Anda di halaman 1dari 27

10 TOKOH FILSUF DAN PEMIKIRANNYA

Di ajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah: Filsafat Islam Dosen
Dosen pengampu : DR. Mhd Syahminan M.Ag

Disusun Oleh:

Ismi Aulia Palem


0406223061

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
SUMATERA UTARA
TA. 2023-2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh


Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat,
taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini yang berjudul “10 Tokoh Filsuf dan Pemikirannya” sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam mata kuliah Hadis Tarbawi.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami
akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Medan, 3 Januari 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................1

C. Tujuan Penulisan........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

1. Al-Kindi........................................................................................................2

2. Al-Farabi......................................................................................................4

3. Ibnu Sina......................................................................................................6

4. Al-Razi..........................................................................................................8

5. Ibnu Miskawaih.........................................................................................10

6. Al-Ghazali..................................................................................................11

7. Ibnu Rusyd................................................................................................15

8. Ibnu Thufail...............................................................................................17

9. Abu al-Hasan al-Amiri.............................................................................19

10. Surahwardi Al-Matqul..........................................................................20

BAB III PENUTUP..............................................................................................22

A. Kesimpulan................................................................................................22

B. Saran..........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebagian besar generasi saat ini kurang mengenal pribadi-pribadi
filsuf Muslim yang meminjam istilah Mulyadhi kertanegara-mendapat label
“filsuf kecil” (minorphilosopher). Memang, tidak sedikit filsuf yang
mempunyai konsen besar bagi perkembangan filsafat, tetapi nama dan buah
pemikirannya masih asing di telinga orang kebanyakan. Hal ini disebabkan
oleh tidak adanya kurikulum yang mengekspose nama dan pemikiran
mereka. Kurikulum filsafat Islam di perguruan tinggi Nusantara tidak
sejengkal pun dari ruang stagnasi, terhitung sejak buku kecil karya Harun
Nasution yang bejudul Falsafah dan Mistisisme dalam Islam diedarkan
sebagai acuan kurikulum. Selama ini kajian filsafat Islam tidak pernah lepas
dari pembahsan tokoh-tokoh seputar al-Kindi, ar-Razi,al-Farabi, Ibnu Sina,
al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd.

B. Rumusan Masalah

1. siapa saja tokoh filsuf dalam Islam?

2. Apa saja pemikiran yang telah mereka pelajari dan sampaikan selama
menjadi filsuf?

C. Tujuan Penulisan

1. untuk mengetahui tokoh-tokoh filsuf dalam islam

2. untuk mengetahui pemikiran yang telah mereka pelajari dan sampaikan


selama menjadi filsuf

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Al-Kindi

1. Sejarah Hidup
Nama lengkap Al Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu
al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi.
Seorang filosof islam yang lahir pada tahun 801 M dan wafat pada tahun 873
M.1 Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga
kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah adalah gubernur
Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al Kindi sendiri
hidup pada masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin,
Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah
pusat studi bahasa dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad,
ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan
intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin
ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,
ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,
optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab
dalam jajaran filosof terkemuka. Oleh karena itu, ia dinilai pantas
menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).2

2. Filsafat atau pemikirannya

1) Talfiq (Pemaduan Filsafat dan Agama)


Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat.
Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth).
1
Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifah al-Islam, op, cit., h.4-5
2
Al-Kindi, dalam M.M. Sharif (ed), History of Muslim Philosophy, Vol.I, op, cit., h.242

5
Al-Quran membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar,
tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat.
Oleh karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan
teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari
teologi.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan
sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu, juga
mempergunakan akal serta filsafat pun juga mempergunakan akal. Yang
benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian
membahas tentang Tuhan dan agama lah yang menjadi dasarnya. Filsafat
yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Dengan demikian, orang
yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari
kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu,
pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai
alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal
sebaliknya.
Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun
datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari
kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak wajar
merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan
mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran.
Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut
tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada
hakikatnya orang itu tidak lagi beragama. Pengingkaran terhadap hasil-hasil
filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut
mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-
Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat.

