Anda di halaman 1dari 10

EPISTEMOLOGI SAINS ISLAM PERSPEKTIF AGUS PURWANTO

Disusun oleh : Lia Apriyani ( 3920187181466 )

Nisrina Masikah ( 392018718144 )

Alisya Khodijah ( 3920187181447 )

A. Pendahuluan

Epistemologi sains Barat didasarkan pada penalaran (rasionalisme) dan


pengamatan (empirisme) sebagai basis konstruksi ilmu pengetahuannya.
Epistemologi sains Barat yang seperti itu dijadikan acuan dalam mengembangkan
pemikiran seluruh ilmuwan, sehingga secara praktis seakan-akan mayoritas
ilmuan di seluruh dunia mengikuti Barat, baik dalam hal pola pikirnya, pijakan
berfikirnya, metodologi berfikirnya, persepsinya terhadap ilmu pengetahuan, dan
lain sebagainya. Yang mana epistimologi sains barat telah menjadikan para
ilmuan beserta ilmu pengetahuan yang dihasilkannya semakin jauh dari norma-
norma agama, etika, dan budaya luhur umat manusia. Rasionalisme dan
empirisme yang menjadi dasar sains Barat akhirnya seperti menjadi mesin
penghancur manusia sendiri, karena adanya keterbatasan rasio dan pengamatan itu
sendiri dalam memahami hakikat alam dan diri manusia. Ilmu yang semula
ciptaan manusia telah melampaui dirinya sendiri, menjadi penguasa atas manusia
sendiri, dan telah menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk
kehidupan.

Dengan tersingkirnya wahyu dari sains, akhirnya para ilmuan Barat menjadi
ateis dan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya menjadi sekular, yang mana
mengakibatkan terjadinya berbagai krisis kemanusiaan, seperti pergaulan bebas,
free sex, eksploitasi manusia atas manusia lain, rusaknya lingkungan hidup,
menumpuknya limbah industri yang tidak memperhatikan sisi kemanuisaan, hal
ini terjadi karena agama yang seharusnya berfungsi sebagai pedoman hidup umat
manusia yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan
manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta,
telah ditinggalkan, dan digantikan oleh pengetahuan yang diperoleh dari akal dan
pengamatan, padahal akal dan pengamatan manusia memiliki keterbatasan untuk
dapat memahami hakikat alam dan diri manusia.

Dalam tradisi Islam tidak dikenal adanya dua kekuasaan, kekuasaan ilmu dan
kekuasaan agama, atau kekuasaan agama dan kekuasaan duniawi. Ilmu dan agama
diibaratkan antara ruh dan jasad, tidak ada pemisahan antara keduanya, ruh dan
jasad menyatu dalam satu kesatuan. Ilmu dan agama sama-sama digunakan
sebagai sumber kebenaran untuk memahami hakikat manusia dan alam semesta.

Intelektual Muslim dari era klasik sampai sekarang sepakat bahwa


epistemologi pengetahuan dalam Islam menekankan pada keseluruhan
pengetahuan akal, pengalaman dan realitas serta mendukung bukan hanya satu
melainkan sejumlah cara yang berbeda-beda dan saling terkait untuk mengkaji
dan memahami pengetahuan, dan lebih dari semua itu selalu tunduk pada nilai-
nilai kebenaran wahyu al-Qur’an yang kekal. Inilah letak perbedaan epistemologi
pengetahuan antara Islam dan Barat, yang mana Islam mengakui wahyu sebagai
salah satu sumber pengatahuan yang dapat diterima, selain sumber pengetahuan
yang lainnya.

B. Ruang Lingkup Epistemologi Pengetahuan dalam Islam

Epistemologi merupakan filsafat yang menyelidiki tentang sumber, syarat,


serta proses terjadinya pengetahuan.

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan, khususnya berkenaan dengan pencarian hakikat dan kebenaran
pengetahuan, cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan,
dan terkait dengan masalah asal mula ilmu pengetahuan itu diperoleh.

