Anda di halaman 1dari 18

Filsafat Kesatuan Ilmu

Oleh Herlina
Pengertian filsafat

 Pembahasan mengenai falsafah kesatuan ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari pembahasan
filsafat secara umum.
 Kata filsafat merupakan istilah yang dapat dimaknai secara luas. Filsafat sering dikaitkan dengan konsepsi
konsepsi tentang kehidupan, cara manusia hidup, bahkan metode berpikir. Filsafat dianggap sebagai
induk dari segala ilmu, walaupun dalam perkembangannya, filsafat dan ilmu (sains) memiliki kekhasan
dan metodenya masing-masing.

 Filsafat sebagai induk dari keilmuan rasional dalam sejarah pengetahuan digerakkan oleh tiga
pertanyaan pokok, yaitu: apa yang dapat kita ketahui? yang kemudian berkembang menjadi ontologi;
bagaimana cara memperoleh pengetahuan? yang berkembang menjadi epistemologi; dan untuk apa
pengetahuan tersebut? yang berkembang menjadi aksiologi. Ontologi membahas mengenai apa yang
dapat diketahui oleh manusia, epistemologi membahas mengenai proses memperoleh pengetahuan,
dan aksiologi membahas mengenai nilai atau kegunaan dari pengetahuan tersebut. Tiga hal inilah yang
menjadi cabang pokok dari filsafat. Untuk mengetahui hakikat sesuatu, misalnya hakikat ilmu, ketiga hal
tersebut (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) harus dijawab secara komprehensif
Wahdatul ‘Ulum dan Usaha-usaha Penyatuan
Ilmu
 Istilah wahdatul 'ulum, secara etimologi berasal dari kata wahdat yang berarti
satu dan 'ulum (jamak dari kata 'ilm) yang berarti ilmu-ilmu. Konteks
kemunculan istilah wahdatul „ulum (kesatuan ilmu-ilmu) berangkat dari
fenomena pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam ranah
akademik maupun dalam pandangan sebagian besar masyarakat Islam, ilmu
agama dan ilmu umum dianggap memiliki entitas berbeda dan wilayah berbeda
baik dari segi objek formal dan objek materialnya, sehingga keduanya sulit untuk
disandingkan atau dipertemukan. Ilmu agama dan ilmu umum memiliki objek
kajian dan teorinya sendirisendiri dalam membahas mengenai kebenaran.
Dikotomi semacam itu semakin meruncing ketika oleh sebagian ahli sains, ilmu
agama dianggap bukan sebagai ilmu karena dibangun berdasarkan keyakinan
alih-alih dengan pembuktian.
Dikotomi ilmu

