Anda di halaman 1dari 18

INTEGRASI ILMU DALAM ISLAM

(SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KLASIFIKASI)


Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Sains dan Islam)”

REVISI MAKALAH

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Barizi, M.A

Oleh:
Irfan Taufiq Mustari (17771027)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
Abstrak
Ilmu pengetahuan (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam
mengalami kemunduran, yang pada akhirnya sampai di sini mucul pula sekularisasi
ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan
dari kaum gereja. Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda
pandangan dengan kaum gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang
memisahkan diri dari doktrin agama. Kondisi inilah memotivasi para cendikiawan
muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu agama. Pemikiran
tentang integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh
kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas
ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan
manusia terhadap ayat-ayat Allah SWT, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka
berkembanglah ilmu atau sains yang tidak mempunyai kaitan sama sekali dengan
agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya
memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia malah berubah
menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi
“penyebab” terjadi malapetaka yang merugikan manusia. Untuk mencapai sasaran
tersebut maka perlu dilakukan suatu upaya dalam mengintegrasikan ilmu
pengetahuan dan ilmu keislaman, sehingga ilmu inter koneksitas antara disiplin ilmu
pengetahuan dan agama perlu dibangun dan dikembangkan terus menerus tanpa
kenal henti.
Kata Kunci: Integrasi Ilmu, Ilmu Pengetahuan (sains), dan Agama.

A. Dasar Pemikiran
Islam pada hakikatnya menghendaki umatnya untuk memiliki perhatian yang besar
terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini di tunjukkan ketika islam sendiri itu hadir yaitu berupa
wahyu Allah yang pertama kali di terima Nabi Muhammad SAW (surat Al-‘Alaq ayat 1-5)
adalah perintah untuk membaca, yang tentunya dengan berbagai penafsiran terhadap kata
“bacalah” yang jelas, perintah tersebut merupakan landasan bagi umat Islam untuk selalu
terus “membaca”, yang secara substansif sebenarnya memerintahkan umat Islam untuk selalu
terus mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berkembang seiring dengan berkembangnya kebudayaan manusia
yang berlangsung secara bertahap yang bersifat evolutif. Sejarah perkembangan ilmu itu
sendiri terjadi dengan suatu tahapan dan periode-periode tertentu yang memiliki ciri khas
tersendiri dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah perkembangan ilmu dalam umat
manusia itu tidaklah terpusat di satu tempat tertentu saja. Melainkan Penemuan-penemuan
ilmu empirik yang melahirkan temuan-temuan ilmiah itu justru menyebar dari Babylonia,
Mesir, Cina, India, Yunani baru kemudian ke daratan Eropa.
Pembahasan persoalan tentang ilmu agama dan ilmu umum, merupakan pembahasan
yang selalu menarik perhatian dikalangan kaum intelektual. Pandangan yang mengakar di
masyarakat luas ialah antara agama dan ilmu umum merupakan dua keberadaan yang
berbeda. Namun Di lain pihak, para ilmuawan lain beranggapan bahwa antara ilmu umum
dan agama ialah dua hal yang tak terpisahkan.

1
Secara historis dapat diketahui bahwa dunia Islam pada saat itu pernah menggapai
kejayaan dan kemegahan akan ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga menjadi pusat baik di
Barat maupun di Timur. Pada abad pertengahan, telah terbentuknya para saintis dan filsuf
dunia di berbagai bidang keilmuan. Sebagai contoh dalam bidang fiqh terdapat Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Abu Hanifah, dalam bidang filsafat terdapat Al-Kindi,
Al-Farabi, dan Ibnu Sina, sedangkan dalam bidang sains muncul Ibnu Hayyan, Al-
Khawarizmi, dan Al-Razi. Para filsuf dan saintis muslim tersebut tidak pernah
mendikotomikan ilmu pengetahun dan agama. Mereka menyakini ilmu pengetahuan dan
agama merupakan suatu totalitas dan integralitas Islam yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya.
Namun, kelihatannya masih ada anggapan yang yang sangat kuat di masyarakat
muslim yang menyatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua hal yang tidak dapat
“disatukan”, karena dianggap masing-masing mempunyai sumber yang berbeda, dimana
agama berasal dari wahyu Allah yang suci serta abadi, sehingga pengalaman agama lebih
diutamakan karena menjadi penentu di kehidupan akhirat. Sedangkan ilmu pengetahuan
berasal dari penalaran akal, yang berkedudukan lebih rendah dari wahyu, sehingga
menguasainya adalah kefanaan.
Di lain pihak, ilmu yang berkembang di Barat adalah ilmu sekuler, dan inilah yang
menjalar di tengah-tengah ilmuwan muslim. Menjalarnya ilmu Barat ditengah-tengah
ilmuwan muslim ini mengarah kepada sekularisasi. Sekularisasi ini menyebabkan
beripashnya ilmu pengetahuan modern dari nilai-nilai spiritual, yang menyebabkan
kemerosotan kehidupan beragama.
Kenyataan inilah yang melahirkan gagasan yang dilakukan oleh para pemikir Islam
seperti Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi untuk menjodohkan kembali antara ilmu
umum dan ilmu islam. Istilah yang populer dalam konteks integrasi adalah Islamisasi. Hal ini
dilatar belakangi kekecewaan terhadap sistem pendidikan yang diterapkan di dunia Islam
yang di nilai telah memperaktekkan dualisme pendidikan, dimana praktek dualisme ini
sebenarnya dikarenakann kemunduruan umat Islam dalam segala bidang, seiring dengan
kemajuan Barat yang menguasai di berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dalam makalah ini,akan mencoba menggambarkan bagaimana antara pandangan
antara masing-masing pandangan diatas berimplikasi terhadap perkembangan ilmu itu
sendiri. Pada pembahasan pertama, akan diuraikan bagaimana dikotomi ilmu pengetahuan
dalam peradaban Islam kemudian dilanjutkan pada kedua, mengenai islamisasi Sains, dan
ketiga bagaimana paham integralisme mencoba memadukan keduanya secara integral.

