SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DIAN RANA AFRILIA
NIM. 1111043100001
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
Hidayatullah Jakarta.
Masalah roti buaya yang sudah muncul sejak lama ini merupakan adat
kebiasaan yang terjadi di masyarakat Betawi menjelang seserahan pernikahan,
beberapa masyarakat Betawi memang menyertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahannya. Roti buaya ini diklasifikasikan sebagai adat kebiasaan yang tidak
ada dalam hukum Islam. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum
adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan menurut
hukum Islam.
Dalam hukum Islam pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak
menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama
tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.
i
بسم اهلل الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga
yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)” ini dengan baik. Sholawat serta salam
keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh
ujian Sarjana Syariah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih
banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini
selesai juga ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada
penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan
ii
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku dekan Fakultas Syariah dan
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku ketua Progam Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A.,
Jakarta.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., selaku dosen
skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.A., selaku dosen penasehat akademik
5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga
dan pikirannya untuk medidik penulis agar kelak menjadi manusia yang
berupa wawancara dan juga kepada para warga Kampung pisangan yang
iii
8. Sang motivator yaitu kedua orang tua penulis, Ayahanda Noor Moechtar dan
Ibunda Sri Wahyuni yang sangat penulis hormati dan cintai dengan
Alfin Marilif, Bay Haqi, dan Cira Adlin yang telah memberi dorongan agar
9. Teman seperjuangan menuntut ilmu Mila, Ratna, Resti, Sasa, Ratu, Uje,
Iwan, Hamdi, Rifa’i dan seluruh teman di PMH angkatan 2011, serta para
senior. Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama
ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga
persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu.
10. Sahabat terbaikku, Anis, Amel, Meta, Yovi, yang setia mendengarkan
Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun
materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT
membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal
jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-mudahan
skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak.
(Penulis)
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 10
D. Review Studi Terdahulu ......................................................... 12
E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan ............................. 14
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 18
v
BAB IV : ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG
MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM
SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang
Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
Pernikahan .............................................................................. 60
B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang
Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
Pernikahan .............................................................................. 68
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 75
B. Saran ....................................................................................... 76
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur‟an dan Sunnah. Al-Qur‟an dan Sunnah diakui sebagai sumber kewahyuan
yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini disebut
dengan hukum fikih. Hukum fiqh inilah yang disebut dengan Hukum Islam.1
Bila kata hukum ini dihubungkan dengan kata Islam atau Syara‟, maka
hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
ketetapan Allah tersebut identik dengan firman-Nya maka dapat dipahami syariat
itu ialah wahyu, dan ketika wahyu itu dikaitkan dengan peranan Rasul yang
Sunnah.3
Semua ketentuan wahyu ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi baik tujuan
1
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 25.
2
Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam
Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), cet. 1, h. 117.
3
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 27.
1
2
dengan Sunnah, yang juga berlaku mengikat sebagai aturan meskipun tidak
tetapi hal ini dilegalisir oleh Al-Qur‟an sebagai kebenaran. Segala persoalan
hukum yang dikeluarkan dengan sistematis dari Al-Qur‟an dan Sunnah ini disebut
dengan hukum fikih, yang mencakup segenap aspek dari perbuatan manusia.4
Hukum yang diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak lain kecuali
kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau menaati hukum-
hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum-
hukum Allah yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan
untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan wajib
seperti shalat dan puasa. Adakalanya perintah ini bersifat tidak tegas, yaitu
tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat
secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzina. Dan adakalanya berupa
tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus
jengkol dan petai. Dan adakalanya hukum Allah itu bersifat pilihan artinya
4
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 29.
5
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. 1, h. 126.
3
manfaat dan mudharat nyata, dan bahwa akal atau nalar manusia memiliki
mudarat yang melekat pada sesuatu. Karena itu, maka dengan sendirinya akal
ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut
suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.7
yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari telaah Ushul Fikih.
Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah, mana yang berupa
perintah, mana yang larangan dan mana pula yang berupa pilihan dan yang
lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan
Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber utama atau
pokok Hukum Islam, berarti Al-Qur‟an itu menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur‟an,
maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu
6
Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA
Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 64.
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 77.
8
Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA
Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 107.
4
hukum selain Al-Qur‟an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-
Qur‟an.9
Dengan demikian, bila Al-Qur‟an disebut sebagai sumber asli bagi hukum
fikih, maka Sunnah disebut sebagai bayani.10 Kedudukan Sunnah sebagai bayani
lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi
sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur‟an dan mempunyai kekuatan
Dengan demikian di dalam Hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu;
pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul
kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan
pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak
fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 86.
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 99.
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 111.
5
Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal
perlu dipahami secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan
hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.13
firman (khitab) Allah dan Sunnah Rasulullah, ijma, qiyas, dan apa saja yang
menjadi sarana untuk sampai kepada dalil. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu
Ushul Fikih, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan hukum dari unit-
unit dalil. Ilmu fikih ialah mengetahui hukum-hukum syari‟ah yang jalan
perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat itu
terjadi pula kasus baru yang berbeda dengan tentunya memerlukan aturan
Hukum Islam.14
12
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 4.
13
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum
Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), cet. 2, h. 14.
14
Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks
Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 31.
6
dibolehkan. Dalam fikih terdapat hukum yang didasarkan kepada ‟urf yang
terdapat pada masa imam mazhab. Terdapat sebagian kalangan muta‟khirin ahli
berpokok pangkal pada perbedaan „urf yang berlaku ketika itu. Hukum berbeda
dikarenakan perbedaan „urf dalam suatu negara dan perubahan „urf karena
perbedaan tempat dan masa bukan perbedaan hujah dan alasan. Dengan demikian,
berdasarkan „urf pada masa kini yang urf‟nya sudah berubah merupakan suatu
adanya perbedaan waktu. Perubahan pada manusia terjadi pada satu persatu
individu dan menyebabkan pula pada kumpulan individu. Individu memiliki sifat
bawaan yang menjadi energi dirinya melakukan kegiatan. Sifat bawaannya yang
berkembang.
struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentang waktu. Dalam definisi ini
15
Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 49.
7
Robertson meletakan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang
alamiah, terjadi dimana saja, niscaya, dan merupakan ciri tak terhindarkan dari
manusia itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perubahan itu sendiri, berbagai macam
yang mencerminkan kebutuhan masa kini. Dalam kaitan ini beberapa kaidah
tentang baik dan buruk yang berkaitan dengan perubahan sosial telah diinduksi
oleh para ahli hukum Islam dari nash‟syara, seperti contoh kaidah berikut:
16
Junaidi Lubis, Islam Dinamis ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan
Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 37.
17
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 108.
18
Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.
8
Hal ini bermakna bahwa, status adat kebiasaan yang baik yang telah
suatu transaksi yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah lain yang erat juga
masyrakat).20
Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan
peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai
kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat
ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan
19
Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar
al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.
20
Afifi Fauzi Abbas, Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA
Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 208.
