Rahmawati
Pendahuluan
Dalam ajaran Islam, mengenal Allah sebagai Tuhan Pencipta dan
Pengatur alam semesta dan seluruh makhluk merupakan suatu
kewajiban. Allah Swt. telah mengisyaratkan dan mengajak hamba-
hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya sebagaimana firman-Nya dalam
al-Qur’an yang terjemahnya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian
siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang memiliki akal (QS. Ali ‘Imran: 190).
3) Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun
hanya Allah.
4) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang
melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan
serta keindahannya... dan semua cahaya akan menjadi gelap di
samping cahaya keindahan yang gilang gemilang (Harun Nasution,
1983: 75-76).
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifah
adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati
sanubari. Dengan demikian tujuan tujuan yang ingin dicapai oleh
ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan yang terdapat
dalam diri Tuhan.
Sebagaimana halnya dengan mahabbah, makrifah ini terkadang
dipandang sebagai maqam dan terkadang dianggap sebagai hal. Dalam
literatur barat, ma'rifah dikenal dengan istilah gnosis. Dalam pandangan
al-junaid (w. 381 H), ma' rifah dianggap sebagai hal, sedangkan dalam
risalah al-qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam. Sementara
itu al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din memandang ma'rifah
datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengakatan
bahwa ma'rifah dan muhabbah merupakan kembar dua yang selalu
disebut berbarengan. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya
hubungan seoarang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain, mahabbah
dan ma'rifah menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada
antara seorang sufi dengan Tuhan (Harun Nasution, 1983: 75).
Dengan demikian, kelihatannya yang lebih dapat dipahami bahwa
ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan al-
Kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebh mengacu kepada
pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.
Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya (cahay) oleh Allah
tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.(Q.S. An Nur, 24:40)
Ayat tersebut berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang dia kehendaki.
Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat
mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak
mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam
ma’rifah kepada Allah, yang didapat oleh seorang Sufi adalah cahaya.
Dengan demikian, ajaran ma’rifah sangat dimungkinkan terjadi dalam
Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Selanjutnya di dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah yang
berbunyi :
كنت خزينة خافية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعرفت ا ليھم فعرفوني
Penutup
Dari uraian pembahasan konsepsi ma’rifah dapat disimpulkan bahwa:
1. Mengenal Allah atau ma;rifatullah merupakan perintah Allah kepada
hamba-hamba-Nya agar mereka bisa mengenal Tuhannya.
2. Ma’rifatullah dalam pandangan sufisme tidaklah bertentang dengan
Al-Qur;an dan Hadist.
3. Untuk mencapai derajat ma’rifatullah dalam pandangan sufisme,
adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam
bentuk ibadah seperti rajin shalat, senantiasa berdzikir, tilawah,
pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dst. Tidak ada
ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan
tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Daftar Pustaka
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta, Pustaka
Panjimas, 1984
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, 1995
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1983
K.H. Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi, Yogjakarta,
Cakrawala, 2009