Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana kita ketahui bersama tentang pembahasan kami ini bertema “ Tokoh- tokoh Filsafat Islam dan
Pemikirannya”. Tentu hal ini sangat menarik untuk kita bahas dan pengupas dengan seksama guna menambah
wawasan dan pengetahuan kita tentang filsafat, terutama filsafat Islam. Filsafat merupakan bagian dari hasil
kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat
Islam itu sendiri adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam yang disinari
ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok
pemikirannya dikemukakan oleh para filosof Islam.

1.2. Rumusan Masalah


Dalam pembahasan ini banyak yang dapat kita ketahui dan menimbulkan banyak pertanyaan , antara lain:

1. Apa itu filsafat Islam ?


2. Bagaimana pemikiran para filosof Islam?
3. Bagaimana pandangan para filsuf Islam terhadap pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus ?
1.3.Tujuan Penulisan

Dalam hal ini, tentu kita mempunyai tujuan mengenai penulisan ini, diantaranya kita ingin tahu tentang
pemikiran para filosof Islam, dan perlu kita ketahui bersama bahwa filsuf Islam tidak kalah pelosof Barat,
terutama dalam hal filsafat atau pemikiran.

1.4 Manfaat

Setiap sesuatu yang kita pelajari pasti akan berdampak pada perkembangan pengetahuan kita, termasuk dalam
pembahasan kita ini yaitu “Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya”. Kita bisa mengambil pembelajaran
dalam hal pemikiran para filsuf Islam, baik dalam bidang tasawuf, jiwa, politik dan banyak lagi yang lainnya.
BAB II

Tokoh-tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya

A. Al-Kindi

1. Sejarah Hidup

Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu ‘Imron ibnu
Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama kabilah terkemuka pra-Islam
yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini pulalah yang melahirkan
seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal
untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.

Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya, Ishaq ibnu Al-
Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri
mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al-
Wasiq, dan Al-Mutawakkil.

Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Dan
ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung kehidupan intelektual
pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat
menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika,
kedokteran, matematika, filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka.
Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).

2. Filsafat atau Pemikirannya

a. Talfiq

Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat adalah pengetahuan yang
benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar
tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan
berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari
teologi. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya.
Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama
bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan agama ini pulalah dasarnya.
Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.

Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran,
kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena pengetahuan tentang kebenaran
termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga
sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus
menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi
para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan
meremehkan orang yang mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang yang
mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya
orang itu tidak lagi beragama.

Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menurut
mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan
untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan
antara keduanya, yaitu:

1) Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu
ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima
secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.

2) Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau perenungan.
Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan menyakinkan
dengan mutlak.

3) Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.

Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-dewakan akal.

b. Jiwa

Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh
berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat
hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling
memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang
keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.

Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang pendapat Aristoteles.
Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa
tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada
kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan
accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak
menyetujui Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa
mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi Al-Kindi jiwa
adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh
Tuhan.

3. Moral

Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof
wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk
hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan
para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia
merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan
mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan
pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi prihatin kalau-kalau
syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia
mengutamakan kaedah Socrates.
B. Al-Farabi

1. Biografi

Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang
latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota
Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah
al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana
dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan
kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna,
sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas
sistem filsafatnya.

2. Pemikirannya

a) Pemaduan Filsafat

Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran
Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang
mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah
akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.

Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea.
Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini
tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal
yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni
dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi,
sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-
sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari
tiga kemungkinan:

1) Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar

2) Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat
perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.

3) Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah
berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.

Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan
kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan
kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah
pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak
bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari
agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
b) Jiwa

Adapun jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani,
bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain.
Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai
substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-
nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar,
dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.

Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa
yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak
hancur dengan hancurnya badan.

c) Politik

Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-
Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang
Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada
kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling
penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan,
sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-
Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan
bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut.
Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.
Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa:
kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan,
minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan
keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.

Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka
menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya.
Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara
dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.

Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh
Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih
menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman
dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah
situasi pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan
pemberontakan.

