Anda di halaman 1dari 12

Pembahasan

Manusia yang telah menyadari eksistensi dirinya akan senantiasa menanyakan banyak hal di
dalam hatinya tentang persoalan yang menjadi misteri dalam hidup ini. Berbagai macam
pertanyaan tentang asal, tujuan, dan alasan manusia hidup di dunia ini semakin mengalir dalam
bisikan hati. Selanjutnya manusia menanyakan tentang keberadaan alam ini. Keduanya dilakukan
hanya untuk menjawab misteri di dunia ini. Semakin bertambahnya kedewasaan seseorang
membuat otak dan logika membentuk sebuah pengertian dan mengambil kesimpulan tentang
adanya Tuhan. Ketegangan hubungan agama dan filsafat terjadi pada abad pertengahan.
Pemikiran Yunani sebagai embrio Filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran barat
abad pertengahan, modern dan masa berikutnya. Di samping menempatkan filsafat sebagai
sumber pengetahuan, juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus
diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan
misalnya dunia barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan
terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama pada masa modern digantikan dengan ilmu-
ilmu positif.
A. Pengertian Agama dan Filsafat
Agama berasal dari bahasa Sankskrit yang terdiri dari dua kata, a berarti tidak dan gam berarti
pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi turun temurun. Agama memang
mempunyai sifat yang demikian. Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti tuntunan.
Agama juga mempunyai tuntunan, yaitu Kitab Suci. Istilah agama dalam bahasa asing
bermacam-macam, antara lain: religion, religio, religie, godsdienst, dan ad-din.
Agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan harus dibaca. Dari akar kata
itu, baik din maupun religi, dan agama didefinisikan dalam berbagai ungkapan, antara lain
pengakuan adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. agama
adalah keseluruhan pendapat tentang Tuhan, dunia, hidup, mati, tingkah laku serta baik buruknya
yang berdasarkan wahyu. Wahyu adalah penerangan Tuhan secara istimewa kepada manusia
secara langsung ataupun tidak langsung (melalui wakil atau utusan).
Pada zaman skolastik, filsafat disebut juga dengan filsafat masehi karena didasarkan pada ajaran
agama masehi. Walaupun disebut sebagai filsafat masehi tetapi filsafat tetap dalam arti yang
sebenarnya, karena berjalan di atas landasan fikiran. Secara lebih khusus dijelaskan dalam buku
filsafat skolastik bahwa agama adalah aqidah (kepercayaan) yang diwahyukan dan yang
mengharuskan keimanan. Sedangkan filsafat ialah penyelidikan fikiran yang didasarkan atas
dalil-dalil fikiran.
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata: philo dan sophia. Philo
berarti cinta, sedangkan dalam arti luas yakni keinginan dan sophia berarti hikmat
(kebijaksanaan) atau kebenaran. Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau
kebenaran (love of wisdom). Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa pengertian filsafat
yang sangat beragam, baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.

