Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat
Secara efistimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari
kata Philos yang berarti kesukaan atau kencintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang
berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap
kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan).
Hamersma (1981 : 10) mengatakan bahwa filsafat merupakan pengetahuan metodis,
sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan. Jadi, dari definisi ini nampak bahwa
kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna
memperoleh pemaknaan menuju “hakekat kebenaran”.
Muntasyir & Munir (2002) dalam Usman (2006: 3) memberikan klasifikasi
pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
a. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
b. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi (arti formal).
c. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat
berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman
kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti
spekulatif).
d. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.
Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
e. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari
manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
B. Filsafat Islam
Secara etimologi dalam Bahasa Arab, kata “Islam” berasal dari kata “aslama” yang
berarti berserah diri maksudnya menyerahkan diri kepada Allah. Namun kemudian
berserah diri tersebut dalam Al-Qur’an harus diseimbangkan dengan perjuangan secara
optimal (Bakhtiar, 2010: 56).

Adapun pengertian Islam secara terminologi akan kita jumpai rumusan yang
berbedabeda. Dalam ensiklopedi Agama dan filsafat dijelaskan bahwa Islam adalah
agama Allah yang diperintahkan-Nya untuk mengajarkan tentang pokok-pokok serta
peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad saw. dan menugaskannya untuk
menyampaikan agama tersebut kepada seluruh manusia dengan mengajak mereka untuk
memeluknya. Harun Nasution (1993: 86) mengatakan bahwa Islam menurut istilah
adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia
melalui Nabi Muhammad saw. sebagai rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-
ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi tetapi mengenai berbagai segi dari
kehidupan manusia. Sumber dari ajaran-ajaran yang mengandung berbagai aspek itu
adalah al-Qur’an dan Hadis.

Filsafat Islam muncul dengan cakupan kedua belahan dunia (timur-barat).


Meskipun pada awalnya muncul di timur, namun perkembangannya sampai ke barat
sesuai dengan daerah kekuasaan Islam pada masa jayanya. Selama tujuh abad (abad 7-13
Masehi), paham ketuhanan milik Islam menghiasi perkembangan ilmu pengetahuan.
Mulai dari Al-Kindi (801-873), Al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), Al-Ghazali
(1056-1111), sampai Ibnu Rusyd (1126-1198) menjadi para pelopor filsafat islam.

Perodisasi filsafat Islam dapat dibagi menjadi lima tahap. Tahap pertama yaitu
pada rentang abad ke-1 Hijriyah (abad ke-7 Masehi) hingga jatuhnya imperium Baghdad.
Tahap kedua dikenal dengan ‘keguncangan’ setengah abad. Tahap ketiga berlangsung
pada awal abad ke-4 Hijriyah (abad ke-14 Masehi) sampai dengan abad ke-12 Hijriyah
(abad ke-18 Masehi). Kemudian berlanjut pada tahapan keempat dimana terjadi kondisi
kemunduran yang menyedihkan selama satu abad setelahnya. Akhirnya pada tahap
kelima disebut-sebut sebagai masa renaissans modern yaitu pada abad ke-13 Hijriyah
(abad ke-19 Masehi).

Meskipun pada intinya satu tubuh ajaran Islam, namun agar mudah dalam
pengkajiannya filsafat Islam dapat dikategorikan menjadi filsafat teologi, filsafat alam,
dan filsafat sosial. Segmen filsafat alam inilah yang kemudian melahirkan perkembangan
sains. Hal ini terjadi terutama pada periode tahap pertama hingga awal tahap ketiga (abad
ke-7 hingga abad ke-14 Masehi). (Suharsono, 2004: 46)

C. Hubungan Filsafat Islam dalam Pendidikan Sains


Ilmu sains adalah sejenis pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap
objek-objek yang empiris, benar tidaknya suatu teori sains (ilmu) ditentukan oleh logis
tidaknya bukti empiris. Bila teori itu logis, dan ada bukti empiris maka teori sains itu
benar. Bila hanya logis, ia adalah pengetahuan filsafat. Bila tidak logis dan ada bukti
empiris, berarti namanya pengetahuan filsafat. Kesimpulannya jenis ilmu ialah
pengetahuan yang logis dan mempunyai bukti empiris. (Ahmad Tafsir, 2004: 14-15).

