Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian
pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan
diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh
ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi
tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf
secara menyeluruh.
Tinjauan analisis terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai
aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan
ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh
berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir
dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon
yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan
melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan
pengenalan (ma’rifat) Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh
pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah
kerangka‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan (ma’rifat) secara rasa
(rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang
yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara
aqliyah  atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman Asy-
syu’uri Ad-dzauqi).
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi
dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa
maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal.
Hal  yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki
maqam-maqam selanjutnya. Untuk itu dalam makalah ini kami akan membahas
tentang maqam dan ahwal dalam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat dan Ahwal


Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat
atau derajat. Dalam bahasa inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages.
Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba
dihadapan Allah, yang memperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain,
latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah Swt. Atau
secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk
meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah Swt. Dengan
amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap
amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spiritualnya di
hadapan Allah Swt.1
Ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal, yang secara bahasa berarti kondisi,
keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin), hal berarti perasaan yang
menggerakkan dan memengaruhi hati yang disebabkan karena bersihnya dzikir. Al-Junaidi
berkata, hal adalah perolehan yang mengena dalam hati dengan tanpa adanya usaha, maka
sifatnya tidak tetap (konstan). Ahwal tidak sama dengan maqamat, karena hal diperoleh
bukan lantaran usaha maksimal (seperti: mujahadat, riyadlah, dan ibadah). Walaupun isi dan
kandungan aktivitas atau amalan dalam maqamat, atau rasa hati dalam ahwal semuanya
adalah sudah dikenal bersama dengan dikenalnya ajaran-ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi
terminologi maqamat dan ahwal ini baru dibicarakan dan dipakai pertama kali oleh Dzun
Nun al-Mishri.2
B. Macam-Macam Maqamat
Seperti disinggung di atas maqam-maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri
sebagai berikut:
1. Tobat
Secara etimologis, tobat berarti kembali, menyesal atas perbuatan dosa, atau
bertaubat. Dalam prespektif sufistik, tobat adalah kembali dari alam materi ke alam rohani,
setelah terbutakannya cahaya fitrah dan rohani tersebut oleh gelapnya hawa nafsu karena
dosa-dosa dan kedurhakaan. Ketika manusia melakukan sesuatu perbuatan buruk, secara

1
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal 137.
2
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hal 137-138.
otomatis sebuah titik hitam mewarnai hatinya. Semakin ia melakukan perbuatan dosa,
semakin meningkat pula jumlah dan kadar hitam dan kegelapan pada hatinya, hingga titik
hitam dan kegelapan itu menyelimuti hatinya seluruhnya, sehingga hati benar-benar gelap
gulita.3
Cahaya fitrah itupun menjadi padam dan berubah sampai kepada suatu kesengsaraan
yang abadi. Namun, apabila manusia sadar akan apa yang sedang dialaminya itu sebelum
terjadinya kegelapan total yang menyelimuti totalitas hati, kemudian ia bangkit dari
kelalaiannya, disertai dengan melangkah menuju tobat, sambil melengkapi syarat-syarat
terkabulnya tobat tersebut, maka kegelapan yang menyelimuti hatinya serta merta akan
menjadi hilang dan kembali ke keadaannya semula.4
Tobat dalam pembahasan tasawuf secara umum diakui sebagai maqam pertama yang
harus dilalui dan dijalani oleh seorang salik. Dikatakan, Allah tidak mendekati sebelum
bertobat. Karena dengan tobat, jiwa seorang salik bersih dari dosa. Tuhan dapat didekati
dengan jiwa yang suci.5
2. Zuhud
Menurut bahasa, zuhud adalah meninggalkan sesuatu dan berpaling darinya, tanpa
kecenderungan dan keinginan padanya, juga bermakna; meremehkan dan merendahkan.
Sebagian ulam sufi juga memaknai zuhud sebagai meninggalkan segala kesenangan fana
duniawi demi kebahagiaan abadi ukhrawi.6
Zuhud umumnya dipahami sebagai ketidaktertarikan pada dunia atau harta benda.
Dilihat dari maksudnya, zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, zuhud yang terendah,
adalah menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi dunia
dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, yang sekaligus merupakan maqam tertinggi,
adalah mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta
kepada Allah belaka. Orang yang berada pada tingkat teringgi ini akan memandang segala
sesuatu, kecuali Allah, tidam mempunyai arti apa-apa.7
3. Fakir (Faqr)
Faqr dapat berarti sebagai kekurangan harta yang diperlukan seseorang dalam
menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr menjadi penting dimiliki orang yang sedang
berjalan menuju Allah. Hal ini karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan

3
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hal 47.