9
dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.
keindonesiaan.21
pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat
Seperti dalam perkawinan adat Betawi seorang laki-laki yang ingin menikahi
dalam seserahan tersebut berisi roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari
menggunakan roti buaya yang menjadi salah satu bagian seserahan yang diberikan
dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Adapun hal yang penulis sebutkan di atas
nampaknya telah terjadi sejak lama dan telah mengakar dan membudidaya. Hal ini
harus diklarifikasi tentang kebenarannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
berikut : “Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan
21
Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel diakses pada 27 Febuari 2015 dari
https://iqbal1.wordpress.com/2010/04/19/ilmu-fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1/
10
1. Pembatasan Masalah
Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan tetap fokus, maka
dalam penulisan ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh
penulis, yakni seputar pengertian „urf, pandangan Ulama dan status hukum adat
seserahannya.
2. Perumusan Masalah
sekarang?
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka
1. Tujuan Penelitian
manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan
11
a. Untuk mengetahui perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai
sekarang.
b. Untuk mengetahui pandangan Ulama yang berkaitan dengan „urf atau adat.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
peneliti.
b. Manfaat Praktis
dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah hukum
Sedangkan skripsi yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu:
permintaan tersebut
menikahi perempuan
tersebut.
menemukan deskripsi
pelaksanaan pernikahan
budaya manusia.
14
uang belanja.
betawi. Salah satunya yang sudah disebutkan di atas. Namun skripsi tersebut tidak
Hukum Islam mengenai adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam
dengan mengambil judul Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya
1. Metode Pendekatan
yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari
bawah (grounded theory) dan mengembangkan pemahaman akan satu atau lebih
olah raga, seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk
bukti presentasi.23
2. Metode Penelitian
22
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2013), cet. 1, h. 80.
23
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
cet. 2, h. 3.
16
mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis
3. Objek Penelitian
4. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun skripsi ini
buaya yang menjadikan salah satu bagian seserahan dalam perkawinannya yang
b. Data Sekunder
dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
24
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2013), cet. 1, h. 33.
17
data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.25 Dalam hal ini peneliti
a. Studi Wawancara
perekam.26 Dari berbagai sumber data yang penulis catat, penulis menghubungkan
satu data dengan data yang lainnya untuk dikontruksikan, sehingga menghasilkan
pola makna tertentu. Data yang masih diragukan penulis tanyakan kembali kepada
sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.
b. Studi Dokumentasi
studi ini peneliti mengumpulkan buku harian, surat pribadi, laporan dan dokumen
lainnya dari kemudian peneliti menelaah dan meneliti kembali data-data tersebut
Jika data telah terkumpul, dilakukan analisa data secara kualitatif dengan
25
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,
2007), h. 224.
26
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet: 8,
h. 67-68.
27
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,
2007), h. 240.
18
fakta yang bersifat khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Metode ini
yaitu menganalisis data yang berbeda ataupun yang sama dengan jalan
7. Tekhnik Penulisan
Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan
skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012.
F. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian
MASYARAKAT
seserahan pernikahan.
deskripsi teoritik tentang „urf dan bab III sebagai variabel lain yang
kemudian akan diambil beberapa kesimpulan. Atas dasar itu, bab ini
status hukumnya.
BAB V: PENUTUP
Bab ini sebagai akhir dari karya ilmiah ini, yang memuat hasil
A. Pengertian al-‘urf
Dari segi kebahasan (etimologi) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari
huruf „ain, ra‟, dan fa‟ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah
(yang dikenal), ta‟rif (definsi), kata ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan
(kebiasaan), yaitu:
2
ََِ ِت بِاى َقبْ٘هْٞ ِسي
َ ع اى
َ ه َٗ َحيَ َقخْ ُٔ َاطْبَا
ِ ْ٘ جَٖ ٍت اىعُ ُق
ِ ٍِِْ س
ِ ُْ٘ اىُْفٍَِٜااسْخَ َق َّسف
Artinya : Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya
diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.
1
Abdul Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, (t.t: Daar Arosyid, t.th), h.77.
2
Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali Burnu, Al Wajiz fii idhohi qawaid al
fiqh al Kulliyah, (Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M), h. 276.
21
22
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas
dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf
mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar menjadi
“hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh „urf dalam bentuk perkataan,
Secara etimologi, „urf berarti “yang baik”. Para Ulama ushul fiqh
salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat didefinisikan dengan:
4
ٍتَٞ عيَا َقتٍعَ ْقِي
َ ْ ِسَٞال ٍْسُاىَُ َخ َن ّسَ ُزٍِِْ غ
َا
Kata „urf yang dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat
kebiasaan, namun para Ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar
Al-„urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Al Jurjani dalam At Ta‟rifat hal: 154,
3
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 209.
4
Ibnu Amir Hajj, at-Taqrir wa at-Tahbir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M), cet.
3, h. 282.
5
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 209.
23
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan
jeli maka sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung maka
artinya berbeda namun apabila berpisah maka artinya sama, mirip dengan kata
berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga
menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang
menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran
yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti
cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman
berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseotang
menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa
muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana adat
juga bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah
6
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih
Islami, (Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 104.
7
Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, al-Qawa‟id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii al-
Mazahib al-arba‟ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), juz 1, h. 314.
24
„urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf
menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada
pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana
Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut
adat, tidak ada ukurannya dan banyak bergantung pada bentuk perbuatan yang
dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Asyab wa al-
Nazhair.
Kata „urf pengertiannya tidak melihat arti segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini
(dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya
dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip
karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah
karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu
dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata
Perbedaan antara kedua kata ini, juga dapat dilihat dari segi kandugan
artinya, yaitu: adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu pebuatan
dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenaisegi baik dan buruknya perbuatan
8
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 210.
25
tersebut. Jadi kata adat ini berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada
adat yang buruk. Definisi tentang adat yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah
Kalau kata adat mengandung konotasi netral, maka „urf tidak demikian
halya. Kata „urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang
dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak. Dengan
Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu adalah sesuatu yang harus
telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, melihat ada kemiripannya
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma‟harus diakui dan diterima smua pihak. Bila
ada sejumlah kecil saja pihak yang tidak setuju, maka ijma‟ tidak tercapai.
(Hanya sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa ijma‟ yang tidak
ijma‟). Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan
dan dikenal oleh sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua
orang.
9
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut; Dar al Fikr al „araby, 1958).
10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 387.
26
3. Adat atau „urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat
orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma‟ (menurut
kemudian.11
kebiasaan di kalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk
kata-kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang ditetapkan atas dasar „urf
dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan „urf itu sendiri atau
perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Sebagian mendasarkan asal itu pada
kalangan ulama, pendapat Imam Syafi‟i ketika di Irak disebut qaul Qadim, sedang
Adapun alasan para ulama yang memakai „urf dalam menentukan hukum
antara lain:
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 389.
