Anda di halaman 1dari 103

ANJURAN UNTUK MENYEGERAKAN NIKAH:

TAFSIRAN ULAMA NUSANTARA ATAS SURAT AL-


NȖR AYAT 32 DAN AL-TALȂQ AYAT 04

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Agama ( S.Ag)

Oleh :

Nur Izzah Fakhriah

1113034000062

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439H/2017M
ABSTRAK
Nur Izzah Fakhriah

Anjuran untuk Menyegerakan Nikah: Tafsiran Ulama Nusantara atas Surat al-
Nȗr ayat 32 dan al-Talȃq ayat 04

Pernikahan adalah suatu aqad antara laki-laki dan perempuan untuk


membentuk keluarga yang bahagia, mewujudkan rumah tangga yang selalu dihiasi
mawaddah warahmah, serta melahirkan generasi-generasi yang shalih dan pintar.
Untuk menuju tujuan seperti itu maka harus memenuhi secara norma agama, norma
hukum dan norma sosial. Akan tetapi di dalam lingkungan masyarakat terdapat
masalah akan berlangsungnya pernikahan salah satunya yaitu penundaan usia
pernikahan dini yang mana pernikahan dini dampak dari dilakukannya seks
bebas/zina. Bahwasaanya di dalam al-Qur’an menjelaskan untuk menyegerakan nikah
bagi laki-laki dan perempuan yang belum memiliki pasangan karena khawatir akan
berbuat zina.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian Tafsir
Mawdhu’i dengan mengumpulkan ayat yang ada di dalam al-Qur’an yang memiliki
tema yang serupa. Kemudian penulis menggunakan metode komperatif untuk
mengkomprasikan beberapa pendapat ulama mufassir Nusantara mengenai anjuran
untuk menyegerakan nikah yang mana akan berkaitannya dengan berlangsungnya
pernikahan dini. Urgensi penelitian ini ialah diharapkan dapat memberikan
pemahaman secara benar mengenai anjuran untuk menyegerakan nikah yang mana
jika menunda usia pernikahan dini akan mengakibatkan seks bebas/zina.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap hasil dari sumber tafsir
ulama nusantara yaitu Syeikh Nawawi Banten, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Buya
Hamka, dan M. Quraish Shihab. Maka dipahami sebagai bahwa kata Ayyim
ditunjukkan untuk laki-laki dan perempuan yang belum memiliki pasangan agar
meyegerakan nikah karena sah atau tidak nya pernikahan dapat dilihat atau diterima
dengan cara memenuhi syarat-syarat dan rukun pernikahan. Karena tidak terdapat
ayat di dalam al-Qur’ȃn yang membataskan usia dalam pernikahan.

i
KATA PENGANTAR

    

Puji Syukur kehadirat Allȃh swt., Dzat yang memberikan nikmat,

yakni hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang

indahnya alam semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung

oleh hamba-Nya. Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya.

Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada sosok Rahmatan li

al-‘Ȃlamȋn, cahaya di atas cahaya, manusia paling sempurna, Nabi

Muhammad saw., Rasul penutup para Nabi, serta doa untuk keluarga,

sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman menutup mata.

Alhamdulillȃh, berkat rahmat dan ‘inȃyah Allȃh swt. penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena

keterlibatan berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan

terwujud. Kepada beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya.

Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan

karunia-Nya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-

baiknya. Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan

dalam penyusunan skripsi ini, alhamdulillȃh dapat teratasi berkat tuntunan

serta bimbingan-Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

ii
penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosada, MA., selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansur, MA., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

beserta para pembantu Dekan.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-

Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Bina Ningrum, M. Pd., selaku

Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

4. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhususnya jurusan Ilmu al-Qur’an dan

Tafsir yang dengan ikhlas dan tulus serta penuh sabar dalam

mencurahkan dan mendidik pada saya selama menimba ilmu di

kampus tercinta ini.

5. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku dosen pembimbing skripsi

yang selalu memberikan didikasinya kepada penulis, bersabar

memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah

bimbingannya. Juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran

baru, sehingga penulis ada gairah semangat dalam menyelesaikan

skripsi ini.

6. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda H. Syamsuddin bin H.

Muhammad dan ibunda Hj. Mursiah, yang telah mengarahkan, dengan

iii
penuh kasih sayang tanpa pamrih, tak pernah lelah dan tak bosan

dalam memberikan dukungan moral maupun materil, serta do’a dan

semangat yang selalu membanjiri hati buah hatimu ini.

7. Kakaku tercinta Sofwah Urwatil W, Maria Manda Sari F, Rizal Afrian

Syam, M. Ibro Uli Nuha, dan M. Dzaim Dzikrillah dan adikku Amara

Fillah Attaqi, yang mana kalian selalu memberikan motivasi dan

dukungan lahir dan batin dalam penulisan skripsi adikmu ini.

8. Terlebih khusus untuk saudara Alif Novanda Damara yang telah

memberi suntikan semangat tiada lelah diberikan kepada saya dalam

menyelesaikan skripsi ini

9. Seluruh sahabat-sahabat Uswatun Hasanah, Ummu Fadhillah,

Noormalita Hidayatullah, Ika Tri Rahayu, Zakhiah Adhawiah dan

Sonia Aulia R yang telah memberikan support serta doanya dalam

menyelesaikan tugas akhir ini.

10. Seluruh teman-teman Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan

2013 terutama IQTAF-B. Mudabbiroh, Siti Munawarah, Nurul Ihya,

Azka, Alfi, Ummu Hafidzah, dan Rika Nurlaela terima kasih atas doa

kalian dan dukungan kalian yang semua nama-nama tidak saya

sebutkan satu persatu.

11. Seluruh teman-teman dari KKN PANDAWA yang setia mendoakan

dan memberikan motivasi kepada saya.

iv
12. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses

penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa

mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis.

Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan

skripsi ini masih terdapat kekurangan dan bahkan tidak menutup

kemungkinan di dalamnya skripsi ini terdapat kekeliruan dan kesalahan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya untuk penulis

yang lebih baik lagi kedepannya dan harapan penulis semoga skripsi ini

sedikit banyak dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga Allȃh swt. selalu

memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta

membantu penyelesaian skripsi ini.

Ȃmȋn yȃ Rabb al-‘Ȃlamȋn.

Ciputat, 28 September 2017

Nur Izzah Fakhriah

v
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................................. 11

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................................. 11

D. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 12

E. Kajian Pustaka ...................................................................................................... 13

F. Metodologi Penelitian .......................................................................................... 15

G. Sistematika Penulisan .......................................................................................... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN

A. Pernikahan Menurut Islam ................................................................................... 18

1. Makna Arti Nikah di dalam al-Qur’ȃn ........................................................... 19

2. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ..................................................................... 24

B. Pernikahan Usia Dini Menurut Islam ................................................................... 29

1. Pengertian Pernikahan Usia Dini .................................................................... 30

2. Batasan Usia Kedewasaan menurut Islam ...................................................... 32

vi
3. Urgensi Kedewasaan dalam Membina Rumah Tangga ................................. 38

BAB III MENGENAL BIOGRAFI MUFASSIR NUSANTARA

A. Syeikh Nawawi Banten ......................................................................................... 47

B. Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy ........................................................... 51

C. Buya Hamka ......................................................................................................... 55

D. M. Quraish Shihab ............................................................................................... 57

BAB IV INTERPRETASI AYAT-AYAT ANJURAN UNTUK

MENYEGERAKAN NIKAH DALAM TAFSIRAN ULAMA NUSANTARA

A. Tafsir Q.S. Al-Nȗr[24]: 32.................................................................................... 64

B. Tafsir Q.S. Al-Talȃq[65] : 04 ............................................................................... 72

C. Perbandingan ayat al-Qur’ȃn dengan Ḥadis .............................................................. 76

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 81

B. Saran .................................................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 84

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi kata-kata arab yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

berpedoman pada buku Pedoman Akademik pada tahun 2013

HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN


- Tidak dilambangkan

B Be

T tedanes

Ts tedanes

J Je

H H dengan garis bawah

Kh Ka dan ha

D Da

Dz De dan zat

R Er

Z Zet

S Es

Sy Es dan ye

S Es dengan garis di bawah

D De dengan garis di bawah

T Te dengan garis di bawah


Zet dengan garis di
Z
bawah
Koma terbalik di atas

hadap kanan
Gh Ge dan ha

F Ef

Q Ki

viii
K Ka

L El

M Em

N En

W We

H Ha

‘ Apostrof

Y Ye

Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal

tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN


A Fathah

I Kasrah

‫ۥ‬ U Ḏammah

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ai A dan i
au A dan u

ix
Vocal Panjang
Ketentuan alih aksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf,yaitu:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN


â A dengan topi di atas

î I dengan topi di atas

û U dengan topi di atas

Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ‫ﺍﻝ‬, di alih aksar akan menjadi huruf/I/, baik di ikuti huruf syamsiyah maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda ( ‫)ـ‬, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

َّ ‫ ﺍل‬tidak
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata َ‫ض ُوْر ة‬

ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûṯah
Berkaitan dengna alih aksara ini,jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut di alih aksarakan menjadi huruf /h/. Hal

yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t).

Namun,jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka harus

tersebut di alih aksarakan menjadi huruf /t/.

x
Contoh :

NO KATA ARAB ALIH AKSARA


1 ṯarîqah

2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah

3 waḫdat al-wujûd

Huruf Kapital
Meskipun dalam siistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan,dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia,antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Penting untuk diperhatikan, jika nama diri didahului oleh

kata sandang ,maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Ḫâmid al-Ghazâlî

bukan Abû Ḫâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (ḫarf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contohnya:

NO KATA ARAB ALIH AKSARA


1 dzahaba al-ustâdzu

2 Tsabata al-ajru

3 Maulânâ Malik al-Ṣâliḫ

4 Yu’atstsirukumAllâh

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan 1 dipahami sebagai akad perjanjian antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan dengan maksud saling memberi dan mengambil manfaat dari

keduanya untuk membentuk sebuah keluarga yang Sȃlih dengan syarat dan ketentuan

yang telah ditentukan menurut syariat agama. 2 Pernikahan juga merupakan suatu

kejadian yang dimana perjanjian antara dua manusia terjadi. Perjanjian yang suci

secara Islam sangatlah berat, karena memerlukan tanggung jawab, komitmen, dan

kasih sayang. Pernikahan merupakan suatu hal yang normal dibutuhkan oleh

manusia. 3

Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral dan

mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan syari’at agama. 4 Mendambakan pasangan merupakan sunnatullȃh dan

fitrah bagi setiap manusia dewasa. Karena itulah dorongan mencari pasangan hidup,

1
Penggunaan kata “Pernikahan” disamakan dengan “perkawinan”, di maksudkan untuk
memudahkan penyusun karena banyak referensi yang menggunakatan kedua kata tersebut dengan
maksud yang sama.
2
R. M. Dahlan, Fikih Munakahat (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 32.
3
Muthmainah Afra Rabbani, Istri Yang Dirindukan Surga (Jakarta : Perpustakaan Nasional RI,
2015), h. 8.
4
Mohammad Asnawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaann, cet ke-1 (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h. 19.

1
2

sangat sulit dibendungkan ketika manusia beranjak dewasa. Maka, agama

menyariatkan dijalinnya hubungan dua jenis tersebut melalui pernikahan. 5

Ajaran Islam sangat menganjurkan kepada pemeluknya untuk menikah bagi

mereka yang telah sanggup untuk melakukannya. Melalui pernikahan akan terbina

suatu kehidupan keluarga yang baik. Ajaran Islam sangat menganjurkan kepada pria

dan wanita untuk menikah bila telah tiba saatnya. Siapa pun orangnya dan apapun

profesinya. Ajaran Islam melarang seseorang untuk terus hidup membujang atau

hidup sendiri, kecuali dengan alasan-alasan tertentu, seperti karena penyakit, kurang

akal (idiot) dan lain-lain.

Seseorang tidak perlu terlalu khawatir untuk menikah karena kekurangan

materi, atau pasangannya belum memiliki pekerjaan tetap. Materi sebagai alasan

utama seseorang tidak berani menikah adalah tidak tepat. Kalau hal ini yang menjadi

alasannya maka belum percaya dengan adanya pertolongan Allȃh yang Maha Luas

Karunia dan Kekayaan-Nya. Asalkan tekad, kemauan keras, dan berusaha mencari

nafkah untuk menghidupi rumah tangganya. 6

Menurut M. Quraish Shihab tujuan pernikahan bagi setiap pasangan adalah

meraih sakinah dengan pengembangan potensi mawaddah dan rahmat, sedangkan

tujuan akhirnya adalah melaksanakan tugas kekhalifahan dalam pengabdian kepada

Allȃh swt. 7 Adapun tujuan pernikahan sebagaimana disebutkan pasal 3 Kompilasi

5
Hasbi Indra, dkk., Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004) h.79.
6
Hasbi Indra, dkk., Potret Wanita Shalehah, h.72-73.
7
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an (Tanggerang : Lentera Hati, 2007), h. 80.
3

Hukum Islam, adalah “Perkawinan Bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan raḥmat “.

Dalam kehidupan, selalu muncul hal-hal baru yang berkaitan dengan

permasalahan dalam pernikahan salah satu diantara kasus-kasus terjadi adalah

penundaan usia pernikahan dini. Menurut wakil walikota Mataram H. Mohan

Roliskana, bahwasannya pernikahan dini dampak dari dilakukannya seks bebas.

karena mudahnya setiap orang mendapatkan informasi dari media sosial. 8

Namun yang jadi permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai usia

pernikahan di dalam Agama. Bahwasannya di dalam al-Qur’ȃn tidak terdapat ayat

yang membatasi usia dalam berlangsungnya suatu pernikahan. Tetapi terdapat ayat

untuk menyegerakan pernikahan karena khawatir akan berbuat dosa yaitu zina atau

seks bebas.

Allȃh menjelaskan di dalam surat al-Talȃq ayat 04 dan surat al-Nȗr ayat 32.

Bahwasannya kata ‫ واﻟﻼئ ﻟﻢ ﯾﺤﻀ�ﻦ‬perempuan yang belum haid diberikan masa idahnya

selama 3 bulan. Iddah itu sendiri terjadi karena talak maupun ditinggal mati oleh

suaminya. Jadi iddah ada karena pernikahan (indikasi logisnya) dari ayat ini adalah

wanita yang belum haid boleh menikah. Sehingga para ulama tidak memberi batasan

maksimal maupun minimal untuk menikah. Kemudian pada surat al-Nȗr ayat 32

bahwasannya kata ‫ واﻧﻜﺤ�ﻮا اﻷﯾ�ﺎﻣﻰ‬untuk menyegerakan menikah bagi orang-orang yang

sendiri diantara kamu baik laki-laki maupun perempuan.

8
Mohan Roliskana, “Soal Pernikahan Dini dan Narkoba, Ini Pesan Mohan Untuk Pemuda” artikel
diakses pada 21 No 2017 dari https://kiknewws.today/22017/11/21/soal-pernikahan-dini-dan-narkoba-
ini-pesan-mohan-untuk-pemuda.
4

Beberapa contoh masalah yang teradi di Indonesia sekarang ini yaitu, menurut

Dr. Ir. Di Listya Wardani masih banyak terjadinya pernikahan usia dini dalam kasus

tidak mengikuti ujian nasional karena sedang hamil. Kehamilan diluar nikah menjadi

persoalan. Menurutnya kehamilan di luar nikah terjadi karena pergaulan bebas di

kalangan remaja usia sekolah, pengaruh teknologi informasi (IT) dan pengawasan

orang tua yang minim dan kurang menerapkan 8 fungsi keluarga termasuk

diantaranya agama. 9 Sebagai para wali untuk memperhatikan dan menjaga hubungan

anak-anak keturunannya agar menghindari dari pergaulan bebas karena khawatir akan

mengakibatkan kehamilan di luar nikah. Oleh sebab itu maka peran wali lah untuk

menyegerakan pernikahan laki-laki dan perempuan yang sendiri.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai banyak

permasalahan sosial akibat dari pertumbuhan penduduk yang meningkat setiap

tahunnya, permasalahan yang ada dapat dilihat baik dari kinerja pemerintahan

maupun sumber daya manusia. Banyak permasalahan yang terjadi di dalam

masyarakat salah satunya tentang pernikahan dini yaitu pernikahan dilakukan oleh

seorang wanita yang masih muda yaitu wanita di bawah umur atau belum dewasa

(baligh). Yang mana secara unsur undang-undang belum memenuhi batasan usia

untuk menikah. Karena di dalam rumah tangga membutuhkan kesiapan mental dan

fisik dalam menyelesaikan suatu masalah, Namun kedewasaan seseorang tidak lah

dapat diukur dan dilihat dari segi umur.

9
Arsyad Juliandi Rachman, “Gubri Ingatkan Generasi Muda Akan Bahaya Pernikahan Usia
Dini,” artikel diakses pada 15 Nov 2017 dari http://harianriau.co/mobile/dtailberita/17378/gubri-
ingatkan-generasi-muda-akan-bahaya-pernikahan-usia-dini.
5

Dalam konsep pernikahan dini perlu kita pahami bersama batas umur

sehingga dapat dikatakan pernikahan dini dan tidaknya. Namun, sudah maklum

kiranya bahwa suatu gagasan ataupun konsep pasti terdapat sisi positif dan negatif.

Dalam perspektif agama Islam, penulis tidak menemukan adanya batasan usia

minimal pernikahan dalam Islam. justru dalil-dalil yang menunjukkan bolehnya

pernikahan pada usia dini, di antara dalil-dalil tersebut yaitu : Q.S. al-Nȗr ayat 32 dan

Q.S. Al-Talȃq ayat : 04.

‫ﻮا ﻓُﻘَ َﺮآ َء ﯾ ُۡﻐ ِﻨ ِﮭ ُﻢ ﱠ‬


‫ٱہﻠﻟُ ِﻣﻦ‬ ‫ُﻮا ۡٱﻷَ ٰﯾَ َﻤ ٰﻰ ِﻣﻨ ُﻜﻢۡ َوٱﻟ ٰ ﱠ‬
ْ ُ‫ﺼﻠِ ِﺤﯿﻦَ ِﻣ ۡﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛﻢۡ َوإِ َﻣﺎٓﺋِ ُﻜﻢۡۚ إِن ﯾَ ُﻜﻮﻧ‬ ْ ‫َوأَﻧ ِﻜﺤ‬
۳۲ ‫ﯿﻢ‬ٞ ِ‫ٱہﻠﻟُ ٰ َو ِﺳ ٌﻊ َﻋﻠ‬‫ﻀﻠِ ۗ ِۦﮫ َو ﱠ‬
ۡ َ‫ﻓ‬
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allȃh akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allȃh Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. : Al-Nūr : 32)
Menurut al-Qurtȗbi di dalam kitab Tafsir al-Jamȋ’u li Ahkȃmi Al-Qur’ȃn,

dalam ayat ini membahas, yaitu pertama, perintah ini termasuk ke dalam masalah

bertabir dan memperbaiki diri. Maksudnya kawinkanlah orang-orang yang tidak

memiliki pendamping di antara kalian, sebab itu merupakan jalan untuk memelihara

kesucian diri. Perintah ini ditunjukan kepada wali. Akan tetapi menurut satu

pendapat, perintah ini ditunjukkan kepada suami. Pendapat yang benar adalah

pendapat yang pertama. Kedua, para ulama berbeda pendapat tentang perintah

(menikahkan) ini. Para ulama kami berkata, “Hukum dalam hal itu berbeda-beda,

karena perbedaan kondisi seorang mukmin dari sisi ketakutannya akan kesulitan
6

dalam memelihara diri dari perbutatan zina dan ketidak mampuannya untuk menahan

diri.” 10

Buya Hamka menyatakan di dalam kitab Tafsir al-Azhar, hendaklah laki-laki

yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami, baik masih bujangan dan

gadis ataupun telah duda dan janda, karena bercerai atau karena kematian salah satu

suami atau istri, hendaklah segera dicarikan jodohnya. 11 M. Quraish Shihab

bahwasannya kata ‫ اﻷﯾ��ﺎﻣﻰ‬nikahkanlah orang-orang yang sendiri. Awalnya kata

tersebut untuk perempuan yang tidak berpasangan. Yang awalnya untuk janda hingga

kata ini meluas sampai gadis, bujangan dan duda. 12 P1F

Menurut Syeikh Nawawi Banten bahwasannya ayat ini menjelaskan anjuran

seorang wali untuk menikahkan anaknya, budaknya maupun orang-orang yang

mempunyai posisi yang sama dengan anak. 13 Tengku Muhammad Hasbi Ash-

Shiddieqy berpendapat bahwasannya nikahkanlah orang-orang yang belum bersuami

atau belum beristri dan kamu memegang hak perwalian mereka. Tegasnya, berikan

pertolonganmu kepada mereka hingga mereka dapat melaksanakan pernikahannya.