4
Ibid, hal 48.
5
M. Solihin, Tasawuf Tematik, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hal 18.
6
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf, hal 49.
7
M. Solihin, Tasawuf Tematik, hal 19.
manusia dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat
pada selain Allah.8
4. Sabar
Menurut Khawajah Anshari, sabar adalah menahan diri dari keluhan-keluhan yang
disertai kecemasan (jaza’) dalam batin. Jadi, berdasarkan definisi ini, sabar adalah tidak
menampakkan kecemasan dalam batin dan tidak mengeluh atas perkara-perkara yang tak
disenangi. Dengan kata lain, abar berarti tabah menjalani penderitaan dan nestapa ketika
menghadapi berbagai kejadian yang sulit untuk dihadapi dan sulit untuk dihindari.
Adapun kesabaran, jika dilihat dari objeknya, dapat dibagi menjadi beberapa macam
sebagai berikut:
a. Sabar dalam melaksanakan ketaatan
b. Sabar dalam menghindari kemaksiatan
c. Sabar dalam menghadapi berbagai ujian baik dari bumi maupun dari langit.
d. Sabar dalam menempuh jalan istiqamah dan menjaganya tanpa mengubah atau
mencari alternative lain, ketika menghadapi berbagai bentuk fitnah dunia.
e. Sabar melewati hidup yang membutuhkan waktu.9
f. Sabar menghadapi kerinduan pada perjumpaan dengan Allah ketika perintah-Nya
terjadi.
Sedangkan sabar juga terbagi menjadi enam jika dititik dari bentuk dan
perwujudannnya, sebagai berikut:
a. Sabar lillah
b. Sabar billah
c. Sabar ‘alallah
d. Sabar fillah
e. Sabar ma’allah
f. Sabar ‘amillah10
5. Tawakal
Tawakal berarti penyandaran hati kepada Allah dengan mempercayai-Nya
sepenuhnya, serta kesadaran hati untuk melarikan diri dari pengawasan kekuatan dan sumber
manapun. Jika penyandaran diri dan kepercayaan penuh seperti ini belum tercapai, maka
seorang hamba tidak dapat disebut sudah bertawakal. Selain itu, seorang hamba juga tidak

8
Ibid, hal 19.
9
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf, hal 50.
10
Ibid, hal 51.
pernah dapat mencapai tawakal sejati, selama pintu-pintu hatinya masih terbuka lagi yang
selain Allah Swt. Dengan kata lain, tawakal adalah ketika seseorang manusia bersandar
kedapa Allah dan segala yang dimiliki-Nyaserta menutup semua pintu hati dari yang selain
Dia. Kita juga mengatakan bahwa tawakal adalah membaktikan dalam ‘ubudiyah dan
mengaitkan hati dengan rububiyah.11
6. Ridha (Rela)
Ridha adalah tidak tergucangnya hati seseorang ketika menghadapi musibah dan
mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang tenang. Degan kata lain, ridha
adalah tetapnya organ hati dalam ketenangan dan ketentraman ketika mengalami sesuatu
yang akan membuat orang lain kesakitan. Berhubungan dengan ini, terdapat sebuah
penjelasan lain, yaitu bahwa ridha adalah ketenangan hati dan ketentraman jiwa terhadap
ketetapan dan takdir Allah Swt., serta kemampuan menyikapinya dengan tabah, termasuk
terhadap derita, nestapa, dan kesulitan yang muncul darinya yang dirasakan oleh jiwa kita.12
7. Syukur (Asy-Syukr)
Syukur diperlukan karena semua yang kita lakukan dan kita miliki di dunia ini adalah
berkat Allah SWT, Allah lah yang telah memberikan nikmat kepada manusia baik baik
berupa pendengaran, penglihatan kesehatan, keamanan maupun nikmat-nikmat lainnya yang
tidak terhitung jumlahnya.

C. Macam-Macam Ahwal
1. Muraqabah
Makna dari Muraqabah adalah meletakkan sesuatu dibawah perhatian, penantian,
pengawasan, dan hidup di bawah perasaan sedang diawasi. Bagi para sufi, muraqabah adalah
ber-tawajuh kepada Allah dengan sepenuh hati, melalui pemutusan hubungan dengan segala
yang selain Allah Swt, menjalani hidup dengan mengekang nafsu dari hal-hal terlarang;
mengatur kehidupan di bawah cahaya perintah Allah dengan penuh keimanan bahwa
pengetahuan Allah selalu meliputi segala sesuatu.13
2. Qurbah (Kedekatan)
Dalam pandangan kaum sufi, yang dimaksud dengan al-qurb (kedekatan) adalah
pendekatan yang dilakukan manusia kepada Allah Swt. Dengan melepaskan ikatan-ikatan
jasmani demi menggapai yang ada di akhirat. Meski ada sementara kalangan yang memahami
“al-qurb” sebagai “kedekatan Allah dengan hamba-Nya”, tapi pengertian seperti ini dianggap

11
Ibid, hal 52.
12
Ibid, hal 57.
13
Ibid, hal 59.
kurang tepat dan kurang layak, karena di dalamnya terdapat pelekatan sifat, tempat, dan jarak
tertentu kepada Allah yang tidak layak bagi-Nya. Padahal kedekatan Allah al-Haqq dengan
hamba-hamba-nya adalah kedekatan yang berada di luar batas kuantitas dan kualitas.14
3. Khauf (Takut)
Secara terminologis, yang dimaksud dengan al-khauf (takut) adalah menghindari
perbuatan terlarang yang tidak haram, dan menjauhi sama sekali perbuatan haram. Dalam
prespektif Imam al-Qusyairi, khauf adalah perasaan di kedalaman hati yang menghindarkan
seorang salik dari segala yang tidak disukai dan tidak diridhai Allah. Al-Qusyairi
menegaskan bahwa khauf sangat berpengaruh pada masa depan. Ia berkata, “Khauf adalah
sebuah makna yang berhubungan dengan masa depan, karena orang yang bersangkutan takut
melakukan sesuatu yang tidak disukai atau takut melewatkan sesuatu yang disukai, dan
semua itu hanya dapat terjadi di masa depan.15
4. Raja’ (Harapan)
Raja’ atau harap adalah memerhatikan kebaikan dan berharap dapat mencapainya,
melihat berbagai bentuk kelembutan dan nikmat Allah Swt., dan memenuhi diri dengan
harapan demi masa depan serta hidup demi meraih harapan tersebut. Para sufi memberi
definisi raja’ dengan pernyataan, “Keterkaitan hati dengan sesuatu yang disukai yang akan
dicapai di masa mendatang”. Berdasarkan definisi ini maka raja’ dapat diartikan sebagai
penantian datangnya kebaikan-kebaikan dan harapan terhadap ampunan dan maksiat melalui
tobat.16
5. Thuma’ninah (Ketenangan)
Thuma’ninah seringkali didefinisikan sebagai ketenangan sempurna yang terwujud
ketika kehidupan hati tidak lagi guncang, kacau dan gelisah. ini menjelaskan bahwa
itmi’nan adalah sebuah kondisi di atas sakinah. Jadi, jika sakinah adalah titik awal
kesadaran pada hakikat dan kebebasan dari berbagai pengetahuan teoretik, maka
thuma’ninah adalah titik akhirnya.
Thuma’ninah adalah tanda posisi manusia di atas asbab dan wilayah di luar
“perantara”. di tahapan ini akal menyelesaikan perjalanannya di atas semesta. ketika
mencapai tahapn ini. roh akan terbebas dari kegundahan dunia. di tahapan yang
menakjupkan ini, perasaan akan menemukan apa yang diinginkannya sehingga ia berubah
menjadi samudra setelah sebelumnya ia hanya berwujud setetes air.

14
Ibid, hal 61.
15
Ibid, hal 63.
16
Ibid, hal 64.
Menurut as-Sarraj, ada tiga level Thuma’ninah.
pertama ketenangan bagi kaum awam, sebab disaat mereka berdzikir (mengingat)
Allah, mereka merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya. maka bagian yang mereka
dapatkan dari zikir tersebut adalah dikabulkannya doa-doa mereka dengan diperluas
rizkinya dan dihindarkan dari bencana. inilah yang di Firmankan Allah, “jiwa yang
tenang” (QS. Al-Fajr:27) Yakni keimanan bahwa tidak ada yang sanggup menolak dan
mencegah kecuali Allah.
Kedua, adalah ketenangan bagi orang-orang khusus. karena mereka rela dan senang
atas keputusan (takdir)-Nya sabar atas (cobaan)Nya, ikhlas, takwa, tenang, dan merasa
cukup mantap dengan Firman Allah “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik” (QS. An-Nahl : 128). mereka merasa
tentram dan mantap dengan Firman-Nya yang menyatakan “kebersamaan” maka
ketenangan mereka bercampur dengan penglihatan mereka pada ketaatan yang mereka
lakukan.
ketiga, Golongan yang paling khusus. mereka tahu bahwa rahasia-rahasia hati mereka
tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Ny, karena
kewibawaan dan keagungan-Nya. sebab Dia tidak memiliki ambang batas tertentu yang
bisa dijangkau, “tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya”(QS. Asy-Syura : 11) dan
Firman-Nya, “tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya”. (QS. Al-Ikhlas 4).
6. Mahabbah (Cinta)
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah atau cinta merupakan pijakan bagi segenap
kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam, Bagi kaum
sufi, mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal.
kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah
kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Berkenaan dengan mahabbah Suhrawardi mengatakan “Sesungguhnya mahabbah (cinta)
adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta kepada kekasihnya, suatu
ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pencipta kepadanya. dan melenyapkan
sesuatu dari wujudnya. pertama-tama ia harus menguasai seluruh sifat dalam dirinya,
kemudian menangkap zatnya dalam genggaman Qudrah (Allah).
Al-Mahabbah menurut Ath-Thusi dibedakan atas tiga tingkatan.
1. Mahabbah orang awam, yaitu lahir dari perbuatan baik Tuhan kepada mereka dan rasa
kasih sayang-Nya kepada mereka.
2. Mahabbah yang kedua lahir dari penglihatan hati terhadap kekayaan Tuhan, keangungan-
Nya. ini adalah cinta ash-shiddiqin dan al-mutahaqqiqin.
3. Tingkatan ketiga adalah mahabbah ash-shiddiqin dan al-arifin timbul dari pandangan dan
pengetahuan mereka terhadap qadim-Nya, cinta Allah tanpa sebab. Oleh karena itu
mereka juga mencintai-Nya tanpa sebab.
Cinta pada tingkatan ini menurut Dzun Nun bersifat murni, yakni cinta sudah hilang dari
hati dan anggota tubuh sehingga di dalmnya tak ada lagi cinta. yang ada ialah segala sesuatu
dengan Allah dan untuk Allah dalam ungkapan ini, menurut al-junidi, sifat-sifat yang dicintai
menggantikan sifat-sifat yang mencintai sejalan dengan berbagai keterangan tersebut, ayat-
ayat tentang cinta, dalam tafsiran yang bercorak sufistik dikatakan oleh Basyuni,
menunjukkan tiga tendensi yaitu, rasa cinta yang turun dari Tuhan kepada hamba-Nya, rasa
cinta yang timbul dari hamba kepada Tuhan, dan rasa cinta yang silih berganti antara Tuhan
dan hamba.
Cinta kepada Tuhan dijadikan Dzun nun sebagai lingkup pertama dari empat ruang
lingkup pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tasawuf, karena ia melihat tanda-
tanda orang-orang yang mencintai Allah ialah mengikuti kekasih Allah, yakni Nabi
Muhammad SAW. dalam hal akhlak perbuatan segala perintah dan sunnahnya. Artinya,
orang-orang yang mencintai Allah senantiasa mengikuti sunnah Rasul, tidak mengabaikan
syariat. Untuk memberikan pemahaman yang lebih jauh tentang mahabbah bagi orang yang
ingin mengetahuinya dengan merinci unsur-unsurnya, ia menyatakan bahwa ada tiga simbol
bagi mahabbah, yaitu rida terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berperasangka baik dalam
menentukan pilihan dan terhadap hal-hal yang diperingatkan.
7. Syauq (Rindu)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup
dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada orang yang mengatakan
bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada
maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sebab
hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan Ma’bud-nya.17
8. ‘Uns (Karib)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah merasa selalu berteman, tak pernah
merasa sepi, Ungkapan berikut ini merupakan uns:
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian, ia adalah orang yang selalu
memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda
17
M. Solikin, Tasawuf Tematik, hal 29.
mudi. ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. ia adalah orang yang
selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaan-nya semata-mata. Adapun
engkau selalu merasa berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam
pemeliharaan Allah.”
Ungkapan di atas melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan
Tuhannya, sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi. Dzun nun al-Mishri,
ketika ditanya tentang al-uns berkata, “Apabila engkau merasa Allah membuatmu
bersahabt dengan makhluk-Nya. sesungguhnya ketika itu ia membuatmu merasa sunyi
dari seseorang dan jika engkau merasa Allah membuatmu merasa sunyi dari
makhluknya, maka Ia ketika itu membuatmu bersahabat dengan diri-Nya.
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa maqamat dan ahwal adalah dua
hal yang senantiasa dialami oleh orang yang menjalani tasawuf, sebelum sampai pada
tujuan yang dikehendaki. pertama, berupa tahapan perjalanan, sedangkan yang kedua
berupa keadaan. keduanya dapat dibedakan, namun sering pula disamakan, bahkan
dipertukarkan. Maqamat dan Ahwal adalah iabarat dua sisi dalam satu mata uang.
9. Musyahadah (Perenungan)
Amr bin Ustman al-Makkin menyatakan bahwa Musyahadah merupakan kesinambungan
antara penglihatan hati dengan penglihatan mata, karena penglihatan hati adalah ketika
tersingkapnya keyakinan dalam bertambahnya dugaan.
Dalam perspektif al-Hujwuri, pada hakikatnya ada dua macam musyahadah. pertama,
adalah hasil dari kepercayaan yang sempurna (shihhat-i yaqin). kedua, adalah hasil dari cinta
membara, karena dalam keterbakaran cinta seorang mencapai derajat sedemikian rupa
sehingga seluruh wujudnya terserap dalam pikiran tentang yang dicintai-Nya dan ia tidak
melihat yang lain. Muhammad bi Wasi’ mengatakan : “Aku tidak pernah melihat sesuatu
tanpa melihat Tuhan di dalamnya”, yakni melalui keimanan sempurna. penglihatan ini adalah
dari Tuhan kepada Makhluk-makhluk-Nya.
10. Yaqin (Kepastian)
Bagi para sufi yang dimaksud dengan yakin adalah pengetahuan mengenai dasar-dasar
keimanan, khususnya tauhid yang menjadi titik sentralnya, dengan tingkat pengetahuan yang
sama sekali tidak terkontaminasi oleh lawan dari keimanan tersebut. yakin juga berarti sikap
menerima, mengetahui, dan menyadari iman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari jati
diri manusia sehingga ia mencapai tingkat irfan.
Secara umum, kaum sufi juga membagi tiga level keyakinan. pertama, ilm al-yakin yaitu
pencapaian iman dan ketundukan terkuat yang berhubungan dengan hal-hal yang ingin
dicapai dengan memerhatikan detai-detail dan petunjuk yang jelas. kedua, ‘Ain al-yaqin,
yaitu pencapaian makrifat melampaui batasan definisi yang dilakukan oleh roh melalui
penyingkapan, musyahadah, persepsi dan kesadran. ketiga, Haqq al-yaqin, yaitu anugerah
berupa kebersamaan (ma’iyyah) yang mengandung banyak rahasia, tanpa tirai dan
penghalang yang melampaui imajinasi manusia serta tanpa kammiyah atau kaifiyah.
Kita dapat menyampaikan ketiga point ini dalam sebuah contoh sederhana sebagai berikt :
a. Pengetahuan seseorang atas kematian sebelum kematiannya datang adalah ilm al-yaqin.
b. Penglihatan seseorang atas malaikat yang datang untuk mencabut nyawanya setelah tirai
yang menutup pandangannya tersibuk di saat mengalami sakaratul maut adalah ‘Ain al-
yaqin
c. Cita rasa yang dirasakan seseorang atas kematian yang ia alami adalah Haqq al-Yaqin.
Berdasarkan penjelasan ini, maka ilmu apapun yang dimiliki seorang manusia yang
didapat melalui kesimpulan ilmiah, dapat disebut sebagai ilm al-yaqin. sementara
pencapaian pengetahuan yang ia lakukan dengan penglihatan, pendengaran dan berbagai
indranya yang benar dapat disebut ‘Ain al-yaqin. Dan pengetahuan yang dicapai oleh
hatinya sehingga mengalahkan seluruh pancaindranya, baik yang lahir maupun batin,
tanpa membutuhkan dalil ataupun petunjuk itulah yang disebut Haqq al-Yaqin. Dalam
perspektif Hujwiri, ilm al-yaqin merupakan derajat para teolog (ulama’), ‘Ain al-yaqin adalah
derajat para ahli makrifat dan Haqq al-Yaqin adalah titik pelenyapan para pencinta.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.
Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba
melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus
ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam
berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik
untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang berbeda-
beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa
maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.Sedangkan al-
tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah
maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Sedangkan menurut Muhammad al-Kalabazy, maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan,
yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang
dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal
saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang
pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan
suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan
perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya
dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih
dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al-
hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah,
al-musyahadah, dan al-yaqin.

Anda mungkin juga menyukai