Pemikirannya
Makalah disusun oleh: Agus Setiawan & Armawan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bersama tentang pembahasan kami ini bertema “ Tokoh-
tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya”. Tentu hal ini sangat menarik untuk kita bahas
dan pengupas dengan seksama guna menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang
filsafat, terutama filsafat Islam. Filsafat merupakan bagian dari hasil kerja berpikir
dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal.
Sedangkan filsafat Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan,
kenabian, manusia dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran
yang logis dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya
dikemukakan oleh para filosof Islam.
1.4 Manfaat
Setiap sesuatu yang kita pelajari pasti akan berdampak pada perkembangan
pengetahuan kita, termasuk dalam pembahasan kita ini yaitu “Tokoh-tokoh Filsafat
Islam dan Pemikirannya”. Kita bisa mengambil pembelajaran dalam hal pemikiran para
filsuf Islam, baik dalam bidang tasawuf, jiwa, politik dan banyak lagi yang lainnya.
BAB II
Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan
Pemikirannya
A. Al-Kindi
1. Sejarah Hidup
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu
‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu
nama kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang
menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang
terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk
memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat.
Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-
Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah
Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa
dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas,
yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun
mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat
menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik
meteorologi,, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya
terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama
yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai
pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat
adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa
argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan
berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam
diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan
kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu
mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi
Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama
ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping
itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk
berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus
menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada
yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”.
Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan
dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran,
sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka
orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang
memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.
1) Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar,
sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena
diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para
Rasul dalam bentuk wahyu.
Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak
mendewa-dewakan akal.
b. Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna
dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan
sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual,
ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu
dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan
saling memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari
badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa
yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang
pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa
adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya
membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan
jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah
kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya
jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari
alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu,
daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun
keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan
oleh Tuhan.
3. Moral
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan
bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk
diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para
ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang
memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam
negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa
filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan
hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk
meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau syari’at kurang
menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau
moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
B. Al-Farabi
1. Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh.
Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr.
Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun
330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan,
sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama
istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana
dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf
Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang
filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga
filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan
mengupas sistem filsafatnya.
2. Pemikirannya
a) Pemaduan Filsafat
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea,
karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau
sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang
berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan
interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan
pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam
rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui
adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak
lebih dari tiga kemungkinan:
2) Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara
keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3) Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal
definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada
secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu
kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara
memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari
kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada
hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian,
filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak
berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran
Islam mutlak kebenarannya.
b) Jiwa
Adapun jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad
merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi
yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari
alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad
siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana.
Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat
melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
c) Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia
tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-
Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi
oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala,
tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi
tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah
(otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja
otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat
penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan
bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah
secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan,
ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam
hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani
dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau
terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara
seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang
pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat
dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
2. Pemikirannya
a) Kenabian
Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam
empat kelompok: mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat
penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru
sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang
demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka
mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini
dan akan datang. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak
mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya sempurna tetapi tidak
praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman
daya praktis mereka.
Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki
imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia
mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi
pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui
keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni
dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian
kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya
tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar atau haus, imajinasi kita
menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan
dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan
imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh
jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.
b) Tasawuf
Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan
keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai
tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal,
lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa
manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai
ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan
dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia
tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya,
tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak
kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena
manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar
tidak langsung keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.
D. Al-Razi
1. Sejarah lahir
Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi.
Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di
Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam
Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia
tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan
tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama kebudayaan
Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-
Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan
Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya,
perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya
(gelarnya).
Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi.
Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat
eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang
penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada
masa itu.
Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya
membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada
bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan karena menurutnya bidang
intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi
belaka.
Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal
sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu
dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan karena
reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy
pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke
Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-
Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian id
berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal
5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.
2. Karyanya
Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang
mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat
kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam
menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati
dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia
akan meninggal.
Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah
satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai
ilmu pengetahuan. Karya-karyanya yang meliputi:
1. Ilmu Falak,
2. Matematika,
3. Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
4. 4. Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris
5. 5. Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
6. 6. Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-
Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il
Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-
Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran
dibanding dengan sebagai filosof.
3. Filsafatnya
Lima Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal
memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan
tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang
kekal.
5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa
universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang
absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya
pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak
hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang
dan waktu.
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang
menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala
mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa
universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi
kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi
pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa
dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal
karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini
menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal.
Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular
yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, dan ruang
universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua
kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang
bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur.
Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet,
perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal.
Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya
waktu yang terbatas.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak
naluriah dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia
berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini
beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.
Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan.
Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain
adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah
ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat
berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa
keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir
dati ‘iffah ( memelihara kehormatan diri ).
Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah
yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya,
yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan
zalim.
Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah mengalami
akan tuduhan pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi
pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan sebagai
hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja, semua
jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di bakar,
kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni ( sains ), seperti kedokteran,
matematika dan astronomi.
Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun
1197 M, khlifah mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang
pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar
595 H di marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun
menurut perhitungan tahun Hijriyah.
2. Karyanya
Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-
Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishaal, buku ini berisikan
korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyf’an Manaahij al-Sdillah fi Aqaa’id al-Millat,
sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan
sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali
yang kitabnya berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah
fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.
3. Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan
Mukjizat
Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-
akibat yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;
1. Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini
memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya
untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada
sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan
adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan
antara satu dengan lainnya.
Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah-nya
adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan
merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air
dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.
1. Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan
Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan
pendapatnya mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu
Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah),
atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat
terhadap maujud ini.
Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut
dengan adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang
mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan
dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan berganti dan
tidak berubah[1]. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya
akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah
adat namanya, tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia maksud adalah adat bagi kita dalam
menentukan suatu sifat atau predikat terhadap mawjud, sepert si fulan baik san
sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya
kepada fa’il (Allah).
1. Hubungan sebab-akibat dengan akal
Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang
gejala yang mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran
terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.
1. Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat
Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan
keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat
nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-
Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.
Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi
tidak sesuai dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah
menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat
seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan
dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika ilmu
pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai mukjizat lagi.
Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai
dengan risalah kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran.
Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang
sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana
pun dan kapan pun.
Bab lll
Penutupan
Dari apa yang kami tuliskan dalam makalah ini, sebebenarnya terdapat keterbatasan,
yakni tidak semua para filosof muslim kami bahas dalam makalah ini, terutama lagi
tidak semua pula pendangan-pandangan para filosof yang kami tuliskan pada makalah
ini, hanya beberapa saja yang kami anggap mereka terkenal dalam bidang keilmuan
yang kami tuliskan. Masih banyak lagi filosof muslim yang tidak kami tuliskan, seperti
ibnu thufail, ibnu bajjah, ikhwan al-shafa dan lain sebagainya.
Dapat disimpulkan, dari lahirnya para tokoh di atas tadi yang menjadi sebab adanya
karya-karya mereka yang banyak, merupakan hal yang membanggakan bagi khazanah
keilmuan islam. Sayangnya saja, karya-karya mereka yang banyak itu tidak kita temui
secara keseluruhan pada saat ini, karena terjadinya keadaan-keadaan yang menyulitkan
para filosof, seperti halnya kejadian yang menimpa ibnu rusyd yang karya-karyanya di
bakar.
Tapi, bukan berarti kita tidak dapat mempelajari karya-karya mereka yang tersisa saat
ini, kita juga dapat mempelajari karya-karya filosof yang lahir setelah mereka dan
dengan sebab ini pula banyak karya-karya baru yang mereka tuliskan sehingga kita
sebagai orang muslim tidak kehilangan akan khazanah keilmuan berkat jerih payah
mereka.
Semoga dengan apa yang kami tuliskan ini bermanfaat, setidaknya menambah
pengetahuan mengenai filosof muslim dan pemikirannya meski sedikit yang kami
cantumkan pada makalah kami. Semoga dapat membantu bagi yang membutuhkan.
Amiin.
Daftar Pustaka
Muhammad Yusuf Musa, falsafat al-Ahklaq fi al-Islam, kairo: Dar al-A’raf, 1945
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., filsafat islam, filosof dan filsafatnya, jakarta: rajawali
pers, 2004
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina, 1997
Nasution Hasyimsyah, filsafat islam, jakarta, Gaya media Pratama, 1998.