Menurut Louis Q. Kattsof sebagaimana yang dikutip oleh Juhaya S. Praja


mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan manusia itu ada lima macam, yaitu:

1. Empiris yang melahirkan aliran empirisme,


2. Rasio yang melahirkan aliran rasionalisme,
3. Fenomena yang melahirkan fenomenologi,
4. Intuisi yang melahirkan aliran intuisionalisme,
5. Metode ilmiah yang menggabungkan antara aliran rasionalisme dan
empirisme.

Memang masalah sumber kebenaran (epistemologi) itu sendiri memiliki


sikapyang berbeda antara Barat dan Timur. Smith dan Nolan membahas sikap
antara Barat dan Timur dalam hal pengetahuan, menurutnya Barat cenderung
menekankan dunia obyektif. Penekanan ini telah menghasilkan sains dan
teknologi di mana akhirnya Barat mampu menunjukkan keunggulannya. Melalui
pemikiran yang seperti itu maka Barat mampu menciptakan bermacam-macam
sains dengan kriteria ilmiah yang bersifat empiris dan rasional. Karena bagi barat
pengetahuan harus bersifat demikian, sehingga ia dapat diuraikan dalam istilah
yang bersifat deskriptif empiris atau disampaikan menurut peraturan logika.

Sedangkan pemikir Timur lebih mementingkan segi dalam dan watak pribadi
dari realitas yang berada lebih jauh dari dunia empiris. Filosof Timur lebih suka
mencari "pengetahuan dengan perkenalan" (knowledge by acquaintance) dan
lebih bersedia untuk menerima pengalaman dan kesaksian orang-orang dahulu,
sejarah dan intuisi yang menurutnya lebih dapat dipercaya. Filsafat adalah way of
life (cara hidup), suatu eksperimen dalam hidup. Watak benda-benda harus
diungkapkan, bukan dengan kesimpulan logika dari fakta-fakta dunia yang
berkeping-keping, tetapi dengan cara pengenalan melalui pengalaman pribadi,
namun untuk mendapatkan pengenalan atau pandangan dalam ini, akal dan jiwa
harus dibersihkan dari hambatan keinginan pribadi dan emosi yang mengganggu.

Perbedaan persepsi, sikap serta penekanan antara pandangan Barat dan Timur
yang menjadikan epistimologi yang tumbuh diantara keduanya menjadi berbeda.
Perbedaan tersebut karena prinsip dasar epistemologi Islam adalah menempatkan
wahyu (al-Qur’an dan Sunah) sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan yang
kemudian dinalar melalui akal sebagai keistimewaan bagi manusia, dan juga
panca indra (rasa) yang dapat membantu memperoleh pengetahuan. Sehingga
pengetahuan dalam Islam tidak hanya mempercayai apa yang dibenarkan oleh
akal (rasionalisme) dan pengamatan (empirisme) saja sebagaimana epistemologi
Barat, tetapi juga mempercayai sesuatu yang non-rasional dan non-empiris, seperti
keberadaan, malaikat, jin, surga, neraka, pahala, siksa, karena hal tersebut
dibenarkan dalam wahyu (intuisi) Islam.

C. Pemikiran Agus Purwanto Terkait Epistemologi Sains Islam dalam buku


Ayat-Ayat Semesta dan Nalar Ayat-Ayat Semesta

Menurut Agus Purwanto, hubungan Islam dengan sains dapat dikategorikan


dalam tiga bentuk, yaitu Islamisasi Sains, Saintifikasi Islam, dan Sains Islam.

1. Islamisasi Sains.

Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-


20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat sesuai dengan ajaran Islam. Usaha yang
dilakukan adalah mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun
dan membangun ulang sains sastra dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan
dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam.

2. Saintifikasi Islam

Saintifikasi islam adalah upaya mencari dasar sains pada suatu


pernyataanyang dianggap benar dalam Islam. Seperti :

 Penelitian dampak jangka panjang pada konsumsi makanan haram (babi,


bangkai, darah).
 Penelitian dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak
(EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-
orang yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa.

