Anda di halaman 1dari 77

SANKSI TERHADAP PELAKU HOMOSEKSUAL (STUDI

KOMPERATIF QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014


DAN ENAKMEN KESALAHAN JENAYAH SYARIAH
NEGERI SEMBILAN TAHUN 1992)

SKRIPSI

Oleh:

MUHAMMAD NASRULLAH BIN ISHAK


NIM. 11523105704

PROGRAM S1
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU-PEKANBARU
1441 H/2019 M
SANKSI TERHADAP PELAKU HOMOSEKSUAL (STUDI
KOMPERATIF QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014
DAN ENAKMEN KESALAHAN JENAYAH SYARIAH
NEGERI SEMBILAN TAHUN 1992)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Dan Memenuhi Syarat-Syarat


Guna Untuk Memperoleh Gelaran Sarjana Hukum Islam

Oleh:

MUHAMMAD NASRULLAH BIN ISHAK


NIM. 11523105704

PROGRAM S1
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU-PEKANBARU
1441 H/2019 M
PERSEMBAHAN

Ya Allah SWT…

Ketika hidup fakir sebagai insan musafir, sungguh-banyak ujian kecintaan-Mu terhadap ku,

Walau dalam kesamaran gelita, ku hayun jua kaki ini demi mencari sinar kilauan cahaya yang
berselindung disebalik liku-liku onak duri keperitan dan airmata,

Walau dalam lelah, bersama sisa kudrat ini ku melangkah jua dengan berbekalkan tawakal ke
Illahi dan doa restu yang tidak putus dari kedua insan tersayangku.

Ya Rabbi…

Kadang ketika hampir rebah tersungkur, ku pujuk hati ini dengan “La Tahzan, Innallaha ma’na”,

Ya Rahman..

Atas rahmat dan kasih sayang-Mu, ku ingin menghadiahkan kebahagian dan kejayaan ini untuk
dipersembahkan kepada ayahku Ishak bin Abdullah dan Ibuku Latifah Nor binti Mat Dom..

Buat ayahku dan Ibundaku..

Kasih sayang dan besar pengorbananmu , takkan pernah bisa terbalas hingga hujung waktu,
Seluruh keluargaku dan orang-orang yang ku amat sayangi… Ya Allah SWT

Bahagiankanlah mereka semua..

Ya Illah…

Kami berlindung kepada-Mu dari setiap rasa takut yang mendera, hanya kepada-Mu kami
bersandar dan bertawakal,

Cukuplah engkau sebagai pelindung ku, karena engakaulah sebaik-baik pelindung dan
penolong.

AAMIN.. YA RABBAL ALAMIN…


ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “SANKSI TERHADAP PELAKU HOMOSEKSUAL


(STUDI KOMPERATIF QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 DAN
ENAKMEN KESALAHAN JENAYAH SYARIAH NEGERI SEMBILAN
TAHUN 1992)”
Islam memandang isu melakukan perubahan kepada diri atau badan
sebagai perkara yang bercanggah dengan agama Islam. Pembendahan untuk
menukar kelamin sama ada daripada lelaki kepada perempuan atau sebaliknya
jelas bercanggah dengan hukum syarak. Perbuatan ini adalah haram kerana ia
semata-mata mengikut hawa nafsu, terpedaya dengan godaan syaitan, tidak
mensyukuri nikmat kejaidian diri dan termasuk dalam kategori mengubah
kejadian Allah SWT.
Seperti mana di Aceh, salah satu provinsi di Negara Indonesia itu sendiri
mempunyai ketetapan hukum yang dinamakan Hukum Qanun Aceh Nomor 6
Tahun 2014. Dimana aturan hukum yang telah diatur oleh pemerintah bagi
melaksanakan hukuman kepada pelaku LGBT itu. Begitu juga ketetapan hukum
yang berlaku disalah satu provinsi di Malaysia yaitu di Negeri Sembilan.
Ketetapan hukum bagi pelaku homoseksual ini telah ditetapkan di dalam
Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992.
Permasalahan pertama didalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana
tinjauan hukum Islam yang berlaku bagi kesalahan homoseksual. Apakah
hukuman sanksi terhadap perlaku homoseksual menurut hukum Qanun Aceh
dengan Enakmen Jenayah Syariah Negeri Sembilan. Di dalam penulisan skripsi
ini menggunakan metode kepustakaan. Data-data yang terkumpul bersumber dari
data primier yaitu dari buku-buku bacaan yang berkatan undang-undang bagi
kedua-dua negara dan data sekunder yaitu dari peneliti peroleh dari kasus-kasus
yang mempunyai hubungan dengan masalah yang diteliti. Setelah data terkumpul,
kemudian dianalisis dengan menggunakan metode komperatif.
Hasil daripada penelitian ini penulis mendapati hukuman sanski terhadap
pelaku homoseksual di Aceh lebih menjurus ke Syariat Islam karena perlaksanaan
hukumannya dijalankan dikhalayak ramai. Ini secara langsung memberi kesedaran
kepada masyarakat agar tidak melakukan kesalahan jenayah syariah tersebut.
Berbanding Malaysia yang mana dibawah UUD (Perlembagaan Persekutuan)
terdapat Akta 355 yang menyekat perlaksanaan hukuman bagi kesalahan jenayah
syariah dilaksanakan sepenuhnya. Wujudnya Akta 355 ini mengecilkan bidang
kuasa mahkamah syariah di Malaysia terhadap jenayah Syariah.
Kesimpulannya Aceh lebih menyerlah dalam perlaksanaan hukuman
terhadapat homoseksual menurut hukum Islam berbanding Negeri Sembilan
karena lebih bergantung kepada hukuman sipil/sivil. Sekiranya mahu
memperkuatkan lagi hukuman bagi jenayah syariah di Malaysia maka Akta 355
ini harus di gubal atau dihapuskan bagi membolehkan mahkamah syariah
mempunyai bidangkuasa yang luas dalam jenayah syariah.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, di atas limpahan dan kurunia-Nya,

sehingga penulis dapat merampungkan skripsi dengan judul “Sanksi Terhadap

Pelaku Homoseksual, Studi Komperatif Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

dengan Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992” ini

bagi memenuhi salah satu syart menyelesaikan studi serta dalam rangka

memperoleh Sarjana Hukum pada Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum

Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ayanhanda

Ishak Bin Abdullah dan Ibunda tersayang Latifah Nor Binti Mat Dom yang telah

mencurahkan segenap cinta dan saying serta perhatian moral maupun materil.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, kesehatan, karunia dan

keberkahan di dunia dan akhirat atas budi baik yang diberikan kepada penulis.

Penghargaan dan terima kasih kepada juga penulis sampaikan kepada :

1. Yang disanjungi dan dihormati ayahanda tercintaIshak Bin Abdullah,

ibunda yang teramat kasihi Latifah Nor Binti Mat Dom dan adik-beradik

yang senantiasa memberi dukungan terhadap diriku ini, serta seluruh

keluarga besar yang dengan tulus dan ikhlas serta segala pengorbanan

cinta dan doa yang telah diberikan kepadaku dengan kesabaran, ketabahan,

kasih sayang dan tidak putus dalam mendampingiku dengan kata-kata

semangat dan motivasi serta mendoakan kebahagiaanku.

ii
2. Bapak Prof. Dr. KH. Akhmad Mujahidin, M.Ag selaku Rektor UIN Suska

Riau beserta jajarannya.

3. Bapak Dr. Drs. H. Hajar, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum. Bapak Dr. Drs. Heri Sunandar, MCL selaku Wakil Dekan I,

Bapak Dr. Wahidin, S.Ag, M.Ag selaku Wakil Dekan II, Bapak Dr. H.

Magfirah, MA selaku Wakil Dekan III yang telah bersedia

mempermudahkan skripsi ini.

4. Bapak Darmanwatya Indarajaya, MA selaku Ketua Jurusan Perbandingan

Mazhab dan Hukum yang telah mempermudahkan urusanku dalam

menyelesaikan pengurusan skripsi ini.

5. terima kasih dan setinggi-tinggi penghargaan kepada Bapak Drs.

Arifuddin, MA selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu

memberi bimbingan, pengarahan dan petunjuk sejak awal sampai selesai

karya ilmiah ini.

6. Bapak Henri Sayuti, M.Ag selaku Pembimbing Akedemik yang selalu

memberi dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi

7. Kepada semua dosen Fakultas Syariah yang telah membekali ilmu sejak

semester pertama hingga akhir, seluruh karyawan atau karyawati Fakultas

Syariah, Perpustakaa Uin Suska, dan Perpustakaan Wilayah serta

Perpustakaan lainnya yang memberikan fasilitas dan pelayanan dengan

sebaik mungkin.

8. Sahabat-sahabat seperjuangan yang telah mendampingi dan membantu

yaitu Sofwan, Arrazi, Syahmi, Syawal, Faqih ,Yuswira, Nazreen, Amir,

Husaini, Shahidan, Sirajuddin, Hadi, Fidauddin dan teman-teman yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

iii
9. Perlu lembar yang luas untuk nama yang tak tertuliskan, bukan maksud

hati untuk melupakan jasa kalian. Tiada kata yang yang pantas penulis

ucapkan selain terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga Allah SWT

membalasnyanya jasa dan budi kalian dengan balasan yang berlipat ganda.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penlisan skripsi ini masih

jauh dari kemampuan, mengingat keterbatasan pengetahuan dan

pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis sangatlah mengharapkan

tanggapan dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan

skripsi ini. Penulis juga berharap bahwa karya tulis ini dapat memberi

manfaat yang dapat digunakan oleh penulis maupun pembaca. Akhir kata

penulis mencgucapkan semoga skripsi ini bermanfaat dan usaha yang

penulis lakukan dalam penyusunan ini mendapatkan balasan yang terbaik

disisi Allah SWT dan bernilai ibadah.

Pekanbaru, 11 September 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Batasan Masalah ................................................................. 8
C. Rumusan Masalah............................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................... 9
E. Metode Penelitian ............................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 12

BAB II QONUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 DAN


ENAKMEN KESALAHAN JENAYAH SYARIAH
NEGERI SEMBILAN TAHUN 1992
1. Qonun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 ..................................... 14
A. Sejarah Nangroe Aceh ................................................ 14
B. Sejarah Awal Syariat Islam Di Aceh ........................... 18
C. Kedudukan Qanun Nomor 6 tahun 2014 terhadap
Perlaksanaan Syariat Islam ......................................... 20
2. Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah Negeri Sembilan
Tahun 1992.......................................................................... 23
A. Sejarah Awal Negeri Sembilan .................................... 23
B. Sejarah Penubuhan Enakmen Syariah Di Negeri
Sembilan ....................................................................... 26
C. Kedudukan Enakmen Jenayah Syariah di Negeri
Sembilan ........................................................................ 27

BAB III PANDANGAN ISLAM MENGENAI HOMOSEKSUAL


A. Pengertian Homoseksual .................................................... 39
B. Homoseksual Dan Perkembangannya ............................... 40

v
C. Dasar Hukum Larangan Dan Hukuman Pelaku Homoseksual 48
D. Hikmah Larangan Homoseksual ........................................ 57

BAB IV ANALISA TERHADAP SANKSI PELAKU


HOMOSEKSUAL ACEH DAN NEGERI SEMBILAN
A. Sanksi Terhadap Perlaku Homoseksual Menurut Qanun
Aceh Nomor 4 Tahun 2014 ................................................ 60
B. Sanksi Terhadap Pelaku Homoseksual Menurut Enakmen
Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992 .................. 63
C. Analisa Sanksi bagi Pelaku Homoseksual Di Aceh Dan
Negeri Sembilan ................................................................. 69

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 72
B. Saran ................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Homoseksual merupakan gabungan dari kata homo dan seksual, homo

sendiri berarti sama atau serupa,1 sedangkan seksual berarti persetubukan

antara laki-laki dan perempuan.2 Fenomena homoseksual atau lebih dikenali

LGBT (lebian, gay, bioseksual dan transgender) pada saat ini menjadi polimik

di tengah-tengah masyarakat manusia dimana-mana negara pada hari ini yang

menjadi pertimbangan dalam pembangunan sosial sesuatu negara itu.

Homoseksual adalah rasa ketertarikan romantis atau seksual atau perilaku

antara individu sejenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi

seksual. Homoseksual mengacu kepada “pola berkelanjutan atau disposisi

untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis” terutama

atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, “Homoseksualitas

juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial

berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam

komunitas lain yang berbagi itu.3

Sejarah homoseksual ini sudah ada pada masa Mesir Kuno, sementara

itu sikap masyarakat terhadap hubungan sesame jenis telah berubah dari waktu

1
Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka,1988),h.312
2
Ibid,h.393
3
Yahya Ma‟hsum dan Roellya Arrdhyaning Tyas, Bedanya Homoseksual dengan Waria,(
Jakarta, 2004), h. 3.

