Anda di halaman 1dari 13

UTS STUDI QURAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SULTAN SYARIF KASIM RIAU

NAMA : DANY TRIA PUTRA RAMADHAN

NIM : 12050316085

KELAS C
1.       Menurut sejarah, Mushhaf al-Qur`an pertama kali dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq atas usulan Umar bin Khaththab. Berdasarkan Mushhaf tersebut kemudian Khalifah
‘Utsman bin ‘Affan melakukan kodifikasi Mushhaf al-Qur’an yang dikirim ke beberapa negara
pada masa itu. Upaya kodifikasi Mushhaf al-Qur`an ini tentu saja mempunyai alasan dan tujuan
tertentu sesuai dengan dinamika komunitas umat Islam yang terus berkembang dan meluas.

Soal:
a.         Jelaskan latar belakang dan faktor-faktor kodifikasi Mushhaf al-Qur`an pada masa
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan dan siapa nama sahabat yang mengusulkan upaya kodifikasi
tersebut kepada Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan?
b.         Sebutkan dan jelaskan standard Mushhaf al-Qur`an yang dipakai berdasarkan Rasm
‘Utsmani dan sebutkan pula hikmah kodifikasi tersebut bagi umat Islam masa kini?

2. Secara historis, Mushhaf al-Qur`an pertama kali dicetak dengan mesin cetak modern pada tahun
1694 M di Hamburg, Jerman. Kemudian, penerbitan Mushahf al-Qur`an dengan label Islam baru
dimulai pada tahun 1787 M. Pada masa-masa berikutnya, pencetakan Mushhaf al-Qur`an mulai
berkembang di negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.

Soal:
a.         Jelaskan upaya pemerintah Indonesia dalam menjaga dan melestarikan kemurnian Mushhaf
al-Qur`an?
b.         Bagaimana pendapat Anda tentang pembudayaan bacaan al-Qur`an dan pengamalan pesan-
pesannya dalam kehidupan umat Islam zaman kini?

3. Memahami al Quran adalah penting untuk mengetahui Asban Nuzul nya. Sebutkan 5 Kegunaan
dan pentingnya mengetahu Asbab Nuzul Suatu Ayat, dan berikan 3 Contohnya langsung dalam
memahami suatu Ayat.
JAWABAN :

1.A. Pada masa khalifah Abu Bakar RA, Sayyidina Umar RA tercatat sebagai orang yang
mengusulkan kodifikasi Al-Qur’an kepada pemerintah. Sedangkan pada masa kekhalifahan
Utsman bin Affan RA, sahabat Hudzaifah ibnul Yaman adalah orang yang mengusulkan
kodifikasi Al-Qur’an kepada pemerintah dengan sebab yang berbeda.

Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menceritakan dari sahabat Anas bin Malik RA, sahabat
Hudzaifah Ibnul Yaman datang menemui Utsman bin Affan RA. Hudzaifah yang bertugas dalam
ekspedisi penaklukan Armenia dan Azirbaijan melaporkan kepada Utsman RA betapa
terkejutnya ia atas keragaman versi bacaan Al-Qur’an (di mana mereka saling mengafirkan
karena perbedaan versi bacaan).

"Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terpecah perihal bacaan seperti Yahudi dan Nasrani,"
kata Hudzaifah kepada Utsman.

Keresahan ini tidak hanya dirasakan oleh sahabat Hudzaifah. Riwayat Ibnu Jarir menunjukkan
betapa banyaknya sahabat yang mengalami keresahan yang sama di mana banyak masyarakat
membaca Al-Qur’an dengan berbagai versi dan bahkan sebagian membaca dengan salah.

Satu sama lain saling mengafirkan karenanya. (Al-Qaththan, tanpa tahun: 125) dan (Syekh Ali
As-Shabuni, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, [tanpa kota, Darul Mawahib Al-Islamiyyah: 2016],
halaman 60).

Kodifikasi Al-Qur’an era khalifah Utsman didorong oleh situasi yang berbeda dari situasi yang
dihadapi khalifah Abu Bakar, yaitu banyaknya penaklukan kota-kota dan sebaran umat Islam di
berbagai kota-kota yang jauh. (As-Shabuni, 2016: 60).

Selain itu, kebutuhan umat Islam yang telah menyebar di berbagai penjuru negeri terhadap kajian
Al-Qur’an mengharuskan kerja-kerja kodifikasi Al-Qur’an di era Utsman bin Affan RA.
Sedangkan setiap penduduk mengambil qiraah dari sahabat rasul yang cukup terkenal di daerah
tersebut dan sering kali telah mengalami kekeliruan karena faktor geografis.
Penduduk Syam membaca Al-Qur’an dengan qiraah Ubay bin Ka’ab. Penduduk Kufah membaca
Al-Qur’an dengan qiraah Abdullah bin Mas’ud. Selain mereka membaca Al-Qur’an dengan
qiraah Abu Musa Al-Asy’ari. Perbedaan versi ini membawa konflik di tengah masyarakat. (M
Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits: 2017 M/1438
H], halaman 205).

Kondisi darurat mendorong Khalifah Utsman bin Affan RA untuk mengatasi situasi sosial yang
semakin memburuk. Dengan Mushaf Utsmani, khalifah Utsman RA mengatasi konflik sosial,
menyudahi pertikaian, dan melakukan perlindungan terhadap orisinalitas dan otentisitas Al-
Qur’an dari penambahan dan penyimpangan seiring dengan peralihan zaman dan pergantian
waktu. (Al-Qaththan 128). Adapun konflik sosial ini harus dicarikan solusinya. (Al-Qaththan,
tanpa tahun: 123).

Solusi yang diambil Sayyidina Utsman RA berangkat dari kecerdasan pikiran dan keluasan
pandangannya untuk mengatasi konflik sosial sebelum memuncak. Ia kemudian memanggil para
sahabat terkemuka ahli Al-Qur’an untuk mencari akar masalah dan mencoba mengatasinya.  (As-
Shabuni, 2016: 61).

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan, kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan khalifah Utsman bin
Affan RA terjadi pada tahun 25 H meski ada sebagian orang yang menduga tanpa sanad bahwa
hal itu terjadi pada tahun 30 H. (As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Darul Hadits:
2006 M/1427 H], juz I, halaman 191) dan (Al-Qaththan, tanpa tahun: 129).

Ibnu Asytah dari Abu Qilabah meriwayatkan bahwa Anas bin Malik meriwayatkan, merebaknya
perpecahan di tengah masyarakat perihal versi bacaan Al-Qur’an sehingga anak-anak remaja
pelajar dan para guru Al-Qur’an terlibat pertikaian karenanya. Merebaknya gejolak sosial yang
mengarah pada konflik ini sampai juga telinga Sayyidina Utsman RA.

"Di depanku kalian berani berdusta dan salah membaca. Niscaya orang yang jauh dari
jangkauanku akan lebih berdusta dan lebih salah baca lagi tentunya. Wahai para sahabat rasul,
bersatuah kalian. Catatlah satu mushaf sebagai imam atau pedoman bagi masyarakat," kata
Sayyidina Utsman RA. (As-Suyuthi, 2006: 191). 
Kerja kodifikasi Al-Qur’an yang melahirkan Mushaf Utsmani atau Al-Imam di era sahabat
Utsman bin Affan ini menarik simpati dan apresiasi dari kalangan sahabat. Berikut ini pengakuan
Sayyidina Ali RA atas kerja kodifikasi Al-Qur’an yang dilakukan Utsman bin Affan RA. 

"Kalau aku penguasanya, niscaya aku akan melakukan hal yang sama dengan Sayyidina Utsman
RA," kata Sayyidina Ali RA mengapresiasi kerja kodifikasi Al-Qur’an Utsman melalui Mushaf
Utsmani. (As-Suyuthi, 2006: 192-193).

Referensi : https://islam.nu.or.id/post/read/128532/kodifikasi-al-qur-an-di-masa-utsman-bin-affan-ra

1.B. Pada aspek rasm, Mushaf Standar Usmani mengacu pada hasil rumusan rasm Usmani pada
Muker I tahun 1974. Rumusan pembahasan rasm Usmani merupakan hasil Rapat Kerja Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur’an tahun 1972. Hasil rapat itu kemudian dibahas dalam forum yang
lebih tinggi, yakni Muker Ulama Al-Qur’an Nasional I tahun 1974. Saat itu hampir semua ulama
dan kyai yang hadir menyepakati keharusan mushaf Al-Qur’an ditulis dengan rasm Usmani,
kecuali dalam keadaan darurat. Dari aspek penulisan (rasm), mushaf standar Usmani mengambil
bahan baku (model) dari Al-Qur’an terbitan Departemen Agama tahun 1960 (Mushaf Al-Qur’an
Bombay) yang sekaligus menjadi pedoman tanda baca. Mushaf ini ditelaah akurasi rasm
Usmani-nya berdasarkan rumusan as-Suyūṭiy (w. 911 H) dalam al-Itqān fī‘Ulūmil-Qur'ān.

Secara garis besar, rumusan as-Suyūṭiy dalam bidang rasm Usmani dapat dikelompokkan ke
dalam enam kaidah: (a) membuang huruf (al-ḥażf); (b) menambah huruf (az-ziyādah); (c)
penulisan hamzah (al-hamz); (d) penggantian huruf (al-badal); (e) menyambung dan memisah
tulisan (al-faṣl wal-waṣl); dan (f) menulis kalimat yang memiliki versi bacaan (qirā'ah) lebih dari
satu sesuai dengan salah satu darinya (mā fīhi qirā'atāni wakutiba ‘alā iḥdāhumā).

Pola yang ditempuh dalam Muker Ulama adalah membakukan rasm yang memiliki rujukan yang
dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap yang tidak dijumpai rujukannya dilakukan penyesuaian
sesuai kaidah yang ada pada salah satunya. Sistem penulisan Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani
dengan demikian tidak berkiblat hanya kepada salah satu imam rasm secara penuh. Penelitian
selanjutnya bahkan masih menemukan beberapa bentuk tulisan yang tidak mengikuti pendapat
dua imam rasm di atas karena memang tidak dijelaskan secara detail dalam al-Itqān.
Dari aspek harakat, Mushaf Standar Usmani Indonesia mengacu pada hasil Muker II tahun 1976,
yakni komparasi bentuk-bentuk harakat dari berbagai negara dan memilih bentuk yang sudah
familiar dan diterima luas di Indonesia. Bentuk-bentuk harakat tersebut berjumlah tujuh, yakni
fathah, dammah, kasrah, dan sukun yang ditulis apa adanya (lengkap), demikian pula fathatain,
kasratain, dan dammatian. Sukūn tidak ditulis dengan bentuk lingkaran, melainkan setengah
lingkaran agar tidak serupa dengan bentuk ṣifir mustadīr. Pola penulisan seperti ini sangat
berbeda dari mushaf Timur Tengah pada umumnya. Mushaf Madinah misalnya, tidak
menuliskan harakat secara penuh. Pada mushaf ini mad ṭabī‘iy tidak diberi sukun, dan beberapa
kalimat pun tidak diberi harakat. Selain tujuh bentuk di atas, Mushaf Standar Usmani memiliki
dua bentuk harakat lagi yang menunjukkan bacaan panjang, yakni dammah terbalik dan fathah
tegak. Dengan demikian, harakat Mushaf Standar Usmani terdiri dari 9 bentuk.

Tidak hanya harakat, Mushaf Standar Usmani juga dilengkapi dengan tanda baca. Tanda baca
adalah beberapa “lambang” yang secara prinsip dimaksudkan untuk membantu proses membaca
teks ayat Al-Qur’an agar tepat bacaan (qirā'ah)-nya sesuai hukum tajwid. Tanda-tanda baca
tersebut adalah idgām, iqlāb, mad wājib, mad jā'iz, dan bacaan mad selain mad ṭabī‘iy, saktah,
imālah, isymām dan tashīl. Tanda-tanda baca tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

 Idgām, baik bigunnah, bilā gunnah, mīmiy, mutamāšilain,


mutajānisain, maupun mutaqāribain, semuanya diberi tanda tasydid. Contoh: (mim kedua
dibubuhi tanda tasydid)

 Iqlāb (ketika nun sukun atau tanwin bertemu ba'). Pada kasus ini tanda iqlāb yang
berupa mim kecil diletakkan dekat nun sukun atau tanwin tanpa menghilangkan kedua-
nya. Contoh: (di antara tanwin dan ba' terdapat mim kecil)

 Mad wājib (ketika mad ṭabī‘iy bertemu hamzah dalam satu kalimat), Pada kasus ini di
atas huruf mad ṭabī‘iy dibubuhkan tanda khusus (). Tanda ini juga digunakan untuk
menunjukkan mad yang berukuran panjang sama, sepertimad lāzim mušaqqal kilmiy,
mad lāzim mukhaffaf kilmiy, mad farqiy, dan mad lāzim ḥarfi musyba‘.
 Mad jā'iz (ketika mad ṭabī‘iy bertemu hamzah dalam dua kalimat atau awal kalimat
berikutnya). Pada kasus demikian, di atas huruf mad ṭabī‘iy diberi tanda khusus (). Perlu
dicatat bahwa tanda khusus ini tidak ada kaitannya dengan kaidah khat, apakah
itu naskhiy atau ṡuluṡiy, tetapi merupakan tanda tajwid yang disepakati dan distandarkan
dalam penulisan Mushaf Standar Usmani. Ini disebabkan ada perbedaan ukuran panjang
kedua mad tersebut.

 Mushaf Standar Usmani tidak memberi tanda atau lambang tertentu untuk tanda baca
ini.Untuk menandai saktah disisipkanlah kata ‫ سكتة‬di antara dua kata yang bersangkutan.
Berbeda Mushaf Standar Usmani, untuk menandai saktah Mushaf Madinah
membubuhkan tanda ‫ س‬saja. Dalam Al-Qur’an saktah hanya dijumpai pada 4 tempat,
yakni Surah al-Kahf/18: 1–2, Yāsīn/36: 52, al-Qiyāmah/75: 27, dan al-Muṭaffifīn/83: 14.

 Imālah. Untuk menandai bacaan imālah, Mushaf Standar Usmani menggunakan kata ‫امالة‬


yang ditulis di bawah huruf yang bersangkutan. Dalam Al-Qur’an, bacaan imālah hanya
dijumpai pada Surah Hūd/11: 41.

 Isymām. Untuk menandai bacaan isymām, Mushaf Standar Usmani menggunakan kata


‫ اشمام‬yang ditulis di bawah kata yang bersangkutan. Dalam Al-Qur’an, bacaan ini hanya
terdapat pada Surah Yūsuf/12: 11.

 Tashīl. Untuk menandai bacaan tashīl, Mushaf Standar Usmani menggunakan kata


‫تسهيل‬yang ditulis di bawah huruf yang bersangkutan. Bacaan ini hanya terdapat pada
Surah Fuṣṣilat/41: 44.

Hikmah Kodifikasi Al - Quran

Kodifikasi al-Quran mempunyai hikmah tersendiri bagi kaum muslim. Sebab, dengan adanya
kode bacaan tertentu, serta kaidah penulisan khusus, maka umat Islam di seluruh penjuru dunia
dapat melafalkan al-Quran sesuai dengan teksnya.
Berikut ini beberapa hikmah adanya kodifikasi al-Quran :

Pertama, menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah qiraah (bacaan). Sebab, dengan


satu kaidah, atau dengan metode bacaan yang sama, maka tidak akan terjadi selisih perbedaan
bacaan dan meminimalisasi pertentangan antarumat. Keseragaman bacaan juga sebagai indikasi
bahwa Islam merupakan ummatan wahidah (kesatuan umat) yang tidak akan berselisih dalam
aspek apa pun.

Kedua, menyeragamkan dialek bacaan al-Quran. Dengan adanya kodifikasi, al-Quran menjadi


satu dialek atau ungkapan yang pada akhirnya juga lebih membangun persatuan dan kesatuan
Islam. Satu dialek, ungkapan bacaan yang sama, merupakan indikasi bahwa Islam sangat
menjaga nilai luhur persatuan dan kesatuan.

Referensi : https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/325-mushaf-al-qur-an-standar-usmani

Referensi : https://www.duniasantri.co/sejarah-kodifikasi-al-quran/?singlepage=1

2.A. Usaha pemerintah dan perorangan dalam memasyarakatkan Al-Qur’an

Pemeliharaan atas kesucian dan kemurnian Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam pada
hakikatnya merupakan kewajiban segenap umat Islam di seluruh dunia, baik individu maupun
kolektif. Allah berfirman bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya. “‫انا‬
‫( نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون‬Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami
(pula) yang memeliharanya)” (al-Hijr/15: 9). Penggunaan kata “Kami” dalam ayat di atas,
menurut sebagian ulama mengindikasikan harus adanya keterlibatan manusia dalam menjaga Al-
Qur’an.

Pemerintah dan umat Islam Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap upaya
pemeliharaan Al-Qur’an melalui berbagai usaha, antara lain: melalui pembentukan Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tim penerjemahan Al-Qur’an dan penulisan tafsirnya, lembaga
pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an, dan penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an.
Sejak Islam masuk ke Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka telah dijumpai naskah-naskah
Al-Qur’an yang ditulis (disalin) oleh masyarakat Nusantara sendiri, maupun yang dibawa oleh
juru dakwah yang datang dari negara lain. Dari penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang
dan Diklat terdapat sekitar 251 naskah Al-Qur’an kuno yang tersimpan, baik di museum-
museum daerah maupun pada perorangan. Hal tersebut juga menjadi bukti bahwa Al-Qur’an
akan tetap terpelihara, baik melalui hafalan para huffaz ataupun melalui upaya penulisan kembali
(penyalinan) yang dilakukan secara terus-menerus tanpa henti sampai sekarang.

Untuk menjaga berbagai kesalahan dan kekurangan dalam penulisan Al-Qur’an tersebut,
pemerintah Indonesia membentuk satu lembaga yang bertugas untuk mentashih setiap mushaf
Al-Qur’an yang akan dicetak dan diedarkan kepada masyarakat di Indonesia. Lembaga tersebut
diberi nama Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, yang bertugas mengkoreksi Al-Quran cetak
dan elektronik dan melakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Selain itu sebagai
bentuk kecintaan terhadap kitab suci, pemerintah juga mendirikan Gedung Bayt Al-Qur’an yang
berisikan koleksi Al-Qur’an, mulai dari Al-Qur’an kuno sampai Al-Qur’an yang ditulis dan
dicetak dewasa ini.

Usaha pemeliharaan kemurnian Al-Qur’an juga diimbangi dengan usaha memasyarakatkan Al-
Qur’an melalui lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an. Di Indonesia banyak berdiri lembaga-
lembaga pendidikan Al-Qur’an yang didirikan baik oleh perorangan maupun kolektif. Tidak
hanya itu, dewasa ini juga banyak bermunculan lembaga-lembaga atau pesantren tahfiz.
Pesantren ini melahirkan para huffaz yang keberadaan mereka sangat dibutuhkan masyarakat.
Dalam menyemarakkan kesukaan membaca Al-Qur’an, pemerintah Indonesia juga membentuk
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ). Lembaga ini menyelenggarakan Musabaqah
Tilawatil Al-Qur’an (MTQ) dan STQ (Seleksi Tilawatil Qur’an) setiap tahun yang diikuti oleh
perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia.

Penerbitan Al-Qur’an yang bervariasi juga merupakan salah satu sumbangan umat Islam
Indonesia dalam menyebarkan Al-Qur’an. Di Indonesia, dalam konteks memudahkan membaca
Al-Qur’an secara benar sesuai dengan tuntunan ilmu tajwid, lahirlah mushaf-mushaf yang diberi
warna dengan tanda baca yang benar. Al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk mushaf saja, namun
juga ada dalam bentuk kaset, CD, bahkan alat-alat elektronik seperti handphone juga telah
banyak yang memuat aplikasi Al-Qur’an.
Untuk memberikan pemahaman terhadap kandungan Al-Qur’an, para ulama secara perorangan
selain mengajarkan Al-Qur’an kepada umat melalui lembaga pendidikan, juga berupaya
menerjemahkan atau menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa
lokal (daerah), seperti terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Aceh, bahasa Jawa, bahasa Sunda,
bahasa Mandar, bahasa Madura, dan bahasa-bahasa daerah lainnya. Para ulama yang ahli di
bidang Al-Qur’an juga berusaha menghadirkan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia untuk
membantu pemahaman umat terhadap Al-Qur’an sehingga di Indonesia banyak bermunculan
produk tafsir yang dikarang oleh ulama Indonesia sendiri. Kemunculan tafsir dalam bahasa
Indonesia ini untuk melengkapi produk-produk tafsir yang telah beredar sebelumnya dalam
bahasa Arab.

Selain berupa usaha perorangan, pemerintah Indonesia juga sangat menaruh perhatian terhadap
penyusunan terjemahaan dan tafsir Al-Qur’an. Sekarang ini, pemerintah melalui Kementerian
Agama telah menerbitkan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia. Dalam penyusunannya
ada beberapa kata yang diterjemahkan secara harfiah dan sebagian lagi ditafsirkan, mengingat
tidak semua kata-kata dalam Al-Qur’an dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia karena
karakter bahasa Al-Qur’an yang khas.

Satu hal yang patut disadari, persoalan agama bukan hanya pada otentisitas atau kemurnian teks-
teks keagamaan, tetapi pada pemahaman yang baik dan benar. Keaslian dan kemurnian teks Al-
Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran tidak diragukan lagi. Sejarah telah membuktikannya.
Tetapi khazanah intelektual Islam menyodorkan fakta sekian banyak perbedaan menyangkut
pemahaman teks-teks tersebut. Sifat Al-Qur’an yang dinyatakan banyak pakar
sebagai hammâlatu awjuh mengandung kemungkinan ragam interpretasi, semuanya dapat
dimungkinkan dan dibenarkan selama berpegang pada prinsip-prinsip kebahasaan dan syari`at
Islam. Dari sini kita dapat berkata, titik krusial dalam tek-teks keagamaan adalah pada
penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal  dan makna.

Oleh karena itulah, pemerintah Indonesia selain menerbitkan terjemah Al-Qur’an dalam bahasa
Indonesia, juga melalui Kementerian Agama menaruh perhatian yang sangat besar terhadap
keberadaan tafsir Al-Qur’an dengan mengusahakan penyusunan tafsir Al-Qur’an, baik yang
berbentuk tafsir tahlili maupun tafsir tematik. Keberadaan tafsir tematik diharapkan dapat
memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dengan pendekatan
Al-Qur`an. Melalui tafsir tersebut diharapkan dapat menghadirkan Al-Qur`an untuk berdialog
bersama umat tentang berbagai persoalan. Untuk melengkapi pemahaman umat, juga disusun
tafsir ayat kauniah, sebuah tafsir yang mencoba menguak dan menjelaskan sisi ilmiah ayat-ayat
Al-Qur’an.

Usaha penerjemahan atau penafsiran Al-Qur’an, baik oleh Kementerian Agama, oleh pemerintah
daerah, maupun oleh lembaga lain ataupun perorangan, selain ikut berperan dalam menjaga
kemurnian dan kesucian Al-Qur’an, juga turut berperan dalam meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan umat terhadap kandungan Al-Qur’an. Usaha-usahatersebut memberikan gambaran
bahwa bangsa Indonesia, khususnya umat Islam bersama-sama pemerintah, telah berupaya untuk
melestarikan Al-Qur’an dan menjaganya secara terus-menerus dengan berbagai cara, sehingga
kemurnian dan kesucian Al-Qur’an tetap terpelihara sepanjang masa, khususnya di tanah air
Indonesia  ini.

Referensi : https://lajnah.kemenag.go.id/artikel/14-peran-pemerintah-indonesia-dalam-
memasyarakatkan-al-qur-an

2.B. Menurut pendapat saya, pembudayaan al-quran harus di awali dari rumah-rumah yang di
pelopori oleh orang tua dengan mengajarkan anaknya membaca al-quran dan membuat anaknya
cinta dengan al-quran dan memberi motivasi untuk nya seperti memberi hadiah apabila ia
mampu menghafal al-quran   satu juz dan terus melakukan tabiaat yang cinta membaca al-quran
akan tetapi banyak kejadian sekarang al-quran telah jauh dari kehidupan masyarakat karna
kemajuan teknlogi seperti internet yang membuat orang tergila-gila dengan nya sehingga tidak
ada kesempatan lagi untuk membaca alquran. Sedangkan tentang penerapan pesan-pesan dalam
al-quran masih juga sampai sekarang belum efektif di karnakan tidak adanya rasa penting untuk
mempelajarinya yang tertanam dalam hati seseorang, orang-orang lebih memilih menghafal al-
quran ber-juz-juz dari pada mengamalkannya walaupun hanya sedikit.
3.A. Mengetahui asbabun nuzul mempunyai beberapa faedah sebagai berikut :

 Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum dan perhatian syariat terhadap


kemaslahatan umum dalam mengahdapi segala peristiwa sebagai rahmat bagi umat.

 Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, jika hukum itu
dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat al-‘ibrah bikhushush
as-sabab la bi ‘umum al-lafzhi ( yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus,
bukan lafadz yang umum).

 Apabila lafadz yang diturunkan itu bersifat umum dan ada dalil yang menunjukkan
pengkhususannya, maka adanya asbabun nuzul akan
membatasi takhshish ( pengkhususan) itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan
tidak dibenarkan mengeluarkannya (dari cakupan lafadz yang umum itu), karena
masuknya bentuk sebab ke dalam lafadz yang umum itu bersifat qath’i (pasti, tidak bisa
diubah). Maka, ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu
bersifat dzanni (dugaan) Pendapat ini dijadikan pegangan oleh ulama umumnya.

 Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami al-Quran dan
menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan
tanpa pengetahuan sebab turun-Nya. al-Wahidi menjelaskan, “Tidak mungkin
mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya.” Ibnu
Daqiq al-Id berpendapat, “Keterangan tentang sebab turunnya ayat adalah cara yang tepat
untuk memahami makna al-Quran. Menurut Ibnu Taimiyah sebab turunnya ayat akan
membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab akan mengatarkan
pengetahuan kepada musababnya (akibat).”

 Sebab turunnya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan
sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain, karena dorongan permusuhan
dan perselisihan.

Referensi : https://www.dutaislam.com/2019/09/5-manfaat-mengetahui-asbabun-nuzul.html
Contoh langsung dalam memahami suatu Ayat :

 Berbudi pekerti luhur sebab Al-Quran berisi tuntunan yang berkaitan dengan akhlakhul
kharimah.
 Melaksanakan ibadah kepada Allah antara lain dengan melaksanakan salat, puasa, zakat,
dan haji.
 Membaca dan memahami Al-Quran serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi : https://portalpasuruan.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-1371537691/contoh-perilaku-
yang-menerapkan-al-quran-dan-hadis-bagi-umat-islam

Anda mungkin juga menyukai