Anda di halaman 1dari 37

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Filsafat/filosofi berasal dari kata Yunani yaitu philos (suka) dan sophia (kebijaksanaan),
yang diturunkan dari kata kerja filosoftein, yang berarti : mencintai kebijaksanaan, tetapi arti
kata ini belum menampakkan arti filsafat sendiri karena “mencintai” masih dapat dilakukan
secara pasif. Pada hal dalam pengertian filosoftein terkandung sifat yang aktif.
Filsafat adalah pandangan tentang dunia dan alam yang dinyatakan secara teori. Filsafat
adalah suatu ilmu atau metode berfikir untuk memecahkan gejala-gejala alam dan masyarakat.
Namun filsafat bukanlah suatu dogma atau suatu kepercayaan yang membuta. Filsafat
mempersoalkan soal-soal: etika/moral, estetika/seni, sosial dan politik, epistemology/tentang asal
pengetahuan, ontology/tentang manusia, dll.
Layaknya seperti ilmu pengetahuan, filsafat  juga mempunyai metode yang digunakan
untuk memecahkan problema-problema filsafat. Selain itu filsafat juga mempunyai obyek dan
sistematika/struktur. Tidak kalah pentingnya dengan cabang ilmu pengetahua, filsafat juga
mempunyai manfaat dalam mempelajarinya.

B.    Pengertian Filsafat Islam


Filsafat Islam diartikan sebagai berpikir yang bebas, radikal dan berada dalam dataran
makna. Bebas artinya tidak ada yang menghalang pikiran bekerja, sepanjang seseorang itu dalam
keadaan sehat.
Kajian filsafat islam terhadap objeknya (objek material) dari waktu ke waktu mungkin
tidak berubah. Tetapi, corak dan sifat serta dimensi yang menjadi tekanan atau fokus-fokus
kajiannya (objek formal) harus berubah, serta konteks kehidupan manusia semangat baru yang
selalu muncul dalam perkembangan zaman.
Filsafat Islam terdiri dari 2 kata yaitu Filsafat dan Islam, dalam khasanah ilmu, Filsafat
diartikan sebagai berpikir yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna.
Bebas artinya tidak ada yang menghalangi pikiran bekerja. Kerja pikiran terdapat di otak,
oleh karena itu tidak ada satu kekuatan apapun baik raja/penguasa negara manapun yang bisa
menghalangi seseorang untuk berfikir apalagi mengatur/menyeragamkannya, sepanjang
seseeorang itu dalam keadaan sehat.
C.     Objek-objek dalam Filsafat Islam

Secara khusus objek-objek kajian tersebut dapat dirinci menjadi :


1.     Ontologi, berhubungan dengan bahasan yang ada (wujud/eksisteni) itu, mana/apa yang
sebenarnya ada yang menjadi landasan/sumber keberadaan yang lainnya. Ada beberapa sesuatu
yang ada itu, mengapa sesuatu ada dan bagaimana mengadanya, dalam konteks Islam berkaitan
degan apa dan siapa yang benar-benar wujud.
2.     Teologi yaitu pembahasan tentang keTuhanan yang akan meliputi eksistensi, esensi, sifat,
nama dan perbuatan-Nya
3.     Epistemologi yaitu pembahasan tentang sumber asal segala sesuatu dan metode
mengada/cara mendapatkan sesuatu bila berhubungan dengan ilmu maka berarti sumber-sumber
dan metode perolehannya.
4.     Aksiologi yaitu pembahasan tentang nilai, kegunaan dan manfaat segala sesuatu
5.     Etika, pembahasan tentang baik buruknya prilaku manusia berdasarkan dalil-dalil tertentu
6.     Estetika yaitu pembahasan tentang keindahan, seni dan berbagai dimensi dan cabangnya.
Keindahan tersebut mencangkup Keindahan Hakiki, Keindahan Natural, dan Artifisial.
7.     Logika, berhubungan dengan pembahasan benar salahnya suatu pemikiran rasio atau akal
berdasarkan sistem tertentu. Atau berkaitan dengan cara / metode berpikir yang dapat
dipertanggungjawabkan dan menghasilkan kebenaran yang sesungguhnya.
8.      Metafisika, yaitu pembahasan tentang sesuatu yang berada di luar jangkauan mata
fisik/material atau yang tidak tampak yang dalam bahasa agama disebut pembahasan yang gaib.
9.     Antropologi, membahas masalah hakekat manusia dan hubungannya dengan fungsi dan
perannya dari berbagai sudut pandang.
10.  Psikologi, membahas masalah aspek kejiwaan manusia, hakekatnya, sifat-sifatnya dan relasi
dengan realitas yang lainnya serta pengarhunya pada perilaku dhahir dan batinnya manusia.
11.  Kosmologi, membahas hakekat alam darimana asal dan bagaimana penciptaanya serta jenis
dari cakupannya.
12.  Eskatologi, membahas tentang masalah kehidupan sesudah kematian
TOKOH FILSAFAT ISLAM AL KINDI

DAN PEMIKIRANNYA

      Sejarah Hidup

Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibnu Ishaq ibnu al-Shabbah ibnu
‘Imron ibnu Muhammad ibnu al-Asy’as ibnu Qais al-Kindi. Kindah merupakan suatu nama 
kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.
Kabilah ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusasteraan Arab,
sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah
pembunuhan ayahnya.

Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H dari keluarga kaya dan terhormat.
Ayahnya, Ishaq ibnu Al- Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi
dan Ar-Rasyid. Al-kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani Abbas, yakni
Al-Amin, Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, Al- Wasiq, dan Al-Mutawakkil.

Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa
dan teologi  Islam. Dan ia pernah menetap di Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga
sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai 
disiplin ilmu. Oleh karena itu tidak heran jika ia dapat menguasai ilmu astronomi,ilmu ukur, ilmu
alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni musik meteorologi,, optika, kedokteran, matematika,
filsafat, dan politik. Penguasaannya terhadap filsafat dan ilmu lainnya telah menempatkan ia
menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran filosof terkemuka. Karena
itu pulalah ia  dinilai pantas menyandang gelar Faiasuf al-‘Arab ( filosof berkebangsaan Arab).

Filsafat atau Pemikirannya  

a.  Talfiq

Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya filsafat
adalah pengetahuan yang benar ( knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-
argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang
dihasilkan oleh filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan
teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya
agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan  dari keduanya.
Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang
benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan
dan agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu, karena
pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya,
tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya dan
untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari
manapun datangnya. Sebab, “tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada
kebenaran itu sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang
mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran,
sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika diibaratkan maka orang
yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan orang yang memperdagangkan agama,
dan pada akikatnya orang itu tidak lagi beragama.

Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan


dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut
Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan
ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:

1)      Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan
agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui
proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.

2)      Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau
perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban
secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.

3)      Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan


keimanan.

Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-
dewakan akal.

b.  Jiwa
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan
mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda
dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim,
kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan. Argumen yang
diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu
dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang.

Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato ketimbang
pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baharu, karena jiwa adalah
bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk kesatuan
isensial, dan kemusnahan badan membawa kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato
berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer.
Binasanya badan tidak mengakibatkan lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato
yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa
mempunyai tiga daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi
Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan. Qadimnya
jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.

c. Moral

Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan
bahwa sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri
(Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang
memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa
kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara. Ia merasa diri korban
kelaliman negara seperti Socrates. Dalam kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan
mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai
keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi
prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena
itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
B.     Al-Farabi
Pemikirannya

a.     Pemaduan Filsafat

Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang berkembang sebelumnya


terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia
dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia
dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato.
Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.

Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles
mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu
diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja.
Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat
segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil
bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles
mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama
mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak
lebih dari tiga kemungkinan:

1)      Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar

2)      Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya
terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.

3)      Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi
keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.

Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada
kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu
berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat
perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu
digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat
dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap
mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.

b.     Jiwa

Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus.
Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah
dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara
accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak
membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi,
sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa
diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.

Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa
khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari
ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.

c.      Politik

Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia
tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-
Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh
konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan
anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting
dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia
dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga
dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau
penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ
tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik
dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan
yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan,
minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan,
ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.

Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau
terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang
saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang
memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif
antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi
yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu
jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak
mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan.
Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu itu,
kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan.

C.    Ibnu Sina

      Pemikirannya
a.      Kenabian

Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, ibnu Sina membagi manusia kedalam
empat kelompok:  mereka yang kecakapan teoretisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan
yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia,
sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang demikian rupa sehingga
berkat kecakapan imajinatif mereka  yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung
pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang. Kemudian mereka memiliki
kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang daya
teoretisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang yang mengungguli sesamanya
hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.

Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan seorang Nabi, yaitu memiliki
imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia mampu
mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya.
Dengan imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran Nabi, melalui keniscayaan psikologis yang
mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji
dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau
membacanya tidak hanya menjadi percaya  tetapi juga terdorong untuk berbuat sesuatu. Apabila
kita lapar atau haus, imajinasi kita menyuguhkan imaji-imaji yang hidup tentang makanan dan
minuman. Pelambangan dan pemberi sugesti ini, apabila ini berlaku pada akal dan jiwa Nabi,
menimbulkan imaji-imaji yang kuat dan hidup sehingga apapun yang dipikirkan dan dirasakan
oleh jiwa Nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya.

b.     Tasawuf

Tasawuf, menurut ibnu Sina tidak dimulai dengan zuhud, beribadah dan meninggalkan
keduniaan sebagaimana yang dilakukan orag-orang sufi sebelumnya. Ia memulai tasawuf dengan
akal yang dibantu oleh hati. Dengan kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima
ma’rifah dari al-fa’al. Dalam pemahaman bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan
ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak pada
ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.

Mengenai bersatunya Tuhan dan manusia atau bertempatnya Tuhan dihati diri manusia
tidak diterima oleh ibnu Sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada Tuhannya, tetapi
melalui prantara untuk menjaga kesucian Tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu
tidak tercapai, kecuali hubungan manusia dengan Tuhan. Karena manusia mendapat sebagian
pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar tidak langsung keluar dari Allah, tetapi
melalui akal fa’al.

D.    Al-Razi

  Filsafatnya

Lima Kekal ( Al-Qadiim )

Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal
memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang
akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal.

5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat
(jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang
absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang
hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi,
yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.

Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang
menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari
ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan
sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah.
Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-
atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga
kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.

Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati
ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam
pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat
dengan sesuatu wujud yang menempatinya,  dan ruang universal yang tidak terikat dengan
maujud dan tidak terbatas.

Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua
kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak
atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur
adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan
mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah
ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.

E.     Ibnu Miskawaih


      Akhlak

Ibnu miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa akhlak 
adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa berpikir dan sama
sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama
sekali pertentangan dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau
mengenai hal ini sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak
jiwa yang kosong.
Ibnu Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur yakni; unsur watak naluriah
dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan ( riyadhoh ). Serta dia berpandangan
bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketigak daya ini beserta sifat-sifatnya
selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat yakni adil.

Adapun tiga daya yang dia maksud adalah; daya pikir, daya marah, dan daya keinginan.
Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini antara lain adalah;
sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir dari
ilmu. Rasa berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul dari
sifat hilm ( mawas diri ). Sedangkan sifat utama bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang
merupakan sifat utamanya yang lahir dati ‘iffah ( memelihara kehormatan diri ).

Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah
yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul darinya, yakni
keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.

F.     Ibnu Rusyd

.      Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat

Berikut ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap imam ghazali mengenai sebab-akibat yang
memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan;

Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat

Menurut ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki
sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan arti bahwasanya untuk terwujudnya
sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd,
kita bisa mengenali mawjud yang ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka
dengan itu pula kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.

Misalnya, api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah-nya adalah
membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya dan merupakan
pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu, tentunya air dan api sama saja, tidak
ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah sesuatu yang mustahil.

Terdapat hubungan yang dharuuriiy ( pasti ) antara sebab dan akibat

1. Hubungan sebab-akibat dengan adat atau kebiasaan

Menurut ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya
mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd mempertanyakan
apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah), atau adat maujud, atau juga adat
bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap maujud ini.

Kalaulah yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut dengan
adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang mengkibatkan
berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan berganti dan tidak berubah[1]. Jika yang dimaksudnya
adalah adat bagi maujud, maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa
karena bagi yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia maksud
adalah adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat terhadap mawjud, sepert si
fulan baik san sebagainya, maka hal ini mawjud terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya kepada
fa’il (Allah).

2. Hubungan sebab-akibat dengan akal

Menurut ibnu Rusyd; pengetahuan akal tidak lebih daripada pengetahuan tentang gejala yang
mawjud beserta sebab-akibatnya yang menyertainya. Pengingkaran terhadap sebab-akibat berarti
pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.

3. Hubungan sebab-akibat dengan mukjizat

Di awali dengan pendapatnya imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan keniscayaan, maka
akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi. Mengenai hal ini, ibnu
rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy dan mukjizat al-Jawaaniy.
Mukjizat al-Barraaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai
dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat nabi musa yang merumbah menjadi ular, nabi Isa
yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat seperti ini yang saat itu dipandang
sebagai mukjizat atau perbuatan diluar kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan
oleh pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang
sebagai mukjizat lagi.

Mukjizat al-Jawaaniy, adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan
risalah kenabiannya, seperti mukjizatNabi Muhammad yakni al-Quran. Mukjizat seperti inilah
yang dipandang oleh ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang sebenarnya, karena al-quran tidak dapat
diungkapkan oleh pengetahuan (sains) dimana pun dan kapan pun.

PENUTUP

Dapat disimpulkan, dari lahirnya para tokoh di atas tadi yang menjadi sebab adanya
karya-karya mereka yang banyak, merupakan hal yang membanggakan bagi khazanah keilmuan
islam. Sayangnya saja, karya-karya mereka yang banyak itu tidak kita temui secara keseluruhan
pada saat ini, karena terjadinya keadaan-keadaan yang menyulitkan para filosof, seperti halnya
kejadian yang menimpa ibnu rusyd yang karya-karyanya di bakar.

Tapi, bukan berarti kita tidak dapat mempelajari karya-karya mereka yang tersisa saat ini, kita
juga dapat mempelajari karya-karya filosof yang lahir setelah mereka dan dengan sebab ini pula
banyak karya-karya baru yang mereka tuliskan sehingga kita sebagai orang muslim tidak
kehilangan akan khazanah keilmuan berkat jerih payah mereka.

Semoga dengan apa yang di tuliskan ini bermanfaat, setidaknya menambah pengetahuan
mengenai filosof muslim dan pemikirannya meski sedikit dari apa yang di tuliskan dalam
makalah ini, sebenarnya terdapat keterbatasan, yakni tidak semua para filosof muslim dibahas
dalam makalah ini, terutama lagi tidak semua pula pendangan-pandangan para filosof yang
dituliskan pada makalah ini, hanya beberapa saja yang di anggap mereka terkenal dalam bidang
keilmuan yang di tuliskan. Masih banyak lagi filosof muslim yang tidak dituliskan, seperti ibnu
thufail, ibnu bajjah, ikhwan al-shafa dan lain sebagainya.
TOKOH FILSAFAT ISLAM AL KINDI
DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
FILSAFAT DAN ETIKA PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

Dosen Pengajar oleh :


Dr. Ir. MUH. JAMAL ALWI, M.Si

Disusun Oleh:

ISMAYANTI BISMA
NIM. 0008.06.13.2013

PROGRAM STUDI MAGISTER


MANAJEMEN PESISIR DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
Al-Kindi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Al-Kindi

Abu Yūsuf Yaʻqūb ibn ʼIsḥāq aṣ-Ṣabbāḥ al-Kindī (Arab: ‫دي‬QQ‫بّاح الكن‬Q‫أبو يوسف يعقوب بن إسحاق الص‬,
Latin: Alkindus) (lahir: 801 - wafat: 873), dikenal sebagai filsuf pertama yang lahir dari kalangan
Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani. Banyak karya-
karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan
Plotinos. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang diterjemahkannya sebagai karangan
Aristoteles yang berjudul Teologi menurut Aristoteles, yang di kemudian hari menimbulkan
sedikit kebingungan.

Ia adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf Muslim pertama. Secara etnis, al-
Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar
daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan filsafat Yunani
kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.

Al Kindi telah menulis banyak karya dalam pelbagai disiplin ilmu, dari metafisika, etika, logika
dan psikologi, hingga ilmu pengobatan, farmakologi, matematika, astrologi dan optik, juga
meliputi topik praktis seperti parfum, pedang, zoologi, kaca, meteorologi dan gempa bumi.

Di antaranya ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-
Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini
begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat
tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan,
harmoni, geometri dan astronomi.

Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau aritmatika
karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun.

Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible),
dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga
kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan
lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi
dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik
pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah
diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi
sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau
untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat
haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan
mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.

Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan


pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki
keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan
kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex
nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia
oleh Tuhan.

Al-Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian


diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang
berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan
religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang
sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam), al Kindi dapat membebaskan diri dari
upaya kejam para bangsawan religius-ortodoks itu.
TOKOH FILSAFAT ISLAM AL KINDI

Falsafat atau filsafat adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia
sebagai gabungan dari philein yang berarti ”cinta“ dan shoppos yang berarti “hikmah“.
Kemudian philosophia masuk kedalam bahasa Arab menjadi Falsafat yang berarti cara berfikir
menurut logika dengan bebas, sedalam –dalamnya sampai kepada dasar persoalan.

Dari segi praktisnya berfilsafat berarti “berfikir“ . filsafat berarti “alam fikiran“ atau “alam
berfikir”. Namun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat. Sidi Gazalba mengartikan
“berfilsafat“ berarti mencari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang
dimasalahkan, berfikir secara radikal, sistematis, dan universal. Dapatlah dikatakan bahwa
intisari filsafat ialah berfikir secara logika dengan bebas ( tidak terikat pada tradisi, dogma dan
agama ) dan dengan sedalam – dalamnya sehingga sampai ke dasar – dasar persoalan.

Filsafat bagi Al-Kindi ialah pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan
filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar apa yang baik, demikian
halnya filsafat agama disamping wahyu, mempergunakan akal,dan filsafat juga menggunakan
akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat
tentang Tuhan. Bahkan Al-Kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat, telah
mengingkari kebenaran, dan menggolongkannya kepada “kafir”, karena orang – orang tersebut
telah jauh dari kebenaran, walaupun menganggap dirinya paling benar. Karena keselarasan
antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian dari
filsafat, (2) wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan,(3)
menurut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.
BIOGRAFI DAN PENDIDIKANNYA

Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran bin
Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H
(801 M). Ia termasuk keluarga yang kaya dan terhormat. Kakek buyutnya bernama Al-Asy’ats
ibnu Qays yakni seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai Syuhada bersama
sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak.
Sedangkan ayahnya bernama Ishaq ibnu As-Shabbah yakni seorang Gubernur di Kufah pada
masa pemerintahan Al-Mahdi (tahun 775-785 M) dan Al-Rasyid (tahun 786-809 M). namun
ayahnya meninggal ketika ia masih usia anak-anak.

Al-Kindi berasal dari Klan Kindah yakni salah satu Kabilah Arab. Selain dari itu, karena
ia merupakan keturunan Arab, ia dimasukkan dalam kelompok filosof Arab. Nama Al-Kindi
dinisbatkan pada sukunya yakni Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku yang dikenal memiliki
apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang dikala itu. “Suku ini pulalah
yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar dan tersebar para kesustraan Arab, sang
penyair pangeran Imr Al-Qays yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah
pembunuhan ayahnya”.

Kalau diperhatikan dari tahun kelahiran Al-Kindi, kita dapat membuat sebuah
kesimpulan bahwa ia hidup pada masa kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecil ia telah
merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Al Kindi sudah menjadi yatim sejak
ia masih berusia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu
dengan baik. Al- Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima Khalifah Bani Abbas, yakni
Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-
847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).

Al-Kindi adalah seorang yang aktif dalam segala aktivitas dilakukannya. Salah satu
bentuk dalam kesibukannya ia menyibukkan dirinya untuk menerjemahkan karya-karya tulisan
Yunani ke dalam Bahasa Arab, juga mengkoreksi hasil terjemahan orang lain atas karya-karya
tersebut dan ia pun bekerja di Istana Khalifah Abbasiyah.  Tidak hanya itu, karena ia dipercaya
oleh pihak istana dengan kemampuannya untuk mengajar, maka ia pun diangkat menjadi guru
pribadi pendidik anak Khalifah di kala itu yang bernama Mu’tashim. Mu’tashim adalah Khalifah
yang menggantikan Al-Makmun, sedangkan anak yang dididik oleh Al-Kindi bernama Ahmad
bin Mu’tashim. Namun di masa terakhir kehidupannya, ia diusir dari istana. Akhirnya ia
meninggal di Baghdad pada Tahun 252 H/866 M. 

Al-Kindi mulai belajar sejak ia kecil, dan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan
kurikulum pada masanya. Ia mempelajari Al-Qur’an serta belajar membaca, menulis,
menghitung yang diperolehnya sewaktu ia masih Sekolah Dasar di Bashrah.  Kemudian ia
melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, sehingga ia mahir dalam berbagai cabang ilmu yang ada
pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung, mantigh (logika),
geometri, astronomi, seni musik, ilmu ukur dan lain sebagainya. Penguasaanya terhadap filsafat
telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajarannya
para filosof terkemuka. Karena itulah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf al-‘Arab
(filosof berkebangsaan Arab). Ia juga mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani, hingga
sekurang-kurangnya memahami salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan di kala
itu yakni bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa
Suryani inilah Al-Kindi menerjemahkannya kedalam bahasa Arab.

Al-Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian


diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang
berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan
religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang
sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam), Al Kindi dapat membebaskan diri dari
upaya kejam para bangsawan religius-ortodoks itu.