Perintah yang di kandung ayat ini adalah merupakan anjuran, bukan suatu keharusan,

kecuali apabila hal itu telah diminta oleh si perempuan sendiri. Dasarnya kita

menetapkan bahwa perintah ini bukan wajib, karena menurut kenyataan, pada masa

Nabi sendiri terdapat orang-orang yang dibiarkan hidup membujang. Tetapi dapat

10
Syaikh Imam Al-Qurthubi, al-Jamȋ’u li Ahkȃmi Al-Qur’ȃn, Penejemah Amir Hamzah (Jakarta:
Pustaka Azzam, Januari 2009), h. 600-601.
11
Buya Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982), h. 137.
12
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbȃh (Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 337.
13
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jȃwi, Marȃh Labȋd Tafsȋr al-Nawawi (Mesir: Darul Fikr, 1981),
h. 81.
7

dikatakan perintah di sini adalah wajib, apabila dengan tidak menikahkan mereka

yang bujang-bujang itu dikhawatirkan akan timbul fitnah. 14 Bahwasannya ayat ini

sering dipakai untuk landasan anjuran atas berlangsungnya pernikahan dini

berdasarkan penelitian skripsi-skripsi yang terdahulu.

Di negara kita masih banyak terjadi perkawinan dibawah umur, semua itu

terjadi karena pengaruh lingkungan atau karena didikan orang tua sejak kecil yang

ditanamkan kepada anak-anak mereka hingga mendekati masa dewasa. Kebiasaan

yang masih sering berlaku seperti itu memang baik-baik saja. Namun, disamping ada

kebaikannya juga ada segi mudaratnya. Rasȗlullȃh pun menganjurkan umatnya

terutama bagi para pemuda untuk segera kawin apabila segala sesuatunya sudah

memungkinkan. Sebagaimana dalam sabdanya:

‫ﺼ ُﻦ ﻟِ ْﻠ َﻔ ْﺮ ِج َوَﻣ ْﻦ‬ ِ ‫ﺎع ِﻣ ْﻨ ُﻜﻢ اﻟﺒﺎءةَ ﻓَـﻠْﻴﺘـﺰﱠوج ﻓَِﺈﻧﱠﻪ أَﻏَ ﱡ‬ ِ َ‫ﺸﺒ‬


َ ‫ﺼ ِﺮ َوأَ ْﺣ‬
َ َ‫ﺾ ﻟﻠْﺒ‬ ُ ْ َ ََ َ َ ُ َ َ‫اﺳﺘَﻄ‬ ْ ‫ﺎب َﻣ ِﻦ‬ ‫ﺸﺮ اﻟ ﱠ‬ َ ‫ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ‬
ِ ِ ‫ﻟَ ْﻢ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَـ َﻌﻠَْﻴ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ‬
( ‫ﺎء ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬ َ ‫ﺼ ْﻮم ﻓَﺈﻧﱠﻪُ ﻟَﻪُ ِو َﺟ‬
Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah mampu untuk menikah,
hendaknya dia menikah karena dengan pernikahan itu akan menjaga
kehormatan dan pandangan mata. Barangsiapa yang belum mampu (nikah),
hendaklah ia berpuasa, karena dengan puasa dapat menahan hawa nafsu.
(HR. al-Bukhari) 15
Apabila kita perhatikan hadis Nabi di atas, maka kita tidak menemui

penyataan Nabi tentang batasan umur, tetapi yang ditekankan adalah masalah ongkos

kawin (membiayai rumah tangga), dan kesiapannya termasuk fisik maupun

mentalnya.
14
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’ȃnu al-Majid Al-Nȗr (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2000) h. 2820-2821.
15
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bȃri Syarah Shahih al-Bukhari. Penerjemah Amir Hamzah
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz. 5, h. 34.
8

Sebelum melakukan perkawinan anak-anak kita , sebaiknya kita sebagai orang

tua memikirkan dengan matang bagaimana kesiapan anak didalam membangun

rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Tak lupa juga

memperhatikan calon istrinya di dalam kesiapannya untuk menikah dan mendidik

anak.

Bahwasannya terdapat hadis yang menjadikan landasan atas

diperbolehkannya menikah dini yaitu ketika Nabi Muhammad saw dan Siti ʻȂʼisyah.

Beberapa riwayat menyebutkan, ʻȂʼisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun,

dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia

senja, sudah berusia 50-an tahun.

‫ج اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ‬ ِ َ ‫ﺼﺔ ﺑْ ِﻦ ُﻋ ْﻘﺒَﺔ َﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎن َﻋ ْﻦ ِﻫ‬


َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ ﻗَﺒِْﻴ‬
َ ‫ ﺗَـ َﺰﱠو‬: ‫ﺸﺎم ﺑ ْﻦ ﻋُ ْﺮَوة َﻋ ْﻦ ﻋُ ْﺮَوة‬
ِ ْ ‫ﺖ ِﺳﻨِﻴﻦ وﺑـﻨﻲ ﺑِﻬﺎ و ِﻫﻲ اﺑـﻨﺔُ ﺗِﺴﻊ وﻣ َﻜﺜ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ‬
ّ ُ‫ﺖ ﻋ ْﻨ َﺪﻩ‬ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ َ َ ََ َ َ ْ ‫ﺸﺔُ َو ِﻫ َﻲ اﺑْـﻨَﺔُ ِﺳ ﱡ‬ َ ِ‫اﷲ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋﺎﺋ‬
( ‫ﺗِ ْﺴ ًﻌﺎ ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬

Telah menceritakan kepada kami Qabȋsah bin ‘Uqbah telah


menceritakan kepada kami Sufyȃn dari Hishȃm bin ‘Urwah dari ‘Urwah
bahwasannya : “Nabi Sallallȃhu ‘Alayhi Wasallam menikahi ’Ȃ’isyah saat ia
berumur enm tahun,, kemudian beliau hidup bersama dengannya
(menggaulinya) saat berumur Sembilan tahun. Dan ’Ȃ’isyah hidup bersama
Rasȗlullȃh Ṣallallȃhu ‘Alayhi Wasallam juga selama Sembilan tahun”. (HR.
al-Bukhȃri). 16

Rasȗlullāh memulai hidup berumah tangga dengan ʻȂʼisyah pada bulan

syawwal pada saat ʻȂʼisyah berumur 9 tahun. Rasȗlullȃh meninggal pada saat

ʻȂʼisyah berumur 18 tahun. Berdasarkan hadis tersebut para ulama, di antaranya

16
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bȃri Syarah Shahih al-Bukhari, juz. 5, h. 65.
9

Imam as-Syaukani, menyatakan bahwa boleh bagi seorang bapak menikahkan anak

gadisnya yang masih kecil atau belum baligh.

Kehadiran al-Qur’ȃn sebagai petunjuk manusia, yang tidak membatasinya

kepada etnis dan generasi tertentu. Dari generasi ke generasi, umat Islam terus

berusaha memahami al-Qur’ȃn dan menyampaikan kembali hasil pemahaman

tersebut dalam berbagai karya tafsir dengan tujuan agar dijadikan rujukan bagi umat

Islam. Kondisi sosio historis Nusantara mempunyai perkembangan tersendiri dalam

proses menafsirkan al-Qur’ȃn, yang berbeda dengan negara-negara berpenduduk

muslim lainnya. 17

Hal ini memberi dorongan kepada para mufassir di Nusantara untuk mencari

kandungan makna ayat yang dimaksud dengan bertitik tolak pada keyakinan bahwa

al-Qur’ȃn adalah sumber petunjuk. 18 Sehingga lahir literatur tafsir dari tangan ulama

Nusantara, dengan keragaman teknik penulisan, corak dan bahasa yang di pakai.19

Dalam perkembangannya, literatur Nusantara cukup banyak ditulis dengan bahasa

Indonesia dan latin. Sebab, tidak semua muslim Nusantara mahir berbahasa Arab. 20

Bahwa karya-karya Islam di penghujung abad 19 berdiri pada permulaan

reformasi yang mulai mengambil bentuk Islam Indonesia sejak permulaan abad ke-20

sehingga dapat membantu menjelaskan wacana Islam dominan yang ada di

17
Taufikurrahman, “Kajian Tafsir di Indonesia”, Mutawȃtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadits, Vol.
2, Nomor 1, Juni 2012, h. 2.
18
Achyar Zein, “Urgensi Penafsiran al-Qur’an yang Bercorak Indonesia”, Jurnal Miqot: Jurnal
Ilmu-ilmuu Keislaman,Vol. XXXVI. No. 1 (Januari-Juni 2012), h. 24.
19
Andi Miswar, “Tafsir al-Qur’ȃn al-Majȋd al-Nȗr karya T.M Hasbi ash-Shiddieqy”: (Corak
Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1
2015, h. 83.
20
Andi Miswar, “Tafsir al-Qur’ȃn al-Majȋd al-Nȗr karya T.M Hasbi ash-Shiddieqy”, h. 84.
10

Indonesia. 21 Tafsir Nusantara dipilih karena memiliki ciri khas dan keunggulan

tersendiri dalam khazanah tafsir al-Qurȃn. Selain karena penggunaan huruf latin,

penjelasan yang disampaikan dalam tafsirnya mudah dipahami oleh umat Islam

khususnya di Indonesia.

Berangkat dari hal tersebut mengenai pernikahan wanita usia dini penyusun

tertarik untuk menghandirkan empat pemikir atau ulama mufassir Nusantara yaitu

Syeikh Nawawi Banten, Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Buya Hamka,

dan M. Quraish Shihab. Ketertarikan ini disebabkan beberapa hal, di antaranya.

Pertama, para ulama mufassir Nusantara ini merupakan dikenal sebagai ulama

mujaddid pemikiran Islam. Kedua, ulama tafsir yang lahir dan tinggal di Indonesia

yang relatif pendidikannya baik dan ulama mufassir ini orang Indonesia yang

mengetahui budaya dan sosial rakyat Indonesia itu sendiri. Ketiga, pemikirannya

lebih ke-Indonesian dan modern. Yang penulis ketahui tentu pemikirannya selaras

dengan relasi hubungan keluarga yang ada di Negara kita dan dari segi corak

penafsirannya yaitu Adab al-Ijtimȃ’ȋ.

Melihat latar belakang masalah yang sudah di uraikan oleh penulis, menarik

untuk dikaji lebih mendalam. Penulis mencoba untuk menulis skripsi dengan judul

ANJURAN UNUK MENYEGERAKAN NIKAH: TAFSIRAN ULAMA

NUSANTARA ATAS SURAT AL-NȖR AYAT 32 DAN AL-TALȂQ AYAT 04.

21
Asep Muhammad Iqbal, Yahudi & Nasrani dalam al-Qur’ȃn: Hubungan AntarAgama Menurut
Syeikh Nawawi Banten, (Bandung: Mizan, 2004), h. xii.
11

B. Identifikasi Masalah
Permasalahan penelitian yang penulis ajukan ini dapat di identifikakasi

permasalahannya sebagai berikut. :

1. Dalam ayat al-Qur’ȃn tidak membataskan usia perempuan dalam menikah

dini tetapi terdapat ayat al-Qur’ȃn yang mengisyaratkan dipebolehkannya

menikahah dini.

2. Nabi Muhammad dan Siti ʻȂʼisyah.menikah ketika ʻȂʼisyah.berusia 6 tahun,

ketika menggaulinya disaat usia 9 tahun dan Nabi disaat itu berusia 50-an

tahun.

C. Batasan dan Rumusan Masalah


Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan mendalam.

Maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana

pandangan Mufassir tentang menikah dini di dalam al-Qur’ȃn. Maka penulis hanya

membatasi pada 4 pandangan mufassir saja yang mewakili ulama Nusantara, ataupun

ayat yang menjadi fokus bahas adalah surat al-Nȗr ayat 32 dan al-Talȃq ayat 4

mengenai anjuran untuk menyegerakan nikah yang berlandasan untuk

berlangsungnya nikah dini. yang di maksud penulis adalah dengan menampilkan

tafsiran ayat yang berkaitan dengan anjuran untuk menyegerakan menikah, dengan

mengkaji ayat-ayat tersebut dengan melalui kegiatan menganalisa kandungan ayat,

Mengetahui asbabul nuzul ayat dan penafsiran muffasir, Syeikh Nawawi Banten,

Prof. Dr. Teungku Hasbi Ash-Shiddiey, Buya Hamka dan M. Quraish Shihab
12

mengenai ayat tersebut, selain itu skripsi ini juga membandingkan antara ayat al-

Qur’ȃn dengan hadis yang berkaitan dengan tema tersebut. Sesuai dengan

pembatasan masalah diatas, maka ada pembahasan yang akan di rumuskan dalam

penulis skripsi ini, yang akan menjawab beberapa pertanyaan antara lain yaitu :

Penafsiran Mufassir Nusantara terhadap surat al-Nȗr ayat 32 dan al-Talȃq ayat o4

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menerangkan makna arti nikah di dalam al-Qur’ȃn.

2. Memaparkan batasan usia kedewasaan untuk menikah di dalam Islam.

3. Menjelaskan urgensi kedewasaan dalam membina rumah tangga.

4. Menguraikan penafsiran ulama Nusantara dalam Q.S. al-Nȗr [24]: 32, Q.S al-

Talȃq [65]: 04.

5. Menguraikan hadis Nabi Muhammad menikah dengan Siti ʻȂʼisyah.

6. Untuk menambah khazanah keilmuan bagi penulis dan kaum muslimin pada

umumnya;

7. Untuk memenuhi tugas dan syarat dalam menyelesaikan gelar sarjana Strata

Satu (S1) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran ulama Nusantara tentang anjuran

untuk menyegerakan nikah di dalam al-Qur’ȃn.


13

2. Secara teoritis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dan penelitian

lebih lanjut tentang anjuran untuk menyegerakan nikah di dalam al-

Qur’ȃn.

E. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan

orang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan orang atau

memiliki unsur kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan

penulis untuk tidak mengangkat judul yang sama, sehingga diharapkan kajian ini

tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.

Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di perpustakaan telah ditemukan

beberapa penelitian sebelumnya. Antara lain sebagai berikut:

1. Skrispsi yang ditulis oleh Khusen As’Ari, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Fakultas Ushuluddin tentang Pernikahan Dini dalam Perspektif

Hadits: Kajian Pendekatan Kontekstual Pada tahun 2009. Di sini

membahas tentang pada kajian hadis pernikahan dini yang ditinjau dari

segi pendekatan kontekstual hadis, yang mana berdasarkan praktek

Rasȗlullȃh yang menikahi ʻȂʻisyah. 22

2. Skripsi yang ditulis oleh Azlan, UIN Sultan Syarif Kasim Pekan Baru,

Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, tentang Pernikahan Usia Dini menurut

22
Khusen As’Ari, ”Pernikahan Dini dalam Perspektif Hadits,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009).
14

Hukum Islam: pada tahun 2010. Di sini membahas tentang bagaimana

pandangan Hukum Islam mengenai pernikahan dini. 23

3. Skripsi yang ditulis oleh Novita Kusuma Ningrum, Universitas

Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Hukum, tentang pernikahan di bawah

umur dan akibatnya (Studi putusan perceraian pada pasangan di bawah

umur di pengadilan agama Surakarta dan pengadilan agama Karanganyar):

pada tahun 2015. Dalam penulisannya Ia menjelaskan tentang akibat-

akibat akan belangsung pernikahan di bawah umur yang megakibatkan

terjadinya perceraian. 24

4. Jurnal yang ditulis oleh Bateq Sardi, Universitas Mulawarman Samarinda,

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, tentang faktor-faktor pendorong

pernikahan dini dan dampaknya di Desa Mahak Baru Kecamatan Sungai

Boh Kabupaten Malinau: pada tahun 2016. Dalam penulisannya Ia

menjelaskan faktor-faktor apa saja yang dapat seseorang melangsungkan

pernikahan dini dan dampaknya. 25

5. Hj. Rahmatiah HL, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Fakultas

Syariah dan Hukum, tentang studi kasus perkawinan dibawah umur: pada

tahun 2016. Ia menjelaskan berdasarkan hasil wawancara dari beberapa

23
Azlan, “Pernikahan Usia Dini menurut Hukum Islam,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekan Baru, 2010).
24
Novita Kusuma Ningrum, “Pernikahan di bawah Umur dan Akibatnya (Studi Putusan
Perceraian Pada Pasangan di bawah Umur di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama
Karanganyar),” (Skripsi S1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2015).
25
Bateq Sardi, “faktor-faktor pendorong pernikahan dini dan dampaknya di Desa Mahak Baru
Kecamatan Sungai Boh Kabupaten Malinau,” ( Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Mulawarman Samarinda 2016).
15

warga di Desa Benteng Kecamatan Penrang yang mana mengenai fakto-

faktor peyebab terjadinya pernikahan dini dan dampaknya. 26

Jadi, kajian skripsi yang akan penulis teliti adalah pandangan ulama

Nusantara tentang anjuran untuk menyegerakan nikah atas surat al-Nȗr ayat 32 dan

al-Talȃq ayat 04 . Dalam kajian ini akan memaparkan pandangan mufassir Nusantara

mengenai ayat-ayat tersebut, mengetahui asbabun nuzul ayat, dan membandingkan

antara ayat al-Qur’ȃn dengan hadis. Penulis mencoba dengan mengkonsentrasikan

dengan menelaah ayat-ayat anjuran untuk menyegerakan nikah atas surat al-Nȗr ayat

32 dan al-Talȃq ayat 04 di dalam al-Qur’ȃn yang telah penulis uraikan di atas dengan

mengungkap pandangan para Ulama Nusantara.

F. Metodologi Penelitian
Adapun metode dalam kegiatan peneletian ini, yaitu:

1. Pengumplan Data

Untuk mengumpulkan data dan meneliti data dalam penyusunan skripsi ini

penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) 27

sepenuhnya. Yaitu dengan menalaah beberapa literature yang relevan dengan pokok

pembahasan skripsi.

26
Rahmatiah HL, “Studi Kasus Perkawinan di bawah umur,” Vol.5 No. 1 (Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar 2016).
27
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Tekhnik (Bandung:
Taarsita, 1989), h. 139.
16

2. Metode Data

Penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan menganalisis ayat tentang

anjuran untuk menyegerakan nikah yang berlandasan untuk berlangsungnya nikah

dini dalam pandangan ulama mufassir nusantara. Maka penulis menggunakan metode

deskriptif-komparatif, dengan mendeskripsikan penafsiran ayat-ayat anjuran untuk

menyegerakan nikah yang berlandasan untuk berlangsungnya nikah dini di dalam al-

Qur’ȃn menurut empat mufassir ulama Nusantara, yaitu tafsir Marȃh Labȋd, tafsir Al-

Qur’ȃnu al-Majid Al-Nȗr, tafsir al-Azhar dan tafsir al-Mishbȃh. kemudian penulis

komparasikan dari masing-masing penafsiran keempat mufassir tersebut. Kemudian

penulis tidak menutup kemungkinan pendekatan yang dilakukan dengan

menggunakan metode tematik (mauduʻi) yaitu metode dengan mengambil topik

tertentu dalam hal ini ayat al-Qur’ȃn yang berkaitan dengan anjuran untuk

menyegerakan nikah.

3. Tekhnik Penulisan

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada buku yang

berjudul “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skrispsi, Tesis, dan Disertasi) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”.

G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengklarifikasi menjadi lima bab dan

setiap bab dibagi menjadi beberapa sub –sub yang setiap sub saling berkaitan.