 Gejala dikotomis antar ilmu tersebut sebenarnya sudah terjadi di masa-masa awal kemunculan filsafat,
yaitu terkait dengan perbedaan pandangan mengenai alat dan sumber pengetahuan (epistemologi).
Terdapat dua tradisi epistemologi di dalam filsafat Yunani Kuno yang masing masing diusung oleh Plato
dan Aristoteles. Perbedaan epistemologi antara keduanya kemudian melahirkan dua jenis ilmu, yaitu
ilmu yang diperoleh dengan jalan observasi dan ilmu yang diperoleh melalui kehadiran ilham/ ilmu ilahi
 Dalam tradisi keilmuan islam, ilmu yang diperoleh dengan observasi disebut dengan 'ilm al-hushuli,
sedangkan ilmu yang diperoleh melalui ilham atau datang langsung dari Tuhan disebut dengan 'ilm al-
hudhuri. Al-Kindi, filsuf pertama yang melakukan penulisan filsafat sistematis dalam dunia Islam, juga
mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua macam, yaitu pengetahuan inderawi dan pengetahuan
yang diperoleh melalui akal. Pengetahuan inderawi bersifat empiris, sedangkan pengetahuan yang
diperoleh melalui akal bersifat non-material dan mengandalkan penyimpulan logis (Fakhry, 1987: 116).
Klasifikasi yang dilakukan oleh Al-Kindi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan epistemologis yang
terjadi di filsafat Yunani Kuno juga merambah ke dunia keilmuan Islam pada awal-awal masuknya
filsafat ke dunia Islam. asi dan ilmu yang diperoleh melalui kehadiran ilham/ ilmu ilahi.
 Dua arus utama epistemologi tersebut berusaha dipertemukan atau diintegrasikan.
Upaya penyatuan ilmu tersebut, misalnya dilakukan oleh filsuf-filsuf Islam seperti al-
Farabi (870-95- M) dan Ibnu Sina (980-1037 M). Al-Farabi melakukan upaya
harmonisasi antara pemikiran Plato dengan pemikiran Aristoteles, dengan
menguraikan secara rinci bahwa kendati pemikiran Aristoteles mengenai metafisika
cenderung sering digambarkan sebagai "ilmu ilahi", sebenarnya pemikiran
Aristoteles tersebut dilakukan untuk melakukan studi tentang wujud, prinsip-
prinsip, dan sifatsifatnya—yang dalam hal ini indentik dengan observasi. Melalui
penjelasan Al-Farabi, filsafat Aristoteles menjadi lebih gamblang dan sistematis. Al-
Farabi berhasil menunjukkan kaitan antara ilmu-ilmu metafisika teoritis dengan
ilmu fisika yang sebenarnya secara samar telah diartikulasikan oleh Aristoteles
(Black dalam Nasr dan Leaman, 2003: 235-237).
 Selain al-Farabi, Ibnu Sina juga berusaha mengintegrasikan ilmu-
ilmu yang telah ada sebelumnya, termasuk filsafat Yunani untuk
membangun corak filsafat yang khas, yaitu filsafat yang disebutnya
sebagai al-hikmah almasyriqiyyah atau filsafat Timur. Yang perlu
dicermati, bangunan al-hikmah al-masyriqiyyah Ibnu Sina tersebut
berusaha mempertemukan karya-karya tentang masalah pokok
yang menjadi sumber perbedaan yang terjadi di masa itu dan
masa-masa sebelumnya. Usaha mencari titik temu dari bangunan
filsafat yang telah lampau dengan keilmuankeilmuan lain yang
berkembang pada masa itu secara tegas dijelaskan dalam risalah
pendek yang ditulis Ibnu Sina berjudul Mantiq al-Masyriqiyyin
(dalam Nasr, 2003: 305):
 Di luar proyek al-hikmah al-masyriqiyyah yang digagasnya, Ibnu Sina juga
berusaha mencari sintesa atas epistemologi Platonik dan Aristotelian yang
menjadi dua arus besar filsafat, dengan berlandaskan pada firman Allah dalam
QS. An-Nur ayat 35, bahwa akal manusia memiliki kemampuan reseptivitas
(quwwat isti'dadiyah) yang diibaratkan sebagai ceruk (misykat) yang dapat
memancarkan cahaya (dalam Muhayya, 2014: 3).
 Apa yang telah dilakukan oleh Ibnu Sina tersebut menunjukkan bahwa upaya-
upaca integrasi ilmu dan Islamisasi ilmu (sebagai istilah yang populer
belakangan) telah dilakukan sejak masa filsafat Islam klasik.
Konsep Penyatuan Ilmu Di Era Modern
 Di era modern, konsep wahdatul „ulum yang paling terkemuka barangkali
adalah gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dari Ismail Faruqi dan Naquib
Alatas. Jika ditelusuri lebih jauh, secara substansial gagasan wahdatul „ulum
tersebut berangkat dari kebutuhan akan pendekatan baru terhadap ilmu
pengetahuan dan realitas kaum muslimin yang terus berkembang. Usaha
penyatuan ilmu tersebut dapat dilacak sejak Shah Wali Allah dan Sir Sayyid
Ahmad Khan pada abad ke-18 yang mendirikan Universitas Aligarh pada abad
ke-19. Shah Wali Allah memelopori kebangkitan pemikiran dan pengetahuan
yang berorientasi pada Islam dan sekaligus bersifat modern (Rahardjo dalam
Hasbullah, 2000: xii).
Penyatuan Ilmu Menuju Paradigma Islam
 Penyatuan ilmu atau integrasi keilmuan (dengan beragam istilah yang ditawarkannya, mulai dari wahdatul
„ulum hingga Islamisasi ilmu) merupakan paradigma yang ditawarkan oleh sejumlah ilmuwan dan pemikir
Muslim modern untuk menjawab tantangan zaman dan dilatarbelakangi oleh fakta bahwa saat ini kondisi
keilmuan Islam telah jauh tertinggal dibandingkan dengan entitas keilmuan lainnya. Integrasi keilmuan
diharapkan akan memberikan spirit religiusitas dan keberadaan Yang Kudus dalam setiap ilmu pengetahuan
yang dikembangkan, sebab sejak abad pertengahan, ilmu pengetahuan telah bergerak ke arah yang cenderung
sekular.

