Pendahuluan
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang ilmu pengetahuan.
Mengkaji artinya bermaksud untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang kompleks. Namun,
yang paling mendasar adalah tentang “apa” yang mungkin (dapat) diketahui oleh subjek
pengetahuan (manusia) dan “bagaimana” suatu objek itu bisa diketahui olehnya. Pertanyaan
pertama menyangkut objek pengetahuan apa yang dapat diketahui manusia, sedangkan
selanjutnya dengan cara apa (metode) kita dapat mengetahui objek pengetahuan tersebut.1
Secara historis, epistemologi dapat dilacak hingga masa Yunani Kuno, di mana para filosof
saat itu lebih memberikan perhatian kepada alam sehingga mereka popular dengan sebutan
filosof alam. Selanjutnya, pada abad ke-5 SM di mana kaum Sofis memulai babak baru dalam
filsafat. Berbeda dengan filosof sebelumnya, kaum Sofis memfokuskan penyelidikannya
terhadap manusia, terutama dalam konteks dengan pengetahuan. Protagoras mengatakan bahwa:
“Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu”, hal ini menandakan pada saat itu manusia yang
menjadi fokus kajian, bukan lagi alam. Dari hal-hal yang ada di atas, dapat dikatakan
bahwasannya pengetahuan merupakan hal yang mungkin bagi manusia. Selanjutnya pada abad
modern, epistemologi telah berkembang dari masa-masa sebelumnya. Hal ini kemudian menjadi
tolak ukur semua ilmu pengetahuan modern.
Untuk dapat mengetahui bagaimana posisi Ikhwan al-Shafa terhadap pengetahuan, kiranya
harus ada parameter yang digunakan sebagai justifikasi dan juga alat ukur. Parameter yang akan
digunakan adalah pemikiran-pemikiran epistemologi yang telah ada di abad modern, yaitu
rasionalisme, empirisisme, dan intuisionisme. Sehingga, dari situ kita dapat membedah posisi
Ikhwan al-Shafa terkait dengan pengetahuan.
1
Muniron, M., 2010. Epistemologi Ikhwan as-Shafa. Pustaka Pelajar, hal. 275
Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci) adalah nama sekelompok pemikir Muslim rahasia.
Mereka sangat disayangi oleh kaum Isma'iliyyah yang mengklaim kelompok ini sebagai bagian
dari mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa kelompok ini memang berasal dari sekte Syiah
Ismailiyyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni pada abad ke-4 H/10 M di Bashrah. 2
Ada kemungkinan kerahasiaan kelompok ini dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan
keyakinan) yang merupakan ajaran Syiah. Hal ini dilakukan karena basis kegiatannya berada di
tengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan dengan ideologi mereka. Tokoh terkemuka yang
menjadi pelopor organisasi ini ialah Ahmad ibn Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad ibn Nashr
al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid ibn Rifa'ah dan Abu al-Hasan Ali ibn
Harun al-Zanjany. Kelompok ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari Plato,
Aristoteles, dan Plotinus.
2
H. Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 139.
3
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan,
(Bandung: Mizan, 2003), hal. 275-276.
Ikhwan al-Shafa menelurkan hasil pemikirannya melalui proses sintetsis pemikiran era
Plato, Phytagoras, Aristoteles, dan banyak para filosof pada masa itu. Setelah mereka mencoba
memahami pemikiran para filosof tersebut, lalu mereka mencoba menghasilkan sebuah
pemikiran dengan menggunakan paradigma mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka berangkat
dari sebuah gagasan para filosof terdahulu, dan lalu memasukkan hasil pemikiran mereka
terhadap analisa gagasan tersebut.
Klasifikasi Epistemologi
Pada abad ke-17, pemikiran Renaissance mencapai kesempurnaannya. Hal ini terlihat dari
beberapa tokoh besar yang lahir pada masa itu. Pada abad ini tercapailah kedewasaan pemikiran.
Pada masa ini juga dipandang sebagai sumber pengetahuan yang secara alamiah dapat dipakai
manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri).4 Manusia memiliki indera yang
menghubungkannya dengan dunia luar dan memindahkan berbagai kesan inderawi dari alam
tersebut, serta untuk kemudian kesan-kesan itu ia sampaikan ke pusat-pusat syaraf tertentu.
Manusia juga memiliki akal yang bisa menguji dan mengkaji berbagai pikiran-pikiran internal
yang berseliweran di kepalanya. Di antara manusia, ada orang yang lebih dominan unsur akalnya
dan ada pula yang lebih dominan unsur inderanya. Oleh karena itu, para filsuf mempunyai dua
orientasi utama5:
Rasionalisme
Paham rasionalisme, mempunyai paham sebagai berikut ini.6 Pertama, sebagai sebuah mazhab
epistemologi, rasionalisme –relevan dengan sebutannya– hanya mengakui akal atau rasio sebagai
sumber pengetahuan yang absah. Tetapi, di sini para rasionalis tidak mengingkari pernanan
pancaindera atau pengalaman inderawi, hanya saja pengakuan mereka terhadapnya paling tinggi
hanya sebatas pembantu rasio, karena baginya indera memang tidak akan pernah menghasilkan
suatu pengetahuan. Kedua, rasionalisme mengakui dan menetapkan adanya pengetahuan a priori
4
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 18.
5
Fu’ad Farid Ismail & Abdul Hamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam), (Yogyakarta: IRCiSoD,
2012), hal. 59.
6
Muniron, M., Op.Cit., hal. 283.
pada diri manusia. Maka, sesuai dengan karakteristik yang telah disebutkan itu, rasionalisme
merupakan mazhab pemikiran yang memberikan penekanan kuat terhadap pentingnya peran
akal, idea, kategori, forma, sebagai sumber pengetahuan; sedangkan pancaindera diposisikan di
bawah rasio. Ketiga, sebagai kelanjutan karakteristik sebelumnya, kaum rasionalis menerapkan
penalaran deduksi sebagai metode yang valid; metode yang bergerak dari pengetahuan a priori
yang bersifat umum kemudian untuk memperoleh pengetahuan yang lebih khusus. Keempat,
teori kebenaran yang dianut kaum rasionalisme sesuai dengan karakter dasar penalaran deduksi,
yakni koherensi (konsistensi); suatu pernyataan akan benar apabila pernyataan tersebut koheren
dengan pernyataan sebelumnya.
Empirisme
Berikut akan dijelaskan prinsip dasar dan karakteristik dari empirisme. 7 Pertama, empirisme
menganggap sumber semua pengetahuan itu berasal dari pengalaman. Kedua, karena
pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah pengalaman inderawi, maka empirisme
memberikan penekanan yang sangat kuat terhadap peran pancaindera, sedangkan peranan akal
(rasio) dinomor-duakan, di bawah baying-bayang dominasi indera. Ketiga, empirisme menolak
segala bentuk pengetahuan a priori atau bawaan, semua pengalaman manusia bersifat a
posteriori, didasarkan dan muncul setelah pengalaman. Keempat, metode penalaran yang
diterapkan dalam empirisme adalah berfikir induksi, berangkat dari fakta atau particular-
partikular ke hukum-hukum universal sebagai konklusi. Kelima, teori kebenaran yang dianutnya
adalah korespondensi, suatu pernyataan adalah benar kalau objek yang terkandung dalam
pernyataan itu sesuai atau berkorespondensi kenyataan factual yang dituju oleh pernyataan itu.
Intuisionisme
Selain dua aliran atau mazhab yang popular tersebut, masih terdapat satu mazhab lagi, yaitu
intuisionisme. Berbeda dengan rasionalisme yang menekankan peranan akal (rasio) dan
empirisme yang lebih mengapresiasi peran indera, mazhab intuisionisme ini memberikan
apresiasi yang sangat kuat terhadap intuisi sebagai sumber atau sarana pengetahuan. Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa intuisi merupakan sarana atau alat untuk memperoleh pengetahuan
yang sebenarnya. Pengetahuan tentang realitas yang sebenarnya, bagi mazhab ini, tidak diperoleh
baik melalui akal (rasio) maupun indera, tetapi melalui perantaraan intuisi. Meski begitu, para
7
Ibid, hal. 288
intuisionis tidak pernah mengingkari peranan akal dan indera dalam keseluruhan sistem
bangunan pengetahuan manusia. Dalam konteks ini, peran intuisi lebih sebagai penyempurna
akal, khususnya menyangkut hal-hal yang berada di luar jangkauan akal.8
Karakter intuisi sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung. Antara
lain, dilatari oleh hal-hal berikut ini. Karena intuisi memiliki kemampuan dasar
mengintegrasikan, maka ia mengatasi tabir pembatas antara subjek dan objek, sehingga objek
ada pada diri subjek dan tercapai penyatuan antara keduanya. Selain itu, karena intuisi bertumpu
pada pengalaman-pengalaman batin-spiritual yang disebut pengalaman eksistensial, yakni
pengalaman yang secara langsung kita rasakan dan kita alami.
Untuk memahami pemikirannya tentang Ikhwan al-Shafa tentang objek pengetahuan, maka
terlebih dahulu harus dilacak dari konsepsinya seputar sifat “ada”. Menurutnya, sifat “ada” (al-
wujud), yang mereka kontraskan dengan “tiada” (al-‘adam), merupakan kualitas paling universal
dan niscaya di antara semua kualitas, sehingga sesuatu yang teratributi olehnya menjadi mungkin
untuk diketahui umat manusia (subjek yang mengetahui). Dalam konteks ini, mereka
mengkaitkan yang-ada (al-maujud), bandingan dari yang-tiada (al-ma’dum), dengan sumber
(alat) untuk mengetahui; yang-ada adalah yang mungkin dan atau dapat diketahui dengan salah
satu dari daya-daya mengindera (bi ihda al-quwa al-hassasah), salah satu daya-daya rasional (bi
ihda al-quwa al-‘aqliyyah) dan bukti demonstratif bersifat niscaya (al-burhan ad-dlaruri).
Implikasinya, yang tidak bisa dipersepsi indera, tidak bisa dikonsepsikan akal, dan tidak pula
ditegakkan lewat bukti demonstratif, mesti dinyatakan sebagai yang tiada. Secara substantif,
konsep ini tampaknya tidak berbeda, atau setidaknya tidak bertentangan (kontradiksi), dengan
pandangan para filosof pada umumnya.
Setidaknya, ada dua hal penting dari konsepsi Ikhwan al-Shafa. Pertama, mengenai
deskripsinya yang-ada, mereka menonjolkan dimensi ketauhidan. Dari perspektif pertama (tata
urutan kemunculan) dan kedua (kausa-kausa Aristotelian), Pencipta diapresiasi sebagai yang
bersifat unik, tidak serupa sedikitpun dengan ciptaan. Pada perspektif pertama, Tuhan unik
karena keberadaan-Nya tidak diikat oleh kausa apa pun. Pencipta lebih diapresiasi sebagai
Sumber (Sumber) segala yang-ada (ciptaan). Hal ini sesuai juga dengan filsafat Plotinus. Baik
8
Ibid, hal. 292
emanasi maupun hierarki, yang merupakan istilah-istilah kunci pada Neoplatonisme, tergambar
dengan jelas di dalam pemikiran Ikhwan al-Shafa. Mereka menyatakan:
Bagaimana kemurahan dan kebaikan yang terdapat pada Tuhan memancar dari-Nya
"melalui keniscayaan kebijaksanaan" sebagaimana cahaya dan kecemerlangan
memancar dari matahari. Produk pertama emanasi terus-menerus ini disebut Akal Aktif
(al-'aql al-fa'al), yang darinya kemudian memancar Akal Pasif (al-'aql al-munfasil) atau
Jiwa Universal; dari yang terakhir inilah memancar Materi Pertama.
Namun, perbedaan besar terlihat dalam hierarki wujud. Plotinus memostulatkan suatu
struktur yang relatif sederhana, tentang Yang Esa, Akal, dan Jiwa. Sedangkan Ikhwan al-Shafa
mengembangkan hierarki tersebut menjadi sembilang tingkat struktur, dengan urutan: Sang
Pencipta, Akal, Jiwa, Materi Pertama, Alam, Raga (Substansi Material) Mutlak, Bola Langit,
Empat Unsur, Wujud-wujud di dunia ini.9
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bawasannya Ikhwan al-Shafa
mencoba menggabungkan kedua pemikiran dari Aristoteles –akar pemikiran empirisme– dengan
Plato –akar pemikiran rasionalisme–. Dalam perolehan pengetahuan manusia, kiranya dapat
dipahamai bahwa kelompok ini mengakui arti penting akal dan indera. Dalam batas-batas
tertentu, kelompok ini melakukan pembaharuan kreatif terhadap pemikiran-pemikiran Aristoteles
dan Plato.
Sesuai dengan kompleksitas lingkup objek pengetahuan, yang menurut Ikhwan al-Shafa
wilayahnya mencakup hal-hal fisik-inderawi dan nonfisik-suprainderawi, maka mereka
menetapkan bereagam metode, yakni penginderaan (pengamatan), penalaran induksi dan deduksi
9
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Penerjemah Mizan,
(Bandung: Mizan, 2003), hal. 281
10
Muniron, M., Op.Cit., hal. 296
logis atau pembuktian secara demonstrative, serta periwayatan wahyu (juga Ilham). Metode
pertama menunjuk tindakan indera terhadap benda-benda fisik-inderawi (mahsusat, sensibles)
dengan cara pengamatan inderawi sehingga diperoleh gambaran-gambaran partikular tentangnya.
Sementara metode yang kedua (induksi), yang keberadaannya masih sangat terkait dan bahkan
bergantung pada penginderaan, merupakan tindakan rasio (akal) terhadap benda-benda inderawi
tadi dengan cara abstraksi dan generalisasi sehingga diperoleh pengertian umum tentang
bendabenda inderawi tadi.11
Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Muniron sebagai bagian bahan disertasinya, di dalamnya
ada pendapat menurut Mehdi Ha’iri Yazdi, yang mengungkapkan bahwasannya sistem
epistemologi yang mengintegrasikan peran penting indera dan akal merupakan karakter
epistemologi Islam, tentu dengan catatan masing-masing ditempatkan sesuai dengan proporsinya
yang tepat. Osman Bakar juga menyatakan, epistemologi Islam adalah bukan empirisme dalam
pengertian Barat yang secara eksklusif hanya menekankan peran penting rasio (akal) dan
menomor-duakan indera.
Kesimpulan
Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang ilmu pengetahuan.
Mengkaji artinya bermaksud untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang kompleks. Namun,
yang paling mendasar adalah tentang “apa” yang mungkin (dapat) diketahui oleh subjek
pengetahuan (manusia) dan “bagaimana” suatu objek itu bisa diketahui olehnya.
11
ibid, hal. 309
dalam prosesnya mereka menggabungkan kedua proses cara mendapatkan pengetahuan tersebut.
Sehingga, hal ini kemudian berbeda dengan aliran-aliran yang telah disebutkan di atas. Akan
tetapi, mereka belum sampai pada taraf yang lebih sempurna seperti dalam ilmu tasawuf. Dalam
ilmu tasawuf, sumber yang digunakan adalah pengetahuan langsung berdasarkan yang terjadi
atau intuisionisme.
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Fu’ad Farid & Abdul Hamid Mutawalli. Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam).
2012. Yogyakarta: IRCiSoD.
Nasr, Seyyed Hossein & Oliver Leaman. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. 2003. Terj. Tim
Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. 2012. Jakarta: Rajawali Pers.