Anda di halaman 1dari 19

KARAKTERISTIK AKHLAK KAUM SUFI

Diajukan untuk Memenuhi Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu :

Drs. Hadis Purba, MA

Kelompok 11 :

Ade Nur Triyani 0305193149

Intan Nurqomariah Manurung 0305193128

Muhammad Irfan Yusuf 0305192049

PENDIDIKAN MATEMATIKA 5/II

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam kami curahkan kepada baginda tercinta kita
baginda Nabi Muhammad saw semoga kita semua mendapatkan syafa‟atnya di
akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu
menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Akhlak
Tasawuf dengan judul “Karakteristik Akhlak Kaum Sufi”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kekurangan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang
sebesar – besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima Kasih.

P. Brandan, 02 Juni 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan..........................................................................................................1
D. Manfaat........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaum Shufi................................................................................3


B. Karakteristik Akhlak Kaum Sufi................................................................5
C. Pendidikan Kaum Sufi...............................................................................10
D. Sifat – Sifat yangTercela (Takhalli)...........................................................12
E. Sifat – Sifat yang Terpuji (Tahalli)............................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaum sufi memandang ajaran islam dari dua aspek, aspek lahiriyah
seremonial dan aspek batainiyah spiritual, atau aspek luar dan aspek dalam.
Pendalaman dan pengalaman aspek dalamnya yang paling utama tanpa
mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasi untuk membersihkan jiwa.
Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara
hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan pengaruh Tuhan dan
bebas dari egoisme.

Kultur spiritual itulah yang disebut dengan tasawuf yang ditempuh oleh kaum
sufi sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dan mengontrol diri, kesetiaan
dan realisasi kehadiran tuhan yang tetap dalam segala perilaku dan perasaan
seseorang.

Banyak yang mengatakan bahwa dalam menghadapi materialisme yang


melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini sufi
melalui jalan tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulianya dapat
memainkan peran penting. Tetapi yang perlu ditekankan thariqat dalam diri para
pengikutnya adalah pensucian diri denan pembentukan akhlak mulia di samping
kerohanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik akhlak kaum sufi?
2. Apa pengertian kaum sufi?
3. Bagaimana pendidikan pada kaum sufi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kaum sufi
2. Untuk mengetahui karakteristik akhlak kaum sufi
3. Untuk mengetahui pendidikan pada kaum sufi

1
D. Manfaat
1. Berguna untuk menambah wawasan pengetahuan mengenai kaum sufi.
2. Berguna bagi kaum muslimin agar mengetahui seorang sufi mendekatkan
diri kepada Allah Swt.
3. Berguna untuk mengetahui sifat – sifat terpuji dan tercela.
4. Berguna agar kita mengetahui karakteristik akhlak pada kaum sufi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaum Sufi

Kaum sufi adalah orang – orang yang berada di jalan Allah Swt secara
khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara yang
paling benar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran para
cendikiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang
mengetahui rahasia – rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan
akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan
menemukan jalan untuk itu.

Karena semua gerak dan diam mereka, pada lahir dan batinnya, teradopsi dari
lentera kenabian. Padahal tidak ada cahaya di muka bumi yang melebihi tenrang
cahaya kenabian. Sesungguhnya pada waktu sadar mereka menyaksikan para
malaikat dan roh – roh para nabi sekaligus mendengar suara mereka. Kaum sufi
juga dapat mengambil langsung berbagai pengetahuan dan pemahaman dari
mereka.1

Jadi, sufi adalah seseorang apabila dihadapkan pada dua pilihan kondisis
spiritual atau dua akhlak yang mulia, maka ia selalu memilih yang paling baik dan
paling utama. Ada pula makna sufi adalah apabila seorang hamba telah mampu
merealisasikan penghambaan (ubudiyyah), dijernihkan oleh al – Haq sehingga
bersih dari kotran manusiawi, menempati kedudukan hakikat dan membandingkan
hukum – hukum syariat. Jika ia bisa melakukan hal itu, maka dialah seorang sufi.

Disebutkan juga bahwa kaum sufi adalah sisa – sisa orang – orang terbaik
Ahlush – Shuffah(para penghuni masjid yang hidup pada zaman nabi saw).
Adapun orang yang mengatakan bahwa nama tersebut merupakan simbol lahirlah
pakaian mereka. Hal ini telah disebutkan dalam riwyat tentang orang – orang yang
mengenakan pakaian shuf (wool), dimana para nabi dan orang – orang saleh
memilih pakaian jenis ini.

1
Imam Al- Gazali, KERANCUAN FILSAFAT, (Yogyakarta : Grup Relasi Inti Media, 2015), hal. Xliv.

3
Dikalangan para guru (syekh) sufi ada tiga jawaban tentang tasawuf. Pertama,
jawaban dengan syarat ilmu, yaitu membersihkan hati dari kotoran – kotoran,
berakhlak mulia dengan makhluk allah dan mengikuti Rasulullah saw. Dalam
syariat kedua, jawaban dengan lisanul – haqiqah (bahasa hakikat ), yaitu tidak
merasa memiliki (pamrih), keluar dari perbudakan sifat dan semata mencukupkan
diri dengan sang pencipta langit. Ketiga jawaban dengan lisanul – Haq (bahasa al
– Haq), yakni mereka yang Allah Swt bersihkan dengan pembersihan sifat –
sifatnya, dan Dia jernihkan dari sifat mereka. Merekalah yang pantas disebut
dengan kaum sufi.

Menurut pandangan al – Husni sufi adalah seorang manusia yang tidak


bertempat di atas bumi maupun tidak dinaungi langit. Artinya, sekalipun mereka
berada di atas bumi dan di bawah langit, akan tetapi Allah Swt lah yang
menempatkannya di atas bumi dan Allah pula yang menaunginya dengan
langit.bukan bumi atau langit itu sendiri. Dari Abu Bakar ash – Shiddiq r. A.
Diriwyatkan bahwa ia pernah berkata, “bumi mana yang akan sanggup memberi
tempat pada saya dan langit mana yang sanggup menaungiku, jika saya
mengatakan tentang apa yang ada dalam kitab Allah Swt menurut pendapatku
semata”.2

Kaum sufi juga memikirkan suatu cara tersendiri sebagai usaha melenyapkan
pertentangan kepentingan yang terjadi. Mereka berpendapat bahwa ketiga pokok
penggerak hidup rohani manusia itu sebnarnya berasal dari yang satu jua, yaitu
hawa nafsu atau syahwat. Hawa nafsu dan syahwat inilah yang seringkali
menggiatkan kehidupan manusia, tetapi yang seringkali juga menumbuhkan dua
sebab kerusuhan dunia, yaitu kekufuran terhadap tuhan dan cinta diri yang
berlebih – lebihan. Oleh karena itu ajaran sufi ingin mematikan syahwat itu atau
menguranginya sampai ke pada minimum kekuatannya karena mereka
berkeyakinan bahwa syahwat itulah yang sebenarnya menyebabkan keinginan
menimbun kekayaan, mencari makanan dan minuman yang sedap, memburu
nama, kedudukan dan pangkat, yang akhirnya menyebabkan perkelahian.3

2
https://annafiz.wordpress.com/2014/02/02/ahklak-kaum-sufi/
3
Aboebakar Aceh, PENDIDIKAN SUFI, ( Semarang : CV. RAMADHANI, 1970), hal . 11.

4
B. Karakteristik Akhlak Kaum Sufi
Kaum Sufi menyadari bahwa kejadian manusia terdiri dari dua unsur, yaitu
unsur jasmani dan rohani. Jasmani sebagai unsur pertama adalah unsur materi
yaitu dari tanah atau saripati tanah, unsur kedua adalah ciptaan ciptaan Allah
yang dihembuskan kepadanya. Tanah sebagai unsur materi cinta kepada hal-hal
yang bersifat materi, dan karena itu manusia memerlukan unsur-unsur materi itu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selanjutnya unsur rohani manusia memerlukan seperangkat kebutuhan
spiritual. Puncak tertinggi dari kebutuhan spiritual manusia itu adalah
kebutuhannya kepada Allah. Pada roh yang ditiupkan Allah kepada manusia itulah
dia berhubungan dengan Allah. Roh manusia tidak terpisah dengan Tuhan, dia
ibarat matahari dengan cahayanya. Pada hubungan yang intensif, kontinu antara
roh dengan Tuhan, itulah Kebahagiaan sejati.
Menurut kaum Sufi, agar roh manusia dapat berhubungan dengan Allah, maka
roh itu harus suci dan sempurna, selanjutnya untuk mencapai kesempurnaan
rohani manusia tersebut, salah satu cara yang paling utama adalah perbaikan
akhlak. Karena itu kaum Sufi memiliki pola akhlak tersendiri (karakteristik) yang
membedakan mereka dengan orang yang bukan sufi. Karakteristik – Karakteristik
tersebut dikemukakan Sebagai berikut:4
1. Banyak Berdzikir
Zikir berasal dari bahasa Arab : ‫ذك ر‬ ‫ي ذك ر‬- ‫– ذك را‬ yang berarti

mengingat ataupun menyebutkan sesuatu. Pertama, Secara umum zikir mencakup


seluruh elemen syariát baik perintah maupun larangan, namun arti zikir secara
khusus (specific) adalah melafalkan lafal-lafal yang mengandung makna zikir
dalam Syariát semisal: tasbih, tahlil dan tahmid.
Kedua, Zikir merupakan salah satu metode yang dipergunakan oleh para
ulama sufi untuk dapat menghidupkan hati dari kematiannya karena hati yang
tidak mengingat akan keagungan Allah Swt dianggap mati oleh para sufi. Dengan
berzikir dapat menyadarkan seseorang akan keberadaan Tuhannya yang hakiki.
Zikir itu diibaratkan bagaikan pohon kayu, semakin kuat akarnya maka pohon
kayu itupun semakin kuat dan kokoh, tinggi dan rindang, sehingga menghasilkan

4
Rachmat Hidayat, dkk. Akhlak Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing, 2018), hal 145-146

5
buah yang banyak. Demikian juga halnya dengan zikir, semakin kuat zikirnya
seseorang maka semakin kokoh keyakinannya kepada Allah Swt. Banyak hal
yang akan terjadi dalam mengamalkan zikir, hal ini disebabkan karena efek dari
berzikir itu sendiri dan tergangtung siapa gurunya yang telah mengajarkannya
zikir. Berbagai macam perbedaan keadaan, kelakuan dan mekanisme dalam
berzikir disebabkan oleh berbagai macam pola para ulama sufi dalam
5
mengamalkan dan mempraktekkan zikir untuk dirinya dan muridnya.
Salah satu karakteristik perilaku kaum Sufi adalah banyak berdzikir, sebab
Menurut kaum Sufi, Manusia sebagai makhluk yang dipilih Allah untuk
memegang amanah menjadi saksi keesaan Allah, di dituntut mengingat atau
menyebut nama Allah. Hal Ini sejalan dengan perintah Allah dalam Alquran
seperti terdapat dalam surah berikut:
Al-Ahzab ayat 41:

ً ِ‫ٱَّللَ ِذ ْك ًسا َكث‬


‫يسا‬ َّ ‫وا‬ ۟ ُ ‫َٰٓيَأَيُّ َهب ٱلَّرِيهَ َءا َمى‬
۟ ‫ىا ٱذْ ُك ُس‬
“ hai Orang-orang yang beriman, berdzikir (Dengan menyebut nama) Allah
Dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya”
Al-A'raf Ayat 205:

‫صب ِل‬ ْ ‫عب َو ِخيفَةً َود ُونَ ْٱل َج ْه ِس ِمهَ ْٱلقَ ْى ِل ِب ْٱلغُد ّ ُِو َو‬
َ ‫ٱل َءا‬ َ َ ‫َوٱذْ ُكس َّزبَّكَ فِى وَ ْفسِكَ ت‬
ً ‫ض ُّس‬
َ‫َو ََل ت َ ُكه ِ ّمهَ ٱلْغَ ِف ِليه‬
“ sebutlah nama tuhanmu dalam hatimu dengan perasaan rendah diri dan takut
dengan tiada mengeraskan suara, di waktu pagi dan termasuk ke kedalam orang-
orang yang lalai”
Menurut kaum Sufi untuk mencapai kesempurnaan rohani, hati Haruslah
tenang dan tentram, dan untuk mencapai ketentraman hati tersebut caranya adalah
banyak berpikir seperti dijelaskan dalam alquran surah Ar Ra‟du: 28

ُ ُ‫ط َمئِ ُّه ْٱلقُل‬


‫ىة‬ ْ َ ‫ٱَّلل ت‬
ِ َّ ‫ٱَّلل ۗ أ َ ََل ِب ِر ْك ِس‬ ۟ ُ‫ٱلَّرِيهَ َءا َمى‬
ْ َ ‫ىا َوت‬
ِ َّ ‫ط َمئِ ُّه قُلُىبُ ُهم ِب ِر ْك ِس‬
“ (yaitu) orang-orang yang beriman hati mereka menjadi tentram dengan dzikir
(menyebut) nama Allah. dan ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan
menjadi tentram”

5
Faisal Muhammad Nur, PERSPEKTIF ZIKIR DI KALANGAN SUFI. Subsstansia. Vol. 19 No. 2,
Oktober 2017, 190

6
Para ulama sufi telah mengklasifikasi metode berzikir tersebut ke dalam pola-
pola tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Berzikir dengan Lidah (Zikir Lidah).
Berzikir dengan lidah merupakan metode zikir yang digunakan oleh
kebanyakan tarekat, zikir tersebut terdiri dari lafadz yang murakkab (tersusun

dari dua kalimat) seperti: ‫هللا‬ ‫إ ال الال ه‬ . Metode seperti ini tidak dapat

diterapkan dalam kondisi kehidupan sosial sehari-hari, karena dapat


menimbulkan masalah besar, seperti: mengganggu kentrentraman orang lain
dalam beribadah, namun zikir ini juga sangat dianjurkan untuk diterapkan
dalam tatanan kehidupan sehari-hari bagi orang yang belum mampu berzikir
dengan hatinya baik orang dewasa maupun anak-anak.
b. Berzikir dengan Hati (Zikir Hati).
Tariqah al-Naqsyabandiyah, al-Khālidiyah adalah salah satu tarekat yang
menggunakan metode berzikir dalam hati. Adapun keutamaan berzikir dalam
hati adalah untuk menghilangkan sifat ria, agar orang lain tidak tahu tentang
zikir yang sudah diterapkan, sebab zikir tersebut tersembunyi dalam hati dan
berguna untuk menciptakan kesadaran tinggi, selanjutnta dianjurkan sewaktu
berzikir harus dalam konsentrasi penuh mengingat Allah Swt, sesuai dengan
firman Allah Swt:
۟ ‫فَٱذْ ُك ُسو ِوى أَذْ ُك ْس ُك ْم َوٱ ْش ُك ُس‬
ِ ‫وا ِلى َو ََل ت َ ْكفُ ُس‬
‫ون‬ َٰٓ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni‟mat) Ku”.
Ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan zikir yang tersembunyi,
“ingatlah aku dalam dirimu (hatimu)”, berzikir tanpa dibarengi dengan hati maka
zikir itu dianggap mati sebab tidak akan berpengaruh pada tatanan kehidupan
sehari-hari, maksud dari zikir Allah Swt di atas adalah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya untuk orang yang berzikir. Para sādah (mursyid) al-Naqsyabandiyah
al-Khālidiyah memilih zikir dengan metode dalam hati agar pelaksanaannya
dalam berbagai tatanan kehidupan sehari-hari dan jauh dari sifat ria.6

6
Faisal Muhammad Nur, PERSPEKTIF ZIKIR DI KALANGAN SUFI. Subsstansia. Vol. 19 No. 2,
Oktober 2017, 194

7
2. Mengutamakan Aspek Spiritual Dalam Beribadah
Kaum Sufi memperlakukan ibadah dengan cara yang khas yaitu lebih
memperhatikan Makna yang tersirat atau makna batiniah dari ibadah
tersebut. kalau orang itu bersembahyang atau dzikir, hati Orang itu hanya berisi
nama Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Salat bagi kaum Sufi bukan hanya
sekedar sejumlah kalimat yang harus diucapkan dan gerakan jasmani yang harus
dikerjakan, tetapi Salat adalah merupakan suatu dialog spiritual antara manusia
dengan Tuhan.
3. Bersikap Tawadhu Dan Pengendalian Diri
Kaum sufi dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial yang harus
berinteraksi dengan sesama manusia mencari dan mengutamakan Kawan yang
inheren dengan mereka dengan maksud agar dapat dijadikan sebagai penunjang
terciptanya kesempurnaan rohani.
Seorang sufi ketika berhadapan dengan orang lain memiliki karakter seperti
jangan memperlihat kan gejala-gejala tidak senang apa lagi mimik muka marah,
jangan memperagakan sifat angkuh atau sifat sombong dan jangan over acting
dalam berpenampilan. Selanjutnya kaum Sufi juga memiliki prinsip yang tertanam
kuat dalam hati agar tidak memiliki perasaan lebih unggul dari orang lain tidak
pernah menuntut agar dirinya walaupun sebenarnya ia pantas dilayani, tidak akan
marah ketika ditegur karena kesilapan nya, mau mendengar nasehat orang lain
yang selalu menasehati orang lain.
Bagaimanapun orang lain memperlakukannya seorang, seorang Sufi tidak
pernah menyimpan dendam, tetapi selalu berlapang dada dan memaafkan
kesalahan orang lain. Menurut kaum Sufi rendah hati atau tawadu adalah
merupakan cara memecahkan ego yang paling berhasil guna untuk mencapai
kesempurnaan rohani.7
4. Beruzlah
Dalam dunia tasawuf, para sufistik memiliki ajaran yang sangat penting bagi
pencarian ketenangan hati, yang dimaksud dari ajaran Sufi tersebut adalah
uzlah. Uzlah atau pengasingan diri dari pergaulan masyarakat untuk mendekatkan
diri kepada Allah, Tetapi perlu diketahui bahwa hal ini bukan berarti seorang Sufi

7
Ibidh., hal 148-149

8
secara terus-menerus menjauhkan dari tempat keramaian hingga meninggalkan
seluruh kehidupan dunia, sebab tidak harus dilakukan selamanya dalam
mengarungi kehidupan di dunia, melainkan pada saat seseorang menginginkan
agar kekacauan, kerisauan hati, dan pikiran yang menyelimutinya semakin
menyuguhkan, sehingga jalan terbaik adalah uzlah.
Uzlah merupakan sarana untuk melakukan introspeksi diri, merenungkan
kelemahan dan kelebihan, kegagalan dan keberhasilan, kemaksiatan dan
ketaatan yang pernah dilakukan. Dengan maksud supaya
kelemahan, kegagalan diperbaiki, kemaksiatan ditinggalkan, sedangkan
kelebihan, keberhasilan serta taat kepada Allah harus ditingkatkan.
Seperti halnya ilmu kalam dan beberapa dengan filosof, kaum Sufi
memberikan tempat yang penting terhadap Alquran dan hadis nabi. Hanya saja
mereka berpandangan bahwa satu-satunya jalan untuk memahami pesan wahyu
adalah mensucikan hati agar layak dan pantas diajari oleh Allah sendiri. 8
Bagi kaum Sufi memisahkan diri (uzlah) dari keramaian atau hiruk pikuk
kehidupan sosial jauh lebih baik daripada terpengaruh oleh keramaian atau hiruk
pikuk kehidupan sosial yang dapat merusak tercapainya kesempurnaan rohani.
5. Berorientasi Eskatologis
Keyakinan kaum Sufi, Budi pekerti akan mengantarkan manusia kepada
kesempurnaan rohani dan menjadi jembatan emas menuju kedekatan pada Tuhan,
Maka dalam setiap gerak langkah, tutur kata dan bahkan sampai pada hal yang
sekecil-kecilnya, Diatur menurut tata tertib yang rapi. bagi Sufi, Setiap nafas
yang dihembuskan, setiap kejapan mata, setiap langkah kaki yang diayunkan
seluruhnya dihadapkan kepada norma yang dinilai ibadah dan dilakukan karena
motivasi eskatologis.
6. Pola Hidup Sederhana
Satu lagi karakteristik akhlak kaum Sufi adalah pola hidup sederhana artinya
tidak menunjukan kemewahan baik dalam berpakaian, makan dan minum atau
berbagai bentuk Lainnya, juga tidak suka memamerkan kelebihan kelebihan yang
dimilikinya kepada masyarakat luas semata-mata agar tidak tersusupi niat Ria.

8
Fitriadi Hi. Yusub, intropeksi sufi klasik dan kontemporer (mengenal sufisme islam), 10.

9
bahkan kaum Sufi menganut pola hidup serba kurang. hidup Serba kurang
dalam pengertian sufi adalah tidak berarti peniadaan sama sekali. seperti kurang
makan, maksudnya makan untuk hidup bukan Hidup untuk makan, tidur
kurang, Maksudnya tidak berarti melepaskan diri dari kebutuhan tidur tetapi tidur
hanya untuk mendapatkan waktu lebih banyak dalam mengabdi kepada Tuhan. 9
C. Pendidikan Kaum Sufi
Kaum Sufi mempunysi pandangan tersendiri dalam menentukan buruk baik.
Terutama dalam menentukan sifat – sifat yang baik dan sifat – sifat yang buruk
bagi jiwa seseorang, orang – orang sufi meletakkan pengertian yang sangat
berlainan dengan mereka, yang melihat perbaikan akhlak manusia dari sudut
kemajuan dunia. Memang di sana sini sudah kita singgung, bahwa tujuan sufi
mengenai pendidikan manusia terutama diletakkan dalam menanamrasa kebencian
kepada dunia yang dianggapnya merupakan sumber kecelakaan dan kekacauan
bagi kehidupan perdamaian manusia, dan oleh karena itu dalam mengajarkan
akhlak kepada manusia itu ditekankan melepaskan diri daripada keserakahan
dunia.
Lapar umpamanya bagi kaum sufi mempunyai nilai tertinggi dalam
pendidikan rohani, karena kekenyangan baginya menyebabkan manusia
melupakan tuhan dan menimbulkan atau menguatkan bahwa nafsu untuk
berlomba – lomba mencari keyakinan duniawi. Dalam pada itu bagi mereka yang
ibgin maji diatas permukan bumi menganggap kekenyangan itu bukanlah sesuatu
yang tercela, bahkan dapat menambah nafsu dan kegiatan bekerja untuk
membangun usaha – usaha yang menghendaki tenaga, pikiran dan badan manusia.
Bagi kaum sufi suatu pendidikan etika atau budi pekerti, mengosongkan diri
dari segala maksiat lahir dan dari segala maksiat batin, mengisi kembali atau
menghiasi pula jiwa manusia itu dengan sifat – sifat yang terpuji yang mereka
namakan tahliyah, yang terbagi atas dua usaha pula yaitu tha‟at secara lahir dan
taat secara batin dalam menjalankan semua perintah Allah Swt.
Kaum sufi dalam pelajarannya didahulukan menjauhkan diri daripada maksiat
lebih dahulu daripada mengerjakan segala ketaatan, karena usaha menjauhkan diri
dari pada maksiat itu atau meninggalkan segala larangan tuhan lebih sukar dari

9
Ibidh., hal 150-151.

10
mengerjakan ketaatan atau amal kebijakan. Ghazali menerangkan bahwa dalam
agama itu ada dua dasar pendidikan, pertama, meninggalkan segala pekerjaan
yang terlarang. Kedua, mengerjakan segala pekerjaan kebajikan yang
diperintahkan. Untuk mentaati segala perintah mengerjakan kebajikan atau amal
ibadat itu, tiap orang sanggup sekedar kuasanya, tetapi meninggalkan syahwat
atau hawa nafsu tidaklah dapat dikerjakan oleh sembarangan orang, kecuali orang
– orang yang benar, orang – orang yang telah memindahkan jiwanya dari suasana
kejahatan kepada suasana gemar berbuat kebijakan.
Demikianlah orang sufi mendidik manusia itu dengan menggunakan
anggotanya untuk berbuat baik kepada tuhan dan manusia, tidak untuk berbuat
jahat, karena pada asalnya segala anggota manusia itu dijadikan tuhan sebagai
nikmat dan amanat bagi manusia. Maka oleh karena itu Ghazali berpendapat
menggunakan nikmat dan amanat tuhan itu untuk berbuat dosa dan maksiat adalah
kejahatan yang terbesar dan kedurhakaan yang tidak ada bandingannya terhadap
tuhan. Bahkan demikian kata Ghazali selanjutnya menjadi kewajiban manusia
memelihara dan mengambil faedah untuk kebajikan yang sebesar – besarnya
daripada nikmat dan amanat yang diberikan tuhan itu.
Pembicaraan tentang menjauhkan diri dari maksiat bathin, yang oleh kaum
sufi dijadikan mata pendidikan terhadap pengikut – pengikutnya. Usaha dalam
lingkungan takhliyah bathiniyah ini segera diadakan terhadap murid – murid
tarekat sesudah mereka melakukan taubat, yang dinyatakan dihadapan gurunya. 10
Membersihkan diri daripada sifat – sifat yang tercela oleh kaum sufi dianggap
perlu, karena merupakan najis kiasan, najasah ma‟nawiyah yang karena adanya
najis – najis demikian itu pada jiwa seseorang, tidak memungkinkan manusiaitu
mendekati tuhannya sebagaimana kalau manusia itu mempunyai najis zat, najasat
suriyah, tidak mungkin dia mendekati atau melakukan ibadat – ibadat yang telah
diperintahkan tuhan. Maka haruslah tiap kaum sufi membersihkan jiwanya dari
sifat – sifat yang tercela itu, dan memakai atau menghiasi dirinya dengan sifat –
sifat yang terpuji.
Selanjutnya Ghazali berpendapat, bahwa memang ada manusia itu yang
dilahirkan sudah berakhlak dan berbudi pekerti baik, sehingga ia tidak

10
Ibidh., hal . 19 - 23.

11
memerlukan lagi pengajaran dan pendidikan seperti Isa, Yahya dan Nabi – nabi
yang lain. Begitu juga kadang – kadang terdapat anak yang sejak lahir sudah petah
dan lancar lidahnya berbicara dengan tidak usah diajar dan dilatih lebih dahulu.
Tetapi sebaliknya banyak manusia yang tidak demikian kelahirannya. Dan oleh
karena itu akhlak itu harus diajarkan kepadanya, takhlalluq, yaitu melatih jiwanya
kepada pekerjaan – pekerjaan dan tingkah laku yang dikhendaki. Jika seseorang
mengkhendaki, agar ia menjadi pemurah, maka ia harus membiasakan dirinya
melakukan pekerjaan – pekerjaan yang bersifat pemurah itu, hingga sifat murah
tangan itu menjadi thabiat baginya.
Ghazali mengambil kesimpulan bahwa mendidik budi pekerti seseorang itu
sangat mungkin, dan menghilangkan sifat – sifat yang tercela pada diri seseorang
bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Kalau tidak demikian, Nabi tidak akan
berpesan : „perbaikilah akhlak atau kelakuan”. Ucapan ini menunjukan
kemungkinan dalam memperbaiki kebiasaaan – kebiasaan yang buruk dari
manusia itu. Kalau tidak, apa pula gunanya ada perintah disuruh memberi nasehat
yang baik , pengajaran yang baik, dan perintah kewajiban amar ma‟ruf nahi
munkar sesama manusia? Sebagaimana binatang liar dapat dijinakkan , begitu
juga manusia yang jahat dapat dijadikan manusia yang baik dan lemah lembut
budi pekertinya. Manusia yang bodoh tidak dapat membedakan antara yang benar
dengan yang salah, antara yang indah dengan yang buruk. Manusia ini termasuk
manusia yang mudah sekali diubah ta‟biatnya atau perangainya. Manusia yang
mengetahui akan keburukan sesuatu yang buruk tetapi tidak membiasakan dirinya
mengerjakan yang baik bahkan yang buruk itu dikerjakan karena menuruti hawa
nafsunya. Mengubah thabi‟at atau perangai manusia macam ini lebih sukar dari
golongan yang tadi, karena dasar kesukarannya telah berganda.11
D. Sifat – Sifat yangTercela (Takhalli)

Membicarakan sifat-sifat yang tercela ini ilmu Sufi lebih dipentingkan dan
didahulukan, karena ia termasuk usaha takhliyah, mengosongkan atau
membersihkan din dan jiwa lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat yang
terpuji sebagaimana sudah kita bayangkan diatas. Sifat tercela ini adalah
terjemahan daripada bahasa Arab sif atul mazmumah, artinya sifat-sifat yang tidak
11
Ibidh., hal . 23 – 28.

12
baik, yang da-pat membawa seseorang manusia kepada pekerjaan-pekerjaan atau
akibat-akibat yang membinasakan.

Oleh karena itu oleh Ghazali pembicaraan ini di golongkan kedalam


pembicaraan mengenai muhlikat, artinya segala sesuatu yang dapat membawa
manusia kepada kebinasaan, dan oleh karena itu sifat-sifat tersebut dibaginya aus
penyakit lidah, afatul lisan, dan penyakit hati, afatul qulub. Segala sifat-sifat yang
buruk itu dinamakan kehinaan, razilah dengan demikian ia menamakan marah
razilatul ghazab, kehinaan marah, razilatul hasad, kehinaan dengki, dan
sebagainya. Sebaliknya untuk sifat-sifat yang baik sifatul mahmudah, digunakan
istilah kelebihan, fadhilah, dan dengan demikian sifat benar, dinamakannya
fatdhilatus sadaq, sifat sabar dinamakan fatdhilatus sabar, kelebihan sabar, dan
sebagainya Saya pakai untuk sifat-sifat golongan sifatul mazmumah terjemah
sifat-sifat tercela, untuk sifat-sifat golongan sifatul mahmudah terjemah sifat-sifat
terpuji Perkataan muhlikat dari Ghazali dapat kita terjemahkan kebinasaan, dan
perkataan munjiyat yang menjadi lawannya, dapat kita terjemahkan kemenangan
atau kejayaan.

Diantara sifat-sifat yang tercela, yang harus dilenyapkan dari jiwa manusia,
ialah hasad, haqab, ujub, bukhul, riya, hubbul jah, hubbul mal, hubbur riyasah,
takabur, ghadhab, ghibah, namimah kizb, syahul kalam syahut tha'am, hubbud
dunia. Hasad diartikan membenci ni'mat Tuhan yang di-anugerahkan kepada
orang lain dengan keinginan agar ni'mat orang lain itu terhapus Hasad merupakan
salah satu sifat jiwa yang keji, tidak dapat dihilangkan dengan tidak beroleh
didikan dan latihan secara Sufi.12

E. Sifat – Sifat yang Terpuji (Tahalli)

seringkali diartikan, bahwa yang dimaksudkan dengan ibadat hati atau tha'at
bathin, ialah memakai perangai perangai yang baik dan sifat-sifat yang terpuji
sesudah diri seseorang itu dibersihkan daripada sifat-sifat yang tercela. Ghazali
menguraikan dalam kitabnya : "Kitab Arba'io fi Ululid Din" ada sepuluh macam
sifat terpuji itu, pertama taubat, kedua khauf atau takut kepada Tuhan, ketiga

12
Ibidh., hal . 30 – 31.

13
zuhud, tidak mengingini hidup duniawi, keempat sabar, tahan diri, kelima syukur,
terima kasih kepada Tuhan, keenam ikhlas, berbuat sesuatu hanya untuk Allah
semata-mata, ketujuh tawakkul, menggantungkan nasib seluruhnya kepada Tuhan,
kedelapan mahabbah, mencintai Tuhan secara tidak terbatas, kesembilan ridha,
bersenang diri dengan apa yang ditentukan Tuhan, dan kesepuluh zikrul maut
ingat akan mati.

Untuk dapat mengikuti, bagaimana orang Sufi menjelaskan sifat-sifat itu


sebagai dasar pendidikannya, kita uraikan beberapa buah daripadanya dibawah
ini. Taubat dianggapnya anak kunci bagi kemenangan segala orang. Orang yang
gemar taubat dikasihi Allah, sebagaimana tersebut dalam Qur'an : "Bahwasanya
Allah mencintai orang yang taubat dan mencintai orang yang bersih"
Rasulullahpun memuji orang yang sedia menye-sali dirinya atas perbuatan yang
tersesat, dan kembali bertaubat kepada Tuhan. Katanya : "Orang yang taubat itu
dicintai Allah, orang yang taubat daripada dosanya seakan-akan orang yang tidak
berdosa lagi". Taubat itu diperintahkan Allah dalam Qur'an : "Bertaubatlah kamu
kepada Tuhan, wahai sekalian orang mu'min, agar kamu beroleh kemenangan".

Untuk melakukan sesuatu taubat diletakkan tiga syarat, pertama harus


meninggalkan ma'siat yang dikerjakan itu, kedua harus menyesali diri atas
perbuatan ma'siat tersebut dan ketiga berjanji, bahwa tidak akan kembali lagi
kepada kejahatan itu selama-lamanya, yang demikian itu jika ma'siat tersebut
suatu dosa antara seseorang dengan Tuhan. Orang Sufi menamakan khauf atau
takut kepada Tuhan itu, perhiasan diri orang – orang shalih.13

13
Ibidh., hal . 45 – 47.

14
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaum sufi adalah orang – orang yang berada di jalan Allah Swt secara
khusus. Jalan mereka adalah jalan yang terbaik. Cara mereka adalah cara yang
paling benar. Akhlak mereka adalah akhlak yang tersuci. Bahkan jika pikiran para
cendikiawan, hikmah para ahli hikmah dan pengetahuan para ulama yang
mengetahui rahasia – rahasia syariat dikumpulkan untuk mengubah jalan dan
akhlak kaum sufi serta menggantinya dengan yang lebih baik, mereka tidak akan
menemukan jalan untuk itu.

Kaum Sufi menyadari bahwa kejadian manusia terdiri dari dua unsur, yaitu
unsur jasmani dan rohani. Jasmani sebagai unsur pertama adalah unsur materi
yaitu dari tanah atau saripati tanah, unsur kedua adalah ciptaan ciptaan Allah
yang dihembuskan kepadanya. Tanah sebagai unsur materi cinta kepada hal-hal
yang bersifat materi, dan karena itu manusia memerlukan unsur-unsur materi itu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karakteristik – karakteristik yang
dikemukakan sebagai berikut : 1. Banyak berdikir, 2. Mengutamakan aspek
spiritual dalam beribadah, 3. Bersikap tawadu dan pengendalian diri, 4. Beruzlah,
5. Berorientasi eskatologi, dan 6. Pola hidup sederhana.

B. Saran

Demikianlah makalah dari kami mengenai pembahasan karakteristik akhlak


kaum sufi. Makalah ini pun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun
target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran, dan teguran
digunakan sebagai penunjang pada makalah ini, sebelum dan sesudahnya kami
ucapkan terima kasih.

15
DAFTAR PUSTAKA

Aceh Aboebakar, PENDIDIKAN SUFI, Semarang : CV. RAMADHANI, 1970

Al- Gazali Imam, KERANCUAN FILSAFAT, Yogyakarta : Grup Relasi Inti


Media, 2015

Fitriadi Hi. Yusub, intropeksi sufi klasik dan kontemporer (mengenal sufisme
islam).

Faisal Muhammad Nur, PERSPEKTIF ZIKIR DI KALANGAN SUFI. Subsstansia. Vol. 19


No. 2, Oktober 2017

Hidayat Rachmat, dkk. Akhlak Tasawuf, Medan: Perdana Publishing, 2018

https://annafiz.wordpress.com/2014/02/02/ahklak-kaum-sufi/

16

Anda mungkin juga menyukai