Anda di halaman 1dari 12

TUGAS FILSAFAT ISLAM

AL-KINDI

OLEH:

KELOMPOK I

AKAMSI

FAKULTAS FILSAFAT AGAMA


UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
2019
RIWAYAT HIDUP AL-KINDI

Al-Kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn
Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi1, lahir di Kufah, Iraq sekarang, tahun 801 M,
pada masa Khalif harun Al_Rasyid (786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas atau kekhalifahan
Abbasiyah (750-1258 M). Al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar, dan kaya. Ismail
Al-Ash’ats ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi dan menjadi sahabat Nabi
Muhamad. Mereka kemudian pindah ke Kufah. Di Kufah, ayah Al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah,
menjabat sebagai gubernur, pada masa Khalif Al-Mahdsi (775-785 M) dan wafat pada saat
pemerintahan Khalif Harun Al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti Abbasiyyah. Ayahnya
meninggal saat Al-Kindi masih kecil.

Al-Kindi melewati masa kecilnya di Kufah dengan menghafal Al-Qur’an, mempelajari


tata bahasa Arab, kesusastraan Arab dan ilmu hitung. Keseluruhan yang dipelajarinya di masa itu
merupakan kurikulum pelajaran wajib bagi semua anak-anak zamannya di wilayah Kufah.
Setelah itu, Al-Kindi mengenyam pendidikan di Bagdad yang menjadi pusat pengembangan ilmu
pengetahuan di bawah Dinasti Abbasiyyah. Di Baghdad, ia mempelajari ilmu pengetahuan dan
filsafat.2 Al-Kindi lalu mencurahkan perhatiannya untuk menerjemah dan mengkaji filsafat serta
pemikiran-pemikiran rasional lainnya itu dan mengintegrasikannya ke dalam perspektif islam.

Atas kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, ia menjadi idola di istana
Abbasiyyah. Al-Kindi kemudian berteman baik dengan Khalif Al-Makmun dari dinasti
Abbasiyyah yang menyukai pemikiran rasional dan filsafat. Lebih dari itu, ia diangkat sebagai
penasehat dan guru istana pada masa Khalif Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq (Soleh, 2013). Namun,
ketika Khalif Al-Mutawakkil menjabat pada 847 M, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof
dan teolog lainnya. Setelah lima tahun melewati masa sulit pada pemerintahan Al-Muatawakkil,
Al-Kindi wafat sekitar tahun 866 M.3

FILASAFAT AL-KINDI
1
  H.A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz  Media,
2013), hlm 88. 
2
Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: Kencana, 2017), hlm 58.
3
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj) Zaimul Am, (Bandung: Mizan,
2001), hlm 25.
Al-Kindi merupakan filsuf pertama dalam dunia Islam. Ia merupakan orang pertama yang
merintis jalan dalam menyesuaikan filsafat Yunani dengan prinsip-prinsip agama Islam sehingga
melahirkan filsafat Islam. Menurutnya filsafat merupakan ilmu termulia dan terbaik yang tak
dapat ditinggalkan oleh setiap insan yang memiliki rasio. Ia melihat agama dan filsafat sebagai
dua kutub yang berada pada bidang yang sama. Baginya iman dan nalar berada pada jalur yang
sama yakni mencari kebenaran yang mutlak. Perbedaanya terletak pada cara pencariannya.
Filsafat itu menggunakan pendekatan logika, sedangkan agama berpedoman pada wahyu Allah
yang turun secara langsung kepada Nabi Muhammad. Karena berpedoman pada logika, maka
kebenaran yang ditemukan lewat filsafat perlu terlebih dahulu direnungkan secara mendalam.
Sedangkan agama lewat Kitab Suci memberikan jawaban yang pasti dan meyakinkan. Filsafat
merupakan bagian dari humaniora yang dicapai para filosof melalui proses panjang
pembelajaran, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkatan tertinggi
karena diperoleh tanpa proses pembelajaran dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul
melalui proses pewahyuan.

