Anda di halaman 1dari 12

PANCASILA SEBAGAI NILAI DASAR PEMBANGAN ILMU

A.Sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu


Sejak dicetuskannya zaman Afklaurung hingga abad modern, ilmu mengalami
perkembangan yang begitu pesat, prestasi yang luar biasa atasnya layak untuk di hargai,
namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu modern tersebut kenyataannya
mengakibatkan krisis masyarakat modern.

Pada hakekatnya ilmu itu harus berdaya guna, operasional, karena pengetahuan itu bukan
demi pengetahuan itu sendiri. Kebenaran bukanlah kontemplasi akan tetapi operation, to
do business. Kebenaran berdaya-guna hanya berhasil dalam proses eksprimentasi. Sikap ini
melahirkan pragmatisme dalam dunia alamiah, yakni perkembangan ilmu dianggap berhasil
jika mempunyai konsekwensi-konsekwensi pragmatis.

Obyektivisme lalu memisahkan antara teori dari praxis, pengetahuan dari kehidupan, ilmu
dari etika, karena pengetahuan menjadi barang obyektif yang netral.Padahal, kalau mau
jujur pada sejarah, sejak awal kemunculanya, ilmu sudah terkait dengan masalah etika.
Ketika Copernicus (1473-1543) menggunakan teorinya tentang kemestaan alam dan
menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari”dan bukan sebaliknya
seperti yang diyakini oleh ajaran agama (Kristen), maka timbullah dikotomi antara ilmu dan
etika (yang berasal dari agama). Secara ontologis, ilmu menginginkan menyingkap realitas
apa adanya, namun disisi lain terdapat keinginan dari para teolog agar ilmu mendasarkan
pada ajaran-ajaran agama. Perseteruan ini berujung pada dihukumnya Galilio (1564- 1642)
yang berkulminasi pada pengadilan inkuisasi.

Perdebatan antara ilmuwan dan agamawan tersebut berkisar pada perdebatan tentang
kebebasan ilmu. Pertarungan ini dimenangkan oleh para ilmuwan dengan semboyan yang
cukup terkenal “Ilmu itu bebas nilai!. Setelah mendapat kemenangan ini ilmu lalu mendapat
otonominya dan melakukan penelitian apa yang senyatanya ada dan berujung pada sebuah
adigium “ilmu untuk ilmu”.
Semua peristiwa tersebut akhirnya membuat Peradaban Barat menceraikan Wahyu dari
Ilmu Pengetahuan, dengan ditolaknya wahyu dari salah satu sumber ilmu pengetahuan
membawa konsekuensi serius terhadap ilmu modern.Sesuatu yang ironis mengingat dahulu
Barat sangat Fanatik terhadap Agama namun akibat penyelewengan para pemuka Agama
mereka,akhirnya merubah masyarakat Barat seperti sekarang. Ilmu Modern yang bebas
Nilai (Nilai Agama) sehingga menjadikan akal satu-satunya standart kebenaran, alhasil Barat
tentu menolak semua sumber wahyu seperti Adam sebagai Awal Manusia tertolak Ilmu
Modern Menawarkan Teori Evolusi sebagai asal muasal Manusia, Kisah Kaum Luth dengan
Sodominya pun dianggap tak ubahnya fairy tale semata inilah sebabnya Ilmu Psikiater
Modern Barat Berubah dari awalnya memasukkan LGBT sebagai “Penyakit” akhirnya
menganggapnya sebagai fenomena Orientasi Sexual Semata.

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan kristalisasi nilai-nilai budaya dan agama dari
bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideology bangsa Indonesia mengakomodir seluruh
aktivitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, demikian pula halnya dalam
aktivitas ilmiah. Oleh karena itu, perumusan Pancasila sebagai paradigma ilmu bagi aktivitas
ilmiah di Indonesia merupakan sesuatu yang bersifat niscaya. Sebab, pengembangan ilmu
yang terlepas dari nilai ideologi bangsa, justru dapat mengakibatkan sekularisme, seperti
yang terjadi pada zaman Renaissance di Eropa. Bangsa Indonesia memiliki akar budaya dan
religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat sehingga manakala
pengembangan ilmu tidak berakar pada ideologi bangsa, sama halnya dengan membiarkan
ilmu berkembang tanpa arah dan orientasi yang jelas.

B.ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MENURUT PANDANGAN SYED M.


