Anda di halaman 1dari 40

BAB I

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Allah pencipta manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam raya, dan Allahlah

yang mengajarkan ilmu kepada Nabi Adam, sebagaimana firmannya di dalam surat

Al-Baqarah ayat 31:

        


      
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.

Jelaslah dari ayat tersebut bahwa ilmu itu pada hakekatnya dari Allah, karena

Allah lah yang mengajarkan pada manusia pertama yang diciptakanNya. Bahkan Allah

memanggil langit dan bumi dalam keadaan terpaksa atau ridha kepada Tuhannya

sebagaimana yang difirmankan dalam surat Fushshilat ayat 11:

         
      
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan
asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya
menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami
datang dengan suka hati".

Dari ayat diatas, bumi dan langit tunduk kepada Allah, maka oleh sebab itu hokum

alam pun yang terjadi dibumi dan langit seharusnya tunduk kepada Allah. Ilmu tidak

tiba-tiba ada akan tetapi melalui proses. Dengan ilmu tegaklah suatu peradaban,

seperti peradaban Yunani, peradaban Islam dan peradaban Barat. Dalam peradaban

Page 1 of 40
Yunani, masalah keilmuannya para filosof masih memikirkan tentang sang pencipta,

namun mereka tidak mengetahui siapa sang pencipta itu. Dalam peradaban Islam ilmu

sangat dijunjung tinggi namun tidak memisahkan masalah metafisika (ketuhanan)

dengan ilmu, jadi dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama saja berasal

dari Allah. Dapat dipastikan sampai kiamat Islam tidak akan mendikotomi ilmu

dengan agama sebab sumber dari agama Islam yaitu Al-Qur’an yang didalamnya

banyak menulis tentang kata-kata ilm. Bahkan dengan ilmu itulah keimanan akan

bertambah sebagaimana dalam firman Allah surat Al-Faathir ayat 25:

       


           
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-
binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Jadi dalam Islam orang yang berilmu (ulama) itu takut pada Allah, dapat kita

katakana bahwa ilmu dalam Islam tidak dikotomi dengan agama terutama masalah

ketuhanan (metafisika). Adapun Barat melakukan dikotomi antara ilmu dengan agama.

Bahkan Barat mengatakan ilmu adalah value free (bebas nilai) maksudnya adalah

bebas dari agama khususnya Islam. Ilmu itu berisi teori, yang mana teori itu biasanya

menerangkan hubungan sebab akibat, dan ilmu itu tidak bisa memberikan nilai baik

dan buruk, haram dan halal, sopan atau tidak sopan, ilmu itu hanya memberikan nilai

benar atau salah. Kenyataan inilah yang menyebabkan ada orang yang menyangka

bahwa ilmu itu netral. Bahkan ilmu itu sangat dipengaruhi oleh worldview orang yang

menggagas ilmu tersebut. Yang mana worldview orang tersebut bisa dipengaruhi oleh

Page 2 of 40
kebudayaannya, bisa juga oleh keyakinannya, filsafat, lingkungan dan bisa juga karena

kebiasaannya.

Namun ada yang perlu dicermati juga bahwa tidak secara keseluruhan atau

semuanya berbeda, antara ilmu dalam perspektif Islam dengan ilmu dalam perspektif

Barat. Adapun persamaannya diantaranya adalah penggunaan rasio dan pancaindra.

Stigma yang berkembang didunia mengenai peradaban ilmu pengetahuan

yang selalu diarahkan pada dunia Barat. Munculnya berbagai klaim mengenai

ilmu pengetahuan berasal dari Barat dan menuai puncaknya di Barat,

dengan kata lain kemajuan ilmu dan teknologi di dunia Barat disebabkan antara

lain dan terutama oleh paham sekulerisme dan gerakan sekulerisasi yang

mengakhiri apa yang kemudian disebut zaman kegelapan. Bahkan ada sebagian

intelektual Muslim yang mengatakan bahwa kebangkitan dan kemajuan sains

dalam dunia Islam hanya dapat terwujud jika, kaum Muslimin mau mengikuti dan

meniru bangsa-bangsa Barat, yakni dengan menganut sekulerisme dan

mempraktekkan sekulerisasi.

Maka dengan demikian muncullah berbagai perkembangan pemikiran kritis

dari beberapa cendekiawan maupun intelektual muslim. Seperti halnya Ismail

Raji Al- Faruqi dan Syed Muhammad Naquib Al- Attas, Sardar, Seyyed Hossen

Nasr, Alparslan Acikgenc yang mencetuskan dan mengembangkan konsep

Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai langkah kongkret baik dalam

Page 3 of 40
merekonstruksi maupun dekonstruksi beberapa klaim yang sudah di terstigma

di dunia.

B. PEMBATASAN MASALAH

Pada kesempatan ini penulis hanya membahas tentang pemikiran Islamisasi Sains

Syed Muhammad Naquib Al-Attas

C. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalahnya adalah:

1. Bagaimana konsep ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas?

2. Bagaimana konsep Islamisasi Syed Muhammad Naquib Al-Attas?

D. TUJUAN

Adapun tujuannya adalah:

1. Mengetahui konsep ilmu yang digagas oleh Syed Muhammad Naquib Al-

Attas.

2. Mengetahui konsep Islamisasi Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

E. MANFAAT

Harapan penulis setelah pembaca membaca makalah ini: maka:

Secara teoritis dapat diambil suatu manfaat bahwa setiap orang hendaknya perduli

terhadap ilmu yang diterima dari perspektif Barat, bukan harus dibuang secara

keseluruhan namun harus ditimbang secara Islamic Worldview.

Sedangkan secara praktis, semua otoritas yang terkait terutama dalam dunia

pendidikan hendaknya waspada terhadap ilmu yang berorientasi pada peradaban Barat

Page 4 of 40
yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap bangsa dan generasi muda. Perkuat di

lembaga pendidikan dan jajarannya untuk Islamic Worldviewnya.

BAB II

A. KONSEP ILMU MENURUT PERSPEKTIF BARAT

Page 5 of 40
S
ejak awal, para filosof pra-Sokratik1 tidak memberikan perhatian pada cabang

filsafat epistemologi, sebab mereka memusatkan perhatian pada alam dan kemungkinan

perubahannya, sehingga mereka kerap dijuluki filosof alam. Mereka mengandaikan

begitu saja, bahwa pengetahuan mengenai itu mungkin, meski beberapa di antara mereka

menyarankan bahwa pengetahuan tentang struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan

dari sumber-sumber tertentu, ketimbang sumber-sumber lain. Heraclitus (535-475

SM), misalnya, menekankan penggunaan indera, sementara Parmanides (540-475

SM) menekankan penggunaan akal. Meski demikian, tidak seorang pun meragukan

adanya pengetahuan tentang kenyataan (realitas).

P
engetahuan tentang “realitas” atau kebenaran obyektif mendapat momentumnya

pada filsafat Socrates (469–399 SM). Menurutnya, ada kebenaran obyektif yang tidak

tergantung pada saya atau pada kita. Untuk membuktikannya, Socrates menggunakan

metode dialektika (berasal dari kata kerja Yunani dialegesthai, yang berarti bercakap-

cakap atau berdialog), yang terdiri dari induksi dan definisi. Yang disebut pertama

adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan yang khusus, kemudian menyimpulkan

pengetahuan yang umum, sedangkan yang disebut belakangan tiada lain adalah

pengertian umum. Di sini Socrates memunculkan pengetahuan yang bersifat umum

sebagai pengetahuan yang benar, dan pengetahuan yang khusus sebagai

pengeta-huan yang kebenarannya relatif.

Pada abad 5 SM, muncul keraguan terhadap adanya kemungkinan itu. Mereka yang

meragukan manusia mengetahui realitas adalah kaum Shofis. Mereka mempertanyakan,

seberapa jauh kita benar-benar mengetahui kenyataan obyektif? Apakah kita

1
Nunu Burhanuddin, Pemikiran Epistemologi Barat, Jurnal Intizar, Vol. 21 (No.1), Bukit Tinggi: IAIN
Syekh Jamil Jambek, 2015, hlm. 135-136.

Page 6 of 40
mempunyai pengetahuan sebagaimana adanya? Sikap inilah yang disinyalir

memunculkan filsafat epistemologi. Protagoras berpendapat, bahwa keadaan gejala

sesuatu persis sama sebagaimana sesuatu itu tampak kepada manusia, dan kesan

merupakan satu-satunya kenyataan. Diktum Protagoras mengatakan, “Man is the

measure of thinks, of things that they are, of things that are not.” (Manusia adalah

ukuran segala sesuatu baik yang ada maupun tidak ada). Sebaliknya, menurut

Gorgias, tidak ada sesuatu yang disebut kenyataan. Jika ada, kita tidak dapat

mengetahuinya, kita tidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita itu. “Nothing

exits, if anything exits, it is unknown able and granting, it even to exits and to be

knoweble by any one, he could never communicate it do there”.

Perkembangan selanjutnya, epistemologi mendapat bentuknya dalam sistem

pemikiran Plato (427-347 SM). Filosof Yunani ini, bahkan disebut-sebut sebagai

pencetus epistemologi atau the real originator of epistemology, karena ia telah

menguraikan masalah-masalah mendasar tentang pengetahuan. Apa itu pengetahuan?

Dimana pengetahuan diperoleh? Sejauhmanakah yang kita anggap pengetahuan adalah

benar-benar merupakan pengetahuan? Apakah indera menghasilkan pengetahuan?

Dapatkah budi memberi pengetahuan? Dan apakah hubungan antara pengetahuan dengan

keyakinan yang benar?

Ilmu pengetahuan berasal dari dua suku kata; ilmu dan pengetahuan. Secara

etimologi, ilmu dalam bahasa Inggris disebut sebagai science, yang merupakan

serapan dari bahasa latin scientia, yang merupakan turunan dari kata scire, dan

mempunyai arti mengetahui (to know), yang juga berarti belajar (to learn). Science

juga bermakna pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-

Page 7 of 40
syarat yang khas. Sementara pengetahuan dalam bahasa Inggris disebut sebagai

knowledge yang mempunyai arti; (1) the fact or conditioning of being aware of

something (kenyataan atau kondisi menyadari sesuatu). (2) the fact or conditioning

of knowing something with familiarity gained through experience or association

(kenyataan atau kondisi mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui

pengalaman atau asosiasi), (3) the sum of is known; the body of truth, information,

and principles acquired by mankind, (sejumlah pengetahuan, susunan kebenaran

informasi, dan prinsip-prinsip yang diperoleh manusia) (4) the fact or condition of

having information or of being learned (kenyataan atau kondisi memiliki informasi

yang sedang dipelajari).

Definisi ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut2:

1. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag menulis: “Science is empirical,

rational, general and cumulative; and it is all four at once” (ilmu adalah

yang empiris, yang rasional, yang umum dan bertimbun-bersusun; dan

keempat-empatnya serentak).

2. Karl Pearson (1857-1936) merumuskan: “Science is the complete and

consistent description of the facts of experience in the simplest possible

terms” (Ilmu pengetahuan adalah lukisan atau keterangan yang lengkap dan

konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang

sesederhana/sesedikit mungkin).

2
Izzaturrusuli, Ilmu Pengetahuan dari John Locke Ke Al Attas, Jurnal Pencerahan, Takengon: STAIN
Gajah Putih, Vol. 9, (No.1), 2015, hlm. 13.

Page 8 of 40
3. Prof. Dr. Ashley Montagu, guru besar antropologi di Rutgers University

menyimpulkan: Science is a systematized knowledge derived from

observation, study and experimentation carried on order to determine the

nature of principles of what being studied” (ilmu pengetahuan adalah

pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan,

studi dan percobaan untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal

yang sedang dipelajari).

4. Driver dan Bel, pakar konstruktivis, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan

bukan hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan,

terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan

konsepnya yang ditemukan secara bebas (Suparno, 1997: 17).

Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat diambil benang merah

bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu fakta yang bersifat empiris atau

gagasan rasional yang dibangun oleh individu melalui percobaan dan

pengalaman yang teruji kebenarannya.

Dari definisi tersebut diperoleh ciri-ciri ilmu pengetahuan yaitu;

sistematis, objektif, rasional, general, reliabel dan komunitas. Sistematis

mengandung makna ilmu pengetahuan disusun secara berurutan atau teratur

yang memiliki fakta-fakta penting yang saling berkaitan. Objektif berarti

menjelaskan apa adanya sesuai dengan fenomena yang terjadi. Sementara

rasional bermakna bersumber pada pemikiran rasio yang mematuhi kaidah-

kaidah logika. General bermakna kualitas ilmu pengetahuan dapat

Page 9 of 40
merangkum keseluruhan fenomena yang bersifat umum, artinya kebenaran

yang didapatkan dapat diterapkan untuk fenomena yang sama tanpa terikat

ruang dan waktu. Reliabel bermakna dapat diperiksa kebenarannya,

diselidiki kembali atau diuji ulang oleh setiap anggota lainnya dari

masyarakat ilmuan. Komunitas, dapat diterima secara umum, setelah diuji

kebenarannya oleh ilmuwan.

Adapun konsep ilmu dalam perspektif Barat akan dibahas dua tokoh

yaitu Aristoteles dan John Locke sebagai berikut:

1. Aristoteles (384-322 SM)

Aristoteles3 memberikan kontribusi di bidang Metafisika, Fisika, Etika,

Politik, Ilmu Kedokteran, dan Ilmu Alam. Di bidang ilmu alam, ia merupakan

orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies

biologi secara sistematis. Sementara itu, di bidang politik, Aristoteles

percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk

demokrasi dan monarki. Dari kontribusinya, yang paling penting adalah

masalah logika dan Teologi (Metafisika). Logika Aristoteles adalah suatu

sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat

ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika

formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula

pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).

Logika yang digunakan untuk menjelaskan cara menarik kesimpulan yang

3
Abdul Karim, Sejarah Ilmu Pengetahuan, Jurnal Fikrah, Vol. 2 (No.1), 2014, hlm. 280.

Page 10 of 40
dikemukakan oleh Aristoteles didasarkan pada susunan pikir. Masa keemasan

kelimuan bangsa Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia

berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang

dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan

metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut

silogisme (syllogisme).

Aristoteles4 memiliki kecenderungan berpikir saintifik tampak dari

pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan

metode empiris. Dan pandangan filsafatnya lebih mengarah kepada hal-hal

yang konkret. Dia juga pernah menjadi guru dari seorang jenderal terkenal

yaitu Alexander Agung. Aristoteles memiliki karya luar biasa adalah filsafat

etika, negara, logika, dan metafisika. Di dalam dunia filsafat Aristoteles di

kenal sebagai bapak logika. Logika Aristoteles dikenal sebagai logika

tradisional dan sebagai pengantar pada logika modern. Logika tradisional di

sini di sebut dengan logika formal. Sedangkan bagi kaum santri dikenal dengan

sebutan ilmu Manthiq.

Aristoteles walaupun menjadi murid Plato, namun dalam beberapa hal ia

tidak sependapat dengan pandangan Plato. Berbeda dengan Plato tentang

persoalan kontradiktif antara tetap dan mejadi, Aristoteles menerima yang

berubah dan menjadi, yang bermacam-macam bentuknya, yang semua itu

4
Mahfud, Patsun, Mengenal Filsafat anatara Metode Praktis dan Pemikiran Socrates Plato dan
Aristoteles, Jurnal Cendikia, Vol. 5 (No. 1), 2019, hlm. 134-135.

Page 11 of 40
berada di dunia pengalam sebagai realitas yang sesungguhnya. Itulah sebabnya

filsafat Aristoteles di sebut sebagai realisme.

Pandangan Plato bagi Aristoteles merupakan filosofi tentang adanya

yang ada dan adanya yang tidak ada. Aristoteles melengkapinya dengan bahwa

manusia berpotensi mengembangkan ide, dan pengembangannya tersebut

dipengaruhi oleh penglihatan, pengalaman, dan pengertian-pengertian,

sehingga ide dan realitas segala yang ada menyatu dalam suatu

terminologi filosofis. Di sini sebenarnya Plato mempelajari keberadaan yang

ada sebagai suatu keseluruhan, dan yang dipelajarinya adalah dunia yang

tidak kelihatan yakni dunia ide. Sedangkan Aristoteles membagi adanya

itu dalam berbagai lingkungan seperti fisika, biologi, etika, politik, dan

psikologi. Di sini Aristoteles mempelajari sesuatu kenyataan yang tampak.

Pandangan Aristoteles sangat luas dalam bidang filsafat, maka dari itu ia

juga memberikan suatu pandangan tentang konsep Tuhan. Aristoteles adalah

orang yang percaya terhadap adanya Tuhan, baginya bukti adanya Tuhan ialah

bahwa Tuhan adalah penyebab utama adanya gerak (a first cause of motion).

Penggeraknya menurut Aristoteles adalah sesuatu yang tak bergerak yang

bersifat abadi dan kekal atau lebih dikenal dengan penggerak yang tidak

bergerak (al-muhārik al-ladzī lam yatakharrāk) yaitu Tuhan atau dikenal

dengan causa prima.

Sedangkan pandangannya mengenai etika, Aristoteles mengatakan bahwa

etika adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan dan sebagai barang tertinggi

Page 12 of 40
dalam kehidupan, etika juga dapat mendidik manusia supaya memiliki sikap

yang pantas dalam segala perbuatan.


5
Fondasi Filsafat Teori Politi dan Etika Aristoteles adalah sebagai berikut:

politik tidak akan lepas dari ilmu dan etika, fenomena merupakan interpretasi

dari bentuk dan ruh, etika menjadi pemandu ilmu politik, dan negara adalah

bentuk dari moral sejati yang membentuk kehidupan. Bahkan Aristoles

mengatakan “ a good man can only be good citizen”.

Aristoteles6 memecah dualisme Plato antara alam idea dan alam materi

dengan mengemukakan bahwa, alam ide dan materi itu menyatu, sejalan

dengan filsafat metafisikanya Aristoteles bahwa setiap benda terdiri dari jiwa

(matter) dan bentuk (form) jiwa adalah substansinya sedangkan melalui bentuk

itulah jiwa menampakkan eksistensi. Ia telah mengatasi dualisme Plato tentang

idea dan wujud, sedangkan Aristoteles lebih kepada jiwa dan materi

menyatu dalam sebuah wujud.

2. John Locke (1632 – 1704)

Empirisme adalah pengetahuan yang diperoleh dengan perantaraan

panca indera. Paham empirisme berpendirian bahwa pengetahuan berasal dari

pengalaman. John Locke7 yang merupakan tokoh dalam teori ini

mengemukakan bahwa manusia ibarat kertas putih, maka pengamalan panca

5
Aloysius G.Dinora, Aristoteles Socrates Plato Sebuah Biografi, Yogyakarta: Sociality, 2019, hlm. 77.
6
M.Wiyono, Pemikiran Filsafat Al Farabi, Jurnal Substantia, Vol. 18 (No.1), Jakarta : UIN Syarif
Hidiyatullah, hlm. 71.
7
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: ROSDA, 2012, hlm. 13.

Page 13 of 40
inderawinya yang akan menghiasi jiwa manusia dari mempunyai

pengetahuan yang sederhana hingga menjadi pengetahuan yang kompleks.

Sementara John Locke8 dengan konsepsi epistemologis empiris

menyatakan berusaha membebaskan diri dari bentuk-bentuk spekulasi spiritual

yang menandai tradisi metafisika tradisional. Selanjutnya, dengan cara yang

sama, Locke juga berusaha memisahkan filsafat ilmu dari teologi. Implikasi

pemikirannya sangat luas dan dalam. Ia mempelopori kelahiran ilmu-ilmu

kemanusiaan modern yang didasarkan pada observasi empiris, seperti

psikologi, fisika, matematika, dan lain-lain.

John Locke9 menolak logika Descartes yang menempatkan akal sebagai

sumber pengetahuan. Bagi Locke, pengalaman berdasarkan ketajaman

inderawi seseorang menjadi sumber utama pengetahuan dan akal sebagai

sumber kedua. Filsafat empirisme menekankan metode eksperimen sebagai

proses untuk mencapai pengetahuan (induktif) dengan melakukan pengujian

terhadap keabsahan pengetahuan yang dimiliki manusia. Sehingga dalam

praktiknya, fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dapat

ditelaah secara kritis dan mendalam.

Kemudian John Locke menerangkan bagaimana cara mendapatkan

pengetahuan10, pertama-tama sebelum manusia mengetahui sesuatu, ia

8
Rido Kurnianto, Perbandingan Konsepsi Epistemologi Empirisme Ibnu Taymiyyah dan John Locke,
Jurnal Tsaqafah, Vol. 10 (No.1), Ponorogo: Universitas Muhammadiyah, 2014, hlm. 160.
9
Chusnul Chatimah Asmad, Teori Epistemologi Empirisme, Makalah , Makasar: UIN Alauddin, 2018,
hlm. 26.
10
Masykur Arif Rahman, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013, hlm. 265.

Page 14 of 40
melakukan proses pengindraan, pengamatan, atau observasi terhadap dunia

luar dirinya, seperti mengamati keluasan, warna dan bau, serta mendengarkan

sesuatu. Segala sesuatu yang ditangkap dari dunia luar melalui indra, oleh John

Locke disebut “pandangan sederhana” atau “ide-ide sederhana”.

Selanjutnya pandangan sederhana atau ide-ide sederhana itu terolah

didalam pikiran dengan cara digabung-gabungkan dan diabstraksikan,

sehingga menghasilkan pandangan “kompleks” atau ide-ide kompleks, seperti

ide kemanusiaan, keadilan, pepohonan dan lain sebagainya.

Contoh sederhana mengenai pandangan John Locke tersebut ialah sebagai

berikut. Pertama seorang mengamati “ide-ide sederhana, seperti materi, manis,

berair dan berwarna kemerahan yang terdapat pada suatu objek. Kemudian ide-

ide sederhana itu digabungkan dan diabstraksikan menjadi ide komplek,

sehingga menghasilkan nama “buah anggur”. Nama buah anggur yang tak lain

adalah ide kompleks merupakan hasil penggabungan dari ide-ide sederhana

tadi.

Karena pandangannya itu, John Locke masuk dalam barisan filsuf

empirisme, yang meyakini bahwa pengetahuan didapat berdasarkan

pengalaman, dan pengalaman di sini adalah pengalaman indrawi.

B. KONSEP ILMU PERSPEKTIF ISLAM

Islam memandang ilmu sebagai sebuah sarana yang sangat penting untuk

mengenal dan mengetahui al-Haqq. Inilah mengapa terdapat lebih banyak penjelasan

tentang hakikat ilmu di dalam Islam melebihi apa yang ada dalam agama,

Page 15 of 40
kebudayaan, dan peradaban selainnya. Sebagai bukti, al-Qur’an memuat berulang kali

kata ilmu dan derivasinya, yang menempati posisi kedua setelah kata tauhid. 11 Sebuah

penjelasan bahwa dalam al-Qur’an dan al-Sunnah konsep ilmu (‘ilm) menjadi konsep

terpenting dan komprehensif setelah iman. Signifikansi ini secara jelas dapat dilihat

dari fakta lima ayat pertama yang diturunkan dalam al-Qur’an, serta puluhan hadist

Nabi yang menegaskan wajibnya mencari ilmu, telah memberikan kepada ilmu sebuah

landasan yang kuat dan jelas dalam cara pandang Islam.

Pada kesempatan ini penulis akan memaparkan tiga konsep ilmu dari ilmuwan

Islam yaitu Al Farabi, Ibnu Khaldun dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas seperti

dibawah ini.

1. Al-Farabi (870-950)

Semua ilmuwan mengakui bahwa Al-Farabi mampu memahami 12 pemikiran dan

filsafat Yunani. Terutama pemikiran Plato dan Aristoteles. Pemahamannya tentang

pemikiran dua tokoh Yunani tersebut dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul

Kitab Al-Jam’Baina Ra’yai al-Hakimaini. Karya ini berisi tentang komentar Al-Farabi

terhadap dua arus pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles yang oleh banyak kalangan

dianggap berbeda, tapi bagi Al-Farabi justru bagi keduanya tidak berbeda. Sampai

11
Lailah Alfi, Konsep Ilmu Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Jurnal Tasfiyah, Vol. 2
(No.2), Ponorogo: UNIDA, 2018.
12
Moh. Asy’ari Muthar, The Ideal State, Yogyakarta:IRCiSoD, 2018, hlm 103-109.

Page 16 of 40
sekarang belum ada ilmuwan yang menolak bahwa Al-Farabi memahami warisan

pemikiran dua tokoh Yunani tersebut, sekalipun kemampuannya dalam berbahasa

Yunani dipertanyakan.

Kontribusi Al-Farabi yang sangat besar dalam bidang fisika, metafisika, ilmu

politik dan logika, menjadikannya sebagai tokoh yang paling pantas menempati posisi

terkemuka diantara para filsuf muslim lain. Al-Farabi banyak mendapat pujian dari

para historiographer atas penjelasannya yang mengagumkan mengenai filsafat Plato

dan Aristoteles, dan keterangan-keterangannya dalam perincian ilmu-ilmu, Ihsa’ Al-

Ulum-nya. Menurut mereka, buku tentang perincian ilmu-ilmu tersebut merupakan

buku berbahasa Arab paling lengkap dan sangat layak untuk dipergunakan sebagai

pengantar studi tentang filsafat Aristoteles dan Plato. Mutu serta kelengkapan buku

tersebut jauh melampaui karya manapun juga pada saat itu.

Al-Farabi menyitir tiga kriteria yang menyusun hierarki ilmu13.

Pertama, kemuliaan materi subjek (syaraf al-maudhu’), berasal dari prinsip

fundamental ontologi.

Kedua, kedalaman bukti-bukti (istqsha’ al-barahin), didasarkan atas

pandangan sistematika pernyataan kebenaran dalam berbagai ilmu yang ditandai

perbedaan derajat kejelasan dan keyakinan (basis epistemologi). Selama gagasan

tentang kedalaman bukti berhubungan secara langsung dengan permasalahan

metedologis, kriteria kedua dapat dianggap menetapkan basis metodologis

penyusunan hierarki ilmu.


13
Mutty Hariyati, Sejarah Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dan Perkembangannya Dalam Ilmu
Keislaman, Vol.9 (No. 1), Jurnal Pustakaloka, Surabaya: Unesa Surabaya, hlm. 155.

Page 17 of 40
Ketiga, tentang besarnya manfaat (’izham al-jadwa) dari ilmu yang

bersangkutan (basis etis).

Al-Farabi membangun klasifikasi ilmu yang terperinci namun tetap terpadu,

berdasarkan tiga pengelompokkan utama ilmu: Metafisik, Matematik, dan Ilmu-

ilmu Alam.14

a. Metafisik

b. Matematik. Menurut al-Farabi dibagi menjadi tujuh cabang, yaitu:

aritmatika, geometri, astronomi, musik, optika, ilmu tentang gaya, alat-alat

mekanik.

c. Ilmu-ilmu Alam. Ilmu-ilmu alam, yang menyelidiki benda-benda alami

dan aksiden-aksiden yang inheren didalamnya, dibagi menjadi: (a)

Minerologi, yang meliputi kimia, geologi, metalurgi; (b) Botani yang

berkaitan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan sifat umum dan

sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies; (c) Zoologi, yang

berhubungan dengan berbagai spesies binatang yang berbeda-beda,

serta sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing

spesies, termasuk ke dalam katagori ini adalah: (1) Psikologi yang

membahas daya-daya tumbuhan, hewan dan manusia; (2)

Kedokteran yang berbicara tetang manusia dari sudut sehat atau

sakitnya.

2. Ibnu Khaldun (1332-1406)


14
Agung Setiawan, Konsep Pendidikan Menurut Al Ghazali dan Al Farabi, Jurnal Tarbawiyah, Vol.
13 (No. 1), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016, hlm. 66.

Page 18 of 40
Ibnu Khaldun membagi ilmu atas dua macam, yaitu15:

1. Ilmu naqliyah (ilmu yang berdasarkan pada otoritas atau ada yang

menyebutnya ilmu-ilmu tradisional) dan yang termasuk adalah ilmu- ilmu al-

Quran, hadis, tafsir, ilmu kalam, tasawwuf, dan ta’bir al-ru`yah, terbagi dalam

dua kelompok:

 Kelompok pertama adalah ilmu-ilmu hikmah dan falsafah. Yaitu ilmu

pengetahuan yang bisa didapat manusia karena alam berpikirnya, yang

dengan indra-indra kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-

objeknya, persoalannya, segi- segi demonstrasinya dan aspek-aspek

pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan

kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya

sebagai manusia berpikir.

 Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i). Ilmu itu secara

keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara.

Dalam al-Ulum al-Naqliyyah al-Wadliyyah, Ibn Khaldun menjelaskan

ilmu yang terkandung dalamnya seperti berikut:

1) Ilmu Tafsir yang menjelaskan lafaz-lafaz al-Quran,

2) Ilmu Qiraah yang menyatakan bacaan al-Quran,

3) Ulum Hadith yang menjelaskan sanad dan perkhabaran perawi-

perawi tentang Sunnah Rasulullah,

15
Mutty Hariyati, Sejarah Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dan Perkembangannya Dalam Ilmu
Keislaman, hlm. 155.

Page 19 of 40
4) Usul Fiqh yang menjelaskan bagaimana mengeluar hukum- hukum

Allah,

5) Ilmu Fiqh yang merupakan hukum yang diperolehi daripada perbuatan

manusia,

6) Ilmu Kalam yang membahaskan aqidah keimanan dan hujah-hujahnya,

7) Ilmu Bahasa yang meliputi lughah, nahu, bayan dan adab.

Jelasnya, semua ilmu ini adalah berdasarkan al-Quran dan as- Sunnah.

Ibn Khaldun juga membahaskan ilmu Tasawwuf, dan Ramalan mimpi

dalam khasifikasi ilmu pertama ini.

2. Ilmu ‘aqliyah (ilmu yang berdasarkan akal atau dalil rasional). Termasuk

adalah filsafat (metafisika), matematika, dan fisika, dengan macam- macam

pembagiannya. Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu rasional atau ilmu-ilmu

falsafah dan hikmah itu dalam empat macam, yaitu:

a. Logika, yaitu ilmu untuk menghindari kesalahan dalam proses

penyusunan fakta-fakta yang ingin diketahui, yang berasal dari berbagai

fakta tersedia yang telah diketahui. Faedahnya adalah untuk membedakan

antara yang salah dari yang benar berkenaan dengan hal- hal yang dikejar

oleh para pengkaji segala yang ada beserta sifat-sifat tambahannya agar ia

sampai pada pembuktian kebenaran mengenai alam semesta dengan

menggunakan akalnya secara maksimal.

b. Ilmu Alam, yaitu ilmu yang mempelajari substansi elemental yang dapat

dirasa dengan indera, seperti benda-benda tambang, tumbuh-tumbuhan,

Page 20 of 40
binatang-binatang yang diciptakan, benda-benda angkasa, gerakan alami

dan jiwa yang merupakan asal dari gerakan dan lain-lainnya.

c. Metafisika, yaitu pengkajian yang dilakukan terhadap perkara-perkara di

luar alam, yaitu hal-hal yang sifatnya rohani.

d. Studi tentang berbagai ukuran yang dinamakan matematika

(Ta’limi). Bagian ini mencakup empat ilmu pengetahuan, yaitu ilmu ukur,

ilmu hitung, ilmu music, dan astronomi. Tentang ilmu ukur atau geometri,

Ibn Khaldun mangatakan bahwa:“Ilmu ukur berupa pengakajian tentang

ukuran-ukuran secara umum, baik yang terpisah- pisah karena ukuran itu

bisa dihitung ataupun yang bersambungan, yang terdiri dari satu dimensi,

yaitu titik; atau mempunyai dua dimensi, yaitu permukaan; atau tiga

dimensi, yaitu ruang. Ukuran-ukuran itu dikaji, demikian pula sifat-sifat

tumbuhannya”.

3. Syed Muhammad Naqib Al-Attas

Al-Attas terlebih dulu mendefinsikan apa itu ilmu pengetahuan. Baginya hal ini

penting, karena mendefinisikan ilmu pengetahuan bukan perkara mudah.Salah satu

problem umat Islam saat ini diantaranya ketidakmampuan mendefinisikan sebuah

konsep dengan benar.16 Karenanya, kemudian Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai

sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa kepada

makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri.17 Dengan kata lain, hadirnya
16
Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung:
Mizan, 1998, hlm. 142.
17
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, Pulau Pinang :
Penerbit Universiti Sains Malysia, 2007, hlm. 13, 39

Page 21 of 40
makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber pengetahuan, sedangkan hadirnya

jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirnya. 18 Berpijak pada

pemahaman ini Al-Attas mendefinisikan ilmu sebagai satu kesatuan antara orang yang

mengetahui dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subyek ilmu) dengan

yang diketahui (obyek ilmu).Unsur-unsur makna ini dikonstruksikan oleh jiwa dari

obyek-obyek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa menerima iluminasi dari Allah

swt, dan berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam obyek-obyek yang ada.

Premis yang diajukannya adalah bahwa ilmu itu datang dari Allah SWT dan

diperoleh oleh jiwa yang kreatif. Dia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu

kedalam dua bagian. Yang pertama adalah ilmu adalah sesuatu yang datang dari Allah

dan diberikan kepada insan sebagai karunia-Nya. Hal ini persis seperti yang dikatakan

al-Ghazali bahwa ilmu datang sebagaimana adanya ke dalam jiwa seseorang dari luar.

Dan yang kedua adalah sesuatu yang dicapai oleh jiwa yang aktif dan kreatif

berdasarkan daya usaha akliahnya sendiri, yang telah melalui pengalaman,

penyelidikan dan pengkajian. Definisi ini mengindikasi dua cakupan pengertian;

pertama, masuknya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, kedua, sampainya jiwa

manusia kepada objek ilmu melalui penelitian dan kajian.

Premis di atas dipertegas kembali oleh Alparslan Acikgenc dan Wan Mohd Nor

Wan Daud, yakni Pertama; ilmu diisyaratkan sebagai sesuatu yang berasal dari Allah

SWT. bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushūl) makna sesuatu atau

objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu, kedua sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa

18

Page 22 of 40
yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushūl) pada

makna sesuatu atau objek ilmu. Satu hal yang ditekankan dalam definisi ini adalah

bahwa ilmu adalah tentang makna. Objek apapun, fakta maupun suatu peristiwa

dikatakan diketahui seseorang jika bermakna baginya. Jadi, ayam tentunya tidak akan

tertarik kepada emas karena ia tidak tahu makna emas. Bagi hewan seperti ayam, emas

menjadi tidak bermakna. Semakin diketahui, maka dia akan semakin bermakna.

Dengan demikian, dalam proses kognisi, pikiran tidak sekedar menerima pasif, tetapi

ia aktif dalam arti mempersiapkan diri untuk menerima apa yang ia ingin terima

(mengolah dan menyeleksi makna yang diterima secara sadar).

Terkait dengan definisi di atas, Ilmu yang pertama mempunyai dua kenyataan;

yang satu sebagai tanzīl, dan lainnya sebagai pengenalan yang merujuk kepada diri.

Sebagai tanzil, ilmu yang pertama merujuk kepada umat manusia umumnya dan

merupakan hidayah yang membimbing ke arah al-Haqq (Allah SWT); suatu petunjuk

yang mengarahkan hidup manusia ke jalan yang lurus dan benar. Ilmu inilah yang

disebut al-‘Ilm, yakni ilmu yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam definisinya yang

pertama penekanan lebih diberikan kepada Allah SWT., sumber segala ilmu,

sedangkan dalam definisinya yang kedua kepada manusia, si pencari ilmu.

Untuk memperoleh ilmu yang pertama, sebagai petunjuk ke arah al-Haqq, manusia

harus menempuh jalan usaha, ibadah serta kesucian dalam hidupnya. Karena, ilmu

tersebut hanya bisa diperoleh dengan dan atas kehendak dan karunia Allah SWT.

Maka, apabila ilmu tersebut dikaruniakan Allah kepada seorang manusia, ia akan

menerimanya melalui pandangan batinnya atau rasa ruhaninya dengan penyingkapan

Page 23 of 40
hijab atau tirai penutup yang menyelubungi alam hakiki kandungan ilmu ini, atau

dapat disebut sebagai “Kasyf”, yang dengan sekejap nazhar ruhani terpandang oleh

pengelihatan ruhaninya. Ilmu ini merupakan suatu kenyataan khusus ilmu yang

sebenarnya, yang biasa disebut dengan ma’rifah, yakni ilmu pengenalan yang

merujuk kepada pengenalan diri akali manusia. Ilmu yang sebenarnya, yang dikatakan

sebagai tanzīl itulah ilmu yang utama, sebab ilmu tersebut sudah jelas dan lengkap

sempurna bagi insan dan merupakan hidayah dan petunjuk yang membimbingnya ke

arah yang lurus dan benar. Pencapaian terhadap ilmu ini tentunya bukan sebuah hal

yang mudah, mengingat bahwa ia harus ditempuh dengan usaha yang berat dan

panjang, dan tentunya bergantung kepada kehendak Allah yang memberikannya.

Maka, tidak semua orang dapat mencapai ilmu ini.

Ilmu yang kedua, yang disebut ‘ilm yang mempunyai bentuk jamak ‘ulūm adalah

ilmu pengetahuan, dan diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri daya usaha akliah

melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar-akali dan pemerhatian,

penyelidikan dan pengkajian. Ilmu ini berdasarkan pada pengumpulan kesimpulan-

kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup duniawi. Penuntutan ilmu ini tidak

batasnya sebab ia merujuk kepada maklu- mat-maklumat yang juga tidak berbatas, di

mana nilai kegunaan hidup duniawi, yang merupakan alat juga bagi manusia dalam

menyesuaikan dirinya dengan keadaan alam sekelilingnya. Ilmu jenis ini dapat

diperoleh oleh siapapun sesuai dengan usaha dan kemampuannya masing-masing.

Dalam kategori ilmu yang kedua, sesuatu dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu

apabila ia diakui sebagai sebuah kepercayaan yang benar. Al-Attas mengatakan bahwa

Page 24 of 40
kepercayaan yang benar itu dalam perspektif Islam bukan hanya suatu proposisi,

melainkan juga sesuatu yang bersifat intuitif yaitu salah satu aspek dari kapasitas

spiritual akal manusia. Kepercayaan yang benar dalam Islam adalah Iman, yang tidak

hanya berupa pernyataan penerimaan suatu proposisi, tetapi juga melibatkan afirmasi

spiritual atau internal dan konfirmasi fisik. Jadi, ilmu adalah kebenaran yang

didenotasikan dengan istilah haqq, yang merangkum sesuatu, baik proposisi maupun

ontologi.

Kedua jenis ilmu di atas tentunya menuntut seorang pencari ilmu untuk memiliki

mental yang aktif dan persiapan spiritual yang matang, selain tentunya memerlukan

keridhaan serta kasing sayang Allah SWT., sebagai Zat yang memberi ilmu. Keadaan

ter- sebut bagi seorang pencari ilmu menurut al-Attas disebut sebagai “kedatangan”.

Al-Attas memberikan penekanan kepada kedua aspek “kedatangan” dan “makna”,

sebuah metode penyatuan yang menurutnya merupakan ciri-ciri tradisi intelektual

Islam yang disebut dengan “metode tauhid”.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dalam pandangan Islam,

wahyu Tuhan adalah satu-satunya sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran terakhir

yang berkenaan dengan makhluk dan khaliq. Pandangan tersebut secara jelas sangat

bertentangan dengan pandangan Barat mengenai hakikat ilmu. Seperti pendapat

Richard Rorty yang dikutip oleh Wan Daud dalam bukunya, mengungkapkan prinsip

sofis yang baru mengenai ilmu pengetahuan, bahwa hakikat ilmu adalah tidak

memiliki hakikat, dan karenanya, tidak ada yang disebut sebagai teori-teori ilmu. Hal

Page 25 of 40
ini berbeda dengan ilmu di dalam Islam, yang mana ilmu itu tersebut merangkumi

iman dan kepercayaan sebagai hakikatnya.

Bertentangan dengan filsafat dan sains modern sekular dalam hal sumber dan

metode ilmu, al-Attas menjabarkan bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh

melalui sejumlah saluran, yaitu: indera yang sehat, laporan (khabar) yang benar yang

disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi.

Menurut Al-Attas, ilmu dikategorikan menjadi dua, yaitu Ilmu fardlu ‘ain dan

Ilmu fardlu kifayah. Ilmu fardlu ‘ ain diajarkan tidak hanya pada tingkat primer

(rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder (menengah) pra-universitas dan juga

tingkat universitas.19 Pemahaman dan pelaksanaan yang tepat terhadap kategori ilmu

pengetahuan fardhu 'ain (kewajiban bagi diri) dan fardhu kifayah (kewajiban bagi

masyarakat) ini akan memastikan realisasi kesejahteraan individu dan sosial.

Kandungan terperinci dari dua kategori ilmu pengetahuan yang telah disebutkan,

yaitu ilmu fardhu 'ain (kewajiban bagi diri) dan ilmu fardhu kifayah (kewajiban bagi

masyarakat) adalah sebagai berikut:

1. Fardhu Ain (Ilmu-ilmu agama)

a. Kitab Suci Al-Qur‟an: pembacaan dan interpretasinya (tafsir dan ta’wil).

b. Sunnah: kehidupan Nabi; sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis

dan perawinya.

19
Zulham Efendi, Pemikiran Pendidikan Muhammad Naquib Al Attas, Jurnal WARAQAT, Vol.2
(No.2), Deli Serdang: STAI As Sunnah, 2017, hlm. 11.

Page 26 of 40
c. Syari’at: fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam,

Iman, Ihsan).

d. Teologi (ilmu Kalam); Tuhan, Zat-Nya, Sifat-Sifat, Nama-Nama, dan

perbuatan-Nya (al-tauhid).

e. Metafisika Islam (at-Tasawwuf-irfan); psikologi, kosmologi dan ontologi;

elemen-elemen dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin kosmologis

yang benar, berkenaan dengan tingkatan-tingkatan wujud).

f. Ilmu-ilmu bahasa (linguistik); bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan

sastra.

2. Fardhu Kifayah:

a. Ilmu-ilmu Kemanusiaan.

b. Ilmu-ilmu Alam.

c. Ilmu-ilmu Terapan.

d. Ilmu-ilmu Teknologi.

e. Perbandingan Agama.

f. Kebudayaan dan peradaban Barat.

g. Ilmu-ilmu Linguistik: bahasa-bahasa Islam, dan

h. Sejarah Islam.20

Walaupun begitu Al Attas tidak membatasi pengetahuan fardu kifayah hanya

delapan disiplin ilmu saja, tetapi tidak terbatas. Karena pada prinsipnya

pengetahuan (ilm) itu sendiri adalah sifat Tuhan.

20
Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, hlm. 274-282

Page 27 of 40
BAB III

A. PEMBAHASAN ISLAMISASI SAINS

Seluruh Nabi dan Rasul 21diutus Allah untuk melakukan gerakan Islamisasi. Itulah

sebabnya setiap Rasul diutus oleh Allah selalu dihadapkan dengan kondisi sosial

masyarakat yang penuh dengan kezaliman, kemaksiatan dan kerusakan. Sejak

mendapatkan perintahn untuk berdakwah, maka Rasulullah mula-mula melakukan

gerakan Islamisasi kepada orang-orang jahiliyah. Proses Islamisasi ini bertujuan untuk

memberikan pemahaman yang benar kepada manusia saat itu agar mengubah

keyakinan jahiliyah yang selama ini dianut. Dengan berbagai cara Rasulullah secara

21
Ahmad Sastra, Filosofi Pendidikan Islam, Bogor: Darul Muttaqien Press, 2014, hlm. 257-259.

Page 28 of 40
terus menerus memberikan pencerahan ajaran Islam kepada umat yang tersesat saat

itu.

Secara historis,22 ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat

diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di

Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz

University berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40

negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta serta penyempurnaan

sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah

satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut islamisasi ilmu

pengetahuan. Gagasan ini di antaranya dilontarkan oleh Syed M. Naquib al-Attas

dengan makalah yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge

and the Definition and Aims of Education” dan Ismail Raji al-Faruqi dalam

makalahnya “Islamicizing social science.

Ada beberapa pengertian tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Pertama 23menurut

Muhammad Emarah, seorang pemikir Muslim Mesir yang moderat, bahwa Islamisasi

Ilmu pengetahuan merupakan proses pengkorelasianantara Islam dengan ilmu

pengetahuan. Dengan kata lain, ia merupakan penyesuaian antara Islam dengan ilmu

pengetahuan manusia dengan tidak menganggap alam nyata dan realitas sebagai

sumber ilmu pengetahuan manusia. Akan tetapi, berdasarkan atas dua pilar, yaitu

wahyu dan alam.

22
Zuhdiyah, Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi, Vol 2 (No.2), Jurnal Tadrib, Palembang: UIN
Palembang, 2019, hlm. 6
23
Nunu Burhanuddin, Filsafat Ilmu, Jakarta: Kencana, 2018, hlm. 196.

Page 29 of 40
Kedua menurut Imam Suprayogo24Islamisasi ilmu digambarkan dalam sebuah

metafora sebuah pohon yang tumbuh subur, kuat, rindang, dan berbuah lebat dan

segar. Akar yang kukuh menghujam kebumi digunakan untuk menggambarkan ilmu

sebagai alat yang harus dikuasai secara baik oleh setiap mahasiswa, yaitu bahasa Arab

dan Bahas Inggris, logika, pengantar ilmu alam, dan ilmu sosial. Batang pohon yang

kuat itu digunakan untuk menggambarkan kajian dari sumber ajaran Islam, yaitu Al-

Qur’an, hadits, pemikiran Islam, sirah nabawiyah dan sejarah Islam. Adapun dahan

yang jumlahnya cukup banyak digunakan untuk menggambarkan sejumlah ilmu pada

umumnya dengan berbagai cabangnya, seperti ilmu-ilmu alam, ilmu sosial, dan

humaniora. Sebagai sebuah pohon ia harus tumbuh di atas tanah yang subur, yaitu

adanya kampus yang berwajah Islami, seperti kehidupan yang dipenuhi oleh suasana

iman, akhlak yang mulia dan kegiatan spiritual. Adapun pohon itu sendiri,

menggambarkan akademik yang akan menghasilkan buah yang sehat dan segar. Buah

yang dihasilkan oleh pohon digunakan untuk menggambarkan produk pendidikan

Islam, yaitu iman, amal saleh dan akhlakul karimah.

Ketiga, menurut Mulyadi Kartanegara25 berpendapat bahwa gagasan islamisasi

ilmu di Indonesia tidak benar-benar dipahami dan dihargai, karena semua pembaharu

Islam umumnya adalah pendukung ilmu pengetahuan modern. Sebagian besar

mereka memandang sains bersifat universal, obyektif, bebas nilai, dan bahkan

untuk beberapa memandang sains pararel dengan.


24
Abudin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Kencana, 2018, hlm. 309.
25
Vaesol Wahyu, Eka Wirawan, Islamisasi Ilmu sebagai Model Integrasi dalam Membangun Relasi
antara Ilmu dan Agama, Jurnal Munaqasyah, Vol. 1 (No. 1), Banyuwangi: Sekolah Tinggi Islam
Blambangan, 2019, hlm. 22

Page 30 of 40
Islam. Akhirnya memandang bahwa islamisasi ilmu tidak diperlukan karena

sudah Islam. Ini adalah situasinya di Indonesia, ada kemajuan sekaligus resistensi

26
dan hambatan untuk dipahaminya masalah islamisasi ilmu.

Mulyadi Kartanegara mengidentifikasi empat tipe islamisasi yang dipraktikkan

di Indonesia;

a. Integrasi ilmu dan agama. Harun Nasution dipandang tokoh yang berjasa

besar dalam mereformasi IAIN, bahkan bisa dikatakan semua IAIN/UIN berada di

bawah pengaruhnya. Dengan menyebut integrasi berarti terbuka dan

dialogis. Integrasi juga menyiratkan kritis dalam penerimaan ilmu apapun,

temasuk ilmu-ilmu sekuler. Maka, mereka tidak menggunakan istilah islamisasi

ilmu, karena istilah ini cenderung eksklusif. Oleh karena itu, bertentangan

dengan sikap inklusif yang mereka ingin mengadopsinya. Jenis

islamisasi ini diwakili oleh UIN Jakarta.

b. Dewesternisasi dan desekularisasi. Islamisasi ilmu harus dimulai dengan

dewesternisasi dalam arti mengisolasi elemen kunci dan konsep yang

membentuk budaya dan peradaban Barat, dan dari setiap cabang ilmu masa kini.

Di Indonesia jenis islamisasi ini diwakili oleh dua institusi: 1) dalam bentuk

institusi penelitian, yaitu INSIST (Institut for the Study of Islamic Thought and

Civilization) Jakarta; dan 2) dalam bentuk lembaga pendidikan formal, yaitu

UNISULA (Universitas Sultan Agung) Semarang.

Page 31 of 40
c. “Ayatisasi ilmu”: Islamic justification of modern science. Yaitu pembenaran

Islam atas ilmu pengetahuan modern. Mereka yakin bahwa pengetahuan

modern sepenuhnya berkesesuaian dengan doktrin Islam. Apa yang harus

dilakukan tidak begitu banyak mengkritik, tetapi mendukung atau

membenarkan dengan mengutip ayat-ayat al Qur‟an dan Hadits yang relevan.

Banyak buku telah ditulis dengan pendekatan ini dibidang-bidang, seperti

biologi, matematika, dan fisika dan banyak lembaga telah mengadopsi islamisasi

ilmu jenis ini, termasuk UIN Malang, IPB, ITB, dan bahkan Kementerian Agama.

d. Scientification of Islam (pengilmuan Islam) adalah obyektivikasi dengan

mengubah dalil-dalil normative agama menjadi teori ilmiah, norma keagamaan

sebagai pengalaman manusia, selanjutnya selanjutnya dibangun ilmu. Konsep ini

digagas oleh Kuntowijoyo, menurutnya istilah islamisasi ilmu adalah reaksi dan

dengan demikian alah apologis, sementara pengilmuan Islam adalah proaktif

menyiratkan penerimaan prestasi orang lain. Bagi Kuntowijoyo yang harus

diislamkan adalah subyeknya, bukan sains itu sendiri.

Keempat: Konsep Islamisasi Ilmu perspektif Syed Muhammad Naquib Al-Attas,

sebelum dibahas lebih lanjut alangkah baiknya dipaparkan tentang profil Syed

Muhammad Naquib Al-Attas terlebih dahulu. Nama lengkapnya Syed Muhammad

Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas 26. Beliau merupakan keturunan

Arab-Sunda yang dilahirkan di Bogor pada ttanggal 5 September 1931. Ayahnya

bernama Syed Ali Al-Attas dan ibunya Sharifah Raquan Al-Aydarus. Ia memiliki
26
Dinar Dewi Kania, Pemikiran Epistemologi Syed M.Naquib Al Attas dan Frithjof Schuon, Ponorogo:
UNIDA, 2018, hlm. 103-111.

Page 32 of 40
seorang kakak dan seorang adik yang bernama Syed Hussein dan Syed Zaid. Kake

beliau Syed Abdullah bin Muhsin bin Muhammad Al-Attas. Di Bogor sampai berumur

lima tahun, kemudian ia dikirim belajar ke Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941).

Ketika masa pendudukan Jepang Al-Attas kembali mengenyam pendidikan di

Indonesia, yaitu di madrasah al-Urwatu al-Wustqa Sukabumi yang menggunakan

Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.Setelah perang dunia II (1946) kembali ke

Johor melanjutkan pendidikan di Bukit Zahra School dan kemudian di English College

(1946-1951). Pada tahun 1951 selesai sekolah menengahnya dan masuk ke resimen

Melayu.

Pada tahun 1957 Al-Attas mengundurkan diri dari resimen Melayu dan

melanjutkan sekolah ke Universitas Malaya yang saat itu berkedudukan di Singapura

(1957-1959). Pada tahun 1962 Al-Attas lulus Strata 2 dari McGill, Montreal. Dan

pada tahun 1965 Al Attas berhasil mempertahankan disertasinya di Universitas

London dengan judul “The Mysticism of Hamzah Fansuri”.

Al-Attas27 memandang bahwa umat Islam menghadapi tatangan terbesar saat ini

yaitu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang telah salah dalam memahami

ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu

pengetahuan yang dikembangkan oleh peradaban barat telah memberikan manfaat dan

kemakmuran kepada manusia, namun ilmu pengetahuan itu juga telah menimbulkan

kerusakan dan kehancuran di muka bumi.

27
Iswati, Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam, Jurnal At-
Tajdid, Vol. 1 (No. 1), Palembang: Universitas Muhammadiyah, hlm. 97.

Page 33 of 40
Ilmu pengetahuan28 yang dikembangkan peradaban Barat telah

menimbulkan kerusakan karena dikembangkan diatas pandangan hidup, budaya dan

peradaban Barat dipengaruhi. Oleh karena itu Menurut Al-Attas dalam Islamisasi

elemen-elemen yang harus dihilangkan yaitu:

a. mengandalkan akal untuk membimbing kehidupan manusia,

b. bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran,

c. menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan kehidupan sekular,

d. membela doktrin humanisme,

e. menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan

eksistensi manusia.

Islam29 memandang bahwa visi mengenai realitas dan kebenaran bukan semata-

mata berkaitan dengan alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial,

politik dan budaya sebagaimana dalam pandangan sekuler Barat terhadap dunia yang

dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian secara metafisis

terhadap dunia yang tampak maupun yang tidak nampak. Dengan demikian Islam

memandang realitas bagai sesuatu yang kelihatan dan gaib dunia akhirat. Dalam hal

ini dunia tidak dapat dilepaskan dengan akhirat dan akhirat juga dapat

dikesampingkan untuk kepentingan duniawi.

Dengan kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan di atas, Al-Attas meyakini

pentingnya digagas suatu gerakan Islamisasi pengetahuan, karena ilmu pengetahuan

28
Ruchhina, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Ismail Raji Al Faruqi,
Jurnal Islamika, Vol. 19 (No.1), Ponorogo: UNIDA, hlm. 29.
29
Iswati, Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam, hlm. 98.

Page 34 of 40
modern tidak netral dan masuk budaya dan filosofis yang sebenarnya berasal dari

refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Islamisasi ilmu pengetahuan

modern bukan memberikan label Islam pada ilmu penegetahuan dan menolak semua

yang berasal dari Barat, karena terdapat beberapa persamaan antara Islam dengan

filsafat Barat.

Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas dapat dilakukan dengan melalui

dua proses yang berkaitan yaitu :

1. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk

peradaban Barat yang dimiliki oleh pengetahuan modern saat ini terutama ilmu

pengetahuan humaniora. Dengan demikian ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasinya

harus ditundukkan dengan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam fakta-fakta

dan formulasi teori-teori lainnya. Fakta dianggap tidak benar jika itu

bertentangan dengan pandangan hidup Islam.Unsur-unsur dan konsep-konsep

asing yang merusak ajaran Islam tersebut adalah: konsep dualisme yang

meliputi hakikat dan kebenaran, doktrin humanisme, ideology sekuler, konsep

tragedi khususnya dalam kesusastraan. Keempat unsur asing tersebut telah

menjangkiti ilmu khususnya dalam bidang sains kemanusiaan dan

kemasyarakatan, sains fisik, terapan yang melibatkan perumusan fakta dan teori.

Konsep-konsep inilah yang membentuk pemikiran dan peradaban Barat dan telah

menular dikalangan umat Islam.

2. Memasukan unsur-unsur, konsep-konsep Islam dalam setiap bidang dari

ilmu pengetahuan modern yang relevan

Page 35 of 40
Unsur-unsur yang lima faktor tersebut diatas yang menurut al-Attas, yang

menjiwai budaya dan peradaban Barat yaitu akal yang diandalkan untuk

membimbing kehidupan manusia; bersikap dualistik terhadap realitas dan

kebenaran; menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup

sekuler; membela doktrin humanisme; menjadikan drama dan tragedi sebagai

unsur-unsur yang dominan dalam fitrah kemanusiaan, unsur-unsur tersebut harus

dihilangkan tertama dalam bidang ilmu humaniora begitu juga dalam ilmu

lainnya. Kemudian dimasukkan konsep-konsep kunci Islam yaitu: konsep Agama,

konsep manusia, konsep pengetahuan, konsep kearifan, konsep keadilan, konsep

perbuatan yang benar yang semuanya berkaitan dengan konsep tauhid.

Contoh aplikasinya dalam dunia pendidikan dalam ilmu fisika, ada suatu

rumus kekekalan energi atau massa yang dinyatakan bahwa energi tidak dapat

diciptakan dan dimusnahkan, yang dapat hanya perubahan dari energy bentuk satu

kebentuk lain. Dengan rumus matematikanya adalah sebagai berikut:

EM 1 = EM 2

½ . m . v12 + m . g . h1 = ½ . m . v22 + m . g . h2

Jadi energy mekanik dalam keadaan 1 sama dengan energy mekanik dalam

keadaan 2. Karena energy dalam keadaan 1 harus selalu sama dengan keadaan 2

maka dikatakan energy mekanik tersebut kekal, yang ini berakibat menafikan

Tuhan yang mengizinkan itu semua terjadi.

Jadi kalau menurut Al-Attas, kata kekal itu harus dibuang, dan dikatakan

semua itu terjadi karena izin Allah misalnya kita membawakan ayat yang

Page 36 of 40
berbunyi “ lillaahi maa fissamawati wal ardhi” semua yang ada dilangit dan

bumi adalah milik Allah.

BAB IV

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian secara library research didapat kesimpulan sebagai berikut:

1. Ilmu-ilmu modern wajib dievaluasi, diperiksa dengan teliti. Ini mencakup

metode, konsep-konsep, persepsi, symbol-simbol, aspek-aspek empiris dan

rasional yang berdampak pada nilai dan etika. Karena ilmu-ilmu dari

peradaban Barat sangat dipengaruhi oleh keyakinan, pandangan hidup,

kebudayaan, filsafat dan lingkungan dari subjeknya.

2. Setelah mengetahui secara mendalam mengenai pandangan hidup Islam dan

Barat, maka Islamisasi baru dapat dilakukan dengan dua pendekatan yang yang

diajukan oleh Al Attas yaitu: pertama isolir unsure-unsur atau konsep yang

Page 37 of 40
dibangun oleh peradaban, filsafat Barat, kedua masukkan elemen-elemen kunci

Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.

Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer adalah hal yang mutlak diperlukan,

agar ummat Islam tidak begitu meniru metode-metode dari luar, khususnya

Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Al Attas, Syed Muhammad Naquib, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam,
2007, Pulau Pinang : Penerbit Universiti Sains Malaysia.

Alfi, Lailah, Konsep Ilmu Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 2018, Jurnal
Tasfiyah, Vol. 2 (No.2), Ponorogo: UNIDA.

Asmad, Chusnul Chatimah, Teori Epistemologi Empirisme, Makalah , 2018, Makasar:


UIN Alauddin.

Burhanuddin, Nunu, Pemikiran Epistemologi Barat, 2015, Jurnal Intizar, Vol. 21


(No.1), Bukit Tinggi: IAIN Syekh Jamil Jambek.

_________________, Filsafat Ilmu, 2018, Jakarta: Kencana.

Daud, Wan Mohd Wan , Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-
Attas, 1998, Bandung: Mizan.

Dinora, Aloysius G., Aristoteles Socrates Plato Sebuah Biografi, 2019, Yogyakarta:
Sociality.

Page 38 of 40
Efendi, Zulham, Pemikiran Pendidikan Muhammad Naquib Al Attas, 2017, Jurnal
WARAQAT, Vol.2 (No.2), Deli Serdang: STAI As Sunnah.

Hariyati, Mutty, Sejarah Klasifikasi Ilmu-Ilmu Keislaman Dan Perkembangannya


Dalam Ilmu Keislaman, Vol.9 (No. 1), Jurnal Pustakaloka, Surabaya: Unesa
Surabaya.

Iswati, Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya terhadap Pendidikan


Islam, Jurnal At-Tajdid, Vol. 1 (No. 1), Palembang: Universitas Muhammadiyah.

Izzaturrusuli, Ilmu Pengetahuan dari John Locke Ke Al Attas, 2015 Jurnal


Pencerahan, Vol. 9 (No. 1), Takengon: STAIN Gajah Putih.

Kania, Dinar Dewi, Pemikiran Epistemologi Syed M.Naquib Al Attas dan Frithjof
Schuon, 2018, Ponorogo: UNIDA.

Karim, Abdul, Sejarah Ilmu Pengetahuan, 2014, Jurnal Fikrah, Vol. 2 (No.1).

Kurnianto, Rido, Perbandingan Konsepsi Epistemologi Empirisme Ibnu Taymiyyah


dan John Locke, Jurnal Tsaqafah, Vol. 10 (No.1), 2014, Ponorogo: Universitas
Muhammadiyah.

Mahfud, dan Patsun, Mengenal Filsafat antara Metode Praktis dan Pemikiran Socrates
Plato dan Aristoteles,2019, Jurnal Cendikia, Vol. 5 (No. 1).

Muthar, Moh. Asy’ari, The Ideal State, 2018, Yogyakarta:IRCiSoD.

Nata, Abudin, Islam dan Ilmu Pengetahuan, 2018, Jakarta: Kencana.

Rahman, Masykur Arif, Buku Pintar Sejarah Filsafat Barat, 2013, Yogyakarta:
IRCiSoD.

Ruchhina, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Ismail
Raji Al Faruqi, Jurnal Islamika, Vol. 19 (No.1), Ponorogo: UNIDA.

Sastra, Ahmad, Filosofi Pendidikan Islam, 2014, Bogor: Darul Muttaqien Press.

Setiawan, Agung, Konsep Pendidikan Menurut Al Ghazali dan Al Farabi, Jurnal


Tarbawiyah, Vol. 13 (No. 1), 2016, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami, 2012, Bandung: ROSDA.

Page 39 of 40
Wahyu, Vaesol, Eka Wirawan, Islamisasi Ilmu sebagai Model Integrasi dalam
Membangun Relasi antara Ilmu dan Agama, 2019, Jurnal Munaqasyah, Vol. 1
(No. 1), Banyuwangi: Sekolah Tinggi Islam Blambangan.

Wiyono, M., Pemikiran Filsafat Al Farabi, Jurnal Substantia, Vol. 18 (No.1),


Jakarta : UIN Syarif Hidiyatullah.

Zuhdiyah, Islamisasi Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi, Vol 2 (No.2), Jurnal Tadrib, 2019,

Palembang: UIN Palembang.

Page 40 of 40

Anda mungkin juga menyukai