3. Sains Islam.

Sains Islam adalah sebuah upaya untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunah
sebagai basis konstruksi ilmu pengetahuan, sekaligus sebuah upaya untuk
menjadikanya mampu melakukan integralisasi yang baik dengan sains modern
yang sudah berkembang sebelumnya. Sains Islam dapat terwujud apabila terjadi
adanya kesadaran normatif (normative consciousness) dan kesadaran historis
(historical conciousness). Kesadaran normatif muncul karena secara eksplisit atau
implisit al-Qur’an dan al-Sunah menekankan pentingnya ilmu pengetahuan.
Kesadaran normatif tersebut kemudian menumbuhkan kesadaran historis yang
menjadikan al-Qur’an dan Sunah sebagai inspirasi dalam membaca realitas
kehidupan.

Epistemologi Sains Islam akan menempatkan wahyu sebagai sebuah sarana


mencari sebuah kebenaran pengetahuan dalam Islam. Wahyu atau al-Qur’an dapat
dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan, bahkan al-Qur’an dapat dikonfirmasi
kebenarannya oleh fenomena alam dan diri manusia. Namun tidak semua ayat
bercerita dan menyinggung masalah alam, sehingga tidak semua ayat
mengkonfirmasi fenomena alam. Ayat yang dikonfirmasi adalah ayat-ayat tentang
alam atau disebut dengan ayat kauniyah.

Agus purwanto telah mengkaji ayat-ayat Al- Qur’an dan menemukan 800
ayat-ayat kauniyah, yaitu ayat yang menyodorkan informasi awal pemahaman
alam semesta yang sampai saat ini belum pernah disentuh secara berarti. Melalui
analisis teks ayat-ayat kauniyah, dapat menemukan sesuatu yang terlewatkan oleh
para penela’ah Al-Qur’an dan menghasilkan pemahaman relative baru yang
berbeda dengan pemahaman sebelumnya. Dari sinilah, lahir kajian-kajian berupa
Islamisasi Sains (penelitian alam lalu dicarikan pembenaran dalam kitab suci),
Saintifikasi Sains (ajaran ubudiyah ditafsirkan dengan penelitian ilmiah), dan
Sains Islam (menjadikan al-Qur’an sebagai basis dan pijakan dalam
mengkonstruksi teori-teori baru ilmu pengetahuan).

Pola informasi Al-Qur’an tentang alam dapat diklasifikasikan menjadi 2


kelompok besar:

1. Informasi langsung secara langsung tanpa memerlukan penafsiran


lebih lanjut (ex. QS. An-Nahl (16): 69, yang menjelaskan tentang
madu yang keluar dari perut lebah yang dapat dijadikan sebagai
obat bagi manusia).
2. Informasi secara implisist dan memerlukan penafsiran lebih atas
redaksional ayat tersebut (ex. QS. an-Naml (27): 18, tentang seekor
semut yang memberikan perintah kepada semut yang lain. Bila di
kaji lebih lanjut, ditemukan sebuah hipotesis bahwa semut yang
memberikan perintah tersebut adalah seekor “ratu semut”)

Agus Purwanto mengatakan bahwa 800 ayat-ayat kauniyah tentang alam


semesta telah menyodorkan informasi-informasi yang luar biasa. Ayat-ayat
tersebut tidak memberikan pesan moral, melainkan informasi-informasi bagi awal
pemahaman yang lebih utuh tentang alam semesta: QS. Al-Mulk (67): 3-4, al-
Qur’an telah memberikan informasi bahwa langit terdiri dari tujuh lapis yang
bersesuaian (thibaqun) tanpa bagian yang bertentangan, tidak setimbang
(tafawutun) ataupun cacat (futhurun). Dari informasi dalam ayat ini, seharusnya
memberikan inspirasi para astronom atau kosmolog muslim untuk membangun
teori tentang alam semesta. Tujuh langit dalam informasi al-Qur’an tersebut harus
dijabarkan secara fisis, misalnya penjelasan tentang apa dan bagaimana
mekanisme pembentukannya, serta bagaimana hubungan antar lapisan langit.
Distribusi partikel yang bagaimana yang membuat formasi lapisan langit berada
dalam keseimbangan tersebut, sehingga langit-langit tersebut berada dalam
kesempurnaan, tanpa kerusakan atau cacat.