KARYA - KARYANYA

Sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan, maka Al-Kindi membuat sebuah
karya tulis ilmiah, dan membuat terjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus melakukan koreksi
serta perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai seorang pakar ilmuan di kala itu, kita dapat
melihat beberapa hasil tulisan yang dibuat oleh Al Kindi, yakni sebagai berikut :
a.     Bidang Filsafat

1. Fi al-falsafat al-‘Ula,
2. Kitab al-Hassi’ala Ta’allum al-Falsafat,
3. Risalat ila al-Ma’mun fi al-illat wa Ma’lul,
4. Risalat fi Ta’lif al-A’dad,
5. Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma
Fauqa al-Thabi’iyyat,
6. Kammiyat Kutub Aristoteles,
7. Fi al-Nafs

b.     Bidang Astronomi

1. Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang
planet),
2. Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik
tentang sifat-sifat perbintangan),
3. Risalah fi anna Ru’yat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-
Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan
ketetapan,
4. Risalah fi Mathrah asy-Syu’a (tentang projeksi sinar),
5. Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim dingin),
6. Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak kebelakang
planet-planet),
7. Fi asy-Syu’at (tentang sinar bintang).

c.     Meteorologi
1.  Risalah fi ’illat Kawnu adh-Dhabasb (tentang sebab asal mula kabut),

2.  Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang tanda di
langit dan disebut sebuah planet),

3.  Risalah fi ’illat Ikhtilaf Anwa’us Sanah (tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun),

4.  Risalah fi al-Bard al-Musamma ”Bard al-Ajuz” (tentang dingin),


d.     Ramalan

1.  Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang Prediksi),

2.  Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifat fi al-Ahdats (tentang ramalan dengan mengamati gejala
meteorolgi).

e.     Ilmu Pengobatan

1.  Risalah fi’illat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran
pernapasan),

2.  Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).

f.     Ilmu Hitung

1.  Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif),

2.  Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-’Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka).

g.     Logika

1.  Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar lengkap
logika),

2.  Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris (sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).

Karya-karya yang disebutkan di atas merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak
karya Al-Kindi. Karya Al-Kindi di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak kurang
dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan membaginya
menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, ilmu kedokteran,
astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan.

PEMIKIRAN FILSAFAT AL KINDI

Menurut sejarah dibeberapa buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-
Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa Al-Kindi adalah seorang filosof
Islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat Yunani
dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran Islam, maka ini
terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat
Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam. Selama
eksisnya dalam mempelajari filsafat, Al-Kindi memberikan definisi-definisi singkat dari filsafat
itu sendiri.

 Menurut Al Kindi filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan


sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan dari segala pengetahuan dan
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, hingga kesemuaanya dititik beratkan pada nilai tingkah
laku manusia. Menurutnya lagi filosof adalah “orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan
hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Filosof yang sejati adalah filosof yang
mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu.”  

Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha menggegas agar filsafat bisa dipelajari dan
berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua itu tidak untuk kebenaran yang hakiki.
Untuk itu Al-Kindi yang terkenal sebagi Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu
usaha demi sebuah pencerahan. Salah satu usahanya adalah Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke
dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari
mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana
saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi
nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat
orang yang menerimanya. 

Kemudian ia mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama
melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di gariskan maka, filsafat berlandaskan akal
sedangkan agama berdasarkan wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedang iman
merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana
diwahyukan ALLAH kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an merupakan
satu ilmu yang mesti dipelajari melalui akal dan keimanan, sebagai contoh firman ALLAH SWT
Q.S. Al-Baqarah ayat 164 :

َّ َ‫اس َو َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ ِمن‬


‫ َما ِء ِم ْن‬Q ‫الس‬ َ َّ‫ك الَّتِي تَجْ ِري فِي ْالبَحْ ِر بِ َما يَ ْنفَ ُع الن‬ِ ‫ار َو ْالفُ ْل‬
ِ َ‫الف اللَّ ْي ِل َوالنَّه‬
ِ ِ‫اخت‬ ْ ‫ض َو‬ِ ْ‫ت َواألر‬ ِ ‫إِ َّن فِي خَ ْل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
‫وْ ٍم‬Qَ‫ت لِق‬ ِ ْ‫ َما ِء َواألر‬Q‫الس‬
ٍ ‫ا‬QQَ‫ض آلي‬ َّ َ‫ َّخ ِر بَ ْين‬Q‫ب ْال ُم َس‬
ِ ‫ َحا‬Q‫الس‬ َّ ‫اح َو‬Q
ِ Qَ‫يف الرِّ ي‬
ِ ‫ ِر‬Q‫َص‬ َّ َ‫ض بَ ْع َد َموْ تِهَا َوب‬
ْ ‫ ِّل دَابَّ ٍة َوت‬Q‫ث فِيهَا ِم ْن ُك‬ َ ْ‫َما ٍء فَأَحْ يَا بِ ِه األر‬
َ‫يَ ْعقِلُون‬
”Sesungguhnya tentang kejadian  langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, kapal yang
berlayar di lautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi manusia, hujan yang
diturunkan ALLAH SWT dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan Dia bumi yang telah mati,
berkeliaran diatasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang terbentang antara
langit dan bumi, sesungguhnya segala yang tersebut itu menjadi ayat-ayat (bukti-bukti atas
kekuasaan ALLAH SWT bagi kaum yang berfikir”.

Dalil kedua yang dimunculkannya adalah Q.S Al-Hasyr ayat 2;

... ‫ار‬ َ ‫فَا ْعتَبِرُوا يَا أُولِي األب‬


ِ ‫ْص‬

”… maka ambillah ’ibrah (pengajaran), hai orang-orang yang mempunyai pemandangan”.

Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan pada tiga alasan: pertama, ilmu
agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan
kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam
agama.

Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini mengandung
teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Kebanyakan definisi filsafat al-Kindi dikumpulkan dari karya-karya Aristoteles dan kesukaannya
kepada Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan, ketika ia meringkas dari sumber-sumber lain
yang secara keliru, ia menisbahkan pula kepada Aristoteles. Subjek dan susunanya sesuai benar
dengan sumber Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan disebut ”Sebab pertama” mirip dengan
”Agen Pertamanya” Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan Al-Kindi atau dengan
istilahnya ”Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”. Definisi-definisi berikutnya  dalam
Risalah Al-Kindi dikemukakan susunanya yang membedakan antara alam atas dan alam bawah.
Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-
definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda’),
materi (hayula), bentuk (shurah). Dari dasar pemikiran Al-kindi akhirnya timbullah pemikiran
filsafatnya antara lain:
a.    Filsafat Ke-Tuhanan

Filsafat Ketuhanan Al-Kindi merupakan awal lahirnya perbincangan Ke-Tuhanan, namun


penafsiran Al-Kindi mengenai Tuhan sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles, Plato dan
Plotinius. Mengenai hakikat ke-Tuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Esa,
tidak ada sesuatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan, dan Tuhan tidaklah melahirkan
ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan tidak akan pernah mati. Dalam Al-
Qur’an Surat al-Ikhlas ayat 1 s/d 4 sebagai bukti keberadaan Tuhan.

‫ص َم ُد * لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم يُولَ ْد * َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َح ٌد‬


َّ ‫قُلْ هُ َو هَّللا ُ أَ َح ٌد * هَّللا ُ ال‬

”Katakanlah: "Dia-lah ALLAH, yang Maha Esa, ALLAH adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,  Dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia".

Dalam Islam Sang Khalik atau pencipta dan penguasa segalanya di buat sebuah penamaan yakni
”ALLAH SWT” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas maka, itulah bukti yang paling
kongkrit bahwa ALLAH SWT itu ada dan hidup kekal selamanya, sedangkan manusia adalah
Hamba ALLAH yang diberikan kehidupan hingga akhirnya mati. Bagaimana kita bisa percaya
akan adanya ALLAH SWT, maka dari itu sebagai manusia biasa diberikan akal, hati dan nurani
untuk dapat menyakini adanya ALLAH SWT melalui bukti-bukti kekuasaan ALLAH SWT.

Agar manusia khususnya umat Islam tidak berselisih paham akan keberadaan ALLAH SWT,
tentang keberadaan alam, ataupun keberadaan manusia itu sendiri, maka sebagai seorang filosof,
Al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua bahagian, yakni: pertama, pengetahuan Ilahi ‫علم الهي‬
(divine science). Pengetahun ini diambil langsung dari yang tercantum dalam Al-Qur-an yaitu
pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi dari Tuhan. Sedangkan dasar dari pengetahuan ini
adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi ‫انى‬QQ‫( علم إنس‬human science) atau falsafat.
Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason).

Argumen-argumen yang dibawa Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang


ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Qur’an tidak bertentangan dengan kebenaran yang di
bawa falsafat. Mempelajari filsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bahagian
dari filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.
 Kebenaran yang sesungguhnya hanya pada ALLAH SWT. Apa yang terlintas di akal hingga
terjadi dengan sendirinya di luar akal merupakan sebuah hikmah dalam kehidupan yang mesti
kita sadari bahwa terkadang suatu pelajaran sudah kita anggap benar namun akhirnya menjadi
sebaliknya. Akhirnya semua akan kembali kepada Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk
bagi kehidupan manusia. Apa yang dinyatakan dalam Al-Qur’an semuanya mengandung hikmah
dan pelajaran bagi seorang insan yang mau berpikir. 

Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti ’aniah atau mahiah. Tidak
’aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah
pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, kemudian tuhan tidak mempunyai
hakekat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya
satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah tunggal, selain dari Tuhan
semuanya mempunyai arti banyak.

Agar dapat memahami penafsiran Al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti merujuk pada kaum
Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah seorang tokohnya)
menafsirkan sifat-sifat ALLAH dengan nama-nama ALLAH, mereka menerima makna harfiyah
Al-Qur’an tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum Mu’tazilah yang semasa dengan Al-
Kindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat ALLAH demi memantapkan sifat Maha Esa-Nya. 

Walaupun Al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam menafikan sifat dari Zat ALLAH. Akan
tetapi, ketika Muktazilah menyatakan bahwa Tuhan itu mengetahui dengan Ilmu-Nya dan Ilmu-
Nya adalah Zat-Nya (’Alim bi’ilm wa ’ilmuh zatuh) berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan
kekuasaa-Nya adalah Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh) Al-Kindi tidak sepaham
dengan pandangan ini. Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah
Pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles.

b.   Filsafat Alam

Mengenai alam, Al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles
Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan ”alam ini kekal”, sedangkan Al-Kindi
mengatakan ”alam ini tak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan
membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap
benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu,
adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal.
Hanya ALLAH-lah yang kekal. 

Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai
permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan
bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini
adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam
falsafat Al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas menulis tentang hal itu.

Menurut Al-Kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari
baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua benda yang
homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar. Kedua, jarak
antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan
potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas.
Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan
homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar. Kelima, jika sebuah benda
dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. Keenam, jika satu bagian
diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang
sama seperti semula. Ketujuh, tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai
batas. Kedelapan, jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas
ditambahkan bersama, maka jumlahnya juga akan terbatas.

Kesimpulan dari ungkapan Al-Kindi di atas adalah alam semesta ini pastilah terbatas,
oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak
terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam dan peredaran alam ini sebagai bukti adanya
Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.
c.    Filsafat Jiwa dan Akal

Mengenai jiwa dan akal, Al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para filosof
muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam Al-Qur’an yaitu, al-ruh.
Kemudian kata ruh ini di Indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu dorongan untuk
melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif maka nafsu ini
mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu (keinginan yang jelek).
Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda kehidupan seseorang. Ketiga roh
atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan bentuknya. Karena Al-Qur’an telah
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan
ALLAH bukan urusan manusia. ALLAH menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra’ 17 :
85.

‫وح قُ ِل الرُّ و ُح ِم ْن أَ ْم ِر َربِّي َو َما أُوتِيتُ ْم ِمنَ ْال ِع ْل ِم إِال قَلِيال‬ َ َ‫َويَسْأَلُون‬
ِ ُّ‫ك ع َِن الر‬

”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh
manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang
dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan pengetahuan,
maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan akalnya untuk
menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya menerima hasil dari ide orang
lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak
berpengetahuan seperti dikatakan Al-Qur’an pada Surat az-Zumar ayat 9:

ٌ ِ‫أَ َّم ْن هُ َو قَان‬


 ‫ َذ َّك ُر‬Q َ‫ت آنَا َء اللَّ ْي ِل َسا ِجدًا َوقَائِ ًما يَحْ َذ ُر اآل ِخ َرةَ َويَرْ جُو َرحْ َمةَ َربِّ ِه قُلْ هَلْ يَ ْست َِوي الَّ ِذينَ يَ ْعلَ ُمونَ َوالَّ ِذينَ ال يَ ْعلَ ُمونَ إِنَّ َما يَت‬
‫األلبَاب‬ ْ ‫أُولُو‬

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-
waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan
rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia
sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah badan dan
bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan
materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula
sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini
mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa
terwujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan
kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini Al-Kindi sependapat dengan
Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya
badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang
mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.

Menurut Al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi mempunyai  arti
penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari substansi Tuhan.
Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Hanya roh yang
sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum
bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru pindah ke
Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga akhirnya, setelah benar-benar
bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.

Mengenai akal, Al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles


membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin
menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini
dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan takkan
rusak. Berbeda halnya dengan Al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam; pertama: akal
yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam roh, ketiga: akal yang
telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat; akal yang kita sebut akal kedua.
Yang dimaksudkan dengan akal ”kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya
memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.

Dinyatakan lagi oleh Al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat
aktual jika tidak ada kekurangan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi Al-
Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna: akal
yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi bil fa’il abadan). Akal ini, karena selamanya
dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi
aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut menjadi ’akil (’akal) jika ia telah mengetahui universal,
yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal ’aklul kharaji). Akal
yang selalu bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah
universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang
pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).

Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan


dengan apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut
Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena hal itu dapat dilakukan
ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan antara keduanya, yaitu:

1)      Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan
agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui
proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.

2)      Jawaban filsafat menunjukan ketidakpastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau
perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban
secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.

3)      Filsafat mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan


keimanan.

Walaupun Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak mendewa-
dewakan akal.
KESIMPULAN

Al-Kindi, adalah seorang  filosof yang berusaha mempertemukan agama dengan filsafat.
Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak dilarang. Meski Al-Kindi terpengaruh
pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles dan memperlihatkan corak pitagorasme, namun dalam
beberapa hal Al-Kindi tidak sependapat dengan para filosof Yunani mengenai hal-hal yang
dirasakan bertentangan dengan ajaran Islam yang diyakininya. Sebagai filosof Islam pertama
yang menyelaraskan agama dengan filsafat, ia telah melicinkan jalan bagi filosof sesudahnya,
seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Siapa sebenarnya Al-Kindi? Tidak lain adalah seorang ulama filsuf (filosof) muslim pertama
keturunan arab yang memiliki nama lengkap: Abu Yusuf Yakub ibn Ishaq ibn al-Sahabbah ibn
Imran ibn Muhammad ibn al-Asy`as ibn Qais ibn al-Kindi. Lebih populer di kampus-kampus dan
seminar-seminar filsafat dengan sebutan al-Kindi, dinisbatkan kepada Kindah yaitu suatu kabilah
terkemuka pra Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.

Tidak ada kepastian tentang tanggal kelahiran, kematian dan siapa-siapa saja ulama yang pernah
menjadi guru Al-Kindi. kecuali kepastian bahwa ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H atau
801 M dari pasangan keluarga kaya dan terhormat. Kakek buyutnya, al-Asy`as ibn Qais adalah
salah seorang sahabat nabi yang gugur bersama Sa`ad ibn Abi Waqqas dalam perang jihad antara
Kaum Muslimin dengan pasukan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya Ishaq ib al-Shabbah adalah
seorang gubernur di Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-
809 M). Ayahnya wafat ketika al-Kindi masih kanak-kanak, namun ia tetap mendapatkan
kesempatan menuntut ilmu dengan baik di Bashroh dan Baghdad serta dapat bergaul dengan
para pemikir Islam terkenal masa itu.
Menurut Yakut al-Himawi, al-Kindi wafat setelah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.
Berdasarkan penelitian dari Mustahfa Abd al-Raziq (mantan rektor Al-Azhar) dalam bukunya:
Failasuf Arab wa al-Muallim Tsani, al-Kindi wafat sekitar tahun 252 H/866 M.

Setting Social-History
Diperkirakan Al-Kindi hidup semasa dengan pemerintahan Daulah Abbasiyah saat dipimpin oleh
Al-Amin, 809-813 M; Al-Ma`mun, 813-833 M; Al-Mu`tashim, 833-842 M; Al-Watsiq, 842-847
M; dan Al-Mutawakkil, 847-861 M. Pada saat itu, Dinasti Abbasiyah sedang mengalami masa-
masa kejayaan dan perkembangan dalam dunia intelektual khususnya faham mu`tazilah.

Selain sebagai filsuf, al-Kindi juga dikenal sebagai penerjemah mahir. Menurut Ibn Juljul dalam
bukunya Thabaqat al-Thibba (golongan dokter), menyebutkan bahwa dalam Islam ada 5 orang
penerjemah mahir dan salah satunya adalah al-Kindi. 4 orang lainnya yaitu: Hunain ibn Ishaq,
Ya`qub ibn Ishaq, Tasbit ibn Qurrah, dan Umar ibn Farkhan al_thabari.

