Anda di halaman 1dari 16

MEMEGANG ISLAM DENGAN ETIKA: DARI KEBENCIAN

TEOLOGI UNTUK ETIKA AGAMA

Aksin Wijaya

Institut Agama Islam Negeri Ponorogo asawijaya@yahoo.com

Suwendi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta suwendi@uinjkt.ac.id

Sahiron Syamsuddin

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sahironsyamsuddin68@gmail.com

Abstrak

Munculnya fenomena keagamaan yang menggiring kelompok Muslim tertentu di Indonesia


untuk menyebarkan kebencian (religious hate speech) menjadi dasar pemikiran utama artikel
ini. Fenomena ini terjadi karena sebagian kelompok Muslim menganggap pemahaman agama
mereka sebagai satu-satunya kebenaran teologis yang aktual dengan mengabaikan etika
keagamaan dalam masyarakat yang plural secara agama. Oleh karena itu, muncul beberapa
pertanyaan: Pertama, bagaimana struktur konseptual Islam? Kedua, apa yang Islam ajarkan
kepada pemeluknya tentang hidup bersama dalam komunitas Islam dan hidup di antara
pemeluk agama lain yang berbeda? Metode etika digunakan untuk menganalisis kedua
pertanyaan penelitian tersebut dengan mendeskripsikan, menganalisis, dan mengkritisi sikap
gerakan Islam yang menyebarkan kebencian. Dari artikel ini, diharapkan umat Islam tidak
hanya menekankan kebenaran teologis agama tetapi juga etika. Temuan-temuannya adalah
sebagai berikut: pertama, struktur konseptual Islam terdiri dari tiga: Islam, Iman, dan Ihsan,
yang berujung pada Ihsan, tasawuf, dan etika. Kedua, tentang menjadi seorang muslim dan
mengamalkannya di antara pemeluk agama lain, Islam pada hakekatnya mengaitkan kebenaran
agama dan teologinya dengan etika keagamaan (etika al-Qur'an), yang memadukan tiga unsur
etika: ketuhanan, kereligiusan. , dan etika sosial. Dua etika terakhir harus selalu mengacu pada
etika afirmatif Tuhan, misalnya, dengan sifat-sifat Ilahi-Nya Yang Maha Pengasih dan Maha Adil.
Tuhan berbelas kasih kepada manusia dan memperlakukan mereka semua dengan adil.
Demikian juga, manusia pada hakikatnya harus melakukan hal yang sama dalam hubungannya
dengan Tuhan dan sesama manusia.

Kata kunci: Teologi kebencian, etika beragama.

A. Pendahuluan
Artikel ini dilatarbelakangi oleh munculnya fenomena keagamaan yang menyebarkan
kebencian (religious hate speech) dan menekankan kebenaran teologis dengan mengabaikan
etika agama dan etika dalam konteks pluralitas agama. Fenomena ujaran kebencian agama ini
sudah terjadi sejak lama. Semakin semarak sejak Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 lalu, saat calon
Kristen, Ahok (Basuki Tjahya Purnama), dan calon Muslim, yakni Anies Baswedan dan Agus
Harimurti Yudhoyono, saling bersaing. Terkait hal ini, lawan politik Ahok menggunakan isu
agama untuk mendapatkan simpati publik dan sekaligus merendahkannya sebagai petahana
yang reputasinya masih unggul di berbagai jajak pendapat. Perlawanan tersebut berawal dari
tuduhan Ahok sebagai penoda agama dengan mendirikan Gerakan Nasional Pengawalan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia GNPF-MUI. Gerakan GNPFMUI awalnya muncul untuk memprotes
pernyataan mantan Gubernur DKI, Ahok, yang dituduh menghina Islam karena menggunakan
Al-Ma'idah ayat 51 dalam pidatonya di Pulau Seribu pada Oktober 2016. Dalam hal ini, Ahok
bermaksud agar masyarakat tidak terkecoh dengan lawan politiknya yang sering menggunakan
Al-Qur'an dalam acara-acara politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Namun, kasus
ini dijadikan senjata oleh lawan politiknya untuk menyerang Ahok sebagai penoda agama. Dari
fenomena tersebut, penggunaan aspek agama dalam politik di luar dugaan justru menciptakan
kebencian dan kekerasan, bukannya etika dan perdamaian. Agama khususnya Islam
mengajarkan etika, mendakwahkan perdamaian, kerukunan, gotong royong, serta toleransi
dalam kehidupan bermasyarakat, dan sama sekali menolak kekerasan kecuali dalam keadaan
terpaksa. Akan tetapi, Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam mengandung berbagai makna,
sehingga pemahaman dan keyakinan mereka terhadap Islam bergantung pada pemahaman
mereka terhadap Al-Qur’an.

Teologi kebencian ini meniadakan etika keagamaan dan etika hidup dalam masyarakat yang
plural secara agama seperti Indonesia. Hal itu tentu merusak etika beragama karena
bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang bersabda: “Aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia yang baik.” Selain itu beliau juga menyatakan:
“Sebaik-baik mukmin adalah yang paling baik akhlaknya (etika)” (Madjid, 1994). Hal ini juga
merusak etika hidup dalam masyarakat yang plural secara agama karena Negara Kesatuan
Republik Indonesia mengakui pluralitas agama (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghucu) bahkan mengakui agama asli. Dengan dua etika tersebut, umat yang berbeda dapat
hidup rukun, gotong royong, gotong royong, dan saling mendukung dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila sekulernya dan nilai pluralitas
sebagaimana termaktub dalam semboyan nasionalnya: Bhinneka Tunggal Ika.

Para pendiri negara menciptakan istilah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan yang
mencetuskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah Empu Tantular, seorang penyair pada
masa kerajaan Hindu Majapahit (1293-1478) (Mpu Tantular, 2019). Semboyan ini menandakan
bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam hal ras, suku, golongan, dan agama.
Namun, suatu negara tidak hanya membutuhkan semboyan tetapi juga ideologi dan filosofi
suatu negara. Menurut Ismail (1999), ideologi memberikan kejelasan identitas nasional,
kebanggaan, dan kekuatan untuk menginspirasi masyarakat untuk mencapai tujuan sosial dan
politik. Ia juga menjadi penggerak dinamis bagi kehidupan organisasi dan institusi politik, dan
dalam kehidupan berbangsa, ideologi berfungsi untuk menyatukan masyarakat dalam
organisasi politik untuk melakukan tindakan politik secara objektif. Para pendiri negara ini
menyadari sepenuhnya pentingnya ideologi nasional dalam pembangunan sosial politik bangsa
Indonesia (Ismail, 1999).

