Anda di halaman 1dari 79

TRADISI ULUR ANTAR DALAM PERKAWINAN ADAT JAMBI

MENURUT HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Desa Teluk Kecimbung, Kecamatan Bathin VIII, Sarolangun, Jambi)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum


Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)

Oleh

EDI SUDRAJAT
NIM : 1111044100017

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/ 2016 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Mei 2016

Edi Sudrajat
ABSTRAK

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan untuk melakukan hubungan


suami istri antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan tentang larangan hubungan
suami istri sebelum ulur antar jawat terimo setelah akad nikah terlaksana yang ada di
masyarakat Tl. kecimbung, Sarolangun, Jambi dalam skripsi ini, tentu menimbulkan
pertentangan dalam Hukum Islam dan Pertanyaan Bagi kita semua. Yang menjadi
titik kefokusan pembahasan skripsi ini adalah pandangan hukum Islam dan hukum
Adat terhadap larangan semacam tersebut.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini untuk memperoleh data-data dalam
penelitian kualitatif adalah penelitian lapangan (field research). Metode pengumpulan
data diperoleh dari wawancara, observasi, dan studi kepustakaan. Subjek dan
penelitannya adalah: segenap stap Kepala kelurahan, Lembaga Adat, Majelis Ulama,
dan Para Tokoh lainnya di Desa Tl. Kecimbung. Pedoman penulisan skripsi tahun
2012 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Jakarta.

Hasil yang dicapai dari penelitian ini adalah di dalam hukum Islam setelah
akad nikah maka halal untuk berhubungan suami istri antar keduanya. Akan tetapi
dalam Islam juga ada ketentuan diperbolehkannya mengutamakan pencegahan suatu
perkara yang buruk daripada mengambil suatu perkara yang baik, Dalam adat
perkawinan Desa Tl. Kecimbung, ulur antar jawat termo itu sangat diperlukan,
karena dipandang memiliki banyak kebaikan dan kemaslahatan, salah satunya yaitu
adanya tunjuk aja tegu sapo atau nasehat perkawinan dari lembaga adat tuo tenganai
atau sesepuh agar kedua mempelai dapat membina rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan warohmah. Berdasarkan petimbangan diatas,dapat disimpulkan
bahwasanya adat larangan hubungan suami istri sebelum ulur antar jawat terimo di
Desa Tl. Kecimbung tidak bertentangan dengan hukum Islam demi sebuah keluarga
yang kita impikan dengan merujuk pada qoidah fiqih diatas.

Kata kunci : Pandangan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam


Larangan melakukan hubungan suami isteri setelah
akatd nikah sebelum ulur antar terlaksana di Desa Tl.
Kecimbung, Sarolangun Jambi.
Pembimbing : Dr. H. Umar Alhaddad, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d. Tahun 2012
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang pantas diucapkan dalam kesempatan ini selain persembahan

puji syukur atas kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan pertolongan-Nya lah

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga

senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta Keluarga dan para

sahabat yang setia dalam suka dan duka.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda

Bakri dan Ibunda Asnaiyah yang tiada lelah dan bosan memberikan motivasi,

bimbingan, kasih sayang serta do’a bagi putra bungsunya Semoga Allah SWT

senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis

hadapi, akan tetapi syukur Alhamdulillah berkat rahmat dari Allah SWT,

kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung

maupun tidak langsung segala hambatan dapat diatasi, sehingga pada akhirnya skripsi

ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada

kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., dan Bapak Arip Purkon, MA., selaku

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Islam
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Umar Al Haddad, MA selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program

Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu

pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum serta Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam pengadaan

referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

6. Kepada seluruh Masyarakat Desa TL. Kecimbung yang telah meluangkan

waktu dan bersedia diwawancara sebagai narasumber dari penelitian

penyusun.

7. Do’a dan harapan penulis panjatkan teruntuk Kakak- kakak Evi Susanti,

Arahab, Widya Trisna Utami, M. Arifin, Muklisin, Maisaroh serta Keponakan

tersayang (ghifa, arya, Fawa, Bilkis) yang senantiasa memberikan nasehat-

nasehat, semangat, cinta dan kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi.
8. Sahabat-sahabat dari Keluarga Besar Prodi Akhwal Syakhsyiah (KBPA).

Terimakasih atas kebersamaan selama penyusun menimba Ilmu di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Dosen Pembimbing Skripsi Kosan Muhammad Nazir El-Zhamby S.Sy.

Sahabat-sahabat terbaik ( Ma’mun, Ozan Buncit, Reza Monyeng, Syardi

Sartem, Masrur Acung, Oman, Razak Cebol, Fachri Kacung, Mukhlas

Kambing dan Hafidz Karyo) yang telah memberikan semangat dan warna

kepada penulis.

10. Khusus untuk istriku tercinta Putri Robiah Adawiyah yang selalu menemani

dan memberi suport dalam suka dan duka pembuatan skripsi ini.

11. Serta berbagai pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan seluruhnya, semoga

amal baik mereka diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca. Amin

Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi

kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga amal baik mereka dibalas oleh

Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap skripsi ini

dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada

umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa

penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.

Jakarta, 21 Mei 2016

Edi Sudrajat
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..............................................7
D. Reveiw Studi Terdahulu ...........................................................8
E. Metode Penelitian ...................................................................10
F. Sistematika Penelitian ............................................................14
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM
HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT
A. Perkawinan Menurut Hukum Islam....................... .................16
B. Perkawinan Menurut Hukum Adat..........................................25

BAB III POTRET DESA TL. KECIMBUUNG, KECAMATAN


BATHIN VIII, SAROLANGUN-JAMBI
A. Letak Geografis.......................................................................31
B. Jumlah Penduduk....................................................................32
C. Keadaan Sosial........................................................................32
D. Tradisi Ulur Antar...................................................................34
BAB IV ULUR ANTAR DAN KETENTUAN LARANGAN
HUBUNGAN SUAMI ISTRI SEBELUM PELAKSANAANYA
A. Ulur Antar dan Larangan Hubungan Suami Istri Sebelum
Pelaksanaannya Menurut Perspektif Hukum Adat..................48
B. Larangan Hubungan Suami Istri Sebelum Ulur Antar Menurut
Perspektif Hukum Islam..........................................................50
C. Analisis Perbandingan Antara Hukum Islam Dan Hukum Adat
Tentang Larangan Hubungan Suami Istri Sebelum Ulur
Antar........................................................................................63

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................65
B. Saran-saran..............................................................................66
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................68

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang

mampu untuk segera melaksanakannya. Perkawinan adalah akad yang

menghalalkan untuk melakukan hubungan suami istri antara laki-laki dan

perempuan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah,

mawaddah, warahmah dan diridhoi oleh Allah SWT. Perkawinan juga

merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya,

baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara

yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk

berkembang dan melestarikan hidupnya.1

Jika merujuk pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seseorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Oleh karena itu perkawinan harus dipertahankan

oleh kedua belah pihak agar mencapai tujuan perkawinan tersebut.

1
Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Muhakahat, Ed.1, Cet-3, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 6
2
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1
2

Sifat dan sikap lingkungan dan kebudayaan yang terjadi di masyarakat

Indonesia mewujudkan aturan-aturan yang berbeda-beda. Tidak menutup

kemungkinan perbedaan itu terjadi antara aturan adat dan aturan agama.

Perbedaan yang sering kita jumpai di masyarakat adalah dalam hal

perkawinan. Walaupun agama Islam telah memberikan aturan yang tegas dan

jelas tentang perkawinan, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang

ditemukan dalam pelaksanaan dan praktik perkawinan yang berbeda

dikalangan umat Islam. Perbedaan tersebut didasari karena pemahaman

terhadap agama yang berbeda, dan adat istiadat di setiap daerah.

Umat Islam di Indonesia diantaranya banyak kalangan yang terkenal

akan ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan-aturan atau hukum-hukum adat

yang berlaku, terutama masyarakat yang tinggal di tanah Jawa. Mereka sangat

taat dan patuh terhadap hukum-hukum adat kejawen. Istilah “hukum adat”

adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa belanda “ adatrecht”.3 Kata

“adat” ini sebenarnya berasal dari bahasa arab, yang berarti “kebiasaan”.4

Dalam kamus istilah fiqih “adat” adalah himpunan kaidah sosial dalam

masyarakat luas, tidak termasuk hukum syara’ (agama). Kaidah-kaidah

tersebut ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, seolah kehendak atau

3
Bushar, Muhammad, Asas-Asas Jukum Adat Suatu Pengantar, Cet-9, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1994), h. 1
4
Bushar, Muhammad, Asas-asas hukum adat suatu pengantar, h. 3
3

peraturan nenek moyang mereka, bahkan seolah suatu keharusan yang

bersumber dari Tuhan.5

Setelah kita mengetahui tentang istilah hukum adat, maka perlu

kiranya sebagai langkah pertama untuk mengetahui definisi hukum adat.

Hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-

keputusan yang penuh wibawa, dan yang dalam pelaksanaannya diterapkan

begitu saja artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan, yang dalam

kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali.6

Mengenai hukum adat tidak hanya di tanah Jawa yang masih kental

akan peraturan-peraturannya. Sumatra khususnya Jambi masih memegang

dan patuh akan adat yang berlaku di masyarakat. Mereka selalu mengikutinya

meskipun terkadang ada yang sesuai dan ada yang tidak sesuai menurut

syariat islam. Dalam masyarakat Jambi, dikenal sistem perkawinan dimana

anggota masyarakat bebas untuk melangsungkan perkawinan baik di dalam

atau di luar lingkungannya atau masyarakatnya dan juga sistem endogamie

(perkawinan terjadi antara anggota masyarakat sendiri).7 Interaksi antar umat

Islam dengan komponen-komponen pengaruh luar seperti itu, aturan–aturan

adat dapat menghasilkan dan menimbulkan sistem dan berimplikasi pada

5
Syafi’ah, M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, Cet-3, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), h.3
6
Bushar, Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, h. 8
7
Monografi Hukum Adat Daerah Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Dan Lampung, Buku II
(Bagian 3 Dan 4), Tim Monografi Hukum Adat Badan Pembinaan Hukum Nasinal, (Jakarta:
Departemen Kehakiman RI, I992), h. 32
4

kehidupan nyata misalnya dalam perkawinan, dimana dampak pengaruh dari

luar itu dapat menyebabkan adanya larangan kawin adat.

Interaksi antara hukum Islam dan Hukum Adat merupakan suatu

keniscayaan. Namun yang menjadi persoalan adalah manakala ada aturan-

aturan tertentu dalam hukum Adat yang membatasi atau bertolak belakang

dengan ketentuan dalam hukum islam.

Persoalan demikianlah yang antara lain dihadapi oleh masyarakat

Desa Tl. Kecimbung, bahwasanya menurut hukum adat, suami istri tidak

boleh melakukan hubungan suami istri sebelum dilakukan upacara Ulur

Antar, walaupun akad nikah sudah dilakukan. Ketentuan adat ini merupakan

sebuah proseses perkawinan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dalam

perkawinan.8

Maksud kata ulur antar menurut masyarakat Desa Tl.Kecimbung

adalah ulur yang berarti memberi dan antar berarti diantar, jadi ulur antar itu

adalah memberikan mempelai laki-laki yang mana diantar oleh para sanak

saudara, nenek mamak atau sesepuh dari keluarganya kepeda mempelai

perempuan yang diterima oleh sanak saudara, nenek mamak atau sesepuh dari

mempelai wanita tersebut. jika di masyarakat Desa Tl. Kecimbung masih ada

pelaku yang tetap meninggalkan upacara tersebut, padahal masyarakat

8
Wawancara dengan Bapak Bakri, Tokoh Adat Desa Tl. Kecimbung, Kecamatan Bathin
VIII Kabupaten Sarolangun, Jambi, tanggal 22 February 2015
5

melarang untuk meninggalkannya, maka pelaku akan mendapatkan sanksi

dengan sendirinya berupa tidak diakuinya sebagai saudara.9

Apabila dilihat dari sudut pandang hukum Islam, tidak ada larangan

untuk melakukan hubungan suami istri apabila akad dalam pernikahan sudah

kita lakukan dan itu sah menurut syariat islam. Dalam hukum islam

bahwsanya pernikahan itu adalah akad yang ditetapkan syara’ untuk

membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.10

Abu Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan; Bahwasanya nikah

itu adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan

seksual dengan lafaz nikah atau kata-kata yang semakna dengannya.11

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merasa tertarik

untuk mengkaji lebih mendalam tentang, “Tradisi Ulur Antar Dalam

Perkawinan Adat Jambi Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Desa Tl.

Kecimbung, Kecamatan Bathin VIII, Sarolangun-Jambi).” Hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan yang benar tentang

Ulur Antar dalam pandangan hukum Islam.

9
Wawancara Baak Azwar, Toko Masyarakat Desa Tl. Kecimbung, Kecamatan Bathin VIII,
Kabupaten Sarolangun, Jambi, tanggal 25 February 2015
10
Ghozali, Abdul Rahman, ”Fiqh Munakahat”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010). Cet. 4, h. 8
11
Al-Anshary, Abu Yahya Zakariya “Fath Al-Wahab”, (Singapura: Sulaiman Mar’iy,t.t.) Juz
2, h. 30
6

B. Pembatasan dan Rumusan masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan sesuai dengan

studi yang dikaji, maka untuk mempermudah penyusunan skripsi ini

penyusun membatasinya pada masalah larangan melakukan hubungan

suami istri sebelum acara Ulur Antar. Yang di maksut ulur antar itu

adalah melepas mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang

mana diantar oleh sanak saudara, nenek mamak atau sesepuh dari pihak

laki-laki dan diterima oleh sanak saudara, nenek mamak atau sesepuh

dari pihak perempuan.