Sistematika penulisan tersebut berikut ini:


17

Bab pertama pendahuluan, yang terdiri dari a) Latar Belakang Masalah, b)

Identifikasi Masalah, c) Pembatasan dan Perumusan Masalah, d) Tinjauan Pustaka, e)

Tujuan Penelitian, f) Metodologi Penelitian, dan g) Sistematika Penulisan

Bab kedua berisikan tinjauan umum tentang pernikahan , a) Pernikahan

menurut Islam yang meliputi, 1) Makna Arti Nikah di dalam Al-Qur’ȃn, 2) Tujuan

dan Hikmah Pernikahan, dan b) Pernikahan Dini yag meliputi, 1) Pengertian

Pernikahan Usia Dini, 2) Batasan Usia Kedewasaan menurut Islam, dan 3) Urgensi

Kedewasaan dalam Membina Rumah Tangga.

Bab ketiga berisikan tentang mengenal biografi mufassir Nusantara, a) Syeikh

Nawawi Banten, b) Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, c) Buya Hamka dan

d) M. Quraish Shihab.

Bab keempat tinjauan tentang interpretasi ayat-ayat anjuran untuk

menyegerkan nikah dalam tafsir ulama Nusantara pada surat, a) Al-Nȗr ayat 32, b)

Al-Talȃq ayat 04 dan c) Perbandingan al-Qur’ȃn dengan hadis.

Bab kelima berisikan penutup yang terdiri dari a) Kesimpulan dan b) Saran.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN

A. Pernikahan Menurut Islam


Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan rujukan dari

al-Qur’ȃn dan Al-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan

naluri manusia yang sangat asasi. Sarana untuk membina keluarga yang islami.

Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu

ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Mȃlik Radiyallȃhu ‘anhu

berkata “Telah bersabda Rasȗlullȃh saw yang artinya : “Barangsiapa menikah, maka

ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada

Allȃh dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (HR. Thabrani dan Hakim) 1.

Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan

maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di

masyarakat kita.

Tentu saja tidak semua persoalan pernikahan dapat penulis tuangkan dalam

tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : makna arti

nikah di dalam al-Qur’ȃn, tujuan pernikahan dan hikmah pernikahan.

1
Djamaluddin Arra’uf bin Dahlan, Aturan Pernikahan dalam Islam (Jakarta: JAL Publishing,
2011), h. 12.

18
19

1. Makna Arti Nikah di dalam al-Qur’ȃn

Pernikahan (zawȃj) menurut bahasa bisa berarti kebersamaan, berkumpul, dan

menjalin ikatan antara suami istri. yang laki-laki berkedudukan sebagai suami, sedang

yang wanita berkedudukan sebagai istri. 2

Sebagaimana didalam kamus bahasa Arab asal kata nikȃh atau zawȃj adalah

berasal dari kata nakaha-yankihu dan zawwaja-yuzawiju yang berarti menikah.3

Untuk lebih memperjelas definisi zawȃj, kita perlu mengetahui artinya dari sudut

pandang bahasa Arab. Secara etimologis, kata zawȃj dalam bahasa arab berarti

iqtirȃn (persandingan), izdiwȃj (berpasangan), dan mukhȃlatah (percampuran). Zawȃj

antara laki-laki dan perempuan berarti persandingan, percampuran, dan terbentuknya

pasangan dari keduanya. Sedangkan kata nikȃh di dalam semua kamus bahasa Arab

mengandung arti yang berbeda dengan kata zawȃj, karena ia dapat diartikan wat

(persetubuhan), kadang kala bermakna ‘aqad (ikatan), dan kadang kala bermakna

dhamm (penghimpunan). Namun kedua kata tersebut memiliki kedekatan hubungan,

dimana persandingan, pasangan, dan percampuran adalah konsekuensi logis dari

‘aqad dan persetubuhan. 4

Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan ʻaqad (perjanjian) antara

calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan” sebagaimana suami istri

dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama. ʻAqad dalam sebuah

2
Kholid bin Ali bin Muhammad al-Anbari, Perkawinan dan Masalah-masalahnya (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, Mei 1992), h. 25.
3
Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir versi Indonesia-Arab (Surabaya: Pustaka
Prgressif, 2007), h.257.
4
Arij Abdurrahman Al-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, h. 19-20.
20

pernikahan merupakan pengucapan ȋjȃb dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan

pengucapan qabȗl dari pihak calon suami atau bisa diwakilkan. 5 Sedangkan istilah

nikah menurut ahli ushul yaitu golongan Syafi’i, nikah menurut aslinya adalah akad

yang dengannya menjadi halal hubungan antara pria dan wanita. 6

Akad pernikahan memiliki bermacam-macam syarat, hukum, dan adab yang

harus dipenuhi, sehingga akad tersebut menjadi sah dan cara yang ditempuh menjadi

aman. Sebab, akad nikah adalah persoalan yang besar dan urusan yang amat penting.

Ia terkait dengan urusan kehormatan, kemuliaan, harta, dan juga nasab. Oleh karena

itu demi sahnya akad nikah, maka disyaratkan adanya empat hal yakni:

Pertama, permintaan izin dan keridhoan dari wali wanita, seperti bapak,

saudara laki-laki, atau selain keduanya. Tidak boleh seorang wanita melangsungkan

akad nikahnya sendirian dengan seorang laki-laki tanpa izin walinya. 7 Untuk

melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapatkan izin kedua orang-tua. 8

Kedua, Keridhoan wanita terhadap pernikahan tersebut. Ketiga, hadirnya

minimal dua orang saksi yang adil dari kaum muslimin. Tujuannya adalah agar

orang-orang mengetahui pernikahan yang terjadi, dan tersebar di antara mereka

bahwa pertemuan mereka berdua (sepasang mempelai) adalah pertemuan mulia

5
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, h.17.
6
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Kencana, Januari 2010), h. 273.
7
Syaikh Muhammad Ali Al-Sabuni, Pernikahan Islami (Az-Zawaj al-islami al Mubakkir),
Penerjemah : Ahmad Nurrohim (Solo: Mumtaza, Desember 2008), h. 83-84.
8
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan (Bandung: Al-Bayan, Maret 1994), h. 52.
21

dengan jalan pernikahan, bukan jalan keji dan hina. Keempat, adanya Ṣighah ijab dan

qobul dengan lafal nikȃḥ atau tazwij. 9

Sedangkan pengertian pernikahan ditinjau dari undang-undang bahwasannya

pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. 10 Sedangkan di dalam pasal 2 UU No. tahun 1974 tentang

perkawinan yang menentukan bahwa, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. 11

Dilihat dari segi sosial dari suatu pernikahan ialah bahwa dalam setiap

masyarakat (bangsa), ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang

berkeluarga atau pernah berkeluarga (dianggap) mempunyai kedudukan yang lebih

dihargai (terhormat) dari mereka yang tidak menikah. Sedangkan dari sudut pandang

keagamaan, pernikahan merupakan sesuatu hal yang dipandang suci (sakral). 12

Pernikahan bertujuan untuk mendapatkan keturunan atau anak-anak yang sah,

membentuk rumah tangga bahagia dan sehat sejahtera lahir dan batin, tentunya akan

didapat antara lain dengan saling pengertian, penuh rasa tanggung jawab serta dijiwai

dengan rasa kasih sayang.

9
Syaikh Muhammad Ali Al-Sabuni, Pernikahan Islami (Az-Zawaj al-islami al Mubakkir), h. 86-
94.
10
O.S. Eoh, Perkawinan antar Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, September 1996), h.
27-28.
11
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia , h. 272.
12
Muhahammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada: Maret 2004), h. 79.
22

Dari rumah tangga yang sunnatullȃh itu akan diharapkan lahirnya dan anak-

anak atau generasi yang bermoral tinggi (berakhlak mulia) dari sini muncullah

manusia-manusia beriman dan bertaqwa dan sekaligus akan mencintai tanah airnya,

bangsa dan Agamanya. 13

Seperti yang diketahui umumnya, yang dimaksud dengan hukum adalah ialah

suatu hukum dasar yang dapat berubah menurut keadaan sehingga menjadi wajib,

haram atau lainnya. 14 Dalam hal jenjang daya ikat norma hukum, hukum Islam

mengenal lima kategori hukum yang lazim dikenal dengan sebutan al-Ahkȃm al-

Khamsah (hukum yang lima) yakni: wȃjib (harus), sunnah/mustahab/taṭawwu’

(anjuran/dorongan, sebaiknya dilakukan), ibȃhah/mubȃh (kebolehan),

karahah/makrȗh (kurang/tidak sesuai, sebaiknya ditinggalkan), dan harȃm (larangan

keras). 15 Orang yang meneliti dalil-dalil yang diungkapkan para ulama akan

menemukan bahwa hukum pernikahan itu berbeda-beda dari suatu kondisi ke kondisi

lain, mungkin saja wajib, atau sunnah, atau makruh, karena seseorang mungkin saja

berbeda dalam salah satu dari kondisi berikut ini.

Pertama: orang yang khawatir jatuh pada perzinaan jika ia tidak menikah,

maka baginya pernikahan adalah wajib menurut ulama pada umumnya, karena

menjaga kesucian diri dari perbuatan zina adalah wajib, dan caranya adalah dengan

menikah.

13
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Keluarga (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta 1993),
h. 3-5.
14
Arij Abdurrahman Al-Sanan, Memahi Keadilan dalam Poligami, h. 23.
15
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 91.
23

Kedua: seseorang yang disunnahkan menikah, apabila memiliki gairah

seksual namun ia yakin tidak akan terjatuh kepada zina, karena menikah lebih baik

baginya dari pada tidak meskipun pilihan tidak menikah untuk alasan beribadah. Ini

adalah pendapat ulama madzhab Hanafi, dan pendapat yang tampak dari ucapan

serta perbuatan sahabat Rasȗlullȃh saw. 16

Ketiga, pernikahan yang kurang/tidak disukai (makrȗh) yaitu jenis pernikahan

yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kemampuan biaya hidup

meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis

meskipun memiliki kemampuan ekonomi.

Keempat, perkawinan yang dibolehkan (mubȃh), yaitu pernikahan yang

dilakukan tanpa ada faktor-faktor yang mendorong (memaksa) atau yang

menghalang-halangi. Pernikahan mubah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah

masyarakat luas, dan oleh kebanyakan ulama dinyatakan sebagai hukum dasar atau

hukum asal dari nikah. 17

Yang pasti, semua ulama sepakat bahwa setiap laki-laki dan perempuan yang

ingin menjalin cinta kasih dan menyalurkan kehidupan biologis atau lepas tepat lagi

membentuk kehidupan rumah tangga, mereka harus melakukannya melalui ‘aqdu al-

nikȃh’ (akad nikah), disinilah letak arti penting dari keberadaan nikah. 18

16
Arij Abdurrahman Al-Sanan, Memahi Keadilan dalam Poligami, h. 23-24.
17
Muhahammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 92.
18
Muhahammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 94.
24

2. Tujuan dan Hikmah Pernikahan


Rumah tangga adalah suatu kumpulan dari masyarakat terkecil, yang terdiri

dari pasangan suami istri, anak-anak, mertua dan sebagianya. Terwujudnya suatu

rumah tangga yang sah setelah didahului oleh Akad Nikah atau perkawinan sesuai

dengan ajaran Agama dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Perkawinan harus diawali dengan niat yang ikhlas karena perkawinan itu

adalah suruhan Allȃh dan Rasul-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang mampu.

Sebelumnya pihak-pihak yang bersangkutan (calon suami-istri) hendaklah berusaha

mempelajari dasar-dasar dan tujuan berumah tangga serta seluk beluknya yang

bersangkutan dengan itu.

Hal itu dimaksudkan supaya landasan atau pondamen rumah tangga yang

akan didirikan itu lebih baik dan lebih kuat, tidak mudah mengalami kegoncangan

dan krisis dalam melayarkan bahtera rumah tangga berikutnya. Selanjutnya agar

memperhatikan uraian-uraian ringkas tentang tujuan dan hakekat perkawinan, baik

menurut ajaran Agama maupun menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974, serta
19
pengaruhnya terhadap lingkungan dan masyarakat, bangsa dan Agama.

Tujuan utama dari sudut pandang UU tentang perkawinan, suatu perkawinan

adalah untuk memperoleh keterunan (anak) oleh karena keluarga yang bahagia dan

kekal erat kaitannya dengan keturunan. Dengan adanya anak maka kehidupan suami

istri dalam rumah tangga akan memperoleh ketenangan, ketentraman, dan

kebahagiaan. Anak merupakan tali pengikat kelangsungan hidup berumah tangga.

19
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Keluarga, h. 26.
25

Oleh karena itu kadang-kadang suatu pernikahan bisa putus dengan perceraian atau

dalam tumah tangga itu selalu terjadi perselisihan antara suami dan istri akibat dari

tidak adanya anak. 20

Tujuan pernikahan dari sudut aspek sosiologi yakni, tentang pentingnya

menghasilkan anak yang shalih untuk kemudian mengkonstribusikannya kepada

masyarakat. Yang mana semua itu amat bergantung pada proses pembentukan sebuah

keluarga dan keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah

dalam pergaulan. Karena manusia belajar berbagi dan berinteraksi sosial pertama kali

dalam keluarga. 21 Kemudian Tujuan pernikahan dari sudut pandang ilmuwan

biologis, yaitu bahwa terjadinya gejolak biologis merupakan pertanda munculnya

kecenderungan seksual dalam diri dan menyalurkan kebutuhan biologis secara sah,

yang mana hanya berlaku antara sepasang manusia (berlainan jenis) dan yang

terakhir adalah tujuan pernikahan dari sudut pandang psikologi yang mana berkenaan

dengan pernyataan al-Qur’ȃn bahwa penciptaan wanita bagi laki-laki dan laki-laki

bagi wanita tak lain dimaksudkan untuk menciptakan perasaan tenang diantara

keduanya. 22

Jadi tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan

mahligai rumah tangga yang sakinah yang selalu dihiasi mawaddah dan rahmah.

Kata mawaddah yang dipergunakan al-Qur’ȃn sebagaimana tertera dalam surat al-

20
O. S. Eoh, Perkawinan antar Agama, h. 40.
21
Abdullah Hasyim, dkk., Keluarga Sejahtera dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Direktorat
AdVokasi dan KIE, November 2011), h. 13.
22
Ayatullah Husain Mazhahiri, Membangunn Surga dalam Rumah Tangga (Bogor: Cahaya,
2004), h. 133-134.
26

Rȗm ayat 17 berbeda dengan kata hubbun yang juga berarti cinta. Pengertian kata

hubbun mempunyai makna cinta secara umum karena ada rasa senang dan tertarik

pada obyek tertentu seperti cinta pada harta benda, senang pada binatang piaraan, dan

sebagainya. Sedangkan kata mawaddah mempunyai makna rasa cinta yang dituntut

melahirkan ketenangan dan ketentraman pada jiwa seseorang serta bisa saling

mengayomi antara suami dan istri. Apalagi kata mawaddah ini dibarengi kata rahmah

yang mempunyai makna kasih sayang.

Sebuah pernikahan yang dilandasi mawaddah wa rahmah akan tercipta suatu

bangunan rumah tangga yang kokoh dan penuh dengan kebahagiaan meskipun

banyak problematika kehidupan yang menggoyahkan keutahan rumah tangga yang

didirikan, namun bisa diselesaikan dengan baik dan tidak terlepas untuk senantiasa

berlindung kepada Allȃh swt. Rumah tangga yang tidak tahan terhadap cobaan hidup

yang menimpanya sehingga terjadi perceraian, maka rumah tangga yang didirikan itu

menunjukkan bahwa unsur mawaddah wa rahmah tetap utuh dalam kehidupan rumah

tangga tergantung kedua belah pihak antara suami istri dalam mempertahankannya. 23

Tujuan pernikahan sebagaimana yang diungkapkan di atas termaktub secara

jelas dalam firman Allȃh swt :

‫ﻖ ﻟَ ُﻜﻢ ﱢﻣ ۡﻦ أَﻧﻔُ ِﺴ ُﻜﻢۡ أَ ۡز ٰ َو ٗﺟﺎ ﻟﱢﺘَ ۡﺴ ُﻜﻨُ ٓﻮ ْا إِﻟَ ۡﯿﮭَﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﺑَ ۡﯿﻨَ ُﻜﻢ ﱠﻣ َﻮ ﱠد ٗة َو َر ۡﺣ َﻤ ۚﺔً إِ ﱠن‬
َ َ‫َو ِﻣ ۡﻦ َءا ٰ َﯾﺘِ ِٓۦﮫ أَ ۡن َﺧﻠ‬
۲۱ َ‫ﺖ ﻟﱢﻘَ ۡﻮ ٖم ﯾَﺘَﻔَ ﱠﻜﺮُون‬ٖ َ‫ﻷ ٰﯾ‬ َٓ ‫ﻚ‬ َ ِ‫ﻓِﻲ ٰ َذﻟ‬
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu

23
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, h. 19.
27

rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Al-Rȗm [ 30 ]: 21).
Dalam agama Islam tujuan pernikahan sudah jelas diterangkan dalam al-

Qur’ȃn surat al-Rȗm ayat 21 diantaranya tujuan pernikahan yaitu menciptakan

ketenangan, pendewasaan diri bagi pasangan suami istri sehingga melalui pernikahan

diharapkan suami dan istri makin dewasa, dan melahirkan generasi yang jauh lebih

lanjut berkualitas. 24 Pendapat Imȃm Syafīʼ bahwasanya tujuan pernikahan yaitu

pertama, melestarikan keturunan. Kedua, menyalurkan libido yang berbahaya bila

dikekang. 25 Sedangkan Menurut M. Quraish Shihab tujuan pernikahan bagi setiap

pasangan adalah meraih sakinah dengan pengembangan potensi mawaddah dan

raḥmat, sedangkan tujuan akhirnya adalah melaksanakan tugas kekhalifahan dalam

pengabdian kepada Allȃh swt. 26

Sungguh amat jelas bahwa pernikahan yang terjadi pada makhluk hidup, baik

tetumbuhan, binatang, maupun manusia, adalah untuk keberlangsungan dan

pengembangbiakan makhluk yang bersangkutan. Al-Qur’ȃn al-Karim mengisyaratkan

kepada kita akan adanya hikmah tersebut, dengan firman Allȃh swt: 27

ٗ ِ‫ﺚ ِﻣ ۡﻨﮭُ َﻤﺎ ِر َﺟ ٗﺎﻻ َﻛﺜ‬


‫ﯿﺮا‬ ‫ﻖ ِﻣ ۡﻨﮭَﺎ زَ ۡو َﺟﮭَﺎ َوﺑَ ﱠ‬ ۡ
ٖ ‫ﻮا َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ ٱﻟﱠ ِﺬي ﺧَ ﻠَﻘَ ُﻜﻢ ﱢﻣﻦ ﻧﱠﻔ‬
َ َ‫ﺲ ٰ َو ِﺣﺪ َٖة َوﺧَ ﻠ‬ ْ ُ‫ٰﯾَٓﺄَﯾﱡﮭَﺎ ٱﻟﻨﱠﺎسُ ٱﺗﱠﻘ‬
۱ ‫ٱہﻠﻟَ َﻛﺎنَ َﻋﻠَ ۡﯿ ُﻜﻢۡ َرﻗِﯿﺒٗ ﺎ‬ ‫ٱہﻠﻟَ ٱﻟﱠ ِﺬي ﺗَ َﺴﺎٓ َءﻟُﻮنَ ﺑِ ِۦﮫ َو ۡٱﻷَ ۡر َﺣﺎ ۚ َم إِ ﱠن ﱠ‬
‫ﻮا ﱠ‬ْ ُ‫َوﻧِ َﺴﺎٓءٗۚ َوٱﺗﱠﻘ‬
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allȃh
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allȃh memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada

24
KH. Abdullah Hasyim, dkk., Keluarga Sejahtera dan Kesehatan Reproduksi, h. 10.
25
Wahba Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I 2 (Jakarta: Almahira, Februari 2012), h. 452.
26
M. Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an (Tanggerang : Lentera Hati, 2007), h. 80.
27
Mahmud Al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islalm (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1993), h. 1.
28

Allȃh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu


sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allȃh
selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. al-Nisȃ : 1).
Islam menganjurkan dan menggembirakan menikah sebagaimana tersebut

karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan

seluruh umat manusia.

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang

selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat

memuaskannya, maka banyaklah manusia yang mengalami guncangan dan

kacau serta menerobos jalan yang jahat.

2. Pernikahan jalan terbaik bagi kebaikan anak-anak, memperbanyak keturunan,

kelestarian hidup serta memelihara nasab dengan baik yang memang

sepenuhnya diperhatikan oleh Islam.

