Manusia yang telah menyadari eksistensi dirinya akan senantiasa menanyakan banyak hal di
dalam hatinya tentang persoalan yang menjadi misteri dalam hidup ini. Berbagai macam
pertanyaan tentang asal, tujuan, dan alasan manusia hidup di dunia ini semakin mengalir dalam
bisikan hati. Selanjutnya manusia menanyakan tentang keberadaan alam ini. Keduanya dilakukan
hanya untuk menjawab misteri di dunia ini. Semakin bertambahnya kedewasaan seseorang
membuat otak dan logika membentuk sebuah pengertian dan mengambil kesimpulan tentang
adanya Tuhan. Ketegangan hubungan agama dan filsafat terjadi pada abad pertengahan.
Pemikiran Yunani sebagai embrio Filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran barat
abad pertengahan, modern dan masa berikutnya. Di samping menempatkan filsafat sebagai
sumber pengetahuan, juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus
diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan
misalnya dunia barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan
terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama pada masa modern digantikan dengan ilmu-
ilmu positif.
A. Pengertian Agama dan Filsafat
Agama berasal dari bahasa Sankskrit yang terdiri dari dua kata, a berarti tidak dan gam berarti
pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi turun temurun. Agama memang
mempunyai sifat yang demikian. Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti tuntunan.
Agama juga mempunyai tuntunan, yaitu Kitab Suci. Istilah agama dalam bahasa asing
bermacam-macam, antara lain: religion, religio, religie, godsdienst, dan ad-din.
Agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan harus dibaca. Dari akar kata
itu, baik din maupun religi, dan agama didefinisikan dalam berbagai ungkapan, antara lain
pengakuan adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. agama
adalah keseluruhan pendapat tentang Tuhan, dunia, hidup, mati, tingkah laku serta baik buruknya
yang berdasarkan wahyu. Wahyu adalah penerangan Tuhan secara istimewa kepada manusia
secara langsung ataupun tidak langsung (melalui wakil atau utusan).
Pada zaman skolastik, filsafat disebut juga dengan filsafat masehi karena didasarkan pada ajaran
agama masehi. Walaupun disebut sebagai filsafat masehi tetapi filsafat tetap dalam arti yang
sebenarnya, karena berjalan di atas landasan fikiran. Secara lebih khusus dijelaskan dalam buku
filsafat skolastik bahwa agama adalah aqidah (kepercayaan) yang diwahyukan dan yang
mengharuskan keimanan. Sedangkan filsafat ialah penyelidikan fikiran yang didasarkan atas
dalil-dalil fikiran.
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata: philo dan sophia. Philo
berarti cinta, sedangkan dalam arti luas yakni keinginan dan sophia berarti hikmat
(kebijaksanaan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau
kebenaran (love of wisdom). Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa pengertian filsafat
yang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Gregorius Nazianze hidup sekitar tahun 390 M. Ia menyebarkan ajaran bahwa akal
manusia pada dirinya sendiri dapat mengenal Allah. Tema ini pada abad ke-2 memang telah
muncul. Dengan mempelajari hasil penciptaan Allah manusia dengan aklnya dapat mengetahui
bahwa Allah ada, walaupun hakekat atau zatNya tetap tersembunyi bagi manusia. Mengenai
hakekat atau zat Allah, manusia hanya dapat mengungkapkannya secara negative, misalnya,
Allah tidal bertubuh, tidak dialhirkan, tanpa awal, tidak berubah, tidak dapat binasa, dan lain-
lain.
3. Origenes
Origenes adalah orang pertama yang memberikan suatu uraian sistematis tentang teologi.
Persoalan penting yang menjadi pergumulan pada waktu itu adalah bagaimana hubungan iman
dan pengetahuan. Origenes mengajarkan bahwa iman kurang berguna lagi bagi orang yang telah
“berpengetahuan”, artinya, orang yang telah memiliki pemahaman yang mendalam. Sebab iman
hanya perlu bagi orang-orang yang sederhana, orang yang tidak mengerti isi Kitab Suci secara
rohani. Menurut Origenes, Kitab Suci mempunyai tiga (3) macam arti, yaitu: arti yang harafiah
atau yang somatis, yang historis, yang berlaku bagi orang yang sederhana; arti yang etis atau
psikis, seperti yang diuraikan di dalam khotbah, yang diperuntukkan bagi orang yang psikis.
Yang terakhir, arti pneumatis atau rohani, yang lebih mendalam, yang diperoleh dengan tafsiran
allegoris atau kiasan, yang diperuntukkan bagi apra teolog dan para filsuf. Kitab Suci harus
ditafsirkan dengan cara demikian, karena manusia terdiri dari tubuh (soma), jiwa (psukhe) dan
roh (pneuma). Origenes menyatakan bahwa Allah adalah transenden, Allah yang tidak dapat
dimengerti. Ia tidak bertubuh, esa serta tidak berubah. Allahlah yang menjadi pencipta segala
sesuatu baik yang bersifat rohani maupun bersifat bendawi. Origenes mengajarkan penciptaan
yang kekal abadi. Allah tidak penah menganggur. Sebelum dunia diciptakan, Allah telah bekerja,
menciptakan dunia yang lain yang mendahului dunia tempat kita berdiam. Sesudah zaman dunia
kita ini akan ada dunia yang baru. Demikianlah ada penciptaan yang kekal abadi.
Kata “skolastik” menunjuk pada suatu periode Abad Pertengahan ketika banyak sekolah (Latin:
schola) didirikan dan banyak pengajar bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata
“skolastik” menunjuk pada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”. Dengan metode ini,
berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-kontra-nya
untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan “ke-masuk-akal-an” dan pengkajian yang
teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik. Para
sejarawan filsafat membagi zaman Skolastik menjadi tiga periode, yakni Skolastik awal,
Skolastik puncak, dan Skolastik akhir.
1. Anselmus Canterbury
Anselmus (1033-1109), Uskup dari Canterburry, Inggris, adalah pemikir yang paling
berarti pada abad ke-11. Ia berkeyakinan bahwa iman beriktiar menemukan pemahaman atau
pengertian (fides quarens intellectum). Memang, bagi Anselmus, iman selalu merupakan titik
tolak pemikirannya dan isi ajaran iman tidak dapat dibantah oleh alasan-alasan rasional. Namun,
meskipun demikian, akal budi yang sejati niscaya akal dapat mencapai kebenaran-kebenaran
iman. Maka, orang beriman seharusnya juga berusaha memahami imannya secara rasional.
b. Filsuf jaman skolastik puncak
Mulai abad 12, ada hubungan-hubungan baru dengan dunia pemikiran Yunani dan dunia
pemikiran Arab. Melalui karya orang-orang Arab dan Yahudi mulai lebih mengenal karya-karya
Aristoteles. Pengaruh penemuan kembali filsafat Aristoteles mempengaruhi semua pemikir abad
ke-13. Para teolog memakai filsafat Aristoteles sebagai alat teknis dalam berpikir, hanya cara
berpikir Aristoteles yang dimanfaatkan sedangkan ajarannya berasal dari ajaran Augustinus. Hal
yang membantu perkembangan Skolastik ialah timbulnya ordo-ordo baru, yaitu Fransiskan dan
ordo Dominikan. Ordo Fransiskan berorientasi pada tradisi filsafat Augustinus dan ordo
Dominikan memakai gaya filsafat Aristoteles. Ordo-ordo ini membantu mengembangkan ilmu
yang disumbangkan pada universitas-universitas.
1. Thomas Aquinas
Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya
berasal dari Allah. Maka, baik teologi maupun filsafat pada akhirnya akan sampai pada
kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja, keduanya memakai metode yang berlainan. Filsafat
mempunyai penyelidikan dari benda-benda ciptaan dan dari situ mencapai Allah. Adapun teologi
justru sudah menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas benda-
benda alamiah. Maka, teologi memerlukan wahyu Allah. Wahyu diterima kebenarannya oleh
sang teolog dalam iman. Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan adikodrati yang
disampaikan wahyu kepadanya. Semua pengetahuan ini memang berada di luar batas-batas akal
budi melulu, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat irasional
atau bertentangan dengan prinsip-prinsip akal budi, melainkan jauh melampaui dan
mengatasinya. Dengan kata lain, semua pengetahuan yang berasal dari wahyu bersifat
metarasional (meta, Yunani: sesudah, di atas). Namun, meskipun akal budi tidak dapat menguak dan
menyibak misteri, ia dapat membantu meratakan jalan menuju misteri; dengan demikian, dapat membantu
orang beriman untuk secara lebih tepat memahami dan membela kebenaran imannya dengan penuh rasa
tanggung jawab.
Dari ajaran di atas, orang dapat menemukan adanya dua macam pengetahuan yang tidak bertentangan dan
masing-masing berdiri sendiri: pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan alamiah adalah
pengetahuan yang bersumber dari terang dan mempunyai sasarannya pada hal-hal yang bersifat umum.
Adapun pengetahuan iman adalah pengetahuan yang berdasarkan wahyu adikodrati dan sasarannya
tertuju kepada hal-hal yang disampaikan Allah secara khusus kepada manusia demi keselamatan
abadinya melalui Kitab Suci, ajaran, dan tradisi Gereja.
Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas masalah-masalah iman
mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat
dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang dapat
menerimanya. Uraian dan refleksi logis atas ajaran Gereja menggantikan pengetahuan spekulatif
tentang Tuhan.
William dari Ockham adalah seorang biarawan Fransiskan. Aliran yang diajarkannya
adalah nominalisme. Aliran ini disebut via modern (jalan modern) dan via Antigua (jalan kuno).
Filsafat Ockham berintikan dua prinsip pokok, yakni prinsip omnipontentia (kemahakuasaan
Allah) dan prinsip ekonomi yang juga dikenal dengan sebutan “pisau cukur Ockham” (Ockham
razor).
Kedua, prinsip ekonomi mengajarkan bahwa segala realitas metafisik tidak boleh diterima jika
tidak ada dasar kokoh untuk mengakuinya. Manakah dasar kokoh yang menjadi patokan untuk
menerima atau menolak suatu realitas metafisik? Jawabannya adalah pengalaman indrawi yang
baru saja disebut dalam prinsip pertama! Atas dasar ini, Ockham menolak banyak distingsi rumit
yang dibuat oleh para pemikir sebelumnya (misalnya struktur esensi-eksistensi). Yang tinggal
adalah apa yang dapat diterima dan diteguhkan oleh pengalaman indrawi. Tidak heran kalau dalam sejarah
filsafat prinsip ekonomi ini disebut “pisau cukur Ockham” (Ockham`s razor) Ockham membabat habis
segala sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pengalaman indrawi.
Peradaban Islam pada puncak kebesarannya tidak menentang ilmu pengetahuan dan filsafat,
bahkan menguatkan, mendorong serta bersungguhsungguh dalam mencari kebenaran dan
membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai macam pendapat dan aliran. Islam mengajak umatnya
untuk memikirkan, menganalisis dan mengarahkan pandangan ke langit dan kebumi serta tidak
mengharamkam pembahasan yang rasional-filosofis.
1 a. Filsafat Mesir
Negara Mesir atau timur dekat telah lama memiliki peradaban yang tinggi, dimana Eropa pada
saat ini masih berada dalam lingkungan kegelapan. Setelah peradaban timur dekat (Mesir)
runtuh, barulah muncul kebudayaan Yunani yang selanjutnya mempunyai pengaruh yang sangat
besar diseluruh Eropa, bahkan juga dibidang pemikiran filsafat berpengaruh di seluruh dunia.
Orang orang Mesir telah berpikir tentang asal segala sesuatu yang maujud, yaitu “RA”. Dialah
pokok dari segala yang ada dan dapat mengadakan segala apa yang dikuasainya, karena Ia adalah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi orang Mesir telah Iebih dahulu mendapati apa yang didapati Plato
dalam tempo 25 abad sebelumnya. Orang-orang Mesir purbakala juga telah sampai pada
keyakinan terhadap kekalnya roh manusia yang telah mati, dan akan kembali kepada tubuhnya,
maka tubuh yang mati itu perlu diabadikan dengan mummia agar pada hari kebangkitan, roh itu
mau kembali kepada tubuhnya semula. Kaum reaksioner atheis ini menggunakan perdebatan
perdebatan yang filosofis untuk menghabisi kepercayaan terhadap adanya Tuhan atau hidup
sesudah di akhirat. Tetapi kemudian datanglah raja yang bernama “Amunepis” yang antusias
sekali mengembangkan kepercayaan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Orang Mesir
purbakala dimana mereka telah mengalami perkembangan pemikiran sebagai lazimnya
perkembangan pemikiran dunia filsafat. Hal ini sebagai bukti bahwa, sebelum herkembang
filsafat Yunani telah pernah berkembang pemikirar filosofis di negara Mesir, meskipun dengan
kualitas dan kuantitas yang berbeda. Tepatlah apa yang ditulis oleh Dr. Fuad Al Ahwani, bahwa
ilmu filsafat pada zaman dahulu milik orang-orang Kaldan penduduk Irak, kemudian pindah
kepada orang Mesir lantas berpindah lagi pada Orang Yunani.
1 b. Filsafat India
Di belahan bumi yang lain, yaitu India juga telah berkembang kebudayaan yang tinggi dengan
menelurkan pemikiran falsafat yang cukup berbobot jauh sebelum Yunani kebudayaannya
sampai melahirkan para filosof yang brilliant. Kira-kira 1000 sampai 2000 tahun sebelum
Masehi, bangsa Arya meninggalkan tanah airnya untuk mengadakan ekspansi ke tanah datar
sungai Indus, sehingga mengalahkan penduduk asli negeri itu. Mula-mula mereka tinggal di
daerah Punjab, tetapi makin lama makin besar kekuasaannya dan berkembang kebudayaannya,
termasuk di dalamnya perkembangan pemikiran filsalat. Zainal Arifin Abbas, menulis bahwa
tarikh perkembangan pikiran orang India yang dapat dikenal baik dalam soal-soal agama, filsafat
dan siasat adalah pada masa 1500 sebelum Masehi. Jadi lebih muda dari pada Mesir, tetapi lebih
tua dari pada Tiongkok dan Yunani.
Karya pemikiran filsafat India itu bercampur dengan ajaranajaran agama yang termuat dalam
suatu kitab yang sangat dihormati orang Hindu, yaitu kitab “Veda”. Di dalam kitab tersebut soal-
soal alam semesta telah mendapat perhatian pemikiran orang Hindu dengan berusaha
menyelidiki, memahami dan menguak rahasia alam semesta dengan segala isinya. Tetapi Juga
mereka merasa benar, bahwa alam dunia ini adalah fana tidak akan kekal selamanya. Orang
dalam filsafat memang mencari kebenaran, tetapi bukan demi kebenaran belaka, melainkan
untuk bebas dari ikatan dunia. Filsafat Hindu menyelidiki alam, dicari inti sarinya, diselami
hakekatnya, dicari sebab-sebab yang sedalamdalamnya, akan tetapi filsafat tidak berhenti disitu
saja masih mempunyai tujuan lebih lanjut yaitu “kebebasan”.
1 c. Filsafat Persia (lran)
Masuknya wilayah Persia ke dalam daulah Islamiah itu, maka banyak pula unsur-unsur
kebudayaan ataupun alam pikiran Persia yang mempengaruhi umat Islam pada kurun waktu
selanjutnya.
1 d. Filsafat Yunani
Semua ahli sepakat bahwa sumber utama filsafat Islam adalah filsafat Yunani yang telah
berkembang sejak abad ke enam sebelum Masehi. Para filosof muslim banyak yang mengambil
pikiran Plato dan Aristoteles, demikian pula banyak teori-teori filsafat Plotinus yang diambil dan
diolah oleh mereka. Maka dalam hal ini dibenarkan bahwa para filosof muslim berhutang budi
pada orang Yunani, demikian pula dapat dibenarkan bahwa para filosof modern di Barat
berhutang budi kepada umat Islam. Hal ini disebabkan karena renaissance yang menjadi embrio
lahirnya filsafat modern di Barat merupakan pengaruh pemikian rasional para filosof muslim
seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya. Jadi filosof muslim merupakan mata rantai
yang sungguh berarti dalam kelangsungan perkembangan alam filsafat dalam sejarah umat
manusia hingga dewasa ini.
2.2
Proses Penyerapan Filsafat Yunani Ke dalam Dunia Islam Filsafat Yunani yang sampai pada
dunia Islam tidaklah semuanya orisinil seperti yangditinggalkan orang-orang Yunani sendiri,
tetapi telah melalui pemikiran Hellenisme Romawi yang memiliki cirri dan corak tertentu. Jika
pemikiran filsafat Yunani cenderung bersifat teoritis, maka filsafat Hellenisme Romawi lebih
bercorak praktis. Hal ini disebabkan Bangsa Romawi telah menguasai ketata- negaraan, hukum
dan perundang-undangan
KEPUSTAKAAN
Copleston, Frederick. A History of Philosophy (vol 2). London: Burns, Oates &
Washbourne, 1950.
Newland, Mary Reed. Riwayat Hidup Para Kudus. (judul asli: The Saint Book),
diterjemahkan oleh J. Waskito SJ. Medan: Bina Media, 2002.
Paus Benediktus XVI. Bapa-Bapa Gereja (judul asli: The Fathers), diterjemahkan oleh J.
Waskito SJ. Malang: Dioma, 2010.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari
Zaman Yunani hingga Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.