Ma’rufatullah, Memahami Allah dalam Perspektif Tasawuf
Istilah Ma`Rifah berasal dari kata “ Al-Ma`rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apa bila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma`rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu Maqam dalam Tasawuf. Dari segi bahasa ma’rifah artinya adalah pengetahuan atau pengalaman. maksudnya pengetahuan tentang Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.Ma’rifah dapat ditemukan dasarnya dalam hadits dan Al-Qur’an. Ma’rifah juga berarti pengetahuan tentang hakekat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah merupakan pengetahuan yang obyeknya tidak bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.Hal ini didasarkan bahwa akal manusia dapat mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang maujud itu berasal dari yang satu. Definisi Ma’rifah dalam salah satu pandangan Ulama Tasawuf yang mengatakan:
ِ صفًا بِ َسائِ ِر ْال َك ُماَل
ت ِ َّب ْال َموْ جُوْ ِد ُمت ِ ب بِ ُوجُوْ ِد ْال َوا ِج ِ ْرفَةُ َج ْز ُم ْالقَ ْل ِ اَ ْل َمع “Ma`rifah adalah suatu ketetapan hati (dalam mempercayai kahadirannya) wujud yang wajib adanya ( Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.” Seperti yang ada dalam literatur yang diberikan tentang ma’rifah sebagai yang dikatakan oleh Harun Nasutian, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari bisa melihat Tuhan. Oleh karena itu orang sufi mengatakan: “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah”. Ma’rifah adalah cermin, dan ketika seorang ‘arif bercermin yang dilihatnya hanyalah Allah. Yang dilihat oleh orang ‘arif baik sewaktu tidur dan sewaktu bangun hanyalah Allah. Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui, bahwa ma’rifah itu sendiri adalah mengetahui rahasia-rahasia dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), qalb juga menjadi alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal adalah bahwa akal tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya dengan Tuhan, sedangkan qalb dapat mengetahui hakikat semuanya dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersinkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teraturakan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari oleh cahaya Tuhan. Proses sampainya qalb dengan cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli(mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat),tahalli(menghiasi diri dengan akhlak yang muia dan amal ibadah) dan tajalli(tersingkapnya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan). Orang yang mencapai maqam ma`rifah itu disebut `Arif billah. Dan pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan merasakan adanya Tuhan, bukan sekedar mengetahui Tuhan itu ada. Dalam ucapannya Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dari ma`rifatullah hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Sufi. Kaum Sufi untuk mendapatkan suatu ma`rifah melalui jalan yang ditempuh dengan mempergunakan suatu alat, menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu: 1) Qalb القلب fungsinya untuk dapat mengetahui 2) Ruh الروح fungsinya untuk dapat mencintai 3) Sir الس ّر fungsinya untuk melihat Tuhan Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai ketingkatan ma`rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma`rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun-Nun Al-Mishri yang mengatakan: ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi apabila sudah sampai kepada tingkatan Ma`rifah, antara lain: 1) Selalu memancar cahaya ma`rifah padanya dalam segala sikap dan perilaku, karena itu, sikap wara` selalu ada pada dirinya. 2) Tidak selalu menjadikan kepada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata dalam ajaran Tasawuf belum tentu benar. 3) Tidak mengingkan ni`mat yang banyak kepada dirinya, kerana hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram. Bagi sufi mencapai ma’rifah, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan akhirnya dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya. Dari sini lah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT. sehingga Asy Syekh Muhammadbin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma`rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat memberikan kebahagian bathin kepadanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya. Disamping ma’rifah merupakan anugerah dari Allah, dapat pula dicapai melalui syari`at, menempuh thariqat dan memperoleh Haqiqat. Apabila syari`at dan thariqat sudah dapat dikuasai, maka timbullah haqiqat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal. sedangkan tujuan terakhir ialah Ma`rifah yaitu mengenal Allah dan mencintainya yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.