Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu dan menambah
pengetahuan serta pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik .
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karna pengalaman kami
yang sangat sedikit dalam membuat makalah. Oleh karena itu kami harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan – masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Kamis, 18 Oktober 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI
[

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Tokoh Filsafat Al-Kindi .............................................................................. 2
1. Biografi Al-Kindi ................................................................................... 2
2. Pemikiran Filsafat Al-Kindi ................................................................... 2
3. Karya- Karya Al-Kindi .......................................................................... 5
B. Tokoh Filsafat Al-Farabi ......................................................................... 5
1. Biografi Al-Farabi .................................................................................. 5
2. Pemikiran Filsafat Al-Farabi .................................................................. 6
3. Karya-Karya Al-Farabi .......................................................................... 7
C. Tokoh Filsafat Ibnu Sina .......................................................................... 8
1. Biografi Ibnu Sina .................................................................................. 8
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina .................................................................. 9
3. Karya-Karya Ibnu Sina ........................................................................ 10
D. Tokoh Filsafat Al-Ghazali ...................................................................... 10
1. Biografi Al-Ghazali.............................................................................. 10
2. Pemikiran Al-Ghazali........................................................................... 11
3. Karya-Karya Al-Ghazali ...................................................................... 12
E. Tokoh Filsafat Ibnu Rusyd .................................................................... 12
1. Biografi Ibnu Rusyd ............................................................................. 12
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd ............................................................. 13
3. Karya-Karya Ibnu Rusyd ..................................................................... 14
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 15
A. Kesimpulan .............................................................................................. 15
B. Saran ......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat islam merupakan filsafat yang seluruh cendikiawannya adalah
muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat islam dengan filsafat lain.
Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat
yunani terutama aristoteles, dan plotinus, namun kemudian menyesuaikannya
dengan ajaran agama islam. Kedua, islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam
filsafat lain masih mencari tuhan, dalam filsafat islam justru tuhan sudah
ditemukan. Dalam arti bukan berarti sudah usang. filsuf islam lebih memusatkan
perhatiannya kepada manusia, dan alam, karena sebagaimana diketahui,
pembahasan tuhan hanya akan menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada
finalnya. Namun ilmu filsafat mendapat krtikan dan tantangan dari kalangan
ulama-ulama agama (islam) timbul sikap menolak terhadap keseluruhan filsafat
karena alasan-alasan yang dihubungkan dengan agama. Ini dapat dilihat pada
sistem pendidikan di al-azhar mesir yang dilarang secara keras ilmu filsafat, akan
tetapi pada sisi lain jauh pada masa dinasti abbasiyah memerintahkan muslim
untuk mempelajari filsafat untuk dapat berargumentasi dengan non muslim
menggunakan logika atas perdebatan al-qur’an maupun hadits nabi.

B. Rumusan Masalah
1. Siapa nama tokoh filsafat islam dan karya-karyanya
2. Apa pandangan para filsuf muslim tentang filsafat
3. Apakah filsafat dapat diterima di dalam islam
4. Siapakah Filsuf Muslim yang Paling berpengaruh di Dunia Filsafat
5. Bagaimana Filsuf Muslim Menyikapi Ilmu Filsafat

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tokoh Filsafat Al-Kindi


1. Biografi Al-Kindi
Al kindi, yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Ibn
Sabbah Ibn Imran ibn Isma’il al-Ash’ats bin Qais al-Kindi ( 185/801-206/873)
adalah filsuf muslim pertama. Nama al-kindi dinisbatkan pada salah satu suku
besar Arab pra-Islam, yakni Kindah. Kakeknya, al-Ash’ats bin Qais, adalah
seorang muslim dan bahkan dianggap sebagai sahabat nabi, sementara ayahnya,
Ishaq as-Sabbah, adalah Emir Kufah ketika Daulah Abbasiyah diperintah oleh
mahdi. Tidak ada informasi yang pasti mengenai kapan al-Kindi dilahirkan. Para
ahli memperkirakan bahwa ia lahir pada 185 H/801 M, sekitar satu dasawarsa
sebelum khalifah Harun Rasyid meninggal. Al-kindi lahir pada puncak kemajuan
intelektual dan sosial politik Bani Abbasiyah. Pada masa itu, buku-buku ilmu
pengetahuan sangat mudah didapat dan Bait al-Hikmah berperan sebagai pusat
kegiatan penerjemahan. Antusiasme pemerintah terhadap kegiatan penerjamahan
tercermin dari besarnya imbalan yang diberikan untuk sebuah karya terjemahan,
yakni dengan emas seberat buku itu.1[1]
2. Pemikiran Filsafat Al-Kindi
Al-Kindi juga dikenal sebagai filosof islam pertama. Atas jasa-jasanya, ia
berhasil menyatukan pemikiran islam dan filsafat yunani yang sangat
mengandalkan logika. Bahkan untuk mewujudkan impiannya itu, ia membangun
sebuah institusi (lembaga) yang bergerak di bidang perpaduan pemikiran yunani
dan peradaban arab.
Memang terjadi pertentangan antara filsafat yunani dan agama-agama di Arab
(Timur Tengah). Semua diawali dari penerjemahan buku-buku filsafat yunani ke
dalam bahasa Arab dilakukan oleh orang Nasrani Suryani pada masa Khalifah al-