2) Filsafat Jiwa
Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun,

6
tidak panjang, dalam dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan
mulia. Subtansinya berasal dari subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah
sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari. 3 Jiwa mempunyai
wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa
bersifat rohani dan illahi sementara badan mempunyai hawa nafsu dan
marah. Dan perbedaannya, jiwa menentang keinginan hawa nafsu dan
kemarahan. Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (yang
terdapat di perut), daya marah (terdapat di dada), dan daya pikir (berputar
pada kepala).

3) Filsafat Moral dan Akal


Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia
tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila.
Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk
hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan
agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa
kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara. Dalam
jiwa manusia terdapat tiga daya yang telah disebutkan diatas salah satunya
ialah daya berpikir. Daya berpikir itu adalah akal. Menurut al-Kindi akal
dibagi menjadi tiga macam: akal yang bersifat potensil; akal yang keluar dari
sifat potensil dan aktuil; dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari
aktualitas.

2. Al-Farabi

A. Sejarah Hidup
Nama lengkap Al Farbi adalah Abu Nashr Muhammad ibn
Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh.4 Dikalangan orang-orang latin abad
tengah, Al Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik
Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada tahun 257 H. Pada tahun 330 H,
ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan,
sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai
3
Ibrahim Madkour, “Al-Farabi,” dalam M.M. Sharif (ed.), op. Cit., h.76
4
Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifat al-Islam, op. Cit., h. 22

7
seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi
memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan
kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filosof Islam terbesar, memiliki
keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh
dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filosof yang
datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan
mengupas sistem filsafatnya.

B. Filsafat atau Pemikirannya

1) Pemaduan filsafat
Al Farabi telah memadukan beberapa aliran filsafat yang telah
berkembang pada masa sebelumnya yaitu pemikiran Plato, Aristoteles dan
Plotinus. Pemikiran Plato, Aristoteles dan Plotinus digunakan Al Farabi
untuk mendasari pemikirannya, diantaranya ilmu logika dan fisika, ia
dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik, ia
dipengaruhi oleh Plato, sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi
oleh Plotinus. Aristoteles berfikiran bahwa idea bukanlah hakikat, namun
Plato mengemukakan bahwa idea adalah hakikat dari segala-galanya. Untuk
mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea, Al Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni
dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara
kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani
yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filosof tersebut sama-sama
mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan.5

2) Filsafat Jiwa
Dalam pemikirannya ini, Al Farabi juga dipengaruhi oleh Plato,
Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah
adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain.
Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya
antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad

5
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme, op. Cit., h. 32

8
tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, 6
yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq,
berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap
menerimanya. Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa
kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan
dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini
tidak hancur dengan hancurnya badan.

3) Filsafat Politik
Pemikiran filsafat politik oleh Al Farbi banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Plato yang menyamakan poltik dengan bagian tubuh manusia
yang memiliki fungsi masing – masing. Yang paling penting dalam tubuh
manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia
dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh
hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting
dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan
bawahannya sebagaimana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih
lain saling bekerja sama. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik
dalam bidang intelektual maupun moralnya.
Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya,
pemimpin harus memilki kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik,
pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal
makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta
kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.

3. Ibnu Sina

A. Sejarah Hidup
Ibnu Sina dikenal sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang
filosof, ilmuwan dan juga dokter. Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn
Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat
6
Fazlur Rahman, “Ibnu Sina,” dalam M.M Sherif (ed.), A History of Muslim Philosophy Vol. 1,
op. Cit., h. 481

9
Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan
yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-
Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan
Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah
banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu
ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri. Ibnu Sina
merupakan seorang filsuf, ilmuwan, dokter dan penulis aktif yang lahir di
zaman keemasan Peradaban Islam.7

B. Filsafat atau Pemikirannya

1) Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian, Ibnu Sina membagi manusia kedalam
empat kelompok mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat
penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi
membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya
telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan
imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang.
Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak
mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna
tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya
hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang
Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya
sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran
orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya.
Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui
keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran
akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol
kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau

7
Harun Nasution, Filsafat & Mistisisme Dalam Islam, op. Cit., h. 38

10
membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk
berbuat sesuatu.
Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji
yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan dan pemberi
sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-
imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan
oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.

2) Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah
dan meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan orang-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati.
Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima
ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak
berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah,
tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan
dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan
dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa
langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian
Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali
hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian
pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung
keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.

4. Al-Razi

A. Sejarah Hidup
Nama lengkap Al Razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria
ibnu Yahya Al-Razi, dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan
salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 - 930. Ia lahir di
Rayy, Teheran pada tahun 251 H / 865 dan wafat pada tahun 313 H / 925.

11
Ar Razi sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika
dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin
Ishaq di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin
sebuah rumah sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit
Muqtadari di Baghdad. Ia pernah menjadi tukang intan pada mudanya,
penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya
pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang
dilakukannya yang menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu,
beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada masa itu.
Ayahnya berharap Al Razi menjadi seorang pedagang besar, maka
dari itu ayahnya membekali Al Razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi,
Al-Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan
perdagangan karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang
lebih besar ketimbang urusan dengan materi belaka.

B. Filsafat atau Pemikirannya

1) Lima Kekal (Al Qadim)


Al Razi memiliki banyak pemikiran filsafat, namun yang paling
terkenal adalah filsafat lima kekal. Lima kekal tersebut yaitu Al-Baary
Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-
Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan
al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut).
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena
Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak
mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo).
Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan
sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama
dengan kekekalan Allah.
Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak
yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan
menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal karena

12
diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendapat bahwa materi bersifat kekal dan karena
materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat / ruang
absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua
kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dan terikat dengan sesuatu
wujud yang menempatinya, dan ruang universal yang tidak terikat dengan
maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa
absolut) pada dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat
qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri),
pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu
yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-
bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya,
bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya
waktu yang terbatas.

5. Ibnu Miskawaih

A. Sejarah Hidup
Ibnu Miskawaih adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang
berkonsentrasipada bidang filsafat akhlak. Nama lengkapnya adalah Abu Ali
Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih. Dia lahir di Iran pada tahun 330
H / 932 M dan meninggal tahun 421 H/1030 M. Ibnu Miskawaih
melewatkan seluruh masa hidupnya pada masa kekhalifahan Abassiyyah
yang berlangsung selama 524 tahun, yaitu dari tahun 132 sampai 654 H
/750-1258 M.
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filosof akhlak daripada
sebagai cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran,
ketuhanan, maupun agama. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam
mengkaji akhlak secara ilmiah. Bahkan pada masa dinasti Buwaihi, dia
diangkat menjadi sekretaris dan pustakawan. Dulu sebelum masuk Islam,
Ibnu Miskawaih adalah seorang pemeluk agama Magi, yakni percaya kepada

13
bintang-bintang.

B. Filsafat atau Pemikirannya

1) Konsep Tentang Tuhan


Tuhan menurut Ibnu Maskawaih adalah zat yang tidak berjisim,
Azali, dan Pencipta, tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan
dan tidak satu pun yang setara dengan-Nya. Menurut Ibnu Miskawaih,
Tuhan adalah zat yang jelas atau tidak jelas. Jelas karena Tuhan memiliki
sifat yang haq (benar), sedangkan tidak jelas berarti karena kelemahan akal
manusia untuk menangkap keberadaan Tuhan serta banyaknya kendala
kebendaan yang menutupinya.

2) Konsep Tentang Akhlak


Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan – perbuatan tanpa
memikirkan pertimbangan terlabih dahulu. Sikap mental terbagi menjadi dua
yaitu mental/akhlak yang berasal dari watak dan yang berasal dari latihan
dan kebiasaan. Akhlak yang berasal dari watak biasanya akan menghasilkan
akhlak yang jelek sedangkan akhlak yang berasal dari latihan atau kebiasaan
akan menghasilkan akhlak yang baik. Oleh karena itu, Ibnu Maskawaih
menekankan pentingnya pendidikan akhlak pada masa kanak – kanak.

3) Konsep Tentang Manusia


Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep manusia tidak jauh
berbeda dengan pemikiran para filosof yang lain. Menurutnya, manusia
memiliki tiga daya yang saling saling berhubungan satu sama lain,
diantaranya yaitu daya nafsu (al-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya yang
paling rendah; daya berani (al-nafs al-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan
dan daya berpikir (al nafs al nathiqah) sebagai daya yang paling tinggi. Sama
halnya dengan Al Razi, Ibnu Maskawaih juga memadukan pemikiran dari
Plato, Aristoteles, Phytagoras, Galen dan para filosof lain. Manusia memiliki
jiwa yang bersifat kekal dan tidak hancur dengan kematian jasad. Jiwa
berbeda dengan jasad. Ibnu Miskawaih mengemukakan argumennya

14
mengenai perbedaan jiwa dengan jasad, yaitu sebagai berikut:

- Indera sebagai penerima suatu rangsangan

- Kelemahan Fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan


mental

- Jiwa memahami proposisi – proposisi tertentu yang tidak berhubungan


dengan data –data inderawi.

6. Al-Ghazali

A. Sejarah Hidup
Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-
Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi AlGhazali. Lahir di Thusi daerah
Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam
Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya
termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat
kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani
agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan
hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.
Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111
M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri
pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang
merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi
Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di
negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-
Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkan tanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada
masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i.
Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-
Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi.
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan

15
Naishabur untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk
melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari
pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan
ketinggian ilmu yang dimiliki al- Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya
melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar
(profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad.
Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4
(empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik
yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan
diri dari keramaian.
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia
juga diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh
pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam
masyarakat. Akan tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak
berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang
menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad) maupun pemerintahan Daulah
Bani Saljuk. Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah
Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik
dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali
memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan
karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-
Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan
Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku
itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti
masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut
kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi
sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan
pengaruhnya untuk membuat kekacauan.
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam
memberikan pencerahan- pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup

16
berpindah-pindah untuk mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk
mendalami pengetahuan.

B. Filsafat atau pemikirannya

1) Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan
ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat
dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal
semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang
tidak mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al- Dhalal
menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka
disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena
tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah
mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang
rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang
meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai
menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi
hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional
para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan
sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam.
Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap
kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

2) Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa
dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi
dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu
menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-
undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih
abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-

17
undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia
yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal
(intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali
menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya
imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum
pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti
juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan,
dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-
kebiasaan sebab dan akibat tersebut.
Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti
membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan
suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan
dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya
Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak
mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau
mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa
terbakar oleh api.

3) Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat
pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain,
filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok
dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-
Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat
al- Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia
sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti
pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan
sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai

18
pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik
Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi,
tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan
menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali. Al-Ghazali
sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-
mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu
kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

7. Ibnu Rusyd

A. Sejarah Hidup
Ibnu Rusyd atau dikenal dengan Averroes adalah seorang filosof dari
Spanyol (dulunya bernama Andalusia). Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd,
dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah
kematiannya Imam Ghazali. Ibnu Rusyd adalah seorang dari keturunan
keluarga terhormat yang terkenal juga sebagai seorang tokoh keilmuwan.
Ayah dan Kakek Ibnu Rusyd adalah seorang mantan hakim di Andalus.
Pada Tahun 565 H/1169 M, Ibnu Rusyd diangkat menjadi seorang
hakim di Seville dan Cordova dan diangkat menjadi ketua mahkamah agung
di Qadhi al-Qudhat di Cordova pada tahun 1173 M. Faktor yang menjadikan
Ibnu Rusyd menjadi seorang ilmuwan adalah karena Ibnu Rusyd dilahirkan
di dalam kalangan keluarga ilmuwan. Disamping itu, yang menjadi faktor
utama adalah karena kecerdasan dalam berpikir dan kejeniusan otaknya.
Semenjak kecil Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk belajar,
membaca dan berpikir.
Dalam karir kehakimannya, Ibnu Rusyd mengalami masa kelam
yaitu dituduh kafir. Sebagai hukumannya, Ibnu Rusyd dibuang ke Lucena
dan jabantannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua buku
karyanya dibakar. Pada tahun 1197 M, Khalifah mencabut semua
hukumannya dan mengembalikan posisi jabatan Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd

19
wafat pada tanggal 10 Desember 1198 M/ 9 Shafar H di Marakesh.

B. Filsafat atau Pemikirannya

1) Pemikiran Epistemologi Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd bependapat bahwa berfilsafat bisa dihukumi wajib
karena filsafat mempelajari hal – hal yang wujud, lalu orang akan berusaha
menarik pelajaran/hikmah/’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian adanya
Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang
tentang ciptaan Tuhan, maka semakin ia mendekati pengetahuan tentang
adanya Tuhan.
Setiap manusia memiliki kemampuan dalam menerima kebenaran
dan bertindak dalam mencari pengetahuan yang berbeda – beda, Ibnu Rusyd
memaparkan tiga cara manusia dalam memperoleh pengetahuan, diantaranya
sebagai berikut:

1. Metode Al – Khatabiyyah (retorika)

2. Metode Al- Jadaliyah (dialektika)

3. Metode Al – Burhaniyyah (demonstrative)


Menurut Ibnu Rusyd, ketiga metode tersebut telah dipergunakan oleh
Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al – Qur’an. Allah
memperkenalkan ketiga metode tersebut karena tingkat pengetahuan dan
kemampuan intelektual manusia yang berbeda – beda. Ibnu Rusyd
berpendapat bahwa adanya lafaz dhahir (eksoteris) dalam nash perlu dita’wil
agar diketahui makna bathiniyyah (esoteris) yang bertujuan untuk
menyelaraskan keberagaman kemampuan penalaran manusia dan perbedaan
karakter dalam menerima kebenaran.

2) Metafisika
Ibnu Rusyd berependapat bahwa Allah adalah penggerak pertama
(muharrik al-awwal). Wujud Allah ialah esa (satu). Konsep Ibnu Rusyd
tentang ketuhanan diambil dari pemikiran Aristoteles, Plotinus, Al Farabi
dan Ibnu Sina. Bukan berarti plagiat, tetapi sebagai referensi pemikirannya

20
tentang konsep ketuhanan.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, Ibnu Rusyd memaparkan
beberapa dalil sebagai
berikut:

1. Dalil Wujud Allah (Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang


menurutnya sesuai dengan Al – Qu’an)

2. Dalil ‘Inayah Al – Ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Dalil ini mengkaitkan


bahwa segala sesuatu dijadikan untuk kelangsungan hidup manusia.

3. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan). Dalil ini berpijak pada segala makhluk
ciptaan Allah. Siapapun yang ingin mengetahui ciptaan Allah, maka ia
wajib mengetahui hakikat semua ciptaan Allah.

4. Dalil Harkah (gerak). Dalil ini menjelaskan bahwa gerak adalah keadaan
tidak tetap terhadap suatu keadaan. Ibnu Rusyd berkesimpulan sama
dengan Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
Sifat – sifat Allah. Untuk mengenal sifat - sifat Allah, Ibnu Rusyd
mengatakan bahwa orang harus menggunakan tasybih dan tanzih.

8. Ibnu Thufail

A. Sejarah Hidup
Ibnu thufail yang hidup pada masa pemerintahan Daulah Muwahiddun.
Nama lengkapnya Abu Baks Muhammad Ibnu Abd al-Malik Ibnu Thufail. Lahir
di wado Asy (Guadix), dekat Granada sekitar tahun 500 H/1106 M. Ia menguasai
kedokteran, astronomi, dan filsafat. Tidak diketahui secara pasti kepada siapa ia
pernah berguru dalam menimba ilmu pengetahuan. Dalam pengetahuan kisah
Hayy Ibnu Yuqzhan yang ditulisnya, ia mengatakan tidak pernah berjumpa
dengan Ibnu Hajjah.
Pada mulanya Ibnu Thufail aktif bekerja sebagai dokter dan pengajar, lalu
alih profesi sebagai sekretaris pribadi penguasa Granda. Pada tahun 549 H/1154
M, ia dipercaya sebagai sekretaris gubernur wilayah Ceuta dan Tengier (Maroko).
Sedang gubernur itu merupakan putra Abd al-Mukmin, seorang pendiri daulah

21
Muwahiddun yang berpusat di Marakesy, Maroko. Pada tahun 558 H/1163 M, ia
ditarik ke Marakesy dan diangkat sebagai hakim sekaligus dokter untuk keluarga
istana Abu Ya’qub Yusuf (memerintah pada tahun 1163-1184M).

B. Filsafat dan Pemikirannya

1) makna-makna kisah simbolik


Pemikiran Ibnu Thufail bahwa manusia memiliki potensi yang amat besar
untuk tumbuh dengan kualitas akalnya. Andai potensi akal itu diasah secara tajam
akan mengantarkan seseorang menjadi filsuf atau sufi. Akal yang dimilikinya
tidak saja mampu menguak alam empiris, melainkan juga mampu memahami
alam metafisis. Bahkan, hatinya juga dapat dikembangkan sedemikian rupa
hingga dapat mengalami musyahadah (persaksian) keindahann cahaya ilahi dan
alam metafisik lainnya. Kebahagiaan tertinggi dan sejati dirasakan manusia
manakala hatinya tenggelam dalam musyahadah tersebut. Pemikiran Ibnu Thufail
menunjukkan bahwa seseorang filsuf juga bisa menjadi sufi, begitu pula
sebaliknya.
2) Qodim atau hadistnya Alam
Ibnu Thufail juga menyinggung persoalan apakah alam ini Hadist (bersifat
baru, adanya didahului oleh tiada) atau Qodim (tidak bermula). Ia menyadari
keberatan pihak lain terhadap pandangan bahwa alam ini Hadist dan juga
keberatan pihak lain kalau alam ini Qodim. Tanpa memperlihatkan
keberpihakkannya kepada salah satu paham ini,
Ibnu Thufail meneyatakan bahwa kedau paham ini masih mengakui
adanya tuhan sebgai pencipta alam semesta. Jika alam ini tidak pernah ada, tentu
ia akan membutuhkan sesuatu yang lain menciptakan alam itu dari tiada menjadi
ada; dan pencipta itu adalah tuhan. Bila alam ini Qodi, maka ia merupakan akibat
dari penciptaan oleh tuhan sejak Qidam.

9. Abu al-Hasan al-Amiri

A. Sejarah Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Muhammad bin Abu Dzar Yusuf
al-Amiri an-Naisaburi (w. 381 H/992 M), seorang filsuf muslim abad IV H/ X M.

22
Namanya masih asing di telinga umat islam kebanyakan. Padahal, al-Amiri
dikenal sebagai bintang pada masanya, sebagaimana laporan Abu Hayyan at-
Tauhidi. Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal menyejajarkan al-Amiri dengan
al-Kiindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Tidak ada informasi pasti mengenai waktu kelahiran al-Amiri. Berdasarkan
penelitian sejmmlah literatur diperoleh keterangan bahwa al-Amiri adalah murid
Abu Zaid Ahmad bin sahal al-Balkhi (2. 322 H/933 M). Dari penjelasan ini dapat
dipastikan bahwa al-Amiri lahir pada awal abad IV H dan wafat pada 27 Syawwal
381 H/922M. Al-Amiri dikenal dengan pengetahuan mistisisme yang sangat kuat.
Ia mendapatkan ilmu itu dari guru-guru sufi yang ditemuinya di daerah deat
Naisabur pada tahun 370 H/980 M. Dalam pandangannya, kaum sufi merupakan
sekelompok orang yang gemar mengembara ke berbagai penjuru negeri untuk
beribadah dan mencari rahasia Tuhan. Apa yang mencorongnya untuk melancong
ke berbagai negeri ialah kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mengunjungi
Bagdad, Rayy, bukhara, dan kota-kota besar lainnya untuk belajar, mengajar,
meneliti dan menulis. Ia memainkan peran penting dalam kegiatan intelektual,
khususnya di bidang pemikiran, filsafat, dan etika.

B. Filsafat dan Pemikirannya


Al-Amiri membagi ilmu ke dalam dua segmen: ilmu Agama (milli) dan
Filsafat (hikmi). Ia menyatakan bahwa pemegang otoritas tertinggi ilmu agama
ialah Nabi, sedangkan filsafat ada di tangan filsuf. Kedudukan Nabi lebih tinggi
dari filsuf; semua Nabi adalah filsuf, tetapi tidak semua filsuf itu Nabi. Ilmu
agama dan Filsafat masing-masing memiliki alat dasar, yaitu pancaindera, akal,
intelek, dan gabuungan antara ketiganya. Adapun penggunaan alat dasar dalam
kajian ilmu agama adalah sebagai berikut: pancaindera oleh ahli hadis, intelek dan
akal oleh teolog, dan pancaindera, akal, serta intelek oleh ahli fiqih. Sementara
dalam kajian ilmu filsafat, pancaindera digunakan oleh fisikawan, akal dan intelek
oleh filsuf, akal dan oancaindera oleh matematikawan.

