Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Islam
Disusun Oleh:
Assalaamu’alaikum wr.wb
Pertama-tama kami ingin memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa. Yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami berjudul “Pemikiran Filsafat
Al-Kindi”.
Dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini terbantu dengan bimbingan dari
dosen mata kuliah kami yaitu dosen mata kuliah Filsafat Islam. Tak lepas dari
do’a orang tua kami untuk anaknya yang sedang menuntut ilmu dan kerja sama
anatar kelompok yang memperlancar proses pembuatan karya ini. Untuk itu, kami
sangat saling berterimakasih baik satu sama lain dan kepada pihak yang
bersangkutan.
Semoga semua bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak kepada kami
senantiasa mendapat balasan pahala dari Allah SWT, dan semoga karya tulis
sederhana ini dapat memberikan konstribusi positif kepada pembaca dalam
memahami filsafat terutama dari teori atau pemikiran Al-Kindi.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB 1................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................1
BAB 2................................................................................................................................2
PEMBAHASAN................................................................................................................2
a. Metafisika..........................................................................................................4
c. Konsep Etika...................................................................................................11
d. Jiwa..................................................................................................................12
e. Moral...............................................................................................................13
BAB 3..............................................................................................................................15
PENUTUPAN..................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................15
3.2 Saran...............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................17
ii
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui siapa itu Al-Kindi.
2. Mengetahui bagaimana teori atau pemikiran Al-Kindi.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2
induk karya-karya filsafat saat itu. Berkat kemampuannya itu juga, al-Kindi
mampu memperbaiki hasil-hasil terjemahan orang lain, misalnya hasil
terjemahan Ibn Na`ima al-Himsi, seorang penterjemah Kristen, atas buku
Enneads karya Plotinus (204-270 M); buku Enneads inilah yang dikalangan
pemikir Arab kemudian disalahpahami sebagai buku Theologi karya
Aristoteles (348-322 SM).6Berkat kelebihan dan reputasinya dalam filsafat
dan keilmuan, al-Kindi kemudian bertemu dan berteman baik dengan
khalifah al-Makmun (813-833 M), seorang khalifah dari Bani Abbas yang
sangat gandrung pemikiran rasional dan filsafat. Lebih dari itu, ia diangkat
sebagai penasehat dan guru istana pada masa khalifah al-Muktashim (833-
842 M) dan al-Watsiq (842-847 M). Posisi dan jabatan tersebut bahkan masih
tetap dipegangnya pada awal kekuasaan khalifah alMutawakkil (847-861 M),
sebelum akhirnya ia dipecat karena hasutan orang-orang tertentu yang tidak
suka dan iri atas prestasi-prestasi akademik yang dicapainya. Sikap iri dan
permusuhan dari kalangan tertentu seperti inilah yang tampaknya juga telah
memunculkan informasi-informasi negative tentang watak dan sifat al-Kindi.
Misalnya, al-Kindi ditampilkan sebagai sarjana yang mempunyai sifat pelit
dan kikir. Sifatnya ini bahkan ditonjolkan sebanding dengan tingkat
popularitas dan prestasi keilmuannya. Namun, George N Atiyeh (1923-2008
M) meragukan kebenaran informasi tersebut. Sebab, menurutnya, para
pengkritiknya juga tidak dapat melakukan hal lain kecuali memuji prestasi-
prestasi akademik dan filsafatnya. Selain itu, beberapa informasi lain justru
menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa alKindi mempunyai watak yang mulia,
berperilaku sebagai orang yang bermartabat, penuh dedikasi dan tulus.
Al-Kindi meninggal di Baghdad, tahun 873 M. Menurut Atiyeh, al-Kindi
meninggal dalam kesendirian dan kesunyian, hanya ditemani oleh beberapa
orang terdekatnya. Ini adalah ciri khas kematian orang besar yang sudah tidak
lagi disukai, tetapi juga sekaligus kematian seorang filosof besar yang
menyukai kesunyian. Al-Kindi meninggalkan banyak karya tulis. Setidaknya
ada 270 buah karya tulis yang teridentifikasi, yang dapat diklasifikasi dalam
17 kelompok yaitu : filsafat, logika, ilmu hitung, globular, music, astronomi,
3
geometri, sperikal, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik,
meteorology, besaran, ramalan, logam dan kimia.
Cakupan karya-karya tersebut menunjukkan luasnya wawasan dan
pengetahuan al-Kindi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan oleh Gerard
(1114–1187 M), tokoh dari Cremona, Italia, ke dalam bahasa Latin dan
memberi pengaruh besar pada pemikiran Eropa abad-abad pertengahan.