1
2

ke waktu dan berbeda secara geografis. Keberadaan kaun LGBT di barat

(Eropah) bukan hanya dilarang secara hukum dan dikriminalkan oleh negara.4

George Havard dalam bukunya Revolusi Seks mengungkapkan, “kita

tidak begitu khuatir terhadap bahayanya nuklir yang mengancam kehidupan

manusia di abad modern ini. Yang kita khawatirkan adalah serangan bom seks

yang setiap saatnya meledak, menghancurkan moral manusia.” Pandangan

semacam ini juga dilontarkan oleh sejarawan Arnold Toynbee yang

menyatakan, “Dominasi seks dewasa ini akan mengakibatkan runtuhnya

peradaban manusia.”5

Pada lingkungan kebudayaan yang relatif modern, keberadaan kaum

homoseksual masih ditolak oleh sebagian besar masyarakat sehingga

eksistensinya berkembang secara sembunyi-sembunyi. Pandangan negatif

mengenai homoseksual inilah yang menyebabkan homoseksual cenderung

tidak diterima masyarakat, rentan mengalami diskriminasi, cemuhan serta

sanksi-sanksi sosial lainnya. Sanksi sosial yang diberikan masyarakat pada

umumnya beragam, mulai dari cemuhan, penganiayaan, hingga hukuman mati

seperti yang pernah terjadi pada negera-negara barat.6

Penyimpangan seksual itu bukan hanya dilakukan oleh orang-orang

ateis yang menyangkal wujud Allah dan menentang Hari Kebangkitan,

melainkan juga dilakukan oleh orang beragama, yang meyakini adanya Tuhan

dan alam akhirat. Ini disebabkan peradaban manusia dewasa ini telah jauh
4
http://forum.liputan6.com/t/sejarah-lgbt-di-dunia/26502
5
Fathi Yakan, Al-Islam wa Jins, penerjemah, Syarif Halim, Islam dan Seks, (Jakarta: Al-
Hidayah,1989), h. 78
6
Ary, Gay, Gramedia,( Jakarta, 1987), h. 9.
3

mengarah ke meterialisme, meninggalkan agama dan nilai spiritual. Pada

masyarakat kota telah tersebar berbagai sarana pembangkit api syahwat serta

naluri-naluri hewaniah.7

Sesungguhnya Allah SWT menjadikan makhluk berpasang pasangan

dan fitrahnya akan tertarik kepada kelamin yang berlainan. Peraturan dan

fitrah ini tidak hanya ditentukan kepada manusia, malah kepada binatang dan

tumbuh-tumbuhan. Tidak pernah berlaku dalam sejarah, hewan mendatangi

kelamin sesama jenis begitu juga tumbuh-tumbuhan. Tetapi sejarah manusia

menceritakan perbuatan tidak bermoral ini dan melanggar fitrah seperti yang

berlaku di zaman Nabi Luth a.s sehingga Allah SWT telah menurunkan bala

yang dahsyat disebabkan oleh kerosakan dan maksiat yang dilakukan oleh

manusia pada masa tersebut. Hari ini, sejarah kembali membuktikan yang

mana perlakuan yang dahulunya dianggap sangat tidak normal (setelah Islam)

sekarang diterima oleh masyarakat. Malah, sesetengah negara membenarkan

perbuatan ini secara sah di sisi undang-undang dan pasangan sejenis diberi

kebenaran untuk perkahwinan.

Antara dalil menunjukkan perlakuan LGBT haram di sisi Islam adalah

seperti berikut:

Firman Allah dalam Surah Al-A‟raf. Ayat 80-81:

          

        

      

7
Murtadha Mutahahri, Manusia Dan Agama (Bandung: Mizan, 1984)hal. 58
4

Artinya “Dan Nabi Luth ketika ia berkata kepada kaumnya: Patutkah kamu

melakukan perbuatan keji, yang tidak pernah dilakukan oleh

seorang pun di dunia ini? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki

untuk memuaskan nafsu mu bukan kepada wanita, bahkan kamu ini

adalah kaum yang melampaui batas”8

Dan surah Surah Al-Syu‟ara‟. Ayat 165-166.

            

    


Artinya “mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu

tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu,

bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas".9

Hadis Riwayat Ibnu Abbas

ِ َ‫َي ٍْ َو َج ْدتُ ًُ ْوُِ ٌَ ْع ًَ ُم َع ًَ َم قَ ْو ِو ن ُ ْو ٍط فَا ْقتُهُوا انف‬


ِّ ‫اع َم َو َيفْع ُْو َل ِب‬

Artinya “Siapa saja yang engkau dapati mengerjakan perbuatan kaum Luth maka

bunuhlah pelaku dan teman pelakunya” (H.R. Ahmad dan sunan yang

empat selain Al-Nasa‟I dan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi) 10

Hadis dari Abu Hurairah (r.a) berkata:

‫ث ِي ٍَ انُِّ َسا ِء‬ ِ ‫نَ َع ٍَ انُ َّ ِب ًُّ صهى هللا عهٍّ وسهى ان ًُخَ َُّثٍِ ٍَْ ِي ٍَ انرِّ َج‬
ِ َ‫ َوان ًُتَ َر ِّجال‬،‫ال‬

8
Depag RI, Quran dan Terjemahan, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006)
9
Depag RI, Quran dan Terjemahan, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006)
10
Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz.II,h. 602
5

Artinya “Rasulullah s.a.w melaknat lelaki yang berperilaku seperti

perempuan dan perempuan yang berperilaku seperti lelaki.” (H.R.

Al-Bukhori)11

Ijma‟ ulama‟ sepakat bahawa perlakuan penzinaan, liwat dan

musahaqah yang dikaitkan dengan perlakuan lesbian, gay, biseksual adalah

termasuk dalam dosa besar dan pelakunya wajib bertaubat. Syaikh Sayyid

Sabiq Muhammad at-Tihamiy menyatakan bahwa homoseksual termasuk

kriminalitas yang paling besar, dan ia termasuk salah satu perbuatan keji yang

dapat merusak eksistensi manusia dan fitrah manusia, agama dan dunia,

bahkan bagi kehidupan itu sendiri. Karena, Allah SWT memberi hukuman

bagi pelaku kriminalitas ini dengan hukuman yang paling keras. Dia

menenggelamkan bumi dan segala isinya akibat perbuatan kaum Luth AS

serta menghujani mereka dengan batu dari tanah liat yang terbakar.Rasulullah

SAWmemerintahkan umat beliau untuk membunuh dan melaknat pelaku

homoseks.12

Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi yang menjabat sebagai Direktur Asosiasi

Riset Ilmiah Universitas Al-Azhar Mesir, mendefinisikan homoseksual dalam

bukunya yang berjudul “Indahnya Syariat Islam” menggambarkan buruk dan

hinanya homoseksual dengan menyatakan “Liwath” (homo) bertentangan

dengan tabiat, adab dunia dan agama. Ia bertentangan dengan adab dunia dan

agama karena seorang pria merdeka yang bersih tidak rela memposisikan diri

sebagai wanita dan tidak mau mengenakan pakaian wanita lebih-lebih menjadi
11
Ibid,h. 502
12
Syaikh Sayyid Sabbiq, Fiqih Sunnah Jilid 4(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2010), h. 156.
6

objek bagi nafsu syahwat pria lain. Alat kelamin masuk ke lubang dubur

tempat keluar kotoran dimana mendengar namanya saja jiwa tidak suka, maka

lebih-lebih menyentuhnya.13

Pernyataan diatas mengambarkan betapa buruknya praktik

homoseksual, sekaligus menjadi jawaban atas pernyataan bodoh orang-orang

yang menolak pengharaman homoseksual lantaran pelaku homoseksual saat

ini tidak diazab sebagaimana diazabnya kaum Nabi Luth terdahulu. Selain itu,

Para Imam Mazhab sepakat bahwa homoseksual hukumnya adalah haram, dan

termasuk jinayat yang besar. Apakah pelakunya dikenai had?. Menurut

pendapat Maliki, Syafi‟i dan Hambali bahwa: Pelakunya wajib dikenai had.

Hanafi berkata: Dita‟zir jika dilakukan pertama kali. Sedangkan jika berulang

kali melakukannya maka ia wajib dibunuh.14

Ulama‟ juga sependapat bahawa homoseksualiti suatu jenayah yang

boleh dikenakan hukuman demi menjaga kepentingan diri dan masyarakat.

Walau bagaimanapun, perbedaan pandangan timbul mengenai bentuk

hukuman samada hudud atau dibuang negeri.15

Islam memandang isu melakukan perubahan kepada diri atau badan

sebagai perkara yang bercanggah dengan agama Islam. Pembendahan untuk

menukar kelamin sama ada daripada lelaki kepada perempuan atau sebaliknya

13
Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, terj. dari buku Hikmatut Tasyri
Wa Falsafatuh (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013), h. 408-409.
14
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat
Mazhab(Bandung: Hasyimi, 2015),h. 432.
15
Nik Muhd Marzuki Hj. Mohd D,Nor. Laporan Pembentangan wakil JAWI
diperjumpaan berkenaan Lesbian, maknyah. Biseksual dan trangender (Transgender) dari sudut
pendangan Islam bersama SUHAKAM.(KualaLumpur. 2011)
7

jelas bercanggah dengan hukum syarak. Perbuatan ini adalah haram kerana ia

semata-mata mengikut hawa nafsu, terpedaya dengan godaan syaitan, tidak

mensyukuri nikmat kejaidian diri dan termasuk dalam kategori mengubah

kejadian Allah SWT.16

Ketetapan hukum di negara-negara Islam juga telah menentukan

ketentuan hukum ke atas pelaku homoseksual di negara tersebut. Seperti mana

di Aceh, salah satu provinsi di Negara Indonesia itu sendiri mempunyai

ketetapan hukum yang dinamakan Hukum Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

pada bagian kesepuluh tentang liwat pasal 63 dan bagian kesebelas tentang

musahaqah pasal 64. Dimana aturan hukum yang telah diatur oleh pemerintah

bagi melaksanakan hukuman kepada pelaku homoseksual itu.

Begitu juga ketetapan hukum yang berlaku di negara Malaysia.

Ketetapan hukum yang telah diatur oleh pemerinta di setiap provinsi untuk

mencegah perbuatan homoseksual ini. Penulis mengambil satu contoh di salah

satu provinsi di Malaysia yaitu di Negeri Sembilan. Ketetapan hukum bagi

pelaku homoseksual ini telah ditetapkan di dalam Enakmen Kesalahan

Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992 di dalam seksyen 63 tentang

liwat dan seksyen 64 tentang musahaqah.

Kedua-dua negara tersebut adalah meyoritasnya beragamakan agama

Islam kerana meyoritas penduduknya lebih banyak beragama Islam

berbanding dengan penganut agama lain. Akan tetapi penetapan hukum bagi

pelaku homoseksual di kedua negara itu ternyata berbeda-beda yaitu di Aceh

16
Norliah Sajuri. Kertas Kerja Pertukaran Status Jantina Dalam Mykad dan Impikasinya
Jurnal Penyelidikan Islam.( Jabatan Kemajuan Islam Malaysia. Bil 19. 2006)hal118
8

hukuman cambuk dikenakan manakala di Negeri Sembilan hanya sanksi

berupakan uang dan penjara sahaja.

Maka penulis tertarik untuk meneliti perbedaan yang berlaku di dalam

kedua-dua tetapan hukun tersebut dengan judul “ Sanksi Terhadap Pelaku

Homoseksual (Studi Komperatif Hukum Qanun Aceh Nomor 6 Tahun

2014 dengan Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah Negeri Sembilan

Tahun 1992)”.

B. Batasan Masalah

Berdasarkan pada masalah yang dinyatakan di latar belakang masalah,

maka penulis membatasi penelitian ini dengan apakah tinjauan hukum islam

terhadap pelaku homoseksual dan apakah hukuman sanksi terhadap pelaku

homoseksual menurut Hukum Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 dengan

Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992.

C. Rumusan Masalah

Dari pemahaman latarbelakang masalah di atas, penulis membuat

rumusan adalah seperti berikut:

a. Apakah hukuman sanksi terhadap pelaku homoseksual menurut Hukum

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

b. Apakah hukuman sanksi terhadap pelaku homoseksual menurut Enakmen

Kesalahan Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992

c. Apakah analisa sanksi bagi pelaku homoseksual di Aceh Dan Negeri

Sembilan
9

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai.

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dari apa yang terjadi adalah:

a. Untuk mengetahui tinjauan hukum islam terhadap pelaku

homoseksual.

b. Untuk mengetahui hukuman sanksi terhadap pelaku homoseksual

menurut Hukum Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 dengan Enakmen

Kesalahan Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992.

2. Kegunaan Penelitian

a. Untuk menambah dan memperdalam khazanah pengetahuan penulis

tentang tinjauan hukum islam terhadap pelaku homoseksual.

b. Untuk memahami dengan lebih terperinci tentang hukuman sanksi

terhadap pelaku homoseksual menurut Hukum Qanun Aceh Nomor 6

Tahun 2014 dengan Enakmen Kesalahan Jenayah Syariah Negeri

Sembilan Tahun 1992.

c. Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan studi strata

S1 pada Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, jurusan Perbandingan

Mazhab dan Hukum, di Universitas Sultan Syarif Kasim, Riau.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

adalah sebagai berikut :


10

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research),

yakni suatu kajian yang menggunakan literatur kepustakaan dengan cara

mempelajari buku-buku, kitab-kitab undang-undang, maupun informasi

lainnya yang ada relevansinya dengan ruang lingkup pembahasan dengan

meneliti bahan pustaka atau data primer dan sekunder saja. Selain itu

penelitian ini dilaksanakan terhadap kajian kasus-kasus yang berlaku di

Negara Indonesia dan Malaysia. Penulis memilih dua negara berjiran yang

sama-sama mempunyai aturan mengenai undang-undang Islam masing-

masing.

2. Sumber Data

Penelitian ini adalah data sekuder, yaitu data yang tersedia di

perpustakaan, sumber data sekunder tersebut terdiri dari tiga bahan

hukum:

a) Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang mengikat didalam

penelitian ini yaitu dengan rujukan utama adalah buku Qanun Aceh

Nomor 6 Tahun 2104 dan Enakmen Kesalahan Jenayah Syarian Negeri

Sembilan Tahun 1992

b) Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang menjelaskan

bahan hukum primer seperti Fiqh Sunnah Fiqh Islam wa Adillatuhu,

Sejarah Peradaban Aceh dan banyak lagi.

c) Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang menjelaskan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Al-Quran

terjemahan dan Kamus Ensiklopedi.


11

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan

standar untuk memperoleh data yang diperlukan selalu ada hubungan

antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin

dipecahkan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah library research, yaitu dengan mempelajari, menganalisa

literatur-literaturyang erat hubungnya dalam masalah yang dibahas.

Penelitian ini diklasifikasikan sesuai dengan pokok-pokok

permasalahan yang dibahas. Kemudian melakukan pengutipan baik secara

langsung mahupun tidak langsung pada bagian-bagian yang dapat

dijadikan sumber rujukan untuk nantinya disajikan secara sistematik.

4. Teknik Analisa Data

Selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan data yang lain yang

terkait dan diformulasikan menjadi suatu kesimpulan, kemudian tersusun

dalam kerangka yang jelas lalu diberi penganalisaan dengan menggunakan

suatu metode yang telah dikenal dengan metode komperatif yaitu dengan

memperbandingkan suatu dengan hal lainnya sehingga akan sampai pada

suatu kesimpulan.

