Anda di halaman 1dari 148

STUDI HADIS-HADIS AKHLAK DALAM KITAB

ARBA’ÎN AL-NAWAWÎ

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin


untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

RIFQOH QUDSIAH
11140340000151

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1438 H
ABSTRAK

Rifqoh Qudsiah
Studi Akhlak dalam Hadis Arbaʻîn Imâm al-Nawawî

Kata akhlak sudah sangat familiar dikalangan masyarakat


khususnya bagi kaum Muslimin yang beragama Islam. Pengertian akhlak
dari asal katanya adalah anjuran untuk berbuat baik (budi pekerti,
kelakuan), serta banyak contoh dan penjelasan yang berkaitan tentang
akhlak dalam ayat al-Qur’ân dan Hadis. Hadis arbaʻîn al-Nawawî
merupakan kumpulan 42 hadis yang di dalamnya memuat masalah
aqidah, syariah dan akhlak. Hadis ini dijadikan sebagai buku saku serta
masih banyak dijadikan rujukan utama sekolah atau universitas untuk
dihafalkan dan dipelajari lebih dalam lagi, akan tetapi menurut Penulis
tidak semua hadis arbaʻîn yang dipelajari mengena dan tertanam dalam hati
dan fikiran mereka. Oleh sebab itu penulis ingin mejelaskan betapa
pentingnya akhlak untuk dimiliki oleh setiap orang sebagai dasar untuk
mengahadapi perkembangan zaman serta manfaat dan keburukan apa yang
bisa didapat jika kita menerapkannya atau tidak dalam bersikap terhadap
Allah Swt., manusia, dan lingkungan
Kitab arbaʻîn ini merupakan salah satu karya al-Nawawî dalam
bidang hadis dimana di dalamnya terdapat hadis-hadis yang berkaitan
dengan akhlak. Sebagian besar muatannya membahas tentang tingkah laku
manusia yang semestinya dilakukan dalam bersosialisai antar sesama
makhluk serta dalam menjalankan kewajiban mereka. Melihat dari segi
matan hadis arbaʻîn, nilai akhlak yang terkandung di dalamnya tidak sesuai
dengan realitas yang ada. Karena intisari kandungan hadis tersebut tidak
mereka terapkan dalam kehidupan sejari-hari mereka.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif yaitu
dengan mencari dan mengumpulkan data-data tentang objek penelitian
berupa kata al-Khuluq atau tema yang tertulis dari suatu objek yang dapat
diambil dan diteliti, lalu disusun dan dijelaskan secara sistematis. Dengan
cara meneliti setiap Hadis arbaʻîn al-Nawawî untuk diketahui hubungan
atau keterkaitannya dengan akhlak ada atau tidak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menemukan ada 20
hadis yang berkaitan dengan akhlak terhadap sesama makhluk hidup, dan
yang lainnya memiliki keterkaitan akhlak terhadap Allah Swt., Rasul,
atau terhadap diri sendiri. Karena setiap hadis memiliki relevansi nilai
akhlak yang bisa dikaitkan dengan satu sama lain.

Kata kunci: Hadis, akhlak, Makhluk hidup, Perbuatan Baik dan Buruk.

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt., Tuhan semesta alam


yang tidak pernah putus memberikan rahmat dan kasih sayangnya. Penulis
bersyukur atas pertolongan, taufik, dan hidayah-Nya akhirinya penulisan
skripsi ini berhasil diselesaikan. Semoga hal ini semakin menguatkan
keimanan penulis, sehingga mensyukuri nikmat yang begitu banyak
diberikan oleh-Nya. Karena kita tidak akan pernah bisa menghitung satu
persatu nikmat apa saja yang sudah kita terima dalam sehari saja sudah
tidak terhitung jumlahnya, sehingga angka tidak bisa menggambarkana
berapa banyak nikmat dan karunia yang telah penulis terima. Ṣalawat serta
salam kita kirimkan kepada Nabi Muhammad Saw., sebagai suri tauladan
untuk keluarga, sahabat, dan generasi setelahnya yang menjadi pengikut
beliau hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan yang bahagia ini, penulis juga ingin
berterimakasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak
membantu penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Allah Swt., yang atas izin-Nya penulis diberikan kesehatan sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Kedua orang tuaku tersayang, ayahanda Achmad Hatta dan ibunda
Sulkhiah yang memberikan dukungan, semangat, selalu siap dan ada di
saat penulis butuhkan. Tanpa do’a dan restu dari keduanya maka
penulis tidak akan mendapatkan inspirasi dan hasil yang maksimal
untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
beserta para staf pembantu dekan.
5. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum. MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-
Qur’ân dan Tafsir.

v
6. Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd., selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu al-Qur’ân dan Tafsir
7. Ibu Ala’I Nadjib, MA., selaku dosen penguji proposal dan sekaligus
sebagai dosen pembimbing skripsi yang sudah banyak memberikan
kontribusi dalam proses dari awal penulisan skripsi ini berlangsung
sampai selesai. Baik berupa pengarahan, bimbingan, maupun motivasi
yang sifatnya membangun, serta selalu memberikan dedikasinya
kepada penulis, bersabar memberikan ilmu dan masukan selama
penulis berada di bawah bimbingannya. Sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan dengan baik. Beliau juga telah banyak memberikan saran,
arahan dan nasehat yang sangat berharga bagi penulis pribad dan bisa
diaplikasikan ke masyarakat.
8. Bapak Dr. M. Isa HA Salam, M.Ag. selaku dosen penasehat
akademik yang selalu memberikan masukan dan arahan dari awal
perkuliahan hingga proses pemilihan akhir judul skripsi ini
berlangsung.
9. Segenap jajaran dosen dan civitas academica Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang tidak bisa penulis
sebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat, khususnya
program studi Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir yang ikhlas, tulus dan sabar
untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang berakhlak mulia dan
berintelektual.
10. Kedua kakakku Syafa’at Ariful Huda, Fahd Hafidz, dan adiku
tersayang Farid Syauqi yang selalu mendo’akan, memberikan
kebahagiaan dan motivasi untuk selalu semangat dalam menuntu ilmu,
sehingga penulisan skripsi ini selesai tepat waktu.
11. Seluruh teman-teman Ilmu al-Qur’ân dan Tafsir angkatan 2014, an-
Naml, Pd.Annisa, Keluarga Harmoni Syahid21, RISMA, serta KKN
Cinema XXI yang setia mendukung serta memberikan do’anya
kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
12. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan, baik secara
langsung maupun tidak, tanpa mengurangi rasa hormat penulis

vi
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk membantu
menyeselesaikan pengerjaan skripsi ini.
13. Sahabat-Sahabat dan anak-anak yatim yang lucu di Yayasan Al-
Mujaddid yang memberikan warna tersendiri dalam hidup, karena
canda tawa kalian menjadikan hidup ini lebih bermakna.
Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada semua
pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis hanya bisa
mendo’akan semoga jasa dan kebaikan yang telah diberikan dibalas oleh
Allah Swt., yang Maha pemurah dan penyayang dengan balasan yang
berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan, kritik
dan saran yang membangun agar penulisan karya ilmiah ke depannya
menjadi lebih baik lagi. Namun demikian, besar pula harapan penulis
skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis pribadi dan bagi
pembaca untuk menambah wawasan, ilmu, inspirasi baru, agar selalu
memberikan motivasi untuk terus belajar. Âmîn...

Jakarta, 27 Agustus 2018

Rifqoh Qudsiah

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR............................................................................................v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ..........................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................1


B. Rumusan Masalah ...............................................................................11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................................12
D. Tujuan Penelitian.................................................................................12
E. Manfaat Penelitian...............................................................................13
F. Kajian Pustaka.....................................................................................14
G. Metodologi Penelitian .........................................................................16
H. Sistematika Penulisan..........................................................................18

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKHLAK

A. Pengertian Akhlak .............................................................................................. 20


B. Macam-macam Akhlak .......................................................................26
C. Ruang Lingkup Akhlak Islami ............................................................29
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak.........................................32
E. Kriteria Akhlak....................................................................................38

BAB III AL-NAWAWÎ DAN HADIS ARBAʻÎN

A. Biografi al-Nawawî .............................................................................40

viii
B. Kapasitas keilmuan al-Nawawî ..........................................................42
C. Karya-karya al-Nawawî .....................................................................50
D. Latar Belakang Penulisan Hadis Arba’īn al-Nawawî ........................53
E. Kandungan Hadis Arbaʻîn al-Nawawî ..............................................58

BAB IV HASIL KAJIAN HADIS-HADIS TENTANG AKHLAK DALAM


KITAB ARBAʻÎN AL-NAWAWÎ

A. Hadis Arbaʻîn al-Nawawî yang Memiliki hubungan dengan Akhlak


Terhadap Sesama Makhluk Hidup .......................................................61
B. Penjelasan Tentang Hadis-Hadis Akhlak ............................................73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................111
B. Saran-saran ........................................................................................111

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................112

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................120

ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami,
tidak saja oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan
juga oleh dosen, khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar
terjadi saling kontrol dalam penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara,
antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari
Kementian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta
versi Paramadina.Umumnya, kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara
tersebut meniscayakan digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font
Transliterasi, Times New Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulisan tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu
versi di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi
beberapa ciri hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ini disusun dengan logika yang sama.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Huruf Keterangan


Arab Latin

‫ا‬ a Tidak dilambangkan

‫ب‬ b Be

‫ت‬ t Te

‫ث‬ ts te dan es

x
‫ج‬ j Je

‫ح‬ h h dengan garis bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d De

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r Er

‫ز‬ z Zet

‫س‬ s Es

‫ش‬ sy es dan ye

‫ص‬ s es dengan garis di bawah

‫ض‬ d de dengan garis di bawah

‫ط‬ t te dengan garis dibawah

‫ظ‬ z zet dengan garis bawah

‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f Ef

‫ق‬ q Ki

‫ك‬ k Ka

‫ل‬ l El

‫م‬ m Em

‫ن‬ n En

‫و‬ w We

‫ـھ‬ h Ha

xi
‫ء‬ ` Apostrof

‫ي‬ y Ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri


dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ــَـ‬ A Fathah

‫ــِـ‬ I Kasrah

‫ــُـ‬ U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah


sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ـــ ي‬ ai a dan i

‫ـــ و‬ au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam


bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ــﺎ‬ â a dengan topi di atas

‫ــﻲ‬ î i dengan topi di atas

‫ــﻮ‬ û u dengan topi di atas

xii
4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan


huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan


dengan sebuah tanda (‫)ـــ‬ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (‫)اﻟﻀﺮةرو‬ tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah,
demikian seterusnya.

6. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika tamarbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf
ta marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat
contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫طﺮﯾﻘﺔ‬ Tarîqah

2 ‫اﺎﺠﻟﻌﻣﺔا ﻹﻼﺳﯿﻣﺔ‬ al-jâmî’ah al-islâmiyyah

3 ‫وﺪﺣا ةﻮﺟﻮﻟد‬ wahdat al-wujûd

xiii
7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan


dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal


dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.

8. Cara

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

‫ھذﺐا ﻷﺳﺘﺎذ‬ dzahaba al-ustâdzu

‫ﺛﺖﺒا ﻷﺟﺮ‬ tsabata al-ajru

‫اﺮﺤﻟﻛﺔا ﻟﻌﺼﺮﯾﺔ‬ al-harakah al-‘asriyyah

xiv
‫أﺷﮭﺪنأ ﻻإ ﻟﮫ إﻻ ﷲ‬ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

‫ﻮﻣﻧﻻﺎ ﻣﻠﻚا ﻟﺼﻟﺎﺢ‬ Maulânâ Malik al-Sâlih

‫ﯾﺛﺆﺮﻛﻢ ﷲ‬ yu’atstsirukum Allâh

‫اﻟﻤﺎ ھﺮا ﻟﻌﻘﻠﯿﺔ‬ al-mazâhir al-‘aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad
Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman sekarang permasalahan yang sering terjadi di masyarakat

semakin kompleks1. Baik masalah dalam pendidikan, kebudayaan, ekonomi,

sosial, politik, dan agama. Semua bisa dilihat dan dirasakan pada perilaku

manusia yang sudah tidak lagi memperhatikan makhluk hidup dalam bersikap.

Akhlak menjadi hal yang amat penting dalam bergaul dan bermasyarakat. Jika

kita berakhlak baik maka orang-orang akan menyukai kita, karena akhlak ibarat

magnet2 yang mampu menarik setiap hati manusia. Dan dengan akhlak yang baik

hidup akan lebih bermakna. Baik itu akhlak terhadap Tuhan, akhlak terhadap

sesama manusia atau akhlak terhadap lingkungan.3

Contoh kecil akhlak yang baik adalah 5S, yaitu salam, senyum, sapa,

sopan dan santun. Ketika bertemu dengan siapapun dengan menggunakan 5S

niscaya dia akan tergetar hatinya. Rasanya hidup akan menjadi damai dan tentram

dengan mempraktekkan akhlak yang mulia4, yaitu akhlak yang sudah dicontohkan

oleh Rasulullah Saw., dalam segala aspek kehidupan.5

1
Kompleks atau mengandung beberapa unsur yang pelik, rumit, sulit, dan saling
berhubungan. Lihat Kbbi, (Jakarta: Gramedia Pustka Umum, 2008), cet 1, ed. 4, h.720.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.855.
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân, (Bandung; Mizan Media Utama, 2013), h. 347.
4
Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari, Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Caara Mencapai
Akhlak Mulia, (Jakarta: Pustaka imam Asy-Syafi’i, 2016), h.11.
55 5
Teksnya hadisnya sebagai berikut:
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻛَﺎ َن اﻟْﻘُﺮْآ َن‬
َ ‫َﱯ اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
‫ﻓَِﺈ ﱠن ُﺧﻠُ َﻖ ﻧِ ﱢ‬
“Maka seseungguhnya akhlak Nabi SAW adalah al-Qur’ân”. Lihat al-Imâm Abû al-Husain
Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahīh Muslim, (Bairut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1911), No. 139(746), jld.1, h.512.

1
2

Melihat berita pada media sosial, baik cetak, elektronik, dan internet.

Hampir setiap hari tidak terlepas dari berita-berita perampokan, pembunuhan,

minum-minuman, pemerkosaan, ketergantungan narkoba, korupsi, tawuran, dan

lain-lain. Hal tersebut sudah menjadi sebuah peristiwa lumrah yang sering terjadi

sampai saat ini.6

Akhlak merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan. Kepintaran

yang tidak diiringi dengan akhlak akan menjadi sebuah kesalahan besar yang

akhirnya mengakibatkan terjadinya suatu kejahatan. Seperti arus modernitas7,

materialisme8, konsumerisme9, dan cinta dunia yang terus menerus mengikis nilai-

nilai akhlak dalam kehidupan manusia. Baik yang tinggal di kota atau pelosok

desa.

Kemajuan teknologi yang tidak dimanfaatkan secara baik dan benar,

seperti berupa informasi, game, dan hiburan yang dapat diakses dengan mudah

dan cepat mempengaruhi pembentukan akhlak. Dari anak-anak sampai orang

dewasa semua terkena imbasnya, terutama dampak negatif. Anak-anak kecanduan

game, melihat video atau berita yang belum layak untuk dilihat, begitupun orang

dewasa terlena sampai-sampai lupa kewajibannya pada Tuhan, keluarga, dan

makhluk hidup lainnya.10

Seharusnya nilai-nilai akhlak ditanamkan sejak awal, itu akan menjadi

pondasi yang kuat untuk membentengi dan menfilter arus negatif budaya luar

6
http://forum.detik.com/permasalahan-di-indonesia-semakin-komplek-t135639.html
7
Modernitas atau kemodernan (hal (keadaan) modern (terbaru)). Lihat Kbbi, h.924.
8
Materialisme atau pandangan hidup yang mencari segala sesuatu yang
termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan
mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Lihat Kbbi, h.888.
9
Konsumerisme atau gerakan/kebijakan untuk melindungi konsumen dengan
menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan. Lihat Kbbi, h.728.
10
Abu Abdullah Mushthafa ibn al-‘Adawy. Fikih Pendidikan Anak: Membentuk
Kesalehan Akhlak Sejak Dini terj. dari Fiqh Tarbiyah Abna’ wa Tha’ifah min Nasha’ih al-
Athibba’ oleh Umar Mujtahid dan Faisal Saleh (Jakarta: Qisthi Press, 2009), h.159.
3

yang masuk untuk perkembangan akhlak seorang anak. Orang tua mempunyai

peran penting dan andil besar dalam menanamkan nilai akhlak pada anaknya

karena pendidikan seorang anak pertama kali diajarkan oleh kedua orang tuanya

khususnya seorang ibu yang mendapat julukan madrasahtul ula. Seperti bunya

hadis berikut ini:

11
‫ أ َْو ﳝَُ ﱢﺠﺴَﺎﻧِِﻪ‬،ِ‫ﺼﺮَاﻧِﻪ‬
‫ أ َْو ﻳـُﻨَ ﱢ‬،ِ‫ ﻓَﺄَﺑـَﻮَاﻩُ ﻳـُ َﻬ ﱢﻮدَاﻧِﻪ‬،ِ‫ُﻛ ﱡﻞ ﻣ َْﻮﻟُﻮٍد ﻳُﻮﻟَ ُﺪ َﻋﻠَﻰ اﻟ ِﻔﻄَْﺮة‬
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa
keTuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua Orang
tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi.” (HR. al-Bukhârî).

kesalehan seorang anak tergantung pada amal-amal yang diperbuat

oleh orang tuanya, karena anak-anak akan belajar dengan cepat dari apa

yang mereka lihat, dengar, dan rasakan setiap harinya. 12

Orang tua harus benar-benar mendidik, mengajarkan serta

memberikan bekal pendidikan yang baik dan menjaga anak dari

lingkungan yang justru bisa merusak nilai akhlak seseorang, karena

lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan

dalam perkembangan akhlak seorang anak. Jika salah dalam memberikan

pola asuh, tidak menjaga baik dari dalam dan luar lingkungan yang jelek

maka anak itu akan memiliki akhlak tercela. Anak-anak tidak menurut,

nakal, bandel, membangkang, terbiasa berkata kasar, dan lain-lain. Bukan

hanya mendapatkan nama yang baik tetapi seorang anak juga berhak untuk

mendapatkan pendidikan dari orang tua mereka. Seperti hadis berikut ini:

11
al-Imām Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâʻîl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,
(Damaskus: Dâr, Ibn Katsîr, 2002), no.1385, jld.2, h.334 (100).
12
Abu Abdullah Mushthafa ibn al-ʻAdawy. Fikih Pendidikan Anak: Membentuk
Kesalehan Akhlak Sejak Dini, h.19-20.
4

ُ‫ ُﲢ ِﺴ ُﻦ اِﲰَﻪ‬: ‫اﰊ ﻫﺬا ﻗﺎل‬


ِ ‫ ﻣَﺎ َﺣ ﱡﻖ‬, ِ‫ُﻮل اﷲ‬
َ ‫ ﻳَﺎ َرﺳ‬: ‫ِﱄ اﻟ ﻨ ِﱠﱯﱢ ) ص ( ﻓـَ ﻘَﺎل‬
َ ‫ﺟَﺎ ءَ َر ُﺟ ﻞٌ ا‬
( ‫ ) اﻟﻄﻮﺳﻲ‬. ‫ﺿ ﻌًﺎ َﺣ َﺴ ﻨًﺎ‬
ِ ‫َوأَدَ ﺑَﻪُ َوﺿَﻌ ﻪُ ﻣَﻮ‬
”Seorang bertanya kepada Nabi Saw dan bertanya, “Ya Rasulullah,
apa hak anakku ini?” Nabi Saw menjawab, “Memberinya nama
yang baik, mendidik adab yang baik, dan memberinya kedudukan
yang baik (dalam hatimu).” (HR. ath-Thusi). 13

Dalam Islam akhlak bukanlah moral yang tergantung pada situasi

dan kondisi, tetapi akhlak tergantung pada isi hati seseorang. Perilaku

terpuji dan tercela yang dapat muncul sewaktu-waktu tanpa ada perintah

oleh otak, karena muncul seketika itulah akhlak. Kajian akhlak adalah

tentang tingkah laku manusia, atau tepatnya merupakan tingkah laku yang

bisa bernilai baik (mulia) atau bernilai buruk (tercela). Yang dinilai di sini

adalah tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan Tuhan, yakni

dalam melakukan ibadah berhubungan dengan sesama, yakni bermuamalah

atau melakukan hubungan sosial antar manusia serta dengan dengan

makhluk hidup lainnya. 14

Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,

jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya

berkaitan dengan tingkah laku lahiriah akhlak lebih luas maknanya, karena

bersifat batiniah yang berkaitan langsung dengan jiwa dan hati seseorang.

Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak

terhadap Allah, hingga kepada makhluk (manusia, binatang, tumbuh -

tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa). 15

13
Muhammad Faiz Almath. 1100 Hadis Terpilih terj. dari Qobasun min Nûri
Muhammad saw oleh A. Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani, 2017), h.178.
14
Marzuki, Prinsip Dasar Akhlak Mulia (Yogyakarta; Wahana Press, 2009), h. 9.
15
N Elviana, https://www.academia.edu/9209192/Pengertian_Akhlak_Moral_Dan_Etika,
diakses pada tanggal 29 Desember 2017.
5

Berkaitan dengan kondisi di atas bagaimana pentingnya akhlak

dalam kehidupan kita karena akhlak merupakan kewajiban fitrah. Dalam

al-Qur’ân ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaaan akhlak yang

dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang muslim, seperti

perintah berbuat kebajikan, menepati janji, sabar, jujur, takut pada Allah

Swt., bersedekah dijalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf. 16

Keharusan menjunjung tinggi akhlaq al-karimah lebih dipertegas

lagi oleh Rasulullah Saw., dengan pernyataan yang menghubungkan

akhlak dengan kualitas kemauan, bobot amal, dan jaminan masuk surga.

:‫َﺎل‬
َ ‫ ﻗ‬،‫َﺶ‬ِ ‫ َﻋ ْﻦ اﻷَ ْﻋﻤ‬،ُ‫ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ ُﺷ ْﻌﺒَﺔ‬:‫َﺎل‬َ ‫ ﻗ‬،َ‫ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑُﻮ دَا ُود‬:‫َﺎل‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َْﳏﻤُﻮ ُد ﺑْ ُﻦ َﻏﻴ َْﻼ َن ﻗ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬ َ ‫ ﻗ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ َﻋ ْﻦ َﻋْﺒ ِﺪ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﺑْ ِﻦ َﻋ ْﻤﺮٍو ﻗ‬،‫ُوق‬ٍ ‫ َﻋ ْﻦ َﻣ ْﺴﺮ‬،‫ﱢث‬
ُ ‫ْﺖ أَﺑَﺎ وَاﺋ ٍِﻞ ﳛَُﺪ‬ ُ ‫َِﲰﻌ‬
‫َﺎﺣﺸًﺎ‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓ‬
َ ‫ﱠﱯ‬‫ َوَﱂْ ﻳَ ُﻜ ِﻦ اﻟﻨِ ﱡ‬،«‫ْﻼﻗًﺎ‬ َ ‫َﺎﺳﻨُ ُﻜ ْﻢ أَﺧ‬
ِ ‫ » ِﺧﻴَﺎ ُرُﻛ ْﻢ أَﺣ‬:‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
‫َﺤﻴ ٌﺢ‬
ِ ‫ِﻳﺚ َﺣ َﺴ ٌﻦ ﺻ‬ ٌ ‫ َﺣﺪ‬:‫ َﻫﺬَا ُﻣﺘَـ َﻔ ﱢﺤﺸًﺎ‬17‫وََﻻ‬
“Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah
meriwayatkan kepada kami Abu Dawud ia berkata, Telah memberitakan
kepada kami Syu'bah dari A'masy ia berkata; Aku mendengar Abu Wa`il
menceritakan dari Masruq dari Abdullah bin Amr ia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik orang di antara
kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian." Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bukanlah seorang yang buruk perangainya.
Abu Isa berkata; Ini adalah hadis hasan shahih.” (HR. al-Tirmidzî)

Dalam hadis lain Rasulullah Saw., bersabda:


‫ِﱄ‬
‫ﻀ ُﻜ ْﻢ إ َﱠ‬
َ َ‫ َوإِ ﱠن أَﺑْـﻐ‬،‫ْﻼﻗًﺎ‬
َ ‫َﺎﺳﻨَ ُﻜ ْﻢ أَﺧ‬
ِ ‫ِﲏ َْﳎﻠِﺴًﺎ ﻳـ َْﻮَم اﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ أَﺣ‬ ‫ِﱄ َوأَﻗْـَﺮﺑِ ُﻜ ْﻢ ﻣ ﱢ‬ ‫إِ ﱠن ِﻣ ْﻦ أَ َﺣﺒﱢ ُﻜ ْﻢ إ َﱠ‬
18
‫ِﲏ َْﳎﻠِﺴًﺎ ﻳـ َْﻮَم اﻟ ِﻘﻴَﺎ َﻣ ِﺔ اﻟﺜـ ْﱠﺮﺛَﺎرُو َن وَاﳌُﺘَ َﺸ ﱢﺪﻗُﻮ َن وَاﳌُﺘَـ َﻔْﻴ ِﻬﻘُﻮ َن‬‫َوأَﺑْـ َﻌ َﺪ ُﻛ ْﻢ ﻣ ﱢ‬
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat
tempat(nya) [kedudukan] dariku pada hari kiamat (kelak) adalah
orang yang paling baik akhlak(nya) diantara kalian. sesungguhnya
orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat(nya)

16
Q.s. al-Baqarah/2: 177; Q.s. al-Muʻminūn/23: 1-11; Q.s. al-Nûr/24: 37; Q.s.
al-Furqân/25 ;35-37; Q.s. al-Fatḥ/48:39 dan Q.s.Ali-Imran/3:134.
17
al-Imâm al-Hâfiz Abî Isî Muhammad Ibn Isâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, (Bairût:
Dâr al-Gharbi al-Islâmî, 1996), no.1975, jld.3, h.518 (417).
18
al-Imâm al-Hâfiz Abî Isâ Muhammad Ibn Isâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî,, no.2018,
jld.3, h.454 (438).
6

[kedudukan] dariku pada hari kiamat (kelak) adalah tsartsarun


(orang yang banyak bicara), mutasyaddiqun (orang yang
berlebihan dan buruk serta mencela orang-orang), dan
mutafaihiqun”.(HR. al-Tirmidzî)

Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami telah mengetahui orag

yang banyak bicara dan orang yang berlama-lama bicara dengan orang-

orang, (Namun) apa makna mutafaihiqun?” Rasulullah SAW., menjawab,

“Orang-orang yang sombong” (HR. al-Tirmidzî)

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa akhlak islami bukan hanya

hasil pemikiran, dan tidak berarti lepas dari realitas hidup, melainkan

merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa, realitas,

dan tujuan yang digariskan oleh akhlak qur’âniah. Dengan demikian

akhlak karimah merupakan salah satu sistem yang dapat digunakan dalam

mencapai kesempurnaan iman sesuai yang terdapat dalam nash al-Qur’ân

dan hadis.

Dalam kenyataan hidup memang kita temui ada orang yang

berakhlak karimah dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan

hakikat sifat manusia yang bisa baik dan bisa buruk (khairun wa

syarrun) 19, karena manusia telah diberi potensi untuk bertauhid 20, maka

tabiat asalnya berarti baik, hanya saja manusia dapat jatuh pada keburukan

karena memang diberi kebebasan dalam memilih. 21

19
Teks ayatnya sebagai berikut:
‫ﻓَﺄَﳍََْﻤﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮَرﻫَﺎ َوﺗَـ ْﻘﻮَاﻫَﺎ‬
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya,” (Q.s. al-Syams/91:8)
20
Q.s. al-Aʻrâf/7: 172 dan Q.s. al-Rûm/30: 30.
21
Teks ayatnya sebagai berikut:
‫ﲔ ﻧَﺎرًا أَﺣَﺎ َط ِِ ْﻢ ُﺳﺮَا ِدﻗـُﻬَﺎ َوإِ ْن ﻳَ ْﺴﺘَﻐِﻴﺜُﻮا ﻳـُﻐَﺎﺛُﻮا‬
َ ‫َوﻗ ُِﻞ اﳊَْ ﱡﻖ ِﻣ ْﻦ َرﺑﱢ ُﻜ ْﻢ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺷَﺎءَ ﻓَـﻠْﻴـ ُْﺆِﻣ ْﻦ َوَﻣ ْﻦ ﺷَﺎءَ ﻓَـﻠْﻴَ ْﻜﻔ ُْﺮ إِﻧﱠﺎ أَ ْﻋﺘَ ْﺪﻧَﺎ ﻟِﻠﻈﱠﺎﻟِ ِﻤ‬
‫َت ﻣ ُْﺮﺗَـ َﻔﻘًﺎ‬ْ ‫َاب َوﺳَﺎء‬ُ ‫ْﺲ اﻟ ﱠﺸﺮ‬ َ ‫ْﻞ ﻳَ ْﺸﻮِي اﻟْ ُﻮﺟُﻮﻩَ ﺑِﺌ‬ ِ ‫ﲟَِﺎ ٍء ﻛَﺎﻟْ ُﻤﻬ‬
7

Kecenderungan manusia pada kebaikan terbukti dalam kesamaan

konsep pokok akhlak pada setiap peradaban zaman yaitu perilaku pada

bentuk dan penerapan yang dibenarkan Islam merupkan hal yang ma’ruf.

Karena tidak seorangpun menganggap perilaku seperti tindak kebohongan,

penindasan, keangkuhan, dan kekerasan adalah sesuatu yang baik, seperti

contoh sepuluh macam keburukan 22 yang wajib dijauhi yang terdapat

dalam Q.s. al-Anʻâm/6: 152-152. 23

Sebaliknya tidak ada peradaban yang menolak keharusan

menghormati kedua Orang tua, keadilan, kejujuran, pemaaf sebagai hal

yang baik. Namun demikian, kebaikan yang hakiki tidak dapat diperoleh

melalui pencarian manusia dengan akalnya saja. Kebaikan yang hakiki

hanyalah diperoleh melalui wahyu dari Allah Swt. 24

Sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, Muhammad Abduh

ketika menafsirkan Q.s. al- Baqarah/2: 286 menjelaskan bahwa kebaikan

dikaitkan dengan kasabat, sedang keburukan dikaitkan dengan iktasabat. 25

Hal ini menandakan bahwa fitrah manusia pada dasarnya adalah

cenderung kepada kebaikan, sehingga manusia dapat melakukan kebaikan

“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir". (Q.s. al-Kahfi/18: 29)
22
1. Menyekutukan Allah, 2. Durhaka kepada kedua orang tua, 3. Membunuh anak karena
takut miskin, 4. Berbuat keji baik secara terbuka maupun tersembunyi, 5. Membunuh orang tanpa
alasan yang sah, 6. Makan harta anak yatim, 7. Mengurangi takaran dan timbangan, 8. Membebani
orang lain kewajiban melampaui kekuatannya, 9. Persaksian tidak adil, 10. Mengkhianati janji
dengan Allah.
23
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam (LPPI), 2001), h.13.
24
Karena Allah merupakan Dzat Yang Maha Benar dan pemilik segala
kebenaran (Q.s. al-Baqarah/2: 147; Q.s. Âli-Imrân/3: 60; Q.s. al-Nisâ'/4: 170;
Q.s.Yȗnus /10: 94 dan 108; Q.s.Hȗd/11: 17; Q.s. al-Kahf/18: 29; Q.s. al-Hajj/22: 54;
dan Q.s. al- Sajdah/32: 3).
25
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân, h. 340.
8

dengan mudah tanpa paksaan. Berbeda dengan perbuatan jelek yang akan

menimbulkan kesusahan. 26

Oleh karena itu akhlak sangat penting dalam masyarakat yang mulai

terkikis 27 oleh kemodernan 28 dan pengaruh dari arus globalisasi. Akhlak

merupakan acuan dalam kehidupan, karena akhlak akan menjadikan

seseorang menjadi terhormat dan mulia di mata Allah Swt., dan makhluk

hidup lainnya. Semua orang merasa senang kepada perilaku yang baik.

Akhlak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat universal 29 karena

disukai oleh semua makhluk, baik orang jahat sekalipun, bahkan, binatang

bisa merasa nyaman tinggal di sebuah rumah yang para penghuninya

berprilaku baik. Akhlak mempunyai manfaat bagi diri sendiri maupun bagi

orang lain juga masyarakat luas, yaitu sebagai bukti keimanan, 30

Rujukan hadis tentang akhlak yang utama adalah hadis yang

menjelaskan tentang akhlak Nabi Saw., yaitu adalah al-Qurʻân sebagai

akhlak Nabi Saw., untuk dijadikan cerminan, cotoh atau dijadikan panutan para

pengikutnya. Orang yang berpegang teguh dan melaksanakan apa yang terdapat

dalam al-Qur’ân di kehidupan sehari-hari mereka, maka itu sudah termasuk

meneladani akhlak Nabi Saw.

26
Iktasaba dilakukan manusia guna memperoleh manfaat untuk dirinya sendiri, sedangkan
arti dari kasaba lebih luas lagi daripada iktasaba karena bukan hanya memikirkan apa yang
seseorang dapatkan untuk dirinya tapi juga orang lain. Lihat Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-
ayat Ekonomi: Sebuah Eksplorasi Melalui Kata-kata Kunci dalam al- Qur’ân (Bandung: Cipta
pustaka Media Perintis, 2012), h.142.
27
Terkikis atau sudah atau terlah dikikis. Kikis atau atau kerik (hilangkan, hapuskan, dsb).
Lihat KBBI, h.679.
28
Kemodernan atau hal (keadaan) modern. Modern atau terbaru. Lihat KBBI, h.924.
29
Universal atau umum (berlaku untuk semua orang atau untuk seluruh dunia). Lihat
KBBI, h.1530.
30
Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi terj. dari al-Wafi fi Syarhil
Arba’în al-Nawawiyyah oleh Rohidin Wakhid (Jakarta: Qisthi Press, 2017), cet.2, h.129.
9

Hadis arba’în al-Nawawî merupakan kumpulan hadis karya Imam

al-Nawawî. Beberapa ulama yang membukukan empat puluh hadis

diantaranya: a. Kitab al-Arbaʻîn ‘alâ mazhab al-mutahaqqîn minas

suufiyyah: al-Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdillah (w.430 H), b.

Kitab al-Arbaʻîn fi faḏl al-du’â’ wad dâ’în: Karya al-Maqdisi, Abi Hasan

Ali ibn Faḏl (w. 611 H), c. Al-Arba’ûn hadistan fi qowâʻid mi al ahkam

al-syar’iyyah wa fadâ’il al-a’māl waz zuhd: Karya al-Suyuti (w. 911 H),

d. Arba’un hadistan fi maḏ al-sunnah wa zamm al-bid’ah: Karya Yusuf

ibn Ismaʻil al-Nabhani (w.1350 H), e. al-Ahadts al-Arbaʻîn fi wujub ta’at

Amir al-Mu’minin: Karya Yusuf ibn Isma’il al-Nabhani (w.1350 H) 31.

Masing-masing isi kitab tersebut berbeda, ada yang hanya

berkenaan dengan pokok-pokok agama atau cabang-cabangnya, ada juga

sebagian lain yang berkaitan tentang jihad, zuhud, adab, dan khutbah -

khutbah Nabi Saw. Kemudian Imam al-Nawawî membukukan hadis yang

mencakup semua maksud di atas dalam kitab hadis arba’ân al-

Nawawîyyah, sebagian besar hadis yang diambil berasal dari Sahih al-

Bukhârî dan Sahih Muslim. 32

Tidak sedikit karya-karya yang ditulis oleh Imam al-Nawawâ 33.

Hadis arba’în al-Nawawâ ini sudah sangat terkenal dan beredar di

masyarakat terutama di kalangan para santri, mahasiswa, tapi masih

31
Ahmad Lutfi Fathullah, 40 Hadis Mudah Dihafal Sanad dan Matan, (Jakarta: Al-
Mughni Press, 2014), cet.1, h. 12-13.
32
Imam al-Nawawî. Terjemah Hadis Arba’în al-Nawawîyyah terj. dari al- Arba’în al-
Nawawiyyah oleh Sholahuddin (Jakarta: Sholahuddin Press, 2004), h.4-5.
33
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawâ, Imam Abdurrahman Ibn Nāsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sâlih Ibn Utsaimîn, Syarah Arba’in an-Nawawi: Penjelasan 42
Hadis Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam terj. dari Ad-Durrah as-Salafiyyah Syarah al-
Arba’în al-Nawawiyah oleh Ahmad Syaikhu (Jakarta: Darul Haq, 2015), h.xv-xvi.
10

banyak yang belum mengaplikasikan 34 isi hadis tersebut dalam kehidupan

sehari-hari mereka. Masih ada saja perilaku yang menyimpang dan tidak

sesuai dengan semestinya seperti bersikap egois, ingin menang sendiri,

cepat sekali marah atau emosi, tidak menjaga kebersihan lingkungan, lalai

dalam menjalankan peritah Tuhan, orang tua, dosen, guru atau aparat

penegak hukum, bersikap semena-mena terhadap makhluk hidup dan

sebagainya. Semua itu terjadi karena kurangnya pondasi akhlak yang

mereka miliki dan pemahaman tentang urgensi dari nilai akhlak tersebut

untuk kehidupan dunia maupun akhirat kelak. 35

Akhlak tersebut yang seharusnya sudah tertanam dalam setiap hati

masing-masing individu mereka agar dapat bersikap dan berperilaku baik,

tidak harus diatur diperintah atau melakukan sesuatu karena ingin dilihat

baik oleh orang lain sehingga tidak dianggap buruk. Semua itu bukanlah

pengertian akhlak yang sesungguhnya jika mereka hanya melakukan

karena ingin dinilai baik atau buruk karena seperti yang dikatakan oleh

Imam al-Ghazâlî akhlak adalah suatu perilaku yang dilakukan dengan

mudah tanpa berpikir panjang maupun menghitung resiko apa yang akan

terjadi nantinya. 36

Berdasarkan latar belakang di atas dan pengamatan penulis, dapat

dipahami bahwa pentingnya akhlak khususnya untuk umat Islam karena banyak

sekali prilaku manusia yang buruk seperti melakukan hal yang tidak bermanfaat,

mudah sekali emosi atau marah, tidak memiliki rasa malu bersikap sesuka hati,

34
Mengaplikasikan atau menggunakan dalam praktik. KBBI, h.81.
35
https://www.academia.edu/15191025/Akhlak_dan_Ruang_Lingkupnya
36
al-Imâm Abȗ hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn
(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2005), h.934.
11

serta sering sekali seseorang melanggar perintah atau larangan Allah yang sudah

ditetapkan baik sebagai seorang anak, siswa/siswi, mahasiswa atau masyarakat

pada umumnya yang tidak sesuai dengan dalil yang ada. Semua itu terdapat dalam

penjelasan arba’în al-Nawawîyyah diantaranya hadis nomor 12, 16, 20 dan 30

dengan tema yang sudah disebutkan di atas. Oleh sebab itu penulis sangat tertarik

untuk mengajukan judul yang berkaitan tentang, “Studi Hadis-Hadis Akhlak

Dalam Kitab Arbaʻîn al-Nawawî”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat identifikasi

beberapa masalah sebagai berikut:

1. Degradasi akhlak

2. Pemyebab rusaknya akhlak seseorang

3. Kurang kesadaran dalam berperilaku baik terhadap Tuhan, sesama

manusia, dan lingkungan

4. Nilai-nilai yang terkandung dalam hadis arbaʻîn al-Nawawî

5. Akhlak penting untuk kehidupan dunia dan akhirat

6. Merealisasi akhlak dalam pembelajaran akademis dan kehidupan

sehari-hari

7. Pendidikan akhlak sejak dini oleh orang tua sangat penting

8. Kandungan hadis yang berkaitan dengan akhlak terhadap sesama

makhluk hidup dalam hadis arbaʻîn

9. Relevansi hadis arbaʻîn dengan akhlak sehingga bisa diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari
12

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Tidak sedikit masalah yang berkaitan dengan akhlak yang dijelaskan

dalam al-Qur’în dan hadis, tentunya semua itu akan menimbulkan perbedaan

penafsiran bila kita lihat dari perspektif yang berbeda tergantung masing-masing

individu dalam memahami suatu ayat atau hadis tersebut. Karena itu untuk

mempermudah penulisan skripsi ini penulis membatasi hanya menggunakan hadis

yang ada pada arba’în al-Nawawâ. Dari 42 hadis yang terdapat dalam hadis

arba’în al-Nawawâ, penulis batasi ada 20 hadis yang berkaitan menerangkan

tentang akhlak terhadap sesama makhluk hidup.

Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana kandungan hadis arbaʻîn yang berkaitan dengan akhlak

terhadap sesama makhluk hidup?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menemukan hadis nomor berapa saja yang masuk ke dalam akhlak

terhadap sesama makhluk hidup yang terdapat dalam hadis arba’în al-

Nawawî.

2. Untuk menemukan bagaimana kandungan hadis arbaʻîn yang berkaitan

dengan akhlak terhadap sesama makhluk hidup.


13

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari aspek teoritis dan aspek praktis,

yaitu:

1. Dalam aspek teoritis:

Sebagian dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan ilmiah

terutama bagi pendidikan Islam.

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai akademis (academic

significance) yang akan menambah wawasan penulis, begitu juga mempunyai

arti kemasyarakatan (social significance) yang akan membantu usaha-usaha

perkembangan pemikiran dalam islam. Dengan cara meneliti tentang

kandungan hadis arba’în al-Nawawî agar dapat memahami dan

mempraktikkan kandungan nilai pendidikan yang terdapat di dalamnya secara

lebih luas lagi khususnya nilai akhlak yang terkandung dalam suatu hadis.

2. Dalam aspek praktis:

a. Mahasiswa

Semoga karya ilmiah ini bisa menambah keilmuan teman-teman

mahasiswa dan menjadi referensi dalam memberikan pengajaran ilmu al-

Qur’ân dan tafsir sehingga proses pembelajaran menjadi efektif dan

efisien. Dapat menjadi penjelas tentang pentingnya nilai akhlak untuk

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat

b. Instansi/pemerintah

Masukan pada lembaga pemerintah untuk mengambil kebijakan

dalam mengembangkan pendidikan siswa, karena dengan berkembang

pendidikan siswa maka siswa dapat dengan mudah menyelesaikan


14

permasalahan: baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kehidupan

sehari-hari.

c. Bidang ilmu al-Qur’ân dan tafsir

Sebagai karya ilmiah, tulisan ini diharapkan dapat mengetahui

sekaligus mengimplikasikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan di

bidang pendidikan al-Qur’ân dan tafsir khususnya masalah yang berkaitan

dengan akhlak sehingga mahasiswa jurusan ilmu al-Qur’ân dan tafsir dapat

menjawab permasalahan tersebut secara global.

F. Kajian Pustaka

Penulis akan membuat kajian pustaka dengan tujuan untuk mengkaji buku

atau karya ilmiah yang memiliki tema berkaitan dengan judul yang dipilih oleh

penulis di antaranya sebagai berikut:

Banyak sekali buku atau karya ilmiah yang pembahasannya berkaitan

tentang akhlak diantaranya buku karya M. Quraish Shihab yang berjudul

Wawasan al-Qur’ân yang di dalam bukunya ada pembahasan tentang akhlak

terdapat pada sub bab kedua. Dalam sub bab tersebut menjelaskan berbagai

macam hal yang berkaitan dengan akhlak seperti pengertian akhlak, arti makna

baik dan buruk, bagaimana pertanggung jawabannya, apa tolok ukur untuk

kebaikan dan bagaimana sasaran akhlak itu sendiri dijelaskan di dalam buku

tersebut.

Selanjutnya berbeda dengan bukunya yang berjudul Wawasan al-Qur’ân

menjelaskan tentang pembagian atau sasaran akhlak terbagi menjadi berapa hal,

sedangkan dalam karya M. Quraish Shihab yang berjudul yang hilang dari kita
15

Akhlak ini berisi khusus pembahasan tentang segala sesuatu yang berkaitan

dengan akhlak dan sopan santun dalam berprilaku dengan makhluk hidup.

Buku Mutu Manikam dari Kitab al-Hikam karya Ahmad Ataillah oleh

Muhammad ibn Ibrahim Ibnu 'Ibad al-Naqzi al-Rindy. Merupakan salah satu buku

yang baru penulis temukan dengan banyak sekali bab pembahasan didalamnya

yang terbagi menjadi dua bagian, pertama terdiri dari 75 bab dan kedua ada 95

bab. Diantaranya membahas tentang akidah, hukum, zuhud, serta akhlak yang

lebih mengarah kepada tasawuf Islam. Ungkapan tiap-tiap babnya sangat singkat

dan memiliki pengertian yang sangat dalam, karena itu walaupun singkat

penjelasannya dan banyak sekali bab yang terdapat dalam buku ini, kadang kita

tidak bisa hanya membaca sekali saja untuk memahaminya karena bahasa yang

digunakan penulis kitab al-Hikam ini sangat padat dan luas maknanya.

Buku Akhlak dan Adab Islami karya Coihruddin Hadhiri ini sangat bagus

sekali karena isi dari bukunya menjelaskan tentang berbagai macam akhlak dan

pembagiannya secara detail dengan menggunakan dalil al-Qur’ân sebagai penjelas

disetiap pengertian dan contoh yang diberikan.

Tesis tentang Etika guru dan murid menurut Imam al-Nawawî dan

relevansinya dengan UU RI No.14 Th.2005 dan PP RI No.17 karya Sri Andryani

Hamid ini kesimpulan dalam pembahasan tesisnya bahwa baik dalam UUGD

(undang-undang guru dan dosen) atau menurut pandangan al-Nawawî seorang

guru dan murid harus berakhlak dan berperilaku baik, menjunjung tinggi

peraturan undang-undang serta memiliki nilai-nilai agama dan etika. Perbedaan

antara keduanya jika al-Nawawî dalam hal ini menekankan pada Muroqobatullah

atau hukum Taklifi (Undang-Undang Allah), sedangkan UUGD lebih menitik


16

beratkan kepada hukum wadh’i (Undang-Undang Manusia) yang dengan

demikian dapat meningkatkan mutu pendidikan. Banyak lagi etika, perilaku

akhlak yang harus dimiliki seorang guru dan murid, seperti etika personal guru,

dalam mengajar, terhadap murid, terhadap ilmu, terhadap sesama dan etika murid

baik terhadap guru, terhadap sesama serta saat sedang belajar.

Skripsi Nilai-nilai pendidikan islam dalam kitab arbaʻîn al-Nawawî

karangan Nur Rohim hasil dari penelitian skripsi tersebut menjelaskan dan

menyebutkan ada banyak sekali nilai-nilai pendidikan Islam baik secara umum

atau khusus yang terkandung dalam dalam kitab hadis arbaʻîn al-Nawawî. Nilai

Ibadah, Ihsan, masa depan, kerahmātan, amanat, dakwah, dan tabsyir itu semua

merupakan nilai pendidikan islam secara umum sedangkan yang terkandung

dalam kitab hadis arbaʻîn al-Nawawî ada beberapa hal diantaranya tarbiyah

imaniyah (nilai pendidikan keimanan), khuluqiyah (nilai pendidikan akhlak dan

perilaku), ijtimaiyah (nilai pendidikan sosial kemasyarakatan), jinsiyah (nilai

pendidikan seks), nilai pendidikan ikhlas dalam beramal, nilai pendidikan etos

kerja, tingkah laku terpuji dan tingkah laku terpuji, ukhuwah islamiyah

(persaudaraan), ajakan kepada kebaikan.

Dari kajian pustaka yang penulis paparkan belum ada karya ilmiah yang

membahas khusus tentang hadis yang berhubungan dengan akhlak terhadap

sesama makhluk hidup. Karena itu penulis tertarik untuk mengambil judul studi

hadis-hadis akhlak dalam kitab arbaʻîn al-Nawawî.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian
17

Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kualitatif37.

Dimana penulis akan mencari dan mengumpulkan data-data tentang objek

penelitian berupa kata-kata tertulis dari suatu objek yang berkaitan dengan

pembahasan berdasarkan rumusan masalah di atas dan dijelaskan secara

sistematis.38

2. Sumber Data

Adapun sumber data dalam penelitian ini, terbagi menjadi dua kategori,

yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber data primer, merupakan

rujukan utama yang menjadi landasan data yang akan dicari dan di analisis.

Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data lain yang berkaitan

dengan tema penelitian guna memperoleh kelengkapan data penelitian.

Dengan menggunakan arbaʻîn al-Nawawîyyah sebagai data primer serta

karya lain yang dikarang oleh al-Nawawî, juga berbagai karya tulis yang

berhubungan tentang judul yang diteliti seperti, buku-buku ilmiah, tesis,

skripsis yang terdapat dalam kajian pustaka, jurnal atau artikel tentang

pendidikan akhlak dalam perspektif Islam, akhlak dan etika dalam Islam,

pendidikan karakter dalam hadis arbaʻîn al-Nawawîyyah, serta kamus sebagai

data sekunder untuk menunjang dalam proses penelitian.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian skripsi ini yaitu kepustakaan (library

research) ataun dengan menggunakan metode dokumentasi, yaitu dengan

mengumpulkan data 20 dari 42 hadis dari kitab arbaʻîn al-Nawawiyyah.

4. Metode Analisis Data


37
John W. Creswell, Research design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.4-5.
38
Sistematis atau teratur menurut sistem. Lihat KBBI: Pusat Bahasa, h.1321
18

Dalam menganalisa data-data yang sudah terkumpul penulis

menggunakan metode deskriptif39 dengan pendekatan analisis isi.40

a. Deskripsi

Mengumpulkan data dan mengelompokkan hadis-hadis yang sudah

dipilih, kemudian menjelaskan hadis tersebut yang terdapat di dalam arbaʻîn

al-Nawawî.

b. Analisis

Menganalisis menggunakan metode analisis tema hadis, matan atau

secara kebahasaan dengan melihat syarh hadis arbaʻîn. Di mana penulis

pertama mencari tema hadis sebagai kata kunci, kemudian melihat matan dan

syarh hadis tersebut apakan antara ketiganya memiliki relevansi dengan

akhlak. Kemudian setalah itu menyebutkan dan menguraikan dengan jelas isi

kandungan hadis arbaʻîn al-Nawawî yang berkaitan dengan akhlak terhadap

sesama makhluk hidup serta bagaimana penerapannya, agar tidak lagi terjadi

pemaknaan hadis yang dilakukan secara subjektif sehingga dapat

menghasilkan kesimpulan yang objektif41 dan komprehensif42.

H. Sistematika Penulisan

Seluruh pembahasan dalam skripsi ini akan dipaparkan ke dalam beberapa

bab agar pembahasan ini teratur maka sistematika penulisannya adalah sebagai

berikut:
39
Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis (Jakarta: PPM,
2005), h. 105-106.
40
Catherine Dawson, Metode Penelitian Praktis: Sebuah Panduan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 145-146.
41
Objektif atau mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau
pandangan pribadi. Lihat KBBI, h.975.
42
Komprehensif atau besifat mampu menangkap (menerima) dengan baik. Lihat KBBI,
h.721.
19

Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab kedua, tinjauan umum tentang akhlak memuat tentang, pengertian

akhlak, macam-macam akhlak, ruang lingkup akhlak islami dan faktor-faktor

yang mempengaruhi akhlak.

Bab ketiga, berisi sekilas tentang biografi al-Nawawî, kapasitas keilmuan

al-Nawawî, karya-karya al-Nawawî, latar belakang penulisan dan kandungan isi

hadis arbaʻîn al-Nawawî.

Bab keempat, Merupakan bab inti skripsi ini karena penulis membahas

dan memaparkan hasil dari penelitian tentang akhlak yang terkadung dalam

sebuah hadis arbaʻîn al-Nawawî untuk menjawab rumusan penelitian yang telah

dirumuskan sebelumnya.

Bab kelima, merupakan kesimpulan hasil penelitian yang merupakan

jawaban dari masalah yang telah dirumuskan dan saran-saran yang sekiranya

perlu penulis sampaikan berkaitan dengan hasil penelitian ini serta kata penutup.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKHLAK

A. Pengertian Akhlak

Untuk mendefinisikan kata akhlak, kita dapat menggunakan dua

pendekatan yaitu secara linguistic (kebahasaan) dan pendekatan terminology

(peristilahan).1

Pertama akhlak menurut Ibn Miskawaih secara bahasa terbagi

menjadi dua “pertama bahwa akhlak adalah sifat bagi jiwa (batin), kedua sifat

alami manusia yang tertanam dalam jiwa memiliki kehendak yang

kemungkinan sifatnya baik atau buruk2. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia akhlak memiliki arti budi pekerti atau kelakuan,3 kata akhlak

terambil dari bahasa Arab yaitu “al-Khuluq” (‫ )اﻟ ُﺨﻠُ ُﻖ‬yang merupakan jamak

dari “Akhlâq” (‫)اَﺧﻼَ ٌق‬ berarti tabiat atau budi pekerti, “al-‘Âdah” (ُ‫)اﻟﻌَﺎ َدة‬

kebiasaan, “al-Murû’ah” (ُ‫)اﻟ ُﻤﺮُوءَة‬ keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, “al-

Dîn” (‫ﻦ‬
ُ ‫ )اﻟﺪﱢﻳ‬Agama, dan “al-Ghaḏab” (‫َﺐ‬
ُ ‫ )اﻟﻐَﻀ‬kemarahan”. 4

Karena akhlak merupakan buah dari akidah dan syariah yang benar.

Secara mendasar kata akhlak ini erat kaitannya dengan kejadian manusia yaitu

1
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.1.
2
Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâq wa Tathîr al-A’raq, (Mesir: al-Husainiyah al-
Misriyyah, 2012), cet.1, h.11.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustka Umum, 2008),
cet 1, ed. 4, h.27.
4
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 364.

20
21

pencipta dan yang diciptakan. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan

akhlak manusia yaitu untuk memperbaiki hubungan manusia dengan Allah

Ta‘ala dan hubungan baik antara manusia dan manusia. Kata

“menyempurnakan” tersebut berarti akhlak itu bertingkat atau bertahap,

sehingga perlu unutk disempurnakan lagi. Hal tersebut menunjukkan

bahwasanya akhlak itu bermacam-macam, mulai dari akhlak yang sangat

buruk, buruk, sedang, baik, baik sekali hingga sempurna. Rasulullah sebelum

bertugas menyempurnakan akhlak, beliau sendiri sudah berakhlak sempurna

seperti yang sudah Allah jelaskan dalam QS. al-Qalam/68: 4.5

Dalam al-Qur’ân kata akhlâq tidak ditemukan, akan tetapi langsung

menggunakan bentuk tunggalnya yaitu al-Khuluq. Seperti yang dapat

ditemukan dalam contoh di bawah ini:

‫ﱠﻚ ﻟَ َﻌﻠَﻰ ُﺧﻠ ٍُﻖ َﻋﻈِﻴ ٍﻢ‬


َ ‫َوإِﻧ‬
‘’Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.” (QS. al-Qalam/68: 4)6

‫ﲔ‬
َ ِ‫إِ ْن َﻫﺬَا إﱠِﻻ ُﺧﻠُ ُﻖ ْاﻷَﱠوﻟ‬
ʻ’(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang- orang
dahulu.” (QS. al-Syu‘arâ/26: 137)7

8
‫ﲔ إِﳝَﺎﻧًﺎ أَ ْﺣ َﺴﻨُـ ُﻬ ْﻢ ُﺧﻠُﻘًﺎ‬
َ ِ‫أَ ْﻛ َﻤﻞُ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ‬
‘’Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang baik
akhlaknya.” (HR. al-Tirmidzî)

5
Syarifah Habibah, “Akhlak dan Etika dalam Islam”, Jurnal Pesona Dasar Vol.1 No.4,
(Oktober 2015): h.74.
6
Mushaf al-Qur’ân Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia terj. dari Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Qur’ân disempurnakan oleh Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’ân,
(Jakarta: Pustaka Al-Huda Kelompok Gema Insani, 2002), h. 565.
7
Al-Qur’ân dan Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia, h. 573.
8
Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, (al-Riyâd: Maktabah al-
ma'ârif linatsir wa tauri’), cet.1, h.276.
22

9
‫ْﺖ ﻷُِﲤَﱢ َﻢ ُﺣ ْﺴ َﻦ ْاﻷَ ْﺧﻼ َِق‬
ُ ‫ﺑُﻌِﺜ‬
‘’Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR.
Mâlik)

Dapat dilihat dari ayat pertama dan dua di atas menggunakan kata al-

Khuluq untuk arti budi pekerti dan adat kebiasaan, sedangkan dalam kedua

hadis ada yang menggunakan bentuk tunggal dan bentuk jamaknya. Dengan

demikian kata al-Khuluq atau akhlâq secara kebahasaan berarti (tabiat (budi

pekerti), merupakan sifat tingkah laku yang berasal dari (jiwa) hati seseorang

tanpa paksaan berdasarkan kehendak sendiri dan spontan melakukannya.10

Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwasanya akhlak itu memiliki

beberapa arti yang berbeda, perbedaan tersebut dapat dinilai dari berbagai

aspek, salah satunya nilai kelakuan yang berhubungan dengan baik dan buruk,

kepada siapa perilaku tersebut ditujukan dan juga dapat dilihat dari

objeknya.11 Semua itu dipertegas dengan ayat al-Qur’ân yang menjelaskan

keanekaragaman kelakuan manusia12, dasar manusia yang memiliki dua

potensi untuk berkelakuan baik dan buruk.13

Kedua, adapun pengertian akhlak secara istilah sangatlah beragam

seperti di kawasan Timur dunia Islam ada al-Farabi, al-Kindi, dan Ibn

Miskawaih , dan di belahan Barat ada Ibn Majah (Iran) dan Ibn Thufail.14 Dan

9
Mâlik Ibn Anas, al-Muwatta’, (Beirut: Dâr Ihyâ al-turâs al-‘Arabi, 1985), h. 904.
10
Azyumardi Azra., dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),
Jilid. 1, h.130.
11
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân (Bandung; Mizan Media Utama, 2013), h. 337.
12
Teks ayatnya sebagai berikut:
‫َﱴ‬
‫إِ ﱠن َﺳ ْﻌﻴَ ُﻜ ْﻢ ﻟَﺸ ﱠ‬
‘’Sungguh, usahamu memang beraneka macam.” (Q.S. al-Lail/92: 4)
13
Teks ayatnya sebagai berikut:
‫َوَﻫ َﺪﻳْـﻨَﺎﻩُ اﻟﻨﱠ ْﺠ َﺪﻳْ ِﻦ‬
‘’Dan kami telah menunjukan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)”
Q.s. al-Balad /90:10
14
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta:Amzah, 2013), 225
23

menurut para ulama, atau para tokoh pakar yang memberikan perhatian lebih

terhadap bidang akhlak ini di antaranya:

1. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) dikenal sebagai salah satu pakar

bidang akhlak yang terkemuka dengan singkat mengemukakan, bahwa

akhlak adalah: secara bahasa “Akhlak yaitu ilmu yang pada dasarnya

untuk mengetahui keadan jiwa baik itu karakter, tabiat, penyakit,

faedah dan fungsinya bagi jiwa seseorang. Ilmu akhlak: etika yaitu

ilmu yang membahas tentang perilaku manusia dan segala bentuk

perbuatan manusia dalam kesehariannya”.15

2. Ibn al-Jauzi (w.597 H) beliau menjelaskan bahwa kata “khuluq adalah

etika yang telah dipilih seseorang”16, dinamakan khuluq karena etika

bagaikan karakter yang terdapat pada diri seseorang yang sudah

menjadi pilihan yang dipilih oleh orang tersebut secara sadar.17

3. Al-Faiḏ al-Kasyani (w.1091 H), akhlak adalah dimana menunjukan

kondisi mandiri dalam jiwa, yang menimbulkan perbuatan dengan

mudah tanpa didahului perenungan dan pemikiran terlebih dahulu.18

4. Al-Ghazîlî (1059-1111 M) yang dikenal sebagai Hujjatul Islam

(Pembela Islam), beliau mengemukakan pengertian akhlak lebih luas

lagi dibandingkan Ibn Miskawaih yaitu: “kekuatan sifat yang

15
Ibn Miskawaih, Tahdzîb al-Akhlâq wa Tathîr al-A’raq, h. 12.
16
Ibn al-Jauzi, Zad al-Mesir, (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1404) , Jld. viii, h. 328.
17
Pendapat tesebut sesuai dengan pegertian dari Etika, karena persoalan etika ialah segala
perbuatan yang timbul dari diri seseorang dengan ikhtiar atau pemikiran secara masak-masak
dengan sadar,sengaja, dan ia tahu apa yang dilakukannya. Itulah sesuatu yang dapat kita beri
hukum “baik dan buruk” menurut hukum etika, begitu pula segala perbuatan yang timbul tidak
dengan kehendak tetapi dapat mencarikan daya upaya penjagaan sepanjang waktu. Adapun apa
yang timbul bukan dari kehendak, dan tidak dapat dijaga sebelumnya, maka ia bukan dari pokok
persoalan Etika (Bernapas, detak jantung). Lihat Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak) terj. dari al-
Akhlâq oleh Ahmad Amin alihbasa: Farid Ma’ruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. 8, h.2-6.
18
Nâsîr Makârim al-Syayrâzî, al-Akhlâq fî al-Qur’ân, (Qom: Madrasah al-Imâm Alî Ibn
Abî Tâlib, 1425), Jilid 1, h. 14-15.
24

mengakar dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan dengan

spontanitas tanpa memerlukan pemikiran ataupun pertimbangan, kalau

keadaan itu berdasarkan perbuatan baik meurut akal dan syariat maka

itu dinamakan akhlak yang baik atau terpuji (khalqan hasanan).

Sedangkan jika keadaan itu berdasarkan perbuatan jelek (al-Qabîhah)

maka itu dikatakan sebagai akhlak yang buruk ‫ﺧﻠﻘًﺎﺳَﻴﺌًﺎ‬


َ . 19

5. Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa “akhlak ialah kebiasaan

yang dilakukan sesuai kehendak kita”.20 Yaitu dimana menangnya

suatu keinganan dari beberapa macam keinginan manusia yang biasa

dilakukan secara terus menerus (berulang) sehingga menjadi suatu

kebiasaan itu disebut akhlak, tegatung dari keinginan yang menguasai

diri seseorang apakah keinginan yang dilakukan secara berturut-turut

itu perbuatan yang baik atau buruk. Contoh sederhananya jika

seseorang memiliki kehendak untuk membiasakan memberi, maka

kebiasaan itu adalah termasuk dalam akhlak dermawan.21

Menurut istiah definisi akhlak di atas, penulis menganggap dari segi

konsep pengertian akhlak menurut al-Ghazâlî dan Ibn Miskawaih memiliki

kesamaan. Karena keduanya sama-sama menyebutkan bahwa akhlak itu

sesuatu yang sudah tertanam dalam jiwa seseorang sehingga menjadi karakter

atau kepribadian diri orang tersebut, yang menjadikannya dapat berbuat apa

saja dengan mudah, tanpa harus memikirkan dan mempertimbangkan apa

19
al-Imâm Abû hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn
(Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2005), h.934.
20
Ahmad Amîn, Kitâb al-Akhlâq, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1991), h. 3.
21
Mustopa, “Akhlak Mulia dalam Pandangan Masyarakat”, Nadwa Jurnal Pendidikan
Islam Vol.8 No.2, (Oktober 2014): h.267.
25

yang akan terjadi akibat perbuatannya tersebut. Adapun pengertian akhlak

menurut Ahmad Amin bersifat lebih umum, yakni akhlak ialah kehendak

yang dibiasakan. Sehingga kalau kehendaknya membiasakan perbuatan, dan

perbuatannya menjadi terbiasa, maka dapat dinamakan akhlak.

Sering kali istilah akhlak, dikenal juga dengan isitlah “etika” atau

moral. Sehingga secara tidak langsung ada pendapat yang menyamakan

antara ketiganya. Walaupun ada persamaan antara akhlak dan etika yaitu

sama-sama membahas tentang masalah baik-buruknya tingkah laku manusia,

akan tetapi perbedaaan keduanya juga sangat jelas.22

Kata etika berasal dari bahasa Yunani “ethes” yang berarti adat

kebiasaan dan merupakan cabang dari ilmu filsafat, sedangkan kata akhlak

berasal dari bahasa Arab “khuluq”. Alat ukur untuk menentukan baik

burukanya perilaku seseorang antara tiga istilah tersebut tidaklah sama yaitu:

jika etika berdasarkan akal dan pikiran, moral berdasarkan kebiasaan yang

berlaku dalam masyarakat, keduanya memiliki kesamaan juga perbedaan,

yakni etika lebih banyak yang bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak

bersifat praktis. Dan akhlak memiliki alat tolak ukur untuk mengatakan baik

buruknya sifat seseorang menggunakan ajaran agama yaitu al-Qur’ân, al-

Hadis, dan al-Sunnah.23

22
Perbedaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber
yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk
berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral serta susila berdasarkan kebiasaan yang
berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik
dan buruk itu adalah al-Qur’ân dan al- Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1992), h. 1-3.
23
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung:Pustaka Setia, 2008), h. 207-209.
26

B. Macam-Macam Akhlak

Akhlak menurut al-Ghazâlî terbagi menjadi dua bagian yaitu akhlak

terpuji (akhlak mahmudah) dan akhlak yang buruk (mazmumah).24

1. Akhlak mahmud (yang terpuji)

Akhlak mulia merupakan suatu bentuk ketundukan dan ketakwaan

seseorang kepada Allah Swt., sehingga apapun yang kita perbuat di mana

pun dan kapan pun kita berada menimbulkan rasa malu sekaligus takut

kepada-Nya. Seperti dikutip dari Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari, al-

Mawardi mengatakan bahwa seseorang dikatakan berakhlak mulia jika

budi pekertinya halus, berwatak lembut, wajahnya ceria, tidak suka

menghardik25, dan selalu berututur kata yang baik.26

Beberapa perilaku yang termasuk kedalam akhlak mulia ini

diantaranya: beriman27, bertakwa28, rida, dan cinta kepada Allah, beriman

kepada malaikat, kitab, rasul,29 hari kiamat, takdir, taat beribadah, selalu

al-Imâm Abû hâmid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn
24

(Beirut: Dâr al-Ma’rifah), h.53.


25
Menghardik atau mengata-ngatai dengan kata-kata yang keras, berasal dari kata hardik
atau perkataan yang keras. Lihat Kbbi, h. 482.
26
Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari, Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Caara Mencapai
Akhlak Mulia, (Jakarta: Pustaka Imâm Asy-Syafi’i, 2016), h.12.
27
Beriman atau mempunyai iman (kepercayaan, ketetapan hati). Lihat Kbbi, h. 526.
28
Teks Haditsnya sebagai berikut:
‫ﱠﺎس ِﲞُﻠ ٍُﻖ َﺣ َﺴ ٍﻦ‬
َ ‫ َوﺧَﺎﻟ ِِﻖ اﻟﻨ‬،‫ َوأَﺗْﺒِ ِﻊ اﻟ ﱠﺴﻴﱢﺌَﺔَ اﳊَ َﺴﻨَﺔَ ﲤَْ ُﺤﻬَﺎ‬،‫ْﺖ‬
َ ‫اِﺗ ِﱠﻖ اﷲَ َﺣﻴْﺜُﻤَﺎ ُﻛﻨ‬
‘’Bertakwalah kepada Allah dimanapun kamu berada dan ikutilah perbuatan buruk dengan
perbuatan baik, niscaya menghapusnya. Bergaulah dengan manusia dengan akhlak yag luruh.
Lihat Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî,h. 451.
29
Teks al-Qur’annya sebagai berikut:
‫ﱠﱯ‬
‫ُِﻴﺖ ﻓَﺂ ِﻣﻨُﻮا ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ َوَرﺳُﻮﻟِِﻪ اﻟﻨِ ﱢ‬
ُ ‫ْض َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ ُﻫ َﻮ ُْﳛﻴِﻲ َوﳝ‬
ِ ‫َاﻷَر‬
ْ ‫َات و‬
ِ ‫ْﻚ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎو‬
ُ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ إِﻟَﻴْ ُﻜ ْﻢ ﲨَِﻴﻌًﺎ اﻟﱠﺬِي ﻟَﻪُ ُﻣﻠ‬ ُ ‫ِﱐ َرﺳ‬ ‫س إﱢ‬ ُ ‫ﻗُ ْﻞ ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﻨﱠﺎ‬
‫ْاﻷُﱢﻣ ﱢﻲ اﻟﱠﺬِي ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ َوَﻛﻠِﻤَﺎﺗِِﻪ وَاﺗﱠﺒِﻌُﻮﻩُ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَـ ْﻬﺘَﺪُو َن‬
‘’Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah
Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,
Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi
yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. Q.S.al-A’raf/7: 158.
27

menepati janji (Amanat)30, berlaku adil31, berani dalam segala hal yang

positif, bijakssana, pemaaf, murah senyum, zuhud dan tidak rakus terhadap

kehidupan duniawi.32

2. Akhlak Mazmumah (yang tercela)

Akhlak mazmumah atau sering dikenal dengan akhlak tercela,

merupakan sifat yang dapat merusak keimanan seseorang dan menjatuhkan

martabatnya sebagai manusia.33

Pendapat beberapa para ulama tentang akhlak yang buruk

diantaranya: Wahab Ibn Munabbih berkata: “Akhlak yang buruk itu adalah

seperti tembikar yang pecah. Tidak dapat dilekatan lagi dan tidak dapat

dikembalikan lagi menjadi tanah”. al-Fudlail berkata: “Aku lebih suka

ditemani oleh seorang yang kurang beribadah, tetapi berakhlak baik,

daripada ditemani seseorang yang baik ibadahnya, tetapi berakhlak buruk".

lbn al-Mubarak menemani seorang laki-laki yang buruk akhlaknya. Dalam

perjalanan, maka beliau menderita dari buruk akhlaknya orang itu dan

mempergaulinya dengan lemah-lembut. Sewaktu beliau berpisah dengan

orang tersebut, beliau menangis. Maka orang melihat hal itu bertanya

kepadanya, lalu beliau menjawab: “Aku menangisinya. karena kasihan


30
Teks Haditsnya sebagi berikut:
‫َﻚ‬
َ ‫ َوﻻَ ﲣَُ ْﻦ َﻣ ْﻦ ﺧَﺎﻧ‬،‫َﻚ‬
َ ‫أَﱢد اﻷَﻣَﺎﻧَﺔَ إ َِﱃ َﻣ ْﻦ اﺋْـﺘَ َﻤﻨ‬
‘’Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat, dan janganlah kamu berkhianat
kepada orang yang telah menghianati dirimu.” Lihat Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzî,
Sunan al-Tirmidzī,h. 300.
31
Teks Hadits sebagai berikut:
‫ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻳـَ ْﻌ ِﺪﻟُﻮ َن ِﰲ ُﺣ ْﻜ ِﻤ ِﻬ ْﻢ َوأَ ْﻫﻠِﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻣَﺎ َوﻟُﻮا‬،ٌ‫ َوﻛِﻠْﺘَﺎ ﻳَ َﺪ ﻳِْﻪ ﳝَِﲔ‬،‫ﲔ اﻟﺮﱠﲪَْ ِﻦ َﻋﱠﺰ َو َﺟﻞﱠ‬
ِ َِ‫ َﻋ ْﻦ ﳝ‬،ٍ‫ﲔ ِﻋﻨْ َﺪ اﷲِ َﻋﻠَﻰ َﻣﻨَﺎﺑَِﺮ ِﻣ ْﻦ ﻧُﻮر‬
َ ‫ْﺴ ِﻄ‬
ِ ‫إِ ﱠن اﻟْ ُﻤﻘ‬
‘’Sesungguhnya orang-orang yang adil, di sisi Allah kelak, akan berada di atas mimbar-mimbar
cahaya di sebelah kanan Ar-Rahmàn 'azza wajalla, dan kedua tangan Allah adalah kanan. Mereka
itu adalah orang-orang yang adil dalam menetapkan hukum, adil terhadap keluarga, serta adil
terhadap apa yang menjadi tanggung jawab mereka.” Lihat al-Imâm Abû Husain Muslim Ibn al-
Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Saẖîẖ Muslim, (Dâr al-kutub ilmiyyah-Beirut, 1991), h.1458.
32
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam jilid , h.131.
33
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, cet.1 edisi revisi, h. 271.
28

kepadanya, aku berpisah dengan dia dan akhlaknya tidak berpisah dengan

dia”. Umar r.a. berkata: “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang

baik dan berpisahlah dengan mereka dengan perbuatan!”. Yahya bin

Ma’adz berkata: “Keburukan akhlak itu suatu kejahatan yang tidak

bermanfa’at dengan banyaknya perbuatan baik. Kebagusan akhlak itu

suatu kebaikan yang tidak mendatangkan melarat dengan banyaknya

perbuatan buruk”.34

Yang termasuk akhlak tercela diantaranya yaitu: berbuat zalim,

kikir35, berdusta, khianat36, pemarah, pendendam, curang, takabur,

mengadu domba, hasud (dengki atau iri hati), memutuskan tali silaturahmi,

putus asa, mencuri atau mengambil yang bukan haknya, Membicarakan

kejelekan orang lain (bergosip), membunuh, dan segala bentuk tindakan

atau perbuatan yang tercela dan dapat merugikan orang lain menurut

pandangan Islam termasuk akhlak yang buruk.37

al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn terj. dari Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn Menghidupkan ilmu-ilmu
34

Agama oleh Ismail Yakub (Jakarta: Dâr Ibn Hazm, 1963), Jilid 3, h.1032.
35
Teks Haditsnya sebagai berikut:
‫ ﲪََﻠَ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ أَ ْن َﺳ َﻔ ُﻜﻮا ِدﻣَﺎءَ ُﻫ ْﻢ‬،ْ‫َﻚ َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ﻗَـْﺒـﻠَ ُﻜﻢ‬
َ ‫ ﻓَِﺈ ﱠن اﻟ ﱡﺸ ﱠﺢ أَ ْﻫﻠ‬،‫ وَاﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟ ﱡﺸﺢﱠ‬،ِ‫َﺎت ﻳـ َْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَﺎ َﻣﺔ‬
ٌ ‫ ﻓَِﺈ ﱠن اﻟﻈﱡﻠْ َﻢ ﻇُﻠُﻤ‬،َ‫اﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻈﱡﻠْﻢ‬
‫وَا ْﺳﺘَ َﺤﻠﱡﻮا ﳏََﺎ ِرَﻣ ُﻬ ْﻢ‬
‘’Jauhilah Kezaliman, sesungguhnya kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat. Jauhilah
kekikiran, seseungguhnya kekikiran telah membinasakan (umat-umat) sebelum kamu, mereka
saling membunuh dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan.” Lihat al-Imâm Abû Husain
Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisābūrī, Sahîh Muslim, h.1996.
36
Teks Haditsnya sebagai berikut:
‫ َوإِذَا اؤْﲤُِ َﻦ ﺧَﺎ َن‬،‫َﻒ‬
َ ‫ َوإِذَا َو َﻋ َﺪ أَ ْﺧﻠ‬،‫َب‬
َ ‫ﱠث َﻛﺬ‬
َ ‫ إِذَا َﺣﺪ‬:‫َث‬
ٌ ‫آﻳَﺔُ اﳌُﻨَﺎﻓ ِِﻖ ﺛَﻼ‬
‘’Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila berbicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan
bila diamanati dia berkhianat.” Lihat al-Imâm Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhârî,
Sahîh al-Bukhârî, (Damaskus: Dâr, Ibn Katsîr, 2002), h. 28.
37
Choiruddin Hadhiri, Akhlak dan Adab Islami: Menuju Pribadi Muslim ideal, h.24-25.
29

C. Ruang Lingkup Akhlak Islami

Sasaran akhlak Islami menurut M. Quraish Shihab terbagi menjadi

tiga bagian yaitu akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama manusia, dan

akhlak terhadap lingkungan.38

1. Akhlak Terhadap Allah Swt

Akhlak terhadap Allah menempati urutan yang pertama. Bukan

hanya penting tapi juga harus memprioritaskannya39 terlebih dahulu,

karena sangat penting memiliki sikap atau perbuatan yang memang

seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt.

