Beliau adalah pendiri Madrasah Filsafat Ulama, yang dalamnya ia berusaha mengkombinasikan
elemen-elemen Neo-Platonis dengan Aristotelianis. Unsur Aristotelianis yang diambilnya ialah bahwa
filsafat itu dibagi atas teori ( nadhariah) dan praktik (amaliah). Pandangan Plato yang diambilnya ialah
bahwa filsuf merupakan orang yang menghiasi dirinya dengan cinta akan kebenaran dan penelitian;
serta lebih mengutamakan jalan keyakinan ( al-yaqin) daripada jalan dugaan ( dhan). Beliau juga
menganut pandangan Pitagoras bahwa matematika ditetapkan sebagai jalan ke arah ilmu filsafat dan
pembuatan obat-obatan.
Filsafat baginya merupakan ilmu termulia dan terbaik yang tak dapat ditinggalkan oleh setiap insan
yang memiliki rasio (‘aql). Sebagai seorang Muslim sejati, ia senantiasa menjunjung tinggi hasil karya
filsafat (hikmat) dari manapun sumber asalnya. Sikap itu terungkap dalam bukunya yang terkenal Kitab
al-Falsafah al-Ula (Buku Filsafat Pertama) sebagai berikut:
Kita patut bersyukur kepada usaha atau jasa para filsuf yang telah berhasil mengembangkan
pengetahuan yang benar... Sepantasnyalah kita tidak malu-malu lagi ber- istihsan 125 terhadap
125
kebenaran (al-haqq), dan menyakini kebenaran itu dari manapun asalnya, sekalipun dari bangsa-
bangsa lain yang menjadi saingan kita. Maka tidak ada sesuatu yang lebih utama ketimbang
kebenaran bagi seorang pencari kebenaran. Dan tidaklah pantas meremehkan kebenaran, serta
menganggap sepele orang yang mengatakan dan yang mendatangkannya. Karena tak seorang
pun dapat diremehkan karena kebenaran yang dibawanya. Sebaliknya, tiap orang akan menjadi
mulia oleh kebenaran itu. 126 126
Al-Kindi berusaha meninjau filsafat baik dari dalam secara teoretis, maupun dari luar secara
praktis. Dengan tinjauan teoretis ia bermaksud mengikuti pendapat para filsuf besar tentang arti kata
filsafat. 127 Sedangkan dengan tinjauan praktis ia bermaksud memberikan definisinya sendiri sebagai
127
berikut:
Filsafat ialah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan
(wahdaniyah), ilmu keutamaan (fadhilah), ilmu tentang semua yang berguna menurut
C. Brockelmann, Geschichte der Arabischen Literatur (GAL), (Leiden: E.J. Brill, 1943), vol. I, hal. 230.
124124
Istihsan berarti penerapan suatu kebijaksanaan dalam putusan hukum (legal decision).
125125
126
126
A.J.Arberry, Reason and Revelation in Islam (London, 1957), hal. 34-35. Bdk. Sayyed Husein Naser,
Tiga Pemikir Islam (Bandung: Penerbit Risalah, 1986), hal. 5-6.
127127
Bdk. Enam definisi filsafatnya yang kebanyakan bercorak platonik.
kesanggupan manusia dan berusaha memperolehnya serta menjauhi perkara-perkara yang
merugikan. 128 128
Jadi secara teoretis, tujuan filsuf ialah mengetahui kebenaran. Sedangkan secara fungsional atau
praktis tujuan filsuf ialah mewujudkan kebenaran itu dalam tindakan konkrit. Semakin dekat seseorang
pada kebenaran, semakin dekatlah ia pada kesempurnaan. Dengan demikian, al-Kindi menekankan
perlunya mempelajari buku-buku Aristoteles. 129 Ia mengeritik keras orang-orang yang menentang
129
Al-Kindi juga menjelaskan bahwa Yang Esa Benar atau Esa esensial ( al-Wahid bil-dhat)
merupakan sumber segala keanekaan. Esa mutlak itu merupakan sebab pertama dari semesta alam
sebagai ciptaan pertama. Alam dunia ini mulai dalam waktu atau terjadi ( muhdath) dan bersifat
kontingen atau aksidental. Ia terjadi dengan jalan emanasi ( fayd). Yang Esa merupakan sebab tidak
langsung atau penggeraknya (muharrik).
5.1.4. Kosmologi
Alam raya dikatakannya terdiri dari sembilan lingkaran konsentris yang berputar mengelilingi bumi
yang statis. Oleh karena itu paham kosmologisnya bersifat geosentris seperti Ptolomeus. 131 131
Kesembilan lingkaran itu adalah Falak al-Nujum (bintang tetap), Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari,
Venus, Mercurius, Bulan dan pada lingkaran kesembilan terdapat ketiga unsur secara bersama-sama
yakni Air, Hawa dan Api.
Setiap lingkaran itu hidup, berakal dan berikhtiar. Masing-masingnya terdiri dari materia (maddah)
dan forma (surah) yang tidak jadi ataupun hancur dari dirinya sendiri. Tetapi sebaliknya, masing-
Bdk. Bukunya berjudul: Fi Kamiyat Kutub Aristutalis wa ma yukhtaju ilayhi fil-falsafat (Tentang
129129
Jumlah buku-buku Aristoteles dan apa yang diperlukan untuk mempelajari filsafat).
130
130
J.W.M. Bakker, SY, op.cit., hal. 29.
131131
Pandangan Ptolomeus bertentangan dengan paham heliosentris dari Copernicus.
masing lingkaran itu tercipta dalam waktu dan dapat berakhir atas kehendak sang Pencipta. Setiap
lingkaran yang lebih tinggi menjadi sebab dekat dari apa yang terjadi dalam lingkaran di bawahnya
atau didalamnya. Misalnya, kepanasan matahari bekerja melalui hawa dan air, proses tumbuh dan mati
dalam bumi. Demikian pula bintang-bintang menentukan nasib manusia dan bangsa-bangsa.
Dikatakannya bahwa perangai manusia bergantung dari tempat, gerakan dan bentuk perbintangan.
Maka ramalan bintang bermanfaat untuk menentukan masa depan seseorang. Juga, katanya bahwa
kepribadian bangsa-bangsa, sifat-sifat ras dan nafsu mereka ditentukan oleh tempatnya di bumi.
Bencana alam dikatakannya bergantung dari konjungsi antara Mars dengan Saturnus setiap 30
tahun. Kosmologi astrologis ini dipinjam dari struktur Aristoteles dan Ptolomeus yang lalu dipertautkan-
nya dengan Islam. Menurut Qur’an 16, 12-16 dan Qur’an 55, 5-6 bahwa matahari dan bintang-bintang
menurut perhitungan-Nya, tumbuhan dan pohon-pohon itu sujud kepada Allah dan takluk kepada
manusia.
5.1.5. Etika
Al-Kindi mencatat bahwa filsuf harus memperdalam pengetahuan tentang manusia dan dirinya
sendiri. Lebih jauh dari itu, sang filsuf harus membina kehidupan yang etis, bermoral dan bersusila.
Filsafat atau hikmat sejati hendaknya membawa serta pengetahuan dan pelaksanaan keutamaan-
keutamaan. Hikmat itu tidak dicari untuk kepentingan diri sendiri seperti yang dikembangkan oleh
paham Aristotelianis, melainkan demi kebahagiaan hidup yang bersifat sosial seperti diajarkan oleh
Stoa.
Etika Islam, dikatakannya berdimensi ganda. Dimensi pertama didasarkan atas Qur’an dan Hadits
yang didalamnya terkandung antara lain kepercayaan akan hari pembalasan. Hal ini mirip dengan apa
yang diajarkan oleh Mu’tazila seperti tersurat dalam salah satu tesisnya tentang “janji dan ancaman”
(‘al-wa’ad wal-wa’id). Pada hari itu perbuatan-perbuatan baik akan mendapat pahalanya. Kode etik
dipandangnya sebagai perintah ilahi yang diwahyukan kepada ummat manusia lewat para nabi, yang
memuncak pada diri Nabi Muhammad sebagai Nabi Terakhir atau Khatam al-anbiya’. Penyimpangan
terhadap perintah-perintah ilahi itu akan diberikan sangsi atau hukuman paling keras di neraka.
Dimensi kedua etika Islam dibangun atas pandangan bahwa di hadapan hukum, manusia itu
memiliki nilai ataupun martabat dari Tuhan Penciptanya sebagai penjaga atau pengatur keadilan. Yang
menarik dari teori al-Kindi adalah tentang kecenderungan kodrati ( fitrah) manusia untuk melakukan
kebajikan. Pada prinsipnya manusia itu lebih cenderung melakukan kebajikan, karena dalam pikirannya
terdapat hakikat keilahian. Tabiat manusia itu sesungguhnya baik. Namun ia senantiasa digoda oleh
nafsu dan keserakahan untuk melakukan kejahatan yang bersifat aksidental.
Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama dan pelbagai urusan rohani demi
memperkaya diri sendiri. Praktik ulama seperti itu dikenal dalam dunia Islam dengan istilah tajarat bil-
din. 132 Ia pun mengecam para filsuf yang memperlihatkan watak kebinatangan demi
132
132132
Dalam Sejarah Gereja Katolik, praktik seperti tajarat bil-din, juga pernah terjadi dan dikenal dengan
istilah Gerakan Simoni. Term Simoni itu berawal dari pemakaian oleh Simon Magus, untuk melukiskan orang
yang berusaha membeli karunia Roh Kudus dari para Rasul seperti dalam Kisah Para Rasul 8, 4-25. Dalam
Teologi, menurut Thomas Aquinas (1226-1274) dalam Summa Theologia 2a, 2ac. 100ad, Simoni berarti
rancangan cermat untuk menjual atau membeli sesuatu yang spiritual atau yang berhubungan dengan yang
spiritual. Praktik ini tentu bertentangan dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK: 947) yang cukup tandas
menegaskan ‘Hendaknya sama sekali dijauhkan segala macam bentuk usaha atau perdagangan dari stipendium
misa. Gregorius I, sudah membedakan pelbagai imbalan yang patut diterima oleh para pelayan pastoral sebagai
berikut: munus a mano (hadiah uang), munus a lingua (pujian) dan munus ad obsequi (spiritual gift).
