Anda di halaman 1dari 16

a

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
2.1. Akal.....................................................................................................................2
2.1.1. Pengertian Akal............................................................................................2
2.1.2. Fungsi Akal..................................................................................................2
2.1.3. Kekuatan Akal..............................................................................................3
2.2. Wahyu..................................................................................................................3
2.2.1. Pengertian Wahyu........................................................................................3
2.2.2. Fungsi wahyu...............................................................................................3
2.2.3. Kekuatan wahyu...........................................................................................4
2.3. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam........................................................4
2.4. Kemampuan akal dan fungsi wahyu menurut aliran-aliran ilmu kalam..............7
2.4.1. Aliran Mu’tazilah.........................................................................................7
2.4.2. Aliran Asy’ariah...........................................................................................8
2.4.3. Aliran Maturidiah.........................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................13

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu makhluk Allah S.W.T yang mendapatkan pemuliaan agung dari
Pencipta-Nya adalah manusia. Dapat dikatakan bahwa keagungan pemuliaan Allah
S.W.T terhadap manusia tidak diberikan hanya sekali atau dua kali saja. Tetapi itu
diberikan berkali-kali di berbagai kesempatan dan momen yang bervariasi salah satunya
yaitu akal dan wahyu.
Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat
terhormat, melebihi agama-agama lain. karena Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat
urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai
derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga
mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan
juga tujuan dari baginda rasulullah SAW. Tidak hanya itu  dengan akal juga manusia
bisa menjadi ciptaan pilihan yang allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka
bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang
sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena
ketauhitan sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik akhir, begitu pula
dengan wahyu sang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan
semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam menangani anatara
wahyu dan akal harus selalu mengingat bahwa semua itu karena allah semata. Dan tidak
akan terjadi jika allah tak mengijinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah
kemusyrikan terhadap allah karena kesombongannya.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, Berikut merupakan pertanyaan dalam
pembahasan ini:
a) Apa pengertian wahyu dan akal?
b) Bagaimana kedudukan wahyu dan akal dalam Islam?

1
c) Apa fungsi akal dan wahyu

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Akal
2.1.1. Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (‫)العـقـل‬,
yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya
‘aqaluuh (‫ )عـقـلوه‬dalam 1 ayat, ta’qiluun (‫ )تعـقـلون‬24 ayat, na’qil (‫ )نعـقـل‬1 ayat, ya’qiluha
(‫ )يعـقـلها‬1 ayat dan ya’qiluun (‫ )يعـقـلون‬22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan
mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki
fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang
kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah.
Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir.
Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya yang hanya
dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk
lain.
2.1.2. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
a. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
b. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
c. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai
mesin penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan
setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan
dikerjakan tersebut. Dan  Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman
tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan,
bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.

3
2.1.3. Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti,
seperti contoh:
a. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
b. Mengetahui adanya hidup akhirat.
c. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan
dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan
pada perbuatan jahat.
d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan
jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
f. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

2.2. Wahyu
2.2.1. Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari kata arab ‫الوحي‬, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan
bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan ketika Al-
Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat. oleh sebab itu
wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat kepada seseorang
yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk
maf’ul wahyu Allah terhada Nabi-Nabi-Nya ini sering disebut Kalam Allah yang
diberikan kepada Nabi
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa wahyu
adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai
keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui pelantara maupun
tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun lainya.
2.2.2. Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Yang dimaksud memberi
informasi disini yaitu wahyu memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih
kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta
menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat.

4
Sebenarnya wahyu secara tidak langsung adalah senjata yang diberikan allah
kepada nabi-nabiNYA untuk melindungi diri dan pengikutnya dari ancaman orang-orang
yang tak menyukai keberadaanya. Dan sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan sang
pencipta yaitu Allah SWT.
2.2.3. Kekuatan wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi kita
tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini memiliki
kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
a. Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian Allah.
b. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
d. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.

2.3. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam


Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam tak
akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat
berpengaruh dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum Islam, antar
wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam berbicara yang identik
dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa
hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena
sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau
wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang
mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan
berartiakal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan
untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang
sehat akan selalucocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu
baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad
SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang
sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu mmerupakan perintah yang

5
berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpamengenal ruang dan waktu,
baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.Apa yang dibawa
oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-
prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-
pisah.Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik
perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah
turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring
perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugrah
dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu
tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang
beranggapan smua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat
mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang
ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa
hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan
buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai
berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh
manusia di akhirat.
Karena Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan
dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumbr
pengetahuan manusia tentang tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada
tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang
baik dan menghindari yang buruk. Maka para aliran Islam memiliki pendapat sendiri-
sendiri antra lain:
1. Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat
bahwa akal mmpunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut.
2. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand yang juga termasuk pemikiran
kalam tradisional, mengatakan juga kecuali kewajiban menjalankan yang baik
dan yang buruk akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.