Sehubungan dengan bidang penerjemahan, pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma`mun, Al-
Kindi dikenal sangat berjasa dalam gerakan penerjemahan dan menjadi seorang pelopor yg
memperkenalkan tulisan-tulisan Yunani, Suriah, dan India kepada dunia Islam melalui lembaga
Bait al-Hikmah. Di lembaga ini pula, al-Kindi pernah menjadi dosen pengajar atas undangan
Khalifah Al-Ma`mun sekaligus mengasuh Ahmad, putera Khalifah Al-Mu`tashim.

Bidang Keilmuan Al-Kindi


Berbeda seperti zaman sekarang, di mana seorang ulama hanya menguasai satu cabang keilmuan
yg mahir, maka Al-Kindi sama seperti tradisi keilmuan para ahli pada masanya maupun masa-
masa sebelum dan sesudahnya, yaitu menguasai lebih dari satu cabang keilmuan mahir
khususnya ilmu-ilmu yg sedang berkembang saat itu (di Kufah dan Baghdad).

Di antara cabang keilmuan yg dikuasai al-Kindi dan diakui dunia hingga saat ini antara lain
seperti: ilmu kedokteran, aljabar (matematika), ilmu falak, filsafat, semantik dan bahasa,
geometri, astronomi (planet), farmakologi, ilmu jiwa, optika, politik, spiritualistik, metafisika,
musik, bahkan ia juga dikenal sebagai penulis lagu. Banyak istilah-istilah yang dirubah dan
dikembangkan oleh al-Kindi bahkan mendapat perhatian dan masih digunakan oleh kalangan
ilmuan saat ini seperti: Jirm (tubuh) dirubah al-Kindi menjadi Jism, al-tamam (akhir) menjadi al-
ghayah, thinah (materi) menjadi maddah, al-tawahhum (imaginasi) menjadi al-takhayyul, al-
galibiyyah (nafsu birahi) menjadi al-ghadhabiyah, al-quniah (sifat dan sikap) menjadi al-
malakah, dan istilah al-jami`ah (sillogisme) menjadi al-qiyas.

Karya-Karya al-Kindi
Al-Kindi dikenal juga sebagai penulis buku yang aktif. Diperkirkan karya buku yang telah
ditulisnya tidak kurang dari 270 buah yang membahas berbagai bidang keilmuan dan persoalan
umat.

Berikut ini beberapa karya al-Kindi yang terkenal:

 ☛Kitab Al-Kindi ilaa Al-Mu`tashim Billah fi al-Falsafah al-Ula (buku ini membahas
tentang kajian filsafat pertama)
 ☛Kitab al-Falsafah al-Dakhilat wa al-Masa`il al-Manthiqiyyah wa al-Muqtashah wa ma
Fawqa al-Thabi`iyyah (membahas kajian filsafat dan berbagai masalah yang
berhubungan dengan logika, muskil, dan metafisika)
 ☛Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyyah (membahas berbagai rahasia spiritual
dengan bahasa filosofis)
 ☛Risalah fi Annahu al-Jawahir la Ajsam (mengkaji tentang substansi-substansi tanpa
badan)
 ☛Kitab fi Ibarah al-Jawami` al-Fikriyah (Menganalisa tentang ungkapan-ungkapan
mengenai ide-ide komprejensif)

Pandangan Metafisika (Ketuhanan) dan Alam Semesta


Tentang kosmologi, Al-Kindi menyatakan bahwa alam ini dijadikan Tuhan dari tiada menjadi
ada (creatio ex nihilio) dan sekaligus mengatur dan mengendalikan serta menjadikan sebagian
alam menjadi sebab bagi alam lainnya.

Menurut al-Kindi, di alam semesta ini terdapat benda-benda yg dapat ditangkap oleh panca
indera. Benda-benda ini merupakan bagian dari juz`iah (particulars) yang tak terhingga. Setiap
benda mempunyai 2 hakekat, hakekat sebagai juz`i (disebut aniah) dan hakekat sebagai kulli
(disebut mahiah), yaitu hakekat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spescies. Namun
menurut al-Kindi, bukan juz`iah yg tak terhingga banyaknya itu yang penting, melainkan hakekat
yang terdapat dalam juz`iyah itu, yang disebut dengan kulliah (universals).

Ketuhanan menurut al-Kindi, Tuhan tidak mempunyai hakekat dalam arti aniah sebab Tuhan
tidak tersusun dari materi dan bentuk serta tidak termasuk dalam benda-benda yg ada di alam,
bahkan Tuhan adalah sang pencipta alam. Tuhan juga tidak mempunyai hakekat dalam
pengertian mahiah sebab Tuhan tidak termasuk dalam species dan genus. Tuhan adalah wujud
yg maha sempurna dan tidak didahului oleh wujud lain. Tuhan adalah Unik dan menjadi al-Haq
al-Awwal. Wujud Tuhan tidak pernah berakhir, sedangkan wujud lain ada karena ada wujud
Tuhan. Tuhan adalah al-Haq al-Wahid yg mahaesa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada
zat lain yang menyerupai Tuhan dalam hal apapun. Selain tuhan, akan mengandung arti banyak
dan menjadi bagian dari golongan species dan genus. Tuhan tidak dilahirkan dan tidak pula
melahirkan.

Tentang Hal Aneh Lainnya


Al-Kindi termasuk ulama yang mempertahankan ajaran adanya kebangkitan jasmani setelah
mati. Manusia dibangkitkan tidak hanya ruhnya, tetapi juga jasmaninya (di akherat nanti). Al-
Kindi juga mendukung keyakinan tentang terjadinya mu`jizat pada seorang nabi/rasul, keabsahan
wahyu Nabi, serta kepastian akan terjadinya hari kiamat (hari dihancurkannya dunia oleh Tuhan)

Sumber Bacaan Lanjutan:

Anda mungkin juga menyukai