Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TAUHID/ILMU KALAM

“AKAL DAN WAHYU”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3 :
EBTA YUNI .A. ( 1611040353 )
TRI OPTARIA ( 1611040373 )

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS IAIN RADEN
INTAN LAMPUNG
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan
Rahmat-Nya kami penyusun masih diberi kesehatan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah yang berjudul ”Akal dan Wahyu”
ini disusun untuk memenuhi tugas mahasiswa dari mata kuliah Tauhid/Ilmu kalam
di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Pada kesempatan ini kami penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ayu Lestari, M. Pd.I selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam/ Tauhid
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan demi terselesaikannya
makalah ini.
2. Rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dimasa mendatang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Dan semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai
bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa dan masyarakat dan
pembaca.

Bandar Lampung, Desember 2016

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...............................................................................................i
Kata Pengantar ............................................................................................ii
Daftar isi .....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................1
C. Tujuan ........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................3

A. Pengertian Akal Dan Wahyu......................................................3


B. Kedudukan Akal dan Wahyu Dalam Islam................................5
C. Landasan Hukum Akal dan Wahyu............................................8
D. Akal dan Wahyu Menurut Aliran Kalam.................................10
E. Corak Pemikiran Aliran Kalam................................................16
F. Model Pendekatan Aliran Kalam.............................................18

BAB III PENUTUP..................................................................................23

A. Kesimpulan..............................................................................23
B. Saran........................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat
terhormat, melebihi agama-agama lain. karena Akal dan wahyu adalah suatu yang
sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk
mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan
ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi
dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW. Tidak
hanaya itu  dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang allah
amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu
yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang sangat luar biasa untuk
membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid,
karena ketauhitan sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik akhir,
begitu pula dengan wahyu sang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-orang
terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka dalam
menangani anatara wahyu dana akal harus slalu mengingat bahwa semua itu
karena allah semata. Dan tidak akan terjadi jika allah tak mengijinkannya. Hal
tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap allah karena
kesombongannya.

B. Rumusan Masalah
Apa Pengertian Akal Dan Wahyu ?
Bagaimana Kedudukan Akal dan Wahyu Dalam Islam ?
Apakah Landasan Hukum Akal dan Wahyu ?
Bagaimana Akal dan Wahyu Menurut Aliran Kalam ?
Apa sasja Corak Pemikiran Aliran Kalam ?
Bagaimanakah Model Pendekatan Aliran Kalam ?

1
C. Tujuan

Tujuan disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu
dalam kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu yang digunakan  maqasid
as-syari’ah  atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan  hidup
manusia, dua di antaranya adalah mewujudkan terjaganya  al-‘aql (intellect), dan
keyakinan (ad-din). Dalam hal ini  wahyu  merupakan sumber pengetahuan yang
didasarkan kepada keimanan kepada Allah SWT.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal Dan Wahyu

1. Pengertian Akal

Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (
‫)العـقـل‬, yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata
kerjanya ‘aqaluuh (‫ )عـقـلوه‬dalam 1 ayat, ta’qiluun (‫ )تعـقـلون‬24 ayat, na’qil (‫ )نعـقـل‬1
ayat, ya’qiluha (‫ )يعـقـلها‬1 ayat dan ya’qiluun (‫ )يعـقـلون‬22 ayat, kata-kata itu datang
dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah
peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang
benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.

Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql (
‫)العـقـل‬, yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata
kerjanya ‘aqaluuh (‫ )عـقـلوه‬dalam 1 ayat, ta’qiluun (‫ )تعـقـلون‬24 ayat, na’qil (‫ )نعـقـل‬1
ayat, ya’qiluha (‫ )يعـقـلها‬1 ayat dan ya’qiluun (‫ )يعـقـلون‬22 ayat, kata-kata itu datang
dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah
peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang
benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.

Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai


dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity).
Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan
untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti
mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat
bahwa akal adalah: suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu
dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.1

1 Harun Nasution,Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan),(Jakarta: UI


Press,1986), hlm. 34

3
2. Pengertian Wahyu

Kata wahyu berasal dari kata arab ‫الوحي‬, dan al-wahy adalah kata asli Arab
dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Dan
ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan cepat.
oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan cepat
kepada seseorang yang terpilih tanpa seorang pun yang mengetahuinya.
Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhada Nabi-Nabi-Nya ini
sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi.2
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid berpendapat bahwa
wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri
disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT, baik melalui
pelantara maupun tanpa pelantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam
telinga ataupun lainya.

 Kekuatan Wahyu
Memang sulit saat ini membuktikan jika wahyu memiliki kekuatan, tetapi
kita tidak mampu mengelak sejarah wahyu ada, oleh karna itu wahyu diyakini
memiliki kekuatan karena beberapa faktor antara lain:
a. Wahyu ada karena ijin dari Allah, atau wahyu ada karena pemberian
Allah.
b. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
c. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
d. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam
ghaib.
e. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.

 Kekuatan Akal

2 Ibid Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), (Jakarta:
UI Press,1986), hlm. 37

4
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah
dimengerti, seperti contoh:
a. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
b. Mengetahui adanya hidup akhirat.
c. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal
tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak
mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.

f. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.3

B. Kedudukan Wahyu Dan Akal Dalam Islam

Kedudukan antara wahyu dalam Islam sama-sama penting. Karena Islam


tak akan terlihat sempurna jika tak ada wahyu maupun akal. Dan kedua hal ini
sangat berpengaruh dalam segala hal dalam Islam. Dapat dilihat dalam hukum
Islam, antar wahyu dan akal ibarat penyeimbang. Andai ketika hukum Islam
berbicara yang identik dengan wahyu, maka akal akan segera menerima dan
mengambil kesimpulan bahwa hal tersebut sesuai akan suatu tindakan yang
terkena hukum tersebut. Karena sesungguhnya akal dan wahyu itu memiliki
kesamaan yang diberikan Allah namun kalau wahyu hanya orang-orang tertentu
yang mendapatkanya tanpa seorangpun yang mengetahui, dan akal adalah hadiah
terindah bagi setiap manusia yang diberikan Allah.
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian
bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam

3 www.google.com// kekuatan akal dan wahyu.ic.id diakses sabtu, tanggal 8 Oktober 2016, jam
16:40 Wib.

5
memiliki aturan untuk  menempatkan akal sebagaimana mestinya.
Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam
dalam permasalahan apapun. Dan Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits
bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan
wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa
mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum
atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan
akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu
kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.Wahyu itu menegakkan hukum
menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara
berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Namun tidak selalu mendukung antara wahyu dan akal, karena seiring
perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah
anugrah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan
keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya
pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu
Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik
lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain,
demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk
lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya
dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang
menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di
akhirat.4

 Hubungan Antara Akal Dan Wahyu

Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada
manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang

4 Atang, Metodologi Study Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 47-48

6
mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia
sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal lah manusia
mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di
sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya
untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah
rendsh pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal
dan Wahyu.Ia menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering
menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang
filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu.
Akal tetap tunduk pada wahyu. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan
tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama
tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan
baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat
Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal,
dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam
sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada
Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek;
bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum
turun.
Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal,
termasuk  mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu
Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap
wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan.
Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui
akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan
akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan
menjauhi keburukan juga wajib.

7
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban
(taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut,
terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik
serta kewajiban menjauhi yang buruk.
            Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan
Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan
buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan
syari’at. Sesuatu disebut  baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika
dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wahyu, maka
sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.5

C. Landasan Hukum Akal Dan Wahyu

Landasan hukum akal dan wahyu dalam syariat islam. Syari’at Islam memberikan
nilai dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat
dilihat sebagai berikut:

1. Allah subhanahu wa'ta'ala hanya menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya)


kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami
agama dan syari'at-Nya. Terdapat dalam QS. Shaad (38): 43.

2. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk
mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu wa'ta'ala. Hukum-hukum
syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak mempunyai akal. Dan diantaranya
yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.

Rosulullah bersabda:

"َ‫ ال ُجنُوْ ُن َحتَّى يَفِ ْيق‬: ‫ث َو ِم ْنهَا‬


ٍ ‫" ُرفِ َع القَلَ ُم ع َْن ثَاَل‬

5 Prof.Dr.Abdul Rozak,M.Ag, Prof.Dr.Rosihon Anwar, M.Ag, ilmu kalam, (bandung: pustaka


setia, 2001), hlm. 125

8
"Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan,
diantaranya: orang gila samapai dia kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud:
472 dan Nasa'i: 6/156).

3. Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang yang tidak menggunakan


akalnya. Misalnya celaan Allah subhanahu wa'ta'ala terhadap ahli neraka yang
tidak menggunakan akalnya :QS. 067. Al Mulk [67]: 10 Dan Allah subhanahu
wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-
Nya. (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).

4. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam Al-


Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat
"La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau "Afalaa Ta'qiluun"
(apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa Yatadabbarunal Qur'an" (apakah
mereka tidak merenungi isi kandungan Al-Qur'an) dan lainnya.

5. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi akal


QS. Al Baqarah [2]: 170 Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya
dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
QS. Az Zumar [39]: 17-18. 6

Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu
langsunng (al-Qur’an) ataupun wahyu yang tidak langsung (al-Sunnah), kedua-
duanya memiliki fungsi dan kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya
berbeda karena disebabkan oleh proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau al-
Qur’an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa awal
islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat (masa Khalifah Abu
Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abat kedua hijrah

6 Nash Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta:LKIS, 2001), hlm.33

9
(masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu fungsi dan kedudukan
wahyu dalam memahami Islam adalah:
1. Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukan kepada al-Qur’an dan
Sunnah.Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemahaman dan penngamalan
ajaran Islam tanpa merujuk pada al-quran dan al-sunnah adalah omong kosong.
2. Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan biala
akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami islam
(wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya benar
dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidal boleh menyimpang dari prinsip
etik yang diajarkan oleh wahyu.

Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan
struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi sebagai alat  untuk
memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman
kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan
secara praktis.

D. Akal Dan Wahyu Menurut Aliran Kalam

Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua
masalah pokok yaitu:
1.    Tentang mengetahui Tuhan, yang melahirkan dua masalah, yaitu mengetahui
Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan.
2.    Tentang baik dan jahat, yang melahirkan dua masalah juga, yaitu mengetahui
baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan  baik dan meninggalkan
perbuatan jahat.
Dari keempat masalah cabang tersebut, terjadi polemik dikalangan aliran
kalam: manakah dari keempat masalah itu yang diperoleh melalui akal dan
manakah yang diperoleh melalui wahyu.

1.    Aliran Mu’tazilah

10
Menurut Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan para tokohnya, segala
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban
dapat diperoleh dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima
kasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui
oleh akal, demikian pula mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang buruk wajib
pula.7
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa kewajiban
mengetahui Tuhan dan berterima kasih pada-Nya, kewajiban mengerjakan yang
baik dan menjauhi perbuatan buruk dapat diketahui oleh akal. Sebelum
mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang harus terlebih dahulu
mengetahui hakikat hal itu. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima
kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbutan buruk,
orang harus lebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk.
Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang tentu tidak dapat menentukan sikap
terhadapnya.8
Mengenai baik dan buruk, Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak
dapat dapat mengetahui semua yang baik. Akal hanya mengetahui kewajiban-
kewajiban dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup mengetahui
perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti maupun di dunia.9
Dengan demikian, menurut Mu’tazilah bahwa tidak semua yang baik dan buruk
itu, dapat diketahui oleh akal, karena itu wahyu selain wahyu bersifat informatif
dan konfirmatif, juga berfungsi menyempurnakan pengetahuan akal tentang
masalah baik dan buruk.
Jelaslah menurut Mu’tazilah, tidak semua yang baik dapat diketahui oleh
akal. Untuk mengetahui hal itu diperlukan wahyu. Wahyu dengan demikian
menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Selanjutnya wahyu
bagi Mu’tazilah, berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa
di akhirat.10

7 Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), h.80
8 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), h.81
9 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm.97
10 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm. 98

11
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat masalah pokok itu
dalam pandangan kaum Mu’tazilah dapat diketahui oleh akal dan wahyu berfungsi
hanya sebagai konfirmasi dan informasi. Atau dengan kata lain fungsi wahyu
hanya kecil.
2.    Asy’ariah
Menurut Asy’Ariyah sebagaimana dikatakan Al-Asy’ari sendiri, segala
kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat
sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal
dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui
Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui
bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh
akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal menurut Asy’ari, dapat mengetahui
Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan
karena  itulah diperlukan wahyu.11
Menurut al-Syarastani, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-
kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diketahui dengan akal. Dan
juga menurut Al-Baghdadi akal dapat mengertahui Tuhan, tetapi tidak dapat
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Al-Ghazali, juga
berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusi. 12
Mengenai soal baik dan jahat al-ghazali menerangkan bahwa suatu perbuatan itu
baik, kalau perbuatan sesuai dengan maksud pembuat dan disebut buruk, kalau
tidak sesuai dengan tujuan pembuat. Keadaan  sesuai atau tidak sesuai dengan
tujuan bisa terjadi pada masa sekarang  dan bisa pada masa depan, bagi al-Ghazali
perbuatan yang sesuai dengan tujuan masa depan yaitu akhirat, jelasnya perbuatan
yang ditentukan oleh wahyu ditentukan baik dan perbuatan buruk atau jahat lawan
perbuatan baik.

11 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm. 100
12 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm. 105-111

12
Sudah barang tentu bahwa tujuan di akhirat hanya dapat diketahui dengan
wahyu dan oleh karena itu apa yang disebut perbuatan baik atau buruk juga dapat
diketahui hanya dengan wahyu.
Adapun pendirian Al-Syarastani dapat diketahui dalam bukunya bernama
Nihayah al-iqdam fi’ilm al-kalam yang dikutip leh Harun Nasution bahwa ia
sependapat dengan al-asy’ari mengenai Tuhan dan kewajiban manusia berterima
kasih. Yang pertama diketahui dengan akal dan yang kedua dengan
wahyu.mengenai soal baik dan jahat akal menurut al-syarastani. Mengenai baik
dan jahat ia memberi keterangan  lebih jelas dari ketiga pemuka asy’ariah tersebut
diatas.akal tak dapat menentukan baik dan jahat karena yang dimaksud dengan
baik ilah perbuatan yang mendatangkan pujian syari’atbagi pelakunya dan yang
dimaksud dengan buruk ialah perbuatan ynag membawa celaan syari’at.
Keterangan yang jelas dan tegas mengenai persoalan baik dan jahat ini di
berikan oleh ’Adud al-Din al-Iji dalam al-’aqaid al ’adudiah dan oleh Jallal al-
Din al Dawwani dalam komentarnya terhadap karangan Asus al-Din itu. Akal tak
dapat sampai pada perbuatan baik dan buruk, karena wahyulah dalam pendapat
mereka yang menentukan kedua hal itu.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa diantara pengikut-pengikut Al-
Asy’ari terdapat persesuian faham bahwa yang dapat diketahui akal hanyalah
Mengetahui Tuhan, sedangkan untuk ketiga lainnya dengan Wahyu.

3.    Maturidiah
Al-Maturudi, bertentangan dengan pendirian Asy’ariyah tetapi sefaham
dengna Mu’tazilah. ,juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahui kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keteranganal-bazzdawi
berikut : ”percaya pada Tuhan dan Berterima kasih kepada-Nya sebelum ada
wahyu adalah wajib bagi Faham Mu’tazilah..al-syaikhabu mansur al-maturudi
dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazila.Demikan jugalah umumnya ulama
smarkand dan sebagian ulim ulama Irak”.13

13 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm. 118

13
Keterangan ini diperkuat oleh Abu ’Uzbah ”Dalam Pendapat Mu’tazilah
orang yang berakal, muda-tua, tak dapat diberi maaf dalam soal mencari
kebenaran. Dengan demikian, anak yang telah berakal mempunyai kewajiban
percaya pada Tuhan. Jika ia sekiranya amat tanpa percaya Tuhan, ia mesti
dihukum. Dalam Maturidiah anak yan belum baligh, tidak mempunyai kewajiban
apa-apa.Tetapi Abu Mansural-Maturudi berpendapat bahwa anak yang telah
berakal berkewajiban mengetahui Tuhan.Dalam hal ini tidak ada perbedaan
pendapat antara Mu’tazilah dan Maturidiah”.14
Kalau uraian al-Bazdawi, Abu Uzbah dan lain-lain memberi keterangan
yang jelas tentang pendapat al-Maturudi mengenai soal mengetahui Tuhan dan
berkewajiban berterima kasih kepada Tuhan. Keterangan demikain tidak dijumpai
dalam soal baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui
baik dan buruk saja, sebenarnya Tuhan yang mengetahui kewajiban baik dan
buruk. Tetapi al-bazdawi tidak menjelaskan apakah pendapat itu juga merupakan
pendapat Al-Maturidi.
Untuk mengetahui pendirian al-Maturidi haruslah diselidiki karangan-
karangannya sendiri. Buku kitab al-Tawhid  mengandung penjelasan tentang hal
ini. Akal, kata  Maturidi, mengetahui sifat yang baik yang terdapat dalam yang
baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk dengan demikian akal
juga tahu baik dan buruk. Akal menurut al-maturidi selanjutnya mengetahui
bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik. Akal selanjutnya memerintahkan
manusia mengerjakan perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan
melarang mengerjakan yang membawa pada kerendahan Jelaslah bahwa  maturidi
berpendapat akal dapat mengetahui hal yang baik dan buruk. Tetapi uraian di atas
tidak memberi peringatan bahwa akal mengetahui kewajiban berbuat baik dan
menjauhi kejahatan. Yangdapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah
dan larangan Tuhan. Sehingga menurut al-Maturudi 3 hal poko dapat diketahui
akal, sedangkan kewajiban berbuat baik dan buruk dapat diketahui hanya melaui
wahyu. Pendapat al-Maturidi di atas di terima oleh pengiku-pengikut di samrkand.
Adapun pengikutnya di Bukhara mereka mempunyai faham yang berlainan sedikit

14 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm. 121

14
perbedaannya sekitar kewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hubungan ini, al-
Bayadi mengatakan bahwa menurut Abu Hanifah mengetahui Tuhan adalah wajib
menurut akal.15
Dengan demikian golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-
kewajiban hanya dapat mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-
kewajiban menjadi kewajiban. Sedangkan dalam hal lainnya golongan bukhara
sependapat dengan golongan samarkand. Tetapi sungguhpun demikian, sebagian
dari bukhara berpendapat akal tak dapat mengetahui baik dan buruk, dan dengan
demikian mereka sebenarnya masuk dalam aliran Asy’ariyah dan bukan dalam
aliran maturidiah golongan Bukhara.16
Jika dibuat perbandingan mengenai kemampuan akal manusia dan fungsi
wahyu dalam hal mengetahui Tuhan (MT), mengetahui baik dan buruk/jahat
(MBJ), kewajiban mengetahui Tuhan (KMT) dan kewajiban mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan buruk (KMBJ) dapat dilihat dari
Tabel  berikut:17

ALIRAN MT MBJ KMT KMBJ


Mu’tazilah Akal Akal Akal Akal
Asy’ariyah Akal Wahyu Wahyu Wahyu
Maturidiah  Samarkand Akal Akal Akal Wahyu
Maturidiah Bukharah Akal Akal Wahyu Wahyu

E. Corak Pendekatan Aliran Kalam

15 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm.125
16 Ibid Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), hlm. 126
17 Supiana & M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
2004.,hlm 56

15
1. Faham Muta’zilah

Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka
sebagai yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak
dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya.

Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah


baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat
mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. oleh karena itu Tuhan
tidak boleh bersifat Zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum
anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada
orang – orang yang patuh pada –Nya dan memberikan hukuman kepada orang –
orang yang menentang perintah-Nya.

Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai


dengan kepentingan manusia. Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia
sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al – Nazzam an pemuka – pemuka
Mu-tazilah lainnya, tidak dapat dikatakan bahwa tuhan berdaya untuk bersifat
zalim, berdusta dan untuk tidak dapat berbuat apa yang terbaik bagi manusia.

2.  Faham Asy’ariyah

Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan


mempunyai tujuan dalam perbuatan – perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-
perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam
mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan
Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi
Tuhan untuk berbuat.

Tuhan berbuat semata – mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya


bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian adanya
tendensi untuk meninjau dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan

16
mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti
“Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak
milik orang”.

Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat berbuat apa saja
yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah
tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau
memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil
adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena di atas Tuhan tidak pernah
bertentangan dengan hukum.

Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil. Al-Ghazali juga
berpendapat demikian. Ketika adilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar
demikian. Ketidakadilan dapat timbul hanya jika seseorang melanggar hak orang
lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan perintah dan kemudian
melanggar perintah itu. Perbuatan yang demikian mungkin ada pada Tuhan.
Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan tetap
masih bersifat adil. Upah yang di berikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan
hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan, Tuhan tetap bersifat adil.

3.   Faham Maturidiyah

Faham Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah


Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah
Bukhoro mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-
Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini.

Tuhan berbuat sekehendak hatin-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi


berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Bagi
kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan
tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah
perbuatan Tuhan tetapi adalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia

17
dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan bukan
dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya.
Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum
Asy’ariyah, maka persoalan itu pada dasarnya ada, akan tetapi faham masyi’ah
dan ridha membebaskan golongan bukhara dari persoalan ini.18

F. Pendekatan Ilmu Kalam

Tiga Macam Pendekatan Kalam yaitu :

A. Pendekatan Teologis Normatif


Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya
memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap
sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan yang lainnya. Model
pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-
apologis. Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan
memandang yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal
keliru.
Menurut Amin Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi
yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai
pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis.

Dari pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis


normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan
pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari
bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang

18 H,Moh Rifai, Dan Abdul Aziz, 1988. Pelajaran Ilmu Kalam. Semarang, CV. Wicaksana, hlm
79-85

18
paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu
yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya
adalah salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat,
kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan
kafir itupun menuduh kepada pihak lain sebagai yang sesat dan kafir. Dalam
keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah
menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran
yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah
ketertutupan, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.
Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan
teologi normatif banyak ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang
cenderung mendiskreditkan Islam. Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip
oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa Islam pada mulanya adalah ajaran
Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad,
Islam menurutnya adalah bagian pemikiran ketimuran. Karakteristik pemikiran
ketimuran menurutnya, ada dua :
1. Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain
terkungkung.
2. Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.

Contoh tersebut hanyalah contoh kecil dari sederetan pandangan subjektif


Islamolog Kristen dalam memandang Islam. Pandangan seperti itu, didasarkan
pada pandangan subjektivitas tentang kebenaran agama tertentu yang dianutnya.
Amin Abdullah, dalam hal ini mengomentari bahwa pendekatan teologi
semata-mata tidak dapat memecahkan esensial pluralitas agama dewasa ini.
Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi
pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau
kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Jadi pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama
sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit

19
pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sangat prima
dengan seperangkat cirinya yang khas.

B. Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan ialah mengkaji
agama tertentu dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan
ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.
Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh Dr. M. Natsir
Mahmud, dalam berbagai tulisannya dalam pengkajian Islam menggunakan
pendekatan teologis-dialogis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen. Kung
menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam,
mulai dari pandangan teologis yang intern sampai pandangan yang toleran, yang
saling mengakui eksistensi agama masing-masing agama.
Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung
adalah, bahwa apakah Islam merupakan jalan keselamatan ? pertanyaan ini
menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang
menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Kristen. Kung
mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya, Origan, yang
mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan Ekstra Gelesiam Nulla Sulus,
artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.
Selain itu, pendekatan teologis dialogis juga digunakan oleh W.
Montgomery Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling
mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu
sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan
agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang
bersifar apologis dari masing-masing agama.
C.W. Trell mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal:
(1) Masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah
pengikut Tuhan yang beriman,

20
(2) Sebagai konsekwensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-
masing agama untuk dapat membawa pada keimanan kepada Tuhan secara
damai,
(3) Melakukan kritik-kritik yang menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini
berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung
nada apologis terhadap agama lain.

C. Pendekatan Teologis-Konvergensi
Pendekatan teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan
terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing
agama atau aliran. Maksudnya dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan
unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang
esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam
satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith
sebagai penganut pendekatan ini menghendaki agar penganut agama-agama dapat
menyatu, bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis.
Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana
letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi
agama ? Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara faith (iman)
dengan belief (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan,
sedang dalam belief tidak dapat menyatu. Belief seringkali normatif dan intoleran.
Belief bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi
ke generasi yang lain. Dari masalah belief itulah penganut agama berbeda-beda,
dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith umat
beragama dapat menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam kepercayaan (belief),
tetapi menyatu dalam faith. Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat
berbagai aliran teologis maupun aliran fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-
Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau pengikut Imam Syafi'i atau Imam Hambal. Belief
mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda,
tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula antara penganut

21
agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang berbeda, tetapi
hakikatnya menyatu dalam faith.
Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling
akurat dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis
konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai
normatif dan dialogis.
Lain halnya hanya dengan menggunakan metode pendekatan normatif atau
dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.19

19 Ibid H,Moh Rifai, Dan Abdul Aziz, 1988. Pelajaran Ilmu Kalam. Semarang, CV. Wicaksana,
hlm 95-111

22
BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah kelompok kami bahwa Akal adalah daya pikir
untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa
pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar. Wahyu adalah
firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk disampaikan kepada umat.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi
umat manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat
bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya
harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan
lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir
dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal
dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan
tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-
duanya saling menyempurnakan.

B.     Saran

Sebagai umat islam kita harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang
berguna  bagi umat manusia. Dan agar kita dapat mengaplikasikan ilmu yang di
peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia dan menjadikan Al
Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup karena keduanya merupakan
sumber ilmu yang paling utama.
Demikian makalah ini kami buat dan sampaikan kepada pembaca sekalian.
Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka memenuhi tugas pada mata
kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat serta
menambah wawasan bagi kita semua.

23
`DAFTAR PUSTAKA

 Atang, 2001. Metodologi Study Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


 Nash Hamid Abu Zaid, 2001. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an, Yogyakarta:LKIS.
 Nasution, Harun, 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press.
 Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan), Jakarta: UI Press.
 Rifai, Moh, dan Abdul Aziz, 1988. Pelajaran Ilmu Kalam. Semarang: CV.
Wicaksana.
 Rozak, Abdul. Rosihon Anwar, 2001. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia.
 Supiana & M. Karman, 2004. Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
 www.google.com// pengertian akal dan wahyu.ic.id

24

Anda mungkin juga menyukai