Adat Jambi adalah salah satu adat istiadat yang berada di wilayah

Sumatra Tengah. Untuk mempermudah penelitian ini, maka penelitian

memfokuskan masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan hukum

adat masayarakat Desa Tl. Kecimbung, Kecamatan Bathin VIII,

Kabupaten Sarolangun-Jambi.

Karena larangan dan segala permasalahan yang berkaitan dengan

perkawinan menurut hukum Islam itu cukup luas, maka penyusun

memberikan batasan permasalahan ini pada hal-hal yang berkaitan

dengan larangan melakukan hubungan suami istri sebelum Ulur Antar

pada masyarakat Desa TL. Kecimbung Kecamatan Bathin VIII,

Kabupaten Sarolangun-Jambi ditinjau dari hukum Islam.

2. Rumusan Masalah
7

Untuk memperjelas masalah penelitian ini, maka dapat

dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana proses Ulur Antar dilakukan di Desa Tl. Kecimbung?

b. Bagaimana pandangan hukum adat terhadap tradisi Ulur Antar di

Desa Tl. Kecimbung?

c. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap dilarangnya

melakukan hubungan suami istri sebelum Ulur Antar di Desa Tl.

Kecimbung?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penyusun dalam

melakukan penelitian ini adalah :

a. Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap Ulur Antar kepada

masyarakat Desa Tl. Kecimbung.

b. Menjelaskan pandangan hukum Adat terhadap Ulur Antar kepada

masyarakat Desa Tl.. Kecimbung.

c. Menjelaskan adanya tradisi larangan adat melakukan hubungan

suami istri sebelum Ulur Antar beserta alasan-alasannya.

2. Kegunaan Penelitian

Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari

hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:

a. Secara Akademis
8

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis

ilmiah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di

bidang Ilmu Hukum Keluarga dan umunya pada Ilmu Pengetahuan.

b. Secara Praktis

Memberikan pencerahan kepada masyarakat luas khusunya

kepada masyarakat Desa Tl. Kecimbung dalam bersikap dan

bertindak mengenai larangan hubungan suami istri sebelum Ulur

Antar dan dapat mengkokohkan keyakinan terhadap hukum Islam.

D. Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu yang dimaksud adalah melihat data-data

skripsi tahun -tahun sebelumnya dengan tujuan dengan menganalisis skripsi

yang berkaitan yang berkaitan dengan judul atau permasalahan penyusun.

Dari sekian banyak skripsi yang penyusun temukan, diantara penelitian yang

dilakukan sebelumnya, terkait mengenai permasalahan-permasalahan sebagai

berikut.

Skripsi oleh Mimin Sutarsih yang berjudul “Prosesi Pernikahan Adat

Minang Kabau Ditinjau Dari Sudut Pandang Islam” (Studi Kasus Di

Kabupaten Agam). Skripsi ini menyimpulkan prosesi pernikahan adat terbagi

menjadi 4 proses, yaitu: acara sebelum perkawinan, acara dan kewajiban

menjelang perkawinan, acara persiapan perkawinan dan acara pelaksanaan

perkawinan. Kemudian dijelaskan pula bahwa dari semua acara-acara tersebut


9

sangat diterima oleh ajaran agama islam, karena islam sendiri menjunjung

tinggi nilai-nilai budaya suatu kaum.

Skripsi oleh anugrah sejati yang berjudul “Prosesi Ritual Perkawinan

Adat Jawa Dilihat Dari Sudut Pandang Islam” skripsi ini membahas tentang

proses peminangan adat jawa itu dinamakan dengan istilah ngebunebun esuk,

anjejawah sonten. Lamaran dapat dilakukan sendiri oleh orang tua laki-laki

secara lisan namun dianggap kurang tepat yang kemudian laki-laki tersebut

menulis dan mengirim surat lamaran kepada pihak perempuan di bawa oleh

seorang petugas yang dijadikan duta dan biasanya berasal dari kalangan

keluarga sendiri (paman). Beberapa hari kemuadan surat berdasarkan dari

hasil perundingan dan keluarga si gadis yang di hadiri oleh si nenek atau

kakek si gadis maka orangtua si gadis tersebutpun menulis surat jawaban.

Skripsi oleh Abiyati Atnan Mitiono yang berjudul “Prosesi

Pernikahan Suku Adat Atoni Dalam Perspektif Hukum Islam” (Studi Kasus

Pada Masyarakat Atoni, Amanuban Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur).

Skripsi ini menyimpulkan prosesi pernikahan adat atoni sangat bertantangan

dengan syariat islam, karena dalam melakukan perkawinan masyarakat Atoni

cenderung dengan ritual Tuak, Noni (minuman arak yang memabukkan)

sebagai syarat pengabsahan perkawinan.

Dalam masyarakat Atoni, setelah peminangan maka menurut para

orang tua pihak perempuan membolehkan si calon suami untuk tinggal

serumah meskipun belum dinikahkan, faktor penyebabnya karena sering

adanya kawin lari oleh laki-laki lain terhadap perempuan tersebut.


10

Karya ilmiah di atas memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena

objek kajian semua penelitian tampaknya ditemukan kesamaan, yaitu adat

tidak sejalan dengan syar’i baik pada masyarakat Minang Kabau, masyarakat

Jawa, masyarakat Atoni maupun masyarakat Jambi.

Akan tetapi terdapat hal yang membedakan penelitian ini dengan

penelitian yang dilakukan mereka dari segi larangan perkawinan dalam adat.

adat yang berlaku pada masyarakat adat minang, adat jawa dan adat

masyarakat Atoni tidak sama dengan adat yang di implikasikan pada

masyarakat Jambi. Sehingga dengan perbedaan adat tersebut secara otomatis

kaitannya dengan hukum Islam pun akan berbeda.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh peneliti untuk

menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.12 Adapun metode

yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang maksimal

dan optimal maka penyusun menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke daerah obyek

penelitian untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan

pembahasan yang dibahas, dalam hal ini mengani larangan hubungan

12
Sarosa, Samiaji, Penelitian Kualitatif Dasa-Dasar, Cet-1 (Jakarta: Permata Puti Media,
2012), h. 3
11

suami istri sebelum Ulur Antar pada masyarakat Desa Tl. Kecimbung,

Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Adapun sifat penelitian itu yang digunakan adalah “diskriptik-

analitik” yaitu mengolah dan mendiskripsikan penelitian yang di kaji

dalam tampilan data yang lebih bermakna dan lebih dapat di pahami

sekaligus menganalisis data tersebut.13 Yakni menganalisa larangan

“hubungan suami istri sebelum Ulur Antar” pada masyarakat Desa Tl.

Kecimbung, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

2. Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan

antropologis. Istilah antropologi adalah ilmu atau studi tentang manusia,

atau jelasnya ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia baik dari segi

hayati maupun dari segi budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk

memahami tantang asal usul terjadi dan perkembangan manusia secara

efolusi.14 Sasaran pokok dalam antropologi adalah manusia, baru

kemudian prilaku budayanya, tidaklah sebaliknya sebagaimana dalam

ilmu yang lain. Sasaran bertujuan untuk memehami bagaimana manusia

berprilaku untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk mengatasi

kesulitan, dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah yang

dihadapinya, untuk dapat mewujudkan keseimbangan hidup, dan khusus

yang menyangkut hukum bagaimana manusia itu dapat mempertahankan

13
Sudjana, Nana, Tuntunan Penelitian Karya Ilmiah, Makalah-Skiripsi-Tesis-Disertasi, (
Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1999), h. 77
14
Hadikusuma, Hilman, Antropologi Hukum Indonesia, Cet-3, ( Bandung: P.T Alumni,
2010), h.1
12

dan memelihara kerukunan, ketertiban, keadilan dan kedamaian dalam

kehidupannya bermasyarakat.15

3. Kreteria dan Sumber Data

a. Data primer yaitu data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan

penulis terhadap larangan hubungan suami istri sebelum Ulur Antar

baik dengan observasi maupun wawancara.

b. Data sekunder adalah data yang diambil dari bahan-bahan pustaka

yang menunjang data primer, dalam hal ini data sekunder diperoleh

dari buku –buku hukum, majalah, artikel, internet yang berhubungan

dengan masalah penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data-data yang terkait dengan tema penelitian

ini maka penyusun menggunakan beberapa teknik pengumpulan data

sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara

akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan

hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Observasi berarti

pengamatan bertujuan untuk mendapat data tentang suatu masalah,

sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-cheking atau

15
Hadikusuma, Hilman, Antropologi Hukum Indonesia, h. 3
13

pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh

sebelumnya. 16

b. Wawancara

Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dengan

jalan bertanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis

dengan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan.17 Metode ini

digunakan untuk memperoleh data–data yang diperlukan penyusun

yang berupa data yang tidak tertulis. Yang menjadi informan dalam

penelitian ini adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat desa

dan Ketua lembaga adat Desa Tl. Kecimbung. Dengan teknik

wawancara yang dilakukan ini, diharapkan dapat memperoleh data-

data yang berkaitan dengan “larangan hubungan suami istri sebelum

Ulur Antar”.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan mencari

konsep-konsep, teori-teori, pendapat atau penemuan yang relevan

terkait yang hendak diangkat oleh penyusun terhadap pokok masalah

yang akan dibahas dalam skripsi ini. Kepustakaan tersebut berupa

buku-buku, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga dan sumber-

sumber lainnya.

16
Rahayu, Iin Tri, Tristiadi Ardi Ardani, Observasi dan Wawancara, Ed-1, Cet-1, ( Malang:
Bayu Media Publishing, 2004 ), h. 1
17
Rahayu, Iin Tri, Tristiadi Ardi Ardani, Observasi dan Wawancara, h. 63
14

5. Teknik Analsis Data

Untuk menganalisa yang telah terkumpul, maka analisa data yang

digunakan adalah metode kualitatif yang terdiri atas induktif dan

deduktif. Metode induktif yaitu pengambilan kesimpulan yang dimulai

dari kesimpulan atau fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat

umum.18 Artinya menganalisa data yang besifat khusus kemudian diolah

dan menjadi kesimpulan umum, dalam hal ini melihat praktik larangan

melakukan hubungan suami istri sebelum Ulur Antar di masyarakat Desa

Tl. Kecimbung yang dikaitkan dengan hukum Islam. Sedangkan metode

deduktif yaitu metode yang dipakai dengan menarik fakta atau

kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesimpulan

yang bersifat khusus.19 Artinya menganalisa data yang bersifat umum

untuk diambil kesimpulan yang bersifat khusus terhadap praktik

larangan hubungan suami istri sebelum Ulur Antar di masyarakat Desa

Tl. Kecimbung, Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh kerangka penelitian dan mengetahui penulisan

selanjutnya, sehingga dapat mempermudah dalam menyusun skripsi maka

penyusun membuat sistematika sederhana di bawah ini:

18
Sudjana, Nana, Tuntunan Penyusun Karya Ilmiah, Cet-7, ( Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2003), h. 7
19
Sutrisno, Hadi, Metodelogi Research, (Jakatra: P.T. Moyo Segoro Agung, 2007), h. 56
15

Bab Pertama, adalah pembahasan dalam skripsi ini yang diawali

dengan pendahuluan yang berisi, latar belakang masalah, pembatasan dan

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review studi terdahulu,

metode penelitian dan sistematika penulisan, bab ini diharapkan dapat

menjadi kerangka untuk berpijak untuk melangkah ke pembahasan bab-bab

berikutnya.

Bab kedua, menjelaskan tentang gambaran umum perkawinan yang

meliputi, Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Adat.

Bab ketiga, Potret Desa Tl. Kecimbung yang terdiri atas kondisi

geografis, keadaan sosial, tradisi Ulur Antar di Desa Tl. Kecimbung,

Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

Bab keempat, membahas tentang larangan hubungan suami istri

sebelum Ulur Antar, yang meliputi, Larangan hubungan suami istri sebelum

Ulur Antar dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Adat serta analisis

perbandingan antara Hukum Islam dan Hukum Adat tentang larangan

hubungan suami istri sebelum Ulur Antar.

Bab kelima, yaitu penutup yang berisikan kesimpulan dari

permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran

sebagai solusi dari permasalahan.


BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

A. Perkawinan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian

Kata nikah atau zawaj yang berasal dari bahasa Arab dilihat secara

makna etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih”, atau dengan

ungkapan lain bermakna “aqad dan setubuh” yang secara syara’ berarti aqad

pernikahan. Secara terminologi (istilah) nikah atau zawaj adalah:

1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis dari

seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

2. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang laki-laki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara

keduanya.2119

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”,

berasal dari kata nakaha (‫ )ًكاذ‬yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,

saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi)20.

Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan percampuran.

Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki
20
Abbas, Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan, cet.I, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006
), h.1.
21
Ghazaly, Abdrahman, Fiqh Munakahat, h. 7.

