Pada hakekatnya ilmu itu harus berdaya guna, operasional, karena pengetahuan itu bukan
demi pengetahuan itu sendiri. Kebenaran bukanlah kontemplasi akan tetapi operation, to
do business. Kebenaran berdaya-guna hanya berhasil dalam proses eksprimentasi. Sikap ini
melahirkan pragmatisme dalam dunia alamiah, yakni perkembangan ilmu dianggap berhasil
jika mempunyai konsekwensi-konsekwensi pragmatis.
Obyektivisme lalu memisahkan antara teori dari praxis, pengetahuan dari kehidupan, ilmu
dari etika, karena pengetahuan menjadi barang obyektif yang netral.Padahal, kalau mau
jujur pada sejarah, sejak awal kemunculanya, ilmu sudah terkait dengan masalah etika.
Ketika Copernicus (1473-1543) menggunakan teorinya tentang kemestaan alam dan
menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari”dan bukan sebaliknya
seperti yang diyakini oleh ajaran agama (Kristen), maka timbullah dikotomi antara ilmu dan
etika (yang berasal dari agama). Secara ontologis, ilmu menginginkan menyingkap realitas
apa adanya, namun disisi lain terdapat keinginan dari para teolog agar ilmu mendasarkan
pada ajaran-ajaran agama. Perseteruan ini berujung pada dihukumnya Galilio (1564- 1642)
yang berkulminasi pada pengadilan inkuisasi.
Perdebatan antara ilmuwan dan agamawan tersebut berkisar pada perdebatan tentang
kebebasan ilmu. Pertarungan ini dimenangkan oleh para ilmuwan dengan semboyan yang
cukup terkenal “Ilmu itu bebas nilai!. Setelah mendapat kemenangan ini ilmu lalu mendapat
otonominya dan melakukan penelitian apa yang senyatanya ada dan berujung pada sebuah
adigium “ilmu untuk ilmu”.
Semua peristiwa tersebut akhirnya membuat Peradaban Barat menceraikan Wahyu dari
Ilmu Pengetahuan, dengan ditolaknya wahyu dari salah satu sumber ilmu pengetahuan
membawa konsekuensi serius terhadap ilmu modern.Sesuatu yang ironis mengingat dahulu
Barat sangat Fanatik terhadap Agama namun akibat penyelewengan para pemuka Agama
mereka,akhirnya merubah masyarakat Barat seperti sekarang. Ilmu Modern yang bebas
Nilai (Nilai Agama) sehingga menjadikan akal satu-satunya standart kebenaran, alhasil Barat
tentu menolak semua sumber wahyu seperti Adam sebagai Awal Manusia tertolak Ilmu
Modern Menawarkan Teori Evolusi sebagai asal muasal Manusia, Kisah Kaum Luth dengan
Sodominya pun dianggap tak ubahnya fairy tale semata inilah sebabnya Ilmu Psikiater
Modern Barat Berubah dari awalnya memasukkan LGBT sebagai “Penyakit” akhirnya
menganggapnya sebagai fenomena Orientasi Sexual Semata.
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan agama dari
bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideology bangsa Indonesia mengakomodir seluruh
aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, demikian pula halnya dalam
aktivitas ilmiah. Oleh karena itu, perumusan Pancasila sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas
ilmiah di Indonesia merupakan sesuatu yang bersifat niscaya. Sebab, pengembangan ilmu
yang terlepas dari nilai ideologi bangsa, justru dapat mengakibatkan sekularisme, seperti
yang terjadi pada zaman Renaissance di Eropa. Bangsa Indonesia memiliki akar budaya dan
religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat sehingga manakala
pengembangan ilmu tidak berakar pada ideologi bangsa, sama halnya dengan membiarkan
ilmu berkembang tanpa arah dan orientasi yang jelas.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dan Muhammad
Naquib al-Attas. Menurut al-Attas bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam
adalah tantangan pengetahuan yang disebarkan keseluruh dunia Islam oleh peradaban
Barat. Menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam sebuah
karikatur Barat, dimana sains Barat telah terlepas dari nilai dan harkat manusia dan nilai
spiritual dan harkat dengan Tuhan.
Tujuan Islamisasi menurut Al-Attas adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang
sudah tercemar dan menyesatkan. Sebaliknya, dengan ilmu seorang muslim diharapkan
akan semakin bertambah keimanannya.Demikian pula, Islamisasi ilmu akan melahirkan
kebaikan dan keadilan bagi umat manusia.
Sebagaimana dalam pandangan Al-Attas bahwa masalah mendasar dalam pendidikan Islam
selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Ilmu tidak bisa diajarkan
dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Inti dari pendidikan itu sendiri adalah
pembetukan watak dan akhlak yang mulia. Dari sini Al-Attas mengartikan makna pendidikan
sebagai suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia dan kemudian ditegaskan
bahwa sesuatu yang ditanamkan itu adalah ilmu, dan tujuan dalam mencari ilmu ini
terkandung dalam konsep ta’dib.
Pandangan Al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari
individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik,
berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik.
Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu. Manusia yang
seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam
harus mengacu kepada aspek moral-transedental (afektif), tanpa harus meninggalkan aspek
kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).
3) Pada intinya Pendidikan dalam perspektif Al-Attas (ta’dib) adalah proses penanaman
adab.Implikasinya dalam metode pendidikan Islam, yakni metodologi pengajaran
pendidikan lebih merupakan proses learning (proses pendidikan) ketimbang hanya
proses teaching (proses pengajaran). Disamping proses intelektualisasi, juga proses
inkulturisasi.
1. Dengan sila Pertama menempatkan manusia sebagai Makhluk Ilahi yang Taat dan
Patuh.
2. Dengan Sila Kedua, kemanusiaan, harus berdasarkan Nash wahyu Ilahi.
3. Dengan Sila Ketiga, Persatuan Bangsa Indonesia adalah berdasarkan Adil dan
Beradab.
4. Dengan Sila keempat: penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus
demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan dan bukan dari hasil suara
terbanyak, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
5. Melalui sila kelima: Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-
nilai Pancasila.Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan
kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia.
B.Pengembangan Ilmu Berdasar Paradigma Pancasila
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang memiliki dasar pembenaran, bersifat
sistematik serta bersifat intersubyektif. Ketiga ciri ini saling terkait dan merupakan
persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu.Pencapaian
pengetahuan ilmiah diperlukan sebuah riset sebagai pondasi praktik ilmiah selanjutnya. Apa
yang dicapai harus bersifat baru, belum pernah ada sebelumnya. Selain itu, pencapaian
tersebut juga harus bersifat terbuka sehingga praktik selanjutnya oleh kelompok ilmiah
lainnya menjadi satuan fundamental bagi yang mempelajari perkembangan ilmu tersebut.
Satuan ini tidak dapat mereduksi sehingga secara logis, satuan-satuan ini juga menjadi
kaidah dan standar praktik ilmiah yang disebut paradigma.
Pengembangan ilmu di Indonesia tidak boleh bebas nilai (value-free), malainkan harus
memperlihatkan landasan metafisis, epistemologis, dan aksiologis dari pandangan hidup
bangsa Indonesia. Van Melsen menekankan arti pentingnya hubungan antara ilmu dan
pandangan hidup(khususnya Agama), karena ilmu tidak pernah dapat memberikan
penyelesaian akhir dan menentukan. Hal ini dikarenakan ilmu tidak pernah dapat
memberikan penyelesaian terakhir dan menentukan, lantaran tidak ada ilmu yang
mendasarkan dirinya sendiri secara absolut. Di sinilah perlunya pandangan hidup, terutama
peletakan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi ilmu, sehingga terjadi
harmoni antara rasionalitas dengan kearifan.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung arti bahwa segala aspek
pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu pembangunan
nasional harus meliputi aspek jiwa yang mencakup akal, rasa dan kehendak, aspek raga,
aspek individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi dan juga aspek kehidupan
ketuhanannya.
Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus merupakan sumber nilai,
kerangka berpikir serta asas moralitas bagi pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan ilmu dan teknologi terlebih yang menyangkut manusia haruslah selalu
menghormati martabat manusia, haruslah meningkatkan kualitas hidup manusia baik
sekarang maupun di masa depan, membantu pemekaran komunitas manusia, baik lokal,
nasional maupun global, harus terbuka untuk masyarakat lebih- lebih yang memiliki dampak
langsung kepada kondisi hidup masyarakat, dan ilmu dan teknologi hendaknya membantu
penciptaan masyarakat yang semakin lebih adil.