Anda di halaman 1dari 15

THE DAY OF ALASTU

َ ٓ ۢ
ْ ‫بنِ ْٓي ٰا َد َم ِمْن ظُه ُْو ِر ِ ْهم ُذ ِّريَّتَه ُْم َوَا ْش َه َد ُْهم َعٰلى انف ِس ِه ْم ال‬
‫س ُت‬ َ ۚ ُ ْ َ َ ِ ‫َواِ ْذ َا َخ َذ َرب َُّك‬
‫ن‬ْ ‫م‬
ۛ ‫ِ ب َربِّ ُكۗ ْم َ قُال ْوا َ ب ٰل ۛى َش ِه ْدنَا‬
‫نه َذا ٰغفِلِ ْيۙ َن‬ ْ َ ‫َ ْان َ ُتق ْولُ ْوا َ ي ْو َم ْالقِ ٰي َم ِة ِانَّا ُكنَّا‬
ٰ ‫ع‬
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang
belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah
Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul
(Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya ketika itu kami lalai terhadap ini.”
(QS 7 : 172)
1. Konsekwensi Perjanjian
2. Memaknai Kata Rabbun
3. Memaknai Kata “Persaksian”
Konsekwensi Sebuah Perjanjian

1. Memahami Pihak I dan Pihak II


2. Tanggungjawab dari yang memberikan Pernyataan
3. Konsekwensi Jika melanggar
dll
Mengapa harus‫َر ّب‬ ?
Ayat Yang pertama Turun :

‫ِا ْق َر ْأ ِ با ْس ِم َربِّ َك َّال ِذ ْي َخلَ ۚ َق‬


Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan
Al fatihah
(َ ‫) َ ْال َح ْم ُد هَّلل ِ َر ِّب ْالع َال ِم‬
‫ين‬
“ Segala puji bagi Alloh RABB seluruh ‘alam
Surat an nas

ِ ۙ َّ‫ُ ْقل َا ُع ْو ُذ ِ ب َر ِّب الن‬


‫اس‬
Katakanlah, “Aku berlindung kepada Rabb-nya manusia,
RABB‫ َر ّب‬, kata yang sering diterjemahkan ke Bahasa Indonesia
sebagai “Tuhan”. Meskipun sebenarnya tidak ada padanan kata
yang pas dalam Bahasa Indonesia yang bisa digunakan untuk
menggambarkan kedalaman makna kata “Rabb“.
Tapi wajar diterjemahkan sebagai “Tuhan”, karena memang
tidak ada alternatif kata lain yang Bisa
Mewakili.
Kata Rabb hanya bisa diwakili oleh
KALIMAT, bukan Kata
Kata Rabb berasal dari kata kerja bentuk lampau (fi’il maadhi) -
‫ َربَّى‬rabbaa, yang artinya
“telah membesarkan, menumbuhkan,
merawat, mendidik”
dan ketika menjadi present verb (fi’il mudhaari’) menjadi‫ُ ي َربِّي‬
yurabbii Ketika subjeknya adalah orang ketiga feminin, maka
berubah menjadi‫ ُ ت َربِّي‬turabbii.
Contoh kalimatnya semisal :

‫ُ ت َربِّي ا ُ ُّألم َولَ َد َها‬


Turabbii al-ummu waladahaa.
Sang ibu membesarkan anak laki-lakinya.

Begitu pula dalam doa kita untuk kedua orang tua,

‫ار َح ْم ُه َما َك َما َربَّيَانِي َص ِغي ًرا‬


ْ ‫َر ِّب‬
Wahai Rabbku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah
membesarkan-merawat-mendidik aku sewaktu kecil.
Ada kata‫ َربَّيَانِي‬rabbayaa-nii, yang artinya “telah membesarkan-merawat-
mendidik aku”.
Dalam Bahasa Arab, kata rabb‫ َر ّب‬memiliki
beberapa arti
Makna pertama yaitu seseorang yang memiliki sesuatu
atau “pemilik”.
Makna kedua adalah seseorang yang memastikan dan
merawat sesuatu agar bisa tumbuh dengan baik.
Makna ketiga adalah seseorang yang menjaga /
memperbaiki sesuatu agar tidak rusak.
Makna keempat adalah seorang penguasa yang
memiliki kekuasaan (Peminta tanggungjawab, utk
memastikan semua berjalan sebagaimana mestinya).
Ketika zaman perbudakan dulu, seorang tuan yang
memiliki budak juga disebut‫ َرب‬rabb.
Sedangkan budaknya disebut ‘abd ‫َع ْبد‬
Dan Allah SWT bukanlah sembarang rabb.
Dia adalah Rabb ul-‘aalamiin, Rabb semesta alam.
Dia adalah Rabb us-samaawaati wal-ardh, Rabb
seluruh langit dan bumi.
Dia adalah Rabb un-naas, Rabb manusia.
Sedangkan kita adalah ‘abd, budak-hamba sahaya, slave. Kita
adalah “properti-Nya”.

Dan seorang budak-hamba sahaya adalah:

Seseorang yang tidak bisa membuat keputusan untuk dirinya sendiri


Seseorang yang “tidak memiliki kebebasan mutlak “.
Sesuatu yang bisa dilakukannya adalah apa yang tuannya
inginkan.
Ketika kita, dalam shalat kita, mengatakan
“iyyaaka na’budu” (hanya kepada-Mu kami
mengabdikan diri), kita sedang mendeklarasikan
diri bahwa
“Iya, saya siap menjadi budak-hamba sahaya-Mu”,
“kami menerima-Mu sebagai Rabb kami“.

Banyak dari manusia yang hanya menerima


Allah sebagai Sang Pencipta, tetapi tidak
menerima Dia sebagai Rabb. Karena menerima
Allah sebagai Rabb artinya menerima dan
mengikuti semua perintah dan petunjuk-Nya.
Sehingga terjebak dalam perbudakan dengan selain-Nya.
Diperbudak oleh harta misalnya. Diperbudak oleh jabatan, kedudukan,
kekuasaan, hawa nafsu.
Diperbudak oleh dunia.

Sehingga Merdeka yang sesungguhnya adalah


terbebas dari segala jenis perbudakan kepada selain-Nya.

Satu-satunya cara mencapai itu adalah dengan hanya menerima Dijadikan


Hamba oleh-Nya saja.
Dengan menerima Allah sebagai Rabb kita,
dan kita adalah hamba-Nya.
Dalam kitabnya, Tafsir Al-Quran Al-Adzhim, Ibnu Katsir menjelaskan,
iman dan syahadah seperti disebut dalam ayat di atas, adalah iman 
dalam bentuk fitrah yang merupakan kecenderungan atau watak
dasar manusia. 

َ َّ‫ط َر الن‬
ۚ ‫اس َعلَ ْي َها‬ َ ‫َ فأ َ ِق ْم َو ْجهَ َك ِ ل ِّد ِين َحنِ ًيفا ۚ ِ ف ْط َر َت هَّللا ِ اَّلتِي َ ف‬
ۚ ‫اَل َ ت ْب ِد َيل ِ ل َخ ْل ِق ِهَّللا‬
‫ون‬ َ ‫اَل‬
َ ‫اس َ ي ْعل ُم‬ َّ َ ْ َ َّ َ ٰ َ ْ ُ ِّ َ ٰ
ِ ‫ذلِ َك الدين القيِّ ُم َول ِكن أكث َر الن‬
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi Kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS Ar-Rum [30]: 30). 
Allah SWT sebagai asal dan sumber kehidupan bersifat transendent,
yaitu Mahatinggi (ta'ala), sehingga tak ada sesuatu pun serupa atau
menyerupai-Nya. Namun, di sisi lain, Allah SWT bersifat sangat
inmanen, yaitu Mahadekat (qarib) dan Mahahadir (omni-present).

‫يو ْلي ُْؤ ِمنُوا ِ بي‬


َ ‫ان َ ف ْليَ ْستَ ِجيبُوا ِ ل‬
ۖ ِ ‫ع إِ َذا َد َع‬ِ ‫يب ْع َوةَ ال َّدا‬‫يب ُأ ِج ُ َد‬ َ ‫َ َس َأل َك ِعبَا ِد‬
ۖ ٌ ‫يعنِّي َ فإِنِّي َ ق ِر‬ ‫َوإِ َذا‬
‫ون‬ َ ‫َ ل َعلَّه ُْم َ يرْ ُش ُد‬

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka


(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.”
(QS Al-Baqarah [2]: 186).
Dan Siapakah Yang berperan Paling Besar
Dalam Penyimpangan FITRAH ini :

"Setiap anak yang lahir, dilahirkan di atas fitrah


hingga ia fasih (berbicara). Kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi."
(HR. Baihaqi dan Thabrani).

Anda mungkin juga menyukai