Ada enam definisi filsafat menurut Al-Kindi4, Pertama, secara etimologis kata filsafat itu
terbentuk dari dua kata bahasa yunani yaitu philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti
kebijaksanaan. Filsafat secara singkat dapat dipahami sebagai cinta akan kebijaksanaan. Kedua,
filsafat merupakan suatu emulai atau usaha manusia yang berikhtiar untuk menyamai bahkan
mengungguli keunggulan yang ilahi sejauh hal tersebut mungkin dilakukan. Ketiga, filsafat
merupakan pengalaman praktis akan kematian. Kematian berarti pemisahan jiwa dari tubuh.
Pemisahan ini melambangkan keunggulan jiwa manusia sebagai buah dari yang ilahi yang mana
terbedakan dari tubuh sebagai buah dari hal-hal yang materi. Jiwa manusia itu ekwivalen dengan
aktivitas intelektual sehingga menjadi suatu keutamaan hidup. Keempat, filsafat merupakan ilmu
bagi segala ilmu dan kebijaksanaan bagi segala kebijakan. Kelima filsafat merupakan
pengetahuan tentang manusia dalam dirinya sendiri. Keenam filsafat adalah ilmu yang objek
penelitiannya adalah esensi dan sebab-sebab dari segala sesuatu yang masih berada dalam
limitasi atau batasan kemampuan manusiawi.

4
Philipus Tule, Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat, (Maumere: Ledelero, 2008), hlm 196.
Tujuan dari filsafat ialah mencari hakikat terdalam dari segala sesuatu dan kebenaran
awal dari segala sesuatu yakni Allah sebagaimana yang dicari juga dalam agama. 5 Kebenaran itu
kemudian ditindaklanjuti dengan amal perbuatan dalam tindakan, sehingga semakin dekat
manusia pada kebenaran dan semakin dekat pula pada kesempurnaan. Kajian filsafat itu meliputi
ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun
yang berguna bagi kehidupan manusia.

Dalam upaya perpaduan agama dan filsafat yang dilakukan Al-Kindi didasari pada
keyakinan bahwa Kitab Suci Al-Qur’an telah mewartakan argumentasi-argumentasi yang
meyakinkan seputar ihwal kebenaran yang tidak akan pernah bertentangan dengan doktrin yang
dihasilkan filsafat. Hanya saja, proses pemaduan agama dan filsafat tidak mungkin terlaksana
tanpa mengakui keberadaan alat kerja agama dan filsafat yang sama. Bagi Al-Kindi, fakta bahwa
filsafat bersandar pada kemampuan akal (rasionalitas) tidak berbeda dengan fakta bahwa doktrin
agama juga memerlukan akal sebagai alat untuk memahami ajarannya. Ini berarti, Al-Kindi
menaruh hormat yang tinggi pada anugerah akal dengan cara memaksimalkan kerja akal dalam
mencapai pengetahuan akan kebenaran.6

Alam berpikir Al-Kindi ini dipengaruhi oleh dua tradisi besar filsafat Yunani, yakni
Platonis dan Aristotelian. Ia menerima prinsip dualisme dan jalan emanasi Neo-Platonisme yang
diajarkan oleh Plotinius. Sedangkan dari tradisi Aristotelian, ia menerima prinsip causa prima,
argument analogis, dan causa finalitas atau argumen teleologis untuk menjelaskan jalannya alam
semesta.

Dualisme Platonis di dalam filsafat Al-Kindi berkaitan dengan pandangan


antropologisnya. Sejalan dengan pemikiran neo-platonik, Al-Kindi memahami bahwa substansi
jiwa terbedakan dari substansi tubuh. Nilai diri manusia terletak pada jiwanya. Jiwa itu kekal dan
tidak hancur bersama hancurnya tubuh. Jiwa tidak hancur karena substansinya dari Tuhan
(prinsip emanasi). Sedangkan tubuh bersifat fana dan karenanya akan rusak dan hilang menjadi
abu. Tubuh itu merupakan penjara bagi jiwa. Manusia akan terbebas dan menjadi gembira ketika
jiwanya terbebas dari tubuh. Hal ini menurut Al-Kindi karena ketika terbebas dari tubuh, jiwa

5
Fauzan Adhim, Filsafat Islam: Sebuah Wacana Kefilsafatan Klasik Hingga Kontemporer, (Malang: CV
Literasi Nusantara Abadi, 2018), hlm 133.
6
Hasan Basri, Filsafat Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013), hlm 38.
manusia akan menerima pengetahuan yang sempurna yang tidak sama ketika ia masih berada
dalam belenggu keterbatasan tubuhnya.

Sedangkan dari sisi Aristotelian, ia menerima teori mengenai sebab-akibat, argument


analogis dan causa finalitas. Lewat tiga pendekatan itu Al-Kindi menemukan bahwa segala yang
ada termasuk juga jiwa manusia berasal dari Allah sebagai sumber pertama. Allah merupakan
penyebab pertama yang tak disebabkan oleh yang lain. Allah adalah causa prima yang menjadi
alasan bagi keberadaaan segala sesuatu. Ia memberi kesempurnaan-kesempurnaan ke dalam
segala yang supaya segala yang ada itu mampu terarah kepada Dia sebagai tujuan terakhir atau
causa finalitas dari segala realitas.

METAFISIKA AL-KINDI

Dalam metafisikanya, Al-Kindi menyoroti persoalan mengenai eka dan aneka.


Sebagaimana Aristoteles berbicara tentang adanya satu penyebab pertama yang tidak disebabkan
yang menjadi sebab bagi segala yang ada, demikian Al-Kindi berpendapat bahwa ada suatu
penyebab yang menjadi alasan adanya bagi sebab-sebab yang lain yang memunculkan keanekaan
dan keragaman yang ada di dunia. Keanekaan itu tidak bisa dipahami jika terpisah dari deretan
sebab musabab yang akhirnya dijalbarkan dari sebab pertama yang eka, yang satu, yang maha
nyata dan abadi.7 Yang eka itu disebut sebagai Allah al-wahid al-Haqq, Yang Esa Benar.

Allah Yang Maha Esa itu, menurut Al-Kindi, tak memiliki jenis dan spesies, tak
mengalami perubahan sama sekali yang mengurangi kesempurnaannya, tak terkategorikan, tak
terbatas dan tidak terpengaruh oleh aliran waktu dan ruang serta gerak. Ia tidak terkonstruksi
melalui prinsip materia dan forma. Ia merupakan pencipta dan bukan hanya sekedar penggerak.8
Ia adalah sumber bagi segala yang ada. Melalui jalan emanasi Allah menghadirkan segala
sesuatu yang ada. Al-Kindi meyakini bahwa Allah menghadirkan segala yang ada dari ketiadaan
(creazione ex nihilo).9 Namun, Al-Kindi menolak salah satu tesis emanasi Allah, yakni prinsip
abadinya dunia ciptaan (creazione eterna).

ETIKA
7
Philipus Tule, Op. Cit., hlm 205.
8
Mahfud Junaeidi, Op. Cit., hlm 59.
9
. Philipus Tule, Op. Cit., hlm 206.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa kebenaran dalam filsafat itu perlu dihidupi
dalam amal perbuatan dalam tindakan supaya dapat mencapai kesempurnaan, maka kesadaran
tindakan manusia sejatinya terarah kepada yang ada di luar dirinya. Manusia berbuat baik tidak
hanya demi kebahagiaannya sendiri sebagaimana yang ditegaskan oleh Aristoteles, tetapi demi
kebahagiaan yang berdimensi sosial.10

Ada dua prinsip dari etika menurut Al-Kindi, Pertama, prinsip pembalasan atau reward
sebagai suatu kebenaran logis dari hubungan sebab-akibat. Prinsip ini sejalan dengan ajaran
Mu’tazilah tentang “janji dan ancaman”. Al-Kindi berpendapat bahwa ketika seseorang berbuat
baik atau hidup seturut perintah Allah yang diwahyuhkan kepada para nabi, maka akibat yang
diterimanya berupa pahala. Sedangkan penyimpangan terhadap perintah-perintah ilahi itu
berakibat sangsi atau hukuman yang keras di Neraka.

Prinsip kedua, bahwa manusia, dari dirinya sendiri (denifitrah), senantiasa terarah kepada
kebaikan. Keterarahan ini merupakan suatu kodrat dasar manusia sebagai makhluk mulia yang
terlahir dari pancaran cahaya atau emanasi Allah. Manusia dalam jiwanya memiliki hakikat
keilahiaan. Namun ia senantiasa juga digoda oleh nafsu dan keserakahan untuk melakukan
kejahatan yang bersifat aksidental.11 Kejahatan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja,
contohnya pada zaman Al-Kindi terdapat praktik-praktik menyimpang oleh para ulama yang
memperdagangkan agama (tajarat bil-din) dan juga oleh para filsuf yang memperlihatkan watak
kebinatangannya demi mempertahankan kedudukan mereka dalam negara.12 Praktik-praktik yang
demikian ditentang dan dikecam oleh Al-Kindi karena bertentangan dengan fitrah dasar manusia
sebagai “mahkluk ilahi”.

RELEVANSI PEMIKIRAN AL-KINDI

Dari berbagai pemikiran Al-Kindi yang telah dibahas, ada beberapa hal yang sangat
relevan bagi kehidupan ini. Pertama, ilmu tidak hanya dikhususkan bagi kelompok tertentu saja.
Ilmu itu bersifat universal, sehingga boleh dipelajari oleh siapapun. Sejauh ilmu itu baik, ia dapat
diterima dan dipelajari oleh semua orang. Bagi Al-Kindi, filsafat adalah suatu usaha manusia
yang berikhtiar untuk menyamai bahkan mengungguli keunggulan yang ilahi sejauh hal tersebut
mungkin dilakukan. Filsafat juga merupakan ilmu bagi segala ilmu dan kebijaksanaan bagi
10
Ibid., hlm 208.
11
Ibid.
12
Ibid., hlm 209.
segala kebijaksanaan. Filsafat, meskipun berasal dari Yunani, namun dapat memberi hikmat bagi
penghayatan hidup keagamaan yang benar sehingga boleh diterima dan dipelajari oleh siapapun
termasuk oleh orang Islam sendiri. Oleh karena itu, setiap orang tidak perlu malu-malu lagi ber-
istihsan terhadap kebenaran (al-haqq) filsafat dan ilmu-ilmu lainnya, meskipun kebenaran itu
berasal dari bangsa-bangsa lain.13

Kedua, terbuka atau mau berdialog dengan kebudayaan lain. Al-Kindi banyak mendapat
pengaruh dari dua aliran besar filsafat Yunani, yaitu Platonis dan Aristotelian. Ia menerima
prinsip dualisme dan jalan emanasi Neo-Platonisme yang diajarkan oleh Plotinus. Sedangkan
dari tradisi Aristotelian, ia menerima prinsip causa prima, argument analogis, dan causa
finalitas atau argument teleologis untuk menjelaskan jalannya alam semesta. Sikap Al-Kindi
yang terbuka dan mau berdialog dengan berbagai pemikiran dari dunia lain ini juga harus
diamalkan dalam kehidupan setiap hari. Sejauh pemikiran itu baik dan berfmanfaat bagi
manusia, maka perlu disambut dan di dialogkan secara terbuka.

Ketiga, ajaran etikanya tidak untuk keutamaan diri, tetapi untuk kesejahteraan sosial.
Sebagaimana telah disinggung bahwa kebenaran dalam filsafat itu perlu dihidupi dalam amal
perbuatan, dalam tindakan supaya dapat mencapai kesempurnaan, maka tindakan manusia
sejatinya harus terarah kepada yang ada di luar dirinya. Manusia berbuat baik tidak hanya demi
kebahagiaannya sendiri, tetapi demi kebahagiaan yang berdimensi sosial (kesejahteraan sosial).
Pemikiran seperti ini sangat relevan dalam kehidupan, terkhususnya di dalam hidup bertoleransi
di antara umat beragama. Dengan mempelajarinya, maka setiap orang akan selalu berlaku baik
kepada siapapun meski berbeda agama dan suku. Perbuatan baik ini pada akhirnya akan
bermuara pada kesejahteraan sosial, kebaikan bersama (bonum communae)

KRITIK ATAS FILSAFAT AL-KINDI

Al-Kindi telah tampil sebagai tokoh pendobrak kemajuan dalam tataran berpikir di dalam
kebudayaan Islam. Ia membuka kesempatan bagi orang-orang Arab untuk berjumpa dengan
kebudayaan filsafat Yunani. Ia telah membuka jalan bagi munculnya daya berpikir kritis dalam
masyarakat Islam sehingga tidak mudah diperdaya oleh ulama-ulama dan oleh para filsuf yang
memiliki orientasi pada keuntungan dan kekuasaan belaka. Namun tidak semua yang
disampaikan oleh Al-Kindi dapat diterima sepenuhnya sebagai suatu kebenaran mutlak.

13
Ibid., hlm 204.
Ada beberapa prinsip yang menggoyahkan filsafat Islam Al-Kindi misalnya, yaitu prinsip
emanasi neo platonik. Prinsip ini menimbulkan tafsiran yang keliru mengenai hubungan Allah
dengan alam ciptaan. Al-Kindi memang telah menolak prinsip abadi ciptaan, tetapi ia tidak bisa
menampik konsekuensi logis dari prinsip emanasi yang melihat alam sebagai kelanjutan dari
keilahian atau kesatuan antara alam dan Allah atau monisme. Kesatuan alam dan Allah dipahami
dalam hubungan saling memberi pengaruh antara Allah dan alam. Alam memiliki dalam dirinya
daya-daya ilahi sebagai akibat dari proses emanasi atau proses penciptaan alam yang secara
langsung mengalir dari Allah sehingga alam dalam dirinya memiliki keutamaan-keutamaan
Allah, misalnya alam semesta menjadi tak terbatas sebagaimana Allah itu tidak terbatas.
Monisme ini merupakan suatu bentuk pentaisme dan karenanya bertentangan dengan prinsip
penciptaan dari ketiadaan. Penciptaan dari ketiadaan pada dasarnya menolak segala hubungan
alamiah atau kontinuitas antara alam dan Allah. Keberadaan alam tidak mengalir keluar dari
Allah. Alam itu dipanggil dari ketiadaan, sehingga ia secara kwalitatif berbeda dengan Allah
yang memiliki keberadaan dalam dirinya sendiri.14

Kedua prinsip dualisme mengenai tubuh dan jiwa. Al-Kindi memahami dalam diri
manusia terdapat dua substansi yang bertentangan yaitu substansi tubuh dan jiwa. Jiwa dalam
pandangan Al-Kindi, seturut Plato, tidak dapat mati karena merupakan sesuatu yang adikodrati
berasal dari yang Ilahi. Meski kelihatan bahwa jiwa dan tubuh saling bersatu, tetapi jiwa dan
tubuh adalah kenyataan yang harus dibedakan. Tubuh memenjarakan jiwa, oleh karenanya jiwa
harus dilepaskan dari tubuh dengan dua macam cara yaitu pertama dengan kematian dan kedua
dengan pengetahuan. Jiwa yang terlepas dari ikatan tubuh bisa menikmati kebahagiaan melihat
Allah karena selama ini jiwa tersebut diikat oleh tubuh dengan keinginan atau nafsu badaniah
sehingga menutup penglihatan terhadap yang Ilahi dan kurang mengejar keutamaan-keutamaan
hidup. 

Pandangan dualisme yang demikian membuat Al-Kindi lalu memandang rendah tubuh
manusia. Tubuh manusia dianggapnya merupakan penghalang bagi manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup. Ia memahami bahwa realitas tubuh berjalan berbeda dengan realitas jiwa
manusia sehingga perlu dipisahkan melalui kematian. Akibatnya dia tidak bisa menjelaskan
bagaimana pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya.
14
Georg Kirchberger, Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia, (Maumere: Ledelero, 2002), hlm
14.
Baik tubuh maupun jiwa manusia sama-sama berada dalam diri manusia sebagai suatu
kesatuan. Kodrat dari jiwa manusia ialah menjiwai tubuh, sedangkan tubuh tanpa jiwa sama saja
dengan mati. Manusia akan menjadi sungguh manusia ketika memiliki kedua aspek tersebut.
Eksistensi manusia secara keseluruhan ditandai dengan kesatuan tubuh dan jiwa manusia. Jiwa
membawa kehidupan bagi tubuh. Sedangkan tubuh merealisasikan fungsi-fungsi jiwa seperti
berfikir, menikmati keindahan, menginginkan kebahagiaan, mengusahakan kemajuan,
mengambil keputusan, melakukan kebaikan kepada orang lain, serta menilai perbuatannya. Hal
tersebut berarti bahwa tubuh menjadi elemen konstitutif mendasar bagi jiwa. Aktivitas badaniah
manusia bukan merupakan proses mekanistik, melainkan dinamika dari jiwa itu sendiri. Jiwa
menghadirkan keakuan diri seseorang melalui tubuh. Karena itu tubuh bukan hanya sekedar
onggokan daging. Tubuh merupakan ungkapan keakuan, yakni jiwa. Lewat tubuh, seseorang
mampu mengkomunikasikan dirinya kepada orang lain dan lingkungan di sekitarnya.15

Ketiga, persoalan etika Al-Kindi. Al-Kindi berusaha untuk memberi suatu pendasaran
logis untuk tindakan-tindakan manusia. Ia mengunakan prinsip sebab-akibat dan menemukan
bahwa setiap tindakan manusia itu akan menghasilkan suatu akibat atau dalam bahasa Al-Kindi
disebut sebagai balas jasa atau reward. Bagi Al-Kindi cukup saja manusia berbuat baik sejauh
apa yang diajarkan oleh agama untuk memperoleh keselamatan untuk dirinya sendiri. Al-Kindi
memang telah menegaskan bahwa tindakan manusia yang baik itu harus berdimensi sosial, tetapi
ia menciptakan celah di dalam ajaran etikanya dengan menggunakan prinsip pamrih (janji dan
hukuman). Prinsip pamrih dalam ajaran etika Al-Kindi cukup berbahaya karena mengajarkan
seseorang untuk berbuat baik tidak dengan kebebasan dan kesukaan melainkan karena ada
paksaan atau ancaman. Paksaan atau ancaman itu diwujudkan dalam bentuk balas jasa atau
reward dimana seseorang akan terpaksa melakukan perbuatan baik seturut perintah agama hanya
untuk memperoleh keselamatan atau seseorang terpaksa untuk menghindari perbuatan yang salah
karena merasa takut akan ancaman berupa sangsi neraka.

Pandangan etika Al-Kindi yang demikian memaksa manusia untuk terkurung pola pikir
mekanistik, legalistik, egoistik, kaku tanpa kesadaran akan tindakannya. Meskipun suatu
tindakan berdasarkan agama itu pada dasarnya baik, tetapi hal tersebut belum bisa dikatakan baik
sejauh tidak melibatkan kesadaran diri dan kebebasan. Selain itu, hasil perbuatan baik itu belum

15
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm 62-63.
tentu menentukan atau membuktikan adanya kehendak baik,16 contohnya dalam kasus seseorang
menolong orang lain karena perintah agama. Tujuan penolong tersebut belum tentu murni untuk
kesejahteraan yang ditolong, melainkan justru untuk memenuhi tuntutan agama supaya dapat
memperoleh keselamatan yang dijanjikan oleh agama. Jadi bukan suatu bentuk belas kasih atau
kehendak baik untuk menolong orang lain dengan sukarela melainkan demi suatu tujuan atau
pamrih yang egoistik atau yang berorientasi pada keuntungan pribadi. Orang lain tidak dilihat
lagi sebagai pribadi manusia yang bermartabat yang perlu diperlakukan dengan hormat
melainkan dilihat sebagai alat atau sarana untuk memuaskan kenginan egoisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adhim, Fauzan., Filsafat Islam: Sebuah Wacana Kefilsafatan Klasik Hingga Kontemporer,
Malang: CV Literasi Nusantara Abadi, 2018

Basri, Hasan., Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2013
16
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 144.
Fakhry, Majid., Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj) Zaimul Am, Bandung: Mizan,
2001

Kirchberger, Georg., Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia, Maumere: Ledelero, 2002

Magnis-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Soleh, H.A. Khudori., Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz 
Media, 2013
Sihotang, Kasdin., Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2009

Tule, Philipus., Mengenal dan Mencintai Muslim dan Muslimat, Maumere: Ledelero, 2008.

NAMA-NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

Ketua: PIEERE AMALO (611 16 035)

Anggota:

1. GABRIEL BENU (611 16 002)


2. GREGORIO KANAF (611 16 003)
3. ARSENIUS TENA BOLO (611 16 005)
4. MARIO NAHAK (611 16 006)
5. ADRIANUS LUIS DIAZ (611 16 007)
6. HERMANUS WADU LABA (611 16 008)
7. ARWINTO YUSUF SIRI (611 16 009)
8. ARGIDIUS MASU (611 16 011)
9. MAURITIUS NAHAK (611 16 012)
10. EDELBERTUS KALI (611 16 013)
11. EMANUEL BERE MAU (511 16 015)
12. MARIO RUSAE (611 16 017)
13. ANTONIO VIERA (611 16 019)
14. CHOSMAS OSWYN KOBA (611 16 020)
15. VINSENSIUS BEREK (611 16 021)
16. PAULUS SUSANG (611 16 022)
17. MARTINUS WAWIN (611 16 023)
18. GAUDENSIUS TANINAS (611 16 024)
19. YOHANES KRISTIANTO (611 16 026)
20. JONI MANHITU (611 16 027)
21. JONISIUS TAEK (611 16 030)
22. MELKIADES DEZA (611 16 031)
23. THOMAS KAMPUR (611 16 032)
24. ANDREW WANGGE (611 16 036)
25. ANTONIO PUKAN (611 16 037)
26. MARYS KOPONG DATEN (611 16 054)
27. STEFANUS BHONGU (611 16 056)
28. GAUDENSIUS LALU MAWO (611 16 057)
29. REMIGIUS NAI BILI (611 16 059)
30. REDEMPTUS PATI (611 16 060)
31. ADOLFUS NAIKOFI (611 16 061)
32. HIRONIMUS NANI (611 16 061)
33. YOHANES TAEKI LAE (611 16 068)

Anda mungkin juga menyukai