Anda di halaman 1dari 13

Filsafat Hukum Islam

PENAFSIRAN WAHYU

Althaf Naqiya Syakura (2021001016)

UNIVERSITAS ISKANDAR MUDA


FAKULTAS SYARIAH & EKONOMI ISLAM
HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan
Karunia-Nya serta nikmat yang begitu besar yang diberikan kepada kita semua terutama
nikmat kesehatan, sehingga makalah kami dapat terselesaikan.

Shalawat dan salam kita curahkan kepada Baginda Rasulullah SAW, Nabi yang
mengantarkan kita dari zaman kejahiliyahan menuju zaman islamiyah. Nabi yang dianggp
sebagai Uswatun Hasanah atau suri tauladan yang baik. Dalam makalah ini kami akan
membahas tentang “PENAFSIRAN WAHYU”. Kami menyadari bahwa penulisan makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan yang kita inginkan. Oleh karena itu, kami masih
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca, demi penyempurnaan
makalah ini dimasa-masa yang akan datang.

Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Dosen yang telah membimbing kami begitu
juga kepada semua pihak yang membantu secara langsung maupun tidak langsung terlibat
dalam penyusunan makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca yang ingin lebih tahu tentang asas-asas perkawinan.

Banda Aceh, 28 November 2022

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... I

DAFTAR ISI .................................................................................................................. II

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2

A. Pengertian Wahyu .............................................................................................. 2


B. Fungsi Wahyu..................................................................................................... 3
C. Konsep Qad’i dan Zhanni .................................................................................. 4
D. Aliran Mukhatti’ah dan Mushawwibah.............................................................. 6

BAB III PENUTUP........................................................................................................ 10

A. KESIMPULAN................................................................................................... 10
E.

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Wahyu ialah pengetahuan yang bersumber dari Allah, kemudian disampaikan
melalui Nabi dan Rasul-Nya. Melalui wahyu, diajarkan sejumlah pengetahuan yang
terjangkau ataupun tidak terjangkau oleh manusia. Wahyu dapat dikatakan sebagai
pengetahuan itu sendiri dan dapat juga disebut sebagai sumber pengetahuan. Oleh
karena itu antara wahyu dan ilmu pengetahuan, sejatinya bisa saling mengisi dan
mendukung. Manusia ialah makhluk berpikir, berpikir ialah bertanya, bertanya ialah
mencari jawaban, kemudian mencari jawaban mengenai sesuatu berarti berupaya
mencari kebenaran tentang sesuatu itu. Mencari jawaban mengenai hidup misalnya
adalah mencari kebenaran hidup itu sendiri. Dari proses tersebut maka lahirlah ilmu
pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah membawa banyak perubahan
pada kehidupan manusia, lebih-lebih penerapan ilmu dan teknologi semakin intens
membuat manusia mampu mengerti beraneka macam gejala dan mengatur kehidupan
menjadi efektif dan efisien.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian Wahyu dan fungsinya?
2. Bagaimana Konsep Qad’i dan Zhanni?
3. Bagaimana Wahyu dalam Aliran Mukhtti’ah dan Mushawwibah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata “ ‫”َو َح ى‬, adalah kata asli Arab bukan dari bahasa asing
lainnya. Secara umum pengertian kata “waḥy” ini berkisar: “al-ishārah al-sarīʽah” (isyarat
yang cepat), “al-kitābah” (tulisan), “al-maktūb” (tertulis), “al-risālah” (pesan), “al-
ilhām” (ilham), “al-iʽlām al-khafī” (pemberitahuan yang bersifat tertutup dan tidak
diketahui pihak lain) “al-kalām al-khafī al-sarīʽ” (pembicaraan yang bersifat tertutup
dan tidak diketahui pihak lain dan cepat).
Kata “waḥy” dapat dikonklusikan secara bahasa sebagaimana kesimpulan Rashid
Rida dalam al-waḥy al-Muḥammadī, dikutip Anis Malik Thoha adalah pemberitahuan
yang tertutup tanpa sepengetahuan pihak lain, dan cepat sifatnya khas pada yang dituju”.
Berdasarkan defenisi tersebut para ulama kemudian mendefenisikan “waḥy” secara
terminologis teknis sebagai pemberitahuan Allah pada seorang nabi mengenai berbagai
berita gaib, syari’at Islam dan hukum tertentu (Thoha, 2010). Defenisi yang hampir sama
dikemukakan Thalhas (2018), bahwa wahyu secara istilah agama merupakan
pemberitahuan Allah SWT kepada nabi-Nya mengenai hukum-hukum Allah, berbagai
berita dan cerita dengan cara samar tetapi meyakinkan kepada Nabi dan Rasul
bersangkutan bahwa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah.
Secara etimologi (lugawi) pengertian wahyu dapat dilihat:
a. Ilham al-fitri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah manusia), seperti wahyu
terhadap ibu Nabi musa
b. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah
c. syarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakariya yang diceritakan Al-
Qur’an.
d. Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri
manusia.
e. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah
untuk dikerjakan.

Secara terminologis pengertian wahyu sebagai berikut:

a. Muhammad ‘Abd al-‘Adzim az-Zarqani mendefinisikan wahyu sebagai


pemberitahuan Allah SWT kepada hamba-Nya yang terpilih mengenai segala

2
sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakan-Nya, baik berupa petunjuk
maupun ilmu, namun penyampaiannya dengan cara rahasia dan tersembunyi
serta tidak serta terjadi dalam manusia biasa.
b. Muhammad Abduh dalam Risalah at-Tauhid mengatakan, wahyu adalah
pengetahuan yang didapati seseorang dalam dirinya dengan suatu keyakinan
bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantaraan
ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau
bahkan tanpa suara.
c. Hasbi alsh-Shiddieqy memberi pengertian wahyu sebagai menerima
pembicaraan secara rohani, kemudian pembicaraan itu berbentuk dan tertulis
dalam hati.. Wahyu merupakan limpahan ilmu yang dituangkan Allah kedalam
hati para Nabi dan Rasul. Dengan demikian terukirlah ibarar-ibarat atau
gambaran-gambaran, lalu dengan ibarat-ibarat itu nabi mendengar pembicaraan
yang tersususn rapi.

Pasa dasarnya, hubungan komunikatif antar Tuhan dan manusia bersifat


Timbal balik dari Tuhan kepada manusia dan dari manusia kepada kepada Tuhan.
Didalam AlQur’an Wahyu memperoleh tempat yang sangat khusus, diperlakukan
secara istimewa, sesuatu yang misterius, rahasia yang tidak dapat diungkap oleh
pikiran manusia biasa. Untuk itulah diperlukan perantara yang disebut “Nabi”. Dalam
Islam, Wahyu artinya “ perkataan” Tuhan yang pada hakikatnya merupakan konsep
linguistik.

B. Fungsi Wahyu
Secara langsung, fungsi wahyu memberikan informasi kepada manusia, dalam
arti wahyu memberi tahukan manusia tentang cara berterima kasih kepada Sang
Pencipta, menyempurnakan akal sehingga mengetahui yang baik dan buruk, selain
juga menjelaskan perincian pahala dan hukuman yang diterima oleh manusia di
akhirat. Secara tak langsung, wahyu merupakan senjata pemberian Allah pada Nabi
agar mampu melindungi dirinya dan para pengikutnya saat menghadapi intimidasi
oleh pihak yang tidak senang dengan keberadaanya, di samping sebagai bukti tentang
kenabian.
Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nasution (1987) bahwa
fungsi pokok wahyu antara lain: pertama, timbul dari keyakinan pada diri manusia
terdapat jiwa yang akan terus hidup dan bersifat kekal meskipun jasadnya sudah mati.

3
Keyakinan ini bukan hasil pemikiran yang sesat akal dan bukanlah suatu khayalan,
sebab manusia dalam keseluruhan baik monoteis, berhalais, penganut agama dan
filosof, sepakat menyatakan bahwa jiwa senantiasa akan hidup sesudah ia
meninggalkan jasad. Akal manusia, sungguhpun bisa mengetahui keberadaan alam
gaib, tetapi ia sangat gelap untuk akal bisa menyelidikinya. Dalam hal ini wahyu hadir
untuk menjelaskan tentang alam gaib yang rahasia, melalui nabi-nabi yang diutus
Allah kepada umat manusia. Dengan demikian, dari fungsi pokok pertama ini dapat
diketahui bahwa akal manusia memiliki keterbatasan, karenanya tidak layak bersikap
angkuh atau merasa paling benar. Oleh karena itu, wahyu berfungsi untuk mengatasi
keterbatasan akal manusia.
Fungsi pokok kedua berkaitan dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk
sosial. Manusia memiliki naluri untuk hidup berkelompok. Meskipun dalam proses
kehidupan sosialnya manusia tidak bisa lepas dari konflik antara berbagai kepentingan
karena masing-masing ingin memenuhi kebutuhannya. Untuk mengatur masyarakat
manusia dengan baik maka nabi-nabi dikirim Tuhan ke permukaan bumi. Jadi
manusia sangat memerlukan kehadiran para nabi dengan wahyu yang dibawanya
untuk mengatur kehidupan mereka di dunia dan dapat mengetahui bagaimana keadaan
hidup manusia di akhirat nanti (Nasution, 1987).
Dengan demikian, fungsi wahyu menolong akal dalam mengetahui kehidupan
akhirat dan hidup di sana yang memang bersifat gaib sehingga akal tidak bisa
menjangkaunya. Wahyu juga membantu akal mengatur masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip umum yang dibawanya, mendidik manusia untuk hidup damai dengan
sesama dan membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup
bermasyarakat. Wahyu juga membawa syari’at yang mendorong manusia untuk
melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menepati janji, dan
sebagainya. Dalam hal ini, wahyu berfungsi menguatkan pendapat akal dengan sifat
sakral dan absolutnya. Sifat sakral dan absolut itulah yang dapat membuat manusia
tunduk kepada sesuatu (Nasution, 1987).

C. Konsep Qad’i dan Zhanni


Pengertian Qath’I dan Zhanni, Secara Bahasa yang dimaksud dengan qath’i
adalah putus, pasti, atau diam. Menurut Muhammad Hasim Kamali , Qath’i secara
etimologi bermakna yang definitive (pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif
(sangkaan). Menurut Abdul Wahab Khallaf , qath’I adalah sesuatu yang menunjukkan

4
kepada makna tertentu dari suatu teks (ayat atau hadits). Qath’i tidak mengandung
kemungkinan ta’wil serta tidak dapat memaknai selain makna dari teks tersebut.
Menurut Muhammad Hashim Kamali, Nash qath’i adalah nash yang jelas dan
tertentu yang hanya memiliki satu makna dan tidak terbuka untuk makna lain, atau hanya
memiki satu penafsiran dan tidak terbuka untuk penafsiran lain.
Ayat al-Qur’an yang bersifat zhanni (spekulatif) adalah kebalikan dari ayat yang
bersifat qath’i (definitif), ia terbuka bagi pemaknaan, penafsiran dan ijtihad. Penafsiran
yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara keseluruhan dalam al-Qur’an dan
mencari penjelasan penjelasan yang diperlukan pada bagian yang lain dalam konteks
yang sama atau bahkan berbeda.
Adapun zhanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang
menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain. Dalil Zhanni adalah
suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (al-
dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat
sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang
tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Macam dan Syarat Qath’i dan Zhanni Dalam pembahasan ushul fiqh, dalil yang
qath’i dan dalil yang Zhanni masing terbagi atas dua bentuk, yaitu: Qath’i Ats-tsubut
(kebenaran sumber) dan qath’i al-dalalah (kepastian kandungan makna. Yang dimaksud
dengan qath’i as-subut adalah suatu dalil yang secara pasti bersumber dari Allah Swt.
atau Rasulullah Saw. dan dapat dibuktikan dari segi periwayatannya. Adapun yang
dimaksud dengan qath’i al-dalalah adalah suatu dalil yang hanya mempunyai satu makna
dan tidak mungkin diartikan lain.
Pada zhanni as-tsubut dan zhanni ad-dalalat, Zhanni as-tsubut adalah suatu dalil
yang bersumber dari hadis ahad, diduga keras datangnya dari Rasulullah SAW. Zhanni
ad-dalalah adalah suatu dalil yang menunjukan kepada arti yang masih dapat dita’wil
atau dialihkan kepada arti yang lain.
Umat Islam meyakini sepenuhnya bahwa al-Quran itu datang dari Allah SWT.
Hadis-hadis Rasulullah Saw. yang bersifat qath’i assubut adalah hadis-hadis mutawattir.
Adapun hadis-hadis ahad (tidak mencapai tahap mutawattir) mayoritas hadis yang
tercakup dalam katagori ini bersifat Zhanni as-subut. Dalam menjadikannya sebagai
hujjah, hadis seperti ini menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan
ulama apabila bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Pertentangan ini bisa dalam
bentuk umum dan khusus atau mutlak dan bersyarat. Imam Abu Hanifah misalnya, tidak

5
mau menerima riwayat yang bersifat ahad, kecuali dengan syarat-syarat yang cukup ketat
seperti hadis itu tidak menyangkut kepentingan semua atau mayoritas umat dan rawi
hadisnya tidak melakukan suatu pekerjaan yang bertentangna dengan kandungan hadis
yang diriwayatkannya.

D. Aliran Mukhatti’ah dan Mushawwibah

Al-Musawwibah adalah orang yang menyatakan benar; al-mukahtti’ah adalah


orang yang menyatakan salah Dalam ushul fiqh istilah ini dibahas berkaitan dengan
masalah ijtihad. Ushul fiqih mengartikan al-musawwibah sebagai kelompok yang
berpendapat bahwa setiap mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad mereka.
Maksudnya, apabila seorang mujtahid melakukan ijtihad dengan mempergunakan metode
ijtihad yang diterima syara’, maka hasil ijtihadnya adalah benar. Karenanya, ssetiap
mujtahid menemukan kebenaran dalam ijtihad mereka, sekalipun untuk permasalahan
yang sama hukum yang ditemukan para mujtahid berbeda.

Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa setiap hasil ijtihad hanya wajib diamalkan
oleh mujtahid yang bersangkutan, sedangkan mujtahid lain tidak wajib mengamalkannya.
Adapun al-mukhatti’ah didefinisikan oleh ulama ushul fiqih sebagai kelompok yang
berpendapat bahwa kebenaran itu hanya satu dan hanya dicapai oleh seorang mujtahid,
sedangkan mujtahid lainnya tidak mencapai kebenaran. Maksudnya, hukum yang benar di
sisi Allah SWT hanya satu, karena itu para mujtahid berusaha untuk menemukannya. Dari
sekian banyak mujtahid yang mengerahkan seluruh kemampuan ilmiahnya untuk yang
benar itu, yang berhasil menemukannya hanya satu orang, sedangkan mujtahid lain tidak
menemukannya.

1. Perbedaan Pendapat Kelompok Musawwibah dan Mukhatti’ah

Perbedaan pandangan kelompok al-musawwibah dengan al-mukhatti’ah berawal


dari permasalahan apakah Allah SWT telah menetapkan suatu hukum pada satu masalah
yang tidak ada nashnya (Al-Quran dan/atau sunah Nabi SAW) sebelum mujtahid
berijtihad atau Allah SWT sama sekali belum menentukan hukum pada setiap masalah,
sehingga apabila para mujtahid melakukan ijtihad maka hasil ijtihadnya itu merupakan
hukum Alah SWT. Ulama Asy’ariyah (Ahlusunah waljamaah), Mu’tazilah (aliran teologi
Islam yang dikenal liberal dan rasional), Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w. 403
H/1013 M; ahli fiqih Mazhab Maliki), Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin

6
Hasan asy-Syaibani, keduanya tokoh fiqih Mazhab Hanafi, berpendapat bahwa Allah
SWT tidak menetukan hukum tertentu pada setiap persoalan sebelum dilakukan ijtihad,
bahkan hukum Allah SWT dalam setiap persoalan itu merupakan hasil ijtihad yang
dicapai seorang mujtahid. Dengan demikian, dalam seluruh permasalahan yang belum ada
nashnya, hukumnya adalah hasil ijtihad setiap mujtahid yang melakukan ijtihad dan hasil
ijtihad itu benar.

Alasan yang dikemukakan kelompok al-musawwibah ini berdasarkan pada hal-


hal sebagai berikut:

a. Firman Allah SWT tentang kisah Nabi Daud AS dan Sulaiman AS dalam
surah al-Anbiyâ (21) ayat 78 yang artinya: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan
Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman,
karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya…”
Selanjutnya dalam surah yang sama ayat 79 dikatakan: “Maka Kami telah
memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat);
dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan Hikmah dan ilmu…”
Menurut kelompok al-musawwibah, kedua ayat ini menggambarkan
terjadinya perbedaan keputusan yang diberikan oleh Daud dan Sulaiman
terhadap pemilik kambing yang merusak tanaman orang lain. Andaikata salah
seoorang di antara keduanya salah dalam menetapkan hukum, maka tidak
akan dinyatakan bahwa kedua hukum yang berbeda dari Daud dan Sulaiman
itu sebagai hukum Allah SWT.
b. Sabda Rasulullah SAW: “Sahabatku ibarat bintang, siapa saja yang kamu
ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk” (HR. Ahmad bin Hanbal). Dalam
menetapkan suatu hukum dari kasus yang yang tidak terdapat hukumnya
dalam nash, para sahabat seringkali berbeda pendapat. Andaikata pendapat
yang benar hanyalah satu diantara beberapa pendapat sahabat, maka
Rasulullah SAW tidak akan menyatakan umat Islam untuk mengikuti
pendapat sahabat manapun. Ini berarti bahwa perbedaan hasil ijtihad diakui
oleh Rasulullah SAW dan umat Islam boleh memilih pendapat mana saja
diantara pendapat para sahabat tersebut. Hal ini juga berarti bahwa setiap
sahabat yang melakukan ijtihad, maka hasil ijtihad itu menjadi hukum bagi
persoalan yang dihadapi. Tetapi, hasil ijtihad seseorang tidak wajib diikuti

7
mujtahid lain karena ia sendiri mampu untuk melakukan ijtihad dalam kasus
yang sama.
c. Kelompok al-musawwibah mengatakan bahwa andai kata pada setiap masalah
yang tidak ada nashnya, maka Allah pasti akan menetapkan dalil yang qat’î
(pasti) terdapat hukum itu agar tidak terjadi keraguan umat Islam tentang
hukum yang dicari.

Menurut kelompok al-mukhatti’ah yang terdiri dari jumhur ulama dan Syiah, hukum
pada setiap permasalahan ijtihad hanya satu yang benar, apabila terdapat perbedaan hasil
ijithad yang dicapai para mujtahid, maka dari sekian banyak hasil ijtihad itu yang benar
hanya satu, sedangkan yang lainnya adalah salah. Akan tetapi, hasil ijtihad yang benar itu
hanya diketahui oleh Allah SWT dan baru bisa diketahui di akhirat. Alasan yang
dikemukakan kelompok al-mukhatti’ah adalah sebagai berikut:

a. Firman Allah SWT dalam surah al-Anbiyâ (21) ayat 78-79 yang dikemukakan
kelompok al-musawwibah di atas. Menurut kelompok al-mukhatti’ah dalam kasus
kambing yang memakan tanaman orang lain yang diceritakan dalam ayat di atas,
keputusan yang benar hanya keputusan yang ditentukan Nabi Sulaiman AS,
sedangkan keputusan Nabi Daud AS adalah salah. Dengan demikian, ayat ini
secara tegas menunjukkan bahwa pada satu kasus hanya ada satu hukum yang
benar.
b. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
dari Amr bin Ash yang disebutkan di atas. Hadits ini juga secara tegas membagi
hasil ijtihad itu kepada yang benar dan yang salah. Menurut mereka andaikata
yang benar itu ada beberapa, maka hal tersebut akan bertentangan dengan
kandungan hadits tersebut.
c. Dalam hadits lain Rasulullah SAW mengatakan: “Hakim itu ada tiga macam, dua
orang masuk neraka dan satu orang masuk surga, yaitu: hakim yang mengetahui
yang benar lalu ia menetapkan hukum berdasarkan yang benar itu, maka ia masuk
surga; hakim yang benar mengetahui yang benar lalu ia memanipulasi yang benar
itu dalam menetapkan hukum, maka ia masuk neraka; dan hakim yang tidak
mengetahui yang benar lalu ia menetapkan hukum dalam ketidaktahuannya itu,
maka ia masuk neraka” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’I, at-Tirmidzi, Ibnu Majah,

8
dan al-Hakim). Andaikata yang benar itu lebih dari satu, maka pembagian hakim
di atas tidak perlu ada.
d. Dalam sebuah riwayat tentang wasiat Nabi SAW kepada seorang komandan
tentara yang akan diutus ke medan perang. Rasulullah SAW bersabda: “Jika
musuh menuntut engkau untuk berdamai dengan cara tawar-menawar terhadap
hukum Allah, maka jangan engkau lakukan, karena engkau tidak tahu apakah
hukum yang engkau tetapkan itu benar atau tidak” (HR. Muslim, Hanbali, Ibnu
Majah, dan at-Tirmidzi). Menurut kelompok al-mukhatti’ah, hadits ini merupakan
hadits yang amat tegas menunjukkan bahwa hukum yang benar di sisi Allah SWT
itu hanya satu, sehingga Rasulullah SAW menyatakan bisa dicapai dan bias juga
tidak dicapai.
e. Para sahabat sendiri menyatakan bahwa hasil ijtihad itu bisa salah, seperti
ungkapan Abu Bakar as-Siddiq ketika ia berijtihad dalam masalah kalâlah: “Yang
saya kemukakan ini adalah pendapat saya pribadi , apabila pendapat saya ini
benar, maka hal itu datangnya dari Allah SWT, dan apabila ijtihad saya salah,
maka hal tiu datangnya dari saya dan setan, atas kesalahan ini Allah SWT dan
Rasul-Nya tidak bertanggung jawab”. Ucapan-ucapan seperti ini juga sering
diucapkan sahabat lain, seperti Umar bin al-Khattab dalam kasus mahar yang
sangat besar jumlahnya; Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) dalam kasus
pembagian warisan bagi istri yang kematian suami, sementara antara mereka
belum terjadi hubungan sanggama; Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dalam
masalah ‘aul; dan Ali bin Thalib tentang masalah diat dalam tindak pidana ijhad.
Dalam kasus-kasus tersebut para sahabat tersebut mengemukakan “apabila ijtihad
ini benar, maka datangnya dari Allah SWT dan apabila salah, maka dari saya dan
setan”.
f. Kelompok al-mukhatti’ah selanjutnya mengatakan, apabila hasil setiap ijtihad
yang dilakukan mujtahid adalah benar, maka akan terjadi beberapa hukum (seperti
halal, haram, makruh, sah, dan batal), pada satu permasalahan, sehingga terdapat
dua hukum yang bertentangan dalam satu kasus. Pertentangan seperti ini tidak
diterima oleh syara’.

9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Wahyu adalah pengetahuan atau pemberitahuan dari Tuhan kepada hamba-Nya
yang terpilih dan diajarkan sejumlah pengetahuan yang mampu dijangkau oleh
hambanya maupun yang tidak mampu dijangkau oleh hambanya sebagai ilmu
pengetahuan dengan penyampaian penuh kerahasiaan tidak secara langsung. Fungsi
wahyu memberikan informasi kepada manusia, dalam arti wahyu memberi tahukan
manusia tentang cara berterima kasih kepada Sang Pencipta, menyempurnakan akal
sehingga mengetahui yang baik dan buruk, selain juga menjelaskan perincian pahala dan
hukuman yang diterima oleh manusia di akhirat. Qath’i secara etimologi bermakna yang
definitive (pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif (sangkaan).

10

Anda mungkin juga menyukai