B. Kaitan antara Agama dan Filsafat


Objek forma filsafat adalah mencari sebab yang sedalamdalamnya. Dalam hal ini berbedalah
dengan ilmu. Dalam alat dan kemampuan berpikir, filsafat mempergunakan pikiran (budi betul
dalam mencari sesuatu sebab itu dikatakan tanpa membatasi diri, tetapi juga ada batasannya juga,
ialah budi itu sendiri, atau boleh juga dikatakan bahwa kodrat manusia yang berbudi). Rumusan
filsafat yang sesuai dengan definisi di atas ada baiknya, karena sekaligus tercantum objek
formanya, juga alat penerangan untuk menyoroti objek forma itu. Alat penerangan yang ada
dalam agama disebut wahyu. Dengan budinya manusia itu mencoba memahami hal-hal yang
diwahyukan, berusaha pula untuk mengambil kesimpulan dari kebenaran-kebenaran yang
difirmankan oleh Tuhan itu, bukti-bukti kebenaran lalu juga bukan kodrati maupun indrawi juga
melainkan adi kodrati, artinya dasar-dasarnya, ialah kalau benar-benar diwahyukan, maka
benarlah ini usaha manusia untuk merenungkan kebenaran dalam ajaran yang disebut teologi.
Oleh karena itu, filsafat menyelidiki segala sesuatunya, pertemuan penyelidikan dengan teologi
banyak juga. Demi tugas ini filsafat menyelidiki dan mempelajari pendapat tentang Tuhan,
adanya sifatNya, hubungannya bagi manusia dan dunia. Semuanya itu dicapai melalui budi yang
dimiliki demi kodratnya, maka pengetahuan filsafat tentang Tuhan dalam hal ini adalah
pengetahuan kodrati.
Hubungan intelek (al-aql) dan spirit (al-ruh) sebagai perpaduan antara agama dan filsafat dapat
di jelaskan sebagai berikut, yaitu dalam perspektif Islam bahwa intelek dan spirit memiliki
hubungan yang sangat erat serta merupakan hubungan dua muka secara tradisional yang
dipahami dan yang konsen dengan pengetahuan dalam ḥasanah kultur Islam diperhatikan dalam
dunia spirit membentuk paguyuban tunggal disertai tarik menarik yang sangat kuat dalam satu
agama. Kenyataan ini secara pasti, benar pada faktor-faktor Islam yang telah dianggap sebagai
elemen-elemen anti intelektual dalam dunia Islam.
Filsafat Islam merupakan suatu komponen penting pada tradisi intelektual Islam, dan para Filsuf
memiliki spiritual yang sama dengan pengetahuan (gnostik) diantara para sufi. Lebih dari itu
Filsafat Islam telah memainkan suatu permainan penting dalam perkembangan kalam, tidak
sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti matematika, astronomi, kedokteran yang terinspirasi dari
filsafat.13 Intelek ini seperti seluruh instrumen wahyu sebagaimana tergambar dalam hati
sebagai wahyu makrokosmik yang memberikan sebuah kader secara objektif. Para filsuf
menganggap bahwa panggilan kebenaran menjadi panggilan tertinggi dalam filsafat, tetapi itu
tidak berarti ketertundukan wahyu pada penalaran, seperti pendapat sebagian orang. Lebih tepat
itu diartikan sebagai jalan untuk mencapai kebenaran puncak wahyu melalui pengetahuan.
C. perbedaan agama dan filsafat
1.) filsafat
a) Golongan orang-orang masehi
Golongan pertama menetapkan adanya perbedaan antara filsafat dan agama serta menerima
sesuatu persoalan dengan akal pikiran tentang agama yang mendasari iman. Agama
menggambarkan alam yang sebenarnya dari penciptaan Tuhan, sedangkan akal tidak sanggup
menemukan gambaran itu sendiri maka tugas agama hanya sebagai pegangan dan akal berusaha
memahami dengan jalan kiasan-kiasan. Menurut golongan pertama ini, filsafat tidak lain
hanyalah filsafat agama yang mencakup persoalan wujud yang telah dinyaakan oleh Tuhan dan
tidak ada tempat lagi bagi kebebasan filsafat. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa
orang-orang Platonis dan Stoa mengarahkan perhatiannya kepada soal Ketuhanan dan Etika.
Golongan kedua mengatakan bahwa filsafat dan agama berhubungan satu sama lain dan saling
mempengaruhi. Dalam hal ini, ditegaskan bahwa wahyu dan akal merupakan pemberian Tuhan,
dan tidak mungkin berlawanan satu sama lain bahkan wahyu bisa menjadi penuntun dan
pembantu bagi akal. Filsafat menurut golongan kedua adalah satu kesatuan yang berdiri sendiri,
terdiri dari persoalan-persoalan yang dibahas oleh para Filsuf dan persoalan lain yang dibawa
oleh wahyu. Wahyu menjadi pijakan terakhir bagi setiap persoalan yang di alami oleh akal.