Dalam perspektif islam, ilmu-ilmu dibangun atas dasar kebenaran yang bersifat
autoritatif, yakni para pemegang autoritas dibidangnya melalui data-data yang
diteransmisikan secara berkesinambungan, data-data emprik yang meliputi al-hadasiyyat
wa al-mujarrabat. Ilmu-ilmu Islam juga dibangun atas dasar kebenaran-kebenaran
rasional (‘aqliyyah) yang melahirkan ilmu murni, dan dibangun pula atas dasar
pengetahuan intuitif (al-kasyfiyyah), pengetahuan terakhir ini lah yang memungkinkan
lahirnya ilmu tasawuf praktis, disamping tasawuf falsafi dan tasawuf ilmiah. (Nata, 2012:
69)

Dalam perspektif sejarah sains (Science) modern, asal-usul sains modern atau
revolusi ilmiah, berasal dari peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam adalah
pionir sains modern. Jikalau mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika
tentara Kristen tidak mengusirnya dari Spanyol, dan jika orang-orang mongol tidak
menyerang dan merusak bagian bagian dari negeri-negeri Islam pada abad ke-13, mereka
akan mampu menciptakan seorang Descartes, Hume, Copernicus, karena umat Islam telah
menemukan bibit-bibit filsafat mekanika, empirisme, elemen-elemen utama dalam
heliosentrisme, dalam karya-karya Imam al-Ghazali dan Ibn Shathir

Menurut Mulyadi Kartanegara dalam Nata Abidin (2012: 73) bahwa kata Science,
sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Seperti Scince, kata ‘Ilm dalam
epistemology Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa saja, tetapi seperti yang
didefenisiskan oleh Ibn Hazm (w. 1064), ilmu dipahami sebagai “pengetahuan tentang
sesuatu sebagaimana adanya”, dan seperti Science dibedakan dengan Knowledge, ilmu
juga dibedakan oleh ilmuan muslim dengan ra’y (opini). Akan tetapi, di Barat ilmu dalam
pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris. Sedangkan
dalam epistemologi Islam, ia dapat diterapkan dengan validnya, baik dalam ilmu-ilmu
fisik atau empiris maupun dalam ilmu-ilmu non fisik atau metafisis.

Dalam buku Ihsha al-Ulum (klasifikasi ilmu), al-Farabi (w. 950) memasukkan ke
dalam klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris, seperti fisika, botani,
mineralogi, dan astronomi, melainkan juga ilmu-ilmu non empiris, seperti matematika,
teologi, kosmologi, dan metafisika. Oleh karena itu pada dasarnya kata Science
diterjemahkan sebagai ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak
dibatasi pada hanya bidang-bidang fisik seperti epistemologi Barat Berbeda dengan
epistemologi Barat, para ilmuan Muslim berpendapat bahwa manusia bisa mngetahaui
bukan hanya objek-objek fisik, melaikan juga objek-objek non-fisik. Oleh karena, itu
dalam epistemologi Islam bisa dikenal entitas-entitas non fisik, seperti konsep-konsep
mental dan metafisika, disamping entitas-entitas fisik. (Shihab, 2012: 132)

Demikin juga tidak mustahil bagi kita untuk mengetahui makhluk-makhluk halus,
seperti Jin, malaikat, dan ruh dismaping benda-benda fisik yang kita jumpai. Dengan
demikian, kekayaan epistemologi bukan hanya menghargai fenomena alam (natural),
tetapi juga menoleransi pengalaman-pengalaman fenomenal dari perspektif supranatural.

Dari kerangka berpikir seperti inilah, epistemologi Islam telah berhasil menyusun
klasifikasi ilmu yang konfrehensif dan hierarkhis, yaitu metafisika menempati posisi
tertinggi, disusul oleh matematika dan yang terakhir ilmuilmu fisik, sehingga membentuk
sebuah “trikhotomik” ilmu (metafisika, matematika, ilmu-ilmu fisik). Kemudin dari
deskripsi seperti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia Islam. Seperti
ontologi, teologi, kosmologi, dan eskatologi dalam kategori ilmu-ilmu metafisika, dan
geometri, aljabar, aritmetika, musik dan trigonometri yang termasuk dalam kategori ilmu-
ilmu matematika, sedangkan kimia, geologi, geografi, astronomi, dan optik serta yang
lainnya termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik. (Ahyar yusuf, 2011: 34-35)

Banyak ilmuan modern pada realitasnya hanya percaya pada kenyataan yang bisa
diamati, diuji, dan diukur dalam pengembangan epistemologi ilmu. Kebanykan mereka
sangat apresiatif dan hanya percaya pada keberadaan benda-benda yang bisa diserap oleh
indra. Oleh karena itu, cenderung menolak status ontologis dari entitas-entitas non-fisik,
seperti ide-ide matematika, konsep-konsep mental dan entitas spritual, yang disebut oleh
para filosof sebagai ma’qulat (intelligibles). Sebaliknya ilmuan muslim mengakui status
ontologis bukan hanya dari objek-objek inderawi melainkan juga objek-objek non
inderawi. Dengan demikian perbedaan perspektif tersebut berimplikasi pada perbedaan
metodologi yang digunakan dalam pengembangan ilmu. Metode ilmiah yang
dikembangkan oleh pemikir muslim berbeda secara signifikan dengan metode ilmiah yang
dikembangkan oleh para ilmuan Barat. (Nata Abidin, 2012: 88)

Pendidikan termasuk sains berada pada jantung agama dan merupakan persoalan
utama dalam islam. Pendidikan dlam totalitasnya meliputi syariat dan jalan spiritual
(thariqah), terdiri dari program pendidikan yang luas bagi seluruh aspek wujud manusia
dari aspek korporea sampai dengan fakultas-fakultas tertinggi. Jenis pengetahuan yang
paling agung adalah tentang Tuhan, suatu pengetahuan yang bagaimanapun tidak mungkin
dicapai kecuali melalui pemilikan iman. Penguatan iman karenanya adalah prasyarat bagi
system Pendidikan yang berupaya memiliki karakter islam terutama bagi Pendidikan sains.

Pandangan mengenai Pendidikan sains seharusnya dimungkinkan untuk dipelajari


dengan Pendidikan dan berlandaskan dengan tradisi filsafat islam yang bertujuan untuk
mencetak generasi muda dunia yang tidak hanya ahli dalam bidang sains tetapi juga
memahami islam serta serta mempunyai jiwa kefilsafatan didalam dirinya.

Landasan filosofis merupakan salah satu dasar yang harus dipegang dalam
pelaksanaan Pendidikan. Konteks ini mengisyaratkan bahwa perbuatan mendidik
merupakan realisasi dari nilai-nilai yang dimiliki. Pendidik tentunya telah memiliki nilai-
nilai yang sudah dicita-citakan. Dalam pandangan filosof islam tentang Pendidikan sains
mempunyai cabang yang penting dari pohon tradisi dan intelektual islam yang akar-
akarnya tertanam dalam ajaran Al-Qur’an dan Hadits. (Suharsono, 2004: 94)

D. Perkembangan pendidikan sains ditinjau berdasarkan sejarah


1. Lembaga-lembaga pendidikan sains
Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dapat dilihat sebagai bagian dari
pertumbuhan peradaban Islam. Sebelum datangnya Islam, tradisi pendidikan bangsa
Arab pada dasarnya terbatas pada tradisi lisan. Pewarisan pengetahuan, nilai dan tradisi
berlangsung dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Dengan kebanyakan
penduduk masih hidup nomaden (berpindah-pindah) dan beternak sebagai sumber daya
utama, maka materi dasar pendidikan mencakup teknik dasar beternak alamiah,
mengetahui lokasi-lokasi yang berumput subur, keahlian menunggang kuda, dan
mengetahui dasar-dasar navigasi di padang pasir untuk menghindari bahaya padang
pasir yang luas dan buas.

Jawad ‘Ali adalah penulis salah satu buku sejarah terbaik tentang bangsa Arab pra
Islam. Menurutnya, lembaga pendidikan dasar “kuttab” (menulis) sudah dikenal pada
zaman pra Islam. Bila kita mengambil pengertian kuttab sebagaimana kemudian
dipahami dalam Islam, maka kuttab adalah lembaga pendidikan dasar untuk
mengajarkan tulis baca, berhitung, dan dasar-dasar agama. Penggunaan kata tersebut
menunjukkan adanya suatu sistem pendidikan yang telah berfungsi di kalangan bangsa
Arab pra Islam.
Catatan sejarah tentang kegiatan pendidikan ditengah komunitas Yahudi dan
Kristen yang hidup di Arabia pra Islam cenderung lebih lengkap. Komunitas Yahudi
dan Kristen terkenal dengan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan. Sebelum
datangnya Islam, Arabia telah mengenal sekolah-sekolah Yahudi dan Kristen yang
mengajarkan kitab suci (Tawrat dan Injil), filsafat, dan debat serta topik-topik lain yang
berkaitan dengan agama mereka. Ringkas kata, menjelang datangnya Islam, bangsa
Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk
puisi. Meskipun sistem ekspresi dan transmisi yang domain adalah lisan, tulisan telah
mulai dikenal secara terbatas, sederhana, dan sudah mulai berkembang. (Turner, 2004:
97)

Peradaban intelektual Islam tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan


secara maksimal warisan intelektual dari peradaban-peradaban yang lebuh tua, seperti
Yunani, Persia, dan India. Berbagai pusat kegiatan intelektual kuno yang kemudian
masuk ke dalam kekuasaan Islam. Muslim generasi awal sangat fasililatif dalam
capaian intelektual Islam. Muslim generasi awal terkenal dengan keterbukaan dan
keberaniannya dalam melakukan adopsi dan adaptasi warisan intelektual peradaban
kuno yang dijumpainya. Sikap tersebut berada di belakang perkembangan spektakuler
di bidang ilmiah dan pendidikan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pengembangan sains dalam diskursus sejarah Islam
tidak bisa dilepaskan dari peranan ilmuan yang berkiprah di beberapa lembaga
pendidikan yang mengembangkan teori ilmu sekaligus mentransmisikan teori-teorinya
tersebut kepada murid-muridnya maupun kepada masyarakat luas. Hal ini sangat
menentukan juga terhadap corak pemikiran yang dikembangkan para ulama pada masa
klasik Islam. Dengan demikian, melacak pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan
pada masa awal Islam menjadi sangat penting untuk mencari kronologis pertumbuhan
dan perkembangan ilmu dalam sejarah perspektif Islam. Adapun lembaga-lembaga
pendidikan dalam pengembangan sains adalah: (Tafsir, 2004: 43)

a. Bayt Al-Hikmah

Telah menjadi semacam kesepakatan di kalangan para sejarawan bahwa Bayt


al-Hikmah (Gedung Hikmah, Gedung Pengetahuan) adalah lembaga pendidikan
tinggi Islam yang pertama, kecuali masjid, lembaga ini dibangun oleh khalifah
Abbasiyah ketujuh, al-Ma’mun, yang terkenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan
pada tahun 215/830. Bayt al-Hikmah berasal dari sebuah perpustakaan yang lebih
sederhana, bernama Khizanat al-Hikmah, yang telah beroperasi semenjak masa
khalifah sebelumnya Harun al-Rasyid. Al-Ma’mun meningkatkan kegiatan lembaga
ini dengan memasukkan pengajaran serta proyek penerjemahan karya-karya filsafat
dan pengetahuan asing dari berbagai bahasa. Dengan usaha al-Ma’mun ini proses
penerjemahan, yang dalam skala lebih kecil sudah mulai sejak awal, mendapat
dorongan baru. Maka jadilah era al-Ma’mun sebuah epoch khusus dalam sejarah
intelektualisme Islam., khususnya dalam proses transmisi ilmu-ilmu asing dan
pemanfaatannya dalam penafsiran ajaran Islam.

Para penerjemah generasi pertama dalam Bayt al-Hikmah adalah kebanyakan


berasal dari keluarga Barmak dari Khurasan. Disamping sebagai pusat
penerjemahan, Bayt al-Hikmah juga berkaitan dengan kegiatan al-Ma’mun
mendukung dan menyebarkan teologi Mu’tazilah. Setelah masa kejayaannya, vitalits
kegiatan di Bayt al-Hikmah mulai menurun, Masa ini bertepatan dengan masa
beralihnya arus teologis kekhalifahan Abbasiyah, dari mendukung menjadi
memusuhi Mu’tazilah. Asosiasi Bayt al-Hikmah dengan Mu’tazilah tidak
memungkinkannya untuk lepas sepenuhnya dari efek kemunduran Mu’tazilah.
Begitupun, lembaga yang pernah jaya ini masih bertahan dan baru benar-benar
runtuh ketika terbakar dalam serangan Mongol atas Baghdad pada tahun 646/1258.

b. Perpustakaan

Perhatian Islam terhadap pendidikan dan kemuliaan buku sebagai media


pengetahuan berada di belakang tumbuhnya perpustakaan dalam peradaban Islam.
Dalam Islam, buku tidak saja diperlukan semata-mata sebagai media, buku bahkan
mempunyai nilai moral yang melandasi perhatian besar yang diberikan kepadanya.
Perhatian ini mengharuskan penyebarluasan dan pemeliharaan buku sebagai bagian
dari kegiatan mendukung ilmu pengetahuan dan kegiatan pendidikan. Beberapa
perpustakaan yang berkembang menjadi lembaga yang benar-benar besar, megah,
dan menyimpan karya-karya berharga dalam koleksinya. Sebuah perpustakaan
Dinasti Fathimiyah di Mesir, menurut riwayat perpustakaan ini memiliki 40 ruangan
yang masing-masing memuat 18. 000 buah buku. Selanjutnya perputakaan istana
Sultan Nuh bin Manshur (365-387/976-997), penguasa Dinasti Samaniyah.
Kemunduran dan kehancuran perputakaan-perpustakaan Islam Abad
Pertengahan dilatarbelakangi oleh berbagai sebab. Perang, barangkali, adalah salah
satu sebab utama. Serbuan Mongol, Perang Salib, dan pengusiran Muslim dari
Spanyol, memakan korban sejumlah perpustakaan di kota-kota besar seperti
Baghdad, Tripoli, Aleppo, Iskandaria, Jerussalem, Kordoba, Sevilla, atau Granada.
Tidak bisa pula dipungkiri bahwa tidak semua orang pada semua waktu mempunyai
rasa cinta yang tinggi terhadap buku dan perpustakaan. Kadang-kadang
perpustakaan mengalami kemunduran dan kehancuran sematamata karena diabaikan.

3. Observatorrium

Kala perpustakaan dapat disebut sebagai lembaga pendidikan yang


menampung berbagai disiplin ilmu. Maka Observatorium secara khusus berkaitan
dengan pengembangan dan pengajaran satu disiplin ilmu tertentu saja, yaitu
astronomi. Tumbuhnya lembaga ini berkaitan erat dengan kebutuhan umat Islam
akan astronomi yang membantu kehidupan dalam berbagai bidang. Seperti penunjuk
arah waktu, penentuan arah kiblat, penentuan hari-hari besar keagamaan dan lain
sebagainya.

Perkembangan baru dalam sejarah Observatorium terjadi pada tahun 657/1261,


ketika Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, yang membangun Observatorium besar di
kota Maraghah, dilengkapi dengan sebuah perpustakaan dan peralatan astronomi
yang lengkap. Nasir al-Din al-Thusi (w. 672/1274) mendapat kehormatan menjadi
direktur Observatorium ini. Quthb al-Din alSyirazi, penemu teori tentang pelangi,
termasuk ilmuan yang pernah meneliti dan mengembankan karirnya di
Observatorium Maraghah.

2. Karya Emas Islam


Perkembangan sains Islam dapat dibagi ke dalam tiga tahap. Tahap pertama
adalah pewarisan dan penerjemahan. Pada masa ini dilakukan pengumpulan berkas-
berkas penulisan Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Institusi terkenal yang mengoleksi dan menerjemahkan tersebut salah satunya adalah
Baitul Hikmah yang dibangun pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti
Abbasiyah. Tahap kedua adalah pengklasifikasian cabang-cabang ilmu kemudian
merumuskan metoda ilmiah dalam mempelajari dan membuktikannya. Tahap ketiga
adalah pengembangan dan penemuan ilmu-ilmu pengetahuan baru. (Burhanuddin,
2009: 153)

Berikut penjelasan singkat mengenai beberapa cabang sains yang berkembang


beserta tokoh-tokoh yang memeloporinya menurut (Saefullah, 2010:121-132)

a. Kosmologi

Kosmologi adalah ilmu tentang sejarah, struktur, dan cara kerja alam semesta
secara keseluruhan. Ilmu ini telah berkembang selama ribuan tahun dalam beberapa
bentuk: mitologi dan religius, mistis dan filosofis, dan astronomis.

Ibn al-Shatir adalah seorang astronom muslim ternama yang bersama timnya
menerjemahkan model kosmik Ptolemeus (pada naskah Almagest atau Al-Majisti)
ke dalam konsep yang dapat diterapkan supaya lebih cocok dengan apa yang terlihat
di langit.

b. Matematika
Sejak awal peradaban manusia, matematika sudah menjadi elemen penting
dalam menunjang kehidupan. Penggunaan matematika sebagai alat terbukti eksis
pada masa Mesir, Mesopotamia, India, dan Cina kuno. Ahli matematika Islam
mengubah sifat bilangan (konsep angka desimal dan simbol bilangan nol,
penambahan angka irasional serta natural dan pecahan), mengefisienkan beberapa
bidang matematika, dan mengembangkan cabang-cabang baru matematika.

Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Banu Musa bersaudara
yang meneliti angka-angka geometri berhubungan. Ibn al-Haytham mempelajari
isometrik. Tsabit ibn Qurra, Nasiruddin al-Tusi, dan Umar Khayyam mengkaji
postulat Euclid (yang buku aslinya berjudul Elements). Tidak lupa juga Al-
Khawarizmi yang mengenalkan konsep aljabar dan algoritma. Trigonometri
(terutama kajian segitiga) pun pada dasarnya adalah ciptaan matematikawan Islam.
Belum lagi Abu Rayhan al-Biruni yang menerjemahkan karya Euclid ke dalam
bahasa Sansekerta dan menghitung keliling serta jari-jari bumi secara presisi.
c. Astronomi
Pada masa itu, astronomi biasanya dikaitkan dengan matematika. Upaya yang
dilakukan terdiri dari penelitian gerakan benda-benda langit dan mencatat apa yang
ditemukan secara matematis. Pengetahuan ini diturunkan dari masa Yunani, Mesir,
Babilonia, dan India kuno.

Putra Hunain ibn Ishaq –penerjemah kenamaan abad ke-9– membuat


terjemahan Almagest (berisi tentang kinematika langit) karya Ptolemeus. Konsep
Aristoteles tentang sfera padat yang diperkenalkan pada peradaban Islam melalui
karya-karya Ibnu al-Haytham tetap menjadi model fundamental selama berabad-
abad. Tsabit ibn Qurra dan Ibn Yunus, dikenal sebagai pengelola observatorium
(lengkap dengan instrumen-instrumen astronomi hasil ciptaan yang luar biasa
semisal astrolabes, bola langit, kuadran, dan jam matahari) yang didirikan di
berbagai tempat. Al-Biruni (ditambah peran Al-Khawarizmi) menghasilkan data
pengamatan yang membentuk dasar-dasar buku pegangan untuk jadwal astronomi
penting yang dikenal sebagai zij. Al-Tusi dengan konsepnya yang terkenal, Tusi
Couple, mengajukan model hipotesis tentang gerakan episiklus. Model tersebut
kemudian diterapkan oleh Ibn al-Shatir dengan konsep gerakan planeter yang
belakangan ternyata menunjukkan persamaan dengan skema Copernicus.
Abdurrahman Al-Sufi dalam bukunyaKitab Suwar al-Kawakib al-Thabita (Risalah
tentang Konstelasi Bintang-bintang Tetap) menguraikan tentang 48 konstelasi
Ptolemeus.
d. Geografi
Meluasnya dunia Islam membutuhkan panduan di bidang geografi. Menghadapi
kebutuhan yang berkembang pada perjalanan dan pedagangan serta urusan
pemerintahan, ahli geografi bekerja keras untuk memperbaiki, mengembangkan, dan
mengisi peta dunia yang diperoleh dari sumber-sumber Babilonia, Persia, dan
Yunani serta dari naskah Yahudi, Kristen dan Cina. Pandangan kartografi Islam
terhadap daerahnya menyerupai pandangan kartografi modern.

Abu Ishaq al-Istakhri (dengan karyanya: Al-Masalik wa Al-Mamalik –Jalur


Perjalanan Kerajaan–) dan Ibn Hawqal membagi daerah Islam menjadi 12 wilayah
dan memisahkan daerah non-Islam dalam kategori yang berbeda serta menulis atlas.
Al-Mas’udi, dalam karyanya Muruj al-Dhahab (Padang Rumput Emas dan Tambang
Permata), menguraikan tempat-tempat yang ia kunjungi dan berisi potret Eropa. Ibn
Batuta, penjelajah abad ke-14 asal Maroko, menghabiskan hidupnya dengan
berkelana dari Afrika Utara ke Cina dan Asia Tenggara lengkap dengan laporannya.
Ibnu Khaldun memberikan penjelasan tentang daerah dan orang-orang di dalam
batas wilayah Islam. Al-Idrisi membuat peta dunia berbentuk relief dari perak
kemudian membuat detailnya pada 71 peta terpisah dan menyertainya dengan
buku Kitab al-Rujari. Piri Re’is, seorang kapten laut masa Turki Utsmani,
menghasilkan atlas mediterania serta bahkan peta Afrika Barat dan Amerika.
e. Kedokteran
Pada bidang kesehatan, Islam mewarisi dan mempelajari keberhasilan Yunani,
Romawi klasik, Syria, Persia, dan India. Karya utama yang diterjemahkan dan
menjadi basis adalah De Materia Medica yang disusun Dioscorides. Perpustakaan,
pusat-pusat penerjemahan, dan rumah sakit sebagai sebuah institusi telah
dikembangkan dengan cara revolusioner yang dapat membentuk jalan bagi sains
kesehatan.
Al-Ruhawi memberikan karya berjudul Adab al-Tabib (Kode Etik Dokter)
yang merupakan salah satu naskah berbahasa Arab pertama yang membicarakan
masalah etika medis. Al-Razi (dikenal di Barat dengan sebutan Rhazes) dengan
karyanya Tentang Cacar dan Campak yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
Barat hingga cetakan ke-40. Ia juga menulis 23 jilid Al-Hawi (Kitab yang Lengkap)
yang merupakan salah satu naskah pengobatan paling lengkap sebelum abad ke-19.
Ibn Sina (dikenal di Barat dengan sebutan Avicenna) dengan karyanya yang
fenomenal Al-Qanun berupa ensiklopedi topik-topik medis serta senyawa, obat, dan
alat pengukuran. Karya Al-Razi dan Ibn Sina tersebut digunakan sebagai rujukan
dasar di sekolah-sekolah medis Eropa hingga menjelang awal masa modern. Ibn al-
Khatib melakukan penelitian tentang penularan dalam epidemi. Ibn al-Nafis
memberikan teori baru tentang sirkulasi darah sekunder antara jantung dan paru-
paru. Risalah Hunain ibn Ishaq tentang mata beserta diagram-diagram anatomi yang
akurat merupakan yang pertama dalam bidang ini. Mansur ibn Muhammad ibn al-
Faqih Ilyas dengan naskahnyaTashrih al-Badan (Anatomi Tubuh) memberikan
diagram komprehensif mengenai struktur, sistem sirkulasi, dan sistem syaraf tubuh.
Abu al-Qasim al-Zahrawi (dikenal di Barat dengan sebutan Abulcasis) menelurkan
karya berjudulKitab al-Tasrif (Buku tentang Konsesi) yang berisi tiga risalah utama
mengenai pembedahan yang digunakan sekolah-sekolah medis Eropa selama
beberapa abad. Ibn Zuhr (Avenzoar), Ibn Rusyd, dan Maimonides adalah ahli-ahli
kedokteran lainnya. Tidak ketinggalan pula Ibn al-Baytar dengan karyanya Al-Jami’
fi al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obat yang Sederhana) yang merupakan
teks Arab terbaik berkaitan dengan botani pengobatan (farmakologi) dan tetap
digunakan sampai masa Renaissans.
f. Zoologi, Botani, Geologi
Para naturalis Islam memiliki minat terhadap sumber daya alam seperti batuan,
tanah, flora, dan fauna. Hasilnya adalah inventaris yang melimpah tentang kuda,
unta, hewan liar, anggur, pohon palem, sampai manusia.

Al-Biruni dan al-Khazini bahu membahu mengukur dan mengelompokkan


batu-batu mulia dan semimulia. Ibn Sina juga meneliti geologi dan pengaruhi gempa
bumi serta cuaca. Karya Zakaria ibn Muhammad ibn Mahmud Abu Yahya al-
Qazwini pada abad ke-13 berjudul Aja’ib al-Makhluqat (Keajaiban Ciptaan),
mengungkapkan botani dan zoologi. Ibn Akhi Hizam dan Abu Bakr al-Baytar
meneliti tentang kuda. Analisa tentang hewan juga terdapat pada naskah Manafi’ al-
Hayawan (Tentang Identifikasi dan Ciri-ciri Organ Hewan) oleh Abu Sa’id
Ubaydallah ibn Bakutishu’.
g. Kimia
Alkimia menggabungkan spiritual, kerajinan, dan disiplin-disiplin ilmiah yang
dapat ditelusuri kembali pada masa yang sangat lampau dan pada proses yang secara
tradisional terdapat dalam penyiapan pengolahan logam dan obat. Ketika peradaban
Islam sudah mapan, mereka menyerap aturan-aturan dasar alkimia yang dibuat oleh
bangsa Alexandria dan terus membentuknya dalam konensi-konvensi intelektual
mereka sendiri.

Jabir ibn Hayyan (dikenal di Barat dengan sebutan Geber) adalah legenda di
bidang ini. Ia memfokuskan pada prinsip keseimangan dan hubungan numerik
benda-benda. Ia tidak hanya mahaguru laboratorium tapi juga analis yang teliti. Ia
mengetahui cara-cara menghasilkan besi, mewarnai kulit, kain tenun, dan baju anti
air. Al-Razi juga memberikan sumbangan di bidang ini berupa proses kimia dasar
seperti distilasi, kalsinasi, kristalisasi, penguapan, dan penyaringan. Perkakas lab
yang ia gunakan diperbaiki dan dikembangkan sampai kotak, gelas kimia, labu kaca,
corong, dan tungku pembakaran yang standar menyerupai yang terdapat pada masa
modern. Ia juga membuat klasifikasi sistematis terhadap zat-zat mineral hasil alami
maupun yang dibuat di lab.

h. Optik
Beberapa filosof, matematikawan, dan ahli kesehatan Islam berupaya keras
mempelajari sifat fundamental serta cara bekerja pandangan dan cahaya. Mereka
memiliki akses pada warisan pengetahuan Yunani yang berkaitan dengan cahaya dan
penglihatan. Sumber-sumber itu antara lain karya Euclid dan karya astronom Mesir,
Ptolemeus.

Al-Kindi, dengan kajiannya pada karya Euclid yang berjudul Optics,


menghasilkan pemahaman baru tentang refleksi cahaya serta prinsip-prinsip persepsi
visual yang menjadi cikal bakal hukum-hukum perspektif pada Renaissans. Riset
paling spektakuler mengenai penglihatan dan cahaya dilakukan oleh Ibn al-Haytham
(dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen). Ia meneliti hampir seluruh aspek cahaya
dan penglihatan manusia dalam karya komprehensifnya yang berjudul Kitab al-
Manazir (Buku Tentang Optik). Karya tersebut kemudian mempengaruhi karya da
Vinci, Kepler, Roger Bacon, dan ilmuwan-ilmuwan Eropa lain. Kamal al-Din al-
Farisi mengomentari karya Ibn al-Haytham pada segmen efek kamera obscura. Ia
(al-Farisi) juga untuk pertamakalinya memberikan penjelasan yang memuaskan
tentang pelangi. Selain itu, al-Razi dan Ibn Sina juga mencantumkan tulisan-tulisan
tentang optik.
Demikianlah karya emas Islam di bidang sains. Jika diperhatikan, ada tokoh-
tokoh yang menjadi ahli di berbagai bidang. Itulah potret manusia Islam seutuhnya.
Seorang yang telah mencapai derajat ulama berarti selain menguasai agama juga
memiliki keahlian di bidang ilmu dunia (sains dan teknologi). Perlu dicatat bahwa nama
tokoh-tokoh di atas tidak semuanya Muslim. Ada sebagian kecil diantaranya menganut
agama Yahudi, Kristen, ataupun Sabean. Tapi semuanya hidup di bawah peradaban
Islam dimana Khalifah (pemerintahan) sangat toleransi terhadap kemajemukan serta giat
memajukan ilmu pengetahuan dengan bahasa Arab sebagai bahasa internasional dan
bahasa ilmu. Sebuah sistem hidup yang tiada taranya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahyar Yusuf Lubis dan Donny Gahral Adian. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Depok: Koekoesan

Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat  Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Nasution, Harun. 1993. Falsafah Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Nata, Abidin. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Press.

Saefullah, Djaja. 2010. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Refika.

Shihab, M. Quraish. 2012. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan


Umat. Jakarta: Mizan.

Suharsono. 2004. Inteligensi dan Spiritualisasi Agama. Jakarta: Insiasi Press.

Suriasumantri, Jujun S. 1990. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka


Sinar Harapan.

Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Turner, Howard R. 2004. Sains Islam yang Mengagumkan: Sebuah Catatan terhadap Abad
Pertengahan. Bandung: Nuansa.

Usman, Ali. 2006. Kebebasan Dama Perbincangan Filsafat.Pendidikan dan Agama.


Yogyakarta: Pilar Media.

Anda mungkin juga menyukai