Anda di halaman 1dari 14

Secara filosofis, ilmu pengetahuan dan agama berbeda namun secara

historis pernah dilakukan upaya-upaya konsolidatif baik dalam konteks


kontraproduktif maupun dalam konteks mutualistik sebagai sumber pengetahuan
dan nilai kehidupan manusia.3

Menurut Agus Purwanto, hubungan Islam dengan sains dapat


dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu Islamisasi Sains, Saintifikasi Islam, dan
Sains Islam.4

 Islamisasi Sains. Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-


penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat
sesuai dengan ajaran Islam. Usaha yang dilakukan adalah mengislamkan
ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang
sains sastra dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan
tujuan- tujuan yang konsisten dengan Islam. Hubungan ini mendapatkan
banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar menghubung-
hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan. Hubungan ini juga
bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa
depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model
analisis yang baru. Penemuan dan teori sains Barat selalu berubah-ubah,
contohnya dari paradigma klasik Newton yang kemudian berubah menjadi
paradigma quantum Planck dan kenisbian Einstein.
 Saintifikasi Islam adalah upaya mencari dasar sains pada suatu pernyataan
yang dianggap benar dalam Islam. Contohnya, (1) Penelitian dampak
jangka panjang pada konsumsi makanan haram (babi, bangkai, darah). (2)
Penelitian dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak
(EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang- orang
yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa.
 Sains Islam. Sains Islam adalah sebuah upaya untuk menjadikan al-Qur’an
dan as-Sunah sebagai basis konstruksi ilmu pengetahuan, sekaligus sebuah
upaya untuk menjadikanya mampu melakukan integralisasi yang baik
dengan sains modern yang sudah berkembang sebelumnya. Sains Islam
dapat terwujud apabila terjadi adanya kesadaran normatif (normative
consciousness) dan kesadaran historis (historical conciousness). Kesadaran
normatif muncul karena secara eksplisit atau implisit al-Qur’an dan as-
Sunah menekankan pentingnya ilmu pengetahuan. Kesadaran normatif
tersebut kemudian menumbuhkan kesadaran historis yang menjadikan al-
Qur’an dan as-Sunah sebagai inspirasi dalam membaca realitas kehidupan.
Maka tumbuhlah kesadaran bahwa petunjuk al-Qur’an tentang sains tidak
akan membumi tanpa usaha sadar dari para saintis untuk membaca realitas,
baik kemajuan sains yang pernah diraih oleh bangsa lain, maupun
melakukan kontekstualisasi ajaran dalam al-Qur’an dan as-Sunah dalam
kegiatan penelitian sains.

Dalam perspektif Filsafat Ilmu, keilmiahan dari bangunan keilmuan atau


aktifitas ilmiah pada umumnya memang sangat ditentukan oleh ketepatan dalam
penggunaan teori dan pada akhirnya juga metodologinya. Ketepatan itu dapat
diukur dari terbukanya perspektif baru dan perspektif yang lebih luas dari teori
sehingga ditemukan lebih banyak bukti pendukungnya, juga diukur dari
ketahanannya dari proses falsifikasi dan refutasi. Namun demikian tetap tidak
mengabaikan sisi-sisi sosiologis-historis dari paradigma ilmiah, juga sisi teologis-
metafisis dari asumsi dasar. Karena bagaimanapun ketiganya merupakan bagian
tak terpisahkan dari bangunan kailmuan. Jika yang pertama merupakan basis logis
dan

objektifitas sains, lalu yang kedua merupakan aspek kemanusiaan dari sains, maka
yang ketiga adalah basis keyakinan, keimanan, dan keberagamaan dari sains.5

1. Definisi Integrasi Islam dan Ilmu Pengetahuan (Science)

Sains menurut bahasa berasal dari bahasa Ingrias science, sedangkan kata
science berasal dari bahasa Latin scientia. Yang berasal dari kata scine yang
artinya adalah mengetahui. Kata sains dalam bahasa Ingris diterjemahkan sebagai
al-‘ilm dalam bahasa Arab. Dari segi istilah sains dan ilmu bermakna pengetahuan
namun demikian menurut Sayyid Hussen Al-Nasr kata science dalam bahasa
Inggris tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa Arab sebagai AlIlm, karena
konsep ilmu pengetahuan yang dipahami oleh barat ada perbedaannya dengan
ilmu pengetahuan menurut perspektif Islam.