C. Ibnu Sina

1. Biografi

Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah,
dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam
usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika
karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu
pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya
sendiri.
2. Pemikirannya

a) Kenabian

Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam empat kelompok:
mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga
mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu
puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil
bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka
memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya teoretisnya
sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya
praktis mereka.

Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat
kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu mempengaruhi bukan hanya pikiran orang
lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi,
melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-
konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar
atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila kita lapar
atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan minuman. Pelambangan
dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi, menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan
hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan
melihatnya.

b) Tasawuf

Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan keduniaan sebagaimana
yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa
jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi
perbedaannya terletak pada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.

Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia tidak diterima oleh ibnu
Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi melalui prantara untuk menjaga kesucian
Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan.
Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung
keluar dari Allah, tetapi melalui akal fa’al.

D. Al-Razi

1. Sejarah lahir

Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana
keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu
bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat
bahwasanya tempat yang ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan
tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan
suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh
karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar,
yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).

Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan
perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang
menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada
pada masa itu.

Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu
perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan
karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi
belaka.

Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal sebagai dokter yang
dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma
kepada orang miskin. Dan karena reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit
Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke Baghdad dan
memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia
kembali ke kota kelahirannya, kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal
dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.

2. Karyanya

Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang mengajarkan ilmu pengetahuan
kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu
kuno. Ia sangat rajin dalam menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara
berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati dengan mengatakan bahwa
pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia akan meninggal.

Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah satu kitabnya,
bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karya-karyanya
yang meliputi:

1. Ilmu Falak,
2. Matematika,
3. Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
4. 4. Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris
5. 5. Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
6. 6. Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-
buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli
kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.

3. Filsafatnya

Lima Kekal ( Al-Qadiim )

Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal memasukannya dalam makalah
kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada
pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal.

5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-
Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq
(masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan
jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan
waktu.

Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam ini dari
bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-
Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi
kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi
mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama,
bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.

Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang, maka Al-
Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua
kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, dan ruang
universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.

Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori yakni; waktu
yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri),
pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan
planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya,
bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.

E. Ibnu Miskawaih

1. Sejarah lahir

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih. Ia
dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16
Februari 1030 M. Dari buku yang kami dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan
biograpinya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah
terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-
Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.

Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya kepada sultan dan
wazir-wazir syi’ah pada masa pemerintahan Bani Buwaihi ( 320 – 448 M ). Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud
Al-Daulah menjabat sebagai kepala pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting, seperti
pengangkatannya sebagai Khazin, penjaga perpustakaan Negara dan bendarahara negara.

2. Karyanya

Dalam karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan tetapi, dia lebih terkenal
sebagai seorang filosof akhlak, ( al-falsafat al-‘amaliyat ) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan ( al-
falsafat al-nazhariyyat al-Illahiyat ).

Dalam buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar,
al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan ( sebuah sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979
M), Uns al-Fariid ( yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah ), Tartiib al-Sa’adat ( isinya
ahlak dan politik ), al-Mustaufa ( isinya syair-syair pilihan ), al-Jaami’, al-Siyaab, On the Simple Drugs
( tentang kedokteran ), On the composition of the Bajats ( tentang kedokteran ), Kitaab al-Ashribah ( tentang
minuman ), Tahziib al-Akhlak ( tentang akhlak ), Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat
wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi Su’al Ali ibnu
Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-‘Aql, dan Tharathat al-Nafs.
3. Akhlak

Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa akhlak adalah suatu sikap atau
keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan
kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan
sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan
bahwasanya cinta adalah gerak jiwa yang kosong.

Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak naluriah dan unsur watak
kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya
yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat
yakni adil.

Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan. Sedangkan yang dia
maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah; sifat hikmah merupakan sifat utama
bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa
marah yang mana sifat berani ini timbul dari sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa
keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara kehormatan
diri ).

Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat
utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat
itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.

F. Ibnu Rusyd

1. Sejarah kelahirannya

Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau
dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di
dunia barat dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama
ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuwan, sedang
ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang
hakim di Seville dan Cordova. Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di
Cordova.

Salah satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia tumbuh dan hidup dalam
keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam bidang keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya
karena ketajamannya dalam berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas, tidaklah
heran apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.