5. Metode Penulisan

Setelah data yang terkumpul dalam penelitian dianalisa, maka

selanjutnya dibahas dengan menggunakan metode berikut:

a. Metode Induktif: yaitu suatu proses berfikir dengan mengemukakan

permasalahan yang bersifat khusus, kemudian dibahaskan kepada

permasalahan yang bersifat umum.


12

b. Metode Komperatif: yaitu melakukan perbandingan data antara kedua

negara, menganalisa data tersebut, dan selanjutnya dibandingkan

dengan syariat Islam.

c. Metode Deduktif: yaitu suatu proses berfikir dengan mengemukakan

permasalahan yang bersifat umum, kemudian dibahas kepada masalah

yang bersifat khusus.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudahkan mencari laporan penelitian ini perlu adanya

sistematika penulisan. Skripsi ini terbahagi dalamlima bab yang tersusun

secara sistematis, tiap-tiap bab memuatkan pembahasan yang berbeda-beda,

tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan, sacara sistematika

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Pada bab pertama yang menyerupakan bab pendahuluan diungkapkan

latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab kedua dipaparkan tinjauan umum tentang penelitian yang terdiri

dari profil undang-undang kedua provinsi dalam negara yaitu latar belakang,

visi, misi, dan isi undang-undang dan enakmen secara umum.

Pada bab ketiga disajikan uraian mengenai syariat Islam tentang

homoseksual yang meliputi pengertian menurut bahasa dan istilah, tinjauan

umum tentang hukum homoseksual, pendapat ulama dahulu dan sekarang

tentang homoseksual dan dasar hukum menurut al-Quran dan Hadis tentang

larangan homoseksual.
13

Selanjutnya pada bab keempat penulis meneliti permasalahan rumusan

masalah yaitu hukuman sanksi terhadap pelaku homoseksual menurut Hukum

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 dengan Enakmen Kesalahan Jenayah

Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992 serta pendekatan hukum Islam terhadap

kedua-dua aturan undang-undang tentang homoseksual.

Terakhir adalah bab kelima yang merupakan bab penutup terdiri dari

kesimpulan dan saran-saran.


BAB II
SEKILAS TENTANG QONUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014
DAN ENAKMEN KESALAHAN JENAYAH SYARIAH
NEGERI SEMBILAN TAHUN 1992

A. Nanggroe Aceh

1. Sejarah Nanggroe Aceh

Aceh merupakan provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatra dan

paling barat kepulauan nusantara. Aceh yang dikenal dengan nama lain

Serambi Mekkah adalah wilayah yang unik dari segi budaya dan kultur. Aceh

bukanlah wilayah yang homogen, tetapi heterogen. 17 Aceh merupakan daerah

kaya akan sumber daya alam dan mineral, terutama gas dan minyak bumi,

serta hasil hutan dan lautan. Daerah yang terletak di utara Pulau Sumatera ini

terdiri dari 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan luas wilayah

57.365,57 kilometer persegi.

Banyak potensi alam yang tersimpan dalam wilayah Aceh baik dari

keindahan panorama alamnya bagi pariwisata, kekayaan alam maupun

kebudayaannya. Aceh seharusnya menjadi salah satu wilayah makmur di

Indonesia, namun pada kenyataannya wilayah ini justru selalu diwarnai oleh

perjuangan dan pergolakan. Pada masa pendudukan Belanda dan Jepang,

rakyat Aceh memberikan kontribusi yang besar dalam memperjuangkan

kemerdekaan. Pada waktu Agresi Militer Belanda,18 seluruh wilayah

17
Masyarakat Aceh dari segi suku bangsanya memiliki keunikan tersendiri, karena
menggambarkan suatu integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya menjadi etnik baru yang
disebut Aceh. Etnik Aceh diduga berasal dari India dan Timur Tengah, memiliki kemiripan dengan
etnik Melayu yang hidup di Nusantara maupun di Semenanjung Melayu lainnya. Lihat A. Rani
Usman. Sejarah Peradaban Aceh. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 7.
18
Moh. Soleh Isre. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003), h. 103.

14
15

Indonesia telah kembali direbut oleh musuh, namun Aceh merupakan satu-

satunya wilayah yang tidak dikuasai sehingga Republik Indonesia masih tetap

berdiri.19

Kontribusi secara materi juga diberikan rakyat Aceh dalam bentuk dua

buah pesawat terbang yang dibutuhkan oleh Indonesia pada saat awal

kemerdekaan. Bahkan Presiden Soekarno pernah menjuluki Aceh sebagai

daerah modal untuk seluruh perjuangan rakyat Indonesia. Selain perjuangan

pada masa kemerdekaan, sejarah Aceh juga diwarnai dengan pergolakan dan

pemberontakan terhadap pemerintahan pusat Indonesia. Bagi pemerintah

Indonesia konflik Aceh menjadi isu yang sangat penting bagi keberlangsungan

Republik Indonesia (RI), karena Aceh merupakan indikator perpecahan

Indonesia sehingga apabila Aceh terpisah dari Republik Indonesia, maka dapat

disusul gerakan-gerakan separatis di daerah lain.20

Pada tahun 1953-1962 terjadi pemberontakan yang pertama di Aceh

yakni pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang

dipimpin oleh Teungku Daud Beure‟uh. 21 Pemberontakan ini terjadi akibat

kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia karena Aceh tidak

diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti yang telah dijanjikan

Presiden Soekarno, tetapi justru kemudian dimasukkan ke dalam Provinsi

19
Syamsul Hadi. Disintegrasi Pasca Orde Baru.( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007), h. 45.
20
Ibid.
21
Teungku Daud Beureuh adalah salah satu pemimpin Aceh pada masa kemerdekaan
Indonesia. Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi Gubernur Militer Aceh, yang kekuasaannya
meliputi wilayah militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Lihat, Neta S. Pane. Gerakan Aceh
Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. (Jakarta: Grasindo, 2001),h. 59.
16

Sumatra Utara. Selain itu kekecewaan rakyat Aceh semakin diperburuk

dengan disingkirkannya Teungku Daud Beure‟uh oleh pemerintah pusat.

Setelah pemberontakan DI/TII pada tahun 1953 kekecewaan rakyat

Aceh terhadap pemerintah pusat kembali terefleksikan dalam pemberontakan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamasikan pada tanggal 4

Desember 1976 oleh Hasan Tiro.22 Namun, berbeda dengan Teungku Daud

Beure‟uh, Hasan Tiro tidak menempatkan Islam sebagai misi utama,

melainkan nasionalisme dan patriotisme Aceh.

Pada masa Soeharto, GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar,

sehingga harus dibasmi, karena itu tidak ada referensi pada masa pemerintah

Soeharto untuk melakukan upaya integrasi politik bagi kelompok ini yang

kemudian menempuh pendekatan militer.23 Pendekatan militer ini belakangan

hari kemudian terkenal dengan istilah Daerah Operasi Militer (DOM) dengan

nama operasi militernya adalah Operasi Jaring Merah (OJM). Pada masa Orde

Baru, tidak ada toleransi bagi kaum pemberontak, karena itu pendekatan

integrasi tidak memungkinkan pada waktu itu.24

Keputusan pemerintah menggunakan kekuatan bersenjata mengatasi

resistensi seperti ini merupakan suatu kejadian yang mengandung

kemungkinan resiko tinggi bagi ketentraman dan keselamatan rakyat.

22
Hasan Tiro adalah seorang cucu dari pahlawan perang yang sangat terkenal di Aceh,
Teungku Cik Di Tiro. Lihat, Nazaruddin Syamsuddin. Integrasi Politik di Indonesia.( Jakarta:
Gramedia, 1989), h. 70.
23
Al-Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam.(
Jakarta: Madani Press, 1999), h. 77.
24
Moch. Nurhasim. Konflik dan Intergrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 9.
17

Keputusan untuk mengatasi pemberontakan DI/TII tahun 1953 serta

pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, tahun 1989 sampai 1999, telah

membawa ribuan korban, baik aparat pemerintah Indonesia maupun rakyat

Aceh. Pola keputusan pemerintah semacam ini terutama kebijakan pemerintah

yang dibuat pada tahun 1989 sampai 1998, telah menyalurkan energi

sekelompok komunitas Aceh kearah pemberontakan.25

Dalam memahami konflik Aceh perlu diketahui bahwa konflik Aceh

adalah konflik yang multidemensional. Tidaklah mungkin untuk menyebutkan

satu faktor yang menjadi akar konflik. Berbagai hal saling terkait dalam

kompleksitas konflik tersebut. Faktor sosial, ekonomi, dan politik secara

keseluruhan memberikan kontribusi terhadap konflik yang akhirnya

melahirkan sebuah gerakan separatisme untuk memperjuangkan hak-hak

masyarakat Aceh. Hal itu kemudian mendapat respon dari pemerintah pusat

Indonesia bahwa apa yang terjadi di Aceh bias mengganggu ketentraman

NKRI yang dapat memicu gerakan sepataris di daerah lain sehingga

pemerintah mengambil keputusan untuk memberlakukan Aceh sebagai Daerah

Operasi Militer pada tahun 1989-1998. Berdasarkan latar belakang inilah

penulis tertarik untuk mengkaji tentang Daerah Operasi Militer di Aceh pada

tahun 1989-1998. Penulis memilih topik tersebut dikarenakan pada tahun

1989-1988 merupakan puncak operasi militer karena semakin parahnya

keamanan di Aceh akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka yang berujung pada

banyaknya korban dari masyarakat sipil, ABRI maupun pihak GAM.

25
Sebastian Koto. Pengambilan Keputusan dalam Konflik Aceh. (Surabaya: Papyrus,
2004), h. 1.
18

2. Sejarah Awal Syariat Islam di Aceh

Syariat Islam di aceh telah sejak lama ada dan hadir di kehidupan

masyarakat Aceh, pada abad ke-17 Naggroe Aceh menjadikan syariat islam

sebagai landasan bagi undang-undang yang diterapkan di dalam kehidupan

bermasyarakatnya. Undang-undang tersebut disusun oleh ulama atas perintah

dan kerjasama dengan umara, yaitu penguasa dan sultan.26 Termasuk proses

historis qanun Aceh sejak awal masuknya Islam ke Samudera Pasai (1297-

1307M) sampai dengan lahirnya Hukum Perundang-undangan RI yang

membawa dampak pada perwujudan qanun tentang jinayat di Aceh pada masa

kontemporer. Merekas memaparkan dampak sejarah keislaman yang berupa

penegakan hukum Islam di Aceh menjelma pada realitas pengqanunan hukum

jinayat pada saat sekarang ini, yang berupa pencambukan terhadap tindak

pidana Islam.27

Provinsi Nanggroe Aceh berdasarkan Undang-undang Nomor 44 tahun

1999 Tentang Penyelenggaraan provinsi daerah Aceh, kemudian mendapatkan

kewenangan menjalankan syariat Islam secara penuh berdasarkan undang-

undang tersebut. Selain itu penerapan syariat Islam di Aceh juga berdasarkan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian diperbaharui dengan lahirnya

Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang

secara lebih tegas menyatakan kewenangan Aceh dalam memberlakukan

26
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalitas Syari‟at Islam di Aceh, (Jakarta: Lagos, 2003,Cet
Pertama),h. 48
27
Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangeban, Politik Syariat Islam: dari Indonesia
hingga Nigeria,(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004),h. 41-44
19

Syariat Islam, kewenangan khusus ini merupakan bagian yang tidak terpisah

dari otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat, yang kemudiannya

diimplementasi melalui perancangan dan pembentukan peraturan daerah

provinsi atau lebih dikenali dengan Qanun atau Qanun Syariah.28

Formalisasi syariat Islam masa kini lebih menggambarkan keinginan

dari atas (sharia from above) ketimbangan tuntutan dari bawah (sharia from

below) sebagaimana masa DI dulunya. Perbedaan antara keduanya jelas,

tuntutan syariat dari bawah lebih menunjukkan kesedaran akan suatu

keharusan dan kewajiban yang diyakini dapat menjaga serta menegakkan

identitas Muslim yang khas di tengan terpaan badai globalisasi dan godaan

informasi yang kian sulit dibendung. Sedanglan formalisasi syariat dari atas

(penguasa) acapkali menjadi syariat hanya sebagai simbol legitimasi untuk

memperoleh kepentingan politik yang belum tentu sejalan dan selaras dengan

kepentingan agama.29

Syariat Islam di Aceh adalan buah dari “kompromi politik” dan bukan

sesuatu yang telah mapan (established) apa lagi by design. Ditambah lagi

penerapan dan legislasi hukum syariat yang dibangun mesti dalam ruang

lingkup “sistem hukum dan peradilan nasional”. Kendati latar belakang

historis (tumtutan Darul Islam pada 1950-an) dan kondidi sosio-kultural

28
Natangsa, Surbakti, “Penegakan Hukum Pidana Islam (Jinayat) di Provinsi Naggroe
Aceh Darussalam”, Jurnal Media Hukum, XVII, 2 (Desember, 2010),h. 190
29
Arskal salim, “Sharia from Below in Aceh (1930s-1960s): Islamic Identity and the
Right to Self-Determination with Comparative Reference to the Moro Islamic Libertation Front
(MILF)”, Indonesia and the Malay World, Vol 32, Issue 92, 2004,80-99; Lihat juga
Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Islamic Law in Southeast Asia – a Study of Its Application in
Kelantan and Aceh, (Chiang Mai: Silkworm Books, 2009), h. 45-47.
20

masyarakat Aceh yang khas Islam tidak bisa dikesampingkan, namun pilihan

formalisasi dan wewenang legislasi syariat saat ini secara factual dapat dibaca

dalam bingkai upaya “ meredakan ketidakharmonisan hubungan Pusat-Daerah

dalam 3 dekade terakhir.30

3. Kedudukan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 terhadap Perlaksanaan

Syariat Islam

Pembentukan dan pemberlakuan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Hukum Jinayat, merupakan penyempurnaan terhadap; (1) Qanun Nomor 12

tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, (2) Qanun Nomor 13

tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan (3) Qanun Nomor 14 tahun 2003

tentang Khalwat (Mesum).