Ada beberapa pendapat tentang difenisi sains menurut Istilah, namun


secara umum dapat diartikan sebagai keutamaan dalam mencari kebenaran. Di
dalam the New Colombia Encyclopedia, sains diartikan sebagai satu kumpulan
ilmu yang sistematis mengenai metapisik yang bernyawa dan yang tidak
bernyawa, termasuk sikap dan kaedah-kaedah yang digunakan untuk mendapatkan
ilmu tersebut. Oleh sebab itu sains adalah merupakan sejenis aktivitas dan juga
hasil dari aktivitas tersebut. Tidak jauh berbeda apa yang dikatakan oleh
R.H.Bube, menurutnya sains adalah pengetahuan yang berkaiatan dengan alam
semula jadi yang diperoleh melalui interaksi akal dengan alam.

Berdasarkan defenisi diatas dapat ditegaskan bahwa sains adalah suatu


proses yang terbentuk dari interaksi akal dan panca indera manusia dengan alam
sekitarnya. Dengan arti kata, objek utama kajian sains adalah alam empirik
termasuk juga manusia. Sedangan objek sains yang utama adalah mencari
kebenaran.

Sejarah Integrasi Islam dan Ilmu Pengetahuan (Science)

Disintegrasi sains dan agama menyebabkan adanya krisis epsistemologis


dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Sains yang membatasi diri hanya terbatas
kepada objek empirik dengan bertumpu kepada kemampuan indera manusia
sebagai instrumen pengetahuan dan rasionalitas sebagai tolok ukur kebenaran
telah menyebabkan manusia tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh
pengatahuan dari sumber lain yang bisa menjangkau ranah metafisika,
suprarasional, dan pada tingkat yang lebih parah adalah terlepasnya etika dari
sains itu sendiri. Hilangnya etika yang merupakan bagian dari ajaran agama (dan
tentunya juga merupakan bagian dari filsafat sebagai sokoguru sains) dari diri
sains lebih jauh berakibat pada krisis eksistensial manusia modern tentang hakekat
dan makna kehidupan yang berdampak pada krisis spiritual, hilangnya makna,
visi, dan legitimasi kehidupan, serta rasa terasing dari diri manusia itu sendiri.6
Krisis eksistensial bermula saat manusia (saintis) modern mengingkari
keberadaan Tuhan dan mengharap janji kebahagiaan yang ditawarkan oleh
saintisme pasca era renaisans (abad pencerahan) di dunia Barat. Saintis
berpandangan bahwa alam yang wujud ini berjalan secara evolutif dengan pola
saling mencipta dengan sendirinya dan tidak bergantung pada hal di luarnya.
Alam semesta dianggap sebagai sesuatu yang kekal wujudnya dan berkembang
sesuai dengan hukumnya sendiri dan tidak bergantung pada tuhan sebagai
pencipta. Kebahagiaan dalam pandangan saintis dimaknai sebagai bersumber dari
dunia materi (dunia yang terindera) belaka yang perkembanganya selalu
beriringan dengan perkambangan dan kemajuan sains yang dicapai oleh umat
manusia.7
Integrasi Islam dengan sains sangat diperlukan bagi umat Islam. Islam
memerlukan sains untuk menguatkan dogma ajarannya sedangkan sainstis
memerlukan Islam sebagai pembimbing orientasi kearah yang sebagaimana
mestinya. Melengkapi pernyataan Emanual Kant, sebagaimana dikutip Suparman
Syukur, yang mengatakan bahwa indera dapat menyerap sesuatu, akal dapat
memikirkan sesuatu, sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan, maka agama
dapat

membimbing ilmu pengetahuan ke arah yang benar, yakni untuk kebaikan


manusia dan keseimbangan kosmos.8
Upaya untuk mengintegrasikan Islam dan sains banyak dilakukan oleh
sarjana Islam kontemporer, baik melalui pola dewesternisasi ilmu oleh M. Naquib
al-Attas, Islamisasi ilmunya Raji al-Faruqi, Ziauddin Saddar dengan Islam
peradabannya, Mehdi Golshani dengan ide sains Islam ataupun ilmuisasi Islam
seperti yang digagas oleh Kuntowijoyo melalui integralisasi dan objektifikasi.
Selain itu, upaya integrasi juga mulai banyak dilakukan oleh para cendekiawan
muslim di beberapa perguruan tinggi, seperti Amin Abdullah (teori jaring laba-
labanya) dan Imam Suprayogo (dengan pohon ilmunya). Dalam tataran lebih
konkrit, integrasi Islam dan sains berwujud dalam bentuk metode studi Islam
melalui pendekatan multidispliner, interdisipliner, dan transdisipliner
sebagaimana digagas oleh Mujamil Qomar dan Amin Abdullah.9
Agama dengan sistem ketuhanannya (abstrak-supra rasional), dan filsafat
dengan rasionalnya (abstrak-rasional), dengan demikian, harus dianggap tidak ada
sebab bertentangan dengan paradigma sains tersebut. Pembatasan objek kajian
sains hanya pada wilayah empiris, sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir,
seharusnya tidak dimaknai sebagai bentuk penolakan sains terhadap keberadaan
hal-hal yang ada di luarnya, akan tetapi justru harus dipandang sebagai bentuk
kelemahan sains yang hanya mampu menangkap realitas yang terindera semata
dan sekaligus dijangkau oleh akal pikiran.10
Sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Tuhan itu sendiri yang
dalam proses pengajarannya kepada manusia dilakukan melalui dua instrumen,
yakni melalui penciptaan mikro dan makro kosmos berbentuk fenomena empirik
dan melalui pengalaman batin (wahyu, intuisi) berbentuk fenomena al-Quran dan
Hadis. Dalam memahami ilmu pengetahuan yang terkandung dalam keduanya,
manusia melalui akal dan inderanya dituntut melakukan interpretasi secara aktif
dan terus berkelanjutan untuk menuju satu titik sumber ilmu pengetahuan dan
kebenaran hakiki, yakni Tuhan itu sendiri. Dalam kaitan inilah kiranya layak
meminjam terminologi kaum sufi tentang tingkatan keyakinan kebanaran relitas.
Petama, ilm al-yaqin (pengetahuan tentang kebenaran) yang dihasilkan melalui
burhani (metode menemukan kebenaran yang didasarkan pada keselarasan
logikatanpa perlu melihat informasi teks maupun kenyataan empirik). Kedua, ain
al-yaqin (realitas kebenaran) yang didapatkan melalui bayani (metode
memperolah kebenaran dengan berdasar pada penafsiran ayat qawliyah maupun
ayat kawniyah). Ketiga, haqq al-yaqin (hakekat atau inti kebenaran) yang
didapatkan melalui irfani (sebuah metode menemukan kebenaran melalui
pengalaman spiritual secara langsung).
Dengan demikian, upaya untuk menghubungkan dan memadukan antara
sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukan,
karena identitas atau watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang,
atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Jika tidak,
mungkin saja yang diperoleh dari hasil hubungan itu “bukan ini dan bukan itu”,
dan tak jelas lagi apa fungsi dan manfaatnya. Integrasi yang diinginkan adalah
integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi
yang menghasilkan kontribusi baru untuk sains dan agama yang dapat diperoleh
jika keduanya tidak terpisahkan. Dalam kasus paradigma epistemologi Islam,
integrasi antara agama dan sains adalah sesuatu yang mungkin adanya, karena
didasarkan pada gagasan Keesaan (tauhid). Dalam hal ini, ilmu pengetahuan, studi
tentang alam, dianggap terkait dengan konsep Tauhid (Ke-Esa-an Tuhan).
Sementara itu Ian G. Barbour merumuskan konsepsi integrasi agama dan
sains, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu (Natural Theology), atau
dari sisi agama (Teology of Nature). Alternatifnya adalah berupaya menyatukan
keduanya di dalam bingkai suatu sistem kefilsafatan, misalnya Process
Philosophy. Maka Barbour sendiri secara pribadi cenderung mendukung
usaha penyatuan

melalui Theology of Nature yang digabungkan dengan penggunaan Process


Philosophy secara berhati-hati. Selain itu, Barbour, juga sepakat dengan
pendekatan dialog atau perbincangan. Akan tetapi tidak jelas apakah dukungannya
terhadap perpaduan atau integrasi lebih kuat, atau apakah pandangannya justru
lebih berat pada dialog atau perbincangan.12
Sejak dasawarsa 1970-an hingga sekitar awal 1990-an, menurut Zainal
Abidin Bagir,telah berkembang sebuah dinamika baru di dunia Islam, khususnya
dalam persoalan relasi antara Islam dan ilmu pengetahuan, dengan munculnya
Islamic science (ilmu pengetahuan Islam) atau Islamisasi ilmu (Islamization of
knowledge). Beberapa nama inteletual Muslim bermunculan berusaha memaknai
istilah tersebut dengan cara yang beragam, bahkan tidak jarang saling bersilang
pendapat.13
Golshani adalah saintis Muslim yang termasuk generasi paling baru
intelektual Muslim yang begitu tertarik dengan wacana relasi agama (baca: Islam)
dengan sains modern. Pandangannya relatif jauh lebih akomodatif terhadap sains
modern, jika dibanding dengan para pendahulu, seperti Ziaudin Sardar dan Syed
Hussen Nasr. Dalam diskursusnya, menurut Kuswanjono, Golshani menggu nakan
istilah ilmu sakral (sacred sciences) dan ilmu sekuler (secular sciences). Golshani
menjelaskan bahwa ilmu sakral adalah ilmu yang terbingkai dalam pandangan
dunia teistik; yang memandang Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara semesta
dan tidak membatasi wujud hanya dalam wilayah material, sembari meyakini pada
tujuan bagi alam ciptaan dan mengakui aturan moral yang ditetapkan-Nya.
Sementara ilmu sekuler adalah ilmu yang dibangun dengan paradigma yang sama
sekali mengabaikan semua hal yang dipedomani ilmu sakral tersebut.14

B. Cabang Ilmu Pengetahuan (Science)

1. Cabang Ilmu Pengetahuan (Science) Sekuler

Peradaban Barat memiliki ciri khas yang unik, peradaban yang


dikembangkan oleh negara-negara Eropa bersatu dan terintegrasi dengan
peradaban Yunani kuno, peradaban Romawi, dan beradaptasi dengan unsur-unsur
budaya Eropa, terutama Jerman, Inggris dan Perancis. Prinsip-prinsip dasar
filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan diambil dari Yunani. Untuk mengambil
prinsip- prinsip hukum dan konstitusi dari Roma. Sedangakan agama diambil dari
Kristen, berasal dari Asia Barat yang identik dengan budaya Barat.5 Oleh karena
itu, peradaban Barat adalah peradaban yang terdiri dari berbagai elemen,
sedangkan agama sendiri merupakan salah satu dari komponen pembentukan
peradaban Barat.

Selain itu, adanya sekularisasi yang merujuk pada ajaran Kristen dalam
Gospel Matius XXII: 21 tercatat ucapan Yesus: ‘’Urusan kaisar serahkan kepada
kaisar dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.’’ Implikasinya yaitu
bahwasanya agama tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan politik. Dari sini
maka muncullah dikotomi antara kekuasaan Raja dan otoritas Gereja, antara
Negara dan agama. Bahkan St. Agustin membedakan antara kota Bumi (civitas
terrena) dan kota Tuhan (civitas dei).15

2. Cabang Ilmu Pengetahuan (Science) Islam

Wahyu pertama yang turun diawali dengan kata Iqra’, yaitu “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”, menjadi starting point
bagi munculnya semua fitur psikologis masyarakat Arab sehingga berubah dan
menghasilkan iklim mental baru. Selain itu terlihat semacam tes yang dilakukan
al- Qur’an pada kaum muda dengan pertanyaan “Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Ayat ini disajikan
dalam bentuk pertanyaan retoris sebagai ujian dan fokus dalam hati nurani Islam
akan nilai pengetahuan. Dengan demikian ilmu dalam pengertiannya yang paling
sederhana adalah mencari kebenaran di setiap bidang, dalam etika, undang-
undang, sosial, kedokteran, alam, dan sebagainya. Al-Qur’an sendiri ingin agar
ayat itu dibebaskan dari pembatasan ini, guna kemajuan pemikiran dan sains.16

C. Ilmu Pengetahuan perspektif ‘Ulama

1. Ilmu Pengetahuan perspektif Al-Farabiy

Dalam perjalanan studi filsafat secara historis, sudah jamak diketahui


bahwa filosof Muslim pertama biasanya disandarkan kepada Abu Ya‟qub al-
Kindi (w. 866 M), yang memiliki pengetahuan yang sangat luas sebagaimana
tergambar di dalam karya-karyanya yang meliputi semua bidang keilmuan dari
astronomi hingga psikologi, fisika hingga metafisika. Namun demikian, di tangan
al-Farabi-lah formulasi, konsep, teori dan kurikulum pendidikan sains dan ilmu
agama disajikan secara sistematis dan integratif.17

Menurut al-Farabi, kata sains atau ilmu („ilm, science) dapat disandarkan
kepada berbagai macam objek, seperti ilmu metafisika („ilm al-Ilahi), ilmu
matematika („ilm al-ta„alim atau „ilm al-riyadiyah), ilmu fisika („ilm al-
tabi„iyyat), ilmu politik („ilm al-madani), ilmu etika („ilm al-akhlaq), dan objek-
objek yang lain. Dalam kitabnya Fusul Muntaza„ah, al-Farabi menyebutkan
bahwa ilmu (science) pada dasarnya adalah bagian dari keutamaan pengetahuan
reflektif (alnazari) yang terdapat pada jiwa, dan melalui jiwa itulah kepastian
(certainty) adanya entitas wujud dapat diperoleh, bukan hasil buatan dan usaha
manusia. Dengan sains seperti ini seseorang dapat menentukan apa saja bagian-
bagiannya dan bagaimana cara untuk menentukan entitas-entitas tersebut benar
secara pasti, universal, dan memiliki premis-premis primer yang dapat diketahui
dan digambarkan oleh akal secara pasti, berbeda dengan pengertian sains seperti
yang dipahami oleh Barat.18

Salah satu klasifikasi permulaan dan paling berpengaruh yaitu yang dibuat
oleh Al-Farabi dalam bukunya perincian sains (Ihsha’ al-’Ulum), Buku tersebut
dikenal di barat dengan sebutan De Scientiis. Buku tersebut banyak diterjemahkan
ke berbagai bahasa baik bahasa Latin dan juga diterjemahkan ke dalam bahasa
Ibrani. Adapun klasifikasi dalam perincian sains dapat disimpulkan sebagai
berikut:

a. Ilmu bahasa, diantaranya adalah: gramatika, pengucapan dan turunan,


puisi.

b. Ilmu logika.

c. Sains persiapan, diantaranya adalah aritmatika, geometri, optika, sains


tentang langit (astrologi dan bentuk-bentuk serta gerak benda langit, musik, ilmu
tentang timbangan, ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan
instrumen- instrumen sederhana untuk digunakan dalam berbagai seni dan sains,
seperti astronomi dan musik).

d. Fisika (sains kealaman) dan metafisika (yang berhubungan dengan


Tuhan dan prinsip-prinsip benda). Adapun bahasan dari fisika adalah: 1) ilmu
tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam; 2) ilmu tentang sifat
dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi elemen menjadi benda; 3)
ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda; 4) ilmu tentang reaksi yang
terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk ikatan; 5) ilmu tentang benda-
benda ikatan yang terbentuk dari 4 elemen dan sifat-sifatnya; 6) ilmu mineral,
ilmu tumbuhan, dan ilmu hewan. Adapun bahasan dari metafisika adalah: 1) Ilmu
tentang hakikat benda;
2) ilmu tentang prinsip-prinsip sains dan pengamatan; 3) ilmu tentang benda non
jasadi yang akhirnya menuju kepada ilmu tentang kebenaran yaitu mengenai
Allah.

e. Ilmu kemasyarakatan: jurisprudensi dan retorik.

2. Ilmu Pengetahuan perspektif Al-Ghazali

Imam al-Ghazālī membelah ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu praktis
dan ilmu teoritis. Ilmu praktis mencakup tiga hak, pertama, hak Allah yang
harus
dipenuhi hamba dalam menjalani ibadah pada-Nya, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, jihad, dzikir, do’a, ibadah sunnah dan berbagai bentuk kewajiban lainnya.
Kedua, hak hamba sebagai makhluk sosial dalam hidup bermasyarakat. Dalam
konteks ini ada dua bagian; 1. Mu`āmalah (transaksi guna memenuhi kebutuhan
hidup antar sesama), seperti jual beli, syirkah, hibah, hutang piutang dan
sebagainya; 2. Mu`āqadah (transaksi dalam rangka penghalalan dan pembebasan),
seperti nikah, talak, pemerdekaan budak, waris dan sejenisnya. Ilmu semacam ini
termasuk dalam ranah ilmu fiqh. Ketiga, hak jiwa dalam menghiasi diri dengan
sifat-sifat terpuji dan mensterilkannya dari sifat- sifat tercela. Di karya yang lain,
al-Ghazālī membagi ilmu menjadi lima bagian, yaitu: a) ilmu pokok (ilmu ushūl)
yang wajib diketahui, seperti iman terhadap eksistensi Allah, para Malaikat, para
Rasul, kitab dan hari kiamat; b) ilmu ibadah yang berkaitan dengan badan dan
harta;
c) ilmu yang berhubungan dengan panca indera; lisan, kemaluan, perut, pende-
ngaran dan penglihatan; d) ilmu akhlak tercela yang wajib dihilangkan dari lubuk
hati; dan e) ilmu akhlak terpuji yang wajib menghiasai dalam hati sanubari.

Imam al-Ghazālī juga membagi ilmu ditilik dari segi logika pada tiga
bagian yaitu, tingkat pertama, Ilmu al-riyādhī dan ilmu al-manthiqī. Ilmu al-
riyādhī adalah ilmu yang membahas tentang hitungan, ukuran- ukuran, bentuk-
bentuk, keadaan sebuah benda. Yang termasuk ilmu jenis ini adalah matematika,
arsitek, astronomi, geografi. Ilmu al-manthiqī adalah ilmu yang mengkaji tentang
cara pembuatan definisi dan gambaran sesuatu secara tepat dan akurat. Tingkat
pertengahan, ilmu althabī`ī adalah ilmu yang mempelajari tentang tubuh manusia
maupun hewan, unsur-unsur alam semesta, hal ihwal benda-benda langit.
Pengkajian terhadap objek tersebut melahirkan ilmu kedokteran, ilmu
pertambangan dan ilmu kimia. Dan tingkat tertinggi, perenungan mengenai
maujūd (being). Perenungan terhadap maujūd bisa menghasilkan pengetahuan
adanya Dzat Pencipta, seluruh sifat dan perbuatan-Nya, hikmah dan ketentuannya.

Dalam pandangan al-Ghazālī, ilmu ditelisik dari segi objek kajiannya


terbelah pada enam macam, yaitu:
 Ilmu al-Riyādhiyah (ilmu matematika), yaitu yang berkaitan dengan ilmu
hisab (matematika) dan ilmu arsitek/ilmu geometri. Ilmu semacam ini
disebut dengan ilmu pasti yang tidak terbantahkan lagi setelah didukung
bukti-bukti kongkrit.
 Ilmu al-Manthiqīyah (ilmu logika), sama sekali tidak berhubungan dengan
persoalaan agama, ia berkutat dalam ranah pemikiran menyangkut metode-
metode dalil, analogi, silogisme, syarat-syarat definisi yang benar dan cara
penyusunannya. Ilmu adakalanya berbentuk tashawwur (deskripsi), cara
memahaminya melalui definisi dan adakalnya tashdīq, cara
mengungkapnya dengan menghadirkan bukti-bukti.
 Ilmu al-Thābi`īyah (ilmu fisika), yaitu ilmu yang mengkaji tentang langit,
bintang-bintang, benda-benda antariksa dan benda yang berada di muka
bumi, baik yang memiliki satu bentuk, seperti air, udara, tanah, api
ataupun yang beragam bentuk, seperti hewan, tumbuhtumbuhan dan
barang-barang tambang.
 Ilmu al-Ilāhīyāt (ilmu teologis). Menurut al-Ghazālī, para teolog seringkali
terjerembab dalam jurang kekeliruan lantaran nalar logika mereka
melenceng dari garis-garis ilmu logika, sehingga memercikkan
perselisihan pendapat di antara mereka. Akibatnya, pemikiran Aristoteles
menyangkut ketuhanan dimasukkan dalam teologi umat Islam
sebagaimana diutarakan
oleh al-Farabi dan Ibnu Sīna. Dalam penilaian al-Ghazālī, terdapat dua
puluh kesalahan pokok yang mereka lakukan, tiga di antaranya termasuk
bentuk kekufuran dan tujuh belas sisanya tergolong bid’ah. Adapun tiga
masalah yang bersebrangan dengan pemahaman umat Islam adalah: a.
tubuh manusia tidak akan dihimpun kembali, ruh lah semata yang hanya
mendapatkan pahala dan siksa. Pahala dan siksa bersifat rūhīyah
(imaterial) bukan jismiyah (material) b. Allah mengetahui sesuatu secara
global bukanlah secara parsial. Pandangan ini berlawanan dengan firman
Allah dalam surah Saba’ ayat (Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya
sekalipun seberat zarrah yang ada di langit dan yang ada di bumi, yang
lebih kecil dari
itu atau yang lebih besar, semuanya (tertulis) dalam kitab yang jelas), c.
alam telah dahulu dan bersifat azali.

 Ilmu al-Siyāsiyah (ilmu politik), yaitu yang berkenaan dengan persoalaan


dunia dan politik kekuasaan. Ilmu jenis ini diperuntukkan dalam menata
Negara dengan pertimbangan kemashlatan rakyat.
 Ilmu al-Khuluqiyah (ilmu etika), yaitu yang bersangkutpaut dengan sifat-
sifat jiwa, akhlak, jenis-jenis jiwa, macam-macam jiwa, cara mengobati
dan membeningkannya. Varian ilmu ini hanya dihasilkan dari perkataan
para sufi, ahli ibadah yang senantisa berdzikir (ingat) Allah, menjauhi
dorongan hawa nafsu dan menuju Allah dengan menanggalkan
kenikmatan- kenikmatan duniawi. Langkah semacam ini yang bisa
menyingkap sifat- sifat terpuji, aib-aib jiwa dan penyakit- penyakitnya.

Imam Al Ghazali mendapat perhatian yang besar dari para ulama Islam
karena kedalamannya dalam berbagai bidang ilmu. Upaya menguak hakikat ilmu
terlihat dalam pembahasan awal kitabnya yang sangat terkenal, Ihya Ulumuddin.
Ia mencoba membuat sebuah klasifikasi ilmu mutakhir berdasarkan
pengamatannya pada pekerjaan ulama terdahulu dalam bidang yang sama.
Sebelum al-Ghazali, beberapa ulama seperti al-Kindi dan al-Farabi pernah
membuat klasifikasi ilmu pengetahuan.

Secara umum menurut Imam Al Ghazali, Ilmu terbagi menjadi dua


klasifikasi diantaranya Ilmu Muamalah dan Ilmu Mukasyafah.

a. Ilmu Muamalah

Ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai
mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial
syari’ah. Ilmu muamalah terdiri dari ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu khifayah.
Ilmu Fardhu ‘Ain sendiri hanya membahas ilmu Syari’ah yang mengetahui
perkara halal dan haram serta mengetahui perkara yang halal dan haram dalam
bermuamalah. Sedangkan Ilmu Fardhu Khifayah adalah ilmu yang wajib
dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya.
b. Ilmu Mukasyafah

Ilmu Mukasyafah merupakan ilmu yang langsung diberikan oleh Allah SWT
dengan perantara pengilhaman, kepada hati orang Mukmin yang bersih. Ilmu
mukasyafah diperoleh dengan cara membersihkan hati, tobat, iman, dan takwa.
Disebut ilmu mukasyafah karena pengetahuan ini lebih pada pengalaman yang
menimbulkan sebuah kesadaran.

3. Ilmu Pengetahuan perspektif Mulla Sadra

Ilmu dan agama memiliki empat hubungan, meliputi: konflik, independen,


dialog dan integrasi. Integrasi juga memiliki beberapa tipe, yaitu integrasi teologis
(Ian Barbour), agama sebagai konfirmasi ilmu (John Haught), integration of
knowledge (Oliver L. Reiser), Islamisasi ilmu (Naquib Al Attas dan Ismail Raji
Al Faruqi), dan pengilmuan Islam (Kuntowijoyo). Kedua, konsep integrasi ilmu
dan agama dalam perspektif Filsafat Mulla Sadra merupakan integrasi filosofis
yang dibangun di atas landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi. Secara
ontologis hubungan ilmu dan agama adalah integratif-interdependentif, yaitu ilmu
dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan
tidak ada agama tanpa ilmu. Secara epistemologis, hubungan ilmu dan agama
bersifat integratif- komplementer, yaitu seluruh metode yang diterapkan dalam
ilmu dan agama (panca indera, rasio, intuisi dan wahyu) secara sinergis diterapkan
dalam menemukan kebenaran. Secara aksiologis, hubungan ilmu dan agama
bersifat integratif- kualifikatif, artinya seluruh nilai (kebenaran, kebaikan,
keindahan dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang lain. Ilmu tidak
bebas nilai, ilmu tidak hanya berhubungan dengan nilai kebenaran, tetapi juga
dengan nilai kebaikan, keindahan dan keilahian.19

Pertama, bahwa integrasi ilmu dan agama adalah integrasi yang bersifat
integratif-holistik yaitu, eksistensi ilmu umum dan ilmu agama saling bergantung
satu sama lain. Eksistensi (wujūd) yang ada pada pelajaran umum dan agama
dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama,
yang membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd)
yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Adapun konsep integrasi ilmu
dan agama dalam perspektif Mullā Sadrā memiliki landasan ontologis,
epistemologis dan aksiologis

Kedua, Dengan mengadopsi pemikiran Mullā Sadrā tentang integrasi


keilmuan yang tertuang dalam prinsip Tauḥid, maka untuk membangun
pendidikan integratif diperlukan Konsep pendidikan Islam yang dirancang sebagai
pendidikan yang benar-benar holistik dan terpadu. Holistik dalam hal visi, isi,
struktur dan proses. Terpadu dalam pendekatannya baik terhadap kurikulum
(bagaimana dan apa yang harus diajarkan), pengetahuan yang menyatupadukan
dengan praktik, aplikasi dan pelayanan. Pendidikan holistik inilah mencakup
konsep filosofis maupun metodologis yang terstruktur dan koheren kepada
pemahaman terhadap dunia dan seluruh aspek kehidupan. Ilmuilmu agama yang
berbasis pada wahyu (alQur’ān dan al-Ḥadith) sebagai ayat-ayat qauliyyah dan
ilmu-ilmu umum berbasis pada akal, penalaran terhadap fenomena alam sebagai
ayat-ayat kauniyyah. Seluruh metode yang diterapkan dalam ilmu umum dan
agama (panca indera, rasio, intuisi dan wahyu) secara sinergis diterapkan dalam
1
menemukan kebenaran.

Konsep Mullā Sadrā secara ontologis terdiri atas tiga prinsip yang
fundamental, yaitu: Waḥdah al-Wujūd, Tashkīk al-Wujūd dan Aṣālah al-Wujūd.
Mullā Sadrā mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi dan
epistemologi yang memiliki karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun
secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan sains dan
agama. Konsep Tauḥīd Mullā Sadrā yang berimplikasi pada kesatuan ciptaan,
yakni keterhubungan (interrelatedness) bagianbagian alam, dan selanjutnya
berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tauḥīd bukan saja menjadi
kerangka keimanan (frame of faith) yang menjadi dasar keyakinan umat Islam
kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran (frame of thought)
yang membangun integrasi kebenaran.

konsep “waḥdah al-wujūd”Mullā Sadrā dapat dijadikan sebagai basis


integrasi ilmu, terutama bagi status ontologis objek-objek penelitiannya.

1
Menurutnya, segala wujud yang ada dengan segala bentuk dan karakternya pada
hakikatnya adalah satu dan sama yang membedakan satu dengan yang lainnya
hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam
esensinya. Oleh karena itu, mereka pada dasarnya satu dan sama, wujud apapun
yang kita ketahui yang bersifat spiritual atau yang materil tetntu mempunyai status
ontologis yang sama-sama kuatnya dan sama-sama riilnya. Segala tingkat wujud
boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu, karena realitas ontologis mereka telah
ditetapkan (fixed).

Integrasi antara ilmu dan agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang
terpisah dan bukan pula sesuatu yang berada di atas yang lain. Pandangan bahwa
agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu
dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran
relatif yang oleh karenanya memiliki posisi yang lebih rendah di banding agama
sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Dalam konteks gradasi
Wujūd Sadrā, ilmu dapat bersifat absolut, demikian pula sebaliknya agama dapat
bersifat relatif, tergantung keduanya berada pada tingkat gradasi yang mana.
Dalam tingkat dunia Inteleksi ilmu bersifat absolut, karena kebenarannya menyatu
dengan kebenaran Tuhan, demikian pula dalam tingkat dunia indera agama
bersifat relatif, karena agama dipahami sejauh yang mampu dikonsepsikan oleh
manusia. Kesatuan ilmu dan agama berada pada tingkat dunia Inteleksi yang
merupakan kebenaran Absolut. Pada tingkatan ini ilmu dan agama berada dalam
kesatuan eksistensial, karena keduanya berada di dalam dan menjadi bagian dari
Tuha.

Anda mungkin juga menyukai