16
17

dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah

berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam

arti majazi (metafora)22. Berdasarkan firman Allah SWT:

)٥٢:‫ (الٌساء‬....َ‫ى اَُْلِِِي‬


ِ ْ‫فَاًْكِحُُُْْيَ تِإِذ‬...
Artinya: “…Karena itu, kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka...”.(an-
Nisa’: 25)

Definisi nikah yang lain menurut pendapat para ulama adalah sebagai
berikut:
َ‫الزََّّاجُ شَ ْسعاً َُُْ عَ ْق ٌد َّضَعََُ الّشَازِعُ لِيُفِ ْيدَ هِ ْلكَ اسْتِ ْوتَاعِ السَخُلِ تِا ْلوَ ْسأَجِ َّحِل‬
23
.ِ‫ستِ ْوتَاعِ الْوَ ْسأجِ تِالسَخُل‬
ْ‫ا‬

“Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk


membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya pereempuan dengan laki-laki.”

1. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan bahwa


24
.‫صدُا‬
ْ َ‫ك اَ ْلوُتَعَحُ ق‬
ٌ ‫اَلٌِكَاذُ عَ ْق ٌد يُفِ ْيدُ هِ ْل‬
Nikah adalah akad yang disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan

2. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa


25
.‫ك الَِْطَءِ تِلَ ْفظٍ إِ ًْكَاذً َّتَ ْزِّ ْيحً أَ ّْ هَ ْعٌَاُُوَا‬
ٌ ‫اَلٌِكَاذُ عَ ْق ٌد يَتَضَوَيُ هِ ْل‬
Nikah adalah akad yang mengandung maksud untuk memiliki kesenangan
(wathi`) disertai lafadz nikah, kawin atau yang semakna.

22
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h.3.
23
Al-zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, cet. Ke-3, (Beirut: dar al-fikr, 1989),
h.29.
24
Al-zuhaili, Abd. ar-Rahman, al-Fiqh „Ala al-Mazzahib al-Arba‟ah, cet. Ke-1, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 2002), h.3.
25
Al-zuhaili, Abd. ar-Rahman, al-Fiqh „Ala al-Mazzahib al-Arba‟ah, h.4.
18

3. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa nikah adalah


26
.ِ‫اَلٌِكَاذُ عَ ْق ٌد عَلَى هُدَسَدِ هُتَعَ ٌح الِتَ ْلرِذِ تِأَدَهِيَح‬
Nikah adalah akad yang semata-mata untuk mendapatkan kesenangan
dengan sesama manusia.

4. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa nikah adalah

27
.ً‫زِّ ْيحً عَلَى هَ ٌْفَعَحً اَلِإسْتِ ْوتَاع‬
ْ َ‫اَلٌِكَاذُ عَ ْق ٌد تِلَ ْفظٍ إِ ًْكَاذً أَ ّْ ت‬
Nikah adalah akad dengan lafazd nikah atau kawin untuk mendapatkan
manfaat bersenang-senang.

Menurut Shihabuddin Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi

mendefinisikan nikah adalah “sebuah akad yang mengandung kebolehan

berjima‟ dengan lafadz inkah atau tazwij yaitu akad kepemilikan intifa‟ bukan

kepemilikan manfaat”.28Menurut Taqiyyudin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-

Damsyiqy mengartikan nikah adalah “suatu ibarat dari sebuah akad yang

masyhur yang mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat, dimutlakkan atas

akad dan dimutlakkan atas wathi` secara bahasa”.29

2. Dasar Hukum Pernikahan

1. Syari’at Nikah

26
Al-zuhaili, Abd. ar-Rahman, al-Fiqh „Ala al-Mazzahib al-Arba‟ah, h.5
27
Mutawally, Abdul Basit, Muhadharah al-Fiqh al-Muqaran, (Mesir: t.p, t.t), h.120.
28
Shihabuddin, Ahmad Ibn Ahmad Bin Salamah Qolyubi, Hasyiatani Qolyubi Wa Umairah,
Juz III, (Surabaya: PT. Irama Minasari, t.t), h.206.
29
Taqiyyudin, Abu Bakar Ibn Muhammad al-Damsyiqy, Kifayatul Akhyar Fi Hilli Ghoyatil
Ikhtishor, Juz II, (Semarang: Maktabah Toha Putra, t.t), h.36.
19

Dasar hukum dianjurkannya perkawinan dalam agama Islam terdapat

dalam firman Allah SWT dan hadits-hadits nabi Muhammad SAW.

a. Menurut firman Allah SWT

Adapun syariat nikah berdasarkan Firman Allah SWT, yaitu:

َِِ‫ضل‬
ْ َ‫ي ف‬
ْ ِ‫ى يَكُ ًُْْ ْْ فُقَسَاءَ يَ ْغٌَُِ ْن اهللُ ه‬
ْ ِ‫ي عِثَادِكُ ْن َّإِهَائِكُ ْن ا‬
ْ ِ‫َّأَ ًْكِحُ ْْا الْأَيوَىَ هِ ٌْكُ ْن َّالصَلِحِ ْييَ ه‬
)٢٣ :‫َّهللُ َّسِ ٌع عَلِ ْينَ (الٌْز‬

Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan


orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas(pemberian-
Nya) lagi Maha mengetahui”.(an-Nur: 32)

ْ‫َّإِىْ خِفْتُنْ أَّالَ تُ ْقسِطُْا فِى الْيَ َتوَى فَاًْكِحُْْا هَا طَابَ َلكُنْ هِيَ ال ٌِسَاءِ هَثٌَْى َّ ُثلَثَ َّزُتَعَۖ فَاءِىْ خِفْتُن‬
)٣ :‫ّال َتعُ ْْلُْْا (الٌساء‬
َ ّ‫ك أَدًَْى أ‬
َ ‫ّآل َتعْ ِدلُْْا فََْحِدَجً أَ ّْ هَا َهَلكَتْ أَ ْيوَ ٌُكُنْ ۚ َذِل‬
َ َ‫أ‬

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”.(an-nisa’: 3)
20

b. Menurut hadits Nabi Muhammad SAW

‫ي‬
ْ َ‫ َّه‬،ِ‫صسِ َّأَحْصَيُ ِللْفَسْج‬
َ َ‫ فَإًََُ أغَّضُ لِلث‬،ْ‫ّشسَ الّشَثَابِ هَيِ اسْ َتطَاعَ هٌِْكُنُ الثَاءَجَ فَليَتَزََّج‬
َ ‫يَا َه ْع‬

30
.)‫ فَإًََُِ لَ َُ ِّخَا ٌء (زّاٍ هسلن‬،ِ‫ل َن َيسْ َتطِ ْع َف َعلَيَِْ تِالصَْْم‬

Artinya: “Hai golongan pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup
kawin, kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih
memelihara faraj (kemaluan), dan barangsiapa tidak sanggup, hendaklah
berpuasa karena puasa itu dapat melemahkan syahwat (HR. Muslim)”.

ٍ‫ فَوَيْ زَغِةَ عَيْ سٌَُتِى َفلَيْسَ هٌِِى (زّا‬،َ‫طسُ َّأَ َتزََّجُ ال ٌِسَاء‬
ِ ‫ َّأَصُْْمُ َّأُ ْف‬،ُ‫صلِى َّأًََام‬
َ ُ‫ي اًََا أ‬
َ ِ‫َلك‬
31
.)‫هسلن‬

Artinya: “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin.


Barangsiapa tidak menyukai perjalananku (sunnahku), ia bukan ummatku
(HR. Muslim)”.

2. Hukum Nikah

1. Mubah: merupakan asal hukum dari perkawinan, sesuai dengan firman Allah

Q.S. an-Nur: 32. Dalam hal ini hukum nikah mungkin akan menjadi wajib,

makruh ataupun haram, sesuai dengan keadaan orang yang akan kawin.32

2. Sunnah: Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada

juga keinginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak

30
An-Naisaburi, Imam Abi Husain Muslim Ibn Hujaz al-Qusyairi, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Arabi, 1425 H/2004M), h.557.
31
An-Naisabur, Imam Abi Husain Muslim Ibn Hujaz al-Qusyairi, Shahih Muslim , h.558.
32
Kamal, Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h.23.
21

dikhawatirkan dirinya terjerumus kepada perbuatan zina, maka sunnah

baginya menikah.

3. Wajib: Sekiranya seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga,

ada keinginan untuk berkeluarga dan takut terjerumus kedalam perbuatan

zina, maka baginya diwajibkan nikah. Sebab, menjaga diri jatuh ke dalam

perbuatan haram, wajib hukumnya.

4. Haram: Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau

diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin (impoten), haram

baginya menikah, sebab akan menyakiti perasaan wanita yang dinikahinya.

5. Makruh: Orang yang tidak dapt memenuhi nafkah lahir batin, tetapi tidak

sampai menyusahkan wanita itu, kalau dia orang berada dan kebutuhan

biologis pun tidak begitu menjadi tuntutan, maka terhadap orang itu

dimakruhkan menikah. Sebab, walaupun bagaimana nafkah lahir batin

menjadi kewajiban suami, diminta atau tidak oleh istri.33

3. Perinsip-Perinsip Perkawinan

Perinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari al-quran dan

al-hadits, yang kemudian dituangkan ke dalam garis-garis hukum melalui

33
Hasan, M. Ali, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h.7-10.
22

Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI tahun 1991

mengandung 7(tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:

1) Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Suami dan istri saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual

dan material.

2) Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan

kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan, dan harus dicatat

oleh petugas yang berwenang.

3) Asas monogami terbuka.

Artinya, jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila

lebih dari seorang maka cukup seorang saja.

4) Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan

perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.

5) Asas mempersulit terjadinya perceraian.

6) Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri, baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat.

7) Asas pencatatan perkawinan.34

4. Rukun Nikah dan Syarat Sahnya Nikah

34
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.7-8.
23

Rukun dan syarat dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena dalam setiap aktifitas

ibadah di dalamnya pasti ada rukun dan syarat. Syarat itu merupakan cara

yang harus dipenuhi sebelum suatu perbuatan itu dilaksanakan, sedangkan

rukun merupakan suatu hal yang harus ada atau dipenuhi pada saat perbuatan

itu dilaksanakan. Karena perkawinan merupakan suatu ibadah maka di

dalamnya terdapat rukun dan syarat, yaitu sebagai berikut:

1) Rukun nikah

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi

e. Ijab dan qabul

Kelima rukun tersebut, masing-masing harus memenihi syarat: 35

a. Syarat Calon Suami

1. Beragama islam

2. terang (jelas) bahwa calon suami betul Laki-laki.

3. orangnya diketahui

4. calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri

5. calon mempelai laki-laki tahu/kenal dengan calon istri serta tahu betul

bahwa calon istrinya halal baginya.


35
Ghazaly, Abdrahman, Fiqh Munakahat, h. 50-64.
24

6. calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.

7. tidak sedang melakukan ihram.

8. tidak memiliki istri yang haram dimadu dengan calon istri.

9. tidak sedang memiliki istri empat.

b. Syarat Calon mempelai wanita:

1. Beragama islam atau ahli kitab

2. terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)

3. wanita itu tentu orangnya

4. halal bagi calon suami

5. wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih masa iddah.

6. tidak dipaksa/ikhtiyar

7. tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

c. Syarat wali nikah:

1. Laki-laki

2. Muslim

3. Baligh

4. Berakal

5. Adil (tidak fasik)

d. Syarat saksi nikah:

1. Dua orang Laki-laki

2. Muslim

3. Baligh
25

4. Berakal

5. Dapat mendengar dan melihat (paham) akan maksud akad nikah

e. Syarat ijab Kabul

1. Ada ijab (pernyataan) mengawinkan dari pihak wali

2. Ada qabul (pernyataan) penerimaan dari calon suami

3. Memakai kata “nikah”, “tazwij” atau terjemahannya seperti “kawin”.

4. Antara ijab dan qabul bersambungan tidak boleh terputus.

5. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak dalam keadaan haji

atau umrah.

6. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri paling kurang empat orang

yaitu calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari calon mempelai

wanita atau wakilnya, dan dua orang saksi.36

Syarat dan rukun tersebut harus dipenuhi agar perkawinan yang

dilakukan tidak batal.

A. Perkawinan Menurut Hukum Adat

1. Arti Perkawinan

Yang dimaksud dengan perkawinan menurut adat adalah:

Kawin beradat, sarak berhukum

Adat datang, lembago menunggu

Adat naik, lembago turun

36
Hasan, M. Ali, “Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam”, h.57-58.
26

Yang dimaksud dengan kawin beradat sarak berhukum adalah

setiap perkawinan di Desa Tl. Kecimbung itu harus memakai adat

yang ada dan setiap percerayan harus melewati hukum atau peraturan

yang ada untuk menyelesaikan perkara kedua belah pihak, dan adapun

yang dimaksud dengan adat datang lembago menunggu itu adalah

apabila kita sudah memenuhi perkara adat dalam perkawinan seperti

mas kawin maka kita harus memenuhi perkara untuk lembaga seperti

uang resepsi pernikahan. Dan adapun yang dimaksud dengan adat naik

lembago turun adalah apabila semua perkara sudah dipenuhi maka

adat akan naik untuk menyelesaikan segala yang menyangkut dengan

perkawina dan para lembaga akan turun untuk turut membantu.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang amat penting dalam

berkehidupan masyarakat kita, sebab masalah perkawinan itu tidak

hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga

kedua belah pihak dari orang tua, saudara-saudaranya bahkan

keluarga-keluarga mereka masing-masing.

Menurut Djaren Saragih, S.H., dinyatakan sebagai berikut:

“Hukum perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang

menentukan prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang

bertalian kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu

rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan”.