Karena itu, Gerolamo Cardano (1501-1576 M), seorang tokoh matematika
asal Italia, menilai al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir besar dunia
yang dikenal di Eropa saat itu.
4
Al-Kindi membedakan sesuatu yang ada (wujud/being)
menjadi dua, sesuatu yang bersifat indrawi (al-mahsus) dan yang
bersifat akali (al-ma’qul). Ilmu yang mempelajari sesuatu yang
bersifat indrawi (al-mahsus) disebut dengan ilmu fisika (thabi’i),
sedangkan ilmu yang mempelajari sesuatu yang bersifat akali (al-
ma’qul) disebut dengan ilmu metafisika (al-falsafah al-‘ula). Dan
tiap-tiap benda memiliki dua hakikat. Hakikat sebagai juz’i yang
disebut aniah, dan hakikat sebagai kulli yang disebut mahiah
(hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species).
Juz’i yang dinisbatkan kepada individu yang tampak itu menjadi
bahan kajiannya ilmu fisika (thabi’i), sedangkan metafisika
mengkaji segala sesuati yang bersifat kulli, mengkaji atas mahiah
sesuatu. Menurutnya, yang terpenting bukanlah juz’iah yang tak
terhingga banyaknya itu, tetapi hakikat yang terdapat dalam
juz’iah itu, yaitu kulliah (universal).
2. Alam Semesta
Salah satu problem terpenting di kalangan filosuf muslim
adalah pembicaraan mengenai penciptaan alam semesta.
Dikatakan sangat penting, karena problem ini sangat erat
kaitannya dengan konsep tauhid (the unity of God). Telah
dibahas sebelumnya, bahwa al-Kindi termasuk seorang filosuf
muslim yang tengah berusaha memadukan antara filsafat Yunani
dengan Islam. Karena itu, dalam permasalah yang krusial ini, ia
lebih memilih berpendapat bahwa alam ini diciptakan sesuai
dengan apa yang diinformasikan oleh al-Quran, oleh sebab alam
ini diciptakan maka alam ini tidaklah kadim. Menurut al-Kindi,
alam ini disebabkan oleh sebab yang jauh (‘illat ba’idat ilahy),
yakni Allah. Ia menciptakan alam dari tiada menjadi ada
(creation ex nihilo).
Pendapat al-Kindi di atas berbeda sama sekali dengan para
pendahulunya, Plato (490 SM), Aristoteles (384-322 SM) dan
5
Plotinus (205-270 SM) yang tidak pernah berpendapat bahwa
alam ini diciptakan dari tiada menjadi ada. Menurut mereka,
alam ini diciptakan dari benda yang sudah ada sebelumnya
dengan cara emanasi. Sebelum Aristoteles, Pricles atau Proclus
(411-405 SM) berpendapat bahwa alam ini bersifat kekal dan
juga gerak alam ini kekal. Ia mengemukakan delapan alasan
untuk membuktikan bahwa alam ini kekal. Pendapat mereka ini
dibantah oleh al-Kindi dengan metodologi yang belum pernah
ada sebelumnya. Menurut George N. Atiyeh, al-Kindi
menggunakan ilmu matematika (mathematical) dan logika
(logical reasoning). Usaha al-Kindi nampaknya tidak didukung
oleh beberapa filosuf muslim, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.
Untuk problem penciptaan alam semesta, mereka lebih memilih
pendapatnya para filosuf Yunani dengan sedikit perubahan dalam
konsep emanasi daripada al-Kindi.
Tentang baharunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga
argument, yakni gerak (motion), zaman (time) dan benda (body).
Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak
menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan
adanya benda. Mustahil kiranya ada gerak tanpa adanya benda.
Ketiganya sejalan dan akan berakhir.
Lebih lanjut al-Kindi mengemukakan beberapa argument
untuk menetapkan baharunya alam.
o Semua benda yang homogen, yang tidak padanya lebih
besar ketimbang yang lain, adalah sama besar.
o Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama
besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan
potensialitas.
o Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak
mempunyai batas.
6
o Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan
homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka
keduanya menjadi tidak sama besar.
o Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih
kecil daripada benda semula.
o Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu
dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah
benda yang sama seperti semula.
o Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak
mempunyai batas bisa lebih kecil ketimbang yang lain.
o Jika benda-benda homogen yang semuanya mempunyai
batas ditambahkan bersama, maka jumlahnya akan
terbatas.