27
kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan
B. Pembagian al-‘urf
Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, „urf dapat dibagi dua
macam, yaitu:
1. „Urf qauli
Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-
laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak
(mengenai waris/ harta pustaka) berlaku juga dalam Al-Qur‟an, seperti dalam
surat an-Nisa‟ (4): 11-12, seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak
perempuan.
Dalam kebiasaan sehari-hari („urf) orang Arab, kata walad itu digunakan
hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam
12
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 6, h.
162.
28
memahami kata walad kadang digunakan „urf qauli tersebut. Umpamanya dalam
َََف مَاَر
ُ ْاللَتِ إِنِ امْ ُرإٌا َهَلكَ لَُْسَ لَ ُه َولَدُ َولَ ُه أُخْتُ َفَلهَا وِص
َ ل اهللُ َُفْتُِ ُكمْ فٍِ ا ْل َك
ِ ُك ق
َ َسْ َتفْتُى َو
ًه َفَل ُهمَا ال ُّثُلّثَانِ ِممَا َ َرََ وَإِن كَاوُىا إِخْىَةً ّرِجَاال
ِ َُْوَهُىَ َ ِر ُثهَآ إِن لَمْ َكُه َلهَا َوَلدُ فَإِن كَاوَتَا اثْىَت
ُعلُِم
َ ضلُىا وَاهللُ ِبكُلِ شًَْ ٍء
ِ َ ّظ اْألُو َّثَُُْهِ َُ َبُِهُ اهللُ َل ُكمْ أَن
ِح َ ل
ُ َْو ِوسَآ ًء َفلِل َّذ َكرِ ِمّث
Melalui penggunaan bukan „urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut
diartikan sebagai “orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki”. Dalam hal ini
Kata lahm artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan
lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat
َحمًا طَ ِرًَا وََسْتَّخْ ِرجُىا مِىْهُ حِلَُْ ًت َلْ َبسُى َوهَا وََرَي الْ ُفلْك
ْ ََوهُ َى الَّذٌِ سَّخَ َر الْبَحْ َر لِتَ ْؤ ُكلُىا ِمىْ ُه ل
َش ُكرُون
ْ َ ْضلِهِ َوَل َعلَكُم
ْ خ َر فُِهِ َولِتَبْتَغُىا مِه َف
ِ مَىَا
Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang
bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi ternyata
29
kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang
2. „Urf fi‟li
jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi
antara penjual dan pembeli cukup hanya menujukan barang serta serah terima dan
uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad
dalam jual beli, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa
Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu:
1. Al-„Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi, sebagian besar
kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak
yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga,
membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk
tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya
2. Al-„Urf al-Khash
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 390.
30
menyebut kalimat “satu tumbuk tanah”, untuk menunjuk pengertian luas tanah 10
x 10 meter.
sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua
orang saksi.
dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, „urf yang tidak mengubah
ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal
hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak
dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-
laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka
“hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali
Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak
pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.14
14
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 210.
31
antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam
tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih
keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi
bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang
sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling melebihkan (HR. al-Bukhari, Muslim,
dan Ahmad Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang
berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi‟ah (riba
yang muncul dari hutang-piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 392.
16
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 213.
32
Di dalam fikih Islam banyak terdapat hukum yang dibina atas dasar „urf
yang terjadi dimasa para Imam. Perbedaan „urf antara beberapa negeri menjadi
itu adalah perubahan masa dan tempat, bukan perubahan hujjah dan dalil.17
Qarafi (w. 684 H/ 1285 M), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku
tersebut. Seluruh Ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H), dan
menjadikan „urf sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang
lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas.
Sesuai dengan ketentuan umum syari‟at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini
harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah
masyarakat, sehingga seluruh Ulama mazhab menanggapi sah akad ini. Alasan
17
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 80.
33
sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw. Juga banyak sekali yang mengakui
eksistensi „urf yang berlaku di tengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan
dengan jual beli pesanan (salm). Dalam sebuah riwayat dari Ibn „Abbas dikatakan
setempat melakukan jual beli (salm) tersebut. Lalu Rasulullah saw. Bersabda:
ًٍْ٘و ٍَ ْعُي
ٍجَ َ اَُٚ ٍَ ْعيُْ٘ ًٍ ِاى
ٍ ْو ٍَ ْعيُْ٘ ًٍ َٗ َٗش
ٍ ْٞ َ مِٜف ف
ُ سُي
ْ َٞ ْ َح َْ ٍس َفيِٜف ف
َ سَي
ْ ٍَِْ َا
Artinya : Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka
hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya. (HR. al-
Bukhari)18
teks-teks akad.
syari‟at memperhatikan hal ini. Islam mengakui adat yang benar yang ada di
kalangan bangsa Arab Jahiliyah, seperti kewajiban diyat, dan sebagian mu‟amalah
lain seperti mudharabah dan syirkah. Sebagian ulama memberikan dalil atas
kehujjahan „urf dengan sebuah riwayat dari Nabi shallallahu „alaihi wasallam,
bahwa apa yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik pula di sisi Allah.
18
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 215.
34
Bagaimana pun juga,‟urf adalah hujjah syari‟at dan sumber fikih yang darinya
ahli ushul fikih. Mereka membagai kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan
Kata al-„urf dalam ayat tersebut, di mana umat umat manusia disuruh
mengerjakannya, oleh para Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik
dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut
dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik
19
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari‟ah Mengenal Syari‟ah Islam Lebih
Dalam, (Jakarta: Robbani Press, 2008), cet. 1, h. 260.
20
Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur‟an dan
As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, (Jakarta: Robbani Press, 1996), h. 27.
21
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155.
35
.… سعَهَا
ْ ه بِا ْل َمعْرُوفِ الَ َُ َكَلفُ وَفْسٌ إِالَ ُو
َ علًَ ا ْل َمىْلُىدِ لَهُ ِّرزْ ُق ُههَ وَ ِكسْىََُ ُه
َ َو
Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan
seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu
merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia
berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untu menjelaskan
4. Sabda Nabi saw kepada Umar bin Khotob ketika ia mengadukan tentang
5. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas‟ud:
،عٍْٞ ِ ٗأحَد بٜ أبْٜ حدث، ثْا عبد اهلل بِ أحَد بِ حْبو،ٜعٞأخبسّا أحَد بِ جعفس اىقط
سًْا
َ َسِيََُُ٘ ح
ْ َُ ا ْىَٙ «ٍَا َزأ: عِ عبد اهلل قاه، عِ شز،ٌ ثْا عاط،اشٞ ثْا أب٘ بنس بِ ع:قاال
)ِ
ٌ َحس
َ ِٔ ََف ُٖ َ٘ عِ ْدَ اىي
Yang menunjukan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum
6. Sabda Nabi saw kepada Hindun isteri Abi Sufyan ketika ia mengadukan
(Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut
„urf).
23
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih
Islami, (t.t: Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 106.
24
Ibnu Hibban, al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-
Risalah,1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.