27

Seperti yang telah diuraikan di muka, bahwa perkawinan itu bukan

saja hanya merupakan suatu peristiwa penting bagi mereka yang masih

hidup saja akan tetapi termasuk juga merupakan peristiwa yang sangat

berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-

arwah para leluhur dari kedua belah pihak. Dari para arwah leluhur ini

juga kedua belah pihak beserta seluruh keluarganya mengharapkan

doa restunya bagi kedua mempelai sehingga mereka setelah menikah

diharapkan dapat hidup rukun serta berbahagia sebagai suami isteri

sampai kakek-kakek dan nenek-nenek.37

2. Bentuk-Bentuk Perkawinan (Perkawinan dalam sifat

kekeluargaan)

a. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Patrilineal

Perkawinan dalam susunan kekeluargaan di sini dinamakan

perkawinan jujur misalnya di Gayo (Batak), Nias, Lampung, Bali

Timor dan Maluku, yaitu bentuk perkawinan yang bertujuan untuk

secara konsekuen melanjutkan atau mempertahankan keturunan

dari pihak laki-laki (bapak atau ayah).

b. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Matrilineal

Perkawinan di dalam susunan kekeluargaan Matrilineal ini

dikenal dengan sebutan perkawinan semendo (samendo),

37
Setiady, Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),
(Bandung: Alfabeta, 2003), Cet Ketiga, h. 225
28

(semanda), yaitu bentuk perkawinan yang bertujuan secara

konsekuen melanjutkan atau mempertahankan garis keturunan dari

pihak ibu. Dikatakan samendo (semendo) (semanda) artinya adalah

bahwa pihak laki-laki dari luar yg didatangkan (pergi ke) tempat

perempuan, “ia adalah orang luar”.

c. Perkawinan dalam Susunan Kekeluargaan Parental

Bentuk perkawinan dalam susunan kekeluargaan parental

(bilateral) oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H dinamakan

perkawinan bebas, dan perkawinan dalam bentuk ini biasanya

dilakukan pada masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu,

Kalimantan dan Sulawesi dan dikalangan masyarakat Indonesia

modern. Perkawinan ini tidak mengenal persoalan eksogami

maupun endogami. Orang bebas kawin dengan siapa saja, dan

yang jadi halangan hanyalah ketentuan-ketentuan yang

ditimbulkan oleh kaidah-kaidah kesusilaan agama.38

3. Sistem Perkawinan

Kita mengenal adanya 3 (tiga) macam sistem perkawinan, yaitu:

a. Sistem Endogamie

Di daerah sistem ini seseorang hanya boleh kawin dengan

seseorang dari suatu suku keluarganya sendiri (satu clan).

38
Setiady, Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), h.
229
29

Perkawinan semacam ini sekarang sudah jarang terjadi walaupun

ada hanya Suku Toraja saja, tetapi inipun sudah mulai berubah lagi

dan juga pada dasarnya perkawinan endogamie ini tidak sesuai

dengan tata susunan masyarakatnya yang menganut sistem

kekeluargaan parental.

b. Sistem Eksogamie

Dalam sistem ini seseorang diharuskan kawin dengan

seseorang diluar suku keluarganya (keluar Clan). Sistem ini

misalnya terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau,

Sumatera Selatan, Buru dan Seram. Dalam perkembangannyapun

sistem ini mengalami proses perlunakkan di mana larangan

perkawinan itu dilakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan

yang sangat kecil saja.

Dengan demikian sistem ini dalam daerah-daerah tersebut

dalam perkembangan masa, akan berubah mendekati sistem

eleutherogamie.

c. Sistem Eleutherogamie

Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-

keharusan seperti halnya dalam sistem endogamie dan atau

eksogamie. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini

adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan

kekeluargaan, yakni larangan karena:


30

1) Nasab (turunan dekat) seperti kawin dengan ibu, nenek,

anak kandung, cucu, juga kawin dengan saudara kandung,

saudara bapak atau saudara ibu.

2) Musyaharah (periparan) seperti kawin dengan ibu tiri,

menantu, mertua, anak tiri.

Ternyata sistem ini meluas di Indonesia misalnya di

Aceh, Sumatera Timur, Bangka, Belitung, Kalimantan,

Minahasa, Sulsel, Ternate, Irian Jaya, Timor, Bali, Lombok

dan seluruh Jawa-Madura.39

39
Setiady, Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), h.
256
BAB III

POTRET DESA TL.KECIMBUNG, KECAMATAN BATHIN VIII,

SAROLANGUN, JAMBI

A. Letak Geografis

Desa Tl. Kecimbung terletak diantara Teluk Jantan (Batu

Penyabung) dari sebelah Utara, sedangkan dari sebelah Selatan berbatasan

dengan Desa Pusar Kling (Lubuk Resam), dari sebelah Barat berbatasan

dengan Desa Buluh Janta Sebatang (Sebakul), dan adapun dari sebelah

Timur berbatasan dengan Desa Tunggul Tamsu (Pulau Lintang). Luas

wilayah Desa TL. Kecimbung adalah 2.800 ha2. Yang mana di dalamnya

terdapat 4 RW dan 8 RT.

Table. I
Nama Pejabat Dilingkungan
Kantor Desa TL. Kecimbung Tahun 2015
Kec. Bathin VIII, Sarolangun, Jambi

No Nama Pejabat Jabatan


1 Drs. M. Zuhdi Kepala Desa
2 Ahmad yani Sekretaris Desa
3 As‟ad, M. Pd Kaur Umum
4 Mubarok Kaur Pemerintahan
5 AL- Mazni Kaur Pembangunan
6 Hasan Basri RW 01
7 M. Nasip RW 02
8 Hamri RW 03
9 Zulkarman RW 04
10 M. Dong RT 01
11 Deki Pirdaus RT 02
12 Dahlan RT 03
13 AL- Pahmlis RT 04
14 Zulkipli RT 05
15 Ibrahim RT 06

31
32

16 Khairul RT 07
17 Suripto RT 08

B. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Desa Tl. Kecimbung tahun 2015 sebanyak 1.547

jiwa dengan rincian pria 750 jiwa dan wanita 797 jiwa.39

Table. II
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Di Desa Tl. Kecimbung
No Jenis Kelamin Jumlah Penduduk
1 Laki-Laki 750 jiwa
2 Perempuan 797 jiwa
Jumlah 1.547 jiwa

C. Keadaan Sosial

1. Pendidikan dan Kesehatan

Pendidikan merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

pembangunan, baik pedidikan formal maupun nonformal. Jumlah

sekolah negeri dan swasta di Desa TL. Kecimbung Tahun 2015 adalah:

Table. III
Tingkat Pendidikan Penduduk
No Jenjang Pendidikan Jumlah Sekolah Jumlah
Siswa/i
1 Taman Kanak-Kanak 2 34 Orang
2 Sekolah Dasar 2 177 Orang
3 Sekolah Madrasah Ibtidaiyah 2 169 Orang
4 Pondok Pesantren 2 60 Orang
Jumlah 8 443 Orang

39
Sumber: Kantor Desa Tl. Kecimbung, Badan Pusat Statistic Desa Tl. Kecimbung
Dalam Angka 2015.
33

2. Mata Pencaharian

Masyarakat di Desa Tl. Kecimbung mayoritas mata

pencahariannya adalah Pertanian/perkebunan, peternakan dan

berdagang. Mereka berkebun tanam dengan Menyadap Karet dan

Kelapa Sawit. Produksi Menyadap Karet di Desa Tl. Kecimbung tahun

2015 yaitu sebesar 150 ton/Bulan. Dengan luas sadapan sebesar 500

Ha dengan rata-rata 300 Kg/ha. Berarti untuk produksi Karet dari

tahun 2014 dibandingkan pada tahun 2015 hasil produksi menurun

sangat jauh karena berkendala dengan musim kering saat ini.

Sementara itu produksi Kelapa Sawit di Desa Tl. Kecimbung setiap

bulan tahun 2015 yaitu sebesar 130 ton/ha. Dengan luas panen sebesar

20 Ha dengan rata-rata produksi 1,3 ton/ha. Berarti untuk produksi

Kelapa Sawit dari tahun 2014 dibandingkan pada tahun 2015 menurun

sangat jauh ini disebabkan karena musim kemarau yang melanda. 40

Sebagian masyarakat Desa Tl. Kecimbung mereka berdagang juga.

Pedagag atau pengusaha yang mempunyai SITU di Desa Tl.

Kecimbung tahun 2015 sebanyak 17 usaha. Untuk membantu

kebutuhan hidup sehari-hari Desa Tl. Kecimbung.

3. Keagamaan

Masyarakat Desa TL. Kecimbung mayoritas beragama Islam.

Sesuai dengan banyaknya jumlah pemeluk agama di Desa Tl.

40
Sumber: Kantor Desa Tl. Kecimbung, Badan Pusat Statistic Desa Tl. kecimbung,
Dalam Angka 2015.
34

Kecimbung tentu juga terdapat beberapa jumlah rumah ibadah.

Dengan rincian sebagai berikut:

Table. IV
Jumlah Rumah Ibadah
NO MASJID MUSHOLA
1 4 Buah 5 Buah

D. Tradisi Ulur Antar Di Desa Tl. Kecimbung

Adat yang ada pada Desa Tl. Kecimbung “Pegang Pakai Beda”

penerapannya dimasyarakat yang berbeda. Akan tetapi sama-sama adat

Jambi. perbedaan ini timbul disebabkan adanya perbedaan adat yang

diterapkannya. Pada Desa Tl. Kecimbung ini yaitu memakai bathin.

Adat batin adalah yaitu adat yang tumbuh di daerah Jambi itu

sendiri. Untuk desa-desa yang menerapkan adat batin maka mereka

melaramg untuk melakukan hubungan suami istri sebelum Ulur Antar

dilakukan, walaupun akad nikah sudah terlaksana. Adat bathin berfalsafah

“adat bersandi syara’, syara’ bersandi kitabullah” atau istilah lain

“syara’ mengato adat memakai”.

1. Pengertian

Ulur Antar adalah terdiri dari dua suku kata yaitu Ulur dan Antar

yang mana ulur berarti melepaskan dan antar berarti mengantar, dan

adapun pengertian ulur antar secara umum adalah melepaskan mempelai

laki-laki kepada mempelai perempuan yang mana diantar oleh sanak

saudara, nenek mamak, tuo tenganai atau sesepuh dari pihak mempelai
35

laki-laki dan diterima oleh sanak saudara nenek mamak, tuo tanganai

atau sesepuh dari pihak perempuan.

2. Hukuman Bagi Yang Melanggar dan Alasannya

Hukuman dalam istilah adat Jambi adalah “Tahutang”. Seperti

diungkapkan oleh bapak Bakri anggota Lembaga Adat Desa Tl.

Kecimbung. Bahwa „Wujud hutang bagi yang melanggar akan

meninggalkan ulur antar dalam perkawinan adalah yaitu dengan

sendirinya tidak merupakan materi atau sebagainya, akan tetapi dia tidak

akan diakui oleh sanak saudara, nenek mamak, tuo tanganai atau sesepuh

dari keluarga besarnya, dan apabila dikemudian hari dalam perkawinanya

terdapat sebuah permasalahan maka sanak saudaranya, nenek mamak,

tuo tanganai atau sesepuh tidak mau untuk mengetahui segala apapun

yang dipermasalahkannya atau mengacuhkannya.

Alasan adat melarang hubungan suami istri sebelum ulur antar

dalam perkawinan adalah:

a. Agar dia diakui sebagai orang semendo di dalam keluarganya.

Yang dimaksud dengan semendo menyemendo adalah status

seorang dalam pandangan sanak saudara nenek mamak tuo tanganai atau

sesepuh beserta masarakat umum setelah perkawinan, pada umumnya di

daerah jambi lelaki menyemendo kerumah perempuan, akan tetapi ada

juga perempuan yang dibawa keruamah lelaki, yang mana dinamakan

semendo surut. Tata cara duduk semendo adalah sebagai berikut.

1. Semendo kerumah perempuan


36

Yang dimaksud dengan semendo kerumah perempuan yaitu suku

pengantin laki-laki mengulur atau mengantar pengantin laki-laki kepada

perempuan yang mana diterima oleh sanak saudara nenek mamak atau

sesepuh dari pihak perempuan, dan semendo itu ada tiga katagori yaitu;

Petamo, semendo martuo

(pertama, semendo mertua)

keduo, semendo kebakeh suku semendonyo

(kedua, semendo semua suku semendonya)

ketigo, semendo kekampung

(ketiga, semendo kekampung)

b. Pertama semendo kerumah mertua, yaitu hanya selama tiga tahun,

tercemin dalam kata adat;

Tahun pertamo, mengumo martuo

(Tahun pertama, membantu mertua)

tahun keduo, mengiring mertuo

(Tahun ketiga, mengikuti mertua)

tahun ketigo, mecah mertuo

(Tahun ketiga, pisah mertua)

yang dimaksud dengan mengumo mertuo adalah sesorang menantu

pada tahun pertama apa saja gawe (pekerjaan) mertua maka anak menantu

harus mengerjakannya atau membantunya, menurut ajum arah mertuo (

mengikuti dan taat semua yang diarahkan oleh mertuanya), sebagai


37

pembelajaran dan menantu belum bertanggung jawab terhadap kebutuhan

rumah tangga seperti sandang pangan dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan mengiring mertuo adalah pada tahun kedua

anak menantu mulai untuk berusaha sendiri, yang mana usahanya masih

dalam pengawasan langsung dari mertua serta bejik benanya

(memperbaiki) dan ini merupakan pra tanggung jawab, seumpama seekor

anak burung yang baru belajar terbang (terbang labuh) dan mulai belajar

untuk bertanggung jawab terhadap rumah tangga, tetapi tidak sepenuhnya.

Yang dimaksud dengan memecah mertuo adalah pada tahun ketiga

mulai untuk berusaha mandiri dan bertanggung jawab sepenuhnya

terhadap rumah tangganya serta sekaligus harus berumah sendiri,

sedangkan mertua berkewajiban mengawasi perjalan kehidupan anak

menantunya, tegur sapa karna adat mengatakan, terhadap anak buah atau

keponakan dan menantunya adalah41;

Semakin pandai semakin diajar

(semakin pintar semakin diajar)

Semakin tahu semakin ditunjuk

(semakin mengetahui semakin dibimbing)

c. Kedua semendo kebakeh suku semendonyo, yang dimaksud dengan

semendo ini adalah setelah mempelai laki-laki menetap di rumah

41
Zen, H. Ismail, Kitab Undang-undang Hukum Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah
Tahun, (Sarolangun Bangko, Tahun 1986), h.44.
38

mempelai perempuan atau di rumah mertuanya maka mempelai laki-laki

harus mengikuti segala aturan yang ada dalam suku dari mempelai

perempuan seperti nenek mamak tuo tenganai atau sesepuh dari pihak

perempuan.

d. Ketiga semendo kekampung , yang dimaksug dengan semendo ini adalah

apabila mempelai laki-laki sudah menetap dirumah mertua dari sang

mempelai perempuan maka orang ini harus mengikuti segala aturan yang

ada di dalam kampung atau wilayah tersebut.

2. Semendo surut

Yang dimaksud dengan semendo surut adalah pengantin

perempuan dibawa kerumah laki-laki (kerumah orangtua laki-laki)

semendo surut ini jarang terjadi, oleh sebab itu dalam hal semendo surut

ini oleh suku kedua belah pihak sebelum ingin menikah harus menerima

perundingan atau kesepakatan kedua pengantin tersebut. Dalam

perundingan itu pihak orang tua laki-laki menyatakan, bahwasanya

rundingan anak kita ini akan terlaksana. anak perempuan akan dibawa

semendo surut, pada umumnya orang meminta semendo surut ini karena

mereka tidak memiliki anak perempuan. Dan dalam perundingan tersebut

dinyatakan bahwasanya rumah yang ditempatkan oleh semendo surut itu

adalah hak milik si perempuan yang berkuasa, dalam arti bahwasanya

anak perempuan tersebut menjadi anak yang punya rumah tersebut.

Sedangkan anak laki-lakinya yang akan menjadi menantunya, dan

apabila terjadi pertengkaran atau sebagainya antara keduanya, maka si


39

anak laki-laki itu yang akan turun atau meninggalkan rumah dan

perempuan itu akan tetap dirumah tersebut. Dan pada proses ulur

antarpun anak laki-lakinyalah yang diulur dan yang diantar42.

a. Agar kedua mepelai mengetahui sanak saudara dari kedua belah

pihak.

Seperti yang diungkapkan oleh pemangku Adat Desa Tl.

Kecimbung oleh bapak Nasrun, “dalam ulur antar kedua penganti

akan dikenalkan kepada sanak saudara nenek mamak tuo tanganai

atau sesepuh dari kedua belah pihak agar mereka berdua mengetahui

yang mana saudaranya yang mana dipanggil sebagai kakak adik

paman bibi nenek dan sebagainya.43

b. Terdapatnya nasehat perkawinan dari nenek mamak atu sesepuh dan

lembaga adat44

Dalam adat jambi nasehat perkawinan biasanya diambil dari

klasifikasi atau macam-macam semendo, dalam adat semendo itu ada

beberapa klasfikasi atau macam-macamnya yaitu;

1. Semendo nenek mamak

2. Semendo kacang menyang

42
Zen, H. Ismail, Kitab Undang-undang Hukum Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah
Tahun, (Sarolangun Bangko, Tahun 1986), h.45.
43
Wawancara Ketua Lembaga Adat Desa Tl. kecimbung, Bapak Nasrun,
Tanggal 03 September 2015. Jam 20. 00.
44
Wawancara Pemangku adat Desa Tl. kecimbung, Bapak abdul mutholib, Tanggal 02
Septembar 2015, Jam 10.30.
40

3. Semendo langau hijau

4. Semendo lapik buruk

5. Semendo ayam jantan

6. Semendo bapak anak

7. Semendo gajah mino

Dari semua klasifikasi atau macam-macam semendo itu, yang

diperintah atau dikehendaki oleh adat ialah semendo nenek mamak yaitu

apabila kita menjadi semendo dirumah itu maka orang itu harus

berkelakuan baik jangan sampai membuat mertuanya malu atas

perbuatannya dan apabiala orang itu sebagai orang yang cerdik dapat

memberi solusi bagi setiap permasalahan maka kitalah tempat orang

mencari pendapat untuk memecahkan permasalahanya, dan dikala orang

itu seorang yang disegani dan ditakuti, maka iya harus menjadi pagar

bagi rumah dan sukunya, dan apabila orang itu seorang yang berilmu

maka iya harus nenjadi tempat orang belajar darinya, dengan falsapah

menurut adat sebagai berikut;

Kok cerdik kanti barunding, beremeh panabing malu, Kok debalang pemaga

suku, alim duduk mengaja, duduk menambah bilang, tegag menembah larik.

(apabila cerdik teman bermusawarah, taat menghalang malu, apabila jawara

penjaga suku, alim duduk mengajar, duduk menambah hitungan, berdiri

menambah barisan)
41

Adapun semendo yang lain tersebut tidak boleh untuk dipakai

oleh adat, adapun semendo yang lainnya adalah;

1. Semendo kacang miang, yang dimaksud dengan semendo kacang

miang adalah sebelum kita tinggal dirumah mertua pada awalnya

keluarga itu baik-baik saja dan selalu terlihat tenang dan tentram, akan

tetapi disaat kita masuk kerumah tersebut rumah itu menjadi

berantakan seringnya terjadi pertengkaran dan keributan di dalamnya.

2. Semendo langau hijau, yang dimaksud dengan semendo langau hijau

yaitu dimana dia hinggap disanalah dia bertelur dan apabila telurnya

sudah menetas dia terbang entah kmana, dalam arti setelah menikah

dia tidak pernah mengurusi atau merawat anak dan istrinya tidak

pernah memberi nafkah lahir maupun bathin terhadap anak dan

istrinya.

3. Semendo lapik buruk, yang dimaksud dengan semendo lapik buruk

yaitu selama kita menjadi semendo tidak memperoleh apapun dalam

arti tidak ada kemauan untuk membina rumah tangga sendiri dan

selalu bergantung dengan mertuanya, yang mana dalam adat

disebutkan dimano taletak disitulah tempat, idak tau diasak atau

dipindah, kalu diasak atau dipindah akan hancur.

4. Semendo ayam jantan, yang dimaksud dengan semendo ayam jantan

yaitu disaat melihat ada perempuan yang lebih cantik dari istrinya

maka dia pergi untuk menggodanya, tidak berfikir bahwasanya dia

sudah memiliki istri dan anak. Yang mana di dalam adat dikatakan
42

dimano ado ayam batino awak bakukuk, hari petang balik kekandang

mencari inggir, inggir penuh awak mencatok anak.

5. Semendo bapak anak, yang dimaksud dengan semendo bapak anak

yaitu tidak pernah menjalin hubungan antar sesama warga apabila ada

acara kecil maupun besar dimasarakat tersebut dia tidak pernah

mengikutinya, dia selalu berbuat untuk kepentingan anak istrinya saja,

pergi pagi pulang sore.

6. Semendo gajah mino, yang dimaksud dengan semendo gajah mino

yaitu tidak mengetahi mana yang kecil dan mana yang besar, tidak

mengetahui mana yang harus di sayang dan yang harus di khormati

olenya, sebagai mana dalam adat dikatakan kecik kawan dilanyau,

gedang lawan dilindan45.

3. Macam-Macam Adat

Pada kehidupan masyarakat, berkembang berbagai istilah adat, ada

beberapa istilah yang digunakan dalam sebutan adat, sebutan tersebut

terbagi 4 (empat macam), antara lain:

a. Adat yang teradat

Pengertian adat yang teradat adalah suatu pekerjaan atau

perbuatan yang dilaksanakan oleh seseorang atau keluarga yang mana

tidak menggangu atau merusak orang banyak, namun pekerjaan atau

perbuatan tersebut memerlukan orang banyak.

45
Zen, H. Ismail, Kitab Undang-undang Hukum Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah
Tahun, (Sarolangun Bangko, Tahun 1986), h.45.
43

sebagai contoh, seseorang atau keluarga mengadakan berselang

atau gotong royong membangun rumah, menanam dan memanen padi,

hakekah, walimatul urs dan sebagainya pekerjaan atau perbuatan adat

yang teradat ini tidak disalahkan kepada seseorang atau golongan yang

tidak melaksanakannya.

Dalam hal ini ditegaskan kepada setiap pemuka masyarakat

pemuka adat dan sebagainya untuk betul-betul dapat meneliti dan

menyimak atas semua kejadian yang terdapat di masyarakat daerahnya

masing-masing apabila sampai pada menghukum supaya dapat

memisahkan yang mana adat istiadat , adat yang diadatkan dan yang

mana pula yang dinamakan adat yang teradat, sehingga ketelitian dalam

mengkaji hukum adat betul-betul menetapakan suatu masalah kepada

tempat yang benar, dengan demikian terwujutlah ketertiban, kerukunan

dan keamanan kehidupan masyarakat di daerahnya masing-masing.

b. Adat yang diadatkan

Adat yang diadatkan adalah sesuatu pekerjaan atau perbuatan

yang didalamnya terlibat banyak orang, itulah yang dikehendaki adat

yang diadatkan dengan filsafah sebagai berikut;

Alah seko dek buek, alah buek dek sama bakembuh

(mengalahkan satu itu dibuat bersama, mengalahkan perbuatan bersama itu

dengan sama-sama setuju)

Maksud kata-kata diatas adalah mengalah seko itu oleh karena

dibuat bersama dan mengalah perbuatan bersama oleh karena sama-


44

sama setuju. Contoh setiap pernikahan itu beradat, setiap percerayan

itu berhukum. Dalam kata-kata trersebut tidak dinyatakan berapa

jumlah nilai adat perkawinan tersebut, yang mutlak adalah setiap

perkawinan itu beradat, bukan nilai jumlah, seumpama dibeberapa

negeri maupun daerah sudah memiliki batasan sebagai patokan jumlah

adat perkawinan yang harus dipenuhi. Dari jumlah tersebut digariskan

oleh nenek mamak pemangku adat, dan apabila ada persetujuan antar

kedua belah pihak setuju untuk menembah atau mengurangi dalam

bentuk nilai atau jumlah yang sudah ditentukan oleh adat maka tidaklah

dianggap melanggar oleh adat, karena mereka telah sama-sama setuju,

oleh sebab itu adat mangatakan.

Dikit dianduk jadi hutang, banyak dibagih jadi dapek

(sedikit ditangguhkan menjadi hutang, banyak diberikan jadi hak)

Maksud dari kata-kata diatas adalah walau sedikit jika kita

tangguhkan tetap saja akan menjadi hutang kita, kemudian apabila kita

diberi walaupun banyak maka itu kita peroleh dengan Cuma-Cuma.

Yang masuk katagori adat yang diadatkan maka setiap yang ingin

menikah harus membayar adat. Bukan jumlah nilainya maupun dalam

pembayaran adat perkawinan tersebut, karena semua itu bermacam-

macam tergantung kemempuan atau persetujuan antar kedua belah

pihak, dan apabila adat yang diadatkan ini dilanggar tetap salah

menurut adat baik kecil maupun besar.


45

c. Adat istiadat

Menurut Ahmad Syarif Dewan Lembaga adat Sumatera

Tengah, istiadat asal katanya terdiri dari dua suku kata yaitu berasal dari

kata setia dan kedua dari suku kata adat yang dijadikan satu kalimat

dengan istilah istiadat, secara harfiah diartikan suatu kebiasaan yang

telah dipakai dari nenek moyang kita terdahulu dan kita setia pula untuk

memakai sampai sekarang. Dalam adat dikatakan: Adat lamo pusako

usang, yang diwarisi dijawat dari nan tuo sebab khalifah dijunjung dari

Nabi, batiti tereh, batanggo batu, bacermin gedang nan dak kabua,

lantak yang idak goyah, idak lapuk dek hujan idak lekang dek paneh,

kato benar kato mupakat, diasak layu dianggua mati, salah berhutang,

duso bertobat dengan filsafah sebagai berikut;

wajib kato syarak, harus kato adat

(wajib kata syara‟, harus kata adat)

mengerjokan suruh, menghentikan tegah

(mengerjakan perintah, menghentikan mencegah)

itulah pokok adat istiadat

d. Adat yang sebenarnya adat

Yang disebut adat sebenarnya adat adalah yang tidak lapuk keno

hujan, tidak lekang keno panas. Maksudnya adalah adat yang

mempedomani Al-Quran dan hadis Nabi, yang disebutkan dengan

syara‟.
46

Dari penjelasan diatas dapat disimpulakan bahwa adat yang

sebenarnya adat itu adalah yang besandi syara’, syara’ besandikan

kitabullah, karena syara’ mengato adat memakai.46

4. Istilah – Istilah dalam Adat Jambi

a. Pemangku adat

Pemangku adat adalah tokoh adat yaitu orang yang diemban dan

dipercayai untuk bertugas menyelesaikan permasalahan dalam adat.