1[1] Amroeni Drajat, Suhrawardi Kritik Falsafah Peripatetik (yogyakarta,


PT LkiS Pelangi Aksara : 2005) Hal.111

2
Rasyid dan al-Ma’mun. Padahal waktu itu pemikiran Yunani sebagai “Musuh”
yang harus dilawan. Al-Kindi tampil untuk mendamaikan semua itu.2[2]
a) Talfiq
Al-Kindi berusaha memadukan (Talfiq) antara agama dan filsafat.
Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-
Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih menyakinkan dan benar
tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat.
Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi
bagian dari filsafat, sedangkan umat islam diwajibkan mempelajari teologi.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi
tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat
juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi al-Kindi ialah Tuhan.
Filsafat dengan demikian membahas tentang tuhan dan agama ini pulalah
dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut al-
Kindi telah mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling
benar. Disamping itu karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk
pengetahuan tentang tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan
berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk
menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira
kebenaran dari manapun datangnya sebab, “ tidak ada yang lebih berharga bagi
para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak wajar
merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya.
Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua
orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang
mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan
agama, dan pada hakikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang
bertentangan dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan al-Qur’an.

2[2] Badiatul Muchlisin, 105 Tokoh Penemu & Perintis Dunia(Jakarta, PT


Buku Kita : 2009) Hal. 38

3
Hal semacam ini menurut al-Kindi, tidak dijadikan alasan untuk menolak filsafat,
karena hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
perbedaan antara keduanya, yaitu :
1) Filsafat termasuk humaniora yang dapat dicapai filosof dengan berpikir,
belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat
tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara
langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2) Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan
berpikir atau perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya dibawa Al-
Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
3) Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya
dengan keimanan.
Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia
tidak mendewa-dewakan akal.
b) Jiwa
Tentang jiwa, menurut al-Kindi, tidak tersusun, mempunyai arti penting,
sempurna dan mulia. Subtansi ruh berasal dari subtansi Tuhan. Hubungan ruh
dengan tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa
bersifat spiritual, ilahiyah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim
mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun
berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang
diajukan al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan
hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan
yang dilarang.
Dengan pendapat al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato
ketimbang penadapat Aristoteles. Aristoteles menagatakan bahwa jiwa adalah
baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa
materi, keduanya membentuk kesatuan insensial, dan kemusnahan badan
membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan plato berpendapatbahwa kesatuan
antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan
tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun al-Kindi tidak menyetujui Plato

4
yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa
mempunyai tiga daya, yakni : daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir.
Kendatipun bagi al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda
dengan qadimnya tuhan, qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh tuhan.3[3]
3. Karya- Karya Al-Kindi
Al-kindi dikenal juga sebagai penulis buku yang aktif. Diperkirakan karya
buku yang telah ditulisnya tidak kurang dari 270 buah yang membahas berbagai
bidang keilmuan dan persoalan umat. Berikut ini beberapa karya al-Kindi yang
terkenal :
a. Kitab al-Kindi ilaa al-Mu’tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula ( buku ini
membahas tentang kajian filsafat pertama )
b. Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah
wa ma Fawqa al-Thabi’iyyah ( membahas kajian filsafat dan berbagai masalah
yang berhubungan dengan logika, muskil, dan metafisika)
c. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyyah ( membahas berbagai rahasia
spritual dengan bahasa filosofis )
d. Risalah fi Annahu al-Jawahir la Ajsam ( mengkaji tentang subtansi-subtansi
tanpa badan )
B. Tokoh Filsafat Al-Farabi
1. Biografi Al-Farabi
Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan Abu Nasr al-farabi, lahir di wasij
dekat Farab, dikawasan ma wara’a an-nahr (Transoxiana) pada tahun 258 H/870
M. Dan meninggal pada tahun 339 H/950 M. Biografi al-Farabi tidak ketahui
dengan pasti, sebab ia tidak menulis biografinya sendiri seperti halnya filsuf lain.
Namun demikian, biografi al-Farabi masih dapat dijumpai pada karya Ibn
Khalikan, Wafarat al-A’yan, sekalipun menurut sebagian ahli terdapat kelemahan
yang perlu di kaji ulang. Dari data yang terhimpun menunjukkan bahwa al-Farabi