Pendapat golongan kedua ini berkat pengenalan buku-buku Aristoteles pada abad ke XIII, antara
lain buku “Analytica kedua” yang berisi penentuan batas pemisah antara ilmu pengetahuan
dengan iman.
b) Menurut C.S. Lewis membedah Enjoyment dari contemplation, misalnya: laki-laki mencintai
perempuan. Rasa cinta disebut enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cinta disebut
contemplation, yaitu pikiran si pecinta tentang rasa cinta itu. Filsafat banyak berhubungan
dengan pikiran yang dingin dan tenang. Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang
tenang dan jernih serta dapat dilihat dasarnya. Seorang filsuf, jika dihadapkan dengan pengaruh
aliran atau paham lain, biasanya bisa bersifat lunak, tenang. Para filsuf ingin mencari kecerahan
argumennya sendiri.
c) Menurut Endang Saifudin Anshari, Filsafat ialah ilmu istimewa yang mencoba menjawab
masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-
masalah termaksud di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
Filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal-budinya untuk memahami (mendalami dan
menyelami) secara radikal dan integral hakikat tentang yang ada. Filsafat berarti berfikir, jadi
yang penting adalah dapat berfikir.
2.) agama
Mengenai Agama pun ada beberapa pendapat:
a) Menurut Endang Saifudin Anshari, Agama terdiri dari tiga bagian yaitu:
(1) Satu sistema credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atau adanya sesuatu yang Mutlak di
luar manusia.
(2) Satu sistema ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggap mutlak itu.
(3) Satu sistema norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan serta tata peribadatan yang termaksud
diatas.
b) Menurut Poerwantara, Agama berarti mengabdikan diri, jadi yang penting ialah hidup secara
beragama sesuai dengan aturan-aturan agama itu. Agama menuntut pengetahuan untuk beribadah
yang terutama merupakan hubungan manusia dengan Tuhan.
Agama dapat dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian
(dedication) atau contesment. Agama banyak berhubungan dengan hati. Agama dapat
diumpamakan seperti air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, oleh para
pemeluk-pemeluknya, akan dipertahankan dengan habis-habisan, sebab mereka telah terikat dan
mengabdikan diri.
Agama disamping memenuhi pemeluknya dengan perasaan pengabdian diri, juga mempunyai
efek yang menyenangkan jiwa pemeluknya dan filsafat penting dalam mempelajari agama.
1. hubungan filsafat dengan Kristen
Kekristenan muncul sebagai kepercayaan atau agama baru. Hal ini terjadi setelah Kaisar
Konstantinus menegeluarkan sebuah edik yang bernama edik Milano. Dalam edik Milano yang
dikeluarkan tahun 313 menyatakan bahwa agama Kristen yang teraniaya menjadi agama resmi di
seluruh kekaisaran. Ajaran agama Kristen bersumber dari Yesus Kristus. Kekristenan
menawarkan ajaran baru yang berbeda dengan ajaran atau agama pada waktu itu yakni tentang
penebusan, keselamatan dan cinta. Ajaran ini sungguh-sungguh berbeda dari ajaran yang ada
pada waktu itu. Kehadiran agama baru ini ditentang oleh banyak orang, baik oleh penguasa
maupun oleh kalangan Yahudi. Tampillah orang-orang seperti rasul Paulus dan rasul Yohanes
yang menghadapkan kepercayaan Kristen dengan kepercayaan yang bukan Kristen pada waktu
itu. Masa itu mempertaruhkan hidup dan mati agama Kristen.
Pada awalnya, pengikut agama Kristen berasal dari rakyat golongan sederhana, rakyat
jelata yang bukan pemikir. Dengan kondisi demikian, tidak ada ahli pikir secara filsafat. Namun,
dalam perjalanan waktu, banyak orang-orang dari golongan atasan, golongan ahli pikir menjadi
penganut agama Kristen. Dengan demikian, para cendekiawan ini menentukan sikap mereka
terhadap filsafat Kristen. Sejak saat itu, bangkitlah filsafat Kristen. Masa ini hidup bersamaan
dengan masa Hellenisme.
Keseluruhan sejarah filsafat ini disebut sejarah filsafat Abad Pertengahan. Filsafat Abad
Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Dilihat
secara menyeluruh, filsafat Abad Pertengahan memang merupakan filsafat kristiani. Para pemikir
zaman ini hampir semuanya klerus, yakni golongan rohaniwan atau biarawan di mana minat dan