3. Selanjutnya, naluri kebapak-an dan keibua-an akan tumbuh saling lengkap

melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula

persaan-perasaan ramah, cinta dan kasih sayang yang merupakan sifat-sifat

baik yang menyempurnakan kemanusian seseorang. 28

4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan

menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan

pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena dorongan tanggung

jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia akan banyak bekerja dan

28
M. Bukhori, Hubungan Seks Menurut Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 7-8.
29

mencari pengahasilan yang dapat memperbesar jumlah kekayaan dan

memperbanyak produksi.

5. Pembagian tugas, di mana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga,

sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas tanggung


29
jawab antara suami istri dalam menanggung tugas-tugasnya.

Pernikahan juga Memperluas hubungan kekerabatan, hubungan cinta di antara

manusia yang sebelumnya tidak ada, dan membuka kontak serta ikatan sosial baru

yang memperkuat masyarakat. 30

B. Pernikahan Usia Dini menurut Islam


Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna

melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi

kemanusiaan di muka bumi ini. Ia sangat disenangi oleh setiap pribadi manusia dan

merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk Tuhan. Dengan pekawinan akan

tercipta suatu masyarakat kecil dalam bentuk keluarga dan dari sana pula akan lahir

beberapa suku dan bangsa.

Pada umumnya munculnya keruwetan terjadi pada kehidupan pernikahan itu

sendiri, terutama disebabkan oleh banyaknya perbedaan antara suami istri. Sebab

yang mendasar adalah karena keduanya hidup dalam satu tempat selama dua puluh

empat jam sehari semalam. Keduanya selalu bersama-sama meniti kehidupan rumah

tangga, maka tidak heran, jika mereka selalu menemukan perbedaan pendapat dalam

29
M. Bukhori, Hubungan Seks Menurut Islam, h. 9-10.
30
Arij Abdurrahman Al-Sanan, Memahi Keadilan dalam Poligami, h. 22.
30

berbagai hal. Umpamanya saja, jika srekelompok warga berkumpul dengan salah

seorang teman selama satu jam. Bisa saja di sela-sela pembicaraan terjadi perbedaan

pendapat. Salah satu kasus-kasus permasalahan yang terjadi dalam pernikahan adalah

kontroversi menikah dini atau menikah muda.

Permasalahan mengenai pernikahan usia dini penulis tidak semua tuangkan

dalam penulisan ini, akan tetapi hanya beberapa permasalahan yang akan penulis

bahas, antara lain : pengertian pernikahan usia dini, batasan kedewasaan menurut

islam, dan urgensi kedewasaan dalam membina rumah tangga.

1. Pengertian Pernikahan Usia Dini


Pernikahan dini (early marriage) merupakan suatu pernikahan formal atau

tidak formal yang dilakukan dibawah usia 18 tahun. Menurut al-Ghifari berpendapat

bahwa pernikahan muda adalah pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja. Dalam

hal ini, yang dimaksud dengan remaja adalah antara usia 10-19 tahun dan belum

kawin. 31

Pernikahan dibawah umur adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang

laki-laki dan seorang wanita dimana umur keduanya masih dibawah batas minimum

yang diatur oleh undang-undang. Berbagai bentuk faktor yang menghalangi

seseorang untuk melangsungkan penikahan, antara lain yakni:

a. Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi seorang yang memiliki

kehidupan yang mapan. Dengan begitu orang tua akan berusaha untuk

31
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini, h. 43.
31

memperjuangkan anaknya untuk pendidikan. Menurut pandangan orang tua,

pendidikan yang tinggi akan menunjang masa depan dalam berkarir. Apabila

seorang anak menikah pada usia dini dan tidak memiliki pendidikan yang

tinggi maka ia tidak akan memiliki pekerjaan yang sukses. Hal itu yang

membuat orang tua menghalangi anaknya untuk menikah pada usia dini. 32

b. Pernikahan dini tidak bisa dituduh penyebab perceraian, yang nikah tua pun

tak luput dari godaan bercerai. Masalah perceraian umumnya disebabkan

masing-masing sudah tidak lagi memegang amanah sebagai istri dan suami.

Istri sudah tidak menghargai suami sebagai kepala rumah tangga, atau suami

yang tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.

c. Pertengkaran dalam rumah tangga dapat dicegah apabila suami istri tersebut

dalam menyikapinya secara dewasa. Kedewasaan seorang dalam berumah

tangga bukan dilihat secara usianya. Namun dengan cara pemikirannya ketika

menyelesaikan masalah. salah satu faktor yang membuat seseorang menjadi

pribadi yang dewasa yaitu dari keluarga, pergaulan, ataupun pendidikan. Pada

dasarnya pertengkaran di dalam rumah tangga bukan disebabkan karena

menikah pada usia dini. melainkan pribadi dari pasangan tersebut. 33

Terdapat juga sisi positif dari pernikahan dini. hal-hal positifnya ini hanya

bisa dirasakan oleh mereka yang sungguh-sungguh ikhlas, menikah untuk ibadah.

Antara lain yakni Pertama, Menyelamatkan dari penyimpangan seks. dan dapat

penyaluran seks yang benar. Kedua, Diantara tujuan pernikahan adalah memiliki

32
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini, h. 58.
33
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini, h. 59-60.
32

keturunan. Nikah dini memungkinkan mempercepat keturunan. Apabila pernikahan

diniatkan untuk ibadah, maka akan membentuk keluarga yang utuh. 34 Dalam

hubungan pernikahan pasti didalamnya terdapat masalah yang harus dihadapi.

Dengan masalah itu akan membuat karakter seseorang menjadi dewasa dalam

menyikapinya. 35

2. Batasan Kedewasaan menurut Islam


Pada dasarnya kematangan jiwa sangat besar artinya untuk memasuki gerbang

rumah-tangga. Pernikahan pada usia muda dimana seorang belum siap mental

maupun fisik, sering menimbulkan masalah dibelakang hari, bahkan tidak sedikit

berantakan di tengah jalan. 36 Bahwa faktor kedewasaan merupakan kondisi yang

amat penting, akan tetapi tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Bila

diteliti secara seksama, ajaran Islam tidak pernah memberikan batasan yang definite

pada usia beberapa seseorang dianggap dewasa. Berdasarkan ilmu pengetahuan,

memang setiap daerah dan zaman memiliki kelainan dengan daerah zaman yang lain,

yang sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya usia kedewasaan

seseorang. 37

Dalam soal usia menikah, Islam memberi ancang-ancang dengan kemampuan

(istithȃ’ahi), yakni kemampuan dalam segala hal, baik kemampuan memberi nafkah

lahir batin kepada istri dan anak-anaknya maupun kemampuan dalam mengendalikan

34
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini, h. 61-63.
35
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini, h. 64 .
36
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan, h. 18.
37
Chuzaimah T. Yanggo, dan H.A Hafi Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
h. 80.
33

gejolak emosi yang menguasai dirinya. Jika kemampuan telah ada, ajaran agama

mempersilahkan seseorang untuk menikah. Namun jika belum mampu, dianjurkan

untuk berpuasa. 38

Di sisi lain, masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antar manusia

(mu’amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum.

Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk

menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk menikah

termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk berijitihad pada

usia berapa seorang pantas menikah.

Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat

berhubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena

perkawinan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung jawab dan

dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah

tangga diminta kemampuannya secara utuh. Menurut kesepakatan para ulama, yang

menjadi dasar kecakapan bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih

kurang, maka ia belum dibebenai kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah

sempurna, ia wajib menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya.

Berdasarkan hal ini, maka kecakepan bertindak ada yang bersifat terbatas dan ada

pula yang bersifat sempurna. Kalau keterangan dan pembagian ini dihubungkan

38
A. Zuhdi Mudhlor, Memahami Hukum Perkawinan, h. 18.
34

dengan perkawinan, maka timbul pertanyaan: usia berapakah seseorang dipandang

cakap untuk membangun rumah tangga?. 39

Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu diperhatikan firman

Allȃh swt :

‫ﻮا ٱﻟﻨﱢ َﻜﺎ َح ﻓَﺈ ِ ۡن َءاﻧَ ۡﺴﺘُﻢ ﱢﻣ ۡﻨﮭُﻢۡ ر ُۡﺷ ٗﺪا ﻓَ ۡﭑدﻓَﻌ ُٓﻮ ْا إِﻟَ ۡﯿ ِﮭﻢۡ أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَﮭُﻢۡۖ َو َﻻ‬ ْ ‫ﻮا ۡٱﻟﯿَ ٰﺘَ َﻤ ٰﻰ َﺣﺘﱠ ٰ ٓﻰ إِ َذا ﺑَﻠَ ُﻐ‬
ْ ُ‫َو ۡٱﺑﺘَﻠ‬
ۚ
‫ﯿﺮا ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺄ ُﻛ ۡﻞ‬
ٗ ِ‫ﻒ َو َﻣﻦ َﻛﺎنَ ﻓَﻘ‬ ۖۡ ِ‫ُوا َوﻣﻦ َﻛﺎنَ َﻏﻨِ ٗﯿّﺎ ﻓَ ۡﻠﯿَ ۡﺴﺘَ ۡﻌﻔ‬
َ ْ ‫ﺗَﺄ ُﻛﻠُﻮھَﺎٓ إِ ۡﺳ َﺮ ٗاﻓﺎ َوﺑِﺪَارًا أَن ﯾَ ۡﻜﺒَﺮ‬
ۡ
٦ ‫ﭑہﻠﻟِ َﺣ ِﺴﯿﺒٗ ﺎ‬ ‫وا َﻋﻠَ ۡﯿ ِﮭﻢۡۚ َو َﻛﻔَ ٰﻰ ﺑِ ﱠ‬ ِ ۚ ‫ﺑِ ۡﭑﻟ َﻤ ۡﻌﺮ‬
ْ ‫ُوف ﻓَﺈ ِ َذا َدﻓَ ۡﻌﺘُﻢۡ إِﻟَ ۡﯿ ِﮭﻢۡ أَﻣۡ ٰ َﻮﻟَﮭُﻢۡ ﻓَﺄَ ۡﺷ ِﮭ ُﺪ‬
Artinya : Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan
janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan
(janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan
diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka
bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allȃh sebagai Pengawas
(atas persaksian itu). (Q.S. al-Nisȃʼ ayat 6)
Pada dasarnya ayat ini berisi anjuran supaya memperhatikan anak yatim

tentang keagamaanya, usaha-usahanya dan kelakuannya sehingga mereka dapat

dipercaya. Orang yang telah dapat dipercaya secara sempurna berarti telah dapat

diberi tanggung jawab secara penuh, atau dengan kata lain, orang itu telah dewasa. 40

Menurut Rasyid Ridha mengenai surat al-Nisȃ ayat 6 bahwa bulȗgh al-nikȃh

berarti sampainya seseorang kepada umur untuk menikah, yakni sampai bermimpi.

Pada umur ini, katanya, seseorang telah bisa melahirkan anak dan menurunkan

39
Chuzaimah T. Yanggo, dan H.A Hafi Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
h. 81.
40
Chuzaimah T. Yanggo, dan H.A Hafi Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
h. 83.
35

keturunan, sehingga tergerak hatinya untuk nikah. Pada umur ini kepadanya telah

dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya

hudȗd. Berdasarkan uraian diatas, maka kedewasaan di tentukan dengan “mimpi” dan

“rusyd”. Karena itu maka rusyd adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf

serta mendatangkan kebaikan. Hal ini merupakan bukti kesempurnaan akalnya. 41

Akan tetapi umur mimpi dan rusyd kadang-kadang tidak sama dan sukar

ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi adakalanya belum rusyd dalam

tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-hari. Karena itu,

kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat pula dengan

tanda-tanda. 42

Setiap anak menjelang akil baliqh. Pada lelaki ditandai denan ejakulasi

(mimpi basah) dan pada anak perempuan ditandai dengan haid (menarche, menstruasi

pertama). Tidaklah berarti bahwa anak itu sudah dewasa dan siap untuk menikah.

Perubahan biologis merupakan pertanda bahwa proses pematangan organ reproduksi

mulai berfungsi, namun belum siap untuk berproduksi (hamil dan melahirkan). 43

Di dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan bahwa

untuk melangsungkan pernikahan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun

harus mendapat izin dari kedua orangtua. 44 Pada dasarnya di dalam Islam, tidak ada

41
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Mesir: al-Manar, 1325 H), Juz IV, h. 387.
42
Chuzaimah T. Yanggo, dan H.A Hafi Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
h. 84.
43
Dadang Hawari, Psikiater, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta:
PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 251.
44
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 97.
36

ketetapan tentang usia menikah, walaupun beberapa negara Muslim mungkin telah

menjalankan undang-undang yang menetapkan usia minimum. 45 Untuk lebih

jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli, sebagai berikut:

a. Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan

datangnya masa haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya

bulu kasar di sekitar kemaluan.

b. Menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat, antara

lain:

1. Ulama Syafiah dan Hanbȃlih menentukan bahwa masa dewasa itu mulai

umur15 tahun. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita

adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah

terjadinya taklȋf, dan karena akal pulalah adanya hukum.

2. Sarlita Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya

seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi

20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena

zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan

menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab

sosial. 46

3. Diriwayatkan bahwa Abȗ Hanifah berpendapat kedewasaan itu datangnya

mulai usia 18 tahun bagi jejaka dan 17 tahun bagi wanita. 47

45
Assegaf, S. Ahmad Abdullah, Islam dan KB, (Jakarta: Lentera, 1997), h. 32.
46
Chuzaimah T. Yanggo, dan H.A Hafi Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
h. 81.
47
Assegaf, S. Ahmad Abdullah, Islam dan KB, h. 33.
37

4. Prof. Dr. H. Dadang Hawari (Psikiater) berpendapat bahwa usia ideal

untuk persiapan pernikahan menurut kesehatan dan juga program KB,

yaitu usia antara 20-25 tahun bagi wanita dan usia antara 25-30 tahun bagi

pria. Pada usia tersebut adalah masa yang paling baik untuk berumah

tangga. Lazimnya usia pria lebih daripada usia wanita. 48

Perlu dicatat, bahwa angka-angka usia diatas tidaklah selalu cocok untuk

setiap wilayah di dunia ini. Setiap wilayah dapat saja menentukan usia kedewasaan

untuk menikah sesuai dengan masa dan kondisi yang ada. 49

Pada dasarnya kematangan jiwa sangat besar artinya untuk memasuki gerbang

rumah tangga. Perkawinan pada usia muda di mana seseorang belum siap mental

maupun fisik, sering menimbulkan masalah di belakang hari, bahkan tidak sedikit

berantakan di tengah jalan. Dalam soal perkawinan, Islam memberi ancar-ancar

dengan kemampuan (istithȃ’ah), yakni kemampuan dalam segala hal baik

kemampuan memberi nafkah lahir batin kepada istri dan anak-anaknya maupun

kemampuan dalam mengendalikan gejolak emosi yang menguasi dirinya. Jika

kemampuan telah ada, ajaran agama mempersilahkan seseorang untuk menikah.

Namun jika belum mampu, dianjurkan untuk berpuasa lebih dahulu.

UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur batas umur seorang laki-

laki maupun wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Pasal 7 ayat 1

48
Dadang Hawari, Psikiater, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 252.
49
Chuzaimah T. Yanggo, dan H.A Hafi Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
h. 85.
38

mengatakan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. 50

Namun demikian, jika belum mencapai umur 21 tahun, calon pengantin baik

pria maupun wanita diharuskan memperoleh izin dari orang tua/ wali yang

diwujudkan dalam bentuk surat izin sebagai sah satu syarat untuk melangsungkan

perkawinan. Bahkan bagi calon pengantin yang usianya kurang 16 tahun harus

memperoleh dispensasi dari pengadilan.

Pasal 7 ayat 2 UU no. 1 tahun 1974 menegaskan: “Dalam hal penyimpangan

terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. 51

3. Urgensi Kedewasaan dalam Membina Rumah Tangga


Ajaran agama Islam menentukan sejumlah aturan dan tindakan untuk

mengokohkan rumah tangga yang baik. Sebagian dari tindakan itu wajib diusahakan

sejak pra pernikahan, sebagian lagi ada yang mesti dijaga sejak selesainya akad nikah

guna memudahkan jalan bagi suami istri untuk membina rumah tangga, sedangkan

tindakan lain yang mesti diusahakan ialah tatkala adanya gangguan dan goncangan

terhadap rumah tangga itu. Salah satu persoalan kehidupan rumah tangga pra

pernikahan yaitu, apakah kita akan dapat mewujudkan rumah tangga yang bahagia?

Barangkali semua orang akan mengatakan bahwa masalah pernikahan bukanlah

persoalan yang enteng, dan tidak semua orang dapat mengarunginya dengan sukses.

50
A. Zuhdi Mudhlor, Memahami Hukum Perkawinan, h. 18.
51
A. Zuhdi Mudhlor, Memahami Hukum Perkawinan, h. 19.
39

Orang yang sudah dewasa, fisik dan mental, belum tentu bisa membina dan

mendirikan rumah tangga secara sempurna, apalagi orang muda yang belum dewasa.

Secara rasional kita dapat menyimpulkan bahwa masalah kedewasaan merupakan

persoalan penting yang mempunyai pengaruh tidak kecil terhadap keberhasilan

rumah tangga.

Pada dasarnya Islam tidak pernah mensyaratkan sahnya suatu perkawinan

karena kedewasaan pihak-pihak yang akan menikah. Artinya, suatu perkawinan tetap

menjadi sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, tanpa mengharuskan usia

kedewasaan calon suami istri. Tidak adanya persyaratan kedewasaan suami istri itu

merupakan kemudahan yang diberikan oleh agama, karena ada segi-segi positif lain

yang ingin dituju. akan tetapi, karena persoalan perkawinan bukanlah hal yang

sederhana, maka agama mensyaratkan adanya beberapa rukun dan syarat guna

menumbuhkan rasa tanggung jawab. 52

Sebelum berlangsungnya pernikahan, pasti akan adanya suatu pinangan

(khitbah) yang mana permintaan pihak peminang kepada pihak dipinang agar

bersedia menikah dengannya. Pinangan merupakan awal langkah dari pernikahan,

menurut syara’ maupun adat. Tujuannya, agar peminang dan yang dipinang saling

mengenal, selain juga sebagai persiapan memasuki kehidupan rumah tangga yang

langgeng, menjajaki kemungkinan membangun kehidupan keluarga yang kekal, serta

52
Chuzaimah T. Yanggo, dan H.A Hafi Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer,
h. 77-78.
40

mewujudkan rasa saling pengertian dan keharmonisan, sesuai tatanan yang ditetapkan

al-Sunnah. 53

Seorang pria dianjurkan meminang perawan yang subur, cantik, cerdas,

beragama, bernasab (nasabnya baik, dalam arti bukan anak zina atau anak orang

fasik), bukan kerabat dekat, wanita lain, tidak mempunyai hubungan persaudaraan
54
atau hubungan kerabat, berbudi baik, dan maskawinnya tidak tinggi.

Seorang pemuda yang ingin menikah dengan gadis pujaannya terlebih dahulu

harus ada pinangan dari pihak pemuda. Meminang adalah ungkapan dari pihak laki-

laki yang berfungsi untuk melamar pihak perempuan untuk dijadikan calon istri.

Pernyataan meminang terhadap perempuan (baik yang masih gadis maupun yang

sudah janda) bisa diungkapkan oleh laki-laki yang bersangkutan (sebagai calon

suami) dan atau boleh diwakilkan kepada orang lain yang terpercaya.Perempuan yang

boleh dipinang adalah perempuan yang berstatus tidak bersuami, dan bagi yang sudah

janda tidak dalam masa iddah. Meminang perempuan yang sudah dipinang lebih dulu

oleh laki-laki lain adalah tidak boleh. 55

Pemilihan jodoh atau usaha mencari pasangan hidup sebagai suami istri

tidaklah mudah (tidak gampang), tertutama karena cukup banyak masalah-masalah

atau seluk-beluknya yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan oleh masing-

masing pihak. Sehubungan dengan itu pula maka ajaran Agama Islam tidak menutup

pintu untuk melakukan usaha-usaha pemantapan dengan kata lain; Islam memberikan

53
Wahba Zhaili, Fiqih Imam Syafi’i, h. 471-472.
54
Wahba Zhaili, Fiqih Imam Syafi’i, h. 475.
55
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, h. 38.
41

peluang dan kesempatan kepada masing-masing pihak calon suami istri untuk dapat

mencari atau mempelajari sifat-sifat atau tingkah laku serta memperhatikan watak

kepribadian dari calon-calon tersebut.

