Anda di halaman 1dari 10

Al-Ma’rifah Dan Ijtihad

Oleh: Tarmizi

A. Pendahuluan
Islam adalah agama Allah SWT yang diwahyukan kepada nabi Muhammad
saw. dan merupakan agama yang berintikan ke-imanan dan perbuatatan (amal).
Keimanan itu merupakan aqidah dan pokok yang diatasnya berdiri syari’at Islam,
kemudian dari pokok-pokok itu keluarlah cabangnya.
Perbuatan itu merupakan syari’at dan cabang-cabangnya yang dianggap
sebagai buah yang keluar dari keimanan serta aqidah itu. Perbuatan dan
keimanan, atau dengan kata lain aqidah dan syari’at, ke-duanya itu antara satu
dengan yang lain saling sambung-menyambung, hubung-menghubungi dan tidak
dapat berpisah satu sama lainnya. Ke-duanya bagaikan buah dan pohon, sebagai
sebab dan musabbabnya atau seperti muqaddimah dan natijahnya, maka begitu
juga dengan ijtihad dan makrifat kita kepada Allah SWT.

B. al-Ma’rifah
Sebenarnya ma’rifah kepada Allah SWT adalah seluhur-luhurnya ma’rifat dan
bahkan merupakan semulia-mulianya ma’rifah. Sebab ma’rifah kepada Allah SWT
itulah yang merupakan azas atau fundamen yang di atasnya didirikan segala
kehidupan keruhanian.
Dari ma’rifah kepada Allah SWT itulah kemudia bercabang kepada ma’rifah
kepada nabi dan rasul serta hal-hal yang berhubungan dengan sifat-sifat beliau.
Bahkan dari berma’rifah kepada Allah SWT itulah kemudia bercabang kepada
ma’rifah dengan alam yang ada di balik alam semesta ini, seperti Malaikat, Jin dan
Ruh.
Juga dari Ma’rifah kepada Allah SWT itu pulalah timbulnya ma’rifah akan
perihal yang akan terjadi setelah kehidupan di dunia ini berkahir, juga mengenai
kehidupan di alam Barzakh, kehidupan di alam akhirat yang berupa ba’ats
(kebangkitan dari kubur) hisab atau perhitungan amal, pahal, dosa, siksa Neraka
dan kenikmatan Syurga.
I. Cara Berma’rifah.
Untuk bermakrifah kepada Allah SWT itu mempunyai dua cara.1 Kedua cara
itu adalah:
1. dengan menggunakan akal pikiran dan memeriksa dengan teliti apa-apa yang
diciptakan oleh Allah SWT yang berupa benda-bendar yang beraneka ragama
ini.
2. dengan mema’rifati nama-nama Allah SWT serta sifat-sifatNya.
Maka dengan menggunakan akal dan pikiran dari satu sudut dan dengan
memakrifati nama-nama serta sifat-sifat Allah SWT dari sudut lain akan dapatlah
seseorang itu berma’rifat kepada tuhannya, ia akan mempertoleh petunjuk ke arah
itu.2
II. Berma’rifah Dengan Pikiran
Sesungguhnya setiap anggota itu tentu ada tugas-tugasnya, sedangkan tuga
akal adalah mengangan-angankan, memeriksa, memikirkan dan mengamati, jikalau
kekuatan-kekuatan yang semacam itu menganggur maka hilanglah pekerjaan akal,
juga menganggurlah tugasnya yang terpenting baginya dan ini pasti akan diikuti
oleh terhentinya kegiatan hidup, jikalau ini sudah terjadi, akan menyebabkan
terjadinya kebekuan, kematian dan kerusakan akal itu sendiri.
Agama Islam menghendaki agar akal itu bergerak dan melepaskan
kekangannya, segera bangun dari tidurnya yang nyenyak. Kemudian mengajak
untuk mengadakan perenungan dan pemikiran. Pekerjaan yang demikian ini
termasuk dari inti ibadah kepada tuhan. Sebagaimana firmannya:

)46 :‫قل إنما أعظكم بواحدة أن تؤمنوا هللا مثنى ز فرادى شيئ تتففكروا (سبأ‬
“katakanlah aku hanya hendak mengajarkan kepadamu semua satu perkara
saja, yaitu hendaklah kamu semua berdiri di hadapan Allah SWT, dua-dua orang
atau seorang-seorang, kemudian berfikirlah kamu semua (QS Saba’: 46).

III. Berma’rifah Menurut al-Ghazali.


1
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, cet. Ke 2 (Bandung: CV. Diponegoro, tth) h. 31.
2
Ibid. h. 32.
Al-Ghazali mengatakan bahwa ma’rifah itu adalah setinggi-tingginya tingkat
yang dapat dicapai oleh seorang sufi.3 Inilah pengetahuan yang lebih tinggi daripada
pengetahuan yang bisa diperoleh oleh akal. Makrifah bukanlah hasil pemikiran
manusia, tetapi tergantung kepada karunia pemberian tuhan kepada hambaNya
yang sanggup menerimanya.
Karena banyaknya amal, maka datanglah karunia sebagai balasan
untuk ganjaran pahala atas amal itu. Apabila perbekalan telah menjadi suci bersih
maka tercapailah maqam atau derajat yang tinggi. Jadi karunia adalah pemberian,
sedangkan maqam adalah amalan.4
Memang sampai dimana tingkat ma’rifah manusia tentang tuhan terdapat
perbedaan intrepretasi di kalangan sufi. Menurut al-Ghazali, ma’rifah itu adalah
sesuatu yang tidak menyebabkan manusia itu berpadu atau bersatu dengan tuhan.
Menurutnya, pengertian ma’rifah adalah mengetahui dengan mata hati, akal.
Karena jelas dan terangnya pengetahuan itu maka ia ungkapkan dalam kalimat:
nazhrun ila wajhillah.5 Yang berarti melihat atau memandang wajah Allah SWT
dengan mata hati bukan dengan mata kepala. Oleh karena itu menurut al-Ghazali
bahwa orang arif atau orang yang mencapai makrifah tidak lagi menyeru tuhan
dengan kalimat “wahai Allah SWT” karena kalimat seperti itu menunjukkan bahwa
Allah SWT masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang yang arif, tabir itu
telah tiada, maka tidak perlu lagi saling memanggil.
III. Ma’rifah menurut Zunnun al-Mishri.
Ia merupakan orang yang pertama, yang membahas ma’rifah secara
mendalam, maka ia dipandang sebagai tokoh paham ma’rifah. Beliau membagi
ma’rifah tentang tuhan kepada tiga kelompok:
1. pengetahuan orang awwam: tuhan itu satu diketahui melalui ucapan
syahadat.
2. pengetahuan ulama: tuhan itu satu diketahui melalui logika.
3. pengetahuan sufi: tuhan itu satu, diketahui melalui sanubari
pengetahuan dalam arti satu dan dua belum merupakan pengetahuan
3
Musthafa Zahri, Kunci Memahami Tasawwuf (Jakarta: PT Bina Ilmu, 1998) h. 229.
4
Ibid.
5
Ibid.
hakikat tentang tuhan, keduanya disebut dengan ilmu bukan
makrifah.
Orang filosif dan mutakallimin mencari tuhan dengan menggunakan akalnya
oleh karena pengetahuan akal dan mantik, maka mengartikan akan adanya, tapi
belum tentu merasakan lezatnya. Yang lebih diutamakan ialah ilham atau faidh
yaitu: limpahan karunia tuhan atau kasyaf, yaitu tuhan membuka hijab hatinya
dalam alam keruhanian, diwaktu akal berjalan lagi dan tiba di derajat yang
mustawa.6
Dengan adanya usaha yang keras, dan didasari keihkalasan sufi untuk
mendekatkan diri kepada tuhan, sedangkan tuhan selalu menurunkan rahmatnya ,
di saat itu terbukalah tabir (hijab) dan terjadinya komunikasi dua arah dalam
bentuk makrifah.
Zunnun al-Mishri menggambarkan tanda-tanda orang yang telah
mendapatkan ma’rifah kepada tiga:
1. cahaya makrifahnya tidak memadamkan kerendahan hatinya.
2. secara batiniah ia tidak mengakui ilmu yang menyangkal hukum
lahiriah.
3. banyaknya karunia yang ia terima tidak membuatnya melanggar
larangan Allah SWT.
Dengan samapainya seorang sufi ke tingkat makrifah, ia pada hakikinya
telah dekat benar dengan tuhan.

C. al-Ijtihad.
I. Pengertian Ijtihad Secara Etimologi (Bahasa).
Dalam bahasa (etimologi) ijtihad berasala dari kata jahada, yang berarti:
kesungguhan, kesanggupan, kekuatan dan berat.
Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata
ijtihad secara bahasa:
1. menurut Ahmad bin Ali al-Mukri al-Fayumi, ijtihad menurut bahasa ialah:

‫بذل وسعه و طاقته فى طلبه ليبلغ مجهوده و يصل إلى نهايته‬


6
Hamka, Tasawwuf Dari Abad Ke Abad (Jakarta: Perpustakaan Islam, 1953) h. 190
“pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan
sesuatu untuk sampai kepada tujuan”.
2. menurut as-Syaukani, ijtihad secara bahasa ialah:

‫عبارة عن استفراغ الوسع فى أى فعل‬


“ibarat pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja”
3. ahli ushul berpendapat

‫ استفراغ لفقيه الوسع لتحصيل طن بحكيم‬:‫االجتهاد‬


“ijtihad adalah orang yang fakih yang menumpahkan segala kesanggupannya
untuk menghasilkan dzan/sangkaan dengan sesuatu hukum”. 7
II. Pengertian Ijthad Secara Terminologi (Istilah)
Pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan yaitu pada masa
Sahabat. Beberapa pengertian itu adalah:
1. menurut Abu Zahrah ijithad itu adalah:

‫بذل الفقيه وسعه فى استنباط األحكام العملية من أدلتها التفصيلية‬


“upaya eorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum
amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.
Jelaslah bahwa yang akan jadi mujthid itu hanyalah orang-orang yang
mengetahui dalil-dalil kitab dan sunnah dan merupakan ahli fikih.
III. Syarat-Syarat Mujtahid.
1. Syarat mujtahid menurut imam al-Ghazali:
a. Mengetahui syari;at serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
b. Adil dan tidak melakukan maksiat.
2. syarat mujtahid menurut al-Razi:
a. mukallaf.
b. Mengetahu makna lafaz dan rahasianya.
c. Mengetahui keadaan mukhatab.

7
Ahmad Zaini Mifta, Dasar Pokok Hukum Islam (Jakarta, 7 Juni, 1969).
d. Mengetahui keadaan lafaz.
3. menuruty as-Syatibi:
a. memahami tujuan syara’
b. mampu menetapkan hukum.
c. Memahami ilmu-ilmu bahasa Arab.
4. menurut as-Syaukani:
a. mengetahui Alquran al-Karim dan hadist yang bertalian dengan
hukum.
b. Mengetahui ijma’.
c. Mengetahui bahasa Arab.
d. Mengetahui ilmu ushul fikih.
e. Mengetahui nasikh dan mansukh.
Dan masih banyak syarat-syarat mujtahid berbagai versi lainnya oleh para
ulama.
Melihat begitu banyaknya dan beratnya syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid, tampaknya untuk zaman sekarang akan sangat sulit untuk
terpenuhi.

D. Syarat-Syarat Mujtahid
Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat diambil intisari, dari sayarat-
syarat mujtahid adalah: orang-orang yang telah mengetahui hukum.
1. hukum Alquran al-Karim: ia harus mengetahui nama ayat yang amm (umum)
dan mana yang khass (khusus), mujmal, muthlaq dan lain sebagainya.
2. hukum sunnah: ia harus mengetahui mana hadist yang shahih, dhaif,
mutawatir, ahad.
3. hukum bahasa Arab: ia harus memahami ilmu-illmu bahasa Arab seperti
ilmu: nahwu dan sharf, ushul, mantiq, ma’ani, badi’, serta bacaanya.
Syarat inu diperlukan karena kalau seseorang tidak mengetahui apa yang
terebut diatas dengan apakah ia berijtihad menentukan suatu hukum? Sebab ayat-
ayat Alquran al-Karim dan hadist nabi adalah berbahasa arab.
Dalam kitab syarah as-sunnah dinyatakan pula bahwa seseorang belum
dapat dinamakan mujtahid kecuali setelah berkumpul padanya lima macam ilmu:
1. ilmu kitabullah (ilmu Alquran al-Karim dan asbabun nuzul).
2. ilmu hadist.
3. ilmu tentang pendapat ulaman salaf dan khalaf, tentang ijma’ dan
ittifaq mreka.
4. ilmu bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu perangkat lainnya.
5. ilmu qiyas (membandingkan suatu hukum), kalau nash tidak
didapati.8

E. Lapangan Dan Hukum Ijtihad.


Menurut imam al-Ghazali lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil qat’i. Sedangkan hukum ijtihad, para ulama menyatakan
hukum ijtihad itu bisa wajib ain, wajib kifayah, sunnah dan haram, tergantung
kepada kapasitas mujtahid dan lapangan ijtihadnya.

F. Kesimpulan.
Setelah menelusuri uraian tentang ma’rifah, maka dapat kita ambil
intisarinya:
1. ma’rifah kepada Allah SWT ada dua cara.
2. ma’rifah menurut al-Ghazali adalah bukan hasil pemikiran manusia,
melainkan merupakan karunia tuhan kepada hambaNya yang sanggup
menerimanya.
3. menurut al-Ghazali, ma’rifah sesuatu yang tidak menyebabkan manusia itu
terpadu atau bersatu dengan tuhan. Sedangkan menurut al-Mishri, dengan
mema’rifah manusia akan bersatu dengan tuhannya karena tuhan membuka
8
Tajuddin Abdul Wahab, Jam’ul Jawami, juz XI. H. 68.
tabir (hijab) sehingga terjadi komunikasi dua arah antara makhluk dan
akhlak.
4. ijtihad sangat penting karena ummat Islam dewasa ini dihadapkan pada
sejumlah peristiwa baru dalam berbagai aspek kehidupan, lebih-lebih untuk
kasus yang belum ada nashnya.
5. ijtihad sebagai penjelasan terhadap dalil-dalil yang dzanni.
6. ijtihad sebagai sebuah saksi keunggulan agama Islam atas agama-agama
lainnya.

Wallu a’lam bisshawab.

Daftar Pustaka

Ahmad Zaini Miftah, Dasar Pokok Hukum Islam. Jakarta, 7 Juni 1969.
Department Agama, Alquran Dan Terjemahannya.
Hamka, Tasawwuf Dari Abad Ke-Abad. Jakarta: Pustaka Islam, 1953.
Musthafa Zahri, Kunci Memahami Tasawwuf. Jakarta: PT. Bina Ilmu, 1998.
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam. cet. Ke-II. Bandung, CV. Diponegoro, tth.
Tajuddin Abdul Wahab, Jam’ul Jawami’, juz XI.
AL-MA’RIFAH
DAN
IJTIHAD

Makalah diajukan pada Mata kuliah


Sejarah Perkembangan Dalam Pemikiran Islam
(SPPDI)

Oleh :
Tarmidzi
06 KOMI 1049

Dosen Pembimbing :
Prof. DR. Hasyimsyah Nasution

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


SUMATERA UTARA
MEDAN
2006

Anda mungkin juga menyukai