37
dari mafsadah.25
Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai, para Ulama Ushul Fikih
3. Yang lebih baik itu menjadi „urf sebagimana yang disyaratkan itu menjadi
syarat.
4. Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat
D. Syarat-syarat ‘Urf
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak
menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi
secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.
Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung
25
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 78.
26
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 216
38
sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam.
Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang
baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa
persyaratan:27
1. Adat atau „urf itu dinilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini
telah merupakan kelaziman bagi adat atau „urf yang sahih, sebagai persyaratan
suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu
kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula
2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang
berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.
hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam satu
transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis
mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada
27
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 156.
39
kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di
tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (ini yang
dimaksud dengan kacau), maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata
uangnya.
3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)
pada saat itu bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu harus
telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: orang yang melakukan akad
nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar
lunas atau dicicil, sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi
seluruh mahar. Kemudian adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang-
orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang
mahar tersebut.
4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau
bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara‟
40
yang pasti, maka ia termasuk adat yang fasid yang telah disepakati ulama
untuk menolaknya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa „urf atau adat itu digunakan sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan Ulama atas adat itu
bukanlah karena semata-mata ia bernama adat atau „urf atau adat itu bukanlah
dalil yang berdiri sendiri. Adat atau „urf itu menjadi dalil karena ada yang
mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma‟ atau maslahat.
Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik
oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak
bertentangan dengan nash (ayat dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan
dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan bertentangan „urf dengan nash, para
berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka „urf tidak dapat diterima.
yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka
mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. „Urf seperti ini tidak berlaku dan
28
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 401.
41
datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara „urf al-lafdhi
dengan „urf al-„amali. Apabila „urf tersebut adalah „urf al-lafdhi maka „urf bisa
diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas „urf al-lafdhi yang
telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukan bahwa
nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh „urf. Misalnya, kata-kata shalat,
puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‟urf kecuali ada indikator yang
etimologisnya.
Apabila „urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu
umum, maka „urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum, karena
pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan.
Pengkhususan itu, menurut Ulama Hanafi, hanya sebatas „urf al-„amali yang
berlaku, di luar itu nash yang betsifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya,
ٌِسِي
َ اىٜ
ْ ِض ف
َ ُِ َٗ َزخ
ِ ْسَ ِىيِْا ّْسَاَْٞ َع ٍَاىَِٞ ب
ْ َ عََّٖٚ
Artinya : Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan
memberi keringanan dalam jual beli pesanan. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud)
Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku
untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beii
pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istitsna‟ (akad yang berkaitan
dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna‟ ini telah menjadi
„urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh termasuk
Jumhur Ulama membolehkannya sesuai dengan „urf yang berlaku. Akan tetapi
Imam al-Qarafi berpendapat bahwa „urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan
Apabila suatu „urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum
dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa „urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun
yang bersifat‟amali (praktik), sekalipun ‟urf itu bersifat umum, tidak dapat
dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟, karena keberadaan „urf ini
Apabila ada „urf yang datang setelah ada nash umum dan „urf itu
masalah ini para ulama fikih mengatakan. “‟urf yang datang kemudian dari nash
Akan tetapi, apabila „illat suatu nash syara‟ adalah „urf itu sendiri, dalam
arti turunnya nash didasarkan atas „urf al-„amali sekalipun „urf itu baru tercipta
maka ketika „illatnash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian,
apabila „urf yang menjadi „illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka
hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam
sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta
izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak
perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu
anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukan kerelaannya, karena sudah
menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak
mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para
wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan
lebih luas lagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah-
istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga
ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh
mujtahid berdasarkan „urf, akan berubah bilamana „urf itu berubah. Inilah yang
dimaksud oleh para Ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)
29
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 217.
44
waktudan tempat.30
menurut istilah para Ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan „urf itu bisa
dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar‟i apabila tidak terdapat
Berkata Syaikh As Sa‟di dalam al Qawa‟id Al Jami‟ah hal: 35: “‟urf dan
adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar‟i yang belum ada
ketentuannya.”31 Oleh sebab itu, seluruh Ulama mazhab menjadikan „urf sebagai
dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash yang menentukan hukum tersebut
tidak ada. Bahkan dalam pertentangan „urf dengan metode ijtihad lainnya, para
berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menetapkan konsep „urf secara jelas,
30
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 157.
31
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih
Islami, (t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 105.
32
Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar
al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.
45
yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath‟i, tidak berubah karena
perubahan tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya
riba.33
agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam
datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan
peraturan-peraturan tentang hidup. Faktor alam merupakan satu hal yang dapat
paling menonjol adalah bidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab.
Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang
pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab termasuk
bangsa yang memiliki rasa seni yang tinggi. Salah satu buktinya ialah bahwa seni
bahasa Arab (ayair) merupakan suatu seni yang paling indah yang amat dihargai
Pada masa Rasululah SAW, persoalan pada kapasitas masa itu direspon
berdasar wahyu sebagai rujukan umat dan kondisi masyarakat relatif stabil. Pada
masa Kibar sahabat, Shigar sahabat kemudian tabi‟in dan seterusnya persoalan
yang muncul semakin bervariasi seiring dengan perjalanan waktu dari generasi ke
33
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 223.
34
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997), cet. 9,
h. 29.
46
berbagai formatnya, akan tetapi syari‟ah dalam hal ini fikih tetap eksis dan
cara dalam melakukan istinbath hukum, merupakan hal yang tidak bisa diingkari.
Karena, terjadinya perbedaan dalam berbagai produk hukum adalah berakar dari
perbedaan cara atau metode yang ditempuh oleh para tokoh mazhab dalam
melakukan istinbath.36
Madinah. Abu Hanifah terpaksa harus banyak berbeda pendapat dengan murid-
muridnya, karena mereka dipisahkan oleh tempat dan tradisi yang berbeda. Imam
serta tradisinya berdeda dengan yang ia temui sebelumnya, maka ia harus segera
Para Ulama sepakat menolak „urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk
kedudukan al-„urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara‟. Akan tetapi, di
35
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003), h. 1.
36
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.10.
37
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), h. 168.
38
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155.
47
sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang
bentuk istihsan itu adalah itihsan al-„urf (istihsan yang menyandarkan pada „urf).
Oleh ulama Hanafiyyah, „urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga
didahulukan atas nash yang umum, dalam arti „urf itu men-takhsis umum nash.
Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dan ulat sutra. Imam
Abu Hanafi pada awalnya menetapkan haramnya menjual lebah dan alat sutra
alasan sama-sama “hama tanah”. Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga
itu ada manfaatnya dan telah terbiasa orang untuk memeliharanya (sehingga telah
menjadi „urf). Atas dasar ini muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibani
membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah tersebut, berdasarkan „urf.
ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari
hadis ahad.