Ada beberapa alasan mengapa manusia perlu untuk berakhlak

terhadap Allah diantaranya: Pertama, Allah-lah yang telah menciptakan

manusia.40 Kedua, Allah-lah yang telah memberikan perlengkapan

pancaindra, serta akal pikiran dan hati sanubari kedapa manusia. Ketiga,

Allah-lah yang memfasilitasi41 berbagai sarana (seperti, bahan makanan

yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang ternak) yang


38
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014), h. 347.
39
Memprioritaskan (mendahulukan) atau mengutamkan sesuatu daripada yang lain. Lihat
KBBI, h. 1102
40
Teks haditsnya sebagai berikut:
‫ ﰒُﱠ ﻳـ ُْﺮ َﺳ ُﻞ‬،‫ِﻚ‬ َ ‫ﻀﻐَﺔً ِﻣﺜْ َﻞ ذَﻟ‬ ْ ‫ِﻚ ُﻣ‬
َ ‫ ﰒُﱠ ﻳَﻜُﻮ ُن ِﰲ ذَﻟ‬،‫ِﻚ‬ َ ‫ِﻚ َﻋﻠَ َﻘﺔً ِﻣﺜْ َﻞ ذَﻟ‬ َ ‫ ﰒُﱠ ﻳَﻜُﻮ ُن ِﰲ ذَﻟ‬،‫ﲔ ﻳـ َْﻮﻣًﺎ‬
َ ِ‫إِ ﱠن أَ َﺣ َﺪ ُﻛ ْﻢ ُْﳚ َﻤ ُﻊ َﺧﻠْ ُﻘﻪُ ِﰲ ﺑَﻄْ ِﻦ أُﱢﻣ ِﻪ أ َْرﺑَﻌ‬
‫ ﻓَـﻮَاﻟﱠﺬِي َﻻ إِﻟَﻪَ َﻏْﻴـُﺮﻩُ إِ ﱠن أَ َﺣ َﺪ ُﻛ ْﻢ ﻟَﻴَـ ْﻌ َﻤ ُﻞ‬،ٌ‫ َو َﺷ ِﻘ ﱞﻲ أ َْو َﺳﻌِﻴﺪ‬،ِ‫ َو َﻋ َﻤﻠِﻪ‬،ِ‫ َوأَ َﺟﻠِﻪ‬،ِ‫ْﺐ رِْزﻗِﻪ‬
ِ ‫ ﺑِ َﻜﺘ‬:‫َﺎت‬
ٍ ‫ َوﻳـ ُْﺆَﻣُﺮ ﺑِﺄ َْرﺑَ ِﻊ َﻛﻠِﻤ‬،َ‫َﻚ ﻓَـﻴَـْﻨـ ُﻔ ُﺦ ﻓِﻴ ِﻪ اﻟﺮﱡوح‬
ُ ‫اﻟْ َﻤﻠ‬
‫ َوإِ ﱠن أَ َﺣ َﺪ ُﻛ ْﻢ ﻟَﻴَـ ْﻌ َﻤ ُﻞ‬،‫ ﻓَـﻴَ ْﺪ ُﺧﻠُﻬَﺎ‬،ِ‫ْﻞ اﻟﻨﱠﺎر‬
ِ ‫َﻞ أَﻫ‬
ِ ‫ ﻓَـﻴَـ ْﻌ َﻤ ُﻞ ﺑِ َﻌﻤ‬،‫َﺎب‬
ُ ‫ ﻓَـﻴَ ْﺴﺒِ ُﻖ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ اﻟْ ِﻜﺘ‬،ٌ‫َﱴ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮ ُن ﺑـَْﻴـﻨَﻪُ َوﺑـَْﻴـ ﻨَـﻬَﺎ إﱠِﻻ ِذرَاع‬
‫ْﻞ اﳉَْﻨﱠ ِﺔ ﺣ ﱠ‬
ِ ‫َﻞ أَﻫ‬
ِ ‫ﺑِ َﻌﻤ‬
" ‫ ﻓَـﻴَ ْﺪ ُﺧﻠُﻬَﺎ‬،ِ‫ْﻞ اﳉَْﻨﱠﺔ‬
ِ ‫َﻞ أَﻫ‬
ِ ‫ ﻓَـﻴَـ ْﻌ َﻤ ُﻞ ﺑِ َﻌﻤ‬،‫َﺎب‬
ُ ‫ ﻓَـﻴَ ْﺴﺒِ ُﻖ َﻋﻠَﻴْ ِﻪ اﻟْ ِﻜﺘ‬،ٌ‫َﱴ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮ ُن ﺑـَْﻴـﻨَﻪُ َوﺑـَْﻴـﻨَـﻬَﺎ إﱠِﻻ ِذرَاع‬‫ ﺣ ﱠ‬،ِ‫ْﻞ اﻟﻨﱠﺎر‬ِ ‫َﻞ أَﻫ‬
ِ ‫ﺑِ َﻌﻤ‬
‘’Sesungguhnya, penciptaan kalian dikumpulkan dalam rahim sang ibu selama empat puluh hari
berupa sperma. Kemudian menjadi segumpa daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus
malaikat untuk meniupkan roh dan menulis empat perkara, yaitu rezeki, ajal, amal perbuatan,
menjadi orang sengsara. Maka demi Allah tiada tuhan kecuali Dia, sungguh ada salah seorang
diantara kalian mengerjakan amalan ahli surga hingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga
kecuali tersisa satu hasta, kemudiaan ia didahului oleh takdir Allah, lalu ia mengerjakan amalan
ahli neraka maka iapun masuk neraka. Dan sungguh, ada diantara kalian mengerjakan amalan
ahli neraka hingga tiada jarak antara dirinya dan neraka kecuali tersisa satu hasta, lalu ia
didahului takdir Allah, lalu ia mengerjakan amalan ahli surga maka ia pun masuk surge.” Lihat
Lihat al-Imâm Abû Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairī al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim, h.2036.
41
Memfasilitasi atau memberikan fasilitas (sarana untuk melancarkan pelaksanaan
fungsi). Lihat Kbbi, h. 389.
30

dibutuhkan manusia untuk kelangsungan hidupnya. Keempat, Allah-lah

yang memuliakan manusia dengan diberikan kemampuan menguasai

daratan dan lautan.42

Seperti yang dikatakan oleh M.Quraish Shihab dalam bukunya

Wawasan al-Qur’ân, titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan

dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Allah tidak memaksa

makluknya untuk tunduk dan menghormatinya, karena jika kita senantiasa

berserah diri kepada-Nya, maka Allah yang akan mengatur segala urusan

makhluknya dengan sebaik-baik apa yang kita kerjakan.43

2. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Dalam al-Qur’ān sering kali ditemui tentang penjelasan yang

berkaitan dengan perbuatan terhadap sesama manusia, mencakup

perbuatan yang bersifat positif atau negatif sesuai dengan apa yang Allah

perintahkan dan larang. Yang juga termuat dalam hadis sebagai berikut:

‫َﻚ‬
َ ‫ ﻓَِﺈﳕﱠَﺎ أَ ْﻫﻠ‬،ْ‫ ﻓَﺎ ْﺟﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ َوﻣَﺎ أَﻣ َْﺮﺗُ ُﻜ ْﻢ ﺑِِﻪ ﻓَﺎﻓْـ َﻌﻠُﻮا ِﻣْﻨﻪُ ﻣَﺎ ا ْﺳﺘَﻄَ ْﻌﺘُﻢ‬،ُ‫ﻣَﺎ ﻧـَ َﻬْﻴﺘُ ُﻜ ْﻢ َﻋْﻨﻪ‬

‫ وَا ْﺧﺘ َِﻼﻓـُ ُﻬ ْﻢ َﻋﻠَﻰ أَﻧْﺒِﻴَﺎﺋِ ِﻬ ْﻢ‬،ْ‫اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ِﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒﻠِ ُﻜ ْﻢ َﻛﺜْـَﺮةُ َﻣﺴَﺎﺋِﻠِ ِﻬﻢ‬
‘’Apa yang kularang, jauhilah. Dan apa yang kuperintah,
lakukanlah semampu kalian. Sesungguhnya, yang membinasakan

42
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, h.127.
43
Teks haditsnya sebagai berikut:
،ِ‫ْﺖ ﻓَﺎ ْﺳﺘَﻌِ ْﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ َوإِذَا ا ْﺳﺘَـ َﻌﻨ‬،َ‫ْﺖ ﻓَﺎ ْﺳﺄ َِل اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ إِذَا َﺳﺄَﻟ‬،‫َﻚ‬ َ ‫َﻆ اﻟﻠﱠﻪَ َِﲡ ْﺪﻩُ ﲡَُﺎﻫ‬ِ ‫ ا ْﺣﻔ‬،‫ْﻚ‬ َ ‫َﻆ اﻟﻠﱠﻪَ َْﳛ َﻔﻈ‬ِ ‫ ا ْﺣﻔ‬،‫َﺎت‬ٍ ‫ُﻚ َﻛﻠِﻤ‬ َ ‫ِﱐ أُ َﻋﻠﱢﻤ‬
‫ﻳَﺎ ﻏُﻼَ ُم إ ﱢ‬
َْ‫َﻲ ٍء ﱂ‬
ْ ‫ﱡوك ﺑِﺸ‬ َ ‫ﻀﺮ‬ ُ َ‫ َوﻟ َْﻮ ا ْﺟﺘَ َﻤﻌُﻮا َﻋﻠَﻰ أَ ْن ﻳ‬،‫َﻚ‬ َ ‫َﻲ ٍء ﻗَ ْﺪ َﻛﺘَﺒَﻪُ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟ‬
ْ ‫ُﻮك إِﻻﱠ ﺑِﺸ‬
َ ‫َﻲ ٍء ﱂَْ ﻳـَْﻨـ َﻔﻌ‬
ْ ‫ُﻮك ﺑِﺸ‬
َ ‫َﺖ َﻋﻠَﻰ أَ ْن ﻳـَْﻨـ َﻔﻌ‬ْ ‫وَا ْﻋﻠَ ْﻢ أَ ﱠن اﻷُﱠﻣﺔَ ﻟ َْﻮ ا ْﺟﺘَ َﻤﻌ‬
.‫ُﻒ‬
ُ ‫ﺼﺤ‬ ‫ﱠﺖ اﻟ ﱡ‬ ْ ‫َﺖ اﻷَﻗْﻼَ ُم َو َﺟﻔ‬ِ ‫ ُرﻓِﻌ‬،‫ْﻚ‬ َ ‫َﻲ ٍء ﻗَ ْﺪ َﻛﺘَﺒَﻪُ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَﻴ‬
ْ ‫ﱡوك إِﻻﱠ ﺑِﺸ‬
َ ‫ﻀﺮ‬ ُ َ‫ﻳ‬
‘’Wahai anak muda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat: jagalah Allah, niscaya Allah akan
menjagamu. Jagalah Allah , niscaya kamu mendapati-Nya bersamamu. Jika kamu meminta, maka
mintalah kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh umat manusia bersatu untuk
member manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya
kecuali dengan sesuatu yang telah ditakdirkan untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk membuat
bahaya kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan
sesuatu yang telah ditakdirkan untukmu. Pena telah diangkat dan tinta telah kering.” Lihat
Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, h. 566-567.
31

umat-umat sebelum kalian adalah mereka banyak bertanya dan


berselisih dengan Nabi.” (HR. al-Muslim)44

Berdasarkan hemat penulis dari pengertian manusia merupakan

makhluk yang berakal budi45 dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah

yang lain (hewan, tumbuhan). Karena itu dapat dikatakan pula setiap

perbuatan yang dikerjakan oleh manusia berasal dari pola pikir dan budi

pekertinya yang sudah tertanam dalam fikiran dan hati seseorang.

Sehingga dapat menghasilkan sebuah akhlak (perilaku) baik atau buruk,

serta dapat dinilai dari niat orang tersebut.46

3. Akhlak Terhadap Lingkungan

Akhlak khusus terhadap lingkungan merupakan bagian yang

termasuk ke dalam akhlak terhadap alam. Dan akhlak terhadap alam

mecakup beberapa akhlak lain seperti akhlak umum terhadap alam, akhlak

khusus terhadap binatang, tumbuhan atau tanaman, penjabarannya secara

lengkap dapat dilihat dalam buku Akhlak dan Adab Islami Bab ke XI

karya Choiruddin Hadhiri.47

lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia serta

mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak

langsung. Lingkungan dibedakan menjadi dua: lingkugan biotik dan

44
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh
Muslim, nomor hadits. 1337), h.1830.
45
KBBI, h.877.
46
Teks haditsnya sebagai berikut:
‫ ﻓَ ِﻬ ْﺠَﺮﺗُﻪُ إ َِﱃ ﻣَﺎ ﻫَﺎ َﺟَﺮ إِﻟَﻴْ ِﻪ‬،‫ أ َْو إ َِﱃ ا ْﻣَﺮأَةٍ ﻳـَﻨْ ِﻜ ُﺤﻬَﺎ‬،‫َﺖ ِﻫ ْﺠَﺮﺗُﻪُ إ َِﱃ ُدﻧْـﻴَﺎ ﻳُﺼِﻴﺒُـﻬَﺎ‬
ْ ‫ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﻛَﺎﻧ‬،‫ َوإِﳕﱠَﺎ ﻟِ ُﻜ ﱢﻞ ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ﻣَﺎ ﻧـَﻮَى‬،‫ﱠﺎت‬
ِ ‫َﺎل ﺑِﺎﻟﻨﱢـﻴ‬
ُ ‫إِﳕﱠَﺎ اﻷَ ْﻋﻤ‬
‘’Sesungguhnya, amalan itu bergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan
apa yang diniatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk
Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang
dinikahinya maka ia akan mendapatkan apa yang ditujunya itu.” Lihat al-Imām Abū ‘Abdillah
Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhârî, jilid 1, h. 7.
47
Choiruddin Hadhiri, Akhlak dan Adab Islami: Menuju Pribadi Muslim ideal, h. 309-
320.
32

lingkugan abiotil. Lingkungan biotik adalah lingkungan yang hidup

misalnya manusia, tanaman atau tumbuhan dan binatang. Lingkungan

abiotik mencakup benda-benda tidak hidup atau benda mati seperti rumah,

gedung, tiang listrik, udara, meja, kursi dan sebagainya. Seringkali

lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai

lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem

pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian

seseorang akhlaq.48

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan

akhlak terhadap diri seseorang baik akhalk pada khususnya dan pendidikan

pada umumnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu aliran Nativisme,

Empirisme, dan Konvergensi.49 diantaranya sebagai berikut:

1. Nativisme50

Nativisme adalah faktor yang sangat mempengaruhi terhadap

pembentukan akhlak diri seseorang merupakan faktor pembawaan dari

dalam, yang bentuknya bersifat pribadi yaitu seperti bakat, akal fikiran,

dan sebagainya. Sehingga jika seseorang sudah memiliki pembawaan yang

48
Ahda Dapong Maulana, “Pengertian Lingkungan, Lingkungan hidup dan upaya
pelestarian,” artikel diakses pada tanggal 2 April 2018 dari
https://www.academia.edu/8123627/Pengertian_Lingkungan
49
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, h.143.
50
Nativisme atau sikap atau paham suatu Negara atau masyarakat terhadap kebudayan
sendiri berupa gerakan yang menolak pengaruh, gagasan, atau kaum pendatang. Lihat KBBI,
h.954.
33

cenderung kepada hal yang baik, maka orang tersebut dengan sendirinya

akan berkelakuan baik atau sebaliknya.51

Karena begitu yakin dengan apa yang dimilikinya (potensi batin

yang ada dalam diri manusia), aliran ini terlihat kurang menghargai dan

memperhitungkan peran dari pembinaan dan pendidikan, karena hanya

fokus pada potensi batin yang ada pada diri manusia. Seperti arti nativisme

dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sikap atau paham suatu

negara atau masyarakat terhadap kebudayaan sendiri berupa gerakan yang

menolak pengaruh gagasan atau kaum pendatang52, menurut hemat penulis

dari pengertian tersebut dapat dilihat faktor ini sangan fanatik53 dengan

apa yang ia fahami sejak awal, jika seseorang memiliki sifat demikian

maka akan sulit untuk membuka hati dan fikirannya terhadap pendapat

yang datang dari luar, karena tidak mungkin bisa dengan mudah

menerimanya tanpa adanya perlawanan.

2. Empirisme

Berbeda dengan aliran nativisme, yang mempengaruhi aliran

empirisme justru sebaliknya yaitu datangnya dari faktor luar. Lingkungan

sosial, baik di masyarakat sekitar orang itu tinggal atau lingkungan

51
Selain itu faktor yang mempengaruhi seseorang dari dalam diri juga meliputi faktor
fisiologis (cabang biologi yang berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan atau zat
hidup(organ, jaringan, atau sel)) dan faktor psikologis (berkenaan dengan psikologi yaitu ilmu
yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada
perilaku). Lihat Abdul Rohman, “Pembiasaan Sebagai Basis Penanaman Nilai-nilai Akhlak
Remaja”, Jurnal Nadwa Vol.6 No.1, (Mei 2012): h.164.
52
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.954.
53
Fanatik atau teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dan
sebagainya). Lihat Kbbi, h. 387.
34

sekolah tempat mendapatkan pembinaan dan pendidikan yang diterimanya

sejak masih anak-anak.54

Aliran ini sangat percaya dengan peran pendidikan yang dilakukan

oleh dunia pendidikan dan pengajaran karena bependapat bahwasannya

yang paling mempengerahui pembentukan diri seseorang berasal dari


55
faktor luar (ekternal) dan sesuai dengan arti dasar yang dimiliki oleh

empirisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni (semua

pengetahuan yang didapat dengan pengalaman).56

Sehingga menurut pemahaman penulis bahwasanya apa yang

seseorang dapat dari dunia pendidikan dan pengalaman lebih utama

mempengaruhi akhlak orang tersebut, jika apa yang didapat dari dunia

pendidikan dan pengajaran itu baik atau buruk, maka dapat membentuk

karakter anak menjadi baik atau buruk sesuai dengan apa yang mereka

terima.

3. Konvergensi57

Aliran konvergensi ini merupakan gabungan dari dua aliran di atas

karena faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak dipengaruhi oleh

dua faktor yaitu oleh faktor internal (pembawaan si anak), dan faktor

54
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, h.143.
55
Faktor eksternal yang juga mempengarahui proses pembentukan karakter (akhlak)
seseorang atau pada saat proses belajar diantaranya dari faktor non sosial dan sosial. Yaitu yang
berasal dari luar diri orang tersebut dapat berupa sarana prasarana, situasi lingkungan baik itu
lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Lihat Apriyanus Umbu Kadu,
“Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Kesulitahn Beljar Mahasiswa Semester IV
Akper Husada Karya Jaya Tahun Akademik 2015/1016”, Jurnal Akademik Keperawatan Husada
Karya Jaya Vol.2 No.2, (September 2016): h.24.
56
Empirisme atau alira ilmu pengetahuan dan filsafat berdasarkan metode empiris
(berdasarkan pengalaman). Lihat Kbbi, h. 370.
57
Konvergensi atau keadaan menuju satu titik pertemuan. Lihat KBBI, h.730.
35

eksternal dari luar (pendidikan dan pembinaan, yang dibuat khusus atau

berlangsung melalui interkasi dalam lingkungan sosial).58

Faktor-faktor pembentukan akhlak di atas tampak sesuai dengan

apa yang ada dalam ajaran Islam. Hal ini dapat kita pahami melalui ayat

dan hadis dibawah ini:

‫َاﻷَﺑْﺼَﺎ َر‬
ْ ‫وَاﻟﻠﱠﻪُ أَ ْﺧَﺮ َﺟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ﺑُﻄُﻮ ِن أُﱠﻣﻬَﺎﺗِ ُﻜ ْﻢ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن َﺷْﻴﺌًﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠﺴ ْﻤ َﻊ و‬

‫َاﻷَﻓْﺌِ َﺪةَ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ْﺸ ُﻜﺮُو َن‬


ْ‫و‬
‘’Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.s.
al-Nahl/16: 78)59

Ayat di atas memberi kita petunjuk bahwa manusia itu memiliki

potensi sejak ia dilahirkan untuk dididik, yaitu dengan apa yang Allah

berikan berupa penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Semua itu

wajib harus kita syukuri60 sebagai modal awal untuk menunjukan rasa

syukur kita, maka kita harus mengisinya dengan selalu mempelajari hal

yang baik dan memeberikan pelajaran untuk anak kita nanti dengan baik.

Semua itu sesuaian dengan apa yang terdapat dalam hadis Nabi

Saw., yang berbunyi:

‫ أ َْو ﳝَُ ﱢﺠﺴَﺎﻧِِﻪ‬،ِ‫ﺼﺮَاﻧِﻪ‬


‫ أ َْو ﻳـُﻨَ ﱢ‬،ِ‫ ﻓَﺄَﺑـَﻮَاﻩُ ﻳـُ َﻬ ﱢﻮدَاﻧِﻪ‬،ِ‫ُﻛ ﱡﻞ ﻣ َْﻮﻟُﻮٍد ﻳُﻮﻟَ ُﺪ َﻋﻠَﻰ اﻟ ِﻔﻄَْﺮة‬
‘’Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah
(rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka
kedua Orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi,
Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhârî).61

58
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 166-167.
59
Al-Qur’ân dan Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia, h. 275.
60
Akmaldin Noor dan Aa Fuad Mukhlis, al-Qur’ân Tematis Akhlak (Jakarta: SIMAQ,
2010), h.36.
61
Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, h.327.
36

Ayat dan Hadis diatas bukan hanya menggambarkan kesesuaian

antara teori nativisme dan empirisme, juga dengan jelas menunjukan

pelaksanaan utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua. Itulah

sebabnya peran orang tua sangat penting untuk menentukan karekter atau

akhlak seorang anak menjadi baik atau buruk, tergantung dari pendidikan

awal yang diberikan orang tuanya. Terutama khususnya Ibu yang

mendapatkan gelar sebagai madrasahtul ula, yaitu tempat berlangsungnya

kegiatan pendidikan pertama kali.62

Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas, menurut

pngamatan penulis faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak

seseorang bukan hanya berasal dari dalam atau luar diri seseorang saja,

tapi keduanya sama pentingnya dan harus saling melengkapi satu sama

lain agar bisa membentuk pribadi yang memiliki akhlak Islami.63

Muliatul maghfiroh dalam kitab Tahdzîb al-Akhlâq karya Ibn

Miskawaih, menyebutkan ada tiga hal penting atau pokok yang dapat

dipahami sebagai materi pendidikan akhlak, yaitu: hal-hal yang wajib bagi

kebutuhan tubuh manusia64, hal-hal yang wajib bagi jiwa65 dan hal-hal

62
kesalehan seorang anak tergantung pada amal-amal yang diperbuat oleh Orang
tuanya, karena anak-anak akan belajar dengan cepat dari apa yang mereka lihat, dengar,
dan rasakan setiap harinya. Lihat kesalehan seorang anak tergantung pada amal-amal
yang diperbuat oleh Orang tuanya, karena anak-anak akan belajar dengan cepat dari apa
yang mereka lihat, dengar, dan rasakan setiap harinya. Lihat Abu Abdullah Mushthafa ibn
al-‘Adawy. Fikih Pendidikan Anak: Membentuk Kesalehan Akhlak Sejak Dini terj. dari Fiqh
Tarbiyah Abna’ wa Tha’ifah min Nasha’ih al-Athibba’ oleh Umar Mujtahid dan Faisal Saleh,
(Jakarta: Qisthi Press, 2009), h.19-20.
63
Kata Islam yang berada dibelakang kata akhlak memiliki poisis sebagai sifat yang
mensifati akhlak tersebut. Akhlak Islam dapat dikatakan sebagai akhlak yang Islami karena semua
perbuatan yang manusia lakukan bersumber pada ajaran Islam yaitu dari Allah Swt., dan
Rasulullah Saw. Lihat Ibrahim Bafadhol, “Pendidikan Akhlak dalam Presfektf Islam”, Jurnal
Edukasi Islam Jurnal Pendidikan Islam Vol.06 No.12, (Juni 2017): h.45.
64
Contohnya seperti Salat dan Puasa
37

yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia66. Ketiga hal

tersebut sangat penting menurut konsep akhlak Ibn Miskawaih, karena jika

tidak seimbang akan mempengaruhi perkembangan akhlak seseorang.67

Berasal dari keturunan (orang tua) yang baik, atau berada di

lingkungan yang baik tidak manjamin orang tersebut akan menajadi baik

pula akhlaknya, walaupun orang tua memberikan pendidikan yang terbaik

untuk anaknya, jika tidak dibarengi dengan memperhatikan lingkungan

dan segala sesuatu yang ada di sekitar sang anak itu bisa mempengaruhi

dalam proses pembentukan karakter anak tersebut. Anak merupakan

cobaan yang diberikan Allah kepada manusia, karena itu jangan sampai

anak itu menjadi fitnah untuk orang tuanya,68 sebaliknya jika dapat

menghadapi cobaan (mendidik, menasehati, mengingatkan, menunjukan,

memperhatikan, mendorong mereka kepada kebaikan dan menjauhi

keburukan) dengan baik dan benar pahala yang melimbah untuk keduanya

(orang tua).69

Seseorang yang baik akhlaknya sejak masa kanak-kanak, ketika

anak itu sudah dewasa dan memiliki pemikiran sendiri dan prisip sendiri,

maka tidak menutup kemungkinan akhlak orang tersebut akan tetap baik

65
Seperti pembahasan tentang akidah yang benar, meng-Esakan Allah dengan segala
kebesaran-Nya serta memotivasi untuk senang terhadap ilmu.
66
Contohnya eperti ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan
dan sebagainya.
67
Muliatul Maghfiroh, “Pendidikan Akhlak Menurut Kitab Tahdzîb al-Akhlâq Karya
Ibnu Miskawaih”, Jurnal Tadrîs Vol.11 No.2, (Desember 2017): h.84
68
Abu Abdullah Mushthafa ibn al-‘Adawy. Fikih Pendidikan Anak: Membentuk
Kesalehan Akhlak Sejak Dini terj. dari Fiqh Tarbiyah Abna’ wa Tha’ifah min Nasha’ih al-
Athibba’ oleh Umar Mujtahid dan Faisal Saleh, (Jakarta: Qisthi Press, 2009), h.265.
69
Teks Ayatnya sebagai berikut:
‫إِﳕﱠَﺎ أَْﻣﻮَاﻟُ ُﻜ ْﻢ َوأَوَْﻻ ُد ُﻛ ْﻢ ﻓِْﺘـﻨَﺔٌ وَاﻟﻠﱠﻪُ ِﻋﻨْ َﺪﻩُ أَ ْﺟٌﺮ َﻋﻈِﻴ ٌﻢ‬
‘’sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala
yang besar.” Q.S. al-Taghābun/64: 15
38

seperti waktu ia masih kecil, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan di

era globalisasi saat ini kita perlu memiliki kemampuan untuk menghadapi

segala macam situasi dan kondisi, karena itu dibutuhkan pendidikan dan

pengalaman untuk menghadapi tantangan tersebut dengan baik dan benar

sesuai dengan akhlak Islam.70

Menjadi orang tua tidak mudah dan banyak sekali tangung jawab

yang harus dilakukan, tidak terlepas hanya dengan menyekolahkan dan

mendidik anak di dalam keseharian, tetapi juga harus terus selalu

mengawasi perkembangan akhlak anaknya itu bahkan sampai ia dewasa

dan menikah, seorang anak masih sangat memerlukan peran orang tua

untuk mengarhkan kepada perilaku yang baik.71

E. Kriteria Akhlak

Dalam kehidupan sehari-hari manusia memiliki banyak sekali macam

kegiatan. Akan tetapi dalam konteks akhlak, tidak semua kegiatan itu masuk

ke dalam kriteria yang dibahas oleh ilmu akhlak, tidak juga mengandung nilai

baik dan buruk karena ada kegiatan yang dilakukan di luar control atau

kehendak manusia seperti, pernapasan, peredaran darah, dan denyut jantung.

Ada juga aktivitas yang memang didorong dan didahului oleh kehendak, tekad

bahkan sudah dipikirkan lama sebelum melakukannya seperti menonton,

memuji, memaki, dan sebagainya.

Sedangkan aktifitas yang masuk kriteria akhlak adalah menyerupai

kegiatan yang dikehendaki dan di bawah control, dan meski terjadi itu

70
Ahmad Muhammad al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad Saw,. Keluhuran dan
Kemuliaannya terj. dari Min Akhlāqin-Nabiy oleh Abdul Latif As-Subky, (Jakarta: Bulan Bintang,
1981), h.41-42.
71
Abu Abdullah Mushthafa ibn al-‘Adawy. Fikih Pendidikan Anak: Membentuk
Kesalehan Akhlak Sejak Dini, h.263.
39

disebabkan oleh satu atau lain sebab, misalnya perubuatan atau prilaku di

karenakan lengah, lupa, terpaksa, atau akibat gerak refleks. Hal tersebut tentu

bisa diberi penilaian setalah memperhatikan sebab-sebab terjadinya serta

dampak-dampak yang diakibatkannya.72

72
M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita Akhlak. (Tangerang Selatan: Lentera Hati,
2016), h. 10.
BAB III

AL-NAWAWÎ DAN HADIS ARBAʻÎN

A. Biografi al-Nawawî

1. Nama dan Nasab

Nama lengkap al-Nawawî adalah Yahyâ ibn Syaraf al-Harrânî al-

Dimasyaqî al-Syâfi’î. Dia dikenal dengan sebutan al-Nawawî, karena

namanya dinisbahkan kepada tempat kelahiran dan tempat wafatnya di daerah

bernama Nawâ, sebuah Negeri di Hawran dalam kawasan Syam (Syria) di

selatan propinsi Damaskus, lahir pada bulan Muharram, tahun 631 H (1233

M).1

2. Gelar

Muhyiddīn merpakan gelar (laqab) yang al-Nawawî dapat, yang berarti

yang menghidupkan agama. Sifat tawâḏu’2 yang ada pada dirinya membuat

beliau tidak menyukai gelar tersebut. Karena itu beliau pernah berkata “Aku

tidak memberikan tempat bagi orang yang memberikan gelar “Muhyiddîn”

kepadaku.” 3 Walaupun sebenarnya beliau pantas mendapatkan gelar tersebut

karena sumbangannya dalam bidang keilmuan yang begitu besar serta

karyanya yang cukup banyak sangat membatu dan menjadi rujukan para

ulama dan kaum muslim dari sezaman sampai saat ini. Bukan hanya ilmunya

1
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibnu Ṣâleḥ Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah,
(Kairo: Dîr Ibn al-Jauzî, 2014), h. 5.
2
Tawâḍu’ atau tawaduk adalah sifat rendah hati yang dimiliki seseorang. Lihat KBBI,
(Jakarta: Gramedia Pustka Umum, 2008), cet 1, ed. 4, h. 1412.
3
Salim Ibn ‘Ied al-Hilali, shahih dan Dha’if kitab al-Adzkâr terj. dari Sahîh kitâb al-
Adzkâr wa Dha’îfuhu Oleh Muslim Arif dan M.Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’i,
2004), h.31.

40
41

yang begitu luas seperti sifat (Zuhud4, Wara’5, Amar Ma’ruf nahi mungkar6)

yang beliau miliki Seperti yang dikatakan oleh Syekh Syamsuddin Ibn al-

Fakhr al-Hanbali dalam Syarah Arbaʻîn al-Nawawî mengatakan, “Beliau

seorang imam yang luas ilmunya dan kuat dalam berbagai ilmu yang ia

miliki, hafiz, menyusun banyak karya tulis, sangat wara’ dan zuhud dalam

berprilaku sehari-hari.”7

3. Nama Julukan al-Nawawî

Abû Zakariyâ julukan (kunyah) al-Nawawî, akan tetapi Zakariyâ

bukanlah nama anaknya, karena sampai wafatnya, beliau belum menikah.

Nisbah beliau kepada al-Hizami, dinisbatkan kepada kakek tertuanya yaitu

Hizam. Sebagian nenek moyang al- Nawawî ada yang mengatakan dan

mengaku bahwa asal dinisbatkan kepada Hizam berasal kepada ayah seorang

Sahabat yang bernama Hakim Ibn Hizam, maka beliau berkata: “Semua itu

keliru”.8

4
Zuhud adalah perihal meninggalkan keduniawian, yaitu kondisi di mana terbebasnya
hati seseorang dari belenggu dunia sehingga segala upayanya tercurahkan untuk meraih kemuliaan
di akhirat semata. Lihat KBBI, h. 1573
5
Sifat Wara’ yang dimaksud di sini adalah meninggalkan semua yang diharamkan oleh
Allah maupun semua hal yang yang masih Syubhat (samar-samar), serta tidak berlebih-lebihan
dalam melakukan apa-apa yang hukumnya mubah. Lihat Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari,
Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Caara Mencapai Akhlak Mulia, (Jakarta: Pustaka Imām Asy-Syafi’i,
2016), h.513.
6
Amar -ma’ruf (menyuruh berbuat kebajikan) dan Nahi-mungkar (dan melarang berbuat
kejahatan), bagi orang yang melakukan perbuatan itu jika dia menyakini ajakannya tidak akan
diterima maka wajib. Karena yang diwajibkan itu adalah perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar,
bukan diterima atau ditolaknya. Lihat Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi
terj. dari al-Wafi fi Syarhil Arba’în al-Nawawîyyah oleh Rohidin Wakhid, (Jakarta: Qisthi Press,
2017), cet.2, h.285.
7
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn Daqîq
al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sâliḥ Ibn Utsaimîn, Syarah Arba’în an-Nawawî: Penjelasan 42 Hadits
Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam terj. dari Ad-Durrah as-Salafiyyah Syarah al-Arba’în
al-Nawawîyah oleh Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2015), h.xvii.
8
Imam al-Nawawî, Terjemah Riyâdhuṣ Ṣâlihîn oleh M.Yazid Nuruddin, (Jawa
Tengah: Cordova Mediatama, 2010), h.13.
42

4. Wafat

Setelah menetap di Damaskus, al-Nawawî berziarah ke Baitul

Maqdis, kemudian kembali pulang ke kampung halamannya, Nawâ. Lalu

beliau sakit di rumah ayahnya, al-Nawawî kemudian meninggal pada

malam rabu tanggal 24 rajab 676 H (1278 M), dan dimakamkan di

desa itu saat usianya 45 tahun. 9

Syuria (Nawâ)
631 H / w. 676 H

Palestina Damaskus (649 H)


Berziarah

B. Kapasitas Keilmuan al-Nawawî

Saat masih kecil al-Nawawî lebih menyukai membaca al-Qur’ân dari

pada bermain. Beliau sudah hafal al-Qur’ân sebelum menginjak usia baligh

di bawah bimbingan seorang ulama bernama Syekh Yasin Ibn Yusuf al-

Zarkaisyi dan perhatian dari sang ayah. Dididik oleh ayahnya bernama Syaraf

Ibn Muri yang menangani langsung pemeliharaan dan pendidikannya,10 dia

9
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 5.
10
Ayahnya memberikan perhatian khusus kepada anaknya dan berdo’a agar Allah
memberkahi anaknya, karena mendapatkan tanda dari Allah sewaktu Imam al-Nawawî masih
43

terkenal dengan kesalehan dan ketakwaannya. Dikatakan bahwa al-Nawawî

yang terkenal pintar itu, di masa kecilnya selalu menyendiri dari teman-

temannya yang suka menghabiskan waktu untuk bermain. Dalam kondisi

yang demikian al-Nawawî yang dari kecilnya mendapat perhatian besar dari

orang tuanya, banyak menggunakan waktunya untuk membaca dan

mempelajari al-Qur’ân.11

Yasin Ibn Yusuf al-Zarkasyi berkata “Aku melihat Imam al-Nawawî

saat berumur 10 tahun, ia tidak suka bermain seperti layaknya anak-anak

sebayanya, bahkan sampai berlari sembari menangis ketika suatu saat diajak

bermain dengan paksa oleh teman-temannya. Yasin juga berkata “aku

mendatangi gurunya dan berwasiat kepadanya dan aku katakan

“Sesungguhnya ia (al-Nawawî) dapat diharapkan menjadi orang yang paling

pandai di zamannya, yang paling zuhud dan manusia dapat mengambil

manfaat darinya.” Maka guru tersebut berkata kepadaku, “apakah engkau ini

tukang ramal?” Aku katakan, “bukan, ini hanyalah menurut wawasan yang

Allah berikan kepadaku.”12 Melihat hal itu Yasin datang kepada orang tua al-

Nawawî dan menyarankan agar orang tuanya lebih memperhatikan

pendidikannya, sejak saat itu juga perhatian sang ayah semakin besar

terhadap Imam al-Nawawî.

Pada saat berumur 19 tahun, sekitar tahun 649 H, beliau datang ke kota

Damaskus tinggal dan belajar di madrasah Ruwâhiyah yang berada di pojok

berumur 7 tahun pada malam ke 27 Ramadhan yang diperkitakan salah satu malam turunnya
Lailatul Qadar. Beliau melihat seberkas cahaya menerangi rumahnya, karena terkejut dan belum
mengerti apa-apa pada saat itu ia membangunkan orangtuanya dan menceritkan hal tersebut.
11
Abdullah AS, Achyar Zein, Saleh Adri, “Manhaj Imam al-Nawawî dalam kitab al-
Arba’în al-Nawawîyyah: Kajian Filosofi di Balik Penulisan kitab hadis al-Arba’în al-
Nawawîyyah”, Journal of Hadits Studies,Vol.1 No.2, (Juli-Desember 2017): h.31.
12
Ibn Daqîqil ‘Ied, Syarah Hadiṡ Arba’în terj. Syarh Matan Al-Arba’în al-Nawawîyyah
oleh Abu Umar Abdullah Asy-Syarif, (Bogor: Pustaka al-Tibyan, 2002), h. 12.
44

timur Masjid Al-Umawi, bersama ayahnya untuk belajar kepada para ulama

besar. Karena lingkungannya di Nawâ tidak dapat memenuhi kehausannya

akan ilmu pengetahuan, sang ayah membawanya ke Damaskus. Sejak saat itu

beliau sudah memulai langkahnya dalam menuntut ilmu mencurahkan semua

waktu, pikiran, dan tenaganya untuk beajar, ia tidak pernah (banyak)

meletakkan lambungnya di atas bumi (tidur) meski jarang sekali beliau untuk

beristirahat (tidur) tapi semua itu membuahkan hasil dengan mendapatkan

banyak ilmu dari kerja kerasnya.13

Ulama yang pertama kali ditemuinya saat tiba di Damaskus adalah

seorang Imam juga khatib Masjid al-Jami’ al-Umawiyy yaitu Syekh Jamâl al-

Dîn ʼAbd al-Kafi Ibn ʼAbd Malik Ibn ʼAbd al-Kafial-Raba’i al-Dimasyqî,

kemudian imam tersebut membawa imam al-Nawawî ke majlis ilmu mufti

Syam untuk belajar dari seseorang bernama Taj al-Dîn ʼAbd al-Rahman Ibn

Ibrahim Ibn Diya’ al-Fazari yang lebih dikenal dengan panggilan Ibn al-

Firkah. Dari situ awal mula al-Nawawî mulai berusha untuk lebih

bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu serta mulai hidup secara

sederhana dan zuhud. 14

Beliau bersekolah selama kurang lebih dua tahun di Ruwâhiyah. Selama

menyelesaikan pelajarannya di sekolah karena ingin mendalami semua

pelajaran yang diberikan di sana beliau mampu menghafal kitab at-Tanbîh

hanya dalam jangka waktu empat setengah bulan dan hafal Rubu’ ʼIbādat

dari kitab al-Muhadzdzab kursng dari setahun dihadapan Syek beliau al-

13
Salim Ibn ‘Ied al-Hilali, Shahīh dan Dha’if kitab al-Azkâr, h.32.
14
Mohamad Syukri Abdul Rahman dan Mohammad b.Seman,”Ketokohan dan
Kewibawaan Imam al-Nawawî dalam bidang ke Ilmuan”, Jurnal Pengajian Islam, Akademi Islam
Kuis, Bil.7 Isu 1: 2014 e.ISSN: 1823-7126, h. 23.
45

Kamal Ishaq Ibn Ahmad hal itu membuat beliau kagum dan terus

membimbing termasuk mengoreksi hafalan imam al-Nawawî.15

Kesungguhan belajar imam al-Nawawî dapat dilihat pula dari mata

pelajaran yang setiap harinya beliau pelajari, ada dua belas (12) mata

pelajaran yang ditekuni dari setiap ulama yangberasa di Damaskus. Baik

dengan Syarh (penjelasan isi kitab) maupun ta’liq (penjelasan hal yang sukar

unutuk dimengerti, keterangan bahasa, dan koreksi bahas).

Kedua belas mata pelajaran tersebut diantaranya:

1. Dua pelajaran tentang kitab ʼAl-Wasith (Fikih)

2. Satu pelajaran dengan kitab Al- Muhadzdzab (Fikih)

3. Satu pelajarn dengan kitab Al- Jam’u Baina Ash-Shahihain (Metedologi

Hadis)

4. Satu pelajarn dengan kitab Shahih Muslim (Hadis)

5. Satu pelajarn dengan kitab Al-Luma’ fin Nahwi karya Ibn Jinni (Nahwu)

6. Pelajaran tentang Islahul Manṭiq

7. Satu pelajaran tentang Taṣrif (Sharf)

8. Satu pelajaran tentang Ushul Fiqh (terkadang membaca kitab Al-Luma’

karya Abu Ishaq atau terkadang membaca kitab al-Muntakhab karya

Fakhruddin ar-Razy)

9. Satu pelajaran tentang Asma’ul Rizal (kitab yang menerangkan tentang

biografi para perawi hadis)

10. Satu pelajaran tentang Ushuluddin

15
Abdullah AS, Achyar Zein, Saleh Adri, “Manhaj Imam al-Nawawî dalam kitab al-
Arba’în al-Nawawîyyah, Journal of Hadiṡ Studies,Vol.1 No.2, (Juli-Desember 2017): h.31.
46

11. Dan terakhir beliau pernah mempelajari ilmu kedokteran dan mengkaji

kitab al-Qanun fiṭ-Ṭibbi (Ensiklopedi Kedokteran) karya Ibnu Sina.16

Abu al-Attar mengatakan bahwa guru Imam al-Nawawî pernah

bercerita kepadanya tentang beliau yang tidak pernah menyia-siakan

waktunya sekejap pun. Waktunya dihabiskan untuk selalu membaca dan hal

ini berlangsung selama enam tahun. Selain itu beliau juga mengarang,

mengajar dan memberikan nasihat-nasihat dalam kebaikan. Sehari semalam

beliau hanya makan sekali saja pada akhir ‘Isya atau menjelang sahur, begitu

pun dengan minum. Hal ini disebabkan karena kesibukannya mengarang,

menyebarkan ilmu, beribadah, berdzikir dan berpuasa. Beliau tidak

memperhatikan kehidupannya yang pas-pasan, baik itu dalam hal sandang

maupun pangan. Pakaian beliau pun hanya terbuat dari kulit.17

1. Guru al-Nawawî

Dalam mencari ilmu, al-Nawawî adalah seseorang yang haus akan

ilmu. Pendidikan awalnya beliau dapatkan dari bimbingan langsung ayahnya

yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaannya. Seperti yang telah

diceritakan bahwa al-Nawawî kecil sudah menampakkan ketertarikan yang

begitu besar pada ilmu. Melihat hal ini, atas saran seorang Syekh, ayahnya

membimbingnya dalam belajar dan memasukkan beliau ke sebuah sekolah

untuk mempelajari lebih banyak ilmu. Selama menuntut ilmu beliau tidak

pernah menyianyiakan waktunya. Tampaknya beliau memahami betul

keutamaan ilmu salah satunya yaitu apabila seseorang bersungguh-sungguh

16
Imam al-Nawawî, Terjemah Riyâdhuṣ Ṣâlihîn oleh M.Yazid Nuruddin,h. 14-15
17
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah Arba’în al-Nawawî: Penjelasan 42
Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran, h. xiv.
47

dalam menuntut ilmu, maka ilmu itu pun akan memberikan sebagian dari

padanya kepada orang tersebut. Hal ini terbukti dengan keluhuran ilmu dan

budi pekerti yang dimiliki oleh sang imam.18

Diketahui semasa hidupnya beliau berguru pada banyak guru yang

âterkenal. Di antaranya beliau berguru pada al-Riḏâ ibn al-Burhâni, Abdul

Azîz ibn Muhammad al-Anṣârî, Zainud Dîn Abdud Dâim, Imâdud Dîn Abdul

Karîm al-Harastânî,19 gurunya di bidang hadis dan ilmu-ilmu hadis adalah:

1. Abdurrahman ibn Salim ibn Yahya al-Anbari (661 H)

2. Abdul Azîz ibn Muhammad ibn Muhsin al-Ansârî (662 H)

3. Khalid ibn Yusuf an-Nablisi (663 H)

4. Ibrahim ibn Isa al-Muradi (668 H)

5. Ismail ibn Abu Ishaq al-Tanukhi (672 H)

6. Abdurrahman Ibn Abu Umar al-Maqdisi (628 H).

Di bidang fiqih dan ushul fiqih antara lain:

1. Al-Farkah Abdurrahman Ibn Ibrahim al-Fazari (690 H). Seorang Mufti

Syam yang merupakan guru pertama Imam al-Nawawî ketika pindah ke

Dimasyq pada usia 18 tahun. Nama lengkapnya Syeikh Tajuddin Abdurrahman

bin Ibrahim bin Dhiya Al-Fazary atau lebih dikenal dengan nama Syeikh Farkah

2. Imam Abu Ibrahim Ishaq Ibn Ahmad al-Maghribi (650 H)

3. Abu Muhmammad Abdurrahman Ibn Nuh al-Maqdisi (665 H)

4. Abul Hasan Salar Ibn Hasan al-Irbili (670 H)

5. Abu Hafsh Umar Ibn Bandar al-Taflisi (672 H)


18
Jamal Ahmed Badi, Sharh Arba’een an Nawawî: Commentary of Forty Hadiths of Al
Nawawî, (e-book dari website: fortyhadith.com, dari The Kulliyyah of Information
Communication Technology (KICT)-International Islamic University Malaysia (IIUM), 29
November, 2001:3)
19
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 5.
48

Di bidang bahasa, sharaf, dan nahwu yaitu Ahmad Ibn Salim al-Mishri (664

H) dan Ibnu Malik.20

2. Murid al-Nawawî

Karena keluhuran ilmunya, beliau amat terkenal dan disegani oleh

banyak orang. Banyak orang yang berguru kepada al-Nawawî . Bahkan di

antara murid-muridnya tersebut adalah seorang ulama. Diantaranya adalah:

1. Alâud Dîn Ibn al-Attâr, yang mengarang kitab al-Fatawa. Kitab yang

merupakan kumpulan berbagai persoalan tidak disusun berdasarkan

tema per tema.

1. Al-Khatîb Sadrud Dîn Sulaimân al-Ja’farî

2. Syihâbud Dîn Ahmad Ibn Ja’wân

3. Syihâbud Dîn Ibn al-Arbadî21

Dari hasil didikan beliau, bermunculanlah para ulama besar seperti:

2. ʼAlaud Dîn ‘Ali Ibn Ibrahim (Ibn ʻAttar)

3. Sulaiman Ibn Hilal al-Ja’fari

4. Ahmad Ibnu Farh al-Isybili

5. Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Sa’dullah Ibn Jama’ah

6. Syamsud Dîn Ibn al-Naqib

7. Syamsud Dîn Ibn Ja’wan22

3. Sifat dan Kemuliaan Imam Al-Nawawî

Al-Nawawî terkenal akan ketakwaannya yang begitu tinggi. Beliau

adalah seseorang yang sangat menjaga dan membatasi diri dari perkara haram

20
Imam al-Nawawî, Terjemah Riyâdhus Sâlihîn oleh M.Yazid Nuruddin, h.15
21
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nāsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arba’în al-Nawawîyyah, h. 5.
22
Salim Ibn ‘Ied al-Hilali, Shahīh dan Dha’if kitab al-Adzkâr terj. dari Sahîh kitâb al-
Adzkâr wa Dha’îfuhu Oleh Muslim Arif dan M.Abdul Ghoffar, h. 33.
49

dan syubhat. Bahkan beliau pun sangat menjaga diri dari perkara yang

mubah. Hal ini dikarenakan rasa takut yang begitu besar dalam dirinya akan

rasa tamak datang kepadanya jika melakukan perkara yang mubah. Perkara

mubah ini dikhawatirkan akan menjalar menjadi perkara yang syubhat dan

akhirnya menjalar menjadi haram. Beliau sangat menjaga hal ini semata-mata

karena rasa takut yang sangat besar akan murka Allah.

Dalam diri beliau terkumpul keluasan ilmu, terutama dalam bidang

fiqih dan hadis. Di antaranya beliau meriwayatkan kitab-kitab hadis yang

muktabar dengan sanad yang tinggi kepada para imam yang menulis kitab-

kitab tersebut. Ibn aththar menyebutkan al-Nawawî adalah seorang hafidz

dalam hadis-hadis Nabi Saw., dan sangat memahami kategori hadis seperti

shahih, cacat, dan gharibnya.

4. Mazhab Imam al-Nawawî

Dalam masalah akidah Imam al-Nawawî bermazhab Syafiʻi. Kadang-

kadang beliau membuat takwil mengikut metodologi ulama muta’akhkhirin.

Banyak pandangan beliau berasaskan usul akidah ahli Sunah dipaparkan

dalam kitabnya Syarh Muslim. Bagaimanapun guru beliau dalam ilmu Tauhid

tidak dapat diketahui dengan jelas dan diyakini bahawa beliau belajar

daripada salah seorang gurunya. al-Yafi’i dan Imam al-Taj al-Subkir bertegas

menyatakan bahawa beliau bermazhab Asy’ari Beliau mempunyai risalah

dalam ilmu Tauhid yang dinamakan al-Maqasid. Risalah ini merupakan hasil

tunggal penulisan beliau dalam ilmu Tauhid. Dalam masalah Fiqh beliau
50

bermazhab Syafi’i. Beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak dan tetap

setia kepada mazhab Syafi’i.23

C. Karya-karya Imam al-Nawawî

Hasil dari ketekunan dalam menuntut ilmu, beliau tuangkan dalam

banyak buku yang dikarangnya. Jumlahnya sekitar 40 kitab. Beliau menulis

di berbagai bidang ilmu seperti fiqih, hadis syarah hadis, musthalah hadis,

bahasa dan akhlak. Seperti Syarh Sahîh Muslim, Riyâḏus Sâlihîn, al-Adzkâr,

al-Arbaʻîn, al-Rauḏah, al-Majmû’ at-Tibyân.24

Di antaranya adalah, dalam bidang hadis:

1. Syarh Sahîh Muslim al-Nawawî. Beliau menulis buku ini pada tahun 674

H, atau dua tahun sebelum kematiannya. Buku ini merupakan buku

terakhir yang ditulisnya dan memiliki 11 jilid

2. Riyâḏus Sâlihîn. Kitab ini memuat berbagai macam hadis, merupakan

himpunan hadis shahih yang berkaitan dengan akhlak, adab, dan

pembersihan jiwa yang tidak hanya diriwayatkan oleh al-Imam Muslim

saja, tetapi dari riwayat imam yang lain secara umum. Kitab ini juga

merupakan kapita selekta hadis-hadis sahih yang disusun secara

sistematis terdiri dari 256 bab. Dalam menampilkan hadis-hadis Nabi,

imam Nawawî selalu mengawali dengan ayat-ayat Alquran yang relevan

dan mengakhirinya dengan penjelasan kata dalam redaksi/teks hadis yang

sulit dipahami. Materi yang terdapat di dalamnya berisi anjuran untuk

23
Abdullah AS, Achyar Zein, Saleh Adri, “Manhaj Imam al-Nawawî dalam kitab al-
Arba’în al-Nawawîyyah, Journal of Hadiṡ Studies, h. 24.
24
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 5.
51

melaksanakan amal-amal utama dan menjauhkan diri dari perbuatan yang

terlarang (al-targhib wa al-tarhib, zuhd, dan riyadah al-nafs). Kitab ini

diselesaikan penulisannya pada hari senin tanggal 14 Ramadan 670 H.

3. Al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah. Merupakan sebuah buku saku yang

menghimpun 42 hadis Nabi yang di tulis oleh al-Nawawî. Meskipun

kitab arbaʻîn ini merupakan karya yang masuk ke dalam bidang hadis

tetapi muatannya adalah sebagian besar berkaitan akhlak.

4. Kitab Al-Irsyâd fî ʼUlum al-Hadis

5. Kitab Khulâsah fî al-Hadis

6. Taqrīb Wa at-Taisîr Li Ma’rifah Sunan al-Basyir al-Nadzir. Karya ini

merupakan ringkasan dari Kitab al-Irsyâd fî ʼUlum al-Hadis

7. Dasar-dasar ilmu Hadis. Buku ini merupakan ringkasan dari kitab al-

Irsyâd

Dalam bidang Fiqih:

1. Raudhatu At-Tâlibîn wa ʼUmdatul Muftiyîn. Kitab ini merupakan

ringkasan dari Syarah Al-Kabir karya Al-Rafi’i dan menjadi kitab fiqih

terkemuka dalam madzhab Syafi’i. al-Nawawî mulai menulis kitab ini

pada 25 Ramadhan 666 H dan selesai pada 669 H dengan 8 jilid.

2. Kitab al-Majmû’, yakni salah satu kitab karya Imam an-Nawawî yang

merupakan Syarh al-Muhadzdzab yang terdiri dari beberapa

permasalahan, antara lain yang menyangkut ibadah, muamalah,

munakahat, jinayat dan masalah-masalah yang berhubungan

dengan‘ubudiyah. Masalah-masalah tersebut dibahas secara rinci dengan

menggunakan tafsiran al-Qur’ân dan hadis Nabi Saw., fatwa-fatwa


52

sahabat yang mauquf dan lain-lainnya, beberapa kaidah-kaidah dan

cabang ilmu pengetahuan yang perlu diketahui. Terdiri dari 27 juz tetapi

belum selesai.25

3. Kitab al-îdâh fî Manâsik al-Haji wa al-Umrah, yakni kitab yang

membahas secara khusus perihal manasik haji. Kitab ini disyarahi oleh

Ali bin Abdullah bin Ahmad bin al-Hasan. Karya ini merupakan

ringkasan dari karya Ibn Salah al-Shahrazuri (w. 643 H/ 1245 M) yang

berjudul Silah al-Nasik fi Sifah al-Manasik dengan beberapa tambahan

yang disusun secara sistematis oleh al-Nawawî menjadi delapan bab

tanpa disertakan dalil-dalil yang terdapat pada kitab asslinya. Karya ini

diselesaikan pada bulan Rajab 667H.

4. Kitab al-Fatwa, yakni kitab tentang fikih yang kemudian dikenal dengan

masâil al-mansyrah.

Dalam bidang bahasa:

1. Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughah. Kitab ini mengenai bahasa dan

penggunaan istilah yang tepat. Namun al-Nawawî meninggal dunia tanpa

sempat menyelesaikan kitab ini, namun demikian penulisan kitab ini sudah

hampir selesai.

2. At-Tahrîr fî al-fazh at-Tanbih. Buku ini merangkum penjelasan lafadz-

lafadz dan istilah fiqih

Dalam bidang akhlak:

1. At-Tibyân fî Adab Hamalah al-Qur’ân. Berisi hal-hal yang berkaitan

dengan adab-adab ketika berinteraksi dengan al-Qur’ân.

25
Salim Ibn ‘Ied al-Hilali, Sahîh dan Dha’if kitab al-Adzkâr terj. Sahîh kitâb al-Adzkâr wa
Dha’îfuhu Oleh Muslim Arif dan M.Abdul Ghoffar, h. 34.
53

2. Kitab Bustân al-ʻÂrifîn. Kitab ini berisi uraian tentang kezuhudan,

keikhlasan dan sifat menjauhi perkara dunia.

3. Al-Adzkâr. Kitab ini berisi himpunan dzikir, doa-doa dan amalan bagi

setiap muslim pada siang dan malam hari. Selesai ditulis pada 667 H. 26

Kitab arbaʻîn tidak saya kelompokan ke dalam bidang akhlak

karena secara penulisan termasuk dalam karya al-Nawawî di bidang hadis.

Kitab-kitab yang diutarakan di atas merupakan sebagian karya yang

dihasilkan oleh al-Nawawî . Karena keberkahan yang Allah berikan dalam

hidupnya, banyak buku karangan beliau yang terus dimanfaatkan oleh para

penuntut ilmu di berbagai belahan dunia hingga saat ini.

D. Latar Belakang Penulisan Hadis Arbaʻîn al-Nawawî

Kitab Hadis Arbaʻîn al-Nawawîyyah merupakan satu kitab yang

berisikan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw., disusun oleh seorang ulama

besar yaitu al-Nawawî. Kitab ini merupakan salah satu kitab yang populer di

kalangan masyarakat muslim di Indonesia khususnya yang menganut

madzhab Syafi’i, sehingga membuat kitab ini sering menjadi rujukan atau

pembahasan utama di berbagai pesantren, sekolah maupun di berbagai tempat

sejenisnya. Contohnya seperti pondok pesantren al-Itqon Jakarta Barat yang

didirikan oleh KH. Mahfudz Asirun An-Nadawy, ponpes KH. Aqil Siraj

(KHAS) Kempek Cirebon, Pesantren Luhur Sabilussalam yang berada di

Ciputat atau selain itu ada Madrasah Satu Atap Nurul Falah Cadas yang

menggunakan rujukan utama hadis Arbaʻîn untuk dihafal dan dipelajari lebih

26
Abdullah AS, Achyar Zein, Saleh Adri, “Manhaj Imam al-Nawawî dalam kitab al-
Arba’în al-Nawawîyyah, Journal of Hadiṡ Studies,Vol.1 No.2, h. 33-34.
54

dalam lagi makna yang terkandung didalamnya dengan berbagai macam

bentuk dan metode yang digunakan terus berkembang sampai saat ini.27

Yang melatarbelakangi penulisan hadis al-Arbaʻîn Al-Nawawîyyah

yang kaya akan manfaat ini salah satunya adalah semata karena meneladani

para imam dan ulama terdahulu yang terkemuka dan Huffazhul Islam (yakni,

para penghafal hadis), yang sebenarnya masing-masing dari mereka

mempunyai maksud dan tujuan yang berbeda-beda dalam menyusun dan

menghimpun hadis–hadis tersebut.28

Dalam muqaddirnahnya, latar belakang penulisan kitab Arbaʻîn al-

Nawawîyyah yang ditulis oleh al-Nawawî diantaranya sebagai berikut:

1. Untuk meneladani para Salafus Saleh yang menyusun kitab yang berisi

Jawami’ul Kalim dan Arbaʻîn.

2. Untuk mengamalkan hadis Rasulullah Saw., Beliau bersabda:

‫ِﺐ‬
َ ‫ﻟِﻴُﺒَـﻠﱢ ِﻎ اﻟﺸﱠﺎ ِﻫ ُﺪ ِﻣْﻨ ُﻜ ُﻢ اﻟﻐَﺎﺋ‬
‘’Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan
kepada yang tidak hadir”29

3. Untuk mendapatkan keutamaan bagi yang menyampaikan hadis.

Rasulullah Saw., bersabda:

‫ﻀَﺮ اﻟﻠﱠﻪُ ا ْﻣَﺮأً َِﲰ َﻊ َﻣﻘَﺎﻟ َِﱵ ﻓَـ َﻮﻋَﺎﻫَﺎ ﻓَﺄَدﱠاﻫَﺄ َﻛﻤَﺎ َِﲰ َﻌﻬَﺄ‬
‫ﻧَ ﱠ‬

27
Wawancara pribadi dengan Filzah Syazwanah, Fradita Sholihah, Lukita Fahriana dan
Penida Nur Apriani, Jakarta, 14 Febuari 2018.
28
Abdullah AS, Achyar Zein, Saleh Adri, “Manhaj Imam al-Nawawî dalam kitab al-
Arba’în al-Nawawîyyah”, Journal of Hadis Studies,Vol.1 No.2, h. 35.
29
al-Imam Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,
(Damaskus: Dâr, Ibn Katsîr, 2002), h. 47.
55

‘’Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar

hadisku lalu dihafalkannya dan disampaikannya (kepada orang

lain) sesuai dengan yang didengarnya.”30

4. Untuk menyempurnakan karya-karya para ulama terdahulu dan

menghimpun hadis tentang kaidah-kaidah agama.31

Khusus untuk Arbaʻîn al-Nawawîyyah ini, telah banyak ulama yang

memberikan perhatian terhadapnya yakni dengan memberikan syarh

(penjelasan) terhadap seluruh hadis yang ada di dalamnya, mereka adalah

Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sāleh

Ibn Utsaimîn, dan lainnya. Juga di antara ulama, ada yang mentakhrij dan

mentahqiq (meneliti) kualitas validitas32 hadis-hadis dalam kitab ini, yakni

Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah. Hal ini lantaran betapa

lengkapnya muatan dan tema yang dihimpun oleh al-Nawawî, yakni berupa

dasar-dasar agama, hukum, ibadah, muamalah, dan akhlak. Sedangkan ulama

lain, ada yang menyusun empat puluh hadis tentang persoalan tertentu saja,

ada yang akhlak saja, atau jihad, atau adab, atau zuhud. Inilah letak

keistimewaan kitab ini.33

Dalam kitab Arbaʻîn Al-Nawawîyyah, al-Nawawî mengumpulkan empat

puluh dua hadis dengan tidak menyebutkan secara lengkap sanad-sanadnya

semua itu bertujuan agar mempermudah orang untuk menghafalnya dan lebih

luas lagi manfaatnya. Dan bagi kita sebagai umat Islam disarankan untuk
30
Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî, (al-Riyâd: Maktabah al-
ma'ârif linatsir wa tauri’), cet.1, h.599.
31
Imamâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn Daqîq al-
ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arba’în al-Nawawîyyah, h. 9-10.
32
Validatas atau sifat benar menurut bahan bukti yang ada, logika berfikir, atau kekuatan
hukum. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1543.
33
Abdullah AS, Achyar Zein, Saleh Adri, “Manhaj Imam al-Nawawî dalam kitab al-
Arba’în al-Nawawîyyah, Journal of Hadiṡ Studies, h.37.
56

mengambil, mempelajari dan menghafal hadis-hadis tersebut, karena

memiliki keluasan dan kelengkapan dalam kehidupan agama dan akhirat,

ketaatan dan urusan duniawi.

Muhammad Ibn Sâleḥ Ibn Utsaimîn berkata dalam kitab Syarh al-

Arbaʻîn al-Nawawîyyah: “al-Nawawî telah menyusun banyak karya tulis, di

antara karya tulis yang paling baik pernah ditulis adalah kitab ini yaitu al-

Arbaʻîn al-Nawawîyyah. Sebenarnya hadis yang tercantum di dalam nya

bukan 40 (empat puluh), tetapi 42 (empat puluh dua). Hal itu dikarenakan

kebiasaan bangsa Arab yang selalu membuang jumlah pecahan, sehingga

beliau menggenapkan nya menjadi 40 (empat puluh), walaupun jumlah hadis

nya lebih atau kurang dari 40 itu, baik satu atau dua.34

Sebelum al-Nawawî, sudah banyak para ulama atau sarjana Muslim

yang juga menyusun kitab serupa seperti yang diceritakan oleh Imam al-

Nawawî sendiri dalam mukadimah kitab ini,35 Beberapa ulama yang

membukukan empat puluh hadis diantaranya:

a. Kitâb al-Arbaʻîn ‘alâ mazhab al-mutahaqqîn minas suufiyyah: Al-

Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad Ibn Abdillah (w.430 H)

b. Kitâb al-Arbaʻîn fi fadhl al-du’ā’ wad dâ’în: Karya al-Maqdisi,

Abi Hasan Ali Ibn Fadhl (w. 611 H)

c. Al-Arba’ûn Hadistan fi qowâ’id mi al-ahkan al-Syar’iyyah wa

fadâ’il al-a’mâl waz zuhd: Karya al-Suyuti (w. 911 H)

34
Abdullah AS, Achyar Zein, Saleh Adri, “Manhaj Imam al-Nawawî dalam kitab al-
Arba’în al-Nawawîyyah, Journal of Hadiṡ Studies, h. 38.
35
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sâlih Ibn Utsaimîn, Syarah Arba’în an-Nawawî: Penjelasan 42
Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam terj. dari Ad-Durrah as-Salafiyyah Syarah al-
Arba’în al-Nawawîyah
57

d. Arba’unhadistan fi madh al-sunnah wa zamm al-bid’ah: Karya

Yusuf Ibn Isma’il al-Nabhani (w.1350 H)

e. Al-Ahadisal-Arba’in fi Fadha’il Sayyidil Mursalîn saw: Karya Yusuf

Ibn Isma’il al-Nabhani (w.1350 H)

f. Arba’un Hadisan fadhoo’ili Ahl Bait: Karya Yusuf Ibn Isma’il al-

Nabhani (w.1350 H)

g. Arba’un Hadisan fadhâ ’ili Ahl Bakar: Karya Yusuf Ibn Isma’il al-

Nabhani (w.1350 H)

h. Arba’un Hadisan fadhâ ’ili Ahl Umur: Karya Yusuf Ibn Isma’il al-

Nabhani (w.1350 H)

i. Al-Ahadis al-Arbaʻîn fi wujub ta’at Amir al-Mu’minin: Karya

Yusuf ibn Isma’il al-Nabhani (w.1350 H)

j. Al-Ahadisal-Arba’in min amtsal afsah al-‘alamin saw: Karya

Yusuf ibn Isma’il al-Nabhani (w.1350 H) 36

Masing-masing isi kitab tersebut berbeda, ada yang hanya

berkenaan dengan pokok-pokok agama atau cabang-cabangnya, ada

juga sebagian lain lain yang berkaitan tentang jihad, zuhud, adab, dan

khutbah-khutbah Nabi Saw. Kemudian al-Nawawî membukukan hadis

yang mencakup semua maksud di atas dalam kitab hadis Arbaʻîn al-

Nawawîyyah, sebagian besar hadis yang di ambil berasal dari al-

Bukhârî dan al-Muslim. 37

36
Ahmad Lutfi Fathullah, 40 Hadits Mudah Dihafal Sanad dan Matan, (Jakarta: Al-
Mughni Press, 2014), cet.1, h. 12-13.
37
Imam al-Nawawî. Terjemah Hadits Arba’în al-Nawawîyyah terj. dari al- Arba’în al-
Nawawîyyah oleh Sholahuddin (Jakarta: Sholahuddin Press, 2004), h. ix-x.
58

E. Kandungan Hadis Arbaʻîn al-Nawawî

Hadis yang terkandung dalam kitab Arbaʻîn al-Nawawîyyah berjumlah

empat puluh dua hadis merupakan hadis-hadis pilihan yang cakupannya

sangat luas diantaranya ada yang membahas tentang tauhid, hukum, adab,

perintah dan larangan yang semua itu berkaitan dengan akhlaq. Untuk

memahaminya dengan baik dan benar tidak bisa hanya dipahami dengan

mengetahui artinya saja, karena itu perlu untuk mempelajari setiap hadisnya

dengan seksama.38 Adapun tema-tema hadis menurut penamaan yang diberika

oleh Ibn Daqîq al-ʻÎd diantaranya sebagai berikut:

Hadis 1 Ikhlas

Hadis 2 Islam, Iman, dan Ihsan

Hadis 3 Rukun Islam

Hadis 4 Nasib Manusia Telah Ditetapkan

Hadis 5 Perbuatan Bid’ah Tertolak

Hadis 6 Dalil Halal dan Haram Telah Jelas

Hadis 7 Agama adalah Nasihat

Hadis 8 Perintah Memerangi Manusia Yang Tidak Melaksanakan

Shalat dan Mengeluarkan Zakat

Hadis 9 Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan

Hadis 10 Makanlah Dari Rezeki Yang Halal

Hadis 11 Tinggalkanlah Keragu-raguan

Hadis 12 Meninggalkan Yang Tidak Bermanfaat

38
Saksama atau teliti dalam melakukan segala hal apalagi yang berhungan dengan
pengetahuan, semuanya harus ada sumber yang jelas. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.
1205.
59

Hadis 13 Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya

Sendiri

Hadis 14 Larangan Berzina, Membunuh, dan Murtad

Hadis 15 Berkata Yang Baik Atau Diam

Hadis 16 Tidak Mudah Marah

Hadis 17 Berbuat Baik Dalam Segala Urusan

Hadis 18 Setelah Melakukan Kesalahan Disusul Dengan Kebaikan

Hadis 19 Mintalah Tolong Kepada Allah

Hadis 20 Memiliki Sifat Malu

Hadis 21 Berlaku Istikamah

Hadis 22 Menjalankan Syari’at Islam Dengan Sepenuhnya

Hadis 23 Suci Adalah Sebagian Dari Iman

Hadis 24 Larangan Berbuat Zalim

Hadis 25 Bersedekah Dari Kelebihan Harta

Hadis 26 Segala Macam Perbuatan Baik Adalah Sedekah

Hadis 27 Jauhilah Perbuatan Yang Meresahkan

Hadis 28 Berpegang Kepada Sunnah Rasulullah dan Khulafaur

Rasyidin

Hadis 29 Shalat Malam Mneghapus Dosa

Hadis 30 Patuhilah Perintah dan Larangan Agama

Hadis 31 Jauhilah Kesenangan Dunia, Niscaya Dicintai Allah

Hadis 32 Tidak Boleh Berbuat Kerusakan

Hadis 33 Orang Yang Menuduh Wajib Menunjukan Bukti

Hadis 34 Kewajiban Memberantas Kemungkaran


60

Hadis 35 Jangan Saling Mendengki

Hadis 36 Membantu Kesulitan Sesama Muslim

Hadis 37 Pahala Kebaikan Berlipat Ganda

Hadis 38 Melakukan Amal Sunnah Menjadikan Kita Wali Allah

Hadis 39 Prilaku Yang Diampuni

Hadis 40 Hiduplah Laksana Seorang Pengembara

Hadis 41 Menundukan Hawa Nafsu

Hadis 42 Allah Mengampuni Segala Dosa Orang Yang Tidak

Berbuat Syirik.39

39
Daqîq al-ʻÎd, Syarhul Arbaʻîna Haditsan al-Nawawî, (Yogjakarta: Media Hidayah,
2005), h. 3-65.
61

BAB IV

HASIL KAJIAN HADIS-HADIS TENTANG AKHLAK DALAM KITAB

ARBAʻÎN AL-NAWAWÎ

A. Hadis Arbaʻîn al-Nawawî yang Memiliki Relevansi dengan Akhlak

Terhadap Sesama Makhluk Hidup

Dari empat puluh dua hadis arbaʻîn dilakukan pemilihan dengan cara,

pertama hadis yang dipilih menggunakan kata al-khuluq sesuai dengan

definisi akhlak yang terdapat dalam bab dua atau segala prilaku berkaitan

dengan interaksi sesama makhluk hidup yang terdapat dalam kandungan

hadis arbaʻîn, kedua berdasarkan tema karena dalam bab satu metode

penelitian ini menganalisa datanya menggunakan tema. Dari 42 hadis yang

dikumpulkan penulis klasifikasikan sebagaimana pembagian akhlak yang

saya paparkan di bab sebelumnya maka hadis arbaʻîn yang berhubungan

dengan akhlak terhadap sesama makhluk hidup (manusia dan lingkungan) ada

20 hadis. Berikut ini sanad dan matan ke dua puluh hadis tersebut

diantaranya:

1. Agama Adalah Nasihat (Hadis ke 7)

‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫ أَ ﱠن اﻟﻨِ ﱠ‬:ُ‫ي َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪ‬
‫َوس اﻟﺪﱠا ِر ﱢ‬
ِ ‫ﻋَﻦ أَﰊ ُرﻗَـﻴﱠﺔَ ﲤَِﻴ ِﻢ ﺑ ِﻦ أ‬

«‫ﲔ َوﻋَﺎ ﱠﻣﺘِ ِﻬ ْﻢ‬


َ ‫ »ﻟِﻠﱠ ِﻪ َوﻟِ ِﻜﺘَﺎﺑِِﻪ َوﻟَِﺮ ُﺳﻮﻟِِﻪ وَﻷَِﺋِ ﱠﻤ ِﺔ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻤ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ ﻟِ َﻤﻦْ؟ ﻗ‬:‫»اﻟﺪﱢﻳ ُﻦ اﻟﻨﱠﺼِﻴ َﺤﺔُ« ﻗـُ ْﻠﻨَﺎ‬
‘’Dari Abû Ruqayyah Tamîm ibn Aus al-Dâry r.a., bahwa Nabi Saw.,
bersabda. “Agama adalah nasihat.” Para sahabat pun bertanya,
“Untuk siapa?” Rasulullah menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya,

61
62

Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum Muslimin dan Muslimin


pada umumnya.” (HR. al-Muslim)1

2. Makanlah Dari Rezeki Yang Halal (Hadis ke 10)

‫ﱢﺐ َﻻ‬
ٌ ‫ إِ ﱠن اﷲَ ﻃَﻴ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫ ﻗَﺎ َل َرﺳُﻮِل ا‬:‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮَة َر ِﺿ َﻲ ﻗَﺎ َل‬

‫ }ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ‬:‫ﱄ‬
َ ‫َﺎل ﺗَـﻌَﺎ‬
َ ‫ ﻓَـﻘ‬،َ‫ﲔ ﲟَِﺎ أََﻣَﺮ ﺑِِﻪ اﻟْﻤ ُْﺮ َﺳﻠِﲔ‬
َ ِ‫ َوإِ ﱠن اﷲَ أََﻣَﺮ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ‬،‫ﻳـَ ْﻘﺒَﻞُ إﱠِﻻ ﻃَﻴﱢﺒًﺎ‬

[٥١ :‫ِﱐ ﲟَِﺎ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن َﻋﻠِﻴ ٌﻢ{ ]اﳌﺆﻣﻨﻮن‬


‫ إ ﱢ‬،‫َﺎت وَا ْﻋ َﻤﻠُﻮا ﺻَﺎﳊًِﺎ‬
ِ ‫اﻟﱡﺮ ُﺳﻞُ ُﻛﻠُﻮا ِﻣ َﻦ اﻟﻄﱠﻴﱢﺒ‬

‫[ ﰒُﱠ ذَ َﻛَﺮ‬١٧٢ :‫َﺎت ﻣَﺎ َرَزﻗْـﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ{ ]اﻟﺒﻘﺮة‬


ِ ‫ }ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ُﻛﻠُﻮا ِﻣ ْﻦ ﻃَﻴﱢﺒ‬:‫َﺎل‬
َ ‫َوﻗ‬

ُ‫ َوَﻣﻄْ َﻌ ُﻤﻪ‬،‫َب‬
‫ ﻳَﺎ ر ﱢ‬،‫َب‬
‫ ﻳَﺎ ر ﱢ‬،ِ‫ ﳝَُﱡﺪ ﻳَ َﺪﻳِْﻪ إ َِﱃ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎء‬،َ‫َﺚ أَ ْﻏﺒَـﺮ‬
َ ‫اﻟﱠﺮ ُﺟ َﻞ ﻳُﻄِﻴﻞُ اﻟ ﱠﺴ َﻔَﺮ أَ ْﺷﻌ‬

ُ‫ب ﻟَﻪ‬
ُ ‫َﱏ ﻳُ ْﺴﺘَﺠَﺎ‬
‫ ﻓَﺄ ﱠ‬،‫َام‬
ِ‫ي ﺑِﺎﳊَْﺮ‬
َ ‫ َوﻏُ ِﺬ‬،ٌ‫ َوَﻣ ْﻠﺒَ ُﺴﻪُ َﺣﺮَام‬،ٌ‫ َوَﻣ ْﺸَﺮﺑُﻪُ َﺣﺮَام‬،ٌ‫َﺣﺮَام‬
‘’Dari Abû Hurairah r.a., berkata, Rasulullah Saw., bersabda.
“Sesungguhnya, Allah Maha baik, dan tidak menerima kecuali yang
baik. Seseungguhnya, Allah telah memerintah orang-orang yang
beriman sepeerti apa yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Dia
berfirman: ‘Wahai para Rasul, makanlah segala yang baik dan
beramal salehlah.’ (QS. al-Mulminūn/ : 51) dan Dia juga berfirman:
‘Wahai orang-orang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang
telah kami anugerahkan unutk kalian.’ (QS. al-Baqarah/2: 172)
Kemudian Rasulullah menyebutkan seseorang yang menempuh
perjalanan jauh, rambutnya tidak rapih dan wajahnya penuh dengan
debu. Orang itu mengulurkan kedua tangannya ke langit sembari
berkata: ‘Ya Rabb, Ya Rabb.’ Sementara itu, makanannya haram, dan
diberi makan yang haram. Jadi, bagaimana mungkin do’anya akan
dikAbûlkan’?” (HR. al-Muslim)2

3. Meninggalkan Yang Tidak Bermanfaaat (Hadis ke 12)

‫ ِﻣ ْﻦ ُﺣ ْﺴ ِﻦ إِ ْﺳﻼَِم‬:‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


َ ِ‫ ﻗَﺎ َل َرﺳُﻮِل اﷲ‬:‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ ﻗَﺎ َل‬

‫اﻟْﻤ َْﺮِء ﺗـ َْﺮُﻛﻪُ ﻣَﺎ ﻻَ ﻳـَ ْﻌﻨِﻴ ِﻪ‬


1
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh Muslim,
(Beirût: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), h.74.
2
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh Muslim,
No. 1015, Jld. 2, h. 703.
63

‘’Dari Abû Hurairah r.a., berkata, Rasulullah Saw., bersabda.


“Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan yang
tidak berguna baginya.” (HR. al-Tirmidzî)3

4. Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri (Hadis

ke 13)

‫ َﻋ ِﻦ‬,‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


َ ‫ﷲ‬
ِ ‫ ﺧَﺎ ِدمُ َرﺳُﻮِل ا‬,ُ‫ِﻚ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪ‬
ٍ ‫َﺲ ﺑْ ِﻦ ﻣَﺎﻟ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ َﲪَﺰَة أَﻧ‬

‫ْﺴ ِﻪ‬
ِ ‫ُِﺐ ﻟِﻨَـﻔ‬
‫َِﺧﻴ ِﻪ ﻣَﺎ ﳛ ﱡ‬
ِ ‫ُِﺐ ﻷ‬
‫َﱴ ﳛ ﱠ‬
‫ ﺣ ﱠ‬،ْ‫ﻻَ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛﻢ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫اﻟﻨِ ﱠ‬
‘’Dari Abû Hamzaah Anas ibn Malik r.a., menjelaskan bahwa
Rasulullah Saw., bersabda. “Tidak sempurna iman seseorang di
antara kalian hingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri.” (HR. al-Bukhârî)4

5. Berkata Yang Baik atau Diam (Hadis ke 15)

‫ َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ‬:‫َﺎل‬


َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ِ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ َﻋ ْﻦ َرﺳُﻮِل اﷲ‬

‫اﻵﺧ ِﺮ ﻓَـ ْﻠﻴُ ْﻜ ِﺮْم‬


ِ ‫ َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟﻴـَﻮِْم‬،‫ُﺖ‬
ْ ‫ﺼﻤ‬
ْ َ‫اﻵﺧ ِﺮ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ُﻘ ْﻞ َﺧْﻴـﺮًا أ َْو ﻟِﻴ‬
ِ ‫ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟﻴـَﻮِْم‬

ُ‫ﺿْﻴـ َﻔﻪ‬
َ ‫اﻵﺧ ِﺮ ﻓَـ ْﻠﻴُ ْﻜ ِﺮْم‬
ِ ‫ َوَﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟﻴـَﻮِْم‬،ُ‫ﺟَﺎ َرﻩ‬
‘’Dari Abû Hurairah r.a., menjelaskan bahwa, Rasulullah Saw.,
bersabda. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya berkata baik atau diam. Siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangga. Siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan
tamunya." (HR. al-Muslim)5

6. Tidak Mudah Marah (Hadis ke 16)

3
al-Imâm al-Ḥâfiẓ Abî Isâ Muhammad Ibn Isâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, (Beirût:
Dâr al-Gharbi al-Islâmî, 1996), jilid 3, No. 2317, Jld. 4, h. 148.
4
al-Imâm Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,
(Damaskus: Dâr, Ibn Katsîr, 2002), jilid 1, h. 13.
5
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh Muslim,
jilid 1, h. 68 .
64

«‫َﺐ‬
ْ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ »ﻻَ ﺗَـ ْﻐﻀ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﺎل اﻟﻨِ ﱢ‬
َ ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮَة َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ أَ ﱠن َر ُﺟﻼً ﻗ‬

«‫َﺐ‬
ْ ‫ »ﻻَ ﺗَـ ْﻐﻀ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ ﻗ‬،‫ﻓَـَﺮﱠد َد ِﻣﺮَارًا‬
‘’Dari Abû Hurairah r.a., menjelaskan bahwa, Rasulullah Saw.,
bersabda. “Jangan marah!” Orang tersebut pun mengulang-ulang
permohonan wasiatnya beberapa kali. Beliau bersabda, “Jangan
marah!” (HR. al-Bukhârî)6

7. Berbuat Baik Dalam Segala Urusan (Hadis ke 17)

:‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ِ‫ُﻮل اﷲ‬
ِ ‫َوس َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ َﻋ ْﻦ َرﺳ‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ﻳَﻌﻠ َﻲ َﺷﺪﱠادﺑ ِﻦ أ‬

‫َﲝﺘُ ْﻢ‬
َْ ‫ َوإِذَا ذ‬،َ‫ْﺴﻨُﻮا اﻟْ ِﻘْﺘـﻠَﺔ‬
ِ ‫ ﻓَِﺈذَا ﻗَـﺘَـ ْﻠﺘُ ْﻢ ﻓَﺄَﺣ‬،ٍ‫اﻹ ْﺣﺴَﺎ َن َﻋﻠَﻰ ُﻛ ﱢﻞ َﺷ ْﻲء‬
ِْ ‫َﺐ‬
َ ‫إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺘ‬

ُ‫ْﲑ ْح ذَﺑِﻴ َﺤﺘَﻪ‬


ُِ ‫ ﻓَـﻠ‬،ُ‫ُﺤ ﱠﺪ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ َﺷ ْﻔَﺮﺗَﻪ‬
ِ ‫ َوﻟْﻴ‬،َ‫ْﺴﻨُﻮا اﻟ ﱠﺬﺑْﺢ‬
ِ ‫ﻓَﺄَﺣ‬
‘’Dari Abû Yaʻlâ Syaddad ibn Aus r.a., menjelaskan bahwa
Rasulullah Saw., bersabda. “Sesungguhnya Allah mewajibkan
berbuat baik dalam segala urusan. Jika kamu membunuh (yang
dibenarkan syariat), bunuhlah dengan cara yang baik. Hendaklah
salah seornag diantara kamu menajamkan pisaunya dan membuat
nyaman hewan yang akan disembelih.” (HR. al-Muslim)7

8. Setelah Melakukan Kesalahan Disusul Dengan Kebaikan (Hadis ke 18)

‫ُﻮل‬
ِ ‫ َرﺳ‬،‫ َو أَﰊ ﻋَﺒﺪ اﻟﱠﺮﲪَ ِﻦ ُﻣﻌَﺎ ِذﺑ ِﻦ َﺟﺒ ٍَﻞ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨ ُﻬﻤَﺎ‬،َ‫ُب ﺑ ِﻦ ُﺟﻨَﺎ َدة‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ذَ ّرﺟُﻨﺪ‬

،‫ َوأَﺗْﺒِ ِﻊ اﻟ ﱠﺴﻴﱢﺌَﺔَ اﳊَ َﺴﻨَﺔَ ﲤَْ ُﺤﻬَﺎ‬،‫ْﺖ‬


َ ‫ اِﺗ ِﱠﻖ اﷲَ َﺣْﻴﺜُﻤَﺎ ُﻛﻨ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ِ‫اﷲ‬

‫ﱠﺎس ِﲞُﻠ ٍُﻖ َﺣ َﺴ ٍﻦ‬


َ ‫َوﺧَﺎﻟ ِِﻖ اﻟﻨ‬
‘’Dari Abû Dzar Jundubi ibn Junâdah dan Abû Abdurrahman Muʻadz
ibn Jabal r.a., Rasulullah Saw., bersabda. “Bertakwalah kamu kepada
Allah di mana pun kamu berada. Iringilah perbuatan jelek dengan
perbuatan baik, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan

6
al-Imâm Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,jilid 8, h.
1529.
7
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh Muslim,
jilid 3, h. 1548.
65

pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik.” (HR. al-


Tirmidzî)8

9. Memiliki Sifat Malu (Hadis ke 20)

‫ُﻮل‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬
َ ‫ ﻗ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ي َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ ﻗ‬
‫ي اﻟﺒَﺪ َر ﱢ‬
‫ي ِر ﱢ‬
‫َﻋ ْﻦ أَﰊ َﻣ ْﺴﻌُﻮٍد ﻋُ ْﻘﺒَﺔَ ﺑ ِﻦ ﻋَﻤ ٍﺮ واﻷَﻧﺼَﺎ ِر ﱢ‬