6
3. Sebaliknya aliran Asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional juga
berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui tuhan sedangkan tiga hal
lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui
manusia berdasarkan wahyu.
4. Sementara itu aliran maturidiah Bukhara yang juga digolongkan kedalam
pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
yakni mengetahui tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui
dngan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiaban berterima kasih kepada
tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk
hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan
mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah,
surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih
berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau
nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal
manusia sendiri. dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an
surat Hud ayat 24.Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-
qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat
tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan
ayat 18 surat Al-Mulk.
Dalam menangani hal tersebut banyak beberapa tokoh dengan pendapatnya
memaparkan hal-hal yang berhubungan antara wahyu dan akal. Seperti  Harun Nasution
menggugat masalah dalam berfikir yang dinilainya sebagai kemunduran umat Islam
dalam sejarah. Menurut beliau yang diperlukan adalah suatu upaya untuk
merasionalisasi pemahaman umat Islam yang dinilai dogmatis tersebut, yang
menyebabkan kemunduran umat Islam karena kurang mengoptimalkan  potensi akal
yang dimiliki. bagi Harun Nasution agama dan wahyu pada hakikatnya hanya dasar saja
dan tugas akal yang akan menjelaskan dan memahami agama tersebut.

7
2.4. Kemampuan akal dan fungsi wahyu menurut aliran-aliran ilmu kalam.
2.4.1. Aliran Mu’tazilah
Bagi Mu’tazilah, mengenai wajibnya mengenai Tuhan, mengetahui baik dan
jahat dan mengetahui wajibnya menjauhi yang jahat itu diketahui dengan akal. Tanpa
wahyu pun akal manusia mampu mengetaui keempat persoalan tersebut.Meski
Mu’tazilah berpendapat bahwa akal dapat mengetaui empat faktor tersebut, mereka
bukan berarti tidak memerlukan wahyu. Akal tidak mampu memastikan apakah setiap
diketauinya itu sesuai dengan maksud Tuhan atau tidak. Jadi wahyu diperlukan untuk
menyakinkan kebenaran dalil akal. Mengenai soal Tuhan , betul kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai sifat , tetapi sebagai telah dijelaskan
sebelumnya , mereka tetap berpendapat bahwa  Tuhan mengetahui , berkuasa melihat,
mendengar dan sebagainya . Bagi mereka adalah esensi Tuhan dan untuk
menggambarkan hal itu mereka tetap memakai kata “ sifat “ . Dalam paham mereka,
semua “ sifat “ Tuhan dapat diketahui . Termasuk dalam sifat mendengar dan melihat
yang menurut aliran lain dapat diketahui melalui wahyu . Penglihatan dan pendengaran,
sungguhpun mengandung arti materi dapat diletakkan kepada diri Tuhan yang bersifat
immateri, karena dalam diri Tuhan “ sifat-sifat “ itu tidak mesti mempunyai bentuk
jasmani.Kalau untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu, dalam pendapat
Mu’tazilah , tak mempunyai fungsi apa-apa, untuk mengetahui cara memuja dan
menyembah Tuhan, wahyu diperlukan .
Hal ini jelas kelihatan dalam uraian Ibn Abi Hasyim mengenai perlunya wahyu .
Segolongan lawan, yang diberinya nama kaum Brahma, memperolokkan sujud sewaktu
sembahyang , tawaf, sekitar ka’bah dan ritual – ritual lain dalam ibadat Islam dan
berpendapat bahwa semua itu tidak ada gunanya. Dan menurut Abd – al Jabbar akal
memang tak dapat mengetahui semua yang baik . Akal, katanya dapat mengetahui
kewajiban – kewajiban dalam garis besarnya, tetapi tidak sanggup mengetahui
perinciannya , baik mengenai hidup manusia di akhirat, maupun mengenai hidup
manusia di dunia. Jelaslah bahwa bagi kaum Mu’tazilah tidak semua yang baik dan tidak
semua yang buruk dapt diketahui akal. Untuk mengetahui itu, akal memerlukan
pertolongan wahyu . Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal

8
tentang baik dan buruk . Selanjutnya wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi
memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di
akhirat.
2.4.2. Aliran Asy’ariah
Bagi kaum Asy’ariah, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja,
wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan
mengetahui kewajiban – kewajiban hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian
jika sekiranya wahyu tidak ada , manusia tidak akan tahu kewajiban- kewajibannya .
Sekiranya syariat tidak ada, kata Al – Ghazali , manusia tidak akan berkewajiban
mengetahui Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterimaksih kepadaNya  atas ni’mat
yang diturunkan – Nya kepada manusia.
Jelas bahwa pendapat aliran Asy’ariah wahyu mempunyai fungsi yang banyak
sekali . Wahyu menentukan boleh dikata segala hal. Sekiranya wahyu tak ada, manusia
akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibat nya masyarakat
akan berada dalam kekacauan. Oleh karena itu pengiriman Rasul-rasul dalam teologi
Asy’ariah seharusnya merupakan suatu kemestian dan bukan hanya suatu hal yang boleh
terjadi ( ja’iz ) sebagaimana ditegaskan oleh al Ghazali dan al-Syahrastani.Adapun aliran
Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang dari
pada wahyu dalam faham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk
mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang dalam pendapat golongan kedua,
wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban manusia.
Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan
bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariah dan fungsi
terkecil dalam faham Mu’tazilah. Bertambah besar besar fungsi diberikan kepada wahyu
dalam sesuatu aliran, bertambah kecil daya akal di dalam aliran itu. Oleh karena itu di
dalam system teologi yang memberikan daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil
kepada wahyu, dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.
2.4.3. Aliran Maturidiah
Sebenarnya aliran ini terdiri atas dua kelompok , Yaitu Maturidiah Sarmakand
dan Maturidiah Bukhara. Pemikiran Maturidiah Sarmakand yaitu wahyu bagi golongan

9
pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk , sedangkan
pendapat kedua wahyu perlu untuk mengetahu kewajiban – kewajiban manusia.Dari
golongan Bukhara berkeyakinan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban karena akal hanya mampu mengetahui sebab kewajiban (Tuhan).[7] Al-
Maturidi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham dengan Mu’tazilah,
juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterimakasih
kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan al-Bazzadawi berikut: “Percaya
kepada Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib
dalam faham al-Mu’tazilah”, al-Syaikh Abu Mansur al-Maturidi dalam hal ini sefaham
dengan Mu’tazilah. Demikian juga umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari alim
ulama Irak.
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ‘Uzbah:
“Dalam persoalan Mu’tazilah orang yang berakal, muda-tua, tidak dapat diberi
maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal
mempunyai kewajiban percaya kepada Tuhan. Jika ia sekiranya mati tanpa percaya
kepada Tuhan, maka ia mesti diberi hukum. Dalam Maturidiah anak yang belum baligh,
tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu Mansur al-Maturidi berpendapat
bahwa anak yang telah berakal memiliki kewajiban untuk mengetahui Tuhan. Dalam hal
ini, tidak terdapat perbedaan antara Maturidiah dan Mu’tazilah”.
Kalau urain al-Bazawi, Abu ‘Uzbah, dan lain-lain memberi keterangan yang
jelas tentang pendapat al-Maturidi mengenai soal mengetahui Tuhan dan berkewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, keterangan demikian tidak dijumpai dalam soal baik dan
menjauhi yang buruk. Karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja,
sebenarnya Tuhan-lah yang menentukan kewajiban mengenai baik dan buruk.
Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, akal dapat mengetahui baik dan
buruk. Tetapi tetap menjadi pertanyaan apakah akal bagi al-Maturidi dapat mengetahui
kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Uraian diatas tidak memberi pengertian
bahwa akal dapat mengetahui hal itu. Yang diwajibkan akal ialah adanya perintah dan
larangan, bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tak dapat
mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat, maka keterangan al-Maturidi diatas

10
seharusnya berbunyi fayajib i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih bidarurah al-‘aql. Yang
dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan Tuhan.

11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Demikianlah hubungan akal dan wahyu yang kami bahas dalam pandangan aliran
Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun Maturidiyah Bukhara. Mereka
semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam memberikan pendapat tentang
hubungan akal dan wahyu, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya
dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada
kajian kami ini. Lalu kami dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1. Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan
mempunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2. Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lebih menguatkan
pendapat akal dibandingkan wahyu.
3. Asy’ariah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya
dibanding akal.
4. Maturidiah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling
menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
5. Maturidiah Samarkand bahwa akal lebih tinggi dibanding kedudukan wahyu
dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan
wahyu dan akal.
Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam tak
akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini sangat
berpengaruh dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum Islam, antar
wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam berbicara yang identik
dengan wahyu, maka akal akan segerah menerima dan mengambil kesimpulan bahwa
hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang terkena hukum tersebut.karena
sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki kesamaan yang diberikan Allah namun kalau
wahyu hanya orang-orang tertentu yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang
mengetahu, dan akal adalah hadiah terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.

12
Oleh karena itu dalam sistem teologi, yang memberikan daya terbesar pada akal
dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan
kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi, yang memberikan daya terkecil kepada akal
dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka.
Tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka.
Sedangkan manusia dalam aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka.
Didalam aliran Maturidiah, manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia
dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan Asy’ariah. Dalam
pandangan aliran Maturidiah cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada
manusia dalam pandangan cabang Bukhara.

13
DAFTAR PUSTAKA
HUTASUHUT EFRIANTO, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Universitas Negri Sumatra
Utara, Medan, 2017
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/kedudukan-akal-dan-wahyu-dalam-
islam.html (Di akses: selasa 22 september 2020)
https://elsaniacom.wordpress.com/2017/01/21/makalah-ilmu-kalam-hubungan-antara-
akal-dan-wahyu/ (Di akses: selasa 22 september 2020)
http://makalah-uin.blogspot.com/2016/02/makalah-akal-dan-wahyu.html (Di akses:
selasa 22 september 2020)

14

Anda mungkin juga menyukai