Anda di halaman 1dari 125

MEKANISME DAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAK ATAS TANAH TERLANTAR

BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH


NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN
DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum


Pada Bagian Program Studi Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Oleh :

AHSANUL RIZQI RAMADHAN


02011381823401

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2022
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Man Jadda, Wajada

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil.

(Muhammad Said to Chandrawulan)

THE RIGHT MAN, IN THE RIGHT PLACE, AT THE TIME

-GREGORY NUNN-

(Penulis)

Skripsi ini Kupersembahkan Untuk :

 Kedua Orang Tuaku Tercinta (Muhammad


Said dan ChanDrawulan)
 Kedua Adik Tersayangku (Ahmad Daffa
Rasyidi dan Nurul Badi’ah)
 Keluarga Besar Terkasihku
 Guru-Guru serta Dosen-Dosenku
 Orang-Orang serta Teman Terdekatku
 Almamaterku
 Organisasi-Organisasiku

iv
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, saya ingin memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang

Maha Pengasih lagi Maha Pengampun atas setiap anugerah, nikmat, rahmat dan karunia.

Yang diberikan kepada penulis sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya

sesuai dengan apa yang penulis harapkan. Skripsi ini Diajukan untuk memenuhi sebagian

persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum pada

Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universias Sriwijaya.

Disusun Skripsi ini dengan judul “MEKANISME DAN PELAKSANAAN PENETAPAN

HAK ATAS TANAH TERLANTAR BERDASARKAN PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN

PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR”.

Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan skripsi ini tentu masih banyak

sekali tantangan, rintangan serta kekurangan yang penulis hadapi dalam penulisan skripsi

ini, untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun bagi semua pihak

yang berkesempatan membaca skripsi demi kesempurnaan skripsi ini. Pada penulisan

skripsi ini penulis mendapatkan arahan, bimbingan dan bantuan serta dukungan, dari

berbagai pihak baik segi moril maupun materil sehingga penulis mampu menyelesaikan

penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik hingga akhir. Oleh karena itu, Pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak, terutama kepada bapak Dr. Firman Muntaqo, S.H.,

M.Hum. selaku pembimbing Utama dan ibu Dr. Iza Rumesten RS, S.H., M.Hum. selaku

pembimbing kedua. Serta Bapak Taroman Pasyah, S.H.I., M.H. selaku pembimbing

akademik yang telah sangat luar biasa dalam membimbing dan mengarahkan penulis
v
UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah puji dan syukur kepada Allah SWT, karena rahmat serta karuniaNya

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis

mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas doa, bantuan, bimbingan serta saran

yang telah diberikan kepada penulis untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini, antara lain :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Anis Saggaff, MSCE., IPU. selaku Rektor Universitas

Sriwijaya beserta jajaranya;

2. Bapak Dr. Febrian, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

beserta stafnya;

3. Bapak Dr. Mada Apriandi, S.H., MCL. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya;

4. Bapak Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya;

5. Bapak Drs. H. Murzal, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya;

6. Bapak Dr. Firman Muntaqo, S.H., M.Hum. sekalu pembimbing utama penulis yang

telah membantu dan bersedia meluangkan waktunya dalam membimbing penulis

dari awal proses pembuatan hingga penulisan skripsi ini selesai;

7. Ibu Dr. Iza Rumesten RS. S.H., M.Hum. selaku pembimbing kedua sekaligus ketua

bagian Hukum Administrasi Negara yang telah banyak membantu penulis dan

bersedia meluangkan waktunya demi terselesainya pembuatan skripsi ini;

vii
8. Bapak Taroman Pasyah, S.H.I., M.H. selaku pembimbing akademik penulis yang

telah banyak membantu penulis dan bersedia meluangkan waktunya dari awal proses

perkuliahan sejak semester 1 hingga pada tahap penulisan dan penyelesaian

pembuatan skripsi ini;

9. Bapak Agus Ngadino S.H., M.H. selaku ketua Laboraturium Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya dan staff serta pegawai yang telah membantu dan memberikan

arahan dalam proses PLKH dan KKL

10. Bapak Drs. Ralin Jufri, M.M. selaku Kepala Badan Kepegawaian dan

Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Musi Rawas Utara yang telah

memberikan izin untuk kuliah kerja lapangan di BKPSDM Kab. Musi Rawas utara;

11. Bapak Jamiludin, S.Pd. dan Bapak Muslimin selaku pembimbing Kuliah Kerja

Lapangan di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kabupaten Musi Rawas Utara serta staff dan pegawai yang telah membantu dan

memberikan izin, serta membimbing penulis dalam menjalani Kuliah Kerja

Lapangan di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Kabupaten Musi Rawas Utara

12. Terima kasih banyak kepada kedua orang tua saya Ayahanda Dr. Muhammad Said,

M.T., dan Ibunda Chandrawulan atas segala doa yang tulus dan restu, kasih sayang,

kesabaran, dan semangat, serta u dukungan baik moril maupun materil yang selalu

diberikan kepada penulis sedari awal hingga saat ini;

13. Kedua adik saya Ahmad Daffa Rasyidi dan Nurul badi’ah terimakasih sudah

menjadi penyemangat dalam hidup dari awal hingga saat ini;

viii
14. Seluruh Keluarga Besar Akas Usman Hasyim dan Aki Topikin, seperti Bunda,

Ayah, Wak Cek, Wak Cik, Wak Ngah, Tante Ucu, Tante Ici,Wak Uus(Alm) Wak

Nina, Wak Dadang, Bi Mila, Mang Eful, Wak Eri, Wak Itoh, dan lain-lain yang

tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas segala bantuan baik dari

segi moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis agar dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini;

15. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang dengan sabar

memberikan ilmu kepada Mahasiswa secara tulus dan ikhlas, serta selalu memberi

motivasi dan semangat untuk terus mengejar cita-cita dan menjadi manusia yang

berguna di masa mendatang;

16. Seluruh Staff dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang dengan

sabar melayani dan memberikan jawaban dari pertanyaan mahasiswa seputaran

persyaratan perkuliahan, memberikan kemudahan, dan kelancaran sarana prasarana

selama penulis menjalani perkuliahan;

17. Kakanda Singgih Triwibowo dan Oklandy Alwi serta kakak-kakak tingkat dan

senior-seniorku mohon maaf yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,

terimakasih kepada kalian yang telah mendukung dan memberi arahan-arahan yang

selalu ada untuk penulis serta telah mensuport dan menjadi inspirasi bagi penulis;

18. Sahabat-sahabatku sedari kecil Aan, Romi, Diko, Ibob, Tirta, Dani kecil, Danik

Besar, Ale, Ire, Dendi, Basit, dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-

persatu, terima kasih atas semangat serta hiburan yang telah kalian berikan;

ix
19. Teman-teman seperjuanganku Angkatan 2018 Fakultas Hukum Kampus Palembang

dari awal masuk sampai saat ini, terimakasih atas bantuan dan semangat yang telah

kalian berikan;

20. Teman-teman PLKH TIM 7 Semester Genap Tahun Ajaran 2020/2021, terkhusus

kepada ketua tim Muhammad Fahry Yogaswara dan seluruh anggota TIM 7

terimakasih atas pengalaman yang sangat luar biasa dan terimakasih sudah mau

bekerja sama dengan penulis dalam menyelesaikan Pemberkasan serta Sidang MCC

21. Teman-teman seperjuangan Adre Noufal Athallah dan orang-orang dari rombongan

Wifi Unsri Squad yang telah membantu dan menjadi wadah bagi saya untuk bertukar

pikiran, khususnya dalam terwujudnya proposal ini;

22. Almamaterku Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya;

23. Organisasi-organisasiku, Terimakasih sudah menjadi penampung diskusi dan

bertukar pikiran serta mengembangkan minat dan bakat penulis dalam setiap

kegiatan terutama dalam penyelesaian Skripsi ini;

24. Serta terima kasih kepada semua pihak-pihak yang mohon maaf tidak dapat penulis

sebutkan satu-persatu dalam skripsi ini, yang telah banyak membantu baik secara

moril dan materil dalam menyelesaikan skripsi ini, nama kalian tetap tertulis dalam

hati serta doa-doa penulis.

Semoga apa yang telah dilakukan dan diberikan oleh semua pihak terhadap penulis

dapat diberikan berkah serta nikmat yang melimpah dari Allah SWT, dan penulis percaya

bahwa apa yang kita tuai adalah hal-hal yang kita tanam dahulu. Hapan penulis semoga

skripsi ini bisa bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca, dan bagi pihak-pihak yang

membutuhkannya.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ..................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH .......................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii
ABSTRAK ..................................................................................................... xv
ABSTRACT ................................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 12

C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 12

D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 13

1. Manfaat Teoritis .............................................................................. 13

2. Manfaat Praktis ................................................................................ 13

E. Ruang Lingkup .................................................................................... 14

F. Kerangka Teori .................................................................................... 14

1. Teori Negara Hukum ........................................................................ 14

2. Teori Perlindungan Hukum ............................................................... 19

3. Teori Kepastian Hukum .................................................................... 22

G. Metode Penelitian ................................................................................ 23

1. Jenis Penelitian .................................................................................. 24

2. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 24

xii
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ...................................................... 26

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................. 27

5. Teknik Pengolahan Bahan Penelitian ............................................... 28

6. Teknik Analisis Bahan Hukum ......................................................... 29

7. Teknik Penarikan Kesimpulan .......................................................... 30

H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 30

BAB II TANAH TERLANTAR, PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS


TANAH, NEGARA HUKUM, PERLINDUNGAN HUKUM, KEPASTIAN
HUKUM ............................................................................................ 31

A. Tanah Terlantar .................................................................................... 31

1. Tanah Terlantar Menurut Hukum Pertanahan Nasional .................... 31

2. Penertiban Tanah Terlantar Yang Dikuasai Oleh Masyarakat ......... 35

B. Pendaftaran Tanah ............................................................................... 38

1. Pengertian Pendaftaran Hak Atas Tanah .......................................... 38

2. Kepastian Hukum Sertifikat Hak Milik ............................................ 40

C. Hak Milik Atas Tanah ......................................................................... 42

1. Pengertian Hak Milik ........................................................................ 42

2. Hak Milik Atas Tanah Yang Berasal Dari Hukum Adat .................. 43

D. Negara Hukum .................................................................................... 45

1. Pengertian Negara Hukum ................................................................ 45

2. Hukum Pertanahan ........................................................................... 46

3. Tujuan Negara Hukum Indonesia .................................................... 48

E. Perlindungan Hukum ............................................................................. 51

1. Pengertian Perlindungan Hukum ...................................................... 51

xiii
2. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum ............................................... 53

3. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum ............................................... 57

F. Kepastian Hukum .................................................................................. 59

1. Kepastian ......................................................................................... 59

2. Hukum .............................................................................................. 60

3. Kepastian Hukum ............................................................................. 62

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................. 63

A. Mekanisme dan Pelaksanaan Penetapan Hak Atas Tanah Terlantar

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Pendayagunaan Tanah Terlantar ......................................................... 63

B. Faktor-faktor Penyebab Penelantaran Tanah ........................................ 84

BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 91

A. Kesimpulan ....................................................................................... 91

B. Rekomendasi ..................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 93

LAMPIRAN ................................................................................................... 101

xiv
xvi

ABSTRACK
One of the principles of land law states that agricultural land should be actively
worked or cultivated by the owner himself. However, at this time there are still
people who do not use their land optimally because it is used as an investment
object so that it seems that the land is neglected. Abandonment of land is an act
that is unwise, uneconomical, unfair, and is a violation of the obligations that must
be carried out by rights holders who have obtained the basis of land tenure. The
purpose of this study is to examine the mechanism and implementation of the
determination of land rights due to abandoned land based on government
regulation number 11 of 2010 concerning Control and Utilization of Abandoned
Land and the factors that cause abandonment of property rights. This research is a
normative legal research. Based on the results of the study, it can be concluded
that the mechanism and implementation of the determination of land rights due to
abandoned land according to Government Regulation No. 11 of 2010 concerning
Control and Utilization of Abandoned Land is in four stages, namely land
inventory, land identification, warning to right holders and stipulation of
abandoned land. The legal consequences of establishing rights to abandoned land
for owners of land rights are the termination of the legal relationship between the
subject of the holder of land rights and the object of the land, then the land is re-
controlled by the state.
Keywords: Mechanism, Implementation, Abandoned Land.

Palembang, Maret 2022

Pembimbing Utama, Pembimbing Pembantu,

Dr. Firman Muntaqo, S.H., M.Hum. Dr. Iza Rumesten RS., S.H., M.Hum
NIP. 196311111990011001 NIP. 198109272008012013

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara

Dr. Iza Rumesten RS., S.H., M.Hum.


NIP. 198109272008012013

xvi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketergantungan manusia terhadap Salah satu kekayaan alam atau sumber

daya alam adalah tanah. Manusia hidup di atas tanah dengan mendirikan rumah

(papan) dan memperoleh penghidupan seperti bahan makanan (pangan) dengan

mendayagunakan kesuburan tanah. Dua dari tiga kebutuhan primer manusia

(sandang, pangan, papan) berkaitan dengan tanah, sehingga kehidupan manusia

sangat membutuhkan tanah dan tidak dapat dipisahkan dengannya. Tanah

merupakan modal bagi masyarakat Indonesia dan menjadi suatu unsur utama

dalam pembangunan menuju terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.

Tanah memiliki peranan yang besar dalam dinamika pembangunan. Dalam

Negara Republik Indonesia, kehidupan rakyatnya terutama perekonomian masih

bercorak agraria. Praktis pergerakan setiap jenis kehidupan manusia, baik secara

langsung maupun tidak langsung, sangat membutuhkan tanah. Tak terkecuali

ketika orang menggigit debu, sebenarnya mereka membutuhkan lahan untuk

interniran. Dalam keberadaan manusia, tanah telah berubah menjadi satu kesatuan

yang tak terpisahkan sepanjang hidupnya.1

Kata agrarian mempunyai arti yang sangat berbeda antara Bahasa yang

satu dengan bahasa lainnya. Dalam bahasa latin kata agrarian berasal dari kata

1
I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari dan I Ketut Kasta Arya Wijaya, 2017. Tinjauan Yuridis
Pengaturan Tanah Druwe Desa di Bali (Aspek Hukum Perlindungan Masyarakat Adat Atas
Tanah). Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Volume 1, Nomor 1, hlm. 34.

1
2

ager dan agrarius.2 Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata

agrarius mempunya arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian. Dalam

terminologi bahasa Indonesia, agrarian berarti urusan tanah pertanian,

perkebunan, rumah agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan

usaha pertanian. Pengertian agrarian ini sama sebutannya dengan agrarian laws,

bahkan sering kali digunakan untuk menunjukkan kepada perangkat peraturan

hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam

rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah.3 Pengertian Tanah

adalah lapisan bumi yang paling luar atau lapisan bumi yang berada di atas sekali.

Tanah dalam pengertian yuridis, khususnya hak-hak istimewa tanah dapat dituntut

atau dibatasi oleh orang-orang yang berasal dari penduduk Indonesia atau orang

luar yang berdomisili di Indonesia, dapat pula dibatasi oleh unsur-unsur yang

halal, khususnya bahan-bahan hukum privat atau unsur-unsur hukum publik,

unsur-unsur sah Indonesia atau unsur-unsur hukum. . pihak luar yang memiliki

delegasi di Indonesia.

Berkenaan dengan tanah, tanah adalah lapisan terluar bumi sebagai tanah tempat

manusia berpijak, bermukim, bercocok tanam dan berbagai macam organisasi

untuk menjaga daya tahannya. bantuan pemerintah melalui upaya otoritas publik.

(Tanah) merupakan suatu kebutuhan esensial dalam eksistensi manusia.4

Secara konstitusional, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa,

“bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
2
M. Yazid Fathoni, 2018. Lingkup dan Implikasi Yuridis Pengertian “Agraria” Dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960, Justitia Jurnal Hukum, Volume 2, Nomor 2, hlm. 356.
3
St. Paul Minn, Black’s Law Dictionary, 1983, West Publisihing Co, hlm. 73.
4
Ibid, hlm. 101.
3

dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Dari ketentuan dasar tersebut, dapat diketahui bahwa kemakmuran rakyatlah yang

menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa

serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Untuk tercapainya masyarakat yang adil dan makmur, maka di bidang

agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan

dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup

rakyat dan Negara. Rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh

wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus

(regional planning) dari tiap-tiap daerah.2 Dengan adanya planning itu maka

penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur sehingga dapat

membawa manfaat (kemakmuran dan kesejahteraan) yang sebesar-besarnya bagi

rakyat.

Berdasarkan jalan pemikiran tersebut, telah dikeluarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang biasa

disebut Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Pasal 2 ayat

(1) UUPA mengatur bahwa, “Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,

bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”


4

Sedangkan di dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar

Standar Agraria (UUPA), ada dua macam perjanjian agraria, lebih spesifiknya:

1. Secara luas termuat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang mengatur tentang bumi,

air, dan ruang angkasa.

2. Hampir tidak tertahan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA.

Logikanya, landasan UUPA diarahkan untuk mengakui apa yang tercantum dalam

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa

“bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.5

Diatur pula dalam Pasal 19, 23, 32, dan 38 UUPA yang menghendaki agar

pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat recht kadaster

dengan asas bahwa penguasaan saja terhadap suatu bidang tanah belum

merupakan jaminan bahwa orang tersebut berhak atas tanahnya. Ini sesuai dengan

maksud dan tujuan UUPA, khususnya mengenai peletakkan dasar-dasar dalam

rangka mengadakan kepastian hukum atas tanah. Dari hal-hal tersebut, maka

bukan suatu hal yang mustahil bahwa terbuka kemungkinan timbulnya

perselisihan/persengketaan hak, baik secara materiil maupun secara formil.

Negara adalah subjek yang sah yang memiliki posisi untuk membantu

berbagai komitmen dan kebebasan penduduk. Hak Milik Negara (HMN) adalah

kekuasaan untuk menguasai Aset Agraria (SDM) yang diperoleh negara melalui

penunjukan kebebasan publik dari Keistimewaan Negara. Berdasarkan kekuasaan

5
Ibid, hlm. 3.
5

ini, negara mengeluarkan pendekatan, membuat tindakan, mengawasi, mengawasi

dan mengelola kontrol, kepemilikan, penggunaan dan penggunaan aset reguler.

Kewenangan adalah kesepakatan yang bersumber dari undang-undang

perhimpunan pemerintah, yang dapat diperjelas secara umum tentang aturan-

aturan yang berkaitan dengan perolehan dan pemanfaatan wewenang pemerintah

oleh subyek peraturan publik dalam hubungan hukum yang terbuka.

Kepentingan atas tanah untuk wilayah lokal itu terkait dengan kebebasan yang

diklaim oleh individu-individu lokal di wilayah Indonesia ini. Di samping

padatnya penduduk Indonesia, jelas akan bertambah pentingnya kedudukan hak-

hak atas tanah yang dimiliki oleh anggota masyarakat.6

Berdasarkan pengaturan di dalam UUPA, asal atau sumber dari lahirnya

kepemilikan atas tanah oleh masyarakat atau warga negara adalah bersumber dari

dua unsur, yakni:

1. Hak atas tanah oleh warga negara yang lahir dikarenakan adanya

pemberlakuan atau penerapan hukum adat di Indonesia yang di

mana hak atas tanah tersebut diperoleh dan dimiliki terus menerus

dan dapat dilanjutkan (diwariskan) yang pada mulanya

bersumber berdasarkan adanya tindakan pengalihfungsian tanah-

tanah hutan yang di mana terhadap tanah tersebut belum pernah

dilakukan penguasaan.