Penerapan Qanun Nomor 6 tentang Hukum Jenayat sempat tertunda,

namun akhirnya disahkan oleh pemerintah Aceh pada tahun 2015.

Pemberlakuan qanun ini diharapkan perlaksanaan syariat Islam di Aceh dapat

berjalan secara kaffah.

Kedudukan qanun ini pada dasarnya untuk memberikan ketetapan hukum

jinayat terhadap pelaku jarimah di provinsi Aceh, adapun yang dimaksudkan

dengan jinayah dan jarimah berdasarkan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang

hukum jinayat. Bab I ketentuan umum, Pasal 1, menetapkan nomor poin:

15. Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang Jarimah dan

„Uqubat.

30
Husni Mubarrak A. Latief, Sengkarut Syariat Atas-Bawah; Gelombang Baru, (Banda
Aceh: Komunitas Tikar Pandan, 2009), h. 113.
21

16. Jarimah adalah perbuatan yang dilarah oleh syariat Islam yang dalam

Qanun ini diancam dengan „Uqubat Hudud dan/atau Ta‟zir

17. „Uqubat adalah hukum yang data dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku

jarimah.

Hukum Jinayat berlaku untuk semua orang yang melakukan jarimah, baik

Islam dan non-Islam di Aceh, sebagaimana ketetapan qanun Nomor 6 tahun 2014

tentang Hukum Jinayat. Bab II asas dan ruang lingkuP , pasal 5 menetapkan,

qanun ini berlaku untuk:

a. Setiap Orang beragama Islam yang melakukan Jarimah di Aceh;

b. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakuklan Jarimah di Aceh

bersama-sama dengan orang Islam dan memilih serta menundukkan diri secara

sukarela pada Hukum Jinayat;

c. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan Jarimah di

Aceh yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang HUkum Oidana (KUHP)

atau ketentuan pidana di luar KUHP, tetapi diatur di dalam Qanun ini; dan

d. Badan Usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.

Adapun ruang lingkup pengaturannya, sebagaimana ketetapan Bab II

bagian kedua ruang lingkup, Pasal 2 menetapkan:

(1) Qanun ini mengatur tentang:

a. Pelaku Jarimah;

b. Jarimah; dan

c. „Uqubat

(2) Jarimah sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi:


22

a. Khamar;

b. Maisir;

c. Khalwat;

d. Ikhtilath;

e. Zina

f. Pelecehan seksual;

g. Pemerkosaan;

h. Qazaf;

i. Liwath; dan

j. Musahaqah.

Pelaku jarimah akan dijatuhkan konsekuensi hukum yang sangat tegas,

tujuan untuk memberikan efek jera, penyadaran, dan pembelajaran terhadap

pelaku, misalnya pelaku khamar akan dicambuk 40 kali sebagaimana ketetapan

qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Bab IV, Pasal 15

menetapkan;

(1) Setiap Orang yang sengaja meminum Khamar diancam dengan „Uqubat

Hudud cambuk 40 (empat puluh) kali.

(2) Setiap Orang yang mengulangi perbuatan seperti mana yang dimaksudkan

pada ayat (1) diancam dengan „Uqubat Hudud cambuk 40 (empat puluh)

kali ditambah „Uqubat Ta‟zir cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali

atau denda paling banya 400 (empat ratus) gram emas murni atau penjara

paling lama 40 (empat puluh) bulan.


23

Konsekuensi „uqubat hudud cambuk akan dijatuhi terhadap pelaku jarimah

wilayah hukum provinsi Aceh yang memberlakukan syariat Islam. Konsekuensi

tersebut sangat tergantung jenis pelanggaran (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku

dan akan dijatuhi „uqubat hudud cambuk berdasarkan ketetapan qanun Nomor 6

Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.31

B. Sejarah Negeri Sembilan

1. Sejarah Awal Negeri Sembilan

Dalam budaya masyarakat Melayu, seorang Raja diinterpretasikan sebagai

simbol perpaduan dan pelindung kepada rakyat jelata di bawah naungannya. Pada

sekitar abad ke-15 hingga ke-16, Negeri Sembilan merupakan sebuah negeri di

bawah naungan Kerajaan Melayu Melaka sehinggalah berakhirnya pemerintahan

Sultan Mahmud Shah yang tewas kepada Portugis pada 24 Ogos 1511.

Kemunculan Kerajaan Melayu Johor pada abad ke-17, menjadikan Negeri

Sembilan sebagai wilayah di bawahnya seperti dalam perbilangan adatnya yang

menjelaskan,

Beraja di Johor,

Bertali ke Siak,

Bertuan ke Minangkabau

Negeri Sembilan pada masa itu walaupun di bawah pemerintahan Sultan

Johor, tetapi Luak-luak adalah di bawah pemerintahan Penghulu masing-masing

dengan dibantu oleh Lembaga dan Buapak. Sistem pemerintahan negeri dapat

31
Sulaiman, Studi Syariat Islam Di Aceh(Madani Publisher, Aceh: 2018) cet.1.h. 73
24

dikatakan sebagai satu pemerintahan yang bercorak demokrasi yang berbentuk

„tier system‟.

Manakala sistem pentadbiran pula bermula daripada kalangan atasan

hinggalah ke bawah iaitu Raja, Penghulu, Lembaga dan Buapak. Buapak memiliki

anak buah berperanan menyampaikan segala perintah yang disebutkan dalam

perbilangan adatnya;

„Berjenjang naik,

bertangga turun‟

Pada abad ke-18, Sultan Johor, Sultan Abdul Jalil III tidak dapat

mentadbir wilayah di bawahnya dengan sempurna disebabkan gangguan-

gangguan daripada Belanda dan Melaka di samping serangan orang Aceh dan

Bugis. Oleh kerana pemerintahan pusat di Johor tidak tenteram dan keadaan di

Negeri Sembilan menjadi huru-hara, maka satu angkatan anak Raja Bugis yang

diketuai oleh Daeng Kemboja telah memaksa masyarakat di Negeri Sembilan

mengakui dirinya sebagai Raja. Masyarakat Negeri Sembilan telah bermuafakat

untuk meminta bantuan menuju seorang anak raja bagi memerangi Daeng

Kemboja.

Sultan Johor tidak dapat menolong mereka, jadi antara tahun 1770,

Pemegang Adat dan Undang Yang Empat meminta izin untuk menjemput seorang

Raja dari Pagar Ruyong. Akhirnya, Sultan Johor bersetuju dan rombongan mereka

bertolak ke Pagar Ruyong yang diketuai oleh dua orang panglima iaitu Panglima

Bandan dan Panglima Bandut.


25

Sejarah Kedatangan Raja Pagar Ruyong

Yang di-Pertuan Pagar Ruyong telah berkenan menunaikan hajat

masyarakat Negeri Sembilan untuk mendapatkan seorang Raja berketurunan

Pagar Ruyong. Baginda telah menghantar puteranya, Raja Mahmud yang

kemudiannya bergelar Raja Melewar. Sebelum ketibaan Raja Melewar ke Negeri

Sembilan, Yang di-Pertuan Pagar Ruyong telah mengutuskan Raja Khatib untuk

menyediakan persiapan menyambut kedatangan raja. Raja Melewar yang diiringi

dengan panglima handalan telah berangkat menghadap Sultan Johor,

kemudiannya ke Negeri Sembilan melalui Naning. Setelah berjaya mengalahkan

angkatan Daeng Kemboja di Naning, baginda memasuki Rembau melalui Naning

lalu ditabalkan oleh Penghulu Luak (waktu itu belum bergelar Undang) di

Kampung Penajis, Rembau seperti dalam perbidalan,

Tanah Kerjan (Kerajaan) di Penajis

Tanah Mengandung di Seri Menanti,

Balai Melintang di Sungai Ujong,

Balai Bertingkat di Johol,

Yang mengatur Bilangan Adat di Jelebu,

Yang mengukurkan di Rembau.

Setelah Raja Melewar mengetahui Raja Khatib mengisytiharkan dirinya

sebagai Raja di Seri Menanti, baginda berangkat ke sana melalui Bukit Putus

untuk menyebarkan pembohongan tersebut. Dalam peperangan saudara ini, Raja

Khatib telah melarikan diri dan Dato‟ Penghulu Naam dijatuhi hukuman pancung.

Akhirnya, Raja Melewar ditabalkan menjadi Yamtuan (Raja) Pertama dalam


26

lipatan sejarah pemerintahan Negeri Sembilan. Oleh yang demikian, Raja

Melewar sebagai Yamtuan Pertama telah menjadi perintis kepada susur-galur

kerabat Diraja dari Pagar Ruyong.

Negeri Sembilan, di samping mempunyai Undang yang pada zaman

sebelum penjajahan Inggeris berkuasa penuh ke atas luak masing-masing, juga

mempunyai seorang Yang di-Pertuan Besar atau dahulunya hanya dikenali

Yamtuan sahaja. Bagaimanapun, Yang di-Pertuan Besar hanya berkuasa di Luak

Seri Menanti sahaja sehingga berlaku pergolakan yang menyebabkan campur

tangan pihak penjajahan Inggeris. Penglibatan pihak Inggeris tersebut

membolehkan perlantikan seorang Residen British sebagai penasihat dalam

pentadbiran dan membuat peraturan negeri.32

2. Sejarah Penubuhan Enakmen Syariah di Negeri Sembilan

Jabatan Hal Ehwal Agama Islam Negeri Sembilan telah ditubuhkan pada 1

Januari 1950 di bawah satu peraturan yang dinamakan peraturan Majlis Ugama

1950 bertujuan mengendalikan hal ehwal masyarakat Islam di Negeri Sembilan.

Bagi memenuhi objektif yang ditetapkan, kerajaan telah meminda

peraturan Majlis Ugama 1950 kepada Undang-Undang Majlis Agama Islam 1957.

Kemudian dijadikan lagi kepada Undang-Undang Pentadbiran Hukum Syarak

1960 yang kemudiannya dimansuhkan dengan berkuatkuasanya Enakmen

Pentadbiran Hukum Syarak (Negeri Sembilan) 1991. Seterusnya mulai 1hb Mac

2004, mula dikuatkuasakan Enakmen Pentadbiran Agama Islam (Negeri

Sembilan) 2003 dan enakmen sebelumnya adalah terbatal.

32
http://www.ns.gov.my/my/kerajaan/info-negeri/sejarah-penubuhan
27

Jabatan ini menguatkuasakan enakmen-enakmen lain termasuklah

Undang-Undang Keluarga Islam (Negeri Sembilan) 2003,Enakmen Jenayah

Syariah (Negeri Sembilan) 1992, Enakmen Prosedur Jenayah Syariah (Negeri

Sembilan) 2003, Enakmen Keterangan Mahkamah Syariah (Negeri Sembilan)

2003, Enakmen Tatacara Jenayah Syariah (Negeri Sembilan) 2003 dan Enakmen

Tatacara Mal Mahkamah Syariah (Negeri Sembilan) 2003.

Berasaskan cadangan yang dikemukakan oleh Y.B Tuan Pegawai

Kewangan Negeri Encik Harun bin Baba semasa beliau memangku jawatan Yang

DiPertua Jabatan Hal Ehwal Agama Islam ini dalam tahun 1976 yang lalu, sebuah

bangunan tiga tingkat yang tersergam indah terletak di atas sebidang tanah seluas

1 ½ ekar, di atas bukit berhampiran dengan bangunan-bangunan Masjid Negeri di

sebelah selatan, Dewan Undangan di sebelah barat dan Felda di sebelah Utara,

menghala ke Jalan Lister dan Taman Tasik Seremban, maka terdirilah bangunan

baru Jabatan Hal Ehwal Agama Islam, Negeri Sembilan dan dirasmikan

pembukaan oleh DYMM Tuanku Ja'afar Al-Haj Ibni Almarhum Tuanku Abdul

Rahman Putra Al-Haj, Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan, pada tanggal 10

Syawal 1400 Hijrah bersamaan 21 Ogos 1980.33

3. Kedudukan Enakmen Jenayah Syariah di Negeri Sembilan Malaysia

Adanya Enakmen Jenayah Syariah di Negeri Sembilan tidak terlepas dari

perkembangan agama Islam di salah satu negara bagian Malaysia itu. Agama

Islam masuk ke Negeri Sembilan pada abad XV melalui Malaka. Pada masa

Kerajaan Malaka, dibentuk jawatan kadi yang membidangi urusan agama Islam.

33
http://jheains.ns.gov.my/my/organization/pengenalan
28

Perkembangan ini berlanjut dengan didirikannya mahkamah syariah pada abad

XVII.

Pasal 160 Perlembagaan Persekutuan (Konstitusi Malaysia) menyebutkan

bahwa enakmen adalah undang-undang yang dibuat oleh Badan Perundangan

suatu Negeri. Undang-undang jenayah Islam di Malaysia hanya melingkupi

wilayah takzir. Sampai saat ini, tidak ada satu pun enakmen yang mengatur

tentang hudud dan qisas. Namun demikian, setelah adanya perubahan Akta

Mahkamah Syariah (Bidangkuasa Jenayah) tahun 1984 enakmen jenayah di

negara bagian Malaysia diperbolehkan untuk menjatuhkan sanksi pidana berupa

denda RM5.000 atau penjara tiga tahun atau enam kali sebatan/cambuk atau

kombinasi beberapa sanksi pidana itu.

Pada tahun 1988, terdapat perubahan dalam Perlembagaan Persekutuan

Malaysia, yaitu pada Pasal 121 (1A) yang menambah kewibawaan Mahkamah

Syariah di mana kewenangan Mahkamah Syariah tidak dapat dicampuri oleh

Mahkamah Sivil.34

Secara umum, tindak pidana yang diatur dalam enakmen jenayah sangat

terbatas dibandingkan dengan tindak pidana yang diatur dalam Malaysia Penal

Code, Act 574. Di samping itu, sanksi pidana yang diatur dalam enakmen itu juga

hanya terdiri dari sanksi penjara, denda, dan sebatan (cambuk/dera). Hal ini dapat

dilihat dalam Enakmen Jenayah Syariah (Negeri Sembilan) 1992, Akta Jenayah

Syariah (Wilayah Persekutuan) 1997, Enakmen Kanun Jenayah Syariah

34
Zulkifli Hasan, Isu Undang-Undang Jenayah Islam Malaysia dan Sejauhmanakah
Pelaksanaannya, zulkiflihasan.files.wordpress.com
29

(Kelantan) 1985 dan Enakmen Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu

(pindaan) (Kelantan) 1986.

Secara lengkap, Enakmen Jenayah Syariah Negeri Sembilan terdiri dari

Bahagian (Bagian) dan Seksyen (Pasal) sebagai berikut.

BAHAGIAN I - PERMULAAN

Seksyen 1 Tajuk ringkas, mulai berkuatkuasa dan pemakaian

Seksyen 2 Tafsiran

Seksyen 3 Kekecualian hak kedaulatan

BAHAGIAN II - KECUALIAN AM

Seksyen 4 Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang terikat atau oleh

kerana silap faham fakta percaya dirinya terikat di sisi undang-

undang.

Seksyen 5 Perbuatan hakim bila bertindak secara kehakiman.

Seksyen 6 Perbuatan yang dilakukan menurut kehakiman atau perintah

Mahkamah.

Seksyen 7 Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dijustifikasikan,

atau oleh kerana silap faham fakta percaya dirinya dijustifikasikan

oleh undang-undang.

Seksyen 8 Melakukan dengan tidak sengaja perbuatan yang sah di sisi

undang-undang.

Seksyen 9 Perbuatan yang mungkin menyebabkan kerosakan tetapi dilakukan

dengan tiada niat jenayah, dan bagi menahan lain-lain kerosakan.

Seksyen 10 Perbuatan kanak-kanak yang belum baligh.


30

Seksyen 11 Perbuatan seseorang yang tidak sempurna akal.

Seksyen 12 Bila mabuk menjadi suatu pembelaan.

Seksyen 13 Pembelaan mabuk bila dipastikan.

Seksyen 14 Perbuatan yang tidak diniatkan dan tidak diketahui sebagai

mungkin menyebabkan kematian atau cedera parah, dilakukan

dengan kerelaan.

Seksyen 15 Perbuatan yang tidak diniatkan bagi menyebabkan kematian,

dilakukan dengan kerelaan dengan suci hati untuk faedah

seseorang.

Seksyen 16 Perbuatan yang dilakukan dengan suci hati untuk faedah kanak-

kanak atau orang yang tidak sempurna akal, oleh atau dengan

kerelaan penjaga.

Seksyen 17 Kerelaan yang diketahui diberi dalam keadaan takut atau

salahfaham dan kerelaan seorang kanak-kanak atau seseorang yang

tidak sempurna akal.

Seksyen 18 Perbuatan yang sendirinya menjadi kesalahan dengan tidak

bergantung kepada kerosakan yang disebabkan kepada orang yang

memberi kerelaan, tidak termasuk dalam kecualian dalam seksyen

14, 15, 16.

Seksyen 19 Perbuatan dilakukan dengan suci hati untuk faedah seseorang

dengan tiada kerelaan.

Seksyen 20 Pemakluman dibuat dengan suci hati.

Seksyen 21 Perbuatan yang seseorang terpaksa melakukan oleh kerana ugutan.


31

Seksyen 22 Perbuatan yang menyebabkan kerosakan kecil.

Darihal Hak Mempertahankan Persendirian

Seksyen 23 Apa-apa jua yang dilakukan dalam mempertahankan persendirian

tidak menjadi kesalahan.

Seksyen 24 Hak mempertahankan persendirian mengenai tubuh dan harta.

Seksyen 25 Hak mempertahankan persendirian terhadap perbuatan seseorang

yang tidak sempurna akal.

Seksyen 26 Perbuatan yang tiada hak mempertahankan persendirian.

Seksyen 27 Bila hak mempertahankan persendirian mengenai tubuh termasuk

menyebabkan kematian.

Seksyen 28 Bila hak itu termasuk menyebabkan apa-apa kerosakan yang lain

daripada kematian.

Seksyen 29 Bila hak mempertahankan persendirian mengenai tubuh bermula

dan berlanjutan.

Seksyen 30 Bila hak mempertahankan persendirian mengenai harta termasuk

menyebabkan kematian.

Seksyen 31 Bila hak itu termasuk menyebabkan apa-apa kerosakan yang lain

daripada kematian.

Seksyen 32 Bila hak mempertahankan persendirian mengenai harta bermula

dan berlanjutan.

Seksyen 33 Hak mempertahankan persendirian terhadap serangan yang boleh

menyebabkan kematian bila ada bahaya kerosakan kepada

seseorang yang tidak bersalah.


32

BAHAGIAN III - DARIHAL SUBAHAT

Seksyen 34 Menyubahati sesuatu perkara.

Seksyen 35 Pensubahat.

Seksyen 36 Menyubahati dalam Negeri Sembilan kesalahan di luar Negeri

Sembilan.

Seksyen 37 Hukuman bagi subahat jika perbuatan yang disubahati itu

dilakukan oleh sebabnya, dan jika tiada peruntukan yang nyata

dibuat bagi hukumannya.

Seksyen 38 Hukuman bagi subahat jika orang yang disubahati itu melakukan

perbuatan dengan niat yang lain daripada niat pensubahat.

Seksyen 39 Liabiliti pensubahat bila suatu perbuatan disubahati dan suatu

perbuatan yang lain dilakukan.

Seksyen 40 Bila pensubahat boleh dikenakan hukuman tambahan bagi

perbuatan yang disubahati dan bagi perbuatan yang dilakukan.

Seksyen 41 Liabiliti pensubahat kerana kesalahan yang disebabkan oleh

perbuatan yang disubahati itu lain daripada yang dimaksudkan oleh

pensubahat.

Seksyen 42 Pensubahat hadir ketika kesalahan dilakukan.

Seksyen 43 Menyubahati kesalahan yang boleh dihukum dengan penjara,

penjawat awam yang kewajipannya ialah mencegah kesalahan.

Seksyen 44 Menyubahati kesalahan yang dilakukan oleh orang awam, atau

oleh seramai lebih daripada sepuluh orang.


33

Seksyen 45 Penjawat awam menyembunyikan rancangan hendak melakukan

kesalahan yang mana adalah kewajipannya mencegah.

Seksyen 46 Menyembunyikan rancangan hendak melakukan kesalahan yang

boleh dihukum dengan penjara.

BAHAGIAN IV - KESALAHAN

Darihal kesalahan mengenai aqidah

Seksyen 47 Pemujaan.

Seksyen 48 Mendakwa sebagai bukan Islam.

Darihal kesalahan mengenai pencelaan agama dan institusinya

Seksyen 49 Mempermainkan dsb. ayat al-Quran atau Hadith.

Seksyen 50 Mencela, menghina, dsb. Agama Islam.

Seksyen 51 Fatwa yang berlawanan.

Seksyen 52 Perbuatan atau ajaran salah.

Seksyen 53 Mengajar Agama Islam tanpa tauliah.

Seksyen 54 Penerbitan agama yang berlawanan dengan Hukum Syarak.

Seksyen 55 Mendirikan masjid atau surau tanpa kebenaran.

Seksyen 56 Membinasakan atau mencemarkan tempat sembahyang dengan niat

hendak mencela Agama Islam.

Seksyen 57 Mengganggu perhimpunan atau upacara agama.

Seksyen 58 Pencerobohan di tanah perkuburan, dsb.

Seksyen 59 Mengingkari arahan Pihak Berkuasa Agama.

Darihal kesalahan mengenai kehormatan diri

Seksyen 60 Persetubuhan haram.


34

Seksyen 61 Percubaan persetubuhan haram.

Seksyen 62 Perhubungan muabbad atau rairu muabbad.

Seksyen 63 Liwat.

Seksyen 64 Musahaqah.

Seksyen 65 Persetubuhan di luar tabii semulajadi.

Seksyen 66 Lelaki berlagak seperti perempuan.

Seksyen 67 Perbuatan tidak sopan.

Seksyen 68 Qazaf.

Seksyen 69 Melacurkan diri.

Seksyen 70 Muncikari.

Seksyen 71 Orang-orang yang hidup atas atau memperdagangkan pelacuran.

Seksyen 72 Melacurkan isteri atau anak.

Seksyen 73 Menjual atau memberi anak.

Seksyen 74 Menghasut perempuan bersuami atau lelaki beristeri.

Seksyen 75 Hamil luar nikah.

Seksyen 76 Memikat atau membawa pergi perempuan bersuami atau anak

dara.

Seksyen 77 Memikat atau membawa pergi atau menahan dengan niat jahat

perempuan bersuami atau anak dara.

Darihal kesalahan mengenai minuman yang memabukkan

Seksyen 78 Minuman yang memabukkan.

Seksyen 79 Membuat, menjual, dsb. minuman yang memabukkan.

Darihal keterangan palsu dan kesalahan-kesalahan terhadap keadilan awam


35

Seksyen 80 Memberi keterangan palsu.

Seksyen 81 Mereka keterangan palsu.

Seksyen 82 Hukuman bagi keterangan palsu.

Seksyen 83 Memberi atau mereka keterangan palsu dengan niat hendak

mendapat sabitan atas kesalahan yang boleh dihukum dengan

penjara.

Seksyen 84 Menggunakan keterangan yang diketahui sebagai palsu.

Seksyen 85 Mengeluarkan atau menandatangani perakuan palsu.

Seksyen 86 Menggunakan sebagai benar suatu perakuan yang diketahui

sebagai palsu dalam sesuatu perkara material.

Seksyen 87 Kenyataan palsu yang dibuat dalam sesuatu akuan yang boleh

diterima di sisi undang-undang sebagai keterangan.

Seksyen 88 Menggunakan sebagai benar sesuatu akuan yang tersebut itu yang

diketahui sebagai palsu.

Seksyen 89 Menyebabkan hilangnya keterangan mengenai sesuatu kesalahan

yang dilakukan, atau memberi maklumat palsu mengenainya, bagi

melindungi pesalah.

Seksyen 90 Ketinggalan sengaja, oleh seseorang yang terikat untuk memberi

maklumat mengenai sesuatu kesalahan.

Seksyen 91 Memberi maklumat palsu mengenai sesuatu kesalahan yang telah

dilakukan.

Seksyen 92 Membinasakan dokumen bagi menghalang daripada dikemukakan

sebagai keterangan.
36

Seksyen 93 Menyamar dengan palsunya bagi maksud sesuatu perbuatan atau

prosiding dalam sesuatu guaman.

Seksyen 94 Membuat tuntutan palsu dengan curang di hadapan Mahkamah.

Seksyen 95. Mendapat dengan tipuan suatu dikri atau perintah tuntutan sejumlah

wang yang tidak patut dibayar.

Seksyen 96 Membuat pertuduhan palsu atas kesalahan dengan niat hendak

membencana.

Seksyen 97 Dengan sengaja mencela atau mengganggu penjawat awam yang

sedang menjalankan prosiding kehakiman pada mana-mana peringkat.

Darihal menghina kuasa yang sah di sisi undang-undang bagi penjawat awam

Seksyen 98 Melarikan diri bagi mengelakkan daripada disampaikan saman atau

lain-lain prosiding daripada penjawat awam.

Seksyen 99 Menghalang daripada disampaikan saman atau lain-lain prosiding,

atau menahannya daripada disiarkan.

Seksyen 100 Tidak menurut perintah seseorang penjawat awam bagi

menghadirkan diri.

Seksyen 101 Seseorang yang terikat di sisi undang-undang mengemukakan

dokumen itu kepada penjawat awam meninggalkan daripada

berbuat demikian itu.

Seksyen 102 Seseorang yang terikat di sisi undang-undang memberi

pengetahuan atau maklumat kepada penjawat awam meninggalkan

daripada berbuat demikian.

Seksyen 103 Memberi maklumat palsu.


37

Seksyen 104 Enggan mengangkat sumpah apabila dikehendaki oleh penjawat

awam.

Seksyen 105 Enggan menjawab soalan penjawat awam yang diberi kuasa

menyoal.

Seksyen 106 Enggan menandatangani kenyataan.

Seksyen 107 Maklumat palsu, dengan niat menyebabkan penjawat awam

menggunakan kuasanya yang sah di sisi undang-undang yang

mendatangkan bencana kepada seseorang lain.

Seksyen 108 Menggalang penjawat awam menjalankan tugas-tugas jawatannya.

Seksyen 109 Mengingkari perintah yang diisytiharkan oleh penjawat awam.

Darihal kesalahan mengenai harta Majlis

Seksyen 110 Pendudukan menyalahi undang-undang, dll. atas tanah Majlis.

Seksyen 111 Penggunaan menyalahi undang-undang ruang udara di atas tanah

Majlis.

Seksyen 112 Mengeluar atau mengalih bahan-bahan batu menyalahi undang-

undang.

Darihal Pelbagai Kesalahan dan sanksi untuk mendakwa

Seksyen 113 Tidak menunaikan sembahyang Jumaat.

Seksyen 114 Menjual makanan dan makan dalam bulan Ramadhan.

Seksyen 115 Takfir.

Seksyen 116 Melaporkan pemelukan ke Agama Islam.

Seksyen 117 Rahsia.

Seksyen 118 Kegagalan membayar zakat atau fitrah.


38

Seksyen 119 Sanksi untuk mendakwa.

Darihal percubaan hendak melakukan kesalahan

Seksyen 120 Hukuman kerana mencuba melakukan kesalahan-kesalahan yang

boleh dihukum dengan penjara.

