Anda di halaman 1dari 5

Pengertian Ahwal

Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan mental
(mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ahwal tidak bisa
dipisahkan dari maqamat, karena ahwal itu merupakan kondisi atau keadaan yang diperoleh ketika kita
sedang menjalankan prosesi maqamat itu sendiri. Mengenai perbedaan maqamat dan hal memang cukup
membingungkan untuk dibahas, ini disebabkan karena definisi para tokoh tentang kedua hal tersebut
memang berbeda-beda akan tetapi yang sering lumrah dipakai yaitu Maqamat digambarkan sebagai
proses perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk memperoleh ketenangan rohaniah.
Perjuangan ini merupakan perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan yang panjang dan
melelahkan untuk melawan hawa nafsu manusia yang dipandang sebagai kendala untuk menuju Tuhan.
Sedangkan Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Secara lebih lanjut para
kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugrah dan maqam adalah prosesnya. Tidak ada maqam yang
tidak dimasuki hal dan tidak ada hal terpisah dari maqam.

Didalam buku ‘awarif al ma’arif karya Syihabuddin Umar Suhrawardi yang diterjemahkan oleh
Ilma Nugraha ni Ismail, Al-Ghazali mengatakan bahwa apabila seseorang sudah mantap dan tetap dalam
suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah yang dinamakan hal. Mengenai hal
ini, Al-Ghazali memberikan contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada
warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti
pada sakit kuning.

Dari teks diatas, menurut pemahaman saya yaitu Hal adalah kondisi spiritual seseorang artinya
perasaan yang diperoleh seseorang pada perjalanan spiritualnya. Untuk mecapai suatu hal atau keadaan
tertentu kita harus melakukan perjuangan terlebih dahulu yaitu lewat tingkatan-tingkatan maqam. Atau
bisa dikatakan kita melakukan perjuangan terlebih dahulu untuk mendapatkan anugrah yang disebut hal.
Hal tidak secara pasti diperoleh oleh seseorang setelah melakukan maqam-maqam tertentu karena hal
merupakan sesuatu yang tidak diam artinya ketika kita melakukan suatu proses, belum tentu hasil yang
kita dapatkan itu sesuai dengan apa yang kita inginkan.

D. Konsep dan macam-macam Ahwal.

Jika diruntut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal sebenarnya sudah ada pada masa
awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn
Abi Thalib: ketika ia di tanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi:
kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan
ini, tokoh pertama yang membedakan dua term ini (maqamat dan ahwal) adalah Dzunun al-Mishri (w.
796 M.-861 M.), sementara Sari al-Saqati (w.253H./867 M.) merupakan sufi pertama yang menyusun
maqamat dan menjelaskan tentang ahwal.

Tidak berbeda jauh dengan maqamat, hal juga memiliki beberapa macam. Namun, konsep
pembagian serta jumlah hal yang dikemukakan oleh para sufi berbeda-beda. Beberapa konsep pembagian
ahwal adalah sebagai berikut: Muroqobah, Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah,
Yaqin. Berikut ini adalah penjelasannya:

a) Muroqobah.

Secara etimologi Muroqobah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminology
muroqobah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia
selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diawasi oleh-Nya.

b) Khauf.

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya. Khauf dapat mencegah seorang hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk berada
dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali membagi khauf menjadi dua bagian:

1. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Khauf yang seperti inilah yang mendorong
manusia untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.

2. Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang
mendorong untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah

c) Raja’.

Raja’ bermakna harapan. Al-Ghazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu
sang kekasih datang kepadanya. Secara maknawi, raja’ adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu
yang sangat diinginkan. Yang dimaksud Al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan
ridha dari Allah SWT. Al-Ghazali menambahkan bahwa raja’ perlu disertai dengan husnudzan (baik
sangka) kepada Allah SWT dengan menjauhkan rasa keputus asaan akan rahmat-Nya.

d) Syauq.

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq
merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan
yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari qalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk
menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seseorang harus terlebih dahulu menegenal dan mengetahui
Allah. Jika pengenalan dan pengetahuan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan
menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkaan cinta dan menumbuhkan rasa
rindu, rasa rindu untuk selalu bersam Allah.

Menurut Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh M. Abdul Mujib dalam bukunya Ensiklopedia.

Tasawuf Imam Al-Ghazali kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan
keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan oleh orang yang
mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak lagi dirindukan. Kerinduan berarti menanti sesuatu
yang tidak ada, bila sudah ada tentu ia tidak dirindukan lagi.

e) Mahabbah.

Menurut Imam Al-Ghazali, mahabbah adalah kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena
ia merasa senang berada didekatnya dan benci akan kebalikannya atau nalurinya anti pati terhadap
selainnya karena tidak sesuai dengannya. Dan manakala kesenangannya makin bertambah itu artinya
cintanya makin mendalam.

Sedangkan asal cinta menurut Imam Al-Ghazali seperti yang tertulis dalam kitab IHYA
‘ULUMUDDIN jilid IV bab KHAQIQOTUL MAHABBAH yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan
adalah ”La Yatashowwaru Mahabbata Illa Ba’da Ma’rifatain Wa ‘Idrotin".

Jadi, sumbernya cinta menurut Imam Al-Ghazali itu ada tiga perkara:

1) Mengenal dan bertemu.

2) Setelah mengenal dan bertemu, lalu menimbulkan kecocokan.


3) Setelah kecocokan menimbulkan ketaatan.

f) Thuma’ninah.

Thuma’ninah berarti tenang tentram. Tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was karena ia
telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan
thuma’ninah ia telah kuat akalnya, kuat imannya, dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang
tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi dengan Allah. Thuma’ninah
dibagi menjadi tiga:

1) Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir.

2) Ketenangan bagi orang-orang khusus. Pada tingkatan ini mereka merasa tenang karena
mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan taqwa.

3) Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka dapatkan
karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya
dan tidak bisa tenang kepada-Nya karena kewibawaan dan keagungan-Nya.

g) Musyahadah.

Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology
persepektif tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau
penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai Musyahadah ketika
sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah ada dalam hatinya dan seorang sudah tidak
menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu yaitu Allah. Dalam situasi ini
seseorang mencapai tingkatan Ma’rifat dimana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah melalui
persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.

h) Yaqin.

Yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu
yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam ditambah dengan adanya perjumpaan secara
langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin.[15]

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan. Ahwal adalah Ahwal adalah bentuk jama’ dari
kata “Hal” yang diartikan sebagai kondisi atau keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi
di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ahwal juga memiliki pembagiannya seperti halnya dalam maqamat
yaitu Muroqobah, Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin.

Anda mungkin juga menyukai