Seperti, Tanganai, Tuo Tanganai, Nenek Mamak, dan lain sebagainya.

b. Pegawai syara‟

Pegawai syara‟ adalah yang berasal dari alim ulama, guru-guru

agama. Seperti, Kadhi, Imam, Khatib Dan Bilal.

c. Tanganai

Tanganai adalah saudara laki-laki dari suami/istri. Terbagi

menjadi 2:

1) Tanganai dalam atau perbuseso yaitu saudara laki-laki dari pihak

isteri.

2) Tanganai luar atau perbuali yaitu saudara laki-laki dari pihak

suami.

d. Tuo tanganai

Tuo tanganai adalah orang tua-tua dari sekumpulan tanganai-

tanganai dari mata keluarga atau kalbu dalam mata

kampung/dusun/desa/kekelurahan.

46
Zen, H. Ismail, Kitab Undang-undang Hukum Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah
Tahun, (Sarolangun Bangko, Tahun 1986), h.10.
47

e. Nenek mamak

Nenek mamak merupakan dari tuo-tuo tanganai dalam suatu

wilayah, dengan kata lain adalah gabungan tuo-tuo tanganai yang

terdapat dalam suatu kampung/dusun/desa/kelurahan.47

47
Himpunan Materi (Pembekalan Adat Istiadat Melayu Jambi Bagi Para Ketua Lembaga
Adat Kecamatan Dan Para Pengurus Lembaga Adat/Kota Dalam Provinsi Jambi, Angkat Ke-2-VI
Dan VII Tanggal 15 Sampai 19 Desember 2006, Lembaga Adat Melayu Jambi Provinsi Jambi
2006, h. 4
BAB IV

ULUR ANTAR DAN KETENTUAN LARANGAN HUBUNGAN SUAMI


ISTERI SEBELUM PELAKSANAANYA

A. Ulur Antar dan Larangan Hubungan Suami Istri Sebelum


Pelaksanaannya Menurut Hukum Adat

Di dalam adat Desa Tl. Kecimbung, dalam rangka melaksanakan


perkawinan itu ada rukun atau tingkatan atau tata cara yang harus dipenuhi
oleh setiap yang melaksanakannya. Dalam hal ini adat Desa Tl.
Kecimbung membagikan tingkatan-tingkatan tersebut menjadi 4 (empet)
tingkatan, sehingga nanti akan ditemukan ulur antar jawat batarimo.

Dalam masyarakat Jambi adapun tingkatan-tingkatan tersebut itu


biasanya dilakukan dengan jarak waktu satu minggu dari tingkatan yang
pertama sampai dengan tingkatan yang terakhir. Adapun tingkat-tingkat
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut45:

1. Melepik paletak

Yang dimaksud dengan melepik paletak itu adalah meletakkan


emas kawin atau melemar, yang mana dalam islam lebih dikenal
denga kata khitbah. Dalam adat Desa Tl. Kecimbung untuk meng
khitbah seorang wanita itu memiliki tata cara sendiri yaitu yang
pertama keluarga dari pihak orang tua laki-laki mengutus salah
seorang keluarga terdekat dan dipercayai seperti pangah atau pakwo
dan mamak (paman) dari laki-laki tersebut yang berada dekat dari
rumahnya untuk menanyakan kepada orangtua atau keluarga dari
wanita yang ingin dikhitbahkan bahwasanya nanti keluarga kami ingin
bertamu kerumahnya untuk menanyakan serta mengkhitbahkan atau
melepik peletak atas anak perempuannya. dengan itu keluarga yang

45
Urayan prosesi tahapan-tahapan merujuk pada, Buku Adat Perkawinan (Dalam Kajian
Adat), (Sarolangun: Tahun 1983) h.40..

48
49

menerima utusan dari pihak laki-laki mengatakn, baiklah nanti akan


kami kabarkan kembali.

Dengan mengetahui dari pihak perempuan bahwasanya ada


yang ingin bertamu kerumahnya maka keluarga dari yang perempuan
itu memberitahukan kepada sank saudara tuo tanganai yang terdekat
untuk menentukan hari dan waktu yang baik untuk menerima dan
menjamu tamu yang akan datang, sesudah menetapkan hari dan waktu
yang baik maka dari pihak perempuat mengirim utusan dari salh
seorang keluarga terdekatnya serta yang dipercayai untuk
memberitahukan kepada pihak laki-laki hari dan waktu yang sudah
ditetapkan.

Sesampainya hari dan waktu yang sudah ditetapkan maka


pergilah orangtua beserta keluarga terdekat dari pihak laki-laki ke
tempat pihak perempuan, sesampainya dirumah perempuan sesudah
beramah tamah barulah dari pihak laki-laki mengutarakan maksud dan
tuajuannya bertamu kerumah ini. Bertamunya dari pihak laki-laki
kerumah pihak perempuan tak lain untuk menanyakan apakah anak
perempuanya sudah ada yang melamar atau mengkhitbahkannya, dan
apabila tidak ada maka kami ingin melamarnya untuk anak atau
keponakannya.

Denagn mengetahui dari pihak laki-laki tersebut bertamu


untuk menanyakan perihal anak perempuannya maka dari pihak
perempuan harus menjawab pertanyaan tersebut apabila sudah ada
yang melamar maka katakanlah dan apabila belum maka dari
perembuan akan mengatakan anak kami ini belum ada yang melamar
tapi coba pikir-pikir dahulu apakah ini tidak salah.

Mendengar pertanyaan dari pihak perempuan maka dari


pihak laki-laki menjawab bahwasanya dia telah berfikir dengan
50

seksama bahwasanya kalu langkah yang dia lakukan itu tidak


salah.

Setelah memiliki kejelasan maka dari pihak perempuan


meminta tanda seperti mas kawin atau sebagainya. Dalam adat Desa
Tl. Kecimbung cara malepik paletak itu sebagai berikut;

a. Pernyataan maksud tanganai pihak laki-laki


Assalamualaikum wrb.

Kamiko nampaknyo datang kerumah iko ko, kok kapal


kami bernahudo, kok bajalan kami batuo, kok ayam kami
barinduk, kok seri kami barumpun.

Kamiko disuruh sianu datang kerumah iko ko nak


numpang batanyo, tutuo iko ko lah ado yang tukang suruk,
tanggo iko ko lah ado yang tukang naik, sesap jerami iko ko lah
ado yang tukang lambeh, kayu iko ko lah ado yang tukang
lelepang, kulit iko ko lah ado orang yang tukang kalikie??? Kalu
lah ado... yo.. wateh kolah kami.

b. Jawaban dari pihak tanganai perempuan

Kami ko nak batanyo dengan iko, dak iko sesat jalan


salah langkah, Cuma iko ko datang kerumah kami kopikie-pikie
abih-abih imat suntok-suntok iko klak maro takicuh di tempat
yang terang, tabudi di tempat yang nyato, harimau tagesang
lumpat hilang belang yang bakurai, gajah tagesang dorong ilang
gading yang batuah, orang dak rajin pangkal dahulu, orang
pangkal di tepian, orang dak rajin sesal dahulu, orang sesal
kemudian.

c. Jawaban pihak lak-laki


51

Kamiko dak basuluh batang pisang, basuluh mato hari,


lah bapikie kami abih-abih lah baimat kami suntok-suntok, bak
pantun babunyi : basisir makin bakaco, dak banyak lagi rambut
tababut, lah bapikir makin kami bakato, dak banyak lagi sesal
bakabut.

d. Jawaban pihak perempuan

Bagini, kok tutua kamiko lah abun, tanggo kamilah


balumut sesap jerami kami lah semak, kayu kami lah gedang,
kulit kami lah liba, dak do orang sesat jalan di rumah kami ko
dak, kalau kini ado orang yang nak kicik tuah nan gadang,
rendah bangso dengan tinggi kami dak pulak ngilak, tuah kau
kadatang mujur kan katibo, Cuma kami ado agak dikit, kok anak
ayik kami nak ngimak ke ulu ko kruh ayik nak kami kimak ke-
muaro, kok naki gunung arang kami nak itam tapak, kok nyuruk
gunung kapuk kami nak putih kuduk, kalau io nak malambeh
sesap jerami kamiko, kami nak mintak gantung kait46.

2. Mengampung tanganai
Yang dimaksud dengan mengampung tanganai adalah
mengumpul sanak saudara nenek mamak tuo tenganai baik yang dekat
maupun jauh atau sesepuh beserta masyarakat umum untuk berkumpul
dirumah mempelai wanita dalam rangka memberitahukan kepda nenk
mamak tuo tenganai atau sesepuh maupun masyrakat umum
bahwasanya anak perempuannya sudah ada yang melepik peletak atau
meminang. Kemudian menentukan hari dan waktu yang baik untuk
melaksanakan hari pernikahan. Dalam adat Desa Tl. Kecimbung
mengampung tenganai berbunyi sebagai berikut.
a. Kata-kata ahli rumah (baik dari perbu wali atau perbu siso)
“Assalamu’alaikum wr.wb

46
Mutholib Abdul, Buku Adat Perkawinan (dalam kajian adat), (sarolangun: tahun
1983),h,1.
52

Nenek mamak suku tanganai kecik dak kami sebut namonyo


gedang dak kami sebut gelanyo kok yang jauh sudah kami layang
dengan surat kok yang dekat sudah kami layang dengan kato, kini
nampaknyo yang jauh lah datang yang dekat lah tibo kok duduk
kito lah baimpit lutut tegak lah bagendang bau kok merokok lah
abih sebatang kok minum lah abih segeleh.
Kami adolah sebagai paoeleh jari penyambung lidah, bak
kudo pelancak bukit, sampan pelayang laut, titin penyeberang
sungai dari ahli rumahni, maksudnyo dio nak memperagokan
mimpinyo, katonyo dio kok memanca bak langau, nyangka petang
melepeh pagi yo nyo, namun yang menanggung resikonyo iolah
nenek mamak suku tanganai, jangan iko takejut, jangan iko
tapangah, dan jangan iko tapangau dak do musuh yang ka datang
balak yang kan tibo, dio nak memperagokan mimpinyo dengan kito
apolah mimpinyo ko, bak kato orangtu, walau selapik seketidur
sebantal segalang ulu, kalau mimpi tidak diperagokan kepada
orang manolah orang tau apolah mimpinyotu: puding babungo
meh, jaluang babungo intan. Sirih batuik pinang batanyo, sirih
batuik lah membawa gagang, pinang batanyo lah membawa
tandang, itu lah mimpinyo orang rumah ko takbir lah kito basamo-
samo.
b. Jawaban dari nenek mamak (baik dari perbu wali atau perbu siso)
“Assalamu’alaikum wr.wb
Sebelum kami menjawab perkataan ahli rumahni, bak kato
orang tu, kalau lumpang tulung sisip, kalau kerap tulung anggua
bak kato pepatah mengatokan: “ Anak bajubang anak langli,
makan di ujung pina, mati tatimbak tentera kubu, kamiko bukan
tukang bukan ahli, kalau salah tulung lah bena maklum lah kami
belum begitu tau.”
53

Nenek mamak suku tanganai kecik dak kami sebut namonyo


gedang dak kami sebut gelanyo, yang mano maksud ahli rumah ni
ngajak kito kerumahnyo gunonyo dio nak memparogokan
mimpinyo janganlah takejut jangan tapangau, kalau ado musuh
yang hendak menyerang kerumah anak keponakan kamiko, kalau
musuh datang dari depan kami tantik dengan dado, kalau musuh
datang dari belakang kami tantik dengan punggung, kalau musuh
datang dari siring atau samping kami tantik dengan bau, kalau
musuh datang dari dateh kami tantik dengan kepala, kalau musuh
datang dari bawah kami tantik dengan kaki, kalau balak yang
katibo hendak datang ke rumah anak ponakan kamini, kami buik
bubu putih bubu serabi, lemang ratih lemang jawo, untuk panulak
balak, tapi nampaknyo kini idak. Inyoko sebenanyoko nak
memperagokan mimpi dengan kito, bak kato orangtu walau selapik
sekatidur sebantal segalang ulu, kalau mimpi tidak diperagokan
manolah orang tau, yang mano mimpinyo tu: “puding babungo
meh. Jaluang babungo intan, sirih batuik pinang batanyo, kok sirih
batuik lah membawo gagang, pinang batanyolah membawo
tandan. Kalau bagi kami tidak mengilak tuah kan tibo, mujur kan
datang, tuah jadi penuah, cilako jadi pendapatan, tuah kris
kebayangan, hilang di laut timbul di darat.

Ruponyoni anak kepenakan kamiko ado orang nak


meminangnyo, kok lah tinggi lah ado tukang pangkeh, kok rimbun
lah ado tukang kepehnyo, selamoni dak ado nampaknyo kok tinggi
lah menyuluk langit, kok gedang lah memenuh alam, kok jatuh lah
melampau dan daro, kok anyut lah melampau tanjung, ini
nampaknyo idak, kok tinggi lah ado tukang pangkeh, kok rimbun
lah ado tukang kepehnyo, kok gugur lah ado tukang adangnyo, kok
hanyut lah ado tukang renangnyo. Cuma bagi kami, nak batanyo
pado ahli rumahni, bak kalo orang, kurang sisik tuneh menjadi,
54

kurang siang rumput tumbuh, kok senak ayik nak kami kimak
kehulu kok keruh ayik nak kami kimak ke muaro, kok naik gunung
arang kami nak itam tapak, kok nyuruk gunung kapuk kami nak
putih kuduk, kami dak nak dengar cakap bae, sebap manusio
bapaling kato, naraco bapaling lidah, sebab kelak kamiko maro
takicuh tempat yang terang tabudi tempat yang nyato, sebab orang
hidup takut di budi, orang mati takut di hantu. Di ulak dengan
sepetang di anjur dengan sepagi, diantar sepangkal jalan di anjur
sepangkal titin, bak kato orangtu titin biaso lapuk janji biaso
mungkin itulah kehendak kami. Setelah ini paliman dikeluarkan.

Kito nampaknyo, kitoko lah tatubo teluk yang baikan, lah


tadulang rantau yang baemeh, lah tapanjat kayu yang babuah, lah
taguguh bane yang batalo, nampaknyoko bukan pundok-pundok
sawah, pundok ladang penunggu padi, bukan ulok dengan grah
bae dak, memang dio nak jadi. Kok meh lah nampak kuningnyo.
Kok sen lah nampak rupiahnyo, bak mano kito nan banyak ni...apo
setuju... apo tidak, bak kato orang sebelum kitab balingkup,
sebelum jung tak urak di tali, sebelum jung taurak di tambang,
sebelum gadang taurak di sentung, kalau ado ranting menyucuk
mato, dahan menimpo kuduk, untuk mengait baju, kok kesat dalam
hati, kok mendungkul dalam dado kato kinilah. Jika dak ado
jawaban. Nampaknyo begini, kito yang banyakko lah bulek ayik di
pembuluh bulek kato di mupakat, lah saidah bumi dengan langit,
lah sealun itik bak kayik mandi, lah serentak kudo bak naki bukit,
lah data bak lantai kulit. Lah licin bak lantai bemban. Setelah ini
diserahkan kepada pemangku adat47.

47
Mutholib, Abdul, Buku Adat Perkawinan (dalam kajian adat), (sarolangun: tahun
1983),h,2.
55

3. Hari lek

Dalam masyarakat Jambi biasanya akad pernikahan itu


berbarangan dengan Hari Lek, yaitu pagi harinya akad nikah dan siang
harinya Hari Lek. Akan tetapi terkadang dalam masyarakat jambi ada
juga akad nikah itu dilakukan pada saat mengampung tenganai atau
mengumpul masyarakat dan saudara terdekat yang mana jarak waktu
antara kedua tahapan ini yaitu satu minggu sebelum Hari Lek.

Yang dimaksud dengan hari lek yaiutu adalah hari yang mana
sering disebut resepsi pernikahan. Biasanya akad dan resepsi di Desa
Tl. Kecimbung itu berseling satu minggu, akad pernikahan dilakukan
biasanya pada saat mengampung tanganai kadang ada juga akad dan
resepsi itu berseling satu malam. Misalnya malm ni melakukan akad
pernikahan kemudian keesokan harinya mengadakan resepsi atau
walimatul urs.

Hari lek atau resepsi pernikahan di Desa TL. Kecimbung itu


tidak bisa ditentukan oleh sebelah pihak saja contoh keluarga atau
yang memiliki hajat saja akan tetapi hari lek atau resepsi pernikahan
ini tak lain kesepakatan oleh lembaga adat suku tanganai dan
masyarakat atas hari dan waktu yang baik. Dan apa bila waktu hari lek
atau resepsi pernikahan ini ditetapkan oleh sebelah pihak atau yang
memiliki hajat saja maka para pemuka adat tuo tanganai atupun
masyarakat tidak ingin mengetahui dan lakukanlah olenya sendiri,
dalam arti tidak ada bantuan apapun dari orang lain.

Dalam adat Desa Tl. Kecimbung apabila ada yang memiliki


hajat atau sedekah dan sebagainya maka masyarakat Desa Tl.
Kecimbung akan bergotong royong saling membantu satu sama lain,
biasanya semua masyarakat akan meninggalkan semua pekerjaan
pribadinya dan pergi untuk menolong yang sedang memiliki hajat
tersebut. Oleh karena itu apabila ada seseorang yang memiliki hajat
56

yang baik akan tetapi tidak mengaju pada pemuka adat suku tanganai
dan masyarakat maka dia tidak akan mendapat bantuan sedikitpun dari
masyarakat yang ada48.

4. Ulur antar jawat tarimo

Ulur antar jawat tarimo dalam adat Desa Tl. Kecimbung yakni
merupakan sebuah tingkatan terakhir dalam melakukan perkawinan,
biasanya ulur antar jawat tarimo di Desa Tl. Kecimbung dilakukan
sehari sampai dua hari bahkan satu minggu sesudah hari lek atau
resepsi pernikahan akan tetapi ada juga yang mengadakan ulur antar
jawat tarimo itu malam sehabis resepsi pernikahan, biasanya yang
seperti itu terbentur dengan waktu yang tidak memadai. Adapun yang
dimaksut dengan ulur antar jawat terimo itu adalah melepas mempelai
laki-laki yang mana diantar oleh nenek mamak suku tanganai atau
sesepuh dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, yang mana dia
akan menjadi orang semendo dirumah pihak perempuan.

Ulur antar jawat tarimo di Desa Tl. Kecimbung itu sangat


diperlukan, sebagai mana dijelaskan oleh bapak nasrun ketua lembaga
adat beliau mengatakan, bahwasanya ulur antar itu adalah sebuah
tingkatan perkawinan yang harus dipenuhi, dan apabila tidak dipenuhi
maka dia akan mendapat hukuman dengan sendirinya tidak ada sanksi
dalam bentuk materil atau sebagainya, tatar beliau apabila ada
masyarakat yang melanggar dalam hal ini maka dia akan diacuhkan,
apabila di suatu hari keluarganya terdapat permasalahan maka para
lembaga adat nenek mamak suku tanganai serta sesepuh tidak ingin
mengetahui apa yang mereka alami maka tanggung lah sendiri karena
dia belum termasuk orang semendo. Begitu juga yang dikatakan oleh
bapak Abdul Mutholib (panasehat lembaga Adat) beliau mengatakan

48
Wawancara Dengan Bapak Nasrun, Ketua Lembaga Adat Desa Tl. Kecimbung,
kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Jambi, tanggal 03 September 2015. Pukul 18,27
wib.
57

Syara’ mengato Adat memekai. Larangan hubungan suami istri


sebelum ulur antar itu sangat perlu dilakukan dan tidak bertantangan
dengan karena dalam ulur antar itu terdapat banyak kebaikan untuk
kedua mempelai demi menegakkan rumah tangganya yang sakinah
mawaddah dan warahmah. Beliau juga memaparkan adat yang
digunakan ini tidak bertantangan dengan hukum islam , karena adat
yang diterapkan ini untuk menghalus penggunaan hukum Islam yang
ada agar lebih baik. Dan adapun bentuk adat ulur antar jawat tarimo di
Desa Tl. Kecimbung sebagai berikut.

Assalamu’alaikum wrb.

Nenek mamak suku tanganai kecik dak kami sebut namonyo


gedang dak kami sebut gelanyo, yang mano kato pembawa acara tadi,
sekarang masalah perkawinan ko masuk kepado ulu anta jawat
tarimo, kami dari sebelah suku nan jantanko datang kerumah yang
batuahni yang mano tujuan kami iolah maulu maanta anak keponakan
kami yang bernamo si anu bak kato pepatah “anak belando tegak
menari, singgah dibalik papan, kato dulu kato bacari, kato kemudian
bertepatan, baju yang bajait bapakai, jalan yang berambah baturut”
menurut adat yang telah lazim, dimano dalam ,masalah perkawinan
bahwa perkawinan ini terdapat empat caro, menurut adat lamo
pusako usang dipakai negeri kito ko, yang pertamo nganta meh
tunang sudah selesai, yang keduo ngampung tanganai memberi tahu
kepado orang kampung bahwa anak keponakan kito sudah dilamar
orang, yang ketigo peresmian pernikahan, yang ke empat ulu anta
jawat tarimo, jadi yang tigo sudah selesai galo, jadi kito masuk pado
tahap yang ke empat yaitu ulu anta jawat tarimo.

Nenek mamak suku tanganai kecik dak kami sebut namonyo


gedang dak kami sebut gelanyo, yang disarungkup atap dikungkung
58

bendul yang mano kami ni dari sebelah... (baik dari ilie atau dari
mudik tergantung tempat tinggal mempelai laki-laki) datang kerumah
bertuah ini mengulu menganta anak ponakan kamini bak kato orang
tu: “kalau orang hidup kami anta kerumah tanggo, kalo orang mati
kami anta ketanah layua, karno disinah nampaknyo jangkanyo
tatambat, disini pulak nampaknyo perajonyo bertemu, peruntungnyo
bertepatan, disini pulak nampaknyo kasihnyo bajumpo, sayangnyo
bajumpak, kasih di teluk rampan tetambat, kasih batang tanawan
tumbuh, kasih ayik napal menganjur”.

Nenek mamak suku tanganai, kami yang datang dari


sebelahko mengulu menganta anak ponakan kami ko, kepado ruamah
yang bertuah ini dak membawa meh yang kuning, rial yang putih,
batik yang beragi, jalo suto babungkul meh, adapun meh yang kuning
tinggal di tanjung, real yang putih tinggal di gedung cino, batik yang
beragai tinggal di tenun jawo, jalo suto babungkul meh tinggal di
tiang tengah, apolah yang kami bawakko kapalak yang dak basaok,
punggung yang dak batukup, urat dengan tulang, isang dengan gigi,
kepak meranting ikuk meranggeh, bapak miskin induk balangsa, bukit
gundul pematang kering lurahnyo surut, sungainyo dangkal.

Setelah ini jiko ado pihak sebelah mempelai perempuan


bertanyo. Misalnyo jika iya bertanya: apo yang tabawak dari iko???
Mako jawabannyo adalah: kini tabawa dakdo, sebab kok sisik lah
sampai ke tuneh ko siang lah sampai ke pangkal, dak do agi
nampaknyo, dahan yang manimpo kuduk, ranting yang menyucuk
mato, unak yang mengait baju.

Maka tanganai dari pihak perempuan menjawab: kalau bagi


kami, iko bawak nian meh yang kuning, batik yang beragi, rial yang
putih, jalo suto babungkul meh, di kami dakdo tempat meletak, sebap
atap kami biang-biang, lantai kami jungak-jungek, dinding kami
59

pesuk-pesuk, peti kami dak bakunci, bilik kami dak bagaliwang, tetapi
supayo nak senang dalam hati kamiko, nak sunyi dalam kiro-kiro,
kami ko nak numpang batanyo pado iko, kurang sisik tuneh menjadi,
abai-abai nyari ulah, sio-sio utang tumbuh, ulu iko ko ulu apa
namonyo.

Maka tanganai laki-laki menjawab: nenek mamak suku


tanganai kecik dak kami sebut namonyo, gedang dak kami sebut
gelanyo, yang mano kami datang dari ilie ko ( jika yang jantan dari
ilie) kalau dari mudik sebut dari mudik. Mengulu menganta anak
ponakan kami ni kepado rumah yang batanganai, kampung yang
batuo, alam yang barajo, negeri yang babatin, luak yang
berpenghulu, rantau yang berjenang, kami anta anak ponakan kami
ko, di bawah payung sekaki serta diiring oleh nenek mamak suku
tanganai jauh maupun yang dekat, se ito nan sekilan, tuo nan mudo,
serto kami iring dengan serai yang berumpun, ayam yang berinduk,
sirih yang berjunjung, seri berumpun rimbun daun, ayam berinduk
banyak anak, sirih berjunjung yang panjang lampai, kami ulu anak
ponakan kamiko bukan patah umbut bukan patah arang, bukan ayam
baambur tali bapijak, bukan ulu kumbang putus tali, ulu kami ko
banamo,mujud nan satu iman nan sabuah, wali mensanak islam putih
hati, padi barisi jawo beraneh, hati yang suci muko nan jernih, kami
dak pulak ado membawak cukup dengan gantang, dacing dengan
naraco, kami cuman numpang cupak yang ado dacing yang tersedio,
dimano bumi dipijak disitu langit di junjung, dimano tamilang tacacak
disitu tanaman tumbuh, dimano ranting patah disitu ayik kami sauk,
dimano biduk yang kami tumpang disitu galah kami entak, kok bulek
bulih iko giling, kaok pipih boleh iko layang, kok tajilo bulih lah jadi
pengebat, kok talintang buik jadi pakan, kok tacacak buik lah jadi
unja, kok bingung ajak lahnyo balaja, kalau alim suruh nyo ngaja,
kalo dibalang suruh nyago suku dengan kampung, ko cerdik ajak
60

kanti barunding, Cuma iluk jugo disebut buruk, disebut baik tibo,
andai kato tumbuh sawan gilo pening pitamnyo, tajam tanduk gedang
kelaso, geli pipi kencang kelawan, kalu telok di semangkuk liamau,
limau di iko tulah, tumbuh tajam tanduk dak telo di iko mepeh,
ghedang kelaso dak telo iko ngimpit, geli pipi dak telok iko ngusuk,
kencang klawan dak telok iko ngendur, kok kami jauh layang dengan
surat, kok dekat layang dengan kato, biar selapik seketidur sebantal
segalang ulu, kalo mimpi tidak di peragokan manolah kami tau, sebab
kamiko nak baruleh kami nak panjang, bakampuh kami nak liba, kami
nak barulih panjang putus, bakampuh liba cabik, apo sebab pesan
kami macam ni ka iko ko, sebab anak ponakan kamiko, kecik samudo
alif, gedang semerah abang kuku, setempap taro dari lapik, sekilan
taro dari tanah, umur blum sampai setahun jagung, darah belum
sampai setampuk pinang, akal belum sampai melitik tunjuk.

