Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

NAMA KELOMPOK :
1. ALIFTIAN RAMADHAN | 180505041190
2. BAGAS DWI PRAKOSO |
3. WAWAN |
4. M ALIF HAIKAL |
5. VICKY ARDIANSYAH | 180505041075
A.Pengertian Filsafat Islam

Sebelum lebih lanjut membicarakan filsafat Islam, terlebih dulu perlu ditegaskan apa yang dimaksud
dengan filsafat Islam di sini. Filsafat Islam dimaksudkan adalah filsafat dalam perspektif pemikiran
orang Islam. Seperti juga pendidikan Islam adalah dimaksudkan pendidikan dalam perspektif orang
Islam. Karena berdasarkan perspektif pemikiran orang, maka kemungkinan keliru dan bertentangan
satu sama lain adalah hal yang wajar. Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philo dan sophia. Philo
berarti cinta dan sophia berarti kebijaksanaan atau kebenaran. Sedang menurut istilah, filsafat
diartikan sebagai upaya manusia untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematik
mengenai Tuhan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu
seharusnya setelah mencapai pengetahuan tersebut. Harun Nasution menggunakan istilah filsafat
dengan “falsafat” atau “falsafah”. Karena menurutnya, filsafat berasal dari kata Yunani, Philein dan
Sophos. Kemudian orang Arab menyesuaikan dengan bahasa mereka falsafah atau falsafat dari akar
kata falsafa-yufalsifu-falsafatan wa filsafan dengan akar kata (wazan) fa’lala. Musa Asy’arie (2002:6)
menjelaskan, bahwa hakikat filsafat Islam adalah filsafat yang bercorak Islami, yang dalam bahasa
Inggris dibahasakan menjadi Islamic Philosophy, bukan the Philosophy of Islam yang berarti berpikir
tentang Islam. Dengan demikian, Filsafat Islam adalah berpikir bebas, radikal (radix) yang berada
pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak dan karakter yang dapat memberikan keselamatan
dan kedamaian hati. Dengan demikian, Filsafat Islam tidak netral, melainkan memiliki keberpihakan
(komitmen) kepada keselamatan dan kedamaian (baca: Islam). Menurut Al-Farabi dalam kitabnya
Tahshil as-Sa’adah, filsafat berasal dari Keldania (Babilonia), kemudian pindah ke Mesir, lalu
pindah ke Yunani, Suryani dan akhirnya sampai ke Arab. Filsafat pindah ke negeri Arab setelah
datangnya Islam. Karena itu filsafat yang pindah ke negeri Arab ini dinamakan filsafat Islam.
Walaupun di kalangan para sejarawan banyak yang berbeda pendapat dalam penamaan filsafat
yang pindah ke Arab tersebut. Namun kebanyakan di antara mereka menyimpulkan, bahwa filsafat
yang pindah tersebut adalah filsafat Islam (Al-Ahwani, 1984:2). Dalam perspektif Islam, filsafat
merupakan upaya untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran atau yang haq dengan
bahasa pemikiran yang rasional. Sebagaimana kata Al-Kindi (801-873M), bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang hakikat hal-ihwal dalam batas-batas kemungkinan manusia. Ibn Sina (980-
1037M) juga mengatakan, bahwa filsafat adalah menyempurnakan jiwa manusia melalui
konseptualisasi hal ihwal dan penimbangan kebenaran teoretis dan praktis dalam batas-batas
kemampuan manusia. Karena dalam ajaran Islam di antara nama-nama Allah juga terdapat
kebenaran, maka tidak terelakkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara filsafat dan agama
(C.A Qadir, 1989: 8). Pada zaman dulu di kalangan umat Islam, filsafat Islam merupakan kisah
perkembangan dan kemajuan ruh. Begitu pula mengenai ilmu pengetahuan Islam, sebab menurut
al-Qur’an seluruh fenomena alam ini merupakan petunjuk Allah, sebagaimana diakui oleh Rosental,
bahwa tujuan filsafat Islam adalah untuk membuktikan kebenaran wahyu sebagai hukum Allah dan
ketidakmampuan akal untuk memahami Allah sepenuhnya, juga untuk menegaskan bahwa wahyu
tidak bertentangan dengan akal (C.A. Qadir, 1989: ix). Filsafat Islam jika dibandingkan dengan
filsafat umum lainnya, telah mempunyai ciri tersendiri sekalipun objeknya sama. Hal ini karena
filsafat Islam itu tunduk dan terikat oleh norma-norma Islam. Filsafat Islam berpedoman pada
ajaran Islam. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah merupakan hasil
pemikiran manusia secara radikal, sistematis dan universal tentang hakikat Tuhan, alam semesta
dan manusia berdasarkan ajaran Islam.
B. Faktor dorongan ajaran Islam

Untuk membuktikan adanya Allah, Islam menghendaki agar umatnya


memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Dan penciptaan tersebut
tentu ada yang menciptakannya. Pemikiran yang demikian itu kemudian
menimbulkan penyelidikan dengan pemikiran filsafat.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju) karena dua hal:
pertama, karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan
keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu
pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta terjadinya akulturasi budaya antar mereka
(Ghallab: 121). Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa
mencari dan menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan pun mendapatka perlakuan yang lebih
dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum
muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi
yang luhur Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandaskan
pentingnya membaca, menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-
Alaq: 1-5). Sebagian ahli tafsir berpendapat, Al-Razi misalnya, bahwa yang dimaksud dengan
“iqra” dalam ayat pertama itu berarti “belajar” dan “iqra” yan kedua berarti “mengajar”. Atau
yang pertama berarti “bacalah dalam shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar
shalatmu” (Binti Syathi’, 1968:20. Bandingkan dengan Jawad Maghniyah 1968: 587, Abdul
Halim Mahmud, 1979:55-56). Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan
“qalam” adalah “tulisan”. Karena tanpa tulisan semua ilmu tidak dapat dikodifikasikan,
seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegak persoalan agama dan dunia (Mahmud,
1979:23 lihat juga Abu Hayan, tt.: 492). Dan tentang penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan
bahwa Malaikat pun diperintahkan untuk sujud kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-
nama: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Malikat dan berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda
itu, jika kamu memang orang-orang yang benar’. Mereka menjawab: ‘Maha suci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Engkau Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 31-32).

1. Faktor Perpecahan di Kalangan Umat Islam (intern)

Setelah khalifah Islam yang ketiga, Usman bin Affan terbunuh, terjadi perpecahan dan
pertentangan di kalangan umat Islam. Perpecahan dan pertentagan tersebut pada mulanya
adalah karena persoalan politik. Tetapi kemudian merembet ke bidang agama dan bidang-
bidang lain. Untuk membela dan mempertahankan pendapat-pendapat mereka serta untuk
menyerang pendapat lawan-lawannya, mereka berusaha menggunakan logika dan khazanah
ilmu pengetahuan di masa lalu, terutama logika Yunani dan Persi, sampai akhirnya mereka
dapat berkenalan dan mendalami pemikiran-pemikiran yang berasal dari kedua negeri tersebut.
Kemudian mereka membentuk filsafat sendiri, yang dikenal dengan nama filsafat Islam.
1. Faktor Dakwah Islam

Islam menghendaki agar umatnya menyampaikan ajaran Islam kepada sesama manusia. Agar
orang-orang yang diajak masuk Islam itu dapat menerima Islam secara rasional, maka Islam
harus disampaikan kepada mereka dengan dalil-dalil yang rasional pula. Untuk keperluan itu
diperlukan filsafat.

1. Faktor Menghadapi Tantangan Zaman (ekstern)

Zaman selalu berkembang, dan Islam adalah agama yang sesuai dengan segala perkembangan.
Tetapi hal itu bergantung kepada pemahaman umatnya. Karena itu setiap zaman berkembang,
menghendaki pula perkembangan pemikiran umat Islam terhadap agamanya. Pengembangan
pemikiran tersebut berlangsung di dalam filsafat.

1. Faktor Pengaruh Kebudayaan Lain

Setelah daerah kekuasaan meluas ke berbagai wilayah, umat Islam berjumpa dengan
bermacam-macam kebudayaan. Mereka menjadi tertarik, lalu mempelajarinya dan akhirnya
terjadi sentuhan budaya diantara mereka. Hal ini banyak sekali ditemukan dalam beberapa teori
filsafat Islam, misalnya “teori emanasi” dari Al-Farabi.

C. SUMBER ILMU Dan KLASIFIKASI ILMU PENGETAHUAN ISLAM


I. Pendahuluan

Kajian tentang sumber ilmu dalam filsafat adalah masuk dalam rumpun epistemologi. Dalam
perjalanan sejarah pemikiran manusia, kajian tentang epistemologi telah dilakukan sejak
zaman Yunani kuno. Dalam dunia Islam, pembahasan tentang epistemologi ilmu sudah
dilakukan sejak masa al-Kindi (796-873 M). Secara agak khusus, kajian tentang epistemologi
ini dilakukan dalam kajian filsafat ilmu.Dalam kajian epistemologi di Barat,pembahasan
tentang sumber ilmu melahirkan tiga mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan
fenomenalisme Kant. Keberatan Islam terhadap ketiga mazhab ini sebagaimana akan
ditunjukkan nanti, terutama karena pengingkarannya terhadap wahyu sebagai objek ilmu
pengetahuan.

Dalam Islam, kajian terhadap sumber ilmu memadukan bahan-bahan empirikal (kealaman) dan
spiritual (kewahyuan). Pemaduan kedua bahan inilah yang akan memunculkan konsep
epistemologi Islam yang berbeda dengan konsep epistemologi Barat. Konsep tentang sumber
ilmu selanjutnya akan berimplikasi terhadap perumusan isi kurikulum dalam pendidikan Islam.

Makalah ini akan akan mencoba menjelaskan sumber ilmu perspektif Islam dan implikasi
konsep ini terhadap isi kurikulum pendidikan Islam.
II. Teori-teori tentang Sumber Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana disinggung di atas, kajian yang pokok tentang sumber ilmu diwakili oleh tiga
mazhab utama, yaitu rasionalisme, empirisme dan fenomenalisme Kant. Berikut akan
dijelaskan ketiga mazhab dimaksud, baru kemudian penulis akan menjelaskan pandangan
Islam tentang sumber pengetahuan.

a. Rasionalisme

Mazhab ini berasal dari para filosof Eropa seperti Rene Descartes (1596-1650) dan Immanuel
Kant (1724-1804), dan lain-lain yang populer disebut sebagai teori rasional.Menurut teori ini
ada dua sumber bagi pengetahuan (konsepsi). Pertama, penginderaan (sensasi). Menurut teori
ini, konsepsi manusia tentang panas, cahaya, rasa dan suara karena penginderaan terhadap hal-
hal itu. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian
dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera, tetapi ia sudah ada dalam lubuk fitrah.
Dalam pengertian yang terakhir ini, jiwa menggali gagasan-gagasan tertentu dari dirinya
sendiri. Rene Descartes berpandangan konsepsi-konsepsi fitri ini adalah ide “Tuhan”, jiwa,
perluasan dan gerak serta pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat
sangat jelas dalam akal manusia. Tetapi bagi Kant, semua pengetahuan manusia adalah fitri,
termasuk dua bentuk ruang dan waktu serta duabelas kategori Kant.

Menurut mazhab ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan
gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera,
ada fitrah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal.

Menurut Shadr, yang mengharuskan kaum rasionalis menganut teori rasionalis dalam
menjelaskan konsepsi-konsepsi manusia adalah sebagai berikut:

Mereka tidak mendapatkan alasan munculnya sejumlah gagasan dan konsepsi dari indera,
karena memang ia bukan konsepsi-konsepsi inderawi. Maka ia harus digali secara esensial dari
lubuk jiwa. Dari sini, jelaslah bahwa motif filosofis bagi perumusan teori rasional ini akan
hilang sama sekali, jika kita dapat menjelaskan secara meyakinkan konsepsi-konsepsi mental,
tanpa perlu mengandaikan gagasan-gagasan fitri.

Menurut Descartes, untuk sampai kepada kebenaran, maka tidak mungkin hanya
mengandalkan indera. Secara metodologi, maka ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu
pasti, meskipun ilmu pasti bukanlah metode ilmu yang sebenarnya. Ilmu pasti hanya boleh
dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri
menurutnya lebih umum. Segala konsepsi dan gagasan baru bernilai benar jika secara
metodologis dikembangkan dari intuisi yang murni (fitrah,-Shadr).

Sesuatu yang dipandang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly).
Apa yang jelas dan terpilah-pilah itu, tidak mungkin didapatkan dari apa yang berada di luar
kita. Sebagai ilustrasi, Harun Hadiwijono menjelaskan berikut:

Coba kita memperhatikan lilin (Jawa: malam) dan sarang madu (Jawa: tala). Jikalau kita
mengamati sebuah sarang madu ada beberapa hal yang tampak pada indera kita: lidah kita
merasakan madunya, hidung kita mencium bau bunganya, mata kita melihat rupa dan
warnanya, jari kita merasa keras dan rasa dinginnya. Akan tetapi jikalau sarang madu itu kita
letakkan di atas suatu wadah yang berada di atas api, sifat-sufatnya berubah, sekalipun lilinnya
tetap ada. Sifat-sifat itu sekarang cair, lunak, lemah, mudah lentur, dan lain sebagainya. Jadi
yang tampak, yang dapat kita amati bukanlah lilin itu sendiri. adanya lilin itu kita ketahui
dengan rasio atau akal kita. Maka benda yang disebut lilin itu pada dirinya tidak dapat diamati.
Sebab benda itu dengan cara yang sama tercakup dalam segala penampakannya. Pengetahuan
kita tentang lilin itu bukan karena wahyu, bukan karena pengamatan atau sentuhan atau
khayalan, melainkan karena pemeriksaan rasio. (Bnd. kalau kita melihat orang berjalan-jalan,
yang kita lihat pakaiannya, dll). Apa yang kita duga kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat
kita ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat di dalam rasio atau akal.
Pengetahuan melalui indera adalah kabur. Di dalam hal ini kita sama dengan binatang.

Menurut Hadiwijono, Descartes dipengaruhi oleh berbagai pertentangan pemikiran filsafat


pada zamannya. Pertentangan ini menyebabkan ia bersikap meragukan segala sesuatu. Dalam
konteks ini hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku
meragukan segala sesuatu). Sifat meragukan ini bukan khayalan, melainkan suatu kenyataan.
Aku ragu-ragu, atau aku berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka aku ada (cogito ergo
sum). Memang menurut Descartes, apa saja yang dipikirkan bisa saja merupakan suatu
khayalan, aka tetapi bahwa kegiatan berpikir bukanlah khayalan. Dalam hal ini “tiada
seorangpun yang dapat menipu saya, bahwa saya berpikir, dan oleh karena itu di dalam hal
berpikir ini saya tidak ragu-ragu, maka aku berada.”

b. Empirisme

Istilah empirik berasal dari kata Yunani emperia, yang berarti pengalaman inderawi. Kaum
empiris memberi tekanan kepada empirik (pengalaman), baik pengalaman lahiriah maupun
batiniah sebagai sumber pengetahuan. Dengan demikian, empirisme bertentangan dengan
rasionalisme. Di antara tokohnya adalah Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-
1704).

Teori ini berpendapat bahwa penginderaanlah satu-satunya yang membekali akal manusia
dengan berbagai konsepsi dan gagasan, dan bahwa potensi mental akal-budi adalah potensi
yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi ketika manusia mengindera sesuatu, ia
akan dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya, yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam
akal budi. Adapun tentang gagasan-gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, menurut aliran
ini, tidaklah dapat diciptakan oleh jiwa, demikian pula jiwa tidak dapat membangunnya secara
esensial dalam bentuk yang berdiri sendiri.

Akal budi berdasarkan teori ini, hanyalah berfungsi mengelola konsepsi dan gagasan inderawi.
Hal itu dilakukan dengan cara menyusun konsepsi-konsepsi dan membagi-baginya. Shadr
mengatakan:

Dengan begitu, ia mengonsepsikan “sebungkal gunung emas” atau membagi-bagi “pohon”


kepada potongan-potongan dan bagian-bagian atau dengan abstraksi dan universalisasi,
misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari
sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Hal
ini dapat dicontohkan dengan upaya mengkonsepsikan Zayd, dan mengurungkan setiap
kekhasan yang membedakannya dari ‘Umar. Dengan proses substraksi (pengurangan) ini, akal
menyarikan suatu gagasan abstrak yang berlaku, baik atas Zayd maupun ‘Umar.

Thomas Hobbes, orang pertama yang mengikuti aliran empirisme di Inggris pada abad ke-17
telah membangun suatu sistem filsafat yang lengkap mengenai “yang ada” secara mekanis,
yang menjadi pijakan dasar filsafat empirisme. Ia adalah seorang materialis pertama dalam
filsafat modern.

Konsistensi gagasannya juga terlihat dalam pandangannya tentang manusia. Ia memandang


manusia tidak lebih dari pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena
itu, segala sesuatu yang terjadi pada manusia dapat dijelaskan sebagaimana kejadian alamiah
bendawi lainnya secara mekanis. Jiwa itu sendiri menurutnya adalah kompleks dari proses-
proses mekanis dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan
karena kerajinan.

Seperti di singgung di atas, pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman.


Pengalaman adalah awal segala pengetahuan. Pengenalan dengan akal hanya memiliki fungsi
mekanis, karena pengenalan dengan akal pada hakikatnya mewujudkan suatu proses
penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal dimulai dengan pemakaian kata-kata
(pengertian-pengertian), yang hanya mewujudkan tanda-tanda menurut adat-kebiasaan saja,
dan yang menjadikan jiwa manusia dapat memiliki gambaran yang diucapkan dengan kata-
kata itu. Selanjutnya, hal ini akan membentuk pengalaman (empirik). Isi pengalaman itu adalah
keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan
dengan suatu pengharapan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa
lampau.

b. Fenomenalisme Kant

Filsuf Jerman abad ke-18 Immanuel Kant melakukan pendekatan kembali terhadap masalah
hakikat rasio dan indera sebagai sumber pengetahuan setelah memperhatikan kritikan-kritikan
yang dilancarkan oleh David Hume terhadap sudut pandang yang bersifat empiris dan rasional.
Mengapa pendirian Kant disebut sebagai fenomenalisme? Berikut penjelasannya.

Kant berpendapat bahwa sebab akibat tidak dapat dialami. Marilah kita memperhatikan
pernyataan: “Kuman tipus dapat menyebabkan demam tipus.” Bagaimanakah kita sampai
dapat mengetahui keadaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat ini? Kebanyakan orang
akan mengatakan, “Setelah diselidiki para ilmuan diketahui bahwa bila ada orang yang
menderita demam tipus, tentu terdapat kuman tersebut; dan bila kuman ini tidak terdapat di
dalam diri seseorang, maka orang itu tidak menderita deman tipus.”

Dari penjelasan di atas dengan jelas terlihat bahwa syarat “adanya kuman tipus” dan “demam
tipus” mesti ada sebelum disimpulkan bahwa kuman tersebut menyebabkan demam. Karena
boleh jadi “seorang yang dalam dirinya ada kuman tipus” tapi tidak menderita demam.
Bagaimanapun, pengamatan akan mengungkapkan kepada kita tentang kuman tersebut dan
juga tentang orang yang sehat atau yang sakit.

Tetapi pengamatan, betapapun juga banyaknya tidak dapat menunjukkan kepada kita kuman
yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanakah kita dapat memperoleh pengetahuan
bahwa kuman itulah yang menyebabkan penyakit tersebut? Ditinjau dari sudut pandangan
empiris, Hume menolak bahwa kita akan dapat mengetahui sebab-akibat sebagai suatu
hubungan yang bersifat niscaya.

Jika kita melihat seekor kucing dan kemudian kita memukulnya, kita tidak dapat mengatakan
bahwa kucing itulah yang menyebabkan kita memukulnya, meskipun kita lakukan berkali-kali.
Dalam kedua peristiwa di atas tidak tampak hubungan sama sekali. Maka mengapakah kita bila
melihat kuman dan kemudian melihat orang sakit, kita lalu mengatakan bahwa kuman itulah
yang menyebabkan penyakit?

Jika orang tidak dapat membayangkan berupa apakah suatu “rasa yang bersahaja” dengan
“suatu bunyi yang kasar”, maka jelaslah bahwa data indera yang murni tidaklah merupakan
pengetahuan. Pengetahuan terjadi bila akal menghubungkan, misalnya “rasa menekan yang
bersahaja” dengan “bunyi yang kasar” untuk memperoleh fakta bahwa tekanan terhadap
sesuatu menyebabkan terjadinya bunyi tersebut. Hubungan ialah suatu cara yang dipakai oleh
akal untuk mengetahui suatu kejadian; hubungan itu tidak alami. Hubungan ialah bentuk
pemahaman kita, dan bukan isi pengetahuan.

III. Sumber Ilmu Perspektif Islam

Memperhatikan kajian teoritis di atas, diskusi tentang sumber ilmu pengetahuan tampaknya
dipusatkan pada pertanyaan: Apa sebenarnya yang memberi manusia pengetahuan? Rasiokah,
empirikkah, atau fenomenologikah? Berikut penulis akan menjelaskan kajian tentang sumber
ilmu menurut Islam. Namun, sebelum menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu akan
dijelaskan bagaimana pandangan Islam tentang fakultas manusia yang memberi manusia ilmu
pengetahuan.

1. Fakultas/Alat Mendapatkan Ilmu

1. Rasio (‫)العقل‬

Dalam al-Qur`an dijumpai 49 kali kosa kata yang berakar kata a-q-l (‫ )عقل‬dalam berbagai
bentuk. Misalnya: ‫ نعقل – يعقل – يعقلون‬-‫ عقلوا – تعقلون‬. Sebarannya sebagai berikut: kata ‫عقلوه‬
(‘aqaluh) dijumpai dalam 1 ayat, kata ‫( تعقلون‬ta’qilun) 24 ayat, ‫( نعقل‬na’qil) 1 ayat, ‫يعقتها‬
(ya’qiluha) 1 ayat, dan ‫( يعقلون‬ya’qilun) 22 ayat. Makna kosa kata itu dalam arti paham dan
mengerti.Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat-ayat berikut:

)( ‫افتطمعون ان يؤمنوا لكم وقد كان فريق منهم يسمعون كالم هللا ثم يحرفونه من بعد ما عقلوه وهم يعلمون‬

Maka apakah kamu (muslimin) sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,
sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya
setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya? (Al-Baqarah/2: 75).

‫افلم يسيروا فى االرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بها فانها ال تعمى االبصار ولكن تعمى القلوب التي‬
)(‫فى الصدور‬

Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat
memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi
yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46).

)( ‫كذلك يبين هللا لكم ايته لعلكم تعقلون‬

Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti. (Al-


Baqarah/2: 242).

)( ‫وقالوا لو كنا نسمع او نعقل ما كنا في اصحب السعير‬


Dan mereka berkata, “Sekiranya (dahulu) kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan
itu) tentulah kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala. (Al-Mulk/67: 10).

)( ‫وتلك االمثال نضربها للناس وما يعقلها اال العالمون‬

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan
memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (Al-Ankabut/29: 43).

Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr (menahan) dan al-āqil adalah
orang yang menahan diri (yahbis) dan mengekang hawa nafsu. Selanjutnya dijelaskan pula
bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan (al-nuhā), lawan dari lemah pikiran (al-humq).
Al-‘aql juga mengandung arti al-qalb (kalbu). Lebih lanjut disebutkan bahwa kata ‘aqala
mengandung arti memahami.

Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala kelihatannya bermakna mengikat dan menahan. Orang
yang āqil di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan hammiyah atau darahnya panas, adalah
orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan
tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

Dari keseluruhan kosa kata yang berakar pada a-q-l dapat disimpulkan bahwa al-‘aql adalah
fakultas manusia yang berfungsi untuk mengerti atau memahami sesuatu. Al-‘aql (rasio)
dalam ayat-ayat di atas tidak dibicarakan dalam konteks sumber ilmu tetapi dalam konteks
alat yang darinya manusia memperoleh ilmu. Baharuddin mengatakan bahwa dari
keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki akar kata a-q-l, tidak satu pun ayat yang
menyebut akal sebagai kata benda, semuanya dalam bentuk kata kerja (fi’il). Baharuddin
melanjutkan:

Hal ini menunjukkan bahwa ‘aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi,
melainkan aktivitas dari suatu substansi. Jika dipahami demikian, akan mengandung suatu
pertanyaan, yaitu substansi apakah yang berakal itu? Pertanyaan itu dapat dikembalikan
kepada Al-Qur`an. Dalam ayat lain dijelaskan bahwa substansi yang mampu ber-‘aql itu
adalah qalb. Firman Allah menjelaskan:

‫افلم يسيروا في االرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها‬

Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi? Mereka mempunyai kalbu yang mereka ber-
‘aql dengannya…

2. Indera

Dalam Al-Qur`an alat-alat indera yang beraktifitas dan berfungsi bagi manusia dalam
memperoleh pengetahuan adalah al-sam’ dan al-absar. Kata al-sam’ dan berbagai kata
jadiannya disebut 185 kali, sedangkan kata al-sam’ sendiri dijumpai 12 kali dalam Al-Qur`an.
Kata al-absar dan berbagai kata jadiannya disebut 148 kali. Sementara kata al-absar disebut
18 kali. Di antara ayat-ayat yang mengandung kosa kata al-sam’ sebagai berikut:

‫قل من يرزقكم من السماء واالرض امن يملك السمع و االبصار ومن يخرج الحي من الميت و يخرج الميت من الحي ومن‬
)(‫يدبر االمر فسيقولون هللا فقل افال تتقون‬
Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi,
atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan
siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka
katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Yunus/10: 131).

)(‫وهللا اخرجكم من بطون امهتكم ال تعلمون شيئا وجعل لكم السمع واالبصار واالفئدة لعلكم تشكرون‬

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu
bersyukur. (An-Nahl/16: 78).

)( ‫و هو الذي انشئا لكم السمع و االبصار واالفئدة قليال ما تشكرون‬

Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani,
tetapi sedikit sekali kamu bersyukur. (Al-Mu`minun/23: 78).

)( ‫ثم سوه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع واالبصار واالفئدة قليال ما تشكرون‬

Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ruh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya


dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu
bersyukur. (As-Sajdah/32: 9).

Di antara ayat yang mengandung kosa kata al-absar sebagai berikut:

‫قد كان لكم اية في فئتين التقتا فئة تقاتل في سبيل هللا واخرى كافرة يرونهم مثليهم راءي العين وهللا يؤيد بنصره من يشاء ان‬
)( ‫في ذلك لعبرة الولى االبصار‬

Sesungguhnya, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu
golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata
kepala, bahwa mereka (golongan muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan
pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan. (Ali Imran/3: 13).

)( ‫ال تدركه االبصار وهو يدرك االبصار وهو اللطيف الخبير‬

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia melihat segala penglihatan itu
dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Teliti. (Al-An’am/6: 103).

‫افلم يسيروا في االرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او اذان يسمعون بها فانها ال تعمى االبصار ولكن تعمى القلوب اللتي‬
)( ‫في الصدور‬

Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat
memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi
yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj/22: 46)
Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an yang memiliki kosa kata al-sam’ dan
al-absar dapat dijelaskan bahwa kemampuan mendengar karena manusia diberikan alat
berupa telinga (uzun) dan kemampuan melihat karena manusia diberikan alat berupa mata
(‘ain). Mata, yang memiliki kemampuan melihat, bisa saja tidak memberi manusia
pengetahuan, oleh karena qalbu-nya tidak paham (buta). Sesuatu yang jelas terlihat bahwa
bagi Al-Qur`an, al-sam’ dan al-basr adalah aktifitas

c. Hati (Fuad)

Kata fu`ad dan yang seakar kata dengannya tersebar dalam 16 ayat. Semuanya dalam bentuk
kata benda, yakni al-fu`ad dan al-af`idah. Mahmud Yunus mengartikannya sebagai hati atau
akal.Kedua kata ini seakar dengan fā`idah (jamak: fawā`id) artinya faedah atau guna.Makna
yang dapat ditarik dari penggunaan Al-Qur’an terhadap kata al-fu`ad dan al-af`idah adalah
bahwa al-fu`ad memiliki fungsi akal (memahami, mengerti), sama dengan al-qalb.Dalam
surat Yusuf/12: 120 disebutkan:

)( ‫و كال نقص عليك من انباء الرسل ما نثبت به فؤادك وجاءك في هذه الحق و موعظة و ذكرى للمؤمنين‬

Dan semua kisah-kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan
kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala)
kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman

Secara tekstual, Allah menceritakan, yang bermakna Nabi Saw mendengarkan kisah-kisah
Rasul terdahulu. Lalu dengan kisah-kisah itu menjadi kuat fu`ad (hati) Nabi. Dengan al-fu’ad
itu berarti Nabi mendapatkan makna atau hikmah sejarah.

Dalam ayat lain disebutkan:

)( ‫و اصبح فؤاد ام موسى فرغا ان كادت لتبدي به لوال ان ربطنا على قلبها لتكون من المؤمنين‬

Dan hati ibu Musa menjadi kosong. Sungguh hampir saja dia menyatakan (rahasia tentang
Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, agar dia termasuk orang-orang yang
beriman (kepada janji Allah)

Makna al-fuad dalam ayat terakhir juga sama dengan makna al-fuad pada ayat sebelumnya.
Makna yang sama juga dinyatakan oleh Allah ketika menjelaskan bahwa hati Nabi Saw tidak
mendustakan apa yang ia lihat oleh beliau ketika Jibril mendekat kepadanya untuk
menyampaikan wahyu.(An-Najm/53: 1-19).

Berdasarkan ayat-ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa al-fu`ad merupakan sentral
dan pengendali bagi aktifitas al-‘aql dan al-qalb dalam menetapkan pengetahuan yang benar,
baik dan berguna bagi manusia.

Secara umum, bagi Al-Qur`an indera dalam dan luar manusia seperti al-‘aql, al-qalb, al-
fu’ad, al-sam’, al-absar adalah alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan obyek
pengetahuan adalah ayat-ayat Allah baik yang qauliyah/tanziliyah maupun yang kauniyah.
Berbeda sekali dengan perspektif Barat yang memandang bahwa akal dan indera sebagai
fakultas yang memberi manusia pengetahuan. Hemat penulis, Barat berpandangan demikian
karena hirarki pengetahuan mereka hanya berhenti pada tataran empirikal. Asumsi-asumsi
teologis-metafisik telah terputus dari epistemologi keilmuan Barat, sejalan dengan pandangan
humanis mereka yang sekular-ateistik.

2. Pendapat para Ilmuan Muslim

Kajian sumber ilmu dalam Islam, tepatnya kajian tentang epistemologi ilmu telah dilakukan
sejak zaman klasik Islam. Kemudian, untuk masa yang lama terhenti ― kajian berlanjut di
Barat hingga kini ― baru memasuki abad modern umat Islam kembali melakukan kajian.

Ilmuan klasik, Al-Kindi menyebutkan ilmu terbagi dua yaitu ‘ilm ilāhiy (divine science) dan
‘ilm insāniy (human science). ‘Ilm Ilahiy adalah pengetahuan langsung yang diperoleh dari
Nabi dan Tuhan. Dasar pengetahuan seperti ini ialah keyakinan. Sedangkan ‘ilm insaniy
adalah pengetahuan yang diperoleh dari manusia dan alam. Dasar pengetahuan yang disebut
terakhir adalah pemikiran (ratio-reason)Abu Hamid al-Gazali (w. 1111 M) membagi ilmu
terkesan tidak jelas. Dalam Mizan al-Amal, ia membagi ilmu kepada teoritis (nazariyyah) dan
praktis (‘amaliyah).Pada buku lainnya, ia membagi ilmu kepada fardu ‘ain dan fardu kifayah.
Mahdi Ghulsyani menyebutkan, secara hakiki Al-Qur`an lah sebagai sumber ilmu. Ia
mengatakan:

Prinsip ilmu-ilmu ini, yang telah kami jelaskan dan yang belum kami spesifikasikan,
bukanlah di luar Al-Qur`an, karena seluruh ilmu ini di raih dari salah satu lautan
pengetahuan-Nya, yaitu lautan karya-Nya. Telah kami sebutkan bahwa Al-Qur`an itu laksana
lautan yang tak bertepi, dan bahwa sekiranua lautan itu menjadi tinta (untuk menjelaskan)
kata-kata Tuhanku, sungguh lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir. Di
antara perbuatan Allah yang (karena keluasannya dapat disebut) lautan perbuatan-Nya,
misalnya adalah menyembuhkan dan menimbulkan penyakit, sebagaimana Allah
menceritakan ucapan Ibrahim yang mengatakan, “Ketika aku sakit Dia-lah yang
menyembuhkan aku… Perbuatan ini saja hanya dapat diketahui oleh orang yang mengetahui
ilmu obat-obatan dengan sempurna, karena ilmu ini tidak berarti apa-apa selain pengetahuan
tentang seluruh aspek penyakit sekaligus gejalanya, juga pengetahuan penyembuhan dan
cara-caranya. Di antara perbuatan Allah (juga) adalah penentuan pengetahuan (manusia) 3.
Analisis: Sumber Ilmu dan Alat Mendapatkan Ilmu

IV. Implikasinya terhadap Isi Kurikulum Pendidikan Islam

Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani curir artinya pelari, atau curare artinya tempat
berpacu. Jadi istilah kurikulum berasal dari dunia olah raga pada zaman Romawi Kuno di
Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis
strat sampai garis finish Dalam Qamus Tarbiyah, kurikulum pendidikan (manhaj al-dirasah)
adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan
dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. Crow and Crow menurut Ramayulis
mendefenisikan kurikulum sebagai rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang
disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu program untuk memperoleh sertifikat
atau ijazah.

Secara operasional, fungsi kurikulum dalam konteks pendidikan Islam adalah:

…sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya kea
rah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan
dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat
dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia
paripurna (insane kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum
pendidikan Islam.

Menurut Ramayulis, komponen kurikulum meliputi: tujuan yang ingin dicapai, isi kurikulum,
media (sarana dan prasarana), strategi, proses pembelajaran dan evaluasi.

Jika sumber ilmu perspektif Islam terdiri dari ayat tanziliyah dan ayat kauniyah, maka
bagaimana implikasinya terhadap isi kurikulum pendidikan Islam? Implikasinya jelas bahwa
isi kurikulum harus turunan dari kedua bentuk ayat itu. Hal ini tidak dapat di tawar-tawar,
karena manusia yang hendak dibentuk oleh pendidikan Islam adalah Manusia Universal atau
Sempurna ((‫ االنسان الكامل‬. Dengan demikian, maka ilmu-ilmu yang menjadi isi kurikulum
harus berguna dan bertujuan dalam kerangka membentuk al-insan al-kamil

Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia Kedua Tahun 1980 di Islamabad Pakistan


merumuskan isi kurikulum pendidikan Islam sebagai berikut:

Kelompok I: Perrennial:

1. Al-Qur`an:

a) Qira`ah, hafalan (hifz), tafsir

b) Sunnah

c) Sirah (tarikh) Nabi Saw, para sahabat, dan pengikut

d) Tauhid

e) Usul Fiqh dan Fiqh

f) Bahasa Qur`an (fonologi, sintaksis, semantik)

2. Pengetahuan Pembantu:

a) Metafisika Islam

b) Perbandingan Agama

c) Kebudayaan Islam

Kelompok II: Acquired:

1. Pengetahuan Imajinatif (arts)

a. Arsitektur Islam

2. Bahasa-bahasa

2. Pengetahuan Intelektual
a. Pengetahuan Sosial:

Kesusastraan, filsafat, pendidikan, ekonomi, pengetahuan politik (pandangan Islam tentang


politik, ekonomi, kehidupan social, perang dan damai, dan lain-lain), geografi, sosiologi,
lingusitik, psikologi, antropologi.

b. Pengetahuan Kealaman:

Filsafat sains, matematika, statistika, fisika, kimia, life sciences, astronomi, pengetahuan
tentang ruang angkasa, dan lain-lain.

3. Applied Sciences:

Rekayasa dan teknologi, kedokteran, pertanian, dan kehutanan.

4. Pengetahuan Praktis:

Perdagangan, administrasi, perpustakaan, home sciences, komunikasi.

Semua pengetahuan jenis kedua ini (yang diperoleh) harus diajarkan dengan menggunakan
perspektif Islam. Itulah satu cara mengintegrasikan ilmu pengetahuan.

Al-Attas berpendapat bahwa rumusan kurikulum, tentu saja dalam hal ini isinya, harus
dimulai dari tingkat universitas. Hal ini dilakukan karena di universitaslah tempat terakhir
pembentukan Manusia Universal atau Kamil (‫)االنسان الكامل‬, baru kemudian diturunkan ke
tingkat di bawahnya secara hirarkis-sistematis. Kegagalan dalam perumusan tingkat
universitas, maka akan berdampak terhadap tingkat pendidikan di bawahnya. Dengan
demikian, isi kurikulum di tingkat universitas harus benar-benar diintrodusir dari sumber
ilmu yaitu ayat-ayat tanziliyah dan ayat-ayat kauniyah secara padu atau utuh.

Anda mungkin juga menyukai