6
Arie Bestary, 2014. Analisis Yuridis Kelemahan Kriteria Tanah Terlantar Yang Berstatus Hak
Milik, E-Jurnal Gloria Yuris, Volume 2, Nomor 3, hlm 1.
6

2. Hak atas tanah yang diperoleh dari warga negara lainnya atau

individu-individu tertentu baik itu secara pribadi maupun

berbarengan yang dilakukan berbagai subyek hukum lain yang di

dalamnya termasuk suatu badan hokum dan rakyat.7

Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 ayat

(1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai

yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak

atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada

dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang- orang lain serta badan-badan hukum.”

Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat

diberikan kepada orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing,

perkumpulan bersama, dan zat sah, baik unsur hukum privat maupun unsur

hukum publik.8

Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 16 menyebutkan bahwa: “Hak- hak

atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah : a. hak milik, b.

hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka

tanah, g. hak memungut hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam

hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-

hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.”

7
A. A. Sagung Tri Buana Marwanto, 2017. Pengaturan Hak Penguasaan Tanah Hak Milik
Perorangan Oleh Negara, Volume 5, Nomor 4, hlm. 9.
8
Urip Santoso, 2012. Hukum Agraria Kajian Komperhensif. Kencana, Surabaya, hlm. 89.
7

Dalam pengaturan pertanahan umum terdapat berbagai macam kebebasan

keresidenan tanah, termasuk hak keresidenan tanah yang paling tinggi, yang

merupakan hak-hak individu Indonesia yang merupakan manifestasi dari setiap

individu Indonesia.

Setiap penguasaan, benda-benda yang harus dilampirkan dengan pengukuhan hak

milik, termasuk hak milik atas tanah harus dilengkapi dengan bukti yuridis.

Kebebasan tanah ditunjukkan melalui wasiat yang telah didaftarkan pada Badan

Pertanahan Umum (BPN) dibantu melalui Badan Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Sesuai Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998, PPAT merupakan kewenangan

umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta asli sehubungan dengan

kegiatan-kegiatan tertentu yang sah sehubungan dengan kebebasan tanah atau

hak-hak kepemilikan atas unit-unit tingkat.

Bukan hanya surat wasiat atau surat-surat tanah yang bisa menjadi bukti, tetapi

juga bisa sebagai tanaman yang ada di atas tanah yang dikembangkan. Pada

dasarnya, endorsement dapat disalin, sedangkan bukti tanggung jawab untuk

pengembangan di darat tidak dapat disalin atau dikendalikan.

Wasiat adalah pernyataan penegasan kebebasan sebagaimana disinggung dalam

Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA untuk hak-hak atas tanah, tanah wakaf kebebasan

pengurus, kebebasan pemilikan satuan-satuan dan hak-hak kredit rumah, yang

masing-masing telah dicatat dalam buku tanah yang berlaku.

Pendaftaran tanah diselesaikan berdasarkan standar dasar, terlindung, wajar,

modern dan terbuka. Motivasi di balik pendaftaran kepemilikan tanah adalah


8

untuk memastikan kepastian hukum sejauh status kepemilikan tanah. Pendaftaran

tanah diatur dalam undang-undang tidak resmi Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Daerah.

Setiap individu dan elemen hukum yang telah diberikan kebebasan oleh Negara di

darat harus mengembangkan tanah yang telah diberikan hak istimewa oleh Negara

untuk dipergunakan sebagaimana mestinya untuk, mewujudkan cita- cita Negara

Republik Indonesia.

Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 15 Menyebutkan bahwa:

“Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah

kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang

mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak

yang ekonomis lemah.”

Terdapat salah satu asas-asas hukum agraria nasional yang menyebutkan,

asas bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh

pemiliknya sendiri.9 Sudah sewajarnya apabila kita mengelola tanah dengan

sebaik-baiknya agar pemanfaatantanya dapat memberikan kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat demi mewujudkan cita- cita bangsa sesuai yang telah

diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas

9
Arba, 2019. Hukum Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Prinsip-prinsip Hukum Perencanaan
Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. Jakarta Timur: Sinar Grafika, hlm. 41.
9

mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup

yang lebih baik.10

Namun, saat ini masih ada orang yang tidak memanfaatkan tanahnya

secara maksimal karena dijadikan sebagai objek investasi sehingga terkesan

tanahnya di terlantarkan. Penelantaran tanah merupakan tindakan yang tidak

bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya potensi ekonomi tanah) tidak berkeadilan,

serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para

pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.

Pemahaman secara umum mengenai tanah terlantar adalah tanah yang

dimiliki oleh seseorang, namun tidak dipergunakan, dimanfaatkan atau tidak

diusahakan sesuai dengan keadaannya, sifat pemilikan serta tujuan perolehan hak

atas tanah.11

Adanya tanah terlantar disebabkan oknum pemilik tanah yang tidak

mengusahakan tanah yang dimiliki/ketidaksesuaian pemanfaatan tanah

sebagaimana dasar pengajuan permohonan penguasaan hak atas tanah yang

dimiliki. Seakan telah dapat diprediksikan akan timbulnya tanah terlantar, dalam

UUPA menyebutkan akan hilang hak kepemilikan atas tanah salah satunya karena

“diterlantarkan”, oleh sebab itu pemilik hak diwajibkan mengelola tanah yang

dimiliki sesuai dengan peruntukannya.12

10
Isbandi Rukminto Adi, 2013. Kesejahteraan Sosial Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan
Kajian Pembangunan. Depok: Raja Grafindo Persada, hlm. 4.
11
Arie Bestary, Op. Cit., hlm. 17.
12
Heru Yudi Kurniawan, 2015. Tinjauan Yuridis Pemanfaatan Tanah Terindikasi Terlantar Untuk
Kegiatan Produktif Masyarakat (Meninngkatkan Taraf Perekonomian) Ditinjau dari PP Nomor 11
10

Mengenai tanah terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36

Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang

kemudian diperbaharui menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010

Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 Pasal 2 menyebutkan bahwa:

“Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh

Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan

Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak

dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan

tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.”

Mengenai tanah-tanah yang terlantar tersebut di atas, baik yang

mempunyai hak-hak istimewa yang berhubungan maupun yang diberi kebebasan

tanah oleh orang miskin, dapat dinyatakan secara langsung dibatasi oleh Negara

dengan asumsi tanah itu dinyatakan kosong.

Dalam realita saat ini, banyak daerah terlantar yang diabaikan administrasinya

seperti hak kepemilikan, kebebasan pembangunan, hak guna bangunan, serta hak

eksekutif dan kebebasan kontrol, bahkan tanah yang dibatasi oleh otoritas publik,

baik secara langsung maupun tidak langsung. cara, memiliki situasi dengan

kebebasan milik negara. wilayah.

Sulit untuk mengklasifikasikan kebebasan pemilikan tanah yang diabaikan

sebagai tanah kosong, mengingat hal itu bergantung pada kapasitas dan keinginan

tahun 2010 Tentang Pemanfaatan dan Pendaya Gunaan Tanah Terlantar, Jurnal Nestor Magister
Hukum, Volume 1, hlm. 1.
11

pemilik tanah untuk mengikuti, mengembangkan/menggunakan sesuai

kapasitasnya, sehingga lebih banyak lagi yang dibiarkan tanpa pengawasan. Hal

ini kemudian menjadi alasan sulitnya persyaratan regulasi, mengingat sangat

mungkin terjadi perebutan kebebasan atas tanah terlantar.

Idealnya persoalan ini perlu mendapat pertimbangan dari Kantor Pertanahan

Umum terdekat untuk mencari pengendalian sebagai salah satu jenis pemanfaatan

lahan terlantar, bagaimana instrumen penetapan pembebasan wilayah karena lahan

terlantar dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penguasaan dan

Pemanfaatan Lahan Terlantar dan apa hasil yang sah dari pertukaran hak istimewa

di tanah kosong bagi warga negara yang memiliki kebebasan tanah.

Mengingat dasar dari masalah ini, penulis esai tertarik untuk membicarakannya

sebagai proposal, yang penulis beri judul: “Penetapan Hak Atas Tanah Terlantar

Ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban

dan Pendaya Gunaan Tanah Terlantar.”

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan landasan tersebut, permasalahan yang akan dikaji adalah,

dalam eksplorasi penyusunan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana Mekanisme dan Pelaksanaan Penetapan Tanah Terlantar

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 ?

2. Apa Faktor-Faktor Penyebab Penelantaran Tanah Hak Milik?

B. Tujuan Penelitian
12

Berdasarkan permasalahan penelitian penulisan skripsi di atas, maka

tujuan penelitian penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme penetapan hak atas

tanah akibat tanah terlantar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11

Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis hasil yang sah dari menentukan opsi

untuk tanah terlantar untuk pemilik hak atas tanah.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian penulisan skripsi ini diharapkan dapat memiliki

manfaat teoritis maupun manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menghasilkan

pengetahuan dan wawasan baru mengenai mekanisme

penetapan hak atas Tanah Terlantar.

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat

di bidang ilmu hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi

masukan bagi masyarakat pada umumnya dan para penegak

hukum khususnya dalam menetapkan hak atas tanah

terlantar.
13

b. Diharapkan hasil penulisan ini dapat menjadi

masukan bagi penegak hukum dalam menerapkan sanksi

bagi pemilik Tanah yang dengan sengaja menelantarkan

Tanah miliknya.

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para

praktisi, terutama praktisi hukum dan akademisi hukum

khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal ini

dapat memberikan masukan untuk memecahkan masalah

dalam wewenang pembentukan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia

D. Ruang Lingkup

Penulis membatasi pembahasan permasalahan dalam rumusan masalah untuk


menghindari meluasnya arah penulisan skripsi ini hanya terbatas pada Komponen
Penjaminan Kebebasan Tanah Karena Tanah Terlantar Memutuskan dari Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penguasaan dan Penggunaan Tanah
Terlantar. Juga apa hasil yang sah dari memutuskan opsi untuk tanah kosong bagi
pemilik kebebasan tanah

E. Kerangka Teoritis

1. Kerangka Teoritis

a. Teori Negara Hukum

Manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan satu sama lain

dalam kehidupannya sebagai bentuk dari suatu hubungan timbal balik.

Secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bersama

secara berkelompok kelompok.

Berbagai macam hal yang dapat menjadi alasan setiap orang


14

berkumpul dan membentuk kelompok, yang erat kaitannya dengan

kepentingan yang sifatnya komunal. Bersatunya setiap orang dan

membentuk kelompoknya masing-masing dengan kepentingan tetentu.

Ada bentuk kehidupan yang bersifat sederhana karena anggota

kelompok saling kenal dan ada kerjasama yang erat antara kelompok

tersebut (primary group).13 Kemudian, ada kelompok yang besar dan

bersifat kompleks karena jumlah anggotanya banyak serta satu sama lain

tidak saling kenal, sehingga ikatan diantara anggota kelempok tidak

terlalu erat (secondary group).14

Dari pembahasan mengenai manusia yang hidup berkelompok, salah

satunya bentuk dari kesepakatan manusia untuk membentuk kelompok

adalah dengan terbentuknya sebuah negara. Negara merupakan suatu

bentuk kehidupan berkelompok yang besar dengan jumlah anggota yang

banyak sehingga dapat digolongkan kedalam jenis secondary group.

Menurut Aristoteles, tujuan negara adalah kebaikan yang tertinggi bagi

semua warga negara, sedangkan menurut Plato, tujuan negara adalah

kebahagiaan warga negara. Agar negara dapat berdiri tegak dan dapat

kokoh, maka diperlukan instrumen yang menjadi landasan utama sebagai

kaidah penuntun dalam hidup bernegara.

Landasan utama dalam berdirinya sebuah negara yang teratur dan

masyarakat yang adil dan tenteram adalah dengan adanya hukum disetiap

aspek dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan sesamanya


13
Hotma P Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta, hlm. 2.
14
Ibid., hlm. 3.
15

harus didasarkan pada aturan hukum sebagai kaidah dalam menjalankan

yang namanya sebuah negara. Kaidah hukum tersebut merupakan aturan

yang berasal dari manusia yang telah menggabungkan diri dalam satu

kelompok yang disebut masyarakat dan kaidah hukum tersebut

merupakan kesepakatan luhur bersama.

Kaidah yang terbentuk dalam masyarakat dan telah mendapatkan

pengakuan yang penuh dari masyarakat, maka kaidah tersebut secara

otomatis menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat

yang merupakan salah satu alasan dari terbentuknya sebuah negara,

dengan jumlah yang sangat banyak dan dengan kepentingan yang

beragam yang menjadi faktor utama diperlukannya hukum sebagai

panglima disebuah negara.

Terkait dengan upaya menjadikan hukum sebagai tuntunan dalam

hidup bernegara, Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi

aturan hukum yang berlaku. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat

(3) UUD Tahun 1945 yang berisi ketentuan bahwa,”Negara Indonesia

adalah negara hukum”. Pernyataan bahwa Indonesia adalah negara

hukum yang memberlakukan hukum terhadap warga negaranya, hal

tersebut senada dengan ucapan Cicero “Ubi societas ibu ius” yang

artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum.

Urusan pemerintahan bersifat dinamis, dikatakan demikian karena

tidak ada urusan pemerintahan yang dikategorikan sebagai urusan

pemerintahan pilihan akan selamanya ditetapkan menjadi urusan pilihan.


16

Dapat saja karena perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat, suatu

bidang urusan pilihan berubah menjadi urusan wajib, demikian pula

sebaliknya. Atau dapat saja suatu bidang urusan yang dikategorikan

menjadi urusan absolut, karena perkembangan zaman dan tuntutan

masyarakat berubah menjadi urusan pilihan, dan seterusnya. 15

Kemudian sebagai bangsa yang ingin tetap bersatu maka kita telah

menetapkan dasar dan ideologi negara, yakni Pancasila yang dipilih

sebagai dasar pemersatu dan pengikat yang kemudian melahirkan kaidah-

kaidah penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum.16

Salah satu standar yang dianut dalam UUPA adalah aturan

Memajukan Penggunaan Tanah Kebebasan, menyiratkan bahwa hak atas

sebidang tanah harus memiliki pilihan untuk memberikan keuntungan

terbaik, baik sejauh jumlah individu yang dapat menghargainya. , serta

sejauh mana manfaat/hasil yang dapat diambil dari pemanfaatan tanah

tersebut. itu. Dengan demikian, hak istimewa atas tanah yang diatur

dalam UUPA hanya memberikan pilihan untuk memanfaatkan tanah

(sejauh permukaan dunia), memiliki pilihan untuk mengambil

manfaat/barang (produk), dan tidak memberikan kebebasan kepemilikan

dari suatu perspektif (barang/tanah sebenarnya sebagai barang normal).

Selain itu, UUPA dengan tegas menetapkan bahwa dengan asumsi

hak atas tanah ditinggalkan (Vide Pasal 27 UUPA dan klarifikasinya),

(hak atas tanah) akan berada di bawah kendali negara (diingat untuk
15
Iza Rumesten RS, Pengaturan Pembagian Urusan Pemerintahan, Volume 27, Nomor 2, hlm
143.
16
Moh. Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 37.
17

kontrol Negara yang Mengendalikan Kebebasan).

Penataan tersebut sesuai dengan perspektif peraturan baku yang

mengakui hak istimewa tanah sebagai pintu terbuka yang diberikan untuk

memperoleh hasil (produk) dari kesempatan menggunakan tanah

(permukaan bumi) yang penting bagi solidaritas antara masyarakat

(jaringan peraturan baku) dan alam yang tidak dapat diisolasi (dibatasi

oleh peraturan). Sihir Ketat), sebagai Sumber Daya.

Mengingat pandangan ini, secara hipotetis, asumsi hak daerah yang

diperoleh sebagai kesempatan luar biasa untuk mendapatkan keuntungan

dari sebidang permukaan dunia tidak digunakan, karena mereka sengaja

tidak digunakan sesuai dengan kondisi atau sifat dan motivasi di balik

izin mereka. kebebasan (Vide Penjelasan Pasal 27 UUPA), maka pada

saat itu hak atas tanah berakhir.

Boedi Harsono mengungkapkan bahwa kapasitas sosial dari

kebebasan tanah mewajibkan orang yang memiliki tanah untuk

memanfaatkan tanah sesuai dengan kondisinya, artinya keadaan tanah,

sifat dan motivasi di balik pemberian hak istimewa. Dengan asumsi

komitmen tersebut sengaja diabaikan, hal itu dapat menyebabkan

pencabutan atau penggoresan hak yang dirujuk. Selain itu, dinyatakan

bahwa tanah bukan merupakan barang tukar, meskipun sebenarnya layak

untuk menjual tanah yang diklaim olehnya, tanah tidak boleh digunakan

sebagai objek usaha secara eksklusif, itu bertentangan dengan kapasitas

sosial dengan asumsi daerah. dijadikan sebagai objek hipotesis.


18

Mengingat hal ini, jelas hak atas tanah bukanlah barang, melainkan

sumber daya. Sejalan dengan itu, sesuai dengan kapasitas sosial dari

kebebasan tanah, demonstrasi penolakan hak atas tanah (tidak

memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan hasil dari lapisan luar

bumi), harus menjadi demonstrasi yang mengakibatkan pembatalan

kebebasan tanah. (Jatuhkan Sesuai Peraturan).

b. Teori Perlindungan Hukum

Pancasila sebagai premis sistem kepercayaan dan penalaran negara

memiliki nilai-nilai yang mengakui gagasan menjaga kehormatan dan

harga diri manusia. Pancasila merupakan mata air pengakuan terhadap

keluhuran martabat manusia, yang mengandung pengertian pengakuan

terhadap kehendak hidup manusia masing-masing yang ditujukan pada

usaha manusia untuk mencapai keberhasilan bersama. Standar yang

terkandung dalam Pancasila adalah keamanan bagi individu terhadap

kegiatan pemerintah dalam pandangan gagasan kebebasan bersama.

Sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, asuransi yang sah

bagi individu sangat erat kaitannya dengan gagasan hukum dan

ketertiban (rechtsstaat) dan gagasan hukum dan ketertiban. Hadjon

membagi hipotesis jaminan yang sah menjadi dua, khususnya jaminan

hukum yang preventif dan jaminan hukum yang keras. Asuransi sah

preventif bermaksud untuk mencegah perdebatan sementara jaminan sah

yang melecehkan memiliki tujuan untuk menyelesaikan pertanyaan yang

telah terjadi. Asuransi hukum preventif mendesak otoritas publik untuk


19

berhati-hati dalam menentukan pilihan mengingat kehati-hatian

sehubungan dengan peluang kegiatan. Seperti yang ditunjukkan oleh

Philipus M. Hadjon, metode untuk keamanan yang sah meliputi17 :

1) Perlindungan Hukum Preventif

Di kantor-kantor keamanan preventif yang sah, kantor-kantor

sebagai tempat protes (inspraak) telah diatur, khususnya sebelum

otoritas publik menetapkan suatu pilihan, individu dapat memprotes

atau dimintai pendapatnya mengenai pilihan yang telah diatur.

Kerangka asuransi preventif memiliki arti penting dimana masyarakat

yang terkena dampak kegiatan pemerintah dapat mengkomunikasikan

hak dan kepentingan mereka, kemudian, pada saat itu, teknik ini dapat

menegakkan pelaksanaan administrasi yang baik sehingga muncul

kepercayaan bersama antara otoritas publik dan yang diwakili.

2) Keamanan Sah

Kantor keamanan hukum yang menindas bekerja jika terjadi perdebatan.

Dalam kapasitas menjawab pertanyaan, kantor-kantor asuransi yang

melanggar hukum di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:

i. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Dewasa ini di

dalam praktik telah ditempuh jalur untuk menyerahkan suatu

perkara tertentu ke peradilan umum sebagai perbuatan melanggar

oleh penguasa.

ii. Instansi Pemerintah yang merupakan Lembaga Banding

17
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)
hlm.3.
20

Administrasi. Yang dimaksud dengan Instansi Pemerintah yang

merupakan Lembaga Banding Administrasi adalah penanganan

perlindungan hukum bagi masyarakat melalui instansi yang

merupakan lembaga banding adminstrasi ialah permintaan

banding terhadap suatu tindak pemerintahan oleh pihak yang

merasa dirugikan oleh tindakan tersebut kepada pejabat

pemerintah yang memiliki hirarkis lebih tinggi atau kepada

pejabat pemerintah lain daripada yang melakukan tindakan itu.

Instansi pemerintah yang menerima permohonan banding tersebut

memiliki wewenang mengubah atau membatalkan tindak

pemerintahan tersebut.

iii. Badan-badan Khusus. Badan-badan khusus merupakan sarana

perlindungan bagi masyarakat yang memiliki wewenang

menyeleskan suatu sengketa. Badan-badan tersebut diantaranya

Kantor Urusan Perumahan, Peradilan Kepegawaian, majelis

Pertimbangan Pajak, Komisi Duane, Badan Sensor Film, Urusan

Piutang Negara maupun Peradilan Administrasi Negara.

c. Teori Kepastian Hukum

Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan ketentuan atau aturan-

aturan yang bersifat umum. Berbagai kepentingan masyarakat yang

demikian banyak dan beragam telah diusahakan agar terakomodir

dalam aturan-aturan yang umum tersebut. Betapapun kepentingan-

kepentingan masyarakat berusaha diakomodir dalam aturan-aturan


21

umum agar kepentingan itu dapat terlindungi dan demokratis bagi

banyak orang akan tetapi sulit sekali untuk mengakomodir seluruh

kepentingan yang ada.

Dalam kehidupan nyata sehari-hari lebih banyak kepentingan-

kepentingan umum yang timbul dan harus dilayani. Sangat sedikit

timbul kepentingan-kepentingan yang bersifat unik. Hal-hal demikian

pun tetap harus diakomodir dalam aturan yang bersifat umum juga.

Dalam masyarakat modern, kepentingan-kepentingan masyarakat

banyak yang dituangkan dalam aturan-aturan umum disebut dengan

undang-undang.18

Aturan-aturan hukum baik bentuknya berupa undangundang maupun

hukum yang tidak tertulis berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang

menjadi pedoman bagi masyarakat bertingkah laku dalam kehidupan.

Aturan tersebut digunakan sebagai pedoman dalam berhubungan baik

sesama individu maupun dalam kehidupan antar masyarakat.

Aturan-aturan tersebut menjadi batasan bagi masyarakat dalam

melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan-aturan mengenai

pelaksaan aturan-aturan tersebut yang menimbulkan adanya kepastian

hukum. Dengan demikian terdapat dua pengertian terhadap kepastian

hukum yaitu:

1) Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

18
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 136.
22

2) Keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah

karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu

dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan dan dilakukan

negara terhadap individu.19

Kepastian hukum dalam pelaksanaannya juga bukan hanya

semata-mata berisi tentang aturan-aturan hukum akan tetapi dapat

dilihat dari putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lain

dalam memutus perkara yang sama.

C. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah, "sebuah upaya penyelidikan" dan

tidak hanya memperhatikan dengan hati-hati item yang tidak sulit untuk

dipegang, dekat. Penafsiran penelitian dari bahasa Inggris, khususnya

eksplorasi, yang berasal dari kata re (kembali) dan to look (pencarian).

Dengan demikian logawiyah berarti "mencari sekali lagi”.20

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.

Metode penelitian normatif merupakan penelitian terhadap norma-norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta norma-

norma hukum yang ada dalam masyarakat yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk

diteliti. Penelitian normatif atau juga disebut dengan penelitian Hukum

19
Ibid., hlm.137.
20
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers 2001)
hlm.13.
23

Kepustakaan adalah suatu metode atau cara yang digunakan dalam

penelitian hukum dengan meneliti bahan pustaka yang ada. Menurut

Soerjono Soekanto pendekatan normatif yaitu penelitian hukum yang di

lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai

bahan dasar untuk di teliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap

peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.21 Penelitian normatif yang mengkaji

pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif secara faktual pada

setiap peristiwa hukum dalam hal ini merupakan penetapan hak atas tanah

terlantar.

2. Pendekatan Penelitian

Metode Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan Perundang-Undangan (statue approach) dan

pendekatan kasus (case approach). Pendekatan Perundang-Undangan

dilakukan dalam penelitian ini guna mengetahui bagaimana Pemerintah

mengatur tentang Mekanisme Penetapan atas Tanah Terlantar dengan

menggunakan legislasi dan regulasi.22 Pendekatan kasus dalam hal ini

adalah kasus hukum dikonsepkan sebagai peristiwa hukum berupa perilaku

yang nyata dan sebagai produk hukum.23

Dalam melakukan suatu penelitian hukum tentu harus menggunakan

pendekatan Perundang-Undangan, karena yang akan di teliti adalah aturan

21
Ibid., hlm.14.
22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana 2005) hlm. 97.
23
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 39.
24

hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.24

Dalam penelitian ini, tema sentral tersebut adalah Sesuai Peraturan

Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penguasaan dan Pemanfaatan

Tanah Terlantar. Selain harus menggunakan pendekatan Perundang-

Undangan, suatu penelitian yang bersifat Normatif harus menggunakan

pendekatan analisis peraturan perundang-undangan dengan data terbaru di

lapngan agar mengetahui bagaimana suatu peristiwa hukum itu bekerja

dan terjadi dalam masyarakat dan memahami bahwa kasus tersebut terjadi

secara nyata dan menjadi suatu produk hukum yang ada di masyarakat.

Selain itu, kita juga dapat mengetahui bagaimana aksi dan reaksi

masyarakat yang ada di lapangan dengan diterapkannya suatu norma

dalam menanggulangi suatu peristiwa hukum tersebut.25

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Untuk mendapatkan bahan-bahan yang halal diharapkan dapat

membantu standarisasi pemeriksaan yang sah, maka penulis mengambil

sumber bahan-bahan yang halal melalui penelitian kepustakaan dimana

eksplorasi perpustakaan akan menggunakan peraturan-peraturan dan

pedoman-pedoman yang berhubungan dengan penelitian, buku-buku yang

sesuai dengan judul dan buku harian atau artikel yang diedarkan untuk

membantu pemeriksaan tersebut. hipotesis yang digunakan dalam

pemeriksaan ini. Untuk melakukan penelitian hukum normatif, maka

diperlukan adanya beberapa bahan hukum sebagai bahan pendukung dalam


24
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
PubliS.H.Ing 2008) hlm. 302.
25
Abdul kadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 39.
25

melakukan penelitian ini, bahan hukum tersebut meliputi:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan

terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran

Negara Tahun 1960 Nomor 104, tambahan Lembaran Negara

Nomor 2043);

c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696);

d) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban

dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Tahun

2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5098);

e) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun

2011 Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Penertiban Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2010, Sekretariat Negara, Jakarta).

2) Bahan Hukum Sekunder


26

Bahan halal pilihan adalah bahan-bahan halal yang terikat erat dengan

bahan-bahan hukum yang esensial sehingga dapat membantu memahami

dan mengkaji bahan-bahan penting yang sah, misalnya buku, tulisan,

karya logika dari kalangan hukum yang memiliki arti penting dalam

eksplorasi ini.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan

pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum

yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia

dan Kamus Hukum.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk mendapatkan bahan-bahan yang sah yang diharapkan dapat

membantu standarisasi pemeriksaan yang halal, penulis mengambil sumber

bahan yang halal melalui konsentrat perpustakaan dimana eksplorasi

perpustakaan akan menggunakan peraturan-peraturan yang berhubungan

dengan penelitian, buku-buku yang sesuai dengan judul dan buku harian

atau artikel yang dibagikan untuk membantu pemeriksaan. spekulasi yang

digunakan dalam eksplorasi ini. Penggolongan bahan eksplorasi ini sebagai

bahan yang halal dilakukan dengan cara mengenal dan mengkaji peraturan

perundang-undangan, mengkaji bahan pustaka, memahami buku-buku dan

berbagai sumber yang berhubungan dengan masalah ini., menyeleksi


27

bermacam-macam bahan yang mengandung sudut pandang yang berbeda-

beda dan bertentangan satu sama lain.

Setelah memperoleh bahan-bahan hukum dari hasil penelitian

kepustakaan, maka dilakukan pengelolaan bahan-bahan hukum yang

didapatkan dengan cara mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan

hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat karakterisasi bahan yang sah

untuk bekerja dengan dibuat dengan pengaturan bahan yang sah untuk

bekerja dengan pekerjaan yang berwawasan dan pengembangan.

Bahan-bahan yang sah ditangani secara bertahap seperti yang digambarkan

oleh Van Hoecke yang dikutip dari Bernard Arief Sidharta, secara spesifik:

Penataan, Penggambaran dan pengorganisasian bahan-bahan halal, yang

diselesaikan secara bertahap, khususnya:

1) Tingkat Teknis, yaitu mengumpulkan, mengoordinasikan, dan

memperjelas pedoman yang sah berdasarkan urutan sumber yang sah untuk

mengarang alasan keaslian dalam menguraikan pedoman yang sah dengan

menerapkan teknik yang konsisten sehingga disusun dalam seperangkat

undang-undang yang cerdas secara keseluruhan;

2) Tataran teleologis, khususnya menyusun pedoman-pedoman hukum dari

segi substansi yang halal, dengan memikirkan, merevisi, dan menguraikan

materi yuridis dalam sudut pandang teleologis sehingga kerangkanya

menjadi lebih jelas dan mencipta, dengan menerapkan teknik teleologis


28

sebagai tolok ukur sistematisasi.26 Setelah itu, selain melakukan identifikasi

dan inventarisasi peraturan Perundang-Undangan, meneliti bahan pustaka,

membaca buku dan sumber-sumber lainnya, untuk mendapatkan data primer

penelitian ini dapat dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan

para responden secara langsung.

5 . Teknik Pengolahan Bahan Penelitian

Pengolahan Bahan Hukum Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan

menggunakan logika deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang

diperoleh dengan menggunakan intervariasi sekaligus mengkaji dari

penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta

dokumen-dokumen yang membantu menafsirkan norma terkait.

Kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk

menjawab permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian hukum ini

permasalahan hukum dianalisa oleh penulis dengan metode deduksi.

Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud

Marzuki, metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh

Aristoteles penggunaan deduksi berpangkal dari pengajuan premis

mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor

(bersifat khusus) dari kedua premis itu ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47). Didalam logika

silogistik untuk penalaran umum yang bersifat premis mayor adalah

26
Bernard Arief Sidartha, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju 2000)
hlm. 149-153.
29

aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum.

Dihubungkan dengan penelitian yang saya tulis, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria

dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban

dan Pendayagunaan Tanah Terlantar sebagai premis mayor sedangkan

premis minornya adalah perlindungan hukum terhadap Hak Pemegang

atas tanah yang terkait tanah terlantar yang terkait kasus dalam

perspektif penelantaran tanah.

6 . Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam

penelitian ini adalah silogisme. Philipus M Hudjon berpendapat bahwa

penalaran hukum yang menjadi premis mayor adalah aturan hukum dan

premis minor adalah fakta hukum.27

7 . Teknik Penarikan Kesimpulan

Teknik penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan secara

deduktif, yaitu penalaran (hukum) yang berlaku umum pada kasus

individual dan konkrit (persoalan hukum faktual yang konkrit) yang

dihadapi. Proses yang terjadi dalam deduksi adalah konkritisasi (hukum),

karena tefmuan-temuan hukum berupa nilai-nilai, asas-asas, konsep-konsep

dan norma-norma hukum yang dirumuskan secara umum dalam aturan-

aturan hukum positif, kemudian dikonkritisasi (dijabarkan) dan diterapkan

27
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, hlm. 47.
30

guna penyelesaian persoalan hukum konkrit yang dihadapi, sehingga

diperoleh kesimpulan sebagai jabawaban atas permasalahan hukum yang

diajukan sebelumnya.

F. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan File Pedoman Ujian Akhir Semester Metode Penelitian

Hukum dengan Petunjuk Penyusunan Proposal Skripsi di Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya, penyusunan ini secara keseluruhan disusun dalam 4

(empat) bagian dengan sistematika yang menyertainya.:

Bab I Pendahuluan, Berisi Mengenai Latar Belakang, Rumusan

Masalah. Ruang Lingkup dan Tujuan, Kerangka Teoritis, Metode

Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

Bab II Memaparkan Mengenai Tanah Terlantar, Pendaftaran Tanah,

Hak Milik Atas Tanah, Negara Hukum, Perlindungan Hukum,

Kepastian Hukum.

Bab III Pembahasan, Yang Berisi Paparan Tentang Mekanisme

Penetapan Hak Atas Tanah Akibat Tanah Terlantar Berdasarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban

dan Pendayagunan Tanah Terlantar. Akibat Hukum Penetapan Hak

Atas Tanah Terlantar Bagi Pemilik Hak Atas Tanah.

Bab IV Penutup, Pada Bagian Penutup Ini Merupakan Akhir

Pembahasan Skripsi Ini Yang Diformat Dalam Kesimpulan dan

Saran.
BAB II
TINJAUAN TENTANG TANAH TERLANTAR, PENDAFTARAN TANAH,
HAK MILIK ATAS TANAH, NEGARA HUKUM, PERLINDUNGAN
HUKUM, KEPASTIAN HUKUM

A. Tanah Terlantar

1. Tanah Terlantar Menurut Hukum Pertanahan Nasional

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun

1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna

Bangunan, ditetapkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Pokok Agraria. Hak Guna Bangunan di atas tanah

Negara diberikan pilihan untuk memberikan kebebasan oleh Menteri atau

pejabat yang ditunjuk, kepada penduduk Indonesia atas unsur-unsur yang

sah di Indonesia. Pemegang Hak Guna Bangunan yang saat ini tidak

memenuhi kebutuhan karena yang bersangkutan nyata-nyata bukan

penduduk Indonesia atau bukan unsur sah Indonesia dan dalam waktu satu

tahun harus menyerahkan atau memindahkan hak istimewa atas tanah

tersebut kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan. Dengan demikian,

jika dalam jangka waktu tersebut hak-hak istimewa itu tidak diserahkan

atau dipindahkan, maka kebebasan-kebebasan itu batal demi hukum.

Apalagi yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah syarat untuk

memberikan hak istimewa kepada calon. Dalam situasi ini calon yang

membangun kebebasan dapat berupa individu atau substansi yang sah,

termasuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Meskipun demikian, jika

31
32

penyerahan hak-hak istimewa atas tanah tidak sesuai dengan alasan atau

kemampuan penyerahannya, maka pada saat itu kebebasan tanah dapat

secara sah mengalihkan penguasaannya kepada negara, sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 30 bahwa pemegang Hak Guna Bangunan

mempunyai komitmen, khususnya:

sebuah. Membayar biaya bagian, jumlah dan strategi untuk tetap di

udara dalam pilihan kebobolan yang tepat;

B. Memanfaatkan tanah sesuai dengan peruntukannya dan syarat-

syaratnya sebagaimana ditentukan dalam pilihan dan pengertian yang

mengakui;

C. Mempertimbangkan tanah dan bangunan di atasnya dan

menyelamatkan iklim;

D. Menyerahkan tanah yang diberikan Hak Guna Bangunan kepada

Negara, setelah Hak Guna Bangunan dicabut;

e. Menyampaikan pengesahan Hak Guna Bangunan yang telah

dibatalkan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Kelembagaan Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional di Bidang Pertanahan yang memerintahkan Badan Pertanahan

Nasional (BPN) untuk menyelesaikan UUPA 1960 dipercaya memiliki

opsi untuk menentukan persoalan agraria yang berlangsung selamanya.

Bagaimanapun, persoalan agraria juga terkait dengan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (OTDA). Dalam

peraturan ini, tanah tidak menjadi kewenangan pusat pemerintahan. Hal ini
33

juga merupakan kenyataan yang semakin mempersulit penanganan

masalah pertanahan di Indonesia. Untuk setiap situasi tanah, tempat

individu tidak berdaya sepanjang waktu. Berbagai kasus menunjukkan

bahwa individu umumnya tidak memiliki arsip otoritatif seperti

endorsement. Individu menjamin tanah tergantung secara eksklusif pada

kenyataan yang tercatat. Memang, bahkan dengan catatan resmi seperti

wasiat, di sana-sini berada di luar kemungkinan untuk menunjukkan

tanggung jawab yang sah atas tanah, belum lagi tergantung sepenuhnya

pada sudut pandang yang dicatat, jelas akan jauh lebih sulit untuk

mendapatkan pengakuan. Mengenai kepastian hukum bagi pemilik hak-

hak istimewa tanah terlantar, penting untuk menjelaskan model-model

untuk tanah terlantar, dengan tujuan agar jelas alasan mana yang dikenang

untuk tanah terlantar yang pada akhirnya akan menjamin kepastian hukum

bagi pemiliknya. Aturan untuk tanah terlantar dapat ditemukan dengan

mengatur komponen-komponen di tanah terlantar, kemudian, pada saat itu,

memasukkannya ke dalam desain peraturan pertanahan umum.

Komponen-komponen yang ada pada lahan terlantar :

1. Kehadiran pemilik atau pemegang kebebasan tanah (subyek);

2. Adanya pembebasan tanah yang dikembangkan/atau tidak

(objek);

3. Ada tanah yang sudah dibedakan menjadi dusun lagi atau tidak

terpelihara kekayaannya;

4. Ada jangka waktu tertentu di mana tanah menjadi tidak efektif;


34

5. Adanya demonstrasi yang sengaja tidak memanfaatkan lahan;

dan

6. Status tanah kembali ke kebebasan standar atau ke negara.28

Dengan mengetahui komponen dasar dari peristiwa tanah terlantar,

dasar atau ukuran yang dapat digunakan untuk memutuskan apakah

sebidang tanah kosong adalah dengan mengklarifikasi ulang dengan

menguraikan komponen saat ini, dengan penekanan pada motivasi di balik

membiarkan tanah kebebasan. Sesuai PP No. 36 Tahun 1998, standar

tanah dengan status Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak

Pengelolaan adalah:

1. Dalam hal tanah tersebut dengan sengaja tidak dimanfaatkan

oleh keadaan atau sifatnya;

2. Dalam hal tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan

alasan pemberian hak;

3. Lahan tidak seperti yang diharapkan dipertahankan;

4. Khusus untuk tanah dengan hak-hak pengurus, apabila

kekuasaan negara untuk menguasai tanah atas tanah tersebut tidak

dilakukan oleh pemegang hak administrasi sesuai dengan alasan

penyerahan peruntukan kekuasaan tersebut.

Sesuai pengaturan Pasal 9 ayat (2) UUPA, berisi pengaturan bahwa

negara menjamin setiap orang untuk mengklaim tanah. Menyinggung

pengaturan tersebut, Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya

28
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar jo Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
35

memiliki opsi untuk memberikan laporan resmi untuk melayani individu.

Lebih seperti yang ditunjukkan oleh Irawan Soerodjo, tidak berjalannya

pendaftaran tanah sebagaimana mestinya bukan semata-mata karena tidak

adanya pedoman yang mengatur pendaftaran tanah, namun disebabkan

oleh berbagai kendala, khususnya selain tidak adanya rencana keuangan,

aparatur dan fakultas juga. karena banyaknya paket tanah yang tersebar di

seluruh wilayah Indonesia. , juga karena tidak sinkronnya peraturan-

peraturan dan pedoman-pedoman yang tersusun di bidang tanah, baik ke

arah atas maupun bidang datar, seperti digambarkan di bawah. Ini adalah

elemen penyebab yang dapat membuat kerentanan yang sah bagi subyek

hukum atas kepemilikan tanah terlepas dari kerentanan metodologi yang

sah.

2. Penguasaan Lahan Terlantar yang Dikuasai Masyarakat

Penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan tetap termasuk

apakah itu hak seseorang atau tidak. Kekuasaan negara terhadap tanah

yang sampai sekarang dimiliki oleh orang-orang dengan hak-hak istimewa

tertentu dibatasi oleh substansi hak itu. Substansi dari kebebasan-

kebebasan ini dan pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4

bahwa:

1. Berdasarkan hak menguasai Negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2, diputuskan bahwa ada berbagai macam kebebasan di

permukaan dunia, yang disebut tanah, yang dapat diberikan dan diklaim

oleh individu, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. dan
36

zat. substansi yang sah. Kebebasan atas tanah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) pasal ini menyetujui pemanfaatan tanah yang dimaksud serta

badan bumi dan air dan ruang di atasnya, hanya untuk keperluan yang

langsung berhubungan dengan pemanfaatannya. tanah di dalam batas-

batas yang ditentukan oleh peraturan. peraturan ini dan peraturan lain yang

lebih tinggi.

Berbagai kebebasan ke permukaan dunia dirujuk dalam artikel

tersebut, termasuk Hak untuk Membangun (Pasal 16 UUPA).

Sebagaimana ditunjukkan dalam pengaturan Pasal 4, bahwa hak-hak

istimewa yang disinggung menyetujui pemegangnya untuk

mengikutsertakan tanah yang dimaksud, sesuai dengan kepentingan-

kepentingan yang langsung berkaitan dengan pemanfaatan tanah itu

sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA dan UUD 1945. Konstitusi.

Dalam pergaulan ini Ketetapan MPR dikesampingkan sebagai

pedoman yang lebih tinggi dari undang-undang, karena Pasal 7 UU No. 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Bangunan,

ditegaskan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak atas tanah sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria.


37

Pedoman pertanahan di wilayah teritorial tidak berada pada

kewenangan pusat pemerintahan. Hal ini juga menjadi kenyataan yang

semakin mempersulit penanganan masalah pertanahan di Indonesia.

Pasal 40 UUPA juga menetapkan bahwa opsi untuk menggunakan

struktur tidak berlaku dengan alasan bahwa:

sebuah. istilah berakhir;

B. berakhir sebelum jangka waktu berakhir karena suatu kondisi

tidak terpenuhi;

C. diserahkan oleh pemegang hak sebelum jangka waktu itu

berakhir;

D. meninggalkan untuk kepentingan umum;

e. sepi;

F. tanah dilenyapkan;

G. pengaturan dalam pasal 36 ayat (2)

Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan terkait dengan

opsi penggunaan struktur, bahwa sebagaimana dimaksud dalam

pengaturan Pasal 39 UUPA, opsi penggunaan struktur dapat digunakan

sebagai jaminan atas kewajiban dengan pembebanan kebebasan kontrak. .

Susunan pasal ini sangat menarik, mengingat kekhasan di lapangan bahwa

banyak hak struktur digunakan sebagai jaminan kewajiban dan terhambat

dengan kebebasan kontrak. Apabila pada saat hak opsi untuk

menggunakan bangunan digunakan sebagai jaminan atas suatu kewajiban

dengan pinjaman rumah, subjek tidak lagi memenuhi kebutuhan sebagai


38

pemegang opsi untuk menggunakan bangunan tersebut, maka pengaturan

Pasal 36 UUPA dengan sendirinya akan berlaku. Namun, karena

pembatalan opsi untuk menggunakan struktur karena kelalaian, apakah

kebebasan bank untuk bekerja di satu sisi menjadi objek jaminan juga

dipertimbangkan? Tampaknya UUPA tentang hal ini belum menetapkan

kerangka yang kuat untuk pedoman tambahan. Lebih banyak seluk-beluk

harus terlihat dalam survei pedoman yang berbeda Keistimewaan atas

tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini menyetujui

pemanfaatan tanah yang dimaksud serta badan bumi dan air dan ruang di

atasnya, hanya untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan

pemanfaatannya. tanah di dalam batas-batas yang ditentukan oleh

peraturan. peraturan ini dan peraturan lain yang lebih tinggi.

Berbagai hak istimewa ke permukaan dunia dirujuk dalam artikel

tersebut, termasuk Hak untuk Membangun (Pasal 16 UUPA). Sesuai

dengan pengaturan Pasal 4, bahwa kebebasan-kebebasan yang dimaksud

untuk menyetujui pemegangnya untuk mengikutsertakan tanah yang

dimaksud, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang secara langsung

berkaitan dengan pemanfaatan tanah itu sepanjang tidak bertentangan

dengan UUPA dan UUD 1945. Dalam pergaulan ini Ketetapan MPR

dikesampingkan sebagai pedoman yang lebih tinggi dari undang-undang,

karena Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
39

dan Hak Guna Bangunan, ditetapkan bahwa Hak Guna Bangunan adalah

hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Pedoman pertanahan di daerah tidak menjadi kewenangan pusat

kewenangan pemerintah. Hal ini juga merupakan kenyataan yang

membuat penanganan masalah pertanahan di Indonesia semakin sulit.

Pasal 40 UUPA juga menetapkan bahwa opsi untuk menggunakan

struktur tidak berlaku dengan alasan bahwa:

sebuah. istilah berakhir;

B. berakhir sebelum jangka waktu berakhir dengan alasan bahwa

suatu kondisi tidak terpenuhi;

C. diserahkan oleh pemegang hak sebelum jangka waktu itu

berakhir;

D. ditolak untuk kepentingan umum;

e. sepi;

F. tanah dimusnahkan;

G. pengaturan dalam pasal 36 ayat (2)

Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan terkait dengan

opsi penggunaan struktur, bahwa sesuai dengan pengaturan Pasal 39

UUPA, opsi untuk menggunakan struktur dapat digunakan sebagai

jaminan atas kewajiban yang dibebani dengan kebebasan berkontrak.

Susunan pasal ini sangat menarik, mengingat kekhasan di lapangan bahwa

banyak hak struktur digunakan sebagai jaminan kewajiban dan terhambat


40

dengan kebebasan kontrak. Apabila pada saat hak opsi untuk

menggunakan suatu bangunan digunakan sebagai jaminan atas suatu

kewajiban dengan pinjaman rumah, subjek tidak lagi memenuhi

persyaratan sebagai pemegang opsi untuk menggunakan bangunan

tersebut, maka ketentuan Pasal 36 UUPA akan berlaku karenanya. Namun,

karena pembatalan opsi untuk menggunakan struktur karena kelalaian,

apakah kebebasan bank untuk bekerja di satu sisi menjadi objek jaminan

juga dipertimbangkan? Tampaknya UUPA tentang hal ini belum

menetapkan kerangka yang kuat untuk pedoman tambahan. Lebih banyak

seluk-beluk harus terlihat dalam audit pedoman yang berbeda.22

B. Pendaftaran Tanah

1. Pengertian Pendaftaran Hak Atas Tanah

Secara geologis, Indonesia merupakan wilayah yang sangat luas,

oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai Negara Maritim atau Negara

Kepulauan. Hal ini terlihat dari wilayah mutlak Indonesia dari Sabang

sampai Merauke yang terdiri dari pulau-pulau, dengan ± 17.000 pulau

dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2.

Indonesia tercatat memiliki luas tanah ± 125 juta ikat tanah. Dimana

wilayah tanah dikenang untuk peraturan agraria yang memiliki dasar

pemikiran yang mapan, tepatnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pembentukan ini merupakan sumber regulasi materiil dalam

penyempurnaan peraturan agraria umum yang mengatur penguasaan

negara atas setiap kekayaan yang wajar dan diharapkan adanya bantuan
41

pemerintah dari perseorangan. Penggunaan aset normal ini tidak hanya

direncanakan untuk bantuan pemerintah lokal, namun tetap fokus pada

pengelolaan ekologis dengan tujuan agar dapat dilakukan sepanjang

waktu. Untuk pelaksanaan bantuan pemerintah daerah, tercantum dalam

Pembukaan UUPA, Pasal 33 (3) yang dijadikan alasan yang sah untuk

pengembangan UUPA dan merupakan sumber (bahan) yang sah untuk

pedomannya, khususnya: " Bahwa peraturan agraria juga harus merupakan

pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pengaturan dalam

pasal 33 Undang-Undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia,

sebagaimana ditegaskan dalam wacana Presiden tanggal 17 Agustus 1960,

yang mewajibkan Negara untuk mengatur penguasaan tanah dan

mengarahkan pemanfaatannya, sehingga semua tanah di seluruh wilayah

kekuasaan negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

individu, baik secara eksklusif maupun dalam partisipasi bersama”.

Pendaftaran tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, untuk mengarahkan hubungan yang sah

antara subjek dan objek ikatan tanah. Dengan berton-ton tanah di wilayah Negara

Indonesia yang diklaim oleh daerah yang belum ditegaskan dan masih melibatkan

pengukuhan kepemilikan seperti Huruf C atau Pethuk saja, beberapa bahkan tidak

memiliki verifikasi kepemilikan di perasaan memiliki yang sebenarnya. Oleh

karena itu, otoritas publik melakukan upaya yang sah untuk menjamin kepastian

hukum dengan mewajibkan setiap pemilik tanah untuk mendaftarkan wilayahnya.

Pendaftaran tanah ini adalah komitmen otoritas publik, sesuai pasal 19, 23, 32,
42

dan 38 UUPA, yang berarti untuk : menjamin kepastian hukum oleh badan publik

bahwa pendaftaran tanah dilakukan secara lengkap di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagai pengesahan, pedoman kadaster, dan

pendaftaran tanah yang susunannya diatur dengan pengaturan dengan

memperhatikan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.

2. Kepastian Hukum Sertifikat Hak Milik

Selain menjamin kepastian hukum, pelaksanaan pendaftaran tanah juga

berarti memberikan data kepada individu yang diinvestasikan, serta sehubungan

dengan pelaksanaan organisasi pertanahan yang terorganisir. Dalam

pelaksanaannya, pelaksanaan pendaftaran tanah melalui Kementerian

Agraria/Badan Pertanahan Nasional baru mencapai ± 44 juta paket tanah dari ±

125 juta bundel tanah di seluruh wilayah Indonesia. Ketiadaan prestasi tersebut

menjadi dasar bagi Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agraria

dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk melakukan upaya percepatan

pembebasan tanah agar jumlah paket tanah yang terdaftar dapat diperluas dengan

berbagai proyek/ proyek. Mungkin program yang paling baru adalah Pendaftaran

Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disebut (PTSL) dengan target 2024

ke atas 125 juta paket tanah dapat didaftar seluruhnya. PTSL adalah suatu

tindakan pendaftaran tanah secara menarik yang dilakukan secara serentak untuk

semua obyek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dalam satu wilayah kota/kelurahan atau nama yang berbeda pada

tingkat yang sama, yang memuat berbagai informasi aktual dan yuridis. informasi

sehubungan dengan satu atau beberapa objek pendaftaran. Tanah untuk keperluan
43

pendaftaran. Saat ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional menggelar senam sinkronis pendaftaran tanah di seluruh

Indonesia. PTSL dimulai pada tahun 2015 dengan target yang menyertainya:29

C. Mengingat tujuan tersebut sangat besar dan bukan pekerjaan yang

sederhana, maka pelaksanaan PTSL tidak dapat dipisahkan dari berbagai

hambatan, termasuk pedoman, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 yang menyatakan bahwa pernyataan pengeluaran pengesahan

adalah untuk 30 hari, jadi tujuannya tidak tercapai. Untuk menjamin

kepastian hukum dan kepastian hukum atas pengesahan yang diberikan

melalui program PTSL, serta untuk mengurangi perdebatan pertanahan di

kemudian hari, Kementerian Agraria/Badan Pertanahan Nasional telah

menyusun berbagai penyusunan pedoman/dasar hukum, yang telah selesai

dan jelas, HR bergerak bersama. , kualitas dan jumlah kantor dan yayasan

diperluas, sudut pandang pembiayaan diperluas, ada koordinasi antar

organisasi di luar BPN.

D. Hak Milik Atas Tanah Terlantar

1. Pengertian Hak Milik


29
https://properti.kompas.com/read/2018/10/19/093612621/empat-tahun-kinerja-jokowi-138-juta-
bidang-tanah-telah-bersertifikat.
44

2. Secara normatif telah diatur undang-undang dan pedoman-

pedoman untuk tujuan memberikan kenyamanan dan kecepatan

peningkatan dalam pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.

Pernyataan tanggung jawab adalah bukti yang kuat, termasuk

keterangan yang sebenarnya dan keterangan yuridis sepanjang

keterangan dan keterangan yuridis yang sebenarnya sesuai

keterangan yang dicatat dalam buku tanah dan berita acara yang

berlaku, dengan alasan keterangan itu diambil dari buku tanah dan

dokumen perkiraan.6 Cara pemberian autentikasi yang paling

umum dalam program PTSL mengalami kendala, sehingga

pedoman melihat peningkatan kecepatan diberikan sebagaimana

tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2018 tentang

PTSL. Selanjutnya ditemukan adanya perbedaan pengaturan

dengan pedoman di atas, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ini akan menjadi titik

fokus dari makalah ini. Pencipta tertarik untuk mengkaji isu-isu

yang muncul, khususnya apakah pelaksanaan program PTSL sesuai

dengan pedoman penyusunan peraturan dan pedoman terkait

dengan aturan pemaparan.

3. Hak Milik Atas Tanah Yang Berasal Dari Hukum Adat

E. Pasal 16 ayat (1) UUPA menyebutkan berbagai macam hak istimewa atas

tanah, salah satunya adalah hak milik. Selain itu, mengingat Pasal 22,

sangat baik dapat dilihat bahwa hak milik dapat terjadi dalam tiga cara,
45

yaitu: (1) menurut undang-undang (Ketentuan Konversi UUPA), (2)

menurut harapan pemerintah, dan (3) mengingat regulasi standar.

Keperluan dan sistem untuk terjadinya property freedom berdasarkan

regulasi dan harapan pemerintah telah diatur dalam UUPA dan pedoman

pelaksanaan lainnya, sedangkan prasyarat dan instrumen untuk terjadinya

property privileges menurut regulasi standar belum diarahkan pada hukum

tidak resmi sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 22 ayat (1) UUPA.

Kekurangan undang-undang tidak resmi tersebut tidak berarti bahwa itu

tidak memiliki premis yang sah. Sebagaimana direferensikan dalam

segmen sebelumnya, standar atau standar penting dari regulasi standar

secara keseluruhan dan prinsip-prinsip regulasi standar yang berdekatan

adalah alasan yang sah untuk terjadinya hak-hak properti seperti yang

ditunjukkan oleh regulasi standar. Pada akhirnya, peraturan standar itu

sendiri memutuskan apakah sebidang tanah tertentu memiliki situasi

dengan kebebasan properti atau tidak. Dengan asumsi sebidang tanah

tertentu memiliki situasi dengan hak milik (adat), maka, pada saat itu, itu

berarti situasi yang sama dengan kebebasan kepemilikan yang terjadi

mengingat batasan dan peraturan pemerintah. Hanya saja perbedaannya

terletak pada bukti kepemilikan. Kebebasan properti yang dikandung

dalam terang harapan pemerintah dikonfirmasi oleh wasiat kepemilikan

yang diberikan oleh kantor pertanahan terdekat setelah deklarasi yang

mengakui hak-hak istimewa didaftarkan oleh penerima hak-hak istimewa,

sementara kebebasan properti yang dibawa ke dunia di bawah peraturan


46

standar ditunjukkan oleh aktual kontrol dan pengakuan oleh penduduk

lingkungan.

Bahkan tanpa jejak bukti yang sah sebagai bukti kebebasan pemilikan

tanah (adat hak milik), dapat dibayangkan bahwa tanah tersebut tidak

dianggap sebagai tanah dengan status kebebasan milik. Pemegang

kebebasan akan sering dianggap sebagai penggarap gelap tanah negara,

terutama saat mengelola visioner bisnis yang membutuhkan tanah untuk

membantu mengelola konsesi dengan situasi dengan hak istimewa

pembangunan. Meninggalkan orang perseorangan di tempat penggarap

yang tidak sah di tanah negara merupakan pelanggaran jiwa Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945 yang secara tegas memutuskan pengaturannya dengan

orang-orang yang sejahtera. Memang, beberapa pasal UUPA dengan tegas

menempatkan individu yang tidak mampu secara finansial pada posisi

yang penting. Dengan cara ini, jika ada perselisihan antara individu yang

cukup miskin dan visioner bisnis yang agak kaya, individu harus menang.

Pembalikan keadaan sekarang dapat didelegasikan sebagai demonstrasi

menjual jiwa konstitusi.

Dengan cara seperti itu, penting untuk memberikan asuransi yang sah dan

keyakinan yang sah untuk medan standar, dengan bekerja dengan

pelaksanaan sertifikat tanah standar dengan melihat bukti kontrol dan

pengakuan yang sebenarnya oleh orang-orang lokal di sekitarnya.

F. Negara Hukum

1. Pengertian Negara Hukum


47

Negara Indonesia adalah kondisi regulasi, pengaturan ini dijamin dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945),

dalam Pasal 1 ayat (3). peraturan negara (bahasa Belanda: rechstaat): Negara

bertujuan untuk mengimplementasikan hukum, yakni tata tertib yang umumnya

berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga hukum

agar jangan terganggu dan agar segala sesuatunya berjalan menurut hukum.30

Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki komitmen untuk melindungi setiap

individu Indonesia, termasuk menguasai kemaslahatan seluruh bagian kehidupan

agar memiliki pilihan untuk memberikan kesuksesan bagi setiap individu

Indonesia. Negara sah Indonesia bergantung pada gagasan negara bantuan

pemerintah, yang menitikberatkan pada keberhasilan terbaik individu. Ini

merupakan perintah suci dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa, “bumi,

air, dan kekayaan tetap yang terkandung di dalamnya yang diatur oleh negara

untuk sebesar-besarnya keberhasilan orang”. Tujuan dari negara bantuan

pemerintah adalah untuk memastikan hak-hak istimewa penduduk pada periode

saat ini, bergantung pada aksesibilitas aset reguler. Keadaan aksesibilitas aset

normal merupakan variabel penentu dalam memenuhi hak-hak penting penduduk.

Salah satu aset tetap yang sangat vital dalam menjamin keberhasilan negara

hukum Indonesia di era globalisasi saat ini adalah tanah. Keberadaan tanah

sebagai aset tetap yang penting bagi negara Indonesia, yang diamanatkan dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA),

dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa, “semua tanah dalam wilayah Negara

30
Abdul Mukthie Fadjar, Sejarah, Elemen dan Tipe Negara Hukum , Setara Press, Malang, 2016,
Hal.6.
48

Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia”. Selain itu, Pasal 6

UUPA menyatakan bahwa, “Segala kebebasan atas tanah mempunyai kapasitas

sosial”. Pasal tersebut juga dinyatakan sebagai salah satu standar pengaturan

pertanahan yang diberi nama pedoman kapasitas sosial hak-hak istimewa tanah.

Adanya pedoman kapasitas sosial kebebasan tanah dalam pengaturan pertanahan

merupakan alasan esensial bagi pengakuan tanah yang berguna bagi individu-

individu terbaik yang berkembang di negara bantuan pemerintah.

8 Hukum Pertanahan Menurut Teori Negara Hukum

“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” bahwa

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 membaca dengan teliti. Mengingat bunyi

Pasal 33 cenderung dianggap bahwa seluruh negara Indonesia berada di

bawah kendali negara, dan akibatnya negara wajib melibatkan negara

untuk keberhasilan kerabatnya. Tanah tidak diragukan lagi merupakan

sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, untuk itu

keberadaannya sangat penting untuk dikendalikan, dan negara sebagai

pemimpin tanah bertanggung jawab untuk membuat pedoman tentang

tanah. kemudian, pada saat itu, setelah otonomi Indonesia dan keadaan

politik yang cukup standar, pada tanggal 24 September 1960, UU No. 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, yang kemudian dikenal

dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA sebagai turunan

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 memuat aturan bahwa semua hak atas tanah

dibatasi oleh negara, dan aturan bahwa kebebasan pemilikan tanah "dapat
49

dicabut untuk kepentingan umum". Standar ini tercantum dalam Pasal 2

dan Pasal 18 UUPA. Berdasarkan pasal 2 UUPA, negara menjadi

pengganti semua pihak yang menjamin sebagai penguasa tanah yang

sebenarnya. Negara dalam keadaan ini merupakan landasan yang sah

sebagai perserikatan bagi setiap individu Indonesia.

Kewenangan publik sebagai organisasi pelaksana peraturan negara dalam

interaksi ini berlangsung sebagai pihak yang melaksanakan dan melaksanakan

pengaturan yang termuat dalam Pasal 2 UUPA.Dalam kenyataannya kegiatan

penelantaran ini masih sangat massif. Menurut Menteri ATR Sofyan Djalil pada

tahun 2017 ada sekitar 400 ribu Ha (hektar) tanah terlantar yang ada di Indonesia,

yang tidak dimanfaatkan kepemilikannya, namun akan segera dilakukan reformasi

agraria agar bisa digunakan sebagaimana mestinya .31 Dengan demikian Menurut

Syafruddin Kalo, “pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang

mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang muncul.

9 Tujuan Negara Hukum Indonesia


Tujuan Republik Indonesia tidak terpaku pada hipotesis tujuan

negara dari Eropa Kontinental Barat yang pada mulanya mengarah pada

mencari kekuasaan yang adil, kemudian pada titik itu terbentuk menjadi

tujuan individu yang berkembang (radikalisme). Latar belakang sejarah

negara Indonesia menunjukkan bahwa, setelah melalui derita imperialisme

selama tiga setengah ratus tahun, pertempuran untuk otonomi yang

31
https://finance.detik.com/berita-ekonomi/bisnis/d-3726272/ada-400-ribu-ha-tanah-terlantar-di-ri
-Tahun-2017. Diakses pada tanggal 09 November 2021. Pukul 10.39 WIB.
50

awalnya bersifat teritorial kemudian, pada saat itu, menjadi menyeluruh,

bangsa Indonesia. publik menyatakan kebebasannya. Sejarah berdirinya

negara Indonesia ini berdampak positif signifikan terhadap definisi tujuan

negara Indonesia yang secara lengkap direncanakan dalam Alinea 4

Pembukaan UUD 1945, antara lain:

1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2) Mempromosikan bantuan pemerintah secara keseluruhan.

3) Mendidik keberadaan negara.

4) Ikut serta dalam melakukan permintaan dunia berdasarkan

kesempatan, kerukunan abadi, dan hak-hak sipil.

Dalam mencapai tujuan negara Indonesia, segala sesuatunya harus

didasarkan dan diperkirakan oleh sifat-sifat Pancasila.

Berkenaan dengan tujuan menjaga segenap negeri dan seluruh tumpah

darah Indonesia, maka tujuan bergabungnya seluruh negara Indonesia

yang sangat heterogen. Artinya, solidaritas publik yang mampu

mengalahkan kontras identitas, agama dan ras. Tujuan menjaga seluruh

negara Indonesia adalah benar-benar tujuan welas asih yang inklusif. Hal

ini karena negara melindungi umumnya penduduk Indonesia, namun juga

semua penghuni asing yang berada di dalam wilayah negara Indonesia.

Hal ini sesuai dengan tujuan filantropi umum lainnya, khususnya

tujuan menambah permintaan dunia, dengan mempertimbangkan peluang,

harmoni abadi dan hak-hak sipil. Hendaknya pula seluruh rakyat Indonesia

ikut menjaga dan melindungi wilayah negara Indonesia sebagai suatu


51

negara solidaritas. Sebagai negara kepulauan, domain negara Indonesia

sangat luas, juga vital dalam perspektif pertukaran global dan menjaga

kepentingan. Oleh karena itu, negara harus sangat tegas terhadap segala

kegiatan yang perlu menggagalkan dan menggagalkan kerja untuk

bergabung dengan negara dan wilayah negara Indonesia.

Tujuan memajukan bantuan pemerintah secara keseluruhan adalah

tujuan negara bantuan pemerintah. Ini berarti mencapai kesuksesan bagi

setiap orang Indonesia, dari sudut pandang materi/uang tetapi juga

menurut sudut pandang dunia lain. Bantuan keuangan pemerintah sesuai

arahan yang ketat, sehingga akan mendapatkan keamanan dan kebahagiaan

hidup di dunia dan akhirat. Selanjutnya, sesuai dengan sifat-sifat luhur

Pancasila, tujuan bantuan moneter pemerintah harus dicapai dengan

berfokus pada kualitas hak-hak sipil. Karena bantuan pemerintah tanpa

pemerataan tidak ada gunanya, sama halnya dengan tujuan keberhasilan

individu yang dianut oleh pemahaman negara-negara barat.

Selain itu, tujuan mengatur kehidupan negara bukan hanya tugas

pokok negara. Masyarakat Indonesia juga harus dengan sengaja

mengambil bagian secara efektif dalam upaya untuk mendidik diri mereka

sendiri. Negara Indonesia harus berubah menjadi negara yang cerdas, siap

untuk memahami hipotesis negara Indonesia sehingga menjadi negara

yang tahu tentang negara, memiliki kesadaran hukum yang besar, dan

memahami untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan

pribadi atau perkumpulan. Selain itu, mereka juga siap memahami latar
52

belakang sejarah negara Indonesia yang menjadi jalannya peristiwa negara

Indonesia. Perorangan Indonesia harus memahami bahwa kekuasaan

tertinggi dalam negara berada di tangan individu, dan akan memilih utusan

individu dan pelopor negara yang benar-benar memahami kebutuhan

kerabatnya. Pengertian tujuan negara Indonesia ditujukan pada pandangan

masyarakat dan dunia. Masing-masing bergantung dan diperkirakan oleh

sifat-sifat luhur Pancasila, yang merupakan premis negara dan gaya hidup

masyarakat Indonesia. Dengan cara ini, bukanlah tujuan untuk mencari

kekuasaan saja, tujuan kemakmuran penguasa atau tujuan kemajuan

individu seperti di negara-negara barat. Tujuan bantuan pemerintah negara

Indonesia bersifat menyeluruh, termasuk keberhasilan finansial dan

kemakmuran yang sebesar-besarnya. Dengan tujuan akhir dari

perkembangan moneter, itu harus dicapai dengan cara yang adil dan

seimbang. Tujuan negara Indonesia juga terkoordinasi untuk menjadi

negara yang cerdas, memiliki kemampuan untuk menjaga solidaritas

publik, menjaga wilayah negara dan memiliki pilihan untuk secara efektif

mengambil bagian dalam latihan kebijaksanaan dunia tetapi tetap berada di

jalur sifat-sifat luhur Pancasila.

G. Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Teori ini bersumber dari teori aliran hukum alam. Menurut aliran hukum

alam bahwa hukum itu berasal dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi.

Selain itu hukum dan moral ada satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
53

Penganut aliran ini memandang hukum dan moral sebagai sebuah cerminan dan

aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan

melalui hukum dan moral.

Perlindungan hukum wajib melihat dari sebuah tahapan yaitu perlindungan

hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang

diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan sebuah kesepakatan

masyarakat untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota

masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili

kepentingan masyarakat.

Menurut Satijipto Raharjo, Asuransi yang sah adalah untuk

memberikan jaminan kepada kebebasan umum yang telah dirugikan oleh

orang lain dan bahwa keamanan diberikan kepada daerah setempat

sehingga mereka dapat mengambil bagian dalam setiap kebebasan yang

diberikan oleh peraturan.

Menurut Philipus M Hadjon, jaminan yang sah adalah jaminan atas

kebangsawanan dan nilai dan pengakuan atas kebebasan dasar yang

diklaim oleh subyek yang sah berdasarkan pengaturan yang sah dari

intervensi atau sebagai berbagai keputusan atau keputusan yang benar-

benar ingin melindungi sesuatu dari lain. Ini menyiratkan bahwa hukum

memberikan jaminan kepada hak-hak istimewa individu terhadap sesuatu

yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebebasan tersebut.

Setiono berpendapat bahwa asuransi yang halal juga dapat diartikan sebagai

suatu kegiatan atau pekerjaan untuk melindungi daerah dari kegiatan yang tidak
54

konsisten oleh para ahli yang tidak sesuai dengan hukum dan ketertiban, untuk

membuat permintaan dan keharmonisan sehingga memungkinkan orang untuk

mengambil bagian dalam kemuliaan mereka sebagai individu.32

Dari uraian ahli diatas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum

digunakan untuk melindungi masyarakat terhadap harkat dan martabatnya sebagai

subjek hukum dari perbuatan sewenang-wenang penguasa terhadap kepentingan-

kepentingan tertentu yang tidak sesuai dengan kepentingan hukum yang dapat

merugikan masyarakat. Dalam penelitian ini, perlindungan hukum dapat ditujukan

terhadap individu pemilik Hak atas Tanah yang merupakan masyarakat yang

harus dilindungi hak dan martabatnya dari seorang penguasa yang disini diartikan

adalah seorang majikan atau pengusaha yang dapat memberikan perintah terhadap

masyarakat umum. Perlindungan hukum terhadap individu pemilik hak atas tanah

tersebut berfungsi untuk mencegah perbuatan sewenang-wenang

majikan/pengusaha dalam memberikan perintah terhadap masyarakatnya dengan

tetap memperhatikan batasan-batasan dari yang diatur dalam peraturan

Perundang-Undangan dan sebuah Perjanjian Akta Jual beli antara seorang penjual

dan pembeli tanah di hadapan Notaris.

2. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yg

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yg

berlaku & dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum

bisa dibedakan sebagai dua, yaitu:

32
Setiono, Op. Cit., Hlm. 3.
55

a. Perlindungan Hukum Preventif, adalah suatu perlindungan yg diberikan

dari pemerintah dengan tujuan buat mencegah sebelum terjadinya

pelanggaran. Hal ini masih ada pada peraturan perundang-undangan

menggunakan tujuan buat mencegah suatu pelanggaran dan menaruh

rambu-rambu atau batasan-batasan pada melakukan suatu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif, adalah suatu perlindungan Perlindungan

yang nyata adalah memberikan jaminan kepada seluruh kebebasan yang

telah disakiti oleh orang lain dan bahwa keamanan diberikan kepada

lingkungan sekitar bahwa mereka dapat berpartisipasi dalam setiap

kebebasan yang diatur oleh pedoman tersebut.

Menurut Philipus M Hadjon, jaminan substansial adalah jaminan

kehormatan dan nilai serta pengakuan atas peluang penting yang

dijamin oleh subjek asli dalam kaitannya dengan rencana permainan

yang sah dari syafaat atau sebagai pilihan atau pilihan lain yang benar-

benar perlu untuk melindungi sesuatu dari orang lain. Ini

menyimpulkan bahwa hukum memastikan penghargaan individu

terhadap sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kesempatan

itu. Setiono berpendapat bahwa perlindungan halal juga dapat diartikan

sebagai gerakan atau upaya untuk melindungi daerah dari tindakan yang

saling bertentangan oleh para ahli yang tidak sesuai aturan hukum,

untuk mendorong minat dan kesepakatan dalam rangka


56

memberdayakan individu untuk berpartisipasi dalam kemuliaan mereka

sebagai manusia..33

Menurut Hadjon, perlindungan hukum buat warga mencakup 2 hal,

yakni:

1. Perlindungan Hukum Preventif Bentuk perlindungan hukum pada

warga merupakan menggunakan diberi kesempatan buat mengajukan

keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah

menerima bentuk yang definitif. Tujuannya merupakan mencegah

terjadinya sengketa. Perlindungan aturan preventif mempunyai imbas yg

bagi tindak pemerintahan yg didasarkan dalam kebebasan bertindak

karena menggunakan Tujuannya merupakan mencegah terjadinya

sengketa.34

2. Perlindungan Hukum Represif Bentuk perlindungan hukum yg

lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa. Penanganan perlindungan

hukum yg dilakukan oleh Pengadilan Umum juga Pengadilan

Administrasi pada Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum

ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap suatu tindakan yg dilakukan

oleh pemerintah yg bertumpu & bersumber menurut konsep mengenai

pengakuan & perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena dari

sejarah menurut barat, lahirnya konsep-konsep mengenai pengakuan

33
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta, Universitas
Sebelas Maret, 2003, Hlm. 20.
34
Philipus M. Hadjon, Op. Cit., Hlm. 4.
57

& perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia diarahkan pada

restriksi-restriksi & peletakan kewajiban rakyat & pemerintah.35

Bentuk perlindungan hukum yang represif ini mengarah pada

perlindungan hukum yang erat kaitannya dengan penyelesaian sengketa.

Perlindungan hukum represif sama dengan penegakan hukum, hal ini

dikarenakan proses penyelesaian sengketa hingga ke tahap pengadilan

merupakan bagian dari penegakan hukum. Asas kedua dalam perlindungan

hukum terhadap tindakan pemerintah adalah asas supremasi hukum. Hal

ini berkaitan erat dengan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia,

pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia memiliki tempat utama

dan dapat dikaitkan dengan tujuan negara hukum. Menurut Moh. Kusnardi

& Harmaily Ibrahim, bentuk-bentuk perlindungan hukum tersebut adalah

sebagai berikut:

Sebuah. Perlindungan Hukum Pencegahan

Dalam perlindungan hukum preventif ini, subjek hukum diberi

kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya agar

tidak terjadi perselisihan. Perlindungan hukum preventif mempunyai

pengaruh yang besar terhadap tindakan pemerintah berdasarkan kebebasan

bertindak karena dengan menggunakan perlindungan hukum preventif ini,

pemerintah didorong untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan

35
Ibid., Hlm. 4.
58

berdasarkan diskresi. Di Indonesia, tidak ada peraturan khusus tentang

bagaimana melindungi hukum preventif.

b. Perlindungan Hukum Represif

Keamanan yang sah menurut hukum yang melecehkan berarti

terhubung dengan menyelesaikan pertanyaan. Perlakuan keamanan yang

sah oleh Pengadilan Umum maupun oleh Pengadilan Tata Usaha Negara

di Indonesia dikenang untuk kelas jaminan yang sah ini. Standar

keamanan yang sah terhadap tindakan pemerintah bertumpu juga

bersumber menurut suatu konsep mengenai pengakuan dan perlindungan

terhadap kebebasan bersama. Aturan kedua yang dapat mendasari jaminan

hukum terhadap demonstrasi pemerintah adalah pedoman hukum dan

ketertiban. Terkait dengan pengakuan dan jaminan kebebasan bersama,

pengakuan dan jaminan kebebasan dasar mendapat tempat yang esensial

dan dapat dikaitkan dengan pemanfaatan tujuan yang ditunjukkan oleh

hukum dan ketertiban.36

Menurut hukumnya, ada 2 jenis asuransi yang sah terkait dengan

penggunaan kantor, yaitu:

1. Perlindungan Hukum Preventif Artinya, Dalam pengamanan hukum

preventif ini terungkap bahwa subjek pedoman ditawari kesempatan untuk

mencatat pengaduan atau penilaian sebelum suatu pilihan administrasi

mendapat struktur otoritatif. Tujuannya adalah untuk mencegah pertanyaan

terjadi. Keamanan preventif yang sah mempengaruhi kegiatan pemerintah


36
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Sinar Bakti,
1988, Hlm. 102.
59

dalam kaitannya dengan peluang kegiatan karena dengan menggunakan

asuransi preventif yang sah, otoritas publik diimbau untuk lebih berhati-hati

dalam menentukan pilihan dengan pertimbangan hati-hati. Di Indonesia,

masih belum ada pedoman khusus mengenai asuransi preventif yang sah.

2. Asuransi hukum yang menindas menyiratkan, jaminan hukum yang keras

berencana untuk menentukan pertanyaan. Perlakuan jaminan yang sah oleh

Pengadilan Umum dan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia

dikenang untuk klasifikasi asuransi yang sah ini.37

3. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum

Sejauh perencanaan pedoman jaminan yang sah di Indonesia,

pembentukan Pancasila sebagai sistem kepercayaan dan teori negara. Asal

usul keamanan yang sah bagi individu di negara-negara Barat tergantung

pada gagasan "Rechtstaat" dan "Rule of The Law". Dengan melibatkan

asal usul Barat sebagai sistem kecurigaan yang melibatkan pembentukan

Pancasila, standar keamanan yang sah di Indonesia adalah aturan

memahami dan menjaga keluhuran manusia berdasarkan Pancasila.

Standar jaminan yang sah terhadap suatu kegiatan administrasi dimulai

dan tergantung pada gagasan pengakuan dan keamanan kebebasan umum

karena itu tergantung pada sejarah seperti yang ditunjukkan oleh barat.

Pengenalan ide-ide sehubungan dengan pengakuan dan jaminan kebebasan

37
Sudut Hukum, Perlindungan Hukum. https://www.suduthukum.com/2015/09/perlindungan-
hukum, 2015, Diakses tanggal 05 November 2021, Pukul 11.05 WIB.
60

bersama ditujukan untuk hambatan dan penetapan komitmen penduduk

dan otoritas publik. Kaidah kedua yang mendasari adanya jaminan yang

halal terhadap unjuk rasa pemerintahan adalah supremasi hukum dan

ketertiban. Hal ini terkait erat dengan pengakuan dan jaminan kebebasan

dasar, pengakuan dan jaminan kebebasan bersama ini sebagai tempat

utama dan dapat dihubungkan dengan tujuan hukum dan ketertiban.

Philipus M. Hadjon, memisahkan dua standar dalam jaminan legitimasi

bagi individu dalam pandangan Pancasila, antara lain sebagai berikut:

Sebuah. Standar Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

Pedoman jaminan yang sah bagi penduduk terhadap kegiatan pemerintah

yang bergantung pada dan diperoleh dari gagasan tentang pengakuan dan

keamanan kebebasan bersama ditujukan untuk pembatasan serta

menempatkan komitmen pada masyarakat dan otoritas publik. . Oleh

karena itu, dengan tujuan akhir untuk membentuk standar jaminan

legitimasi bagi individu berdasarkan Pancasila, dimulai dengan

penggambaran gagasan dan pernyataan kebebasan bersama.

B. Standar hukum dan ketertiban, aturan kedua yang mendasari pengaturan

jaminan yang sah bagi warga terhadap demonstrasi pemerintah adalah

pedoman hukum dan ketertiban. Terkait dengan pedoman pengakuan dan

jaminan kebebasan dasar, pengakuan dan jaminan kebebasan dasar

memiliki tempat mendasar dan seharusnya menjadi tujuan hukum dan

ketertiban..38

38
Ibid., hlm. 19.
61

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perlindungan hukum

adalah tindakan atau upaya untuk melindungi rakyat terhadap harkat dan

martabatnya yang dimiliki oleh setiap subjek hukum dari tindakan sewenang-

wenang kewenangan atas kepentingan tertentu yang tidak sesuai dengan hukum

dan ketertiban.

Dalam penelitian ini, rakyat atau warga negara yang harus dilindungi disini

adalah seorang pemilik Hak atas Tanah yang Sah. Pemerintah yang dapat

melakukan tindakan sewenang- wenang kepada pemilik hak atas Tanah apabila

pemilik hak tidak diberi perlindungan hukum, kekuasaan pemerintah tersebut

sama seperti pengusaha/majikan yang memiliki wewenang dalam memberikan

perintah terhadap seorang Masyarakat yang mengikatkan diri kepadanya dalam

sebuah perjanjian Akta jual beli. Oleh karenanya keamanan yang sah bagi pemilik

hak istimewa tanah yang sah sangat penting dilakukan agar tidak terjadinya

pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah dalam mengambil hak

orang lain.

Standar jaminan yang sah tergantung pada keamanan kebebasan dasar di

dalam batasan dan komitmen daerah dan pemerintah setempat atau pemilik hak

atas tanah yang sah dan pemerintah yang diwakili Badan Pertanahan Nasional

dalam Akta Sertifikat Tanah.

H. Kepastian Hukum

1. Kepastian

Menurut Kitab Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Kepastian berasal dari

kata pasti yang berarti sudah tetap; tidak boleh tidak; tentu; mesti. Selain itu
62

pengertian kata Kepastian secara utuh menurut KBBI adalah perihal (keadaan)

pasti; ketentuan; ketetapan.39

Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang

mengetahui yang mana dan bagaimana hak dan kewajibannya serta teori

“kemanfaatan hukum”, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam

kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu yang pertama

adanya sebuah aturan bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa

yang boleh dilakukan dan perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan. Pengertian

yang kedua adalah keamanan hukum terhadap dari kesewenangan pemerintah atau

penguasa karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu

dapat mengetahui hal-hal yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara

terhadap individu.

2. Hukum

Menurut Hans Kelsen, regulasi adalah pengaturan standar. Standar adalah

penjelasan yang menonjolkan bagian “seharusnya” atau das sollen, dengan

memasukkan beberapa prinsip tentang apa yang harus diselesaikan. Standar

adalah hasil dari aktivitas manusia yang disengaja. Hukum yang memuat asas-asas

dasar itu menjadi aturan bagi orang-orang dalam bertindak dalam kegiatan publik,

baik menurut orang perseorangan maupun sesuai dengan masyarakat. Standar-

standar ini menjadi batasan bagi masyarakat dalam meresahkan atau melakukan

39
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, “KBBI
Daring”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kepastian, diakses pada tanggal 9 November 2021,
Pukul 13.39 WIB.
63

tindakan terhadap orang. Kehadiran standar-standar ini dan pelaksanaan prinsip-

prinsip ini membuat jaminan yang sah.

Menurut Gustav Radbruch, undang-undang harus memuat 3 (tiga) nilai

karakter, khususnya sebagai berikut:

1. Pedoman kepastian yang sah (rechtmatigheid). Aturan ini diperiksa

menurut perspektif yuridis.

2. Pedoman pemerataan yang sah (gerectigheit). Aturan ini melihat menurut

perspektif filosofis, di mana kesetaraan adalah kebebasan yang setara untuk semua

orang di bawah pengawasan pengadilan yang mantap;

3. Aturan kenyamanan yang sah (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau

utilitas.

Tujuan sah yang mendekati praktis adalah jaminan yang sah dan

keuntungan yang halal. Positivisme menggarisbawahi jaminan yang sah,

sedangkan Fungsionalis fokus pada keuntungan regulasi. Dengan asumsi itu dapat

diungkapkan dengan baik bahwa "summa ius, summa injuria, summa lex, summa

core" dan itu menyiratkan bahwa peraturan yang tidak kenal ampun dapat

menyengat, selain keadilan dapat membantu mereka, akibatnya dengan malam

tetapi keadilan bukanlah satu-satunya tujuan peraturan. namun tujuan regulasi

yang paling penting adalah kesetaraan. 40

3. Kepastian Hukum

Kepastian yang sah berasal dari pelajaran yuridis-dogmatis yang bertumpu

40
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
64

pada pola pikir positivis dalam dunia hukum, yang lebih sering menganggap

peraturan sebagai sesuatu yang mandiri, bebas, mengingat bagi penganut paham

ini peraturan hanya bermacam-macam aturan. Bagi pemeluk mazhab ini, alasan

pengaturannya hanya untuk memberikan kepastian akan pengakuan keyakinan

yang sah. Keyakinan yang sah diakui dari undang-undang dengan temperamennya

yang hanya membuat pedoman peraturan secara keseluruhan. Sifat umum dari

aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk

mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.


BAB III
PEMBAHASAN

A. MEKANISME DAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAK ATAS

TANAH TERLANTAR BERDASARKAN PERATURAN

PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

AP Parlindungan mengemukakan gagasan tentang tanah terlantar

dengan mengacu pada peraturan baku, khususnya sesuai dengan sifat tanah

terlantar (keadaan yang telah berubah dalam waktu tertentu (3,5 sampai 10

tahun) kemudian, pada saat itu, hak-hak istimewa tersebut jatuh dan

kembali ke kebebasan standar.Sudarto Gautama, mengungkapkan bahwa

istilah sepi mengandung arti bahwa ia diuraikan antara kondisi dalam hal

tanah tidak dimanfaatkan kondisinya. Berdasarkan penilaian di atas, tanah

terlantar lebih dikoordinasikan dengan keadaan yang ada. dari tanah yang

menyebabkan keadaan tanah yang sekarang tidak berguna dan zona mati.

Mengingat Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hak

atas tanah menjadi batal, antara lain karena pengabaian. Penggurunan

lahan secara progresif menyebabkan disparitas bantuan sosial, keuangan

dan pemerintah serta penurunan sifat iklim, sehingga penting untuk

mengatur ulang penguasaan dan penggunaan lahan terlantar.

Dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tentang Tata Cara Penertiban Tanah

65
66

Terlantar dinyatakan bahwa: “Tanah terlantar adalah tanah yang telah

diberi kebebasan oleh Negara sebagai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pakai atas tanah Hak istimewa

eksekutif, atau premis penguasaan atas tanah yang tidak dikembangkan,

tidak dimanfaatkan, atau tidak digunakan sesuai dengan keadaan atau sifat

dan alasan untuk memberikan kebebasan atau alasan untuk

menguasainya.”

Meskipun demikian, dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor

11 Tahun 2010 tentang Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Terlantar,

terdapat hal khusus bagi obyek penguasaan tanah terlantar di darat dengan

Hak Milik atau Hak Guna Bangunan untuk kepentingan rakyat dan tanah

yang dibatasi oleh kewenangan publik yang dinyatakan sebagai berikut:

sebagaimana disinggung dalam pasal 2 adalah:

Sebuah. tanah dengan kebebasan pemilikan atau hak guna

bangunan untuk kepentingan seseorang yang kebetulan tidak dimanfaatkan

sesuai dengan keadaan atau sifat dan alasan pemberian hak; dan

B. tanah yang dibatasi oleh kekuasaan umum, baik secara langsung

maupun sebagai akibat, dan berstatus atau belum berstatus Barang Milik

Negara/Daerah yang dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan

keadaan atau sifat dan alasan pemberian hak tersebut”.

Dengan demikian, jelas tidak semua tanah karesidenan atas Hak

Milik dan Hak Guna Bangunan merupakan obyek tanah terlantar. Secara

khusus juga dinyatakan bahwa tanah yang dibatasi oleh kewenangan


67

umum tidak menjadi obyek tanah terlantar sebagaimana dalam Pasal 3

huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, dimana telah

dinyatakan bahwa baik orang-orang yang telah terdaftar sebagai sumber

daya BUMN dan BUMD maupun orang-orang miskin telah terdaftar.

Mengontrol lahan terlantar adalah cara paling umum untuk

merevisi lahan terlantar sehingga sangat baik dapat dimanfaatkan secara

ideal untuk membantu daerah dan negara. Penguasaan tanah terlantar

merupakan upaya memperluas sasaran Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di mana

tanah dipergunakan untuk sebaik-baiknya bantuan pemerintah kepada

perseorangan. Demikian juga dalam Pasal 15 UUPA juga diperintahkan

untuk menjaga tanah dan meningkatkan kematangan tanah dan fokus pada

kepentingan kelompok yang tidak berdaya secara finansial.

Pemanfaatan tanah secara metodis adalah cara untuk membangun

kemudahan penggunaan dan hasil tanah secara ideal. Dalam Pasal 3

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor

4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penguasaan Tanah Terlantar disebutkan

bahwa: “Penguasaan tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

diselesaikan dalam tahapan:

Sebuah. Stok kebebasan tanah atau perintah mendasar atas tanah

yang ditunjukkan sebagai lahan kosong;

B. bukti pembeda dan eksplorasi lahan kosong;

C. peringatan kepada pemegang kebebasan;

D. jaminan tanah kosong.


68

Menilik konsekuensi dari tinjauan tersebut, dapat disimpulkan

bahwa instrumen penetapan hak istimewa kawasan karena tanah terlantar

sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun

2010 tentang Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Terlantar adalah dalam

empat tahap, yaitu:

Objek Inventarisasi tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 meliputi:

Sebuah. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan

Hak Pakai terhitung sejak 3 (tiga) tahun sejak dikeluarkannya wasiat; atau

B. Tanah yang telah memperoleh izin/pilihan/dasar surat perintah

atas tanah dari pihak yang berwenang yang disetujui sejak berakhirnya

premis penguasaan.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk membantu kelancaran

kegiatan penimbunan, pemegang hak wajib melaporkan pemanfaatan dan

penggunaan tanah menurut pilihan penyerahan hak istimewa tanah atau

alasan penguasaan tanah dari pihak yang berwenang.

1. Stok

Mengenai stok tanah yang ditunjukkan sebagai lahan terlantar,

terbantu melalui (Pasal 6 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010):

1) Area pengamatan berbagai data yang ditunjukkan sebagai sepi

menggabungkan informasi berbasis teks (seperti nama dan alamat pemegang hak,

nomor dan tanggal pilihan pada kebebasan yang diberikan, nomor dan tanggal

penghentian otentikasi, luas tanah, wilayah tanah, penggunaan lahan dan area
69

tanah menunjukkan sepi) dan informasi spasial (sebagai panduan dilengkapi

dengan arah plot tanah menunjukkan sebagai sepi);

2) Pengumpulan informasi tanah yang ditunjukkan sebagai

lahan kosong (pengumpulan berdasarkan wilayah/wilayah kota dan jenis

hak/dasar kependudukan)

3) Administrasi informasi dari stok tanah menunjukkan sepi.

1. Identifikasi dan Penelitian Tanah

Obyek pembuktian dan pemeriksaan tanah terlantar sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 antara lain:

1) Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak

Pakai terhitung sejak 3 (tiga) tahun sejak dikeluarkannya wasiat; atau

2) Tanah yang telah mendapat izin/pilihan/surat perintah dasar atas

tanah dari pihak yang berwenang yang disetujui sejak berakhirnya hak

penguasaan.

Tentang pelaksanaan pembuktian dan pemeriksaan tanah dalam

kesiapan informasi dan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)

Peraturan Ka. BPN No. 4 Tahun 2010) meliputi:

1) Verifikasi informasi aktual dan informasi yuridis

2) Periksa buku tanah serta warkah dan arsip yang berbeda

3) Meminta data dari pemegang kebebasan dan perkumpulan

terkait lainnya

4) Melaksanakan penyelidikan batas wilayah, penggunaan dan

penggunaan tanah
70

5) Melakukan plotting areal pemanfaatan dan penggunaan tanah

pada peta tanah

6) Menganalisis alasan lahan kosong

7) Mempersiapkan meliputi konsekuensi dari membedakan bukti

dan penelitian lapangan.

Dalam menyelesaikan latihan-latihan informasi dan penataan data,

Kepala Kantor Wilayah menasihati pemegang hak yang dicatat dalam

bentuk hard copy agar dilakukan pembuktian dan penelitian yang dapat

dikenali. Dengan asumsi tidak secara umum terlihat seperti yang

ditunjukkan oleh lokasi atau rumah, pemberitahuan akan dilakukan

melalui pernyataan di Kantor Pertanahan dan pembentukan papan

pengumuman di area tanah yang dimaksud bahwa tanah itu sekarang

berada di bawah pengakuan. pembuktian dan eksplorasi oleh Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Setelah keterangan dari pembuktian pembeda dan pemeriksaan dianggap

cukup sebagai bahan untuk dinamisasi, Kepala BPN Kanwil membentuk Komite

C yang terdiri dari:

a. Ketua : Kepala Kantor Wilayah

b. Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan

Pemberdayaan Masyarakat, merangkap anggota

c. Anggota : 1. Sekretaris Daerah C membuat catatan pada Berita

Acara Kabupaten/ Kota


71

2. Dinas/Instansi mengenai alas an penolakan/keberatan.

Berita Acara yang tidak ditandatangani oleh Provinsi

yang anggota tidak mengurangi keabsahan Berita

berkaitan dengan Acara. Dalam hal terdapat pemegang

hak peruntukan tanahnya atas tanah atau kuasanya tidak

bersedia

3. Dinas/Lembaga menandatangani berita acara kewenangan, kemudian

pada saat itu Ketua Panitia C Kabupaten/Kota membuat catatan Berita Acara yang

berkaitan dengan penjelasan di balik penolakan atau protes peruntukan tanah

dimaksud.

4. Kepala Kantor Pertanahan

Sekretariat Komite C menyiapkan semua informasi mendasar dan membuat

resume pemberian tanah yang terbukti sepi. Berdasarkan informasi yang diperoleh

Komite C, maka dilakukan identifikasi dan eksplorasi antara lain:

Sebuah. konfirmasi informasi aktual dan informasi yuridis termasuk jenis

hak dan luas tanah;

B. memeriksa buku tanah atau potensi warkah dan laporan lain untuk

mengetahui adanya pembebanan, termasuk informasi, rencana, dan tahapan

penggunaan dan penggunaan tanah pada jam penggunaan kebebasan;

C. meminta data dari pemegang hak dan perkumpulan terkait lainnya, dan

pemegang hak serta perkumpulan yang berbeda harus memberikan data atau

menyajikan informasi yang diharapkan;

D. menyelesaikan penilaian aktual dengan memanfaatkan inovasi yang ada;


72

e. melakukan plotting areal pemanfaatan dan penggunaan tanah pada peta

tanah;

F. melakukan penyelidikan tentang alasan tanah kosong;

G. menyiapkan laporan tentang efek samping ID dan pemeriksaan;

H. menyelesaikan rapat kelompok penasihat untuk mengkaji dan

memberikan arahan pemikiran kepada Kepala Kantor Wilayah dalam hal

penguasaan lahan kosong; dan

I. membuat dan menandatangani Berita Acara.

Hasil dari pembuktian dan pemeriksaan yang membedakan menunjukkan

bahwa tanah tersebut dapat diumumkan kosong atau tidak. Dalam hal tanah

tersebut diumumkan kosong, Kepala Kantor Wilayah memberitahukan kepada

pemegang hak sekaligus memberikan teguran.

Teguran tersebut merupakan peringatan pokok, dan dalam jangka waktu 1

(satu) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya surat pemberitahuan terlebih

dahulu kepada pemegang hak untuk mengembangkan, menggunakan dan

memanfaatkan wilayahnya sesuai dengan keadaan atau sifat dan motivasi yang

melatarbelakangi pemberiannya. kebebasan atau premis kendalinya. Dalam surat

pemberitahuan terlebih dahulu disebutkan bahwa ada hak-hak istimewa yang

substansial yang harus dilakukan oleh pemegang kebebasan Apalagi kewenangan

yang dapat dipaksakan jika pemegang hak tidak mengindahkan atau tidak

memenuhi teguran tersebut.

Sehubungan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Peraturan Ka. BPN No 4 Tahun 2010


73

dapat dilakukan lansiran utama, kedua dan ketiga. Semua peringatan dicatat

sebagai hard copy. Pada tenggang waktu teguran utama, kedua dan ketiga,

pemegang hak wajib menyampaikan laporan kemajuan penggunaan dan

penggunaan tanah seperti jarum jam kepada Kepala Kantor Wilayah dengan

tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Untuk sementara, Kepala Kantor

Wilayah melakukan pengecekan lapangan dan penilaian atas laporan yang

disampaikan.

Langkah-langkah substansial yang harus dilakukan oleh pemegang hak

antara lain (Pasal 15 ayat (2) b Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010):

Sebuah. mengembangkan, menggunakan dan menggunakan tanah sesuai

dengan kondisi atau sifat dan motivasi yang melatarbelakangi pemberian hak

tersebut;

B. Jika tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan motivasi

pemberian hak, maka pemegang hak harus mengajukan permohonan hibah untuk

mengubah hak jika pengalihan tanah tidak sesuai dengan jenis hak yang

diperbolehkan dan tambahan hibah untuk mengubah pemanfaatan tanah jika

pengalihan tidak sesuai dengan pengumuman pemberian hak kepada pimpinan

sesuai pedoman yang berlaku;

C. mengajukan permohonan kebebasan untuk premis komando atas tanah

untuk mengembangkan, menggunakan, atau menggunakan tanah sesuai dengan

lisensi/pilihan/surat dari otoritas yang disetujui

D. Jaminan Tanah Terlantar Berdasarkan Pasal 17 Peraturan Ka. BPN

Nomor 4 Tahun 2010 yang menganggap teguran ketiga dari pemegang hak tidak
74

sesuai dengan pemberitahuan ketiga, Kepala Kantor Wilayah mengusulkan

kepada Kepala Badan untuk dijadikan tanah kosong. Tindakan tidak menyetujui

Pasal 17 ayat (2) Peraturan Ka. BPN No. 4 Tahun 2010 meliputi:

Sebuah. tidak melibatkan tanah sesuai dengan sifat dan motivasi di balik

pemberian hak;

B. masih ada tanah yang belum dikembangkan sesuai dengan Keputusan

atau alasan tanah tempat tinggal;

C. masih ada tanah yang pemanfaatannya tidak sesuai dengan Keputusan

atau alasan tanah kependudukan;

D. tidak ada pengembangan hingga penyelesaian perbaikan;

E. pemanfaatan tanah tidak sesuai dengan Keputusan atau premis tanah

kependudukan; atau

F. belum mengajukan aplikasi untuk hak istimewa ke tempat tinggal tanah.

Selain itu, tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah kosong

dinyatakan dalam keadaan negara sejak tanggal proposisi. Untuk tanah kosong

dengan keadaan, tidak ada langkah sah yang dapat dilakukan di tanah tersebut.

Mengingat Pasal 20 Peraturan Ka. BPN No. 4 Tahun 2010 bahwa sebagai

bahan pertimbangan dalam penetapan Tanah Terlantar, tingkat tanah terlantar

dikelompokkan menjadi:

Sebuah. 100% sepi

B. lebih dari 25% sampai di bawah 100% copot;

C. tidak persis atau setara dengan 25 persen tumbang.


75

Dengan asumsi seluruh sebaran tanah kosong, maka Keputusan Penetapan

Tanah Terlantar berlaku untuk seluruh hamparan hak istimewa tanah.

Selain itu, dalam hal sebidang tanah ditelantarkan, Keputusan Penetapan

Tanah Terbengkalai berlaku bagi umumnya kebebasan atas tanah, dan kemudian

kepada Pemegang Hak sebelumnya sebagian tanah tersebut benar-benar

dikembangkan, dimanfaatkan, dan digunakan sesuai pilihan pemberian hak

istimewa, melalui metodologi pengajuan permohonan kebebasan. ke darat untuk

merugikan calon sesuai pengaturan peraturan.

Mengingat Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang

Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Terlantar, bahwa tanah yang telah ditetapkan

sebagai tanah terlantar, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak pembatasan

pilihan atas jaminan tanah kosong harus dikosongkan oleh pemegang hak

sebelumnya atas barang-barang tersebut. diatasnya dengan biaya-biaya yang

berlaku. Dalam hal pemegang hak sebelumnya tidak memenuhi perikatan, maka

barang-barang yang ada di dalamnya itu sekarang bukan miliknya, dan dikuasai

langsung oleh Negara.

Mengenai apa yang telah diungkapkan, dapat dikatakan bahwa penguasaan

tanah kosong adalah untuk memberikan perhatian kepada pemegang hak bahwa

pelepasan tanah adalah tindakan di luar jalur, yang dapat menyebabkan hilangnya

kesempatan untuk memahami kemampuan finansial tanah. Selain itu, pengabaian

lahan juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai target program

perbaikan yang tidak berdaya ketahanan pangan dan keamanan keuangan

masyarakat, menutup akses keuangan daerah, khususnya peternak, serta


76

mengganggu rasa keadilan dan keserasian sosial. Penyerahan tanah merupakan

pelanggaran terhadap perikatan yang harus diselesaikan oleh pemegang hak

istimewa atau perkumpulan yang telah memperoleh tempat tinggal tanah.

Negara memberikan hak-hak istimewa atas tanah atau kebebasan dewan

kepada pemegangnya untuk dikembangkan, dimanfaatkan, dan digunakan serta

dipelihara dengan sewajarnya, terlepas dari bantuan pemerintah dari pemegang

hak tersebut, juga harus difokuskan pada bantuan pemerintah daerah, negara dan

negara.

Kebebasan pada dasarnya adalah kekuasaan yang diberikan oleh peraturan

kepada seseorang terhadap sesuatu (objek/prestasi), sehingga dari sini bermuara

pada perbuatan yang halal di antara keduanya (objek subjek), dalam hal seseorang

mendapat hak atas tanah, individu tersebut telah ditambahkan penguasaan atas

tanah yang diklaim. Selain komitmen yang diminta oleh peraturan, hak istimewa

atas tanah juga dapat terjadi dalam dua cara, yaitu:

1. pengamanan Originair, khususnya perolehan utama sesuai standar

peraturan, batasan pemerintah, dan bidang peraturan;

2. Akuisisi bawahan, khususnya akuisisi karena pertukaran kebebasan yang

sah, seperti perdagangan, perdagangan, dll.

Kebebasan tanah yang dikuasai dalam Pasal 4 angka 1 UUPA yang

menyatakan bahwa “berdasarkan pilihan menguasai dari negara sebagaimana

disinggung dalam Pasal 2, diputuskan bahwa terdapat berbagai macam hak

istimewa atas tanah, lapisan terluar dari bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dimiliki oleh orang perseorangan, baik sendiri maupun
77

bersama-sama dengan orang lain dan zat yang halal.” Kebebasan tanah adalah

hak-hak istimewa yang memberikan persetujuan kepada pemegang hak untuk

memanfaatkan serta memanfaatkan tanah yang menjadi haknya. "Gunakan"

menyiratkan bahwa kebebasan tanah adalah untuk mengembangkan struktur (non-

pedesaan), sementara "mengeksploitasi" menunjukkan bahwa hak istimewa tanah

adalah untuk tujuan non-bangunan, misalnya untuk motivasi di balik pertanian,

perikanan, pertunjukan dan rumah bangsawan.

Menurut Supriadi, pentingnya permukaan dunia sebagai komponen tanah

yang dapat ditegaskan oleh setiap individu atau elemen hukum. Sejalan dengan

itu, hak-hak istimewa yang muncul di atas kebebasan ke permukaan dunia

(keistimewaan tanah) termasuk struktur atau barang-barang yang terkandung di

dalamnya adalah masalah hukum. Hal-hal yang sah yang dimaksud adalah hal-hal

yang berkaitan dengan penerimaan standar yang berhubungan dengan hubungan

antara tanah dan tanaman dan bangunan di atasnya.

Tanah dalam arti yang sah memainkan peranan penting bagi keberadaan

manusia karena ia dapat menentukan keberadaan dan kesesuaian hubungan-

hubungan dan kegiatan-kegiatan yang sah, baik bagi manusia maupun

pengaruhnya terhadap orang lain. Tanah adalah aset karakteristik yang dapat

memiliki bentuk dan ukuran, sebagai bahan yang dapat menjadi tempat

berkembangnya tanaman yang ukurannya matang dan kering.

Arti kata tanah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi arti tanah,

yaitu:

1. permukaan dunia atau lapisan atas bumi;


78

2. kondisi bumi di suatu tempat;

3. permukaan bumi yang dibatasi;

4. Bahan dari bumi, sebagai bahan (pasir, batu, napal, dll).

Sedangkan dalam perluasan agraris, tanah sangat penting bagi bumi yang

dikenal sebagai permukaan dunia. Apalagi, Boedi Harsono, dalam peraturan

pertanahan negara, digunakan apa yang disebut pedoman aksesi atau standar

sambungan. Pentingnya kaidah sambungan, khususnya bahwa bangunan dan

barang/tanaman yang ada di atasnya merupakan bagian dasar dari tanah, dan

sangat penting untuk tanah yang dimaksud. Dengan demikian, yang dikenang

dalam arti kemerdekaan tanah adalah termasuk tanggung jawab dan tanaman yang

ada di darat yang diperoleh, kecuali jika ada satu persetujuan lagi dengan

pertemuan yang berbeda (Pasal 500 dan 571 KUH Perdata).

A.P. Parlindungan menilai bahwa dengan melihat klarifikasi UUPA

cenderung dapat disimpulkan bahwa tanah hanyalah salah satu bagian dari bumi.

Pengertian tanah ini disamakan dengan kata tanah menurut peraturan bahasa

Inggris.

Pedoman yang menguji penguasaan hak-hak istimewa daerah diatur dalam

Pasal 16 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa “kebebasan tanah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bergantung pada kekuasaan negara untuk

menguasai seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Diputuskan bahwa

ada berbagai macam hak istimewa di lapisan luar bumi yang disebut tanah, yang

dapat diberikan dan diklaim oleh individu, baik sendiri atau bersama-sama dengan

orang lain dan unsur-unsur yang sah. mengingat kecenderungan mereka:


79

Sebuah. Hak istimewa tanah super tahan lama, khususnya kebebasan tanah

yang tidak tergantikan selama pengesahan UUPA dan belum ditinggalkan,

digantikan oleh peraturan baru, yaitu: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Tanah Hak dan Hak Pembukaan.

Mengumpulkan Hasil Hutan

B. Hak-hak istimewa atas tanah yang tidak tetap, yaitu kebebasan-

kebebasan tanah tertentu yang akan dihapus dalam jangka waktu yang singkat

karena mengandung sifat-sifat yang menghambat dan bertentangan dengan sifat-

sifat UUPA, khususnya: hak gadai, hak-hak bagi hasil, kebebasan memuat dan

tanah pedesaan. hak istimewa sewa. Sejak awal tanah, kemerdekaan tanah dibagi

menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:

1. Kebebasan hak atas tanah, yaitu hak-hak istimewa atas tanah yang

dimulai dari tanah negara, khususnya: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan atas tanah negara, dan Hak Pakai atas tanah negara.

2. Pembebasan tanah tambahan adalah hak-hak istimewa tanah yang dimulai

dari wilayah perkumpulan lain. Misalnya: Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak

Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atas Tanah Milik, dan Hak Sewa Tanah

Pertanian. Tanah diberikan dan dimiliki oleh individu dengan hak istimewa yang

diberikan oleh UUPA untuk dimanfaatkan dan dimanfaatkan.

Secara tegas dinyatakan bahwa hak-hak istimewa atas tanah yang diklaim

oleh orang perseorangan atau unsur yang sah tidak semata-mata dimanfaatkan

atau tidak dipergunakan untuk kepentingan perseorangan, tetapi kebebasan tanah

itu dipergunakandigunakan sesuai dengan kondisi dan sifat hak istimewa.


80

Sungguh pada saat itu pemanfaatan tanah akan dapat menguntungkan, baik

bagi individu yang memilikinya maupun bagi daerah setempat dan negara.

Pemanfaatan hak milik tersebut juga harus disesuaikan dengan kepentingan

daerah dan negara. Misalnya, cenderung diungkapkan bahwa seseorang yang

memiliki tanah agraris tidak dapat ditopang jika ia tidak menggerogoti hartanya

dan membiarkannya terlantar selama masa tidak adanya makanan bagi daerah

setempat.

Menurut G kartasapoetra, bahwa pengabaian tanah, pemusnahan tanah, dan

pemerasan dalam penggunaan tanah, bertentangan dengan pentingnya tanah

memiliki kapasitas sosial, karena merupakan perbuatan/kegiatan terlarang yang

dapat dipaksakan sebagai pelanggar hukum pidana kurungan dan penahanan. /atau

denda meskipun kebebasan mereka atas tanah dapat dibatalkan.

Lebih lanjut, Boedi Harsono berpendapat, adanya kapasitas sosial dari hak-

hak istimewa tanah menyiratkan bahwa tanah bukanlah produk pertukaran,

karena, dalam hal tanah digunakan sebagai objek usaha dan objek hipotesis

sederhana, latihan ini dapat menyebabkan tantangan dalam pelaksanaan

perbaikan, yang akan mempengaruhi wilayah lokal yang lebih luas. selanjutnya

negara. Oleh karena itu, latihan-latihan ini dapat dianggap sangat bertentangan

dengan kapasitas sosial. Hak menguasai atas tanah yang disebut Hak Milik sudah

cukup lama dikenal dalam peraturan baku, lebih spesifiknya pergantian peristiwa

dan penguasaan atas tanah baku yang kemudian dimanfaatkan secara sungguh-

sungguh dan terus-menerus dipegang oleh jaringan peraturan baku yang memiliki
81

keistimewaan baku. Dengan demikian, kebebasan pemilikan tanah hanya

diharapkan bagi penduduk Indonesia yang memiliki kewarganegaraan tunggal.

Yang dimaksud dengan kebebasan penguasaan tanah sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut:

"Keistimewaan properti adalah kebebasan genetik, paling mendasar dan

paling penuh yang dapat dimiliki individu di darat, mengingat pengaturan dalam

Pasal 6".

Dari definisi di atas, kebebasan properti memiliki komponen berikut:

1. bawaan: menyiratkan bahwa hak properti dapat diperoleh untuk penerima

manfaat utama setelah pemilik benar-benar menendang ember, sangat baik dapat

diuraikan bahwa kebebasan properti atas tanah bersifat genetik di mana hak

properti ini akan terus berlanjut sejauh kepemilikan selama pemilik masih hidup

namun hak milik ini akan berpindah tangan ke penerima utama ketika pemilik

menggigit debu selama penerima memenuhi prasyarat dalam subjek kebebasan

properti.

2. Most Grounded and Fullest: menyiratkan bahwa kebebasan properti

adalah hak istimewa yang paling mendasar dan paling penuh yang dimiliki oleh

seseorang yang untuk situasi ini adalah hak kepemilikan yang paling mendasar

dan umumnya suci, ini adalah tempat di mana hak kepemilikan diakui dari hak

istimewa yang berbeda, untuk misalnya Hak Guna Usaha, Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan dan kebebasan-kebebasan lain yang dinyatakan dalam Pasal 16

UUPA. Perasaan yang paling dalam menyiratkan bahwa kebebasan properti

memiliki hak istimewa yang paling tidak mungkin disakralkan oleh perhimpunan
82

yang berbeda dan tidak efektif dihilangkan, sedangkan secara penuh mengandung

arti bahwa pilihan hak penguasaan tanah mempunyai kebebasan yang paling luas

dibandingkan hak-hak istimewa tanah lainnya dan selanjutnya hak-hak milik

dapat dimanfaatkan sebagai induk dari hak-hak istimewa tanah lainnya.

3. Kapasitas sosial: kapasitas sosial di sini mengandung arti bahwa opsi atas

tanah memiliki kapasitas sosial yang dengan asumsi negara membutuhkan tanah

dengan opsi untuk dimanfaatkan oleh karena itu, negara dapat mengambilnya

dengan imbalan.

4. Dapat dipindahkan dan dipindahkan: menyiratkan bahwa hak properti

dapat dipindahkan ke pertemuan yang berbeda, khususnya penerima manfaat jika

pemiliknya meninggal, sementara kebebasan properti dapat dipindahkan ke orang

lain melalui perdagangan, penghargaan, kontrak, dan sebagainya

Hak milik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), (2),

dan (3) UUPA yang dapat memperoleh kemerdekaan atas tanah adalah:

(1) Hanya penduduk Indonesia yang dapat memiliki hak properti

(2) Otoritas publik akan memutuskan zat yang sah yang dapat memiliki

kebebasan kepemilikan dan keadaan

(3) Orang-orang yang setelah berlakunya Undang-undang ini memperoleh

hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena

perkawinan, serta penduduk Indonesia yang mempunyai kemerdekaan harta benda

dan setelah ditetapkannya peraturan ini kehilangan kewarganegaraannya wajib

menyerahkan hak itu dalam waktu satu tahun. tahun sejak diperolehnya hak atau

kekurangan kewarganegaraan. Dalam hal setelah jangka waktu tersebut kebebasan


83

pemilikan tidak diserahkan, hak-hak istimewa itu dibatalkan oleh peraturan dan

tanah memiliki tempat dengan negara, dengan demikian pembatasan bahwa

kebebasan pihak lain yang menguasai akan berlanjut.41

Dalam melakukan tindakan Pelaksanaan penertiban tanah terlantar

pemerintah harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu

asas bertindak cermat, dan asas keseimbangan. Asas kecermatan berkaitan dengan

tindakan dalam melakukan identifikasi dan penelitian tanah terlantar yang

meliputi :

1. nama dan alamat pemegang hak ;

2. letak, luas,

3. status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah

yang dikuasai pemegang hak ;

4. keadaan yang menyebabkan tanah terlantar.

Asas keseimbangan terkait dengan pemberian sanksi atas pelanggaran yang

dilakukan. Dalam mengeluarkan keputusan penetapan tanah terlantar harus

dipertimbangkan berapa luas tanah yang tidak dimanfaatkan, dan berapa luas

tanah yang dimanfaatkan. Sehingga dalam penetapan sanksinya ada keseimbangan

terhadap kewajiban yang dilanggar, apalagi bila disimak ketentuan PP No. 11

Tahun 2010 memang tidak mengatur secara gamblang tentang sanksi, hukuman

ataupun ganti rugi kepada Negara bagi pemegang hak yang tidak melaksanakan

kewajibannya. Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Penertiban Tanah Terlantar

41
ADrian Sutedi, 2011, Sertipikat Hak Atas Tanah, Jakarta, Sinar Grafika. Hlm. 12.
84

dalam pasal 20 menyatakan : Sebagai bahan pertimbangan dalam Penetapan tanah

terlantar dengan memperhatikan luas tanah terlantar terhadap tanah hak/dasar

penguasaan, dilakukan pengelompokan berdasarkan persentasenya sebagai

berikut:

1. Seluruh hamparan tanah (100%) ditelantarkan, maka Penetapan

Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan Hak Atas

Tanah (HAT) / Dasar Penguasaan Atas Tanah (DPAT) tersebut.

2. Apabila sebagian hamparan (lebih dari 25% sampai dengan kurang

dari 100%) yang ditelantarkan, maka Penetapan Tanah Terlantar

diberlakukan terhadap seluruh HAT/DPAT, dan selanjutnya kepada

bekas Pemegang HAT/DPAT diberikan kembali sebagian tanah

yang benar-benar diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan

sesuai dengan keputusan pemberian HAT/DPAT, melalui prosedur

pengajuan Permohonan Hak Atas Tanah atas biaya pemohon sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Tanah yang ditelantarkan kurang dari atau sama dengan 25%, maka

Penetapan Tanah Terlantar diberlakukan hanya terhadap tanah yang

ditelantarkan dan Pemegang HAT/DPAT mengajukan permohonan

revisi luas bidang tanah hak dan biaya revisi menjadi beban

Pemegang Hak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apabila seluruh hamparan tanah yang ditelantarkan maka keputusan

penetapan Tanah Terlantar diberlakukan terhadap seluruh hamparan hak atas

tanah tersebut. Jika sebagian hamparan yang ditelantarkan maka keputusan


85

penetapan tanah terlantar diberlakukan terhadap seluruh hak atas tanah tersebut,

dan selanjutnya kepada bekas pemegang hak diberikan kembali sebagian tanah

yang benar-benar diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan

keputusan pemberian haknya, dengan melalui prosedur permohonan hak atas

tanah. Terhadap tanah yang ditelantarkan kurang dari atau sama dengan 25 (dua

puluh lima) persen maka keputusan penetapan tanah terlantar diberlakukan hanya

terhadap tanah yang ditelantarkan dan pemegang hak dapat mengajukan

permohonan revisi luas bidang tanah tersebut. Dengan demikian akibat hukum

dari pemegang hak atas tanah yang tidak melaksanakan kewajibannya, hak atas

tanahnya akan hapus dan jatuh ketangannegara, dan tanahnya langsung dikuasai

negara.

B. Faktor-Faktor Penyebab Penelantaran Tanah Hak Milik

Manusia dalam memenuhi kebutuhan di dalam menjalankan kehidupan

sertapenghidupannya, tidak dapat dilepaskan hubungan dan pertaliannya dengan

tanah. Jadi dimanapun dan kapanpun serta dalam hal apapun manusia sangat

memerlukan tanah .42

Dapat kita ketahui bahwa setiap pembangunan akan memerlukan tanah baik

sebagai faktor produksi maupun sebagai sarana produksi, maka kebutuhan

akan tanah dan waktu ke waktu semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya

pelaksanaan pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang

tinggi, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat, hal

ini sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan manusia, baik secara

42
Arie Sukanti Hutagalung, 2005, Program Tanah di Indonesia , Suatu Sarana ke arah Pemecahan
Masalah Penguasaan dan Pemilikan Tanah, Jakarta, Rajawali.Hlm. 37.
86

kuantitas maupun kualitas. Dalam pemenuhan semua kebutuhan itu secara

langsung maupun tidak langsung sangat berkaitan erat dengantanah.43

Mengingat pentingnya peranan tanah dalam kehidupan manusia, tetapi

secaranyata bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang terbatas dan tidak

dapat di perbaharui Non reneweable resourches .44 Terbatasnya sumber daya

tanah, maka dalam pemanfaatan, penggunaan dan peruntukanya harus secara adil

dan seoptimal mungkin serta menjaga kelestarianya. Agar dapat memberikan

kesejahteraan bagi seluruh rakyat.45

Dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945

yaitumenetapkan bahwa bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang

terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Berpangkal dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), berpendirian

bahwa untuk mencapai apa yang ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945 tersebut bahwa kewenangan Negara terhadap tanah

merupakan kewenangan tertinggi untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persedian dan pemeliharaannya ;

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat di punyai atas

(bagian dari bumi) air dan ruang angkasa itu ;

43
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang- Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan.Hlm. 76.
44
Dewi Astutty Mochtar dan Dyah Ochtorina Susanti.2012. Pengantar Ilmu Hukum. Malang,
Bayumedia PubliS.H.Ing.Hlm. 23.
45
Dyah Ochtorina Susanti dan A'an Efendi, 2015, Penelitian Hukum (Legal Research), Jakarta,
Sinar Grafika.Hlm.11.
87

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air,

ruang angkasa;

Kewenangan Negara tersebut bertujuan untuk mencapai sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka mencapai masyarakat adil dan

makmur (Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UUPA) terbalik, di mana masih banyak

tanah yang belum dimanfaatkan sama sekali dan bahkan dibiarkan begitu saja atau

dengan kata lain adalah tanah terlantar.46

Kenyataan atau realitas tersebut sangat bertentangan dengan kebijaksanaan

pertanahan, yang tertuang dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan

Negara (GBHN), pada bab IV butir 16 menyatakan bahwa :47

Mengembangkan kebijaksanaan pertanahan untuk meningkatkan

pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif dengan

mengutamakan ñak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan ma›yarnkat

adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.

Kebijaksanaan pertanahan pada dasarnya, diarahkan untuk melanjutkan

kegiatan pembangunan yang telah dilaksanakan pada tahap - tahap sebelumnya

antara lain : melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan dan

penggunan tanah. Termasuk pengalihan hak milik atas tanah, yang dapat

46
G. Kartasapoetra, dkk, 1984, Hukum Tanah,Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah.Bandung, Rineka Cipta. Hlm. 108.
47
Urip Santoso, 2009, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Fajar
Interpratama Offset. Hlm. 43.
88

menciptakan kondisi penguasaan dan penggunan tanah yang bermanfaat, guna

mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi se1ur'uh rakyat Indonesia. 48

Hal ini tertuang dalam program Penataan Pertanahan dalam Pembangunan

Lima tahun ke VII (Repelita VII) yang tecantum dalam ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : II/MPR/1998 tentang

Garis- Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada bab IV bagian (f) butir 19
49
memuat hal sebagai berikut : tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas

maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian termasuk berbagai

upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan dan penelantaran tanah.

Pengembangan sistem informasi pertanahan yanng transparan ditujukan sebagai

upaya dalam memberikan arahan pemanfaatan tanah bagi pembangunan yang

sesuai dengan potensi dan daya dukung tanak

Program pertanahan tersebut, masih banyak menemui hambatan dan

permasalahan. Baik dari segi penerapan peraturan perundangannya maupun

kesiapan pelaksana di daerah.50

Pemerintah telah menetapkan perangkat peraturan mengenai upaya bagi

penertiban dan pendayagunaan tanah-tanah terlantar, yaitu Peraturan Pemerintah

(PP) Nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar, namun penanganan terhadap tanah-tanah terlantar mas'h belum

dilaksanakan secara tegas berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut.

48
Supriyanto, Jurnal Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Peundang-undangan Indonesia,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1 Januari 2010. Hlm. 45.
49
Anonim. (1998), Ketetapan-Ketetapan MPR RI dan GBHN RI 1998 — 2003 Binapustaka Karya
, Jakarta. Hlm. 75.
50
http://Joeharry-serihukumbisnis.blogspot.com/2009/06/penyelesaian-masalah- tanah-
terlantar.html. Diakses pada tanggal 24 November 2021. Pukul 06.14 WIB
89

Dikeluarkanya Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 yaitu upaya

dalam melakukan penertiban dan pemanfaatan tanah terlantar, tetapi kenyataan di

lapangan masih banyak terjadi tanah teriantar Sehingga perlu dicari akar

permasalahan atau faktor penyebab terjadinya tanah terlantar.

Dalam hal faktor-faktor yang menjadi penyebab penelantaran tanah hak

milik yaitu faktor fisik, faktor kelembagaan masyarakat, faktor sosial budaya, dan

faktor ekonomi.51

Faktor yang menjadi penyebab penelantaran tanah dikarenakan konsep

penelantaran tanah yang diterima oleh masyarakat tidak sama dengan konsep

penelantaran tanah yang ada didalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010

tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,52 untuk menghindari hal

tersebut seharusnya dilakukan sosialisasi mengenai adanya Peraturan Pemerintah

Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendaygunaan Tanah Terlantar.

Berdasarkan fakta dan teiruan di lapangan serta hasil pembahasan dan analisis

pada bab sebelumnya, maka dapat diambi! beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Yang jadi faktor penyebab terjadinya tanah terlantar adalah:

a. Kekurangan modal atau belum adanya dana, sehingga para

pemegang hak atau yang menguasai tanah belum mampu

atau bisa memanfaatkan tanahnya.

b. Adanya Kecenderungan tanah yang dikuasai hanya

dijadikan sebagai tabungan atau investasi.

51
Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar, Jakarta, Prestasi Pustaka. Hlm. 45
52
Harsono, Soni. 1996, Hukum Aquaria Dan Penataan Pertanahan, Ceramah umum di Universitas
Haluoleo Anduonohu. Kendari. Hlm. 45.
90

c. Adanya status tanah dalam sengketa penguasaan dan

adanya proses peralihan.

penguasaan atas tanah yang belum terselesaikan, sehingga tanah

tersebut tidak dapat digunakaan/dimanfaatkan sesuai dengan tujuan dari

pada haknya.

2. Upaya mengenai penertiban dan pendayagunan tanah

terlantar yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan. Baru pada tahap

pendataan dan inventarisasi yang dilaksanakan pada tanah - tanah yang

diperoleh dengan izin lokasi, yaitu dengan cara monitoring terhadap

perolehan dan penggunaan serta pemanfatan tanahnya. Tetapi upaya ini

belum berhasil secara optimal karena dihadapkan pada beberapa kendala

yang di hadapi oleh Kantor Pertanahan yaitu tidak adanya biaya

operasional, belum terbentuknya mekanisme yang baku, tidak adanya

sanksi yang mengikat terhadap pihak pemegang izin lokasi serta tidak

terpantaunya penyebaran tanah terlantar secara umum.53

2. Faktor-faktor yang menjadi penyebab penelantaran hak milik yang

dilakukan oleh pemilik hak atas tanah dalam hal ini ialah dikarenakan:

Pemilik hak atas tanah merasa enggan dalam mengelola tanah tersebut

sehingga mengakibatkan penelantaran tanah, Pemilik hak atas tanah tidak

merasa menelantarkan tanahnya karena konsep tentang penelantaran yang

dipahami oleh masyarakat tidak sesuai dengan konsep penelantaran tanah

yang ada, yang mana dalam hal ini pemilik hak atas tanah merasa jika

53
Nawawi, Hadari H. 1991, Metode Penelitian Bidang Sosial, Rajah Mada University Press 5 ,
Yogyakarta. Hlm. 34.
91

tanah yang sudah bersertipikat tidak dikatakan sebagai tanah terlantar.

Karena menurut pemilik hak atas tanah yang dimaksud dengan tanah

terlantar adalah tanah yang belum mempunyai sertifikat atau tanah tanah

yang tidak memiliki sertifikat, Pemilik hak atas tanah merasa selama dia

membayar PBB atas hak atas tanah tersebut maka tanah tersebut tidak

dapat dikatakan sebagai tanah terlantar, Penyebab tanah terlantar yang

dilakukan oleh pemilik hak atas tanah tersebut dikarenakan sebelumnya

terjadi sengketa hak atas tanah tersebut sehingga tanah tersebut dikelola

sebagai mana peruntukkannya dan pemberian haknya.Selain itu penyebab

pemilik hak atas tanahnya menelantarkan tanahnya dikarenakan pemilik

hak atas tanah mempunyai usaha lain yang tidak dapat ditinggal sehingga

tanahnya diterlantarkan karena tidak ada yang mengelola.54

54
Soetomo, 1986, Politik dan Administrasi Agraria, Usaha Nasional,Surabaya. Hlm. 175.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sehubungan dengan hal yang telah dikemukakan dapat dikatakan


bahwa penertiban terhadap tanah terlantar untuk memberikan kesadaran
terhadap pemegang hak bahwa penelantaran tanah merupakan tindakan yang
tidak berkeadilan, yang dapat menyebabkan hilangnya peluang untuk
mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah. Selain itu, penelantaran tanah
juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program
pembangunan, rentanya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional,
tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani, serta
terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Penelantaran tanah merupakan
pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang haka
tau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Negara memberikan ha katas tanah atau hak pengelolaan kepada
pemegang hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta
dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi pemegang haknya
juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan Negara.

dapat disimpulkan bahwa mekanisme penetapan hak atas tanah terlantar


dengan empat tahapan yaitu:
I. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi
terlantar;
II. Identifikasi dan penelitian tanah yang terindikasi terlantar;
III. Peringatan terhadap pemegang hak dan Penetapan tanah terlantar.
IV. Akibat hukum penetapan hak atas tanah terlantar bagi pemilik hak atas
tanah yaitu adanya pemutusan hubungan hukum antara subjek pemegang hak
atas tanah dengan objek tanah. kemudian tanah tersebut di kuasai kembali
oleh Negara. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3)
serta di dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

92
93

Faktor-faktor yang menjadi penyebab penelantaran hak milik yang dilakukan oleh
pemilik hak atas tanah dalam hal ini ialah dikarenakan:
I. Pemilik hak atas tanah merasa enggan dalam mengelola tanah tersebut
sehingga mengakibatkan penelantaran tanah;
II. Pemilik hak atas tanah tidak merasa menelantarkan tanahnya karena
konsep tentang penelantaran yang dipahami oleh masyarakat tidak sesuai
dengan konsep penelantaran tanah yang ada.
yang mana dalam hal ini pemilik hak atas tanah merasa jika tanah yang sudah
bersertipikat tidak dikatakan sebagai tanah terlantar. Karena menurut pemilik hak
atas tanah yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah tanah yang belum
mempunyai sertifikat atau tanah tanah yang tidak memiliki sertifikat, Pemilik hak
atas tanah merasa selama dia membayar PBB atas hak atas tanah tersebut maka
tanah tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tanah terlantar, Penyebab tanah
terlantar yang dilakukan oleh pemilik hak atas tanah tersebut dikarenakan
sebelumnya terjadi sengketa hak

B. Rekomendasi
1. Kantor Pertanahan dan Perangkat terkait perlu adanya sosialisasi tentang
penelantaran tanah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar;

2. Penelantaran tanah hak milik yang dilakukan oleh pemilik harus mendapatkan
sanksi yaitu hapus haknya, putus hubungan hukum, dan tanahnya ditegaskan
dikuasai langsung oleh negara, hal tersebut diatur dalam Pasal 15 ayat (3)
Peraturan Kepala BPN Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban
Tanah Terlantar yang agar pemilik hak atas tanah mematuhi peraturan yang
sudah diberlakukan serta pemilik hak atas tanah membutuhkan yang namanya
kesadaran pemilik hak atas tanah dalam mengelola hak atas tanahnya sesuai
dengan peruntukan dan sifat pemberian haknya dengan cara melaksanakan
94

sosialisasi menganai adanya Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010


tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arba. 2019, Hukum Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Prinsip-prinsip Hukum
Perencanaan Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Sinar
Grafika, Jakarta Timur.
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan.
Dewi Astutty Mochtar dan Dyah Ochtorina Susanti.2012. Pengantar Ilmu Hukum.
Malang: Bayumedia PubliS.H.Ing.
Dyah Ochtorina Susanti dan A'an Efendi, 2015, Penelitian Hukum (Legal
Research), Jakarta: Sinar Grafika.
Farida Fitriyah. 2016, Hukum Pengadaan Tanah Transmigrasi, Strata Press,
Malang.
G. Kartasapoetra, dkk, 1984, Hukum Tanah ( Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah).Bandung: Rineka Cipta.
Philipus M Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia Bina
Ilmu, Surabaya.
Hotma P Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, PT. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
I Ketut Oka Setiawan. 2019, Hukum Pendaftaran Tanah dan Hak Tanggungan,
Sinar Grafika, Jakarta Timur.
Isbandi Rukminto Adi. 2013, Kesejahteraan Sosial Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan, Raja Grafindo
Persada, Depok.
Mudakir Iskandar. 2019, Panduan Mengurus Sertifikat dan Penyelsaian Sengketa
Tanah, Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta
Urip Santoso. 2012, Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Kencana,
Surabaya.2017, Perolehan Hak Atas Tanah, Kencana, Depok.
Waskito dan Hadi Arnowo. 2019, Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Di
Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta.

95
96

B. Jurnal/Karya Ilmiah/Artikel

A. A. Sagung Tri Buana Marwanto, 2017, Pengaturan Hak Penguasaan Tanah


Hak Milik Perorangan Oleh Negara, Volume 5, Nomor 4.
Arie Bestary, 2014, Analisis Yuridis Kelemahan Kriteria Tanah Terlantar Yang
Berstatus Hak Milik, Volume 2, Nomor 3.
Aris Yulia, 2018, Pembaharuan Hukum Agraria Nasional Yang Berkeadilan
Sosial, Supremasi Jurnal Hukum, Volume 1, Nomor 1.
Asep Hidayat, Engkus, Hasna Afra. N, 2018. Implementasi Kebijakan Menteri
Agraria dan Tata Ruang Tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Sistematis Lengkap di Kota Bandung, Jurnal Pembangunan
Sosial, Volume 1, Nomor 1.
Boedi Harsono, 2007. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria. Isi dan Pelaksanaannya, Djamban, Jakarta.
Dayat Limbong, 2017. Tanah Negara, Tanah Terlantar dan Penertibannya. Jurnal
Marcatoria, Volume 10, Nomor 1.
Denny Widi Anggoro dan Miya Savitri, 2016, Tinjauan Yuridis Normatif
Terhadap Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan Menurut
Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah,
Jurnal Panorama Hukum, Volume 1, Nomor 1.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edeisi
Ke-4, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dian Aris Mujiburohman, ”Jurnal Potensi Permasalahan Pendaftaran Tanah
Sistematik Lengkap (PTSL)”, BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan,
Vol.4 No.1, Mei 2018.
Eko Yulinggar Permana, 2015. Peralihan Hak Atas Tanah Terlantar (Studi Kasus
Terhadap Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 10/PTT- HGU/BPN RI/2012). Jurnal Online
Mahasiswa, Volume 2, Nomor 1.
Faozi Latif, 2018. Pengaturan Tanah Terlantar Menurut Hukum Positif Nasional
dan Hukum Ekonomi Syariah, Tesis. Program studi hukum ekonomi
syariah program pasca sarjana Institut Agama Islam Negeri
Purwokerto, Purwokerto.
Firman Muntaqo,1999. "Optimalisasi Hak-Hak Agraria", Makalah Disampaikan
Pada Seminar Sehari Ulang Tahun UUPA, Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, Inderalaya.
Hartatik, Imam Koeswahyono, Dhiana Puspitawati, 2018, Peralihan Hak Atas
Tanah Dengan Jual- Beli Melalui Pembayaran dengan Menggunakan
97

Bilyet Giro, Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan


Kewarganegaraan, Volume 4, Nomor 1.
Hasan Purbo, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, PSLH-ITB, Bandung: 1982,
Volume 1.
Heru Yudi Kurniawan, 2015, Tinjauan Yuridis Pemanfaatan Tanah Terindikasi
Terlantar Untuk Kegiatan Produktif Masyarakat (Meninngkatkan
Taraf Perekonomian) Ditinjau dari PP Nomor 11 tahun 2010
Tentang Pemanfaatan dan Pendaya Gunaan Tanah Terlantar, Jurnal
Nestor Magister Hukum, Volume 1.
I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari dan I Ketut Kasta Arya Wijaya, 2017.
Tinjauan Yuridis Pengaturan Tanah Druwe Desa di Bali (Aspek
Hukum Perlindungan Masyarakat Adat Atas Tanah). Jurnal
Lingkungan & Pembangunan, Volume 1, Nomor 1.
Ilmu Hukum, Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah, diakses dari
http://qudchieuj.blogspot.com/2014/11/hak-bangsa-indonesia-atas-
tanah.html, diakses tanggal 2 September 2021
Ilyas, Status Tanah Yang Dikuasai Rakyat berdasarkan Hukum Adat Dalam
kaitannya Dengan Pemberian Hak Guna Usaha Kepada Pengusaha Swasta
Nasional di Kabupaten Aceh Barat, Tesis, PPs UGM, Yogyakarta, 1995,
hlm. 83.
Indra Ardiansyah, 2010. “Akibat Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Dalam
Kaitannya Dengan Pengaturan Tanah Terlantar (Studi Pada Wilayah
Cisaura Kabupaten Bogor)” Tesis. Program Studi Magister Kenotariatan
Prigram Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Irawan Soerojo, Hukum Pendaftaran Tanah, Arloka, Yogjakarta, 2013, Hal. 176.
Iza Rumesten RS, 2020. Pengaturan Pembagian Urusan Pemerintahan, Volume
27, Nomor 2.
Julianto Jover Jotam Kalalo, 2018. Politik Hukum Perlindungan Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Di Daerah Perbatasan. Disertasi. Program
Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar.
Julius Sembiring, 2016, Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria,Jurnal
Bhumi, Volume 2, Nomor 2.
M. henDra, dkk., 2012. Kewenangan Negara Dalam Pencabutan Hak Atas Tanah
Demi Pembangunan Kepentingan Umum, Bengkoelen Justice. Volume, 2
Nomor 1.
M. Yazid Fathoni, 2018. Lingkup dan Implikasi Yuridis Pengertian “Agraria”
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Justitia Jurnal
Hukum, Volume 2, Nomor 2.
98

Menelantarkan tanah, memberi hak pihak lain menguasai, diaksesdari


https://www.hukuM.H.,ukum.com/2018/01/menelantarkan- tanah-artinya-
melepaskan-hak.html, diakses tanggal 2 September 2021.
Morrets HenDro Hansun, 2016. Kajian Yuridis Peralihan Hak Atas Tanah,
Jurnal Lex Administratum, Volume 4, Nomor 1.
Pendaftarn Hak Atas Tanah di akses dari
https://properti.kompas.com/read/2018/10/19/093612621/empat-tahun-kinerja-
jokowi-138-juta-bidang-tanah-telah-bersertifikat. Di akses pada tanggal 05
Januari 2022. Pukul 21:45 WIB.
Pendaftaran Tanah PTSL- BPN diakses dari
http://www.jurnalhukum.com/pendaftaran-tanah/. Diakses tanggal 05
Januari 2021. Pukul 21:41 WIB.
Saefullah, H. Hafied Cangara, Aminuddin Salle, 2018. Kompleksitas Antara Hak
Guna Usaha (HGU) dan Penyelamatan Aset Negara Terhadap Tanah-
Tanha Terlantar Melalui Komunikasi(Negosiasi) Oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN) di Kabupaten Enrekang, Jurnal Komunikasi
Kareba, Volume 7, Nomor 1.
Sudirman Saad, Pemberdayaan Rakyat Pemilik Tanah, SKH Bernas, Yogyakarta,
3 Mei 1994.
Triana Rejekiningsih, 2016. Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara
Hukum (Suatu Tinjauan dari Teori Yuridis dan Penerapannya di
Indonesia), Yustisia, Volume 5, Nomor2.
Ulfia Hasanah, 2015. Retribusi Tanah Terlantar di Provinsi Riau, Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 4, Nomor 3.
Urip Santoso, 2015, Perolehan Tanah oleh Pemerintah Daerah Yang Berasal dari
Tanah Hak Milik, Jurnal Perspektif, Volume 20, Nomor 1.
Winahyu Erwiningsih, 2009. Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara
atas Tanah Menurut UUD 1945, Jurnal Hukum, Volume 16, Nomor
1.
Yulina, 2019. “Akibat Penelantaran Tanah Hak Guna Usaha (HGU)”. Skripsi.
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh.
Yunior, 2019. Wewenang Pemerintah Dalam Penentuan Kriteria Tanah Terlantar.
Jurist Diction, Volume 2, Nomor 6.
C. Perundang-undangan

Republik Indonesia 1960, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun


1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara
Tahun 1960 Nomor 104, tambahan Lembaran Negara Nomor 2043,
Seketariat Negara, Jakarta.
99

Republik Indonesia, 1997, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24


Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Tahun 1997
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696, Sekretariat
Negara, Jakarta.
Republik Indonesia, 2010, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,
Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5098, Sekretariat Negara, Jakarta.
Rebulik Indonesia, 2010, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Naional Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah
Terlantar, Lembaran Negara RI Tahun 2010, Seketariat Negara, Jakarta.
LAMPIRAN

100

Anda mungkin juga menyukai