B. Dikotomi Agama dan Sains


Dikotomisasi pada hakikatnya merupakan upaya pembagian atas dua konsep yang
saling bertentangan. Dikotomisasi pengetahuan ini muncul bersamaan atau sejalan dengan
masa reanissance di Barat. Sebelumnya, kondisi sosio-religius maupun sosio-intelektual di
Barat dikendalikan oleh gereja. Ajaran-ajaran kristen dilembagakan dan menjadi penentu
kebenaran ilmiah. Semua temuan ilmiah bisa dianggap sah dan benar bila sesuai dengan
doktrin-doktrin gereja. Sebaliknya, bila temuan ilmiah yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan doktrin tersebut harus dibatalkan demi supremasi gereja. Maka tidak jarang kemudian
banyak para ilmuwan yang tetap mempertahankan kebenarannya menjadi korban kekejaman

2
gereja. Untuk merespon hal tersebut, para ilmuwan mengadakan koalisi dengan raja untuk
menumbangkan kekuasan gereja. Usaha tersebut berhasil dan tumbanglah kekuasaan gereja,
kemudian muncul renaissance. Masa renaissance ini melahirkan sekularisasi (pemisahan
urusan dunia dan akhirat) dan sekularisasi ini lahirlah dikotomisasi pengetahuan.1
Salah satu persoalan serius yang masih menghantui masyarakat Islam hingga kini
ialah persoalan perceraian antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan (sains). Berbeda dengan
di Bara dimana dikotomi terjadi karena ketidaksesuaian temuan-temuan sains dengan ajaran
agama mereka yaitu agama kristen, sedangkan dalam masyarakat Islam ialah masih kuatnya
anggapan bahwa mencari ilmu agama ialah fardhu ‘ain sedangkan sains hanyalah fardhu
kifayah, dimana tidak wajib bagi setiap individu muslim untuk menuntutnya.
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity, Trnasformation of an
Intellectual Tradition yang dikutip Syamsul Ma’arif telah menunjukkan secara terang-
terangan sebab-sebab kemundururan umat Islam yaitu sebagai berikut:
1. Adanya pandangan bahwa yang terus menerus diungkapkan, yaitu bahwa karena ilmu
itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memberikan prioritas, dan prioritas
tersebut dengan sendirinya diberikan kepada ilmu-ilmu agama, yang merupakan kunci
kejayaan hidup di akhirat.
2. Penyebaran sufisme, yang demi untuk menumbuhkan kehidupan spiritual intern dan
pengalaman keagamaan yang langsung pada umumnya bersikap memusuhi sains-
sains rasional dan juga seluruh intelektualisme.
3. Kemerosotasn gradual sains dan filsafat, bahwa sementara pemegang-pemegang
ijazah sains-sains keagamaan bisa memperoleh pekerjaan sebagai qadhi atau mufti,
sebagai seorang filsuf atau saintis hanya tersedia lowongan kerja di istana saja.
4. Sikap para tokoh-tokoh keagamaan penting yang istemewa seperti al-Ghazali yang
tidak saja menentang sains tapi juga filsafat sebagai dikemukakan filosof-filosof
muslim besar seperti al-Farabi dan khususnya Ibnu Sina, mereka dituduh ahli bid’ah.2

Kritik Fazlur Rahman terhadap al-Ghazali disebabkan pengklarifikasian ilmu ke


dalam ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu intelektual oleh al-Ghazali, sehingga para sarjana
muslim mengabaikan ilmu-ilmu intelektual karena dianggap sebagai ilmu yang tidak
kondusif bagi kesejahteraan hidup manusia.
Pengklasifikasian yang dimaksud diatas ialah pengklasifikasian al-Ghazali bahwa
ilmu itu ada ilmu ‘ain dan ilmu kifayah. Ilmu ‘ain adalah ilmu yang wajib di timba dan dicari
oleh setiap orang beriman pada situasi dan kondisi. Nurcholis Madjid, misalnya dan kawan-
kawan Paramadina Mulya, menyebut ilmu-ilmu ‘ain ini dengan ilmu-ilmu tradisional, seperti
fiqh dan ushul fiqh, akidah dan ilmu kalam, tafsir dan ilmu tafsir, hadits dan ilmu hadist,
akhlak dan tasawuf, dan sebagainya yang banyak diajarkan di pesantren dan madrasah.
Sedangkan ilmu kifayah adalah suatu ilmu bilamana salah satu dari sekian komunitas orang
beriman di sekitar telah menekuninya, yang lain tidak wajib memperlajarinya. Kerangka

1
Mujamil Qomar, Epistemologis Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Model Kritik (Jakarta:
Erlangga, 2005) hlm 74-75.
2
Syamsul Ma’arif, Revitasliasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu,, 2007) hlm 27-28.

3
konseptual ini pun akhirnya berimplikasi kepada ilmu wajib dan ilmu tidak wajib, ilmu
akhirat dan ilmu dunia, ilmu Islam dan ilmu kafir, ilmu timur dan ilmu barat, dan seterusnya.3
Dengan memberikan penekanan yang agak berlebihan pada ilmu-ilmu agama (al-
ulum al-diniyah atau al-ulum al-islamiyah) di dalam tradisi atau sistem pendidikan Islam,
maka menempatkan ilmu-ilmu “non-agama” dan “keduniaan” khusunya ilmu-ilmu kealaman
dan eksakta sebagai akar pengembagan sains dan teknologi pada posisi yang marjinal.
Supremasi ini pernah dilakukan oleh Al-Ghazali di dalam membangun struktur kurikulum
keilmuan Islam, dimana ilmu-ilmu kealaman eksakta berada pada posisi lebih rendah dari
pada pengetahuan yang diwahyukan. Sikap demikian muncul oleh karena, meminjam istilah
Azyumardi Azra dalam Charles Michael Stanton (1994:vii), adanya pandangan bahwa ilmu-
ilmu agama merupakan “jalan tol” menuju Tuhan. Sebelum kehancuran aliran teologi
Mu’tazilah pada masa Khalifah Abbasiyah, Al-Ma’mun, (198-218/1813-833) ilmu-ilmu
kealaman dan eksakta bukan suatu yang tidak ada dalam kurikulum madrasah atau al-
jami’ah. Namun dengan runtuhnya aliran Mu’tazilah terjadilah “pemakruhan”—untuk tidak
menyatakan “pengharaman” terhadap ilmu-ilmu “non-agama”. sebelum proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai resistensi atas kolonialisme di Indonesia sebagian
dari para Ulama dan pemandu pendidikan keagamaan—madrasah dan pesantren- umumnya
“mengharamkan” segala sesuatu yang berkolaborasi dengan kaum colonial, seperti bahasa,
seni, tradisi, dan tak terkecuali ilmu pengetahuan yang mereka miliki.4
Namun di lain sisi Osman Bakar dalam bukunya hierarki ilmu tentang klasifikasi
model Al-Ghazali. Osman Bakar menggunakan beberapa sumber; al-Munqidz Min al-Dhalal,
Ihya’ ‘Ulum al-Din, dan Risalat al-Laduniyyah. Dalam al-Munqidz, al-Ghazali
mengklasifikasi ilmu pengetahuan berdasar kelompok ilmuwan. Terdapat empat kelompok
ilmuwan; (1) mutakallimin, (2), filosof (3) ta’limi-batini, (4) sufi. Pengelompokan ini
didasarkan kepada tingkat keterpercayaan pengetahuan itu sendiri. Standar ini didasarkan
pada perjalanan intelektual al-Ghazali yang pernah mengalami krisis kepercayaan terhadap
ilmu-ilmu yang pernah digelutinya.5
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, pada sub bab Kitab al-‘Ilm, al-Ghazali mengelompokkan
ilmu pengetahuan berdasar beberapa prinsip. Osman Bakar mencatat, terdapat empat model
klasifikasi ilmu pengetahuan. Pertama, berdasarkan penggunaannya ilmu pengetahuan
diklasifikasikan kepada ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis. Kedua, berdasarkan metode
pemerolehannya ilmu pengetahuan dikelompokkan kepada kehadiran-hudhuri dan upaya
pencapaian rasional-hushuli. Ketiga, berdasarkan corak sumber pengetahuan, ilmu
pengetahuan dipilah ke dalam ilmu religius-syar’iyyah dan rasional-‘aqliyyah. Keempat,
pemilahan ilmu pengetahuan berdasarkan hukum mempelajarinya; ilmu fardu ‘ayn dan ilmu
fardu kifayah.6