10. Surahwardi Al-Matqul

A. Sosok dan Pemikirannya

23
Nama lengkapnya ialah Abu al-Futuh Yahya bin Habasy bin Amirak as-
Surahwardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549/1153 di suhraward, ssebuah kampung
di kawasan jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar, syeikh
al-isyraq, master of illumination, al-hakim, al-Syahid, the martyr, dan al-matqul.
Tetapi, ia lebih dikenal dengan sebutan al-matqul yang terkait dengan tragedi
kematiannya. Disamping itu al-matqul merupakan gelar yang membedakannya
dari dua tokoh tasawuf lainnya, yaitu ‘Abd al-Qahir Abu Najib as-Suhrawardi (w.
563/1168), ia adalah murid dari Ahmad Ghazali (adik Imam al-Ghazali). Al-Qahir
mrupakan pemuka mistisisme terkemuka yang menulis kitab Adab al-Muridin
(Moralitas Santri). Buku ini merupakan karya rujukan dan pegangan bagi pemula
yang hendak mendalami tasawuf. Tokoh lainnya adalah Abu Hafs Umar
Shihabudin as- Suhawardi al-Bagdadi. Dia adalah kemanakan dan sekaligus murid
Abu Najib Suhrawardi. Abu Hafs Umar Shihabudin as-Suhrawardi al-Bagdadi
adalah pengarang kitab ‘Awarif-al-Ma’arif, dijuluki syeikh al-syuyukh dan
diangkat secara resmi sebagai guru di Bagdad, serta aktif di lapangan politik

B. Filsafat dan Pemikirannya


Pada umumnya, para filsuf atau sufi gemar menuntut ilmu melalui
pengembaraan ke berbagai negeri. Di usianya yang terbilang sangan belia,
Suhrawardi mengunjungi persia, Anatolia, Syria, dan Aleppo untuk menemui sang
guru. Tradisi jalan jauh antara muusafir nampaknya menjadi ciri khas
cendekiawan muslim masa dulu. George Maqdisi, misalnya, menyatakan bahwa
setiap muslim yang terkenal sebagai penuntut ilmu mestilah seorang perantau
ulung. Dalam dunia Islam, musafir adalah suatu aktivitas yang bebas dilakukan
siapa dan ke mana saja tanpa khawatir kehilangan jati diri sebagai anggota
masyarakat. Mereka terikat oleh rasa religiusitas yang kental, tidak ada istilah
megara-kota dalam Islam. Dan tradisi musafir ini pula yang mendorong
Suhrawardi melakukan pengembaraan ke berbaai negeri.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam setiap tokoh filsafat memiliki pendapat atau pemikiran yang
berbeda-beda tentang kejiwaan, ketuhanan dan lain-lain. Mereka terus-menerus
mengembala demi mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan filsafat. Dengan
adanya berbagai pendapat dari para filsafat penulis dapat memaparkan hampir

25
secara keseluruhan tokoh-tokoh filsafat islam. Dengan begitu mereka membuat
sebuah keputusan bukan langsung dengan rasio sendiri melainkan berkelana untuk
mencari ilmu filsuf tersebut.

B. Saran
Demikian makalah yang saya susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya bagi pembaca umumnya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah saya

DAFTAR PUSTAKA

Jum’ah, Muhammad Luthfi. Tarikh Falasifah al-Islam, op, cit., h.4-5


Al-Kindi, dalam M.M. Sharif (ed), History of Muslim Philosophy, Vol.I, op, cit.,
h.242
Ibrahim Madkour, “Al-Farabi,” dalam M.M. Sharif (ed.), op. Cit., h.76

26
Jum’ah, Muhammad Luthfi. Tarikh Falasifat al-Islam, op. Cit., h. 22
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme, op. Cit., h. 32
Fazlur Rahman, “Ibnu Sina,” dalam M.M Sherif (ed.), A History of Muslim
Philosophy Vol. 1, op. Cit., h. 481
Nasution, Harun. Filsafat & Mistisisme Dalam Islam, op. Cit., h. 38

27

Anda mungkin juga menyukai