Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENERIMAAN SERTA PENOLAKAN TASAWUF DIKERAJAAN NUSANTARA

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Tasawuf Nusantara

Dosen Pembimbing :Dr.H.SULAIMAN,M.Ag.

Disusun Oleh : Kelompok 4

1. Nur Azizah (2104046043)

2. Fitrotul Laeli (2104046004)

3.M Reihan Alfransyah (2104046034)

PROGRAM STUDI TASAWUF DAN PSIKOKTERAPI

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya
sehingga kelompok 4 bisa menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah tasawuf nusantara. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan ilmu tentang tasawuf nusantara bagi para pembaca dan bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak sulaiman selaku dosen pengampu mata
kuliah tasawuf nusantara yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna. Oleh karea itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Purbalingga, 4 September 2021


DAFTAR ISI

Cover ..................................................................................................................................

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................
1.3 Tujuan .....................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................
2.1 perkembangan tasawuf di nusantara.......................................................................
2.2 tokoh tasawuf di Kerajaan di Nusantara ...............................................................
2.2.1 Yusuf Tajul Khalwati Al-Makassari ……………………………………...
2.2.2 Abdurrauf Al-Jawi Al-Singkili ……………………………………………
2.2.3 Nuruddin Ar-Raniri ……………………………………………………….
BAB III PENUTUP ..........................................................................................................
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Dalam konteks sejarah Islam di kepulauan Melayu Nusantara, tasawuf bukanlah fenomena baru
dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15
M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas
Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu
suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid.

Tasawuf merupakan bagian dari metode penyebaran ajaran Islam yang sangat mempunyai
kemiripan dalam metode pendekatan-pendekatan agama Hindu-Buddha yang merupakan sistem
keagamaan masyarakat Indonesia sebelum Islam. Kemiripan dalam metode pendekatan dengan
latihan kerohanian, inilah yang kemudian mempermudah berkembangnya tasawuf di Indonesia.
Tasawuf merupakan alat dari salah satu persebaran Islam di Indonesia. Hal tersebut disebabkan
karena sebagian besar penyebaran Islam di nusantara merupakan jasa para sufi.

Tasawuf berkembang pertamakalinya di Aceh abad ke17 M. Paham itu dibawa oleh para
pedagang melayu sehingga sampai di Demak dan Banten. Berdirinya kerajaan pasai menjadi titik
sentral berkembangnya islam diSumatra dan sebelah utara pesisir pulau jawa. Berkat kegigihan
para tokoh lahirlah kerajaan Demak yang kemudian menguasai Banten dan Batavia. Dan
penyebaran tasawuf dipulau jawa dibawa oleh Walisanga

1.2 Rumusan masalah:


1. Bagaimana Sejarah Tasawuf di Indonesia?
2. siapa saja tokoh-tokoh penyebaran tasawuf dinusantara?
3. bagaimana penolakan dan penerimaan para tokoh tentang tasawuf di kerajaan di
Nusantara?
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui Sejarah Tasawuf di Indonesia
2. untuk mengetahui tokoh-tokoh penyebaran tasawuf dinusantara
3. untuk mengetahui penolakan dan penerimaan para tokoh tentang tasawuf di kerajaan di
Nusantara
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Tasawuf di Indonesia


Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lrpas dari pengkajian proses islamisasi di
kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran islam di Nusantara merupakan jasa para sufi, Hal
ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur dominan pada masa itu
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik swntral penyiaran
agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di
tanah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan (Syekh Tarekat Syattariah)
Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali
Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa mereka penghayat tasawuf yang sudah
samapi derajat “wali”. para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka
juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu mereka mendapat
gelar susuhan yang biasa disebut Sunan.
Warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi
aliran Al-Ghazali. Buku-buku karangan Al-Ghazali menjadi sumber bacaan sufisme yang paling
digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali.
Pengaruh tasawuf falsafi cukup kuat dan luas panutannya dikalangan penganut tarekat.
Sedangkan tokohnya yang paling popular pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar.

2.2 Tokoh-tokoh tasawuf di Kerajaan di Nusantara

2.2.1 Yusuf Tajul khalwati al-makasari


Syekh Yusuf lahir di Moncong Loe, Goa, Sukawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626
bertepatan dengan 8 Syawal 1036. Nama aslinya Muhammad Yusuf. Terkenal dengan gelar Asy-
Syaikh Al-Hajj Yusuf Abu Mahasin Hidayatullah Taj al-Khalwati al-Makassari al-Bantani.

Sejak kecil Syekh Yusuf sudah menampakkan tanda-tanda kecintannya pada ilmu
pengetahuan keislaman, sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil menamatkan Al-
qur’an 30 juz. Kemudian ia belajar ilmu Nahwu Sharaf, Mantiq, gaya bahasa (bayan ma’ani)
serta balaghah. Dengan menguasai ilmu alat ia mampu mempelajati kitab-kitab fiqih, tafsir,
hadits dan tasawuf. Yang terakhir ini lebih menarik perhatiannya, karena islam pada awal
masuknya di Sulawesi Selatan bercorak mistik disamping bercorak fiqih dengan orientasi
mazhab tertentu.

Dalam rangka memperdalam yang diperolehnya dan ssekaligus menunaikan rukun islam
yang kelima, Syekh Yusuf meninggalkan pelabuhan Tallo (Makassar) pada 22 september 16445
dengan menumpang kapal dagang portugis. Dalam perjalanannya ia sempat singgah di Banten
dan berkenalan dengan putra makhkota kerajaan Banten. Dari banten ia melanjutkan
perjalanannya ke Aceh dan bertemu dengan Syekh Nuruddin ar-Raniri. Melalui Syekh ar-Raniri
ia mempelajari tarekat Qadiriyah dan berhasil memperoleh ijazah.

Dalam perjalanan menunaikan haji mendapatkan pengalaman dan ilmu yang berlipat
ganda melalui beberapa guru terkenal sehingga tidaklah heran jika sepulang ke Indonesia Syekh
Yusuf memberi kontribusi besar bagi perkembangan dakwah islam dan intelektual di Indonesia.

Syekh Yusuf mempunyai peran yang cukup besar dalam melanjutkan proses islamisasi di
Sulawesi yang telah dirintis sebelumnya oleh tiga mubaligh minangkabau, yaitu Abdul Makmur
Khatib bergelar Datuk Ri Bandang, Sulaiman Khatib Selung bergelar Datuk Ri Patimang, dan
Abdul Jawad Khatib Bungsu bergelar Datuk Ri Tiro. Di samping itu, Syekh Yusuf juga berjasa
dalam menyebarluaskan dan mengembangkan islam di Bnten, Sri Langka, dan Afrika Selatan.

Aktifitasnya di bidang keagamaan sejalan dengan keinginan dan cita-cita Sultan Ageng
Tirtayasa untuk menjadikan Banten sebagai suatu kerajaan islam yang besar, kubu pertahanan
islam di Nusantara dalam membendung dan menentang keinginan kompeni Belanda untuk
menjajah Tanah Air. Oleh karena itu, di samping sebagai mufti, ia juga diangkat sebagai
panglima perang dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika Sultan ditangkap kompeni
Belanda, Syekh Yusuf bersama pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul masuk ke hutan untuk
bergerilya. Kemudian di Mandala ia membuat benteng pertahanan, sehingga Belanda sulit
menangkapnya. Akhirnya Syekh Yusuf dapat ditangkap. Ia bersama istrinya dibawa ke Batavia
kemudian ditahan di penjara benteng.
Pada tanggal 12 September ia dibuang oleh kompeni Belanda di Caylon, Sri Langka.
Kemudian pada 7 Juli 1693 dipindahkan ke Camp de Goede Hoop (Tanjung Harapan) Tanjung
paling selatan benua Afrika. Disinilah ia wafat dan dimakamkan. Akan tetapi, atas permintaan
Sultan Abdul Jalil kepada pemerintah kolonial Belanda dipindahkan ke Lakung, Gowa, Sulawesi
Selatan kuburannya dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan dengan nama Kobbang (kubah)

2.2.2 Abdurrauf al-Jawi al-singkili


Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili adalah tokoh sufi dari Aceh. Ia adalah guru para Sufi
Indonesia. Nama lengkapnya adalah Abdur Ra’uf bin Ali Al-Fansuri As-Sinkili, lahir pada
tahun 1024 H (1615 M). Awalnya As-Sinkili mendapatkan pendidikan di desa kelahirannya,
Singkel, dari ayahnya yang terkenal alim. Tahun 1642 M, As-Sinkili pergi ke Arab untuk
menun- tut ilmu dari para ulama, seperti Syaikh Ahmad Al-Kusasi dan Syaikh Ibrahim Al-
Kurani. Selama di sana ia mempelajari berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu tasawuf dan
tarekat. Ia bahkan menginisiasi para pelajar dari Jawa ke tarekat Syattariyyah. As-Sinkili
merupakan tokoh ulama Indonesia yang sangat berpengaruh dalam penerapan paham-paham
sufi di Indonesia. Namanya telah terabdikan melalui karya-karyanya, dan murid-muridnya pun
telah memiliki reputasi gemilang dalam bidang tasawuf.
Sebelum menjabat sebagai qadhi Kerajaan, al-Singkili hanya dikenal sebagai seorang
nelayan biasa. Nama al-Singkili baru didengar oleh pihak Kerajaan setelah ia ramai
diperbincangkan masyarakat di daerah pesisir karena ceramah-ceramahnya. Al-Singkili
kemudian diundang ke istana untuk memberikan ceramah keagamaan dalam perayaan
maulid Nabi Muhammad saw. Al-Singkili pergi ke istana masih dalam jati diri seorang nelayan
biasa. Sultanah merasa puas dengan isi ceramah yang diberikan al- Singkili, sehingga dia
kembali mengundang al-Singkili untuk mendiskusikan beragam masalah.

Pada undangan kedua itulah al-Singkili mengungkapkan jati dirinya sebagai seorang
alim yang menguasai banyak ilmu, bukan sekedar nelayan biasa. Pengungkapan jati diri
tersebut disambut oleh Sultanah dengan perasaan lega. Tawaran untuk menjadi qadhi
kerajaan pun dilayangkan kepadanya. Namun, al-Singkili tidak langsung menerima jabatan
tersebut. Setelah beberapa waktu berlalu di Singkil, al-Singkili melakukan perjalanan ke
daerah pesisir Barat Sumatera. Selama pengembaraan tersebut, Sultanah beberapa kali
mengutus seorang utusan untuk menjemputnya. Penjemputan ini dilakukan dalam rangka
untuk mengangkat al-Singkili sebagai qadhi kerajaan, yang pada saat itu sedang kosong
karena ditinggal al-Raniri.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa al-Singkili menduduki posisi


qadhi selama puluhan tahun, sehingga dia merasakan kepemimpinan empat orang Sultanah.
Banyak prestasi yang didapatkan olehnya selama menjadi mufti di Kerajaan. Dia juga
memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan al-Raniri, khususnya dalam masalah
Tasawuf. Meskipun sama-sama menolak paham wujudiyyah atau wahdah al-wujud, sikap
kedua qadhi tersebut nyatanya sangat berbeda. Jika al- Raniri tidak menerima kompromi dan
berlaku tegas dalam menolak pandangan al- Fansuri, bahkan mengkafirkannya, maka di sisi
lain al-Singkili sangat berhati-hati dalam mengambil langkah. Ia tidak mau ikut-ikutan
mengkafirkan dan bahkan mengingatkan kepada masyarakat bagaimana bahayanya sikap
tersebut (Masrur, 2017, ha1. 156). Moderasi pemikiran al-Singkili l uga dapat dilihat dalam
masalah Fikih.
Salah satu permasalahan Fikih yang pernah dihadapi oleh al-Singkili adalah mengenai
kepemipinan perempuan. Dalam masalah tersebut, al-Singkili tidak memberikan jawaban
pasti. Beberapa orang kemudian menuduh al-Singkili sebagai seorang qadhi yang telah
diberikan kehidupan nyaman di bawah para kepemimpinan Sultanah, sehingga dia tidak berani
memberikan jawaban yang tegas. Namun, sebagian yang lain justru memandangnya sebagai
sebuah sikap moderat. Pendapat yang sama pernah dilontarkan oleh salah seorang gurunya,
yaitu Ibrahim al-Kurani. . Salah satu keterpengaruhan pemikiran ulama Mesir terhadap al-
Kurani adalah mengenai kepemimpinan perempuan. Bagi ulama Mesir saat itu, bukanlah suatu
masalah jika tampuk kepemimpinan diserahkan kepada seorang perempuan. Bahkan, seperti
yang dicatat oleh Laffan, Mansur bin Yusuf, seorang pelawat dari Mesir yang pernah
melangkahkan kaki di bumi Melayu, mernuji kepemimpinan Sultanah Safiyyat al-Din. Sang
Sultanah disebut oleh Mansur bin Yusuf sebagai pribadi “muslimah yang ramah dan
sempurna”. Dia bahkan terkesan dengan komitmen orang-orang Jawa pada Islam, dengan
menyerahkan kepemimpinan kepada seorang pemimpin yang adil dan bijaksana (Laffan,
2015, hal. 18). Dengan begitu, terlihat jelas bahwa al-Singkili dengan sikap moderat dan
kehati-hatiannya, memainkan peran penting dalam mendamaikan kelompok-kelompok yang
memiliki pandangan berbeda.

2.2.3 Nuruddin ar-Raniri


Nuruddin Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat,
India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid Asy- Syafi’I Ar-
Raniri. Ar-Raniri merupakan syaikh tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Ar-
Rifa’i. Ar-Raniri pun juga memiliki tarekat Al-Aydrusiyyah dan tarekat Qadiriyyah.
Nuruddin Ar-Raniri pernah menginjakkan kakinya di Aceh sebelum tahun 1637, pada
masa Sultan Iskandar Muda. Tetapi ia tidak bisa berkarya, karena Sultan Iskandar Muda sangat
panatik dengan ajaran wujūdiyyah yang dianutnya. Hanya karena tidak ada penerimaan dan
sambutan yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Maka ia melanjutkan
perjalanannya ke Semenanjung Melayu dan ada kemungkinan ia memilih Pahang sebagai
tempat menetap. Pada masa Iskandar Muda, paham Wujūdiyyahlah yang berkembang dan
dianut oleh masyarakat setempat. Karena itu, saat Nuruddin akan mengembangkan paham baru
yang bertentangan dengan ajaran Wujūdiyyah tersebut tidak mendapatkan izin dari kerajaan
Aceh. Maka dari itu ia pergi dan menetap di Pahang, yang pada waktu itu masih dalam
kekuasaan kerajaan Aceh.
Pada waktu Nuruddin berada di Aceh untuk kedua kalinya, suasana politik dan agama di
Aceh sudah berubah. Syekh Syamsuddin telah meninggal di tahun 1630 dan enam tahun sesudah
itu disusul oleh kepergiannya Sultan Iskandar Muda (1636). Kemudian kerajaan Aceh dipimpin
oleh Sultan Iskandar Tsani berasal dari Pahang yang tidak lain merupakan menantu dari Sultan
Iskandar Muda, dan memberikan kedudukan yang baik kepada Nuruddin di Istana. Pada masa
inilah Nuruddin Ar-Raniri bisa berkiprah di Aceh karena selain dipercaya oleh Sultan, ia juga
mendapat kedudukan yang istimewa yaitu sebagai mufti pengganti dari Syamsuddin As-
Sumatarani.

Dalam menentang paham Wujūdiyyah di Aceh Nuruddin juga mendapatkan


dukungan dari Iskandar Tsani. Karena kepercayaan dan perlindungan Sultan, Nuruddin
mendapatkan kesempatan untuk menyerang dan membasmi ajaran Wujūdiyyah dari
Hamzah dan Syamsuddin.
Sikap Ar-Raniri didukung penuh oleh Sultan Iskandar Tsani, sehingga para pengikut
Hamzah Fansuri harus menanggung tindak kekerasan dari kerajaan. Mereka dikejar-kejar dan
dipaksa melepaskan keyakinan terhadap Wujūdiyyah, bahkan karya-karya mistik Hamzah
Fansuri dikumpulkan dan dibakar di depan masjid besar Banda Aceh, Baiturrahman, karena
karya-karya tersebut dianggap sebagai sumber penyimpangan akidah umat Islam.

Ar-Raniri menganggap mereka sesat bahkan mempercayai banyak tuhan. Sebagai


akibatnya, mereka dapat dihukum mati jika tidak mau bertobat. Lebih jauh lagi, Nuruddin
sampai memperdebatkan masalah ini. Bahkan Ar-Raniri menyatakan, perdebatan itu
diselenggarakan di istana Kesultanan di hadapan Sultan dan Sultanah. Perdebatan sengit ini
berlangsung selama beberapa hari. Namun mereka gagal mengatasi masalah. Sultan
Iskandar Tsani berulang kali memerintahkan para pendukung Wujūdiyyah mengubah
pendapat mereka dan bertobat kepada Tuhan karena kesesatan mereka, tetapi itupun sia-sia.
Akhirnya, Sultan memerintahkan agar mereka dibunuh dan buku-buku mereka dibakar di
depan masjid besar Banda Aceh
BAB III

PENUTUP
2.3 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa peranan dari para
tokoh tasawuf sangat besar dalam memperkenalkan ajaran tasawuf di
kerajaan nusantara. Namun, tetap saja ada tokoh menerima penolakan
dari penguasa kerajaan setempat. Tetapi penolakan tersebut tak lantas
membuat para tokoh menyerah, mereka tetap memperkenalkan dan tanpa
ada paksaan. Maka akhirnya ajaran tasawuf pun ,emyebar dengan cepat
dan luas di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Munawir. 2019. 20 Tokoh Tasawuf Indonesia dan Dunia. Temanggung: CV


Raditeens.

KDDK Nasyid. Syekh Yusuf al-Makassari

Kurahman, Taufik dan Saifuddin Zuhri Qudsy. Moderasi Pemikiran Abdurrauf


Al-Singkili di Tengah Gejolak Pemikiran Tasawuf Nusantara Abad Ke-1

U. Umayah. 2018. BAB II Biografi Nuruddin Ar-Raniri

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://ramadhan005.blogspot.com/2017/12/makalah
-sejarah-perkembangan-tasawuf-di.html%3Fm
%3D1&ved=2ahUKEwjNt4G50YjzAhXFyDgGHUPkDjs4KBAWegQIAhAB&us
g=AOvVaw0H3qE0iKvh74qTU30lBEaN

Anda mungkin juga menyukai