Artinya : Setiap yang datang dengannya syara‟ secara mutlak, dan tidak
ada ukurannya dalam syara‟ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada
„urf.
48
Contoh dalam hal ini, umpamanya menentukan arti dan batasan tentang
tempat simpanan dalam hal pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu
dan kadar haid, dan lain-lain. Adanya qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi‟i
„urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas‟ud yang
ِ
ٌ َحس
َ هلل
ِ حسًَْا َفَُٖ٘عِ ْدَا
َ ُ
َ َُْ٘سِي
ْ َُ ٍَازَا ُٓ ا ْى
Artinya : Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik,
maka yang demikian di sisi Allah adalah baik. (HR. Ahmad)
banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak
disyaratkan”.
40
ش ْسطًا
َ ِش ُس ْٗط
ُ ف مَا ى
ٌ ع ْس
ُ ف
ٌ ْٗ ُاى ََ ْعس
Artinya : Sesuatu yang berlaku secara „urf adalah seperti suatu yang telah
disyaratkan.
39
Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.
40
Abdul Karim Zidan, al-wajiz fil usulil fiqh, (Baghdad: Maktabh batsair, 1976), h. 255
49
dengan demikian kehadiran syari‟at dalam hal ini hukum Islam (fikih) tidak serta
dalam masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai budayanya sangat sulit
antara lain:
kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu,
semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial,
maka semakin berkembang pula pemikiran fuqaha dan pembidangan hukum Islam
41
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 399.
42
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003), h. 27.
50
Adapun contoh adat kebiasaan yang berlaku secara umum dan dijalankan
oleh masyarakat, selama tidak bertentangan dengan syar‟i maka bisa dijadikan
hujjah, misalnya:
harus dikembalikan).
Fikih telah dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu,
ketimbang sebagai produk pikiran manusia dan produk sejarah. Fikih telah
sebagai ekspresi keragaman yang particular. Fikih telah mewakili hukum dalam
bentuk cita-cita ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara
realis.45
43
Taufiq dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Logos,
1998), h. 115.
44
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), h. 178.
45
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 101.
51
oleh ulama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul, salah satu
Untuk melihat pengaruh factor social budaya terhadap ulama, baiklah kita
lihat kasus Indonesia modern dalam hal ini fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia
(MUI). Sejak berdirinya pada tahun 1975 hingga tahun 1988, MUI telah
mengeluarkan lebih dari 38 buah fatwa yang isinya mencakup banyak bidang
sempalan, dll. Beberapa diantara fatwa itu akan kita sebut di bawah ini.
social budaya telah berpengaruh terhadap produk pemikiran hukum Islam. Bahkan
untuk ini MUI berani membatalkan fatwa ulama sebelumnya yang mengharamkan
Kemudian pada tahun 1983 MUI membatalkan fatwa ulama tahun 1971 itu dan
dilakukan oleh dokter wanita atau dokter laki-laki dengan disaksikan oleh si
46
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press
Jakarta, 2007), h. 147.
52
menggunakan bahan pengawet agar, selalu tahan lama sehingga dapat diekspor
keluar negeri. Dari segi kebersihan dan kesehatan, makanan tersebut sudah tentu
dapat dipertanggung jawabkan. Namun yang perlu dipersoalkan adalah dari bahan
apa ia dibuat. Melihat realitas ini, maka Majelis Ulama mengadakan kajian yang
pengawet (corned beaf) tersebut. Dari hasil kajian itu, Majelis Ulama
terbuat dari ikan maka ia halal dimakan, karena ia bersumber dari bahan yang
halal, kecuali bahan pengawetnya itu dicampuri dengan benda najis maka ia
haram dimakan.
lebel (mark) yang ada pada tempat atau kemasannya, misalnya corned beaf
(daging sapi yang diawetkan). Seiring denga fatwa ini, Majelis Ulama
memutuskan agar semua produk makanan kemasan, harus memeri label “halal”
47
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 124.
48
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press
Jakarta, 2007), h. 169.
BAB III
DI KALANGAN MASYARAKAT
Selatan. Untuk lebih mengetahui keadaan dan potensi kampung yang dijadikan
objek penelitian, maka peneliti akan menggambarkan secara garis besar keadaan
Cilandak KKO
Jagakarsa
Barat
Dilihat dari iklim yang ada di Kampung Pisangan mempunyai iklim tropis
yang terbagi menjadi dua bagian yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Dalam kondisi normal musim kemarau terjadi pada bulan Maret sampai dengan
53
54
bulan Agustus sedangkan untuk musim penghujan terjadi pada bulan September
kemudian disebut sebagai (RW) dan 11 rukun tetangga yang kemudian disebut
Sistem administrasi Kelurahan Ragunan cukup baik dan teratur. Ini dapat
dilihat dari lengkapnya para staf kelurahan yang ada, hal ini terbukti dari
dibutuhkan masyarakat.
menjadi kebiasaan, juga menjadi ciri khas di beberapa wilayah yang ada di
Indonesia dengan maksud membedakan tradisi yang satu dengan tradisi yang lain
atau sebagai karya seni. Adapun contohnya seperti Roti Buaya yang menjadi
Yahya Andi Saputra adalah salah satu tokoh budayawan yang memulai
kecintaannya pada kesenian Betawi sejak masih anak-anak. Meski masih berusia
ikut pementasan lenong. Beliau menamatkan studi pada Jurusan Sejarah, Fakultas
1988. Jiwa seninya kian menggelegak saat remaja. Mulai menulis puisi, cerpen,
Sebelumnya pernah menjadi redaksi Majalah Kita Sama Kita dan Tabloid Bens,
Betawi (LKB), Ketua Umum Badan Pemberdayaan Budaya Betawi (BPBB), dan
1
http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses pada 29
Juni 2015
56
dan hal itu dipelihara serta dipupuknya dengan baik. Baginya tradisi roti buaya
merupakan sebuah kewajiban yang dijadikan sebagai salah satu syarat bagi calon
Betawi yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi dan sudah
berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya tradisi roti buaya
ini. Bahkan, terasa kurang lengkap apabila dalam seserahan pernikahan adat
Betawi tidak ada roti buaya. Pembahasan tentang siapa yang menciptakan tradisi
roti buaya ini tidak ada yang tahu, yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat
Betawi.
Di masa lalu, tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana
dalam cerita rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud
penunggu sebuah entuk.2 Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai
sumber mata air. Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang
sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber mata airnya harus
Adapun sumber mata air itu adalah sumber kehidupan manusia, kalau kamu
membuang sampah maka akan mendapat ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi
2
Entuk adalah Bahasa Kuno yang ada di Betawi zaman dahulu yang diartikan sebagai
sumber mata air.
57
kuno ketulah itu artinya karma atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada
dihari lampau.
masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu
dalam acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin
Perkawinan itu sendiri adalah bagian salah satu siklus kehidupan yaitu
suatu rangkaian aktivitas secara alami yang dialami oleh individu-individu dalam
laki dan perempuan, tetapi dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi
yang baru. Maka dari itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam
dahulu istilah roti buaya ini bukan dikenal dari rotinya melainkan buayanya.
Karena dahulu, belum menggunakan roti tetapi dari kayu, daun kelapa atau
semacamnya yang dapat dibentuk menjadi buaya. Dimana buayanya itu sendiri
dipajang di depan rumah yang menandakan bahwa si wanita sudah dinikahi oleh
pria lain.
58
Roti itu sendiri ada pada saat pemerintahan kolonel Belanda memiliki alat
untuk membuat roti yang dapat dibentuk dengan berbagai macam sesuai
seserahan pernikahan. Semakin majunya tekhnologi sekarang ini roti buaya bisa
dikemas dalam berbagai rasa, sebab dahulu hanya terasa tawar pada roti tersebut.
Karena, dahulunya roti buaya itu hanya untuk dipajang depan rumah
sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru. Oleh agama Islam, mendapat
pertentangan karena dianggap mubazir yaitu sifat pemborosan atau hal-hal yang
saudara.
roti buaya tersebut.Karena, itu hanya orang-orang tertentu saja yang ingin ada roti
kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini
merupakan lambang setia yaitu yang menunjukan bahwa seumur hidup itu hanya
menikah sekali.
3
Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015.
59
buaya itu hanya beberapa yang menyertakan dalam pernikahannya atau dengan
kata lain yang mampu karena adapun jumlah harga yang diperlukan untuk
membeli roti buaya cukup mahal. Sehingga tak semua warga Betawi meyertakan
Adapun, mitos yang mengatakan roti buaya itu lambang setia yaitu yang
membuktikan bahwa dari pihak calon pengantin pria menunjukan hanya nikah
sekali dalam seumur hidup. Itu tidak semuanya mempercayai ada yang percaya
memang setia, ada yang percaya tidak percaya, dan ada juga yang tidak percaya
4
Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.
5
Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015.
BAB IV
ISLAM
Sesungguhnya agama Islam ini sudah sempurna dan sudah cukup sebagai
pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat
سالَمَ دِينًا
ْ إل
ِ ْعلَيْكُنْ ِنعْ َمتِي َو َرضِيتُ لَكُ ُن ا
َ ُالْ َيوْمَ َأ ْك َملْتُ َلكُنْ دِينَكُنْ وََأ ْتمَمْت
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamamu.
Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu telah
disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa saja datangnya meskipun
dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara yang sangat dibenci
oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya.
Dan pelakunya secara tidak langsung telah menbantah firman Allah di atas dan
1
M. Irfan Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi
Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 1.
60
61
Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu adat
kebiasaan yang sudah melekat pada satu masyarakat, sehingga masyarakat tidak
dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan dengan fikih, struktur dan
pola budaya masyarakat saling terkait satu sama lainnya. Masyarakat yang pluralis
akan berbenturan dalam penetapan aspek hukumnya, terutama dari sisi hukum
Islam (fikih).2
Rasanya tak perlu diperpanjang kalam tentang bagaimana para ulama fikih
mereka. Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang
bagimana Imam Syafi‟i mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid
(pendapat baru). Pendapat lama diberikan ketika beliau berada di Baghdad dan
pendapat baru dikemukakan ketika beliau telah pindah ke Mesir. Puluhan bahkan
mungkin juga ratusan pendapat lama Imam syafi‟i diubah dan diganti dengan
pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan social budaya barunya itu.
Kalau kita membaca kitab Fiqh Mahalli, misalnya, kita akan berjumpa dengan
Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri’ bagaimana ulama ahl ar-ra’yi dan
ahl al-hadis berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahl
ar-ra’yi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di Kota Kuffah dan
dengan kenyataan bahwa Baghdad terletak jauh dari pusat kota hadis yaitu
2
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003), h. 27.
62
Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fikih
yang lebih mendasarkan kepada ra’yu (akal) daripada hadis yang tidak mansyhur
dalam hal tidak ada nash al-Qur‟an. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup
Sebagai al-din (way of life) yang datang dari Allah, pencipta manusia, tentunya
syariah Islam ini, para ulama dan cendikiawan muslim memainkan peranan yang
amat penting agar ajaran Islam itu benar-benar dapat dilaksanakan sebagaimana
yang dikehendaki oleh pencipta syariah tersebut. Sebab semua tindakan manusia
dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik di dunia ini, harus tunduk kepada
Allah dan Rasul-Nya, kehendak Allah dan Rasul itu sebagian tertulis dalam kitab-
Nya yang disebut syariah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan dibalik apa
yang tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah
tentang tingkah laku manusia itu memerlukan pemahaman yang intens tentang
kehidupan manusia.
3
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 107.
63
mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Hal itu dapat membawa dinamisasi
dalam aplikasi syariah Islam. Sebab diferensiasi waktu, tempat, dan lingkungan
Islam. Suatu kaedah menegaskan bahwa “Fatwa hukum itu berubah karena
sistem sosial yang tidak hanya menyangkut dua manusia yang berkepentingan saja
Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang
memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring.6 Ia juga merupakan simbolik yang
dijadikan adat istiadat oleh orang Betawi. Filosofinya dari binatang buaya ini ialah
ia termasuk binatang yang tahan dan kuat, maka karena itu menurut orang Betawi
dengan simbol tersebut diharapkan sang calon pengantin laki-laki memiliki sifat
yang kuat dalam hal mencari nafkah kemudian juga kuat secara fisik dan
suaminya memiliki sifat yang setia dan tidak berkhianat.7 Selanjutnya, binatang
4
M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. 1,
h. 1.
5
Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,
1982), h. 122.
6
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.
7
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.
64
buaya juga termasuk binatang yang memiliki sifat yang liar, dengan adanya sang
Adapun roti buaya tersebut diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga
dilengkapi dengan pakaian, peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang
diserahkan adalah roti buaya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon
banyak barang bawaannya, maka pihak calon mempelai laki-laki akan semakin
Filosofi yang lain mengatakan buaya itu simbol dari kesetiaan, maka itu
maksud dari si calon pengantin laki-laki siap mengorbankan untuk menjaga anak-
anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan roti yang
dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin mengatakan ketika
nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi suami tetapi juga bertanggung
jawab dalam hal melindungi, mengamankan, menjaga, merawat istri dan anak-
Dari sisi lain yaitu ketika laki-laki yang memberikan roti buaya itu selain
istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat. Memberikan roti buaya itu
8
Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.
9
Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan
Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan
Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 49.
65
mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya memiliki satu istri saja dengan
selama 10 tahun hasil yang didapatkannya bahwa jumlah dari 70% binatang buaya
yang berjenis kelamin betina akan terus kawin dengan binatang buaya yang
berjenis kelamin jantan yang sama saat musim kawin tiba. Maka, hal ini yang
dijadikan sebagai ikon oleh masyarakat Betawi dalam hal pernikahan tepatnya
pada bawaan-bawaan seserahan. Jika ada seorang pria yang akan menikah
diharuskan membawa roti buaya, dengan filosofinya adalah bahwa pengantin laki-
buaya dalam seserahan pernikahan. Di dalam kaidah ushul fikih yaitu yang
berbunyi:
Oleh karena itu, tradisi yang sudah menjadi kebiasaan orang Betawi.
Maka, bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara hukum Islam roti
Tetapi, karena hukum beredar sesuai zamannya. Apabila, adat istiadat tersebut
10
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Jakarta, 7 Oktober 2015.
11
Kusnendar, “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”, Artikel diakses pada 13 Oktober
2015 dari http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-pasangannya.html
66
buaya ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan semoga
si calon pengantin laki-laki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi
macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari kebiasaan
temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat
setempat.
hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya ada satu
cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami semacam keinginan
laki-laki yang ingin bertanggung jawab seperti wataknya buaya, agar tidak
keliru.12
Budaya pernikahan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada
suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu
12
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.
67
efektifitas al-adat, hanyalah pada masalah-masalah yang tidak tercover olah Al-
Qur‟an dan al-Hadits. Dalam pengertian lain, sesuatu yang telah ditetapkan oleh
Demikian pula lughah atau bahasa. Seringkali bahasa tidak mampumen jawab hal
bukan berarti sembarang memudahkan. Lebih menekankan dari segi agama yaitu
hal-hal yang memang disyaratkan dalam sahnya pernikahan dan tidak menyalahi
keluarga untuk menemukan titik temu. Kalau memang tradisi itu sudah mengakar
atau yang sifatnya hukum tidak tertulis.15 Dengan demikian, mengaitkan sebuah
perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja, karena legenda itu tidak
absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka tafsirannya banyak tidak tunggal.
Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya
sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.16
13
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), h. 180.
14
Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.
15
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.
16
Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.
68
kemudian faktor territorial menampakan diri sebagai faktor yang penting juga.
Jadi bisa ketahui bahwa segala sesuatu yang menyangkut tentang adat itu sudah
Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan
peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai
pelengkap yang betalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Yang pertama seperti
akad nikah dan walimah, sudah cukup dimaklumi, sedangkan yang kedua,
Bagi Masyarakat Betawi roti buaya merupakan istilah yang tidak asing
17
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), cet.
6, h. 360.
18
Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan
Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan
Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 36.
69
ini, baik dikalangan muda, tua, bahkan tokoh ulama sudah cukup memahami
benda roti yang berbentuk buaya itu. Kedudukannya yang cukup merajai adat
istiadat Betawi ini, bukan hanya membuat kalangan orang Betawi sendiri yang
masyarakat yang bukan asli keturunan Betawi, juga merasa tertarik untuk
mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan umumnya yang calon pasangan
pengantinnya berasal dari Betawi, baik dari pihak calon pengantin laki-laki
ataupun, calon pengantin perempuan. Jadi, bukan benda yang aneh lagi untuk
Perbedaan kelompok atau perbedaan suku merupakan bagian dari ciri khas
mengikut sertakan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan, maka upacara-
budaya mereka. Kenyataan ini dapat dilihat oleh sekelompok masyarakat Betawi
yang masih mempertahankan adat kebiasaannya yang sudah ada sejak lama
harapan para calon pengantin ini hanya nikah sekali dalam seumur hidupnya.
70
Dengan alasan bahwa binatang buaya termasuk binatang yang memiliki sifat setia
pada pasangannya. Pernyataaan itu tidak hanya terbatas pada satu sifat setia saja,
tetapi juga turut bertanggung jawab dalam menjaga istri dan anaknya.
menjadi orang Betawi mengikuti adat kebiasaan orang tua mereka sejak dahulu
meskipun tidak tahu apa tujuannya dari pribadinya sendiri. Karena, adat kebiasaan
sudah lahir sejak lama, wajar saja calon-calon pengantin zaman sekarang mungkin
mengetahui bila si calon pengantin laki-laki mengikut sertakan roti buaya dalam
Dari segi bentuknya roti buaya ini ada jantan, betina, dan terakhir di
atasnya ada anak dari buaya itu sendiri, selain itu juga ia memiliki variasi rasa
kesiapaan akad pernikahan. Dimana, keluarga besan atau calon pengantin laki-laki
sudah mulai berjalan dengan bentuk formasi barisan yang rapi menuju rumah
perempuan. Sang calon pengantin laki-laki beserta sanak keluarga, saudara dan
71
beberapa kumpulan anak remaja laki-laki dan tidak lupa juga dengan dilengapi
yang memanjang dimulai dari barisan pertama yaitu calon pengantin laki-laki
kandung dari calon pengantin laki-laki, barisan ketiga dan seterusnya diiringi oleh
sanak saudara, kerabat, atau para tetangga yang turut serta hadir dalam
pengiringan pengantin.
tersebut adalah tidak hanya roti buaya tetapi juga calon pengantin laki-laki
seperangkat alat shalat, seperangkat alat mandi, seperangkat alat kamar tidur, dan
lain-lain. Karena sebenarnya, kedudukan roti buaya itu sendiri dalam seserahan
pernikahannya.
Meskipun ada juga masyarakat Betawi yang tidak mengikut sertakan roti
berjalan khitmat dan lancar tanpa mempersulit kedua calon pegantin yang ingin
nikah.
72
Berkaitan dengan adat istiadat, roti buaya ini juga bisa dipandang dari segi
kaidah fikih yaitu ‘urf yang memiliki arti secara etimologi kenal. Karena roti
buaya ini merupakan istilah barang yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat
khususnya Betawi. Dalam ushul fikih ‘urf itu memiliki beberapa segi pandang,
maka dari itu roti buaya akan dibahas satu persatu dengan cara pandang yang
berbeda.
Pertama dari segi materi ia masuk pada katagori ‘urf fi’li sebab ia
Betawi. Dan memang roti buaya tersebut dikenal sebagai satu pengertian yaitu
barang yang ikut dalam seserahan bukan dalam arti yang lain.
bagian ‘urf al-Khash yaitu bersifat khusus yang memang berlakunya adat hanya di
ruang lingkup Betawi meskipun, zaman sekarang banyak yang bukan asli
keturunan Betawi juga ikut menyertakan seserahan roti buaya terebut. Karena jika
roti buaya digunakan dalam seserahan pernikahan yang bukan adat Betawi maka
orang-orang pun tidak akan mengerti, untuk itu adat kebiasaan roti buaya hanya
ada di seserahan pernikahan Betawi dan tidak berlaku di tempat yang lain.
berkedudukan sebagai membenarkan nash dalam Al-quran atau hadits begitu juga
tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang ada dalam Al-quran. Ia juga
bukan barang yang dijadikan hal-hal yang menyalahi syariat karena ia hanya
syariat Islam. Dari penjelasan pada bab-bab terdahulu, bahwa syariat Islam pada
dasarnya dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang
baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan
sunnah Rasulullah. Masalah roti buaya ini yang ada pada seserahan pernikahan.
Menurut analisa penulis bahwa ia termasuk adat kebiasaan yang berlaku umum di
kalangan masyarakat Betawi. Karena, hal ini juga sudah berlaku sejak lama dan
karena ini tidak memiliki pertentangan dengan nash al-Qur‟an ataupun sunnah
temporer, dimana seseorang itu bebas untuk memilih macam dan waktu-
waktunya. Seperti makan dihukumi mubah, hanyalah dalam macam dan waktu-
waktu tertentu bukan untuk selamanya. Akan tetapi makan bisa menjadi wajib
bagi orang yang menjaga kesehatannya dan hidupnya. Karena menjaga kesehatan
adalah suatu perbuatan yang diwajibkan. Oleh karena itu untuk hukum mubah ini,
hanya bersifat situasional atau kondisional, tidak bersifat umum, keseluruhan dan
abadi.19
19
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. 8, h. 58.
74
Jadi menurut pengamatan dan analisa penulis bahwa adat roti buaya dalam
ajaran Islam. Dan hukum ini hanya bersifat sementara tidak untuk selamanya,
selama adat istiadat roti buaya tersebut tidak membebani dan tidak dijadikan
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. ‘Urf yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya
dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu
manusia dan menghilangkan kesulitan. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa
awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam
masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah
telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan
yaitu beberapa warga memang ada yang menyertai roti buaya dalam seserahan
pernikahan dan ada juga yang tidak menyertai. Bahwa yang melatar belakangi
adanya adat Roti Buaya dalam seserahan pernikahan yaitu para orang tua
75
76
saja, dengan maksud sebagai tambahan bawaan seserahan dari pihak laki-laki
dan tidak dijadikan sebagai pemujaan atau hal-hal yang dilarang dalam agama.
B. Saran
Abbas, Afifi Fauzi. Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, cet. 1, Ciputat:
ADELINA Bersaudara, 2010.
Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami
FIqih Islami, cet. 1, t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009.
Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, cet. 1, Jakarta: Elsas, 2008.
Burnu, Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali. Al Wajiz fii idhohi
qawaid al fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M.
Djalil, A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, cet. 6, Jakarta: Kencana, 2010.
77
78
Effendi, Satria dan M. Zein. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2005.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, cet. 1, Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2013.
Hajj, Ibnu Amir. at-Taqrir wa at-Tahbir, cet. 3, Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah,
1983 M.
Hibban, Ibnu. al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-
Risalah, 1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.
Juliansah, M. Irfan. “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi
SA, Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos,
1998.
Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer, cet. 1, Jakarta: Gaung Persada Press,
2007.
Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih
Dalam, cet. 1, Jakarta: Robbani Press, 2008.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, cet. 8, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Zidan, Abdul Karim. al-wajiz fil usulil fiqh, Baghdad: Maktabh batsair, 1976.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015.
http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses
pada 29 Juni 2015
http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-
pasangannya.html
81
82
1. Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti
1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti
2. Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang
3. Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti
1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
2. Apa alasan bapak atau ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam
seserahan pernikahan ?
3. Apa maksud atau tujuan bapak atau ibu menggunakan roti buaya dalam
seserahan pernikahan ?
4. Apa bapak atau ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut
5. Apa bapak atau ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
85
Hasil Wawancara
Tanya: Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti
Jawab: tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana dalam cerita
rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud buaya
merah, buaya buntung, ataupun buaya putih. Buaya-buaya siluman ini oleh
Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai sumber mata air.
mendapat sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber
ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi kuno ketulah itu artinya karma
sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan
acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin
bagian salah satu siklus kehidupan yaitu suatu rangkaian aktivitas secara
Jawab: tentang siapa yang menciptakan tradisi roti buaya ini tidak ada yang tahu,
Jawab: sudah berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya
Jawab: karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu
sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan
Jawab: Perkawinan bukan sekedar yang berarti melampiaskan nafsu biologis atau
dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi yang baru. Maka dari
Hasil Wawancara
Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu.
Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam
seserahanpernikahan ?
Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan
Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: setuju
88
Hasil Wawancara
Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan
Jawab: percaya
Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: setuju
89
Hasil Wawancara
Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan
pernikahan ?
Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan
Jawab: nggak
Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?
Jawab: setuju
90
Hasil Wawancara
Tanya: Apa yang bapak ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti
Jawab: Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang
memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring. Adapun roti buaya tersebut
diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian,
peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti
buaya. Buaya itu simbol dari kesetiaan, siap mengorbankan untuk menjaga
roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin
uangnya banyak istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat.
Memberikan roti buaya itu mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya
91
diri saja. Adanya cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak
ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami
Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan
Jawab: Mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja,
karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka
tafsirannya banyak tidak tunggal. Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan
adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa
Hasil Wawancara
Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan
Jawab : roti buaya itu merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang
Betawi. Folisofinya bahwa buaya itu binatang yang tahan dan kuat. Maka
karena itu, menurut orang Betawi denagn simbol tersebut diharapakan kuat
mencari nafkah yang nanti akan menjadi suami. Setelah kuat mencari
serta rejekinya mudah. Karena, buaya itu dikenal tidak jauh rejekinya,
setia pada pasangannya. Dalam penelitian otang Betawi itu kawin hanya
sekali. Jadi diharapkan dari suaminya nanti ia akan menjadi suami yang
terhadap doa itu moga sisi positif yang ada pada diri buaya bisa diterapkan
Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang
Jawab : dalam hukum Islam tidak ada ketentuan harus menggunakan roti buaya
dalam seserahan pernikahan. Tetapi pada kaidah ushul fikih “bahwa tradisi
bisa menjadi hukum” oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan
orang Betawi itu bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara
hukum Islam roti buaya bukan kewajiban bukan juga sebagai sunnah.
Tetapi, karena hukum itu beredar sesuai zamannya. Apabila terjadi ketidak
yetapi bagi yang mampu melaksanakannya. Karena fikih itu bagian dari
seperti roti buaya . bila ada pandangan pelit atau tidak mengerti tradisi
maka dikembalikan saja pada hukum Islam yaitu keadaan yang berlaku.
Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan
dipahami oleh keluarga. Karena itu termasuk hukum adat yang tak tertulis
Hasil Wawancara
Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan
Jawab : buaya adalah binatang yang termasuk liar. Dengan adanya pasangan
jantan dan betina. Maka akan menjadi binatang yang jinak. Kemudian
istilah lain buaya itu akan jinak. Selanjutnya, kalau sudah berumah tangga,
kehidupannya lebih terang yang berarti lebih terarah lagi dalam jalur
Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang
Jawab : boleh-boleh saja, apabila hal itu tidak memberatkan. Adapun dalam segi
Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan
takut ini atau takut itu. Karena, lebih menekankan pada hal-hal yang
sepasang pengantin, ijab qabul, saksi, dan terakhir wali. Tidak ada hal-hal
yang membebani.