‫ إِذَا َﱂْ ﺗَ ْﺴﺘَ ْﺤ ِﻲ‬:‫ُوﱃ‬


َ ‫س ِﻣ ْﻦ َﻛﻼَِم اﻟﻨﱡﺒُـ ﱠﻮةِ اﻷ‬
ُ ‫ إِ ﱠن ﳑِﱠﺎ أَ ْدرََك اﻟﻨﱠﺎ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ِ‫اﷲ‬

‫ْﺖ‬
َ ‫ﺻﻨَ ْﻊ ﻣَﺎ ِﺷﺌ‬
ْ ‫ﻓَﺎ‬
‘’Abû Masʻud Uqbah ibn Amr al-Ansari al-Badri r.a., berkata
Rasulullah Saw., “Sesungguhnya, salah satu hal yang diingat oleh
orang-orang dari perkataan Nabi terdahulu adalah jika kamu tidak
malu, lakukanlah apa pun sesukamu.” (HR. al-Bukhârî)9

10. Suci Adalah Sebagian Dari Iman (Hadis ke 23)

ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫ُﻮل ا‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬
َ ‫ ﻗ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ي َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ ﻗ‬
‫ِث ﺑ ِﻦ ﻋَﺎ ِﺻ ٍﻢ اﻷَﺛ َﻌ ِﺮ ﱢ‬
ِ ‫ِﻚ اﳊَﺎر‬
ٍ ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ﻣَﺎﻟ‬

:‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬

‫ أ َْو‬- ‫َْﻶَ ِن‬


َ ‫ﷲ وَاﳊَْ ْﻤ ُﺪ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ﲤ‬
ِ ‫ َو ُﺳْﺒ َﺤﺎ َن ا‬،َ‫اﻹﳝَﺎ ِن وَاﳊَْ ْﻤ ُﺪ ﻟِﻠﱠ ِﻪ ﲤَْﻸَُ اﻟْﻤِﻴﺰَان‬
ِْ ‫اﻟﻄﱡﻬُﻮُر َﺷﻄُْﺮ‬

،ٌ‫ﺼْﺒـ ُﺮ ِﺿﻴَﺎء‬
‫ﺼ َﺪﻗَﺔُ ﺑـ ُْﺮﻫَﺎ ٌن وَاﻟ ﱠ‬
‫ وَاﻟ ﱠ‬،ٌ‫ وَاﻟﺼ َﱠﻼةُ ﻧُﻮر‬،‫ْض‬
ِ ‫َاﻷَر‬
ْ ‫َات و‬
ِ ‫َﲔ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎو‬
َ ْ ‫ ﻣَﺎ ﺑـ‬- َُ‫ﲤَْﻸ‬

‫ﱠﺎس ﻳـَ ْﻐﺪُو ﻓَـﺒَﺎﺋِ ٌﻊ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ ﻓَ ُﻤ ْﻌﺘِ ُﻘﻬَﺎ أ َْو ﻣُﻮﺑُِﻘﻬَﺎ‬
ِ ‫ ُﻛ ﱡﻞ اﻟﻨ‬،‫ْﻚ‬
َ ‫َﻚ أ َْو َﻋﻠَﻴ‬
َ ‫وَاﻟْﻘُﺮْآ ُن ُﺣ ﱠﺠﺔٌ ﻟ‬
‘’Dari Abû Mâlik al-Hârits ibn ʻÂsim al-Asyʻari r.a., berkata,
Rasulullah Saw., “Kesucian itu sebagian dari iman. Pahala ucapan
‘al-ḥamdulillah’ bisa memenuhi tempat antara langit dan bumi.
Shalat itu cahaya, sedekah itu bukti (benarnya keimanan), sabar itu
cahaya, dan al-Qur’ān itu bisa menjadi hujjah yang bermanfaat atau
membawa mudharat bagimu. Setiap manusia bekerja sampai ada

8
al-Imâm al-Ḥâfiẓ Abî Isâ Muhammad Ibn Isâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, jilid 3, h.
526‫ز‬
9
al-Imâm Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, jilid 4, h.
863.
‫‪66‬‬

‫”‪yang menjual dirinya, hingga ia jadi merdeka atau bahkan celaka.‬‬


‫‪(HR. al-Muslim)10‬‬

‫)‪11. Larangan Berbuat Zalim (Hadis ke 24‬‬

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‪ :‬ﻓِﻴﻤَﺎ ﻳَﺮوِﻳ ِﻪ َﻋ ْﻦ َرﺑﱢِﻪ‬


‫ﱠﱯ َ‬
‫ي َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ‪َ ،‬ﻋ ِﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ذَ ﱢر اﻟﻐِﻔَﺎ ِر ﱢ‬

‫َﻋﺰَﱠو َﺟ ﱠﻞ أَﻧﱠﻪُ ﻗَﺎ َل‪:‬‬

‫ْﺴﻲ‪َ ،‬و َﺟ َﻌ ْﻠﺘُﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ ﳏَُﱠﺮﻣًﺎ‪ ،‬ﻓ ََﻼ ﺗَﻈَﺎﻟَ ُﻤﻮا‪ ،‬ﻳَﺎ‬
‫ْﺖ اﻟﻈﱡْﻠ َﻢ َﻋﻠَﻰ ﻧـَﻔ ِ‬
‫ِﱐ َﺣﱠﺮﻣ ُ‬
‫ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي إ ﱢ‬

‫ُوﱐ أَ ْﻫ ِﺪ ُﻛﻢْ‪ ،‬ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي ُﻛﻠﱡ ُﻜ ْﻢ ﺟَﺎﺋِﻊٌ‪ ،‬إﱠِﻻ‬


‫َﺎل إﱠِﻻ َﻣ ْﻦ َﻫ َﺪﻳْـﺘُﻪُ‪ ،‬ﻓَﺎ ْﺳﺘَـ ْﻬﺪ ِ‬
‫ِﻋﺒَﺎدِي ُﻛﻠﱡ ُﻜ ْﻢ ﺿ ﱞ‬

‫ُﻮﱐ أُﻃْﻌِ ْﻤ ُﻜﻢْ‪ ،‬ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي ُﻛﻠﱡ ُﻜ ْﻢ ﻋَﺎرٍ‪ ،‬إﱠِﻻ َﻣ ْﻦ َﻛﺴ َْﻮﺗُﻪُ‪،‬‬
‫َﻣ ْﻦ أَﻃْ َﻌ ْﻤﺘُﻪُ‪ ،‬ﻓَﺎ ْﺳﺘَﻄْﻌِﻤ ِ‬

‫ُﻮب‬
‫ُﻮﱐ أَ ْﻛ ُﺴ ُﻜﻢْ‪ ،‬ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي إِﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﲣُْ ِﻄﺌُﻮ َن ﺑِﺎﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ وَاﻟﻨﱠـﻬَﺎرِ‪َ ،‬وأَﻧَﺎ أَ ْﻏ ِﻔ ُﺮ اﻟ ﱡﺬﻧ َ‬
‫ﻓَﺎ ْﺳﺘَ ْﻜﺴ ِ‬

‫ﱡوﱐ َوﻟَ ْﻦ ﺗَـْﺒـﻠُﻐُﻮا‬


‫ﻀﺮ ِ‬
‫ﺿﱢﺮي ﻓَـﺘَ ُ‬
‫ُوﱐ أَ ْﻏﻔ ِْﺮ ﻟَ ُﻜﻢْ‪ ،‬ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي إِﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﻟَ ْﻦ ﺗَـْﺒـﻠُﻐُﻮا َ‬
‫ﲨَِﻴﻌًﺎ‪ ،‬ﻓَﺎ ْﺳﺘَـ ْﻐ ِﻔﺮ ِ‬

‫َﺟﻨﱠ ُﻜ ْﻢ ﻛَﺎﻧُﻮا َﻋﻠَﻰ أَﺗْـﻘَﻰ‬


‫َآﺧَﺮُﻛ ْﻢ َوإِﻧْ َﺴ ُﻜ ْﻢ وِ‬
‫ُﻮﱐ‪ ،‬ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي ﻟ َْﻮ أَ ﱠن أَﱠوﻟَ ُﻜ ْﻢ و ِ‬
‫ﻧـَ ْﻔﻌِﻲ‪ ،‬ﻓَـﺘَـْﻨـ َﻔﻌ ِ‬

‫َآﺧَﺮُﻛ ْﻢ‬
‫ِﻚ ِﰲ ُﻣ ْﻠﻜِﻲ َﺷْﻴﺌًﺎ‪ ،‬ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي ﻟ َْﻮ أَ ﱠن أَﱠوﻟَ ُﻜ ْﻢ و ِ‬
‫َاﺣ ٍﺪ ِﻣْﻨ ُﻜﻢْ‪ ،‬ﻣَﺎ زَا َد ذَﻟ َ‬
‫ُﻞ و ِ‬
‫ْﺐ َرﺟ ٍ‬
‫ﻗَـﻠ ِ‬

‫ِﻚ ِﻣ ْﻦ ُﻣ ْﻠﻜِﻲ َﺷْﻴﺌًﺎ‪،‬‬


‫َﺺ َذﻟ َ‬
‫َاﺣﺪٍ‪ ،‬ﻣَﺎ ﻧـَﻘ َ‬
‫ُﻞ و ِ‬
‫ْﺐ َرﺟ ٍ‬
‫َﺟﻨﱠ ُﻜ ْﻢ ﻛَﺎﻧُﻮا َﻋﻠَﻰ أَﻓْ َﺠ ِﺮ ﻗَـﻠ ِ‬
‫َوإِﻧْ َﺴ ُﻜ ْﻢ وِ‬

‫ُﻮﱐ‬
‫َاﺣ ٍﺪ ﻓَ َﺴﺄَﻟ ِ‬
‫ﺻﻌِﻴ ٍﺪ و ِ‬
‫َﺟﻨﱠ ُﻜ ْﻢ ﻗَﺎ ُﻣﻮا ِﰲ َ‬
‫َآﺧَﺮُﻛ ْﻢ َوإِﻧْ َﺴ ُﻜ ْﻢ وِ‬
‫ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي ﻟ َْﻮ أَ ﱠن أَﱠوﻟَ ُﻜ ْﻢ و ِ‬

‫ﻂ إِذَا‬
‫ﺺ اﻟْ ِﻤ ْﺨﻴَ ُ‬
‫ِﻚ ﳑِﱠﺎ ِﻋْﻨﺪِي إﱠِﻻ َﻛﻤَﺎ ﻳـَْﻨـ ُﻘ ُ‬
‫َﺺ ذَﻟ َ‬
‫ْﺖ ُﻛ ﱠﻞ إِﻧْﺴَﺎ ٍن َﻣ ْﺴﺄَﻟَﺘَﻪُ‪ ،‬ﻣَﺎ ﻧـَﻘ َ‬
‫ﻓَﺄَ ْﻋﻄَﻴ ُ‬

‫ْﺧ َﻞ اﻟْﺒَ ْﺤﺮَ‪ ،‬ﻳَﺎ ِﻋﺒَﺎدِي إِﳕﱠَﺎ ِﻫ َﻲ أَ ْﻋﻤَﺎﻟُ ُﻜ ْﻢ أُ ْﺣﺼِﻴﻬَﺎ ﻟَ ُﻜﻢْ‪ ،‬ﰒُﱠ أ َُوﻓﱢﻴ ُﻜ ْﻢ إِﻳﱠﺎﻫَﺎ‪ ،‬ﻓَ َﻤ ْﻦ َو َﺟ َﺪ‬
‫أُد ِ‬

‫ِﻚ‪ ،‬ﻓ ََﻼ ﻳـَﻠُﻮَﻣ ﱠﻦ إﱠِﻻ ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ‬


‫َﺧْﻴـﺮًا‪ ،‬ﻓَـ ْﻠﻴَ ْﺤ َﻤ ِﺪ اﷲَ َوَﻣ ْﻦ َو َﺟ َﺪ َﻏْﻴـَﺮ ذَﻟ َ‬
‫‪‘’Dari Abû Dzar al-Ghifâri r.a., meriwatkan bahwa Nabi Saw.,‬‬
‫‪bersabda, “Wahai hamba-hamba-Ku, sungguh Aku telah‬‬
‫‪mengharamkan kezaliman kepada diri-Ku dan Aku mengharamkan‬‬

‫‪10‬‬
‫‪al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh‬‬
‫‪Muslim, jilid 1, h. 203.‬‬
67

kezaliman di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling


menzalimi! Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat, kecuali
orang yang telah mendaat petunjuk-Ku. Karena itu, mintalah petunjuk
kepada-Ku, pasti Aku akan beri petunjuk! Wahai hamba-hamba-Ku,
kalian semua kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan.
Karena itu, mintalah makanan kepada-Ku, pasti Aku akan beri
makan! Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua telanjang, kecuali
orang yang Aku beri pakaian. Karena itu, mintalah pakaian kepada-
Ku, niscaya Aku akan memberimu pakaian! Hai hamba-Ku, kamu
sekalian senantiasa berbuat salah pada malam dan siang hari,
sementara Aku akan mengampuni segala dosa dan kesalahan. Oleh
karena itu, mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya aku akan
mengampunimu! Hai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat
menimpakan mara bahaya sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa
dapat melakukannya. Selain itu, kamu sekalian tidak akan dapat
memberikan manfaat sedikitpun kepada-Ku, tetapi kamu merasa
dapat melakukannya. Hai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang
terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta manusia dan jin,
semuanya berada pada tingkat ketakwaan yang paling tinggi, maka
hal itu sedikit pun tidak akan menambahkan kekuasaan-Ku. Hai
hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang
yang belakangan serta jin dan manusia semuanya berada pada
tingkat kedurhakaan yang paling buruk, maka hal itu sedikitpun tidak
akan mengurangi kekuasaan-Ku. Hai hamba-Ku, seandainya orang-
orang yang terdahulu dan orang-orang yang belakangan serta semua
jin dan manusia berdiri di atas bukit untuk memohon kepada-Ku,
kemudian masing-masing Aku penuh permintaannya, maka hal itu
tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di sisi-Ku, melainkan
hanya seperti benang yang menyerap air ketika dimasukkan ke dalam
lautan. Hai hamba-Ku. sesungguhnya amal perbuatan kalian
senantiasa akan Aku hisab (adakan perhitungan) untuk kalian sendiri
dan kemudian Aku akan berikan balasannya. Barang siapa
mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Dan barang siapa yang mendapatkan selain itu (kebaikan),
maka janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri." (HR. al-
Muslim)11

12. Bersedekah Dari Kelebihan Harta (Hadis ke 25)

‫ﱠﱯ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻟِﻠﻨِ ﱢ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫َﺎب اﻟﻨِ ﱢ‬
ِ ‫ﺻﺤ‬ْ َ‫ أَ ﱠن ﻧَﺎﺳًﺎ ِﻣ ْﻦ أ‬،ُ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ذَ ﱢر َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪ‬

،‫ﺼﻠﱢﻲ‬
َ ُ‫ﺼﻠﱡﻮ َن َﻛﻤَﺎ ﻧ‬
َ ُ‫ ﻳ‬،ِ‫ِﺎﻷُﺟُﻮر‬
ْ ‫َﺐ أَ ْﻫ ُﻞ اﻟ ﱡﺪﺛُﻮِر ﺑ‬
َ ‫ ذَﻫ‬،ِ‫ُﻮل اﷲ‬
َ ‫ ﻳَﺎ َرﺳ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ

11
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh
Muslim, jilid 4, h. 203.
68

‫ْﺲ ﻗَ ْﺪ َﺟ َﻌ َﻞ اﷲُ ﻟَ ُﻜ ْﻢ‬


َ ‫ " أ ََوﻟَﻴ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ ﻗ‬،ْ‫ُﻮل أَْﻣﻮَاﳍِِﻢ‬
ِ ‫ﺼ ﱠﺪﻗُﻮ َن ﺑُِﻔﻀ‬
َ َ‫ َوﻳـَﺘ‬،ُ‫َوﻳَﺼُﻮﻣُﻮ َن َﻛﻤَﺎ ﻧَﺼُﻮم‬

‫ َوُﻛ ﱢﻞ‬،ً‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬


َ ٍ‫ َوُﻛ ﱢﻞ َْﲢﻤِﻴ َﺪة‬،ً‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ٍ‫ َوُﻛ ﱢﻞ ﺗَ ْﻜﺒِ َﲑة‬،ً‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ﺼ ﱠﺪﻗُﻮنَ؟ إِ ﱠن ﺑِ ُﻜ ﱢﻞ ﺗَ ْﺴﺒِﻴ َﺤ ٍﺔ‬
‫ﻣَﺎ ﺗَ ﱠ‬

‫ﻀ ِﻊ أَ َﺣ ِﺪ ُﻛ ْﻢ‬
ْ ُ‫ وَِﰲ ﺑ‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ َوﻧـَ ْﻬ ٌﻲ َﻋ ْﻦ ُﻣْﻨ َﻜ ٍﺮ‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ُوف‬
ِ ‫ َوأَْﻣٌﺮ ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬،ً‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ﺗَـ ْﻬﻠِﻴﻠَ ٍﺔ‬

‫ »أََرأَﻳْـﺘُ ْﻢ ﻟ َْﻮ‬:‫َﺎل‬
َ ‫َﺄﰐ أَ َﺣ ُﺪﻧَﺎ َﺷ ْﻬ َﻮﺗَﻪُ َوﻳَﻜُﻮ ُن ﻟَﻪُ ﻓِﻴﻬَﺎ أَ ْﺟﺮٌ؟ ﻗ‬
ِ ‫ أَﻳ‬،ِ‫ُﻮل اﷲ‬
َ ‫ ﻳَﺎ َرﺳ‬:‫ ﻗَﺎﻟُﻮا‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ

‫َْﻼ ِل ﻛَﺎ َن ﻟَﻪُ أَ ْﺟٌﺮ‬


َ ‫ﺿ َﻌﻬَﺎ ِﰲ اﳊ‬
َ ‫ِﻚ إِذَا َو‬
َ ‫َام أَﻛَﺎ َن َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ﻓِﻴﻬَﺎ وِْزرٌ؟ ﻓَ َﻜ َﺬﻟ‬
ٍ‫ﺿ َﻌﻬَﺎ ِﰲ َﺣﺮ‬
َ ‫َو‬
‘’Dari Abû Dzar r.a., menjelaskan bahwa sebgaian sahabat
Rasulullah Saw., berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang-
orang kaya bisa mendapatkan banyak pahala. Mereka shalat seperti
kami salat, berpuasa seperti kami berpuasa, dan bersedekah dengan
kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak bisa).” Rrasulullah
bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa
kalian sedekahkan? Sesungguhnya, setiap tasbis, takbir, tahmid, dan
tahlil adalah sedekah. Āmar ma’ruf dan nahi mungkar adalah
sedekah. Bahkan, jima’ adalah sedekah mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, apakah jika kami menyalurkan hasrat kepada istri juga
mendapatkan pahala?” Rasulullah pun menjawab, “Bukankah jika
disalurkan kepada yang haram adalah dosa? Begitu pun jika
disalurkan pada yang halal, akan mendapat pahala.” (HR. al-
Muslim) 12

13. Segala Macam Perbuatan Baik Adalah Sedekah (Hadis ke 26)

:‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


َ ِ‫ُﻮل اﷲ‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬
َ ‫ﻗ‬: ‫َﺎل‬
َ ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ ﻗ‬

‫َﲔ‬
ِ ْ ‫َﲔ ِاﻻﺛْـﻨـ‬
َ ْ ‫ِل ﺑـ‬
ُ ‫ ﻳـَ ْﻌﺪ‬،ُ‫ ُﻛ ﱠﻞ ﻳـَﻮٍْم ﺗَﻄْﻠُ ُﻊ ﻓِﻴ ِﻪ اﻟ ﱠﺸ ْﻤﺲ‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ﱠﺎس َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬
ِ ‫ُﻛ ﱡﻞ ُﺳﻼَﻣَﻰ ِﻣ َﻦ اﻟﻨ‬

ُ‫ وَاﻟ َﻜﻠِ َﻤﺔ‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬


َ ُ‫ أ َْو ﻳـ َْﺮﻓَ ُﻊ َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ َﻣﺘَﺎ َﻋﻪ‬،‫ﲔ اﻟﱠﺮ ُﺟ َﻞ َﻋﻠَﻰ دَاﺑﱠﺘِ ِﻪ ﻓَـﻴَ ْﺤ ِﻤﻞُ َﻋﻠَْﻴـﻬَﺎ‬
ُ ِ‫ َوﻳُﻌ‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ

ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ﻂ اﻷَذَى َﻋ ِﻦ اﻟﻄﱠ ِﺮ ِﻳﻖ‬
ُ ‫ َوﳝُِﻴ‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ﺼﻼَِة‬
‫ َوُﻛ ﱡﻞ ُﺧﻄْ َﻮٍة ﳜَْﻄُﻮﻫَﺎ إ َِﱃ اﻟ ﱠ‬،ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ُ‫اﻟﻄﱠﻴﱢﺒَﺔ‬
‘’Dari Abû Hurairah r.a., berkata, Rasulullah Saw., bersabda.
“Semua persedian manusia memerlukan sedekah, setiap hari
matahari terbit engkau mendamaiakan dua orang yang berselisih
dengan adil adalah sedekah, engkau memberikan tumpangan pada

12
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh
Muslim, jilid 2, h. 697..
‫‪69‬‬

‫‪seseorang atau membawakan barang bawaanya adalah sedekah,‬‬


‫‪kalimat yang baik adalah sedekah, setiap langkah yang kau lakukan‬‬
‫‪menuju masjid untuk shalat adalah sedekah, dan engkau‬‬
‫‪menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” (HR. al-Bukhârî) 13‬‬

‫)‪14. Jauhilah Perbuatan Yang Meresahkan (Hadis ke 27‬‬

‫ْﱪ ُﺣ ْﺴ ُﻦ‬
‫َﺎل‪ :‬اَﻟِﱡ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ َ‬
‫ﱠﱯ َ‬
‫ﱠاس ﺑ ِﻦ َﲰﻌَﺎ َن َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ َﻋ ِﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬
‫َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠـﻮ ِ‬

‫ْﺖ أَ ْن ﻳَﻄﱠﻠِ َﻊ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ اﻟﻨﱠﺎس‬


‫ﺻ ْﺪرَِك‪َ ،‬وَﻛ ِﺮﻫ َ‬
‫َﺎك ِﰲ َ‬
‫اﳋُْﻠ ُِﻖ‪ ،‬وَاﻹِْﰒُْ ﻣَﺎ ﺣ َ‬
‫‪“Dari Nawwās ibn Samʻān r.a., berkata, Nabi Saw., bersabda,‬‬
‫‪“Kebaikan adalah akhlak terpuji, sedangkan dosa adalah sesuatu‬‬
‫‪yang mengganggu jiwamu dan kamu tidak suka jika orang lain‬‬
‫‪melihatnya.” (HR. al-Muslim)14‬‬

‫)‪15. Jalan Menuju Surga (Hadis ke 29‬‬

‫ْﺧﻠ ُِﲏ اﳉَﻨﱠﺔَ‬


‫َﻞ ﻳُﺪ ِ‬
‫ِْﱐ ﺑِ َﻌﻤ ٍ‬
‫ﷲ أَﺧْﱪِ‬
‫ُﻮل ا ِ‬
‫ُﻠﺖ‪ :‬ﻳَﺎ َرﺳ َ‬
‫َﺎل‪ :‬ﻗ ُ‬
‫ﻋَﻦ ُﻣﻌَﺎذِﺑ ِﻦ َﺟﺒ ٍَﻞ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ ﻗ َ‬

‫َﺴﲑٌ َﻋﻠَﻰ َﻣ ْﻦ ﻳَ ﱠﺴَﺮﻩُ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴﻪِ‪،‬‬


‫َﺎل‪ :‬ﻟََﻘ ْﺪ َﺳﺄَﻟْﺘ َِﲏ َﻋ ْﻦ َﻋﻈِﻴﻢٍ‪َ ،‬وإِﻧﱠﻪُ ﻟَﻴ ِ‬
‫َوﻳـُﺒَﺎ ِﻋﺪُِﱐ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺎرِ‪ ،‬ﻗ َ‬

‫ﺼﻼَةَ‪َ ،‬وﺗـُﺆِْﰐ اﻟﱠﺰَﻛﺎةَ‪َ ،‬وﺗَﺼُﻮمُ َرَﻣﻀَﺎنَ‪ ،‬وَﲢَُ ﱡﺞ‬


‫ﺗَـ ْﻌﺒُ ُﺪ اﻟﻠﱠﻪَ َوﻻَ ﺗُ ْﺸﺮِْك ﺑِِﻪ َﺷْﻴﺌًﺎ‪َ ،‬وﺗُﻘِﻴ ُﻢ اﻟ ﱠ‬

‫ﺼ َﺪﻗَﺔُ ﺗُﻄْ ِﻔ ُﺊ اﳋَﻄِﻴﺌَﺔَ َﻛﻤَﺎ‬


‫َﲑ‪ :‬اﻟﺼ ْﱠﻮُم ُﺟﻨﱠﺔٌ‪ ،‬وَاﻟ ﱠ‬
‫َاب اﳋ ِْ‬
‫ﱡﻚ َﻋﻠَﻰ أَﺑْـﻮ ِ‬
‫َﺎل‪ :‬أَﻻَ أَ ُدﻟ َ‬
‫ْﺖ‪ ,‬ﰒُﱠ ﻗ َ‬
‫اﻟﺒَـﻴ َ‬

‫َﺎﰱ ُﺟﻨُﻮﺑـُ ُﻬ ْﻢ َﻋ ِﻦ‬


‫َﺎل‪ :‬ﰒُﱠ ﺗَﻼَ }ﺗَـﺘَﺠ َ‬
‫ْف اﻟﻠﱠﻴ ِْﻞ ﻗ َ‬
‫ُﻞ ِﻣ ْﻦ ﺟَﻮ ِ‬
‫ﺻﻼَةُ اﻟﱠﺮﺟ ِ‬
‫ﻳُﻄْ ِﻔ ُﺊ اﻟْﻤَﺎءُ اﻟﻨﱠﺎرَ‪َ ،‬و َ‬

‫ْس اﻷَ ْﻣ ِﺮ ُﻛﻠﱢ ِﻪ َو َﻋﻤُﻮِدﻩِ‪،‬‬


‫ُِك ﺑَِﺮأ ِ‬
‫َﺎل‪ :‬أَﻻَ أُﺧْﱪ َ‬
‫َﱴ ﺑـَﻠَ َﻎ }ﻳـَ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن{ ‪ ,‬ﰒُﱠ ﻗ َ‬
‫َﺎﺟ ِﻊ{‪ ،‬ﺣ ﱠ‬
‫اﻟْ َﻤﻀ ِ‬

‫ﺼﻼَةُ‪،‬‬
‫س اﻷَ ْﻣ ِﺮ ا ِﻹ ْﺳﻼَمُ‪َ ،‬و َﻋﻤُﻮ ُدﻩُ اﻟ ﱠ‬
‫َﺎل‪َ :‬رأْ ُ‬
‫ُﻮل اﷲِ‪ ،‬ﻗ َ‬
‫ْﺖ‪ :‬ﺑـَﻠَﻰ ﻳَﺎ َرﺳ َ‬
‫َوذِرَْوةِ َﺳﻨَﺎ ِﻣﻪِ؟ ﻗـُﻠ ُ‬

‫َﱯ اﷲِ‪،‬‬
‫ْﺖ‪ :‬ﺑـَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﻧِ ﱠ‬
‫ِﻚ ُﻛﻠﱢﻪِ؟ ﻗـُﻠ ُ‬
‫َك َذﻟ َ‬
‫ُِك ﲟَِﻼ ِ‬
‫َﺎل‪ :‬أَﻻَ أُﺧْﱪ َ‬
‫َوِذرَْوةُ َﺳﻨَﺎ ِﻣ ِﻪ اﳉِﻬَﺎ ُد‪ ,‬ﰒُﱠ ﻗ َ‬

‫َﱯ اﷲِ‪َ ،‬وإِﻧﱠﺎ ﻟَ ُﻤﺆَا َﺧﺬُو َن ﲟَِﺎ ﻧـَﺘَ َﻜﻠﱠ ُﻢ‬


‫ْﺖ‪ :‬ﻳَﺎ ﻧِ ﱠ‬
‫ْﻚ َﻫﺬَا‪ ،‬ﻓَـ ُﻘﻠ ُ‬
‫ُﻒ َﻋﻠَﻴ َ‬
‫َﺎل‪ :‬ﻛ ﱠ‬
‫ﻓَﺄَ َﺧ َﺬ ﺑِﻠِﺴَﺎﻧِِﻪ ﻗ َ‬

‫‪13‬‬
‫‪al-Imâm Abû ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, jilid 4,‬‬
‫‪h. 736-737.‬‬
‫‪14‬‬
‫‪al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh‬‬
‫‪Muslim, jilid 4, h. 1980.‬‬
70

‫ﱠﺎس ِﰲ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻋﻠَﻰ ُوﺟُﻮِﻫ ِﻬ ْﻢ أ َْو َﻋﻠَﻰ‬


َ ‫ُﺐ اﻟﻨ‬
‫ َوَﻫ ْﻞ ﻳَﻜ ﱡ‬،ُ‫ﱡﻚ ﻳَﺎ ُﻣﻌَﺎذ‬
َ ‫ْﻚ أُﻣ‬
َ ‫ ﺛَ ِﻜﻠَﺘ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ﺑِﻪِ؟ ﻓَـﻘ‬

.‫ْﺴﻨَﺘِ ِﻬ ْﻢ‬
ِ ‫َﺎﺧ ِﺮِﻫ ْﻢ إِﻻﱠ َﺣﺼَﺎﺋِ ُﺪ أَﻟ‬
ِ ‫َﻣﻨ‬
‘’Dari Muʻâdz ibn Jabal r.a., berkata, “Aku pernah berkata, “Wahai
Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang suatu amal yang akan
memasukkanku kedalam surga dan menjauhkanku dari neraka.'
Beliau menjawab: "Kamu telah menanyakan kepadaku tentang
perkara yang besar, padahal sungguh ia merupakan perkara ringan
bagi orang yang telah Allah jadikan ringan baginya, yaitu: Kamu
menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa
pun, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan
Ramadhan, berhaji ke Baitullah." Kemudian beliau bersabda:
"Maukah kamu aku tunjukkan pada pintu-pintu kebaikan? Puasa
adalah perisai dan sedekah akan memadamkan kesalahan
sebagaimana air memadamkan api, dan shalat seorang laki-laki pada
pertengahan malam." Kemudian beliau membaca; "Lambung mereka
jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya
dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezki yang Kami berikan kepada mereka. (16) Seorang pun tidak
mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-
macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (As-Sajdah: 16-17).
Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku tunjukkan pokok
perkara agama, tiang dan puncaknya?" Aku menjawab: "Ya, wahai
Rasulullah." Beliau bersabda: "Pokok dari perkara agama adalah
Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad.'
Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku kabarkan dengan
sesuatu yang menguatkan itu semua?" Aku menjawab; 'Ya, wahai
Nabi Allah.' Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda:
"'Tahanlah (lidah) mu ini." Aku bertanya; 'Wahai Nabi Allah,
(Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang
kita ucapkan? ' Beliau menjawab, 'Semoga ibumu kehilanganmu!
(ungkapan terkejut). Tidak ada yang menjatuhkan manusia di atas
wajah-wajah mereka-atau beliau bersabda, hidung-hidung mereka,
melainkan hasil lisan mereka (yang buruk)'.” (HR.al-Tirmidzî)15

16. Jauhilah Kesenangan Dunia, Niscaya Dicintai Allah (Hadis ke 31)

‫ﱠﱯ‬
‫ﱄ اﻟﻨِ ﱢ‬
َ ِ‫ ﺟَﺎءَ َر ُﺟ ٌﻞ إ‬:‫ي َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ ﻗَﺎ َل‬
‫َﻬﻞ ﺑ ِﻦ ﺳَﻌ ٍﺪ اﻟﺴﱠﺎ ِﻋ ِﺪ ﱢ‬
ِ ‫ﱠﺎس ﺳ‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ اﻟ َﻌﺒ‬

ُ‫َﻞ إِذَا أَﻧَﺎ َﻋ ِﻤ ْﻠﺘُﻪُ أَ َﺣﺒ ِﱠﲏ اﻟﻠﱠﻪ‬


ٍ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ُدﻟ ِﱠﲏ َﻋﻠَﻰ َﻋﻤ‬
َ ‫ ﻳَﺎ َرﺳ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـﻘ‬
َ

15
al-Imâm al-Hâfiẕ Abî Isâ Muhammad Ibn Isâ al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, jilid.4, h.
362-363.
71

‫ﱡﻚ‬
َ ‫ﱠﺎس ُِﳛﺒ‬
ِ ‫َازَﻫ ْﺪ ﻓِﻴﻤَﺎ ِﰲ أَﻳْﺪِي اﻟﻨ‬
ْ ‫ و‬،ُ‫ﱠﻚ اﻟﻠﱠﻪ‬
َ ‫ » ْازَﻫ ْﺪ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ ُِﳛﺒ‬:‫َﺎل‬
َ ‫َوأَ َﺣﺒ ِﱠﲏ اﻟﻨﱠﺎسُ؟ ﻓَـﻘ‬

«‫س‬
ُ ‫اﻟﻨﱠﺎ‬
‘’Dari Abû Abbâs Sahl ibn Saʻad al-â ʻidî r.a., berkata, “Seseorang
datang kepada Rasulullah, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah,
tunjukan kepadaku amal perbuatan, yang jika kulakukan, aku dicintai
Allah dan dicintai semua manusia. ‘Rasul pun menjawab”
‘Berzuhudlah dengan dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan
berzuhudlah dengan apa yang dimiliki orang lain, niscaya engkau
dicintai mereka.” (HR. Ibn Mâjah)16

17. Tidak Boleh Berbuat Kerusakan (Hadis ke 32)

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬


َ ِ‫ُﻮل اﷲ‬
َ ‫ي َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ أَ ﱠن َرﺳ‬
‫َﻋ ْﻦ أَﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ ﺳَﻌﺪِﺑ ِﻦ ِﺳﻨَﺎ ٍن اﳋُﺪ ِر ﱢ‬

«‫ﺿَﺮَر وََﻻ ِﺿﺮَا َر‬


َ ‫ »َﻻ‬:‫َﺎل‬
َ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
‘’Dari Abû Saʻid ibn Sinān al-Khudriy r.a., berkata, Rasulullah Saw.,
bersabda, “Tidak boleh membahayakan orang lain dan tidak boleh
membalas bahaya orang lain melebihi bahaya yang
diberikannya.” (HR. Ibn Mâjah)
17

18. Kewajiban Memberantas Kemungkaran (Hadis ke 34)

‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


َ ِ‫ُﻮل اﷲ‬
َ ‫َِﻌﺖ َرﺳ‬
ُ ‫ ﲰ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ي َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ ﻗ‬
‫َﻋ ْﻦ أَﰊ َﺳﻌِﻴ ٍﺪ اﳋُﺪ ِر ﱢ‬

‫ ﻓَِﺈ ْن َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ‬،ِ‫ ﻓَِﺈ ْن َﱂْ ﻳَ ْﺴﺘَ ِﻄ ْﻊ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪ‬،ِ‫ َﻣ ْﻦ َرأَى ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ُﻣْﻨ َﻜﺮًا ﻓَـ ْﻠﻴُـﻐَﻴـ ْﱢﺮﻩُ ﺑِﻴَ ِﺪﻩ‬:‫ﻳـَ ُﻘﻮ ُل‬

‫اﻹﳝَﺎ ِن‬
ِْ ‫َﻒ‬
ُ ‫ﺿﻌ‬
ْ َ‫ِﻚ أ‬
َ ‫ َوذَﻟ‬،ِ‫ﻓَﺒِ َﻘ ْﻠﺒِﻪ‬
‘’Dari Abû Saʻīd al-Khudriy r.a., berkata, Aku mendengar Rasulullah
Saw., bersabda, “Siapa saja diantara kalian yang melihat
kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika tidak
mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu (juga), ubahlah
dengan hatiya; dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. al-
Muslim)18

16
al-Ḥâfiẓ Abî Abdillah Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, (Dâr Ihnyâ
al-Kitab al-ʼArabiyyah), jilid.2, h.1373.
17
al-Ḥâfiẓ Abî Abdillah Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, h.784.
18
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh
Muslim, jilid 1, h. 69.
72

19. Jangan Saling Mendengki (Hadis ke 35)

،‫ َﻻ ﲢََﺎ َﺳ ُﺪوا‬:‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


َ ‫ﷲ‬
ِ ‫ُﻮل ا‬
ُ ‫َﺎل َرﺳ‬
َ ‫ﻗ‬: ‫َﺎل‬
َ ‫َﻋ ْﻦ أَﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪُ ﻗ‬

‫ َوﻛُﻮﻧُﻮا ِﻋﺒَﺎ َد‬،‫ْﺾ‬


ٍ ‫ﻀ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﺑـَْﻴ ِﻊ ﺑـَﻌ‬
ُ ‫ وََﻻ ﻳَﺒِ ْﻊ ﺑـَ ْﻌ‬،‫ وََﻻ ﺗَﺪَاﺑـَ ُﺮوا‬،‫ﻀﻮا‬
ُ ‫ وََﻻ ﺗَـﺒَﺎ َﻏ‬،‫وََﻻ ﺗَـﻨَﺎ َﺟ ُﺸﻮا‬

ُ‫ُﺸﲑ‬
ِ ‫ وََﻻ َْﳛ ِﻘ ُﺮﻩُ اﻟﺘﱠـ ْﻘﻮَى ﻫَﺎ ُﻫﻨَﺎ« َوﻳ‬،ُ‫ َﻻ ﻳَﻈْﻠِ ُﻤﻪُ وََﻻ ﳜَْ ُﺬﻟُﻪ‬،ِ‫اﷲِ إِ ْﺧﻮَاﻧًﺎ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ُﻢ أَﺧُﻮ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻢ‬

‫ ُﻛ ﱡﻞ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻢ‬،َ‫ْﺐ ا ْﻣ ِﺮ ٍئ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺸﱢﺮ أَ ْن َْﳛ ِﻘَﺮ أَﺧَﺎﻩُ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻢ‬


ِ ‫ﱠات »ﲝَِﺴ‬
ٍ ‫ث َﻣﺮ‬
َ ‫ﺻ ْﺪ ِرﻩِ ﺛ ََﻼ‬
َ ‫إ َِﱃ‬

ُ‫ﺿﻪ‬
ُ ‫ َوﻋ ِْﺮ‬،ُ‫ َوﻣَﺎﻟُﻪ‬،ُ‫ َد ُﻣﻪ‬،ٌ‫َﻋﻠَﻰ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻢ َﺣﺮَام‬
“Dari Abû Hurairah r.a., berkata, Rasulullah Saw., bersabda.
“Janganlah saling mendengki, saling menipu, saling membenci,
saling membelakangi. Dan janganlah sebagian kalian membeli
barang yang sedang dibeli sebagian lainnya. Jadilah kalian hamba-
hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah
saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak menzalimi, berdusta, dan
merendahkannya. Takwa itu di sini-Rasulullah menunjuk ke dadanya
sebanyak tiga kali. Cukuplah seseorang dianggap jelek jika
merendahkan saudaranya sesama muslim. Darah, harta, dan
kehormatan setiap muslim adalah haram bagi muslim lainnya.” (HR.
al-Muslim)19

20. Membantu Kesulitan Sesama Muslim (Hadis ke 36)

‫ﱠﺲ َﻋ ْﻦ‬
َ ‫ َﻣ ْﻦ ﻧـَﻔ‬:‫َﺎل‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫ َﻋ ِﻦ اﻟﻨِ ﱢ‬،ُ‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـَﺮةَ َر ِﺿ َﻲ اﷲُ ﻋَﻨﻪ‬

‫ َوَﻣ ْﻦ ﻳَ ﱠﺴَﺮ َﻋﻠَﻰ‬،ِ‫َب ﻳـَﻮِْم اﻟْ ِﻘﻴَﺎ َﻣﺔ‬


ِ ‫ﱠﺲ اﷲُ َﻋْﻨﻪُ ﻛ ُْﺮﺑَﺔً ِﻣ ْﻦ ُﻛﺮ‬
َ ‫ ﻧـَﻔ‬،‫َب اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬
ِ ‫ﻣ ُْﺆِﻣ ٍﻦ ﻛ ُْﺮﺑَﺔً ِﻣ ْﻦ ُﻛﺮ‬

‫ َﺳﺘَـَﺮﻩُ اﷲُ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬،‫ َوَﻣ ْﻦ َﺳﺘَـَﺮ ُﻣ ْﺴﻠِﻤًﺎ‬،ِ‫َاﻵ ِﺧَﺮة‬


ْ ‫ ﻳَ ﱠﺴَﺮ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ و‬،ٍ‫ْﺴﺮ‬
ِ ‫ُﻣﻌ‬

‫ﺲ ﻓِﻴ ِﻪ‬
ُ ‫َﻚ ﻃَ ِﺮﻳﻘًﺎ ﻳـَْﻠﺘَ ِﻤ‬
َ ‫ َوَﻣ ْﻦ َﺳﻠ‬،ِ‫َﺧﻴﻪ‬
ِ ‫ وَاﷲُ ِﰲ ﻋ َْﻮ ِن اﻟْ َﻌْﺒ ِﺪ ﻣَﺎ ﻛَﺎ َن اﻟْ َﻌْﺒ ُﺪ ِﰲ ﻋ َْﻮ ِن أ‬،ِ‫َاﻵ ِﺧَﺮة‬
ْ‫و‬

‫ ﻳـَْﺘـﻠُﻮ َن‬،ِ‫ُﻮت اﷲ‬


ِ ‫ْﺖ ِﻣ ْﻦ ﺑـُﻴ‬
ٍ ‫ َوﻣَﺎ ا ْﺟﺘَ َﻤ َﻊ ﻗـ َْﻮٌم ِﰲ ﺑـَﻴ‬،ِ‫ َﺳ ﱠﻬ َﻞ اﷲُ ﻟَﻪُ ﺑِِﻪ ﻃَ ِﺮﻳﻘًﺎ إ َِﱃ اﳉَْﻨﱠﺔ‬،‫ِﻋ ْﻠﻤًﺎ‬

19
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh
Muslim, jilid 4, h. 1986.
73

‫َﺸﻴَْﺘـ ُﻬ ُﻢ اﻟﺮﱠﲪَْﺔُ َو َﺣ ﱠﻔْﺘـ ُﻬ ُﻢ‬


ِ ‫ َوﻏ‬،ُ‫َﺖ َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ِﻢ اﻟ ﱠﺴﻜِﻴﻨَﺔ‬
ْ ‫ إﱠِﻻ ﻧـََﺰﻟ‬،ْ‫ َوﻳـَﺘَﺪَا َرﺳُﻮﻧَﻪُ ﺑـَْﻴـﻨَـ ُﻬﻢ‬،ِ‫ﺎب اﷲ‬
َ َ‫ﻛِﺘ‬

ُ‫ َﱂْ ﻳُ ْﺴ ِﺮ ْع ﺑِِﻪ ﻧَ َﺴﺒُﻪ‬،ُ‫ َوَﻣ ْﻦ ﺑَﻄﱠﺄَ ﺑِِﻪ َﻋ َﻤﻠُﻪ‬،ُ‫ َوذَ َﻛَﺮُﻫ ُﻢ اﷲُ ﻓِﻴ َﻤ ْﻦ ِﻋْﻨ َﺪﻩ‬،ُ‫َﻼﺋِ َﻜﺔ‬
َ ‫اﻟْﻤ‬
‘’Dari Abû Hurairah r.a., berkata, Nabi Saw., bersabda. “Siapa yang
melepaskan satu kesusahan di dunia dari seorang mukmin maka Allah
akan melepaskan kesusahan baginya di hari kiamat. Siapa yang member
kemudahan kepada orang yang telah ditimpa kesulitan maka Allah akan
memberinya kemudahan baik di dunia maupun di akhirat. Siapa yang
menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di dunia
dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya, selagi ia menolong
sesamanya. Siapa yang menumpuh jalan dalam rangka menuntut ilmu
maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah
suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca al-
Qur’ān dan mempelajarinya bersama-sama, malainkan turun ketenangan
kepada mereka, diliputi rahmat, dikelilingi malaikat, dan disebut-sebut
Allah di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. Dan siapa yang cacat
amalnya maka nasabnya tidak bisa menyempurnakannya” (HR. al-
Muslim)20

B. Penjelasan Tentang Hadis-Hadis Akhlak

1. Agama adalah Nasihat (Hadis ke 7)

Menurut al-khattabîref dalam Syarh al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah

berpendapat bahwasannya sebuah nasihat itu merupakan kata yang ringkas

tetapi padat (istilah), mengandung makna yang bisa memberikan

pengertian yang berbeda-beda kepada yang dinasihatinya. Nasihat bisa

diumpakamakan seperti menjahit pakaian, perbuatan yang dilakukan

karena demi kebaikan pihak yang diberikan nasihat.21

20
al-Imâm Abû al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarûrî, Sahîh
Muslim, jilid 4, h. 2074.
21
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah,
(Kairo: Dîr Ibn al-Jauzî, 2014), h. 61.
74

Nasihat itu disebut Din (agama) dan Islam menurut Ibnu Baṭṭal

berdasarkan potongan hadis di atas ُ‫اﻟﺪﱢﻳ ُﻦ اﻟﻨﱠﺼِﻴ َﺤﺔ‬ (Agama itu Nasihat)

menjelaskan agama itu dapat dilakasanakan dengan amalan (perbuatan)

seperti ucapan.22 Contohnya seperti nasihat untuk seorang pemimpin, kita

bukan hanya harus membela, menaati,23 mendukung, membantu serta

menolong mereka dalam perkara yang wajib dibantu atas dasar kebenaran

bukan semata-mata karena ada maksud lain yang tersembunyi. 24 Tapi kita

juga memiiki tanggung jawab untuk mengingatkan mereka dengan lemah

lembut saat seorang pemimpin lalai dari perintah Allah Swt., memberitahu

tentang apa yang mereka lalaikan, mencegah mereka dari menyelisihkan

kebenaran, berbuat zalim dan menyampaikan kepada mereka tentang hak-

hak kaum Muslimin.25

Baik pemimpin yang besar (presiden) hingga para pemerintahan,

hakim, semua orang yang memiliki jabatan umum atau khusus, kita harus

mengakui kepemimpinan, mendengarkan, mematuhi mereka,26 menurut

penulis bukan hanya berapa banyak hak yang diperoleh oleh seorang

pemimpin dan yang dipimpin (makhluk hidup), tetapi juga tahu betul apa

22
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 62.
23
Q.s. al-Nisâ'/4: 59. Hukumnya wajib patuh kepada para pemimpin kaum Muslimin
(yang memberlakukan syariat Islam)
24
Tersembunyi atau dirahasiakan. Lihat Kbbi V, Badan pengembangan dan pembinaan
Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
25
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Ibn Daqîq al-ʻÎd, Syarah al-Arbaʻîn al-
Nawawîyyah, h. 61-64.
26
Nasehat untuk para pemimpin kaum muslimin menurut Syekh as-Sa’dî dalam Syarah
al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 65.
75

kewajiban yang harus mereka jalankan. Karena itu kita harus selektif27

dalam memilih seorang pemimpin.

Sedangkan nasihat untuk kaum Muslimin menurut Syekh Utsaimin

yaitu memberikan arahan dengan menyeru kepada Allah, mengajak

kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar. Yang

pertama kali masuk kedalam kategori kaum Muslimin adalah diri kita

sendiri, Oleh karena itu pertama-tama sebelum memberikan nasihat

kepada orang lain harus menasehati dirinya sendiri.28

Kita seharusnya senantiasa selalu menasehati dalam hal kebaikan, jika

kondisi dan kesempatan megizinkan, bukan hanya pada perkara yang

berhubungan dengan duniawi saja tetapi juga yang berhubungan dengan

ibadah demi kemaslahatan29 hidup mereka didunia dan akhirat kelak.

Untuk menghindari salah faham ketika kita menyampaikan sebuah

nasihat harus menggunakan bahasa yang sopan, lembut jangan sampai

menyinggung perasaan orang itu ketika mengatakannya. Jangan pula

mengingatkan atau menasehati di depan orang banyak bahkan sampai

membuka aib seseorang, karena itu pemilihan tempat, waktu, situasi, dan

kesempatan yang tepat sangat mempengaruhi nasihat kita akan diterima

degan baik atau tidaknya oleh yang mendengarkan nasihat tersebut.30

2. Do’a dan Makanan Halal (Hadis ke 10)

Hadis ini menjelaskan bahwasanya ada beberapa hal yang membuat

diterima do’a seseorang karena “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak

27
Selektif adalah dengan melalui seleksi atau penyaringan. Lihat Kbbi.
28
Muhammad Ibn Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 66.
29
Kemaslahatan atau kegunaan. Lihat kbbi
30
Musthafa al-ʻAdawy, Fikih Akhlak, terj. dari Fiqh al-Akhlâk wa al-Muʻāmâlat baina al-
Muʻminîn Salim Bazemool dan Taufik Daamas, (Jakarta: Qisthi Press, 2010), h. 325.
76

merima kecuali yang baik.” Contohnya jika ingin mendekatkan diri

kepada-Nya tidak boleh sedekah31 dengan yang haram dan hukumnya

makruh jika kita bersedekah makanan yang buruk atau dengan yang berisi

syubhat.32

karena dengan jelas bisa diketahui yang menyebabkan tidak

terkAbûlnya do’a dalam hadis diatas adalah menggunakan barang yang

haram, baik makanan, minuman, pakaian karena itu kita harus

memperhatikan semua amalan yang kita kerjakan apakah sudah terjaga

(baik) lagi bersih dari noda riya’ (pamrih), ʻujub (kagum diri), sum’ah

(cari popularitas) dan sejenisnya agar do’a kita dikAbûlkan oleh Allah

Swt.33 Seperti yang terdapat dalam Q.s. al-Muʻminȗn/23: 51

‫َﺎت وَا ْﻋ َﻤﻠُﻮا ﺻَﺎﳊًِﺎ‬


ِ ‫ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱡﺮ ُﺳﻞُ ُﻛﻠُﻮا ِﻣ َﻦ اﻟﻄﱠﻴﱢﺒ‬
‘’Wahai para Rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik,
dan kerjakanlah amal yang saleh.”

3. Meninggalkan Sesuatu yang Tidak Bermanfaat (Hadis ke 12)

Menurut imam al-Nawawî dalam syaraḥnya jika orang yang masih

berakal berfikir dengan baik, dan akalnya tidak dikalahkan oleh hawa

nafsunya seharusnya memahami zamanya, memperhatikan keadaannya,

dan menjaga lisannya. Karena jika seseorang memperhitungkan ucapannya

daripada amalnya, maka ia akan sedikit sekali berbicara kecuali itu perkara

31
Q.s. al-Dzariyat/51: 19. Hak untuk orang miskin, Q.s. al-Baqarah/2: 264-266. Sedekah
tanpa harus menyaiti perasaan yang menerimanya.
32
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 77.
33
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî terj. dari al-Wafi fi Syarhil Arbaʻîn al-Nawawî yyah oleh Rohidin Wakhid. Jakarta:
Qisthi Press, 2017. cet.2. h. 85.
77

yang berguna baginya.34 Seperti hadis berikut ini: yang artinya “Celakalah

orang yang berlebih-lebihan.” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.

35
‫َﻚ اﻟْ ُﻤﺘَـﻨَﻄﱢﻌُﻮ َن« ﻗَﺎ َﳍَﺎ ﺛ ََﻼﺛًﺎ‬
َ ‫» َﻫﻠ‬

Dengan demikian jika seseorang memperhitungkan ucapannya dari

pada amalnya, ia akan banyak diam dan berbicara hanya untuk perkara

yang penting saja. Semoga saat lisan kita diam, diamnya itu bermanfaat

untuk dirinya dan orang lain bukan sebaliknya, tetapi yang banyak

berbicara bukan berarti tidak bermanfaat, hanya saja kita seharusnya tidak

berlebihan berbicaralah sesuai dengan kebutuhan. Apalagi jika itu bersifat

duniawi karena Allah tidak suka segala sesuatu yang berlebih-lebihan.36

Kandungan hadis ini juga menjelaskan bahwa jika seseorang tidak

meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, maka saam halnya

ia berbuat buruk dalam keIslaman mencakup ucapan dan perbuatan yang

terlarangan. Maka dari itu kita seharusnya bersikap jujur dalam berbicara,

menunaikan amanat, dan meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.37

4. Mencintai Kebaikan untuk Orang Lain (Hadis ke 13)

Iman seseorang dalam hadis ini dijelaskan tidak akan sempurna jika

ia tidak mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri, cinta

disini yang bersifat ukhrawi bukan kemanusiaan karena maksud mencintai

disini yaitu mengingikan kebaikan dan kemanfaatan. Dengan demikian

34
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 82.
35
al-Imâm Abū al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarȗrî, Sahîh
Muslim, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1991), no. 2670, jld. 4, h. 2055.
36
Q.s. al-Aʻrâf/7:3 dan HR. Sahîh Muslim.
37
Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, dan Ibn Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-
Nawawîyyah, h. 83-84.
78

selama seseorang tidak mencintai untuk saudaranya, dan segala yang

dicintainya hanya untu dirinya sendiri maka ia termasuk sebagai orang

yang dengki.38

Seperti yang dikatakan al-Ghazāli yang mengelompokan kedengkian

menjadi tiga macam diantaranya: pertama, ia menginginkan hilangnya

kenikmatan dari orang lain dan meraihnya untuk dirinya. Kedua,

mengharapkan hilangnya kenikmatan dari orang lain, meskipun nikmat

tersebut tidak diraihnya. Demikian pula jika ia memiliki sepertinya, atau ia

tidak meyukainnya, dan ini lebih buruk lagi dari yang pertama. Ketiga, ia

tidak mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, akan tetapi ia tidak

suka jika orang tersebut mengungguli bagian dankedudukannya. Ia riḍa

bila setara, tapi tidak riḍa bila melebihinya39, akan tetapi prilaku tesebut

jelas diharamkan oleh syariat Islam karena tidak ridha dengan pembagian

Allah Swt.40

Persahabatan atau terjalinnya sebuah persaudaraan itu semua

merupakan buah dari hasil prilaku baik (kebaikan akhlak) kita terhadap

orang lain. Sedangkan perseteruan atau perselisihan lebih sebagai buah

dari prilaku yang buruk (keburukan akhlak). Karena kebaikan akhlak

merupakan sumber awal atau akar dari terciptanya kasih sayang dan

keburukan akhlak merupakan akar dari kebencian, kedengkian, dan

permusuhan (segala sesuatu yang bersifat buruk atau tercela). Oleh karena

38
Dengki adalah menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat
kepada keberuntungan orang lain. Lihat Kbbi.
39
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 85-86.
40
Q.s. al-Zukhruf//43:32
79

itu buah dari akhlak yang baik adaalh segala sesuatu yang bersifat

terpuji.41

5. Dermawan dan Diam (Hadis ke 15)

Dalam syaraḥ imam al-Nawawî makna hadis ke 15 ini jika ada

seseorang yang hendak berbicara, maka harus memikirkannya terlebih

dahulu. Apakah ucapannya itu tidak merugikannya maka bicaralah atau

sebaliknya jika ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu untuk

mengatakannya, maka sebaiknya tahanlah (jangan berbicara atau diam).42

Ada beberapa syarat yang harus kita ketahui saat ingin berbicara

agar ketika mengucapkannya dapat terhindar dari ketergelinciran dan

selamat dari cacatnya (tidak menyinggung orang lain saat berbicara) ada

empat diantaranya:

a) Pembicaraan itu untuk seorang da’i yang mengajak guna menarik

kemanfaatan atau menolak kemudaratan.

b) Meletakan pembicaraan tepat pada tempatnya dan sengaja mencari

kesempatan yang benar.

c) Berbicaara dengan pembicaraan sekedar keperluan, dan

d) Memilih kata-kata yang akan dibicarakan.43

Dermawan atau perbuatan murah hati merupakan sifat yang

termasuk kedalam akhlak yang terpuji,44 dalam hadis ini megandung

anjuran untuk kita memuliakan tetangga dan tamu. Tetangga yang

41
al-Imâm al-Ghazâlî, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama. dari
Ihyâ ‘Ulȗm al-Dîn oleh Ibnu Ibrahim Ba’adillah, (Jakarta: Republika, 2011), jld. 3, h. 182.
42
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 91.
43
Abul Hasan Ali al-Mawardi, Mutiara Akhlak al-Karimah, (Jakarta: PUSTAKA
AMANI, 1993), h. 136-137.
44
Lihat Akhlak di Seputar Sikap Dermawan dan Suka Memberi, al-Imâm Al-Ghazâlî,
Ihya Ulumuddi, h.386-387.
80

berdekatan, masih kerabat lagi Muslim mempunyai tiga hak, tetangga jauh

lagi Muslim mempunyai dua hak, dan yang bukan kerabat lagi Muslim

mempunyai satu hak. Sama halnya seperti menjamu tamu yang

mempunyai hak seperti hak tetangga, hanya saja berbeda pada bagian

ketiga yaitu jika ia kafir bukan kerabat, ia tetap mempunyai satu hak: hak

sebagai tetangga.45

Penulis kitab al-Ifsâḥ (al-Ṭabari) mengatakan, ʻʼTanda kepahaman

dalam agama, ialah seseorang meyakini bahwa memuliakan tamu adalah

ibadah yang tidak berkurang pahalanya bila menyambut orang kaya

sebagai tamu, dan tidak mengurangi pahalanya bila ia menghidangkan

keapada tamunya sedikit dari apa yang dimilikinya.”46

Dalam bertetangga kita harus selalu bersikap sopan santu dalam

berprilaku, ada ungkapan ketika ingin membeli rumah yaitu “Tetangga

sebelum rumah”, karena tetangga itu yang dekat dengan kita dan paling

cepat memberikan pertolongan jika terjadi sesuatu kepada kita. Karena itu

tetangga memiliki peran yang amat penting dalam ketenteraman hidup

kita, apa gunanya rumah mewah, luas, tetapi penghuninya merasa tidak

tenteram jika tetangganya menggagu dan tidak baik.47

Penghormatan kepada tamu ada tingkatannya dan beragam. Agama

tidak menentukan serta membedakan tamu berdasarkan status sosial

mereka semuanya sama saja, akan tetapi yang terpenting adalah dalam

bersikap kita harus sewajarnya dan sesuai dengan kedudukan sang tamu

45
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , dan Muhammad Ibn Sâleh Ibn Utsaimîn,
Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 93 dan 95.
46
Ibnu Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 94.
47
M. Quraidh Shihab, Yang Hilang Dari Kita Akhlak, (Tangerang Selatan: Lentera Hati,
2016), h.259-260.
81

tersebut. Misalnya menghormati tamu yang ulama, guru, atau orang yang

terpandang dalam masyrakat berbeda dengan tamu yang “biasa” pada

umumnya. Yang mutlak dari penghormatan itu adalah menyambutnya

dengan wajah yang ceria dan kata-kata yang menunjukan kegembiraan.48

Menunjukan kekesalan kita kepada tamu merupakan sifat tercela

tuan rumah, seperti keluar masuk ruangan, menghardik atau memarahi

anak-anak, semua itu akan membuat tamu merasa tidak nyaman. Karena

itu alangkah baiknya jika kita ingin bertamu atau berkunjung hendaknya

menyampaikan kepada yang akan dikunjungi terlebih dahulu tentang

rencaan kedatangannya. Ini dilakukan agar tidak merepotkan tuan rumah

dan yang bersangkutan tidak dikecewakan.49seperti tata cara bertamu yang

baik yang dijelaskan dalam Q.s. al-Ahzâb/33: 53.

6. Larangan Marah (Hadis ke 16)

Marah itu sifat tercela yang berasal dari setan Q.s. al-Aʻraf/: 200-

202.50 Dan dalam hadis riwayat Ahmad juga mengatakan hal yang sama

‫“ إِنﱠ اﻟ َﻐﻀَﺐَ ﻣِﻦَ اﻟﺸﱠﯿﻄَﺎن‬Seseungguhnyan kemarahan itu berasal dari setan”.

Karena itu akibat kemarahan manusia keluar dari keadaannya yang lurus,

berbicara dengan kasar, melakukan sesuatu yang tercela, meniatkan

kedengkian dan permusuhan, serta hal-hal tercela lagi diharamkan lainnya,

semua itu berasal dari kemarahan.51

Maka dari itu tidak boleh mengeluarkan keputusan ketika sedang

marah, lelah dan tidak menguasai permasalahannya, karena semua

48
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, H.108.
49
M. Quraidh Shihab, Yang Hilang Dari Kita Akhlak, h. 265-266.
50
Musthafa al-ʻAdawy, Fikih Akhlak, h. 388.
51
Ibnu Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 98.
82

keputusan itu akan dipengaruhi oleh setan. Seperti hadis yang

diriwayatkan Ahmad “Jika engkau marah, diamlah. Jika engkau marah,

diamlah. Jika engkau marah, diamlah!”52 disamping merupakan bisikan

setan, marah juga dapat menutup nakar dan akal sehat kita untuk berfikir

dengan jerni. Karena itu ada sejumlah ulama yang tidak mengesahkan

cerai karena marah yang beralasan dari sebuah hadis.53

Jangan marah artinya agar kita jangan sampai meluapkan amarah

itu. Larangan tersebut bukan merujuk pada kemarahan itu sendiri, hal itu

merupakan sifat atau tabiat manusia kita tidak bisa menyalahkannya

karena manusia tidak akan sanggup mengenyahkan itu dari dirinya, 54 oleh

karena itu mohonlah selalu perlindungan dari Allah Swt., Seperti yang

dikatakan Isa a.s., kepada Yahya As ibn Zakariyah a.s., ketika beliau

mengajarkan suatu ilmu yang bermanfaat; jangan marah! Kemudian Yahya

As bertanya “Bagaimana caraku agar tidak marah?” Isa As menjawab,

“Jika dikatakan kepadamu apa yang kamu miliki, maka katakanlah, 'Dosa

yang kamu sebutkan, aku memohon ampun kepada Allah darinya.' Jika

dikatakan kepadamu apa yang tidak terdapat padamu, maka pujilah Allah,

karena tidak ada apapun yang Allah berikan kepada kita yang membuat itu

menjadi alasan kita dicela.55

Menurut al-Saʻdî larangan jangan marah ini mengandung dua

perkara penting daintaranya. Pertama, berisi perintah agar kita selalu

berusaha, dan senantiasa berakhlak mulia santun dan sabar serta selalu

52
HR. Ahmad nomor 2425, 3269.
53
Musthafa al-ʻAdawy, Fikih Akhlak, h. 390.
54
Mengenyahkan aatu mengusir. Lihat KBBI.
55
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 97-98.
83

memepersiapkan diri kita jika suatu saat menghadapi prilaku yang biasa

dialakukan manusia berupa ucapan dan perbuatannya yang menyakitkan.

Kedua, menganjurkan agar ketika sesudah marah, agar tidak meluapkan

kemarahannya. Karena pada dasarnya kemarahan itu umumnya manusia

tidak daapt menolaknya, tetapi mampu untuk menahannya atau tidak

meluapkannya.56

7. Lemah Lembut dan Berbuat Baik (Hadis ke 17)

Lemah lembut merupakan sifat baik hati yang dimiliki oleh

seseorang,57 sifat tersebut juga sangat disukai oleh Allah Swt., yang juga

Mahalembut. Seperti dalam sebuah hadis dibawah ini:

‫ُِﺐ اﻟﱢﺮﻓْ َﻖ ِﰲ اﻷَ ْﻣ ِﺮ ُﻛﻠﱢ ِﻪ‬


‫إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َرﻓِﻴ ٌﻖ ﳛ ﱡ‬
‘’Sesungguhnya Allah Swt., Maha lembut, dan Dia mencintai
kelembutan dalam setiap perkara.”58 (HR. al-Bukhârî)

Dalam hadis kata ‫َﺐ اﻹِﺣﺴَﺎ َن َﻋﻠَﻲ ُﻛ ﱢﻞ ﺷَﻲ ٍء‬


َ ‫َﻛﺘ‬ َ‫إِ ﱠن اﷲ‬ (Ssesungguhnya

Allah Mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal serta menganjurkan agar

kita untuk selalu berbuat baik seperti yang terdapat dalam firman Allah

Swt., berikut:

‫ﱠﺖ ُوﺟُﻮُﻫ ُﻬ ْﻢ ِﰲ اﻟﻨﱠﺎ ِر َﻫ ْﻞ ُْﲡﺰَْو َن إﱠِﻻ ﻣَﺎ ُﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﺗَـ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن‬
ْ ‫َوَﻣ ْﻦ ﺟَﺎءَ ﺑِﺎﻟ ﱠﺴﻴﱢﺌَ ِﺔ ﻓَ ُﻜﺒ‬
‘’Dan barang siapa membawa kejahatan, maka
disungkurkanlah wajah mereka ke dalam neraka. Kamu tidak
diberi balasan, melainkan (setimpal) dengan apa yang telah kamu
kerjakan.’’59
56
Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn Daqîq al-
Îd, dan Muhammad Ibn Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 99.
57
Lihat KBBI
58
Abȗ ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhârî, (Damaskus: Dâr,
Ibn Katsîr, 2002), no. 6927, jld. 9, h. 1713 (16).
59
Q.s., al-Naml/27: 90
84

lemah lembut dalam setiap perkara karena hal itu bisa dikatakan

sebagai kunci bagi kebaikan dan keburuntungan. Karena jika seorang

muslim menanamkan sifat ihsan ini dalam hatinya niscaya bisa

meluluhkan hati seorang makhluk dalam kondisi dan situasi apa pun.

Jangan kan makhluk Allah saja menyukai orang yang berbuat baik

terdapat dalam Q.s. al-Baqarah/2: 195 ʻʼwa aḥsinū, innallāha yuḥibbul-

muḥsinīn(a)” (ʻʼDan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-

orang yang berbuat baik”).60

Berbuat baik merupakan anjuran yang pada dasarnya sudah jelas

hukumnya yaitu wajib, 61 dengan demikian kita harus menunaikan hak-hak

mereka (makhlauk hidup) yang sifatnya wajib seperti berbakti kepada

kedua orang tua, menyambung tali silaturahmi, dan berlaku adil dalam

segala muamalah.62

Berbuat baik dan lemah lembut dalam segala urusan dijelaskan

dalam kandungan hadis ini bahkan ketika ingin membunuh harus dengan

cara yang baik, dan tidak berniat untuk menganiaya. Contohnya dalam al-

qiṣāṣ atau menyembelih, harus menajamkan pisau, tidak boleh memotong

suatu tubuhnya hingga mati, memberikan air sebelum disembelih, jangan

menyembelih binatang yang banyak air susunya dan memiliki anak hingga

tidak membutuhkannya lagi.63

60
Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari. Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Cara Mencapai
Akhlak Mulia, (Jakarta: Pustaka Imâm Asy-Syafi’i, 2016), h. 261.
61
Q.s. al-Nisâ’/4: 26
62
Mualamalah adalah hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata,
dan sebagainya)
63
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 101
85

Karena itu ketika ingin menyembelih binatang sekalipun harus

dengan cara yang baik dan lemat lembut harus mengikuti proses yang baik

juga seperti, mengarahkannya kearah kiblat, tidak menjatuhkannya

sekaligus dan menariknya dari satu tempat ke tempat lain, menyebut nama

Allahh dengan sungguh-sungguh, memotong tenggorokan dan dua urat

leher, membiarkan hingga dingin.64

Berbuat baik (ihsan) menurut Syekh as-Sa’dī bahwasannya

mengandung dua perintah yang terdapat dalam hadis arba’īn yang ke 17

ini. Yaitu yang pertama, anjuran untuk kita selalu berbuat adil, kemudia

menunaikan kewajiban terhadap makhluk menurut kadar dan hak-hak

yang kamu dapatkan. Kedua, berbuat baik yang sudah jelas dianjurkan,

seperti memencurahkan segala sesuatu baik itu memanfaatkan badan,

harta, perbuatan, yang bersifat kebaikan ukhrawi atau kemaslahatan

duniawi. Karena segala sesuatu yang behubungan dengan kebajikan dan

semua yang membuat orang lain gembira adalah sedekah.65

8. Bertakwa Kepada Allah dan Akhlak Terpuji (Hadis ke 18)

Faedah atau intisari kandungan hadis ini yaitu ada tiga hal yang

pertama, perintah wajib untuk bertaqwa kepada Allah Swt., saat sendiriian

atau saat berada di khalayak ramai, karena ia tahu bahwa Allah Swt., Maha

melihat segala sesuatu yang hambanya lakukan di manapun mereka

berada. Kedua, amalan-amalan shaleh itu dapat menghapus keburukan.

64
Ibn Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 101-102
65
Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 102-103
86

Ketiga, anjuran agar kita berinteraksi dengan manusia dengan akhlak yang

baik (terpuji).66

Karena pada dasarnya hakikat takwa itu merupakan segala sesuatu

yang mencakup semua hal yang dibawa oleh Islam baik itu akidah, ibadah,

muamalah, dan juga akhlak yang diterkandung dalam Q.s. al-Baqarah/2:

177) pengertian takwa seperti itu bukanlah sesuatu yang harus di ucapkan

atau sesuatu yang harus dituntut tanpa adanya bukti apa pun, melainkan itu

semua merupakan pengalaman dari segala bentuk ketaatan kepada Allah

Swt., secara terus menerus dan meninggalkan segala macam perbuatan

durhaka kepada-Nya.67

Jika mendengar kata akhlak terpuji pasti yang terfikir oleh kita

pertama kali adalah Nabi, Rasul, dan kaum mukminin pilihan lainnya. Itu

semua karena mereka adalah sebagai sosok pribadi atau cerminan yang

memiliki sifatt tersebut karena mereka tidak membalas keburukan dengan

keburukan, tetapi dengan mudahnya memaafkan dan berbuat baik kepada

orang yang berbuat salah kepada mereka, meskipun mendapatkan

keburukan.68

Akhlak terpuji yang utama tidak menyakiti orang lain dalam

bentuk apapun itu, serta walaupun berat kita harus senantiasa memaafkan

berbagai bentuk keburukan serta gangguan yang kita terima dari orang lain

dan membalasnya dengan perbuatan maupun ucapan yang baik.

66
Hany asy-Syaikh Jum’ah Sahal, Mutiara Arbaʻîn: Syarah Hadits Arbaʻîn al-Nawawî
untuk pemula terj. dari Syarah Hadits Arbaʻîn al-Nawawî oleh Bukhari Abdul Mu’id. (Bogor:
Hilal Media, 2016), h. 57.
67
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 125-126.
68
Ibnu Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 10.
87

Sedangkan perkara yang khusus yang berkaitan dengan akhlak terpuji

ialah, santun terhadap manusia, bersabar, tidak marah, berwajah ceria,

berkata-kata lembut, kata-kata indah yang menyenangkan teman, serta

memberikan kegembiraan kepadanya, menghilangkan kesunyiannya dan

kemarahannya yang berat, senda gurau kadangkala menjadi kebaikan, jika

ada kemaslahatannya akan tetapi tetap tidak boleh berlebihan dalam

melakukannya.69

9. Malu dan Iman (Hadis ke 20)

Diantara akhlak mulia seseorang harus memiliki sifat malu, baik

itu malu kepada Allah maupun malu kepada setiap makhluk, dapat

dikatakan malu merupakan kunci dari setiap kebaikan. Menurut Ibnul

Qayyim sifat malu ini termasuk yang utama dan luhur kedudukannya,

sebab merupakan amalan hati yang paling bermanfaat menurut syariat

Islam. Seseorang dianggap tidak memiliki kebaikan sedikitpun jika tidak

memiliki akhlak mulia ini, karena malu dapat mendorong seseorang

menunaikan kewajiban, memenuhi hak orang lain, menyambung tali

silaturahmi, berbakti kepada kedua orang tua, serta memberikan semangat

untuk mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan yang Allah

Swt., perintahkan.70

Dalam hadis ke 20 ini mengandung makna yang memperbolehkan


untuk berbuat sesuka hatimu, akan tetapi boleh dilakukan jika itu tidak
membuat kita malu baik terhadap Allah maupun manusia, maka

69
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sāliḥ Ibn Uṡaimīn, Syarah Arba’în an-Nawawî : Penjelasan 42
Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam terj. dari Ad-Durrah as-Salafiyyah Syarah al-
Arba’în al-Nawawî yah oleh Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2015), h. 194.
70
Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari. Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Cara Mencapai
Akhlak Mulia, h.529.
88

lakukanlah. Makna “Lakukanlah apa yang kamu suka” di dalamnya


terdapat dua tinjauan71.
Pertama, makna tersebut berbentuk perintah dengan makna
ancaman, dan tidak dimaksudkan sebagai perintah untuk kebolehan
dilakukan seperti dalam Q.s. al-Fussilat/41: 40 ʻʼiʻmalȗ mâ syi'tum”
(ʻʼLakukanlah apa yang kamu kehendaki”), seperti apa yang boleh
dikerjakan dan harus mereka ditinggalkan sesuai perintah Allah Swt.
Kedua, bermakna kerjakan segala sesuatu yang tidak membuat kita
malu saat mengerjakannya. Makna tersebut senada seperti hadis dibawah
ini:
72
‫اﳊَﻴَﺎءَ ِﻣ َﻦ ا ِﻹﳝَﺎ ِن‬
‘’Malu itu sebagian dari iman.” (HR. al-Bukhârî)

Dengan demikian, jika sikap malu itu dapat menghalangi kita

untuk meninggalkan suatu prilaku yang buruk dan membawa kepada yang

baik, kedudukannya sama atau menyamai seperti iman yaitu menghalangi

orang yang beriman dari pebuatan yang hina (kenistaan) menuju kepada

ketaatan.73

Menamkan sifat malu ini merupakan salah satu kewajiban seorang

ayah dan guru dengan menggunkan metode pendidikan yang tepat, yaitu

dengan pengawasan74 prilaku dan perbuatan anak-anak, meluruskan sifat-

sifat yang bertentangan degan rasa malu, memilihkan teman bermain yang

baik dan menjauhkan dari teman bermain yang jahat, serta mengarahkan

71
Tinjauan adalah hasil dari meninjau bisa berubah pandangan atau pendapat (sesudah
menyelidiki, mempelajari, dan sebagainnya). Lihat KBBI
72
al-Imām Abū ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhârî, no. 24,
jld. 1, h. 16 (14)
73
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Ibn Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-
Nawawîyyah, h. 119-220.
74
Pengawasan lebih luas lagi maknanya diabndingkan dengan mengawasi yaitu hanya
melihat dan memperhatikan. Sedangkan pengawasan jga memiliki arti penjagaan. Lihat Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
89

pada buku-buku bacaan yang bermanfaat, dan menjauhkan mereka dari

media yang merusak.75

10. Sarana-Sarana Kebaikan (Hadis ke 23)

Initisari dari kandungan hadis ini merupakan anjuran bagi kita

untuk selalu bersabar dalam meghadapi segala ujian, terutama bagi

seorang Muslim yang senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar,

karena setiap kebaikan adalah sedekah. Termasuk anjuran amar ma’ruf

nahi mungkar merupakan salah satu sarana kebaikan yang banyak sekali

macam pebuatannya dan hal tersebut wajib dilakukan sesuai dengan

Firman Allah Swt.76

‫ِﻚ‬
َ ‫ُوف َوﻳـَْﻨـﻬ َْﻮ َن َﻋ ِﻦ اﻟْ ُﻤْﻨ َﻜ ِﺮ َوأُوﻟَﺌ‬
ِ ‫َْﲑ َوﻳَﺄْ ُﻣﺮُو َن ﺑِﺎﻟْ َﻤ ْﻌﺮ‬
ِْ ‫َوﻟْﺘَ ُﻜ ْﻦ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ أُﱠﻣﺔٌ ﻳَ ْﺪﻋُﻮ َن إ َِﱃ اﳋ‬

(١٠٤) ‫ُﻫ ُﻢ اﻟْ ُﻤ ْﻔﻠِﺤُﻮ َن‬


“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”

Dengan demikian perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar

(memerintahkan berbuat kebaikan dan mencegah kejahatan) adalah

pokok pembicaraan yang menjadi dasar agama.77

Selain itu ada beberapa faedah lain yang terkandung dari hadis ke

23 arba’īn ini diantaranya:

a) Anjuran untuk bersuci, karena bersuci itu sebagian dari iman.

75
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 157.
76
Q.s. Âli-ʻImrân/3: 104
77
al-Ghazâlî, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, jld. 3, h. 333.
90

b) Anjuran untuk memuji Allah SWT., dan bertasbih keapadaNya,

karena itu dapat memenuhi timbangan yang akan memenuhi antara

langit dan bumi dari tasbih dan pujian yang kita lakukan.

c) Anjuran untuk menunaikan shalat.

d) Anjuran untuk bersedekah.

e) Anjuran untuk bersabar

f) Memohon kepada Allah agar menjadikan al-Qur’ān sebagai hujjah

yang akan memela kita dan bermanfaat bagi kita.

g) Setiap manusia itu pasti bekerja dan memiliki keinginan.

h) Anjuran untuk memilih orang yang bekerja itu bisa jadi ia

membebaskan dirinya atau malah justru ia membinasakan dirinya

sendiri.

i) Menjelaskan kebebesan yang hakiki itu melaksanakan ketaatan

kepada Allah, bukan dengan cara menusia bebas melakukan apa saja

yang di iginkannya.78

11. Haramnya Kezaliman (Hadis ke 24)

Zalim merupakan sifat yang sangat buruk yaitu prilaku bengis

artinya bersifat keras tidak memiliki belas kasihan kepada makhluk hidup

(suka berbuat aniaya (kejam), tidak menaruh belas kasihan, tidak adil,

dan kejam.79

Intisari hadis ini menjelaskan bahwasannya kezaliman adalah

sesuatu yang mustahil Allah Swt., lakukan, karena itu adalah perbuatan

yang melampaui batas dan betindak pada (sesuatu) milik orang lain.
78
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-Îd, dan Muhammad Ibnu Ṣāleḥ Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 134.
79
Lihat KBBI
91

Kedua hal tersebut adalah mustahil bagi Allah Swt. Pekataan dalam hadis

“Sesungguhnya aku mengharmkan kezaliman atas diri-Ku” Sesuai

dengan apa yang sudah jelas disebutkan dan terkandung dalam al-

Qur’ān.

80
(٢٩) ‫ي َوﻣَﺎ أَﻧَﺎ ﺑِﻈ ﱠَﻼٍم ﻟِْﻠ َﻌﺒِﻴ ِﺪ‬
‫ْل ﻟَ َﺪ ﱠ‬
ُ ‫ﱠل اﻟْﻘَﻮ‬
ُ ‫ﻣَﺎ ﻳـُﺒَﺪ‬
‘’Keputusan-Ku tidak dapat diubah, dan Aku tidak menzakimi
hamba-hamba-Ku.”

81
(٤٤) ‫ﱠﺎس أَﻧْـ ُﻔ َﺴ ُﻬ ْﻢ ﻳَﻈْﻠِﻤُﻮ َن‬
َ ‫ﱠﺎس َﺷْﻴﺌًﺎ َوﻟَ ِﻜ ﱠﻦ اﻟﻨ‬
َ ‫إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻻ ﻳَﻈْﻠِ ُﻢ اﻟﻨ‬
‘’Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikitpun,
tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.”

82
(٤٠) ‫ْت ِﻣ ْﻦ ﻟَ ُﺪﻧْﻪُ أَ ْﺟﺮًا َﻋﻈِﻴﻤًﺎ‬
ِ ‫َﻚ َﺣ َﺴﻨَﺔً ﻳُﻀَﺎ ِﻋ ْﻔﻬَﺎ َوﻳـُﺆ‬
ُ ‫َﺎل ذَ ﱠرةٍ َوإِ ْن ﺗ‬
َ ‫إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻻ ﻳَﻈْﻠِ ُﻢ ِﻣﺜْـﻘ‬
‘’Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun
sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil zarra), niscaya
Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang
besar dari sisiNya.”

Berdasarkan hadis dan ayat al-Qur’ān di atas jelas bahwasannya

Allah tidak mungkin menzalimi hamba-hambaNya, maka bagaimana

mungkin seseorang menyangka bahwa Dia menzalimi hambaNya untuk

(membantu) hamba lainnya.83

Dalam hadis arba’īn ke 24 ini juga menjelaskan celaan terhadap

segala perbuatan yang membuat malu setiap Mukmin. Manusia sering

sekali melakukan banyak kesalahan pada malam dan siang hari, Allah

80
Q.s. Qâf/50: 29
81
Q.s. Yȗnus/10: 44
82
Q.s. al-Nisâ’/4: 40
83
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sāliḥ Ibn Uṡaimīn, Syarah Arba’în an-Nawawî : Penjelasan 42
Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam, h, 246.
92

menciptakan malam agar Dia ditaati didalamnya dandisembah dengan

ikhlas, dimana amalan-amalan pada waktu tersebut umumnya terbebas

dari riyaʻ dan kemunafikan dan siang hari diciptakan untuk disaksikan

oleh manusia. Karena itu apakah kita tidak malu jika melakukan

kesalahan dan dosa baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi,

oleh karena itu orang yang cerdas semestinya menaati Allah dan tidak

menampakan kesalahan di hadapan manusia.84

Dapat diambil kesimpulan dari kandungan hadis tersebut bahwa

tujuan terpenting dalam Islam adalah menegakan keadilan dan mencegah

dari perbuatan zalim antara sesama makhluk. Hak ini dikarenakan

keadilan merupakan fondasi hukum dan peradaban. Sedangkan

kezaliman ini berperan sebagai pemicu penyebab keterpurukan bangsa,

hancurnya peradaban dan hilangnya kedamaian dalam kehidupan ini.85

12. Keutamaan Zikir (Hadis ke 25)

Dalam hadis arba’īn ke 25 ini menjelaskan banyak sekali cara atau

jalan melakukan kebaikan, baik itu manfaatnya untuk diri kita sendiri

atau makhluk hidup lainnya. Seperti yang sudah jelas dikatakan dalam

hadis pada setiap tasbih, takbir, tahmid (pujian kepada Allah yang

dilakukan secara berulang-ulang), tahlil (pengucpan kalimat tauhid

“Tidak ada Tuhan selain Allah”), menyuruh yang ma’ruf mencegah yang

mungkar, semua itu terdapat pahala sedekah di dalamnya.86

84
Ibnu Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 138.
85
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 194.
86
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-Îd, dan Muhammad Ibnu Ṣāleḥ Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 144-
147.
93

Diantara semuanya peluang dalam melakukan amar ma’ruf nahi

mungkar merupakan salah satu perbuatan yang memiliki kesempatan

sangat terbuka dan luas untuk semua orang bisa melakukannya. Karena

orang yang melakukan itu akan mendapatkan pahala yang tidak kalah

besar dengan orang yang bersedekah. Bahkan, mungkin bisa lebih

banyak lagi.87

88
‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ُوف‬
ٍ ‫ُﻛ ﱡﻞ َﻣ ْﻌﺮ‬
“Setiap perbuatan baik adalah sedekah.” (HR. al-Bukhârî)

Bukan hanya kebaikan dan sedekah yang disebutkan dalam hadis

ini saja, tapi masih banyak lagi bahkan tidak terbatas macam kebaikan

dan amal saleh yang belum disebutkan satu persatu yang bisa dilakukan

oleh seorang Muslim untuk mendapatkan pahala yang sebanding dengan

bersedekah. Faedah hadis lainnya diantaranya sebagai berikut:

a) Semangat para sahabat untuk berlomba-lomba dalam melakukan

kebaikan.

b) Niat yang baik akan merubah hal-hal yang mubah menjadi ibadah,

manusia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut jika

diniatkan untuk ibadah.89

c) Bijaksana dalam menghadapi permasalahan dan mencari solusinya,

juga senantiasa membahagiakan orang lain.

d) Disunnahkan bagi orang fakir untuk bersedekah jika hal itu tidak

memberatkan diri dan keluarganya.

87
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi, h. 198.
88
al-Imâm Abȗ ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhârî, No.
6021, jld. 8, h. 1510 (11)
89
Hany asy-Syaikh Jum’ah Sahal, Mutiara Arbaʻîn: Syarah Hadits Arbaʻîn al-Nawawî
untuk pemula, h. 86.
94

e) Makruh bersedekah bagi orang yang sebeneranya ia sendiri belum

mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Bahkan bsa menjadi

haram jika memkasakan sampai keluarganya terlantar.

f) Bersedekah bagi orang kaya lebih utama dari pada berdzikir.

g) Keutamaan orang kaya yang bersyukur lagi senang bersedekah dan

orang miskin yang sabar lagi senang mencari pahala (dengan

bedzikir)

h) Anjuran untuk bertanya tentang hal-hal yang bermanfaat.

i) Menjelaskan dalil kepada orang yang sedang belajar (murid),

terutama yang belum dipahaminya agar lebih jelas dan meyakinkan

untuk dikerjakan.90

j) Seseorang ketika meyebutkan sesuatu semestinya menyebutkan

alasanya.

k) Boleh meminta penjelasan tentang berita, meskipun berita tersebut

berasal dari orang yang jujur.91

13. Jalan Menuju Kebaikan (Hadis ke 26)

Kata “Semua persedian manusia memerlukan sedekah” artinya

setiap ruas tulang sendi manusia yang berjumlah 360 anggota, maksud

sedekah disini merupakan anjuran bukan kewajiban ataupun suatu

keharusan untuk dilakukan.92 Dalam hadis Al-Muslim dijelaskan sebagai

berikut:

90
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 200-201.
91
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-Îd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 147.
92
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Ibnu Daqîq al-Îd, Syarah Arba’în an-Nawawî :
Penjelasan 42 Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam, h. 268-269.
95

‫َﲪ َﺪ‬
َِ ‫ و‬،َ‫ ﻓَ َﻤ ْﻦ َﻛﺒﱠـَﺮ اﷲ‬،‫ِﻞ‬
ٍ ‫ﲔ َوﺛ ََﻼﲦِِﺎﺋَِﺔ َﻣ ْﻔﺼ‬
َ ‫إِﻧﱠﻪُ ُﺧﻠِ َﻖ ُﻛ ﱡﻞ إِﻧْﺴَﺎ ٍن ِﻣ ْﻦ ﺑ َِﲏ آ َد َم َﻋﻠَﻰ ِﺳﺘﱢ‬

ً‫ أ َْو ﺷ َْﻮَﻛﺔ‬،‫ﱠﺎس‬
ِ ‫ َو َﻋﺰََل َﺣ َﺠﺮًا َﻋ ْﻦ ﻃَ ِﺮ ِﻳﻖ اﻟﻨ‬،َ‫ وَا ْﺳﺘَـ ْﻐ َﻔَﺮ اﷲ‬،َ‫ َو َﺳﺒﱠ َﺢ اﷲ‬،َ‫ َوَﻫﻠﱠ َﻞ اﷲ‬،َ‫اﷲ‬

‫ﲔ‬
َ ‫ْﻚ اﻟ ﱢﺴﺘﱢ‬
َ ‫ َﻋ َﺪ َد ﺗِﻠ‬،ٍ‫ُوف أ َْو ﻧـَﻬَﻰ َﻋ ْﻦ ُﻣْﻨ َﻜﺮ‬
ٍ ‫ َوأََﻣَﺮ ﲟَِْﻌﺮ‬،‫ﱠﺎس‬
ِ ‫أ َْو َﻋﻈْﻤًﺎ َﻋ ْﻦ ﻃَ ِﺮ ِﻳﻖ اﻟﻨ‬
93
‫َْﺸﻲ ﻳـ َْﻮَﻣﺌِ ٍﺬ َوﻗَ ْﺪ َز ْﺣَﺰ َح ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬
ِ ‫ ﻓَِﺈﻧﱠﻪُ ﳝ‬،‫وَاﻟﺜ َﱠﻼﲦِِﺎﺋَِﺔ اﻟ ﱡﺴ َﻼﻣَﻰ‬
‘’Sesungguhnya Allah menciptakan setiap manusia dari Bani Adam
dengan 360 persendian. Barangsiapa yang bertakbir, bertauhid,
bertahlil, bertasbih, dan beristighfar serta menyingkirkan batu dari
tengah jalan, duri, atau tulang dari tengah jalan yang dilewati
manusia, menyuru yang ma’ruf, atau mencegah yang mungkar
sebanyak 360 persendian tersebut; maka ia berjalan pada hari itu
dalam keadaan telah mengentaskan94 dirinya dari neraka.” (HR.
al-Muslim)

Oleh karena itu dalam hadis ke 26 ini menjelaskan tiap-tiap

anggota (persendian) itu darinya ada sedekahnya setiap hari. Semua amal

merupakan sedekah, menunaikan dua rakaat (shalat dhuha) pada awal

harinya maka dia telah menunaikan zakat untuk badanya lalu ia

memelihara sisanya. Dalam hadis disebutkan:

95
ُ‫آﺧَﺮﻩ‬
ِ ‫ِﻚ‬
َ ‫ أَ ْﻛﻔ‬،ِ‫َﺎت ِﻣ ْﻦ أَوِﱠل اﻟﻨﱠـﻬَﺎر‬
ٍ ‫ﺻ ﱢﻞ ِﱄ أ َْرﺑَ َﻊ َرَﻛﻌ‬
َ ،َ‫ اﺑْ َﻦ آ َدم‬:‫َﺎﱃ‬
َ ‫َﺎل اﻟﻠﱠﻪُ ﺗَـﻌ‬
َ‫ﻗ‬
‘’Allah SWT., berfirman, 'Manusia, shalatlah untukKu empat
rakaat di awal siang, maka Aku mencukupimu pada akhirnya.”
(HR. al-Dârimî)

Dari penjelasan hadis di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

dengan kita mengerjakan dua rakaat sudah mencukupi dari sedekah-

sedekah anggota tubuh ini. Karena shalat itu merupakan amalan untuk

93
al-Imâm Abȗ al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarȗrî, Sahîh
Muslim, No. 1007, jld. 2, h. 698.
94
Mengentaskan disini maksudnya adalah memperbaiki (menjadikan, mengangkat) atau
keadaan yang kurang baik kepada yang (lebih) baik. Lihat KBBI V.
95
Abū Muhammad Abdullah Ibn Abd al- Rahmān Ibn al-Fadl Ibn Bahrām al-Darimī,
Sunnan al-Dārimī, (Riyād: Dār al-Mugni Linnasyr al-Tūzī, 1421), No. 1492, jld. 2, h. 909.
96

semua anggota tubuh. Jika mengerjakan shalat, maka semua angota tubuh

melakukan tugasnya.96

Sebagai contoh lain perbuatan sedekah yang disebutkan dalam

kandungan hadis arba’īn ke 26 ini yaitu jika kita menjumpai dua orang

yang sedang berselisih kemudian kita berlaku adil97 kepada keduanya

maka itu termasuk sedekah, karena itu merupakan sedekah yang utama98

sesuai dengan Firman Allah Swt., berikut ini:

‫ﱠﺎس‬
ِ ‫َﲔ اﻟﻨ‬
َ ْ ‫ُوف أ َْو إِﺻ َْﻼ ٍح ﺑـ‬
ٍ ‫ﺼ َﺪﻗٍَﺔ أ َْو َﻣ ْﻌﺮ‬
َ ِ‫َﻻ َﺧْﻴـَﺮ ِﰲ َﻛﺜِ ٍﲑ ِﻣ ْﻦ َْﳒﻮَا ُﻫ ْﻢ إﱠِﻻ َﻣ ْﻦ أََﻣَﺮ ﺑ‬

(١١٤) ‫ْف ﻧـ ُْﺆﺗِﻴ ِﻪ أَ ْﺟﺮًا َﻋﻈِﻴﻤًﺎ‬


َ ‫َﺎت اﷲِ ﻓَﺴَﻮ‬
ِ ‫ِﻚ اﺑْﺘِﻐَﺎءَ ﻣ َْﺮﺿ‬
َ ‫َوَﻣ ْﻦ ﻳـَ ْﻔ َﻌ ْﻞ ذَﻟ‬
‘’Tidak ada kebaikan dari banyak pembiraan rahasia mereka
kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (manusia)
bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari
keridaan Allah, maka kelak kami akan memberinya pahala yang
besar.”99

Menurut Ibn Miskawaih adil adalah sifat utama bagi manusia yang

timbul dari tiga sifat utama lainnya yaitu kebijaksanaan, memelihara diri

dari maksiat, dan keberanian. Ketiganya itu saling berdampingan satu

sama lain, kerjasama ketiganya itu menghasilkan manusia memiliki sifat

yang adil sehingga dengan sifat itu dapat selalu adil terhadap dirinya dan

orang lain.100

14. Kebaikan dan Dosa (Hadis ke 27)

96
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Ibnu Daqîq al-Îd, Syarah al-Arbaʻîn al-
Nawawîyyah, h.148-149.
97
Adil adalah tidak berat sebelah atau memihak diantara salah satunya. Lihat Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
98
Muhammad Ibnu Ṣâleḥ Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 149.
99
Q.s. al-Nisâ’/4: 114
100
Ahmad Muhammad al-Hufy, Akhlak Nabi Muhammad Saw. Keluhuran dan
Kemuliaannya terj. dari Min Akhlāqin-Nabiy oleh Abdul Latif As-Subky. (Jakarta: Bulan Bintang,
1981), h. 133.
97

Faedah dari hadis ke 27 ini pada intinya membahas dua pokok

pembahasan yaitu, keutamaan akhlak yang baik dan cirri-ciri perbuatan

dosa adalah terasa mengganggu jiwa saat kita hendak atau sesudah

melakukannya, hati merasa tidak tenang saat akan melakukan perbuatan

tersebut dan tidak suka jika orang lain mngetahui perbuatan tersebut.101

Kata “Kebaikan adalah akhlak terpuji” mengadung makna bahwa

akhlak yang baik artinya manusia memiliki hati yang luas, lapang dada,

berhati tenang, dan bermuamalah dengan baik. Karena itu jika manusia

berakhlak baik bersama Allah dan bersama hamba-hambanya (makhluk

hidup) makan itu semua merupakan suatu bentuk perbuatan yang

nantinya akan menghasilkan banyak sekali kebaikan terutama bagi orang

yang mengerjakannya.102

Sedangkan kata “Dosa adalah sesuatu yang mengganggu jiwamu

dan kamu tidak suka jika orang lain melihatnya” yaitu sesuatu yang jika

kita bimbang dalam melakukannya apakah itu baik atau buruk untuk

dikerjakan bahkan sampai membuat hati tidak tenang dan

membimbangnkan dalam dadamu, maka hal itu adalah dosa. Sekalipun

kita sudah bertanya atau ada yang memberikan fatwa103 berkali-kali

tentang apa yang kita ragukan, akan tetapi semua itu tidak bisa

menghilangkan perasaan jiwa yang masih tidak merasa tentram dan dada

101
Hany asy-Syaikh Jum’ah Sahal, Mutiara Arbaʻîn: Syarah Hadits Arbaʻîn al-Nawawî
untuk pemula, h. 91.
102
Muhammad Ibnu Ṣāleḥ Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 153.
103
Fatwa merupkan jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti (orang
yang memberikan fatwa untuk memutuskan suatu masalah yang berhubungan dengan hukum
Islam) tentang suatu masalah. Lihat KBBI
98

teasa sesak tidak menjadi lapang jawabannya tetap sama, “Hal sepeti itu

adalah dosa, maka jauhilah.”104

Akhlak yang baik merupakan perbutan yang dianjurkan oleh Allah

Swt., terdapat dalam Q.s. al-Qasas/28: 77 ʻʼwa aḥsin kamā aḥsanallāhu

ilaika” (ʻʼDan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah

telah berbuat baik kepadamu”), salah satu contohnya menurut Ibnu

Daqīq al-ʼĪd dalam syaraḥnya akhlak yang baik yaitu berbuat adil dalam

kemasyarakatan atau adil dalam hukum.105

Dalam bekerja berusaha, baik pengusaha, pedagang, dan pelaku

usaha lainnya, tidak diperbolehkan untuk mempersulit orang lain.

Misalnya tidak bersikap adil, melakukan tekanan dan paksaan, penipuan,

serta tidak berbuat jujur, berbohong dan yang sejenisnya semua itu tidak

seharusnya manusia lakukan karena termasuk kepada prilaku yang buruk

atau tercela.106

15. Jalan Menuju Surga (Hadis ke 29)

Dalil yang didasari oleh pertanyaa Muadz, “Tunjukan kepadaku

amal perbuatan yang bisa memasukanku kedalam surga.” Hal itu juga

didasari oleh firman Allah SWT., terdapat dalam Q.s. al-Aʻrâf/7: 43 ʻʼ wa

nȗdȗ an tilkumul-jannatu ȗritstumȗhâ bimâ kuntum taʻmalȗn” (ʻʼItulah

surga yang telah diwariskan kepadamu, karena apa yang telah kamu

104
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sāliḥ Ibn Uṡaimīn, Syarah Arba’în an-Nawawî : Penjelasan 42
Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam, h. 280.
105
Ibn Daqîq al-ʼÎd, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 152.
106
al-Ghazâlî, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, jld. 3, h. 105.
99

107
kerjakan”), akan tetapi amal perbuatan saja tidak akan cukup untuk

memasukan seseorang kedalam surga harus ada yang menyertai amalan

itu agar diterima, yaitu dengan rahmat dan karunia Allah Swt., serta

amalan lainya seperti dalam firmannya:

‫ْﺶ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ﻟ َْﻮ ﺗـََﺮُﻛﻮا ِﻣ ْﻦ َﺧْﻠ ِﻔ ِﻬ ْﻢ ذُ ﱢرﻳﱠﺔً ِﺿﻌَﺎﻓًﺎ ﺧَﺎﻓُﻮا َﻋﻠَْﻴ ِﻬ ْﻢ ﻓَـْﻠﻴَﺘﱠـ ُﻘﻮا اﷲَ َوﻟْﻴَـ ُﻘﻮﻟُﻮا ﻗـَﻮًْﻻ‬
َ ‫َوﻟْﻴَﺨ‬

‫َﺳﺪِﻳﺪًا‬
‘’Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang
mereka yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)nya.
Oleh karena itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”108

Kata “Hasil (keburukan) lisan mereka”, itu merupakan suatu

kejahatan lisan yang dilakukan terhadap manusia dengan mengatakan

atau mengusik kehormatan mereka, pergi kesana kemari untuk mengadu

domba, menggunjing, berbohong, tuduhan palsu, kata-kata kufur109,

mengolok-olok, dan mengingkari janji. Semua itu merupakan bahaya

yang bisa lisan lakukan sehigga membuat kita dibendi di sisi Allah ini

sesuai dengan firman Allah Swt., Q.s. al-Sâffât/37: 3.110

Dalam hadis ini menjelaskan bahwasannya kunci dan kendali dari

setiap amal perbuatan adalah menjaga lisannya, hal itu juga dijelaskan

dalam hadis tentang pentingnya menjaga lisan kita:

107
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 227.
108
Q.s. al-Nisâ’/4: 9.
109
Kufur adalah tidak percaya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya orang yang melakukan
hal tersebut dinamakan kafir. Lihat KBBI.
110
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 163.
100

111
‫ُﺖ‬
ْ ‫ﺼﻤ‬
ْ َ‫اﻵﺧ ِﺮ ﻓَـ ْﻠﻴَـ ُﻘ ْﻞ َﺧْﻴـﺮًا أ َْو ﻟِﻴ‬
ِ ‫َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟﻴـَﻮِْم‬
‘’Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam.” (HR. al-Bukhârî)

Kemudian dari sabda Nabi Saw., kepada Mu’az:

‫َﻚ‬
َ ‫َﻴﻚ اَوﻟ‬
َ ‫ﱠﻤﺖ ﻓَـ َﻌﻠ‬
َ ‫َﺖ ﻓَِﺎذَا ﺗَ َﻜﻠ‬
‫َﻧﺖ ﺳَﺎﱂٌِ ﻣَﺎ َﺳﻜ ﱠ‬
َ ‫ﻳَﺎ ُﻣﻌَﺎذُ ا‬
‘’Wahai Mu’az, kamu adalah selamat selama kamu diam, jika
kamu berbicara, maka (bahayanya) atasmu, dan (untungnya)
bagimu.”112

Lisan seperti senjata yang berbahaya jika kita tidak menjaganya

dengan hati-hati kita juga akan terluka karenanya, oleh karena itu kita

tidak boleh asal bicara saja dengan apa yang kita ucapkan kepada orang

lain karenaa semua itu akan diminta pertanggung jawabnya baik oleh

makhluk dan Allah Swt., kelak diakhir zaman seperti terdapat dalam Q.s.

al-Isrâ’/17: 36.113

penulis mempunyai perumpamaan seperti air yang ada dalam teko

apakah isi airnya itu bersih atau kotor kita tidak mengetahuinya jika tidak

menuangkannya terlebih dahulu, sama halnya seperti lisan atau ucapan

seseorang bisa sebagai cerminan dari hati dan fikiran orang tersebut

seperti apa. Maka dari itu sesuai dengan syaraḥ Syekh Ibnu Utsaimîn kita

harus selalu menjaga lisan kita jangan mengumbarnya dengan kata-kata

yang tidak penting karena itu berbahaya.114

111
al-Imâm Abȗ ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhârî, No.
6135, Jld. 8, h. 1533 (32)
112
Abul Hasan Ali al-Mawardi, Mutiara Akhlak al-Karimah, h.134.
113
Musthafa al-ʻAdawy, Fikih Akhlak,h. 142.
114
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-Îd, dan Muhammad Ibnu Ṣāleḥ Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 167.
101

16. Keutamaan Zuhud (Hadis ke 31)

Zuhud menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perihal

meninggalkan keduniawian, yaitu kondisi di mana terbebasnya hati

seseorang dari belenggu dunia sehingga segala upayanya tercurahkan

untuk meraih kemuliaan di akhirat semata.115 Sedangkan menurut Ibnu

Taimiyah dalam buku akhlak salaf berkata bahwa zuhud ialah

meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat. 116

Intisari dari hadis arba’īn ke 31 ini menjelaskan tentang keutamaan

zuhud di dunia, yaitu siapa yang bezuhud di dunia, niscaya dia akan

dicintai oleh Allah, karena bezuhud di dunia sudah pasti mencintai

akhirat seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa makna zuhud yaitu

meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat. Orang yang bersifat

zuhud akan terpancar darinya sifat qanaah, seperti yang dikatakan oleh

imam al-Nawawî sederhana dalam penghidupan adalah kamu (merasa)

cukup dengan setangah beban (kebutuhan kehidupan).117 Beruntung

orang yang memiliki sifat qanaah, mereka selalu merasa cukup dengan

rezeki yang Allah berikan karena qanaah seperti perbendaharaan

(kekayaan) yang tidak terhingga nilainya dan tidak akan ada habisnya,

sehingga seseorang tidak akan pernah merasa kekurangan dalm kondisi

115
Lihat KBBI, (Jakarta: Gramedia Pustka Umum, 2008), cet 1, ed. 4, h. 1573
116
Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari. Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Cara Mencapai
Akhlak Mulia, h.491.
117
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sâlih Ibn Uṡaimīn, Syarah Arba’în an-Nawawî : Penjelasan 42
Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam, h. 320.
102

apa pun dan ia bisa memfokuskan dirinya untuk meraih keutaman-

keutamaan akhirat.118

ُ‫ َوﻗَـﻨﱠـ َﻌﻪُ اﷲُ ﲟَِﺎ آﺗَﺎﻩ‬،‫ِق َﻛﻔَﺎﻓًﺎ‬


َ ‫ َوُرز‬،َ‫ﻗَ ْﺪ أَﻓْـﻠَ َﺢ َﻣ ْﻦ أَ ْﺳﻠَﻢ‬
‘’Beruntunglah orang yang tunduk kepada Rabbnya dan telah
dikarunia rezeki yang cukup, lalu Allah membuatnya merasa cukup
dengan apa yang dikaruniakan-Nya kepadanya.”119

Hadis ini mengajarkan kita bagaimana agar diasayangi sesama

makhluk, yaitu dengan cara zuhud terhadap apa yang dimiliki oleh

mereka seperti ikut senang dengan apa yang mereka senangi sebaliknya

jika kita menginginkan apa yang mereka senangi atau miliki hal itu

bukan menumbuhkan kasih sayang tetapi mereka akan benci kepada

kita.120

Zuhud yang tidak benar yaitu menolak segala sesuatu kenikmatan

dunia.121Akan tetapi hal itu sekarang sudah tidak berlaku karena manusia

sangat giat dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga

sampai berlomba-lomba untuk meraih kenikmatan dunia dan melupakan

akhirat. Disinilah pentingnya sifat zuhud yang akan menyelamatkan

mereka dari cinta dunia dan melalaika akhirat.122

17. Larangan Membahayakan Orang lain (Hadis ke 32)

118
Ummu Ihsan dan Abu Ihsan al-Atsari. Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Cara Mencapai
Akhlak Mulia, h.501.
119
al-Imām Abū al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarȗrî, al-Muslim,
No. 1054, Jld. 2, h. 730.
120
Musthafa al-ʻAdawy, Fikih Akhlak, h. 75.
121
Zuhud seperti ini terjadi pada masa pemerintahan Abasiyah. Mereka tidak mau bekerja,
dan mereka berpakaian lusuh. karena mereka hanya mengamndalkan sedekah dari orang lain saja.
Mereka mengganggap apa yang mereka lakukan itu sebagai sifat zuhud, padahal Islam tidak
mengajarkan hal tersebut bahkan Islam melarang untuk meminta belas kasih manusia.
122
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 247-248.
103

Kata “Tidak boleh membahayakan” menurut al-Nawawî adalah

segala perbuatan membahayakan yang tidak boleh dilakukan seseorang

dengan tanpa hak kepada orang lain. Apalagi memulai kejahatan atau

permusuhan terlebih dahulu hal tersebut tidak boleh dilakukan karena itu

kita harus menghindarinya.123

Dan kata “Tidak boleh membalas bahaya orang lain dengan bahaya

lagi” artinya dengan kata lain yaitu balas dendam. Kita tidak boleh

membalas seseorang yang berlaku tidak adil atau jahat kepada kita,

seperti jika ada yang mencaci makimu, memukulmu, maka jangan

membalasnya tapi tuntutlah hakmu darinya kepada hakim dengan tanpa

membalas terlebih dahulu apa yang mereka lakukan kepada kita. Karena

jika kita saling memaki atau dua orang saling membalas perbuatan jahat

tidak akan berlaku tuntut balas, tetapi kedua masing-masing berhak

menuntut haknya diapadapan hakim.124

ُ‫َﺎﻻ ﻓَـ َﻌﻠَﻰ اﻟْﺒَﺎ ِد ِئ ﻣِﻨ ُﻬﻤَﺎ ا ِﻹﰒُ ﻣَﺎ َﱂْ ﻳـَ ْﻌﺘَ ِﺪ اﻟْ َﻤﻈْﻠُﻮم‬
َ ‫اﻟْ ُﻤ ْﺴﺘَﺒﱠﺎ ِن ﻣَﺎ ﻗ‬

‘’Sesuatu yang diucapkan oleh dua orang yang saling mencaci


maki, maka dosanya dilimpahkan kepada yang lebih dulu
memulainya selagi orang yang dizalimi tidak melampaui batas.”125
(HR. al-Muslim)

Rasulullah Saw., bukanlah orang yang suka mendendam meskipun

memiliki kesempatan untuk bisa membalas dendam beliau tidak pernah

melakukan itu, Karena hal tersebut dapat merusak hubungan antara

sesama manusia. Selain itu jika kita memiliki sifat tercela itu akan
123
Q.s. al-Nisâ’/4: 29, 88-89 dan Q.s. al-Anfâl/8: 64
124
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 178
125
al-Imâm Abȗ al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarȗrî, Sahîh
Muslim, No. 2587, Jld. 4, h. 2000.
104

menambah beban perasaan sendiri. Semoga Allah SWT., menghilangkan

rasa dendam yang ada pada hati kita Q.s. al-Hijr/15: 47.126

Dengan demikian kita sebagai seorang Muslim harus miliki sifat

pemaaf agar bisa saling memaafkan satu sama lain, bukan hanya

memafaatkan di mulut saja tapi sampai ke dalam hati kita karena itulah

arti memaafkan yang sebenarnya. Dan hendaklah kita suka memaafkan

terlebih dahulu sebelum ia meminta maaf.127 Seperti yang terdapat dalam

Q.s. al-Mâ’idah/5: 13 ʻʼfaʻfu ʻanhum wasfah, innallâha yuhibbul-

muhsinīn” (ʻʼmaka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. Sungguh,

Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”).

18. Merubah Kemungkaran (Hadis ke 34)

Mungkar merupakan salah satu sifat yang dibenci Allah karena

mungkar adalah durhaka128 atau melanggar perintah yang telah Allah

tetapkan untuk makhluknya taati, karena pada dasarnya tujuan manusia

diciptakan adalah hanya untuk beribada kepada Allah SWT., seperti

dalam FirmanNya berikut ini:

129
‫ْﺲ إﱠِﻻ ﻟِﻴَـ ْﻌﺒُﺪُو ِن‬
َ ‫َاﻹﻧ‬
ِْ ‫ْﺖ اﳉِْ ﱠﻦ و‬
ُ ‫َوﻣَﺎ َﺧﻠَﻘ‬
‘’Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku.”

Berdasarkan dalil diatas sudah jelas bahawwasannya setiap Muslim

hendaknya sadar tugas utama mereka sebagai manusia, oleh karena itu

dalam kandungan hadis arba’īn yang ke 34 ini Allah memerintahkan

126
al-Imâm al-Ghazâlî, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu Agama, h.
381.
127
Choiruddin Hadhiri,, Akhlak dan Adab Islami: Menuju Pribadi Muslim ideal, (Jakarta:
Qibla, 20015), h. 130.
128
Lihat KBBI
129
Q.s. al-Dzâriyât/51: 56
105

manusia untuk merubah kemungkaran yang manusia lain perbuat. Agar

keseimbangan ekosistem yang Allah ciptakan tidak rusak., maka manusia

wajib untuk mengamalkan menjaga, dan memelihara yang ada di langit

dan bumi, FirmanNya sebagai berikut.130

‫ْﻂ‬
ِ ‫( َوأَﻗِﻴ ُﻤﻮا اﻟْﻮَْز َن ﺑِﺎﻟْ ِﻘﺴ‬٨) ‫( أﱠَﻻ ﺗَﻄْﻐَﻮْا ِﰲ اﻟْﻤِﻴﺰَا ِن‬٧) ‫ﺿ َﻊ اﻟْﻤِﻴﺰَا َن‬
َ ‫وَاﻟ ﱠﺴﻤَﺎءَ َرﻓَـ َﻌﻬَﺎ وََو‬

(٩) ‫ُْﺴ ُﺮوا اﻟْﻤِﻴﺰَا َن‬


ِ ‫وََﻻ ﲣ‬
“Dan Langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan
keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan
tegakanlah keseimbangan itu dengan adil dan jangan kamu
mengurangi keseimbangan itu.131

Intisari dari hadis arb’īn yang ke 34 ini yaitu wajib bagi kita untuk

merubah kemungkaran yang kita lihat berdasarkan tingkatan-tingkatanya

sesuai dengan kadar kemampuan kita. Pertama, merubahnya dengan

tangan, contohnya hal ini hanya bisa dilakukan oleh para penguasa.

Kedua, merubahnya dengan lisan hal ini biasanya dilakukan oleh para dai

(orang yang kerjanya berdakwa), yang deket yaitu orang tua, guru dan

orang yang berpengaruh ucapanya dan bisa di dengar oleh orang yang

melakukan perbuatan mungkar tersebut. Ketiga, jika jika kedua cara itu

tidak mampu kita lakukan untuk merubahnya, baik dengan tangan atau

lisan, maka hendaklah dia merubahnya dengan hatinya.132

Sebuah peringatan atau mengingatkan seseorang yang sedang

melakukan prilaku buruk kadang harus mengiringi ucapan kita dengan

130
KUPI, Dokumen Resmi dan Hasil Kengres Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta:
KUPI, 2017), h. 128.
131
Q.s. al-Rahmân/55: 7-9
132
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî, Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-Îd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h. 190.
106

menyebutkan kebaikan atau perbuatan terpuji mereka agar apa yang kita

sampaikan tidak membuat mereka marah dan tersinggung.133

19. Persaudaraan dan Hak Seorang Muslim (Hadis ke 35)

Persaudaraan ibarat anggota tubuh yang suda melekat satu sama

lain, oleh karena itu untuk membangun persaudaraan dan ukhuwah

islamiah yang kuat kita harus saling menjaga satu sama lain (sesama

manusia) seperti sabda Nabi Saw., berikut:

‫ﻀ ٌﻮ‬
ْ ُ‫ َوﺗَـﻌَﺎﻃُِﻔ ِﻬ ْﻢ َﻣﺜَﻞُ اﳉَْ َﺴ ِﺪ إِذَا ا ْﺷﺘَﻜَﻰ ِﻣْﻨﻪُ ﻋ‬،ْ‫َاﲪ ِﻬﻢ‬
ُِ ‫ َوﺗَـﺮ‬،ْ‫ﲔ ِﰲ ﺗَـﻮَا ﱢد ِﻫﻢ‬
َ ِ‫َﻣﺜَﻞُ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨ‬
134
‫ﺗَﺪَاﻋَﻰ ﻟَﻪُ ﺳَﺎﺋُِﺮ اﳉَْ َﺴ ِﺪ ﺑِﺎﻟ ﱠﺴ َﻬ ِﺮ وَاﳊُْﻤﱠﻰ‬
‘’Pereumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan mereka,
kasih sayang mereka, dan keakraban mereka seperti satu badan.
Jika salah satu anggota badan sakit, maka untuknya seleruh
anggota badan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. al-Muslim)

Menurut al-Ghazāli mengatakan bahwasannya persaudaraan atau

persahabatan tidak ada bedanya dengan ikatan pernikahan, sebagaimana

hak-hak dan kewajiban yang muncul dari ikatan tersebut, demikian pula

sama halnya dengan ikatan persaudaraan yang lahir darinya sebuah hak

serta kewajiabn.

Beliau menyebutkan hak-hak persaudaraan dan persahabatan

tersebut ada delepan diantaranya: 1. Memaafkan kesalahan teman, Hak

dalam kekayaan dan kepemilikan, 2. Menempatkan posisi sahabat

setingkat dengamu, 3. Menempatkan kebutuhan kawa di atas kebutuhan

sendiri, 4. Beri dan tunjukan perlakuan yang baik kepada teman kita

(baik perkataan maupun perbuatan), 5. 6. Berdo’a untuk teman ketika


133
Musthafa al-ʻAdawy, Fikih Akhlak, h. 287-288.
134
al-Imâm Abȗ al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâibarȗrî, Sahîh
Muslim, No. 2586, Jld. 4, h. 1999.
107

hidup dan sesudah mati, 7. Kesetian dan keikhlasan, 8. Tidak

menyusahkan atau berusaha untuk meringankan beban seorang

sahabat.135

Faedah hadis arbaʻîn ke 35 yang berhubungan dengan sesama

makhluk diantaranya:

a) Larangan untuk bersikap dengki

Dengki adalah sifat tercela perasaan tidak suka yang

berlebihan karena iri terhadap apa yang apa yang dimiliki orang lain,

hingga mengharapkan hilangnya nikmat yang didapatkan oleh orang

tersebut. agar beralih kepada dirinya atau kepada orang lain selain

dirinya. Oleh karena itu kita tidak boleh mementingkan diri sndiri

tetapi juga harus memperhatikan atau mengutamakan orang lain.136

Hukum bagi orang yang dengki menurut kesepakatan

seluruh kaum Muslim bahwa dengki hukumnya haram. Diantaranya

terdapt dalam Q.s. al-Baqarah/2: 109, Q.s. al-Nisâ’/4: 54.

Dengki terbagi menjadi tiga macam. Pertama, orang

mengharapkan hilangnya nikmat yang didapatkan oleh orang lain

dengan berbuat zalim kepadanya baik dengan perkataan atau

perbuatan. Kedua, golongan yang apabila dengki kepada orang lain

tidak akan melakukan perbuatan apapun itu termasuk menzaliminya.

Ketiga, golongan yang apabila dengki kepada orang lain maka

mereka akan berusaha untuk menghilangkannya.137

135
al-Imâm al-Ghazâlî, Ihya Ulumuddin: Menghidupkan kembali Ilmu-ilmu, h. 205-225.
136
Q.s. Hȗd/11: 116.
137
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 299-300.
108

b) Syari’at Islam melarang segala hal yang mengarah kepada

permusuhan dan memutus hubungan di antara kaum Muslimin.138

ُ‫ﱠﺧ ُﺮ ﻟَﻪ‬
ِ ‫ َﻣ َﻊ ﻣَﺎ ﻳَﺪ‬،‫َﺎﺣﺒِ ِﻪ اﻟْﻌُﻘُﻮﺑَﺔَ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬
ِ ‫ْﺐ أَ ْﺟ َﺪ ُر أَ ْن ﻳـُ َﻌ ﱢﺠ َﻞ اﻟﻠﱠﻪُ ﻟِﺼ‬
ٍ ‫ﻣَﺎ ِﻣ ْﻦ ذَﻧ‬
139
‫ﱠﺣ ِﻢ‬
ِ‫ َوﻗَﻄِﻴ َﻌ ِﺔ اﻟﺮ‬،ِ‫ ِﻣ َﻦ اﻟْﺒَـ ْﻐﻲ‬،ِ‫ِﰲ ْاﻵ ِﺧَﺮة‬
‘’Tidak ada perbuatan dosa yang akan disegerakan siksanya
bagi pelakunya oleh Allah di dunia dan ditangguhkan
(disimpan) baginya di akhirat melainkan berbuat sewenag-
wenang dan memutuskan tali silaturrahmi.” (HR. Ibn Mâjah)

Dalam hadis di atas jelas menjelaskan tentang hukuman yang

akan diberikan kepada kita atau orang-orang disekitar kita. Karena

sikap yang kasar, masa bodo, suka memaki dan menghardik apa saja

yang membuatnya kesal. Selain itu silaturrahmi juga memberi

dampak lain yang positif seperti jika masyarakat terkesan dengan

sikap kita yang ramah dan terbuka, maka mereka juga akan

membuka diri dan mencintai anda bahkan ucapan anda akan sering

di dengar dan disebut-sebut namanya.140

c) Larangan saling membenci satu sama lain karena semua orang

mukmin itu bersaudara.141

d) Diharmkannya berdusta dan mendustakan142

e) Diharamkannya menipu orang lain, karena hal tersebut mengandung

kezaliman terhadap orang lain dan menjadi sebab saling membenci

138
Hany asy-Syaikh Jum’ah Sahal, Mutiara Arbaʻîn: Syarah Hadits Arbaʻîn al-Nawawî
untuk pemula,h. 114.
139
al-Ḥâfiẓ Abî Abdillah Muhammad Ibn Yazîd al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, No. 4211,
Jld. 2, h. 1408.
140
Musthafa al-ʻAdawy, Fikih Akhlak, h. 416.
141
Q.s. al-Hujurât/49: 10.
142
Q.s. al-Baqarah/2: 11
109

satu sama lain. Karena itu kita dilarang untuk menipu dan

terpedaya.143

f) Larangan saling diam dan membelakangi144

20. Berbagai Bentuk Kebaikan (Hadis ke 36)

Peduli sosial merupakan salah satu bentuk perhatian kita kepada

orang lain dan masyarakat sekitar yang membutuhkan pertolongan.

tolong menolong merupakan salah satu kebersamaan yang membuat

suatu masyrakat kukuh, karena setiap jiwa masing-masing berusaha

untuk saling membantu dan memenuhi kebutuhan orang lain dengan

harta dan tahta dengan begitu semuanya merasa seperti satu tubuh,

saling membantu dalam kebaikan.145 Seperti yang Allah perintahkan

terdapat dalam Q.s. al-Mâ’idah/5: 2 ʻʼwa taʻâwqnȗ ʻalal-birri wat-

taqwâ” (ʻʼDan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebaikan dan takwa”).

Menurut imam al-Nawawî dalam hadis arba’în ke 36 ini amalan

yang paling utama adalah melapangkan kesusahan. Yaitu anjuran untuk

menutupi aib atau rahasia seseorang ketika melihatnya melakukan

perbuatan keji. Seperti yang terdapat FirmanNya:

‫َاب أَﻟِﻴ ٌﻢ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬


ٌ ‫َﺎﺣ َﺸﺔُ ِﰲ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ﳍَُ ْﻢ َﻋﺬ‬
ِ ‫َﺸﻴ َﻊ اﻟْﻔ‬
ِ ‫إِ ﱠن اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ ُِﳛﺒﱡﻮ َن أَ ْن ﺗ‬
146
‫َاﻵ ِﺧَﺮِة وَاﷲُ ﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ َوأَﻧْـﺘُ ْﻢ َﻻ ﺗَـ ْﻌﻠَﻤُﻮ َن‬
ْ‫و‬

143
Q.s. al-Anʻâm/6: 112.
144
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-Îd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah, h.190-
191.
145
Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi Syarah Hadits Arba’în Imam
al-Nawawî, h. 322.
146
Q.s. al-Nȗr/24: 19.
110

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang


snagat keji itu (berita bohong) tersiar dikalangan orang-orang
yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan
di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”

Beliau juga mengatakan hadis ini memiliki beberapa syarat

diantaranya. 1. Mengamalkan apa yang sudah kita ketahui, 2.

Menyebarkannya (guna memperdalam pengetahuan tentang agama dan

untuk member peringatan) Q.s. al-Taubah/9: 122, 3. Tidak untuk

menandingi dan berdebat, 4. Mencari pahala dalam menyebarkannya

dan tidak pelit Q.s. al-Anʻâm/6: 90, 5. Tidak gengsi atau malu untuk

mengatakan “Saya tidak tahu”, 6. Memiliki sifat rendah diri Q.s. al-

Furqân/25: 63, 7. Tabah terhadap gangguan dalam menyampaikan

nasihat, 8. Ia memberikan ilmunya pada orang yang lebih

membutuhkan pengajaran, hal itu sama seperti memberikan sedekah

hartanya kepada orang yang lebih membutuhkan.147

147
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibn
Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sāliḥ Ibn Uṡaimīn, Syarah Arba’în an-Nawawî : Penjelasan 42
Hadits Shahih tentang Pokok-pokok Ajaran Islam, h. 360-363.
111

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, hadis arba’în

karangan al-Nawawî yang memuat 42 hadis ini, setiap hadisnya memiliki

hubungan yang berkaitan dengan akhlak baik itu akhlak terhadap Allah

Swt., terhadap sesama manusia atau terhadap lingkungan.

Penulis menemukan dari 42 hadis ada 20 hadis yang berkaitan

dengan akhlak terhadap sesama makhluk hidup, itu semua dapat dilihat

berdasarkan hadis yang mengandung kata al-Khuluq dan tema hadis saja.

Tetapi juga malihat dari segi redaksi, isi, syarh, dan latar belakang

turunnya hadis tersebut.

Setiap hadis memiliki nilai akhlak yang berbeda-beda, akan

tetapi semua itu bisa dikaitkan dengan Kehidupan bermasyarakat.

Contohnya hadis nomor tujuh yang membahas tentang nasehat untuk

seorang pemimpin, atau hadis nomor 15 tentang anjuran untuk menjaga

lisan dan prilaku kita terhadap orang lain. Khususnya terhadap tetangga

serta tamu yang dijelaskan dalam hadis tersebut agar tidak menyakiti

perasaan mereka.

B. Saran-Saran

Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kata cukup

apalagi sempurna. Oleh karena itu dalam skripsi ini tentu penulis sadar

111
112

terdapat kesalahan-kesalahan dan kekurangan. Sehingga menurut penulis,

penelitian ini dapat dilanjutkan dengan kajian yang lebih melekat satu

sama lain dan dapat mewakili penelitian tersebut dengan sempurna sesuai

dengan fungsi yang diwakilinya. Di antara beberapa hal yang dapat dikaji

dalam hal ini adalah:

Pertama, melakulan penelitian secara mendetail tentang mengapa

banyak ayat atau hadis yang berhubungan dengan akhlak yang terbagi

menjadi akhlak yang baik dan buruk mengapa tidak fokus pada satu sifat,

dan mengapa setiap hadis memiliki nilai akhlak yang berkaitan dengan

berbagai objek, bukan hanya fokus pada satu objek saja. Mengingat bahan

bacaan penulis pada penelitian ini sangat terbatas karena keterbatasan itu

penulis masih perlu banyak belajar lagi.

Kedua, penelitian tentang hadis akhlak yang membahas satu objek

masih sangat sedikit dan penulis belum menemukan karya tulis yang

membahas atau berkaitan dengan hadis akhlak secara khusus. Berbeda jika

pembahasannya hanya sebatas akhlak saja, sudah banyak sekali yang

mengkaji dan membahasnya. Karena itu besar harapan penulis ada yang

akan terinspirasi dan ingin mengangkat tentang satu hadis yang berkaitan

tentang akhlak dari segi apapun untuk diteliti lebih mendalam lagi, atau

membahas satu buku yang menjelaskan tentang pembagian hadis terkait

tentang akhlak.
113

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
‘Adawy, Al, Abu Abdullah Musthafa ibn. Fikih Pendidikan Anak: Membentuk
Kesalehan Akhlak Sejak Dini. terj. dari Fiqh Tarbiyah Abna’ wa Tha’ifah
min Nasha’ih al-Athibba’ oleh Umar Mujtahid dan Faisal Saleh. Jakarta:
Qisthi Press, 2009.

ʻ_______, Fikih Akhlak. terj. dari Fiqh al-Akhlâk wa al-Muʻâmalât baina al-
Muʻminîn Salim Bazemool dan Taufik Daamas. Jakarta: Qisthi Press,
2010.

‘Ied, Ibn Daqîqil. Syarah Hadis Arbaʻîn terj. Syarh Matan al-Arbaʻîn al-
Nawawîyyah oleh Abu Umar Abdullah Asy-Syarif. Bogor: Pustaka al-
Tibyan, 2002.

‘Ied, Ibn Daqîqil. Syarhul Arbaʻîna Haditsan al-Nawawî. Yogjakarta: Media


Hidayah, 2005.

Almath, Muhammad Faiz. 1100 Hadis Terpilih. terj. dari Qobasun min Nȗri
Muhammad saw oleh A. Aziz Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani,
2017.

Al-Qur’an Tematis Akhlak. Jakarta: SIMAQ, 2010.

Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak) terj. dari al-Akhlâq oleh Ahmad Amin
alihbasa: Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1995. cet. 8.

Amīn, Ahmad. Kitāb al-Akhlâq. Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1991.

Anas, Mâlik Ibn. al-Muwatta’. Beirut: Dār Ihyâ al-turâs al-‘Arabi, 1985.
114

Anwar, Rosihon. Akidah Akhlak. Bandung:Pustaka Setia, 2008.

AS, al-Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992.

Attaillah, Syekh Ahmad ibn Muhammad. Mutu Manikam dari Kitab al-Hikam
terj. dari Al-Hikam oleh Syekh Muhammad ibn Ibrahim Ibnu 'Ibad al-
Naqzi al-Rindy. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010.

Azra, Azyumardi., dkk. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2005. Jilid 1.

Badi, Jamal Ahmed. Sharh Arba’in an Nawawi: Commentary of Forty Hadiths of


An Nawawi, (e-book dari website: fortyhadith.com, dari The Kulliyyah of
Information Communication Technology (KICT)-International Islamic
University Malaysia (IIUM), 29 November, 2001:3)

Bugha, Al, Musthafa Dieb dan Muhyiddin Mistu. al-Wafi terj. dari al-Wafi fi
Syarhil Arbaʻîn al-Nawawiyyah oleh Rohidin Wakhid. Jakarta: Qisthi
Press, 2017. cet.2.

Bukhârî, Al, al-Imâm Abū ‘Abdillah Muhammad Ibn Ismâʻīl. Sahīh al-Bukhârî.
Damaskus: Dār, Ibn Katsīr, 2002.

Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan


Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Darimī, Al, Abū Muhammad Abdullah Ibn Abd al- Rahmān Ibn al-Fadl Ibn

Bahrâm. Sunnan al-Dârimî. Riyâd: Dâr al-Mugni Linnasyr al-Tȗzî, 1421.

Dawson, Catherine. Metode Penelitian Praktis: Sebuah Panduan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002.


115

Fathullah, Ahmad Lutfi. 40 Hadis Mudah Dihafal Sanad dan Matan. Jakarta: Al-

Mughni Press, 2014. cet. 1.

Ghazâlî, Al, al-Imâm Abū hâmid Muhammad Ibn Muhammad Ihyâ ‘Ulȗm al-
Dîn. Beirut: Dār Ibn Hazm, 2005.

_______, Ihyâ ‘Ulȗm al-Dîn terj. dari Ihyâ ‘Ulȗm al-Dîn Menghidupkan ilmu-
ilmu Agama oleh Ismail Yakub. Jakarta: Dâr Ibn Hazm, 1963. Jld. 3.

_______, Ihya Ulumuddin terj. dari Ihyâ ‘Ulȗm al-Dîn oleh Ibnu Ibrahim
Ba’adillah. Jakarta: Republika, 2011. jld. 3.

_______, Ihyâ ‘Ulȗm al-Dîn. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.

Hadhiri, Choiruddin. Akhlak dan Adab Islami: Menuju Pribadi Muslim ideal.
Jakarta: Qibla, 20015.

Hajjaj, Muhammad Fauqi. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakrta:Amzah, 2013.

Hilali, Al, Salim Ibn ‘Ied. Sahîh dan Dha’if kitab al-Adzkâr terj. Sahîh kitâb al-
Adzkâr wa Dha’îfuhu Oleh Muslim Arif dan M.Abdul Ghoffar. Bogor:
Pustaka Imam Syafi’i, 2004.

Hufy, Al, Ahmad Muhammad. Akhlak Nabi Muhammad SAW. Keluhuran dan
Kemuliaannya terj. dari Min Akhlâqin-Nabiy oleh Abdul Latif As-Subky.
Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Ihsan, Ummu dan Abu Ihsan al-Atsari. Ensiklopedi Akhlak Salaf:13 Cara
Mencapai Akhlak Mulia. Jakarta: Pustaka Imām Asy-Syafi’i, 2016.

Jauzi, Al, Ibn. Zad al-Mesir. Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1404. Jilid VIII.
116

Kountur, Ronny. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta:
PPM, 2005.

Marzuki. Prinsip Dasar Akhlak Mulia. Yogyakarta; Wahana Press, 2009.

Maskawaih, Ibn. Tahzīb al-Akhlâq wa Tathīr al-A’raq. Mesir: al-Husainiyah al-


Misriyyah, 2012. cet.1.

Mawardi, Al, Abul Hasan Ali. Mutiara Akhlak al-Karimah. Jakarta: Pustaka
Amani, 1993.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:


Pustaka Progresif, 1997.

Mushaf al-Qur’ân Terjemah, Departemen Agama Republik Indonesia terj. dari


Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’ān disempurnakan oleh
Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’ân. Jakarta: Pustaka Al-Huda
Kelompok Gema Insani, 2002.

Naisâbȗrî, Al, al-Imâm Abȗ al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Qusyairî. Al-
Muslim. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1911.

Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Nawawî, Al, Imam Yahyâ Ibn Syaraf, Imam Abdurrahman Ibn Nāsir as-Sa’dî,
Ibn Daqīq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibn Ṣāleḥ Ibn Utsaimīn, Syarah al-
Arbaʻîn al-Nawawîyyah. Kairo: Dâr Ibn al-Jauzî, 2014.

Nawawî, Al, Imam, Yahyâ Ibn Syaraf, Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî,
Ibn Daqîq al-ʼÎd, dan Muhammad Ibn Sâliḥ Ibn Utsaimîn, Syarah
Arba’in an-Nawawi: Penjelasan 42 Hadis Shahih tentang Pokok-pokok
117

Ajaran Islam terj. dari ad-Durrah as-Salafiyyah Syarah al-Arbaʻîn al-


Nawawiyah oleh Ahmad Syaikhu. Jakarta: Darul Haq, 2015.

Nawawî, Al, Imam. Terjemah Hadis Arbaʻîn al-Nawawîyyah terj. dari al- Arbaʻîn
al- Nawawîyyah oleh Sholahuddin. Jakarta: Sholahuddin Press, 2004.

Nawawî, Al, Imam. Terjemah Riyâdhuṣ Sâlihîn oleh M.Yazid Nuruddin.


Jawa Tengah: Cordova Mediatama, 2010.

Noor, Akmaldin dan Aa Fuad Mukhlis. al-Qur’ân Tematis Akhlak. Jakarta:


Simaq, 2010.

Qazwînî, Al, al-Ḥâfiẓ Abî Abdillah Muhammad Ibn Yazîd. Sunan Ibn Mâjah. Dār

Ihnyâ al-Kitab al-ʼArabiyyah, tt.

Sahal, Hany asy-Syaikh Jum’ah. Mutiara Arbaʻîn: Syarah Hadis Arbaʻîn al-
Nawawî untuk pemula terj. dari Syarah Hadis Arbaʻîn al-Nawawî oleh
Bukhari Abdul Mu’id. Bogor: Hilal Media, 2016.

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung; Mizan Media Utama, 2013.

_______, Yang Hilang Dari Kita Akhlak. Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2016.

_______, Wawasan Al-Qur’ân. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014.

Syayrâzî, Al, Nâsîr Makârim. al-Akhlâq fî al-Qur’ân. Qom: Madrasah al-Imâm


Alî Ibn Abî Ṯâlib, 1425. Jld. 1.

Tarigan, Azhari Akmal Tafsir. Ayat-ayat Ekonomi: Sebuah Eksplorasi Melalui


Kata-kata Kunci dalam al-Qur'ân. Bandung: Cipta pustaka Media
Perintis, 2012.
118

Tirmidzî, Al, al-Imâm al-Hâfiz Abî Isâ Muhammad Ibn Isâ. Sunan al-Tirmidzî.
Beirut: Dâr al-Gharbi al-Islâmî, 1996.

Skripsi, Tesis, dan Disertasi:


Alfian, Muhammad. “Pendidikan Karakter dalam Hadis Arbaʻîn al-
Nawawiyyah.” Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013.

Hamid, Sri Andryani. “Imam Nawawî dan Relevansinya dengan UU RI No.14 Th.
2005 dan PP RI No.17.” Tesis S2 Program Pasca Sarjana, UIN Sultan
Syarif Kasim Riau, 2011.

Jaʻfar, Abdul. “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Buku “Dari Hati ke Hati”
Karya Buya Hamka.” Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Rohim, Nur. “Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Kitab Arbaʻîn al-Nawawiyyah.”


Skripsi S1 Fakultas Pendidikan Agama Islam, STAIN Salatiga, 2013.

Rahim, Abd. “Akhlak menurut Hamka.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN


Sultan Syarif Kasim Riau, 2013.

Rifkhianah, Nova Fitri. “Nilai-nilai Akhlak dalam Pembelajaran Pendidikan


Agama dan Budi Pekerti.” Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Walisongo Semarang, 2014.

Jurnal:
AS, Abdullah, Achyar Zein, dan Saleh Adri. “Manhaj Imam al-Nawawī dalam
kitab al-Arbaʻîn al-Nawawiyyah.” Journal of Hadis Studies, Vol. 1, No.
2, (Juli-Desember 2017):
119

Bafadhol, Ibrahim. “Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam.” Jurnal Edukasi


Islam Jurnal Pendidikan Islam,Vol. 06, No. 12, (Juni 2017):

Habibah, Syarifah. “Akhlak dan Etika dalam Islam.” Jurnal Pesona Dasar, Vol. 1,
No. 4, (Oktober 2015):
Maghfiroh, Muliatul. “Pendidikan Akhlak Menurut Kitab Tahdzīb al-Akhlāq
Karya Ibnu Miskawaih.” Jurnal Tadrīs, Vol. 11, No. 2, (Desember 2017):

Mustopa, “Akhlak Mulia dalam Pandangan Masyarakat.” Nadwa Jurnal


Pendidikan Islam, Vol. 8, No. 2, (Oktober 2014):

Rohman, Abdul. “Pembiasaan Sebagai Basis Penanaman Nilai-nilai Akhlak


Remaja.” Jurnal Nadwa, Vol. 6, No. 1, (Mei 2012):

Rahman, Mohamad Syukri Abdul dan Mohammad b. Seman. ”Ketokohan dan


Kewibawaan Imam al-Nawawî dalam bidang ke Ilmuan.” Jurnal
Pengajian Islam, Akademi Islam Kuis, Bil.7 Isu 1: 2014 e.ISSN: 1823-
7126.

Umbu Kadu, Apriyanus. “Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi


Kesulitahn Belajar Mahasiswa Semester IV Akper Husada Karya Jaya
Tahun Akademik 2015/1016.” Jurnal Akademik Keperawatan Husada
Karya Jaya, Vol. 2, No. 2, (September 2016):

Website:
http://forum.detik.com/permasalahan-di-indonesia-semakin-komplek-
t135639.html

Agusrianto. “Akhlak dan ruang lingkupnya,” artikel diakses pada tanggal 29


Desember 2017 dari
https://www.academia.edu/15191025/Akhlak_dan_Ruang_Lingkupnya
120

Elviana, N. artikel diakses pada tanggal 29 Desember 2017


https://www.academia.edu/9209192/Pengertian_Akhlak_Moral_Dan_Eti
ka
Manana, Abd. “Pengertian Akhlak, Etika, Moral, dan Perbedaannya,” artikel
diakses pada tanggal 29 Desember 2017 dari
https://www.academia.edu/9119979/Arti_Akhlak

Maulana, Ahda Dapong. “Pengertian Lingkungan, Lingkungan hidup dan upaya


pelestarian,” artikel diakses pada tanggal 2 April 2018 dari
https://www.academia.edu/8123627/Pengertian_Lingkungan

Nurmila., dkk. “Manfaat dan Pembentukan Akhlak,” artikel diakses pada tanggal
29 Desember 2017 dari
https://www.academia.edu/17547067/Manfaat_and_Pembentukan_Akhla
k
121

LAMPIRAN

Daftar Hadis Tentang Akhlak Terhadap Sesama Makhluk Hidup Dalam

Kitab Arbaʻīn

No Tema Hadis Relevansi Hadis dengan Keterangan


Akhlak

1 Ikhlas Keikhlasan, Akhlak terhadap


... ‫ﱠﺎت‬
ِ ‫َﺎل ﺑِﺎﻟﻨﱢـﻴ‬
ُ ‫ إِﳕﱠَﺎ اﻷَ ْﻋﻤ‬... niat, kunci amal, Allah Swt.

(HR. al-Bukhârî, No.1,


Jld1.1)

2 Islam, Iman, dan Ihsan Mengesakan Allah Akhlak terhadap


‫ْﻼمُ أَ ْن ﺗَ ْﺸ َﻬ َﺪ أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ‬
َ ‫اﻹﺳ‬
ِْ ... sebagai rabb yang Allah Swt.
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪ‬ َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬ُ ‫اﻟﻠﱠﻪُ َوأَ ﱠن ﳏَُ ﱠﻤﺪًا َرﺳ‬ disembah

... ‫َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


(HR. al-Muslim, No.1,
Jld.1)

3 Rukun Islam Akidah dan amal Akhlak terhadap


... ‫ﺲ‬
ٍ ‫ُﲏ اﻹِﺳﻼَ ُم ﻋَﻠ َﻲ َﲬ‬
َِ ‫ ﺑ‬... Allah Swt.

(HR. al-Bukhârî, No.8,


Jld.1)

1
Jld atau Jilid
122

4 Nasib Manusia Telah Kebesaran Allah dan Akhlak terhadap


Ditetapkan mukjizat ilmiah Allah Swt.
‫ إِ ﱠن أَ َﺣ َﺪﻛُﻢ ُﳚ َﻤ ُﺢ ﺧَﻠ ِﻘﻪُ ِﰲ ﺑَﻄ ِﻦ‬...

... ً‫ﲔ ﻳَﻮﻣًﺎ ﻧُﻄ َﻔﺔ‬


َ ِ‫أُﱢﻣ ِﻪ أَرﺑَﻌ‬

(HR. al-Bukhârî, No.3208,


Jld.4)

5 Perbuatan Bid’ah Tertolak Amalan yang tertolak Akhlak terhadap


‫ْﺲ‬
َ ‫َث ِﰲ أَْﻣ ِﺮﻧَﺎ َﻫﺬَا ﻣَﺎ ﻟَﻴ‬َ ‫ َﻣ ْﻦ أَ ْﺣﺪ‬... Allah Swt.
... ‫ِﻣْﻨﻪُ ﻓَـ ُﻬ َﻮ َردﱞ‬
(HR. al-Bukhârî, No.2697,
Jld.3)

6 Dalil Halal dan Haram Berhati-hati dalam Akhlak terhadap


Telah Jelas masalah agama dan Allah Swt.
‫َﲔ‬
ٌ‫َﲔ َوإِ ﱠن اﳊَْﺮَا َم ﺑـ ﱢ‬
ٌ‫َْﻼ َل ﺑـ ﱢ‬
َ ‫ إِ ﱠن اﳊ‬... kehormatan
...
(HR. al-Bukhârî, No.52
dan 2051, Jld.1 dan 3)

7 Agama adalah Nasihat Nasihat wajib dilakukan Akhlak terhadap


...ُ‫ اﻟﺪﱢﻳ ُﻦ اﻟﻨﱠﺼِﻴ َﺤﺔ‬... sesuain dengan sesama makhluk

kemampuan hidup
(HR. al-Muslim, No. 55,
Jld.1)
123

8 Perintah Memerangi Kewajiban memerangi Akhlak terhadap


Manusia Yang Tidak para penyembah berhala, Allah Swt.
Melaksanakan Shalat dan darah dan harta kaum
Mengeluarkan Zakat muslimin terpelihara
‫َﱴ‬
‫ﱠﺎس ﺣ ﱠ‬
َ ‫ْت أَ ْن أُﻗَﺎﺗِ َﻞ اﻟﻨ‬ ُ ‫ أُﻣِﺮ‬...
... ُ‫ﻳَ ْﺸ َﻬ ُﺪوا أَ ْن َﻻ إِﻟَﻪَ إﱠِﻻ اﻟﻠﱠﻪ‬
(HR. al-Bukhârî, No.25,
Jld.1)

9 Melaksanakan Perintah Kewajiban haji hanya Akhlak terhadap


Sesuai Kemampuan sekali seumur hidup bagi Allah Swt.
... ُ‫ ﻣَﺎ ﻧـَ َﻬْﻴﺘُ ُﻜ ْﻢ َﻋﻨْﻪُ ﻓَﺎ ْﺟﺘَﻨِﺒُﻮﻩ‬... yang mampu
(HR. al-Muslim, 1337
Jld.4)

10 Makanlah Dari Rezeki Anjuran untuk Akhlak terhadap


Yang Halal bersedekah dengan yang sesama makhluk
...‫ﱢﺐ َﻻ ﻳـَ ْﻘﺒَ ُﻞ إﱠِﻻ ﻃَﻴﱢﺒًﺎ‬
ٌ ‫ إِ ﱠن اﷲَ ﻃَﻴ‬... halal hidup

(HR. al-Muslim,
No.1015 Jld.2)

11 Tinggalkanlah Keragu- Menaati perintah Allah Akhlak terhadap


raguan Allah Swt.
... ‫ُﻚ‬
َ ‫ُﻚ إ َِﱃ ﻣَﺎ َﻻ ﻳَِﺮﻳﺒ‬
َ ‫ َد ْع ﻣَﺎ ﻳَِﺮﻳﺒ‬...
(HR. al-Tirmidzî,

No.2518, Jld.4)
124

12 Meninggalkan Yang Tidak Amar ma’ruf nahi Akhlak terhadap


Bermanfaat mungkar sesama makhluk
...‫ ِﻣ ْﻦ ُﺣ ْﺴ ِﻦ إِ ْﺳﻼَِم‬... hidup

(HR. al-Tirmidzî,
No.2317, Jld.4)

13 Mencintai Milik Orang Lain Menjalin persaudaraan, Akhlak terhadap


Seperti Mencintai Miliknya menjauhi sifat dengki, sesama makhluk
Sendiri benci, dan dendam hidup
...‫ ﻻَ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ‬...

(HR. al-Bukhârî, No.13,


Jld.1)

14 Larangan Berzina, Saling menghormati dan Akhlak terhadap


Membunuh, dan Murtad terlindungi darah seorang Allah Swt.
‫ َﻻ َِﳛ ُﻞ َدمُ اﻣ ِﺮ ٍئ ﻣُﺴﻠِ ٍﻢ ﻳَﺸ َﻬ ُﺪ أَن‬... muslim
... ُ‫َﻻإِﻟﻪَ إﱠِﻻ اﷲ‬
(HR. al-Bukhârî, No.2878,
Jld.9)

15 Berkata Yang Baik Atau Berkata Baik Akhlak terhadap


Diam Memuliakan Tetangga sesama makhluk
‫ َﻣ ْﻦ ﻛَﺎ َن ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ ﺑِﺎﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟﻴـَﻮِْم‬... dan Tamu hidup

...‫اﻵﺧﺮ‬
ِ

(HR. al-Muslim, No.15,


Jld.1)
125

16 Tidak Mudah Marah Mencegah dari perkataan Akhlak terhadap


...‫َﺐ‬
ْ ‫ﻻَ ﺗَـ ْﻐﻀ‬... dan perbuatan yang sesama makhluk
diharamkan hidup
(HR. al-Bukhârî, No.6116,
Jld.8)

17 Berbuat Baik Dalam Segala Berbuat ihsan dalam Akhlak terhadap


Urusan setiap perkara, bahkan sesama makhluk
‫اﻹ ْﺣﺴَﺎ َن َﻋﻠَﻰ ُﻛ ﱢﻞ‬
ِْ ‫َﺐ‬
َ ‫ إِ ﱠن اﷲَ َﻛﺘ‬... dalam hal menghilangkan hidup
nyawa
... ‫َﻲ ٍء‬
ْ‫ﺷ‬

(HR. al-Muslim, No.1955,


Jld.3)

18 Setelah Melakukan Sempurnanya iman dan Akhlak terhadap


Kesalahan Disusul Dengan peranggai orang bertakwa sesama makhluk
Kebaikan adalah berahlak terpuji hidup
َ‫ َوأَﺗْﺒِ ِﻊ اﻟ ﱠﺴﻴﱢﺌَﺔ‬،‫ْﺖ‬
َ ‫ اِﺗ ِﱠﻖ اﷲَ َﺣﻴْﺜُﻤَﺎ ُﻛﻨ‬... serta menjaga pergaulan

... ‫اﳊَ َﺴﻨَﺔَ ﲤَْ ُﺤﻬَﺎ‬

(HR. al-Tirmidzî, No.1987,


Jld 3)

19 Mintalah Tolong Kepada Jagalah Allah, Niscaya Akhlak terhadap


Allah Allah pun Menjagamu Allah Swt.
‫َﺎت‬
ٍ ‫ُﻚ َﻛﻠِﻤ‬
َ ‫ِﱐ أُ َﻋﻠﱢﻤ‬
‫ ﻳَﺎ ﻏ َُﻼمُ إ ﱢ‬...

... ‫ْﻚ‬
َ ‫اِ ْﺣ َﻔ ْﻆ اﻟﻠﱠﻪَ َْﳛ َﻔﻈ‬
126

(HR. al-Tirmidzî,
No.2512, Jld.4,)

20 Memiliki Sifat Malu Berbuatlah sesuka Akhlak terhadap


ِ‫س ِﻣ ْﻦ َﻛﻼَِم اﻟﻨﱡﺒُـ ﱠﻮة‬
ُ ‫ إِ ﱠن ﳑِﱠﺎ أَ ْدرََك اﻟﻨﱠﺎ‬... hatimu sesama makhluk
hidup
... ‫ُوﱃ‬
َ ‫اﻷ‬

(HR al-Bukhârî, No.3483,


Jld.4)

21 Berlaku Istikamah Senantiasa istikamah di Akhlak terhadap


‫ْﻼِم‬
َ ‫اﻹﺳ‬
ِْ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻗُ ْﻞ ِﱄ ِﰲ‬
َ ‫ ﻳَﺎ َرﺳ‬... atas ketauhidan dan Allah Swt.
... ‫ﻗـَﻮًْﻻ‬ ikhlas dalam beribdah
(HR. al-Muslim, No.38, kepada-Nya
Jld.1)

22 Menjalankan Syari’at Islam Bertanya tentang syari’at Akhlak terhadap


Dengan Sepenuhnya Islam, perkara yang Allah Swt.
‫َات‬
ِ ‫ﺼﻠَﻮ‬
‫ْﺖ اﻟ ﱠ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻴ‬
َ ‫ْﺖ إِذَا‬
َ ‫ أََرأَﻳ‬... wajib, halal dan haram
... ‫َﺎت‬
ِ ‫اﻟْ َﻤ ْﻜﺘُﻮﺑ‬ kepada ahlinya jika dia
(HR. al-Muslim, No.15, tidak mengetahui hal itu
Jld.1)
127

23 Suci Adalah Sebagian Dari Sabar terhadap segala Akhlak terhadap


Iman ujian, terutama bagi sesama makhluk
... ‫اﻹﳝَﺎ ِن‬
ِْ ‫ اﻟﻄﱡﻬُﻮُر َﺷﻄُْﺮ‬... muslim yang senantiasa hidup
melakukan amar ma’ruf
(HR. al-Muslim, No.223,
nahi mungkar
Jld.1)

24 Larangan Berbuat Zalim Larangan menzalimi Akhlak terhadap


‫ْﺖ اﻟﻈﱡْﻠ َﻢ َﻋﻠَﻰ‬
ُ ‫ِﱐ َﺣﱠﺮﻣ‬
‫ ﻳَﺎ ﻋِﺒَﺎدِي إ ﱢ‬... orang lain sesama makhluk
hidup
... ‫ْﺴﻲ‬
ِ ‫ﻧـَﻔ‬

(HR. al-Muslim, No.2577,


Jld.4)

25 Bersedekah Dari Kelebihan Bersikap bijaksana, Akhlak terhadap


Harta bersedekah yang lebih sesama makhluk
‫َﺐ أَ ْﻫ ُﻞ اﻟ ﱡﺪﺛُﻮِر‬
َ ‫ ذَﻫ‬،ِ‫ُﻮل اﷲ‬
َ ‫ ﻳَﺎ َرﺳ‬... utama hidup

... ‫ِﺎﻷُﺟُﻮِر‬
ْ‫ﺑ‬

(HR. al-Muslim, No.1006,


Jld.2)

26 Segala Macam Perbuatan Segala perbuatan yang Akhlak terhadap


Baik Adalah Sedekah bermanfaat bagi diri sesama makhluk
ٌ‫ﺻ َﺪﻗَﺔ‬
َ ‫ﱠﺎس َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬
ِ ‫ ُﻛ ﱡﻞ ُﺳﻼَﻣَﻰ ِﻣ َﻦ اﻟﻨ‬... sendiri dan orang lain hidup
adalah sedekah
...

(HR. al-Bukhârî, No.2989,


Jld.4)
128

27 Jauhilah Perbuatan Yang Anjuran untuk selalu Akhlak terhadap


Meresahkan berakhlak mulia karena sesama makhluk
... ‫ْﱪ ُﺣ ْﺴ ُﻦ اﳋُْﻠ ُِﻖ‬
‫ اَﻟِﱡ‬... dapat mencegah dari hidup
perbuatan dosa
(HR. al-Muslim, No.2553,
Jld.4)

28 Berpegang Kepada Sunnah Meminta nasihat kepada Akhlak terhadap


Rasulullah dan Khulafaur orang-orang yang Allah Swt.
Rasyidin berilmu, serta larangan
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَْﻴ ِﻪ‬َ ‫ُﻮل اﻟﻠﱠ ِﻪ‬
ُ ‫ َو َﻋﻈَﻨَﺎ َرﺳ‬... mengada-ada sesuatu
‫ُﻮب‬
ُ ‫َﺖ ِﻣْﻨـﻬَﺎ اﻟْ ُﻘﻠ‬
ْ ‫َﺟﻠ‬ ِ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻣ َْﻮ ِﻋﻈَﺔً و‬ yang baru
...
(HR. al-Tirmidzî, No.2676,
Jld.4

29 Shalat Malam Mneghapus Bahaya lisan dan Akhlak terhadap


Dosa kewajiban untuk sesama makhluk
‫َﻞ‬
ٍ ‫ِْﱐ ﺑِ َﻌﻤ‬
ِ‫ُﻮل اﷲِ أَﺧْﱪ‬
َ ‫ ﻳَﺎ َرﺳ‬: ... menjaganya hidup

... ‫ْﺧﻠ ُِﲏ اﳉَﻨﱠﺔَ َوﻳـُﺒَﺎ ِﻋﺪُِﱐ ﻋَ ِﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬


ِ ‫ﻳُﺪ‬

HR. al-Tirmidzî, No.2616,


Jld.4)
129

30 Patuhilah Perintah dan Melaksanakan segala Akhlak terhadap


Larangan Agama kewajiban, komitmen Allah Swt.
‫ﺾ ﻓ ََﻼ‬
َ ِ‫َض ﻓَـﺮَاﺋ‬
َ ‫َﺎﱄ ﻓَـﺮ‬
َ ‫ إِ ﱠن اﷲَ ﺗَـﻌ‬... dengan hukum-hukum
... ‫ﻀﻴﱢـﻌُﻮﻫَﺎ‬
َ ُ‫ﺗ‬ Allah dan tidak boleh
(HR. al-Dâruquṭnî, berlebihan dalam agama
No.2705, Jld.3) Allah

31 Jauhilah Kesenangan Lebih yakin kepada apa Akhlak terhadap


Dunia, Niscaya Dicintai yang ada pada Allah sesama makhluk
Allah dibandingkan apa yang hidup
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻪُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﱠﱯ‬
‫ﱄ اﻟﻨِ ﱢ‬
َ ِ‫ ﺟَﺎءَ َر ُﺟﻞٌ إ‬... ada padamu

... ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬

(HR. Ibn Mâjah,


No.4102, Jld.2)

32 Tidak Boleh Berbuat Sesuatu yang berbahaya Akhlak terhadap


Kerusakan dan membahayakan sesama makhluk
... ‫ﺿَﺮَر وََﻻ ِﺿﺮَا َر‬
َ ‫ َﻻ‬... tidak diperbolehkan hidup
dalam syari’at
(HR. Ibnu Mājah,
No.2341, Jld.2)

33 Orang Yang Menuduh Menuduh harus dengan Akhlak terhadap


Wajib Menunjukan Bukti bukti dan sumpah bagi Allah Swt.
‫ﱠﺎس ﺑِﺪَﻋ ِﻮاﻫُﻢ َﻻ ﱠدﻋَﻲ‬
ِ ‫ ﻟَﻮ ﻳُﻌﻄَﻲ اﻟﻨ‬... yang mengingkari

... ‫َﻮم َوِدﻣَﺎءَﻫُﻢ‬


ٍ ‫َال ﻗ‬
َ ‫َﺎل أَﻣﻮ‬
ٌ ‫ِرﺟ‬
130

(HR. al-Bayhaqî, No.10


atau 252)

34 Kewajiban Memberantas Saling mengingatkan Akhlak terhadap


Kemungkaran untuk tidak melakukan sesama makhluk

ُ‫ َﻣ ْﻦ َرأَى ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ُﻣْﻨ َﻜﺮًا ﻓَـ ْﻠﻴُـﻐَﻴـ ْﱢﺮﻩ‬... perbuatan yang tercela hidup

... ِ‫ﺑِﻴَ ِﺪﻩ‬


(HR. al-Muslim, No.49,
Jld.1)

35 Jangan Saling Mendengki Tidak boleh memutuskan Akhlak terhadap


... ‫ َﻻ ﲢََﺎ َﺳ ُﺪوا‬... silaturrahmi, saling sesama makhluk
membenci, mendengki hidup
(HR. al-Muslim, No.2564,
Jld.4)

36 Membantu Kesulitan Berbuat baik kepada Akhlak terhadap


Sesama Muslim sesama makhluk adalah sesama makhluk
‫َب‬
ِ ‫ﺲ َﻋ ْﻦ ﻣ ُْﺆِﻣ ٍﻦ ﻛ ُْﺮﺑَﺔً ِﻣ ْﻦ ُﻛﺮ‬
َ ‫ َﻣ ْﻦ ﻧـَ ﱠﻔ‬... jalan mendapatkan cinta hidup
Allah
... ‫اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ‬

(HR. Al-Muslim, No.2699,


Jld.4)
131

37 Pahala Kebaikan Berlipat Allah membalas satu Akhlak terhadap


Ganda kebaikan dengan 10 Allah Swt.
‫َﺎت‬
ِ ‫َﺎت وَاﻟ ﱠﺴﻴﱢﺌ‬
ِ ‫َﺐ اﳊَْ َﺴﻨ‬ َ ‫ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺘ‬... hingga 700 kali lipat,
... ‫َﲔ‬ َ‫ﰒُﱠ ﺑـ ﱠ‬ bahkan lebih banyak dari
(HR. al-Muslim, itu
No.207(131), Jld.1)

38 Melakukan Amal Sunnah Siapa yang menyakiti Akhlak terhadap


Menjadikan Kita Wali orang beriman maka Allah Swt.
Allah Allah akan
ُ‫ ﻣَﻦ ﻋَﺎدي ِﱄ َوﻟِﻴﺎ ﻓَـﻘَﺪ آذَﻧﺘُﻪ‬... ... memeranginya

... ‫َﺮب‬
ِ ‫ﺑِﻠﺤ‬

(HR. al-Bukhârî, No.6502,


Jld.8)

39 Prilaku Yang Diampuni Kesalahan, kelalaian Akhlak terhadap


َ‫ﱄ َﻋ ْﻦ أُﻣ ِﱠﱵ اﳋَْﻄَﺄ‬ َ ِ‫ إِ ﱠن اﻟﻠﱠﻪَ ﲡََﺎوَز‬... dan apa yang Allah Swt.
... ‫وَاﻟﻨﱢ ْﺴﻴَﺎ َن َوﻣَﺎ ا ْﺳﺘُ ْﻜ ِﺮُﻫﻮا َﻋﻠَﻴْ ِﻪ‬ dipaksakan terhadapnya
(HR. Ibnu Mâjah,
No.2045, Jld.1)

40 Hiduplah Laksana Seorang Jadilah kamu didunia ini Akhlak terhadap


Pengembara seperti orang asing, Allah Swt.
‫ﱠﻚ‬
َ ‫َﺎل ُﻛ ْﻦ ِﰲ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َﻛﺄَﻧ‬
َ ‫ ﲟَِْﻨﻜِِﱯ ﻓَـﻘ‬... memanfaatkan masa
... ‫ِﻴﻞ‬ ٍ ‫ِﻳﺐ أ َْو ﻋَﺎﺑُِﺮ َﺳﺒ‬
ٌ ‫َﻏﺮ‬ sehat dan hidup sebelum
(HR. al-Bukhârî, No.6416, datang masa sakit dan
Jld.8) mati
132

41 Menundukan Hawa Nafsu2 Wajib meninggalkan Akhlak terhadap


... ‫ َﻻ ﻳـ ُْﺆِﻣ ُﻦ أَ َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ‬... keinginan yang Allah Swt
menyelisih syariat Allah
dan mematuhi apa yang
dibawa oleh Rasulullah

42 Allah Mengampuni Segala Dosa sepenuh langit Akhlak terhadap


Dosa Orang Yang Tidak bahkan sebesar gunung Allah Swt.
Berbuat Syirik sekalipun, jika kita
‫َﺎﱃ ﻳَﺎ اﺑْ َﻦ آ َد َم‬
َ ‫َﺎل اﻟﻠﱠﻪَُ ﺗَـﻌ‬
َ ‫ُﻮل ﻗ‬ ُ ‫ ﻳـَﻘ‬... memohon ampun
‫َﻚ‬َ ‫ْت ﻟ‬ ُ ‫ﱠﻚ ﻣَﺎ َدﻋ َْﻮﺗ َِﲏ َوَرﺟ َْﻮﺗ َِﲏ ﻏَﻔَﺮ‬
َ ‫إِﻧ‬ kepada-Nya maka Allah
... ‫َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻛَﺎ َن ﻣِﻨﻚ‬ akan mengampuninya
(HR. al-Tirmidzî,
No.3540, Jld.5)

2
Imam Yahyâ Ibn Syaraf al-Nawawî , Imam Abdurrahman Ibn Nâsir as-Sa’dî, Ibnu
Daqîq al-ʻÎd, dan Muhammad Ibnu Sâleh Ibn Utsaimîn, Syarah al-Arbaʻîn al-Nawawîyyah,
(Kairo: Dîr Ibn al-Jauzî, 2014), h. 231.

Anda mungkin juga menyukai