Jawaban tanganai mempelai perempuan: nampaknyo orang


sebelahko, bak kato orang tu, tukang bacakap iluk bunyi, tukang
bapakai iluk ruman, tukang sapu iluk laman, bak pantun babunyi:
“pandai nian iko batudung, tudung putih buatan cino, pandai nian iko
mendayung, tulang putus daging dak keno”. Cuma kamiko nak
batanyo pado iko ko, kalo iko harap dengan kami, kerbau iko nak
gemok, padang nak ujo, rumput nak ijo dakdo punyo, dikamiko kepak
meranting ikuk meranggeh, bapak miskin induk balangsa, bukit
gundul pematang kering, lurahnyo surut, sungainyo dangkal.

Jawaban tanganai laki-laki: kami ko dak basuluh batang


pisang, kami basuluh matohari, yo dak di iko duo tigo dak dikami,
nampaknyo kini lah sesuai tukup dengan batang, tukup dengan
pengebat.
61

Jawaban tanganai perempuan: kalu macamtu kato iko kami

terimo49.

B. Larangan Hubungan Suami Istri Sebelum Ulur Antar Menurut


Hukum Islam

Larangan hubungan suami istri sebelum ulur antar merupakan

perbuatan yang dilarang dalam adat Desa Tl. Kecimbung walaupun akad

nikah sudah dilakukan. Akan tetapi, kita ini terlahir dalam agama Islam.

Tentu, menganut hukum Islam yang berlaku. Dalam hukum islam yang

mana Perkawinan itu adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa

Rasulllah SAW. Yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan

duniawi dan ukhrowi.

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di

antaranya adalah :

َ‫الزَّوَاجُ شَ ْرعاً هُوَ عَ ْق ٌد وَضَعَهُ الّشَارِعُ لِيُفِ ْيدَ مِ ْلكَ اسْتِ ْمتَاعِ الرَجُلِ بِا ْلمَ ْرأَةِ وَحِل‬
50
.ِ‫ستِ ْمتَاعِ الْمَ ْرأةِ بِالرَجُل‬
ْ‫ا‬

Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk


membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.

Pengertian diatas tampaknya sangat jelas bahwasanya salah satu

maksud dari perkawinan tak lain yaitu kebolehan hukum dalam hubungan

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang semula dilarang

49
Mutholib, Abdul, Buku Adat Perkawinan (dalam kajian adat), (sarolangun: tahun
1983),h,4.
50
Wahbah al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, cet. Ke-3, (Beirut: dar al-fikr, 1989),
h.29.
62

menjadi diperbolehkan menghalalkan laki-laki dengan perempuan dan

perempuan dengan laki-laki untuk bersenang-senang .

Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi

yang lebih luas:

‫عَـقْـدٌ يُفِـيْـدُ حًـلً الِـعَـشْرَةٍ بَ ْينَ الـرِ جَـلِ وَالْـمَـرْأَةِ وَتَـعَـاوَنَـهُـمَا وَيُحَـدُ مَا لِـكَ ْيـهُمَا‬

ٍ‫ن وَاجِـبَات‬
ْ ِ‫مِـنْ حُـقُـىْقٍ وَمَا عَـلَـيْـهِ م‬

Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan


hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya
serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.

Tujuan pernikahan yang termaktub di dalam Al-Quran, pertama

untuk memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama. Perkawinan

untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang

sakinah, mawaddah dan warahmah. Kemudian, untuk memenuhi naluri

manusiawi antara lain keperluan biologisnya.

Merujuk kepada uraian Imam Al-Ghazali dalam ihya’-nya tentang

faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat

dikembangkan menjadi lima yaitu:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayang.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan.
63

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggng jawab menerima hak

serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta

kekayaan yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang

tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. 51

C. Analisis Perbandingan Antara Hukum Islam Dan Hukum Adat


Tentang Larangan Hubungan Suami Istri Sebelum Ulur Antar

Hukum Islam telah mengatur tentang kebolehan melakukan

hubungan suami istri setelah akad pernikahan sudah dilakuakan, Di dalam

nash baik al-quran dan hadis tidak ditemukan satupun dalil yang melarang

untuk melakukan hubungan suami istri setelah akad nikah telah terlaksana.

Sebagaimana telah dipaparkan pada bab terdahulu. Filsafah yang

digunakan adat Jambi baik adat batin maupun penghulu “adat besandi

syara’, syara’ besandi kitabullah” atau “adat sejinjing syara’, syara’

sejinjing kitabullah”. Filsafah ini tidaklah sesuai selama hubungan suami

istri dilarang walaupun perkawinannnya telah sah menurut hukum islam.

Hal ini merupakan kesenjangan yang terjadi antara adat dan hukum Islam,

yang mana adat melarang, sedangkan hukum Islam memperbolehkan.

Dalam hal ini disampaikan oleh pemuka agama (imam) Desa Teluk

Kecimbung saudara bapak rifai’ bahwa “beliau mengatakan tidak setuju

akan adanya adat yang tidak bersendi dengan syara, bagai mana bisa yang

sudah sah kita larang sedangkan yang belum kita acuhkan. Dia juga

51
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munaqahat, h. 24
64

menambahkan, “bagai mana bisa buang air kecil kita cuci sedangkan

buang air besar tidak”.52

Dalam Hukum Adat ada adat yang diadatkan, adat yang teradat,

adat istiadat dan adat yang sebenarnya adat, telah dipaparkan pada bab

sebelumnya. Larangan hubungan suami istri sebelum ulur antar ini, bagi

penyusun bukan merupakan adat yang sebenarnya adat, akan tetapi adat

yang semacam ini adalah adat yang diadatkan. Sebab adat yang

sebenarnya adat adalah adat yang sesuai dengan syara’ Apabila larangan

hubungan suami istri sebelum ulur antar merupakan adat yang sebenarnya

adat sudah barang tentu hubungan ini sudah diperbolehkan. Ulur antar

jawat tarimo semacam ini merupakan adat yang diadatkan. Yang mana

tujuan dari dilarangnya untuk melakukan hubungan suami istri sebelum

ulur antar semata-mata untuk menghalus pemakayan hukum islam, yang

mana didalamnya diajarkan bagaimana cara dan adab seorang anak

menantu menaiki rumah mertuanya, bagaimana sikap disaat hidup

bersama mertua, bagai mana cara menjalankan kehidupan disaat membina

rumah tangga yang baik agar memperoleh keluarga yang di impikan.

52
Wawancara Imam, Tokoh agama Desa Tl. Kecimbung Bapak Rifai’, Tanggal
02 September 2015, Jam 10.33 Wib
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan pembahasan tantang larangan hubungan

suami istri sebelum ulur antar jawat terimo walaupun akad nikah sudah

sah menurut Syariat Islam yang terlaksana di Desa Tl. kecimbung serta

menganalisanya, dengan dukungan data-data yang ada, maka penyusun

dapat mengambil kesimpulan terkait pokok permasalahan yang ada

sebagai berikut:

Di dalam hukum Islam setelah akad nikah maka halal baginya

untuk bersenang-senang (berhubungan suami istri) antar keduanya. Akan

tetapi dalam Islam juga ada ketentuan diperbolehkannya mengutamakan

pencegahan suatu perkara yang buruk daripada mengambil suatu perkara

yang baik, sebagaimana dalam qoidah fiqih dijelaskan:

‫ح‬
ْ ِ‫ن جَ ْلبِ الْمَصَال‬
ْ ِ‫دَ ْرءُ الْمَفَاسِ ْد أَ ْولَى م‬

“mencegah bahaya lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan”

Dalam adat Desa Tl. Kecimbung, bagi setiap perkawinan, sebelum

dilakukan ulur antar jawat terimo, dilarang bagi kedua mempelai untuk

melakukan hubungan suami istri walaupun akad nikah sudah terlaksana.

Alasan adat melarang hubungan semacam tersebut, karena ada adat yang

diadatkan, yang mana bertujuan tak lain untuk mengutamakan suatu

perkara kemaslahatan demi mencegah keburukan yang akan terjadi di

kemudian hari.

65
66

Dalam adat perkawinan Desa Tl. Kecimbung, ulur antar jawat

termo itu sangat diperlukan, karena dipandang memiliki banyak kebaikan

dan kemaslahatan, salah satunya yaitu adanya tunjuk aja tegu sapo atau

nasehat perkawinan dari lembaga adat tuo tenganai nenek mamak atau

sesepuh agar kedua mempelai dapat membina rumah tangga yang baik,

tentram dan sejahtera. Karena setiap orang yang mendirikan rumah tangga

tentu mereka menginginkan rumah tangganya rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan warohmah.

Berdasarkan pertimbangan diatas, dapat di simpulkan bahwasanya

adat larangan hubungan suami istri sebelum ulur antar jawat terimo di

Desa Tl. Kecimbung tidak bertentangan dengan hukum Islam dengan

pertimbangan nilai-nilai adat dalam rangka menuju keluarga harmonis di

lingkungan adat dimaksud, serta didasarkan pada qaidah fiqh di atas. Akan

tetapi, larangan secara adat ini, tidaklah berimplikasi pada larangan secara

syar’i, karena kedukannya yang tidak dapat mengecualikan (mentakhsis)

dalil-dalil syar’i yang membolehkan. Disamping itu larangan adat ini

hanyalah bersifat terbatas berdasarkan kearifan lokal daerah setempat.

B. Saran-saran

Akhirnya, sebagai penutup rangkaian penelitian ini, perlu kiranya

peneliti memberikan sara-saran yang mungkin berguna bagi semuanya.

Tentunya tidak lepas dari permasalahan yang ada, saran-saran penulis

tersebut antara lain:


67

1. Untuk masyarakat terutama para orangtua, hendaknya menanamkan

kepada anak-anak mereka sebagai generasi selanjutnya untuk

meningkatkan pendindikan, lebih-lebih halnya ilmu agama. Peran

seorang pemuda dalam masyarakat itu sangatlah penting dalm

pendidikan dan pergaulan di masyarakat sehingga lebih mempunyai

pengetahuan yang luas.

2. Untuk Pemangku Adat, hendaknya tidak hanya mendalami ilmu adat.

Ilmu agama juga hendaknya dipahami lebih mendalam sehingga adat

dan syariat bisa berjalan bersama dan tidak terjadi tumpang tindih

hukum. Dan jangan menganggap para ulama terdahulu lebih

mendalami ilmu agama ketimbang dengan para ulama masa sekarang.

3. Untuk Pegawai Syara’, tetap kumandangkan dakwah Islam kepada

mayarakat, serta mengajak masyarakat, Pemangku Adat serta Pejabat

Desa untuk duduk bersama atau bermusyawarah dan mengkaji

bersama lagi akan hukum adat dalam perkawinan sehingga filsafah

“adat bersandi syara’, dan syara’ besandi kitabullah” sungguh-

sungguh benar teramplikasikan pada masyarakat.

4. Untuk pemerintah Pejabat Desa khususnya Kepala Desa Tl.

Kecimbung membuat program, adanya penyuluhan tentang

perkawinan baik dalam hukum Islam, hukum Adat dan hukum dat

yang diadatkan, sehingga masyarakat mengetahui mana perkawinan

menurut hukum islam, hukum adat dan hukum adat yang diadatkan.
68

Agar nantinya berpedoman sesuai dengan filsafah “adat besandi

syara’, syara’ besandi kitabullah”.


Lampiran I

PEDOMAN WAWANCARA

1. Apa yang Bapak/Ibu ketahui dari ulur antar jawat terimo?

2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui, bahwa masyarakat Teluk Kecimbung, melarang

hubungan suami istri sebelum ulur antar jawat terimo walaupun akad nikah sudah

dilakukan?

3. Bagaimana perspektif atau pandangan hukum adat mengenai larangan hubungan suami

istri sebelum ulur antar?

4. Apa alasan hukum adat tikak membolehkan hubungan suami istri sebelum ulur antar?

5. Apa wujud hukuman yang diberikan hukum adat bagi yang tetap melakukan hubungan

suami istri sebelum ulur antar?

6. Apa filosofi hukum adat terhadap hukum Islam?

7. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahwa hukum Islam tidak melarang hubungan suami istri

setelah akad nikiah sebelum ulur antar?

8. Sudah adakah penyuluhan atau seminar tentang perkawinan dari Pengadilan Agama

(PA) atau dari Kantro Urusan Agama (KUA) kepada desa-desa ?


Lampiran II

Foto Acara arak-arakan pengantin baru di Desa Teluk


Foto Acara Ulur Antar Jawat Batarimo di Desa Teluk-
Kecimbung, 15 Agustus 2015 Kecimbung,15 Agustus 2015.

Foto Penyusun Saat Wawansara Dengan Bapak Drs. M


Foto Badan Pusat Statistic Desa Teluk Kecimbung di
Zuhdi Sebagai Kepala Desa Teluk Kecimbung di rumah
Balai Desa, Dalam Angka 2015
Beliau, Hari Rabu, Tanggal 2 September 2015, jam
08.21.

Foto Penyusun Saat Wawancara dengan bapak Abdul


Foto Penyusun Saat Wawancara dengan Bapak Nasrun
Mutholib Sebagai pemangku Adat Desa Teluk
Sebagai Ketua Lembaga Adat Desa Teluk Kecimbung
Kecimbung di rumah Beliau, Hari Rabu, Tanggal 2 Di Rumah Beliau, Hari Kamis, Tanggal 3 September
September 2015, Jam 10.30. 2015.

Anda mungkin juga menyukai