perhatian mereka tercurah pada ajaran agama kristiani. Akan tetapi orang akan salah paham jika
memandang filsafat Abad Pertengahan sebagai filsafat yang melulu berisi dogma atau ajaran
Gereja. Sebab, dalam filsafat Abad Pertengahan digambarkan hubungan antara iman yang
berdasarkan wahyu Allah sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci dan pengetahuan
berdasarkan kemampuan rasio manusia. Oleh karena itu, kiranya dapat dikatakan bahwa filsafat
Abad Pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama Kristiani sebagai dasarnya.
1 A.) PEMIKIRAN FILSUF ZAMAN PATRISTIK
Kata patristik berakar dari kata Latin. Pater: bapa, menunjuk pada Bapa Gereja. Masa ini
berlangsung kira-kira selama 8 abad yaitu zaman di antara para rasul (abad pertama) hingga
sekitar awal abad ke-8 M. Ada banyak sikap para pemikir Kristen terhadap filsafat. Ada yang
menolak terhadap filsafat Yunani tetapi ada juga yang menerima filsafat. Para pemikir Kristen
yang menolak filsafat Yunani memandang bahwa fisafat Yunani sebagai hasil pemikiran
manusia semata-mata, setelah ada wahyu ilahi dianaggap tidak diperlukan lagi bahkan berbahaya
bagi agama Kristen. Tetapi para pemikir Kristen yang menerima filsafat Yunani memandang
bahwa filsafat Yunani sebagai persiapan Injil (prepatio evangelica).
Pemikiran Kristen berawal dari para apologet (pembela iman). Mereka tidak menyusun
filsasfatnya secara metodis dan sistematik. Mereka hanya membela iman Kristen. Mereka
membuktikan kebenaran-kebenaran iman Kristen. Dengan kata lain, para apologet menerangkan
dasar iman Kekristenan seperti Yesus Kristus adalah sungguh-sunguh Allah dan sungguh
manusia. Itulah yang dilakukan oleh para apologet sebenarnya. Mereka memakai filsafat Yunani
dalam menerangkan iman Krsiten.
Para apologet yang ada pada masa itu adalah Aristedes, Yustinus Martir, Tatianus dari
Asyur, Athenagoras, Teofilus dari Antiokhia. Mereka merupakan para apologet awal. Para
apologet ini pada umumnya berasal dari daerah Timur dan berbangsa Yunani. Maka para
apologet tersebut dapat kita katakan sebagai filsuf Yunani yang menganut agama Kristen.
Pada masa itu, orang Kristen dituduh sebagai rang munafik karena hidup mereka dalam
persundalan, melakukan persetubuhan tanpa batas, membenci sesamanya, dan sebagainya.
Ajaran Krsiten dipandang sebagai ajaran yang menyangkal para dewa. Tuduhan-tuduhan itu
disematkan pada orang-orang Kristen karena mereka menjalankan praktek ibadah dengan
sembunyi-sembunyi. Mereka melaksanakannya demikian agar mereka selamat. Sikap sembunyi-
sembunyi inilah yang menimbulkan tuduhan-tuduhan demikian pada orang Kristen.
Para apologet hadir untuk membela semua tuduhan tersebut. Tidak benar kalau orang
Kristen melaksanakan tindakan itu. Hal itu merupakan fitnah. Orang Kristen hidup seturut
hukum Allah sehingga mereka tidak jatuh pada kesalehan-kesalehan seperti yang dilakukan oleh
orang-orang yang buan Kristen. Mereka tidak membuang bayi-bayi mereka, mereka tidak
melakukan persetubuhan yang lebih. Mereka hidup saling mengasihi antara satu dengan yang
lain, mendoakan pemerintah, dan sebagainya. Para apologet menyatakan, walaupun para
penganut agama Kristen tidak mau menyembah kepada para dewa, tetapi mereka percaya dan
menyembah kepada Allah yang Esa. Mereka menentang banyak ilah. Bagi mereka hanya ada
satu Allah, Allah yang transenden, yang adikodrati, yang mengatasi segala sesuatu, yang tidak
tergantung kepada sipapun, yang secara hakiki berbeda dengan manusia.
1. Irenaeus
Irenaeus lahir sekitar 137-140 (± 202) M. Ia menentang aliran Gnostik. Gnostik berakar
dari kata Yunani yang berarti pengetahuan. Aliran gnostik adalah aliran yang berusaha melebur
kepercayaan Kristen dengan filsafat Yunani. Aliran ini timbul dalam bentuk beracam-macam
yang membahayakan bagi agama Kristen sebab dapat merusak agama Kristen dari dalam.
Iranaeus menentang aliran gnostik dengan alasan-alasan dialektis dan dengan pembuktian dari
Kitab Suci. Ia menunjukkan bahwa uraian para ahli gnostik banyak yang bertentangan. Misalnya,
Iranaeus menunjukkan bahwa Allah adalah esa, maka tidak mungkin sejak awal ada sesuatu yang
di atas dan di bawah Allah.
2. Gregorius Nazianze

Gregorius Nazianze hidup sekitar tahun 390 M. Ia menyebarkan ajaran bahwa akal
manusia pada dirinya sendiri dapat mengenal Allah. Tema ini pada abad ke-2 memang telah
muncul. Dengan mempelajari hasil penciptaan Allah manusia dengan aklnya dapat mengetahui
bahwa Allah ada, walaupun hakekat atau zatNya tetap tersembunyi bagi manusia. Mengenai
hakekat atau zat Allah, manusia hanya dapat mengungkapkannya secara negative, misalnya,
Allah tidal bertubuh, tidak dialhirkan, tanpa awal, tidak berubah, tidak dapat binasa, dan lain-
lain.
3. Origenes

Origenes adalah orang pertama yang memberikan suatu uraian sistematis tentang teologi.
Persoalan penting yang menjadi pergumulan pada waktu itu adalah bagaimana hubungan iman
dan pengetahuan. Origenes mengajarkan bahwa iman kurang berguna lagi bagi orang yang telah
“berpengetahuan”, artinya, orang yang telah memiliki pemahaman yang mendalam. Sebab iman
hanya perlu bagi orang-orang yang sederhana, orang yang tidak mengerti isi Kitab Suci secara
rohani. Menurut Origenes, Kitab Suci mempunyai tiga (3) macam arti, yaitu: arti yang harafiah
atau yang somatis, yang historis, yang berlaku bagi orang yang sederhana; arti yang etis atau
psikis, seperti yang diuraikan di dalam khotbah, yang diperuntukkan bagi orang yang psikis.
Yang terakhir, arti pneumatis atau rohani, yang lebih mendalam, yang diperoleh dengan tafsiran
allegoris atau kiasan, yang diperuntukkan bagi apra teolog dan para filsuf. Kitab Suci harus
ditafsirkan dengan cara demikian, karena manusia terdiri dari tubuh (soma), jiwa (psukhe) dan
roh (pneuma). Origenes menyatakan bahwa Allah adalah transenden, Allah yang tidak dapat
dimengerti. Ia tidak bertubuh, esa serta tidak berubah. Allahlah yang menjadi pencipta segala
sesuatu baik yang bersifat rohani maupun bersifat bendawi. Origenes mengajarkan penciptaan
yang kekal abadi. Allah tidak penah menganggur. Sebelum dunia diciptakan, Allah telah bekerja,
menciptakan dunia yang lain yang mendahului dunia tempat kita berdiam. Sesudah zaman dunia
kita ini akan ada dunia yang baru. Demikianlah ada penciptaan yang kekal abadi.

1 B.) PEMIKIRAN FILSUF ZAMAN SKOLASTIK

Kata “skolastik” menunjuk pada suatu periode Abad Pertengahan ketika banyak sekolah (Latin:
schola) didirikan dan banyak pengajar bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata
“skolastik” menunjuk pada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”. Dengan metode ini,
berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-kontra-nya
untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan “ke-masuk-akal-an” dan pengkajian yang
teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik. Para
sejarawan filsafat membagi zaman Skolastik menjadi tiga periode, yakni Skolastik awal,
Skolastik puncak, dan Skolastik akhir.

a. Filsuf Zaman Skolastik Awal


Seperti yang sudah diungkapkan dalam pendahuluan, kata skolastik mengungkapkan ilmu
pengetahuan yang diusahakan oleh sekolah-sekolah dan ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran
di sekolah-sekolah. Pada waktu itu, pelajaran sekolah-sekolah meliputi suatu studi duniawi yang
terdiri dari 7 kesenian bebas (artes liberates) yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu trivium dan
quadravium.

1. Anselmus Canterbury

Anselmus (1033-1109), Uskup dari Canterburry, Inggris, adalah pemikir yang paling
berarti pada abad ke-11. Ia berkeyakinan bahwa iman beriktiar menemukan pemahaman atau
pengertian (fides quarens intellectum). Memang, bagi Anselmus, iman selalu merupakan titik
tolak pemikirannya dan isi ajaran iman tidak dapat dibantah oleh alasan-alasan rasional. Namun,
meskipun demikian, akal budi yang sejati niscaya akal dapat mencapai kebenaran-kebenaran
iman. Maka, orang beriman seharusnya juga berusaha memahami imannya secara rasional.
b. Filsuf jaman skolastik puncak

Mulai abad 12, ada hubungan-hubungan baru dengan dunia pemikiran Yunani dan dunia
pemikiran Arab. Melalui karya orang-orang Arab dan Yahudi mulai lebih mengenal karya-karya
Aristoteles. Pengaruh penemuan kembali filsafat Aristoteles mempengaruhi semua pemikir abad
ke-13. Para teolog memakai filsafat Aristoteles sebagai alat teknis dalam berpikir, hanya cara
berpikir Aristoteles yang dimanfaatkan sedangkan ajarannya berasal dari ajaran Augustinus. Hal
yang membantu perkembangan Skolastik ialah timbulnya ordo-ordo baru, yaitu Fransiskan dan
ordo Dominikan. Ordo Fransiskan berorientasi pada tradisi filsafat Augustinus dan ordo
Dominikan memakai gaya filsafat Aristoteles. Ordo-ordo ini membantu mengembangkan ilmu
yang disumbangkan pada universitas-universitas.

1. Thomas Aquinas

Thomas Aquinas asalah imam Dominikan. Ia mempersatukan secara orisinal unsur-unsur


pemikiran Augustinus yang dipengaruhi neo-Platonisme, dengan filsafat Aristoteles. Karya-
karya Thomas Aquinas adalah Summa Theologiae I-III.

Menurut Thomas, iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya
berasal dari Allah. Maka, baik teologi maupun filsafat pada akhirnya akan sampai pada
kebenaran hakiki yang sama. Hanya saja, keduanya memakai metode yang berlainan. Filsafat
mempunyai penyelidikan dari benda-benda ciptaan dan dari situ mencapai Allah. Adapun teologi
justru sudah menerima Allah sebagai asal dan fundamen untuk penyelidikannya atas benda-
benda alamiah. Maka, teologi memerlukan wahyu Allah. Wahyu diterima kebenarannya oleh
sang teolog dalam iman. Dengan beriman, ia dapat mencapai pengetahuan adikodrati yang
disampaikan wahyu kepadanya. Semua pengetahuan ini memang berada di luar batas-batas akal
budi melulu, namun sama sekali tidak boleh dikatakan bahwa pengetahuan itu bersifat irasional
atau bertentangan dengan prinsip-prinsip akal budi, melainkan jauh melampaui dan
mengatasinya. Dengan kata lain, semua pengetahuan yang berasal dari wahyu bersifat
metarasional (meta, Yunani: sesudah, di atas). Namun, meskipun akal budi tidak dapat menguak dan
menyibak misteri, ia dapat membantu meratakan jalan menuju misteri; dengan demikian, dapat membantu
orang beriman untuk secara lebih tepat memahami dan membela kebenaran imannya dengan penuh rasa
tanggung jawab.

Dari ajaran di atas, orang dapat menemukan adanya dua macam pengetahuan yang tidak bertentangan dan
masing-masing berdiri sendiri: pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan alamiah adalah
pengetahuan yang bersumber dari terang dan mempunyai sasarannya pada hal-hal yang bersifat umum.
Adapun pengetahuan iman adalah pengetahuan yang berdasarkan wahyu adikodrati dan sasarannya
tertuju kepada hal-hal yang disampaikan Allah secara khusus kepada manusia demi keselamatan
abadinya melalui Kitab Suci, ajaran, dan tradisi Gereja.

c. Filsuf Zaman Skolastik Akhir

Kepercayaan orang pada kemampuan rasio memberi jawaban atas masalah-masalah iman
mulai berkurang. Ada semacam keyakinan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat
dipersatukan. Rasio tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran Gereja, hanya iman yang dapat
menerimanya. Uraian dan refleksi logis atas ajaran Gereja menggantikan pengetahuan spekulatif
tentang Tuhan.

1. William dari Ockham

William dari Ockham adalah seorang biarawan Fransiskan. Aliran yang diajarkannya
adalah nominalisme. Aliran ini disebut via modern (jalan modern) dan via Antigua (jalan kuno).
Filsafat Ockham berintikan dua prinsip pokok, yakni prinsip omnipontentia (kemahakuasaan
Allah) dan prinsip ekonomi yang juga dikenal dengan sebutan “pisau cukur Ockham” (Ockham
razor).

Pertama, prinsip omnipotentia (kemahakuasaan Allah) mengajarkan bahwa Allah


berdasarkan kemahakuasaan-Nya dapat saja menciptakan segala sesuatu secara lain daripada
yang biasanya. Allah memang pada umumnya berkarya secara tidak langsung melalui hukum-
hukum alam (misalnya hukum sebab-akibat). Namun, Ia dapat saja melakukan intervensi
langsung pada alam ciptaan tanpa terikat pada hukum-hukum alam cipta-Nya itu sendiri karena
Ia Mahakuasa. Kita hanya dapat menyatakan bahwa secara alamiah adanya asap mengikuti
secara teratur adanya api. Pada dirinya sendiri, api dan asap adalah dua hal yang berdiri sendiri-
sendiri. Dengan demikian, bagi manusia, dunia ciptaan terdiri dari hubungan berbagai fakta yang
lepas-lepas dan masing-masing berdiri sendiri. Maka, pengetahuan kita tentang dunia dan segala
yang sudah ada sebelumnya tidak didasarkan atas prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya,
melainkan diperoleh berdasarkan pengalaman dan studi atas sesuatu yang secara faktual memang
ada dan terjadi.

Kedua, prinsip ekonomi mengajarkan bahwa segala realitas metafisik tidak boleh diterima jika
tidak ada dasar kokoh untuk mengakuinya. Manakah dasar kokoh yang menjadi patokan untuk
menerima atau menolak suatu realitas metafisik? Jawabannya adalah pengalaman indrawi yang
baru saja disebut dalam prinsip pertama! Atas dasar ini, Ockham menolak banyak distingsi rumit
yang dibuat oleh para pemikir sebelumnya (misalnya struktur esensi-eksistensi). Yang tinggal
adalah apa yang dapat diterima dan diteguhkan oleh pengalaman indrawi. Tidak heran kalau dalam sejarah
filsafat prinsip ekonomi ini disebut “pisau cukur Ockham” (Ockham`s razor) Ockham membabat habis
segala sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pengalaman indrawi.

2. Hubungan filsafat dengan Islam

Peradaban Islam pada puncak kebesarannya tidak menentang ilmu pengetahuan dan filsafat,
bahkan menguatkan, mendorong serta bersungguhsungguh dalam mencari kebenaran dan
membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai macam pendapat dan aliran. Islam mengajak umatnya
untuk memikirkan, menganalisis dan mengarahkan pandangan ke langit dan kebumi serta tidak
mengharamkam pembahasan yang rasional-filosofis.

2.1. Sumber-Sumber Filsafat Islam

1 a. Filsafat Mesir

Negara Mesir atau timur dekat telah lama memiliki peradaban yang tinggi, dimana Eropa pada
saat ini masih berada dalam lingkungan kegelapan. Setelah peradaban timur dekat (Mesir)
runtuh, barulah muncul kebudayaan Yunani yang selanjutnya mempunyai pengaruh yang sangat
besar diseluruh Eropa, bahkan juga dibidang pemikiran filsafat berpengaruh di seluruh dunia.
Orang orang Mesir telah berpikir tentang asal segala sesuatu yang maujud, yaitu “RA”. Dialah
pokok dari segala yang ada dan dapat mengadakan segala apa yang dikuasainya, karena Ia adalah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi orang Mesir telah Iebih dahulu mendapati apa yang didapati Plato
dalam tempo 25 abad sebelumnya. Orang-orang Mesir purbakala juga telah sampai pada
keyakinan terhadap kekalnya roh manusia yang telah mati, dan akan kembali kepada tubuhnya,
maka tubuh yang mati itu perlu diabadikan dengan mummia agar pada hari kebangkitan, roh itu
mau kembali kepada tubuhnya semula. Kaum reaksioner atheis ini menggunakan perdebatan
perdebatan yang filosofis untuk menghabisi kepercayaan terhadap adanya Tuhan atau hidup
sesudah di akhirat. Tetapi kemudian datanglah raja yang bernama “Amunepis” yang antusias
sekali mengembangkan kepercayaan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Orang Mesir
purbakala dimana mereka telah mengalami perkembangan pemikiran sebagai lazimnya
perkembangan pemikiran dunia filsafat. Hal ini sebagai bukti bahwa, sebelum herkembang
filsafat Yunani telah pernah berkembang pemikirar filosofis di negara Mesir, meskipun dengan
kualitas dan kuantitas yang berbeda. Tepatlah apa yang ditulis oleh Dr. Fuad Al Ahwani, bahwa
ilmu filsafat pada zaman dahulu milik orang-orang Kaldan penduduk Irak, kemudian pindah
kepada orang Mesir lantas berpindah lagi pada Orang Yunani.

