Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga Makalah yang berjudul “Pemikiran Al-Kindi dan Al-Farabi” telah dapat
diselesaikan. Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak Sufandi Iswanto,
M.Pd. yang telah memberikan tugas ini serta membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai pemikiran Al-
kindi dan Al-Farabi.
Penulis telah berusaha keras membuat makalah ini dengan semaksimal
mungkin untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Intelektual. Namun apabila
terdapat kekeliruan, penulis memohon kritik dan saran dari semua pihak, demi
penyempurnaan makalah ini.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
2.1 Al-Kindi ....................................................................................................... 3
2.1.1 Biografi Al-Kindi .................................................................................. 3
2.1.2 Karya Tulis Al-Kindi ............................................................................ 5
2.1.3 Pemaduan Filsafat dan Agama ............................................................. 5
2.1.4 Fisafat Ketuhanan ................................................................................. 7
2.1.5 Filsafat Jiwa ............................................................................................. 10
2.1.6 Pengaruh Filsafat Al-Kindi Terhadap Dunia Islam .................................. 12
2.2 Al-Farabi .................................................................................................... 12
2.2.1 Biografi Al-Farabi............................................................................... 12
2.2.2 Karya Tulis ......................................................................................... 13
2.2.3 Pemikiran Al-Farabi ........................................................................... 14
2.2.4 Penciptaan Alam (Emanasi)............................................................... 14
2.2.5 Negara Ideal (al-Madinah al-Fadhilah).............................................. 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida
studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia terkenal
dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar setelah panutannya Aristoteles.
Ia termasyhur karena telah memperkenalkan “Harmonisasi pendapat Plato dan
Aristoteles”. Ia mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai. Di kalangan
pemikir Latin ia dikenal sebagai Abu Nashr atau Abu Naser.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penulisan makalah ini, antara
lain:
Dibuatnya makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah juga
semoga dapat diambil manfaatnya oleh penulis dan pembaca yang tentunya dapat
dipahami dan di mengerti seperti:
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Al-Kindi
2.1.1 Biografi Al-Kindi
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’cup Ibnu Ishaq Ibnu Al-
Shabbah Ibnu Imron Ibnu Muhammad Ibnu Asy’as Ibnu Qais Al-Kindi. Al-Kindi
dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan
terhormat. Ayahnya bernama Ibnu Al-Sabah. Sang ayah pernah menduduki
jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun
Ar-Rasyid (786-809). Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang
pendidikannya. Ia pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan
teologi Islam. Kemudian selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota
kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa
itu.1
Al-Kindi dikenal berotak encer, tiga bahasa penting dikuasainya, yakni
Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era
itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, ia dapat
menguasai ilmu filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis,
astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorology. Penguasaanya terhadap
filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang
berkebangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulala ia
dinilai pantas menyandang gelar Failsuf al-‘Arab (Filosof berkebangsaan Arab).
Unsur-unsur filsafat pada pemikiran Al-Kindi, antara lain:
1. Aliran Pythagoras tentang matemaika sebagai jalan kearah filsafat
2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika meskipun
al-kindi tidak sepakat dengan Aristoeles tenang qadimnya alam.
3. Pikiran-pikiran Plato salam soal kejiwaan.
4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
1
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 37.
3
5. Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan
dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
6. Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalm
menakwilkan ayat-ayat Quran.
2
Fuad Ahwani, Para Filosof Muslim. (Bandung, Mizan, 1996) . Hal. 12-3.
3
Atiyeh, George N, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, terj. Kasidjo Djojosuwarno,
(Bandung, Pustaka, 1983). Hal. 9.
4
2.1.2 Karya Tulis Al-Kindi
Al-Kindi termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam kegiatan tulis
menulis, ia meninggalkan banyak karya tulis. Setidaknya ada 270 buah karya tulis
yang teridentifikasi, yang dapat diklasifikasi dalam 17 kelompok: (1) filsafat, (2)
logika, (3) ilmu hitung, (4) globular, (5) music, (6) astronomi, (7) geometri, (8)
sperikal, (9) medis, (10) astrologi, (11) dialektika, (12) psikologi, (13) politik,
(14) meteorology, (15) besaran, (16) ramalan, (17) logam dan kimia. 53 karya
tersebut menunjukkan luasnya wawasan dan pengetahuan al-Kindi. Beberapa
karyanya telah diterjemahkan oleh Gerard (1114–1187 M), tokoh dari Cremona,
Italia, ke dalam bahasa Latin dan memberi pengaruh besar pada pemikiran Eropa
abad-abad pertengahan. Karena itu, Gerolamo Cardano (1501-1576 M), seorang
tokoh matematika asal Italia, menilai al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir
besar dunia yang dikenal di Eropa saat itu.4 Untuk lebih jelasnya di bawah ini
dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi.5
1. Fi al falsafat al-‘Ula
2. Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Fasafat
3. Risalat ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lu
4. Risalat fi Ta’lif al-A’dad
4
Fuad Ahwani, Para Filosof Muslim. (Bandung, Mizan, 1996) . Hal. 12-3.