Seksyen 121 Pemansuhan


BAB III

PANDANGAN ISLAM MENGENAI HOMOSEKSUAL

A. Pengertian Homoseksual

Homoseksual adalah rasa ketertarikan romantis atau seksual atau perilaku

antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi

seksual, homoseksual mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk

pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau

secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksual juga mengacu

pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada

ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang

berbagi itu.35

Menurut Wimpie Pankahila, penyebab seseorang berperilaku homoseksual

masih dalam perdebatan, namun pada umumnya ditemukan empat faktor

penyebabnya yaitu, faktor Herediter (bawaan) atau biologis, faktor

psikodinamika, faktor lingkungan, dan faktor sosiokultural.36

Pada penggunaan mutakhir, kata sifat homoseksual digunakan untuk

hubungan intim atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin

yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay atau

lesbian. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk

kepada laki-laki homoseksual. Sedangkan lesbian adalah suatu istilah tertentu

yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseksual.

35
https://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualsualsualitas
36
Wawan Gunawan, Perilaku Homoseksual Dalam Pandangan Hukum Islam, 2003.Hlm
17

39
40

B. Homoseksual Dan Perkembangannya

1. Homoseksual Dalam Sejarah.

Homoseksual merupakan perbuatan keji dan termasuk dosa besar, yang

merusak etika, fitrah, agama, dan jiwa manusia. Homoseksual adalah hubungan

biologis antara sesama jenis kelamin, baik laki-laki maupun wanita. Namun,

istilah homoseksual ini kemudian lebih sering dipakai untuk seks sesama laki-laki

sedangkan yang sesama wanita dinamakan lesbian.37

Homoseksual ini dilakukan dengan cara memasukkan zakar ke dalam

dubur, sedangkan lesbian dilakukan dengan cara masturbasi satu sama lain, atau

cara lainnya, untuk mencapai orgasme (climax of the sex act). Homoseksual

menyimpang dari fitrah manusia karena fitrah manusia cenderung kepada

hubungan biologis secara heterosex, yakni hubungan seks antara laki-laki dan

wanita. Perbuatan homoseksual bukan hanya terdapat di zaman modern ini, tetapi

telah terjadi pada zaman Nabi Luth, seperti yang dinyatakan oleh Al-Quran: Surah

Al-A‟raf ayat 80-84:

            

            

            

          

         

37
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Libanon: Dar al-Fikr, 1968), jilid 6, h. 427
41

Artinya: Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)
tatkala dia Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun
(di dunia ini) sebelummu?"Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk
melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah
kamu Ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain
Hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya)
dari kotamu ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
berpura-pura mensucikan diri." Kemudian kami selamatkan dia dan
pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang
tertinggal (dibinasakan).Dan kami turunkan kepada mereka hujan
(batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
berdosa itu

Dalam tafsir al-Manar dijelaskan bahwa Nabi Luth diutus Allah untuk

memperbaiki akidah serta akhlak kaumnya yang berdiam di negeri Sadum,

Amurah, Adm‟, Sabubim, dan Bal‟, di tepi Laut Mati. Nabi Luth memilih tinggal

di negeri yang paling besar dari kelima negeri itu, yaitu Sadum. Negeri Sadum

mengalami kehancuran moral, kaum laki-laki lebih bersyahwat kepada sesama

jenisnya yang berusia muda, dan tidak bersyahwat kepada kaum wanita. Ketika

menyaksikan perbuatan kaumnya yang tidak bermoral itu, Nabi Luth menegur dan

memperingatkan mereka untuk meninggalkan kebiasaannya. Ia mengajak untuk

menyalurkan naluri seks sesuai dengan fitrah, yaitu melalui perkawinan antara

laki-laki dan wanita. Ajakan Nabi Luth ini mereka jawab dengan mengusirnya.

Sementara itu, mereka terus mengerjakan perbuatan keji dan tidak bermaksud

hendak meninggalkan kebiasaan mereka.

Usaha Nabi Luth untuk menyadarkan kaumnya dari perbuatan keji tidak

membawa hasil yang maksimal, karena sikap kaumnya yang ingkar terhadap

ajaran agama. Kesabaran Nabi Luth menghadapi kaumnya mendapat perlindungan

dari Allah, seperti yang dinyatakan dalam al-Quran: Surah Al-Hud ayat 77-82,
42

             

            

               

                

               

             

              

           
Artinya: Dan tatkala datang utusan-utusan kami (para malaikat) itu kepada Luth,
dia merasa susah dan merasa sempit dadanya Karena kedatangan
mereka, dan dia berkata: "Ini adalah hari yang amat sulit." Dan
datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak
dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth
berkata: "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih Suci bagimu,
Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan
(nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang
berakal?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu Telah tahu bahwa
kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan
Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang Sebenarnya kami
kehendaki." Luth berkata: "Seandainya Aku ada mempunyai kekuatan
(untuk menolakmu) atau kalau Aku dapat berlindung kepada keluarga
yang Kuat (tentu Aku lakukan)." Para utusan (malaikat) berkata: "Hai
Luth, Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali
mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan
membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan
janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali
isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka
Karena Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu
subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?". Maka tatkala datang azab
kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami
balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar
dengan bertubi-tubi,
43

Perbuatan kaum Nabi Luth telah melampaui batas kemanusiaan, yang

hanya bersyawat kepada sesama laki-laki, dan tidak berminat kepada wanita

sebagaimana yang ditawarkan oleh Nabi Luth. Perbuatan semacam ini membawa

akibat yang sangat fatal, karena dapat merusak akal dan jiwa, menimbulkan

kehancuran akhlak dan tindak kejahatan yang akan menghilangkan ketenteraman

masyarakat.

Kejahatan kaum Nabi Luth yang bertentangan dengan fitrah dan syari‟at

itu mendapat hukuman dari Allah dengan memutarbalikkan negeri mereka,

sehingga penduduk Sadum, termasuk istri Nabi Luth sendiri, terbenam bersamaan

dengan terbaliknya negeri itu. Yang tidak terkena azab hanyalah Nabi Luth

beserta para pengikutnya yang saleh, taat menjalankan perintah Allah dan

menjauhkan diri dari homoseksual.38

2. Homoseksual Dalam Masyarakat Modern

Kendati kaum Luth telah dihancurkan oleh Allah ratusan abad yang lalu,

namun homoseksual tetap ada di tengah kehidupan manusia. Siksaan keras yang

ditimpakan kepada kaum Luth tidaklah diambil sebagai pelajaran. Bahkan dunia

dewasa ini dilanda revolusi seks yang jauh melampaui batas dan ketentuan agama.

George Harvard dalam bukunya Revolusi Seks mengungkapkan, “Kita

tidak begitu khawatir terhadap bahaya nuklir yang mengancam kehidupan

manusia di abad modern ini. Yang kita khawatirkan adalah serangan bom seks

yang setiap saat dapat meledak, menghancurkan moral manusia.” Pandangan

38
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Matba‟ah Hajari, 1950), h. 509–522.
44

semacam ini juga dilontarkan oleh sejarawan Arnold Toynbee yang menyatakan,

“Dominasi seks dewasa ini akan mengakibatkan runtuhnya peradaban manusia.39

Pernyataan para ahli ini didasarkan atas fakta empiris bahwa hubungan

seks dewasa ini tidak lagi terbatas pada suami istri atau dua insan berlainan jenis,

tetapi telah jauh melebar ke bentuk hubungan seks sesama jenis, baik

homoseksual maupun lesbian. Inilah yang melatarbelakangi tulisan James Ruston

di harian New York Times yang menyatakan bahwa bahaya tenaga seks lebih

besar daripada bahaya tenaga nuklir. Ini dapat dibuktikan dari catatan resmi

Dewan Kesehatan Dunia, bahwa terdapat puluhan juta orang melakukan

homoseksual, tiga juta orang di antaranya di Amerika.40

Penyimpangan seksual itu bukan hanya dilakukan oleh orang-orang ateis

yang menyangkal wujud Allah dan menentang Hari Kebangkitan, melainkan juga

dilakukan orang beragama, yang meyakini adanya Tuhan dan alam akhirat. Ini

disebabkan peradaban manusia dewasa ini telah jauh mengarah ke materialisme,

meninggalkan agama dan nilai spiritual. Pada masyarakat kota telah tersebar

berbagai sarana pembangkit api syahwat serta naluri-naluri hewaniah.41

Orang-orang yang melakukan penyimpangan seksual, dan

menenggelamkan dirinya dalam kelezatan syahwat, akan pudar perasaan

agamanya, dan semakin jauh. Dinyatakan oleh al-Quran, bila hati manusia telah

bergelumang dengan dosa, maka iman yang berada dalam kalbunya akan

39
Fathi Yakan, al-Islam wa al-Jins, penerj. Syafril Halim, Islam dan Seks (Jakarta: Al-
Hidayah, 1989), hlm. 78.
40
Ibid., hlm. 49.
41
Murtadha Mutahhari, Manusia dan Agama (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 58.
45

memudar, dan tidak akan dapat menerima hidayah Tuhan. Surah al-Munafiqun

ayat 6:

                

  


Artinya: Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu

mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Pengaruh penyimpangan seks semacam homoseksual, menurut ahli ilmu

jiwa, adalah tidak adanya keinginan melangsungkan perkawinan. Jika ada di

antaranya yang telah kawin, akan menyuruh laki-laki yang disukainya untuk

menyetubuhi istrinya sendiri asalkan laki-laki itu bersedia digaulinya secara

homoseksual. Bila seorang homo telah berusia lanjut dan tidak sanggup

mendatangi laki-laki, dia sendiri yang mengundang, dan membayar sejumlah uang

sebagai imbalan. Akibat dari perilaku ini perempuan pun merasa tidak puas

bersetubuh dengan laki-laki, dan timbullah keinginan mereka untuk melakukan

hubungan seks antara sesamanya (lesbian).42

Menurut Muhammad Rashfi dalam kitabnya al-Islam wa al-Tib,

sebagaimana dikutib oleh Sayyid Sabiq, bahwa Islam melarang keras

homoseksual, karena mempunyai dampak yang negatif terhadap kehidupan

pribadi dan masyarakat, antara lain:43

42
Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Panjimas, 1979), h. 290.
43
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Libanon: Dar al-Fikr, 1968),jilid 6, h. 361–365.
46

a. Seorang homo tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jika mereka

melangsungkan perkawinan, sang istri tidak akan mendapatkan kepuasan

biologis, karena nafsu berahi suami telah tertumpah ketika melangsungkan

homoseksual terhadap laki-laki yang diinginkannya. Akibatnya, hubungan

suami istri menjadi renggang, tidak tumbuh rasa cinta dan kasih sayang,

dan tidak memperoleh keturunan, sekalipun istrinya subur dan dapat

melahirkan.

b. Perasaan cinta dengan sesama jenis membawa kelainan jiwa yang

menimbulkan suatu sikap dan perilaku ganjil. Seorang homo kadang-

kadang berperilaku sebagai laki-laki dan kadang-kadang sebagai

perempuan.

c. Mengakibatkan rusaknya saraf otak, melemahkan akal, dan

menghilangkan semangat kerja.

Di samping akibat negatif di atas, ada pula akibat yang sangat

membahayakan bagi kelangsungan hidup seseorang, yakni berjangkitnya penyakit

Aids. Penyakit Aids yang menyebar ke berbagai penjuru dunia cukup

menggetarkan para pelaku penyimpangan seks, karena kedokteran masih sulit

menemukan obat untuk menyembuhkan penderitanya. Penderita Aids akan

kehilangan daya ketahanan tubuhnya, akibat serangan bakteri yang menggerogoti

pembuluh darah, kulit, tubuh, dan alat kelamin. Korban penyakit Aids telah

banyak, terutama di Eropah dan Amerika Serikat. Hasil survei di Amerika Serikat

tahun 1985 ditemui 12.000 penderita Aids. Dari jumlah ini 73% akibat hubungan
47

free sex, terutama homoseksual, 17% akibat penyalahgunaan obat narkotik atau

sejenisnya, dan 2,5% akibat transfusi darah.44

Selain penyakit Aids ada pula penyakit kelamin lainnya, yaitu sipilis.

Menurut seorang ahli medis Prancis, di Prancis setiap tahunnya ada 30.000 orang

meninggal karena penyakit ini. Sementara itu, di Amerika terdapat sekitar 30.000

sampai 40.000 orang. Menurut para ahli, penyakit ini menular dengan hubungan

seksual, seperti zina, homoseksual, dan lesbian. Kuman sipilis berkembang biak

melalui luka, yang menular dengan cepat. Penyakit ini sangat berbahaya,

penderitanya dapat menjadi lumpuh karena lemahnya daya tahan tubuh, dan

membawa kematian.45

Di samping bahaya bagi individu pelakunya, homoseksual juga

membahayakan masyarakat. Jika individu enggan menikah, dan melampiaskan

nafsu seksnya secara tidak legal, dengan sendirinya merusak sistem kekeluargaan

dan merapuhkan landasan kemasyarakatan. Selanjutnya menimbulkan kehancuran

akhlak, dan merenggangkan ikatan nilai-nilai dan norma agama yang akhirnya

membawa kebebasan tanpa batas, seperti yang kita saksikan dalam masyarakat

dewasa ini.

Untuk menghindari akibat negatif homoseksual, diperlukan pembinaan

akhlak yang sesuai norma dan nilai-nilai agama. Dan pembentukan akhlak yang

benar merupakan utopia selama prinsip dan sistem yang berlaku bersifat

materialistis yang bertentangan dengan prinsip dan sistem agama. Hilangnya rasa

44
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: Karya Unipress, 1988), h. 39.
45
Fathi Yakan, al-Islam wa al-Jins,( Mu'assasah al-Risalah, 1995) h. 47 dan 71.
48

keagamaan dalam kehidupan masyarakat dan berjayanya hukum-hukum dari teori

materialisme merupakan faktor yang menyebabkan penyimpangan seks. Para

pemuka agama dan ahli medis berusaha keras menanggulangi dan mencegah

penyimpangan seks.

C. Dasar Hukum Larangan Dan Hukuman Pelaku Homoseksual.

Istilah homoseksual berasal dari bahasa inggris “homosexual”, yang

berarti sifat laki-laki yang senang berhubungan seks dengan sesamanya. Istilah

homoseksual dijumpai dalam agama islam sebagai istilah ‫ اللواط‬, yang pelakunya

disebut ‫ اللوطي‬. Secara singkat diartikan sebagai laki-laki yang selalu mengumpuli

sesamanya. Secara istilah adalah kebiasaan seorang laki-laki yang melampiaskan

nafsu seksualnya kepada sesamanya. 46

Homoseksual (liwath) dilakukan dengan cara memasukan penis (zakar)

kedalam anus (dubur). Menurut fikih jinayah (hukum pidana islam) homoseksual

(liwath) termasuk dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma

susila, dan bertentangan pula dengan sunnahtullah dan fitrah manusia. Sebab

Allah SWT menjadikan manusia terdiri dari laki-laki dan wanita adalah agar

berpasang-pasangan sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan yang sah

dan untuk memperoleh ketenangan dan kasih sayang.47

Terdapat banyak ayat Quran dan hadis yang melarang bagi umat Islam

terlibat dalam pelakuan homoseksual yang berbentuk ancaman dan larangan yang

telah dinyatakan di dalam Al-Quran.

46
Mahjiddin, Masailul Fiqhiyah : Berbagi Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h 30.
47
Zuhdi Masyfuk, Masail Fiqhiyah : kapita selekta hukum islam, (Jakarta: Haji
Masagung, 1992), h 41.
49

Surah Al-A‟raf ayat 80-81:

           

          

   


Artinya: Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah)
tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan
kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.

Senada dengan ayat tersebut, juga disebutkan di dalam surah As-Syu‟ara

ayat 165 dan 166 sebegai berikut:

          

      


Artinya: mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu

tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan

kamu adalah orang-orang yang melampaui batas".

Ayat-ayat yang telah disebutkan menerangkan bahwa perbuatan kaum

Nabi Luth yang hanya melakukan hubungan seksual kepada sesama laki-laki

melepaskan syahwatnya hanya kepada sesama laki-laki dan tidak berminat

kepada perempuan sebagaimana ditawarkan oleh Nabi Luth, tetapi mereka

tetap melakukan perbuatan homoseksual, akhirnya Allah memberikan hukuman

kepada mereka dan memutarbalikan negeri mereka, sehingga penduduk


50

Sodom, termasuk isteri Nabi Luth kaum lesbian, tertanam bersamaan dengan

terbaliknya negeri itu. Yang tidak kena azab hanya Nabi Luth dan pengikut-

pengikutnya yang saleh dan menjauhkan diri dari perbuatan homoseksual.

Antara hadis dari Rasullah yang melarang pelakuan homoseksual dan

LGBT adalah seperti berikut :

‫ أَ ْخبَ َرًَِ َز ٌْ ُد‬:‫ قَا َل‬،ٌ‫ا‬


َ ًَ ‫َّاك ب ٍِْ ُع ْث‬
ِ ‫ضح‬ ِ ‫ َح َّدثََُا َز ٌْ ُد ب ٍُْ ا ْن ُحبَا‬،َ‫َح َّدثََُا أَبُو بَ ْك ِر ب ٍُْ أَبًِ َش ٍْبَت‬
َّ ‫ َع ٍِ ان‬،‫ب‬

ِّ ٍْ َ‫صهَّى هللاُ َعه‬


َ ِ‫ أَ ٌَّ َرسُو َل هللا‬،ِّ ٍِ‫ َع ٍْ أَب‬،ِّ‫ َع ٍْ َع ْب ِد انرَّحْ ًَ ٍِ ب ٍِْ أَ ِبً َس ِعٍ ٍد ا ْن ُخ ْد ِري‬،‫ب ٍُْ أَ ْسهَ َى‬

ِ ‫ َو ََل ٌُ ْف‬،‫ َو ََل ا ْن ًَرْ أَةُ ِإنَى َع ْو َر ِة ا ْن ًَرْ أَ ِة‬،‫َل ٌَ ُْظُ ُر ان َّر ُج ُم ِإنَى َع ْو َر ِة ان َّرج ُِم‬:
ُ‫ضً ان َّرجُم‬ َ ‫َو َسهَّ َى قَا َل‬
48
.‫ب ْان َوا ِح ِد‬
ِ ‫ضً ْان ًَرْ أَةُ إِنَى ْان ًَرْ أَ ِة فًِ انثَّ ْو‬
ِ ‫ َو ََل تُ ْف‬،‫اح ٍد‬ ٍ ‫إِنَى ان َّرج ُِم فًِ ثَ ْو‬
ِ ‫ب َو‬

Artinya: “janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki lain dan janganlah wanita

melihat aurat wanita lain, dan janganlah bersentuhan laki-laki dengan

laki-laki lain dibawah sehelai selimut/kain, dan janganlah wanita

bersentuhan dengan wanita lain dibawah sehelai selimut/kain”

Para ulama fiqh sepakat atas keharaman homoseksual menurut ketentuan

syari‟at. Homoseksual merupakan perbuatan keji sebagaimana jarimah zina.

Keduanya termasuk dosa besar, dan merupakan perbuatan yang tidak sesuai

dengan fitrah manusia.49. Surah al-A‟raf ayat 80:

           

 

48
Muslim bin Hujjaj Abu Hasan al Qusyairi an Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar
Ihya‟ at Turath al Arabi), jilid 1, h. 266.
49
Abdurrahman Al-Juzairi, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut– Libanon:
Ahya al-Tardisu al-Arabi),jilid 5, h. 113.
51

Artinya: Dan (Kami juga Telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah)

tatkala dia Berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan

perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun

(di dunia ini) sebelummu?"

Dalam menjatuhkan hukuman terhadap para pelaku homoseksual

memerlukan bukti yang jelas, baik melalui pengakuan dari pelakunya maupun

keterangan saksi. Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah berpendapat bahawa saksi

terhadap homoseksual sama halnya dengan saksi zina, yaitu empat orang laki-laki

yang adil, tidak terdapat salah seorang di antaranya perempuan. Sedangkan

Hanafiah berpendapat bahwa saksi homoseksual tidak sama dengan saksi zina,

karena kemudaratan yang ditimbulkan oleh homoseksual lebih ringan daripada

yang ditimbulkan oleh zina, dan jarimahnya lebih kecil daripada jarimah zina,

serta tidak menimbulkan percampuran keturunan. Karena itu, untuk membuktikan

homoseksual cukup hanya dengan dua orang saksi saja, dan tidak perlu

menghubungkannya dengan zina, kecuali ada dalilnya.

Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi homoseksual.

Ada tiga pendapat yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina bila

pelakunya lelaki ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum

rajam,dikenakan hukuman ta‟zir.

Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasulullah, Nashir, Qasim

bin Ibrahim, dan Imam Syafi‟i (dalam suatu pendapat) ia menyatakan bahwa para

pelaku homoseksual dikenakan hukum bunuh, baik pelaku homoseksual itu

seorang muhsan. Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah. Dari

Ikrimah,bahwa Ibn Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda,


52

‫ًرو‬
ِ ‫ عٍ َع‬،‫بٍ يح ًَّد‬ ُّ ُُّ‫بٍ عهً ان‬
ُ ‫ ح َّدثُا عب ُد انعسٌس‬،ً‫فٍه‬ ِ ‫بٍ يح ًَّد‬ُ ‫ح َّدثُا عب ُد هللا‬
ٍّ‫ صهَّى هللا عه‬- ‫ قال رسو ُل هللا‬:‫ قال‬،‫ابٍ عباش‬ ِ ٍ‫كريت ع‬ ِ ‫ عٍ ِع‬،‫بٍ أبً َعًرو‬ ِ
50
َ ُ ُ
"ِّ ‫ فاقتهوا انفا ِع َم وانًفعو َل ب‬،‫نوط‬
ٍ ‫قوو‬ِ ‫وجدت ًُوُِ ٌعً ُم عً َم‬
َ ٍ‫ " َي‬:- ‫وسهى‬
Artinya: “Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi

Luth (homoseksual), maka bunuhlah pelakunya dan yang

diperlakukan.”

Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim

dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya,

akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. 51

Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa hadd

homoseksual adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr

(laki-laki) maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar

pendapatnya adalah sabda Rasulullah saw.:“Bunuhlah pelakunya dan

pasangannya”.

Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟id Ibn Jabir, dan Mujahid

dari Ibn Abbas r.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakun homoseksual,

maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam, berdasarkan hadis

Rasulullah . Dikatakan: “bahwa had homoseksual adalah rajam, baik pelakunya

laki-laki maupun orang yang telah menikah”.

Dalam suatu riwayat, Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat

Rasul untuk membahas persoalan homoseksual. Di antara para sahabat Rasul yang

50
Abu Daud Sulaiman Bin Ash‟ath, Sunan Abu Daud,(Darul Risalah Al-Alamiah, 9002),
jilid 6, h. 510
51
Sayyid Syabiq, Fiqh al-Sunnah,(Libanon: Dar al-Fikr, 1968) jilid 6, h. 432–433.
53

paling keras pendapatnya adalah Ali ibn Abi Thalib. Ia mengatakan:

“Sebagaimana kalian ketahui, homoseksual adalah perbuatan dosa yang belum

pernah dilakukan umat manusia kecuali Luth. Maka pelakunya harus dibakar

dengan api”.

Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku

homoseksual adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat Rasul berbeda

pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya. Menurut Abu Bakar, pelaku

homoseksual dibunuh dengan pedang, kemudian dibakar. Demikian juga pendapat

Ali ibn Abi Thalib dan sebagian besar sahabat Rasul, seperti Abdullah ibn Zubair,

Hisyam ibn Abdul Malik dan lainnya). 52

Menurut Umar dan Usman, pelaku homoseksual harus dijatuhi benda-

benda keras sampai mati. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa ia harus

dijatuhkan dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu tempat tertentu. Al-

Baghawi meriwayatkan bahwa Sya'by, Zuhri, Malik, Ahmad dan Ishaq

mengatakan pelaku homoseksual harus dirajam. Sedangkan Tirmidzi

meriwayatkan hukum seperti ini dari Malik, Syafi‟i, Ahmad dan Ishaq. 53

Dasar pemikiran para sahabat menetapkan hukuman homoseksual adalah

dibunuh, yaitu bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang sangat keji, dicela

oleh Allah sebagaimana firman-Nya:

52
Ibid.
53
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab al-Fiqh 'ala al- Mazahib al-Arba‟ah,( Sh'oba matbu'at,
Mehakma af Panjab, 1979), h. 114–115.
54

         

          

 
Artinya: Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang

di atas ke bawah (Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu

dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, Yang diberi tanda oleh

Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.

Pendapat kedua yang menyatakan bahwa pelaku homoseksual harus dihad

sebagaimana had zina dipelopori oleh Sa‟id bin Musayyab, Atha‟ bin Abi Rabah,

Hasan, Qatadah, Nakha‟i, Tsauri, Auza‟i, Abu Thalib, Imam Yahya dan Imam

Syafi‟i (dalam suatu pendapat). Jadi bagi pelaku homoseksual yang masih bikr

dijatuhi had dera serta dibuang. Sedangkan pelaku yang muhshan dihad rajam.

Dalam riwayat lain ulama Syafi‟iyah menyatakan bahwa had bagi

homoseksual adalah hukuman rajam, baik yang dilakukan seorang bikr ataupun

muhshan. Akan tetapi pendapat mereka yang umum adalah hukumnya sama

dengan hukum zina, dengan alasan bahwa homonseks sejenis dengan zina. Sebab

homoseksual memasukkan faraj (penis) ke dalam anus lelaki (farji). Dengan

demikian, pelakunya termasuk di bawah keumuman dalil dalam masalah zina,

baik bikr maupun muhshan.54 Jadi berlaku ayat yang menyatakan: Surah an-Nisa‟

ayat 15-16:

54
Ibid.
55

       

         

           

          
Artinya: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,

hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).

Kemudian apabila mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka

(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai

Allah memberi jalan lain kepadanya.Dan terhadap dua orang yang melakukan

perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya,

Kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah

mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Para ulama fiqh berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Surah

al-Nisa‟ di atas merupakan hukuman yang pertama dikenakan terhadap kejahatan

zina. Menurut al-Razi, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Muslim al-Ishfahani,

bahwa ayat "Dan para wanita yang mengerjakan perbuatan keji..." adalah khusus

berkenaan dengan kejahatan sesama wanita (lesbian). Hukumannya seperti

tersebut dalam ayat, yaitu dikurung dalam rumah sampai mati. Sedangkan ayat

selanjutnya, “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di

antaramu..." adalah khusus berkenaan dengan kejahatan, antara sesama laki-laki.

Hukumannya adalah siksaan dengan perkataan dan perbuatan.55 Menurut Ibn

55
Mahmud Syaltut, al-Islam, Aqidatun wa Syari‟atun,( Cairo, Dar al- Syuruq).h. 290.
56

Arabi dalam Ahkam al-Quran, zina dan homoseksual (liwat) adalah sama, yakni

sama-sama melakukan hubungan seks yang diharamkan oleh syari‟at. Karena itu

hukuman juga sama, yaitu bagi muhsan dirajam sampai mati.56

Kemudian, pendapat ketiga menyatakan bahwa pelaku homoseksual harus

diberi sanksi berupa ta‟zir. Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh Abu

Hanifah. Ta‟zir merupakan hukuman yang bertujuan edukatif, dan berat ringannya

diserahkan kepada pengadilan (hakim). Hukuman ta‟zir dijatuhkan terhadap

kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar hukumannya

oleh nash al-Quran dan hadis.57

Penetapan hukuman secara ta‟zir terhadap homoseksual oleh Hanafiyah

berdasarkan pemikirannya bahwa homoseksual tidak membawa akibat yang lebih

berbahaya bila dibandingkan dengan zina. Homoseksual tidak akan membuahkan

keturunan dan tidak pula merusak garis keturunan seseorang. Karena itu,

homoseksual tidak dapat dihubungkan dengan zina, dan tidak diperoleh dalil dari

al-Quran dan hadis mengenai ketetapan hukumannya. Masalah ini diserahkan

kepada hakim secara ta‟zir.

Berdasarkan pendapat-pendapat para ulama fiqh di atas dapatlah dipahami

bahwa pendapat pertama, yang menyatakan pelaku dihukum bunuh, merupakan

pendapat yang terkuat, karena berdasarkan nash sahih (hadis) yang jelas

maknanya. Sedangkan pendapat kedua, yang menyatakan hukumannya sama

56
Ibnu „Arabi, Ahkam al-Qur'an (Mesir: Isya al-Babi al-Halabi wa Syirkahu, 1968), h.
1313.
57
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina`i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al- Wad'i
(Iskandariah: Dar al-Nasyr al-Saqafiyah, 1949), h. 185–186.
57

dengan hukuman zina dianggap lemah, karena memakai dalil qiyas, padahal

terdapat nashnya, dan dalil hadis yang dipakai lemah. Demikian pula pendapat

ketiga, yang menyatakan hukuman homoseksual adalah ta‟zir, dipandang lemah,

karena nash telah menetapkan hukuman mati dan bukan ta‟zir.

D. Hikmah Larangan Homoseksual

Islam menetapkan legislasi dan hukum pada dasarnya bersifat mendidik

dan preventif, yang dapat menjamin ketenteraman individu dan masyarakat.

Sanksi hukum yang ditetapkan Islam merupakan suatu jalan. Dengan

melaksanakan hukuman tersebut masyarakat dapat terpelihara dari berbagai

kejahatan dan penyimpangan. Hukum adalah penghalang sebelum terjadinya

kejahatan dan pencegahan setelah itu. Dengan mengetahui sanksi hukum suatu

kejahatan, seseorang dapat terhalangi untuk bertindak. Pelaksanaan hukuman bagi

mereka yang melakukan kejahatan semacam homoseksual dapat mencegahnya

untuk mengulanginya, dan akan menimbulkan kesadaran hukum bagi anggota

masyarakat yang lain untuk menghindari perbuatan itu atau penyimpangan-

penyimpangan seks lainnya.

Hikmah lain yang dapat ditarik dari larangan homoseksual adalah

mempertahankan lembaga perkawinan. Bila homoseksual tidak diberantas atau

dilarang secara syari‟at akan menghancurkan fitrah manusia sebagai khalifah

Allah, dan melanggar sunnatullah dan hukum-Nya. Dalam Islam, perkawinan

merupakan cara yang manusiawi dan terpuji untuk menyalurkan nafsu seks bagi

setiap orang, dan tidak menimbulkan kerusakan bagi masyarakat. Perkawinan

merupakan oasis alami, tempat bertemunya laki-laki dan wanita dalam usaha
58

mencari ketenangan rohani dan jasmani. Disamping itu, ia memberikan jalan yang

aman bagi naluri seks untuk memperoleh keturunan yang baik. Islam mengakui

bahwa naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang menuntut

jalan keluar. Bila ia tidak dipuaskan maka manusia akan mengalami kegoncangan

biologis dan cenderung mengarah ke berbagai penyimpangan seks. Karena itu,

perkawinan merupakan jalan yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan

naluri seks, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah dalan Surah ar-Rum ayat 21:

           

         


Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu Isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir.

Bila naluri seks tidak disalurkan melalui perkawinan, maka manusia akan

mengalami kekacauan. Zina, umpamanya, akan membawa kekacauan hubungan

nasab, sebab anak yang dilahirkan tidak mempunyai garis keturunan yang jelas

dari silsilah bapaknya. Demikian pula halnya dengan homoseksual, yang

menghilangkan fitrah manusia, dan akan meruntuhkan sistem keluarga dan

masyarakat, bahkan memutus generasi manusia berikutnya. Sebab, hubungan seks

sesama laki-laki tidak akan membuahkan keturunan.

Sementara itu, perempuan pun akan kehilangan kesempatan untuk

memuaskan kebutuhan biologisnya. Rasa kesepian semacam ini akan


59

mengakibatkan penyimpangan seks di kalangan perempuan itu sendiri. Hal ini

akan mendorong mereka untuk mengadakan hubungan seks antar-sesama

(lesbian). Sikap ini akan menghindarkan perkawinan dengan laki-laki. Bila hal ini

terjadi, maka seluruh pranata sosial akan mengalami kehancuran. Hikmah lainnya

yang amat besar artinya adalah terpeliharanya akhlak.

Hukum Islam sangat mengutamakan kemuliaan akhlak, karena dengan itu

manusia dapat menjalankan fitrahnya sesuai dengan sunnatullah. Akhlak yang

baik akan membawa ketenteraman bagi manusia untuk menjalankan perintah dan

menghentikan larangan yang telah disyari‟atkan.58

58
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba‟ah,( Sho‟ba Matbu'at,
Mehakma af Panjab, 1979) h. 117– 118.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari kesimpulan yang dapat diambil Hukum Qanun Aceh Nomor 4 Tahun

2014 dengan Enakmen Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992 memiliki

persamaan dan perbedaan:

1. Persamaannya adalah kedua-dua negeri telah menetapkan sanksi kepada

pelaku homoseksual dan LGBT. Hal ini menunjukkan bahawa kedua-dua

negeri ini meletakkan kesalahan homoseksual dan LGBT ini di bawah

kesalahan jenayah.

2. Perbedaan yang terdapat Hukum Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2014

dengan Enakmen Jenayah Syariah Negeri Sembilan Tahun 1992 ialah

pada kadar sanksi yang telah dikenakan bagi pelaku jenayah homoseksual

dan LGBT ini. Menurut qanun Aceh sangsi yang dikenakan adalah

hukuman cambuk 1000 gram emas murni atau kedua-duanya skali.

Manakala menuruh enakmen jenayah syariah Negeri Sembilan pula,

hukuman yang dikenakan adalah denda uang yang tidak melebihi tiga ribu

ringgit dan penjara tidak melebihi dua tahun atau kedua-duanya sekali.

3. Faktor perbedaan lain adalah di Aceh satu-satunya negeri di Indonesia

yang telah diberi otonomi untuk melaksanakan hukum syariat Islam yang

ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri. Manakala di Malaysia, enakmen

syariah untuk keseluruhan negeri dalam Malaysia terikat dengan Akta 355

yang menyekat dan menghalang untuk meletakkan hukuman yang tinggi

bagi pelaku jenayah syariah khusunya homoseksual.

72
73

B. Saranan

Setelah penulis menyelesaikan skripsi ini dengan segala usaha,

kemampuan dan pengetahuan, maka berikut adalah beberapa saranan yang penulis

rasa perlu diambil perhatian oleh pihak-pihak yang berkaitan:

1. Dari penelitian ini penulis berharap agar pihak pemerintah di Malaysia

mengambil berat tentang kadar sanksi yang di tetapkan di dalam enakmen

syariah di setiap negeri di Malaysia khususnya Negeri Sembilan agar

bersesuaikan dan bertepatan dengan syariat Islam melalui merangka semula

ketetapan kadar hukuman di Akta 355 dalam seperti mana Aceh Darussalam.

Hal ini amatlah penting bagi mencegah masalah berlakunya kasus-kasus

jenayah khususnya homoseksual dan LGBT.

2. Setiap mana-mana pertubuhan Islam sentiasa bergerak aktif dalam

menerangkan kepada masyarakat tentang hukum syariat Islam dan cara

perlaksanaan hukuman bagi kasus-kasus jenayah yang berlaku di kedua-dua

negeri yang berkaitan.

3. Sebagai individu muslim seharusnya kita lebih memperdalami dan

memperkaya ilmu Agama Islam karena kesalahan homoseksual dan LGBT ini

adalah sesuatu maksiat yang sangat dimurkai oleh Allah SWT dan merupakan

dosa besar dalam Islam.


DAFTAR PUSTAKA

A.Rani Usman. Sejarah Peradaban Aceh. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,


2003)

Abdul Qadir Audah, al-Tasyri‟ al-Jina`i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-


Wad'i (Iskandariah: Dar al-Nasyr al-Saqafiyah, 1949)

Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba‟ah,( Sh'oba


Matbu'at, Mehakmaaf Panjab, 1979)

Abu Daud Sulaiman Bin Ash‟ath, Sunan Abu Daud,(Darul Risalah Al-Alamiah,
2009)

Al-Chaidar. Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara


Islam. (Jakarta: Madani Press, 1999)

Arskal salim, Sharia from Below in Aceh (1930s-1960s): Islamic Identity and the
Right to Self- Determination with Comparative Reference to the Moro
Islamic Libertation Front (MILF), Indonesia and the Malay World, Vol
32, Issue 92, 2004,80-99

Berita Harian, 20 September 2018

Depag RI, Quran dan Terjemahan, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006)

Fathi Yakan, al-Islam wa al-Jins, penerj. Syafril Halim, Islam dan Seks (Jakarta:
Al-Hidayah, 1989)

Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Panjimas, 1979)

http://forum.liputan6.com/t/sejarah-lgbt-di-dunia/26502

http://jheains.ns.gov.my/my/organization/pengenalan

http://www.ns.gov.my/my/kerajaan/info-negeri/sejarah-penubuhan

https://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualsualsualitas

https://www.bharian.com.my/berita/kes/2019/09/610507/dua-lelaki-didenda-
rm1000- kerana-bercium

https://www.liputan6.com/regional/read/2961923/pasangan-gay-jalani-hukuman-
cambuk-85-kali-di-aceh

Husni Mubarrak A. Latief, Sengkarut Syariat Atas-Bawah; Gelombang Baru,


(Banda Aceh: Komunitas Tikar Pandan, 2009)
Ibnu „Arabi, Ahkam al-Qur'an (Mesir: Isya al-Babi al-Halabi wa Syirkahu, 1968)

Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, (Maktabah Syamilah)

Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Islamic Law in Southeast Asia – a Study of Its


Application in Kelantan and Aceh, (Chiang Mai: Silkworm Books, 2009),

Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa


Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,1988)

Khalidah Ellyani, Staf (Penyelidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS) Wilayatul Hisbah,


Banda Aceh, Aceh, Wawancara, 21 Maret 2019

Lee Chong Fook et.al. 2014. Process of Criminal Justice: Trial Proceedings,
Sentencing and Appeals. (Petaling Jaya: Lexis Nexis)

Mahjiddin, Masailul Fiqhiyah : Berbagi Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam


Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003)

Mahmud Syaltut, al-Islam, Aqidatun wa Syari‟atun,( Cairo, Dar al- Syuruq)

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: Karya Unipress, 1988)

Moch. Nurhasim. Konflik dan Intergrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka.


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)

Moh. Soleh Isre. Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer. (Jakarta:


Departemen Agama RI, 2003)

Murtadha Mutahahri, Manusia Dan Agama (Bandung: Mizan, 1984)

Muslim bin Hujjaj Abu Hasan al Qusyairi an Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar Ihya‟ at Turath al Arabi)

Natangsa, Surbakti, “Penegakan Hukum Pidana Islam (Jinayat) di Provinsi


Naggroe Aceh Darussalam”, Jurnal Media Hukum, XVII, 2 (Desember,
2010)

Nazaruddin Syamsuddin. Integrasi Politik di Indonesia.( Jakarta: Gramedia,


1989)

Neta S. Pane. Gerakan Aceh Merdeka: Solusi, Harapan dan Impian. (Jakarta:
Grasindo, 2001)

Nik Muhd Marzuki Hj. Mohd D,Nor. Laporan Pembentangan wakil JAWI
diperjumpaan berkenaan Lesbian, maknyah. Biseksual dan trangender
(Transgender) dari sudut pendangan Islam bersama SUHAKAM
.(KualaLumpur. 2011)
Norliah Sajuri. Kertas Kerja Pertukaran Status Jantina Dalam Mykad dan
Impikasinya Jurnal Penyelidikan Islam.( Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia. Bil 19. 2006)

QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT,

Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Kairo: Matba‟ah Hajari, 1950)

Rusjdi Ali Muhammad, Revitalitas Syari‟at Islam di Aceh, (Jakarta: Lagos,


2003,Cet Pertama)

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Libanon: Dar al-Fikr, 1968), jilid 6

Sebastian Koto. Pengambilan Keputusan dalam Konflik Aceh. (Surabaya:


Papyrus, 2004)

Sulaiman, Studi Syariat Islam Di Aceh(Madani Publisher, Aceh: 2018) cet.1

Syaikh al-„Allamah Muhammad bin „Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat


Mazhab(Bandung: Hasyimi, 2015)

Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, terj. dari buku Hikmatut
Tasyri Wa Falsafatuh (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013)

Syaikh Sayyid Sabbiq, Fiqih Sunnah (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2010)

Syamsul Hadi. Disintegrasi Pasca Orde Baru.( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007)

Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangeban, Politik Syariat Islam: dari
Indonesia hingga Nigeria,(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004)

UNDANG-UNDANG MALAYSIA, AKTA 355, AKTA MAHKAMAH


SYARIAH (BIDANG KUASA JENAYAH) 1965, mengandungi
pindaan terkini - Akta A996

Undang-Undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan, Akta 1260/2006

Wawan Gunawan, Perilaku Homoseksual Dalam Pandangan Hukum Islam, 2003.

Yahya Ma‟hsum dan Roellya Arrdhyaning Tyas, Bedanya Homoseksual dengan


Waria, (Jakarta, 2004)

Zuhdi Masyfuk, Masail Fiqhiyah : kapita selekta hukum islam, (Jakarta: Haji
Masagung, 1992)

Zulkifli Hasan, Isu Undang-Undang Jenayah Islam Malaysia dan Sejauhmanakah


Pelaksanaannya, zulkiflihasan.files.wordpress.com
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Muhammad Nasrullah Bin Ishak, lahir di Negeri

Sembilan, Malaysia pada tanggal 18 Februari 1993

merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara, lahir dari pasangan

Ishak Bin Abdullah dan Latifah Nor Binti Mt Dom . Penulis

menjalani pendidikan awal di Maahad Ahmadi Gemencheh,

Negeri Sembilan dan tamat pada tahun 2010, menyambung pendidikan diploma di

Kolej Islam Sains Dan Teknologi, Kelantan dalam jurusan Falak Syari‟e. Penulis

melanjutkan studi ke Universitas Sultan Syarif Kasim Riau, Fakultas Syariah dan

Hukum dengan Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum pada bulan September

2015 dan menamatkan studi pada bulan December 2019

Anda mungkin juga menyukai