Ajaran agama Islam jangan dipergunakan sekedar untuk mensahkan

perkawinan saja, tetapi untuk dipedomani semenjak dari pemilihan jodoh dan

seterusnya. Seperti Sabda Rasȗlullȃh saw:

‫ ) ﺗُـ ْﻨ ِﻜ ُﺢ اَﻟ َْﻤ ْﺮأَةُ ِﻷ َْرﺑَ ٍﻊ ﻟِ َﻤﺎﻟِ َﻬﺎ‬: ‫ﺎل‬


َ َ‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬ ِ
َ ‫َﻋ ْﻦ أَﺑِﻲ ُﻫ َﺮﻳْـ َﺮَة َرﺿ َﻲ اﷲُ َﻋ ْﻨﻪُ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ‬
( ‫ﺖ ﻳَ َﺪ َاك ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬ ِ ‫وﻟِ ِﺤﺴﺒِﻬﺎ وﻟِﺠﻤﺎﻟِﻬﺎ وﻟِ ِﺪﻳﻨِﻬﺎ ﻓَﺎﻇْ َﻔﺮ ﺑِ َﺬ‬
ْ َ‫ات اﻟﺪﱢﻳْ ِﻦ ﺗَ ِﺮﺑ‬ َ َ ْ َ َ ََ َ َ َ َ
“dinikahi (dikawini) perempuan itu karena hartanya dan
kecantikannya dan keturunannya dan Agamanya. Utamakanlah memilih
perempuan-perempuan yang beragama, berbahagialah kedua
tanganmu”.(HR. Al-Bukhȃri) 56
Dalam hadis tersebut digambarkan secara umum bahwa harta dan kekayaan,

keindahan, dan kecantikan tubuh. Masalah keturunan dan Agama adalah merupakan

serangkaian pandangan dalam usaha memilih jodoh atau teman hidup, namun

akhirnya masalah Agama jelas memegang peranan terpenting untuk mewujudkan

keimanan dan kebahagian dalam rumah tangga seseorang. Seseorang itu mungkin

suatu saat merasa senang dan puas dengan banyaknya uang atau harta benda, namun

pada suatu saat ia merasakan hidupnya penuh dengan kecemasan dan terasa was-was

dengan kata lain; Damai tapi gersang. Apabila ajaran agama Islam itu dapat dipelajari

dan dihayati, maka akan tumbuhlah rasa kedamaian dan ketentraman di hati, dan

56
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bāri syarah Shahih al-Bukhari, juz. 5, h. 120.
42

sekaligus tentunya akan mempengaruhi tingkah laku serta pembinaan perwujudan

pribadi yang baik dan tangguh. 57

Sebelum memasuki ke jenjang rumah tangga, seseorang harus menemukan

jodohnya terlebih dahulu karena jodoh memegang peranan penting dalam

menciptakan sebuah bangunan rumah tangga yang didirikan agar kokoh, damai,

tentram dan sejahtera dalam bingkai mawaddah wa rahmah. Jodoh memang bukan

merupakan syarat akan sahnya sebuah pernikahan, tetapi jodoh itu perlu dicari.

Banyak masyarakat yang kurang memahami dan mendalami pesan-pesan agama,

sering berucap bahwa jodoh itu ada di tangan Tuhan. Ini sikap yang sangat pasrah.

Mereka lupa bahwa segala pekerjaan yang baik maupun yang buruk terpulang

kembali kepada si pelaku. Hasil dari proses langkah-langkah itulah kemudian

menjadi takdir manusia yang harus dijalani.

Seorang laki-laki yang sudah masanya memasuki kehidupan rumah tangga

dianjurkan mencari jodohnya yang se-kufu, 58 selevel, setingkat dan sepaham, karena

jodoh merupakan salah satu yang menentukan terciptanya keharmonisan rumah

tangga dan komunikasi yang baik antara keluarga dari pihak suami dan istri, serta

57
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, h. 6-9.
58
Kufu, yang asal kata dari kafa’ah secara bahasa berarti setara atau sama. Al-Khattabi
mengatakan bawa kafa’ah itu bisa dilihat dari empat hal yaitu; agama, merdeka, nasab, dan profesi.
Sedangkan jumhur ulama menganggap bahwa kafa’ah itu hanya merupakan kelaziman pernikahan
bukan merupakan syarat sah pernikahan. Sebagian fuqaha menambahkan hendaknya kafa’ah juga
dalam hal, sehati tidak memiliki cacat, dan juga dalam harta. (Syaikh Imad Zaki al-Barudi, penerjemah
Samson Rahman, MA, Tafsir Wanita (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Juni 2004) h. 76).
43

tidak terjadi gap atau jurang pemisah yang dalam antara kedua belah pihak

keluarga. 59

Pernikahan akan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Seorang

calon suami dan istri harus sadar benar-benar siap dan matang baik fisik atau

biologis, psikis maupun sosial ekonomi. Dengan kata lain, seorang calon suami atau

istri usianya harus cukup dewasa, sehat jasmani, rohani serta sudah mempunyai

kemampuan mencari nafkah. 60

Dengan demikian dibalik proses pernikahan pasti mempunyai hal positif bagi

kedua belah pihak baik istri maupun suami. Proses dalam pernikahan yaitu mendidik

keturunan (anak) dari hasil pernikahan, yang mana dalam mendidik keturunan (anak)

peran seorang ibu maupun ayah sangatlah penting untuk perkembangan tubuhnya. Di

dalam pernikahan seorang suami yang sudah memiliki kedewasaan maka ia akan

dapat mengkontrol emosinya dan dapat menyelesaikan masalah dalam rumah

tangganya secara baik. 61

59
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, h. 147-148.
60
Abdullah Hasyim, dkk., Keluarga Sejahtera dan Kesehatan Reproduksi, h. 31.
61
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 31.
BAB III

MENGENAL BIOGRAFI MUFASSIR NUSANTARA

Umat Islam di Indonesia mempunyai perhatian besar terhadap al-Qur’ȃn,

mulai hal pengajaran tata cara membaca al-Qur’ȃn yang baik, sesuai ilmu tajwid,

hingga kajian-kajian mendalam mengenai kandungan al-Qur’ȃn. Nyata bahwa al-

Qur’ȃn menempati kedudukan penting di dalam sejarah pergumulan awal Muslim

Indonesia seperti di berbagai pondok pesantren, madrasah dan sekolah. Proses

pengajaran al-Qur’ȃn itu, dari tingkat yang paling dasar seperti membaca dan

menulisnya dengan baik. Hingga pada upaya menggali makna-maknanya yang

melibatkan disiplin ilmu-ilmu al-Qur’ȃn dengan memakai literature Arab. 1

Pada bagian ini akan diuraikan perjalan dan sejarah tafsir di Indonesia. Uraian

ini dimaksudkan untuk mengungkap proses dan dinamika penulisan tafsir di

Inodenisa , dari masa ke masa. Pada abad ke-16 di Nusantara telah muncul proses

penulisan tafsir. setidaknya dapat dilihat dari naskah Tafsir Sȗrah al-Kahfi [18]:9.

Manuskripnya terdapat di aceh secara teknis tafsir ini ditulis secara parsial

berdasarkan surat tertentu, yakni surat al-Kahfi dan tidak diketahui siapa penulisnya,

akan tetapi di duga bahwa Hamzah al-Fansuri yang menulisnya karena Ia seorang

ulama dan sufi besar di aceh. 2 Kemudian pada abad ke-17 muncul para perintis

gerakan pembaruan Islam di Nusantara yaitu pertama, Nȗr al-Dȋn al-Rȃnirȋ ia

1
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, Februari 2003), h. 48.
2
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 53

44
45

merupakan seorang sufi, ahli teologi dan ahli hukum dan juga seseorang sastrawan. Ia

memainkan peranan penting dalam membawa tradisi besar yang menghubungkan

tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara. 3 Kedua, Abd Rauf

Sinkel tafsirnya yaitu Tarjuman al-Mustafid yang ditulis secara lengkap terjamahan

al-Qur’ȃn dalam bahasa Melayu. 4 Pada abad ke-18 muncullah al-Palimbani nama

lengkapnya adalah Abd al-Shamad bin Abd Allȃh al-Jȃwi al-Palimbani adapun karya-

karya beliau membahas tentang mistisisme dan teologi dan didasarkan terutama pada

ajaran-ajaran al-Junayd, al-Qusyairi dan al-Ghazali yang mana mengikuti ajaran-

ajaran neo-sufisme. 5 Kemudian pada abad ke-19 muncul literatur tafsir utuh yang

ditulis oleh ulama asal Idonesia, yaitu Imam Muhammad Nawawi al-Bantani. Kitab

tafsirnya yaitu Tafsir Munȋr li Ma’ȃlim al-Tanzȋl dan Ia juga menamakannya dengan

Marȃh Lȃbid li Kasyfi Ma’na al-Qur’ȃn al-Majid. Tafsir yang menggunakan bahasa

Arab sebagai bahasa pengantar ini, ditulis di luar Nusantara, yaitu Makkah. 6

Pada akhir tahun 1920-an mulai muncul beberapa literatur berbahasa melayu

yang mencoba memberikan kemudahan dalam berinteraksi dengan al-Qur’ȃn. Seperti,

Mahmud Yunus telah memulai menyusun tafsir al-Qur’ȃn dengan tulisan jawi

(bahasa Indonesia atau melayu yang ditulis dengan tulisan arab). Ahmad Hasan, pada

tahun 1928, juga telah memulai menafsirkan al-Qur’ȃn. Pada dekade 1960-an,

tepatnya di tahun 1965, Tudjimah menerbitkan al-Qur’ȃn dan ajaran-ajarannya yang

3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII
Akar Pembaran Islam (Jakarta: Kencana, Januari 2013), h. 231.
4
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Tanggerang: Mazhab Ciputat, Oktober 2013) h. 13.
5
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII
Akar Pembaran Islam, h. 318.
6
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 55.
46

merupakan analisis terhadap tema-tema al-Qur’ȃn. Kemudian T.M Hasbi Ash-

Shiddieqy telah menerbitkan Tafsir al-Qur’ȃn al-Majȋd dalam beberapa jilid.

Kemudian menjadi Tafsir al-Nȗr, dan disusul tafsir al-Bayȃn. 7

Keragaman kajian atas al-Qur’ȃn di Indonesia itu terus berlangsung pada

dekade 1980-an, yaitu tentang : (1) petunjuk membaca al-Qur’ȃn yang benar, seperti

karya Ismail Tekan, (2) Teknik membaca, melagukan dan menghafal al-Qur’ȃn, yang

dilakukan oleh Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam. dan (3) Tafsir lengkap 30 Juz,

seperti karya Buya Hamka tafsir al-Azhar dan H. Oemar Bakry Tafsir Rahmat.

Pada dasarnya tradisi penulisan tafsir di Indonesia sebenarnya telah bergerak

cukup lama, dengan keragaman teknis penulisan, corak dan bahasa yang dipakai.

Bahwa pada abad ke-20 M kemudian bermulaan beragam literature tafsir yang mulai

ditulis oleh kalangan Muslim Indonesia. Karya-karya tafsir disajikan dalam model

dan tema yang beragam serta bahasa yang beragam pula. Mahmud Yunus, A. Hassan,

T.M. Hasbi Al-Shiddieqy, dan Hamka sebagaimana generasi terkemudian menulis

tafsir genap 30 juz dengan model penyajian runtut (tahlȋlȋ) sesuai dengan urutan

mushḥaf Ustmȃnȋ. 8

Dalam dekade 1990-an di Idonesia telah muncul beragam karya tafsir yang

ditulis oleh para muslim Indonesia. Keragaman itu bisa dilihat dari model teknik

7
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 50.
8
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 48-55.
47

penulisan, hermeneutik tafsir serta tema-tema yang diangkat. Keragaman itu telah

menjadi wacana baru di dalam sejarah dan dinamika penulisan tafsir di Indonesia. 9

Proses sosialasi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dan bahasa

pemersatu bangsa Indonesia- yang mana berbarangan dengan momentum

kemerdekaan Indonesia yang sebelumnya dimulai oleh munculnya Sumpah Pemuda

28 Oktober 1928 dengan salah satu ikar “ Berbahasa Satu Bahasa Indonesia”

menyebabkan kejamakan literature tafsir al-Qur’ȃn di Indonesia ditulis dalam bahasa

Indonesia dengan aksara latin. Dari segi sasaran, dalam tingkat tertentu, model

penulisan tafsir yang menggunakan tafsir bahasa Indonesia dengan aksara latin ini

tentu lebih populis, sebab secara umum bisa diakses oleh masyarakat Indonesia.

Karena bagi Muslim khususnya di Indonesia mereka yang tidak menguasai bahasa

Arab dengan baik, mereka pun lebih suka membaca literatur tafsir bahasa Indonesia

ketimbang yang berbahasa daerah. Dengan demikian penulis mengambil empat tafsir

ulama Nusantara yaitu pertama, Syeikh Nawawi Banten pada generasi tahun 1813.

Kedua, Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy pada generasi tahun 1965. Ketiga, Buya

Hamka pada generasi tahun 1980. Keempat, M. Quraish Shihab pada generasi tahun
10
1990 yang mana merekapun berbeda dalam masa pertahunnya.

A. Syeikh Nawawi Banten


Syeikh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti

Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan

sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara,

9
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 60.
10
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 63.
48

Serang, Banten pada tahun 1813 M/1228 H. Nawawi menghembuskan nafasnya yang

terakhir pada usia 84 tahun pada tanggal 25 Syawwal 1314 H/29 Maret 1897 M. Ia

dimakamkan di Ma’la dekat maka Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi.

Ayahnya bernama Syeikh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid.

Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana

Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra

Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1) yang bernama Sunyararas (Ta’jul ‘Arsy). 11

Sejak kecil, Nawawi memang telah diarahkan ayahnya untuk menjadi seorang

ulama. Setelah ditempa sang ayah, Nawawi lantas berguru kepada K.H. Sahal,

seorang ulama karismatik di Banten. Usai dari Banten, ia berguru kepada ulama besar

Purwakarta yakni Kiai Yusuf. 12 Pada usia 15 tahu, ia mendapat kesempatan untuk

pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar

ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Pada

tahun 1833 ia kembali ke daerahnya dengan khazanah ilmu keagamaaan yang relatif

cukup lengkap untuk memantu ayahnya yang mengajar para santri. 13

Pertama kali, Nawawi mendapat bimbingan Syekh Khatib Sambas

(Penggabung Tarekat adiriyah dan Naqsyabandiyah) dan Syek Abdul Gani Duma,

ulama asal Indonesia yang bermukim di Tanah Haram. Setelah itu, ia belajar pada

Sayid Ahmad Dimyati dan Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya berdiam di Mekkah.

11
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 40.
12
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008), h. 189.
13
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 41.
49

Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. 14 Kemudian ia

melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam yaitu Syek

Yusuf Sumbulawinidan Syeikh Nahrawi. Setelah memutuskan untuk memilih hidup

di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya, ia menimba ilmu lebih dalam

lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar

di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena

dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Ulama disana. 15

Kurang lebih 15 tahun sebelm wafat, Nawawi sangat subur dalam

membuahkan kitab, waktu mengajarnya pun sengaja dikurangi untuk menambah

kesempatan menulis. Maka tak heran jika Nawawi mampu melahirkan puluhan.

Bahkan menurut sebuah sumber- ratusan karya tulis meliputi berbagai ilmu, seperti

tauhid, ilmu teologi, sejara, syaria, tafsir, dan lainnya. 16

Karya-karya Syeikh Nawawi di bidang ilmu kalam dan akhlaq yakni, Fath al-

Majid, Tijam al-Tauhid, al-Nahjah al-Jadidah dan Salalim al-Fudlala. Kemudian

karya-karya Syeikh Nawawi di bidang fiqh yakni, Kasyifatus Saja’, Fath al-Mujib

dan al-Tausyih. Dan Karya Syeikh Nawawi di bidang tafsir yakni tafsir Marȃh Labȋd.

Tafsir Marȃh Labȋd merupakan karya Syeikh Nawawi di bidang tafsir, ia

mengemukakan banyak mengutip dari beberapa sumber kitab tafsir seperti kitab al-

Fȗtuhat al-Ilahiyah, Mafatih al-Gayb, al-Siraj al-Munir, Tanwir al-Miqbas, dan

Tafsir Aby al-Su’ud. Syeikh Nawawi menjadi terkenal dan diormati karena

14
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an,h. 190.
15
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 42.
16
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an,h. 192.
50

keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak

jelas dan sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan

keagamaan. Nama lengkap tafsir ini adalah “al-Tafsir al-Munir li Ma’alimit Tanzil

al-Musfir ‘an Wujuhi Mahasin al-Ta’wil”. Al-Bantani juga menamakannya dengan

tafsir Marȃh Labȋd li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid (Keerian yang menggumpal

untuk membongkar makna al-Qur’an al-Majid). Metodologi dalam kitab tafsirnya

yaitu tahlili. Uraiannya sederhana tapi lebih panjang dang lebih banyak dibandingkan

dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir Jalalain hanya menjelaskan kata muradif, maka

pada tafsir Marȃh Labȋd Syeikh Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut

secara sederhana dan tidak banyak mendiskusikan persoalan. 17

Syeikh Nawawi sengaja menyederhanakan penjelas kitab tafsirnya agar

pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad

dalam menafsirkan al-Qur’an. Dilihat dari aliran pemikiran, tasir ini enderung

beraliran salaf yaitu berkhidmah kepada nash. Teknik pemaparannya yakni teknik

Tahlili tetapi kadangkala ia menjelaskan secara singkat yang dapat dimasukkan dalam

kategori Ijamali. Tafsir ini termasuk Ijmali karena ia menggunakan penjelasan

ringkas dan mengikuti alur kalimat al-Qur’ȃn sehingga tidak bisa dibedakan mana

kalimat al-Qur’an dan tafsirannya. Namun dibeberapa tempat ia juga menjelaskan

secara detail layaknya tafsir Tahlili. Ia juga menjelaskan sumber riwayat Asbab al-

Nuzul secara singkat yang tidak disertai dengan rangkaian sanadnya sebagaimana

layaknya tafsir al-Matsur. Adapn corak penafsirannya Marȃh Labȋd termasuk

17
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 51.
51

penganut Ahlussunah wa al-Jamaah dalam bidang teologi dan Syafiiyah dalam

bidang fiqh. 18 Bahwasannya Syeikh Nawawi al-Bantani wafat pada usia 84 tahun di

Syeib Ali, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawwal 1314 H/1897

M dan dimakamkan di pemakaman umum Ma’la. 19

B. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy


Prof. DR. Hasbi ash-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904/22

Zulhijjah 1321 H – wafat di Jakarta , 9 Desember 1975/5 Zulhijjah 1395 H. 20 ia

seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan ushul fiqh, tafsir, hadis dan ilmu kalam.

Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad

Su’ud, seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren

(meunasa). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja

Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. 21

Dalam tubuhnya mengalir darah campuran arab. Menurut silsilah, Hasbi ash-

Ṣhiddieqy adalah keturunan Abu Bakar ash-Shiddieqy (573-634 M/ 13 H), khalifah

pertama. Diketahui bahwa ia adalah keturunan ketiga puluh tujuh dari Abu Bakar

Ash-Shiddieqy. Ketika berusia 6 tahun ibunya wafat dan diasuh oleh Teungku

Syamsiah, salah seorang bibinya. Sejak berusia 8 tahun Hasbi meudagang (nyantri)

dari dayah (pesantren) satu ke dayah lain yang berada di bekasi pusat kerajaan Pasai

tempo dulu.

18
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 53.
19
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an,h. 192.
20
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur.
21
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 158.
52

Ada beberapa sisi menarik pada diri Muhammad Hasbi, antara lain :

Pertama, ia adalah seorang otodidak. Pendidikan yang ditempuhnya dari

dayah ke dayah dan hanya satu setengah tahun duduk dibangku sekolah Al-Irsyad

(1962). Dengan basisi pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya

sebagai seorang pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual diakui oleh

dunia Internasional. Ia diundang dan menyampaikan makalah dalam Internatioal

Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan (1958). Selain itu,

berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara

pembaharuan sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.

Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang dikenal

fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada awal

perjuangannya berani menentang terus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya

kendatipun karena itu, ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak

sepaham dengannya.

Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat dengan

pedapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah dan

Persis, padahal ia juga anggota dari kedua perserikatan itu. Ia bahkan berani berada

pendapat dengan jumhur ulama, seseuatu yang langka terjadi di Indonesia. 22

Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940 dan

dipertegaslagasi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang

22
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’ȃn (Ulȗm Al-Qur’ȃn, (Semarang: PT.
Pustaka Riki Putra, 2009), h. 299.
53

berkepribadian Idonesia. Himbaun ini menyetak sebagian ulama Indonesia. Mereka

angkat bicara menentang fiqh (hukum in concrete) di-Indonesia-kan atau dilokalkan.

Bagi mereka, fiqh dan syariat (hukum in abstracto) adalah semakna dan sama-sama

universal. Kini setelah berlalu tiga puluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang

menyatakan masyarakat muslim Indonesia memerlukan “Fiqh Indonesia” terdengar

kembali. Namun disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya.

Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi tegaknya

kebenaran sejarah. Semasa hidupnya, Muhammad Hasbi telah menulis 72 Judul buku

dan 50 artikel dibidang tafsir, ḥadits, fiqh dan pedoman ibadah umum.

Dalam karir akademiknya, menjelang wafat, memperoleh dua gelar Doctor

Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam

dan perkembangan ilmu pengetahuan keIslaman di Indonesia. Satu diperoleh dari

Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 maret 1975 dan dari IAIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.

Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah beberapa hari memasuki karantina

haji, dalam rangka menunaikan ibadah haji, beliau berpulang ke rahmatullȃh dan

jasad beliau dimakamkan pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Pada upacara

pelepasan janazah almarhum, turut memberi sambutan almarhum Buya Hamka dan

pada saat pemakaman beliau dilepas oleh almarhum Mr. Moh. Rum. Naskah terakhir
54

yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji yang kini telah banyak beredar di

masyarakat luas. 23

Hasbi Ash-Shiddieqy adalah seorang alim yang sangat produktif dan banyak

menulis. Karya tulisanya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Menurut

catatan, buku yang ditulisnya berjumlah 73 judul (142 jilid). Sebagian besar karyanya

adalah tentang fiqh (36 judul). Bidang-bidang lainnya adalah ḥadits (8 judul), tafsir (6

judul), tauhid (ilmu kalam; 5 judul). sedangkan selebihnya adalah tema-tema yang

bersifat umum. Beberapa di antaranya adalah:

1. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’ȃn.

2. Tasir al-Nȗr

3. Al-Bayȃn, yang merupakan penyempurnaan dari tafsir al-Nȗr

4. Pengantar hukum Islam. dan

5. Peradilan dan Hukum Acara Islam. 24

Tafsir Al-Nȗr adalah salah satu karya tafsir Tengku Hasbi Ash-Shiddieqy.

Beliau mempunyai motivasi sendiri dalam menyelesaikan tafsir al-Nȗr ini, yaitu

untuk memenuhi hajat orang Islam di Idonesia untuk mendapatkan tafsir dalam

bahasa Indonesia yang lengkap, sederhana dan mudah dipahami, serta ia

menerangkan sepenggal-sepenggal ayat al-Qur’ȃn dengan menulisnya menggunakan

23
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Ulum Al-Qur’an), h. 300.
24
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 162.
55

bahasa latin dimakasudkan agar orang-orang yang tidak bisa membaca al-Qur’ȃn

dengan bahasa Arab, maka ia bisa membacanya dengan huruf latin. 25

Adapun ciri khas dari kitab tafsir ini yaitu, pertama, menyebutkan ayat secara

tartib mushaf tanpa diberi judul, kedua, penafsiran masing-masing ayat dengan

didukung oleh ayat lain, hadis, riwayat sahabat dan tabi’in serta penjelasan yang ada

kaitannya dengan ayat tersebut. Dan ketiga, mebahasnya dengan mengaitkan bidang

ilmu pengetahuan secara merata artinya tidak ada penekanan pada bidang ilmu

tertentu, sebab membahas dengan memfokuskan pada bidang tertentu menurutnya

akan membawa para pembaca keluar dari bidang tafsir. 26

C. Buya Hamka
Hamka merupakan singkatan dari H. Abdul Malik Karim Amrullah. Nama ini

adalah nama sesudah beliau menunaikan ibadah haji pada 1927 dan mendapat

tambahan haji. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Tanah Sirah dalam Nagari

Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908 (14

Muharram 1326 H). ayahnya seorang ulama terkenal Dr. H. Abdul Karim Amrullah

alias Haji Rasul pembawa faham-faham Islam di Minangkabau. Ibu Hamka bernama

Shofiyyah. 27

Riwayat pendidikan yang ditempuh Hamka yaitu sejak Pada tahun 1914 M

Hamka mengawali pendidikan membaca al-Qur’ȃn di rumah orang tuanya ketika

mereka sekeluarga memutuskan pindah dari Maninjau ke Padang Panjang. Dalam

25
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 164
26
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 168
27
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 170
56

usia 16 tahun, Hamka berangkat menuju tanah Jawa. Kunjungannya ke tanah Jawa itu

mampu memberikan “Semangat Baru” baginya dalam mempelajari Islam. dan pada

tahun 1925 hamka kembali ke Minangkabau. Hamka telah menjadi pemimpin di

tengah-tengah lingkungannya. Dia mulai berpidato, bertabligh di tengah masyarakat

Minangkabau. 28

Hamka telah banyak menulis karya-karya dalam bentuk fiksi, sejarah dan

biografi, doktrin Islam, etika, tasawuf, politik adat Minangkabau dan tafsir. Dengan

kemahiran bahasa arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan

pujangga besar di timur tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad

dan lain sebagainya. Hamka sejak muda juga rajin membaca dan bertukar pikiran

dengan tokoh-tokoh terkenal di Jawa seperti H.O.S. Tjokrominoto, Raden Mas

Surjopranoto, Haji Fachruddin, A. R. Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo

sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Dan

berikut daftar karya Buya Hamka :

• Agama dan Perempuan 1993;

• Revolusi Agama, 1946;

• Hak Asasi Manusia di pandang dari segi Islam 1968;

• Pandan Hidup Muslim dan

• Tafsir al-Azhar. 29

28
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 172.
29
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 177.
57

Tafsir Al-Azhar adalah salah satu karya Buya Hamka terdapat beberapa faktor

yang melatarbelakangi tersusunya, yaitu: Pertama, adanya semangat para pemuda di

Indonesia dan di daerah-daerah yang berbahasa melayu yang sangat ingin mengetahui

isi al-Qur’ȃn, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari

bahasa Arab. Kedua, golongan peminat islalm yang disebut muballigh, menghadapi

bangsa yang mulai cerdas dengan habisnya buta huruf. 30

Ciri-ciri khas dari kitab tafsir al-Azhar yakni Pertama, bahwasanya Buya

Hamka mengedepankan corak tafsir Adab al-Ijtimȃ’i yakni suatu cabang dari tafsir

yang muncul pada masa modern ini, yang mana corak tafsir ini berusaha memahami

nash-nash al-Qur’ȃn dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-

ungkapan al-Qur’ȃn secara teliti. Kedua, menjelaskan makna-makna yang dimaksud

oleh al-Qur’ȃn tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Ketiga,

berusaha menghubungkan nash yang dikaji dengan kenyataan sosial dan system

budaya yang ada. 31

D. M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari

1944/21 Safar 1363 H. ia adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu al-

Qur’ȃn. Ayahnya Prof. Dr. Abdurahman Shihab (1905-1986) adalah lulusan Jami’atul

Khair Jakarta, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang

30
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h.182.
31
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 188-189.
58

mengedepankan gagasan-gagasan Islam Modern. seorang penggagas sekaligus

pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di ujungpandang. 32

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, beliau

melanjutkan pendidikan menegahnya di Malang sambil “nyantri” di Pondok

Pesantren Dȃrul hadits al-Aqihiyyah. Pada 1967,dia meraih gelar Lc (S-1) pada

Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafisr Hadits Universitas Al-Azhar, kemudian dia

melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama dan pada 1969 meraih gelar MA

untuk spesialis bidang Tafsir al-Qur’ān dengan tesis berjudul al-Ijaz al-Tasyri’iy li al-

Qur’ȃn al-Karim.

Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk

menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin,

Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam

kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia

Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian

Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia

juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema

“Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah

Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).

Pada 1980, Quraish Shibab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya

di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi

berjudul Nazam Al-Durar li Al-Biqȃ’iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar
32
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 80.
59

doctor dalam ilmu-ilmu al-Qur’ȃn dengan yudisium Summa Cum Laude disertai

penghargaan tingkat I (mumtaz ma’a martabat al-syaraf al-‘ula). 33

Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di

Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasa Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan.

Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MI) Pusat (sejak 1984): Anggota

Lajnah Pentashih al-Qur’ȃn Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan

Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga

Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional;

antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari’ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-

ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum

Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di sela-sela segala kesibukannya itu,

dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.

Bahwasannya Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di

surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubric “Pelita Hati”. Dia

juga mengasuh rubrik “Tafsir Al-Amanah” dalam majalah dua mingguan yang terbit

di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi

majalah Ulȗmu al-Qur’ȃn dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain

kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini

sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir Al-Manȃr, keistimewaan dan

33
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), h. 1.
60

Kelemahannya (Ujung Pandang IAIN Aluddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakata:

Departemen Agama, 1987); Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat al-Fatihah)

(Jakarta: ntagma, 1988), 34 Membumikan al-Qur’ȃn (Bandung: Mizan, 1992). Buku

ini merupakan salah satu buku Best Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi, Tafsir

al-Mishbȃh, tasir al-Qur’ȃn lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati), Pengantin al-

Qur’ȃn dan Wawasan al-Qur’ȃn. 35

Tafsir al-Mishbȃh merupakan salah satu karya beliau, tafsir yang terdiri dari

15 volume besar ini menafsirkan al-Qur’ȃn secara tahlili, yaitu ayat per ayat

berdasarkan tata urutan al-Qur’ȃn yang tauqifi. Inilah yang membedakan tasir ini

dengan karya Quraish Shihab lainnya semisal Lentera Hati, Membumikan al-Qur’ȃn,

Mukjizat al-Qur’ȃn, Pengantin al-Qur’ȃn dan lainnya yang menggunakan

pendekatan tematik (mawdhu’i), yakni meafsirkan ayat-ayat al-Qur’ȃn berdasarkan

topik tertentu, bukan berdasarkan tata urutannya dalam mushaf.

Bahwa kajian Islam, khususnya ilmu al-Qur’ȃn selama ini terhenti pada ranah

metode dan pedekatan klasik yang telah dikembangkan al-Suyuthi dalam “al-Itqȃn”,

al-Zarkasyi dalam “al-Burhan”. Dan semacamnya. Karya-karya modern seperti yang

ditulis Subhi al-Shalih atau Manna’ Khalil al-Qaththan, hanya merupakan repitisi dari

pendekatan klasik dan tidak mengembangkan metode baru. Survei membuktikan

bahwa sarjana Muslim yang mengembangkan pendekatan baru, kreatif dan inovati

dalam kajian al-Qur’ȃn amat sangat sedikit.

34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat, h. 2.
35
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 272.
61

Setelah generasi Imam Nawawi Banten (abad 19 M). hingga saat ini, belum

pernah ada karya penting yang ditulis orang Indonesia, baik di bidang Fiqih atau

Ushul Fiqh. Tapi dalam tafsir, kita melihat geliat cukup menarik. Setidaknya ada dua

tafsir penting yang ditulis sarjana Indonesia yakni tafsir al-Azhar karya Buya Hamka,

dan al-Mishbȃh karya Quraish Shihab. Dari keduanya, tafsir al-Mishbāh patut

diapreasi karena tafsir ini mencermikan perkembangan mutakhir dalam pendeketan


36
terhadap al-Qur’ȃn.

Dalam rangka memahami aspek-aspek Aqidah, Syariah dan Akhlak yang

terkandung dalam al-Qur’ȃn, di samping menyitir pendapat Mahmud Syaltut (ulama

al-Azhar Mesir) yaitu 1) perintah memerhatikan alam raya, 2) Perintah mengamati

perkembangan manusia, 3) Kisah para Nabi dan salafus shaleh, 4) Janji dan ancaman

duniawi maupun ukhrawi. Kemudian Quraish Shihab menambahkan pendekatan

melalui: a) ketelitian dan keindahan redaksi al-Qur’ȃn, b) Isyarat ilmiah, dan c)

pemberitaan hal ghaib masa lalu dan masa mendatang yang diungkapnya.

Terdapat beberapa pendapat orang lain terhadap kitab Tafsir al-Mishbȃh

yaitu:

Pertama, pandangan dari kaum orientalis semacam Montgomery Watt dalam

bukunya “Bells Introduction to the Qur’an” yang menyatakan sistematika al-Qur’ȃn

kacau balau karena surat-suratnya menghimpun aneka persolan yang tidak berkaitan,

dibantah oleh tafsir ini, yang mengemukakan bahkan membuktikan keserasian-

keserasian dalam redaksi al-Qur’ȃn paling tidak ada enam hal, yaitu: 1) Kata demi
36
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 274.
62

kata dalam satu surat, 2) Kandungan ayat dengan fashilat (Penutup Ayat), 3)

Hubungan ayat dengan ayat berikutnya, 4) Uraian awal satu surat dengan

penutupnya, 5) Penutup surat dengan uraian awal surat sesudahnya, dan 6) tema surat

dengan nama surat.

Kedua, Howard M. Federspiel merupakan tokoh pemerhati karya tafsir

Nusantara, bahwasanya beliau merekomendasikan bahwa karya-karya tafsir M.

Quraish Shihab layak bahkan wajib menjadi bacaan dan rujukan setiap muslim di

Indonesia sekarang ini. 37

Penafsir menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan pada

karya tafsir ini bukanlah sepenuhnya ijtihad penafsir sendiri. Tafsir al-Mishbȃh

banyak mengemukakan “uraian penjelas” terhadap sejumlah mufassir ternama

sehingga menjadi referensi yang mempuni, informative dan argumentatif. Corak

penafsiran yang digunakan dalam kitab tafsir al-Mishbah ini adalah Adab al-Ijtimȃ’i

yang mana corak tafsir ini ditekankan pada kebutuhan social masyarakat dan juga

memiliki kecenderungan lughawi. 38

Tafsir al-Mishbȃh karya Muhammad Quraish Shihab merupakan karya

kontemporer yang memiliki tujuan untuk memberikan pemahaman utuh dan

komprehensif terhadap ayat-ayat al-Qur’ȃn. Jika selama ini tafsir al-Qur’ȃn yang

ditulis oleh ulama Timur Tengah sulit untuk dipahami kecuali orang yang mengerti

bahasa Arab, dengan lahirnya tafsir madzhab Indonesia, dalam hal ini tafsir al-

37
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 276-277.
38
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 282.
63

Mishbah, pesan-pesan al-Qur’ȃn menjadi mudah dipahami, yang lebih penting itu,

proses pembumian al-Qur’ȃn pada masyarakat Islam Indonesia lebih cepat

dilakukan. 39

39
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 287.
BAB IV

INTERPRETASI AYAT-AYAT ANJURAN UNTUK MENYEGERAKAN

NIKAH DALAM TAFSIRAN ULAMA NUSANTARA

A. Tafsir QS. Al-Nȗr [24] : 32.


Pernikahan adalah akad serah terima tanggung jawab kehidupan antara dua

jenis manusia yaitu wali dari seorang perempuan kepada laki-laki yang akan hidup

bersama dengan putrinya sesuai dengan hukum Islam. karena wali mempunyai peran

untuk melangsungkan pernikahan seorang laki-laki dan perempuan yang masih

sendiri. Sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur’ȃn surat al-Nȗr ayat 32. Tujuan

pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga yang (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. 1 Demikianlah kekuatan cinta dan kasih

sayang sebagai tujuan dan hasil dari pernikahan. Untuk mewujudkan dan mencapai

hal itu semua memang perluu persiapan yang matang, baik fisik terutama mental. 2

Firman Allȃh swt :

‫ﻮا ﻓُﻘَ َﺮآ َء ﯾ ُۡﻐﻨِ ِﮭ ُﻢ ﱠ‬


‫ٱہﻠﻟُ ِﻣﻦ‬ ‫ُﻮا ۡٱﻷَ ٰﯾَ َﻤ ٰﻰ ِﻣﻨ ُﻜﻢۡ َوٱﻟ ٰ ﱠ‬
ْ ُ‫ﺼﻠِ ِﺤﯿﻦَ ِﻣ ۡﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛﻢۡ َوإِ َﻣﺎٓﺋِ ُﻜﻢۡۚ إِن ﯾَ ُﻜﻮﻧ‬ ْ ‫َوأَﻧ ِﻜﺤ‬
۳۲ ‫ﯿﻢ‬ٞ ِ‫ٱہﻠﻟُ ٰ َو ِﺳ ٌﻊ َﻋﻠ‬‫ﻀﻠِ ۗ ِۦﮫ َو ﱠ‬
ۡ َ‫ﻓ‬
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allȃh akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allȃh Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Nȗr [24] : 32)

1
Abdullah Hasyim, dkk., Keluarga Sejahtera dan Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Direktorat
AdVokasi dan KIE, November 2011),h. 8.
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbȃh, h. 258.

64
65

ْ ‫ َوأَﻧ ِﻜﺤ‬merupakan bentuk Amr dari kata nakaha-yankihu


Pada ayat ini kata ‫ُﻮا‬

yang artinya menikah. Hakekatnya term amr banyak terdapat di dalam al-Qur’ȃn.

dalam kajian Ushul Fiqh lafadz amr digunakan untuk: pertama, Nadab ‫اﻟﻨﺪب‬

(menganjurkan) yaitu menyuruh tanpa mewajibkan tetapi baik jika dikerjakan.

Kedua, Irsȃd ‫ اﻹرﺷﺎد‬yaitu sekedar member petunjuk dan bimbingan. Ketiga, Ibȃha

‫ اﻹﺑﺎﺣﺔ‬yaitu menyatakan kebolehan dan Keempat, Tahdȋd ‫ اﻟﺘﺤﺪﯾﺪ‬yaitu mengancam.

ْ ‫ َوأَﻧ ِﻜﺤ‬merupakan term amr yang digunakan untuk Nadab yaitu menganjurkan
Kata ‫ُﻮا‬

bahwasannya di dalam ayat ini tidak mengandung tuntutan apa-apa terhadap orang

yang menerima amr sehingga tidak ada sangsi berupa hukuman maupun janji pahala. 3 P2F P

Ayat ini mengandung anjuran untuk menikah dan membantu laki-laki yang

belum beristri dan perempuan yang belum bersuami agar mereka menyegerakan

pernikahan dan janganlah sekali-kali kemiskinan dijadikan penghalang untuk

menikah karena Allȃh akan memberikan rizki kepada makhluk-Nya yang berusaha. 4

Syeikh Nawawi Banten di dalam kitab tafsirnya yakni Marȃh Labȋd

bahwasannya ayat ini menjelaskan anjuran seorang wali untuk menikahkan anaknya,

budaknya ataupun oang-orang yang mempunyai posisi yang sama dengan anak.

Akan tetapi dalam tafsirannya beliau tidak menjelaskan secara detail kata ‫اﻷﯾﺎﻣﻲ‬

beliau hanya menjelaskan orang-orang yang tidak memiliki pasangan baik laki-laki

maupun perempuan. 5 P4 F

3
Kamus al-Qur’an.
4
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah M. Abdl Ghoffar E.M (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i), h. 470.
5
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jȃwi, Tafsir Marȃh Labȋd (Mesir: Darul Fikr, 1981), h. 81.
66

Karya Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy di dalam Tafsir al-

Qur’ȃnul Majid Al-Nȗr pada ayat 32 surah al-Nȗr beliau memaparkan bahwa,

nikahkanlah orang-orang yang belum bersuami atau belum beristri dan kamu

memegang hak perkawinan mereka. Tegasnya, berikan pertolonganmu kepada

mereka hingga mereka dapat melaksanakan pernikahannya.

Perintah yang dikandung oleh ayat ini merupakan anjuran, bukan suatu

keharusan, kecuali apabila hal itu telah diminta oleh si perempuannya sendiri. Pada

dasarnya kita menetapkan bahwa perintah ini bukan wajib, karena menurut

kenyataan, pada masa Nabi sendiri terdapat orang-orang yang dibiarkan hidup

membujang. Tetapi dapat dikatakan perintah di sini adalah wajib, apabila dengan

tidak menikahkan mereka yang bujang-bujang itu dikhawatirkan akan timbul fitnah. 6

Sebagaimana telah diketahui sejak dari pemulaan Surat al-Nȗr ini, nyatalah

bahwa peraturan yang tertera di dalamnya hendak membentuk suatu masyarakat

Islam yang gemah ripah, adil dan makmur. Keamanan dalam rohani dan jasmani dan

dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga ada yang peraturan memasuki rumah, ada

peraturan memakai pakaian yang bersumber dari kesoponan iman. Maka di dalam

ayat yang selanjutnya ini terdapat pula dalam ayat 32 tersebut diatas. Hendaklah laki-

laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami, baik masih bujangan dan

gadis ataupun telah duda dan janda, karena bercerai atau karena kematian salah satu

suami atau istri, hendaklah segera dicarikan jodohnya. 7

6
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid Al-Nȗr, h. 280-281.
7
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 187.
67

Dalam kitab tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, apabila ayat ini direnungkan

dengan baik-baik jelaslah bahwa soal mengawinkan yang belum beristri atau

bersuami bukanlah lagi semata-mata urusan pribadi dari yang bersangkutan, atau

urusan “rumah tangga” dari dua orang tua kedua orang tua yang bersangkutan saja,

tetapi menjadi urusan pula dari jamaah islamiah, tegasnya masyarakat Islam yang

mengelilingi orang itu.

Dalam ayat tersebut Wa ankihu, hendaklah kawinkan oleh kamu, hai orang

banyak. Terbayanglah disini bahwa masyarakat islam mesti ada dan dibentuk. Supaya

ada yang bertanggung jawab memikul tugas yang diberikan Tuhan itu.

Amat berbahaya membiarkan terlalu lama seorang laki-laki muda tak beristri,

terlalu lama seorang gadis tak bersuami. Karena bertambah modern pergaulan hidup

sekarang ini, bertambah banyak hal-hal yang akan merangsang nafsu kelamin.

Melalui film-film yang mempesona dan menggerak syahwat, semuanya berakibat

kepada sikap hidup. Masyarakat Islam harus awas akan bahaya ini, sebab itu ayat 32

Surat al-Nȗr ini haruslah dijadikan pegangan. 8

Kadang-kadang seorang pemuda berteori, bahwa kalau dia menikah maka

hasil pencariannya yang sekarang ini tidaklah akan mencukupi. Padahal setelah

diseberanginya akad-nikah pernikahan itu dan dia mendirikan rumah tangga, ternyata

cukup untuk memenuhi kebetuhan rumah tangga. Semasa belum kawin, dengan

pencarian yang kecil itu, hidupnya tidak berketentuan, sehingga berapa saja uang

8
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 188.
68

yang diterima habis demikian saja. Tetapi setelah nikah dan dia mendapatkan teman

hidup yang setia, hidupnya mulai teratur dan belanja mencukupi juga.

Kalau masyakat itu telah dinamai masyarakat Islam, niscaya orang hidup

dengan Qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang ada. Perempuan yang

mendasarkan hidupnya kepada Islam, bukan kepada kemewahan, maka akan

memudahkan kembali orang mendapatkan jodoh.

Yang dicari pada hakikatnya dalam hidup ini ialah keamanan jiwa. Hidup

dalam kesepian tidaklah mendatangkan keamanan bagi jiwa. Rumah tangga yang

tentram adalah sumber inspirasi untuk berusaha, dan usaha membuka pula bagi pintu

rezeki. 9

Sebelum ayat 32 dalam surat al-Nȗr telah memerintahkan untuk memelihara

kesuaian diri dan jiwa kaum mukminin baik pria maupun wanita, serta memelihara

pandangan, kemaluan dan menutup aurat. M. Quraish Shihab berpendapat di dalam

kitab tafsinya yang berjudul Tafsir al-Mishbȃh bahwa kata (‫ )اﻷﯾﺎﻣﻲ‬al-Ayȃm adalah

bentuk jamak dari (‫ )اﯾَﻢ‬Ayyim yang pada mulanya berarti perempuan yang tidak

memiliki pasangan. Awalnya kata ini hanya digunakan untuk para janda, tetapi

kemudian meluas sehingga para gadis-gadis juga termasuk, bahkan meluas sampai

para lelaki yang membujang maupun duda. Kata tersebut bersifat umum, sehingga

termasuk juga wanita tuna susila, apalagi ayat ini bertujuan menciptakan lingkungan

sehat dan religious, sehingga dengan mengawinkan para tuna susila, maka

9
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 189.
69

masyarakat secara umum dapat terhindar dari prostitusi serta dapat hidup dalam

suasana bersih.

Ayat ini memberi janji dan harapan untuk memperoleh tambahan rezeki bagi

mereka yang akan melangsungkan pernikahan, namun belum memiliki modal yang

memadai. Sementara para ulama menjadikan ayat ini sebagai bukti tetang anjuran

untuk menikah walau belum memiliki kecukupan. Tetapi perlu dicatat bahwa ayat ini

bukannya ditunjukkan kepada mereka yang bermaksud untuk menikah, tetapi kepada

para wali. Di sisi lain ayat berikut memerintahkan kepada yang akan menikah tetapi

belum memiliki kemampuan untuk menikah agar menahan diri. 10

Sesungguhnya solusi Islam dalam masalah syahwat bukanlah solusi preventif

dan buka pula sanksi semata, namun Islam memberikan solusi realistis dan positif. Itu

bisa dilihat dari pemberian jalan yang mudah dalam masalah pernikahan, dan dalam

hal memberi bantuan. Dimana kita dapatkan dalam ayat ini memberikan arahan pada

para wali untuk memberikan kontribusi aplikatif dalam menikahkan seseorang yang

berada dibawah tanggung jawabnya yang belum memiliki pasangan.

Karena pernikahan itu adalah jalan dan cara alami untuk menangkal

kecenderungan seksual yang bersifat fitrah. Pernikahan adalah puncak tujuan yang

bersih untuk mengendalikan kecenderungan ini. Maka hambatan-hambatan yang

menghadang hendaknya dihapuskan dari jalan pernikahan, agar kehidupan berjalan

selaras dengan tabitanya. Hambatan financial adalah hambatan pertama yang biasa

dihadapi seseorang untuk membangun tatanan rumah tangga dan dalam memberikan
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbȃh, h. 335-337.
70

perlindungan pada jiwa. Karena Islam adalah sebuah aturan yang lengkap, maka dia

tidak akan mewajibkan iffah (menahan diri) kecuali telah tersedia sebab-sebabnya

dan menjadikannya sesuatu yang gampang bagi setiap lapisan. Sehingga dia tidak

melampiaskannya dengan melakukan tindakan keji. Kecuali hal itu memang

dilakukan oleh orang-orang yang sengaja menyimpang dari jalan yang benar.

Sebagaimana wajib bagi para gadis untuk tahu bahwa pernikahan itu adalah

persoalan fitrah yang disyariatkan dan tidak selayaknya untuk disia-siakan. Syariat

Islam tidak membuat pelakunya menjadi kurang nilai agamanya sebagaimana hal ini

terjadi pada agama-agama lain yang memahami bahwa pernikahan itu dianggap

sangat berseberangan dengan makna ibadah itu sendiri. 11

Dengan demikian kesimpulan dari tiap-tiap tafsir bahwa di dalam kitab tafsir

Buya Hamka Beliau tidak menjelaskan secara rinci kata ‫ اﻷﯾﺎﻣﻲ‬itu tersendiri, akan

tetapi beliau memaparkan untuk menyegerakanlah menikah orang-orang yang sendiri

diantara kamu baik perempuan maupun laki-laki. Menurutnya sangat berbahaya

membiarkan terlalu lama seorang laki-laki muda tak beristri dan terlalu lama seorang

gadis tak bersuami, karena ditambah modern pergaulan hidup sekarang akan

bertambah hal-hal yang akan merangsang nafsu dan khawatir akan mendekati zina.

Akan tetapi di dalam kitab tafsir al-Mishbȃh M. Quraish Shihab Beliau menjelaskan

bahwa kata ‫ اﻷﯾﺎﻣﻲ‬adalah jama’ dari ‫ اﯾَﻢ‬Ayyim kata tersebut bersifat umum yang pada

mulanya berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan . pada awalnya kata ini

11
Syaikh Imad Zaki al-Barudi, penerjemah Samson Rahman, MA, Tafsir Wanita (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, Juni 2004), h. 714-717.
71

digunakan untuk para janda tetapi meluas hingga gadis-gadis juga termasuk, bahkan

meluas sampai para lelaki yang membujang, baik jejaka maupun duda. Dan wanita

tunasila. Sedangkan di dalam kitab tafsir al-Qur’anul Majid al-Nȗr karya Teungku

Hasbi Ash-Shiddiey Beliau menjelaskan ayat ini untuk, nikahkanlah orang-orang

yang belum bersuami dan belum beristri dan kamu para wali menanggung hak

perkawinan mereka, agar mereka dapat melaksanakan pernikahannya. Pada dasarnya

ini merupakan anjuran bukan keharusan akan tetapi itu semua tergantung dengan

kondisi yang ada.

Pada dasarnya pernikahan merupakan suatu akad perjanjian antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan dengan maksud saling memberi dan mengambil

manfaat dari keduanya untuk membangun keluarga yang dipenuhi kasih sayang, rasa

cinta, dan ketenangan. Yang menjalaninya adalah seorang laki-laki dan perempuan

yang masih sendiri yang mana telah dianjurkan untuk menyegerakan perikahan.

Sebagaimana terdapat didalam al-Qur’ȃn surat al-Nȗr ayat 32. Pernikahan dibutuhkan

bagi mereka yang sudah dewasa, namun seseorang yang dewasa tidak dapat diukur

dari segi usia. Akan tetapi dapat dilihat dari seseorang menyelesaikan masalah dalam

rumah tangga. Dengan demikian usia bukanlah patokan untuk diperbolehkannya

seseorang untuk menikah akan tetapi pernikahan akan sah jika terpenuhi syarat dan

rukunnya.

B. Tafsir QS. Al-Talȃq [65] : 04.


72

Dalam surat al-Talȃq ayat 4 ini diterangkan hukum-hukum mengenai talak,

iddah, dan kewajiban masing-masing suami dan istri dalam masa-masa talak dan

iddah, agar tak ada pihak yang dirugikan dan keadilan dapat dilaksanakan dengan

sebaik-baiknya. Salah satunya yaitu iddah bagi wanita yang belum haid yang mana

terjadi suatu pernikahan seorang wanita yang belum baligh dengan lelaki pilihannya.

Firman Allȃh swt:

ٓ ۡ َ‫َو ٰٱﻟﱠٓـِﻲ ﯾَﺌِ ۡﺴﻦَ ِﻣﻦ‬


ۡ ‫ﯿﺾ ِﻣﻦ ﻧﱢ َﺴﺎٓﺋِ ُﻜﻢۡ إِ ِن ۡٱرﺗَ ۡﺒﺘُﻢۡ ﻓَ ِﻌ ﱠﺪﺗُﮭ ﱠُﻦ ﺛَ ٰﻠَﺜَﺔُ أَ ۡﺷﮭ ُٖﺮ َو ٰٱﻟﱠـٴِﻲ ﻟَﻢۡ ﯾَ ِﺤ‬
َ‫ﻀ ۚﻦ‬ ِ ‫ﺤ‬
ِ ‫ﻤ‬
َ ‫ٱﻟ‬ ‫ٴ‬
٤ ‫ٱہﻠﻟَ ﯾَ ۡﺠ َﻌﻞ ﻟﱠﮫۥُ ِﻣ ۡﻦ أَﻣۡ ِﺮ ِهۦ ﯾ ُۡﺴ ٗﺮا‬
‫ﻖ ﱠ‬ ‫ﱠ‬ ‫ﺘ‬ ‫ﯾ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫و‬ ‫ﱠ‬
‫ُﻦ‬ ۚ ‫ﮭ‬َ ‫ﻠ‬ ۡ‫ﻤ‬‫ﺣ‬ َ‫ﻦ‬ ۡ
‫ﻌ‬ ‫ﻀ‬ ‫ﯾ‬ ‫ن‬َ ‫أ‬ ‫ﱠ‬
‫ُﻦ‬ ‫ﮭ‬ ُ ‫ﻠ‬ ‫ﺟ‬ َ ‫أ‬ ‫ﺎل‬ ‫ﻤ‬‫ﺣ‬ۡ َ ۡ
‫ٱﻷ‬ ُ
‫ﺖ‬ َ ٰ
‫ﻟ‬ ْ‫َوأُو‬
ِ َ َ َ َ َ َ َ ِ َ
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Q.S. al-
Talȃq [65] : 04).
Menurut Syeikh Nawawi di dalam kitab tafsir Marȃh Labȋd ayat ini

menjelaskan tentang iddah, Pertama, iddah bagi wanita yang sudah tidak haid lagi

(menopause) yaitu tiga bulan, para ulama berpendapat bahwasannya wanita yang

tidak haid lagi (menopause) yaitu ketika sudah berumur 55 tahun sampai 60 tahun.

Kedua, bagaimana iddah bagi wanita yang belum dewasa? Yaitu 3 bulan dan Ketiga,

iddah bagi wanita yang sedang hamil yaitu sampai ia melahirkan. 12

Dalam ayat-ayat ini Allȃh menyuruh para mukmin supaya menceraikan

istrinya dalam keadaan suci dan Allȃh menjelaskan bahwa takwa merupakan kaidah

12
Syeikh Muhammad Nawawi al-Jȃwi, Tafsir Marȃh Labȋd, h. 383.
73

pokok yang memberi jalan keluar bagi kita atas segala kesulitan dan iddah perempuan

yang belum cukup umur (belum dewasa), belum pernah berhaid dan iddah perempuan

sudah lanjut umurnya (menopause) yaitu tiga bulan. Ujar Teungku Hasbi Ash-

Shiddieqy di dalam kitab Tafsir al-Qur’ȃnul Majȋd Al-Nȗr. 13

Menurut Buya Hamka di dalam kitab tafsirnya yaitu Tafsir al-Azhar,

bahwasanya di dalam surat al-Baqarah 225 sudah dijelaskan ‘Iddah perempuan yang

berhaidh, yaitu tiga Quru’, yaitu tiga kali haidh tiga kali bersih. Kadang-kadang

bilangannya tidak persis tiga bulan. Maka bagi perempuan-perempuan yang tidak

berhaidh ‘iddahnya adalah tiga bulan saja.;

Dalam ayat ini tersebut dua macam perempuan, pertama, perempuan yang

sudah putus asa dari haidh, karena usia\nya telah lanjut. Setengah perempuan telah

berhenti haidh dalam usia 55 tahun dan ada yang kurang dari itu dan ada yang lebih.

Kedua, ialah perempuan yang tidak pernah haidh; meskipun itu jarang

kononnya Fatimah binti Rasȗlullȃh tidaklah pernah berhaidh, padahal dia dianugerahi

putera-putera juga.

Ketiga, adalah anak perempuan yang belum haidh. Di beberapa negeri, dan

yang terkenal di zaman lampau adalah di India. Anak-anak masih kecil sudah

dikawinkan. Kadang-kadang baru berusia tujuh tahun, kadang-kadang masih dalam

gendongan orang tuanya sudah dikawinkan. Ketika sudah besar, setelah mereka sadar

akan diri, atau atas kemauan orang tua juga, terjadi perceraian. Padahal anak

13
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’ȃnul Majȋd Al-Nȗr, h. 4266-4267.
74

perempuan itu belum berhaidh. Maka ‘iddah anak perempuan tersebut yaitu tiga

bulan.

Dan dapat dilihat bahwa peraturan yang telah diaturkan Allȃh itu sangatlah

bertali dengan takwa. Karena hanya orang yang betakwalah yang akan tunduk dengan

taat dan setia kepada peraturan tuhan, lahir dan batin. Orang yang tidak bertakwa

niscaya akan mencari jalan keluar daripada peraturan Allȃh. 14

Salah satu karya tafsir M. Quraish Shihab yaitu Tafsir al-Mishbȃh, beliau

berpendapat bahwa aya-ayat yang lalu berbicara tentang ‘iddah dan tuntunan kepada

suami agar berpikir panjang sebelum menjatuhkan putusan serta menguraikan apa

yang harus dilakukan jika suami bertekad untuk menjatuhkan berthalaq. Ayat di atas

kemudian kembali berbicara tentang ‘iddah dari segi lamanya masa tunggu itu

masing-masing sesuai kondisinya. Kalau ayat yang lalu berbicara tentang wanita-

wanita yang dicerai sedang dia masih mengalami haid dan masih terbuka

kemungkinan untuk dirujuk, maka disini Allȃh berfirman bahwa : Dan mereka yakni

perempuan-perempuan yang telah memasuki usia tertentu sehingga telah berputus

asa dari datangnya haid yakni yang telah memasuki menopause, maka ‘iddah mereka

adalah tiga bulan; dan perempuan-perempuan yang tidak haid karena belum dewasa,

maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan. Dan perempuan-perempuan yang hamil baik

yang dicerai hidup maupun mati, baik muslimah mapun non muslimah, baik bekas

14
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 273.
75

suaminya muslim maupun bukan, maka batas wakktu ‘iddah mereka adalal sampai

mereka melahirkan kandungan mereka. 15

Adapun Asbȃbu al-Nuzȗl dalam ayat ini adalah mengenai dalam suatu riwayat

dikemukakan bahwa ketika turun ayat tentang ‘iddah wanita di surat al-Baqarah (S.2 :

226 s/d 237) para sahabat berkata: “masih ada masalah ‘iddah wanita yang belum

disebut (di dalam al-Qur’ȃn), yaitu iddah wanita muda (yang belum haid), yag sudah

tua (tidak haid lagi) dan yang hamil. Maka turunlah ayat ini (S. 65 : 4) yang

menegaskan bahwa masa iddah bagi mereka ialah tiga bulan, dan bagi yang hamil

apabila telah melahirkan. 16

Dengan demikian, pada dasarnya agama Islam pun tidak membatasi usia alam

pernikahan namun kebutuhan mausia membatasi usia yang mana diperkuat oleh

undang-unddang yang secara teknis diatur oleh ulama fiqh. Di dalam al-Qur’ȃn tidak

ada ayat khusus untuk dijadikan landasan pernikahan usia dini akan tetapi terdapat

isyarat ayat al-Qur’ȃn untuk melangsungkan pernikahan seorang anita yang belum

baligh. Yang mana dapat kita lihat dari tafsiran surat al-Talȃq ayat 04, bahwa di

dalam ayat tersebut menjelaskan iddah bagi seorang wanita yang belum haid yaitu 3

bulan. Dengan demikian maka terjadilah suatu pernikahan seorang wanita yang masih

gadis (wanita yang belum baligh).

C. Perbandingan Ayat Al-Qur’ȃn dengan Hadis.

15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, h.298.
16
Qamaruddin Shaleh, HAA. Dahlan, Prof. Dr. M.D. Dahlan, Asbȃbu al-Nuzȗl (Bandung: CV.
DIPENEGORO), h. 534.
76

Al-Sunnah adalah pensyarah al-Qur’ȃn, karena Rasȗlullȃh bertugas

menyampaikan al-Qur’ȃn dan menjelaskan pengertiannya. Al-Sunnah menerangkan

makna Al-Qur’ȃn adalah dengan :

Pertama, menerangkan apa yang dimaksud dari ayat-ayat yang mujmal,

seperti menerangkan waktu-waktu shalat yang lima, bilangan rakaat, tata cara rukuk

dan tata cara sujud.