3[3]https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-
islam/tokoh-tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/ diunduh pada tanggal 01 desember 2017
pukul 11:20 WIB

5
berasal dari keluarga keturunan Turki, anak seorang jenderal, dan ia pernah
menjadi hakim.
Pendidikan dasar al-farabi dimulai dengan mempelajari ilmu agama dan
bahasa, yang meliputi Al-Qur’an, hadits, tafsir, fiqh, bahasa Arab, Persia, dan
Turki. Ia juga belajar matematika, falsafah, dan melakukan pengembaraan untuk
belajar ilmu-ilmu lain.
2. Pemikiran Filsafat Al-Farabi
a) Pemaduan pendapat Plato dan Aristoteles
Al-farabi melihat adanya perbedaan pendapat antara kedua tokoh filsafat
tersebut. Akan tetapi perbedaan itu menurut dia hanyalah dalam lahirnya saja, dan
tidak mengenai pesoalan pokok, karena kedua tokoh tersebut adalah sumber dan
pencipta filsafat. Apa yang dikatakan oleh kedua filosof tersebut juga satu, dan
oleh karena itu maka pikiran-pikiran filsafatnya tidak mungkin berbeda. Kalau ada
perbedaan, maka tidak lebih dari tiga kemungkinan yaitu :
· Definisi filsafat itu sendiri tidak benar.
· Pendapat orang banyak tentang pikiran filsafat dari kedua filosof tersebut tidak
benar.
· Pengetahuan kita tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar.
Menurut al-Farabi, definisi filsafat yang diberikan oleh plato dan aristoteles
tidak berbeda, yaitu mengetahui wujud karena ia wujud, seperti yang sering
dikatakan dalam karangannya masing-masing. Pendapat orang banyak tentang
pikiran-pikiran filsafat keduanya, dan kedudukannya dalam dunia islam filsafat
juga tidak diragukan kebenarannya. Tinggallah kemungkinan yang ketiga yaitu
bahwa perbedaan antara kedua filosof tersebut hanya dalam lahirnya saja.
Perbedaan lahir yang tidak sebenarnya itu boleh jadi dikarenakan: (1) cara hidup
masing-masing; (2) gaya bahasa karangan-karangannya; (3) sistem pemikirannya.
Akan tetapi dalam pembahasan berikut ini akan nampak kepada kita bahwa
ketiga perkara tersebut tidak cukup menimbulkan perbedaan-perbedaan pokok
pada pemikiran islam filsafat keduanya.

6
b) Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan
Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan
tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan
jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai
substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa
manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad
berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
c) Politik
Pemikiran al-farabi tentang politik banyak dipengaruhi oleh konsep plato.
Al-Farabi mengatakan bahwa bagian-bagian sesuatu negeri sangat erat
hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama, laksana anggota-anggota
badan dimana apabila salah satunya menderita maka lain-lain anggota pun ikut
merasakannya pula. Kesenangan pribadi harus dikenal dalam masyarakat yang
baik.4[4]
3. Karya-Karya Al-Farabi
Al-Farabi dikenal sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles, sang “guru
pertama”. Dia adalah filosof Islam pertama yang berupaya menghadapkan,
mepertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan politik (yunani) klasik dengan
islam. Berikut ini karya-karyanya dalam bidang humaniora : Syarh Kitab al-
Khathabah li Aristhuthalis (Uraian atas Buku retorika karya Aristoteles); Kitab fi
al-Khathabah (Buku tentang Retorika); Kitab fi Shina’ah al-Kitabah (Kitab
tentang Seni Menulis); Kitab fi al-Syi’r wa al-qawafi (Kitab tentang Syair dan
Rima persajakan); Kalam fi ma yashluhu an yudhama lahu al-muaddib (Wacana
tentang Apa yang seharusnya Dimiliki Seorang Pendidik); dan karya-karya tulis
lainnya dalam filsafat moral, ilmu musik, ilmu pemerintahan, dan strategi militer,
di samping Kitab Ihsha al-‘ulum wa tartibiha (Kitab tentang Cabang-Cabang ilmu