5.1.6. Agama: Tuhan, Kenabian dan Qur’an
Dalam bidang agama al-Kindi condong kepada teologi Mu’tazila. Sejalan dengan paham Kristen ia
menerima konsep creatio ex nihilo bahwa Allah adalah Pencipta dari segala sesuatu tanpa sesuatu apa
pun. Sebagai Pencipta, Allah memelihara segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya itu. Mengenai
adanya Allah, al-Kindi mengemukakan pembuktiannya lewat jalan-jalan berikut:
(1). Argumen sebab akibat. Bahwa alam semesta diciptakan dalam waktu. Berdasarkan argumen
sebab akibat maka segala sesuatu yang diciptakan tentu memiliki penciptanya. Oleh karena itu,
Allah adalah Pencipta alam semesta ini. 133 Allah yang merupakan Sebab Terakhir itu bersifat
133
Esa (tawhid). Bertolak dari rukun iman Islam akan tawhid atau keesaan Allah, maka Allah itu tak
terbagi dan tak dapat dipersekutukan. Dia adalah satu atau esa dalam esensi-Nya ( dhat) dan
eksistensi-Nya (wujud). Sedangkan segala sesuatu selain Allah bersifat majemuk atau ganda.
(2). Argumen analogis. Sebagaimana tubuh manusia yang tertib dan teratur karena ada jiwa yang tak
kelihatan sebagai pengatur yang bijak, demikian pun jalannya alam semesta yang tertib dan
menakjubkan itu menunjukkan adanya pengatur yang tak kelihatan yakni Allah sendiri.
(3). Argumen teleologis. Al-Kindi menunjukkan bahwa gejala alam yang tertib dan menakjubkan itu tak
mungkin tanpa maksud tertentu dan terjadi secara kebetulan. Gejala itu menyiratkan suatu
keterarahan (teleos) kepada sang Pengatur yaitu Allah sendiri. Mengenai sifat-sifat Allah, al-Kindi
cenderung menganut paham Mu’tazila yang mengatakan bahwa sifat-sifat Allah yang dua puluh itu
sama (dan tak terpisahkan) dengan esensi-Nya ( dhat). 134 134
Sedangkan mengenai teori kenabian dijelaskannya lewat dua kemungkinan memperoleh ilmu,
yakni Ilmu Ilahi dan Ilmu Insani. Ilmu Ilahi adalah ilmu yang dianugerahkan Allah kepada para Nabi-
Nya. Inilah derajat pengetahuan yang tertinggi, yang bisa dicapai oleh manusia. Seorang Nabi dapat
mencapai tingkatan itu dalam pengetahuan tentang alam gaib dan ketuhanan melalui jalan intuisi
(wahyu) serta melampaui segala kesanggupan pengetahuan manusia biasa.
Ilmu Insani adalah filsafat dan ilmu-ilmu lain yang bisa dipelajari oleh semua manusia. Diantara kedua
jenis ilmu tersebut terdapat hubungan yang erat. Dengan demikian, filsafat dan ilmu-ilmu wajib sejalan
dengan wahyu. 135 Selanjutnya mengenai Qur‘an al-Kindi sependapat dengan kaum Mu’tazila,
135
bahwa Qur‘an itu tidak abadi bersama Allah. Namun demikian, kebenaran Qur‘an masih jauh lebih baik
untuk diyakini jika dibandingkan dengan kebenaran-kebenaran hasil refleksi filosofis.
Bdk. Argumentum ex Finalitate atau Via dal Finalismo dari antara Quinta Via yang dikemukakan
134134
Thomas Aquinas, bersama dengan ke-4 yang lainnya yaitu: Via dal Mutamento,Via dalla Causalita Efficiente,
Via dalla Contingenza, dan Via dai gradi di Perfezione.
Drs. Poerwantana, op.cit., hal. 131. Hal senada itu juga kelak dirumuskan secara lebih lanjut oleh Ibn
135135
Rushd (1126-1198) dan Thomas Aquinas (1225-1274). Ibn Rushd merumuskan dalam kitabnya yang berjudul
Fasl al-Maqal fima bayna al-Hikmat wal-Shari’ah min al-Ittisal (Keterkaitan antara Filsafat dan Shari’at).
Secara lebih rinci ia mengatakan bahwa al-Hikmat hiya sahabat al-Shari’at wa ukht al-ruzdat (Filsafat adalah
sahabat atau mitra dan saudari susuan dari teologi atau shariat). Sedangkan Santu Thomas Aquinas
mengungkapkan keterkaitan antar ilmu dan wahyu itu dalam kata-katanya bahwa Philosophia Ancilla
Theologiae.