Dimulai dengan analisis teks itu sendiri, kata demi kata dalam kalimat,
apakah isim mu’annas atau mudzakkar, apakah mufrad, mutsanna, atau jama’, dan
apakah fi’il madhiy, mudhari’, atau amar. Analisis teks bertujuan untuk
menemukan hipotesis ilmu pengetahuan baru yang terinspirasi dari al-Qur’an.
Setelah melakuakan analisis teks, maka dilakukan observasi lapangan, atau
laboratorium dari fenomena terkait. Hasil analisis deskriptif dari riset luar angkasa
tersebut dapat diformalkan sebagai sebuah teori yang dapat diterima dan diuji
ulang oleh public.

Langkah ini dalam prakteknya telah dilakukan oleh Agus Purwanto,


sebagaimana yang telah dicontohkannya dalam membahas ayat-ayat al-Qur’an
dalam kaitanya dengan konstruksi ilmu pengetahuan, seperti: ketika membahas
bab tentang alam semesta ini, bumi dan evolusi bintang, struktur ruang waktu,
spin bumi, struktur interior bumi, sang ratu semut, gelombang longitudinal dan
tranversal, materi dan ruang dalam, antrean kuantum, ilmu dan teknologi besi cor,
perahu layar dan kapal laut, dan lain sebagainnya. Inilah letak epistemologi Sains
Islam, yaitu menjadikan wahyu (al-Qur’an dan as-Sunah) sebagai basis bagi
konstruksi ilmu pengetahuan guna pengembangan ilmu pengetahuan kedepan.

Contoh epistemologi Sains Islam yang digali dari analisis teks dalam al-
Qur’an dalam QS. anNaml (27): 18, disebutkan:

Artinya: Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah


seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu
tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.

Ayat yang menceritakan tentang semut tersebut merupakan sebuah contoh


dalam epistemologi Sains Islam. Analisis atas redaksi ayat, pada penggalan
kalimat qalat namlatun yang diikuti dengan harf nida’ berupa ya’ dan kata kerja
perintah berupa udkhulu, bermuara pada kesimpulan bahwa pemimpin masyarakat
semut adalah seekor Ratu Semut. Karena pemahaman tentang Ratu Semut adalah
merupakan hasil analisis bahasa, maka pemahaman ini perlu diuji langsung di
lapangan atau di laboratorium. Para Biolog Muslim perlu merancang tahap demi
tahap yang harus dilakukan untuk membuktikan hipotesis bahwa pemimpin
semuat adalah seorang Ratu. Laboratorium, dengan demikian sekaligus berperan
sebagai hakim, yang akan menentukan hipotesis bahwa pemimpin semut itu
betina adalah benar atau salah. Kebenaran tidak berhenti kepada tafsir atau dugaan
saja. Karena itu seorang Muslim dapat mengonfirmasi ayat-ayat kauniyah melalui
penelitian laboratorium.

Adapun metodologi yang digunkan dalam perspektif Agus Purwanto


selain menggunakan metode terjemah, metode tafsir, juga menggunakan metode
ta’wil, sebuah metode untuk menemukan makna batin (esoteris) / pendalaman
makna (intensification of meaning) dalam pengungkapan teks. Dalam pendalaman
makna tersebut, penyucian jiwa dipandang sebagai bagian dari metodologi
pengetahuan Islam. Selain menggunakan berbagai metodologi dalam
mengungkapkan kandungan makna al-Qur’an, juga diperlukan metodologi ilmiah
untuk melanjutkan dalam penelitian ilmiah dari makna al-Qur’an yang dimaksud,
agar memperoleh pengetahuan secara sistematis dengan melakukan pengamatan
serta membentuk hipotesis untuk menjelaskan fenomena alam, kemudian diuji
dengan melakukan eksperimen. Yang dengan langkah tersebut akhirnya dapat
ditemukan sebuah teori ilmiah.