4[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta, PT Bulan Bintang :


1996) Hal. 95-96

7
dan Klasifikasinya), yang dua kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.5[5]
Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebenaran)
C. Tokoh Filsafat Ibnu Sina
1. Biografi Ibnu Sina
Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina atau yang secara umum dikenal
dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna (bahasa latin yang terditorsi dari bahasa
Hebrew Aven Sina) adalah seorang ensklopedis, filsuf, fisiologis, dokter, ahli
matematika, astronomer dan sastrawan. Bahkan, di beberapa tempat ia lebih
terkenal sebagai sastrawan dari pada seorang filsuf. Dia adalah ilmuan dan filsuf
muslim yang sangat terkenal dan salah seorang ilmuan dan filsuf terbesar
sepanjang masa. Diakui oleh semua orang bahwa pikirannya merepretasikan
puncak Filsafat Arab. Dia dipanggil oleh orang arab sebutan asy-Syaikh ar-
Rais.6[6]
Ia lahir di Afshanah, desa kecil dekat bukhara, 370 H/980 M, dan wafat di
hamdan, 428 H/1037 M. Ia adalah putra seorang pegawai tinggi pada Dinasti
Samaniah (204-395 H/819-1005 M). Pada usia yang sama, ia mengawali prosesi
sebagai seorang dokter dan menjadi sangat populer ketika ia berhasil mengobati
Nuh bin manshur (976-997 M), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Karena
kemampuan dan jasa-jasanya kepada penguasa, maka kemudian ia diangkat
sebagai menteri pada Dinasti Hamdani (293-394 H/905-1005) selama dua periode,
namun pada akhirnya ia dipecat dari jabatannya sebagai menteri, dan
dipenjarakan, karena pemikirannya dianggap merugikan penguasa.7[7]

5[5] George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Terj. A. Syamsu Rizal &
Nur Hidayah sunt. Dedi Slamet Riyadi (Jakarta : PT Seramabi Ilmu Semesta,
2005) hlm. 390-391
6[6] Ahmad zainul hamdi, tujuh filsuf muslim pembuka pintu gerbang
filsafat barat modern (yogyakarta, lkis pelangi aksara, 2004) hlm. 89
7[7] Muhammad Sholikhin, filsafat dan metafisika dalam islam (jakarta,
PT. Buku Kita :2008) Hal. 150

8
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
a) Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu sina membagi
manusia kedalam empat kelompok. Mereka yang kecakapan teoritisnya telah
mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak
lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah
mencapai suatu puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan
imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian
mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya
imajinatif. Lalu orang yang daya teoritisnya sempurna tetapi tidak praktis.
Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya
praktis mereka.
Nabi muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang nabi,
yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian
kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain,
melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa
kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong,
mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-
imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang
mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong
untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan
imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambagan dan pemberi
sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji
yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa
Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
b) Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi
sebelumnya, ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-Af’al.

9
Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya
dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaanya terletak pada
ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya tuhan dan manusia atau bertempatnya tuhan dihati diri
manusia tidak diterima oleh ibnu sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada
tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat
bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan
Tuhan, karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut.
Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah tetapi melalui akal fa’al.8[8]
3. Karya-Karya Ibnu Sina
Pemikiran keagamaan ibnu Sina sangatlah mendalam dan tajam. Pemikiran
keagamaan seperti inilah yang mempengaruhi pandangan filsafat, dan keyakinan
keagamaan yang secara simultan mewarnai alam pikiran Ibnu Sina sehingga
melahirkan beberapa karya besar, baik berupa buku, buku saku, dan kumpulan
surat-surat yang semuanya tidak kurang dari 276 buah, dan beberapa diantaranya
sampai saat ini masih dipakai sebagai rujukan universitas-universitas ternama
barat. karya-karya filsafat Ibnu Sina seperti kitab an-Najat dan As-Shifa’9[9] ,
Mantiq Al Masyriqin (Logika Timur), al-isyarat wat-Tanbihat, al-Hikmat al-
Masyriqiyyah, al-Qanun atau Canon of Medicine.10[10]
D. Tokoh Filsafat Al-Ghazali
1. Biografi Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i
(lahir di Thus : 1058 / 450 H – Meninggal di Thus ; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505
H : umur 52-53 Tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang
dikenal sebagai algazel di dunia barat abad pertengahan.
Ia berkunyah Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.
Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya bekerja sebagai pemintal

8[8]https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-islam/tokoh-
tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/ diunduh pada tanggal 30 november 2017 pukul 9:42 WIB
9[9] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta, Gema Insani
Pers : 2008) Hal. 268
10[10] Ahmad Hanafi, Op.Cit Hal. 117

10
bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan
Persia (Iran). Sedangkan gelar Syafi’i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi’i.
Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi
yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam al-Ghazali adalah
seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak
memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang
jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiya, pusat pengajian tinggi di
Baghdad. Imam al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505
Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya di kebumikan
di tempat kelahirannya.11[11]
2. Pemikiran Al-Ghazali
Pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan
penuh kegoncangan batin, sehingga sukar diketahui kesatuan dan kejelasan corak
pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosos dan
terhadap aliran-aliran akidah pada masanya.
Sikapnya terhadap filosof-filosof dalam bukunya tahafut al-falasifah dan Al-
Munqidh min adh-Dhalal, al-Ghazali menentang filosof-filosof Islam. Bahkan
mengkafirkan mereka dalam tiga soal : (1) pengingkaran kebangkitan jasmani; (2)
membataskan Ilmu Tuhan kepada Hal-hal yang besar saja; dan (3) kepercayaan
tentang qadimnya alam dan kezalimannya. Akan tetapi dalam bukunya yang lain,
yaitu Mizan al- Amal, dikatakan bahwa ketiga-tiga persoalan tersebut menjadi
kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Juga dalam bukunya al-Madlnun ‘Ala
Ghairi Ahlihi ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam Al-Munqidh min
adh-Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah
kepercayaan orang-orang tasawuf.
Akan tetapi dalam bukunya yang lain lagi, Mi’raj as-Salikin ia menentang
orang-orang tasawuf yang mengatakan adanya kebangkitan rohani saja. Jadi al-
Ghazali menentang kepercayaan dalam tiga soal tersebut dalam beberapa
bukunya, tetapi mempercayai dalam buku-bukunya yang lain. Tafisran para

11[11] https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hamid_Muhammad_al-
Ghazali#Filsafat di unduh pada tanggal 18 November 2017 pukul 11:35 WIB

11
pembahas disini berbeda-beda. Menurut Ibnu Tufail, perlawanan tersebut memang
suatu kontradiksi benar-benar dari pikiran al-Ghazali. Menurut Ibnu Shanah,
karena al-Ghazali dari aliran ahlusunnah, maka pikiran-pikiran dan buku-buknya
yang berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari al-Ghazali, seperti buku
al-Madlnun ‘Ala Ghairi Ahlihi.
Menurut dr.Zaki Mubarak dalam bukunya al-Akhlaq ‘Indaal-Ghazali,
perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pikiran al-Ghazali,
mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang
namanya, meningkat menjadi guru, bahkan menjadi guru yang tenar-kenamaan.
Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dari menguasai dan mneyikapi macam-
macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia
dengan pembahasan dan buku-bukunya.
3. Karya-Karya Al-Ghazali
Al-Munqidh min adh-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan
sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan
sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan. Al-Iqtishad
fi al-I`tiqad (modernisasi dalam aqidah) Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan
dalam beri’tiqod), Al-Risalah al-Qudsiyyah, Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din,
Mizan al-Amal, Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah, Maqasid al-
Falasifah (tujuan para filusuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi
masalah-masalah filsafat, Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-
kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rusd dalam
buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), al-Madlnun ‘Ala
Ghairi Ahlihi.
E. Tokoh Filsafat Ibnu Rusyd
1. Biografi Ibnu Rusyd
Abu Walid Muhammad bin Rusyd lahir di Kordoba (Spanyol) pada tahun 520
Hijriah (1128 Masehi). Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal
pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai
banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran,

12
hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far
Harun dan Ibnu Baja.
Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan
pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk
mengabdi sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd
dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang
memengaruhi filsafat Kristen pada abad pertengahan, termasuk pemikir
semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk
mengkonsultasikan masalah kedokteran dan masalah hukum.
2. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
a) Pemikiran Epistimologi Ibn Rusyd
Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, Ibn Rusyd berpandangan bahwa
mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa
filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang lantas orang berusaha menarik
pelajaran/ hikmah/ ‘ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan
Sang Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau
tentang ciptaan Tuhan, maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan
tentang adanya Tuhan. Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin
menjauh dengan dasar-dasar Syar’i maka ada beberapa kemungkinan pertama, ia
tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia
filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk tidak terseret
pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga, ketiadaan pendamping /
guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang
suatu objek pemikiran tertentu.
b) Pemikiran Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah
penggerak pertama ( Muharrik al-Awwal). Sifat positif yang dapat diberikan
kepada Allah ialah “akal”, dan “Maqqul” wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan
ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya. Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan
jelas sekali merupakan Aristoteles, Plotinus, al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping
keyakinan agama islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan “Esa” merupakan

13
ajaran islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah
dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya.
3. Karya-Karya Ibnu Rusyd
Buku-buku yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat, yaitu :
a) Bidayatul-Mujtahid, ilmu fiqih. Buku ini bernilai tinggi, karena berisi
perbandingan empat mazhabi dalam fiqh denga menyebutkan perbandingan-
perbandingannya.
b) Faslul-Maqal fi ma baina al-Hikmati was-Syari’at min al-ittisal (ilmu
kalam). Buku ini dimaksudkan untuk menunjukkan adanya persesuaian antara
filsafat dan syari’at, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa jerman
pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
c) Manahij al-Adillah fi aqaidi Ahl al-Millah (Ilmu kalam). Buku ini
menguraikan tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-
kelemahannya, dan sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa jerman, juga
oleh Muler, pada tahun 1895.
d) Tahafut at-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat dan
ilmu kalam, dan dimasukkan untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali
dalam bukunya tahafut al-falasifah. Buku tahafut at-tahafut berkali-kali
diterjemahkan kedalam bahasa jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa
inggris oleh van den berg terbit pada tahun 1952 M.12[12]

12[12] Ahmad Hanafi, Op.Cit Hal.165-166

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat islam merupakan pengaruh dari filsafat yunani namun tujuan
dalam filsafat islam bukanlah untuk menentang al-hikmah yang hakiki. Banyak
cendikiawan muslim yang berusaha mengeluarkan hasil pemikirannya yang
merupakan suatu korelasi dalam syari’at islam. Ilmu filsafat pada mulanya ialah
suatu ilmu yang ditentang keras akan tetapi dengan munculnya filsuf-filsuf
muslim yang berusaha mendudukan ilmu filsafat ini dengan islam menjadikan
ilmu filsafat menjadi ilmu yang seharusnya dipelajari umat muslim sebagai
pijakan dalam berargumen dan menegaskan apa yang telah disampaikan dalam al-
qur’an.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung
jawabkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta, PT Bulan Bintang : 1996)


Ahmad Zainul Hamdi, tujuh filsuf muslim pembuka pintu gerbang filsafat barat
modern (yogyakarta, lkis pelangi aksara, 2004)
Badiatul Muchlisin, 105 Tokoh Penemu & Perintis Dunia(Jakarta, PT Buku Kita
: 2009)
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam, Terj. A. Syamsu Rizal & Nur
Hidayah sunt. Dedi Slamet Riyadi (Jakarta : PT Seramabi Ilmu Semesta, 2005)
https://menantikau.wordpress.com/kumpulan-makalah/metodologi-studi-
islam/tokoh-tokoh-filsafat-islam-dan-pemikirannya/ diunduh pada tanggal 01
desember 2017 pukul 11:20 WIB
https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hamid_Muhammad_al-Ghazali#Filsafat di
unduh pada tanggal 18 November 2017 pukul 11:35 WIB
Muhammad Sholikhin, filsafat dan metafisika dalam islam (jakarta, PT. Buku
Kita :2008)
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta, Gema Insani Pers :
2008)

16

Anda mungkin juga menyukai