diperoleh dari luar


dipersyaratkan

bukan

merupakan

organisme

pathogen,

bukan

termasuk organisme hasil rekayasa genetika dan apabila produk import


digunakan harus seijin dari instansi Departemen Pertanian.
5. Evaluasi Kinerja Pengolahan
Keberhasilan proses pengolahan secara biologi dalam menurunkan
kadar TPH/Oil Content sampai memenuhi kriteria yang dipersyaratkan
dievaluasi untuk melihat efektifitas penguraian limbah minyak secara
biologi dengan ketentuan waktu maksimum pengolahan adalam 8 bulan.
Jika proses pengolahan memakan waktu lebih dari 8 bulan, maka evaluasi
ulang dilakukan untuk meningkatkan kinerja proses pengolahannya.
6. Analisis Terhadap Proses Pengolahan
Selama proses pengelolaan secara biologi ini dilakukan, maka beberapa
parameter dianalisis dengan beberapa ketentuan.
7. Kriteria Hasil Akhir Pengolahan
a. Limbah sludge minyak bumi harus memenuhi persyaratan nilai akhir
hasil pengolahan sludge minyak bumi secara biologi.
b. Limbah cair yang dibuang ke lingkungan harus memenuhi KepMen
yang mengatur mengenai baku mutu limbah cair yang terkait misalnya
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.42 tahun 1996.
8. Penanganan Bahan Hasil Pengolahan

57

a. Sebelum melakukan kegiatan pengelolaan terhadap bahan hasil olahan


pasca operasi, maka pengelola melaporkan rencana kegiatan tersebut
ke KLH.
b. Hasil olahan ditimbun ke landfill jika hasil analisis tidak memenuhi
baku mutu yang dipersyaratkan dan mengacu pada Keputusan Nomor
04/Bapedal/09/1995.
c. Persyaratan lahan penempatan bahan hasil olahan tersebut harus
merupakan daerah bebas banjir, bukan daerah resapan atau sumber
mata air, bukan daerah permukaan dangkal dan bukan daerah yang
dilindungi.
d. Bahan hasil olahan yang ditempatkan di luar area penghasil limbah
harus memperoleh ijin dari Kementrian Lingkungan Hidup.
9. Pemantauan dan Pengawasan terhadap Bahan Hasil Pengolahan
Pemantauan dan pengawasan terhadap bahan hasil pengolahan yang
diletakkan di atas lahan dilakukan secara teratur dan periodic dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Analisis TPH terhadap sample bahan hasil pengolahan, sample tanah,
sample air tanah dilakukan oleh penghasil limbah minimum setahun
sekali.
b. Penghasil limbah bertanggung jawab terhadap pengendalian atau
pengolahan terhadap lokasi penempatan hasil olahan minimum 2 (dua)

58

tahun atau jangka waktu lain yang ditentukan oleh instansi yang
bertanggung jawab.
c. Pemantauan dan pengawasan terhadap lokasi penempatan bahan hasil
olahan dilakukan oleh KLH, Bapedalda propinsi dan Bapeldalda
Kabupaten/Kota atau instansi lain yang berwenang minimum 6 (enam)
bulan sekali.
d. Pelaporan tentang hasil pemantauan diberikan kepada KLH,
Bapedalda propinsi dan Bapedalda Kabupaten/Kota atau instansi lain
yang berwenang minimum 6 (enam) bulan sekali.
B. Hubungan Hukum Pemerintah dan Perusahaan dalam pelaksanaan
Bioremediasi Kegiatan Hulu Minyak Bumi di Indonesia
1. Hak dan Kewajiban Pemerintah dalam Kegiatan Bioremediasi
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengolahan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta didalamnya mengenai
penyelenggaraan kegiatan Bioremediasi. Dengan demikian setiap kegiatan
bioremediasi harus merujuk pada kentuan-ketentuan yang ada dalam
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 serta Undang-Undang No. 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan Keputusan Kementrian
Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003, terutama perjanjian kontrak kerja

59

sama sebagai bentuk awal terjadinya bisnis pertambangan usaha hulu


minyak bumi di Indonesia.
a. Hak Pemerintah dalam Kegiatan Bioremediasi
1) Menetapkan Kebijakan Mengenai Kegiatan Bioremediasi.
Pemerintah memiliki hak untuk menetapkan kebijakan
mengenai kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi berdasarkan
aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup yang diatur
dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No.22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi serta dalam Pasal 63 UndangUndang No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup
menyatakan hal yang sama.
2) Pemerintah berwenang dalam hal Kuasa Pertambangan dimana
diberikan wewenang untuk dapat mengeluarkan surat izin
pertambangan dalam pelaksanakan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi atau kegiatan hulu migas yang berbentuk Kontrak
Kerja Sama. Kontrak Kerja Sama harus memuat diantaranya:
a) Hal-hal mengenai penerimaan Negara
b) Wilayah kerja dan pengembaliannya
c) Perpindahan kepemilikan hasil produksi atau Minyak
dan Gas Bumi
d) Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak

60

e) Penyelesaian perselisihan
f) Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi
untuk kebutuhan dalam negeri
g) Berakhirnya kontrak
h) Kewajiban pasca operasi pertambangan
i) Keselamatan dan kesehatan kerja
j) Pengelolaan lingkungan hidup
k) Pengalihan hak dan kewajiban
l) Pelaporan yang diperlukan
m) Pengembangan masyarakat sekitarnya
n) Jaminan hak-hak masyarakat adat dan pengutamaan
penggunaan tenaga kerja Indonesia.
3) Pemerintah berhak dalam melakukan pengawasan jalannya
pelaksanaan kegiatan Bioremediasi yang diatur dalam Pasal 39
ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi dimana Pemerintah berhak menerima laporan
secara berkala atas jalannya kegiatan Bioremediasi. Pemerintah
berhak pula untuk setiap saat memasuki dan memeriksa
wilayah kerja Bioremediasi dan memeriksa dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan administrasi kegiatan Bioremediasi.
Pengawasan pelaksanaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas

61

bumi di Indonesia berdasarkan Kontrak Kerja Sama yang


dijalankan oleh Badan Pelaksana dan mengenai pengawasan
kegiatan Bioremediasi diatur pula dalam Pasal 71 UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup bahwa
Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup berhak untuk melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari
dokumen

dan/atau

membuat

catatan

yang

diperlukan,

memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio


visual, mengambil sampel, memeriksa peralatan, memeriksa
instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau menghentikan
pelanggaran tertentu, serta dalam melaksanakan tugasnya,
pejabat

pengawas

lingkungan

hidup

dapat

melakukan

koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan


penganggung

jawab

usaha

dan/atau

kegiatan

dilarang

menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan


hidup dan untuk ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4) Pemerintah berhak menerima fee atau royalty dalam hal bagihasil dari produksi yang dihasilkan.
5) Atas pengakhiran kegiatan Bioremediasi, Pemerintah berhak
meminta kepada Badan Usaha yang melaksanakan kegiatan

62

Bioremediasi untuk mengembalikan seluruh data, informasi


maupun keterangan yang diperoleh selama masa pelaksanaan
Bioremediasi.
b. Kewajiban Pemerintah dalam Kegiatan Bioremediasi
1) Membentuk Badan Pelaksana;
2) Pemerintah berkewajiban memberikan segala macam informasi
yang berhubungan dengan pertambangan minyak dan gas bumi
Indonesia serta pascaoperasi pertambangan minyak dan gas
bumi.
3) Pemerintah
pembinaan,

berkewajiban
bimbingan

memberikan
kepada

Badan

bantuan
Usaha

berupa
yang

melaksanakan kegiatan Usaha Hulu atau Pertambangan Migas.


4) Kewajiban Pemerintah untuk memberikan bantuan, fasilitas,
pembinaan, bimbingan, pelatihan ini sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 40 ayat (3) UU. Kewajiban
Pemerintah dalam hal pembinaan adalah dengan membuat
kebijakan mengenai kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi
berdasarkan aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan
hidup dimana pelaksana pembinaan ini harus bersifat cermat,
transparan dan adil. Bentuk bantuan pembinaan yang diberikan
berupa pembinaan dalam hal pencegahan dan penanggulangan

63

pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan


lingkungan

hidup,

termasuk

pembinaan

pascaoperasi

pertambangan.
5) Pemerintah bertugas untuk menetapkan standar AMDAL dan
UKL-UPL
2. Hak dan Kewajiban Perusahaan dalam Kegiatan Bioremediasi
a. Hak Perusahaan dalam Kegiatan Bioremediasi
1) Perusahaan yang melakukan kegiatan Bioremediasi berhak
mendapatkan pembinaan yang diberikan oleh Pemerintah.
2) Perusahaan yang telah melakukan kegiatan operasional
pertambangan hulu minyak bumi di Indonesia dari kegiatan
eksplorasi, eksploitasi hingga pengolahan limbah bahan
beracun dan berbahaya berhak menerima dana pengembalian
atau recovery cost dari Pemerintah.
b. Kewajiban Perusahaan dalam Kegiatan Bioremediasi
1) Memberikan

informasi

yang

tepat

mengenai

kegiatan

Bioremediasi. Dalam Pasal 68 diatur bahwa setiap orang yang


melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban untuk
memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka,
dan tepat waktu, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan

64

hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan


hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
2) Dalam Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999, Pasal 9
hingga Pasal 11 menyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan
berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah B3
wajib melakukan reduksi limbah B3, mengolah limbah B3
dan/atau menimbun limbah B3 dan bahwa setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 wajib mengolah limbah B3 yang
dihasilkan sesuai dengan teknologi yang ada dan jika tidak
mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke Negara lain
yang memiliki teknologi pengolah limbah B3. Dalam bidang
usaha penghasil limbah Peraturan Pemerintah ini mengatur
pada Pasal 23 bahwa pengolah limbah B3 dilakukan oleh
penghasil atau badan usaha yang melakukan kegiatan
pengolahan limbah B3.
C. Analisis Kasus
PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang beroperasi di wilayah Riau,
sejak tahun 2003 hingga 2011 telah melakukan proses bioremediasi di
beberapa

wilayah

yang

terdeteksi

terkontaminasi

limbah

untuk

mengembalikan tanah yang terkontaminasi limbah hasil produksi minyak

65

bumi. Bioremediasi ini dianggarkan USD 270 juta yang diambil dari klaim
biaya pemulihan (cost recovery) yang ditanggung oleh pemerintah. Proyek
bioremediasi dikerjakan oleh CPI beserta tujuh perusahaan swasta, dua
diantaranya adalah PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya
(SJ) sebagai kontraktor pelaksana bioremediasi. Mekanisme pemilihan
kontraktor sebagai pihak ketiga dari proyek bioremediasi ini dipilih dengan
cara tender. Namun, pada pelaksanaannya proses bioremediasi tidak
dilakukan sebagaimana mestinya, sehingga muncul adanya pelanggaran.
Sidang perkara proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia
(CPI) yang dipimpin hakim ketua Sudharmawati Ningsih atas terdakwa Endah
Rumbiyanti digelar pada tanggal 12 Juni 2013 dengan agenda pembacaan
tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dalam tuntutan jaksa diulas
berbagai bukti yang mendukung tuduhan menyangkut proses bioremediasi
yang diatur dalam Kepmen LH 123/2008 dan pelanggaran perijinan
pengolahan limbah oleh kontraktor yang diatur dalam PP 18/1999, artinya
jaksa memeriksa kasus ini sebagai pelanggaran peraturan lingkungan. Kasus
ini terkait proses pengadaan, maka sesuai dengan kontrak PSC dan PTK 007
BP Migas (sekarang SKK Migas) maka Jaksa pun berkoordinasi
mendengarkan penjelasan pejabat SKK Migas. SKK Migas sebagai institusi
yang menerbitkan aturan tersebut dan yang berwenang menilai adanya
pelanggaran telah menyatakan bahwa proses tender CPI untuk proyek ini telah

66

sesuai dengan PTK 007 dan petunjuk SKK Migas. Dalam tuntutannya, Jaksa
mengatakan bahwa Endah Rumbiyanti bersama-sama dengan Kukuh
Kertasafari dan Widodo sebagai penanggung jawab kegiatan bioremediasi,
tapi Endah Rumbiyanti tidak pernah melaksanakan tugasnya, hanya menerima
laporan. Terdakwa pun dianggap tidak melaksanakan kewajiban jabatan untuk
memberi saran mengenai perizinan.
Pemulihan fungsi lingkungan hidup wajib dilaksanakan oleh pihak
yang melakukan pencemaran maupun perusakan lingkungan hidup,
sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun jo. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 mengatur
tentang Kegiatan industri yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan
beracun wajib mengolah limbah hasil produksinya sebelum membuangnya ke
media lingkungan hidup, limbah minyak bumi yang dihasilkan usaha atau
kegiatan minyak, gas, dan panas bumi atau kegiatan lain yang menghasilkan
limbah minyak bumi merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun,
demikian diatur dalam
Pelaksanaan pengolahan limbah minyak bumi dan tanah yang
terkontaminasi minyak bumi dapat dilakukan secara biologis, yang mana tata

67

cara pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan


Hidup No. 128 Tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak
Bumi Secara Biologis. Kegiatan bioremediasi yang dilakukan oleh CPI
dilakukan berdasarkan ketentuan pada PP No. 18 Tahun 1999 tentang
pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo. PP No. 85 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas PP No. 18 Tahun 1999. Tatacara pelaksanaan
bioremediasi dilaksanakan berdasarkan ketentuan pada KepMenLH No. 128
Tahun 2003.
Kewenangan melakukan kegiatan pengolahan limbah bahan berbahaya
dan beracun dan termaksud di dalamnya kegiatan bioremediasi adalah
kewenangan Perusahaan ketika melakukan usaha pertambangan hulu
berbentuk eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dimana perusahaan akan
mendapatkan dana pengembalian atau cost recovery dari pemerintah setelah
perusahaan

benar-benar

menyelesaikan

kegiatan

operasional

pertambangannya. Pemerintah dalam hal ini hanya bertindak sebagai


pengawas kegiatan usaha pertambangan hulu bagian eksplorasi dan
eksploitasi minyak bumi.

68

D. Hukum Lingkungan Menurut Sudut Pandang Hukum Islam

Kegiatan pertambangan minyak bumi yang menyebabkan tercemarnya


tanah oleh toksik dan racun lain serta tidak dilakukannya pemulihan tanah
untuk mengembalikan fungsi tanah merupakan kegiatan perusakan terhadap
lingkungan. Hukum Islam mengaturnya dalam Surah Al-ARaf 7 Ayat 56 :




Artinya : Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah
(diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan merasa takut dan
penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang
berbuat kebaikan. (QS: Al-ARaf 7 : 56)
Islam mengajarkan untuk tidak berbuat kerusakan lingkungan dan
bahkan mengajarkan untuk menjaga lingkungan karena Allah Swt. telah
menciptakan bumi dan segala isinya termaksud lingkungan dengan baik dan
sebagai makluk Allah Swt., manusia diharuskan untuk menjaga dan merawat
lingkungan sebagai salah satu bentuk rasa syukur dan keimanan.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Bioremediasi adalah penggunaan mikroba (fungi atau bakteri) untuk


mendekomposisikan

polutan-polutan

toksik

menjadi

komponen-

komponen yang kurang toksik dan bioremediasi merupakan salah satu


metode untuk mengaplikasi prinsip-prinsip biologi untuk menghilangkan
bahan-bahan kimia berbahaya dari air tanah, tanah dan lumpur dimana
kegiatan ini berada pada kegiatan hulu minyak bumi yang diatur dalam
kontrak kerja sama atas kewenangan badan pelaksana kegiatan usaha hulu.
2. Kebijakan Pemerintah mengenai kegiatan Bioremediasi di Indonesia
adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 tentang Hukum Lingkungan dan Peraturan Pemerintah
No.85 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
3. Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Perusahaan dalam Kontrak Kerja
Sama dalam kegiatan Bioremediasi, yaitu Pemerintah bertanggung jawab
atas manajemen operasi dan berkewajiban memberikan pembinaan pada
Perusahaan yang bermitra, sedangkan Perusahaan bertanggung jawab

69

70

melaksanakan kegiatan operasional hinggal pelaksanaan pengolahan


limbah bahan berbahaya dan beracun termaksud kegiatan bioremediasi.
Perusahaan menanggung resiko operasi. Perusahaan berhak atas
pengembalian biaya atau cost recovery yang diberikan oleh Pemerintah
setelah titik serah.
4. Hukum Islam mengatur jelas dalam Al-Quran surat AlAraf ayat 56
bahwa terdapat larangan untuk membuat kerusakan di muka bumi.

B. Saran

1. Hak dan Kewajiban para pihak dalam Kontrak Kerja Sama tidak terdapat
keseimbangan. Hak Pemerintah dalam Kontrak Kerja Sama lebih
terlindungi dibandingkan dengan hak Perusahaan. Oleh karena itu,
Pemerintah perlu untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan
yang lebih mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam Kontrak Kerja
Sama sehingga tercipta keseimbangan dan kepastian hukum terutama
dalam kegiatan Bioremediasi sebagai pelaksanaan pengolahan limbah
bahan berbahaya dan beracun yang sangat penting pasca kegiatan
pertambangan usaha hulu berbentuk ekplorasi dan eksploitasi.

71

2. Efektifnya suatu hukum tergantung pada kepentingan dan beberapa faktor


yang mempengaruhinya seperti dalam teori efektivitas hukum dari
Lawrence Friedman, maka seharusnya pemerintah turut memperhatikan
aspek-aspek berupa relevansi aturan hukum dengan kebutuhan hukum,
kejelasan rumusan dari substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami
oleh target diberlakukannya aturan hukum serta sosialisasi yang optimal
dan aspek profesionalitas para penegak hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku
Asikin, Zaenal. 2014. Mengenal Filsafat Hukum, Bandung: Pustaka Reka
Cipta.
Asikin, Zaenal dan Amirudin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum,
cetakan pertama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008. Pokok-Pokok Filsafat Hukum,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Hamzah, Andi, 2008. Penegakan Hukum Lingkungan. Cetakan ke-2. Jakarta :
Sinar Grafika
HS., Salim, 2008. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Jakarta : Rajawali
Pers.
Ilmar, Dr. Aminuddin SH., M.Hum, 2004. Hukum Penanaman Modal di
Indonesia. Jakarta : Kencana.
Mahmud, Peter Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. cetakan ke-VI. Jakarta:
Kencana.
Nugroho, Astri. 2006. Bioremediasi. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Ria, Marhaeni Siombo. 2012. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan
Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Jakarta : Gramedia
Pustaka.
Siahaan, N.H.T, 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan : Edisi
Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta : Erlangga.
Syahrul, Machmud. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Cetakan ke-2.
Yogyakarta : Graha Ilmu.

72

73

Artikel dan Jurnal


BUMI (Buletin SKK Migas) Edisi No.5 : Juni 2013

Ekosari R. BIOREMEDIASI. Artikel. Staff.UNY.ac.id (2011)


Faizal Kurniawan, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak
dan Gas Bumi Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak, Jurnal
Perspektif, Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Maret, hlm. 75.

Peraturan Perundang-Undangan
Pancasila
UUD 1945
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun.
Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003.

Website
www.chevronindonesia.com
www.esdm.go.id
www.skkmigas.go.id
www.majalahtambang.com
www.migasreview.com

Anda mungkin juga menyukai