Kedua, menerangkan hukum-hukum yang tidak ada di dalam Al-Qur’ȃn

seperti mengharamkan kita makan binatang-binatang yang bertaring dan

mengharamkan kita makan daging keledai kampung. 17

Salah satu sunnah rasul adalah mengenai masalah pernikahan dibawah umur,

bahwasannya pernikahan itu merupakan sesuatu yang agung dan mulia yag harus

dipertanggung jawabkan kepada Allȃh swt. Orang yang melaksanakan pernikahan

hendaklah terdiri atas orang-orang yang dapat mempertanggungjawabkan apa yang

diperbuatnya itu terhadap istri atau suaminya, terhadap keluarganya, dan tentunya

juga terhadap Allȃh swt.

Syariat Islam mengajarkan bahwa salah satu syarat utama keabsahan suatu

syariat adalah apabila bersangkutan telah akil baligh. Oleh karena itu, seorang pria

yang belum baligh dapat melaksanakan Qabul secara sah dalam suatu akad nikah.

Perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan akad nikah, calon mempelai pria mesti

mengatakan Qabul (penerimaan nikah) secara sadar dan bertanggg jawab.

17
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’ȃn (Ulum Al-Qur’ȃn), h. 230.
77

Adapun calon mempelai istri di dalam pelaksanaan akad nikah tidak turut

serta menyatakan sesuatu sebab ijab dilakukan oleh walinya. Oleh karena itu,

pernikahan seorang pria yang sudah baligh dengan wanita yang belum baligh dapat

diniali sah. Sebagaimana diterangkan di dalam hadits Bukhari, Siti ʻȂʼisyah ketika

menikah dengan Rasȗlullȃh saw. masih berusia enam tahun.

‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬


ّ ‫ج اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ‬ ِ َ ‫ﺼﺔ ﺑْ ِﻦ ُﻋ ْﻘﺒَﺔ َﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ ُﺳ ْﻔﻴَﺎن َﻋ ْﻦ ِﻫ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛَـﻨَﺎ ﻗَﺒِْﻴ‬
َ ‫ ﺗَـ َﺰﱠو‬: ‫ﺸﺎم ﺑ ْﻦ ﻋُ ْﺮَوة َﻋ ْﻦ ﻋُ ْﺮَوة‬
( ‫ﺖ ِﻋ ْﻨ َﺪﻩُ ﺗِ ْﺴ ًﻌﺎ ) رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬ ْ َ‫ﺖ ِﺳﻨِْﻴ َﻦ َوﺑَـﻨَﻲ ﺑِ َﻬﺎ َو ِﻫ َﻲ اﺑْـﻨَﺔُ ﺗِ ْﺴ ُﻊ َوَﻣ َﻜﺜ‬
‫ﺸﺔُ َو ِﻫ َﻲ اﺑْـﻨَﺔُ ِﺳ ﱡ‬َ ِ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻋﺎﺋ‬
18

“Dari ‘Ȃʻisyah bahwa Nabi saw. kawin dengan dia ketika ia berumur
6 tahun dan dipertemukan dia dengan Nabi ketika ‘Ȃ’isyah berumur 9 tahun
dan ia tinggal di sisi Nabi selama 9 tahun. “ (HR. Bukhari)
Shahih Bukari di dalam kitab Syarahnya Fathul Bari menjelaskan bahwa

Rasūlullāh saw. mulai berkumpul dengan ʻȂ’isyah pada bulan Syawwal tahun

pertama Hijriyyah. Pendapat lain ada yang mengatakan pada tahun kedua hijriyah.

Adapun kalimat, “Beliau menikahku dan aku berusia 6 tahun”, artinya

melangsungkan akad nikah dengan ʻȃ’isyah. Kemudian ʻȃ’isyah datang ke Madinah

bersama ibunya dan saudara perempuannya Asma’ binti Abu Bakar. Adapun

bapakanya telah sampai lebih awal bersama Rasȗlullȃh saw. 19

Menurut Shahih Muslim di dalam kitab Bi Syarah al-Nawawi menjelaskan

bahwa hadits ini menjelaskan tentang ʻȃ’isyah yang menikah dengan Rasȗlullȃh pada

usia yang relative muda yang pada berusia ke-6 masuk ke-7. Hadits ini juga
18
Abȗ ʻAbdillȃh Muhammad bin Ismȃʻȋl al-Bukhȃri, Shahih Bukhari, (Kairo: al-Maktabah al-
Syafiyah ), jilid 3, h. 1650.
19
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bȃri Syarah Shahih al-Bukhari. Penerjemah Amir Hamzah
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), juz. 7, h. 224.
78

mengandung pengertian tentang bolehnya menikahi seorang gadis keil dengan

beberapa ketentuan didalamnya yaitu Pertama, tidak boleh menikahi seorang anak

dibawah umur apabila tidak ada kemaslahatan yang jelas karena ditakutkan pada

akirnya akan terjadi bencana pada akhir pernikahannya. Kedua, adapun waktu

perayaan pernikahan dan menjima’ anak kecil berdasarkan kesepakatan antara suami

dan walinya. Apabila mereka berbeda pendapat maka dibatasi dengan umurnya

sampai sembila tahun. Dalam hal ini terdapat perbedaan yakni imam malik, Syafi’I

dan Abu Hanifah dalam pembatasan jima’ tidak disebabkan karena perbedaan umur,

karena wanita itu berbeda-beda. 20

Kembali kepada kedudukan nikah yang agung mulia itu juga berfungsi

sebagai forum pendidikan dan pembinaan generasi yang akan datang, maka

hendaknya suatu pekawinan itu dilaksanakan setelah kedua belah pihak betul-betul

mempunyai kesiapan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas sebagaimana suami

dan istri yang baik bahkan siap untuk menjadi bapak dan ibu yang baik. Apa yang

dilakukan oleh Rasūlullāh saw. dengan Siti ʻȂ’isyah merupakan suatu kejadian yang

tentunya mempunyai hikmah yang dalam bagi kelangsungan syariat Islam, tidak

semata-mata bertujuan an sich perkawian seperti pada umumnya. 21

Dari Ali bin Abi Thȃlib ra. Nabi saw. bersabda:

20
Al-Nawawai, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1981), jilid 7, h. 207.
21
Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga (Jakarta: Gema Insani Press, Februari, 1999),
h. 26-27.
79

ْ ‫ َو ْاﻷَﻳﱢ ُﻢ إِذَا َو َﺟ َﺪ‬،‫ت‬


) ‫ت ُﻛ ُﻔ ًﺆا‬ َ ‫اﻟﺠﻨَ َﺎزةُ إِذَا َﺣ‬
ْ ‫ﻀ َﺮ‬ ْ َ‫اﻟﺼ َﻼةُ إِذَا أَﺗ‬ ِ
َ ‫ َو‬،‫ﺖ‬ ّ : ‫ﱢﺮُﻫ ﱠﻦ‬
ْ ‫ﺛََﻼﺛَﺔٌ ﻳَﺎ َﻋﻠ ﱡﻲ َﻻ ﺗُـ َﺆﺧ‬
( ‫رواﻩ اﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ‬
“Wahai Ali ada tiga hal yang tidak boleh diakhir-akhirkan; shalat jika
telah datang waktunya, jenazah jika telah siap, dan yang lajang jika telah ada
pasangannya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majjah dan Ahmad).
Perintah Rasȗlullȃh saw. di atas mengandung makna yang dalam. Di

dalamnya mengandung pesan yang luas bahwa nikah adalah sesuatu yang tidak boleh

ditunda-tunda. Hal ini mengisyaratkan akan ada sesuatu yang berbahaya jika nikah

ditunda-tunda. Rasȗlullȃh nampaknya memahami benar kondisi manusia yang

kadang cenderung pada kejelekan. Beliau seolah menunjukkan ketakutan akan

terjadinya malapetaka. Karena itu jangan pernah menunda pernikahan.

Sebagai mana firman Allȃh swt:

‫ﻮا ﻓُﻘَ َﺮآ َء ﯾ ُۡﻐﻨِ ِﮭ ُﻢ ﱠ‬


‫ٱہﻠﻟُ ِﻣﻦ‬ ‫ُﻮا ۡٱﻷَ ٰﯾَ َﻤ ٰﻰ ِﻣﻨ ُﻜﻢۡ َوٱﻟ ٰ ﱠ‬
ْ ُ‫ﺼﻠِ ِﺤﯿﻦَ ِﻣ ۡﻦ ِﻋﺒَﺎ ِد ُﻛﻢۡ َوإِ َﻣﺎٓﺋِ ُﻜﻢۡۚ إِن ﯾَ ُﻜﻮﻧ‬ ْ ‫َوأَﻧ ِﻜﺤ‬
۳۲ ‫ﯿﻢ‬ٞ ِ‫ٱہﻠﻟُ ٰ َو ِﺳ ٌﻊ َﻋﻠ‬‫ﻀﻠِ ۗ ِۦﮫ َو ﱠ‬
ۡ َ‫ﻓ‬
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. : al-Nūr : 32)
Hanya satu hal yang penting ada niat suci baik dari kedua mempelai itu

sendiri maupun bagi orang tua untuk menghidupkan sunnah Rasȗlullȃh saw, ini

dengan segera. Menunda apalagi tidak berniat untuk menikah adalah pelanggaran

berat, Rasȗlullȃh saw, memperingatkan akan resiko yang harus ditanggung yaitu

tidak diakui sebagai umatnya. “barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan
80

dari golonganku dan di antara sunnahku adalah menikah. Barangsiapa yang

mencintaiku maka laksanakanlah sunnahku.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la)

Begitu agungnya pernikahan sehingga mereka yang telah melangsungkan

pernikahan dianggap telah memiliki setengah dari agamanya. Artinya, dia telah

dianggap melaksanakan sunnah besar (sunnah muakkadah) dan telah menyelamatkan


22
dirinya dari fitnah seksal di luar pernikahan.

22
Abu al-Ghifari, Pernikahan Dini, h. 74-77.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pernikahan merupakan sunnatullȃh dan fitrah bagi umat manusia. Karena

itu merupakan nilai ibadah makhluk kepada Allȃh. Kedewasaaan untuk

menikah merupakan suatu ijtihad, namun kedewasaan seseorang tidak dapat

dibatasi dengan usia karena perkembangan seseorang berbeda-beda.

Mengenai kedewasaan tidak termasuk dalam suatu syarat atau rukun

pernikahan. Yang membatasi usia dalam pernikahan yaitu secara undang-

undang. Di dalam al-Qur’ȃn tidak terdapat ayat yang membatasi usia dalam

pernikahan. Karena Suatu pernikahan akan sah jika syarat-syarat dan rukun

menikah dapat dipenuhi. Sebagaimana pendapat para ulama Nusantara

mengenai ayat-ayat yang menunjukkan akan berlangsungnya pernikahan dini.

Pertama, kata di dalam al-Qur’ȃn surat al-Nȗr ayat 32 yaitu orang-

orang yang sendirian. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ‫اﻷﯾﺎﻣﻲ‬

adalah jama’ dari ‫ اﯾَﻢ‬Ayyim kata tersebut bersifat umum yang pada mulanya

berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan . pada awalnya kata ini

digunakan untuk para janda teapi meluas hingga gadis-gadis juga termasuk.

Akan tetapi Syeikh Nawawi al-Bantani, Teungku Hasbi ash-Shiddieqy dan

Buya Hamka tidak menjelaskan kata ‫ اﻷﯾﺎﻣﻲ‬secara detail, beliau memaparkan

81
82

untuk menyegerakanlah menikah orang-orang yang sendiri diantara kamu

baik perempuan maupun laki-laki.

Kedua, Dalam al-Qur’ȃn surat al-Talȃq ayat 04, yang mana berbicara

tentang iddah. Salah satunya yaitu iddah bagi perempuan yang belum haid.

Menurut Teungku Hasbi al-Shiddieqy, Buya Hamka dan M. Quraish Shihab

bahwa iddah bagi perempuan yang belum haid adalah tiga bulan sama hal nya

dengan perempuan manoupuse. Dan Ketiga, Nabi Muhammad menikah

dengan Siti ʻȂʻisyah ketika ia berusia 6 tahun. Terdapat ḥadis nabi yang

memaparkan untuk tidak ditunda-tunda dalam pernikahan.

B. Saran-Saran

Perbedaan waktu dan zaman dapat memungkinkan seseorang untuk

mengambil keputusan. Salah satunya yaitu keputusan untuk menikah pada usia dini.

jika berlangsungnya pernikahan usia dini maka bagi kedua belah pihak agar

mempersiapkan secara matang baik fisik maupun mental dan saling toleransi dalam

menyelesaikan suatu masalah di dalam rumah tangga. Dengan demikian

berkurangnya nilai negative mengenai perikahan usia dini dan pada akirnya dapat

mewujudkan keluarga yang sakinah, keluarga yang penuh ketenangan kedamaian,

dan kasih sayang sesuai dengan tuntunan al-Qur’ȃn.

Selanjutnya, penulis menyadari akan banyaknya kekurangan-kekurangan

dalam menulis skripsi ini, baik dari sisi cara penulisan, pembahasan, dan terutama
83

mengenai referensi-refernsi yang penulis gunakan. Harapan besar bagi penulis adalah

agar kiranya ada yang bisa melanjutkan penelitian penulisan ini, tentunya yang

berhubungan dengan pernikahan usia dini, sehingga kekurangan-kekurangan di atas

dapat tertutupi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Assegaf, S. Ahmad. Islam dan KB. Jakarta: Lentera, 1997.

Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Tanggerang: Mazhab Ciputat, Oktober 2013.

Arra’uf, Djamaluddin bin Dahlan. Aturan Pernikahan dalam Islam. Jakarta: JAL
Publishing, 2011.
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. cet ke-1.
Yogyakarta: Darussalam, 2004.
As’Ari, Khusen.”Pernikahan Dini dalam Perspektif Hadits.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2009.
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bāri syarah Shahih al-Bukhari. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Azlan. “Pernikahan Usia Dini menurut Hukum Islam.” Skripsi S1 Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekan Baru, 2010.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII Akar Pembaran Islam. sJakarta: Kencana, Januari 2013,
al-Barudi, Syaikh Imad Zaki. penerjemah Samson Rahman, MA. Tafsir Wanita.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Juni 2004.
Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Keluarga. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta 1993.
Bukhori, M. Hubungan Seks Menurut Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari. Kairo: al-
Maktabah Al-Syafiyah.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Fathul Bari. Kairo: al-Maktabah
Al-Syafiyah.
Dahlan, Qamaruddin Shaleh, HA dan M.D. Asbabun Nuzul. Bandung: CV.
DIPENEGORO.
Dahlan, R. M. Fikih Munakahat.Yogyakarta: Deepublish, 2015.

84
85

Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Thinkers Library.

Desiyanti, Irne W. “Faktor-faktor yang Berhubungan terhadap Pernikahan Dini Pada


Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado.” Artikel
Penelitian, April 2015. Eoh, O.S. Perkawinan antar Agama. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, September, 1996. Fadlyana, Eddy dan Shinta Larasaty.
“Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya.” Jurnal Sari Pediarti, no. 2
(2009).
Eoh, O.S. Perkawinan antar Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, September
1996.
al-Ghifari, Abu. Pernikahan Dini. Bandung: Mujahid Press, April 2003.

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia. Jakarta: Teraju, Februari 2003.

Hamka, Buya. Tafsir al-Azhar. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1982.

Hasyim, KH. Abdullah. dkk., Keluarga Sejahtera dan Kesehatan Reproduksi.


Jakarta: Direktorat AdVokasi dan KIE, November 2011.
Hawari, Dadang. Psikiater, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1996.
Indra, Hasbi dkk. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, 2004.

Iqbal, Asep Muhammad. Yahudi & Nasrani dalam al-Qur’ȃn: Hubungan


AntarAgama Menurut Syeikh Nawawi Banten, Bandung: Mizan, 2004.
al-Jȃwi, Syeikh Muhammad Nawawi. Tafsir Marȃh Labȋd. Mesir: Darul Fikr, 1981
Katsir, Ibnu. Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah M. Abdl Ghoffar E.M, Bogor: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i.
Kholid, bin Ali bin Muhammad Al-Anbari. Perkawinan dan Masalah-masalahnya.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Mei 1992.
Kusuma, Novita Ningrum, “Pernikahan di bawah Umur dan Akibatnya (Studi
Putusan Perceraian Pada Pasangan di bawah Umur di Pengadilan Agama
86

Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyar),” Skripsi S1 Fakultas Hukum


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2015
Mazhahiri, Ayatullah Husain. Membangunn Surga dalam Rumah Tangga. Bogor:
Cahaya, 2004.
Miswar, Andi. “Tafsir al-Qur’ȃn al-Majȋd al-Nȗr karya T.M Hasbi ash-Shiddieqy”:
(Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”,
Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1 2015.
Muhammad, Asep Iqbal. Yahudi & Nasrani dalam al-Qur’ȃn: Hubungan
AntarAgama Menurut Syeikh Nawawi Banten, Bandung: Mizan, 2004.
Muhdlor, Zuhdi. Memahami Hukum Pernikahan. Bandung: Al-Bayan, Maret 1994.

Munawwir, Achmad Warson. Kamus al-Munawwir versi Indonesia-Arab, Surabaya:


Pustaka Prgressif, 2007.
Mustaming. Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah
Luwu. Yogyakarta : Deepublish, Desember 2015.
Al-Nawawai. Shahih Muslim. Bairut: Dar al-Fikr, 1981.

al-Qazuyani, Muhammad bin Yazid Abdullah. Sunan Ibnu Mājjah. Beirut: Dār al-
Fikri.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. al-Jamȋ’u li Ahkȃmi Al-Qur’ȃn, Penejemah Amir
Hamzah Jakarta: Pustaka Azzam, Januari 2009.
Rachman, Arsyad Juliandi. “Gubri Ingatkan Generasi Muda Akan Bahaya Pernikahan
Usia Dini,” artikel diakses pada 15 Nov 2017 dari
http://harianriau.co/mobile/dtailberita/17378/gubri-ingatkan-generasi-muda-
akan-bahaya-pernikahan-usia-dini.
Rahmatiah HL, “Studi Kasus Perkawinan di bawah umur,” Vol.5 No. 1 Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar 2016.
Rabbani, Muthmainah Afra. Istri Yang Dirindukan Surga. Jakarta : Perpustakaan
Nasional RI, 2015.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar, Mesir: al-Manar, 1325 H, Juz IV.
Roliskana, Mohan. “Soal Pernikahan Dini dan Narkoba, Ini Pesan Mohan Untuk
Pemuda” artikel diakses pada 21 No 2017 dari
https://kiknewws.today/22017/11/21/soal-pernikahan-dini-dan-narkoba-ini-
pesan-mohan-untuk-pemuda.
87

Al-Sanan, Arij Abdurrahman. Memahami Keadilan dalam Poligami. Jakarta: PT.


Globalmedia Cipta Publishing, 2002.
Sardi, Bateq “faktor-faktor pendorong pernikahan dini dan dampaknya di Desa
Mahak Baru Kecamatan Sungai Boh Kabupaten Malinau,” Skripsi S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman Samarinda 2016.
Al-Shabbagh, Mahmud. Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islalm. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1993.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.
Ash-Shiddieqy, Teungku M. Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Quur’an (Ulum Al-Qur’an).
Semarang: PT. Pustaka Riki Putra, 2009.
Ash-Shobuni, Syaikh Muhammad Ali. Pernikahan Islami (Az-Zawaj al-islami al
Mubakkir. Penerjemah : Ahmad Nurrohim. Solo: Mumtaza, Desember 2008.
Shihab, , M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat,. Bandung: Mizan, 1994.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbȃh, Jakarta : Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish. Pengantin al-Qur’an, Tanggerang : Lentera Hati, 2007.

Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: Kencana, Januari 2010.
Suma, Muhahammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada: Maret 2004.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode dan Tekhnik
Bandung: Taarsita, 1989.
Taufikurrahman, “Kajian Tafsir di Indonesia”, Mutawȃtir: Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadits, Vol. 2, Nomor 1, Juni 2012.
Warson, Achmad Munawwir, Kamus al-Munawwir versi Indonesia-Arab, Surabaya:
Pustaka Prgressif, 2007.
Yanggo, Chuzaimah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer (II). Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus, 2002.
Zuhaili, Wahba. Fiqih Imam Syafi’I. Jakarta: Almahira, Februari 2012.
88

Zein, Achyar. “Urgensi Penafsiran al-Qur’an yang Bercorak Indonesia”, Jurnal


Miqot: Jurnal Ilmu-ilmuu Keislaman,Vol. XXXVI. No. 1, Januari-Juni 2012

Anda mungkin juga menyukai