Hal yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai berakal ( masa baligh )
hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Tak pernah dia melewatkan waktunya selain
untuk berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan
keadaan seperti ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke waktu.

Kehidupannya sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusd pernah mengalami akan tuduhan pahit, yang
pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh
kafir, lalu dia di adili dan sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja,
semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di bakar, kecuali buku yang
bersifat ilmu pengetahuan murni ( sains ), seperti kedokteran, matematika dan astronomi.
Setahun lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun 1197 M, khlifah mencabut
hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal
10 desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75
tahun menurut perhitungan tahun Hijriyah.

2. Karyanya

Tulisan ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat
wa al-Syari’ah min al-Ittishaal, buku ini berisikan korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyf’an Manaahij al-
Sdillah fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini berisikan tentang kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan
sufi. Tahaafut al-Tahaafut, kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali yang kitabnya
berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah fiqih yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-
Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.

3. Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat

Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-akibat yang memang
merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;

1. Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat


Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki sifat dan cirri
tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada
daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang ada ini
dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan
lainnya.

Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah-nya adalah membasahi. Sifat
membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika
tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu
yang mustahil.

1. Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan


Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya mengenai sebab-
akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud
ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau
predikat terhadap maujud ini.

Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut dengan adat adalah
suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang mengkibatkan berulang-ulangnya
perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah
tidak akan berganti dan tidak berubah[1]. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya
akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi
tabia’at. Dan apabila yang dia maksud adalah adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat
terhadap mawjud, sepert si fulan baik san sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat
(hubungan)-nya kepada fa’il (Allah).
1. Hubungan sebab-akibat dengan akal
Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang gejala yang mawjud beserta
sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal
dan ilmu pengetahuan.

1. Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat


Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan keniscayaan, maka akan
mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu rusyd membedakan
antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.
Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai dengan risalah
kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang
mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan
dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat
mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai mukjizat lagi.

Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan risalah
kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh
ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena al-quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan
(sains) dimana pun dan kapan pun.

Bab lll

Penutupan

Dari apa yang kami tuliskan dalam makalah ini, sebebenarnya terdapat keterbatasan, yakni tidak semua para
filosof muslim kami bahas dalam makalah ini, terutama lagi tidak semua pula pendangan-pandangan para filosof
yang kami tuliskan pada makalah ini, hanya beberapa saja yang kami anggap mereka terkenal dalam bidang
keilmuan yang kami tuliskan. Masih banyak lagi filosof muslim yang tidak kami tuliskan, seperti ibnu thufail,
ibnu bajjah, ikhwan al-shafa dan lain sebagainya.

Dapat disimpulkan, dari lahirnya para tokoh di atas tadi yang menjadi sebab adanya karya-karya mereka yang
banyak, merupakan hal yang membanggakan bagi khazanah keilmuan islam. Sayangnya saja, karya-karya
mereka yang banyak itu tidak kita temui secara keseluruhan pada saat ini, karena terjadinya keadaan-keadaan
yang menyulitkan para filosof, seperti halnya kejadian yang menimpa ibnu rusyd yang karya-karyanya di bakar.

Tapi, bukan berarti kita tidak dapat mempelajari karya-karya mereka yang tersisa saat ini, kita juga dapat
mempelajari karya-karya filosof yang lahir setelah mereka dan dengan sebab ini pula banyak karya-karya baru
yang mereka tuliskan sehingga kita sebagai orang muslim tidak kehilangan akan khazanah keilmuan berkat jerih
payah mereka.

Semoga dengan apa yang kami tuliskan ini bermanfaat, setidaknya menambah pengetahuan mengenai filosof
muslim dan pemikirannya meski sedikit yang kami cantumkan pada makalah kami. Semoga dapat membantu
bagi yang membutuhkan. Amiin.

Daftar Pustaka

Muhammad Yusuf Musa, falsafat al-Ahklaq fi al-Islam, kairo: Dar al-A’raf, 1945

Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., filsafat islam, filosof dan filsafatnya, jakarta: rajawali pers, 2004

Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina, 1997

Nasution Hasyimsyah, filsafat islam, jakarta, Gaya media Pratama, 1998.

Anda mungkin juga menyukai