Atas dasar itulah, al-Kindi berkesimpulan bahwa alam ini
pastilah terbatas, dan ia menolak secara tegas pandangan
Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas
atau kadim. Pasalnya seandainya alam ini tidak terbatas, lalu
diambil sebagian, maka yang tinggal, apakah terbatas, ataukah
tidak terbatas? Jika yang tinggal terbatas, bila ditambahkan
kembali kepada bagian yang dipisahkan, maka hasilnya tentu
terbatas pula dan inilah yang benar, tetapi bertentangan dengan
pengandaian semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau diambil
sebagiannya, tidak terbatas. Sekiranya yang tinggal setelah
diambil itu tidak terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum
diambil juga tidak terbatas, maka berarti benda itu sama besar
dengan bagiannya, dan ini kontradiktif dan tidak dapat diterima.
3. Tuhan
Setelah membuktikan bahwa alam semesta ini diciptakan pada
suatu masa (muhdats), kemudian al-Kindi hendak
mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai Dzat yang
7
menciptakan (muhdits). Untuk membuktikan adanya Allah Sang
Pencipta, al-Kindi mengajukan beberapa argument.
Pertama, bukti adanya Allah adalah diciptakannya alam
semesta pada suatu masa. Apapun yang diciptakan pada suatu
masa, maka ia mempunyai pencipta. Setiap yang memiliki
permulaan waktu maka ia akan berkesudahan.
Argumen kedua adalah keaneragaman alam. Sebelum
berargumen, al-Kindi menjelaskan makna dari istilah ‘satu’
(one/wahid). Kata ‘satu’ adalah istilah yang merujuk pada ‘satu’
(single) dari kumpulan beberapa objek dan merujuk pada ‘Esa’
(One), Sang Pencipta. Untuk makna pertama, ia tersusun dari
beberapa objek, dan dapat dibagi (divisible) kedalam beberapa
bagian. Sedangkan untuk makna kedua (One-ness, the Creator),
Ia adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi (indivisible). Selain
‘Yang Esa’ (One-ness) berarti berragam (multiple). Ketiadaan
Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan yang berragam. Yang
Esa (One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dia lah Allah
Sang Pencipta.
Argument ketiga adalah bahwa segala sesuatu mustahil dapat
menjadi penyebab atas dirinya sendiri. Karena jika ia sendiri
yang menyebabkan atas dirinya maka akan terjadi tasalsul
(rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu,
sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena itulah,
penyebabnya harus dari luar sesuatu itu, yakni Dzat Yang Maha
Baik dan Maha Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada sesuatu
itu. Ia adalah Allah swt, Dzat yang Maha Pencipta.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam
arti ‘aniah atau mahiah. Bukan ‘aniah karena Tuhan tidak
termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia
adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi (al-hayula)
dan bentuk (al-shurat). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat
dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak termasuk genus atau
8
species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan
Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar Pertama (al-
Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid).
Ia semata-mata satu. Selain dari-Nya mengandung arti banyak.
Sebagaimana kebanyakan umat Islam, Tuhan bagi al-Kindi
adalah pencipta (mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam
beserta isinya. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya Tuhan
tak memiliki ciri-ciri seperi Tuhan Penyelenggara atau Pencipta,
sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia
memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan,
menurutnya adalah penyebab gerak, akan tetapi dirinya sendiri
tidak harus bergerak. Tuhan melahirkan sesuatu yang bergerak
(alam semesta) dengan jalan dicintai. Jadi bagi al-Kindi, Tuhan
bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam pengertian dari tiada
menjadi ada. Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The Prime
Mover bukan The Creator.
9
yang seluruhnya bercorak Platonis. Menurut Al-Kindi Filsafat adalah
ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan manusia yang
meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan
(fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi kehidupan manusia.
Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para filosof dalam berteori
adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan
amal perbuatan dalam tindakan, semakin dekat manusia pada kebenaran,
akan semakin dekat pula pada kesempurnaan (Basri, 2013).
Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengetahui hakikat suatu
sejarah batas kemampusn manusia. Tujuan filsafat dalam teori adalah
mengetahui kebenaran, dan dalam praktik adalah mengamalkan
kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur dan mulia adalah filsafat
pertama (Tuhan), yang merupakan sebaba (‘illah) bagi setiap
kebenaran/realitas. Oleh karena itu, filosof yang paling sempurna dan
mulia harus mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui
‘illah itu lebih mulia dari mengetahui akibat/ma’mul-nya, karena kita
hanya mengetahui sesuatu dengan sempurna bila mengetahui ‘illah-nya.
Pengetahuan tentang ‘illah pertama merupakan pengetahuan yang
tersimpul mengenai semua aspek lain dari filsafat. Dia, ‘illah pertama,
Tuhan, adalah paling mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib ilmiah,
dan mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman (Syam,
2010: 47). Dalam upaya perpaduan agama dan filsafat yang dilakukan
Al-Kindi didasari pada keyakinan bahwa kitab suci al-Qur’an telah
mewartakan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan seputar ihwal
kebenaran yang tidak akan pernah bertentangan dengan doktrin yang
dihasilkan filsafat. Hanya saja, proses pemaduan agama dan filsafat tidak
mungkin terlaksana tanpa mengakui keberadaan alat kerja agama dan
filsafat yang sama. Bagi Al-Kindi, fakta bahwa filsafat bersandar pada
kemampuan akal (rasionalitas) tidak berbeda dengan fakta bahwa doktrin
agama jga memerlukan akal sebagai alat untuk memahami ajaranya. Ini
berarti, Al-Kindi menaruh hormat yang tinggi pada anugerah akal
10
dengan cara memaksimalkan kerja akal dalam mencapai pengetahuan
akan kebenaran (Basri, 2013: 38).
Meskipun banyak merujuk kepada Aristoteles, Al-Kindi tidak
membatasi peran filsafat pada pemikiran abstrak semata-mata. Sebagai
muslim yang baik, dia meyakini peran penting filsafat dalam
mendampingi agama. Kebenaran yang dicari oleh para filosof tidak
berbeda dengan kebenaran yang disampaikan oleh para nabi kepada
umat manusia. Kebenaran yang disampaikan oleh “Nabi Muhammad
Saw. Yang berkata benar dan yang diterimanya dari Allah”, bagi
AlKindi, bisa dibuktikan melalui pijakan-pijakan rasional (Fakhry, 2001:
27). Al-Kindi (Basri, 2013) dalam karyanya Kammiyah Kutub
Arsithateles memaparkan perbedaan antara doktrin agama dan filsafat
sebagai berikut :
1. Filsafat merupakan bagian dari humaniora yang dicapai para
filosof melalui proses panjang pembelajaran, sedangkan agama
adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkatan tertinggi karena
diperoleh tanpa proses pembelajaran dan hanya diterima secara
langsung oleh para Rasul melalui proses pewahyuan.
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian dan memerlukan
perenungan yang mendalam. Sedangkan agama lewat kitab suci
memberikan jawaban yang pasti dan meyakinkan.
3. Filsafat menggunakan metode Logika, sedangkan agama
mendekati persoalan manusia dengan keimanan.
c. Konsep Etika
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah
budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan
asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal
ini dibagi lagi menjadi tiga :
11
1. Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat teoritik
yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki;
bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
2. Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah;
passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang
memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus
dicapai dan menolak yang harus ditolak.
3. Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus
diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang
tidak diperlukan untuk itu. Kedua keutamaan-keutamaan manusia tidak
terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam
keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam
keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakan
padanannya adalah penganiayaan.
d. Jiwa
Menurut al-Kindi, jiwa adalah jauhar basit (tunggal, tidak tersusun,
tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa berciri Ilahi lagi ruhani,
mempunyai arti sempurna dan mulia. Al-Nafs merupakan jauhar rohani,
maka hubungannya dengan tubuh bersifat acciden. Kendatipun al-Nafs
bersatu dengan tubuh, yang dengannya ia dapat melakukan kegiatannya,
namun al-Nafs tetap terpisah dan berbeda dengan tubuh, sehingga ia
kekal setelah mengalami kematian. Al-Kindi menjelaskan bahwa pada
jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu: daya bernafsu (al-quwwah al-
syahwdniyyah) yang terdapat di perut, daya marah (al-quwwah al-
gadabiyyah) yang terdapat di dada, dan daya pikir (alquwwah
al-‘aqliyyah) yang berpusat di kepala (Syaikh, 1991). Substansi Jiwa
menurut al-Kindi berasal dari substansi Tuhan. Apabila manusia di bumi
ini mendapatkan kelezatan makan dan minum, niscaya tertutup jalan
bagi daya pikirnya untuk mengetahui hal yang mulia. Manusia yang
dikuasai oleh daya marah diumpamakan seperti binatang. Apabila
dikuasai oleh daya pikir, maka dominasi pribadinya adalah memikir dan
12
mengetahui hakikat sesuatu. Ia menjadi manusia utama (Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, 2002).
Daya nalar atau pengetahuan manusia menurut al-Kindi ada tiga
macam, yaitu:
1. Pengetahuan inderawi, pengetahuan yang langsung terjadi ketika
orang mengamati suatu objek material dan tanpa tenggang waktu
2. Pengetahuan rasional, pengetahuan tentang sesuatu yang
diperoleh dengan menggunakan akal yang bersifat universal,
tidak parsial dan bersifat immaterial.
3. Pengetahuan israqi atau pengetahuan Ilahi, pengetahuan yang
langsung diperoleh dari pancaran cahaya Tuhan (Sudarsono,
1997).
Al-Kindi menegaskan; bahwa segala sesuatu yang diketahui oleh
perasaan atau akal manusia adalah terdapat dalam dia sendiri, dalam
pikiran manusia oleh wujud biasa. Satu yang benar, bukanlah jiwa dan
bukan pula akal, yang benar itu adalah Allah, yang menjadi sebab dari
segala makhluk. Dialah Khalik dan Penolong dari setiap makhluk
(Tamburaka, 2002). Jadi, akal aktif yang dimaksud adalah Tuhan. Tuhan
adalah Yang Benar Pertama (alhaqq al-awwal) dan Yang Benar Tunggal
(al-haqq al-wahid). Dia semata-mata esa, hanya Dia-lah yang tunggal,
selain dari Tuhan semuanya mengandung arti banyak (Supriyadi, 2010).
Akal ini senantiasa dalam keadaan aktif karena Ia sebab bagi apa
yang terjadi pada alNafs manusia khususnya, dan pada alam umumnya.
Sedang tiga akal lainnya adalah al-Nafs itu sendiri. Al-Nafs merupakan
akal potensial sebelum memikirkan objek pemikiran, dan setelah
memiliki objeknya, maka ia beralih menjadi akal aktual. Meskipun al-
Nafs baik sebelum ia memikirkan objek atau setelah memiliki objeknya
lebih dahulu memiliki pengetahuan yang bersifat lahiriyah yang disebut
akal lahir.
e. Moral
13
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia
tentang diri dan bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila.
Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan
untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang
memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan
kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara
seperti Socrates.
Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya
untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan
sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata
negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang
menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam
akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
14
BAB 3
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Sejarah intelektual di dunia Islam yang mana sumbangannya
tidak bisa dipungkiri, tetapi disisi lain, filsafat juga dianggap unsur
luar yang mengacak-acak ajaran Islam. Bisa jadi, ini karena watak
filsafat itu sendiri. Filsafat, apapun nama dan bentuknya, adalah
keberanian untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang dalam
pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Watak “subversif”
filsafat ini juga bisa juga ditemukan dalam filsafat islam. Kita ketahui
bersama bahwasanya filsafat di bagi atas beberapa periode, periode
pertama yang merupakan awal munculnya filsafat yaitu berasal dari
Yunani, karena di sana terdapat beberapa orang yang cenderung
menggunakan otak sebagai landasan berpikir. Tokoh – tokoh seperti
Socrates, Plato dan Aristotales. Periode kedua yang merupakan masa
pertengahan adalah filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai
berkembang pada masa al-Kindi, yang mana menurut Sulaiman Hasan
bahwasanya tidak ada seorangpun filosof Islam kecuali al-Kindi,
karena baginya ia merupakan seorang filosof pertama dalam Islam
begitu juga merupakan filosof Arab pertama. Dalam pengembangan
filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah Arestoteles. Hal itu bisa
dibuktikan dari buku-buku filsafat yang dikarang oleh al-Kindi lebih
banyak mengarah pada buku-buku karangan Aristotales.
15
3.2Saran
Demikian makalah yang berjudul “Pemikiran Filsafat Al-Kindi”.
Mohon maaf makalah atau karya tulis ini masih banyak kekurangan.
Maka, kritik dan saran konstruktif penulis harapkan demi terciptanya
makalah yang lebih baik. Semoga makalah ini menjadi motivator dan
inspirator bagi kita semua.
16
DAFTAR PUSTAKA
https://media.neliti.com/media/publications/145441-ID-pemikiran-
filsafat-al-kindi.pdf
http://repository.uin-malang.ac.id/392/1/AL-Kindi.pdf
https://makalahnih.blogspot.com/2014/09/pemikiran-filsafat-
alkindi.html
https://media.neliti.com/media/publications/343685-al-nafs-dalam-
filsafat-islam-kajian-krit-3853aa28.pdf
http://anwafi.blogspot.com/2011/03/pemikiran-metafisika-al-
kindi.html
17