NAQUIB AL-ATTAS
Menurut al-Attas bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam adalah tantangan
pengetahuan yang disebarkan keseluruh dunia Islam oleh peradaban Barat. Islamisasi
pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap sains produk Barat
yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem
pendidikan Islam agar diperoleh sains yang bercorak “khas Islami”. Al-Attas mendefinisikan
ilmu sebagai sebuah makna yang datang ke dalam jiwa bersamaan dengan datangnya jiwa
kepada makna dan menghasilkan hasrat serta kehendak diri.

1.Latar Belakang Lahirnya Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Adanya anggapan bahwa sains modern adalah satu- satunya cabang ilmu yang otoritatif
segera melemahkan pandangan Islam mengenai ilmu. Al-Attas menolak posisi sains modern
sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan
epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat dicapai oleh sains yang
hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains
bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis
ini, program Islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan "masalah
ilmu."

Ide Islamisasi ilmu pengetahuan dilontarkan oleh Ismail Raji al-Faruqi dan Muhammad
Naquib al-Attas. Menurut al-Attas bahwa tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam
adalah tantangan pengetahuan yang disebarkan keseluruh dunia Islam oleh peradaban
Barat. Menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam sebuah
karikatur Barat, dimana sains Barat telah terlepas dari nilai dan harkat manusia dan nilai
spiritual dan harkat dengan Tuhan.

Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai tujuan mewujudkan kemajuan peradaban yang


Islami dan masing- masing juga tidak menghendaki terpuruknya kondisi umat Islam di
tengah-tengah akselerasi perkembangan kemajuan iptek. Dengan usaha gerakan Islamisasi
ilmu pengetahuan ini diharapkan problem dikotomi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu
modern dapat dipadukan dan dapat diberikan secara integral dalam proses pendidikan.

2.Pemikiran Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed M.Naquib Al-Attas


Islamisasi ilmu tidak lain adalah islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer atau
islamisasiilmu modern.Yang demikian ini karena ilmu-ilmu kontemporer dan modernlah
yang dianggap telah mengalami sekularisasi,karena ilmu-ilmu tersebut ditemukan dan
dikembangkan oleh peradaban Barat.Tidak benar jika dikatakan bahwa ilmu-ilmu tersebut
dijamin universal dan bebas nilai.Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan,”Ilmu tidak
bersifat netral.Ia bisa disusupi oleh sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu.

Tujuan Islamisasi menurut Al-Attas adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang
sudah tercemar dan menyesatkan. Sebaliknya, dengan ilmu seorang muslim diharapkan
akan semakin bertambah keimanannya.Demikian pula, Islamisasi ilmu akan melahirkan
kebaikan dan keadilan bagi umat manusia.

Adapun pemikiran Naquib Al-Attas meliputi dua pandangan,yaitu:


a. Pandangan Tentang Epistimologi Islam
Al-Attas menjelaskan bahwa kemerosotan ilmu pengetahuan Islam terutama sekali
berhubungan dengan epistemologi.Kesadaran epistemologis Muslim amat lemah. Padahal
epistemologi sains modern berpijak pada landasan pemisahan agama dalam ilmu
pengetahuan. Epistemologi Islam tidak berangkat dari keraguan (sebagaimana sains modern
barat dikembangkan dengan berlandaskan kepadanya), melainkan berangkat dari keyakinan
akan adanya kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang secara inheren telah terkandung dalam
al-Qur’an sebagai petunjuk Tuhan. Bagi Al-Attas sendiri, dalam proses pembalikan
kesadaran epistemologis ini, program Islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar
pemecahan masalah epistimologi ilmu pengetahuan.