1 b. Filsafat India

Di belahan bumi yang lain, yaitu India juga telah berkembang kebudayaan yang tinggi dengan
menelurkan pemikiran falsafat yang cukup berbobot jauh sebelum Yunani kebudayaannya
sampai melahirkan para filosof yang brilliant. Kira-kira 1000 sampai 2000 tahun sebelum
Masehi, bangsa Arya meninggalkan tanah airnya untuk mengadakan ekspansi ke tanah datar
sungai Indus, sehingga mengalahkan penduduk asli negeri itu. Mula-mula mereka tinggal di
daerah Punjab, tetapi makin lama makin besar kekuasaannya dan berkembang kebudayaannya,
termasuk di dalamnya perkembangan pemikiran filsalat. Zainal Arifin Abbas, menulis bahwa
tarikh perkembangan pikiran orang India yang dapat dikenal baik dalam soal-soal agama, filsafat
dan siasat adalah pada masa 1500 sebelum Masehi. Jadi lebih muda dari pada Mesir, tetapi lebih
tua dari pada Tiongkok dan Yunani.

Karya pemikiran filsafat India itu bercampur dengan ajaranajaran agama yang termuat dalam
suatu kitab yang sangat dihormati orang Hindu, yaitu kitab “Veda”. Di dalam kitab tersebut soal-
soal alam semesta telah mendapat perhatian pemikiran orang Hindu dengan berusaha
menyelidiki, memahami dan menguak rahasia alam semesta dengan segala isinya. Tetapi Juga
mereka merasa benar, bahwa alam dunia ini adalah fana tidak akan kekal selamanya. Orang
dalam filsafat memang mencari kebenaran, tetapi bukan demi kebenaran belaka, melainkan
untuk bebas dari ikatan dunia. Filsafat Hindu menyelidiki alam, dicari inti sarinya, diselami
hakekatnya, dicari sebab-sebab yang sedalamdalamnya, akan tetapi filsafat tidak berhenti disitu
saja masih mempunyai tujuan lebih lanjut yaitu “kebebasan”.
1 c. Filsafat Persia (lran)

Masuknya wilayah Persia ke dalam daulah Islamiah itu, maka banyak pula unsur-unsur
kebudayaan ataupun alam pikiran Persia yang mempengaruhi umat Islam pada kurun waktu
selanjutnya.

1 d. Filsafat Yunani

Semua ahli sepakat bahwa sumber utama filsafat Islam adalah filsafat Yunani yang telah
berkembang sejak abad ke enam sebelum Masehi. Para filosof muslim banyak yang mengambil
pikiran Plato dan Aristoteles, demikian pula banyak teori-teori filsafat Plotinus yang diambil dan
diolah oleh mereka. Maka dalam hal ini dibenarkan bahwa para filosof muslim berhutang budi
pada orang Yunani, demikian pula dapat dibenarkan bahwa para filosof modern di Barat
berhutang budi kepada umat Islam. Hal ini disebabkan karena renaissance yang menjadi embrio
lahirnya filsafat modern di Barat merupakan pengaruh pemikian rasional para filosof muslim
seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya. Jadi filosof muslim merupakan mata rantai
yang sungguh berarti dalam kelangsungan perkembangan alam filsafat dalam sejarah umat
manusia hingga dewasa ini.

2.2

Proses Penyerapan Filsafat Yunani Ke dalam Dunia Islam Filsafat Yunani yang sampai pada
dunia Islam tidaklah semuanya orisinil seperti yangditinggalkan orang-orang Yunani sendiri,
tetapi telah melalui pemikiran Hellenisme Romawi yang memiliki cirri dan corak tertentu. Jika
pemikiran filsafat Yunani cenderung bersifat teoritis, maka filsafat Hellenisme Romawi lebih
bercorak praktis. Hal ini disebabkan Bangsa Romawi telah menguasai ketata- negaraan, hukum
dan perundang-undangan

KEPUSTAKAAN
Copleston, Frederick. A History of Philosophy (vol 2). London: Burns, Oates &
Washbourne, 1950.

Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Mclynn, Neil B. Ambrose of Milan. London, [tanpa penerbit], 1994.

Newland, Mary Reed. Riwayat Hidup Para Kudus. (judul asli: The Saint Book),
diterjemahkan oleh J. Waskito SJ. Medan: Bina Media, 2002.

Paus Benediktus XVI. Bapa-Bapa Gereja (judul asli: The Fathers), diterjemahkan oleh J.
Waskito SJ. Malang: Dioma, 2010.

Tinambunan, Laurentius. “Filsafat Hellenisme dalam Pewartaan Kekristenan “, dalam


Logos, Vol. 6 No. 1 Juni 2008.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari
Zaman Yunani hingga Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Anda mungkin juga menyukai