5
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 43.
6
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 43-44.
5
ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu adalah satu (tidak banyak).
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaannya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu yang
mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat. Hal seperti
ini juga dibawa oleh para Rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah
dan memastikan keutamaan yang diridloi-Nya.
Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Ia mulai
membicarakan kebenaran. Menurutnya kita tidak boleh malu untuk mengakui
kebenaran dan mengambilnya, dari manapun datangnya, meskipun dari bangsa
lain ataupun orang asing.7 Sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa
kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan
sumbernya, sekalipun sumber tersebut dari orang asing. Kemudian, usaha
berikutnya ia masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Dalam usaha
pemaduannya ini,
Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Alquran. Menurutnya menerima
dan mempelajari filsafat sejalan dengan Alquran yang memerintahkan
pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini.
Di antara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut: “Maka ambillah (Kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Al Hasyr:
2)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu
dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan” (Al-Baqarah: 164).
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosof
terhadap Alquran, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal
serta antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan
antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut.8
7
Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h. 104.
8
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 47.
6
1. Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling
bersesuaian.
3. Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.
9
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 28-49.
.
7
sebelumnya. Al-Kindi berpendapat bahwa Tuhan itu ada (wujud) yang sebenar-
benarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan selalu
ada dan akan ada selamanya. Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak
didahului wujud yang lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lain
disabakan wujud-Nya. Ia Maha Esa dan tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat
lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan dilahirkan.
Dan Tuhan yang Maha Esa itu adala Allah.
Menrut Al-Kindi benda-benda yang ada di alam ini mepunyai dua hakikat
yaitu hakikat juz’iyyah atau aniyah (sebagian) dan hakikat kulliyah atau mahiyyah
(keseluruhan).10 Allah dalam filsafat AI-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam
arti 'aniah dan mahiah. Tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai
sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak
tersusun dari mater dan bentuk. Akan tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat
dalam bentuk mahiyah. Bagi Al-Kindi, Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak
ada yang setara dengan-Nya. Dialah Ying Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan
Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Selain dari-Nya, semuanya
mengandung arti banyak.11
Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Allah bagi Al-Kindi, adalah
Pencipta alam semesta dan mengaturnya, yang disebut dengan ibda'. Pendapatnya
ini berbeda dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah sebagai
Penggerak Pertama yang tidak bergerak. Di sini terlihat Al-Kindi sekalipun
terpengaruh oleh filsafat Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada
di dalamnya, tetapi ia menyesuaikannya. dengan ajaran Islam. Untuk
membuktikan adanya Allah, Al-Kindi memajukan tiga argumen:
1. Baharunya alam
2. Keanekaragaman dalam wujud
3. Kerapian alam.
Tentang dalil atau argumen baharunya alam telah lazim dikenal di
kalangan kaum teolog sebelum Al-Kindi. Akan tetapi, Al-Kindi
10
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 47.
11
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), h. 356.
8
mengemukakannya secara filosofis. Ia berangkat dari pertanyaan, apakah
mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas Al-Kindi
menjawab, bahwa itu tidak mungkin karena alam ini mempunyai permulaan
waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan. Justru itu setiap
benda, ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang
menjadi sebabnya. Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari
tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah.
Tentang argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, kata Al-
Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa
keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini
bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau yang merancangnya.
Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri, dan jika alam yang menjadi
sebabnya akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu,
sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Justru itu, sebabnya harus yang
berada di luar alam sendiri, yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia, dan lebih
dahulu adanya dari alam, yang disebut dengan Allah SWT.12
Dalam uraian di atas, Al-Kindi menyebut dua sebab: pertama, sebab yang
sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan. Ia adalah Allah Yang Maha
Esa, Pencipta Tunggal alam semesta. Kedua, sebab yang tidak sebenarnya. Sebab
ini adanya lantaran, sebab lain dan sebab-sebab itu sendiri adalah sebab-sebab dari
efek-efek lain. Sebab-sebab seperti ini jelas berkehendak dan membutuhkan yang
lain tanpa berkesudahan. la bukanlah dinamakan sebab yang menciptakan alam
ini.
Tentang argumen yang ketiga, kerapian alam, Al-Kindi menegaskan
bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada
yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang
berada di luar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat
diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di alam ini.
Zat itulah yang disebut dengan Allah SWT.13
12
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 53.
13
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 54.
9
2.1.5 Filsafat Jiwa
Kaum filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang
diistilahkan Alquran dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa
Indonesia dalam bentuk nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam
pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan
yang kurang baik sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata
hawa, yakni hawa nafsu.
Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara
tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu
adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia (pada surah Al-Isra’: 85) Justru
itu, kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang
dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran
Islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan
bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam,
dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya
berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan
cahaya dengan inatahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda
dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.14
Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi ialah
jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia
untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan
indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu
sebagai yang dilarang.
Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa
manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk.
Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan badan
14
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 59.
10
sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa
mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau
badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Dalam hal ini pendapat Al-
Kindi lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara
jiwa dan badan adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa
pada jiwa.
Al-Kindi juga menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya
yaitu daya bernafsu yang terdapat di perut, daya marah yang terdapat di dada, dan
daya pikir yang berpusat dikepala.15 Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal.
la gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui
hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi
tiga macam yaitu:16
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar
jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu
berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat
potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah
sebagai berikut:
a. Ia adalah Akal Pertama
b. Ia selamanya dalam aktualitas
c. Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
d. Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya
2. Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri
manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-
bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari
potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran
abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan
15
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 60.
16
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hal. 61-62.
11
positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana
cara menulis.
2.2 Al-Farabi
2.2.1 Biografi Al-Farabi
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn
Uzalagh al-Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872, selisih satu tahun setelah
wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah
17
c
12
dengan wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah
al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir pemikiran filsafatnya dalam
menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq)
dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim
tsāni), layak disematkan. Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para
sarjana Kristen Yuhanna ibn Hailan (910 M) dan Abu Bisyr Mattan (940 M),
perlu segera dicatat bahwa, Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi
filsafat dan kedokteran di Alexandria. Pertemuan dan pergumulan pemikiran di
Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat
Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, 16 Al-Farabi dalam perkembangannya
juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (974 M), seorang penerjemah Kristen
Nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj.18 Karir pendidikannya cukup
panjang hingga pada tahun 330/941 M. Al-Farabi meninggalkan Baghdad menuju
Aleppo kemudian ke Kairo dan menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus,
tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339 H atau Desember 950 M.19
18
Sayyed Husein Nashr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I, Terj.
Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, Cet I. 1424H/2003 M), 221.
19
Qosim Nurseha, “Al Farabi Dan Filsafat Kenabian”, Jurnal Kalimah. Hal. 126.
13
Hurūf karya Aristoteles dan ia membacanya berulangkali hingga 40 kali, akhirnya
berlabuh pada karya al-Farabi yang berjudul Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb
mā Ba’da al-Thabī’ah kemudian tersingkap ‘tabir gelap’ isi pemikiran karya
Aristoteles tersebut.
1. Kesatuan Filsafat
Menurut Al-Farabi, pemikiran para filsuf Yunani (khususnya Plato dan
Aristoteles) pada hakikatnya merupakan suatu ksatuan yang sistematik,
sehingga tidak terdapat pertentangan di antara kedua tokoh tersebut.
Pemikiran ini di tuangkan kedalam karyanya, Al-jam’u Bayna Ra’yay al-
Hakimyn : Afalton wa Aristo.
2. Ketuhanan
Membicaarakan ketuhanan Al-Farabi mengtakan : “Allah adalah
wujud yang tidak mempunyai hole (benda) dan tidak mempunyai form
(bentuk) yang sifatnya asli dan tanpa permulaan, serta selalu ada tiada
akhir. Untuk membuktikan kesempurnaan wujud tuhan, Al-Farabi
membagi wujud dalam dua tingkatan yaitu :
a. Wujud yang ada atau mungkin ada karena/ di sebabkan yang
lainnya,(al-wujud bighairi)
b. Wujud yang mengada dengan sendirinya,( al-wujud binafsihi).
14
tuhan, maka Alam di ciptakan bukan dari tiada melainkan dari suatu potensi
(esensi) yang sudah ada, langsung dari tuhan. Rumusan itu tertuang dalam teori
Emanasi atau teori Urutan-urutan wujud.
Dari teori di atas terdapat sembilan akal dan sepuluh wujud yang
membatasi tuhan dengan alam semesta, melalui teori ini ada dua hal yang ingin di
tampilkan Al-Farabi:
a. Al-Farabi menyatakan bahwa di antara tuhan dengan manusia terdapat
jarak yang sangat jauh. dengan adanya jarak ini keesaan tuhan tetap utuh.
15
Al-Farabi tetap berpegang pada asa bahwa dari yang satu pasti satu yang
muncul.
b. Melalui teori ini pula, Al-Farabi berupaya sejalan dengan ajaran islam
tentang adanya permulaan ciptaan.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad dan Mudzakir Syadali, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Nurseha Dzulhadi, Qosim. 2014. “Al Farabi Dan Filsafat Kenabian”, Jurnal
Kalimah, Maret, volume. 12.
Sirajudin Zar. 2004. Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
18