Umat Islam hendaknya tidak hanya menjadi konsumen dari produk ilmu
pengetahuan dan teknologi negera-negara Barat, karena banyak sekali produk-
produk Barat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan Islam. Dari sini, maka
yang perlu dilakukan umat Islam adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berbasis ajaran-ajaran Islam yang digali dari wahyu (al-Qur’an dan
as-Sunah) sekaligus melakukan integrasi dengan sains modern yang telah
berkembang sebelumnya, dengan mengembangkan gagasan Sains Islam, yaitu
dengan cara mengkaji ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an untuk dapat
dikembangkan lebih lanjut dalam upaya menemukan teori-teori terbaru ilmu
pengetahuan.

Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh Islam dapat dijadikan sebagai


pengetahuan alternatif, sebagai critical theory pengetahuan lain yang memiliki
perspektif berbeda, atau sebagai pengembangan ilmu pengetahuan yang telah ada
sebelumnya.

Dalam tafsirnya al-Jawahir, Syaikh Thanthawi menulis bahwa di dalam


kitab suci al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat kauniyah, yaitu ayat tentang alam
semesta, dan hanya sekitar 150 ayat tentang fiqih. Namun, dari sekian ribuan
kitab-kitab fiqih, nyaris tidak memperhatikan dan tidak menulis kitab-kitab
tentang alam raya dan isinya.

Saat ini, Umat Islam masih memiliki pemikiran yang dikotomik terkait
dengan ilmu pengetahuan. Yang mana ilmu keislaman yang wajib dipelajari hanya
dibatasi dengan hal-hal yang terkait dengan ilmu-ilmu ukhrawi (ilmu kalam, fiqh,
tafsir, hadits, dan tasawuf). Sedangkan ilmu-ilmu umum yang dianggap sebagai
ilmu duniawi (filsafat, kedokteran, pertanian, kimia, fisika, matematika, kimia,
geologi, astronomi,dan sebagainya) tidak wajib dipelajari. Dengan kondisi seperti
ini. dapat dipastikan umat Islam tidak akan dapat berkembang, dan hanya akan
mengekor pada kemajuan Barat.

Karena itu, umat Islam saat ini harus segera merubah worldview, pola
pikir, mindset, terkait pemahaman tentang ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu
pengetahuan dapat dikembangkan dan bermanfaat untuk umat manusia pada
umumnya (rahmatan lil alamin) dan pada kita umat Islam khususnya.
Mempelajari agama ataupun mempelajari sains sama-sama memiliki nilai ibadah,
karena kedua bidang tersebut sebenarnya memiliki dasar metafisik yang sama dan
tujuannya sama-sama untuk mengungkapkan ayat-ayat Tuhan. Kegiatan ilmiah
yang dibarengi keyakinan religius akan dapat menambah motivasi yang tinggi
bagi kerja ilmiah tersebut.

Kemudian efek lain yang dapat ditimbulkan dari keyakinan religius


terhadap sains adalah di wilayah penerapan sains, yaitu agama dapat berfungsi
mengorientasikan sains pada arah penguatan kapasitaskapasitas spritual manusia
dan dalam mencegah penggunaan sains bagi tujuan-tujuan yang bersifat negatif.

E. Kesimpulan

Agar peran agama tidak tersingkirkan dan agar ilmu pengetahuan modern
tidak menjadi sekuler, Worldview umat Islam harus diubah terkait pemahaman
tentang ilmu pengetahuan. Menurut Agus Purwanto sebagai intelektual Muslim,
baginya epistemologi Sains Islam adalah epistemologi sains modern plus atau
diperluas, yaitu plus penerimaan wahyu sebagai sumber informasi dan plus
metodologi yang tidak tunggal atau kemajemukan metodologis. Langkah yang
dilakukan adalah melalui analisis teks 800 ayat-ayat kauniyah tersebut, sehingga
dihasilkan hipotesis teoritis, dilanjutkan dengan observasi dan eksperimentasi
terhadap alam secara langsung. Melalui langkah tersebut, akan dihasilkan temuan-
temuan baru ilmu pengatahuan berparadigma wahyu yang fresh, kreatif, dan
inovatif. Inilah epistemologi pengetahuan dalam Sains Islam, yang dalam
konstruksi pengetahuannya tidak hanya menggunakan rasio dan pengamatan
(rasionalisme dan empirisme), tetapi juga menggunakan wahyu (intuisionisme)
sebagai sumber pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai