objektifitas sains, lalu yang kedua merupakan aspek kemanusiaan dari sains, maka
yang ketiga adalah basis keyakinan, keimanan, dan keberagamaan dari sains.5
Sains menurut bahasa berasal dari bahasa Ingrias science, sedangkan kata
science berasal dari bahasa Latin scientia. Yang berasal dari kata scine yang
artinya adalah mengetahui. Kata sains dalam bahasa Ingris diterjemahkan sebagai
al-‘ilm dalam bahasa Arab. Dari segi istilah sains dan ilmu bermakna pengetahuan
namun demikian menurut Sayyid Hussen Al-Nasr kata science dalam bahasa
Inggris tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa Arab sebagai AlIlm, karena
konsep ilmu pengetahuan yang dipahami oleh barat ada perbedaannya dengan
ilmu pengetahuan menurut perspektif Islam.
Selain itu, adanya sekularisasi yang merujuk pada ajaran Kristen dalam
Gospel Matius XXII: 21 tercatat ucapan Yesus: ‘’Urusan kaisar serahkan kepada
kaisar dan urusan Tuhan serahkan kepada Tuhan.’’ Implikasinya yaitu
bahwasanya agama tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan politik. Dari sini
maka muncullah dikotomi antara kekuasaan Raja dan otoritas Gereja, antara
Negara dan agama. Bahkan St. Agustin membedakan antara kota Bumi (civitas
terrena) dan kota Tuhan (civitas dei).15
Wahyu pertama yang turun diawali dengan kata Iqra’, yaitu “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”, menjadi starting point
bagi munculnya semua fitur psikologis masyarakat Arab sehingga berubah dan
menghasilkan iklim mental baru. Selain itu terlihat semacam tes yang dilakukan
al- Qur’an pada kaum muda dengan pertanyaan “Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. Ayat ini disajikan
dalam bentuk pertanyaan retoris sebagai ujian dan fokus dalam hati nurani Islam
akan nilai pengetahuan. Dengan demikian ilmu dalam pengertiannya yang paling
sederhana adalah mencari kebenaran di setiap bidang, dalam etika, undang-
undang, sosial, kedokteran, alam, dan sebagainya. Al-Qur’an sendiri ingin agar
ayat itu dibebaskan dari pembatasan ini, guna kemajuan pemikiran dan sains.16
Menurut al-Farabi, kata sains atau ilmu („ilm, science) dapat disandarkan
kepada berbagai macam objek, seperti ilmu metafisika („ilm al-Ilahi), ilmu
matematika („ilm al-ta„alim atau „ilm al-riyadiyah), ilmu fisika („ilm al-
tabi„iyyat), ilmu politik („ilm al-madani), ilmu etika („ilm al-akhlaq), dan objek-
objek yang lain. Dalam kitabnya Fusul Muntaza„ah, al-Farabi menyebutkan
bahwa ilmu (science) pada dasarnya adalah bagian dari keutamaan pengetahuan
reflektif (alnazari) yang terdapat pada jiwa, dan melalui jiwa itulah kepastian
(certainty) adanya entitas wujud dapat diperoleh, bukan hasil buatan dan usaha
manusia. Dengan sains seperti ini seseorang dapat menentukan apa saja bagian-
bagiannya dan bagaimana cara untuk menentukan entitas-entitas tersebut benar
secara pasti, universal, dan memiliki premis-premis primer yang dapat diketahui
dan digambarkan oleh akal secara pasti, berbeda dengan pengertian sains seperti
yang dipahami oleh Barat.18
Salah satu klasifikasi permulaan dan paling berpengaruh yaitu yang dibuat
oleh Al-Farabi dalam bukunya perincian sains (Ihsha’ al-’Ulum), Buku tersebut
dikenal di barat dengan sebutan De Scientiis. Buku tersebut banyak diterjemahkan
ke berbagai bahasa baik bahasa Latin dan juga diterjemahkan ke dalam bahasa
Ibrani. Adapun klasifikasi dalam perincian sains dapat disimpulkan sebagai
berikut:
b. Ilmu logika.
Imam al-Ghazālī membelah ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu praktis
dan ilmu teoritis. Ilmu praktis mencakup tiga hak, pertama, hak Allah yang
harus
dipenuhi hamba dalam menjalani ibadah pada-Nya, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, jihad, dzikir, do’a, ibadah sunnah dan berbagai bentuk kewajiban lainnya.
Kedua, hak hamba sebagai makhluk sosial dalam hidup bermasyarakat. Dalam
konteks ini ada dua bagian; 1. Mu`āmalah (transaksi guna memenuhi kebutuhan
hidup antar sesama), seperti jual beli, syirkah, hibah, hutang piutang dan
sebagainya; 2. Mu`āqadah (transaksi dalam rangka penghalalan dan pembebasan),
seperti nikah, talak, pemerdekaan budak, waris dan sejenisnya. Ilmu semacam ini
termasuk dalam ranah ilmu fiqh. Ketiga, hak jiwa dalam menghiasi diri dengan
sifat-sifat terpuji dan mensterilkannya dari sifat- sifat tercela. Di karya yang lain,
al-Ghazālī membagi ilmu menjadi lima bagian, yaitu: a) ilmu pokok (ilmu ushūl)
yang wajib diketahui, seperti iman terhadap eksistensi Allah, para Malaikat, para
Rasul, kitab dan hari kiamat; b) ilmu ibadah yang berkaitan dengan badan dan
harta;
c) ilmu yang berhubungan dengan panca indera; lisan, kemaluan, perut, pende-
ngaran dan penglihatan; d) ilmu akhlak tercela yang wajib dihilangkan dari lubuk
hati; dan e) ilmu akhlak terpuji yang wajib menghiasai dalam hati sanubari.
Imam al-Ghazālī juga membagi ilmu ditilik dari segi logika pada tiga
bagian yaitu, tingkat pertama, Ilmu al-riyādhī dan ilmu al-manthiqī. Ilmu al-
riyādhī adalah ilmu yang membahas tentang hitungan, ukuran- ukuran, bentuk-
bentuk, keadaan sebuah benda. Yang termasuk ilmu jenis ini adalah matematika,
arsitek, astronomi, geografi. Ilmu al-manthiqī adalah ilmu yang mengkaji tentang
cara pembuatan definisi dan gambaran sesuatu secara tepat dan akurat. Tingkat
pertengahan, ilmu althabī`ī adalah ilmu yang mempelajari tentang tubuh manusia
maupun hewan, unsur-unsur alam semesta, hal ihwal benda-benda langit.
Pengkajian terhadap objek tersebut melahirkan ilmu kedokteran, ilmu
pertambangan dan ilmu kimia. Dan tingkat tertinggi, perenungan mengenai
maujūd (being). Perenungan terhadap maujūd bisa menghasilkan pengetahuan
adanya Dzat Pencipta, seluruh sifat dan perbuatan-Nya, hikmah dan ketentuannya.
Imam Al Ghazali mendapat perhatian yang besar dari para ulama Islam
karena kedalamannya dalam berbagai bidang ilmu. Upaya menguak hakikat ilmu
terlihat dalam pembahasan awal kitabnya yang sangat terkenal, Ihya Ulumuddin.
Ia mencoba membuat sebuah klasifikasi ilmu mutakhir berdasarkan
pengamatannya pada pekerjaan ulama terdahulu dalam bidang yang sama.
Sebelum al-Ghazali, beberapa ulama seperti al-Kindi dan al-Farabi pernah
membuat klasifikasi ilmu pengetahuan.
a. Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai
mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial
syari’ah. Ilmu muamalah terdiri dari ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu khifayah.
Ilmu Fardhu ‘Ain sendiri hanya membahas ilmu Syari’ah yang mengetahui
perkara halal dan haram serta mengetahui perkara yang halal dan haram dalam
bermuamalah. Sedangkan Ilmu Fardhu Khifayah adalah ilmu yang wajib
dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya.
b. Ilmu Mukasyafah
Ilmu Mukasyafah merupakan ilmu yang langsung diberikan oleh Allah SWT
dengan perantara pengilhaman, kepada hati orang Mukmin yang bersih. Ilmu
mukasyafah diperoleh dengan cara membersihkan hati, tobat, iman, dan takwa.
Disebut ilmu mukasyafah karena pengetahuan ini lebih pada pengalaman yang
menimbulkan sebuah kesadaran.
Pertama, bahwa integrasi ilmu dan agama adalah integrasi yang bersifat
integratif-holistik yaitu, eksistensi ilmu umum dan ilmu agama saling bergantung
satu sama lain. Eksistensi (wujūd) yang ada pada pelajaran umum dan agama
dengan segala bentuk dan karakternya pada hakikatnya adalah satu dan sama,
yang membedakan satu dari yang lainnya hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd)
yang disebabkan oleh perbedaan dalam esensinya. Adapun konsep integrasi ilmu
dan agama dalam perspektif Mullā Sadrā memiliki landasan ontologis,
epistemologis dan aksiologis
Konsep Mullā Sadrā secara ontologis terdiri atas tiga prinsip yang
fundamental, yaitu: Waḥdah al-Wujūd, Tashkīk al-Wujūd dan Aṣālah al-Wujūd.
Mullā Sadrā mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi dan
epistemologi yang memiliki karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun
secara eksplisit ia tidak pernah membahas secara langsung hubungan sains dan
agama. Konsep Tauḥīd Mullā Sadrā yang berimplikasi pada kesatuan ciptaan,
yakni keterhubungan (interrelatedness) bagianbagian alam, dan selanjutnya
berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tauḥīd bukan saja menjadi
kerangka keimanan (frame of faith) yang menjadi dasar keyakinan umat Islam
kepada Allah, namun juga merupakan kerangka pemikiran (frame of thought)
yang membangun integrasi kebenaran.
1
Menurutnya, segala wujud yang ada dengan segala bentuk dan karakternya pada
hakikatnya adalah satu dan sama yang membedakan satu dengan yang lainnya
hanyalah gradasinya (tashkīk al-wujūd) yang disebabkan oleh perbedaan dalam
esensinya. Oleh karena itu, mereka pada dasarnya satu dan sama, wujud apapun
yang kita ketahui yang bersifat spiritual atau yang materil tetntu mempunyai status
ontologis yang sama-sama kuatnya dan sama-sama riilnya. Segala tingkat wujud
boleh menjadi objek yang valid bagi ilmu, karena realitas ontologis mereka telah
ditetapkan (fixed).
Integrasi antara ilmu dan agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang
terpisah dan bukan pula sesuatu yang berada di atas yang lain. Pandangan bahwa
agama lebih tinggi dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu
dan agama. Ilmu dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran
relatif yang oleh karenanya memiliki posisi yang lebih rendah di banding agama
sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki kebenaran absolut. Dalam konteks gradasi
Wujūd Sadrā, ilmu dapat bersifat absolut, demikian pula sebaliknya agama dapat
bersifat relatif, tergantung keduanya berada pada tingkat gradasi yang mana.
Dalam tingkat dunia Inteleksi ilmu bersifat absolut, karena kebenarannya menyatu
dengan kebenaran Tuhan, demikian pula dalam tingkat dunia indera agama
bersifat relatif, karena agama dipahami sejauh yang mampu dikonsepsikan oleh
manusia. Kesatuan ilmu dan agama berada pada tingkat dunia Inteleksi yang
merupakan kebenaran Absolut. Pada tingkatan ini ilmu dan agama berada dalam
kesatuan eksistensial, karena keduanya berada di dalam dan menjadi bagian dari
Tuha.