A. Pengertian Filsafat
Secara efistimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari
kata Philos yang berarti kesukaan atau kencintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang
berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap
kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan).
Hamersma (1981 : 10) mengatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan metodis,
sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Jadi, dari definisi ini nampak bahwa
kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna
memperoleh pemaknaan menuju “hakekat kebenaran”.
Muntasyir & Munir (2002) dalam Usman (2006: 3) memberikan klasifikasi
pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
a. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
b. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi (arti formal).
c. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat
berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman
kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti
spekulatif).
d. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
e. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari
manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
B. Filsafat Islam
Secara etimologi dalam Bahasa Arab, kata “Islam” berasal dari kata “aslama” yang
berarti berserah diri maksudnya menyerahkan diri kepada Allah. Namun kemudian
berserah diri tersebut dalam Al-Qur’an harus diseimbangkan dengan perjuangan secara
optimal (Bakhtiar, 2010: 56).
Adapun pengertian Islam secara terminologi akan kita jumpai rumusan yang
berbedabeda. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dijelaskan bahwa Islam adalah
agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta
peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw. dan menugaskannya untuk
menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan mengajak mereka untuk
memeluknya. Harun Nasution (1993: 86) mengatakan bahwa Islam menurut istilah
adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia
melalui Nabi Muhammad saw. sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-
ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari
kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengandung berbagai aspek itu
adalah al-Qur’an dan Hadis.
Perodisasi filsafat Islam dapat dibagi menjadi lima tahap. Tahap pertama yaitu
pada rentang abad ke-1 Hijriyah (abad ke-7 Masehi) hingga jatuhnya imperium Baghdad.
Tahap kedua dikenal dengan ‘keguncangan’ setengah abad. Tahap ketiga berlangsung
pada awal abad ke-4 Hijriyah (abad ke-14 Masehi) sampai dengan abad ke-12 Hijriyah
(abad ke-18 Masehi). Kemudian berlanjut pada tahapan keempat dimana terjadi kondisi
kemunduran yang menyedihkan selama satu abad setelahnya. Akhirnya pada tahap
kelima disebut-sebut sebagai masa renaissans modern yaitu pada abad ke-13 Hijriyah
(abad ke-19 Masehi).
Meskipun pada intinya satu tubuh ajaran Islam, namun agar mudah dalam
pengkajiannya filsafat Islam dapat dikategorikan menjadi filsafat teologi, filsafat alam,
dan filsafat sosial. Segmen filsafat alam inilah yang kemudian melahirkan perkembangan
sains. Hal ini terjadi terutama pada periode tahap pertama hingga awal tahap ketiga (abad
ke-7 hingga abad ke-14 Masehi). (Suharsono, 2004: 46)
Dalam perspektif islam, ilmu-ilmu dibangun atas dasar kebenaran yang bersifat
autoritatif, yakni para pemegang autoritas dibidangnya melalui data-data yang
diteransmisikan secara berkesinambungan, data-data emprik yang meliputi al-hadasiyyat
wa al-mujarrabat. Ilmu-ilmu Islam juga dibangun atas dasar kebenaran-kebenaran
rasional (‘aqliyyah) yang melahirkan ilmu murni, dan dibangun pula atas dasar
pengetahuan intuitif (al-kasyfiyyah), pengetahuan terakhir ini lah yang memungkinkan
lahirnya ilmu tasawuf praktis, disamping tasawuf falsafi dan tasawuf ilmiah. (Nata, 2012:
69)
Dalam perspektif sejarah sains (Science) modern, asal-usul sains modern atau
revolusi ilmiah, berasal dari peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam adalah
pionir sains modern. Jikalau mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika
tentara Kristen tidak mengusirnya dari Spanyol, dan jika orang-orang mongol tidak
menyerang dan merusak bagian bagian dari negeri-negeri Islam pada abad ke-13, mereka
akan mampu menciptakan seorang Descartes, Hume, Copernicus, karena umat Islam telah
menemukan bibit-bibit filsafat mekanika, empirisme, elemen-elemen utama dalam
heliosentrisme, dalam karya-karya Imam al-Ghazali dan Ibn Shathir
Menurut Mulyadi Kartanegara dalam Nata Abidin (2012: 73) bahwa kata Science,
sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Seperti Scince, kata ‘Ilm dalam
epistemology Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa saja, tetapi seperti yang
didefenisiskan oleh Ibn Hazm (w. 1064), ilmu dipahami sebagai “pengetahuan tentang
sesuatu sebagaimana adanya”, dan seperti Science dibedakan dengan Knowledge, ilmu
juga dibedakan oleh ilmuan muslim dengan ra’y (opini). Akan tetapi, di Barat ilmu dalam
pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris. Sedangkan
dalam epistemologi Islam, ia dapat diterapkan dengan validnya, baik dalam ilmu-ilmu
fisik atau empiris maupun dalam ilmu-ilmu non fisik atau metafisis.
Dalam buku Ihsha al-Ulum (klasifikasi ilmu), al-Farabi (w. 950) memasukkan ke
dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris, seperti fisika, botani,
mineralogi, dan astronomi, melainkan juga ilmu-ilmu non empiris, seperti matematika,
teologi, kosmologi, dan metafisika. Oleh karena itu pada dasarnya kata Science
diterjemahkan sebagai ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak
dibatasi pada hanya bidang-bidang fisik seperti epistemologi Barat Berbeda dengan
epistemologi Barat, para ilmuan Muslim berpendapat bahwa manusia bisa mngetahaui
bukan hanya objek-objek fisik, melaikan juga objek-objek non-fisik. Oleh karena, itu
dalam epistemologi Islam bisa dikenal entitas-entitas non fisik, seperti konsep-konsep
mental dan metafisika, disamping entitas-entitas fisik. (Shihab, 2012: 132)
Demikin juga tidak mustahil bagi kita untuk mengetahui makhluk-makhluk halus,
seperti Jin, malaikat, dan ruh dismaping benda-benda fisik yang kita jumpai. Dengan
demikian, kekayaan epistemologi bukan hanya menghargai fenomena alam (natural),
tetapi juga menoleransi pengalaman-pengalaman fenomenal dari perspektif supranatural.
Dari kerangka berpikir seperti inilah, epistemologi Islam telah berhasil menyusun
klasifikasi ilmu yang konfrehensif dan hierarkhis, yaitu metafisika menempati posisi
tertinggi, disusul oleh matematika dan yang terakhir ilmuilmu fisik, sehingga membentuk
sebuah “trikhotomik” ilmu (metafisika, matematika, ilmu-ilmu fisik). Kemudin dari
deskripsi seperti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia Islam. Seperti
ontologi, teologi, kosmologi, dan eskatologi dalam kategori ilmu-ilmu metafisika, dan
geometri, aljabar, aritmetika, musik dan trigonometri yang termasuk dalam kategori ilmu-
ilmu matematika, sedangkan kimia, geologi, geografi, astronomi, dan optik serta yang
lainnya termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik. (Ahyar yusuf, 2011: 34-35)
Banyak ilmuan modern pada realitasnya hanya percaya pada kenyataan yang bisa
diamati, diuji, dan diukur dalam pengembangan epistemologi ilmu. Kebanykan mereka
sangat apresiatif dan hanya percaya pada keberadaan benda-benda yang bisa diserap oleh
indra. Oleh karena itu, cenderung menolak status ontologis dari entitas-entitas non-fisik,
seperti ide-ide matematika, konsep-konsep mental dan entitas spritual, yang disebut oleh
para filosof sebagai ma’qulat (intelligibles). Sebaliknya ilmuan muslim mengakui status
ontologis bukan hanya dari objek-objek inderawi melainkan juga objek-objek non
inderawi. Dengan demikian perbedaan perspektif tersebut berimplikasi pada perbedaan
metodologi yang digunakan dalam pengembangan ilmu. Metode ilmiah yang
dikembangkan oleh pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode ilmiah yang
dikembangkan oleh para ilmuan Barat. (Nata Abidin, 2012: 88)
Pendidikan termasuk sains berada pada jantung agama dan merupakan persoalan
utama dalam islam. Pendidikan dlam totalitasnya meliputi syariat dan jalan spiritual
(thariqah), terdiri dari program pendidikan yang luas bagi seluruh aspek wujud manusia
dari aspek korporea sampai dengan fakultas-fakultas tertinggi. Jenis pengetahuan yang
paling agung adalah tentang Tuhan, suatu pengetahuan yang bagaimanapun tidak mungkin
dicapai kecuali melalui pemilikan iman. Penguatan iman karenanya adalah prasyarat bagi
system Pendidikan yang berupaya memiliki karakter islam terutama bagi Pendidikan sains.
Landasan filosofis merupakan salah satu dasar yang harus dipegang dalam
pelaksanaan Pendidikan. Konteks ini mengisyaratkan bahwa perbuatan mendidik
merupakan realisasi dari nilai-nilai yang dimiliki. Pendidik tentunya telah memiliki nilai-
nilai yang sudah dicita-citakan. Dalam pandangan filosof islam tentang Pendidikan sains
mempunyai cabang yang penting dari pohon tradisi dan intelektual islam yang akar-
akarnya tertanam dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadits. (Suharsono, 2004: 94)
Jawad ‘Ali adalah penulis salah satu buku sejarah terbaik tentang bangsa Arab pra
Islam. Menurutnya, lembaga pendidikan dasar “kuttab” (menulis) sudah dikenal pada
zaman pra Islam. Bila kita mengambil pengertian kuttab sebagaimana kemudian
dipahami dalam Islam, maka kuttab adalah lembaga pendidikan dasar untuk
mengajarkan tulis baca, berhitung, dan dasar-dasar agama. Penggunaan kata tersebut
menunjukkan adanya suatu sistem pendidikan yang telah berfungsi di kalangan bangsa
Arab pra Islam.
Catatan sejarah tentang kegiatan pendidikan ditengah komunitas Yahudi dan
Kristen yang hidup di Arabia pra Islam cenderung lebih lengkap. Komunitas Yahudi
dan Kristen terkenal dengan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan. Sebelum
datangnya Islam, Arabia telah mengenal sekolah-sekolah Yahudi dan Kristen yang
mengajarkan kitab suci (Tawrat dan Injil), filsafat, dan debat serta topik-topik lain yang
berkaitan dengan agama mereka. Ringkas kata, menjelang datangnya Islam, bangsa
Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk
puisi. Meskipun sistem ekspresi dan transmisi yang domain adalah lisan, tulisan telah
mulai dikenal secara terbatas, sederhana, dan sudah mulai berkembang. (Turner, 2004:
97)
Tidak bisa dipungkiri bahwa pengembangan sains dalam diskursus sejarah Islam
tidak bisa dilepaskan dari peranan ilmuan yang berkiprah di beberapa lembaga
pendidikan yang mengembangkan teori ilmu sekaligus mentransmisikan teori-teorinya
tersebut kepada murid-muridnya maupun kepada masyarakat luas. Hal ini sangat
menentukan juga terhadap corak pemikiran yang dikembangkan para ulama pada masa
klasik Islam. Dengan demikian, melacak pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan
pada masa awal Islam menjadi sangat penting untuk mencari kronologis pertumbuhan
dan perkembangan ilmu dalam sejarah perspektif Islam. Adapun lembaga-lembaga
pendidikan dalam pengembangan sains adalah: (Tafsir, 2004: 43)
a. Bayt Al-Hikmah
b. Perpustakaan
3. Observatorrium
a. Kosmologi
Kosmologi adalah ilmu tentang sejarah, struktur, dan cara kerja alam semesta
secara keseluruhan. Ilmu ini telah berkembang selama ribuan tahun dalam beberapa
bentuk: mitologi dan religius, mistis dan filosofis, dan astronomis.
Ibn al-Shatir adalah seorang astronom muslim ternama yang bersama timnya
menerjemahkan model kosmik Ptolemeus (pada naskah Almagest atau Al-Majisti)
ke dalam konsep yang dapat diterapkan supaya lebih cocok dengan apa yang terlihat
di langit.
b. Matematika
Sejak awal peradaban manusia, matematika sudah menjadi elemen penting
dalam menunjang kehidupan. Penggunaan matematika sebagai alat terbukti eksis
pada masa Mesir, Mesopotamia, India, dan Cina kuno. Ahli matematika Islam
mengubah sifat bilangan (konsep angka desimal dan simbol bilangan nol,
penambahan angka irasional serta natural dan pecahan), mengefisienkan beberapa
bidang matematika, dan mengembangkan cabang-cabang baru matematika.
Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Banu Musa bersaudara
yang meneliti angka-angka geometri berhubungan. Ibn al-Haytham mempelajari
isometrik. Tsabit ibn Qurra, Nasiruddin al-Tusi, dan Umar Khayyam mengkaji
postulat Euclid (yang buku aslinya berjudul Elements). Tidak lupa juga Al-
Khawarizmi yang mengenalkan konsep aljabar dan algoritma. Trigonometri
(terutama kajian segitiga) pun pada dasarnya adalah ciptaan matematikawan Islam.
Belum lagi Abu Rayhan al-Biruni yang menerjemahkan karya Euclid ke dalam
bahasa Sansekerta dan menghitung keliling serta jari-jari bumi secara presisi.
c. Astronomi
Pada masa itu, astronomi biasanya dikaitkan dengan matematika. Upaya yang
dilakukan terdiri dari penelitian gerakan benda-benda langit dan mencatat apa yang
ditemukan secara matematis. Pengetahuan ini diturunkan dari masa Yunani, Mesir,
Babilonia, dan India kuno.
Jabir ibn Hayyan (dikenal di Barat dengan sebutan Geber) adalah legenda di
bidang ini. Ia memfokuskan pada prinsip keseimangan dan hubungan numerik
benda-benda. Ia tidak hanya mahaguru laboratorium tapi juga analis yang teliti. Ia
mengetahui cara-cara menghasilkan besi, mewarnai kulit, kain tenun, dan baju anti
air. Al-Razi juga memberikan sumbangan di bidang ini berupa proses kimia dasar
seperti distilasi, kalsinasi, kristalisasi, penguapan, dan penyaringan. Perkakas lab
yang ia gunakan diperbaiki dan dikembangkan sampai kotak, gelas kimia, labu kaca,
corong, dan tungku pembakaran yang standar menyerupai yang terdapat pada masa
modern. Ia juga membuat klasifikasi sistematis terhadap zat-zat mineral hasil alami
maupun yang dibuat di lab.
h. Optik
Beberapa filosof, matematikawan, dan ahli kesehatan Islam berupaya keras
mempelajari sifat fundamental serta cara bekerja pandangan dan cahaya. Mereka
memiliki akses pada warisan pengetahuan Yunani yang berkaitan dengan cahaya dan
penglihatan. Sumber-sumber itu antara lain karya Euclid dan karya astronom Mesir,
Ptolemeus.
Ahyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Depok: Koekoesan
Nata, Abidin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Press.
Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Turner, Howard R. 2004. Sains Islam yang Mengagumkan: Sebuah Catatan terhadap Abad
Pertengahan. Bandung: Nuansa.