Setelah mengalami perdebatan kreatif dan inovatif sebelum Indonesia merdeka, para
pemimpin negara akhirnya berhasil merumuskan ideologi negara yang disepakati: Pancasila
(Ismail, 2003), sebuah istilah yang telah digunakan jauh sebelumnya oleh dua empu terkenal
yang hidup pada masa kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan. Hayam Wuruk yaitu Empu
Prapanca dalam karyanya Negarakertagama (Mpu Prapanca, 2018), dan Empu Tantular dalam
karyanya Sutasoma (Ismail, 2003; Mpu Tantular, 2019). Oleh karena itu, menjaga keutuhan
bangsa dan negara Indonesia adalah wajib. Salah satu tugas kita adalah menghindari kebencian
dan tindakan kekerasan atas nama agama dengan menafsirkan kembali konsep Islam dalam Al-
Qur’an.

Artikel berikut secara deskriptif dan kritis membahas etika beragama dalam Islam dengan
menjawab dua masalah utama: Pertama, bagaimana struktur konseptual Islam? Kedua,
bagaimana Islam mengajarkan umatnya tentang agama dan hidup bersama di antara umat
Islam dengan berbagai sekte dan pemeluk agama lainnya? Dalam hal ini, kedua pertanyaan
tersebut dianggap saling berhubungan. Memahami yang pertama mungkin mempengaruhi
pemahaman yang terakhir. Misalnya, jika pemahaman tentang struktur konseptual Islam
cenderung eksklusif teologis, maka etika kehidupan beragama biasanya diabaikan. Akibatnya,
metode etis digunakan karena masalah di atas bukan hanya teologis; melainkan terutama
terkait dengan persoalan etika Islam tentang kehidupan beragama dan bagaimana hidup
bersama dengan umat beragama lain. Dari artikel tersebut diharapkan umat Islam tidak hanya
menekankan kebenaran agama dan teologis tetapi juga etika.

Beberapa karya tentang etika Islam tersedia. Beberapa ulama membahas istilah-istilah
kuncinya dalam Al-Qur’an, hubungan antara etika dan hukum Islam, hubungan antara etika dan
epistemologi, dan hubungan antara etika Islam dan dunia lainnya. Di antara yang membahas
istilah-istilah kunci etika dalam Al-Qur’an adalah Riswani (2017), Halili (2017), dan Al-Khatib
(2017). Sementara itu, salah satu ulama yang menulis tentang hubungan antara etika, Al-
Qur’an, dan hukum Islam antara lain El Fadl (2017). Sementara itu, AlAttar (2017) menulis
sebuah karya tentang hubungan antara etika dan epistemologi dalam tradisi pemikiran Islam
klasik tradisional. Siddiqui (1997) menulis sebuah karya tentang etika Islam dan pergeseran
makna vitalnya. Beberapa penulis menulis etika Islam dan hubungannya dengan realitas dunia
kontemporer, seperti dalam politik, kehidupan sosial, atau hubungan internasional, seperti
Ghafran dan Yasmin (2020), Liu (2011), Khan (1997), dan Chaney. dan Gereja (2017). Artikel ini
secara eksplisit berfokus pada etika beragama dan cara hidup umat Islam dengan umat
beragama lain di Indonesia, terutama etika terhadap pemerintah, sesama manusia, dan
pemeluk agama yang berbeda.

Manusia adalah makhluk yang bertindak dan melakukan sesuatu. Berkaitan dengan hal
tersebut, sikap manusia dapat dinilai dari banyak sudut pandang, baik ekonomi, politik, budaya
atau dan terutama moralitas dan etika. Dari perspektif terbaru ini, sikap manusia dapat dilihat
dari sisi baik dan buruk. Namun, kedua sisi ini tidak terkait dengan tindakan tertentu tetapi
kepribadian. Misalnya, Nabi Muhammad adalah guru yang baik tetapi tidak pandai mengajar.
Ungkapan ini menyiratkan dua perspektif; bagian pertama menyangkut moralitas, sedangkan
bagian kedua menyangkut profesinya sebagai guru. Secara moral, dia adalah pria yang baik,
tetapi tidak cukup sebagai guru. Oleh karena itu, artikel ini membahas aspek moralnya
(Bertens, 2011, 2017).

Ada dua istilah yang saling terkait dalam kehidupan sehari-hari, yaitu moral dan etika. Istilah-
istilah ini sedikit berbeda namun saling terkait. Istilah 'moral' dapat digunakan dalam dua
bentuk: kata sifat dengan arti yang sama dengan etika dan kata benda yang mengacu pada nilai
atau norma moral yang dijunjung oleh seseorang atau masyarakat tertentu yang mengatur
perilaku. Dapat dikatakan bahwa moral atau moralitas berkaitan dengan baik atau buruknya
perilaku manusia. Sementara itu, kata 'etika' mengacu pada kata benda dengan tiga makna
yang saling terkait: 1) sebagai nilai dan norma moral, 2) sebagai kode etik, dan 3) sebagai
pengetahuan tentang baik dan buruk dari perspektif moral. Makna terakhir pada hakikatnya
berarti kajian tentang moralitas. Juga mengacu pada filosofi moralitas, etika filosofis
(Hariatmoko, 2003), atau teori etika (Bertens, 2017).

Kajian tentang teori etika, menurut Bertens (2011, 2017), terdiri dari tiga kategori; deskriptif,
normatif, dan metaetika. Etika deskriptif mengacu pada teori etika yang hanya
menggambarkan fenomena moral tanpa memberikan penilaian praktis tentang baik dan
buruknya perilaku seseorang. Sedangkan etika normatif yang disebut juga dengan etika filosofis
berusaha menemukan akar nilai dan norma dasar dan pada akhirnya menimbulkan penilaian
tentang baik dan buruk. Metaetika, yang juga dikenal sebagai kamp analitik filsafat moral,
secara filosofis membahas konteks bahasa yang digunakan dalam perilaku moral, seperti 'apa
yang baik, buruk, adil, wajib, bebas, bertanggung jawab, dan banyak lainnya' (Bertens, 2011,
2017). ).

Ketiga kategori teori etika ini digunakan untuk mendeskripsikan, menafsirkan, dan mengkritisi
sikap beberapa gerakan Islam yang belakangan ini melakukan kekerasan dan menyebarkan
kebencian atas nama agama. Oleh karena itu, pembahasan berikut dimulai dari deskripsi
struktur konseptual Islam untuk menyoroti bagaimana Islam tidak hanya bertumpu pada
kebenaran teologis, apalagi disampaikan dengan penuh kebencian, tetapi juga kebenaran etis.
Dalam hal ini, itu terutama didasarkan pada yang terakhir. Belakangan, makalah ini juga
membahas etika beragama dan cara hidup berdampingan antar pemeluk agama yang berbeda
di Indonesia.

B. Dimensi Etika dalam Struktur Konseptual

Dalam membahas Islam, kita akan membahas berbagai aspek, termasuk asal usul, istilah,
makna, konsep, dan ajarannya. Dari asalnya, Islam diturunkan oleh Tuhan yang memberi nama
Islam, bukan nama oleh orang lain, dan tidak menggunakan nama utusannya seperti agama
budaya atau ciptaan manusia lainnya (Al-Maududi, n.d.). Secara konseptual, istilah Islam
mengandung dua kategori makna: Islam sebagai sikap kepasrahan total kepada Tuhan, dan
Islam sebagai nama diri yang merupakan manifestasi dari sikap tunduk yang dibawa oleh setiap
Nabi yang dikenal dengan Syariah (Madjid, 2008; J. Rahmat, 2006). Sesungguhnya Islam tidak
hanya mengacu pada penyerahan diri, tetapi Allah membimbingnya melalui para nabi dan kitab
suci-Nya, yaitu kepercayaan kepada Tuhan, akhirat, dan perbuatan baik (al-'amal al-shalih) (al-
Baqarah:62) ( Wijaya, 2019).

Dari struktur ajarannya, al-Qur'an sebagai sumber esensial Islam tidak memberikan
kategorisasi teknis dan rincian tentang struktur konseptual Islam. Dalam hal ini para ulama
(ulama dan cendekiawan Muslim) dan beberapa sekte Islam membuat hal tersebut dan
memberikan rincian dalam berbagai bentuk. Syi'ah misalnya, memasukkan beberapa unsur ke
dalam struktur konseptual Islam, yaitu tauhid, nubuwwah, imamah, dan iman (keyakinan) pada
hari kebangkitan dan penghakiman (Al-Nafis, 2006). Mu'tazilah menyebutkan lima unsur:
tauhid, al-'adl, al-wa'du wa al-wa'id, al-manzila bayna al-manzilatayn, dan al-amru bi al-ma'ruf
wa al-nahyi 'an al-mungkar (Al-Jabbar, nd). Demikian juga, beberapa ulama secara individual
membuat beberapa kategorisasi dan rincian teknis: Islam sebagai aqidah (akidah) dan syariah
(peraturan) oleh Mahmood Shaltoot, Islam sebagai aqidah dan haqiqah (pengetahuan) oleh
Mahmud Muhammad Thaha (Thaha, 2007), “Islam terdiri dari Islam dan Iman” oleh
Muhammad Shahrur” (Shahrur, 1996), ”Islam sebagai aqidah (esensial) dan sejarah
(kebetulan)” oleh Abd al-Karim Shoroush (Shoroush, 2009b), “Islamku, Islam Anda dan Islam
Kita” (“My Islam, Islam Anda, dan Islam Kita) oleh Gus Dur (Abdurrahman Wahid) (Wahid,
2006), dan saya mengklasifikasikannya menjadi “Islam Teosentris dan Antroposentris” (Wijaya,
2013).

Sementara itu, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni), cabang utama dalam Islam, membuat
kategori teknis berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar ibn al-Khattab, sebagai berikut:
“Suatu hari, seorang pria muncul dengan pakaian yang sangat putih dan rambut yang sangat
hitam. Tidak ada tanda-tanda perjalanan pada dirinya, namun kami tidak mengenalinya. Dia
duduk di depan Nabi, menopang lututnya dengan lututnya, dan meletakkan tangannya di
pahanya. Laki-laki itu berkata, “Wahai Muhammad, ceritakan kepadaku tentang Islam.” Nabi
bersabda, “Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat, bersedekah, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan
haji ke Baitullah jika mampu. ” Pria itu berkata, "Kamu telah berbicara dengan jujur." Kami
terkejut bahwa dia bertanya kepadanya dan mengatakan bahwa dia jujur. Dia berkata,
“Ceritakan kepadaku tentang iman.” Nabi bersabda, “Iman adalah beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan beriman kepada takdir,
baik dan buruknya.” Pria itu berkata, “Kamu telah berbicara dengan jujur. Ceritakan tentang
keunggulan.” Nabi berkata, “Keutamaan adalah menyembah Allah seolah-olah Anda melihat-
Nya, karena jika Anda tidak melihat-Nya, Dia pasti melihat Anda.” Pria itu berkata, "Ceritakan
tentang jam terakhir." Nabi berkata, "Yang bertanya tidak lebih tahu dari yang bertanya."
Orang itu berkata, “Ceritakan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Nabi berkata, "Gadis budak
akan melahirkan majikannya, dan Anda akan melihat gembala bertelanjang kaki, telanjang, dan
tergantung bersaing dalam pembangunan gedung-gedung tinggi." Kemudian, pria itu kembali,
dan saya tetap tinggal. Nabi berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah kamu siapa penanya
itu?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Nabi berkata, “Sesungguhnya, dia adalah
Jibril yang datang untuk mengajarimu agamamu” (Al-Shahrashtani, 1961; Muslim, 2001).

Atas dasar hadis ini, banyak ulama Sunni mengkategorikan ajaran Islam Nabi Muhammad ke
dalam tiga unsur; Islam, iman, dan ihsan, yang kemudian disebut sebagai trilogi Islam.
Memang, tampaknya ada kompartementalisasi di antara definisi setiap istilah seolah-olah
mereka terpisah. Namun, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa ketiga konsep tersebut saling
berhubungan dan saling melengkapi. Islam (penyerahan diri kepada Tuhan) tidak ada artinya
atau tidak masuk akal tanpa iman (keyakinan), dan iman yang sempurna tidak akan tercapai
tanpa ihsan (perbuatan baik). Demikian juga, ihsan juga tidak mungkin tanpa iman, dan iman
harus selalu disertai dengan Islam. Dari ketiga unsur tersebut, ihsan merupakan identitas
keislaman seorang Muslim sebagaimana tergambar dalam al-Nahl: 90, al-Bayyinah: 5, dan al-
Baqarah:178 (Azzam, n.d.; Madjid, 1994).

Ulama Sunni mengkanonisasi trilogi Islam dan memberikan penjelasan panjang lebar tentang
mereka, menciptakan tiga pengetahuan Islam: teologi, yurisprudensi Islam, dan tasawuf. Ketiga
disiplin ilmu ini memang saling terkait dan melengkapi, tetapi kelompok-kelompok tertentu
bertentangan dengannya. Mereka bersikeras bahwa teologi dan fikih Islam adalah Islam (Red,
2019), sedangkan tasawuf dianggap sebagai pengaruh asing. Apalagi kelompok ekstrim
tertentu, seperti Khawaarijii-Wahhabii (Wijaya, 2018), bahkan lebih jauh mengatakan bahwa
fikih Islam dan tasawuf dianggap impor asing. Kelompok-kelompok ini menekankan dimensi
iman (sistem kepercayaan), yang terutama tauhid (tauhid) dari trilogi ini, dan menegaskannya
sebagai esensi Islam (Shahrur, 2014; Taymiyah & AlWahhab, 1991). Muhaḥmmad ibn ‘Abd al-
Wahhāb, dalang utama kelompok gerakan Wahabi ini, membagi tauhid menjadi tiga aspek;
uluhiyah, rububiyah, serta asma’ dan sifat (Taymiyah & Al-Wahhab, 1991). Dari ketiga unsur
tersebut, uluhiyahlah yang paling ditekankan yang menjadi parameter keberagamaan seorang
Muslim (Al-Wahhab, 1969), sedangkan dua lainnya terdegradasi jika tidak diabaikan.

Konsekuensi dari penyederhanaan atau reduksi Islam menjadi uluhiyyah ini adalah tasawuf
menjadi kabur di bawah dua disiplin ilmu lainnya. Apalagi para sufi dan filosof yang
mengamalkan tasawuf terkadang mengajukan pemikiran-pemikiran kontroversial yang
bertentangan dengan para ahli hukum dan teolog. Lebih jauh lagi, mereka sering dituduh
sebagai orang yang tidak ortodoks, penyembah berhala, inovator, bidat, kafir, murtad dan aktor
perusak Islam.

Sementara sebagian ulama membedakan antara tasawuf (tasawuf) dan akhlaq (etika), sebagian
lainnya menganggapnya serupa. Perbedaannya, bagaimanapun, sangat halus, di mana tasawuf
lebih umum daripada etika. Setiap praktisi tasawuf adalah beretika, tetapi tidak setiap orang
yang beretika mengamalkan tasawuf (Milkiyan, 2013). Hal ini karena tasawuf menekankan
pada membangun hubungan spiritual dengan Tuhan sambil melakukan pertapaan di dunia ini.
Sedangkan etika mengacu pada interaksi sosial di dunia ini. Dapat dikatakan bahwa tasawuf
bersifat vertikal sekaligus horizontal, sedangkan etika hanya bersifat horizontal. Artinya
keduanya saling terkait, dimana etika menjadi bagian dari tasawuf sehingga muncul istilah
tasawuf etis. Ihyaa’u Uluumiddiin karya AlGhazali membahas tasawuf dan etika secara
bersamaan (Quasem, 1975).

Demikian pula, ada yang membedakan antara Akhlaq dan etika berdasarkan sumber dan
metodenya, dan ada pula yang menganggapnya identik setelah mengidentifikasi isi dan
tujuannya (Zaqzuq, 1983). Etika berasal dari tradisi filosofis Yunani yang dikenal sebagai
peradaban filosofis, sedangkan Akhlaq berasal dari Arab-Islam, peradaban yang digerakkan oleh
teks (Zaqzuq, 1983). Kedua konsep tersebut berbicara tentang nilai, norma, serta baik dan
buruk, dari perspektif kepribadian. Karena proses sejarah, etika diadopsi dan dikaitkan dengan
pemikiran Akhlaq dalam Islam (Bertens, 2011, 2017; Suseno, 2010) sehingga menjadi lebih
mendalam dan bahkan menyatu, sebagaimana tercermin dalam karya Ibnu Miskawaih yang
berjudul Tahdzib al-Akhlaq (Aristoteles, 2008; Miskawaih, 2011). Namun, kedua istilah
tersebut digunakan secara bergantian oleh para sarjana Muslim. Ada yang masih menggunakan
akhlak, dan ada yang lebih mengutamakan etika. Quasem (1975) menulis tentang pemikiran al-
Ghazali tentang etika berjudul Etika al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam, sedangkan Fakhry
(1996) mengulas pemikiran para sarjana Muslim dalam bukunya yang berjudul Ethical Theories
in Islam.
Di Indonesia, tasawuf, akhlaaq, dan etika dipelajari dan dipraktikkan sehari-hari hanya di
pesantren tradisional. Beberapa penelitian yang termasuk karya yang paling banyak dipelajari
adalah Ihyaa'u Uluumiddiin, al-Ta'liim wa al-Muta'alliim, Washaya al-Abaa' li al-Abnaa'”, al-
Akhlaq li al-Banaat, Irshaad al -'Ibaad, Naṣaa'iḥ al-'Ibaad, dan al-Adhkaar (Bruinessen, 2015).
Oleh karena itu, di banyak pesantren, praktik tasawuf, akhlaaq, dan etika dianggap lebih
penting daripada pemahaman teoritis. Mengenai hal ini, hidup sederhana, akhlak, dan etika
merupakan manifestasi dari ilmu. Slogan yang terkenal di kalangan masyarakat pesantren
tentang hal ini adalah “al-‘Ilmu bilaa ‘Amalin, ka al-Shajari bilaa Thamarin,” yang artinya ilmu
tanpa penerapan ibarat pohon tanpa buah. Penerapannya berupa hidup sederhana dan
pengamalan etika. Para santri pesantren yang dikenal dengan sebutan santri ini hidup
sederhana dalam hal sandang dan pangan. Rasa hormat santri terhadap sesama, sesama santri,
ustadz (guru dan senior), dan kyai (pemilik/grandmaster pesantren) mencerminkan ajaran apa
yang mereka pelajari dalam risalah Akhlaq yang ditulis oleh para ulama besar. Selain itu,
mereka tidak bertindak kasar, mengungkapkan ujaran kebencian, hoax, dan kebohongan di
pesantren.

Situasi sebaliknya terjadi di kalangan Khawaarijii-Wahhabii dan Islamis yang mengabaikan


tasawwuf, akhlaaq, dan etika. Dalam hal ini, mereka melakukan kekerasan, baik fisik, lisan,
maupun tulisan, dengan menyebarkan kebencian, kebohongan, provokasi atau agitasi, fitnah,
pandangan misoginis, manipulasi data melalui hoax, dan cara lainnya. Semua perbuatan itu
dibenarkan melalui dalil-dalil agama, misalnya beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang
menganjurkan pembunuhan terhadap orang-orang kafir (misalnya Q. al-Taubah: 5, dan al-
Baqarah: 2) dan hadits Nabi menyatakan bahwa: “Aku diutus untuk membunuh manusia
sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Jika mereka melakukan perintah itu, jiwa
dan harta mereka akan selamat karena mereka telah menjadi Muslim, dan urusan mereka
adalah milik Allah” (Umar, 2019). Untuk itu, menghadirkan akhlak dan etika sebagai bagian dari
trilogi Islam menjadi sangat penting.

C. Etika Keagamaan dalam Islam

Sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran: al-Anbiya’ ayat 107 (lihat juga Yaqut, 2009),
dinyatakan bahwa “Kami tidak mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi manusia.” Di sisi
lain, sebuah hadits Nabi mengatakan: “Saya diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan Akhlaq
(etika) yang baik.” Kedua pernyataan dari dua teks agama utama tersebut saling terkait dalam
bentuk kausalitas. Berkaitan dengan hal tersebut, akhlak memerlukan belas kasihan karena
merupakan kualitas pribadi, sedangkan rahmat merupakan konsekuensi dari kualitas pribadi
yang diwujudkan dalam perilaku. Nabi Muhammad SAW secara pribadi merupakan cerminan
dari kualifikasi akhlaq mulia yang dinyatakan oleh AlQur'an sebagai “khuluqun 'aziim”, (al-
Qalam: 4) (Al-Dimasqi, nd), dan Aisyah, istri tercintanya menyatakan bahwa Akhlaq Nabi adalah
Al-Qur'an (Azzam, nd). Meskipun kualifikasi Akhlaq sudah tertanam dalam kepribadiannya,
Nabi Muhammad tidak pernah berhenti meminta kepada Allah untuk memperbaiki akhlaknya,
dan mencegahnya dari akhlak yang rusak (Al-Dimasqi, n.d.). Semasa hidupnya, Nabi
Muhammad SAW tidak pernah melepaskan akhlaq dalam segala aspek kehidupannya, mulai
dari urusan pribadi seperti tata krama, tata cara berpakaian dan tidur (Al-Dimasqi, nd) hingga
urusan sosial dengan sesama manusia, termasuk pemeluk agama yang berbeda. baik di masa
damai maupun perang (Al-Sirjani, 2011a, 2011b; Yaqut, 2009). Karena Akhlaq sangat dihormati
dalam Islam, Nabi Muhammad menyatakan: “Mukmin yang terbaik adalah yang memiliki
Akhlaq (etika) terbaik” (Al-Khauli, n.d.; Madjid, 1994). Di antara sifat-sifat Al-Qur’an tentang
Akhlaq antara lain berbuat adil, beramal saleh, menepati janji, jujur dan sabar (Azzam, n.d.),
rendah hati dan tidak sombong (al-Furqan: 63).

Menurut Izutsu (1993), setidaknya ada tiga kategori akhlaq atau etika dalam al-Qur’an, yaitu
etika ketuhanan, etika keagamaan, dan etika sosial. Dua yang terakhir dikenal sebagai etika
manusia. Etika ketuhanan mengacu pada akhlak ketuhanan, seperti Maha Penyayang, Maha
Adil, dan masih banyak lagi yang biasanya menjadi objek kajian para sufi dan teolog. Dengan
karakter afirmatif itu, Tuhan selalu memiliki belas kasihan-Nya pada manusia dan
memperlakukan mereka dengan adil. Etika beragama mengacu pada tanggapan manusia
terhadap tanggapan etis Tuhan dalam berinteraksi dengan manusia (Izutsu, 1993). Misalnya,
karena Tuhan selalu memperlakukan manusia dengan belas kasih dan keadilan, maka manusia
harus menanggapinya dengan rasa syukur, ketaatan, dan kepasrahan kepada Tuhan (Izutsu,
1993, 1997). Sebaliknya, etika sosial adalah nilai dan norma sosial yang mengatur interaksi
manusia. Selain itu, etika sosial juga mencerminkan etika Tuhan. Dalam hal ini, karena Tuhan
selalu berbelas kasih dan adil kepada manusia, maka manusia harus memperlakukan sesama
manusia sebagaimana mestinya.

Ketiga bentuk etika Islam tersebut, menurut Izutsu (1993), saling terkait. Mengenai hal ini, dua
etika manusia, yaitu etika agama dan etika sosial, mencirikan etika Tuhan karena pandangan
dunia Islam (Al-Qur’an) bersifat teosentris. Oleh karena itu, kedua etika manusia tersebut
mencerminkan etika Tuhan, kecuali etika Tuhan yang bersifat negatif, seperti Yang Maha
Pembalas. Dengan karakter etis yang negatif, Tuhan berhak membalaskan dendam manusia
yang gagal memuji, menaati, dan tunduk kepada-Nya. Menurut Hammad (2010), pembalasan
Allah dapat berupa hukuman langsung di dunia ini, seperti yang terjadi di masyarakat kuno
(Bani Israel), dan di akhirat terhadap umat Nabi Muhammad yang berdosa (Hammad, 2010;
Wijaya, 2018). Oleh karena itu, etika manusia, baik etika agama maupun etika sosial, tidak
dapat mengikuti atau mengambil alih jenis etika Tuhan ini. Dengan demikian, manusia tidak
bisa membalaskan dendam sesama manusia, apalagi memaksa orang lain untuk tunduk kepada
mereka (Izutsu, 1997), seperti yang dilakukan Fir'aun pada masa Nabi Musa.
Ketiga bentuk etika al-Qur’an tersebut sebenarnya telah menjadi acuan dalam masyarakat
Indonesia yang plural secara agama. Mereka mungkin berbeda dalam banyak hal, tetapi tetap
dalam satu bangsa, Indonesia. Perbedaan ini adalah Sunnah Allah atau takdir Tuhan karena
Tuhan menghendaki perbedaan di antara manusia. Manusia tidak memiliki hak dan kekuatan
untuk menolak perbedaan, termasuk perbedaan agama (Hanna, 2005). Oleh karena itu, umat
Islam harus menghormati perbedaan dan beretika berhubungan dengan sesama manusia,
termasuk yang berbeda agama (Q. al-Mumtahanah: 8).

Namun, karena segelintir umat Islam yang tidak bertanggung jawab yang menekankan
kebenaran teologis dan eksklusif, bentuk politik negara kesatuan, Pancasila sebagai ideologi
negara dan pluralitas di Indonesia sering ditentang. Mereka tidak hanya menolak semua
perbedaan tetapi juga melancarkan teror kepada mereka yang menerima tatanan politik
sekuler dan konsekuensinya. Akibatnya, konflik terjadi dalam hitungan waktu. Dari perspektif
etika, masalah seperti itu masih dipertanyakan.

Sekali lagi, itu terletak pada cara Muslim memandang struktur konseptual Islam. Sebagaimana
telah disebutkan, terdapat perbedaan pemahaman struktur konseptual Islam di antara mereka
yang menekankan pada dimensi teologis (tauhid), sementara mengabaikan dua dimensi lainnya
(Islam dan ihsan) atau teologi dan fiqih Islam. Di sisi lain, kelompok tasawuf (etika) mengakui
keselarasan trilogi Islam dan trilogi ilmu pengetahuan Islam. Menurut saya, trilogi Islam itu
saling melengkapi, dan yang membedakan adalah penerapannya, misalnya perbedaan antara
kebenaran teologis (tawhid) dan tasawwuf (Akhlaq dan etika). Dalam hal ini, kebenaran
teologis berkaitan dengan benar dan salah dalam pikiran dan keyakinan, sehingga bersifat
teoritis, sedangkan tasawwuf, akhlaaq, dan etika membahas aspek positif dan negatif dari
perbuatan seseorang. Dengan demikian bersifat teoritis dan sekaligus praktis (Zaqzuq, 1983).

Karena bersifat teoritis, maka kebenaran teologis mengandung dua kemungkinan bila
diterapkan dalam kehidupan nyata. Pertama, mungkin cocok untuk semua konteks ruang dan
waktu, seperti paham tauhid, dan kewajiban shalat. Kedua, mungkin hanya cocok untuk waktu
dan ruang tertentu, seperti gaya pakaian. Dalam pengertian ini, etika diperlukan untuk
menyampaikan kebenaran bahwa etika memerlukan pemikiran, apakah suatu kebenaran dapat
diterapkan pada waktu dan ruang tertentu. Jika jawabannya tidak, diperlukan posisi dan
strategi yang bijak dalam menyampaikan kebenaran. Etika dalam menyampaikan kebenaran
tidak selalu identik antara orang Indonesia, Arab, dan Barat. Jika orang Arab berkomunikasi
dalam bahasa yang murni dan tanpa kompromi, orang Barat mungkin akan menyampaikannya
secara rasional. Sementara itu, orang Indonesia melakukannya dengan sopan dan anggun
mengikuti adat setempat.

Pentingnya etika dalam menyampaikan kebenaran teologis keagamaan juga dapat dilihat dari
konsep etika itu sendiri. Namun demikian, ada banyak konsep yang ditawarkan oleh para
ulama, dimana masing-masing konsep memiliki esensi dan tujuan yang sama yaitu perilaku
moral. Beberapa berpendapat bahwa Akhlaq dan etika ditakdirkan untuk menjadi baik. Hukum
tahbisan ini didasarkan pada asumsi bahwa karena manusia dilengkapi dengan akal, ia
memainkan peran penting dalam pemikiran etis. Tampaknya hukum tidak tertulis yang
diketahui oleh akal. Dengan demikian, takdir manusia menjadi norma dasar bagi perilaku
manusia. Akibatnya, manusia yang bertindak sesuai dengan takdir adalah baik secara moral.
Jika tidak, tindakan yang menentang penetapan sebelumnya dianggap buruk secara moral.
Banyak aspek yang terkait dengan teori ini, seperti larangan berbohong. Dalam hal takdir,
komunikasi antar manusia harus didasarkan pada kejujuran, yang dianggap baik karena sudah
ditakdirkan. Namun, jika ada kebohongan dalam komunikasi seseorang, itu berarti mereka
telah bertentangan dengan hukum yang telah ditentukan (Bertens, 2017).

Etika juga memiliki sifat imperatif kategoris, yaitu perintah untuk berbuat baik tanpa syarat.
Suatu perbuatan baik secara moral ketika dilakukan karena kewajiban. Sebaliknya, suatu
perbuatan buruk secara moral jika seseorang melakukan sesuatu yang dilarang. Teori ini bukan
tentang implikasi dari tindakan moral. Yang penting adalah perintah untuk melakukannya
tanpa syarat apa pun, yang disebut Kant (1785) sebagai kategoris imperatif. Misalnya,
menghormati hak orang lain adalah perintah. Sebaliknya, mengambil hak orang lain
bertentangan dengan perintah. Dengan demikian, tindakan menghormati hak orang lain secara
moral baik, dan tindakan ini disebut tindakan etis dan moral. Itulah pendapat etika 'de-
ontologis'. Perbuatan etis atau moral tentunya memberikan hal-hal yang positif dan
bermanfaat bagi orang lain. Dengan demikian, setiap orang perlu memaksimalkan upaya
memberikan hal-hal yang berguna dan manfaat sehingga menjadi milik masyarakat secara
kolektif (Hazlitt, 2003). Inilah landasan moral dan etika utilitarianisme. Ketiga teori etika pada
dasarnya dapat digabungkan terutama dalam menyampaikan kebenaran. Kebenaran harus
disampaikan dengan etika sehingga efek kebenaran tidak bertentangan dengan kebaikan etika
yang telah ditetapkan itu sendiri. Akibatnya, kebenaran dapat membawa manfaat bagi
masyarakat luas (Hazlitt, 2003).

Oleh karena itu, sikap sekelompok orang dalam organisasi keagamaan radikal yang sering
melakukan tindakan kekerasan untuk menyampaikan kebenaran teologisnya mengubah fungsi
asli agama dari hidayah dan rahmat untuk menyebarkan perdamaian menjadi pendakwah
kebencian yang dicetuskan Umar (2019) sebagai pembenci agama. Pidato. Selain itu, sikap ini
bertentangan dengan takdirnya sendiri sebagai makhluk etis. Selanjutnya, tindakan mereka
dianggap sebagai bentuk kemunafikan agama (Izutsu, 1993) karena ucapan dan tindakan
mereka berbeda dengan apa yang ada dalam hati dan ajaran Islam mereka. Dalam hal ini,
mereka selalu menggunakan simbol-simbol agama dalam ucapan dan tindakan mereka, namun
hati mereka dipenuhi dengan kebencian, yang dilarang oleh agama. Mereka sering mengaku
sebagai pembela Islam dan menjunjung tinggi persatuan Islam. Namun, mereka
menghancurkan Islam dan hubungan antara pemeluk agama yang berbeda di Indonesia.
Mereka berjanji tidak akan melakukan kekerasan namun secara konsisten melakukannya
karena kekerasan, ujaran kebencian, hoax, dan fitnah menjadi bagian fundamental dari ideologi
mereka (Al-Khauli, n.d.).

D. Etika Koeksistensi Antar Umat Beragama

Agama di Indonesia

Pembahasan berikut berfokus pada tiga bentuk etika sosial dalam kehidupan sosial di
Indonesia: (1) etika terhadap otoritas politik; (2) etika terhadap pemeluk agama yang berbeda;
dan (3) etika di kalangan umat Islam. Selain menunjukkan bentuk teoritis etika sosial Islam,
pembahasan ini juga diharapkan dapat menjadi pedoman hidup berbangsa bagi umat Islam
yang tinggal di Indonesia dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

1. Etika Terhadap Otoritas

Politik merupakan kebajikan yang tinggi karena memiliki tujuan yang baik: mewujudkan
kesejahteraan rakyat (Aristoteles, 2004). Namun, karena kekuatan politik memikat banyak
orang, terkadang orang yang berwenang melupakan tugasnya: menciptakan kebijakan yang
membawa kemaslahatan publik. Dalam kaitan ini, partisipasi warga ikut bermain, terutama
kaum intelektual, untuk check and balance agar otoritas berjalan sesuai tugas dan tanggung
jawabnya.

Mengkritik pemerintah adalah bisnis yang berisiko, terutama jika pemerintah adalah rezim
otoriter. Akibatnya, kritik bisa dilakukan dengan garang dan revolusioner, atau elegan. Kritik
yang pedas dan revolusioner biasanya menimbulkan korban jiwa dan cenderung menimbulkan
masalah baru karena akan dibalas dengan pembalasan dari pihak yang berseberangan dan akan
membuat siklus tindakan yang merugikan dari kedua belah pihak. Strategi cerdas harus
diterapkan dalam melancarkan kritik terhadap otoritas untuk mencapai tujuan tanpa
menimbulkan masalah baru. Ini bisa berupa nasehat karena Nabi Muhammad pernah
bersabda: “al-Din al-Nashihatu” (agama adalah nasehat) (Aristoteles, 2004). Metode kedua
dilakukan oleh ulama besar Muslim pada masanya, yaitu Baydaba dan karyanya, Kalilah wa
Dimnah (Baydaba, 2004), dan al-Ghazali dengan karyanya, al-Tibr al-Masbuuk fii Nasiihatil
Muluk (Al-Ghazali, 2001). Karya-karya ini mengandung nasihat moral dan filosofis bagi
penguasa.

Baydaba (2004) adalah seorang filsuf India yang berkembang pada abad ke-3 M dan hidup di
bawah raja diktator Dabsalym. Orang-orang gelisah tentang hal ini dan mengeluh tentang dia
ke Baydaba. Filsuf yang bijaksana meminta murid-muridnya untuk memberikan saran tentang
hal itu karena dia bermaksud mengunjungi raja. Perdebatan sengit terjadi dalam pertemuan
itu, terutama ketika mereka membayangkan apa yang akan terjadi ketika sang filosof bertemu
dengan raja. Namun, bertemu dengan raja dianggap sebagai cara yang tepat untuk
menyampaikan kritik.

Ketika sang filsuf bertemu dengan raja, dia tetap diam sebelum Raja Dabsalym mengizinkannya
untuk berbicara. Sikap ini mewakili kebijaksanaan dan rasa hormat kepada Raja Dabsalym,
meskipun raja adalah seorang tiran. Setelah itu, raja bertanya kepada filosof tentang niatnya.
Seperti yang diungkapkan Baydaba bahwa orang-orang mengeluh tentang sikap raja dan
bermaksud menasihati raja agar dia kembali menjadi raja yang baik, raja sangat marah dan
memasukkan filosof itu ke penjara. Namun, pada akhirnya, raja menerima saran tersebut dan
meminta sang filosof untuk membantunya memperbaiki situasi. Selain itu, disampaikan dengan
keteladanan, etika dan moral yang baik, Baydaba menyampaikan nasihatnya dengan
menggunakan dongeng dan kiasan binatang untuk menghindari kemarahan raja. Sejak itu, raja
selalu memerintah kerajaan dengan bijaksana, tanpa korban atau kebencian.

Sementara itu, al-Ghazali, seorang cendekiawan Muslim berpengaruh di kalangan Sunni,


berhasil mengkritik, meremehkan, dan menghancurkan para filosof dengan karyanya Tahaafut
al-Falaasifah. Pada saat yang sama, ia menghidupkan kembali pengetahuan agama dengan
karya monumental lainnya Ihyaa'u 'Uluumiddiin yang juga digunakan untuk meluncurkan
kritiknya terhadap otoritas Muslim menggunakan nasihat agama. Karya-karya itu ditulis dalam
bahasa Persia dan ditujukan kepada Muhammad Ibn Malik Shah al-Shaljuk. Mengenai hal ini,
alegori, dongeng, perumpamaan, dan kata-kata bijak digunakan oleh para pemikir besar.

Misalnya, al-Ghazali mengutip Aristoteles, di mana ia meriwayatkan dialog Aristoteles dengan


seseorang. Aristoteles ditanya: "Siapa yang harus disebut sebagai raja selain Tuhan?" dia
menjawab: “Siapa pun yang Anda temukan dia dilengkapi dengan karakter ini meskipun dia
telanjang. Mereka adalah pengetahuan, keadilan, filantropi, kerendahan hati, kasih sayang dan
sebagainya. Orang itu pasti akan menjadi raja karena perlindungan Tuhan, cahaya
kesadarannya, kemurniannya, bakatnya, pengetahuannya, mengutamakan kepentingan umum,
menghormati leluhur dan bangsa yang dihasilkan oleh leluhur kepadanya. Oleh karena itu,
mereka adalah raja dan sultan” (Al-Ghazali, 2001). Kata-kata bijak ini memberikan nasihat yang
mencerahkan tentang pentingnya nilai-nilai itu bagi para raja.

Dari dua cendekiawan yang lahir dari peradaban yang berbeda itu, dapat disimpulkan bahwa
mengkritik suatu otoritas tidak selalu dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan
revolusioner, menunjukkan kebencian, apalagi menggunakan agama. Sebaliknya, dapat
dilakukan dengan bijaksana dengan memberikan sedikit nasihat lunak menggunakan
perumpamaan, alegori, dongeng seperti yang dilakukan Baydaba, atau menggunakan
perumpamaan, kata-kata bijak seperti yang dilakukan al-Ghazali. Selain itu, Nabi Muhammad
juga menyarankan agar agama
memberikan nasehat. Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa nasehat harus disampaikan
dengan bijak dalam dialog yang paling keteladanan.

2. Etika Bagi Pemeluk Agama Lain

Di Indonesia, negara mengakui enam agama dan beberapa agama asli, meskipun Yudaisme
tidak termasuk. Karena artikel ini membahas Al-Qur’an dari awal, maka pembahasan berikut
menghadirkan Yudaisme dan Kristen. Penjelasan Al-Qur’an tentang kedua agama ini dapat
menjadi analogi bagi pemeluk agama yang berbeda di Indonesia.

Agama Yahudi, Kristen, dan Islam pada dasarnya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Mereka membawa ajaran yang identik, yaitu tauhid. Mereka juga mengakui
Abraham sebagai bapak teologis mereka. Ketiganya dikenal secara internal sebagai Agama
Ibrahim atau Agama surga. Oleh karena itu, ketiganya memiliki kesamaan prinsip fundamental,
baik dalam aqidah (akidah) maupun syariah (peraturan). Perbedaan antara masing-masing
agama terletak pada aspek-aspek tertentu dari furuu’iyah (hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan), tetapi hanya sedikit (Husawi, 1999; Raisuni, 2010). Konsep kesatuan agama-agama
Ibrahim menghasilkan konsep kesatuan komunitas penganut (al-Anbiya’:92) (lihat juga Donner,
2015; Madjid, 2008). Untuk itu, Al-Qur’an mengambil bentuk hubungan apresiatif-kritik, baik
secara teologis maupun etis-humanistik, dengan penganut agama Yahudi dan Kristen.

Pertama, secara teologis, Al-Qur’an menerima dan menghormati para nabi Allah sebelum
Muhammad. Al-Qur’an mengakui mereka bahkan menyebut nama-nama nabi bagi masyarakat
lain, khususnya 25 nabi yang disebutkan dalam Al-Qur’an, lebih sering daripada menyebut
nama Nabi Muhammad (Shoroush, 2009a). Al-Qur’an menganggap keyakinan para nabi dan
kitab suci mereka sebagai elemen dari rukun Islam (menurut pemahaman umum di kalangan
umat Islam) (al-Baqarah: 136). Selain menegaskan pendirian, Al-Qur'an juga memposisikan diri
sebagai penerus (alBaqarah: 41, 91 dan 97, Ali Imran: 50, al-Nisa': 47, alMaidah: 46 dan 48,
Fatiir: 31, al- Ahqaf: 30, dan al-Saf: 6). Memang, Al-Qur’an tetap kritis tentang syariah para
nabi dan kitab suci mereka dengan menonjolkan posisinya sebagai “evaluator.” Selain itu,
terkadang juga mengutuk perilaku ahli kitab yang mengubah sebagian atau seluruh isi kitab
suci, yang menyebabkan penyimpangan dari akidah aslinya (al-Baqarah: 75, Ali Imran: 78,
alNisa': 46, al -Maidah: 13, dan 41) (Summa, 2004).

Kedua, dari segi etika-humanistik, Al-Qur’an mewajibkan Nabi Muhammad untuk menjaga
hubungan baik dengan pemeluk agama lain (al-Mumtahanah: 8). Salah satu manifestasi dari
hubungan yang baik adalah dakwah (mendakwahkan Islam) (Safi, 2011) kepada mereka secara
bijaksana dengan memberikan nasihat dan menjaga dialog dengan metode yang sesuai (al-
Nahl: 125) (Fatani, 2006). Al-Qur’an menganjurkan penggunaan kata-kata yang tepat dalam
dialog dengan lawan bicara, termasuk ketika berbicara dengan orang kafir dan musyrik (Saba’:
24-25), dalam masalah sosial dan teologis (Qardawi, 2004; Yaqut, 2009). Apalagi bagi orang-
orang kafir yang jelas-jelas tidak beriman kepada Tuhan, Al-Qur’an melarang umat Islam
menghina tuhan mereka karena jika mereka melakukannya, orang-orang kafir itu akan
membalas dengan menghina Tuhan umat Islam (al-An’am: 108). Al-Qur’an juga
memerintahkan Nabi Muhammad dan umat Islam untuk mengatakan: “Kamu akan memiliki
agamamu, dan aku akan memiliki agamaku” (al-Kaafirun: 6) (Qardawi, 2004). Selain itu, Nabi
Muhammad juga diperintahkan untuk memperlakukan mereka dengan lembut dan anggun
sehingga mereka diminta untuk berbicara dalam "kalimatun sawaa" (titik temu atau istilah
umum) untuk tidak menjauh darinya (Ali Imran: 159).

Nabi Muhammad SAW memberikan contoh yang baik kepada istrinya tentang bersikap lembut
terhadap orang lain, termasuk yang berbeda agama. Suatu ketika seorang Yahudi datang
kepada Nabi dengan mengatakan "al-saamu alayka" (damai atas Anda), dan Nabi menjawab,
"al-salaamu alaykum" (damai atas Anda juga). Ketika 'A'isyah menjawab mereka dengan
jawaban yang sama, "al-saamu alaykum" (celakalah kamu), Nabi menegurnya dan memintanya
untuk menjawab salam mereka dengan bahasa yang lembut yang tidak menyinggung perasaan
mereka. Istri Nabi menjawab, “Wahai Nabi, bukankah mereka mengatakan: ‘al-saamu
alayka’?”. Kepada istrinya, yang tampaknya masih percaya dengan sikapnya, Nabi menjawab
dengan nada bertanya, “Apakah kamu tidak mendengar jawaban saya, ‘A’isyah”? (Al-Sirjani,
2011b).

Al-Qur’an juga menganjurkan umat Islam untuk menggunakan istilah-istilah yang tidak peka
terhadap orang lain meskipun ungkapan itu benar, misalnya sebutan “kafir” (kafir). Meskipun
al-Qur’an menyebut mereka kafir (al-Tahrim:7 dan al-Kaafirun:1-6), Yusuf al-Qardawi
menyarankan untuk tidak menggunakan istilah dalam konteks bangsa yang plural. Sebaliknya,
istilah lain seperti non-Muslim (ghayrul muslim) digunakan karena istilah kafir memiliki banyak
arti. Atau, istilah warga negara lebih netral untuk menyebut pemeluk agama lain sebagai
kelompok minoritas di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia. Sejalan dengan itu,
disarankan untuk menggunakan istilah “persaudaraan kemanusiaan” (ukhuwah insaaniyah)
untuk menyebut warga negara yang berbeda agama, karena pada hakikatnya mereka adalah
manusia, makhluk dari Tuhan yang sama (al-Hujurat: 13) dan dari unsur yang sama “nafsun”.
waahidah” (makhluk tunggal) (al-Nisa': 1) (lihat juga Qardawi, 2004).

3. Etika terhadap Sesama Muslim

Al-Qur’an menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik karena menjalankan
kewajiban dan menjauhi larangan (Ali Imran: 110) (Al-Dimasqi, n.d.). Oleh karena itu, Al-Qur’an
memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang mempersatukan (Al-Khauli, n.d.). Sebuah
hadits yang dikemukakan oleh Nabi menegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah
bersaudara. Dalam hal ini, jika seorang Muslim sakit, yang lain merasakan sakitnya. Oleh
karena itu, orang-orang beriman tidak boleh berlaku kejam (zalim) terhadap sesama Muslim;
sebaliknya, mereka harus saling membantu (AlKhauli, n.d.). Demikian juga pada hakekatnya
mereka saling mencintai (Al-Khauli, n.d.). Seorang Muslim tidak dapat dianggap sebagai
mukmin yang sempurna sampai mereka mencintai sesama mukmin seperti mereka mencintai
diri mereka sendiri (Al-Khauli, n.d.).

Sejalan dengan itu, sebuah hadits Nabi mendefinisikan seorang Muslim sejati sebagai “Orang
yang sesama Muslim dibebaskan dari mulut dan perbuatannya yang buruk.” Jika seorang
Muslim bertemu sesama Muslim, disarankan untuk mengucapkan salam (salam Islam)
"assalamu'alaikum." Salam ini merupakan permohonan dalam bentuk ucapan dan perbuatan,
yang artinya “semoga keselamatan atasmu”. Surga dipuji sebagai “daar alsalaam”, atau rumah
bagi orang-orang damai yang bertindak damai dan menyebarkan kedamaian kepada orang lain.
Oleh karena itu, tidak boleh seorang muslim menyakiti sesama muslim dengan menyebut orang
yang berbeda pandangan agama, organisasi, dan orientasi politik sebagai kafir, thaghut (setan),
musyrik (musyrik), bid'ah/inovator ( membuat sesuatu tanpa didahulukan), sesat, cebong
(kecebong), jancuk (penghinaan), bajingan (penjahat), dan ungkapan kebencian lainnya yang
mengganggu persatuan umat Islam Indonesia.

E. Kesimpulan

Kesimpulannya, beberapa aspek telah dibahas dalam makalah ini. Pertama, makalah ini
membahas tentang struktur konseptual Islam, yang terdiri dari trilogi Islam, iman, dan ihsan,
yang berpuncak pada ihsan, tasawwuf, akhlaaq, dan etika. Kedua, dalam konteks kehidupan
beragama dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, umat Islam pada hakekatnya
mengaitkan kebenaran teologis dengan etika keagamaan (etika al-Qur'an), yang memadukan
tiga unsur etika: ketuhanan, agama, dan etika sosial. Dua etika terakhir harus mengacu pada
etika afirmatif Tuhan, seperti sifat-sifat-Nya Yang Maha Pengasih dan Maha Adil. Dalam hal ini,
Allah berbelas kasih dan memperlakukan manusia dengan adil. Demikian juga pada hakekatnya
diterapkan pada etika manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia. Selain
itu, karena Tuhan memberikan berkat-Nya dan mencintai manusia, manusia sebenarnya
mengabdi dengan ikhlas kepada Tuhan. Sementara itu, dalam menjalankan tugasnya sebagai
khalifah, manusia harus bersikap baik hati, meningkatkan persaudaraan dan kerukunan, saling
membantu, dan menghindari kebencian, serta kekerasan fisik dan non fisik.

Anda mungkin juga menyukai