3
Imam Tholhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta:Rajawali Press, 2004), hlm 24.
4
Ibid..., hlm 25.
5
Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangung rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj Purwanto (Bandung: Mizan,
1998) hlm 182-197
6
Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangung rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj Purwanto. hlm 182-197

4
Teoritis-praktis Hudhuri-hushuli
‘aqliyyah-syar’iyyah Fardu ‘ayn-fardu kifayah

Ilmu agama (syar’iyyah, religius science) memiliki dua sub cabang ilmu pengetahuan.
Pertama, ilmu yang bersifat fundamental (ushul). Terdapat empat sub cabang dalam bagian
ini. Keempatnya adalah ilmu tauhid, ilmu kenabian (science of prophethood), ilmu tentang
alam akhirat (eschatology) dan ilmu tentang sumber ilmu agama (science of source of
religion knowledge) seperti Alquran, sunnah, ijma dan praktik sahabat. Science of source
terdiri dari dua sub cabang ilmu. Pertama, ilmu pengantar (preludes science, muqaddimat)
seperti ilmu menulis dan seluruh cabang ilmu bahasa. Kedua, ilmu tambahan (supplementary
science, tatimmat) yang terdiri dari tiga cabang pengetahuan.
1. ilmu-ilmu Alquran, yang salah satu cabangnya adalah ilmu tafsir.
2. ilmu periwayatan hadis.
3. ilmu biografi (perjalanan hidup Nabi saw., sahabat, dan pengikutnya).

Bagian kedua dari ilmu syar’iyyah disebut cabang atau furu’. Bagian ini tediri dari
beberapa sub cabang. Cabang-cabang itu adalah sebagai berikut:
1. Ilmu yang berhubungan dengan kewajiban manusia kepada Tuhan.
2. Ilmu yang berkaitan dengan kewajiban manusia terhadap masyarakatnya. Ilmu ini
terdiri dari dua bagian; (a) ilmu yang membahas berbagai macam transaksi ekonomi
(muamalah) dan penegakan hukuman qisas (jinayah), (b) ilmu yang berhubungan
dengan keluarga (family law).
3. Ilmu yang berkaitan dengan kewajiban seseorang pada diri-jiwanya sendiri atau ilmu
akhlak.

Sedangkan ilmu rasional-‘aqliyyah terdiri empat cabang utama sebagai berikut;


1. Matematik.
2. Logika.
3. Fisika atau ilmu alam.
4. Metafisika.
No. Jenis Ilmu Cabang Sub Cabang
1. syar’iyyah Ushul a. Ilmu tauhid.
b. Ilmu kenabian (science of prophethood).
c. Ilmu tentang alam akhirat (eschatology).
d. Ilmu tentang sumber ilmu agama (science of source
of religion knowledge).

5
Furu’ a. Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan.
b. kewajiban manusia terhadap masyarakatnya.
c. Ilmu yang berkaitan dengan kewajiban seseorang
pada diri-jiwanya.

2. aqliyyah Matematik a. Aritmatika.


b. Geometri.
c. Astronomi dan astrologi.
d. Musik.
Logika
Fisika a. Ilmu kesehatan.
b. Meteorologi.
atau ilmu
c. Mineralogi.
alam d. Alkemi.

Metafisika a. Ontologi.
b. Ilmu tentang hakikat Tuhan, atribut, aktifitasnya,
dan hubungan Tuhan dengan alam semesta.
c. Ilmu tentang materi terkecil.
d. Ilmu tentang alam gaib (subtle world).
e. Propetologi, saintologi dan ilmu mimpi.
f. Ilmu tentang penggunaan kekuatan bumi untuk
menciptakan kekuatan supernatural

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya membagi ilmu ke dalam ilmu-ilmu intelek (al
ulum al-‘aqliyah) dan ilmu tradisional (al-ulum al-naqliyah al-wadh’iyyah). Yang pertama,
al-ulum al-‘aqliyah, adalah ilmu yang diperoleh melalui kemampuan berfikirnya yang
merupakan sifat alaminya, meliputi: (1) ilmu logika; (2) ilmu alam (fisika); (3) ilmu
metafisika; (4) ilmu matematika yang meliputi geomentri, aritmatika, musika, astronomi.
Yang kedua, al-ulum al-naqliyah al-wadh’iyyah, ilmu yang berdasarkan kepada otoritas
syariah, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, juga ilmu-ilmu yang berhubungan dengan materi
tersebut, dalam arti kita dapat memetik manfaat daripadanya seperti (1) ilmu tafsir; (2) ilmu
qiraat; (3) ilmu hadist; (4) ilmu ushul fiqh; (5) ilmu fiqh; (6) ilmu kalam; (7) ilmu lughah. Hal
ini sama yang di kemukakan oleh Al-Ghazali. Kedua kelompok ilmu ini, di dalam kacamata
Ibnu Khaldun, harus dipelajari oleh manusia secara seimbang untuk pencapaian
kesempurnaan dirinya. Tanpa adanya keseimbangan antara keduanya, manusia tidak akan
mencapai sesuatu yang diharapkan.7
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemisahan ilmu pengetahuan tidak
mendapatkan legitimasi. Pembagian itu hanya menyangkut persoalan metodologis. Lagi pula,
bila dilihat dalam perspektif aksiologis, bahwa ilmu itu dikembangkan di samping untuk ilmu
sendiri, juga adalah bagaiamana ilmu itu dikembangkan untuk meningkatkan kemakmuran

7
Abdul Rahman, Pendidikan Interalistik, Menggagas Konsep Manusia dalam Pemikiran Ibnu Khaldun,
(Semarang: Walisongo Press, 2009) hlm 82.

6
manusia. Dimana akal seorang individu sebagai penemu dan pengembang sains dan
teknologi, di dukung dengan keluhurannya dalam pemanfaatan sains dan teknologi tersebut.
Dalam Islam sendiri, Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam sebenarnya tidak
mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstuksikan kaum beriman untuk senantiasa ber-
tafakkur (QS. Ali Imran; 189-190) dan ber-tasyakkur (QS. An-Nahl: 114). Perintah
memikirkan segala ciptaan Tuhan di langit dan di bumi melalui hukum-hukum di dalam Al-
Qur’an mengandung pengertian bahwa sains (science) merupakan jalan untuk mendekati
kebenaran Tuhan. Karena kata fakkara, seringkali diterjemahkan dengan to reflect atau
refleksi, dalam bahasa Indonesia kata ini mengandung unsur merenung. Penerungan
seseorang di atas aras pemikiran seringkali harus di imbangi dengan dzikir, karena ketika
pikir tidak bisa berbicara akan kebenaran maka panggilan iman (dzikr) mesti tampil
memberikan justifikasi ke arah kebenaran sesungguhnya. Sedangkan tasyakkur, berarti
memanfaatkan nikmat dan karunia Tuhan dengan akal modern, sehingga kenikmatan itu
bertambah dan mengandung berkah. Dalam istilah modern bersyukur berarti menanfaatkan
segenap kemanpuan teknologi secara maksimal dan positif untuk pribadi maupun
masyarakat. Dan orang yang mampu mengharmonikan kedua unsur tersebut—tafakkur dan
tasyakkur- disebut ulul albab.8
Kesalahan pemahaman umat Islam terhadap konsep al-Ghazali yang telah di sebutkan
diatas, bisa jadi karena kekawatiran umat terhadap pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi sebagai hasil adaptasi aplikasi sains yang sudah menerobos ke dinding-dinding
kamar kita melalui TV, internet dan lain sebagainya, yang menyuguhkan kesenangan bagi
kehidupan lahiriah manusia secara luas yang mana perkembangan itu seringkali di ikuti
dengan dekadensi moral dan kemorosotan kehidupan beragama.
Sistem pendidikan sekuler yang diadopsi oleh umat Islam dari Barat yang
memberikan tekanan berlebihan terhadap akal rasional, menganggap sepele nilai spiritual dan
lebih bersifat antroposentris dari pada teosentris. Ketika Islam mulai terputus hubungannya
dari ilmu pengetahuan menjelang akhir abad ke-16, bangsa Eropa dan Amerika secara
dinamis mengayunkan langkah ke depan seiring kemajuan sainsnya dan mulai menjajah
dunia secara politik dan intelektual diatas ketidaksadaran umat Islam.
Dalam menyikapi penjajahan ini, para intelektual muslim terpecah menjadi dua.
Kelompok pertama bersikap curiga dan waspada terhadap apapun yang berasal dari Barat
yang mereka anggap bertujuan untuk menghancurkan warisan budaya tradisional. Sedangkan
kelompok kedua menganggap bahwa sekalipun penjajah, Barat dinilai dapat dijadikan
alternative untuk dijadikan wacana pendidikan. Dan imbasnya sistem pendidikan di dunia
muslim menjadi dualisme yang saling berseteru. Perseteruan ini menurut Fazlur Rahman
sangat merugikan, sebab mempertentangkan secara dikotomik tradisi dan modernisasai akan
menjadikan umat Islam terperangkap pada sikap tradisionalisme yang mengisolasi mereka
dari proses dinamika zaman, sehingga menjadikan umat Islam kehilangan peran vitalnya
dalam berdialektika dengan perkembangan eksternal. Sebaliknya berlebihan dalam menerima
modernisasi akan menjadikan umat Islam tercabut dari akar tradisinya.9

8
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif, Akar Tradisi, dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: Uin
Maliki Press, 2011) hlm 23.
9
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu (Malang: UIN Maliki Press, 2008) hlm 26.

7
Dalam mengurai benang kusut dikotomi sistem pendidikan ini, para intelektual
muslim telah berusaha untuk mencari solusi-solusi alternatif dengan menggagas upaya
“islamisasi” ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh tokoh muslim seperti Ismalil Raji Al-
Faruqi, Naquib Al-Attas dan Sayyid Husein Nasr. Pemikiran yang masih terkesan sporadis
dan belum terigterasi menjadi sebuah pemikiran yang utuh, namun setidaknya menjadi awal
dalam pengintegrasian agama dan sains modern yang nanti bukan hanya menciptakan sebuah
“proses pencampuran” biasa (islamisasi) melainkan sebagai sebuah “proses pelaturan.10

C. Islamisasi Sains
Gagasan islamisasi ilmu di kalangan muslim lahir dari keyakinan akan
ketidaknetralan ilmu. Sejak dahulu, ketika ilmu berkembang di wilayah, ilmu tersebut
dibentuk berdasarkan nilai-nilai budaya, ideologis, dan agama yang dianut oleh para pemikir
dan ilmuan diwilayah itu. Muncul lah helenisasi ilmu, kristenisasi ilmu, islamisasi ilmu pada
masa klasik Islam, kemudian westernisasi ilmu dalam bentuk sekulerisasi ilmu dikalangan
ilmuwan Barat.11 Salah satu upaya pemikir Islam adalah pengintegrasian kembali ilmu umum
dan ilmu keislaman. Istilah populernya ialah Islamisasi.
Menurut Sayed Husein Nasr, Islamisasi ilmu termasuk juga islamisasi budaya adalah
upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat
muslim dimana mereka tinggal. Artinya islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk
mempertemukan cara berfikir dan bertindak (epistemologis dan aksiologis) masyarakat barat
dengan Islam.12
Sejalan dengan itu, Hanna Djumhana Bustaman, seorang ahli pakar psikologi dari
Universitas Indonesia menyatakan bahwa islamisasi ilmu adalah upaya menghubungkan
kembali ilmu pengetahuan dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali sunnatullah
(hukum alam) dengan Al-Qur’an, yang keduanya sama-sama ayat Tuhan.13
Sementara itu menurut Muhammad Naquid al-Attas, Islamisasi ilmu adalah upaya
membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi, dan prinsip-prinsip sekuler, sehingga
terbentuk pengetahuan baru yang sesuai fitrah Islam. Dalam pandangan Naquib, berbeda
dengan Nasr, Islamisasi ilmu berkenaan dengan perubahan ontologis dan epistemologis,
terkait dengan perubahan cara pandang dunia yang merupakan dasar lahirnya ilmu dan
metodologi yang digunakan, agar sesuai dengan konsep Islam. Sedangakan menurut al-
Faruqi, Islamisasi ilmu adalah mengislamkan disiplin-disiplin ilmu, atau tepatnya
menghasilkan buku-buku pegangan (buku dasar) diperguruan tinggi dengan menuangkan
kembali disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis
terhadap kedua sistem pengetahuan, Islam dan Barat.14
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan pada hakikatnya muncul sebagai respon atas
dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan (sains) yang dimasukkan Barat sekuler dan
budaya masyarakat modern ke dunia Islam. Kemajuan yang di capai ilmu pengetahuan

10
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif, Akar Tradisi, dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Malang: Uin
Maliki Press, 2011) hlm 260.
11
Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan (Bandung:Mizan, 2003)
hlm 131.
12
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 239.
13
. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm 240.
14
. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm 240.

8
(sains) modern telah membawa pengaruh yang menajubkan, namun disisi lain juga membawa
dampak yang negatif, karena ilmu pengetahuan (sains) modern Barat kering akan nilai atau
terpisah dari nilai agama. Di samping itu islamisasi ilmu pengetahuan juga merupakan reaksi
atas kritis sistem pendidikan yang di hadapi oleh umat Islam, yakni adanya dualisme sistem
pendidikan Islam dan pendidikan Modern (sekuler) yang membingungkan umat Islam.15
Gagasan awal Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) muncul pada saat konferensi dunia
pertama tentang pendidikan Muslim di Makkah, pada tahun 1977 yang di prakarsai oleh King
Abdul Aziz University. Ide islamisasi ilmu pengetahuan (sains) di lontarkan oleh Ismail Raji
Al-Faruqi dalam makalahnya “Islamisizing social science” dan Syekh Muhammad Naquib
al-Attas dalam makalahnya “Preliminary Thoughts on the Nature of knowlegde and the Aims
of Education”. Menurut al-Attas bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat Islam
adalah tantangan pengetahuan, bukan bentuk kebodohan, pengetahuan yang disebarkan ke
seluruh dunia Islam oleh peradaban Barat. Menurut al-Faruqi bahwa sistem pendidikan Islam
telah dicetak dalam sebuah karikatur Barat, sehingga dipandang sebagai inti dari malaise atau
penderitaan yang dialami umat. Ia mengkeritik sains Barat telah terlebas dari nilai dan harkat
manusia dan nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan.16
Bagi al-Faruqi, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan menuangkan kembali
seluruh khazanah sains Barat dalam kerangka Islam yang prakteknya tidak lebih dari usaha
penulisan kembali buku-buku teks dan berbagai disiplin ilmu dengan wawasan ajaran Islam.
Sedangkan menurut al-Attas adalah dengan jalan pertama-tama sains Barat harus dibersihkan
dulu unsur-unsur Islam yang esensial dan konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan
komposisi yang merangkum pengetahuan inti. Bahkan dewasa ini muncul pendekatan baru
yaitu merumuskan landasan filsafat ilmu yang islami sebelum melakukan islamisasi
pengetahuan. Sejalan dengan kedua tokoh diatas, Sayyid Husein Nasr menganjurkan visinya
tentang islamisasi baru yang dijauhkan dari matrik sekuler dan humanistik (dari sains
modern). Ia mengkritik sains Barat, karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam.
Oleh karena itu, Nasr menganjurkan agar semua aktivitas keilmuan harus tunduk kepada
norma agama dan hukum-hukum suci Islam. Sayangnya, Nasr tidak merinci langkah
selanjutnya islamisasi sains, ia cenderung menggambarkan prinsip umum dari bangunan sains
yaitu agar tidak terpisah dari muatan nilai agama.17
Untuk merealisasikan gagasannya tentang islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi
meletakkan fondasi epistemologinya pada prinsip tauhid yang terdiri dari lima macam yaitu:
1. Keesaan Allah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang menguasai dan memelihara
alam semesta. Ini berimplikasi bahwa sains bukan hanya menerangkan dan
memahami realitas yang terpisah dari Tuhan, tapi sebagai bagian dari integral dari
eksistensi Tuhan.
2. Kesatuan ciptaan bahwa semesta ini baik yang material, psikis, biologi, sosial,
maupun estesis adalah merupakan merupakan kesatuan yang integral untuk mencapai
tujuan tertinggi Tuhan yang menundukkan alam semesta untuk manusia.

15
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, (Malang: UIN-Maliki
Press, 2008) hlm 68.
16
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, hlm 68-69.
17
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, hlm 69-70.

9
3. Kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kebenaran bersumber pada realitas, dan realitas
bersumber dari satu yaitu Tuhan. Maka apa yang disampaikan lewat wahyu tidak
bertentangan dengan realitas yang ada, karena keduanya diciptakan oleh Tuhan.
4. Kesatuan hidup yang meliputi amanah, khilafah, dan kaffah.
5. Kesatuan manusia yang universal mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Maka, pengembangan sains harus berdasar pada kemaslahatan manusia secara
universal.18

Al-Faruqi menegaskan bahwa kelima hal diatas harus menjadi landasan atau fondasi
utama dalam upaya pengembangan ilmu dalam Islam. Sehingga perkembangan ilmu itu
sesuai dengan maslahat umat. Fondasi ini tentunya tidak akan ditemukan dalam
perkembangan ilmu Barat. Tanpa fondasi tersebut, ilmu yang di tawarkan Barat di satu sisi
memberi dampak positif, namun di sisi lain, memberi dampak buruk bagi manusia itu sendiri.
Terutama menyangkut moral dan keyakinan terhadap Tuhan.
Sebagai penggagas utama ide islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi memberikan
gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi menetapkan lima program
sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu yaitu:
1. Penguasan disiplin ilmu modern
2. Penguasaan khazanah Islam
3. Menentukan relevansi Islam dengan masing-masing disiplin ilmu modern
4. Mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu-
ilmu modern
5. Mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola
rencana Allah SWT.19

Lima sasaran rencana kerja islamisasi diatas, menunjukkan bahwa islamisasi ilmu
menghendaki umat Islam untuk selalu senantiasa memilik kemauan untuk mengembangkan,
berinovasi, sehingga perkembangan ilmu tetap berlandaskan ajaran Islam. Tentunya, ketika
ilmu pengetahuan itu berlandaskan Islam, maka ilmu tersebut mustahil memberikan efek
negatif terhadap manusia itu sendiri.
Meski mendapat dukungan luas dari kalangan intelektual Muslm dunia sehingga
dilakukannya konferensi beberapa kali, ternyata gagasan islamisasi ilmu pengetahuan ini
menimbulkan pro-kontra, ada yang setuju dan tidak. Diantaranya pihak yang setuju adalah
AM. Saifuddin, menurutnya islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam,
karena sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan
tersingkirnya pada posisis yang rendah. Akibatnya, umat Islam menjadi acuh tak acuh
(ignorance) dan iluminasi terhadap sains.20
Senada dengan itu, Usman Bakar, Filosof muda dari Malaysia juga sepakat dengan
gagasan islamisasi diatas. Menurutnya, islamisasi ilmu sangat penting untuk mencapai
kemajuan ilmiah dan teknologi umat Islam, dan pada waktu yang bersamaan juga bisa

18
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, hlm 70-71.
19
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, hlm 71.
20
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 245.

10
mempertahankan bahkan membentengi pandangan intelektual, moral dan spiritual umat
Islam.21
Tokoh lain yang setuju islamisasi ilmu adalah Ziauddin Sardar. Namun, beliau
menganjurkan agar islamisasi ilmu itu tidak sekedar sintesa ilmu-ilmu modern dengan nilai-
nilai Islam sebagaimana kesan yang ditampilkan al-Faruqi, tetapi sejalan dengan dengan
Naquib. Yaitu dimulai dari aspek ontologis, dengan membangun world view (pandangan
dunia) dengan titik pijak yang utama membangun epistemologi Islam yang baru.22
Adapun yang pihak yang menolak atau tidak setuju dengan ide islamisasi ilmu,
mereka beragumen bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif dan karenanya selalu netral,
seperti dalam konsep netralitas etik. Gugatan dari kelompok yang menolak islamisasi Ilmu itu
menyodorkan persoalan seperti bagaiaman memberi label matematika yang islami. Adakah
perbedaan arkeologi Islam dan Arkeologi non-Islam?23.
Sedangkan Usep Fahruddin. Menurutnya, islamisasi ilmu bukan termasuk kerja
ilmiah apalagi kerja kreatif. Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau
pengakuan terhadap karya orang lain. Ketidaksetujuan yang lain disampaikan oleh Fazlur
Rahman. Menurutnya, tidak perlu ada islamisasi ilmu pengetahuan, karena semua ilmu telah
tunduk dalam aturan sunnatullah. Yang terpenting adalah menciptakan manusia yang tahu
dan mengerti, tentang nilai-nilai Islam dan kemanusiaan, sehingga mampu menggunakan
sains secara konstruktif positif. Artinya, dalam pandangan Rahman, islamisasi ilmu hanya
diperlukan dan bisa dilaksanakan pada aspek aksiologis, penggunaan atau pada pihak
pelakunya, bukan dalam aspek ontolgis atau epistemologisnya.24
Beberapa pemaparan diatas menimbulkan pertanyaan apakah sains sekarang islami
atau tidak? Para tokoh pemikiran Islam berbeda pandangan tentang sains itu sendiri. Ada
yang beranggapan bahwa sains itu ada yang islami, netral dan ada yang tidak. Yang
menyatakan sains sekarang itu tidak islami merujuk kepada krisis peradaban kontemporer.
Sedangkan mereka yang berpandangan bahwa sains itu islami karena banyak penemuan-
pememuan-penemuan baru sains sesuai dengan konsep-konsep al-Qur’an tentang alam. Oleh
karena itu, yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi sains, melainkan modernisasi ilmu-ilmu
kalam, fiqh, dan tasawuf. Kemudian peradaban Islam menurut penganut pandangan ini
bersumber pada ketidakmampuan umat Islam dalam menggali al-Qur’an secara ilmiah di satu
pihak dan kegagalan mengakomodasi tuntutan zaman sesuai dengan kemajuan sains.25
Sementara para pakar cendikiawan sekuralis-modernis seperti Hoodbhoy dan
Abdussalam berpendapat bahwa sains itu adalah universal dan secara kultural adalah netral,
sehingga ilmu tidak dapat dicerapi dengan sistem nilai manapun. Lantaran itu mereka
menghimbau agar cendikiawan muslim tidak menggubris tesis islamisasi.26
Dalam pengamatan Ahmad Zainul Hamdi, wacana islamisasi ilmu pengetahuan kalau
disederhanakan berputar pada dua hal, pertama, bahwa sebuah konstruk keilmuan tidak bisa
dilepaskan dari muatan ideologis individu atau kelompok yang membangunnya. Kedua,

21
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, hlm 245.
22
M. Zainuddin, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, hlm 245-246.
23
Imam Suprayogo, “membangun Intergrasi Ilmu dan agama”, dalam Zainal Abidin Bagir et. All,, Intergrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung; Mizan, 2005) hlm 214.
24
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004) hlm 246.
25
Armahedi Maizar, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004) hlm 217.
26
Hadi Masruri dan Imron Rossidy, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, (Malang: Uin Press, 2007) hlm 12.

11
merupakan konsekuensi dari poin pertama, yaitu menjadikan al-Qu’ran sebagai fondasi
konstruksi keilmuan. Konsekuensinya adalah meletakkan al-Qur’an sebagai basis seluruh
bangunan ilmu. Islamisasi ilmu selalu mengambil semangat kembali kepada al-Qur’an dan
Hadits dengan meletakkannya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ada dua penafsiran terkait
peletakkan al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan. Pertama, meletakkan al-Qur’an
sebagai konsep dasar (inspirasi) yang kemudian di kembangkan melalui berbagai riset ilmiah.
Untuk bagannya kurang lebih sebagai berikut.27

Ilmu Eksakta Ilmu Humaniora Ilmu Sosial

RISET ILMIAH

AL-QUR’AN DAN HADITS

Dari bagan tersebut menimbulkan persoalan apa yang dimaksud dengan al-Qu’ran
sebagai sumber ilmu pengetahuan? Kalau yang dimaksud adalah bahwa al-Qu’ran semacam
buku ilmu pengetahuan, cara berfikir seperti ini tidak hanya naif tapi juga berbahaya.
Membuktikan kebenaran al-Qur’an dengan capain ilmu pengetahuan sangat berbahaya karena
begitu pengetahuan tersebut ditumbangkan oleh teori baru, berarti al-Qu’ran juga ikut
tumbang. Menurutnya harus di bedakan antara Islam sebagai objek kajian keilmuan dan
Islam sebagai landasan etis. Sebagai kajian objek keilmuan, Islam harus tunduk pada
prosedur prosedur keilmuan. Sebagai contoh kajian terhadap al-Qur’an sebagai teks, maka
bisa saja dikaji oleh siapa saja, tidak peduli apakah orang itu mengimani al-Qur’an sebagai
wahyu atau tidak. Sebagai teks, al-Qur’an terbuka untuk dikaji melalui teori-teori teks
sebagaimana teori-teori tersebut digunakan untuk mengkaji teks-teks yang lain. Dalam
posisinya sebagai objek keilmuan, rumpun ilmu-ilmu keismalaman hanyalah menjadi bagian
kecil dari kegiatan keilmuan secara umum.28
Penafsiran kedua meletakkan al-Qur’an (ayat-ayat qauliyah) dan alam (ayat-ayat
kawniyah) menjadi sumber yang setara bagi bangunan ilmu pengetahuan. Untuk maksud
kedua ini akan di digambarkan dalam bagan berikut.

Ilmu Eksakta Ilmu Humainora Ilmu Sosial

ALAM AL-QUR’AN &


(Fisik & Manusia) HADITS

27
Ahmad Zainul Hamdi, “Menilai Ulang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Blue Print
Pengembangan Pengembangan Keilmuan UiN” dalam Zainal Abidin Bagir dkk (Ed), Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hlm 182.
28
Ahmad Zainul Hamdi, “Menilai Ulang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Blue Print
Pengembangan Pengembangan Keilmuan UiN” dalam Zainal Abidin Bagir dkk (Ed), Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi, hlm 184.

12
Kalau al-Qur’an dijadikan sebagai sumber inspirasi, pertanyaannya adalah apakah
seorang ilmuwan yang menggagas teorinya dari inspirasi yang muncul tiba-tiba ketika ia
merenungi fenomena alam dan sekitarnya, tidak atau kurang Islami teorinya dari teori
ilmuwan yang mendapat inspirasi langsung dari al-Qu’ran? Apakah sebuah teori Islami
semata-mata didasarkan atas sumber inspirasinya ataukah kejujuran ilmiah yang diemban
oleh seorang ilmuwan sekalipun ia tidak memperoleh inspirasinya dari al-Qu’ran, atau
bahkan mungkin ia tidak bisa membaca al-Qu’ran? Kalau jawabannya “ya”, pertanyaan
berikutnya adalah dengan ukuran apa sebuah teori dikatakan Islami atau tidak Islami?29
Jawaban atas kritik berupa pertanyaan ini sesungguhnya dapat dikembalikan pada
term Islam itu sendiri. Unsur Islam dalam kata islamisasi tidak harus dipahami secara ketat
sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukannya secara harfiah dalam al-Qu’ran dan hadits,
tetapi dilihat dari segi spiritnya yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran fundamental
Islam. Selain itu, islamisasi sains tidak semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat al-
Qu’ran atau hadits yang dipandang cocok dengan penemuan ilmiah, tetapi berada pada level
epistemologis.30 Apabila islamisasi identik dengan pelabelan ayat atau hadits, maka hal ini
sebenarnya tidak berbeda dengan ayatisasi31.
Salah satu reasoning yang biasa diajukan untuk mendukung islamisasi ilmu
pengetahuan adalah bahwa kebenaran wahyu itu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio
bersifat relatif sehingga rasio harus tunduk kepada wahyu. Pernyataan ini sebenarnya
problematik. Faktanya al-Qu’ran tidak pernah berbicara dengan dan atas nama dirinya
sendiri, suara al-Qur’an selalu sesuai dengan suara orang yang membacanya, bergantung
pada ideologi yang menjadi stand pont seorang reader.32
Ada dua konsekuensi penting dari bagan tersebut. Pertama, sebuah teori tidak bisa
dijustifikasi Islami atau non-Islami berdasarkan al-Qu’ran, tetapi berdasarkan prosedur-
prosedur ilmiah sehingga umat Islam terbuka untuk menguji dan mengambil teori dari mana
saja. Kedua, tidak boleh ada satupun teori yang menjadi dominan karena setiap teori adalah
perspektif, bahkan ketika sebuah teori diinspirasi atau diturunkan secara langsung dari al-
Qur’an. Al-Qur’an lebih tepat diletakkan sebagai basis etis kehidupan manusia. Al-Qur’an
tidak terikat dengan program-program riset ilmiah tentang penemuan atom maupun
pembelahan-pembelahan atom, tetapi al-Qur’an menyediakan basis etis tentang perdamaian
yang harus ditegakkan dalam tata pergaulan antar umat manusia. Jadi, al-Qur’an menjadi
basis etis yang mengisi ruang aksiologis pengembangan keilmuan.33 Pandangan ini lebih
menempatkan al-Qur’an (agama) berada dalam domain aksiologis, dari pada epistemologis.
Oleh karena itu, yang mesti dilakukan adalah mengakarkan teori dan penemuan itu pada
prinsip, spirit atau pandangan dasar Islam, sehingga yang terjadi bukan “ayatisasi” dan

29
Ahmad Zainul Hamdi, “Menilai Ulang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Blue Print
Pengembangan Pengembangan Keilmuan UiN” dalam Zainal Abidin Bagir dkk (Ed), Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi, hlm 188-189.
30
Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003)
hlm 130-131.
31
Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Basis Kontruksi Ilmu
Pengetahuan, (Jakarta: Mizan, 2015) hlm 171.
32
Ahmad Zainul Hamdi, “Menilai Ulang Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Sebagai Blue Print
Pengembangan Pengembangan Keilmuan UiN” dalam Zainal Abidin Bagir dkk (Ed), Integrasi Ilmu dan
Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005) hlm 190-191.
33
Ibid..., hlm 196 dan 201.

13
pemaksaan normativitas, tetapi objektifikasi sehingga dapat dirasakan dan diakui secara
universal.
Dengan demikian, Islamisasi berarti pembebasan ilmu dari segala penafsiran yang
didasarkan atas ideologi sekuler serta dari makna dan ungkapan atau penjelasan sekuler.
Islamisasi sains juga berusaha membebaskan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis,
dan budaya yang bertentangan dengan doktrin Islam, serta dari belenggu paham sekuler yang
merusak pemikiran dan bahasa yang dipergunakan manusia. Islamisasi pengetahuan berusaha
agar umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari Barat dengan mengembalikan
pengetahuan pada pusatnya, yaitu tawhid. Dari tawhid akan ada tiga macam kesatuan, yaitu
kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan
berarti pengetahuan harus menuju kebenaran yang satu. Kesatuan hidup berarti dihapusnya
perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas nilai. Kesatuan sejarah artinya
pengetahuan harus mengabdi kepada umat dan manusia. Islamisasi pengetahuan berarti
mengembalikan pengetahuan kepada tawhid, atau konteks kepada teks.34

D. Integralisme Islam
Awal mula perdebatan dikotomi ilmu dalam Islam dimulai dengan munculnya
penafsiran dalam ajaran Islam bahwasanya Tuhan adalah pemilik tunggal ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan yang diberikan pada manusia hanya merupakan bagian dari ilmu-Nya,
namun manusia diberi kebebasan untuk meraih ilmu sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu
sangatlah tidak pantas jikalau ada manusia yang bersikap sombong dalam masalah ilmu.
Keyakinan ini pada akhirnya melahirkan dikotomi ilmu dalam pemikiran Islam, dengan
istilah kelompok ilmu “antroposentris” dihadapkan dengan kelompok ilmu “teosentris”.
Berdasarkan argumen epistemologi, ilmu pengetahuan antroposentris dinyatakan
bersumber dari manusia dengan ciri khas akal (rasio) sedangkan ilmu pengetahuan teosentris
dinyatakan bersumber dari Tuhan dengan ciri khas “kewahyuan”. Maka terbentuklah
pertentangan antara wahyu dan akal.
Salah satu metode dalam proses pengilmuan Islam yaitu intergalisasi. Integralisasi
adalah pengintergrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam
Al-Qur’an berserta pelaksanaan dalam sunnah Nabi).35 Ilmu integralistik adalah ilmu yang
menyatukan (bukan sekedar menghubungkan) wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia.
Ilmu-ilmu integralistik tidak akan mengucilkan Tuhan (sekulerisme) atau mengucilkan
manusia (other wordly asceticisme). Diharapkan bahwa intergalisme akan sekaligus
menyelesaikan konflik antara sekulerisme dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.36
Para pemikir muslim sepakat bahwa kekuatan akal atau rasionalisme sangat
diperlukan dalam kajian-kajian keagamaan. Namun, sampai sejauh mana kemampuan rasio
bisa di ikuti dan dipakai, inilah yang menjadi persoalan. Sebagaian menyatakan bahwa rasio
mesti ditempatkan di bawah Wahyu Tuhan, sebaliknya sebagian lain menganggap bahwa

34
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu:Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Bandung: Tirai Wacana, 2006) hlm
8.
35
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu:Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Hlm 49.
36
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu:Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Hlm 55.

14
rasio saja telah cukup untuk membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan,
wahyu diperlukan hanya sebagai justifikasi penemuan akal.37
Kesadaran akan perlunya berhubungan atau berinteraksi antara ilmu pengetahuan,
nilai-nilai moral, dan agama muncul ketika orang semakin sadar, bahwa ilmu pengetahuan
tidak bisa berjalan sendiri. Klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai dan objektif
menyeret manusia modern untuk melihat manusia dan lingkungan sebagai objek semata,
suatu objek yang dapat dimanipulasi kembali dengan rekayasa mereka.38
Berkaitan dengan integralisme ini, Kuntowijoyo mengusulkan agar melakukan
perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada al-Qur’an yaitu menjadikan al-
Qur’an sebagai suatu ilmu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam
dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam al-
Qur’an dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) tidak hanya untuk umat
Islam tapi non muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam. Berikut ini
konsep yang di kemukakan oleh Kuntowijoyo menggambarkan alur pertumbuhan ilmu-ilmu
integralistik sebagai berikut:

Agama Teoantroposentrisme Dediferensiasi Ilmu Integralistik

1. Agama, agama islam yang didalamnya adanya al-Qu’ran sebagai wahyu yang
mengatur manusia dengan Tuhan, diri sendiri juga lingkungan. Al-Qur’an merupakan
petunjuk etika, kebijaksanaan dan dalam konteks ini dapat dijadikan sebagai grand
theory.
2. Teoantrposentrisme. Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika,
hukum dan kebijaksanaan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau
sebaliknya menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
dan melupakan Tuhan. Jadi sumber pengetahuan ada dua macam yaitu yang berasal
dari Tuhan dan berasal dari manusia.
3. Dediferensiasi ialah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain,
termasuk agama dan ilmu.
4. Ilmu integralistik merupakan ilmu yang menyatukan antara wahyu Tuhan dan temuan
manusia. Ilmu integralistik tidak akan mengucilkan Tuhan atau mengucilkan
manusia.39

Masalah yang muncul kemudian adalah apakah integrasi/islamisasi ilmu pengetahuan


keislaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas prinsip–
prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang
kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:

37
A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hlm 20
38
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi: Mohammad Iqbal dan Chalses S. Pierce, (Bandung: Refika
Aditama, 2007) hlm 44.
39
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistemologi: Mohammad Iqbal dan Chalses S. Pierce,, hlm 56.

15
1. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral,
melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola
dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia.
“Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari
Tuhan.
2. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas
fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan
akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena
yang diteliti.
3. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar
rasio dan empirik, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio
dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan
konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4. Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas
non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang
mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik
dan empiris transenden.40

Jadi Kuntowijoyo menyatakan bahwa inti dari integrasi adalah upaya menyatukan
(bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu
integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia (other
worldly asceticisme).41 Model integrasi adalah menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai
grand theory pengetahuan. Sehingga ayat-ayat qauliyah dan qauniyah dapat dipakai.42

40
Moh. Natsir Mahmud, “Landasan Paradigmatik Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Nurman Said dkk (Ed)
Sinergi Agama dan Sains (Makassar: Alauddin Press, 2005) hlm 134.
41
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu:Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Bandung: Tirai Wacana, 2006) hlm
55.
42
Imam Suprayogo, “membangun Intergrasi Ilmu dan agama”, dalam Zainal Abidin Bagir et. All,, Intergrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung; Mizan, 2005) hlm 49

16
DAFTAR PUSTAKA

Bagir, Zainal Abidin, 2005, Intergrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung;
Mizan.

Bakar, Osman, 1998, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Terj
Purwanto, Bandung: Mizan.

Barizi, Ahmad, 2011, Pendidikan Integrasi, Akar Tradisi, dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, Malang: Uin Maliki Press.

Kartanegara, Mulyadi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam: Menyibak Tirai Kejahilan,


Bandung: Mizan.

Khuza’i, Rodliyah, 2007, Dialog Epistemologi: Mohammad Iqbal dan Chalses S. Pierce,
Bandung: Refika Aditama.

Kuntowijoyo, 2006, Islam Sebagai Ilmu:Epistemologi, Metodologi, dan Etika Bandung: Tirai
Wacana.

Maarif, Syamsul, 2007, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Mahzar, Armahedi, 2004, Revolusi Integralisme Islam, Bandung: Mizan

Masruri, Hadi dan Imron Rossidy, 2007, Filsafat Sains dalam Al-Qur’an, Malang: Uin Press.

Purwanto, Agus, 2015, Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur’an Sebagai Basis
Kontruksi Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Mizan.

Qomar, Mujamil, 2005, Epistemologis Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik, Jakarta: Erlangga.Remaja Rosdakarya.

Rahman Abdul, 2009, Pendidikan Interalistik, Menggagas Konsep Manusia dalam Pemikiran
Ibnu Khaldun, Semarang: Walisongo Press.

Said, Nurman. dkk, 2005, Sinergi Agama dan Sains, Makassar: Alauddin Press.

Soleh, A. Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tholhah, Imam dan Ahmad Barizi, 2004, Membuka Jendela Pendidikan, Jakarta: Rajawali
Press.

Zainuddin, M, 2008, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab,


Malang: UIN-Maliki Press.

17

Anda mungkin juga menyukai