b. Pandangan tentang Dewesternisasi dan Islamisasi


Dewesternisasi adalah proses memisahkan dan menghilangkan unsur-unsur sekuler dari
tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk dan nilai- nilai dari pandangan
konseptual tentang pengetahuan seperti yang disajikan saat ini. Yang pada dasarnya upaya
tersebut merupakan bentuk usaha pemurnian ajaran Islam dari segala pengaruh barat.
Upaya dewesternisasi ini sendiri tidak akan mempunyai signifikansi bagi umat Islam bila
tidak dilanjutkan dengan gerakan Islamisasi. Al-Attas mengoreksi disiplin ilmu-ilmu modern
dan memurnikan ilmu-ilmu Islam yang telah tercelup dalam paham-paham sekuler.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang mengandung ideologi sekuralisme ini harus
direformulasikan secara konseptual melalui Islamisasi ilmu pengetahuan agar tidak terlepas
dari nilai-nilai spiritualitas dan transedensi ketuhanannya.
3.Konsepsi Pemikiran Pendidikan Naquib Al-Attas
a. Gagasan Tentang Manusia
Manusia terdiri dari dua substansi, yakni jiwa dan raga, yang berwujud badan dan roh, atau
dengan bahasa lain jasmaniyah dan ruhaniyah. Sebelum berbentuk jasmani, manusia telah
mengikat janji akan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Perjanjian suci (ikrar primordial) ini
mempunyai konsekuensi selalu akan mengikuti kehendak Allah SWT.6 Dalam diri manusia
sebenarnya ada potensi untuk beragama, dalam arti kepatuhan kepada Tuhan. Dan tidak
ada kepatuhan (din) yang sejati tanpa adanya sikap penyerahan diri (Islam).Dengan
berlandaskan kepada kepatuhan dan penyerahan diri, maka manusia akan mencapai
kesadaran bahwa segala potensi yang dimiliki harus diarahkan sebagai bentuk
penyembahan (ibadah) kepada Pencipta semesta. Jadi, hidup manusia didunia ini tidak lain
bertujuan untuk beribadah dan mengabdikan diri kepada- Nya.

b. Gagasan tentang Definisi dan Makna Pendidikan


Dalam Islam istilah pendidikan dikenal melalui tiga terma yaitu, tarbiyah, ta’dib dan ta’lim.
Al-Attas cenderung lebih memakai ta’dib dari pada istilah tarbiyah maupun ta’lim. ta’dib
berasal dari kata adaba yang mempunyai arti mendidik, kehalusan budi, kebiasaan yang
baik, akhlak, kepantasan, kemanusiaan dan kasusastran. Dalam struktur konseptual, terma
ta’dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan penyuluhan
yang baik (tarbiyah).

Sebagaimana dalam pandangan Al-Attas bahwa masalah mendasar dalam pendidikan Islam
selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Ilmu tidak bisa diajarkan
dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Inti dari pendidikan itu sendiri adalah
pembetukan watak dan akhlak yang mulia. Dari sini Al-Attas mengartikan makna pendidikan
sebagai suatu proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia dan kemudian ditegaskan
bahwa sesuatu yang ditanamkan itu adalah ilmu, dan tujuan dalam mencari ilmu ini
terkandung dalam konsep ta’dib.

c.Gagasan tentang Tujuan Pendidikan


Al-Attas beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam
“diri manusia” sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Al-Ataas menginginkan
agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan
universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan
Nabi Muhammad SAW.

Pandangan Al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari
individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik,
berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik.
Karena masyarakat merupakan bagian dari kumpulan individu-individu. Manusia yang
seimbang pada garis vertikal dan horizontalnya. Lebih lanjut, menurutnya pendidikan Islam
harus mengacu kepada aspek moral-transedental (afektif), tanpa harus meninggalkan aspek
kognitif (sensual logis) dan psikomorik (sensual empirik).

d.Gagasan tentang Sistem Pendidikan Islam


Sistem pendidikan Islam bagi Al-Attas haruslah mengandung unsur adab (etika) dan ilmu
pengetahuan, karena inti dari pendidikan itu sendiri adalah pembetukan watak dan akhlak
mulia manusia yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri khususnya dan bagi umat manusia umumnya. Sistem pendidikan yang
diformulasikannya adalah mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya
Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-
ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.Namun ilmu pengetahuan
dan teknologi harus terlebih dahulu dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Karena secara makro dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam masih mengalami
keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat.

e.Gagasan tentang ilmu


Ilmu merupakan suatu sub sistem yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan Islam.
Dimana al-Attas menyatakan: “pendidikan adalah upaya menanamkan sesuatu secara
bertahap ke dalam diri manusia.Al-Attas mendefinisikan ilmu dari sudut epistimologi sebagai
sampainya makna sesuatu pada jiwa dan sampainya jiwa pada makna sesuatu. Makna
sesuatu di sini adalah maknanya yang benar, makna yang benar dalam konteks ini
ditentukan oleh pandangan Islam tentang hakikat dari kebendaan sebagaimana yang
diproyeksikan oleh sistem konseptual Al-Quran.

Al-Attas mengklasifikasi ilmu menjadi dua bagian:


(1) fardu‘ain yang memahaminya pemberian Allah yang mencakup di dalamnya ilmu-ilmu
agama (Al- quran, as-sunnah, al-syariah, teologi, metafisika Islam atau tasawuf dan ilmu
linguistic).
(2) fardu kifayah yang memahami ilmu-ilmu capaian manusia yang meliputi ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis (ilmu kemanusiaan, alam, terapan, teknologi).

4.Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan (ISTAC)


Adapun Implikasi konsep ta’dib dalam pendidikan Islam yakni:
1) Menurut al-Attas, Implikasinya dalam tujuan pendidikan Islam yakni tujuan
pendidikan Islam diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang
bermutu, berkualitas dalam bidang intelektual dan yang paling mendasar adalah
nilai-nilai moral-agama selalu membimbingnya.
2) Bangunan kurikulum Pendidikan Islam,Implikasinya dalam merumuskan kurikulum
pendidikan Islam hendaknya bentuk dan formulasi kurikulum di sini harus
mengandung makna dan nuansa nilai-nilai “ilahiyah” yang tidak mesti dipahami
dalam bentuk dikotomis, yakni mengalokasikan pada satu bidang disiplin ilmu yang
khusus dalam membahas mengenai masalah nilai. Akan tetapi proses sosialisasinya
dan semangat moralitas atau akhlak Islam.

3) Pada intinya Pendidikan dalam perspektif Al-Attas (ta’dib) adalah proses penanaman
adab.Implikasinya dalam metode pendidikan Islam, yakni metodologi pengajaran
pendidikan lebih merupakan proses learning (proses pendidikan) ketimbang hanya
proses teaching (proses pengajaran). Disamping proses intelektualisasi, juga proses
inkulturisasi.

C.Pancasila Sebagai Dasar Ilmu


1.Aspek Penting Dalam Iptek
a) Paradigma iptek menjadi universalisme, komunalisme, dan skepsisme yang teratur
dan terarah.
b) Pengembangan ilmu melalui ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar,
konggres.
c) Aspek struktural Iptek memiliki unsur-unsur:
 Objek untuk diketahui (Gegenstand).
 Dipertanyakan dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik
henti.
 Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu kesatuan
sistem.

2.Pilar-pilar penyangga bagi eksistensi Iptek


Ilmu tidak pernah selesai meskipun ilmu itu didasarkan pada kerangka objektif, rasional,
metodologis, sistematis, logis dan empiris.Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah
pilar-pilarnya, yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi.Pilar tersebut dinamakan
filosofis keilmuan.Berfungsi untuk penyangga, penguat, dan bersifat integratif serta
prerequisite/saling mempersyaratkan.Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada
persoalan ontologi, epistemologi dan aksiologi.

a) Pilar Ontologi (Ontology)


 Aspek Kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal,dual atau plural
(monism,dualisme,pluralisme).
 Aspek Kualitas (mutu,sifat) : Bagaimana Batasan,sifat,mutu dari sesuatu
(mekanisme,teleologisme,vitalisme dan organisme).
 Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi penyusunan
asumsi,dasar-dasar teoritis,dan membantu terciptanya komunikasi
interdisipliner dan multidisipliner.
b) Pilar Epistemologi (Epistemology)
 Sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin ilmu tertentu.
 Memberikan kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu.
 Mengembangkan ketrampilan proses.
 Mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
c) Pilar aksiologi (axiology)
 Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai
(etis,moral,religious) dalam setiap penemuan,penerapan atau
pengembangan ilmu.
 Pengembangan etos keilmuan seorang professional.
 Dalam aspek inilah peranan nilai nilai Pancasila.

3.Prinsip-Prinsip Berfikir Ilmiah


a) Objektif
Cara memandang suatu masalah apa adanya ,terlepas dari faktor-faktor subjektif
(perasaan,keinginan,emosi,system keyakinan,otorita).
b) Rasional Dengan Tidak Melepas Nash Wahyu
Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami orang lain dengan menjadikan wahyu
sebagai pedoman.
c) Logis
Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/konsisten,implikatif.Tidak
mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif.Setiap pemikiran logis selalu
rasional,begitu pula sebaliknya yang rasional pasti logis.
d) Metodologis
Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan
bertindak (induktif,dekutif,sintesis,hermeneutik,intuitif).
e) Sistematis
Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan Langkah prioritas yang jelas
dan saling terkait satu sama lain.Dan memiliki target dan arah tujuan yang jelas.

4.Pertimbangan Nilai Dalam Ilmu

1.Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi: persoalan keterbatasan


ilmu dan teknologi dan akibat-akibatnya bagi manusia.
2.Akibat teknologi pada perilaku manusia: Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti
dengan tenaga-tenaga mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia.
3.Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, harus manusiawi yaitu tidak melanggar:
a) HAM untuk melindungi manusia dari penindasan iptek
b) Keadilan dalam dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
c) Pemeliharaan lingkungan
d) Nilai manusia secara pribadi
e) Karena Sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi
5. Pancasila sebagai Dasar Nilai Dalam Strategi Pengembangan ilmu pengetahuan dan
Teknologi

1. Pengembangan ilmu dan teknologi memberi manfaat mensejahterakan dan


memartabatkan manusia.
2. Dasar nilai menggambarkan Pancasila suatu sumber orientasi dan arah
pengembangan ilmu.
3. Nilai-nilai Pancasila dijadikan pisau analisis/metode berfikir dan tolok ukur
kebenaran.
4. Untuk itu ilmuwan dituntut memahami Pancasila secara utuh, mendasar, dan kritis.

6.Strategi Pengembangan IPTEK Pancasila Sebagai Dasar Nilai

1. Dengan sila Pertama menempatkan manusia sebagai Makhluk Ilahi yang Taat dan
Patuh.
2. Dengan Sila Kedua, kemanusiaan, harus berdasarkan Nash wahyu Ilahi.
3. Dengan Sila Ketiga, Persatuan Bangsa Indonesia adalah berdasarkan Adil dan
Beradab.
4. Dengan Sila keempat: penerapan dan penyebaran ilmu pengetahuan harus
demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan dan bukan dari hasil suara
terbanyak, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
5. Melalui sila kelima: Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-
nilai Pancasila.Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia merupakan
kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban manusia.
B.Pengembangan Ilmu Berdasar Paradigma Pancasila
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang memiliki dasar pembenaran, bersifat
sistematik serta bersifat intersubyektif. Ketiga ciri ini saling terkait dan merupakan
persyaratan bagi pengetahuan untuk disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu.Pencapaian
pengetahuan ilmiah diperlukan sebuah riset sebagai pondasi praktik ilmiah selanjutnya. Apa
yang dicapai harus bersifat baru, belum pernah ada sebelumnya. Selain itu, pencapaian
tersebut juga harus bersifat terbuka sehingga praktik selanjutnya oleh kelompok ilmiah
lainnya menjadi satuan fundamental bagi yang mempelajari perkembangan ilmu tersebut.
Satuan ini tidak dapat mereduksi sehingga secara logis, satuan-satuan ini juga menjadi
kaidah dan standar praktik ilmiah yang disebut paradigma.

Pengembangan ilmu di Indonesia tidak boleh bebas nilai (value-free), malainkan harus
memperlihatkan landasan metafisis, epistemologis, dan aksiologis dari pandangan hidup
bangsa Indonesia. Van Melsen menekankan arti pentingnya hubungan antara ilmu dan
pandangan hidup(khususnya Agama), karena ilmu tidak pernah dapat memberikan
penyelesaian akhir dan menentukan. Hal ini dikarenakan ilmu tidak pernah dapat
memberikan penyelesaian terakhir dan menentukan, lantaran tidak ada ilmu yang
mendasarkan dirinya sendiri secara absolut. Di sinilah perlunya pandangan hidup, terutama
peletakan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi ilmu, sehingga terjadi
harmoni antara rasionalitas dengan kearifan.

C.Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu


Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa
jenis pemahaman. Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang
dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan nilai- nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Kedua, bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus
menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri.
Ketiga, bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan
iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar tidak keluar dari cara berpikir
dan cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat, bahwa setiap pengembangan iptek harus
berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan
istilah indegenisasi ilmu (mempribumian ilmu).

Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung arti bahwa segala aspek
pembangunan harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu pembangunan
nasional harus meliputi aspek jiwa yang mencakup akal, rasa dan kehendak, aspek raga,
aspek individu, aspek makhluk sosial, aspek pribadi dan juga aspek kehidupan
ketuhanannya.

Pancasila merupakan satu kesatuan dari sila-silanya harus merupakan sumber nilai,
kerangka berpikir serta asas moralitas bagi pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan ilmu dan teknologi terlebih yang menyangkut manusia haruslah selalu
menghormati martabat manusia, haruslah meningkatkan kualitas hidup manusia baik
sekarang maupun di masa depan, membantu pemekaran komunitas manusia, baik lokal,
nasional maupun global, harus terbuka untuk masyarakat lebih- lebih yang memiliki dampak
langsung kepada kondisi hidup masyarakat, dan ilmu dan teknologi hendaknya membantu
penciptaan masyarakat yang semakin lebih adil.

Anda mungkin juga menyukai