 Integrasi keilmuan perlu diupayakan demi kehidupan yang lebih baik, khususnya bagi umat Islam. Ilmu-ilmu
pengetahuan yang berasal dari Barat, yang didominasi oleh ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sesuatu yang
bersifat lahiriah perlu diintegrasikan dengan ilmu-ilmu yang dapat membawa pada ketenangan batin, sehingga
antara dimensi lahiriah dan dimensi lahiriah sama-sama dipertimbangkan. Di sinilah letak pentingnya wahdatul
„ulum.
 Wahdatul „ulum menekankan pada susunan keilmuan yang bersifat holistik.
Holistik berarti bersifat integratif, sistematis, komprehensif, dan
mempertimbangkan seluruh faktor dalam suatu diskursus keilmuan atau
problematika kehidupan. Dalam filsafat, holisme memiliki pandangan bahwa
sistem alam semesta merupakan sesuatu yang utuh dan bukan merupakan
kesatuan dari bagian-bagian yang terpisah. Segala elemen di alam semesta baik
yang bersifat fisik, hayati, kimiawi, sosial, ekonomi, mental-psikis, dan segala
kelengkapannya dinilai sebagai suatu keutuhan yang tidak dapat terpisahkan
(Phillips, 1976).
 Terkait pentingnya dibentuk suatu banguan sains yang Islami, Haidar Bagir (dalam Hasbullah, 2000: 45) mengemukakan tiga
argumentasi pendukung, yaitu: pertama, umat Islam membutuhkan suatu sistem sains yang dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya, baik yang berifat material dan spiritual. Sistem sains yang ada saat ini dianggap tidak mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut, yang merupakan akibat dari terlalu kentalnya nilai-nilai khas Barat yang melekat pada sains
modern yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Sains modern juga terbukti telah banyak menimbulkan kerusakan dan
ancaman-ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia di muka bumi.

 Kedua, secara sosiologis, umat Islam tinggal di wilayah geografis yang berbeda dan memiliki kebudayaan yang berbeda pula dari
Barat yang merupakan pusat atau tempat sains modern dikembangkan. Perbedaan konteks sosial dan geografis tentu menuntut
sistem pengetahuan yang berbeda pula. Sistem pengetahuan dan sains Barat diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakatnya sendiri. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu sistem pengetahuan yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Islam, yang mempertimbangkan konteks sosial, geografis, dan budaya umat Islam itu sendiri.

 Ketiga, sejarah membuktikan bahwa umat Islam pernah memiliki peradaban Islami yang sangat unggul, di mana sains
berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan– kebutuhan umat Islam. Munculnya filsuf-filsuf dan pemikir Islam pada Abad
Pertengahan yang membawa pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern menunjukkan bahwa Islam
sebenarnya mampu untuk membentuk suatu sistem pengetahuan sendiri. Syarat-syarat untuk membentuk sistem pengetahuan
tersebut sebenarnya mampu untuk kita penuhi, sehingga kita dapat berharap akan munculnya sebuah sains Islam dan
peradaban Islami.
Struktur keilmuan islam
 Dalam struktur keilmuan Islam, tauhid merupakan kekuatan yang membentuk stuktur yang
paling dalam. Kemudian tauhid bertransformasi menjadi berbagai bentuk yaitu akidah, ibadah,
akhlak, syariat, dan muamalah, yang menembati stuktur dalam bagi keilmuan Islam. Sementara
di permukaan, terdapat sesuatu yang dapat diamati dan tampak, yaitu keyakinan, bentuk
praktis ibadah seperti shalat, puasa dan sebagainya, moral/etika, perilaku normatif, dan
perilaku sehari-hari (Kuntowijoyo, 2006: 33). Dari struktur tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang disebut dengan keilmuan Islam atau ilmu keislaman mencakup seluruh struktur
keilmuan tersebut, termasuk cabang-cabang dan pengembangannya.
 Ilmu keislaman adalah segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam. Ilmu-ilmu keislaman
berkembang sesuai dengan evolusi kemajuan dan kebutuhan masyarakat. Pada masa Khulafaur
Rasyidin misalnya, ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qiraah, tafsir dan hadist.
Kemudian pada masa Daulah Abbasiyah I, ilmu fiqih berkembang sangat pesat, dan pada zaman
Daulah Abbasiyah II, ilmu hadits semakin berkembang. Di zaman-zaman berikutnya, cabang-
cabang lain dari ilmu keislaman berkembang mengiringi berkembangnya filsafat dan ilmuilmu
lama dalam dunia Islam (Hasjmy, 1995: 216-217).
 Munculnya ilmu-ilmu baru di dalam Islam pada mulanya dimaksudkan untuk mempermudah
dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Faktor utama lahirnya ilmuilmu baru dalam Islam dipicu
oleh usaha untuk memahami Al-Qur'an, sehingga lahirlah ilmu bahasa, ilmu tafsir, ilmu kalam,
ilmu fiqih, dll. Terkait dengan keindahan dalam pembacaan Al-Qur‘an agar tetap terjaga
maknanya, muncullah ilmu tajwid dan ilmu qiraah. Ilmu-ilmu yang muncul pada awal-awal
penyebaran Islam tersebut kemudian dikategorikan sebagai ilmu tradisional Islam.
 Ketika keilmuan tradisional Islam bersinggungan dengan kebudayaan lain di luar Islam,
perkembangan keilmuan menjadi tidak terbendung. Agar keilmuan-keilmuan baru yang
berkembang karena pengaruh dari luar tersebut tetap relavan dengan masyarakat Islam,
pemikir-pemikir Islam zaman klasik berusaha menyelaraskan semua ilmu dengan azas-azas
agama. Ilmu pengetahuan (sains) dengan agama dianggap bukan sebagai dua hal yang berbeda.
Usaha penyelarasan ilmu-ilmu dengan azas agama, misalnya dilakukan dengan cara
mengklasifikasikan ilmu, misalnya yang dilakukan oleh al-Kindi, al-Farabi, dan al-Ghazali.
 Bapak filosof muslim Al-Kindi membagi ilmu menjadi tiga macam, yaitu: ilmu jismi, ilmu nafsi,
dan ilmu 'aqli. Ilmu jismi merupakan ilmu yang diperoleh melalui panca indera manusia. Ilmu
nafsi merupakan ilmu yang berkaitan erat dengan kemampuan jiwa dan imajinasi manusia.
Sedangkan ilmu 'aqli adalah ilmu yang berasal dari pikiran manusia, yang dengan akalnya
tersebut manusia dapat memperoleh pemahaman dan dapat membedakan antara yang benar
dengan yang salah (Hamdi, 2004: 76-77).
 Klasifikasi ilmu yang dipaparkan al-Kindi tersebut kemudian dikembangkan oleh al-Farabi dalam
kitab Ihsha' al'Ulum (Daftar Klasifikasi Ilmu). Secara garis besar, al-Farabi mengklasifikasikan
ilmu menjadi lima bagian, yaitu: pertama, ilmu bahasa, dengan cabang-cabangnya antara lain
sintaksis, tata bahasa, lafal dan penuturan, dan puisi; kedua, logika, dengan cabang-cabangnya
adalah definisi dan penyusunan ide-ide, silogisme, validitas penalaran, dan silogisme pidato dan
diskusi; ketiga, ilmu-ilmu pendahuluan dasar, yang meliputi ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optika,
ilmu tentang langit, musik, dan ilmu mebeler; keempat, fisika atau ilmu alam, yang meliputi ilmu
mineral, ilmu hewani, dan ilmu tumbuhan; kelima, metafisika, yang meliputi ilmu wujud, ilmu-
ilmu yang menggunakan pengamatan, ilmu masyarakat, ilmu hukum, dan retorika (bandingkan
dengan Qadir, 2002: 114).
 Al-Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua
bagian, yaitu fardhu 'ain dan fardhu kifayah. Pengetahuan fardhu 'ain yang
palung fundamental adalah kalimat syahadah. Ilmu-ilmu fardhu 'ain lainnya
adalah ilmu yang berkaitan dengan kewajiban atas setiap individu sebagai orang
Islam, misalnya: ilmu-ilmu aqidah, ilmu yang berkaitan dengan ibadah/ hal-hal
yang wajib, dan ilmu yang berkaitan dengan perkara yang diharamkan.
Sementara ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang diwajibkan atas umat Islam
secara kolektif, yaitu ilmu yang cukup dibebankan kepada satu orang saja dalam
suatu kelompok masyarakat, yang ketika di masyarakat tersebut tidak ada satu
pun yang menguasai ilmu tersebut, maka dapat membahayakan
keberlangsungan hidup penduduknya. Di antara contoh ilmu fardhu kifayah
adalah ilmu kedokteran (bandingkan dengan Alatas, 2006: 33-34).
Kekayaan Tradisi Keilmuan Islam

 Keilmuan Islam memiliki tiga unsur yang sangat prinsipil, yaitu: pertama, keilmuan Islam adalah ciptaan orang
Islam; kedua, keilmuan Islam didasarkan pada ajaran-ajaran Islam, dengan sumber utama adalah Al-Qur‘an
kemudian sunnah Nabi Muhammad Saw.; ketiga, keilmuan Islam merupakan pencerminan dari ajaran-ajaran
Islam

 Nurcholish Madjid (dalam Abdullah, 2006: 171) mengemukakan bahwa ilmu agama—dalam konteks ini keilmuan
Islam—merupakan hasil pelaksanaan perintah Allah untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-
Nya. Oleh sebab itu, antara iman dan ilmu tidak dapat terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Keduanya tidak
dapat terpisahkan sebab iman tidak saja mendorong bahkan menghasilkan ilmu, melainkan juga membimbing
ilmu dalam bentuk pertimbangan moral dan etis dalam pengaplikasiannya. Sementara, ilmu berbeda dengan
iman karena ilmu bersandar pada ovservasi terhadap alam semesta dan disusun melalui proses berpikir dan
penalaran yang rasional .
 Dengan demikian, ilmu keislaman adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama Islam. Ilmu
keislaman kemudian berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, pada masa
Nabi Muhammad Saw. misi utama keilmuan Islam adalah untuk menegakkan tauhid, sehingga keilmuan
yang dibutuhkan dan dikembangkan pada saat itu adalah ilmu aqidah, ilmu ibadah, dan ilmu qiraah.

 Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, kebutuhan umat Islam menjadi lebih kompleks, terutama untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan dan persoalanpersoalan yang tidak pernah ada di masa Nabi Saw. hidup,
maka kebutuhan umat Islam pada masa itu adalah ilmu tafsir, ilmu hadits, kemudian ilmu fiqih. Dinamika
dan kebutuhan masyarakat Islam yang terus berkembang dari waktu ke waktu tersebut membuat keilmuan
Islam semakin kaya, yang juga berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat secara praktis.

 Kekayaan tradisi keilmuan Islam, selain yang berasal dari sumber baku yaitu Al-Qur‘an dan sunnah, juga
berasal dari sumber dinamika yaitu ijtihad. Ijtihad adalah penggunaan penalaran kritis yang mendalam
untuk memahami kedalaman dan keluasan isi kandungan Al-Qur‘an dan sunnah Nabi. Ijtihad merupakan
penggunaan akal semaksimal mungkin untuk memahami, memikirkan, dan mencoba menafsirkan ajaran
agama (wahyu). Berbeda dengan wahyu yang bersifat mutlak, ijtihad bersifat relatif. Seluruh hasil ijtihad,
kebenarannya dikembalikan kepada Allah, sebab Allahlah yang lebih mengetahui tentang kebenaran yang
hakiki (Abdullah, 1995: 12).
Sekian dan Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai