DAN WAHYU
Disusun Oleh:
Adam Fais Fahrezy (1231030189)
Muhammad Idzar Syafqy (1231030199)
Siti Nursalizah (1231030201)
Radhwa Aliya Rahmanda (1231030179)
Dosen Pengampu:
Drs. Tamami, M.Ag
1. Latar Belakang
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
menjadi tiga macam, Pertama, akal demonstratif (burhani) yang mampu
memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang
jelas dan penting, dan melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan kepada sedikit
orang saja. Kedua, akal logika (mathiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta
argumentatif. Ketiga, akal retorik (khithabi) yang hanya mampu mengkaphal-hal
yang bersifat nasihat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan
berfikir sistematika.
B. Karakteristik Wahyu
1. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Tuhan, Pribadi
Nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan
yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
2. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat
manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan
dalam bentuk umum atau khusus.
3. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap
dan gaya bahasa yang berlaku.
4. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal,
bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik
perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara
berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
C. Pentingnya Akal.
4
dengan akal sehingga dengannya manusia mampu memilih, nmempertimbangkan,
menentukan jalan pikirannya sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi
kedudukan akal. Dengan akal manusia mampu memahami al-Qur’an sebagai
wahyu yang diturunkan lewat Nabi Muhammad, dengannya juga manusia mampu
menelaah kembali Sejarah Islam dari masa lampau.
1. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang
hanya dimiliki manusia
Kekuatan Akal
1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Mengetahui adanya kehidupan akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung pada
tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu dan oleh
karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahkluk lain
Kekuatan wahyu
1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
2. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
3. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam
ghaib.
4. Wahyu turun melalui para ucapan Nabi-nabi.
5
E. Akal dan Wahyu Menurut Aliran-aliran Ilmu Kalam
1. Menurut Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka
lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi.
Segala sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang
tidak sesuai dengan akalnya dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur’an
yang bertalian dengan masalah itu, tetapi berlawanan dengan akalnya. Jadi
jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, fungsi akal lebih tinggi ketimbang wahyu.
2. Menurut Salafiyah
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
fungsi akal. Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan
segala sesuatu yang bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang cabang,
baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya
ialah wahyu Allah SWT. yakni Al-Qur’an dan juga Hadits-hadiits Nabi saw.
sebagai penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan
oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk mentakwilkan Al-Qur’an
atau mentafsirkannya ataupun menguraikannya, keucali dalam batas-batas yang
diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pila oleh hadits-hadits. Kekuatan
akal sesudah itu tidak hanya membenarkan dan tunduk pada nash, serta
mendekatnya kepada alam pikiran.
Jadi fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan
penjelas dalil-dalil Al-Qur’an , bukan menjadi hakim yang mengadili dan
menolaknya.
3. Menurut Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai
pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits.
Al-Asy’ari tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argmentasi
pikiran. Ia menentang keras terhadap mereka yang mengatakan bahwa pemakaian
akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah
disinggung-singgung oleh Rasul adalah suatu kesalahan. Menurut Al-Asy’ari,
sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah nabi wafat, banyak membiarakan soal-soal
baru dan meskipun begitu, mereka tidak disebut orang-
6
orang sesat (bid’ah). Didalam bukunya berjudul “Istishan Al-Khaudhi Fi Ilmil
Kalam” (kebaikan menyelami ilmu kalam), ia menentang keras terhadap orang
yang berkeberatan membela agama dengan ilmukalam dan argumentasi pikiran,
karena hal ini tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Bagi kaum al-Asy’ari, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan
saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk
dan mengetahui kewajiban-kewajiban hanya karena turunnya wahyu.
Dengan demikian, sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan
mengetahui kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syari’at tidak ada, kata al-
Ghazali manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan, dan tidak akn
berkewajiban berterima kasih kepadaNya. Sebagai kesimpulan dari uraian
mengenai fungsi
wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dala-
m aliran Asy’ariyah.
Dengan demikian, jelaslah Al-Asy’ari sebagai seorang muslim yang ikhlas
membela keperayaan dan mempercayai isi Al-Qur’an dan Hadits, dengan
menempatkan sebagai dasar pokok, disamping menggunakan akal pikiran yang
tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat nash-nash tersebut.
7
BAB III
KESIMPULAN
8
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, Adeng Muchtar. 2003, Pengembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga
Rifai, Moh, dan Abdul Aziz, 1988. Pelajaran Ilmu Kalam. Semarang: CV.
Wicaksana.
Yogya. http://pusatpanduan.com/akal-dan-wahyu-menurut-harun-nasution-dan-
m--quraish-shihab